TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik
dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan
minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena
sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan
air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian
polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini
yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air
dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase
air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam
dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai
alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus
hidroksil. (Jatmika, 1998)
Permintaas surfaktan di dunia internasional cukup besar. Pada tahun 2004,
permintaan surfaktan sebesar 11,82 juta ton per-tahun dan pertumbuhan permintaan
surfaktan rata-rata 3 persen per-tahun (Widodo, 2004). Penggunaan surfaktan sangat
bervariasi, seperti bahan deterjen, kosmetik, farmasi, makanan, tekstil, plastik dan lain-
lain. Beberapa produk pangan seperti margarin, es krim, dan lain-lain menggunakan
surfaktan sebagai satu bahannya. Syarat agar surfaktan dapat digunakan untuk produk
pangan yaitu bahwa surfaktan tersebut mempunyai nilai Hydrophyle Lypophyle Balance
(HLB) antara 2-16, tidak beracun, serta tidak menimbulkan iritasi. Penggunaan
surfaktan terbagi atas tiga golongan, yaitu sebagai bahan pembasah (wetting agent),
bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut (solubilizing agent).
Penggunaan surfaktan ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi dengan cara
menurunkan tegangan antarmuka, antara fasa minyak dan fasa air. Surfaktan
dipergunakan baik berbentuk emulsi minyak dalam air maupun berbentuk emulsi air
dalam minyak.
Emulsi didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari dua fasa cairan yang
tidak saling melarut, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula
cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase
terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula dinamakan fase
kontinu atau medium dispersi. Berdasarkan jenisnya emulsi dibedakan menjadi dua
yaitu:
1) Emulsi minyak dalam air (O/W), adalah emulsi dimana bahan
pengemulsinya mudah larut dalam air sehingga air dikatakan sebagai fase
eksternal.
2) Emulsi air dalam minyak (W/O), adalah emulsi dimana bahan
pengemulsinya mudah larut dalam minyak.
Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan
air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan
minyak. Di dalam molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya.
Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut
akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan
permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase
kontinu. Demikian pula sebaliknya, bila gugus non polarnya lebih dominan, maka
molekulmolekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh minyak
dibandingkan dengan air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah
sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu.
Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan
permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan
konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan
melebihi konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi
terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Tegangan
permukaan akan menurun hingga CMC tercapai. Setelah CMC tercapai, tegangan
permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa antar muka menjadi jenuh dan
terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dinamis dengan monomernya
(Genaro, 1990).
Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya dibagi menjadi empat golongan
yaitu:
1) Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
anion. Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat,
garam sulfonat asam lemak rantai panjang.
2) Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil
ammonium dan garam alkil dimethil benzil ammonium.
3) Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester
sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida,
mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.
4) Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan
positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino,
betain, fosfobetain.
Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi, seperti linier
alkilbensen sulfonat (LAS), alkil sulfonat (AS), alkil etoksilat (AE) dan alkil etoksilat
sulfat (AES). Surfaktan dari turunan minyak bumi dan gas alam ini dapat menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan, karena surfaktan ini setelah digunakan akan menjadi
limbah yang sukar terdegradasi. Disamping itu, minyak bumi yang digunakan
merupakan sumber bahan baku yang tidak dapat diperbaharui. Masalah inilah yang
menyebabkan banyak pihak mencari alternatif surfaktan yang mudah terdegradasi dan
berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui (Herawan, 1998; Warwel, dkk. 2001).
Penerapan bioteknologi pada sintesis surfaktan akhir-akhir ini mendapat
perhatian yang besar. Bioteknologi dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan jasad hidup
dan proses biologis/kimia dalam suatu proses metabolisme untuk menghasilkan produk
bernilai ekonomis lebih tinggi. Sejalan dengan definisi di atas serta didukung dengan
jumlah minyak nabati sebagai pemasok bahan baku biosurfaktan maka penerapan
bioteknologi pada sintesis biosurfaktan ini berpotensi besar untuk diaplikasikan.
Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti surfaktan sintetik, akan tetapi
biosurfaktan lebih rendah tingkat toksisitasnya, mudah terurai secara biologi, lebih
efektif pada suhu, pH dan kadar garam yang berlebihan, dan lebih mudah disintesis. Di
samping itu, sifat aktif permukaan yang dimilikinya berbeda dengan surfaktan yang
disintesis secara kimia.
Biosurfaktan mempunyai banyak struktur. Sebagian besar adalah lemak, yang
memiliki ciri struktur surfaktan amfifil. Bagian lipofil dari lemak hampir selalu gugus
hidrokarbon dari satu atau lebih asam lemak jenuh atau tak jenuh dan mengandung
struktur siklik atau gugus hidroksi. Sebagian besar biosurfaktan bermuatan netral atau
negatif. Pada biosurfaktan anionik, muatan itu disebabkan oleh karboksilat dan/atau
fosfat atau kelompok sulfat. Sejumlah kecil biosurfaktan kationik mengandung gugus
amina.
Biosurfaktan sebagian besar diproduksi oleh mikroorganisme seperti bakteri,
ragi (khamir) dan kapang secara biotransformasi sel. Beberapa mikroba dapat
menghasilkan surfaktan pada saat tumbuh pada berbagai substrat yang berbeda, mulai
dari karbohidrat sampai hidrokarbon. Perubahan substrat seringkali mengubah juga
struktur kimia dari produk sehingga akan mengubah sifat surfaktan yang dihasilkan.
Pengetahuan mengenai surfaktan akan sangat berguna dalam merancang produk dengan
sifat yang sesuai dengan aplikasi yang diinginkan. Beberapa mikroorganisme juga ada
yang menghasilkan enzim dan dapat digunakan sebagai katalis pada proses hidrolisis,
alkoholisis, kondensasi, asilasi atau esterifikasi. Proses ini digunakan dalam pembuatan
berbagai jenis produk surfaktan termasuk monogliserida, fosfolipida dan surfaktan asam
amino. (Herawan, 1998; Ee Lin Soo, dkk. 2003)
Biosurfaktan paling banyak digunakan pada produk-produk yang langsung
berhubungan dengan tubuh manusia seperti kosmetika, obat-obatan dan makanan, selain
itu ada juga yang digunakan pada pengolahan limbah untuk mengendalikan lingkungan
(Herawan, 1998). Pada saat ini penggunaan biosurfaktan pada industri pangan dan non
pangan (kimia) secara umum masih belum kompetitif karena masih tingginya biaya
produksi. Namun demikian, masalah lingkungan yang diakibatkan oleh surfaktan
sintetik memacu produksi dan aplikasi biosurfaktan untuk berkembang. Oleh sebab itu,
agar biosurfaktan dapat bersaing dengan surfaktan kimia, harus ditemukan proses
produksi yang lebih ekonomis. Kajian proses produksi biosurfaktan secara fermentasi
maupun biotransformasi untuk mengurangi biaya produksi harus dilakukan, seperti
upaya untuk mendapatkan perolehan (yield) yang tinggi, akumulasi produk serta
penggunaan bahan baku yang murah atau malah tidak bernilai jual. Salah satu strategi
untuk memproduksi biosurfaktan adalah dengan menggunakan bahan baku dari industri
pertanian dan hasil sampingnya termasuk limbah yang dihasilkannya.
O O O
OH OH OH
R N R N R N
H H CH3
OH
Monoetanolamida Monoisopropanolamida Dietanolamida
O
OH CH3
H 2N +
H 3C O
n
n H
etanolamida metanol
2.2.1 Dietanolamida
Dietanolamida pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol
dietanolamina dengan satu mol asam lemak. Senyawa ini diberi nama Kritchevsky
amida sesuai dengan nama penemunya. Bahan baku yang digunakan dalam produksi
dietanolamida dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamida
biasanya diproduksi secara kimia konvensional pada temperatur 150oC selama 6-12 jam
(Herawan, dkk. 1999). Dari hasil reaksi akan dihasilkan dietanolamida dan hasil
samping berupa sabun amina. Kehadiran sabun amina ini, tentu saja akan menaikkan pH
produk. Pada tahap pemurnian diperlukan pemisahan produk utama dengan sabun
amina.
Dietanolamida merupakan salah satu surfaktan alkanolamida yang paling
penting. Dietanolamida berfungsi sebagai bahan penstabil dan pengembang busa. Hal
ini disebabkan karena adanya kotoran berminyak seperti sebum menyebabkan stabilitas
busa sabun cair atau shampo akan berkurang secara drastis. Untuk mengatasi hal
tersebut, diperlukan penstabil busa yang berfungsi untuk menstabilkan dan mengubah
struktur busa agar diperoleh busa yang lebih banyak, pekat dengan buih yang sedikit.
Pada pembuatan sabun, dietanolamida digunakan agar sabun menjadi lembut.
Pemakaian dietanolamida pada formula shampo dapat mencegah terjadinya proses
penghilangan minyak yang berlebihan pada rambut (efek perlemakan berlebihan) dan
produk yang dihasilkan tidak menyebabkan rasa pedih di mata, sehingga cocok untuk
digunakan sebagai produk sabun dan shampo bagi bayi (Holmberg, 2001).
Sintesis dietanolamida menggunakan bahan baku dietanolamina dan asam laurat.
Dietanolamina adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol. Dialkohol
menunjukkan adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya. Sifat-sifat dietanolamina
adalah sebagai berikut (E Merck, 2008):
Rumus molekul : C4H11NO2
Berat Molekul : 105,1364 gr/mol
Densitas : 1,090 gr/cm3
Titik Lebur : 28oC (1 atm)
Titik Didih : 269 - 270oC (1 atm)
Kelarutan : H2O, alkohol dan eter
Sintesis alkanolamida dari dietanolamina akan menghasilkan alkanolamida yang
memiliki tingkat kepolaran yang lebih baik dibandingkan amida lainnya karena adanya
dua gugus hidroksil dalam molekul alkanolamida yang dihasilkan.
O
R C
OH
Di dalam air, ion asam lemak bergabung dengan ion-ion yang lain membentuk
kelompok yang disebut misel. Rantai nonpolar yang ada di dalam misel membantu
terjadinya dispersi zat yang tidak larut. Pembentukan misel ini sangat penting pada
fungsi biologi untuk transport lemak yang tidak larut dalam darah. Asam lemak yang
tidak mempunyai ikatan rangkap atom C dengan C adalah lurus, sedangkan asam lemak
yang mempunyai ikatan rangkap, maka bentuk ikatan atom C dengan C agak bengkok.
Asam lemak jenuh mempunyai titik lebur lebih tinggi daripada asam lemak tidak jenuh
(Seager dan Slabaugh, 1994). Sebagai contoh asam stearat (18 karbon) adalah asam
lemak jenuh dengan titik lebur 71oC, asam oleat (18 karbon dengan satu ikatan rangkap
cis) titik leburnya 13oC, dan asam linoleat (18 karbon dengan 2 ikatan rangkap)
mempunyai titik lebur -5oC.
Selain asam lemak yang tersebut di atas ada juga yang kita kenal dengan asam
lemak esensial. Asam lemak esensial adalah asam lemak yang ditandai dengan ikatan
rangkap atom C-7 terakhir (dan terutama pada atom C6 dan C7) di dalam asam lemak
ke arah gugus metil ujung. Asam linoleat merupakan salah satu contoh asam lemak
esensial, dimana asam lemak ini banyak dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan
prostaglandin dan trombosan. Prostaglandin adalah zat yang mempunyai hormon yang
antara lain berguna untuk mengatur tekanan darah.
Asam lemak ditemukan sebagai hasil hidrolisis lemak. Suatu lemak tertentu
biasanya mengandung campuran dari trigliserida yang berbeda panjang dan derajat
ketidakjenuhan asam-asam lemaknya. Disamping adanya komposisi asam lemak yang
spesifik untuk setiap sumber lemak dan minyak, juga terdapat perbedaan distribusi
posisi asam-asam lemak dalam molekul gliserol pada triasilgliserolnya. Untuk
menggambarkan distribusi asam lemak molekul triasilgliserolnya, setiap karbon dalam
molekul gliserol diberi nomor -1, -2 dan -3 atau α, β dan α’.
Posisi setiap asam lemak dalam molekul gliserol dinyatakan sesuai dengan
tempatnya. Karena gliserol mengandung dua gugus hidroksil primer, dua asam lemak
yang berbeda akan dapat diesterkan pada masing-masing posisi tersebut. Kemudian
pusat asimetri terbentuk dan trigliserida yang terbentuk dari digliserida ini akan
menunjukkan bentuk enantiomorpik. Posisi asam lemak dalam triasilgliserol dinyatakan
dengan penomoran spesifik yaitu sn-1, sn-2, sn3, dimana pusatnya adalah gugus
hidroksil sekunder yang selalu menunjukkan posisi 2, sedangkan atom karbon C-1 dan
C-3 berada pada posisi 1 dan 3. Huruf sn- ditempatkan sebelum nama senyawa, dan
untuk menggambarkan struktur ini digunakan formula proyek Fisher sebagai berikut:
R2COO CH Sn-1
Salah satu keuntungan utama dari pengembangan turunan asam lemak adalah
menggunakan sumber bahan baku yang terbarukan. Setiap turunan asam lemak yang
akan digunakan pada industri kosmetik harus aman dan memenuhi persyaratan berikut
yaitu tidak iritasi, stabil secara fisika, bebas dari kontaminasi mikrobial, stabil secara
kimia tanpa mudah terhidrolisis dan rendah toksisitas oralnya.(Johnson dan Fritz, 1989)
O
CH3
OH
OH n
H CH2OH
H
H
OH H
NH
H H
OH
O
H OH CH3 H CH2OH
H
OH H NH2 O
H n
CH3
H OH
Lebih lanjut Maugard, dkk. (1998) menambahkan bahwa jika digunakan imobil
lipase dari Rhizomucor Miehei (Lipozym) sebagai katalis pada sintesis asam oleat
dengan N-metil-glukamina, kemoselektivitas reaksi akan bervariasi bergantung pada
rasio asam/amina. Untuk rasio asam/amin 8 (asam berlebih), maka sebahagian besar
akan membentuk ester. Sebanyak 100% N-metil glukamina akan bertransformasi
menjadi 6-O-oleoiyl-N-metil-glukamina. Jika rasio adalah lebih kecil dari 1 (amina
berlebih), maka hanya akan terbentuk oleoil-N-metil glukamida. Hasil ini menunjukkan
bahwa pentingnya menjaga kondisi asam-basa terutama jika molekul subtrat
mengandung gugus ionik, karena kondisi asam-basa menentukan tempat ionik kedua
substrat dan katalis enzim, dan kemudian juga efisiensi dan kemoselektivitas dari
sintesis yang dilakukan.
Maugard, dkk. (1998) juga menyelidiki perubahan komposisi produk
disepanjang reaksi dan menemukan bahwa berkurangnya metil ester asam lemak sejalan
dengan terbentuknya amida dan ester di awal reaksi. Pada awal reaksi, baik amida
maupun ester telah terbentuk, dan setelah 3 jam ester yang terbentuk berubah menjadi
amida ester. Diakhir reaksi ester yang terbentuk menghilang dan bersamaan dengan itu
diperoleh produk baru sebesar 10% yang diidentifikasi sebagai amida ester, yang
kemungkinan terbentuk dari ester. Setelah 10 jam reaksi, 100% metil ester asam lemak
akan terkonversi secara sempurna dan yield amida mencapai 80%. Kondisi optimum
yang diperoleh untuk produksi amida adalah pada tekanan atmosfir, temperatur 90oC
menggunakan rasio Metil Ester Asam Lemak:N-metil-glukamina 1:1. Pada kondisi ini
campuran surfaktan yang diperoleh mengandung 80% (b:b) amida, 15% amida ester dan
5% N-metil-glukamina. Pada komposisi ini, untuk bahan baku industri, tidak diperlukan
pemisahan campuran dan dapat langsung digunakan untuk formulasi kosmetika.
Burczyk, dkk. (2001) mengamati sintesis dan sifat-sifat permukaan dari
surfaktan nonionik N-alkil-n-metil gluconamida dan n-alkil-n-metil laktobionamida.
Substrat yang digunakan adalah n-alkil-n-metil amin dengan d-D-glukolakton dan asam
laktobionik. Pada penelitian ini digunakan suhu 20 oC dan diamati sifat-sifat permukaan
seperti konsentrasi surfaktan berlebih, luas permukaan permolekul, efisiensi reduksi
tegangan permukaan dan konsentrasi misel kritikal. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa masuknya gugus metil ke dalam nitrogen amida akan meningkatkan kelarutan
surfaktan. Laktobionamida lebih mudah larut dibandingkan glukonamida. Dengan kata
lain permukaan surfaktan n-alkil-N-metil glukonamida lebih aktif dibandingkan n-alkil-
N-metil laktobionamida. Pengamatan ini didasarkan pada penentuan parameter adsorbsi
dan miselisasi. Adanya satu ikatan rangkap dari rantai hidrokarbon seperti pada oleoil
amida akan meningkatkan karakter hidrofiliknya dibandingkan dengan turunan C18
yang jenuh. Akan tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dari nilai Amin yang
diperoleh dari kedua surfaktan yang disintesis. Surfaktan n-alkil-N-metil glukonamida
yang disintesis mempunyai kemurnian 73 – 92%.
Maria dan Holmberg (2005) mengamati sintesis dan sifat-sifat permukaan dari
surfaktan yang mempunyai ikatan amida, ester dan karbonat. Kestabilan surfaktan
karbonat ini ditentukan dengan mengamati karakteristik hidrolisis dan
biodegradabelnya. Hidrolisis dilakukan dengan katalis alkali atau enzim dan diamati
menggunakan 1H NMR. Hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa kestabilan yang
lebih tinggi diperoleh oleh surfaktan karbonat dibadingkan surfaktan yang
mengandung ester sebagai ikatan yang lemah. Hasil uji biodegradasi menunjukkan
bahwa surfaktan ini akan terurai lebih dari 60% setelah 28 hari untuk karbonat
surfaktan. Sifat-sifat fisikomikia seperti konsentrasi misel kritikal, cloud point, luas
permukaan permolekul dan tegangan permukaan.ditentukan dan dibandingkan dengan
surfaktan yang mengandung ikatan ester, amida atau eter.
Pilakowska, dkk. (2004) mengamati sintesis N,N-di-n-alkilaldonamida dan sifat-
sifat permukaan dari surfaktan ini pada permukaan udara/air. Substrat yang digunakan
adalah d-D-glukonolakton dan a-D-glukoheptonik-g-lakton. Dasar dari penelitian ini
adalah karena akhir-akhir ini aspek ekologi menjadi sangat penting bagi lingkungan
manusia sehingga surfaktan yang biodegradabel dan sedikit efeknya terhadap
lingkungan banyak dikembangkan. Ada dua grup komponen yang cukup menjanjikan,
yang pertama komponen dengan asetal moiety yaitu turunan 1,3-dioksalan dan 1,3-
dioksan, sedangkan komponen kedua adalah turunan sakarida. Turunan sakarida banyak
diminati untuk diteliti karena jenisnya bervariasi dan dapat disintesis dengan biaya
rendah karena berasal dari tumbuhan yang murah dan terbarukan. Surfaktan berbasis
sugar ini banyak digunakan sebagai bagian dari kosmetik, bahan farmasi dan makanan,
juga industri tekstil. Karena strukturnya yang mirip dengan komponen dalam tubuh
manusia, surfaktan sakarida cukup menjanjikan untuk berfungsi dengan lebih baik pada
antar muka.
Beberapa kajian mengenai sistesis surfaktan berbasis sugar dapat diperoleh dari
literatur. Turunan sakarida yang digabungkan dengan gugus amida kebanyakan
diperoleh dari reaksi asam aldonik atau aldolakton dengan amin atau turunan amin.
Pada pengamatan Pilawoska, dkk. (2004) sintesis surfaktan berbasis sugar ini yang
dipilih adalah yang mempunyai dua rantai n-alkil yang simetrik sebagai gugus
hidrofobiknya. Surfaktan dengan dua residu rantai panjang alkil, yang dikenal dengan
nama glikolipid, dapat diaplikasikan sebagai sel atau unit membran .
Meskipun pelarut organik memberi beberapa manfaat pada sintesis enzimatik,
namun penggunaannya pada industri proses menjadi tidak diharapkan karena beberapa
sebab. Diantara sebab-sebab tersebut adalah pelarut organik adalah komponen yang
mudah menguap sehingga mengakibatkan pencemaran udara, serta penggunaannya
memerlukan tambahan biaya proses untuk menguapkan dan menggunakannya kembali.
Selain itu, penggunaan pelarut organik memerlukan reaktor dan peralatan pendukung
yang lebih banyak. Oleh sebab itu proses tanpa pelarut (solvent free process) merupakan
alternatif sintesis yang memberikan manfaat bagi lingkungan dan efisiensi proses
(Herawan, 2004).
Biaya enzim merupakan faktor yang penting dalam menentukan ekonomi proses.
Enzim dengan kestabilan tinggi serta kemungkinan recycle yang tinggi menjadi sangat
diharapkan. Penelitian tentang epoksidasi toluene menggunakan enzim mendapatkan
bahwa efisiensi enzim menjadi 75% setelah 15 siklus reaksi (Warwel, dkk. 2001). Akan
tetapi, jika enzim dioperasikan pada proses tanpa pelarut pada kondisi optimum, enzim
ditemukan kehilangan banyak aktivitasnya, sehingga membatasi jumlah recycle. Karena
itu pemilihan kondisi reaksi yang tepat merupakan hal yang sangat krusial dalam
penggunaan kembali Novozym 435. Pengetahuan yang mendalam terhadap faktor-
faktor yang menyebabkan enzim terdeaktivasi sangat diperlukan dalam menyiapkan
lipase dengan stabilitas yang ditingkatkan untuk desain proses yang optimal.
Kondisi yang lunak, meminimalkan keperluan untuk memproteksi gugus-gugus,
penguncian produk samping, regio dan enantio selektif yang tinggi, dan biaya sintesis
yang rendah menjadikan sintesis amida secara enzimatik lebih disukai dibandingkan
reaksi kimiawi. Selain dari lipase, protease seperti termolisin dan subti-lisin ada juga
digunakan pada produksi amida skala besar, akan tetapi diketahui enzim tersebut
spesifik untuk asam amino tertentu dan cukup sensitif untuk di inaktifkan oleh pelarut
organik. Diantara asam hidrolase, lipase merupakan katalis yang menjanjikan untuk
sintesis peptida, polimer dan surfaktan baru dengan biaya rendah, karena lipase telah
dibuktikan, dapat mengkatalisa pembentukan ikatan amida dalam pelarut organik.
Dalam pembentukan ikatan amida terdapat dua cara yang dipertimbangkan dapat
meningkatkan yield amida:
1) Kontrol termodinamika. Pada pendekatan termodinamika, kesetimbangan
diarahkan kepada sintesisnya, kecuali hidrolisisnya dan ini dicapai dengan
menvariasikan kondisi reaksi. Sebagai contoh, peningkatan konsentrasi dari
material awal atau pengendapan dari produk, menunjukkan reaksi amidasi,
dengan menggantikan molekul air dengan pelarut organik.
2) Kontrol kinetika. Pada pendekatan kinetika yang mengontrol reaksi,
material awal adalah mengaktifkan komponen karboksil seperti ester. Ester
diaktifkan oleh enzim melalu intermediet asil-enzim, dimana kemudian
dapat diserang oleh amina atau molekul air. Karena sistesis yang dikontrol
secara kinetika memerlukan intermediet asil-enzim, hanya serine atau thiol
hidrolase, seperti lipase, subtilisin dan papain yang dapat digunakan. Metalo
protease seperti termolisin hanya sesuai untuk reaksi yang dikontrol secara
termodinamika (Maria dan Holmberg, 2005).
2.6 Lipase
Lipase (triasil-gliserol ester hidrolese, EC 3.1.1.3) merupakan bagian dari enzim
hidrolisa yang dapat menyerang ikatan karboksilat, misalnya menghidrolisa trigliserida
menjadi digliserida, monogliserida, asam lemak dan gliserol (Villeneuve, dkk. 2000;
Hasan, dkk. 2005). Hal ini menyebabkan lipase dapat menjadi pilihan sebagai katalis
pada industri makanan, deterjen, farmasi dan kosmetik.
Pada tahun 1856, Claude Bernard pertama kali menemukan lipase dalam ekstrak
pankreas sebagai enzim yang dapat menghidrolisa minyak dan mengubahnya ke produk
lain yang memiliki kemampuan melarut. Dahulu enzim lipase diperoleh melalui cara
tradisional, yaitu dari pankreas hewan dan digunakan sebagai obat saluran pencernaan.
Ketertarikan terhadap lipase mikrobial diawali dengan kekurangan pankreas dan
sulitnya menemukan material dengan karakteristik yang sama. Enzim dikenal sebagai
katalis alam, dimana saat ini sebagian besar enzim diperoleh melalui proses fermentasi
bahan-bahan alami.
Pemanfaatan mikroorganisme telah lama digunakan untuk memproduksi
emulsifier dan biosurfaktan, untuk membantu kelarutan dalam lemak (Hasan, dkk.
2005). Ratusan enzim telah diketahui spesifisitasnya terhadap substrat yang berbeda,
tetapi hanya beberapa yang diisolasi dalam bentuk murni dan dikristalkan, serta hanya
sedikit yang diketahui strukturnya. Keunggulan penggunaan protein dalam bioteknologi,
menjadikan industri enzim menjadi penting. Misalnya protease dan lipase digunakan
dalam industri deterjen, amilase dan glukosa isomerisasi digunakan dalam industri pati
atau dalam sintesa senyawa organik lainnya. Hal ini mendorong dilakukannya
klasifikasi enzim yang rasional dan juga nomenklatur.
Lipase mampu mengkatalisis sintesis ikatan amida maupun ester. Beberapa jenis
lipase yang digunakan pada reaksi amidasi antara lain :
1) Fungal lipase
a) Rhizomucor miehei lipase (SP524) yang diimobilisasi dengan resin anionik
Duolite A568.
b) Rhizopus niveus lipase (Newlase F)
c) Humicola lanuginosa lipase (SP523)
2) Yeast lipase
a) Candida antarctica lipase B (SP525)
b) Candida antarctica lipase yang diadsorbsi pada Lewatit E (Novozym 435)
c) Candida antarctica lipase A (SP526)
3) Bakterial lipase
a) Pseudomonas cepacia lipase (PS)
b) Pseudomonas fluorescens lipase (AK)
4) Mamalia lipase
a) Porcine pancreatic lipase (PPL)
Soledad, dkk. (2000) mengamati kemamputan katalitik dari beberapa jenis lipase
komersial yaitu fungal lipase, yeast lipase, bacterial lipase dan mamalian lipase untuk
reaksi amidasi vinil karbonat dengan fenil-etil amin dan menemukan bahwa yield lebih
dari 70 % diperoleh jika menggunakan Rhizomucor miehei lipase, SP524 (80%) dan
lipase B dari Candida antarctica, Novozym 435 (79%). Pada tahun 1961,
International Union of Biochemistry menetapkan kiasifikasi enzim menjadi enam kelas
dasar (Manitto, 1981) yaitu:
1) Oksidoreduktase. Enzim-enzim yang termasuk dalam golongan ini dapat dibagi
dalam dua bagian yaitu dehidrogenasi dan oksidase. Dehidrogenasi bekerja pada
reaksi-reaksi dehidrogenase, yaitu reaksi pengambilan atom hidrogen dan suatu
senyawa (donor). Hidrogen yang dilepas akan diterima oleh senyawa lain
(akseptor). Oksidase juga bekerja sebagai katalis pada reaksi pengambilan
hidrogen dan suatu substrat. Dalam hal ini yang bertindak sebagai akseptor
hidrogen adalah oksigen.
2) Transferase. Enzim yang termasuk golongan ini bekerja sebagai katalis pada
reaksi pemindahan suatu gugus dari suatu senyawa kepada senyawa lain.
Beberapa contoh enzim yang termasuk golongan ini adalah metiltransferase,
hidroksimetil transferase, karboksiltransferase, asiltransferase dan
aminotransferase atau disebut juga transaminase. Enzim transaminase bekerja
pada reaksi transaminasi yaitu suatu reaksi pemindahan gugus amino.
3) Hidrolase. Enzim yang termasuk dalam kelompok ini bekerja sebagai katalis
pada reaksi hidrolisis. Ada tiga jenis hidrolase, yaitu yang memecah ikatan ester,
memecah glikosida dan yang memecah ikatan peptida. Beberapa enzim sebagai
contoh ialah esterase, lipase, fosfatase, amilase, amino peptidase, karboksi
peptidase, pepsin, tripsin, kimotripsin. Lipase adalah enzim yang memecah
ikatan ester pada lemak, sehingga terjadi asam lemak dan gliserol. Lipase dapat
mengkatalisasi reaksi hidrolisa dari trigliserida rantai panjang. Sejak
berkembangnya bioteknologi, lipase mendapatkan perhatian yang besar. Lipase
merupakan kelas biokatalis yang penting dalam aplikasi bioteknologi.
5) Isomerase. Enzim yang termasuk golongan ini bekerja pada reaksi perubahan
intramolekuler, misalnya reaksi perubahan glukosa menjadi fruktosa, perubahan
senyawa L menjadi senyawa D, senyawa cis menjadi senyawa trans. Contoh
enzim yang termasuk golongan isomerase antara lain ialah ribulofosfat
epimerase dan glukosafosfat isomerase.
... ... CN , x N , υ
1 2 i N
V1, τ1 V2, τ2 Vi, τi VN, τN
Gambar 2.5 Gambar Reaktor CSTR Seri (Sumber: Mohd Sobri Takrif, dkk. 1998)
Dari gambar di atas yaitu CSTR yang disusun seri, membutuhkan tempat yang
cukup banyak dan untuk pembuatannya membutuhkan biaya yang besar, oleh karena
itu dirancanglah suatu reaktor CSTR bertingkat yang terdiri dari satu kolom dan satu
poros pengaduk namun terdiri dari beberapa tahap.
Reaktor MSAC mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan reaktor
berpengaduk yang disusun seri. Sejumlah kelebihan reaktor MSAC adalah:
1) Reaktor MSAC mempunyai harga yang lebih murah per-unit volume yang
diproses. Impeler yang terhubung pada satu proses mengakibatkan
kebutuhan poros, motor penggerak dan perlengkapan lainnya dapat
dikurangi.
2) Pipa-pipa yang diperlukan dapat dikurangi karena tahap di dalam reaktor
MSAC saling bersambung.
3) Reaktor MSAC memerlukan ruang yang lebih kecil dibandingkan kedua
jenis reaktor lainnya.
4) Reaktor MSAC dapat digunakan untuk mengalirkan sistem, baik secara
searah maupun lawan arah. Kelebihan ini tidak dijumpai pada tangki
berpengaduk yang disusun seri maupun pada kompartemen berpengaduk
horizontal jika kedua unit tersebut tidak menggunakan pompa atau pun
kompresor diantara setiap tangki/kompartemen. (Xu, 1994, Balcao, dkk.
1996)
Berdasarkan nilai bilangan Reynolds agitasi, jenis aliran dalam tangki dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
Harga HLB dapat juga ditentukan dari harga konsentrasi misel kritikal (CMC).
Harga CMC diperoleh dengan menggunakan alat tensiometer. Kemudian dengan
menggunakan rumus berikut akan diperoleh harga HLB (Brahmana, dkk. 1998):
Co
HLB = 7 − 0,36 ln( ) (2.3)
Cw
dimana Cw = Harga CMC; dan Co = 100 – Cw
Penentuan harga HLB dapat juga diperoleh berdasarkan harga bilangan
penyabunan dan bilangan asam, yakni dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
⎛ S⎞
HLB = 20⎜1 − ⎟ (2.4)
⎝ A⎠
dimana S = Bilangan Penyabunan dan A = Bilangan Asam
dimana:
X1 : nilai dimensi dari variabel bebas
Xi : nilai aktual dari variabel bebas
Xi : rata-rata nilai nyata variabel bebas pada taraf rendah (low) dan tinggi
(high)
ΔX j : selisih antar rentang
Y =β1+ β2 X1 +β3 X2 +β4 X3 +β5 X1 X2+ β6 X2 X3 +β7 X1 X3 +β8 X12 +β9 X22 +β10 X32 +
ε (2.6)
dimana:
Y = variabel respon yang diukur yaitu % konversi asam laurat atau persen
yield alkanolamida
β1 - β10 = konstanta linier, kuadratik dan hasil regresi koefisien diagonal.
ε = error term