Anda di halaman 1dari 24

TUGAS PAPER

MEDIASI SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI


LUAR PENGADILAN

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Perkembangan Hukum Perdata

Dosen Pengampu:
Dr. Muzakkir Abubakar, S.H., S.U

Disusun Oleh:
PIANAMON YUDISTIRA
2003201010006

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdullilah, segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah
Subhanahuwata’ala, karena hanya berkat rahmat dan karunia-Nya, dan Maha Suci
Allah yang telah memberi kemudahan dalam menyusun makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah, “Perkembangan Hukum Perdata” dengan judul
“Mediasi Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Perdata Di Luar Pengadilan”
sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad Sallahualaihiwasalam, yang telah menuntun kita dari jalan yang
penuh kegelapan yang tidak berilmu pengetahuan kepada jalan yang penuh
dengan cahaya dan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada hari ini.
Walaupun mungkin terdapat kesalahan dan kekurangannya, penulis
sebagai manusia biasa yang tak terlepas dari kesalahan dan kekurangan, sangat
mengarapkan bimbingan dan kritik dari berbagai pihak, dengan harapan penulis
dapat menyempurnakan segala kesalahan dan kekurangan dari makalah ini.
Oleh karena itu sudah sepatutnya jika penulis menyampaikan ucapan
terima kasih dan rasa hormat kepada Bapak Dr. Muzakkir Abubakar, S.H., S.U
yang telah memberi ilmunya selaku dosen pengampu Mata Kuliah Perkembangan
Hukum Perdata. Hanya untaian doa yang dapat kami panjatkan semoga amal
baiknya di terima oleh Allah Subhanahuwata’ala, dan menjadi amal saleh yang
senantiasa mengalir keharibaan penguasa alam semesta.
Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh sekali dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan. Mudah-mudahan makalah ini mampu memberi manfaat serta
menunjang ilmu pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca
sekalian. Serta senantiasa mendapat ridho-Nya. Aamiin.

Banda Aceh, 6 Desember 2021

Pianamon Yudistira
2003201010006

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... i


Daftar Isi .......................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan ..................................................................................... 1
a. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
b. Rumusan Masalah .................................................................... 7
c. Tujuan Penelitian ...................................................................... 7
Bab II Pembahasan ....................................................................................... 8
a. Prosedur Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Menurut
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 ............... 8
b. Prosedur Mediasi Di Luar Pengadilan Menurut Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa ............................................ 15
Bab III Penutup.............................................................................................. 19
a. Kesimpulan ............................................................................. 19
b. Saran........................................................................................ 19
Daftar Pustaka ................................................................................................ 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum perdata yang mengatur hak dan kewajiban hidup
bermasyarakat disebut dengan “hukum perdata materiil”, sedangkan hukum
perdata yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan
hak dan kewajiban disebut “hukum acara formal”. Hukum perdata formal
lazim disebut hukum acara perdata.1 Hukum perdata mengatur tentang hak
keperdataan. Dalam hukum perdata setiap manusia pribadi mempunyai hak
yang sama, setiap manusia pribadi wenang untuk berhak. Tetapi tidak setiap
manusia pribadi wenang berbuat. Kewenangan berbuat pada hakikatnya
adalah melaksanakan kewajiban. Orang yang melalaikan kewajiban dapat
dikenakan sanksi sedangkan orang yang melalaikan haknya tidak apa-apa.2
Sengketa perdata kerap terjadi di setiap tempat di berbagai wilayah di
Indonesia. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan maka sengketa
perdata tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Sengketa menuntut adanya
pemecahan, penyelesaian dan hasil. Semakin cepat, efektif dan efisien maka
penyelesaian sengketa akan semakin baik keadaannya untuk para pihak yang
bersengketa.
Konflik atau sengketa dapat timbul karena ada pihak yang merasakan
situasi sosial dan ekonomi yang tidak adil atau hak dan kepentingannya
dirugikan. Oleh sebab itu, manusia menyuarakan ketidakpuasannya secara
terbuka dan melakukan usaha-usaha untuk mengubah ketidakadilan sosial
ekonomi agar menjadi situasi yang lebih adil. Dalam usahanya untuk
mengubah ketidakadilan menjadi berkeadilan, pihak itu mungkin menghadapi
pihak lain yang selama ini menikmati situasi yang tidak adil dan cenderung
untuk mempertahankan situasi sosial dan ekonomi yang telah mapan dan
menguntungkan pihaknya. Pertentangan antara pihak yang menginginkan

1
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,hlm.
18.
2
Ibid. hlm. 38.

1
perubahan dan pihak yang menolak perubahan menimbulkan konflik atau
sengketa.
Penyelesaian sengketa tergantung bagaimana pengelolaan sengketa.
Pengelolaan sengketa yang dimaksud disini adalah bagaimana cara pihak-
pihak yang bersengketa menghadapi dan berusaha menyelesaikan sengketa
yang dihadapinya. Banyak cara yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang
bersengketa di dalam menghadapi atau menyelesaikan sengketanya,
tergantung pada situasi dan kondisi yang ada padanya.3 Proses sengketa
bermula karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian/pendapat yang
berbeda beranjak ke situasi sengketa. Secara umum orang tidak akan memilih
untuk mengutarakan pendapat yang mengakibatkan konflik terbuka. Ini
disebabkan oleh kemungkinan timbulnya konsekuensi yang tidak
menyenangkan, yaitu dimana (pribadi atau sebagai wakil kelompoknya) harus
menghadapi situasi yang rumit yang mengundang ketidaktentuan sehingga
dapat mengubah kedudukan yang stabil atau aman.4
Penyelesaian sengketa merupakan suatu tahapan yang paling penting
dan sangat menentukan. Sengketa perdata dapat ditimbulkan dari pihak-pihak
yang memiliki tujuan-tuuan tertentu, terutama yang memberikan keuntungan
baginya. Setiap pihak memiliki kebebasan secara penuh untuk menentukan
dan memilih cara-cara atau mekanisme penyelesaian sengketa. Pihak manapun
tidak boleh memaksakan kehendak kepada pihak lainnya untuk memilih cara
penyelesaian sengketa.
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.5 Penyelesaian sengketa di luar

3
Nurnaningsih, Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 18.
4
Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis Alternative Dispute Resolutions, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 28.
5
Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata Class Action Serta Arbitrase & Alternatif, PT.
Grafitri, Bandung, 2003, hlm. 12.

2
pengadilan, berarti persengketaan atau perselisihan di antara para pihak belum
diajukan ke pengadilan, berarti persengketaan atau perselisihan di antara para
pihak belum diajukan ke pengadilan. Dalam hal ini, pertama, oleh karena
pihak yang bersengketa berusaha bersama-sama mencari solusi yang dapat
diterima oleh para pihak secara damai. Proses negosiasi yang dilakukan oleh
para pihak, masih memungkinkan dicapainya kata sepakat sehingga sengketa
tersebut dapat teratasi. Kedua, apabila para pihak yang bersengketa tidak dapat
menemukan kata sepakat untuk menyelesaikan persengketaan tersebut, dapat
ditempuh penyelesaiannya melalui pengadilan, dan di luar pengadilan. Namun
penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan
tetap membuka peluang ditempuhnya perdamaian.6 Agar penyelesaian yang
efektif dan efisien dapat tercipta, diperlukannya pertemuan diantara para pihak
dan memaparkan titik permasalahannya. Para pihak harus saling
mendengarkan dan menghargai setiap pendapat agar tidak merasa
dikesampingkan masing-masing pendapatnya.
Penggunaan pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut
bukan sesuatu yang harus dilakukan atau dijalankan terlebih dahulu. Hukum
melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah menyediakan beberapa
pranata pilihan penyelesaian sengketa secara damai yang dapat ditempuh para
pihak untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat perdata mereka, baik
dalam mendayagunakan pranata konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli. Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya dapat
ditempuh bila para pihak menyepakati penyelesaiannya melalui pranata
pilihan penyelesaian sengketa.7
Dalam perkara perdata untuk terlebih dahulu menempuh proses
mediasi sebelum pokok perkara di putus di pengadilan tingkat pertama. Jadi
penggunaan mediasi dalam konteks sengketa-sengketa lingkungan hidup,
konsumen lawan produsen, hak-hak asasi manusia, hubungan industrial,

6
Abdurrahman Konoras, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Secara Mediasi di
Pengadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Depok, 2017, hlm. 37.
7
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, CV. Sinar Grafika,
Jakarta, 2012, hlm. 7.

3
perbankan dan klaim asuransi yang kesemuanya bersifat sukarela (voluntary),
penggunaan mediasi untuk menyelesaikan sengketa yang telah diajukan ke
pengadilan negeri bersifat wajib (mandatory) atas dasar Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2016. 8
Mediasi adalah suatu proses yang bersifat pribadi, rahasia (tidak
terekspors keluar) dan kooperatif dalam menyelesaikan masalah. Karena
mediator selaku pihak ketiga yang tidak memihak membantu para pihak
(perorangan atau lembaga) yang bersengketa dalam menyelesaikan konflik
dan menyelesaikan atau mendekatkan perbedaan-perbedaannya. Mediasi
adalah cara yang praktis, efektif, relatif tidak formal seperti proses di
pengadilan. Mediasi memiliki biaya yang lebih murah atau bahkan dapat tidak
dikenakan biaya daripada melalui proses penyelesaian melalui pengadilan.
Dalam proses mediasi, semua pihak bertemu secara pribadi dan langsung
dengan mediator bersama-sama dan/atau dalam pertemuan yang berbeda.
Dalam pertemuan ini semua pihak saling memberian informasi, keterangan,
penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapi dan juga saling menukar
dokumen.
Mediasi merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa. Pada
dasarnya mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui
perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral
(nonintervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang
bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa.9
Kehadiran seorang mediator adalah untuk menciptakan suasana kondusif bagi
terselenggaranya proses perundingan yang bersifat kooperatif atau pemecahan
masalah dan bukan bersifat kompetitif. Mediator dapat memantau proses
berbagai informasi secara sepihak dan berkewajiban merahasiakan informasi
tersebut kepada pihak lain. Seorang mediator juga dapat mengemukakan saran
tentang substansi pemecahan masalah selain tentang proses perundingan itu

8
Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,
Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 68.
9
Ibid, hlm. 24.

4
sendiri.10 Segala sesuatu yang dihasilkan dalam proses mediasi harus
merupakan hasil kesepakatan atau persetujuan para pihak. Penyelesaian dapat
dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang bersengketa dapat menerima
penyelesaian itu. Namun terkadang karena berbagai faktor para pihak tidak
mampu mencapai penyelesaian sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu.
Walaupun mediasi memiliki banyak kelebihan sebagai upaya
penyelesaian sengketa, tetapi produk hukumnya berupa perjanjian yang
merupakan kesepakatan para pihak. Perjanjian yang menjadi produk dari
mediasi tersebut tidak memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan
pengadilan. Hal ini menyebabkan sulitnya dilakukan penegakan atas isi dari
apa yang telah disepakati oleh para pihak dalam proses mediasi.11 Esensi dari
mediasi adalah sifatnya yang sukarela dan kenyataan bahwa setiap
penyelesaian yang dicapai merupakan hasil kesepakatan para pihak yang
bersengketa. Mediasi tidak mengandung unsur pemaksaan yang tidak saja
dapat membuat proses menjadi begitu menarik, akan tetapi sebaliknya
memungkinkan para pihak mencapai penyelesaian yang tidak mungkin dicapai
oleh pengadilan dan ini berarti bahwa kerugian yang timbul disebabkan oleh
sengketa dapat ditekan serendah mungkin.12
Penggunaan mediasi diharapkan dapat mengatasi penumpukan
perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui perdamaian,
maka jumlah perkara yang masuk ke pengadilan akan semakin berkurang
karena perdamaian merupakan kehendak para pihak. Mediasi diharapkan
dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan
yang dicapai dan diperoleh melalui proses musyawarah mufakat oleh para
pihak.
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa

10
Firotin Jamilah, Strategi Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2014, hlm. 70.
11
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional di Indonesia
dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 17.
12
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu
Pengantar, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm. 36.

5
tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Mengingat mediator sangat menentukan efektivitas proses penyelesaian
sengketa, maka harus secara layak memenuhi kualifikasi tertentu serta
berpengalaman dalam komunikasi dan negosiasi agar mampu mengarahkan
para pihak yang bersengketa.
Pengelolaan sengketa sangat penting untuk diketahui oleh para pihak
agar mengetahui sejauhmana cara penyelesaian sengketa yang dihadapi sesuai
dengan sengketa yang ada, dan hasil apa yang diharapkan melalui metode
penyelesaian sengketa yang dipilih. Dalam hukum perdata sangat penting
untuk membina hubungan terutama dalam kekeluargaan, bisnis dengan
kerabat dan sebagainya sehingga metode penyelesaian yang tepat adalah
dengan mediasi. Walaupun penyelesaian sengketa melalui mediasi tidak
bersifat formal tetapi penyelesaian sengketa melalui mediasi juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Dalam Pasal 6 ayat (3) undang-undang tersebut
menjelaskan bahwa, mediasi merupakan proses kegiatan sebagai kelanjutan
dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan
Pasal 6 ayat (2), akan tetapi undang-undang tersebut tidak memberikan
rumusan definisi yang jelas mengenai mediasi ataupun mediator.
Pada konsidi tertenu, mediasi menjadi unggul berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Di masa adanya pandemi dan dilakukannya physical distancing,
kebijakan Mahkamah Agung pada Pasal 5 ayat (3) mendukung physical
distancing dengan ketentuan pertemuan mediasi dapat dilakukan melalui
media komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak
saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam
pertemuan. Tidak hanya dengan tatap muka secara langsung, tetapi mediasi
dapat dilangsungkan menggunakan teknologi yang semakin canggih sehingga
disaat pandemi mengurangi rasa khawatir akan bahaya kontrak antar manusia
disaat melakukan penyelesaian sengketa.

6
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana prosedur mediasi dalam penyelesaian sengketa menurut
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016?
2. Bagaimana prosedur mediasi di luar pengadilan menurut Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prosedur mediasi
dalam penyelesaian sengketa menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2016. Kemudian untuk mengetahui prosedur mediasi di luar
pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prosedur Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Menurut Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
Pengertian prosedur mediasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1
butir 9 adalah tahapan proses mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung. Pada intinya prosedur yang diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung terdiri atas pra mediasi dan tahap-tahap proses mediasi.
Pada tahap pra mediasi, antara lain mengatur kewajiban hakim, hak para
pihak memilih mediator, batas waktu pemilihan mediator dan prinsip
itikad baik. Tahap mediasi meliputi penyusunan resume, lama waktu
proses mediasi, kewenangan mediator, tugas-tugas mediator, keterlibatan
ahli, mencapai kesepakatan dan tidak mencapai kesepakatan, akibat-akibat
dari kegagalan mediasi.13
Mediasi di pengadilan di bagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pra
mediasi dan tahapan mediasi, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap Pra Mediasi
Apabila pada hari dan tanggal yang sudah ditentukan dan kedua
pihak hadir, maka berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 sebelum pemeriksaan dimulai,
hakim mewajibkan kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkaranya
secara damai dengan cara mediasi.14
Kemudian ketua majelis hakim menjelaskan prosedur mediasi yang
harus ditempuh oleh kedua belah pihak sehubungan dengan mediasi yang
akan dilaksanakan hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (6)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016. Sebagai langkah awal,
hakim menyarankan kepada pihak untuk memilih mediator yang akan
membantu para pihak dalam proses mediasi.15

13
Takdir Rahmadi, Op.cit., hlm. 151.
14
Pasal 17 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
15
Pasal 17 ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.

8
Dari penjelasan Pasal 20 hakim pemeriksa memberikan waktu pada
hari itu juga untuk para pihak memilih mediator atau dalam waktu paling
lama dua hari berikutnya. Apabila telah ditetapkan penunjukan sebagai
mediator, mediator yang bersangkutan harus menentukan hari dan tanggal
pertemuan mediasi ini sesuai dengan Pasal 21 Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2016.16
Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan itikad baik.
Salah satu pihak apabila dinyatakan oleh mediator tidak beritikad baik
sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2016 maka dikenai kewajiban pembayaran biaya mediasi. Jika para
pihak secara bersama-sama dinyatakan tidak beritikad baik oleh mediator,
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh hakim pemeriksa perkara
tanpa penghukuman biaya mediasi.17
Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan berikut:18
a) Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan.
b) Advokat atau akademisi hukum.
c) Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau
berpengalaman dalam pokok sengketa.
d) Hakim majelis pemeriksa perkara.
e) Gabungan antara mediator yang dimaksud dalam butir a dan d, atau
gabungan butir b dan d atau gabungan butir c dan d.
2. Tahap Proses Mediasi
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
penetapan, para pihak menyerahkan resume pekara kepada pihak lain dan
mediator. Proses mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak penetapan perintah mediasi. Dapat diperpanjang apabila
ada persetujuan dari para pihak berlangsung paling lama 30 (tiga puluh)
hari, hal ini merupakan penjelasan dari Pasal 24 Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2016, atas persetujuan dari para pihak mediator

16
Pasal 21 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
17
Pasal 23 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
18
Nurnaningsih Amriani, Op.cit., hlm. 148.

9
dapat menghadirkan ahli/tokoh agama. Apabila mediasi mencapai
kesepakatan dengan mediator dapat merumuskan kesepakatan secara
tertulis dalam kesepakatan perdamaian sebagaimana ditandatangani oleh
para pihak dan mediator. Kesepakatan perdamaian yang dikuatkan dengan
akta perdamaian tunduk pada ketentuan keterbukaan informasi
pengadilan.19
Menurut Pasal 25 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2016 mengenai ruang lingkup materi pertemuan mediasi bahwa materi
perundingan dalam mediasi tidak terbatas pada posita dan petitum gugatan.
Dalam hal ini mediasi mencapai kesepakatan atas permasalahan di luar
sebagaimana diuraikan dalam Pasal 25 ayat (1), penggugat mengubah
gugatan dengan memasukkan kesepakatan tersebut di dalam gugatan.20
3. Tahap Akhir Proses Mediasi
Apabila mediasi berhasil mencapai kesepakatan, para pihak dengan
bantuan mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dalam
kesepakatan perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak dan
mediator. Dalam membantu merumuskan kesepakatan perdamaian,
mediator wajib memastikan kesepakatan perdamaian tidak memuat
ketentuan yang:21
a) Bertentangan dengan hukum, ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
b) Merugikan pihak ketiga.
c) Tidak dapat dilaksanakan.
Para pihak juga dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada
hakim pemeriksa perkara agar dikuatkan dalam akta perdamaian melalui
mediator. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian,
maka akan dikuatkan dalam akta perdamaian, kesepakatan perdamaian
wajib memuat pencabutan gugatan. Kemudian mediator wajib melaporkan
secara tertulis keberhasilan mediasi kepada hakim pemeriksa perkara
dengan melampirkan kesepakatan perdamaian. Hal ini diatur dalam Pasal

19
Nurnaningsih Amriani, Op.cit., hlm. 148.
20
Pasal 25 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
21
Pasal 27 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.

10
27 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2016.
Pengertian Kesepakatan perdamaian dan akta perdamaian diatur
dalam Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
Kesepakatan perdamaian adalah kesepakatan hasil mediasi dalam bentuk
dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang
ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Sedangkan akta perdamaian
adalah akta yang memuat isi naskah perdamaian dan putusan hakim yang
menguatkan kesepakatan perdamaian.
Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator
memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada
kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat
dilaksanakan atau yang memuat itikad tidak baik. Para pihak wajib
menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan
untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian.22
Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti putusan hakim yang
biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in cracht van
gewijsde). Bagi pihak yang diharuskan menyerahkan sesuatu atau
diharuskan untuk membayar suatu jumlah uang tertentu, apabila ternyata
tidak mau dengan sukarela memenuhi kewajiban hukumnya, maka
eksekusi dilakukan menurut cara biasa, artinya penyerahan barang yang
harus diserahkan itu dilaksanakan secara paksa, atau pelelangan (penjualan
di muka umum) dilakukan terhadap barang-barang yang bersangkutan
untuk memperoleh jumlah uang yang harus dibayar kepada pihak yang
berhak menerima pembayaran tersebut termasuk biaya perkara.23
Berkaitan dengan hal pembuktian, akta perdamaian memiliki
kekuatan pembuktian sempurna. Artinya apabila akta perdamaian tersebut
dijadikan alat bukti, maka tidak memerlukan alat bukti pendukung lainnya
untuk membuktikan telah terjadinya peristiwa maupun hubungan hukum

22
Nurnaningsih Amriani, Op.cit., hlm. 51.
23
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju,Bandung, 2009, hlm. 36.

11
lainnya yang telah menimbulkan hak dan kewajiban. Karena akta
perdamaian sama halnya dengan akta otentik buatan pejabat umum yakni
hakim melalui putusan perdamaian dan dibuat secara sengaja untuk dapat
dijadikan dan digunakan sebagai alat bukti. Akta perdamaian juga
mempunyai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga meskipun akta
perdamaian tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat pada pihak ketiga.
Jadi, apabila pihak ketiga merasa dirugikan dengan adanya akta
perdamaian tersebut, maka pihak ketiga dapat mengajukan gugatan dengan
menggunakan akta perdamaian sebagai alat buktinya.
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Pasal
4 ayat (2) terdapat sengketa yang dikecualikan dari kewajiban
penyelesaian melalui mediasi, yaitu:24
a. Sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang
waktu penyelesaiannya meliputi antara lain:
1. Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga.
2. Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan
Industrial.
3. Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
4. Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
5. Permohonan pembatalan putusan arbitrase.
6. Keberatan atas putusan Komisi Informasi.
7. Penyelesaian perselisihan partai politik.
8. Sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana.
9. Sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan
tenggang waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b. Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat
atau tergugat yang telah dipanggil secara patut.
c. Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu
perkara (intervensi).

24
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.

12
d. Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan
pengesahan perkawinan.
e. Sengketa yang diajukan ke pengadilan setelah diupayakan penyelesaian
di luar pengadilan melalui mediasi dengan bantuan mediator
bersertifikat yang terdapat di pengadilan setempat tetapi dinyatakan
tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh para
pihak dan mediator bersertifikat.
Ketentuan bahwa pada asasnya tiap orang yang menjalankan fungsi
mediasi di pengadilan harus memiliki sertifikat dapat disimpangi, yaitu
apabila dalam sebuah wilayah pengadilan tidak ada hakim, advokat,
akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat, maka
semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan
fungsi mediator meskipun mereka tidak memiliki sertifikat mediator.25
Adanya pengecualian terhadap asas bahwa tiap orang yang menjalankan
fungsi mediator harus memiliki sertifikat dapat difahami karena
pertimbangan praktis dan semangat untuk mendorong upaya perdamaian
para pihak. Mahkamah Agung berpandangan bahwa sertifikat mediator
adalah perlu sebagai salah satu upaya penjaminan mutu fungsi mediator,
namun dalam keadaan atau situasi tertentu ketentuan itu dapat disimpangi
karena upaya mediasi tidak boleh ditunda hanya karena ketiadaan
sertifikat.26
Proses mediasi yang gagal menghasilkan kesepakatan perdamaian
dapat terjadi karena dua kemungkinan atau kondisi. Pertama, mediasi
dianggap gagal jika setelah batas waktu maksimal yang ditentukan, yaitu
40 (empat puluh) hari atau waktu perpanjangan empat belas hari telah
terpenuhi, namun para pihak belum juga menghasilkan kesepakatan. Jika
kondisi ini terjadi, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa
mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan itu kepada hakim
pemeriksa. Selanjutnya, hakim memeriksa sesuai dengan ketentuan hukum

25
Pasal 12 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
26
Takdir Rahmadi, Op.cit., hlm. 163.

13
acara yang berlaku. Kedua, mediator juga memiliki kewenangan untuk
menyatakan mediasi telah gagal meskipun batas waktu maksimal belum
terlampaui jika mediator menghadapi situasi.27
Para pihak dengan atau tanpa bantuan mediator bersertifikat yang
berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepatakan
perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian dan dokumen
sebagai alat bukti yang menunjukkan hubungan hukum para pihak dengan
objek sengketa.28 Hakim pemeriksa perkara di hadapan para pihak hanya
akan menguatkan kesepakatan perdamaian menjadi akta perdamaian, jika
kesepakatan perdamaian sesuai dengan ketentuan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 27 ayat (2).29
Keuntungan mediasi bagi pengadilan adalah:30
a) Mengurangi jumlah perkara yang masuk ke pengadilan.
b) Mengurangi penundaan dalam penyelesaian sengketa.
c) Hakim berkesempatan lebih mendalami setiap perkara, sehingga akan
meningkatkan mutu putusan demi kepentingan perkembangan hukum
maupun kepentingan pihak yang bersangkutan.
d) Mediasi merupakan salah satu alat penangkal atas kepercayaan sosial
yang rendah terhadap reputasi hakim. Karena penyelesaian mediasi
ditentukan oleh pihak-pihak, bukan oleh hakim.
e) Secara berangsur-angsur berperkara di pengadilan dapat lebih diarahkan
pada persoalan-persoalan hukum (bukan nilai perkara) yang kompleks
dan mendasar yang akan mempengaruhi perkembangan hukum, bahkan
ilmu hukum termasuk pula mediasi telah menonjol pada sengketa-
sengketa yang bersifhat keperdataan.

27
Ibid, hlm. 188-189.
28
Pasal 36 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
29
Pasal 36 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.
30
Sugiatminingsih, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, Jurnal Salam, ISSN : 1410-4512, Volume 12,” Salam : Jurnal Studi Masyarakat Islam:
12, No. 2 (2009): 129-39, hlm. 132. Diakses pada 20 Juni 2020 Pukul 16.22 WIB.

14
B. Prosedur Mediasi Di luar Pengadilan Menurut Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Prosedur mediasi terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu pra mediasi,
pelaksanaan mediasi, penutupan mediasi dan pelaksanaan akta
perdamaian. Tahapan itu akan diuraikan secara ringkas.31
1. Pra mediasi
Tahap ini berisi kegiatan-kegiatan:
a. Para pihak bersepakat menunjuk mediator secara tertulis dan
mediator menerima penunjukan tersebut secara tertulis.
b. Mediator mulai mengidentifikasi para pihak, menganalisa sengketa
dan berusaha bertemu dengan para pihak dan mempertemukan para
pihak, memperkenalkan diri, menegaskan posisi sebagai pihak ketiga
independen dan membantu kedua belah pihak mengakhiri sengketa
secara damai, mendesain bentuk-bentuk pertemuan, merumuskan
tata tertib dan tata cara mediasi, memastikan komitmen para pihak
terhadap biaya yang akan dikeluarkan (akomodasi, logistik,
honorarium, transportasi dan komunikasi).
2. Pelaksanaan mediasi
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap ini, adalah:
a. Mediator membuka forum mediasi, dengan kegiatan:
a) Perkenalan diri dan mengenal tim dari para pihak.
b) Menawarkan aturan main (tata tertib dan tata cara) mediasi.
c) Meminta komitmen para pihak agar terbuka, jujur dan beritikad
baik dalam menjalankan mediasi.
b. Pernyataan (statement) dari masing-masing pihak. Pernyataan para
pihak antara lain berisi ilustrasi kasus, penegasan posisi, keinginan
(tujuan), komitmen dan tawaran-tawaran.
c. Mediator mengisolasi masalah agar tetap fokus dan tidak melebar.

31
Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 44-
45.

15
d. Terjadi proses negosiasi antara para pihak. Para pihak saling
menawarkan kemungkinan untuk mencapai kesepakatan. Mediator
berperan mengarahkan, mengingatkan dan berusaha menggiring para
pihak menemukan solusi yang saling menguntungkan.
e. Mediator memunculkan berbagai kemungkinan solusi yang dapat
dipilih untuk mempertemukan keinginan masing-masing pihak.
f. Mediator memantapkan pilihan solusi yang disepakati oleh para
pihak, mengembangkan model implementasi dan pengawasannya.
g. Mediator menyusun draft akta kompromi untuk dibahas oleh para
pihak sampai adanya kesepakatan bersama.
3. Penutupan mediasi
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan, yaitu:
a. Penandatanganan akta kompromi.
b. Mediator menegaskan komitmen pelaksanaan akta kompromi secara
sukarela dan bertanggungjawab.
4. Pelaksanaan akta perdamaian
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 6 ayat
(7) sebelum dilaksanakan akta kompromi harus didaftarkan di
Pengadilan Negeri paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
ditandatangani dan harus sudah dilaksanakan dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur mengenai
pilihan dalam penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah para pihak
yang bersengketa. Sengketa atau beda pendapat yang dapat diselesaikan
oleh para pihak melalui pilihan penyelesaian sengketa hanyalah sengketa
atau beda pendapat di bidang perdata saja. Penyelesaian dalam bentuk
perdamaian ini hanya akan mencapai tujuan dan sasarannya apabila
didasarkan pada itikad baik di antara pihak yang bersengketa atau berbeda

16
pendapat dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi
di Pengadilan Negeri.32
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersirat mengenai prosedur
mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu:
1. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad
baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di
Pengadilan Negeri.
2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif
penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh
para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya
dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka
atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator.
4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator
tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak
dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari
usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
6. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediasi
dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang
ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.

32
Rachmadi Usman, Op.cit., hlm. 7.

17
7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara ertulis
adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad
baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat wajib selesai
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pendaftaran.
9. Apabila usaha perdamaian tidak dapat dicapai, maka para pihak
berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha
penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.33
Berbeda dengan perdamaian yang telah berhasil dilakukan oleh hakim
di dalam sidang, perdamaian yang dilakukan oleh para pihak sendiri di luar
sidang. Perdamaian semacam ini hanya berkekuatan sebagai persetujuan
kedua belah pihak saja, yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak,
masih harus diajukan melalui suatu proses di pengadilan. Persoalannya
hanya selesai untuk sementara dan sama sekali tidak dapat dijamin bahwa
suatu ketika tidak akan meletus lagi dan mungkin lebih hebat dari yang
semula.34
Dalam hal ini, putusan dari mediasi mengikat para pihak setelah
terlebih dahulu dipastikan bahwa tidak ada kesepakatan yang melanggar
hukum dan tidak ada pihak ketiga yang tidak terlibat dalam proses mediasi
yang dirugikan. Apabila perdamaian ingin dikuatkan atau memiliki
kekuatan hukum maka harus melalui gugatan ke pengadilan, setelah itu
akan di mediasi di pengadilan dan para pihak dapat mengajukan butir-butir
perdamaian yang telah dilakukan di luar pengadilan untuk menjadi sebuah
akta perdamaian yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat serta
memiliki hak eksekutorial.

33
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
34
Sutantio Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.cit., hlm. 37.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa yang
dilakukan di luar pengadilan (non litigasi) yang mengedepankan
win-win solution, untuk tetap menjaga hubungan baik para pihak
karena manusia pada dasarnya saling membutuhkan. Mediasi adalah
suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih
melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral
(mediator) yang tidak memiliki kewenangan memutus akan tetapi
memberikan bantuan prosedural dan substansial.
2. Prosedur mediasi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Prosedur
mediasi juga terdapat di dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan, salah satunya prosedur mediasi yang dilakukan di dalam
Pengadilan menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
B. Saran
1. Perlunya untuk melakukan pengaturan mediasi yang seharusnya
disesuaikan dengan sengketa perdata yang terjadi di masyarakat.
Tugas dan wewenang yang dimiliki mediator juga seharusnya diatur
dengan perundang-undangan untuk mempermudah penanganan
sengketa agar sesuai dengan kemampuan dan keahlian mediator
tersebut dengan terus meningkatkan profesionalisme dan kecakapan
serta mengikuti perkembangan teknologi dan informasi.
2. Prosedur mediasi yang dilakukan di luar pengadilan (non litigasi)
yang tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi memiliki proses yang sederhana,
singkat dan berbiaya murah namun di pengadilan, mediasi dapat
menekan juga terhadap biaya mediasi atau ditiadakannya biaya
mediasi. Tetapi itu semua berdasarkan kesanggupan para pihak
maupun mediator yang menangani sengketa tersebut.

19
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006.

Abdurrahman Konoras, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Secara


Mediasi di Pengadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Depok, 2017.

Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa


di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, 2010.

Firotin Jamilah, Strategi Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit


Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2014.

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase


Nasional di Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta,
2012.

Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata Class Action Serta Arbitrase


& Alternatif, PT. Grafitri, Bandung, 2003.

Nurnaningsih, Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa


Perdata di Pengadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa


Suatu Pengantar, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2002.

Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik,


CV. Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara


Perdata Dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju,Bandung,
2009.

Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis Alternative Dispute


Resolutions, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010.

Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui


Pendekatan Mufakat, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.

20
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan


Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur


Mediasi di Pengadilan.

C. JURNAL
Sugiatminingsih, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
di Luar Pengadilan, Jurnal Salam, ISSN : 1410-4512, Volume
12,” Salam : Jurnal Studi Masyarakat Islam: 12, No. 2 (2009).

21

Anda mungkin juga menyukai