Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik
dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan
minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena
sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan
air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian
polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini
yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air
dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase
air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam
dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai
alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus
hidroksil. (Jatmika, 1998)
Permintaas surfaktan di dunia internasional cukup besar. Pada tahun 2004,
permintaan surfaktan sebesar 11,82 juta ton per-tahun dan pertumbuhan permintaan
surfaktan rata-rata 3 persen per-tahun (Widodo, 2004). Penggunaan surfaktan sangat
bervariasi, seperti bahan deterjen, kosmetik, farmasi, makanan, tekstil, plastik dan lain-
lain. Beberapa produk pangan seperti margarin, es krim, dan lain-lain menggunakan
surfaktan sebagai satu bahannya. Syarat agar surfaktan dapat digunakan untuk produk
pangan yaitu bahwa surfaktan tersebut mempunyai nilai Hydrophyle Lypophyle Balance
(HLB) antara 2-16, tidak beracun, serta tidak menimbulkan iritasi. Penggunaan
surfaktan terbagi atas tiga golongan, yaitu sebagai bahan pembasah (wetting agent),
bahan pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut (solubilizing agent).
Penggunaan surfaktan ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi dengan cara
menurunkan tegangan antarmuka, antara fasa minyak dan fasa air. Surfaktan
dipergunakan baik berbentuk emulsi minyak dalam air maupun berbentuk emulsi air
dalam minyak.
Emulsi didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari dua fasa cairan yang
tidak saling melarut, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula
cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase
terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula dinamakan fase
kontinu atau medium dispersi. Berdasarkan jenisnya emulsi dibedakan menjadi dua
yaitu:
1) Emulsi minyak dalam air (O/W), adalah emulsi dimana bahan
pengemulsinya mudah larut dalam air sehingga air dikatakan sebagai fase
eksternal.
2) Emulsi air dalam minyak (W/O), adalah emulsi dimana bahan
pengemulsinya mudah larut dalam minyak.

Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan
air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan
minyak. Di dalam molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya.
Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut
akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan
permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase
kontinu. Demikian pula sebaliknya, bila gugus non polarnya lebih dominan, maka
molekulmolekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh minyak
dibandingkan dengan air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah
sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu.
Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan
permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan
konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan
melebihi konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi
terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Tegangan
permukaan akan menurun hingga CMC tercapai. Setelah CMC tercapai, tegangan
permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa antar muka menjadi jenuh dan
terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dinamis dengan monomernya
(Genaro, 1990).
Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya dibagi menjadi empat golongan
yaitu:
1) Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
anion. Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat,
garam sulfonat asam lemak rantai panjang.
2) Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil
ammonium dan garam alkil dimethil benzil ammonium.
3) Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester
sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida,
mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.
4) Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan
positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino,
betain, fosfobetain.

Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi, seperti linier
alkilbensen sulfonat (LAS), alkil sulfonat (AS), alkil etoksilat (AE) dan alkil etoksilat
sulfat (AES). Surfaktan dari turunan minyak bumi dan gas alam ini dapat menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan, karena surfaktan ini setelah digunakan akan menjadi
limbah yang sukar terdegradasi. Disamping itu, minyak bumi yang digunakan
merupakan sumber bahan baku yang tidak dapat diperbaharui. Masalah inilah yang
menyebabkan banyak pihak mencari alternatif surfaktan yang mudah terdegradasi dan
berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui (Herawan, 1998; Warwel, dkk. 2001).
Penerapan bioteknologi pada sintesis surfaktan akhir-akhir ini mendapat
perhatian yang besar. Bioteknologi dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan jasad hidup
dan proses biologis/kimia dalam suatu proses metabolisme untuk menghasilkan produk
bernilai ekonomis lebih tinggi. Sejalan dengan definisi di atas serta didukung dengan
jumlah minyak nabati sebagai pemasok bahan baku biosurfaktan maka penerapan
bioteknologi pada sintesis biosurfaktan ini berpotensi besar untuk diaplikasikan.
Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti surfaktan sintetik, akan tetapi
biosurfaktan lebih rendah tingkat toksisitasnya, mudah terurai secara biologi, lebih
efektif pada suhu, pH dan kadar garam yang berlebihan, dan lebih mudah disintesis. Di
samping itu, sifat aktif permukaan yang dimilikinya berbeda dengan surfaktan yang
disintesis secara kimia.
Biosurfaktan mempunyai banyak struktur. Sebagian besar adalah lemak, yang
memiliki ciri struktur surfaktan amfifil. Bagian lipofil dari lemak hampir selalu gugus
hidrokarbon dari satu atau lebih asam lemak jenuh atau tak jenuh dan mengandung
struktur siklik atau gugus hidroksi. Sebagian besar biosurfaktan bermuatan netral atau
negatif. Pada biosurfaktan anionik, muatan itu disebabkan oleh karboksilat dan/atau
fosfat atau kelompok sulfat. Sejumlah kecil biosurfaktan kationik mengandung gugus
amina.
Biosurfaktan sebagian besar diproduksi oleh mikroorganisme seperti bakteri,
ragi (khamir) dan kapang secara biotransformasi sel. Beberapa mikroba dapat
menghasilkan surfaktan pada saat tumbuh pada berbagai substrat yang berbeda, mulai
dari karbohidrat sampai hidrokarbon. Perubahan substrat seringkali mengubah juga
struktur kimia dari produk sehingga akan mengubah sifat surfaktan yang dihasilkan.
Pengetahuan mengenai surfaktan akan sangat berguna dalam merancang produk dengan
sifat yang sesuai dengan aplikasi yang diinginkan. Beberapa mikroorganisme juga ada
yang menghasilkan enzim dan dapat digunakan sebagai katalis pada proses hidrolisis,
alkoholisis, kondensasi, asilasi atau esterifikasi. Proses ini digunakan dalam pembuatan
berbagai jenis produk surfaktan termasuk monogliserida, fosfolipida dan surfaktan asam
amino. (Herawan, 1998; Ee Lin Soo, dkk. 2003)
Biosurfaktan paling banyak digunakan pada produk-produk yang langsung
berhubungan dengan tubuh manusia seperti kosmetika, obat-obatan dan makanan, selain
itu ada juga yang digunakan pada pengolahan limbah untuk mengendalikan lingkungan
(Herawan, 1998). Pada saat ini penggunaan biosurfaktan pada industri pangan dan non
pangan (kimia) secara umum masih belum kompetitif karena masih tingginya biaya
produksi. Namun demikian, masalah lingkungan yang diakibatkan oleh surfaktan
sintetik memacu produksi dan aplikasi biosurfaktan untuk berkembang. Oleh sebab itu,
agar biosurfaktan dapat bersaing dengan surfaktan kimia, harus ditemukan proses
produksi yang lebih ekonomis. Kajian proses produksi biosurfaktan secara fermentasi
maupun biotransformasi untuk mengurangi biaya produksi harus dilakukan, seperti
upaya untuk mendapatkan perolehan (yield) yang tinggi, akumulasi produk serta
penggunaan bahan baku yang murah atau malah tidak bernilai jual. Salah satu strategi
untuk memproduksi biosurfaktan adalah dengan menggunakan bahan baku dari industri
pertanian dan hasil sampingnya termasuk limbah yang dihasilkannya.

2.2 Surfaktan Alkanolamida


Amida adalah turunan asam karboksilat yang paling tidak reaktif, karena itu
golongan senyawa ini banyak terdapat di alam. Amida yang terpenting adalah protein.
Amida dapat bereaksi dengan asam dan reaksi ini tidak membentuk garam karena
amida merupakan basa yang sangat lemah. Selain itu senyawa amida merupakan
nukleofilik yang lemah dan bereaksi sangat lambat dengan alkil halida. Amida asam
lemak pada industri oleokimia dapat dibuat dengan mereaksikan amina dengan
trigliserida, asam lemak atau metil ester asam lemak. Senyawa amina yang digunakan
dalam reaksi amidasi sangat bervariasi seperti etanolamina dan dietanolamina, yang
dibuat dengan mereaksikan amonia dengan etilen oksida.
Alkanolamina seperti etanolamina, jika direaksikan dengan asam lemak akan
membentuk suatu alkanolamida dan melepaskan air. Alkanolamida merupakan
kelompok surfaktan nonionik yang berkembang dengan pesat. Beberapa contoh
surfaktan alkanolamida ditunjukkan pada Gambar 2.1.

O O O
OH OH OH
R N R N R N

H H CH3
OH
Monoetanolamida Monoisopropanolamida Dietanolamida

Gambar 2.1 Beberapa Jenis Surfaktan Alkanolamida

Surfaktan alkanolamida tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi daripada


molekul. Keberadaan gugus metil amida didalam alkanolamida bermanfaat untuk
meningkatkan kelarutan surfaktan (Burczyk, dkk. 2001). Disamping itu alkanolamida
dapat digunakan pada rentang pH yang luas, biodegradabel, lembut dan bersifat non-
iritasi, baik untuk kulit maupun mata. Surfaktan ini juga menghasilkan reduksi tegangan
permukaan yang besar, toksisitas yang rendah dan pembusaan yang bagus serta stabil.
Surfaktan alkanolamida juga sangat kompatibel dengan ketiga jenis surfaktan lainnya
yaitu surfaktan anionik, kationik dan amfoterik. Sebagaimana surfaktan nonionik
lainnya, alkanolamida menunjukkan performa yang baik seperti kelarutan yang tinggi,
stabil terhadap berbagai enzim dan media yang alkali. Karena sifat-sifatnya tersebut
maka surfaktan ini dapat digunakan sebagai bahan pangan, obat-obatan, kosmetika dan
aplikasi industri serta dapat digunakan pada rentang penggunaan surfaktan anionik.
Produk-produk yang menggunakan surfaktan alkanolamida diantaranya shampo non
iritasi, sabun mandi cair, produk perawatan rambut, losion, cream, produk pembersih
serta produk kosmetika, produk farmasi, biokimia dan biomedikal.
Pilawoska, dkk. (2004) menyebutkan bahwa alkanolamida asam lemak dapat
diproduksi dengan dua cara, yaitu pada Gambar 2.2 sintesis alkanolamida dari asam
laurat atau Gambar 2.3 sintesis alkanolamida dari ester asam. Pada reaksi pertama
sebagai produk samping akan dihasilkan air, sedangkan pada reaksi kedua dihasilkan
alkohol.
O O
OH
CH3
H 3C OH
H2N + OH N
+ H2O
10
n H
etanol amina asam lemak etanolamida air

Gambar 2.2 Sintesis Alkanolamida dari Asam Lemak

O
OH CH3
H 2N +
H 3C O
n

Etanol amina metil ester asam lemak


O
H 3C OH
+ CH3 OH
N

n H
etanolamida metanol

Gambar 2.3 Sintesis Alkanolamida dari Ester Asam Lemak

Menurut Holmberg (2001) monoetanolamida dan dietanolamida digunakan


secara luas sebagai surfaktan, penstabil dan pengembang busa. Meskipun
monoetanolamida bersifat lebih efektif baik sebagai penstabil busa, pengental dan
boster busa, namun karena berbentuk padatan berlilin menyebabkan sulit untuk
diinkorporasikan karena titik cairnya yang tinggi. Ditambahkan bahwa diperlukan
temperatur reaksi yang tinggi untuk menginkorporasikan monoetanolamida ke dalam
campuran produk kosmetika. Sebaliknya, dietanolamida selain mampu menstabilkan
busa juga dapat meningkatkan tekstur kasar busa dan dapat mencegah terjadinya proses
penghilangan minyak yang berlebihan pada kulit dan rambut. Wujudnya yang cair
menyebabkan dietanolamida lebih mudah ditangani dan diinkorporasikan ke dalam
suatu produk kosmetika yang berbentuk cairan. Pemanfaatan turunan senyawa nitrogen
ini dapat ditemukan pada pembuatan deterjen, foam-fire extinguisher, agen emulsifier,
dan kosmetika.
Jenis surfaktan yang biasanya digunakan pada produk-produk kosmetika dan
pangan adalah lemak/asam lemak yang berasal dari minyak kelapa, dan saat ini
seluruhnya diimpor dari negara lain. Surfaktan alkanolamida yang berasal dari minyak
kelapa contohnya coconut dietanolamida. Coconut dietanolamida dimanfaatkan sebagai
penstabil busa, bahan pendispersi, dan viscosity builder pada produk-produk toiletries
dan pembersih seperti shampo, emulsifier, bubble bath, detergen bubuk dan cair,
stabilizer skin conditioner dan sebagainya.

2.2.1 Dietanolamida
Dietanolamida pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol
dietanolamina dengan satu mol asam lemak. Senyawa ini diberi nama Kritchevsky
amida sesuai dengan nama penemunya. Bahan baku yang digunakan dalam produksi
dietanolamida dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamida
biasanya diproduksi secara kimia konvensional pada temperatur 150oC selama 6-12 jam
(Herawan, dkk. 1999). Dari hasil reaksi akan dihasilkan dietanolamida dan hasil
samping berupa sabun amina. Kehadiran sabun amina ini, tentu saja akan menaikkan pH
produk. Pada tahap pemurnian diperlukan pemisahan produk utama dengan sabun
amina.
Dietanolamida merupakan salah satu surfaktan alkanolamida yang paling
penting. Dietanolamida berfungsi sebagai bahan penstabil dan pengembang busa. Hal
ini disebabkan karena adanya kotoran berminyak seperti sebum menyebabkan stabilitas
busa sabun cair atau shampo akan berkurang secara drastis. Untuk mengatasi hal
tersebut, diperlukan penstabil busa yang berfungsi untuk menstabilkan dan mengubah
struktur busa agar diperoleh busa yang lebih banyak, pekat dengan buih yang sedikit.
Pada pembuatan sabun, dietanolamida digunakan agar sabun menjadi lembut.
Pemakaian dietanolamida pada formula shampo dapat mencegah terjadinya proses
penghilangan minyak yang berlebihan pada rambut (efek perlemakan berlebihan) dan
produk yang dihasilkan tidak menyebabkan rasa pedih di mata, sehingga cocok untuk
digunakan sebagai produk sabun dan shampo bagi bayi (Holmberg, 2001).
Sintesis dietanolamida menggunakan bahan baku dietanolamina dan asam laurat.
Dietanolamina adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol. Dialkohol
menunjukkan adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya. Sifat-sifat dietanolamina
adalah sebagai berikut (E Merck, 2008):
Rumus molekul : C4H11NO2
Berat Molekul : 105,1364 gr/mol
Densitas : 1,090 gr/cm3
Titik Lebur : 28oC (1 atm)
Titik Didih : 269 - 270oC (1 atm)
Kelarutan : H2O, alkohol dan eter
Sintesis alkanolamida dari dietanolamina akan menghasilkan alkanolamida yang
memiliki tingkat kepolaran yang lebih baik dibandingkan amida lainnya karena adanya
dua gugus hidroksil dalam molekul alkanolamida yang dihasilkan.

2.2.2 N-metil glukamida


N-metil glukamida diperoleh dari reaksi antara asam lemak, metil ester asam
lemak atau trigliserida dengan N-metil glukamina. N-metil glukamida banyak
digunakan sebagai produk farmasi dan biokimia lainnya. N-metil-glukamida termasuk
pada kelompok alkyl-glukamida surfaktan dimana kelompok surfaktan ini diproduksi
dalam jumlah besar sebagai bahan pembersih, contohnya adalah N-dodekanoil-N-metil
glukamida (Holmberg, 2001).
Penelitian ini menggunakan asam laurat sebagai sumber asam lemak. Kedua
substrat yaitu asam laurat dan n-metil glukamina mempunyai polaritas dan kelarutan
yang berbeda, asam laurat larut dalam pelarut hidrofilik sedangkan N-metil glukamina
sedikit larut. Sebagai pelarut pada reaksi amidasi ini dipilih isopropanol, tert butanol,
tert-amil alkohol dan n-heksana karena alkohol ini dapat melarutkan N-metil
glukamina, merupakan pelarut yang non toksik serta bukan merupakan substrat lipase.
Katalis lipase yang immobil dari Candida antarctica dan Rhizomucor meihei dapat
digunakan karena enzim immobilisasi ini mudah diperoleh, stabil dalam pelarut serta
mudah direcovery (Maugard, dkk. 1998).
Sintesis N-metil glukamida menggunakan bahan baku N-metil glukamina dari
golongan gula amina. Senyawa-senyawa gula amina memegang peran penting dalam
pembentukan dan perbaikan tulang rawan. Mekanisme kerja senyawa-senyawa gula
amina adalah dengan menghambat sintetis glikosaminoglikan dan mencegah destruksi
tulang rawan. Gula amina dapat merangsang sel-sel tulang rawan untuk pembentukan
proteoglikan dan kolagen yang merupakan protein esensial untuk memperbaiki fungsi
persendian. Gula amina dapat diperoleh dari reaksi glukosa, laktosa atau gula lainnya
dengan amonia atau alkil amina. N-metil glukamina merupakan salah satu senyawa gula
amina yang penting. N-metil glukamina diperoleh dari reaksi glukosa dengan mono-
metil amina. Sifat-sifat N-metil glukamina adalah sebagai berikut (E Merck, 2008):
Rumus Molekul : C7H17NO5
Rumus Kimia : CH3NHCH2(CHOH)4CH2OH
Berat Molekul : 195,22 gr/mol
Densitas : 1,090 gr/cm3
Titik Lebur : 128 - 131oC (1 atm)
Titik Didih : 210oC (1 atm)
Kelarutan : H2O, alkohol dan eter
2.3 Asam Lemak
Asam lemak adalah asam karboksilat yang gugus alkilnya adalah rantai
hidrokarbon, yang mempunyai atom C panjang dan tidak bercabang. Asam lemak
merupakan komponen dari molekul lemak dimana asam lemak tersebut mempunyai
jumlah atom C genap termasuk atom C pada karboksil mulai dari atom C4. Secara
umum struktur asam karboksilat dapat digambarkan sebagai berikut:

O
R C
OH

R = CnH2n+1 = bersifat nonpolar


COOH = bersifat polar

Di dalam air, ion asam lemak bergabung dengan ion-ion yang lain membentuk
kelompok yang disebut misel. Rantai nonpolar yang ada di dalam misel membantu
terjadinya dispersi zat yang tidak larut. Pembentukan misel ini sangat penting pada
fungsi biologi untuk transport lemak yang tidak larut dalam darah. Asam lemak yang
tidak mempunyai ikatan rangkap atom C dengan C adalah lurus, sedangkan asam lemak
yang mempunyai ikatan rangkap, maka bentuk ikatan atom C dengan C agak bengkok.
Asam lemak jenuh mempunyai titik lebur lebih tinggi daripada asam lemak tidak jenuh
(Seager dan Slabaugh, 1994). Sebagai contoh asam stearat (18 karbon) adalah asam
lemak jenuh dengan titik lebur 71oC, asam oleat (18 karbon dengan satu ikatan rangkap
cis) titik leburnya 13oC, dan asam linoleat (18 karbon dengan 2 ikatan rangkap)
mempunyai titik lebur -5oC.
Selain asam lemak yang tersebut di atas ada juga yang kita kenal dengan asam
lemak esensial. Asam lemak esensial adalah asam lemak yang ditandai dengan ikatan
rangkap atom C-7 terakhir (dan terutama pada atom C6 dan C7) di dalam asam lemak
ke arah gugus metil ujung. Asam linoleat merupakan salah satu contoh asam lemak
esensial, dimana asam lemak ini banyak dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan
prostaglandin dan trombosan. Prostaglandin adalah zat yang mempunyai hormon yang
antara lain berguna untuk mengatur tekanan darah.
Asam lemak ditemukan sebagai hasil hidrolisis lemak. Suatu lemak tertentu
biasanya mengandung campuran dari trigliserida yang berbeda panjang dan derajat
ketidakjenuhan asam-asam lemaknya. Disamping adanya komposisi asam lemak yang
spesifik untuk setiap sumber lemak dan minyak, juga terdapat perbedaan distribusi
posisi asam-asam lemak dalam molekul gliserol pada triasilgliserolnya. Untuk
menggambarkan distribusi asam lemak molekul triasilgliserolnya, setiap karbon dalam
molekul gliserol diberi nomor -1, -2 dan -3 atau α, β dan α’.
Posisi setiap asam lemak dalam molekul gliserol dinyatakan sesuai dengan
tempatnya. Karena gliserol mengandung dua gugus hidroksil primer, dua asam lemak
yang berbeda akan dapat diesterkan pada masing-masing posisi tersebut. Kemudian
pusat asimetri terbentuk dan trigliserida yang terbentuk dari digliserida ini akan
menunjukkan bentuk enantiomorpik. Posisi asam lemak dalam triasilgliserol dinyatakan
dengan penomoran spesifik yaitu sn-1, sn-2, sn3, dimana pusatnya adalah gugus
hidroksil sekunder yang selalu menunjukkan posisi 2, sedangkan atom karbon C-1 dan
C-3 berada pada posisi 1 dan 3. Huruf sn- ditempatkan sebelum nama senyawa, dan
untuk menggambarkan struktur ini digunakan formula proyek Fisher sebagai berikut:

Sn-1 2HC COOR'

R2COO CH Sn-1

Sn-3 2HC COOR3

Distribusi posisi asam-asam lemak ini dapat diketahui dengan melakukan


hidrolisis asam-asam lemak pada posisi sn-1 dan sn-3 oleh lipase pankreatik sehingga
tinggal 2-monoasilgliserol yang dapat diisolasi dan ditransesterefikasi untuk penentuan
asam lemaknya pada posisi sn-2 dengan kromatografi gas. Untuk penentuan asam lemak
pada posisi sn-3 dilakukan hidrolisis triasilgliserol dengan reagent Grignard (EtMgBr)
sehingga dihasilkan diasilgliserol (isomer sn-1,2 dan sn-2,3). Diasilgliserol disintesa
hingga menjadi fosfolipid yang kemudian dihidrolisis dengan fosfolipase A yang
spesifik terhadap 1,2-diasilgliserofosfatida hingga menghasilkan lipofosfatida yang
mengandung asam lemak pada posisi sn-1. Selanjutnya dilakukan transesterifikasi
untuk penentuan asam lemak pada posisi sn-1 dengan kromatografi gas. Asam lemak
pada posisi sn-3 ditentukan dengan menganalisis 2,3-diasilgliserofofatida.
Menurut panjang rantainya terdapat asam lemak rantai pendek (Short Chain
Fatty Acids/SCFA), asam lemak rantai sedang (Medium Chain Fatty Acids/MCFA) dan
asam lemak rantai panjang (Long Chain Fatty Acids/LCFA). Berdasarkan ada tidaknya
ikatan rangkap pada rantai atom C, LCFA dapat dibedakan atas asam lemak jenuh
(Saturated Fatty Acids/SFA) dan asam lemak tidak jenuh (Unsaturated Fatty
Acids/UFA) yang terdiri atas asam lemak tidak jenuh tunggal (Mono Unsaturated Fatty
Acids/MUFA) dan asam lemak poliena (Poli Unsaturated Fatty Acids/PUFA).
Berdasarkan isomer geometriknya terdapat isomer cis dan isomer trans dari UFA. Trans
jarang sekali terdapat di alam tetapi sering ditemukan pada hasil olahan lemak dan
minyak yang mengandung UFA yang dihidrogenasi seperti margarin (Ketaren, 1986).
Penggunaan terbesar dari asam lemak adalah dengan mengubahnya menjadi
alkohol asam lemak, amida, garam asam lemak dan juga plastik termasuk nilon (hampir
mencapai 40% dari total penggunaannya). Penggunaan terbesar berikutnya sebesar 30%
untuk dijadikan detergen, sabun dan kosmetik. Asam lemak juga dapat digunakan
sebagai dasar pembuatan resin dan cat sekitar 15%, sisa daripada penggunaan asam
lemak adalah sebagai bahan pembantu dalam industri pembuatan ban, tekstil, kulit
kertas, pelumas, gemuk dan lilin (Richtler dan Knaut, 1984).
Pengembangan turunan asam lemak sangat diperlukan sebagai material baru
yang penting dan diperlukan dalam jumlah besar pada teknologi kosmetika. Industri
kosmetika dan toiletries selama ini sangat bergantung pada suplai yang besar dan
bervariasi dari turunan asam lemak, untuk digunakan pada seluruh jenis produknya.
Bidang teknologi kosmetika yang memberikan banyak manfaat dari perkembangan
turunan asam lemak yaitu untuk pembersih kulit, tangan dan produk emulsi, untuk
losion dan krem, bahan pencukur, sampo dan dentifries.
Turunan asam lemak yang diaplikasikan pada industri kosmetika dibagi pada tiga
kategori:
1) Produk asam lemak itu sendiri dan esternya. Contohnya adalah surfaktan non
ionik yang diperoleh dari etoksilasi dan esterifikasi asam lemak.
2) Fatty nitrogen dari asam lemak. Contohnya termasuk keempat kategori
surfaktan yaitu anionik, kationik, non ionik dan amfoterik.
3) Turunan mengandung sulfur dari asam lemak.

Salah satu keuntungan utama dari pengembangan turunan asam lemak adalah
menggunakan sumber bahan baku yang terbarukan. Setiap turunan asam lemak yang
akan digunakan pada industri kosmetik harus aman dan memenuhi persyaratan berikut
yaitu tidak iritasi, stabil secara fisika, bebas dari kontaminasi mikrobial, stabil secara
kimia tanpa mudah terhidrolisis dan rendah toksisitas oralnya.(Johnson dan Fritz, 1989)

2.4 Asam Laurat dari Minyak Inti Sawit


Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan yang disintesis dari minyak sawit
sangat besar (Nuryanto, 1997). Hal ini mengingat luas areal perkebunan kelapa sawit di
Indonesia yang semakin meningkat dengan pesat tiap tahunnya. Hingga tahun 2006,
Indonesia merupakan produsen terbesar kedua minyak sawit setelah Malaysia dengan
total produksi pada tahun 2005 mencapai 13,5 juta ton, dan diproyeksikan Indonesia
akan menjadi negara produsen terbesar dalam satu dua tahun ke depan (Latif, 2007).
Pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh
produk CPO dan minyak goreng. Produk sawit Indonesia lebih cenderung diekspor
dalam bentuk CPO (crude palm oil). Produk CPO yang tidak diekspor sekitar 90 persen
dimanfaatkan sebagai produk pangan, hanya sekitar 10 persen minyak sawit yang
dimanfaatkan sebagai produk nonpangan. Padahal nilai tambah terbesar yang diperoleh
adalah pada produk-produk nonpangan yang dimanfaatkan oleh industri kosmetika,
oleokimia, sabun, deterjen, dan masih banyak lagi. Saat ini untuk menutupi kebutuhan
industri-industri akan produk-produk hilir minyak sawit seperti gliserin, surfaktan,
metallic soap, dan produk oleokimia turunan lainnya, Indonesia mengimpor dari negara
lain dalam jumlah yang tidak sedikit dengan harga mahal. Hal ini merupakan salah satu
peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan potensi minyak sawit dan minyak inti
sawit yang dimiliki (Herawan dan Nuryanto, 1996; Herawan, 2004).
Ketersediaan minyak sawit dan minyak inti sawit dalam jumlah besar dan
berkesinambungan merupakan faktor yang sangat mendukung bagi pendirian industri
oleokimia. Oleokimia sendiri merupakan hasil proses kimia dari minyak dan lemak
nabati atau hewani yang mencakup oleokimia dasar (fatty acid, methyl ester, fatty
alcohol, fatty amine, dan glycerol) dan turunannya (sabun, oksida amina, alfa-metil
ester, dan sebagainya). Di Indonesia, industri oleokimia menggunakan minyak nabati
seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil), minyak inti sawit (palm kernel oil), dan
minyak kelapa. Minyak nabati yang digunakan sebagai sumber komponen minyak
adalah yang banyak mengandung asam laurat (C12 : 0), asam miristat (C14 : 0), asam
palmitat (C16 : 0), asam stearat (C18 : 0), asam oleat (C18 : 1) dan asam linoleat (C18 :
2). Komponen-komponen tersebut umumnya berasal dari minyak kelapa, sehingga
timbul pemikiran untuk mencoba memanfaatkan minyak inti sawit sebagai bahan baku
pembuatan senyawa alkanolamida untuk digunakan pada industri pangan, kosmetika
dan obat-obatan. Prospek penggunaan minyak inti sawit, yang dianggap sebagai produk
samping pengolahan minyak sawit, cukup besar, karena lebih dari 60% produksi
minyak inti sawit telah digunakan sebagai bahan baku pembuatan asam lemak atau ester
asam lemak (Herawan, 2004).
2.4.1 Minyak inti sawit
Minyak inti sawit sangat potensial digunakan sebagai sumber trigliserida, metil
ester asam lemak maupun asam lemak pada industri pangan, kosmetika dan farmasi
karena mengandung trigliserida rantai sedang yang dominan seperti C12 dan C14.
Lipida seperti ini disebut sebagai Medium Chain Triglycerides (MCT), yang bersifat
rendah kalori dan dapat digunakan untuk mengobati pasien pengidap HIV, gagal
pencernaan, liver maupun bagi seseorang yang dalam proses penyembuhan dari
pembedahan serta dapat juga digunakan untuk orang yang memiliki permasalahan alergi
terhadap bahan makanan tertentu (O Brien, 1998).
Minyak inti sawit mengandung asam laurat (50%) dan asam miristat (18%).
Kedua jenis asam lemak ini merupakan dua diantara beberapa jenis asam lemak yang
biasa digunakan sebagai bahan baku surfaktan. Dengan diubah menjadi surfaktan, nilai
tambah produk turunan minyak inti sawit akan bisa ditingkatkan.

2.4.2 Asam laurat


Asam lemak yang digunakan pada sintesis ini adalah asam laurat. Asam laurat
(12:0) adalah satu diantara tiga asam lemak jenuh yang paling banyak dijumpai (14:0,
16:0, dan 18:0). Asam laurat paling banyak dijumpai pada minyak cinnamon (80-90%),
minyak kelapa (40-60%) dan minyak inti sawit (40-50%). Asam laurat banyak
digunakan pada pembuatan sabun, sampo, kosmetika dan bahan aktif permukaan
lainnya, termasuk pelumas khusus. Asam laurat juga digunakan pada industri obat-
obatan karena sifat antimikrobialnya yang baik. Sifat-sifat asam laurat adalah sebagai
berikut (E Merck, 2008):
Rumus molekul : C12H24O2
Rumus kimia : CH3(CH2)10COOH
Berat Molekul : 200,32 gr/mol
Densitas : 0,883 gr/cm3
Titik Lebur : 43 - 45oC (1 atm)
Titik Didih : 299oC (1 atm)
Kelarutan dalam air : 0,058 g/l (20oC)

2.5 Sintesis Alkanolamida secara Enzimatik


Beberapa penelitian telah dilakukan pada sintesis alkanolamida secara
enzimatik. Sumber lemak/asam lemak yang digunakan antara lain metil ester asam
lemak, etil ester asam lemak, asam oleat, asam laurat, serta trigliserida dari minyak
sawit, inti sawit dan berbagai sumber minyak lainnya. Pelarut yang lazim digunakan
pada sintesis alkanolamida adalah heksan dan tert-amil alkohol. Heksan adalah pelarut
non polar, dimana n-metil-glukamina tidak larut.
Maugard, dkk. (1997) mengamati bahwa jika campuran yang stoikiometris
antara asam oleat dengan N-metil-glukamina menggunakan Novozym pada 55 oC dan
tekanan atmosfi, maka 40 % dari asam lemak akan terkonversi setelah 130 jam dengan
yield produk campuran terdiri dari 80% amida dan 20% turunan monoester. Jika reaksi
dijalankan pada 90 oC dan tekanan atmosfir, 100 % konversi asam oleat akan dicapai
hanya dalam waktu 50 jam dan yield konversi amida sebesar 97 % akan diperoleh. Pada
kondisi ini akan diperoleh 3% produk samping dari diasilasi amida-ester. Produk ini
terbentuk dari mono ester yang merupakan produk antara yang akan seluruhnya habis
pada akhir reaksi. Jika reaksi dijalankan pada 90 oC dan tekanan 500 mbar, 100 %
konversi asam oleat akan diperoleh dalam 12 jam, akan tetapi campuran akhir
mengandung 75 % amida, 10 % amida-ester, 5% ester dan 10 % amina yang tidak
bereaksi. Substrat amina tidak seluruhnya bertransformasi pada kondisi seperti itu.
Penelitian lanjutan yang dilakukannya mencoba untuk membatasi terbentuknya
sejumlah ko-produk dan menemukan bahwa trigliserida cukup baik untuk digunakan
sebagai ester asam lemak. Rasio asam lemak/amina tidak hanya menentukan jumlah
amin yang terlarut di dalam fasa organik akan tetapi juga keselektifan dari reaksi
enzimatik.
Maugard, dkk. (1998) mengamati bahwa dengan adanya asam lemak, n-metil-
glukamina akan dilarutkan dengan membentuk pasangan ion.

O
CH3

OH
OH n
H CH2OH
H
H
OH H
NH
H H
OH
O
H OH CH3 H CH2OH

H
OH H NH2 O
H n
CH3
H OH

Gambar 2.4 N-Metil Glukamida Membentuk Pasangan Ion


dengan Adanya Asam Lemak (Sumber: Maugard, dkk. (1998))

Lebih lanjut Maugard, dkk. (1998) menambahkan bahwa jika digunakan imobil
lipase dari Rhizomucor Miehei (Lipozym) sebagai katalis pada sintesis asam oleat
dengan N-metil-glukamina, kemoselektivitas reaksi akan bervariasi bergantung pada
rasio asam/amina. Untuk rasio asam/amin 8 (asam berlebih), maka sebahagian besar
akan membentuk ester. Sebanyak 100% N-metil glukamina akan bertransformasi
menjadi 6-O-oleoiyl-N-metil-glukamina. Jika rasio adalah lebih kecil dari 1 (amina
berlebih), maka hanya akan terbentuk oleoil-N-metil glukamida. Hasil ini menunjukkan
bahwa pentingnya menjaga kondisi asam-basa terutama jika molekul subtrat
mengandung gugus ionik, karena kondisi asam-basa menentukan tempat ionik kedua
substrat dan katalis enzim, dan kemudian juga efisiensi dan kemoselektivitas dari
sintesis yang dilakukan.
Maugard, dkk. (1998) juga menyelidiki perubahan komposisi produk
disepanjang reaksi dan menemukan bahwa berkurangnya metil ester asam lemak sejalan
dengan terbentuknya amida dan ester di awal reaksi. Pada awal reaksi, baik amida
maupun ester telah terbentuk, dan setelah 3 jam ester yang terbentuk berubah menjadi
amida ester. Diakhir reaksi ester yang terbentuk menghilang dan bersamaan dengan itu
diperoleh produk baru sebesar 10% yang diidentifikasi sebagai amida ester, yang
kemungkinan terbentuk dari ester. Setelah 10 jam reaksi, 100% metil ester asam lemak
akan terkonversi secara sempurna dan yield amida mencapai 80%. Kondisi optimum
yang diperoleh untuk produksi amida adalah pada tekanan atmosfir, temperatur 90oC
menggunakan rasio Metil Ester Asam Lemak:N-metil-glukamina 1:1. Pada kondisi ini
campuran surfaktan yang diperoleh mengandung 80% (b:b) amida, 15% amida ester dan
5% N-metil-glukamina. Pada komposisi ini, untuk bahan baku industri, tidak diperlukan
pemisahan campuran dan dapat langsung digunakan untuk formulasi kosmetika.
Burczyk, dkk. (2001) mengamati sintesis dan sifat-sifat permukaan dari
surfaktan nonionik N-alkil-n-metil gluconamida dan n-alkil-n-metil laktobionamida.
Substrat yang digunakan adalah n-alkil-n-metil amin dengan d-D-glukolakton dan asam
laktobionik. Pada penelitian ini digunakan suhu 20 oC dan diamati sifat-sifat permukaan
seperti konsentrasi surfaktan berlebih, luas permukaan permolekul, efisiensi reduksi
tegangan permukaan dan konsentrasi misel kritikal. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa masuknya gugus metil ke dalam nitrogen amida akan meningkatkan kelarutan
surfaktan. Laktobionamida lebih mudah larut dibandingkan glukonamida. Dengan kata
lain permukaan surfaktan n-alkil-N-metil glukonamida lebih aktif dibandingkan n-alkil-
N-metil laktobionamida. Pengamatan ini didasarkan pada penentuan parameter adsorbsi
dan miselisasi. Adanya satu ikatan rangkap dari rantai hidrokarbon seperti pada oleoil
amida akan meningkatkan karakter hidrofiliknya dibandingkan dengan turunan C18
yang jenuh. Akan tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dari nilai Amin yang
diperoleh dari kedua surfaktan yang disintesis. Surfaktan n-alkil-N-metil glukonamida
yang disintesis mempunyai kemurnian 73 – 92%.
Maria dan Holmberg (2005) mengamati sintesis dan sifat-sifat permukaan dari
surfaktan yang mempunyai ikatan amida, ester dan karbonat. Kestabilan surfaktan
karbonat ini ditentukan dengan mengamati karakteristik hidrolisis dan
biodegradabelnya. Hidrolisis dilakukan dengan katalis alkali atau enzim dan diamati
menggunakan 1H NMR. Hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa kestabilan yang
lebih tinggi diperoleh oleh surfaktan karbonat dibadingkan surfaktan yang
mengandung ester sebagai ikatan yang lemah. Hasil uji biodegradasi menunjukkan
bahwa surfaktan ini akan terurai lebih dari 60% setelah 28 hari untuk karbonat
surfaktan. Sifat-sifat fisikomikia seperti konsentrasi misel kritikal, cloud point, luas
permukaan permolekul dan tegangan permukaan.ditentukan dan dibandingkan dengan
surfaktan yang mengandung ikatan ester, amida atau eter.
Pilakowska, dkk. (2004) mengamati sintesis N,N-di-n-alkilaldonamida dan sifat-
sifat permukaan dari surfaktan ini pada permukaan udara/air. Substrat yang digunakan
adalah d-D-glukonolakton dan a-D-glukoheptonik-g-lakton. Dasar dari penelitian ini
adalah karena akhir-akhir ini aspek ekologi menjadi sangat penting bagi lingkungan
manusia sehingga surfaktan yang biodegradabel dan sedikit efeknya terhadap
lingkungan banyak dikembangkan. Ada dua grup komponen yang cukup menjanjikan,
yang pertama komponen dengan asetal moiety yaitu turunan 1,3-dioksalan dan 1,3-
dioksan, sedangkan komponen kedua adalah turunan sakarida. Turunan sakarida banyak
diminati untuk diteliti karena jenisnya bervariasi dan dapat disintesis dengan biaya
rendah karena berasal dari tumbuhan yang murah dan terbarukan. Surfaktan berbasis
sugar ini banyak digunakan sebagai bagian dari kosmetik, bahan farmasi dan makanan,
juga industri tekstil. Karena strukturnya yang mirip dengan komponen dalam tubuh
manusia, surfaktan sakarida cukup menjanjikan untuk berfungsi dengan lebih baik pada
antar muka.
Beberapa kajian mengenai sistesis surfaktan berbasis sugar dapat diperoleh dari
literatur. Turunan sakarida yang digabungkan dengan gugus amida kebanyakan
diperoleh dari reaksi asam aldonik atau aldolakton dengan amin atau turunan amin.
Pada pengamatan Pilawoska, dkk. (2004) sintesis surfaktan berbasis sugar ini yang
dipilih adalah yang mempunyai dua rantai n-alkil yang simetrik sebagai gugus
hidrofobiknya. Surfaktan dengan dua residu rantai panjang alkil, yang dikenal dengan
nama glikolipid, dapat diaplikasikan sebagai sel atau unit membran .
Meskipun pelarut organik memberi beberapa manfaat pada sintesis enzimatik,
namun penggunaannya pada industri proses menjadi tidak diharapkan karena beberapa
sebab. Diantara sebab-sebab tersebut adalah pelarut organik adalah komponen yang
mudah menguap sehingga mengakibatkan pencemaran udara, serta penggunaannya
memerlukan tambahan biaya proses untuk menguapkan dan menggunakannya kembali.
Selain itu, penggunaan pelarut organik memerlukan reaktor dan peralatan pendukung
yang lebih banyak. Oleh sebab itu proses tanpa pelarut (solvent free process) merupakan
alternatif sintesis yang memberikan manfaat bagi lingkungan dan efisiensi proses
(Herawan, 2004).
Biaya enzim merupakan faktor yang penting dalam menentukan ekonomi proses.
Enzim dengan kestabilan tinggi serta kemungkinan recycle yang tinggi menjadi sangat
diharapkan. Penelitian tentang epoksidasi toluene menggunakan enzim mendapatkan
bahwa efisiensi enzim menjadi 75% setelah 15 siklus reaksi (Warwel, dkk. 2001). Akan
tetapi, jika enzim dioperasikan pada proses tanpa pelarut pada kondisi optimum, enzim
ditemukan kehilangan banyak aktivitasnya, sehingga membatasi jumlah recycle. Karena
itu pemilihan kondisi reaksi yang tepat merupakan hal yang sangat krusial dalam
penggunaan kembali Novozym 435. Pengetahuan yang mendalam terhadap faktor-
faktor yang menyebabkan enzim terdeaktivasi sangat diperlukan dalam menyiapkan
lipase dengan stabilitas yang ditingkatkan untuk desain proses yang optimal.
Kondisi yang lunak, meminimalkan keperluan untuk memproteksi gugus-gugus,
penguncian produk samping, regio dan enantio selektif yang tinggi, dan biaya sintesis
yang rendah menjadikan sintesis amida secara enzimatik lebih disukai dibandingkan
reaksi kimiawi. Selain dari lipase, protease seperti termolisin dan subti-lisin ada juga
digunakan pada produksi amida skala besar, akan tetapi diketahui enzim tersebut
spesifik untuk asam amino tertentu dan cukup sensitif untuk di inaktifkan oleh pelarut
organik. Diantara asam hidrolase, lipase merupakan katalis yang menjanjikan untuk
sintesis peptida, polimer dan surfaktan baru dengan biaya rendah, karena lipase telah
dibuktikan, dapat mengkatalisa pembentukan ikatan amida dalam pelarut organik.
Dalam pembentukan ikatan amida terdapat dua cara yang dipertimbangkan dapat
meningkatkan yield amida:
1) Kontrol termodinamika. Pada pendekatan termodinamika, kesetimbangan
diarahkan kepada sintesisnya, kecuali hidrolisisnya dan ini dicapai dengan
menvariasikan kondisi reaksi. Sebagai contoh, peningkatan konsentrasi dari
material awal atau pengendapan dari produk, menunjukkan reaksi amidasi,
dengan menggantikan molekul air dengan pelarut organik.
2) Kontrol kinetika. Pada pendekatan kinetika yang mengontrol reaksi,
material awal adalah mengaktifkan komponen karboksil seperti ester. Ester
diaktifkan oleh enzim melalu intermediet asil-enzim, dimana kemudian
dapat diserang oleh amina atau molekul air. Karena sistesis yang dikontrol
secara kinetika memerlukan intermediet asil-enzim, hanya serine atau thiol
hidrolase, seperti lipase, subtilisin dan papain yang dapat digunakan. Metalo
protease seperti termolisin hanya sesuai untuk reaksi yang dikontrol secara
termodinamika (Maria dan Holmberg, 2005).

2.6 Lipase
Lipase (triasil-gliserol ester hidrolese, EC 3.1.1.3) merupakan bagian dari enzim
hidrolisa yang dapat menyerang ikatan karboksilat, misalnya menghidrolisa trigliserida
menjadi digliserida, monogliserida, asam lemak dan gliserol (Villeneuve, dkk. 2000;
Hasan, dkk. 2005). Hal ini menyebabkan lipase dapat menjadi pilihan sebagai katalis
pada industri makanan, deterjen, farmasi dan kosmetik.
Pada tahun 1856, Claude Bernard pertama kali menemukan lipase dalam ekstrak
pankreas sebagai enzim yang dapat menghidrolisa minyak dan mengubahnya ke produk
lain yang memiliki kemampuan melarut. Dahulu enzim lipase diperoleh melalui cara
tradisional, yaitu dari pankreas hewan dan digunakan sebagai obat saluran pencernaan.
Ketertarikan terhadap lipase mikrobial diawali dengan kekurangan pankreas dan
sulitnya menemukan material dengan karakteristik yang sama. Enzim dikenal sebagai
katalis alam, dimana saat ini sebagian besar enzim diperoleh melalui proses fermentasi
bahan-bahan alami.
Pemanfaatan mikroorganisme telah lama digunakan untuk memproduksi
emulsifier dan biosurfaktan, untuk membantu kelarutan dalam lemak (Hasan, dkk.
2005). Ratusan enzim telah diketahui spesifisitasnya terhadap substrat yang berbeda,
tetapi hanya beberapa yang diisolasi dalam bentuk murni dan dikristalkan, serta hanya
sedikit yang diketahui strukturnya. Keunggulan penggunaan protein dalam bioteknologi,
menjadikan industri enzim menjadi penting. Misalnya protease dan lipase digunakan
dalam industri deterjen, amilase dan glukosa isomerisasi digunakan dalam industri pati
atau dalam sintesa senyawa organik lainnya. Hal ini mendorong dilakukannya
klasifikasi enzim yang rasional dan juga nomenklatur.
Lipase mampu mengkatalisis sintesis ikatan amida maupun ester. Beberapa jenis
lipase yang digunakan pada reaksi amidasi antara lain :
1) Fungal lipase
a) Rhizomucor miehei lipase (SP524) yang diimobilisasi dengan resin anionik
Duolite A568.
b) Rhizopus niveus lipase (Newlase F)
c) Humicola lanuginosa lipase (SP523)
2) Yeast lipase
a) Candida antarctica lipase B (SP525)
b) Candida antarctica lipase yang diadsorbsi pada Lewatit E (Novozym 435)
c) Candida antarctica lipase A (SP526)
3) Bakterial lipase
a) Pseudomonas cepacia lipase (PS)
b) Pseudomonas fluorescens lipase (AK)
4) Mamalia lipase
a) Porcine pancreatic lipase (PPL)

Soledad, dkk. (2000) mengamati kemamputan katalitik dari beberapa jenis lipase
komersial yaitu fungal lipase, yeast lipase, bacterial lipase dan mamalian lipase untuk
reaksi amidasi vinil karbonat dengan fenil-etil amin dan menemukan bahwa yield lebih
dari 70 % diperoleh jika menggunakan Rhizomucor miehei lipase, SP524 (80%) dan
lipase B dari Candida antarctica, Novozym 435 (79%). Pada tahun 1961,
International Union of Biochemistry menetapkan kiasifikasi enzim menjadi enam kelas
dasar (Manitto, 1981) yaitu:
1) Oksidoreduktase. Enzim-enzim yang termasuk dalam golongan ini dapat dibagi
dalam dua bagian yaitu dehidrogenasi dan oksidase. Dehidrogenasi bekerja pada
reaksi-reaksi dehidrogenase, yaitu reaksi pengambilan atom hidrogen dan suatu
senyawa (donor). Hidrogen yang dilepas akan diterima oleh senyawa lain
(akseptor). Oksidase juga bekerja sebagai katalis pada reaksi pengambilan
hidrogen dan suatu substrat. Dalam hal ini yang bertindak sebagai akseptor
hidrogen adalah oksigen.
2) Transferase. Enzim yang termasuk golongan ini bekerja sebagai katalis pada
reaksi pemindahan suatu gugus dari suatu senyawa kepada senyawa lain.
Beberapa contoh enzim yang termasuk golongan ini adalah metiltransferase,
hidroksimetil transferase, karboksiltransferase, asiltransferase dan
aminotransferase atau disebut juga transaminase. Enzim transaminase bekerja
pada reaksi transaminasi yaitu suatu reaksi pemindahan gugus amino.

3) Hidrolase. Enzim yang termasuk dalam kelompok ini bekerja sebagai katalis
pada reaksi hidrolisis. Ada tiga jenis hidrolase, yaitu yang memecah ikatan ester,
memecah glikosida dan yang memecah ikatan peptida. Beberapa enzim sebagai
contoh ialah esterase, lipase, fosfatase, amilase, amino peptidase, karboksi
peptidase, pepsin, tripsin, kimotripsin. Lipase adalah enzim yang memecah
ikatan ester pada lemak, sehingga terjadi asam lemak dan gliserol. Lipase dapat
mengkatalisasi reaksi hidrolisa dari trigliserida rantai panjang. Sejak
berkembangnya bioteknologi, lipase mendapatkan perhatian yang besar. Lipase
merupakan kelas biokatalis yang penting dalam aplikasi bioteknologi.

4) Liase. Meningkatkan terjadinya pemisahan (secara non hidrolitik) suatu gugus


atom dan substrat, sehingga terbentuk suatu ikatan rangkap atau penambahan
suatu gugus atom pada suatu ikatan rangkap. Contoh enzim golongan ini antara
lain dekarboksilase, aldolase,hidratase.

5) Isomerase. Enzim yang termasuk golongan ini bekerja pada reaksi perubahan
intramolekuler, misalnya reaksi perubahan glukosa menjadi fruktosa, perubahan
senyawa L menjadi senyawa D, senyawa cis menjadi senyawa trans. Contoh
enzim yang termasuk golongan isomerase antara lain ialah ribulofosfat
epimerase dan glukosafosfat isomerase.

6) Ligase. Enzim yang termasuk golongan ini bekerja pada reaksi-reaksi


penggabungan dua molekul. Oleh karenanya enzim-enzim tersebut juga
dinamakan sintetase. Ikatan yang terbentuk dan penggabungan tersebut adalah
ikatan C-O, C-S atau C-C. Contoh enzim golongan ini antara lain glutamine
sintetase dan piruvat karboksilase.

2.6.1 Lipase dalam industri oleokimia


Lipase merupakan bagian dari enzim hidrolisa yang dapat menyerang ikatan
karboksilat. Psikologis lipase adalah menghidrolisa trigliserida menjadi digliserida,
monogliserida, asam lermak dan gliserol (Hasan, dkk. 2005). Sebagai tambahan dan
fungsi alami hidrolisa ikatan ester karboksilat, lipase dapat menjadi katalis reaksi
esterifikasi, interesterifikasi dan transestenifikasi tanpa pelarut. Kemampuannya ini
menjadikan lipase sebagai pilihan dalam aplikasinya pada industri makanan, deterjen,
farmasi, penyamakan kulit tekstil, kosmetik dan kertas. Beberapa jenis lemak memiliki
nilai yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya, karena bentuk dan strukturnya.
Lemak dapat diubah menjadi jenis yang lain dengan mengkombinasikan metode kimia,
tetapi menghasilkan produk yang acak. Lain halnya dengan lipase, yang dapat
mengkatalisasi reaksi transesterfikasi minyak dan lemak yang lebih murah, seperti
produksi cocoa butter dan palmitat yang berasal dan satu kali fraksinasi. Dalam
perkembangannya, lipase dapat menjadi katalis reaksi transesterifikasi dalam pelarut
organik. Rhizomucor meihei dan Candida antarctica adalah jenis lipase yang dapat
digunakan dalam reaksi sterifikasi asam lemak tanpa pelarut atau menggunakan pelarut.
De Zoete, dkk. (1999) sebelumnya telah mengamati toleransi beberapa lipase
terhadap amina dan menemukan bahwa lipase dari C. Antarctica menunjukkan
toleransi yang sangat tinggi dibandingkan lipase dari Rhizomucor miehei (Lipozym RM
IM). R.miehei lebih sensitif terhadap etanolamina sehingga tidak menunjukkan laju
konversi yang tinggi untuk asilasi etanolamina.

2.6.2 Fungsi dan cara kerja lipase


Fungsi suatu enzim ialah sebagai katalis untuk proses biokimia yang terjadi
dalam sel maupun diluar sel. Suatu enzim dapat mempercepat reaksi 108 sampai 1011
kali lebih cepat daripada apabila reaksi tersebut dilakukan tanpa katalis. Jadi enzim
dapat berfungsi sebagai katalis yang sangat efisien, disamping mempunyai kekhasan
(spesifik) yang tinggi. Seperti juga katalis yang lainnya, maka enzim dapat menurunkan
energi aktivasi suatu reaksi kimia. Reaksi kimia ada yang membutuhkan energi (reaksi
endergonik) dan ada pula yang menghasilkan energi atau mengeluarkan energi
(eksergonik). Sifat spesifik (kekhasan) enzim menyebabkan enzim hanya dapat bekerja
pada satu reaksi saja. Untuk dapat bekerja terhadap suatu zat atau substrat harus ada
hubungan atau kontak antara enzim dengan substrat.
Suatu enzim mempunyai ukuran yang lebih besar daripada substrat. Oleh karena
itu tidak seluruh bagian enzim dapat berhubungan langsung dengan substrat. Hubungan
antara substrat dengan enzim hanya terjadi pada bagian atau tempat tertentu saja.
Tempat atau bagian enzim yang mengadakan hubungan atau kontak dengan substrat
dinamai bagian aktif (active site). Hubungan hanya mungkin terjadi apabila bagian aktif
mempunyai ruang yang tepat untuk menampung substrat. Apabila substrat mempunyai
bentuk atau konformasi lain, maka tidak dapat ditampung pada bagian aktif suatu
enzim. Dalam hal ini enzim tidak dapat berfungsi terhadap substrat ini adalah
penjelasan mengapa tiap enzim mempunyai kekhasan (sifat spesifik) terhadap substrat
tertentu. Hubungan atau kontak antara enzim dengan substrat menyebabkan terjadinya
kompleks enzim substrat. Kompleks ini merupakan kompleks yang aktif, yang bersifat
sementara dan akan terurai lagi apabila reaksi yang dlinginkan telah terjadi.

2.7 Reaktor berpengaduk multi-tahap


Reaktor multitahap adalah beberapa reaktor tangki berpengaduk (Continuous
Stirred Tank Reactor, CSTR) yang disusun seri dengan tujuan mendekati sifat-sifat
reaktor alir tubular (Plug Flow Reactor, PFR). Reaktor berpengaduk multitahap dapat
diartikan juga sebagai reaktor yang disusun seri. Namun disini, reaktor seri telah
ditempatkan dalam satu kolom dimana terdapat tingkatan atau pembatas antara satu
kolom dengan kolom yang lain sehingga terdiri dari beberapa kolom. Reaktor
multitahap didesain untuk mendekati sifat atau cara kerja dari PFR. Semakin banyak
jumlah dan tahap reaktor itu maka sistem akan semakin mendekati reaktor aliran tubular
(PFR). MSAC banyak digunakan di dalam proses absorpsi, adsorpsi, polimerisasi dan
kristalisasi serta reaksi kimia yang memerlukan waktu tinggal dan keseragaman yang
tinggi (Levenspiel, 1999). Reaktor MSAC dapat diterapkan untuk berbagai fasa, baik
fasa cair maupun fasa gas. Alirannya dapat berupa co-current atau counter-current.

C0, x 0 = 0 C1, x 1 C2, x 2 Ci-1, xi-1 Ci, xi CN-1, xN-1


F0, υ

... ... CN , x N , υ
1 2 i N
V1, τ1 V2, τ2 Vi, τi VN, τN

Gambar 2.5 Gambar Reaktor CSTR Seri (Sumber: Mohd Sobri Takrif, dkk. 1998)

Dari gambar di atas yaitu CSTR yang disusun seri, membutuhkan tempat yang
cukup banyak dan untuk pembuatannya membutuhkan biaya yang besar, oleh karena
itu dirancanglah suatu reaktor CSTR bertingkat yang terdiri dari satu kolom dan satu
poros pengaduk namun terdiri dari beberapa tahap.
Reaktor MSAC mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan reaktor
berpengaduk yang disusun seri. Sejumlah kelebihan reaktor MSAC adalah:
1) Reaktor MSAC mempunyai harga yang lebih murah per-unit volume yang
diproses. Impeler yang terhubung pada satu proses mengakibatkan
kebutuhan poros, motor penggerak dan perlengkapan lainnya dapat
dikurangi.
2) Pipa-pipa yang diperlukan dapat dikurangi karena tahap di dalam reaktor
MSAC saling bersambung.
3) Reaktor MSAC memerlukan ruang yang lebih kecil dibandingkan kedua
jenis reaktor lainnya.
4) Reaktor MSAC dapat digunakan untuk mengalirkan sistem, baik secara
searah maupun lawan arah. Kelebihan ini tidak dijumpai pada tangki
berpengaduk yang disusun seri maupun pada kompartemen berpengaduk
horizontal jika kedua unit tersebut tidak menggunakan pompa atau pun
kompresor diantara setiap tangki/kompartemen. (Xu, 1994, Balcao, dkk.
1996)

Gambar 2.6 Reaktor Berpengaduk Multitahap


(Multistage Mechanically Agitated Compartmented, MSAC)

Pengadukan dalam reaktor MSAC dilakukan pada tiap-tiap tahap untuk


mendapatkan hasil yang diinginkan. Impeler-impeler yang sejenis diletakkan di tengah
tiap tahap, dan dihubungkan pada sebatang poros dari puncak reaktor. Pemilihan
impeler bergantung kepada hasil proses yang diharapkan. Sebagai contoh, impeler aliran
radial (radial flow impeller) adalah sesuai untuk sistem gas-cair dan impeler aliran
aksial (axial flow impeller) adalah sesuai untuk sistem padat-cair (Tatterson, 1991).
Berdasarkan bentuknya, impeler dapat dikelompokkan pada tiga jenis, yaitu
propeler (baling-baling), dayung (paddle) dan turbin. Penelitian ini menggunakan
impeler(pengaduk) jenis turbin. Pemilihan jenis impeler ini didasarkan bahwa impeler
turbin dapat bekerja pada kecepatan putar yang tinggi, efektif untuk rentang viskositas
yang cukup luas, merupakan impeler aliran radial, dan sangat sesuai untuk
mendispersikan gas atau mensuspensikan padatan (Geankoplis, 2003).
Untuk menyatakan jenis aliran disekitar pengaduk, yaitu apakah aliran disekitar
pengaduk adalah laminar, turbulen atau transisi, digunakan suatu bilangan tidak
berdimensi yaitu bilangan Reynolds agitasi.
Bilangan Reynolds agitasi, Rea , didefinisikan :
Da 2 .n.ρ
Rea = (2.1)
μ
dimana:
Da = Diameter impeller (m)
n = kecepatan putar (put/detik)
= densitas fluida (kg/m3)
= viskositas (kg/m.detik)

Berdasarkan nilai bilangan Reynolds agitasi, jenis aliran dalam tangki dapat
dikelompokkan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Jenis Aliran dalam Tangki

Rea Jenis Aliran dalam Tangki


<10 Laminar
10 – 10000 Transisi
> 10000 Turbulen
(Sumber: Geankoplis, 2003)

2.8 Penentuan Nilai HLB


Sebagai gambaran untuk perimbangan hidrofil-lipofil bahan-bahan aktif
permukaan, dapat digunakan skala keseimbangan hidrofil-lipofil yang sering disebut
HLB (Hidrophile-Lipophile Balance) yang ditemukan oleh Griffin pada tahun 1949.
Dengan bantuan harga keseimbangan ini, maka kita dapat membentuk rentang HLB
setiap surfaktan secara optimal. Makin besar nilai HLB suatu bahan maka bahan
tersebut semakin bersifat hidrofilik (Brahmana, dkk. 1998). Secara teori harga HLB
suatu bahan dapat dihitung berdasarkan gugus fungsi hidrofil, lipofil dan derivatnya,
seperti dapat dilihat pada Tabel 2.2. Berdasarkan harga HLB pada Tabel 2.2 dapat
ditentukan harga HLB secara teori dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
HLB = ∑ ( gugus hidrofil ) − ∑ ( gugus lipofil ) + 7 (2.2)
Tabel 2.2 Nilai HLB berdasarkan gugus fungsi

Gugus Hidrofil Harga HLB


-SO4Na+ 38,7
-COO-Na+ 19,1
N (amina tersier) 9,4
Ester (cincin sorbitan) 6,8
Ester (bebas) 2,4
Hidroksil (bebas) 1,9
Hidroksil (cincin sorbitan) 0,5
Gugus Lipofil Harga HLB
-CH- 0,475
-CH2- 0,475
=CH- 0,475

Harga HLB dapat juga ditentukan dari harga konsentrasi misel kritikal (CMC).
Harga CMC diperoleh dengan menggunakan alat tensiometer. Kemudian dengan
menggunakan rumus berikut akan diperoleh harga HLB (Brahmana, dkk. 1998):
Co
HLB = 7 − 0,36 ln( ) (2.3)
Cw
dimana Cw = Harga CMC; dan Co = 100 – Cw
Penentuan harga HLB dapat juga diperoleh berdasarkan harga bilangan
penyabunan dan bilangan asam, yakni dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
⎛ S⎞
HLB = 20⎜1 − ⎟ (2.4)
⎝ A⎠
dimana S = Bilangan Penyabunan dan A = Bilangan Asam

2.9 Metode Permukaan Sambutan


Penelitian ini menggunakan Metode Permukaan Sambutan (Response Surface
Methodology, RSM) untuk optimasi proses. RSM merupakan teknik matematika dan
statistika yang berguna untuk pemodelan dan analisis masalah dimana responnya
dipengaruhi oleh beberapa variabel (Montgomery, 1997). Tujuannya adalah untuk
mengoptimalkan respon tersebut. Adapun metode RSM meliputi perancangan
percobaan, pengembangan model matematis dan penentuan kondisi optimum untuk
variabel bebas sehingga diperoleh hasil maksimum dan minimum dari percobaan ini.
Langkah awal dalam desain RSM adalah dengan menentukan perkiraan yang sesuai
untuk relasi fungsi yang tepat antara respon dan variabel bebas. Dengan metode RSM
diperoleh persamaan kuadratik yangserta seperti interaksinya. Untuk menentukan level
optimum pada variabel penelitian digunakan Rancangan Susunan Terpusat (Central
Composite Design, CCD) dimana desain eksperimen dalam perhitungan statistika
dikodekan dengan X1 dan aktual (X1) seperti ditunjukkan dalam persamaan berikut:
(Xi − X i )
X1 = (i = 1,2,3,...) (2.5)
ΔX j

dimana:
X1 : nilai dimensi dari variabel bebas
Xi : nilai aktual dari variabel bebas

Xi : rata-rata nilai nyata variabel bebas pada taraf rendah (low) dan tinggi
(high)
ΔX j : selisih antar rentang

Secara umum hasil yang diperoleh dapat dianalisis dengan menggunakan


multiple regression yang memenuhi persamaan berikut (Montgomery, 1997)

Y =β1+ β2 X1 +β3 X2 +β4 X3 +β5 X1 X2+ β6 X2 X3 +β7 X1 X3 +β8 X12 +β9 X22 +β10 X32 +
ε (2.6)
dimana:
Y = variabel respon yang diukur yaitu % konversi asam laurat atau persen
yield alkanolamida
β1 - β10 = konstanta linier, kuadratik dan hasil regresi koefisien diagonal.
ε = error term

Penyelesaian persamaan multi regresi dilakukan dengan metode Sum of Square


of Error (SSE) menggunakan perangkat lunak MINITAB R.14® untuk mendapatkan
regresi dan plot-plot dimensi hasil perhitungan. Faktorial CCD digunakan untuk
optimasi amidasi asam lemak menjadi amida menggunakan lipase dalam menganalisis
variabel yang berpengaruh yaitu temperatur, konsentrasi biokatalis dan rasio mol amina
terhadap asam lemak. Matriks eksperimental untuk rancangan tiga faktor dengan dua
level (2) yang terdiri dan 8 run pertama (1-8) dengan variabel terkode (± 1) untuk
masing-masing faktor (factorial point). Selanjutnya 6 run yang disebut star point
dengan level terkode (± α) sebagai significant curvature effect (9-14), sedangkan 6 run
tambahan (run 15-20) memuat titik pusat (center point) sebagai perkiraan daerah
lekukan kurva dengan kode 0 untuk masing-masing faktor. Jarak star point dengan
center point adalah α = 2n/4 (untuk 3 faktor, α = 1,682).
Hasil statistik 20 set run desain optimasi RSM, analisis regresi dan signifikansi
statistikal dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak MINITAB R.14® untuk
memberikan perkiraan pengaruh level optimum dari ketiga variabel dan interaksinya
masing-masing yang diperoleh dari penyelesaian persamaan regresi, analisis kontur dan
plot respon permukaan (contour and surface response). Cara dalam menentukan
besarnya harga perlakuan setiap komposit sebelah kiri dan kanan dan komposit pusat
(kode 0) adalah:
1) Menetapkan terlebih dahulu perkiraan besarnya harga perlakuan tiap variabel
yang dianggap optimal (informasi tentang kondisi optimal dapat diperoleh dari
literatur atau melalui penelitian awal atau orientasi). Misal: 10% untuk
konsentrasi katalis pada pusat (kode 0).
2) Harga komposit berikutnya (kode 1) ditetapkan sembarang (dengan harga yang
wajar). Misal ditetapkan 12, berarti sebelah kiri (kode -1) ditetapkan 8 supaya
selisih sama berharga 2.
Untuk menentukan keakuratan model matematis terhadap data hasil percobaan
diperiksa dengan analisis variansi (ANAVA). Ketepatan parameter persamaan untuk
masing-masing variabel dilihat dari nilai P. Respon permukaan tiga dimensi dan grafik
kontur digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel percobaan terhadap hasil yang
diperoleh.

Anda mungkin juga menyukai