Anda di halaman 1dari 3

Selamat sore tutor dan rekan –rekan, berikut ini pendapat saya untuk diskusi 6.

Rangkap jabatan berdampak buruk bagi masyarakat dan telah menyeret beberapa politisi
terlibat kasus korupsi. Di Indonesia sendiri konflik kepentingan bisa terbilang cukup tinggi
dan terjadi di beberapa instansi terutama di pemerintahan. Misalnya saja seorang pejabat di
Kementerian yang juga menjabat komisaris di beberapa BUMN. Hal semacam ini berpotensi
mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan berpotensi untuk melakukan tindak
pidana korupsi. Untuk itu harus ada upaya penanganan dan pencegahan dari konflik
kepentingan tersebut.

Didalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pejabat dilarang merangkap
sebagai komisaris yang berasal dari lingkungan instansi, BUMN dan BUMD. PNS yang
merangkap jabatan (komisaris) akan memberi dampak tugas pelayanan publik terabaikan,
adanya konflik kepentingan, rawan inervensi, pendapatan ganda, kapasitas/kapablitas,
berpotensi KKN. Pejabat melakukan rangkap jabatan karena banyaknya faktor di antaranya
faktor kepentingan, maka dari itu para pejabat memanfaatkan jabatannya dengan mengambil
keuntungan itu dengan memberikannya kepada tim sukses atau kepada keluarganya. Ini juga
dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan jabatan.

UU No. 5 Tahun 1999 pasal 26 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat “Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu
perusahaan, dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain......”,
pasal 23 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara “Menteri dilarang merangkap
jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
komisaris atau direksi pada perusahaan atau perusahaan swasta....”, dan pasal 8 PP. RI No. 100
tahun 2000 tentang pengangkatan pegawai negeri sipil dalam jabatan strukural “pegawai
negeri sipil yang menduduki jabatan struktural tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik
dengan jabatan struktural maupun dengan jabatan fungsional”.

Rangkap jabatan memunculkan masalah konflik kepentingan yang serius di kalangan pejabat
negara. Ada beberapa hal yang menimbulkan konflik kepentingan antaralain (1) situasi yang
menyebabkan penggunaan aset jabatan/instansi untuk kepentingan pribadi/golongan,
perangkapan jabatan di beberapa lembaga instansi/perusahaan yang memiliki hubungan
langsung atau tidak langsung, sejenis ataupun tidak sejenis, sehingga menyebabkan
pemanfaatan suatu jabatan untuk kepentingan jabatan lain, (2) situasi dimana seorang
penyelenggara negara memberikan akses khusus kepada pihak tertentu misalnya dalam
rekrutmen pegawai tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya, (3) situasi dimana adanya
kesempatan penyalahgunaan jabatan. Di Indonesia budaya korupsi masih begitu sangat kuat
dan belum pulihnya institusi-institusi demokrasi dan pengawasan.

Pengaturan penyalahgunaan wewenang di dalam pasal 3 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 saat
dipandang sebagai delik inti. Ketentuan pasal 3 Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001 mengatur dan menegaskan: “Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara.....”

Seorang pejabat eselon satu di Depkeu menduduki jabatan komisaris di dua atau tiga
perusahaan berbeda. Pemborosan ini juga bersumber pada uang negara. Ombudsman dan KPK
mendorong supaya adanya regulasi turunan dari Undang-Undang Aparatur negara yang
menyangkut masalah penghasilan. Begitu baik mengurai banyaknya pemimpin yang rangkap
jabatan di eksekutif dan partai politik (parpol). Akibatnya, pejabat bersangkutan tidak bisa
konsentrasi karena perhatian dan tanggung jawab terpecah. Bahkan, kadang sulit dibedakan
apa sang pejabat berperan sebagai eksekutif atau sebagai pimpinan parpol saat berkunjung ke
daerah. Sangat sedikit pejabat negara yang bisa memisahkan itu.

Penghapusan pemisahan rangkap jabatan, memang tidak begitu mudah dan langsung bisa
dilaksanakan sebelum ada peraturan hukum yang jelas dan tegas. Selain karena aturannya
belum ada, juga akan ditolak oleh komunitas parpol, apalagi ketua partai sangat menentukan
keberadaan partainya. Ketua umum partai masih ditempatkan sebagai figur sentral yang akan
dijadikan jualan untuk meraih dukungan rakyat. Sangat disayangkan karena UU No 31 tahun
2002 tentang Partai Politik tidak mengatur seorang pimpinan parpol yang terpilih atau
diangkat sebagai pejabat publik harus melepaskan jabatannya di parpol.
Menurut saya bisa dilihat rangkap jabatan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
Dikhawatirkan juga pejabat atau komisaris yang terkait dalam rangkap jabatan tersebut tidak
dapat bekerja semaksimal mungkin karena terikat dengan jabatan lain. untuk itu untuk
mencegah atau mengurangi konflik kepentingan dilakukan beberapa cara seperti kode etik,
pelatihan, arahan serta conseling yang memebrikan contoh untuk mengatasi situasi-situasi
konflik kepentingan, melakukan arahan, pengawasan atau memberikan kesempatan kepada
orang lain dengan melaksanakan seleksi rekanan atau penerimaan pada masyarakat yang lebih
berkompoten.

Sumber :

https://www.hukumonline.com

https://acch.kpk.go.id

BMP EKAP4301

Terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai