Anda di halaman 1dari 4

Menyikapi Rancangan aturan kelas standar rawat inap

Sebagaimana informasi yang sudah banyak kita terima terkait rencana penerapan
Klas standar untuk rawat inap sebagaimana termakdub dalam PP 47 /2021 pasal 18 dan pasal
84.
Sehingga pelayanan kelas 1,2,3 sudah tidak diberlakukan lagi, merupakan
implementasi dari UU 11/21 tentang cipta kerja dan UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Di kandung maksud bahwa semua orang sebagai peserta jaminan sosial
mendapatkan pelayanan baik medis maupun non medis yang sama atau tidak ada perbedaan.
BPJS di usianya yang ke 7 tahun dalam upaya menstabilitaskan ekonomi bangsa
menerapkan Amanah undang- undang dengan membuat aturan Kelas rawat inap standar
dengan kata lain tidak ada lagi kelas pelayanan.
RSI Banjarnegara yang merupakan pelaku industry Kesehatan yang bersandar
hampir 80 % hidupnya pada BPJS, lantas bagaimana dengan kebijakan tersebut apakah omzet
pendapatan akan naik atau tergerus oleh aturan tersebut mengingat jika non kelas berarti
pembayaran klaim akan sama bila asumsi klaim rawat jalan pada kisaran RP.75.000 /
paket….itu akan berpengaruh pada kita bila hanya berdiam diri.
Pemanfaatan JKN oleh masyarakat masih tergolong rendah pada kisaran 10 % untuk
rumah sakit dan 24 % pada tingkat puskesmas atau klinik dari total penerima manfaat JKN
untuk rawat jalan sedangkan rawat inap pada kisaran 1-4 %.( sumber :HEALS- januari 2022).
Dari data tersebut kita masih mempunyai kesempatan banyak dalam membangun infestasi
dunia Kesehatan dengan melakukan perubahan system untuk meraih peluang tersebut.

Kelas Rawat Inap Standar


Dengan diterbitkan Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2021 tentang penyelenggaraan
perumahsakitan sebagai implementasi UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka
aturan tempat tidur mengalami perubahan. Pada ketentuan baru, sudah dihapus konsep rawat
inap berbasis kelas .
Peruntukan rawat inap lain juga berubah, dimana jumlah ruang isolasi paling sedikit 10%,
pada rumah sakit pemerintah memiliki tanggung jawab mempersiapkan kapasitas lonjakan
saat ada wabah 20 % sehingga total kamar isolasi paling sedikit 30%. Sementara ada
perbedaan dengan RS Swasta, jumlah kamar isolasi di RS Swasta 10% dan kapasitas lonjakan
yang disiapkan 10% sehingga total menjadi 20%.
ketentuan lain di pasal 19 PP No 47 Tahun 2021 adalah kewajiban menyediakan paling
sedikit 10% untuk kamar intensif, sehingga ketentuan ini mengalami peningkatan dari 8%
pada Permenkes No 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perijinan rumah sakit.
Rumah sakit Swasta memiliki kelonggaran tempat tidur 40% pada kondisi wabah, dan atau
kelonggaran 30% pada kondisi wabah. Alokasi prosentase TT ini bisa dimanfaatkan untuk
membuat modifikasi peruntukan tempat tidur. Ketika PP No 47 tahun 2021 sudah tidak
menyebut kelas rawat inap, dan BPJS Kesehatan lalu DJSN sudah bicara tentang kelas rawat
inap standar, sebenarnya kita sudah tidak bicara lagi konsep kelas 3, kelas 2 dan kelas 1.

Konsep kelas standar :


1. Kebutuhan standar minimal sarana prasarana dan alat kesehatan yang harus terpenuhi
disetiap ruang rawat inap
2. Memenuhi standar PPI dan keselamatan pasien
3. SDM sesuai dengan ratio kebutuhan (ratio perawat: pasien sesuai dengan jenis
pelayanan rawat inap
4. Akses dan mutu sesuai standar pelayanan

Kelas A BPJS Kesehatan


1. minimal luas per tempat tidur (dalam meter persegi/m2) adalah 7,2 m2
2. jumlah maksimal 6 tempat tidur per ruangan.
3. Jarak (As) antar tempat tidur 2,4 m
4. Jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 m
5. Jumlah maksimal tempat tidur per ruangan 6
6. Nakes per tempat tidur 1
7. Suhu ruangan antara 20 sd 26 celcius
Kelas B BPJS Kesehatan
1. luas per tempat tidur 10 m2,
2. jumlah maksimal tempat 4 tidur per ruangan.
3. Jarak (As) antar tempat tidur 2,4 m
4. Jarak antar tepi tempat tidur 1,5 m
5. Jumlah maksimal tempat tidur per ruangan 4
6. Nakes pertempat tidur 1
7. Suhu ruangan antara 20 sd 26 celcius
Kriteria Umum dari Kelas A dan B BPJS Kesehatan
Kriteria kelas standar A dan B BPJS Kesehatan lainnya yang memiliki kriteria sama:
1. Bahan bangunan tidak boleh memiliki porositas yang tinggi.
2. Jarak antar tempat tidur 2,4 meter. Antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter, dengan
standar tempat tidur semi elektrik.
3. Disediakan satu nakas atau meja kecil per tempat tidur.
4. Suhu ruangan antara 20-26 derajat celcius.
5. Kamar mandi di dalam ruangan. Kamar juga memiliki standar aksesibilitas, misalnya
memiliki ruang gerak yang cukup untuk pengguna kursi roda, dilengkapi pegangan
rambat (handrail), dan sebagainya.
6. Rel pada tirai dibenamkan atau menempel di plafon dan bahan tidak berpori.
7. Menjamin pertukaran udara untuk mekanik minimal pertukaran 6 kali per jam untuk
ventilasi alami.
8. Mengoptimalkan pencahayaan alami. Jika pencahayaan buatan, maka intensitas
pencahayaannya 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk tidur.
9. Setiap tempat tidur dilengkapi dengan minimal 2 stop kontak dan tidak boleh
percabangan/sambungan langsung tanpa pengamanan arus, outlet oksigen, dan nurse
call yang terhubung dengan nurse.
Kriteria Umum Bangunan Rumah Sakit
1. Suhu ruangan 24±2 oC
2. Kelembaban ruangan 55±5%
3. Pencahayaan 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk tidur
4. Jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter
5. Ruang perawatan memiliki 6 – 12 kali pergantian udara perjam
6. Tirai antar TT yang berbahan non porosif dan mudah di dekontaminasI, rel tirai harus
dibenamkan /menempel di plafon
7. Dua kotak kontak listrik di setiap tempat tidur dan tidak ada percabangan/sambungan
langsung tanpa pengamanan arus
8. Outlet oksigen di setiap tempat tidur
9. Bukaan jendela yang aman untuk kebutuhan pencahayaan dan ventilasi alami
10. Nurse call di setiap tempat tidur yang terhubung ke pos perawat (nurse station)
11. Kamar mandi yang mengikuti persyaratan aksesibilitas
Kriteria dalam penerapan KRIS oleh BPJS mengacu pada Permenkes 24/2016 tentang
persyaratan tehnis bangunan dan prasarana rumah sakit.
Sementara pada Permenkes 14/2021 mencabut dan dinyatakan sudah tidak berlaku lagi
Permenkes 24/2016.

Anda mungkin juga menyukai