Anda di halaman 1dari 13

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.2 (2022.1)

Nama Mahasiswa : DENNY

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 031059883

Tanggal Lahir : 26 Oktober 1994

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4308/ Hukum Perbankan dan Tindak Pidana


Pencucian Uang
Kode/Nama Program Studi : 311/Ilmu Hukum

Kode/Nama UPBJJ : 20/Bandar Lampung

Hari/Tanggal UAS THE : Minggu/26 Juni 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : DENNY


NIM : 031059883
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4308/ Hukum Perbankan dan Tindak Pidana
Pencucian Uang
Fakultas : FHISIP
Program Studi : S1 Ilmu Hukum
UPBJJ-UT : Bandar Lampung

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran atas
pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Mesuji,26 Juni 2022

Yang Membuat Pernyataan

Denny
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Jawaban Soal No 1
a. Berikan pendapat dan analisa saudara dengan mencantumkan dasar hukum mengenai
syarat dan tahapan pemberian izin pendirian bank!
Jawab :
Bank sebagai salah satu badan usaha yang mempunyai kegiatan usaha menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuknya, membutuhkan
persyaratan dalam menjalankan usahanya. Untuk maksud tersebut, undang-undang perbankan telah
mengatur mengenai perizinan untuk menjalankan kegiatan usaha bank sebagaimana ditentukan
dalam pasal 16 ayat 1,2,3.

Pasal 16 ayat 1 : setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat dari pimpinan Bank Indonesia kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari
masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pasal 16 ayat 1 mengandung arti bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapa pun
pada dasarnya perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang
dananya di simpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut.

Pasal 16 ayat 2: untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
a. Susunan organisasi dan kepengurusan
b. Permodalan
c. Kepemilikan
d. Keahlian di bidang perbankan
e. Kelayakan rencana kerja
Dalam pasal 16 ayat 2 dapat dikemukakan bahwa dalam hal memberikan izin usaha sebagai Bank
Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia selain memperhatikan pemenuhan persyaratan
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, juga wajib memperhatikan tingkat persaingan yang sehat
antar Bank, tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu, serta pemerataan
pembangunan ekonomi nasional.

Pasal 16 ayat 3: Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat 2
ditetapkan oleh Bank Indonesia

Dalam ketentuan ayat 3 tersebut dapat dikemukakan bahwa pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
1. Persyaratan untuk menjadi pengurus Bank antara lain menyangkut keahlian di bidang perbankan
dan konduite yang baik
2. Larangan adanya hubungan keluarga di antara pengurus bank
3. Modal disetor minimum untuk pendirian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
4. Batas maksimum kepemilikan dan kepengurusan
5. Kelayakan rencana kerja
6. Batas waktu pemberian izin bank

Pendirian Bank Umum


Untuk mendirikan Bank Umum selain harus memenuhi persyaratan Pasal 16 ayat 2 UU Perbankan,
harus juga memperhatikan dan memenuhi ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan
bank yang diatur dalam surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tentang
Bank Umum. Dalam Pasal 5 Keputusan Direksi Bank Indonesia, pemberian izin usaha untuk
mendirikan Bank Umum harus melalui dua tahapan:
a. Persetujuan prinsip, adalah persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian bank yang
bersangkutan
b. Pemberian izin usaha, adalah izin yang diberikan untuk melakukan usaha setelah persiapan
selesai dilakukan
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Pendirian Bank Perkreditan rakyat


Permohonan izin prinsip untuk Bank Perkreditan Rakyat wajib memenuhi persyaratan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 6 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/35/KEP/DIR tentang
Perkreditan Rakyat.

b. Ketika ada bank tanpa perizinan seperti tersebut diatas, adakah resiko bagi pengurusnya?
Jawab :
Tindak pidana di bidang perbankan yang tergolong dalam kelompok ini adalah tindak pidana yang
berhubungan dengan perizinan pendirian banksebagai lembaga keuangan. Setiap orang yang ingin
mendirikan bank tentunya harus memenuhi syarat-syarat atau ketentuan yang terdapat dalam undang-
undang. Pihak yang mendirikan bank, tetapi bank tersebut didirikan tidak berdasarkan atas syarat atau
ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang, pihak pendiri bank tersebut dapat dikatakan telah
melakukan tindak pidana dibidang perbankan kelompok ini dan Bank yang telah didirikan tersebut
dinamakan bank gelap.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam
jenis tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, terdapat dalam Pasal 46, yang berbunyi: Ayat
(1): “Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan,dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa
izin usaha dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, diancam dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh
miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah).”
Ayat (2): “Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum
yang berbentuk perseorangan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap
badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan
itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalamperbuatan itu atau terhadap kedua- duanya
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Jawaban Soal No 2
Dari ilustrasi diatas dengan mergernya PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), PT Bank Mandiri
Syariah, dan PT Bank BNI Syariah bagaimana simpanan nasabah dari ketiga bank syariah
tersebut. Berikan analisis saudara? cantumkan aturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukumnya!
Jawab :
Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 1999 tentang merger, konsolidasi, dan akuisisi
(PP No. 28 Tahun 1999) menyebutkan bahwa merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya
tanpa melikuidasi terlebih dahulu, sedangkan pengertian merger menurut Undang-Undang Perseroan
Terbatas No. 40 Tahun 2007, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih
untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan
pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang
menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri
berakhir karena hukum.

Sebagaimana yang sudah diketahui, bank yang telah mengalami proses merger adalah Bank Syariah
Mandiri, Bank BNI Syariah, dan Bank BRI Syariah. Ketiganya tergabung menjadi satu bank, yaitu
Bank Syariah Indonesia (“BSI”). Dalam hal ini, Bank BRI Syariah yang menjadi bank survivor, bank
yang menjadi cangkang untuk penggabungan dari dua bank lainnya. Sepanjang pemahaman kami,
tujuan merger tersebut adalah untuk memberikan penguatan kinerja perbankan syariah nasional dan
ke depan, Indonesia berkeinginan untuk menjadi pusat ekonomi dan keuangan syariah dunia. Untuk
menuju ke arah tersebut, diperlukan keberadaan bank syariah yang memiliki skala aset yang besar.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Akibat Hukum bagi Nasabah


Mengenai akibat hukum bagi nasabah memang menjadi banyak pertanyaan para pihak sebab nasabah
adalah pihak yang paling rentan terhadap berbagai perubahan status bank. Namun, tindakan merger
tentu telah dilakukan melalui berbagai pertimbangan dan langkah-langkah pengamanan, termasuk
perlindungan konsumen.

Lebih lanjut, Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(“UUPT”) menyebutkan: Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau
Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha

Bagi pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
mengenai penggabungan (merger), berhak meminta agar sahamnya dibeli sesuai dengan harga wajar
saham. Meskipun demikian, pelaksanaan hak ini tidak menghentikan proses pelaksanaan
penggabungan (merger) tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan bunyi pasal di atas, memang pada
prinsipnya nasabah harus dilindungi. Walaupun masih sangat umum, namun perlindungan yang
diberikan dapat meliputi antara lain:
a. Perlindungan terhadap uang nasabah yang ada di dalam masing-masing bank;
b. Perlindungan agar nasabah tetap mendapatkan informasi yang jelas terkait berbagai tindakan yang
harus diambil;
c. Kemudahan akses maupun prosedur yang harus dijalani oleh nasabah, jika dibutuhkan
pengambilan langkah-langkah.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Jadi, sebagai nasabah dari bank-bank yang akan melakukan merger tidak perlu khawatir atas berbagai
kemungkinan yang merugikan karena pada prinsipnya sudah ditegaskan adanya perlindungan bagi
kepentingan nasabah. Sementara itu, langkah-langkah yang harus ditempuh nasabah termasuk arahan
yang bersifat teknis merupakan kebijakan dari bank-bank yang akan merger. Tentu saja, ada berbagai
perbedaan antara nasabah dari satu bank dengan bank lain yang terkait, mengingat ada bank yang jadi
survivor dan lainnya menjadi bank yang digabungkan.

Dasar hukum:
a. Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas
b. Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja
c. Peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang merger, konsolidasi, dan akuisisi bank

Jawaban Soal No 3
a. Dari kasus diatas berikan analisis saudara tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh
karyawan bank dan Bos BNI tersebut!
Jawab :
Pidana yang berkaitan dengan sikap dan atau tindakan yang dilakukan oleh pengurus, pegawai, pihak
terafilisiasi, dan pemegang saham bank sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan dana yang
dititipkan nasabah, sudah sepatutnya para pihak tersebut menjaga amanat yang dititipkan kepada
nasabah dengan penuh rasa tanggung jawab dan kehati-hatian. Untuk mencegah terjadinya
penyelewengan kepercayaan nasabah, para pihak tersebut dapat melakukannya dengan cara menaati
semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bukan malah melakukan tindakan sebaliknya.

Tindak pidana di bidang perbankan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-
Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.Tindak pidana di bidang
perbankan adalah tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crime against the bank).Tindak
Pidana di Bidang Perbankan dikonsepkan secara lebih luas dibandingkan dengan pengertian Tindak
Pidana Perbankan .
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Secara umum Tindak Pidana di Bidang Perbankan diartikan sebagai tindak pidana yang berkaitan
dengan perbankan, sedangkan Tindak Pidana Perbankan adalah tindak pidana sebagaimana diatur
dalam undang-undang perbankan. Dengan demikian cakupan Tindak Pidana di Bidang Perbankan
lebih luas dibandingkan dengan Tindak Pidana Perbankan. Tindak Pidana Perbankan hanya beruang-
lingkup pada undang-undang perbankan, sedangkan Tindak Pidana di Bidang Perbankan tidak hanya
beruang-lingkup pada undang-undang perbankan tetapi juga peraturan perundang-undangan lain yang
berkaitan dengan perbankan.

Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh orang dalam terdapat
beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya diterapkan yaitu. Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. Ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263 (pemalsuan) Pasal 372
(penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan), 378 (penipuan), 362 (pencurian), dll.

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3/1971, UU No. 31/99 jo UU no.
Tahun 2002. Ketentuan UU Korupsi biasanya diterapkan terhadap kasus yang menimpa bank
pemerintah UU ini dipergunakan untuk memudahkan menjerat pelaku, mengenakan hukuman yang
berat dan memperoleh uang pengganti atas kerugian negara. UU Perbankan. Ketentuan dalam undang-
undang ini biasanya diterapkan apabila Komisasris, Direksi, Pegawai dan pihak terafiliasi dengan bank
(“orang dalam”) atau orang yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelakunya.

b. Dari ilustrasi diatas dalam UU Perbankan terdapat ancaman pidana bagi pihak terafiliasi
yang menganut pemidanaan minimum dan maksimum! Berikan pendapat saudara
mengenai ketentuan tersebut!
Jawab
Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan ini kejahatan yang dilakukan oleh orang
dalam perlu mendapat perhatian khusus. Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan
yang dilakukan oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya
diterapkan yaitu :
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal
263 (pemalsuan) Pasal 372 (penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan), 378
(penipuan),362 (pencurian), dll
b. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.3/1971, UU No. 31/99 jo UU
no. Tahun 2002. Ketentuan UU Korupsi biasanya diterapkan terhadap kasus yang menimpa
bank pemerintah UU ini dipergunakan untuk memudahkan menjerat pelaku, mengenakan
hukuman yang berat dan memperoleh uang pengganti atas kerugian negara
c. Dalam Undang-Undang Perbankan ketentuan dalam undang-undang ini biasanya diterapkan
apabila Komisasris, Direksi, Pegawai dan pihak terafiliasi dengan bank (“orang dalam”) atau
orang yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelakunya

Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap
ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku
bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8
(delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Jawaban Soal No 4
Menurut pendapat saudara apakah UU TPPU mengenal pembuktian terbalik, dan mengapa
hakim menerapkan pembuktian terbalik pada kasus tersebut?
Jawab :
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau dikenal dengan istilah “money laundering”, merupakan
proses dengan mana aset-aset pelaku kejahatan, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak
pidana, dimanipulasi sedemikian rupa sehingga aset-aset tersebut seolah-olah berasal dari sumber
yang sah. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2003 sebagaimana telah dirubah dengan UU No.
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang dimaksud
dengan Pencucian Uang adalah, “perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan
atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah”. Dengan demikian perolehan sumber dana
yang dapat dikatakan ilegal dan dilarang oleh negara melalui peraturan perundang-undangan dapat
diubah seolah-olah menjadi legal. Pada dasarnya proses tindak pidana pencucian uang dilakukan
melalui beberapa tahapan, diantaranya seperti tahap penempatan (placement stage), yaitu upaya
menempatkan uang/dana dari hasil tindak pidana kedalam sistem keuangan seperti Bank, Kemudian
tahap penyebaran/transfer (layering stage), yaitu memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya
melalui beberapa tahap transaksi keuangan dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul dana. Hal ini biasa dilakukan dengan melakukan tansfer dana dari satu bank ke bank lain.
Dan terakhir tahap pengumpulan/menggunakan harta kekayaan (Integration stage), yaitu upaya
menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik dinikmati langsung maupun diinvestasikan
kedalam berbagai bentuk kekayaan.

Dibentuknya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, merupakan keseriusan Negara Indonesia untuk memberantas permasalahan tindak pidana
pencucian uang.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Sistem pembuktian terbalik yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan implementasi dari tujuan diberlakukannya
undang-undang tindak pidana pencucian uang. Salah satunya adalah pembuktian terbalik yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, khususnya dalam Pasal 77 dan Pasal 78. Pasal 77, menyatakan: “untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil dari tindak pidana”. Pasal 78 juga mempertegas kembali “dalam pemeriksaan disidang
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan
bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)”.

Pembuktian terbalik yang diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 78 mempunyai kekhususan tersendiri, yaitu
maksud pembuktian terbalik adalah beban pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Pada tindak
pidana pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal usul harta kekayaan yang bukan merupakan
hasil dari tindak pidana, misalnya bukan dari korupsi, narkotika serta perbuatan haram lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Ketentuan ini dikenal dengan asas pembuktian terbalik,
dimana sifatnya sangat terbatas, yaitu hanya berlaku pada sidang di pengadilan saja.

Prof. Andi hamzah, mengatakan Konsekuensi yuridis apabila terdakwa tidak dapat membuktikan
bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, tidak berarti perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti melakukan tindak pidana. Hal ini hanya berlaku untuk salah satu unsur
mengenai asal usul harta kekayaannya. Oleh karenannya pembuktian keseluruhan unsur tindak pidana
seperti menempatkan, mentransfer, membayarkan, atau membelanjakan, menghibahkan, menukarkan
atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan masih harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum.
Pembuktian terbalik yang dibebankan kepada tersangka atau terdakwa menimbulkan anggapan dan
persepsi atas penyimpangan asas praduga tak bersalah dan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM), dimana adanya proses perpindahan beban pembuktian dalam KUHAP yakni jaksa secara
umum memiliki kewajiban untuk membuktikan namun dibebankan kepada pelaku tindak pidana.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Penerapan pembalikan beban pembuktian pada UU No. 8 tahun 2010 bersifat keharusan bagi terdakwa
untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Meskipun
kejahatan pencucian uang ini lahir dari kejahatan asalnya, namun rezim anti pencucian uang
menempatkan pencucian uang sebagai salah satu kejahatan yang tidak bergantung kepada kejahatan
asalnya dalam hal akan dilakukan proses penyidikan.

Dengan demikian sistem pembuktian terbalik yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Terdakwa diwajibkan membuktikan
bahwa harta kekayaan yang terkait bukan merupakan hasil tindak pidana, namun jaksa tetap juga
diberikan beban untuk membuktikan unsur kesalahan terdakwa. Oleh sebab itu dalam sistem
pembalikan beban pembuktian juga menganut sistem pembuktian secara tidak murni (pembalikan
beban pembuktian terbatas dan berimbang) dan sistem pembuktian negatif dalam KUHAP.

Anda mungkin juga menyukai