Anda di halaman 1dari 12

PENGANTAR AGROEKOSISTEM

A. Konsep Pertanian Lahan Kering

Sebenarnya defenisi tentang pertanian lahan kering masih belum disepakati,


sehingga defenisi pertanian lahan kering hanya bisa mengacu kepada usulan-usulan
dan kebiasaan - kebiasaan yang dianut secara umum.
Pengertian dalam bidang Pertanian:
• Pertanian dalam arti sempit = usaha atau kegiatan bercocok tanam.
• Pertanian dalam arti luas = segala kegiatan manusia yang meliputi kegiatan
bercocok tanam, perikanan, peternakan dan kehutanan.
• Petani (farmer) adalah penyelenggara usaha tani.
• Usaha tani (farming) adalah sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budi
daya (tumbuhan maupun hewan).
• Sub sektor pertanian meliputi budidaya tanaman (termasuk tanaman pangan,
hortikultura, dan perkebunan), kehutanan, peternakan, dan perikanan.

Hingga saat ini takrif pengertian lahan kering di Indonesia belum disepakati
benar. Di dalam bahasa Inggris banyak istilah-istilah yng dipadankan dengan lahan
kering seperti upland, dryland dan unirrigated land, yang menyiratkan penggunan
pertanian tadah hujan. Istilah upland farming, dryland farming dan rainfed farming
dua istilah terakhir yang digunakan untuk pertanian di daerah bercurah hujan terbatas.
Penertian upland mengandung arti lahan atasan yang merupakan lawan kata bawahan
(lowland) yang terkait dengan kondisi drainase (Tejoyuwono, 1989) dalam Suwardji
(2003). Sedangkan istilah unirrigated land biasanya digunakan untuk teknik pertanian
yang tidak memiliki fasilitas irigasi. Namun pengertian lahan tidak beririgasi tidak
memisahkan pengusahaan lahan dengan system sawah tadah hujan.

Baca dan jelaskan isi Teks bahasa Inggris berikt:


Dryland farming is an agricultural technique for cultivating land which receives
little rainfall. Dryland farming is used in the Great Plains, the Palouse plateau of Eastern
Washington regions of North America, the Middle East and in other grain growing

1
regions such as the steppes of Eurasia and Argentina. Dryland farming was introduced
to the southern Russian Empire by Russian Mennonites under the influence of Johann
Cornies, making the region the breadbasket of Russia.[1] Winter wheat is the typical crop
although skilled dryland farmers sometimes grow corn, beans or even watermelons.
Successful dryland farming is possible with as little as 15 inches (380 mm) of
precipitation a year, but much more successful with 20 inches (510 mm) or more. It is
also known that Native American tribes in the arid SouthWest subsisted for hundreds of
years on dryland farming in areas with less than 10 inches (250 mm) of rain.

In marginal regions, a farmer should be financially able to survive occasional crop


failures, perhaps of several years running. A soil which absorbs and holds moisture is
helpful as is the practice of leaving stubble standing in the field to catch blowing snow.

There are many techniques to dry farm. Some common techniques are to pull weeds
that suck moisture, plant seeds deep in the ground to get maximum moisture and
fallowing the land. Another technique is to plant crops in every other row. This way the
odd rows' moisture will be built up for 2 years. This technique uses a lot of space since
the farmer is only using half the land for profit.

Berdasarkan uraian di atas, pengertian pertanian lahan kering tampaknya dibangun


berdasarkan sejarah atau kebiasaan, yaitu sistem pertanian yang ada di daerah dengan
curah hujan tahunan berkisar antara 250 mm (di USA) sampai 510 mm di Russia.

Beberapa Usulan Pengertian Lahan Kering:

Lahan kering = lahan dengan keterbatasan ketersediaan air atau mengalami musim
kering sangat panjang (8–9 bulan)

Lahan kering = hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air
selama periode sebagian besar waktu dalam setahun (soil Survey Staffs, 1998)

2
Lahan kering = hamparan lahan yang didaya gunakan tanpa penggenangan air, baik
secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi
(Suwardji, 2003).

Tipologi lahan kering ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga
dataran tinggi (> 700m dpl) dpl = Di atas Permukaan Laut = Sea Level

Terminologi lahan kering memiliki beberapa pengertian:

• Lahan kering di dunia internasional ada yang menyebut dengan istilah:


Dryland, Upland, dan Unirigated land.
• Menurut World Atlas desertification, dryland = zona iklim dengan rasio P/ETp
antara 0,05 -0,65 yang berada pada daerah arid, semi-arid dan dry sub-humid
(Dregne, 2002).

Literatur lain menyatakan bahwa:

• Dryland = daerah dengan presipitasi (curha hujan) tahunan kurang dari 250
mm.
• Upland = keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar
(bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basah
alamiah lain);
• Unirigated land = lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan
atau juga lahan yang tidak memiliki fasilitas irigasi.

Pengertian “lahan kering” di Indonesia umumnya sama dengan pengertian Upland


dan Unirigated land (Notohadiprawiro, 1989)

Atas dasar:
• Pengertian Arid & Semi-Arid
• Pengertian Lahan Kering
Maka Uraikan tentang: Pengertian “Ekologi Lahan Kering” (Diskusikan)
Akan tetapi coba perhatikan defensi berikut ini:

3
Lahan kering umumnya terdapat didataran tinggi (daerah pegunungan) yang
ditandai dengan topografinya yang bergelombang dan merupakan daerah penerima
dan peresap air hujan yang kemudian dialirkan kedataran rendah, baik melalui
permukaan tanah (sungai) maupun melalui jaringan bumi air tanah. Jadi lahan kering
didefinisikan sebagai dataran tinggi yang lahan pertaniannya lebih banyak
menggantungkan diri pada curah hujan. Lahan kering diterjemahkan dari kata “upland”
yang menunjukkan kepada gambaran “daerah atas” (Hasnudi dan Saleh, 2006)

Perhatikan pula usulan berikut ini:

Untuk menghilangkan kerancuan pengertian lahan kering dengan istilah


pertanian lahan kering Tejoyuwono (1989) dalam Suwardji (2003) menyarankan
beberapa pengertian sebagai berikut:

 untuk kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi potensial melebihi
jumlah curah hujan actual atau daerah yang jumlah curah hujannya tidak
mencukupi untuk usaha pertanian tanpa irigasi disebut dengan “Daerah Kering”.
 untuk lahan dengan draenase alamiah lancar dan bukan merupakan daerah
dataran banjir, rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan basah alamiah
lain istilahnya lahan atasan atau Upland.
 untuk lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan, istilahnya lahan
kering.

Kesepakatan pengertian lahan kering dalam seminar nasional pengembangan


wilayah lahan kering ke 3 di Lampung : (upland dan rainfed) adalah hamparan lahan
yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun
musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi (Suwardji, 2003)). Definisi
yang diberikan oleh soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah
hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode
sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran
rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka
jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan

4
tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang
rumput, dan padang alang-alang.

Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan
luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka
pengembangan sangat perlu dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan
Kering di Malang (1991) penggunaan lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai
berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang sedang tidak diusahakan,
ladang dan padang rumput.

Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif lebih luas
dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971). Selanjutnya menurut Hidayat dkk
(2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau
tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering secara keseluruhan
memiliki luas lebih kurang 70 %. Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk
keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan
sudah sangat berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat
cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan
meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman
pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan.
Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan. Upaya
lainnya dengan pembukaan lahan baru sudah tidak terelakkan lagi.

Sejak akhir abad ke 19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau


Jawa dirasakan sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa.
Antara tahun 1875 – 1925 (50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari 350 persen
(Lombart, 2000). Hal ini terjadi akibat ketersediaan lahan basah di dataran rendah bagi
kebanyakan petani yang memanfaatkannya sebagai lahan pertanian pangan semakin
berkurang. Sebagian lagi penyusutan lahan basah didataran rendah akibat konversi
lahan menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali. Lahan kering dapat dibagi
dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada pada ketinggian

5
antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada ketinggi diatas
700 meter dpl (Hidayat, 2000)

Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah,


lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan
perbukitan. Relief tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan lahan
kering. Menurut Subagio dkk (2000) relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan
perbedaan ketinggian. Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya,
pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah).
Hinnga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara
berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah dataran
rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).

Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian


semusim untuk menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk
yang bermukim di pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan dan
perbukitan secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan
menyebabkan terjadinya erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Di negara
sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya bertmuara
pada merebaknya kemiskinan dan kelaparan. Sedangkan secara ekologi akan
mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi penurunan kekayaan hayati yang berat
(Scherr, 2003).

B. Argroekosistem

Agroekosistem adalah sebuah sistem lingkungan yang telah dimodifikasi dan


dikelola oleh manusia untuk kepentingan produksi pangan, serat dan berbagai produk
pertanian lain (Conway, 1987).

Bandingkan dengan pengertian ini:

6
Ekosistem pertanian adalah berbagai unit dasar aktivitas pertanian yang terkait
secara ruang dan fungsi, yang mencakup komponen biotik dan abiotik dan interaksinya.
Sebuah ekosistem pertanian dapat dipandang sebagai bagian dari ekosistem
kovensional.

Agroekosistem kebanyakan dipakai oleh negara atau masyarakat yang


berperadaban agraris. Kata agro atau pertanian menunjukan adanya aktifitas atau
campur tangan masyarakat pertanian terhadap alam atau ekosistem. Istilah pertanian
dapat diberi makna sebagai kegiatan masyarakat yang mengambil manfaat dari alam
atau tanah untuk mendapatkan bahan pangan, energi dan bahan lain yang dapat
digunakan untuk kelangsungan hidupnya (Pranaji, 2006). Dalam mengambil manfaat
ini masyarakat dapat mengambil secara langsung dari alam, ataupun terlebih dahulu
mengolah atau memodifikasinya. Jadi suatu agroekosistem sudah mengandung campur
tangan masyarakat yang merubah keseimbangan alam atau ekosistem untuk
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Para pakar lingkungan di Indonesia membagi Agroekosistem lahan kering kedalam


beberapa kategori berdasarkan iklim, ketinggian tempat dari permukaan laut dan
jenis tanah dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Berdasarkan Iklim.

1. Lahan kering iklim basah (LKIB) yaitu daerah yang memiliki curah hujan diatas 2500
mm/tahun
2. Lahan kering iklim kering (LKIK) yaitu daerah yang memiliki curah hujan dibawah
2000 mm/ tahun

b. Berdasarkan ketinggian tempat.

1. Lahan kering dataran tinggi (LKDT) yaitu daerah yang berada pada ketinggian
diatas 700 meter dpl.
2. Lahan kering dataran rendah (LKDR) yaitu daerah yang berada pada ketinggian 0 –
700 meter dpl (di atas permukaan laut).

7
c. Berdasarkan Jenis tanah.

1. Oxisol, merupakan tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan sangat


lanjut, penampang tanahnya dalam, bertektur liat sampai liat berat, porositasnya
tergolong tinggi, daya menahan air kecil dan didominasi mineral liat kaolinit, oksida
besi dan alumunium. Tanah ini relatif resisten terhadap erosi.
2. Inceptisol, Tanah ini tergolong masih muda dan sifat tanahnya bervariasi,
tergantung bahan induknya (tekstur halus dari pasir halus berlempung, sangat
masam sampai netral). Termasuk kedalam jenis-jenis utama lahan pertanian lahan
kering.
3. Ultisol, Tanah memiliki kejenuhan basa kecil dari 35 % pada kedalaman 125 cm.
Tanah ini telah mengalami pelapukan lanjut dan terjadi tranlokasi liat pada bahan
induk yang umumnya terdiri atas bahan kaya alumunium-silika dengan iklim basah.
4. Andisol. Tanah andisol mempunyai sifat- sifat andik dengan bahan induk berupa abu
volkan yang kaya gelas volkan dan mineral mudah lapuk. Sifat – sifatnya antara lain
berat isi ringan, kaya bahan organik, kaya gelas volkan yang mengandung mineral
amorf (alofan), mempunyai sifat tidak balik terhadap kekeringan, daya menahan
airnya tinggi sekali dan resisten terhadap erosi. Tekstur tanah bervariasi dari berliat
sampai berlempung kasar. Reaksi tanah umumnya agak masam

Pengelolaan lahan pertanian khususnya lahan kering yang lestari dan


berkelanjutan memerlukan penanganan yang profesional dan mengikuti kaidah
lingkungan. Menurut Goenadi (2002) pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan
memiliki lima pilar penyangga, yaitu Produktifitas, keamanan, proteksi, viabilitas dan
akseptibilitas. Pada lahan miring dengan kemiringan diatas 15 % aapabila tanah tidak
dikelola dengan baik/ditanami, maka sangat rentan terhadap terjadinya erosi diwaktu
hujan. Hal ini terjadi karena tanah tidak mampu meresapkan air hujan kedalam tanah,
sehingga terjadi aliran permukaan (Run of) yang menghanyutkan butiran-butiran tanah

8
sehingga tanah menjadi tidak subur lagi. Menurut Sutono dkk (2007) akibat erosi yang
terjadi selama musim hujan tidak hanya menghanyutkan butiran-butiran tanah akan
tetapi juga menghanyutkan pupuk dan kompos yang diberikan ketanah juga ikut hanyut
sehingga tanah menjadi kurus, oleh sebab itu erosi harus dicegah sedini mungkin.
Dampak dari terjaninya erosi ini adalah di daerah bagian bawah terjadinya
pendangkalan pada daerah aliran sungai (DAS) yang berakibat terjadinya gangguan
keseimbangan ekosistim air setempat.

Erosi adalah sebagai akibat dari penggarapan lahan yang tidak tepat maka untuk
penggunaan lahan harus menerapkan teknik konservasi (Shaxson, 1988). Erosi
menyebabkan berkurangnya lapisan perakaran efektif, ketersediaan air untuk tanaman,
cadangan hara, bahan orgnik dan rusaknya struktur tanah (Lal, 1988). Masalah utama
yang dihadapi pada lahan kering beriklim basah bergelombang antara lain mudah
tererosi, bereaksi masam, miskin akan hara makro esensial dan tingkat keracunan
aluminium yang tinggi (Cook, 1988). Selanjutnya dinyatakan bahwa daerah tropis
merupakan medan dimana bertemunya dua kepentingan, yang pertama kegiatan untuk
mencapai dan mempertahankan swasembada pangan sedang yang kedua yang tidak
kalah pentingnya adalah usaha pelestarian lingkungan. Mengingat lahan merupakan
sumber daya yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, maka untuk memenuhi
kebutuhan pangan tidak ada pilihan lain selain mengembalikan kesuburan lahan yang
sudah tererosi.

Upaya Pengelolaan
            Pengelolaan  agrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari
pengelolaan ekosistem sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati
areal dimana mereka menetap.  Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian
dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di daerahnya.  Menurut Soerianegara
(1977) pengelolaan  agroekosistem lahan kering   merupakan bagian dari interaksi atau
kerja sama masyarakat dengan agroekosistem sumberdaya alam.  Pengelolaan
agroekosistem lahan kering  merupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan
dalam mengubah atau memodifikasi ekosistem sumberdaya alam  agar bisa diperoleh 

9
manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya.  Komoditas
yang diusahatan tentunya disesuaikan dengan kondisi setempat dan manfaat ekonomi
termasuk pemasaran.  Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan pengelolaan
agroekosistem lahan kering dapat dipandang sebagai upaya memperbaiki dan
memperbaharui sumberdaya alam yang bisa dipulihkan (renewable resourses) di
daerahnya.  Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan kering untuk pertanian
berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah pelestarian
lingkungan.
 
Konservasi
 Salah satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat eksplorasi berlebihan,
yaitu dengan menerapkan sistem budidaya lorong dalam pengembangan sistem
usahatani lahan kering, karena sistem ini memberikan banyak keuntungan diantaranya
dapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan produktivitas tanah karena adanya
penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman pagar, dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman serta dapat menciptakan kondisi
iklim mikro (suhu) diantara lorong tanaman (Sudharto et al., 1996).
Pemberian bahan hijauan sebagai mulsa yang berasal dari pangkasan tanaman
legume yang dipangkas pada umur 1,5 – 2 bulan sekali dapat meningkatkan kadar
bahan organik tanah dan ketersediaan air, memperbaiki sifat fisik tanah, dan
meningkatkan produksi.   Sistem bertanam lorong dapat mencegah erosi secara ganda
yaitu dengan mulsa hasil pangkasan dan pengurangan laju aliran permukaan
(Adiningsih dan Sudjadi, 1989).
Hasil pengkajian Basri  dkk,. (2001) dengan penerapan sistim budidaya lorong
di Kabupaten Rejang lebong menunjukkan bahwa dengan adanya barisan tanaman
penyangga erosi   rumput raja (King grass) yang ditanam sejajar dengan garis kontur
secara efektif dapat mengurangi laju erosi.  Selanjutnya dari hasil pangkasan king grass
yang dilaksanakan setiap bulan dapat menghasilkan 0,5 ton bahan hijauan yang dapat
diberikan untuk sapi selama 20 hari. Dari luasan plot seluas 1 ha akan dihasilkan 1 ton
bahan hijauan yang dapat digunakan untuk pakan sapi.   Pada pengkajian tahun
berikutnya (tahun kedua) teras sudah mulai terbentuk sebagai akibat  penanaman teras

10
vegetatif dengan tanaman rumput raja.  Dengan terbentuknya teras maka pada lahan
miring ini sudah terbentuk lahan usahatani  yang representatif untuk berbagai jenis
tanaman baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan yang sesuai dengan
kondisi setempat dan  menekan terjadinya  erosi diwaktu hujan.  Dengan terbentuknya
teras secara bertahap sampai menjadi permanen, disamping menjaga kelestarian
lahan  juga menyebabkan produktifitas lahan akan lebih baik.
Teknologi konservasi lainnya yang diterapkan adalah paket teknologi untuk
pertanaman kopi muda di perkebunan rakyat.  Paket ini secara  fisik dan ekonomis
dapat diterapkan ditingkat petani dengan efisiensi yang lebih baik.  Dengan
diterapkannya paket konservasi sistem vegetatif pada pertanaman kopi rakyat sangat
bermanfaat bagi petani dalam hal: (a). Lahan usaha mereka dapat dikelola secara
berkelanjutan karena kesuburan lahan dapat dipertahankan; (b). produktivitas tanaman
dapat dipertahankan atau ditingkatkan; (c). hasil tanaman dapat ditingkatkan; (d).
pendapatan rumah tangga petani meningkat (e) Kelestarian lingkungan pada lahan
miring dapat dipertahankan.
 
Pengaturan pola tanam.
Lahan kering yang murni hanya mengandalkan ketersediaan air dari curah hujan
dalam proses produksi  pertanian,  dimana pengaturan sistim pertanaman diatur dalam
bentuk tumpang sari menggunakan tanaman dengan umur panen yang berbeda dan 
dalam pertumbuhannya tidak banyak memerlukan air dan  merupakan salah satu
alternatif untuk memecahkan masalah keterbatasan air. Lahan kering pada umumnya
rawan terhadap erosi baik oleh air maupun oleh angin.  Salah satu alternatif teknologi
untuk mengatasi erosi yaitu menggunakan sistim pertanaman lorong. Fungsi lainnya
dari pertanaman lorong adalah untuk menciptakan iklim mikro di lahan kering iklim
kering dan tanaman  yang digunakan disesuaikan dengan tanaman yang biasa ditanam
petani dan tentunya memiliki pangsa pasar. Hasil penelitian Wisnu dkk (2005) 
menyatakan dengan mengkombinasikan beberapa tanaman pangan  ubi kayu,  jagung, 
kacang tanah,  kedelai  dan kacang hijau  yang disusun dalam suatu pertanaman
tumpang sari dapat memberikan keuntungan dan dapat memberikan kestabilan cukup

11
baik dalam menghadapi keterbatasan curah hujan.  Dibidang ekonomi  mampu
memberikan kesinambungan pendapatan selama satu tahun kepada petani.  

Embung
            Embung  atau tandon air adalah waduk berukuran mikro  dilahan pertanian
(small farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan  diwaktu
musim hujan dan menggunakannya jika diperlukan  tanaman pada waktu musim
kemarau.  Teknik penggunaannya demikian sesuai bagi ekosistem lahan tadah hujan
yang memiliki intensitas dan distribusi curah hujan yang tidak pasti (Syamsiah dan Fagi,
2004).
            Pembuatan embung dan penerapannya di lahan kering bagi petani sudah

banyak dilakukan khususnya di Indonesia bagiagian timur yang memiliki iklim kering

dengan keterbatasan air.  Di Lombok Timur sebagai daerah yang beriklim kering

penggunaan embung sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar petani.  Jumlah

embung milik rakyat saat ini adalah 1.458 buah dengan luas keseluruhan 755,58 ha

berupa genangan dan 3.083 ha berupa irigasi, rata-rata luas pemilikan embung setiap

petani di Lombok Timur adalah 0,51 ha.  Hasil penelitian  Wisnu dkk ( 2005) di 

beberapa Desa di Lombok Timur dengan komoditi tembakau pada musim kering I (MK

I) memperlihatkan bahwa dengan penerapan / pemanfaatan embung sebagai sumber

air yang dicampur dengan dengan pupuk (ngecor) maka penggunaan air  menjadi lebih

efisien  dan biaya tenaga kerja dapat ditekan karena penyiraman dan pemupukan

dilakukan  secara bersamaan.

12

Anda mungkin juga menyukai