Hingga saat ini takrif pengertian lahan kering di Indonesia belum disepakati
benar. Di dalam bahasa Inggris banyak istilah-istilah yng dipadankan dengan lahan
kering seperti upland, dryland dan unirrigated land, yang menyiratkan penggunan
pertanian tadah hujan. Istilah upland farming, dryland farming dan rainfed farming
dua istilah terakhir yang digunakan untuk pertanian di daerah bercurah hujan terbatas.
Penertian upland mengandung arti lahan atasan yang merupakan lawan kata bawahan
(lowland) yang terkait dengan kondisi drainase (Tejoyuwono, 1989) dalam Suwardji
(2003). Sedangkan istilah unirrigated land biasanya digunakan untuk teknik pertanian
yang tidak memiliki fasilitas irigasi. Namun pengertian lahan tidak beririgasi tidak
memisahkan pengusahaan lahan dengan system sawah tadah hujan.
1
regions such as the steppes of Eurasia and Argentina. Dryland farming was introduced
to the southern Russian Empire by Russian Mennonites under the influence of Johann
Cornies, making the region the breadbasket of Russia.[1] Winter wheat is the typical crop
although skilled dryland farmers sometimes grow corn, beans or even watermelons.
Successful dryland farming is possible with as little as 15 inches (380 mm) of
precipitation a year, but much more successful with 20 inches (510 mm) or more. It is
also known that Native American tribes in the arid SouthWest subsisted for hundreds of
years on dryland farming in areas with less than 10 inches (250 mm) of rain.
There are many techniques to dry farm. Some common techniques are to pull weeds
that suck moisture, plant seeds deep in the ground to get maximum moisture and
fallowing the land. Another technique is to plant crops in every other row. This way the
odd rows' moisture will be built up for 2 years. This technique uses a lot of space since
the farmer is only using half the land for profit.
Lahan kering = lahan dengan keterbatasan ketersediaan air atau mengalami musim
kering sangat panjang (8–9 bulan)
Lahan kering = hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air
selama periode sebagian besar waktu dalam setahun (soil Survey Staffs, 1998)
2
Lahan kering = hamparan lahan yang didaya gunakan tanpa penggenangan air, baik
secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi
(Suwardji, 2003).
Tipologi lahan kering ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga
dataran tinggi (> 700m dpl) dpl = Di atas Permukaan Laut = Sea Level
• Dryland = daerah dengan presipitasi (curha hujan) tahunan kurang dari 250
mm.
• Upland = keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar
(bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basah
alamiah lain);
• Unirigated land = lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan
atau juga lahan yang tidak memiliki fasilitas irigasi.
Atas dasar:
• Pengertian Arid & Semi-Arid
• Pengertian Lahan Kering
Maka Uraikan tentang: Pengertian “Ekologi Lahan Kering” (Diskusikan)
Akan tetapi coba perhatikan defensi berikut ini:
3
Lahan kering umumnya terdapat didataran tinggi (daerah pegunungan) yang
ditandai dengan topografinya yang bergelombang dan merupakan daerah penerima
dan peresap air hujan yang kemudian dialirkan kedataran rendah, baik melalui
permukaan tanah (sungai) maupun melalui jaringan bumi air tanah. Jadi lahan kering
didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan pertaniannya lebih banyak
menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering diterjemahkan dari kata “upland”
yang menunjukkan kepada gambaran “daerah atas” (Hasnudi dan Saleh, 2006)
untuk kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi potensial melebihi
jumlah curah hujan actual atau daerah yang jumlah curah hujannya tidak
mencukupi untuk usaha pertanian tanpa irigasi disebut dengan “Daerah Kering”.
untuk lahan dengan draenase alamiah lancar dan bukan merupakan daerah
dataran banjir, rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan basah alamiah
lain istilahnya lahan atasan atau Upland.
untuk lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan, istilahnya lahan
kering.
4
tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang
rumput, dan padang alang-alang.
Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan
luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka
pengembangan sangat perlu dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan
Kering di Malang (1991) penggunaan lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai
berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang sedang tidak diusahakan,
ladang dan padang rumput.
Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif lebih luas
dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971). Selanjutnya menurut Hidayat dkk
(2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau
tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering secara keseluruhan
memiliki luas lebih kurang 70 %. Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk
keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan
sudah sangat berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat
cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan
meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman
pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan.
Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan. Upaya
lainnya dengan pembukaan lahan baru sudah tidak terelakkan lagi.
5
antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada ketinggi diatas
700 meter dpl (Hidayat, 2000)
B. Argroekosistem
6
Ekosistem pertanian adalah berbagai unit dasar aktivitas pertanian yang terkait
secara ruang dan fungsi, yang mencakup komponen biotik dan abiotik dan interaksinya.
Sebuah ekosistem pertanian dapat dipandang sebagai bagian dari ekosistem
kovensional.
a. Berdasarkan Iklim.
1. Lahan kering iklim basah (LKIB) yaitu daerah yang memiliki curah hujan diatas 2500
mm/tahun
2. Lahan kering iklim kering (LKIK) yaitu daerah yang memiliki curah hujan dibawah
2000 mm/ tahun
1. Lahan kering dataran tinggi (LKDT) yaitu daerah yang berada pada ketinggian
diatas 700 meter dpl.
2. Lahan kering dataran rendah (LKDR) yaitu daerah yang berada pada ketinggian 0 –
700 meter dpl (di atas permukaan laut).
7
c. Berdasarkan Jenis tanah.
8
sehingga tanah menjadi tidak subur lagi. Menurut Sutono dkk (2007) akibat erosi yang
terjadi selama musim hujan tidak hanya menghanyutkan butiran-butiran tanah akan
tetapi juga menghanyutkan pupuk dan kompos yang diberikan ketanah juga ikut hanyut
sehingga tanah menjadi kurus, oleh sebab itu erosi harus dicegah sedini mungkin.
Dampak dari terjaninya erosi ini adalah di daerah bagian bawah terjadinya
pendangkalan pada daerah aliran sungai (DAS) yang berakibat terjadinya gangguan
keseimbangan ekosistim air setempat.
Erosi adalah sebagai akibat dari penggarapan lahan yang tidak tepat maka untuk
penggunaan lahan harus menerapkan teknik konservasi (Shaxson, 1988). Erosi
menyebabkan berkurangnya lapisan perakaran efektif, ketersediaan air untuk tanaman,
cadangan hara, bahan orgnik dan rusaknya struktur tanah (Lal, 1988). Masalah utama
yang dihadapi pada lahan kering beriklim basah bergelombang antara lain mudah
tererosi, bereaksi masam, miskin akan hara makro esensial dan tingkat keracunan
aluminium yang tinggi (Cook, 1988). Selanjutnya dinyatakan bahwa daerah tropis
merupakan medan dimana bertemunya dua kepentingan, yang pertama kegiatan untuk
mencapai dan mempertahankan swasembada pangan sedang yang kedua yang tidak
kalah pentingnya adalah usaha pelestarian lingkungan. Mengingat lahan merupakan
sumber daya yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, maka untuk memenuhi
kebutuhan pangan tidak ada pilihan lain selain mengembalikan kesuburan lahan yang
sudah tererosi.
Upaya Pengelolaan
Pengelolaan agrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari
pengelolaan ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati
areal dimana mereka menetap. Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian
dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di daerahnya. Menurut Soerianegara
(1977) pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan bagian dari interaksi atau
kerja sama masyarakat dengan agroekosistem sumberdaya alam. Pengelolaan
agroekosistem lahan kering merupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan
dalam mengubah atau memodifikasi ekosistem sumberdaya alam agar bisa diperoleh
9
manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya. Komoditas
yang diusahatan tentunya disesuaikan dengan kondisi setempat dan manfaat ekonomi
termasuk pemasaran. Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan pengelolaan
agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki dan
memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable resourses) di
daerahnya. Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan kering untuk pertanian
berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah pelestarian
lingkungan.
Konservasi
Salah satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat eksplorasi berlebihan,
yaitu dengan menerapkan sistem budidaya lorong dalam pengembangan sistem
usahatani lahan kering, karena sistem ini memberikan banyak keuntungan diantaranya
dapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan produktivitas tanah karena adanya
penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman pagar, dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman serta dapat menciptakan kondisi
iklim mikro (suhu) diantara lorong tanaman (Sudharto et al., 1996).
Pemberian bahan hijauan sebagai mulsa yang berasal dari pangkasan tanaman
legume yang dipangkas pada umur 1,5 – 2 bulan sekali dapat meningkatkan kadar
bahan organik tanah dan ketersediaan air, memperbaiki sifat fisik tanah, dan
meningkatkan produksi. Sistem bertanam lorong dapat mencegah erosi secara ganda
yaitu dengan mulsa hasil pangkasan dan pengurangan laju aliran permukaan
(Adiningsih dan Sudjadi, 1989).
Hasil pengkajian Basri dkk,. (2001) dengan penerapan sistim budidaya lorong
di Kabupaten Rejang lebong menunjukkan bahwa dengan adanya barisan tanaman
penyangga erosi rumput raja (King grass) yang ditanam sejajar dengan garis kontur
secara efektif dapat mengurangi laju erosi. Selanjutnya dari hasil pangkasan king grass
yang dilaksanakan setiap bulan dapat menghasilkan 0,5 ton bahan hijauan yang dapat
diberikan untuk sapi selama 20 hari. Dari luasan plot seluas 1 ha akan dihasilkan 1 ton
bahan hijauan yang dapat digunakan untuk pakan sapi. Pada pengkajian tahun
berikutnya (tahun kedua) teras sudah mulai terbentuk sebagai akibat penanaman teras
10
vegetatif dengan tanaman rumput raja. Dengan terbentuknya teras maka pada lahan
miring ini sudah terbentuk lahan usahatani yang representatif untuk berbagai jenis
tanaman baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan yang sesuai dengan
kondisi setempat dan menekan terjadinya erosi diwaktu hujan. Dengan terbentuknya
teras secara bertahap sampai menjadi permanen, disamping menjaga kelestarian
lahan juga menyebabkan produktifitas lahan akan lebih baik.
Teknologi konservasi lainnya yang diterapkan adalah paket teknologi untuk
pertanaman kopi muda di perkebunan rakyat. Paket ini secara fisik dan ekonomis
dapat diterapkan ditingkat petani dengan efisiensi yang lebih baik. Dengan
diterapkannya paket konservasi sistem vegetatif pada pertanaman kopi rakyat sangat
bermanfaat bagi petani dalam hal: (a). Lahan usaha mereka dapat dikelola secara
berkelanjutan karena kesuburan lahan dapat dipertahankan; (b). produktivitas tanaman
dapat dipertahankan atau ditingkatkan; (c). hasil tanaman dapat ditingkatkan; (d).
pendapatan rumah tangga petani meningkat (e) Kelestarian lingkungan pada lahan
miring dapat dipertahankan.
Pengaturan pola tanam.
Lahan kering yang murni hanya mengandalkan ketersediaan air dari curah hujan
dalam proses produksi pertanian, dimana pengaturan sistim pertanaman diatur dalam
bentuk tumpang sari menggunakan tanaman dengan umur panen yang berbeda dan
dalam pertumbuhannya tidak banyak memerlukan air dan merupakan salah satu
alternatif untuk memecahkan masalah keterbatasan air. Lahan kering pada umumnya
rawan terhadap erosi baik oleh air maupun oleh angin. Salah satu alternatif teknologi
untuk mengatasi erosi yaitu menggunakan sistim pertanaman lorong. Fungsi lainnya
dari pertanaman lorong adalah untuk menciptakan iklim mikro di lahan kering iklim
kering dan tanaman yang digunakan disesuaikan dengan tanaman yang biasa ditanam
petani dan tentunya memiliki pangsa pasar. Hasil penelitian Wisnu dkk (2005)
menyatakan dengan mengkombinasikan beberapa tanaman pangan ubi kayu, jagung,
kacang tanah, kedelai dan kacang hijau yang disusun dalam suatu pertanaman
tumpang sari dapat memberikan keuntungan dan dapat memberikan kestabilan cukup
11
baik dalam menghadapi keterbatasan curah hujan. Dibidang ekonomi mampu
memberikan kesinambungan pendapatan selama satu tahun kepada petani.
Embung
Embung atau tandon air adalah waduk berukuran mikro dilahan pertanian
(small farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan diwaktu
musim hujan dan menggunakannya jika diperlukan tanaman pada waktu musim
kemarau. Teknik penggunaannya demikian sesuai bagi ekosistem lahan tadah hujan
yang memiliki intensitas dan distribusi curah hujan yang tidak pasti (Syamsiah dan Fagi,
2004).
Pembuatan embung dan penerapannya di lahan kering bagi petani sudah
banyak dilakukan khususnya di Indonesia bagiagian timur yang memiliki iklim kering
dengan keterbatasan air. Di Lombok Timur sebagai daerah yang beriklim kering
penggunaan embung sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar petani. Jumlah
embung milik rakyat saat ini adalah 1.458 buah dengan luas keseluruhan 755,58 ha
berupa genangan dan 3.083 ha berupa irigasi, rata-rata luas pemilikan embung setiap
petani di Lombok Timur adalah 0,51 ha. Hasil penelitian Wisnu dkk ( 2005) di
beberapa Desa di Lombok Timur dengan komoditi tembakau pada musim kering I (MK
air yang dicampur dengan dengan pupuk (ngecor) maka penggunaan air menjadi lebih
efisien dan biaya tenaga kerja dapat ditekan karena penyiraman dan pemupukan
12