Kajian Perubahan
Nama Jawa Barat Dengan
Nama Yang Nyunda
provsundakajian@gmail.com
DAFTAR ISI
i
B. Tidak Menimbulkan Hegemoni ......................................................... 73
C. Tanah Sunda Nan Gemah Ripah Lohjinawi....................................... 73
D. Keinginan Nama Nyunda Sejak 1926 ................................................ 73
ii
D. Audensi Yang Diabaikan Gubernur .................................................. 79
E. Ketidakpedulian DPD ........................................................................ 80
iii
BAB I
PENGANTAR KAJIAN AKADEMIS
Naskah akademik ini dibuat sebagai salah satu landasan argumentasi untuk
memperkuat kehendak dan usaha mengganti nama Provinsi Jawa Barat dengan
nama lain yang lebih bernuansa “Nyunda”. Naskah akademik ini pun sengaja
dirumuskan sebagai wujud keinginan yang serius dari Tim Pengkaji untuk
melakukan penggantian nama Provinsi yang dihuni 73.73 % etnis Sunda tersebut.
Mudah-mudahan Naskah Akademik ini dapat menjadi salah satu kelengkapan
yang diperlukan sesuai ketentuan prosedur dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Perlu pula digaris bawahi, bahwa keinginan merubah nama sesuatu daerah
bukanlah sesuatu yang dilarang, bahkan merupakan usaha positif sesuai
spirit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman
Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibu Kota, Perubahan Nama Daerah,
Perubahan Nama Ibu Kota dan Pemindahan Ibu Kota.
Sebelum memasuki Naskah Akademik terlebih dulu anda bisa membaca
kesimpulan dan sejumlah alasan tentang perlunya Perubahan Nama Provinsi
Jabar.
Tujuan utama Naskah Akademik ini tak lain untuk pemuliaan terhadap kepent-
ingan KEMANUSIAAN. Terutama untuk memuliakan Empat tujuan N.K.R.I se-
bagaimana tercantum pada alenia ke Empat Preambule UUD 1945. Dimana hingga
saat ini pencapaian nya belum diperoleh Jawa Barat. Disamping sebagai “Monumen
Berjalan” sebagai penghormatan hakiki terhadap sejarah, bahwa di Pulau Jawa ba-
gian Barat sejak belasan abad yang lalu hingga kini telah hidup jutaan Suku Bangsa
Sunda lengkap dengan Kebudayaan dan Bahasa Daerahnya (Bahasa Sunda).
Tim Penyusun :
1. Prof. Dr. H. Asep Saeful Muhtadi, M.A., Pakar Ilmu Komunikasi Politik Lulusan
Universitas Padjadjaran Bandung, University of Wisconsin-Madison U.S.A, UIN
Sunan Gunung Djati Bandung.
1
2. Prof. Dr. Reiza D. Dienaputra, M.Hum., Pakar Ilmu Sejarah Lulusan Universitas
Padjadjaran Bandung, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Institut Teknologi
Bandung.
3. Dr. Suhendi Afryanto, S.Kar., M.M., Pakar Ilmu Kebudayaan Lulusan Universitas
Padjadjaran Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Sekolah Tinggi
Seni Indonesia Bandung.
4. Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra, M.A., Pakar Ilmu Sejarah Lulusan Monash
University Australia, Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Universitas Padjadjaran Bandung.
5. Prof. Dr. Hj. Ernie Tisnawati Sule, S.E., M.Si., Pakar Ekonomi dan Bisnis Lulusan
Universitas Padjadjaran Bandung.
6. Dr. Wahyu Wiriadinata, S.H., M.H., Pakar Ilmu Hukum dan Kebudayaan Lulusan
Universitas Padjadjaran Bandung, Universitas Pasundan Bandung.
7. Dr. M.Ag. Yeni Nuraeni, S.Ag., Akademisi Ilmu Agama Lulusan UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, Universitas Indonesia Jakarta.
8. Ir. Supardiyono Sobirin, Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan
Tatar Sunda Lulusan Institut Teknologi Bandung.
9. Adjie Esa Poetra, Kolumnis dan Pengamat Kebudayaan.
A. Kalangan Akademis
1. (Alm). Prof. Dr. Dede Mariana, drs., M.Si.
2. Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, D.E.A.
3. Dr. Etti Rochaeti Soetisna, Sastrawati Sunda.
4. Dr. H. Happy Bone Zulkarnaen, M.S.
B. Kalangan Praktisi
1. Dr. H.C. Tjetje Hidayat Padmadinata, S.S., S.H., Budayawan, Politikus, Wartawan
dan Aktivis.
2. Acil Bimbo Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah, S.H., M.Kn., Seniman dan
Budayawan.
3. Memet H. Hamdan, Tokoh Sunda.
4. Dindin S. Maolani, S.H, Pemikir Kebudayaan.
2
SEJARAH FAKTOR PEREDUKSI DAMPAK
- Nama Sunda sudah Pada 1925 Belanda - Budaya & Kearifan Lokal sirna
digunakan sejak abad 4 Menamai Jabar hanya untuk - Persaudaraan Orang Sunda sirna
(Sundapura & Tanah Jawa) pemetaan daerah perkebunan. - Daya saing Orang Sunda melemah
- Ki Sunda selalu Berjaya dan Disengaja atau tidak tindakan - Kurang diperhitungkan suku
dihormati pihak lain karena tersebut berakibat merusak lain & secara Internasional
Kekuatan Jati Diri nya Jati Diri Ki Sunda dianggap bagian dari Sudan.
TUJUAN
Mengembalikan nama Provinsi yang nyunda untuk kemanusiaan
Sebagai upaya “out of the box” dan pintu masuk penguatan jati diri,
daya saing & kontribusi Ki Sunda terhadap N.K.R.I
3
BAB II
KAJIAN AKADEMIS
A. LANDASAN FILOSOFIS
Kata David Viglio, pakar Ilmu Nemologi dari North Western University, nama
merupakan identitas yang mempengaruhi pandangan pihak lain mau pun pandangan
atas dirinya sendiri. Dalam pandangan sejarah Kebudayaan Sunda, antara nama
Sunda dengan jati dirinya sejak dulu telah dikait-kaitkan. Salah satu faktanya dapat
ditemukan pada bagian catatan naskah kuno Carita Parahyangan (Abad ke
16) “Disunat ku tukangna jati diri sunda têka”. (Atep Kurnia - Artikel Pikiran Rakyat
hal 12, 2 Oktober 2015). Berangkat dari kedua teori tadi maka nama Provinsi Jawa
Barat sangat pantas untuk dikritisi. Terlebih lagi mengingat pemberian nama West
Java Province oleh penjajah Belanda cenderung lebih banyak mudharatnya dari
pada manfaatnya. Bahkan menurut buku Sejarah Jawa Barat yang diterbitkan Dinas
P & K Pemprov Jabar tahun 70-an, perubahan nama tersebut semata-mata hanya
demi kepentingan pemetaan pertanian di tanah jajahan di tahun 1925. Padahal
sebelumnya nama Tanah Sunda atau Tatar Sunda sudah sangat melekat bagi
wilayah tersebut. Sebelum Hindia Belanda di Jajah, di bidang politik kebudayaan
Masyarakat Tanah Sunda bukan hanya disegani tetapi banyak memberi inspirasi
bagi Masyarakat Penguasa wilayah lain. Oleh sebab itu besar kemungkinan
pemberian nama yang sangat tidak mencerminkan keberadaan penduduk asli dan
kebudayaannya tersebut, merupakan siasat penjajah untuk melumpuhkan
kekuatan jati diri peradaban Sunda. Sebutan nama Tatar Sunda/Tanah Sunda
sebelumnya sudah sangat melekat. Tanah/Tatar Sunda bukan hanya disebut
oleh kalangan Ki Sunda saja, melainkan juga senantiasa menjadi sebutan
masyarakat bahkan berbagai kerajaan di Indonesia termasuk kerajaan-kerajaan
tetangga di Pulau Jawa. Bukti keunggulan Ki Sunda lainnya di era penjajahan
Jepang, Paguyuban Pasoendan menjadi satu-satunya organisasi kesukuan di
Indonesia yang tidak berhasil dibubarkan penjajah. Fenomena keunggulan yang
dicontohkan tadi mustahi terjadi jika komunitas para pendahulu Ki Sunda tidak
cerdas, tidak berani, dan tidak kuat. Harus jujur dikatakan bahwa sejumlah
parameter positif tadi, saat ini sudah demikian melemah. Bukan hanya itu, spirit
kegotong royongannya pun kini telah semakin memudar. Padahal dalam
4
soal kegotong royongan tersebut Ki Sunda tergolong paling kaya akan ungkapan
Filosofinya. Ada Sabilulungan, Sauyunan, Sareundeuk saigel sapihanean, Ka cai jadi
saleuwi ka darat jadi salebak, Buruk-buruk papan jati , Silih asah-silih asih-silih asuh,
dan seterusnya.
Filosofi tadi tak jauh dengan budaya Korsel Hahn (Energi rela berkorban) atau
dengan budaya Jepang Makoto (Landasan Humanisme & Kolektivitas yang
melandasi ethos kerja). Nilai-nilai Filosofi yang telah melekat menjadi identitas
masyarakat Tatar Sunda tersebut, kini, menurut sejumlah pengamat, secara
perlahan kian ditinggalkan komunitas pemiliknya. Perubahan nama Provinsi dengan
yang berjati diri Sunda pada saatnya nanti bisa berpotensi kembali menyuburkan
pandangan – pandangan hidup tadi. Disamping mencetak lebih banyak lagi local
geniusnya Perubahan nama tersebut juga bisa bermanfaat sebagai cara “out of the
box” untuk membangun masyarakat sejahtera yang lebih berpendidikan, lebih
berkarakter, lebih berdaya saing, lebih maju lebih sejahtera dan lebih
mandiri. Cara yang sifatnya “out of the box” pun harus dianggap penting untuk
memperkuat dukungan bagi cara-cara standar dan formalis yang
belum membuahkan hasil maksimal. Lantas mengapa jurus “out of the box” terse-
but terkesan harus lebih condong kepada jati diri kebudayaan ?
Setidaknya ada tiga alasan yang memperkuatnya.
Pertama, pemikir sosial budaya dari barat Ron Eyerman berkesimpulan, bahwa
kunci keberhasilan perubahan di banyak tempat adalah disebabkan karena tidak
hanya memperhatikan faktor Fungsi/Peranan dan Struktur saja. Melainkan juga
sangat memperhatikan faktor tradisi. Kedua, Pakar ekonomi dalam negeri
Burhanudin Abdullah dengan tegas menyatakan bahwa kekuatan budaya sebuah
masyarakat akan sangat menentukan kemajuan perekonomian di wilayahnya.
Alasan yang ketiga terkait dengan pandangan Ichsanuddin Noorsy. Dengan tegas
dan jelas ia menyarankan agar pembangunan perekonomian di Jawa Barat tidak
boleh mengabaikan berbagai aset sumber daya serta potensi yang berbasis
kebudayaan setempat. Untuk lebih memperjelas ketiga pandangan tadi mari
kita cermati sejumlah kemajuan ekonomi yang terjadi Turki, China, Jepang, Korea
Selatan dan lain-lain. Pada tahun 1960 kondisi ekonomi Korsel memiliki kemiripan
dengan Ghana sebagai negara miskin. Tetapi berkat perhatian yang tinggi terhadap
kebudayaannya, perlahan namun pasti akhirnya Korsel menjadi salah satu negara
termaju di dunia. Kekuatan kebudayaan juga dijadikan landasan kuat oleh China,
5
Jepang dan Turki. Dengan demikian faktor ekonomi dan kebudayaan perlu
dipandang sebagai sebuah kesatuan. Bukan dipilah-pilah dengan lebih
condong mendahulukan ekonomi dulu atau kebudayaan dulu.
Ada informasi penting di tahun 2000. Saat itu Harvard University
menyelenggarakan simposium berjudul “How Values Shape Human Progress” untuk
mengukur sejauh mana pengaruh tata nilai terhadap kemajuan masyarakat. Daniel
Patrick Moynihan menyimpulkan pada simposium tersebut terdapat dua pendapat
yang sangat dominan. Pendapat pertama menyatakan bahwa Kebudayaan
menentukan kesuksesan masyarakat. Dan pendapat kedua dunia politik dapat
membuat budaya bisa bertahan termasuk mengubahnya
Pakar kebudayaan, Richard L. Dixon, punya keprihatinan terhadap komunitas
suku Sunda, karena menurutnya saat ini suku Sunda merupakan suku yang paling
kurang dikenal di dunia, termasuk sering dianggap bagian dari suku Sudan.
Fakta yang dapat memperkuat ungkapan Dixon adalah kini nama Sunda sudah
tidak lagi terdapat pada atlas politik.
Kecuali masih terdapat di atlas fisik dimana kata Sunda masih digunakan untuk
menamai identitas kepulauan dan selat. Padahal atlas politik merupakan bagian
dari ilmu yang dipelajari di berbagai lembaga pendidikan di dalam dan luar negeri.
Jangan jauh-jauh, di luar pulau jawa saja, masyarakat etnis Sunda sering dianggap
sebagai bagian dari masyarakat Jawa. Bahkan identitas orang sunda jauh kalah
populer dibandingkan nama “Bandung”.
Di tengah menguatnya wacana pergantian nama Provinsi Jabar, muncul
sejumlah usulan nama, seperti Provinsi Sunda, Provinsi Pasundan, Provinsi Ta-
tar Sunda, Priangan dan banyak lagi nama dalam nuansa nyunda lainnya.
Tapi dari sekian nama yang muncul, nama Tatar Sunda dipandang banyak ka-
langan sebagai nama yang paling elegan serta lebih clear disebabkan notabene
hanya menunjukan sebuah wilayah atau tempat. Pemilihan nama tersebut juga untuk
tidak bersinggungan dengan berbagai varian keberadaan berbagai budaya dan Su-
ku/Etnis di wilayah tersebut. Baik dengan titel nama Pasundan maupun Tatar Sunda
pada akhirnya pergantian nama harus tetap mengakomodasi kepentingan
siapapun yang tinggal di tatar ini. Falsafah someah hade ka semah yang menjadi
karakteristik budaya Sunda masih perlu selalu dijadikan warisan budaya Ki Sunda
ke depan. Terlebih lagi terhadap semah yang mencintai dan menghormati budaya
Sunda. Bahkan bisa menjadi semacam momentum penguatan rasa tatali batin untuk
6
lebih saling memberikan manfaat kesejahteraan bagi segenap penduduk yang
tinggal di wilayah ini, tanpa kecuali. Sebaliknya bagi sesama Ki Sunda sendiri
perubahan nama Provinsi tidak akan berakibat mempersempit citra kebesaran
Sunda yang sejak lama digunakan pada nama Selat (Selat Sunda) ataupun
Kepulauan (Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil). Sebaliknya malah
akan bermanfaat untuk mengaktualisasikan manusia-manusia Sunda secara
nasional mau pun internasional. Termasuk menimbulkan citra komunitas Sunda yang
lebih berkharisma dan berjati diri.
Kami pun sadar bahwa nama yang nyunda selama ini telah menimbulkan
kekhawatiran. Konon jika Provinsi Jawa Barat berganti nama dengan sebutan yang
nyunda maka saudara-saudara kita seProvinsi terutama sebagian yang tinggal di
Cirebon akan mendirikan Provinsi tersendiri. Mereka menganggap latar belakang
budayanya tidak sama persis dengan budaya Sunda. Padahal jika bicara soal itu
antara masyarakat berbagai daerah di Provinsi ini boleh dibilang tak ada yang sama
persis. Perbedaan seperti itu justru bisa bermanfaat untuk membangun kekuatan
kolektif. Bahkan lagi, jika mencermati nama Cirebon sebagai nama tempat, jelas
sekali wilayah tersebut merupakan bagian penting dari kemajemukan wilayah Tatar
Sunda. Penggunaan kata “Ci” (cai dalam bahasa Sunda) di awal kata Cirebon
menunjukkan nuansa Sunda yang sangat kuat.
Jika tempat tersebut dulu-dulunya bukan bagian dari Tanah Sunda atau
merupakan bagian dari tanah Jawa hampir dipastikan wilayah tersebut akan
bernama Banyurebon, seperti Banyuwangi di Jawa Timur. Menurut (alm).
Sulendraningrat mantan penanggung jawab kebudayaan Cirebon, Cirebon berasal
kata dari Cai Rebon atau sayur yang terbuat dari perasan terasi rebon. Masakan ter-
sebut diciptakan oleh salah satu Cucu Prabu Siliwangi Walangsungsang saat tengah
merintis sebuah wilayah kemasyarakatan yang saat itu dikuasai kerajaan Galuh un-
tuk dijadikan semacam sebuah Kota. Adalah para keturunan Prabu Siliwangi pulalah
yang kemudian menjadi leading sector pengembangan di sana. Alasan ini semoga
bisa di fahami sebagai ilustrasi fakta sejarah secara objektif.
Begitu pula dengan pendapat yang mengatakan bahasa Cirebon sebagai
bahasa Jawa Cirebonan. Berdasarkan penelitian Balai Pusat Bahasa yang
berkedudukan di Jakarta dimana penelitian tersebut dipimpin Prof. Dr. Ayat
Rochaedi dengan jelas menyatakan bahwa sebetulnya bahasa Cirebon itu adalah
bahasa Sunda dengan dialek Cirebonan. Hal yang tidak bisa dilupakan bahwa
7
berdasarkan ilmu sejarah, daerah Cirebon merupakan wilayah Tatar Sunda yang
dirintis dan dibangun oleh para keturunan Prabu Siliwangi. Berkaitan dengan hal
tersebut hampir dapat dipastikan bahwa bahasa Indramayuan pun sesungguhnya
merupakan bahasa Sunda dengan dialek Indramayuan. Begitu pula dengan bahasa
– bahasa khas lain yang tidak sepenuhnya identik dengan bahasa Sunda pada
umumnya seperti bahasa daerah di Banten, Karawang, Bekasi dan sebagainya.
Dengan kata lain berbagai bahasa yang tidak sepenuhnya identik tadi sangat
tepat untuk disebut sebagai sub budaya Sunda. Begitu pun dengan keragaman
berbagai kesenian khas di tiap daerah adalah juga sub kebudayaan Sunda. Namun
begitu apabila tuntutan masyarakat Cirebon dan sekitarnya memang sudah dapat
dianggap layak secara Sosial, Ekonomi, Politik dan Hukum terutama jika sudah
dianggap sangat positif untuk mendirikan Provinsi tersendiri tak ada salahnya
tuntutannya itu dikabulkan. Kita harus anti hegemoni mayoritas, tetapi sangat tidak
bijaksana apabila mempertahankan kekurang beruntungan sang mayoritas, hanya
dikarenakan pertimbangan kepentingan masyarakat minoritas. Intinya perpisahan
akan menjadi pilihan yang baik manakala keadaan “awet rajet” dirasakan sangat
kurang membahagiakan kedua belah pihak.
Melalui ikhtiar pergantian nama tadi, nantinya diharapkan akan kembali
terhimpun puing-puing potensi jati diri yang sudah lama tereduksi, demi
meningkatkan daya saing di masa depan. Oleh sebab itu dalam menyikapi upaya
revitalisasi nama daerah, segenap masyarakat di Provinsi ini perlu berupaya secara
jelas menghidupkan kembali sikap serta mental filosofi Sareundeuk saigel sabobot
sapihanean, buruk-buruk papan jati, Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak, dan
seterusnya, sambil perlahan mengikis penyakit budaya ngadu kasep, asa pang
akangna, sikap mental paaing-aing dan sebagainya. Saatnya pula memperkuat
keyakinan bahwa Tatar Sunda yang dihuni berbagai etnis ini sesungguhnya akan
bisa menjadi jauh lebih maju, karena memiliki potensi sumber daya yang jati
dirinya masih terpendam. Oleh sebab itu manakala berbicara tentang pengupayaan
jati diri tak perlu takut lagi untuk disebut kesukuan, karena kini hal tersebut sudah
menjadi fenomena kearifan lokal. Teladanilah saudara-saudara kita dari etnis lain
yang tanpa rikuh mempertahankan budaya masing-masing di perantauan Tatar
Sunda melalui wadah berbagai paguyuban kesukuan. Apa yang dilakukan mereka
sesungguhnya merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan potensi jati diri
dan daya saing masing-masing, yang bila dilihat secara nasional keberdayaan
8
mereka diperantauan justru sangat menguntungkan N.K.R.I. Sikap toleransi yang
tinggi terhadap keanekaragaman budaya secara otomatis akan menghantarkan
bangsa ini menuju sebuah bangsa yang bersikap mental kuat, matang dan dewasa.
Apalagi mengingat perubahan nama Provinsi di dalamnya mengandung tujuan
kemajuan kemanusian atau bukan untuk tujuan politik praktis. Oleh sebab
itu mengapa harus dihalang-halangi?
Provinsi Jawa Barat sesungguhnya merupakan Provinsi sangat potensial di
bidang sumber daya manusia dan alamnya. Namun jangankan mampu berkontribusi
maksimal terhadap N.K.R.I, untuk membahagiakan dirinya pun belum bisa. Salah
satu “out of the box” tersebut bisa bermanfaat membantu cita-cita sebagai Provinsi
terdepan di tahun 2025. Oleh sebab itu demi merevitalisasi jati dirinya segenap
masyarakat etnis Sunda tidak boleh lagi merasa takut atau minder dianggap
Sukuisme atau Provinsialistis. Kepada saudara sebangsa yang bukan etnis Sunda
yang ada di Provinsi ini tak perlu lagi khawatir jika perubahan nama tersebut akan
menuju hegemoni atau tirani keSundaan. Kalau pun ada harapan positif kepada
setiap pendatang agar berusaha menyesuaikan diri dengan kearifan lokal
setempat, maka perlu dianggap sebagai kearifan sosial yang sangat umum. Apalagi
mengingat N.K.R.I yang sangat kita cintai ini memiliki falsafah “Dimana bumi dipijak
disitu langit dijunjung” atau juga “Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya”
dan lain-lain.
Kami yakin spirit kearifan lokal yang sangat menjunjung humaniora tersebut ada
pada filosofi budaya di semua suku bangsa N.K.R.I bahkan di seluruh suku bangsa
negara lain. Nenek moyang Ki Sunda tergolong komunitas yang telah terbuka sejak
dulu. Jangankan terhadap sesama suku bangsa di Nusantara, terhadap bangsa lain
pun sangat loyal adanya. Dengan kata lain dari dulu hingga kini
masyarakat Sunda bukan merupakan kelompok etnis yang suka menjadi Tirani
Mayoritas. Maka sebaliknya akan sangat manusiawi sekali jika ia tidak
menyukai Tirani Minoritas. Sekali lagi bahwa perubahan nama Provinsi semata-
mata hanya sebagai ikhtiar untuk memperkuat jati diri. Termasuk jati diri untuk saling
memberi manfaat dengan sesama anak bangsa bahkan sebagai warga dunia. Dalam
konteks penguatan budaya dan jati diri kita harus mau mengakui sejumlah
kemajuan yang terjadi di sejumlah daerah yang telah berganti nama seperti
Provinsi Papua, Papua Barat, Nangroe Aceh Darusalam, Makassar dan sebagainya.
Perubahan nama Provinsi yang sedang kami perjuangkan secara simultan sama
9
sekali tidak berarti akan membuat Provinsi baru/sendiri, apalagi untuk memisahkan
diri dari N.K.R.I. Penguatan jati diri malahan justru akan sangat memaknai filosofi
Bhinneka Tunggal Ika sebagai jati diri Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semakin jati diri sub masyarakat tersebut diperkuat, akan berpengaruh terhadap
kekuatan majemuk bangsa ini. Fenomena kekuatan budaya seperti itulah kira – kira
yang berhasil menghantarkan Korea, Jepang, Turki , China sehingga berhasil
menjadi negara terkemuka di dunia.
Ada yang patut dipertanyakan mengapa dulu penjajah Belanda menamai wilayah
ini West Java Province padahal nama tersebut tidak sesuai dengan sejarahnya,
unsur rupa bumi, keberadaan etnis asal usul mayoritasnya dan seterusnya.
Pertanyaan tersebut bisa terjawab setelah lahirnya Permendagri nomor 30/2012.
Besar kemungkinan bahwa penamaan West Java Province (Jawa Barat) oleh
penjajah Belanda mengandung tujuan untuk “ngahieuman” kekuatan budaya plus
citra manusia Sunda sebagai penghuni asli mayoritas di sana. Spirit Permendagri
Nomor 30 tahun 2012 yang mengatur agar nama sebuah Provinsi sejatinya dapat
mencerminkan keberadaan penduduk asli, karakteristik budaya, jenis bahasa
daerah dan seterusnya mengisyaratkan adanya kesadaran baru untuk membangun
potensi bangsa melalui kebudayaan/jati diri. Berdasarkaan buku sejarah Jawa
Daerah Barat yang diterbitkan Balai Pustaka – Jakarta th 1978 pada halaman 175 -
176 nama West Java Province dibuat oleh penjajah hanya guna
kepentingan pemetaan hasil jajahan di wilayah pertanian pulau jawa. Oleh karena
itu perubahan nama oleh yang berjati diri sudah saatnya dilakukan apalagi meng-
ingat secara konstitusional bukanlah sesuatu yang dilarang. Kita bisa belajar dari
perubahan nama di Papua, Papua Barat, Makassar, Banten, Nangroe Aceh
Darussalam dan beberapa wilayah lainnya yang telah menunjukan dampak
revitalisasi yang sangat positif.
Dari sejumlah diskusi kajian yang dilakukan sejak 2012 nama provinsi Tatar
Sunda termasuk yang paling banyak dipilih. Ada tiga alasan yang memperkuatnya.
Yang pertama adalah makna penguatan jati diri masyarakatnya. Manfaat yang kedua
penamaan yang cenderung lebih ke fisik tempat atau tidak bersinggungan dengan
keberadaan etnis lain di wilayah ini atau cenderung lebih menunjukan bertoleransi
terhadap keberadaan berbagai sub kultur/tradisi/sub masyarakat yang ada di
sejumlah tempat, Kota, Kabupaten pada wilayah Tatar Sunda ini. Alasan yang
ketiga agar keberadaan berbagai potensi yang dimilikinya tidak lagi dianggap “Satu
10
Paket” dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Termasuk SDM Politiknya. Berkaitan
dengan hal tersebut pakar ilmu Politik Prof. Dr. Dede Mariana, drs., M.si. pun dengan
tegas sering menyatakan bahwa masalah politik identitas merupakan hal yang tidak
boleh diabaikan. Perubahan nama Jawa Barat dengan nama Provinsi Tatar Sunda
bisa menjadi momentum atau titik balik yang sangat baik bagi upaya revitalisasi
budaya sabilulungan dalam semangat Silih Asah, Asih dan Asuh. Dalam konteks
eksistensi sebuah etnis, tidak berarti upaya pergantian nama tersebut anti suku
Jawa. Hingga kapan pun suku Jawa akan tetap dipandang sebagai saudara
sebangsa. Bahkan apabila dengan nama Jawa Barat terbukti membawa
masyarakatnya menjadi penduduk yang sejahtera, mengapa sampai harus repot
merubah nama segala?
Upaya merubah nama Kota/Kabupaten/Provinsi tidak boleh lagi disikapi dengan
berbagai pandangan subyektif. Malah sebaliknya perlu dipandang untuk
mempertegas kemajemukan filosofi Bhinneka Tunggal Ika. Apalagi mengingat dalam
hal pergantian nama tempat kita sudah punya banyak pengalaman sukses. Selain
Papua, Papua Barat dan lain sebagainya provinsi Sunda Kecil pun telah berubah
menjadi Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bahkan kini NTB sedang berusaha merubah
nama menjadi Provinsi Lombok. Pemerintahan DKI Jakarta pun setelah menyandang
nama Sunda Kelapa hingga kini sudah mengalami duabelas kali perubahan. Di luar
negeri bahkan banyak terjadi untuk nama negara. Sebelum bernama Thailand,
negara tersebut bernama Siam dan Muang Thai. Burma jadi Myanmar, Cylon jadi
Srilanka. Bahkan Kazakhstan kini sedang diusulkan presidennya untuk berubah
nama menjadi “Kazakh” atau tanpa akhiran “Stan”.
Dan, yang tak kalah pentingnya, percayalah, perubahan nama Jawa Barat
dengan nama Tatar Sunda sama sekali tidak akan berakibat egoisme kesukuan
karena di wilayah ini sejak dulu sudah dikenal istilah Sunda Kultural, sebutan bagi
masyarakat bukan Sunda biologis yang selalu menunjukan upaya adaptasi
terhadap budaya Sunda. Juga tidak akan mempersempit citra kebesaran Sunda
yang sejak lama digunakan pada nama Selat maupun Kepulauan. Sebaliknya malah
bisa semakin mengaktualisasikan nama Sunda, mengingat pada peta politik
kata Sunda sama sekali tidak tertuliskan, kecuali kata Jawa Barat. Perubahan nama
tersebut sama sekali tidak menabrak Perda Jawa Barat Nomor 5 tahun 2003 yang
mengakui keberagaman budaya. Perubahan nama tersebut justru sangat sesuai
dengan spirit penguatan identitas budaya pada Perda no 7 tahun 2003. Termasuk
11
sesuai dengan spirit UU Otonomi Daerah yang sangat konsen serta peduli terhadap
peningkatan sebuah identitas dan peningkatan pemberdayaan masyarakat di tiap
daerah.
Inti dari paparan di atas bahwasannya perubahan nama Provinsi Jawa Barat
dengan nama yang nyunda, semata-mata sebagai sebuah revitalisasi penguatan jati
diri agar ke depan bisa menjadi masyarakat yang berdaya saing tinggi diberbagai
bidang kehidupan. Alias tidak lagi menjadi kelompok masyarakat yang melempem
khususnya di bidang pendidikan, kesejahteraan dan lingkungan hidup. Selain itu
manfaat pergantian nama yang berorientasi kepada jati diri tersebut intinya tidak
hanya bagi kepentingan lokal, melainkan bagi kepentingan nasional mengingat
Provinsi ini merupakan penyangga Ibu Kota Negara.
Pentingnya mempertimbangkan nama bukan saja dianggap oleh sejumlah
akademisi. Seorang praktisi dunia periklanan David Ogilvy yang saat ini banyak
disebut sebagai raja diraja di bidangnya berpendapat, bahwa faktor nama
merupakan hal yang harus dipertimbangkan paling awal sebelum
mempertimbangkan berbagai hal lainnya seperti cara berpromosi, informasi tentang
kehebatan produk, sejarah dan seterusnya. Intinya Branding sebuah produk haruslah
memiliki kekuatan yang branded atau daya nyala yang sangat kuat. Dari sisi itu saja
nama Provinsi Sunda atau Tatar Sunda dipastikan akan lebih menyala dari pada
Jawa Barat. Alasannya? Paling tidak nama Sunda atau Tatar Sunda akan lebih
mudah mengimpresi dunia karena kata Sunda sejak berabad-abad lampau sudah
digunakan untuk menamai Kepulauan, Selat dan lain-lain. Sedangkan nama Jawa
Barat selain baru digunakan puluhan tahun silam juga selalu menimbulkan kesan
rancu, ambigu, sesat pikir dan tidak fokus karena di sekitarnya ada Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Mungkin ada yang bertanya mengapa Korea Selatan, Korea Utara
dan Jerman Barat serta Jerman Timur sangat dikenal di dunia? Jawabnya, karena
perseturuan politik mereka selalu dipublikasikan dunia.
Maung atau Harimau merupakan binatang yang banyak mewarnai simbol dan
falsafah Ki Sunda, termasuk pada masa lalu banyak digunakan sebagai simbol oleh
berbagai kerajaan yang ada di Tatar Sunda. Bahkan para pinisepuh Sunda sering
mengakronimkan kata MAUNG dengan makna MAnusia UNGgul. Maung pun bukan
hanya sering diidentikan dengan Prabu Siliwangi. Lebih dari itu malah dijadikan
simbol Kodam Siliwangi. Hal tersebut tidak lepas dari karakter Maung yang
pandangan atau visinya luas dan jauh, instingnya sangat tajam, sigap, cekatan,
12
pemberani dan lain-lain. Selain itu suara dan penampilannya sangat impresif bahkan
karismatik. Seperti “caleuy” padahal gesit. Gagah perkasa tetapi memiliki sikap lebih
mengutamakan ngintip daripada nguntup sebagaimana filosifi yang sering
disampaikan oleh para pendahulu Sunda. Sekali pun begitu tetapi ia sangat jarang
berkelahi dengan sesama. Bahkan sangat kompak dalam berburu. Tapi Sagalak-
galakna Maung tara ngahakan anakna. Itulah kurang lebih gambaran jati diri Sunda
di masa lalu. Ia sangat disegani pihak lain bahkan banyak memberi inspirasi bagi
pihak lain. Salah satu contohnya ada sejumlah kerajaan di luar Tatar Sunda yang
bisa lebih baik setelah keterlibatan Ki Sunda di dalamnya. Begitu pun dengan
kehebatan Paguyuban yang dimasa penjajahan menjadi satu-satunya organisasi
kesukuan yang tidak bisa dibubarkan kaum penjajah.
Kami berharap perubahan nama Provinsi Jawa Barat nantinya dapat
dimanfaatkan sebagai Triger untuk kembali membangun Jati Diri Ki Sunda.
Sehingga ke depan, dengan jati dirinya itu komunitas Ki Sunda kembali
menjadi “MAUNG” atau manusia unggulan yang berkontribusi sangat
maksimal bagi N.K.R.I.
B. LANDASAN HISTORIS
Jawa Barat sebagai nama sebuah wilayah administratif Provinsi baru yang mulai
dikenal di awal abad ke-20. Pembentukan Provinsi itu terkait dengan kebijakan
politik luar negeri di masa Pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan penataan
khusus administrasi pemerintahan.
Kebijakan itu dituangkan dalam Bestuurshervormingswet atau Undang Undang
Perubahan Pemerintahan yang dikeluarkan pada tahun 1922 (Staatsblad 1922/216).
Berdasarkan acuan undang-undang tersebut dibentuk gewest (wilayah
administratif) gaya baru yang disebut Provincie.
Secara hierarki, wilayah administratif Provinsi waktu itu terbagi atas wilayah
keresidenan, kabupaten (regentschap), dan kotapraja (stadsgemeente).
Jawa Barat menjadi sebuah Provinsi secara resmi dibentuk pada tanggal 1
Januari 1926 dengan sebutan Povincie West Java, tertuang dalam Staatsblad tahun
1925 Nomor 378 tanggal 14 Agustus. Sebagai Ibukota Provinsi ditetapkan
Batavia. Waktu itu Povincie West Java terbagi atas 5 karesidenan, 18 kabupaten,
dan 6 kotapraja. Dalam hal ini perlu dikemukakan, bahwa pemerintah kolonial tidak
13
keberatan masyarakat Sunda waktu itu menyebut Propinsi Pasundan bagi Provincie
West Java.
Setelah proklamasi kemerdekaan dan berdiri N.K.R.I, Jawa Barat dikukuhkan
kembali sebagai sebuah Provinsi pada tanggal 19 Agustus 1945 dalam rapat
P.P.K.I (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada rapat itu, selain Jawa
Barat, 7 daerah lain juga dikukuhkan kembali sebagai Provinsi, yakni, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Dengan
demikian, lahirnya kembali Jawa Barat sebagai sebuah Provinsi, pada dasarnya
merupakan kelanjutan dari desain pembagian wilayah administratif yang telah dibuat
oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dalam perkembangan paling mutakhir, penamaan Jawa Barat sebagai nama
Provinsi di wilayah bagian barat Pulau Jawa, mendapat gugatan, karena sebutan itu
dipandang tidak mencerminkan keberadaan penduduknya yang mayoritas etnis
Sunda berikut budayanya. Istilah/sebutan Jawa Barat lebih mengacu pada wilayah
geografi. Namun sekarang sebutan Provinsi Jawa Barat tidak lagi mengacu pada
wilayah geografi, karena wilayah Jakarta dan Banten berada di luar wilayah
administratif Provinsi Jawa Barat.
Oleh karena itu, masyarakat Sunda sebagai etnis mayoritas yang tinggal di
wilayah Provinsi Jawa Barat, muncul keinginan kuat untuk mengganti nama Jawa
Barat dengan nama lain yang dipandang lebih mencerminkan keSundaan. Keinginan
untuk mengganti nama Jawa Barat pada Provinsi ini semakin menguat manakala
fakta-fakta historis memperlihatkan, bahwa penamaan Provinsi Jawa Barat pada
dasarnya merupakan pengulangan nama yang diberikan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Nama Jawa Barat adalah terjemahan dari West Java, nama yang diberikan
oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa jauh sebelum West Java Provincie dibentuk
pada awal tahun 1926, di bagian barat Pulau Jawa pernah hadir sebuah wilayah
administratif kerajaan, yakni Kerajaan Sunda. Kerajaan itu eksis dalam kurun waktu
sangat panjang, dari akhir abad ke-7 sampai dengan akhir abad ke-16. Berdasarkan
faktanya, sejak berdirinya kerajaan itulah adanya kelompok etnis yang disebut
masyarakat Sunda.
Setelah Kerajaan Sunda runtuh, muncul Kerajaan Sumedang Larang. Wilayah
kekuasaannya disebut Priangan yang memiliki luas kira-kira seperenam luas Pulau
Jawa[1]. Antara awal hingga perempat terakhir abad ke-17 Priangan berada di
14
bawah kekuasaan Mataram, kemudian jatuh ke bawah kekuasaan Kompeni. Mulai
awal abad ke-19 Priangan menjadi salah satu wilayah administratif dalam
pemerintahan Hindia Belanda (awal 1808-awal 1942). Pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels (1808-1811), Priangan menjadi
wilayah administratif yang disebut Prefectur Priangan. Penguasa Hindia Belanda
selanjutnya, yaitu Letnan Gubernur Jenderal T.S. Raffles (1811-1816) mengubah
sebutan itu menjadi Keresidenan Priangan[2].
Pada zaman pendudukan Jepang (1942 - pertengahan 1945), pemerintahan
berbentuk Provinsi dihilangkan. Namun pemerintahan keresidenan terus
berlangsung dan menjadi pemerintahan tertinggi di suatu daerah. Hanya sebutannya
diganti menjadi Syu. Keresidenan Priangan menjadi Priangan Syu.
Beberapa waktu setelah negara R.I berdiri, muncul usulan mengganti sebutan
Jawa Barat dengan Pasundan. Dengan mengacu pada eksistensi Kerajaan Sunda
yang terkait dengan jati diri orang Sunda, dalam Kongres Pemuda Sunda yang
berlangsung 4-7 November 1956, tercetus usulan nama Pasundan menjadi nama
Provinsi, menggantikan sebutan Provinsi Jawa Barat.
Nama Pasundan juga pernah digunakan sebagai nama negara bagian dari R.I.S
(Republik Indonesia Serikat), yakni Negara Pasundan pada masa revolusi
kemerdekaan. Terlepas dari R.I.S yang dibentuk oleh pihak Belanda (penjajah),
Pasundan digunakan sebagai nama negara waktu itu mengacu pada mayoritas
penduduknya, yakni etnis Sunda dan budayanya. Sumber-sumber sejarah
menunjukkan, Negara Pasundan yang pertamakali keluar dari RIS, kemudian
bergabung ke dalam N.K.R.I.
Uraian tersebut menunjukkan, nama untuk mengganti Jawa Barat sebagai
Provinsi ada tiga alternatif nama, yaitu, Sunda, Priangan, dan Pasundan. Dari ketiga
pilihan alternatif nama pengganti itu, nama Pasundan kiranya memadai untuk
digunakan sebagai nama Provinsi menggantikan nama/sebutan Provinsi Jawa Barat.
Alasannya adalah sebagai berikut:
a) Secara etinologis, Pasundan mengandung arti tempatnya mayoritas orang
Sunda.
b) Pasundan kata dasarnya adalah Sunda. Kata/istilah Sunda memiliki
pengertian yang baik.
Kata Sunda berasal dari bahasa Sansekerta: sund atau suddha, yang
berarti putih atau suci, terang atau bersinar.
15
Arti dan makna kata/istilah Sunda itu kiranya sesuai dengan “Program Jabar
Masagi” dan tercakup dalam visi dan misi Provinsi Jawa Barat 2005 – 2025 dan 2013
– 2018.
Bila pujangga Inggris William Shakespeare menyatakan “what is a name”
(“apalah artinya sebuah nama”), namun bagi masyarakat Sunda, pemberian nama
pada seseorang atau sebuah lembaga, tidak sembarangan, tetapi dipilih nama yang
memiliki arti dan makna yang baik serta jelas arah acuannya.
Digunakannya kata Pasundan menjadi nama istilah organisasi Paguyuban dan
Provinsi, secara psikologis dapat mendorong masyarakat Sunda semakin memahami
jati dirinya dan makin “reueus” (bangga) serta makin mencintai daerahnya, sehingga
harapan pemerintah daerah menjadikan Provinsinya sebagai Provinsi terdepan,
kiranya akan terlaksana. Hal itu merupakan satu faktor yang memotivasi masyarakat
untuk mampu meningkatkan kesejahteraannya, dan berpartisipasi aktif dengan
pemerintah daerahnya.
Usia Provinsi Jawa Barat produk pemerintah kolonial Belanda ini dapat dikatakan
berakhir pada tahun 1942 setelah Jepang menghapus wilayah administrasi
pemerintahan setingkat Provinsi.
Sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 27 Tahun 1942 yang mulai
berlaku tanggal 8 Agustus 1942, pemerintah pendudukan Jepang hanya
mengadopsi Syu (karesidenan) sebagai pemerintah daerah tertinggi di Jawa,
termasuk di dalamnya Jawa Barat. Namun demikian, pimpinan Syu (syucokan) di era
Jepang ini kedudukannya jauh lebih luas dibanding pimpinan karesidenan (residen)
di era pemerintah kolonial Belanda. Sebagai pimpinan daerah tertinggi yang bersifat
otonom, syucokan tidak hanya memegang kekuasaan eksekutif tetapi juga legislatif.
Di era Jepang ini, wilayah Jawa Barat terbagi atas lima syu, yaitu Banten Syu,
Jakarta Syu, Bogor Syu, Priangan Syu, dan Cirebon Syu.[3]
Kelahiran kembali Jawa Barat sebagai sebuah Provinsi terjadi pada tanggal 19
Agustus 1945 dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (P.P.K.I). Di
samping Jawa Barat, terdapat 7 Provinsi lain yang dibentuk dalam waktu bersamaan,
yakni, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda
Kecil. Dengan demikian, lahirnya kembali Jawa Barat sebagai sebuah wilayah
administratif setingkat Provinsi pada dasarnya merupakan kelanjutan dari desain
pembagian wilayah administratif yang telah dibuat pemerintah kolonial Belanda
sebelum kemerdekaan.
16
Dalam perkembangan paling mutakhir, penamaan Jawa Barat sebagai nama
sebuah Provinsi pada sebuah wilayah yang terdapat di bagian Barat pulau Jawa
mendapat gugatan karena dipandang tidak mencerminkan keberadaan wilayah di
bagian Barat pulau Jawa tersebut sebagai sebuah wilayah yang dihuni oleh
mayoritas etnis Sunda. Sebagai etnis mayoritas yang tinggal di wilayah yang
bernama Provinsi Jawa Barat terdapat keinginan kuat untuk mengganti nama Jawa
Barat dengan nama lain yang dipandang lebih mencerminkan keSundaan. Keinginan
untuk mengganti nama Jawa Barat pada Provinsi Jawa Barat ini semakin menguat
manakala fakta-fakta historis memperlihatkan bahwa penamaaan Provinsi Jawa
Barat ini pada dasarnya merupakan pengulangan atas penamaan yang diberikan
oleh pemerintah kolonial Belanda sebelum kemerdekaan. Dengan kata lain, tidaklah
berlebihan bila dikatakan bahwa nama Jawa Barat yang merupakan terjemahan dari
West Java merupakan nama yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Fakta sejarah memperlihatkan bahwa sebelum West Java Provincie dibentuk
pada tahun 1926, di bagian Barat pulau Jawa ini pernah hadir sebuah wilayah
administrasi yang bernama Priangan. Nama Priangan sebagai sebuah wilayah
bahkan telah hadir sejak tahun 1620. Wilayah Priangan yang berada di bawah
kekuasaan Mataram ini, sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan
Sumedang Larang. Dalam perkembangannya kemudian, Priangan sebagai sebuah
nama wilayah digunakan pula oleh Pemerintah Raffles untuk menamai sebuah
wilayah administratif baru yang bernama karesidenan.[1] Karesidenan Priangan yang
lahir di era Raffles dibentuk melalui resolusi tanggal 13 Februari 1813. Adapun
pengumuman pembentukan serta peresmiannya dilakukan pada tanggal 10 Agustus
1815. Di luar Priangan, karesidenan lain yang dibentuk berdasarkan resolusi tersebut
adalah Banten, Buitenzorg, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Kedu, Semarang,
Surakarta, Yogyakarta, Jepara dan Juwana, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan,
serta Probolinggo dengan Besuki dan Panarukan. Dengan demikian, jumlah
karesidenan di Jawa yang dibentuk oleh Raffles ada 16 karesidenan.[4]
Keberadaan Priangan sebagai sebuah nama wilayah administratif setingkat
Karesidenan berlangsung dalam waktu yang cukup panjang. Bahkan hingga
memasuki masa kemerdekaan. Dibanding Jawa Barat, nama Priangan tampak lebih
dekat dengan identitas mayoritas etnis yang tinggal di wilayah bagian Barat pulau
Jawa tersebut.
17
Fakta sejarah juga memperlihatkan nama-nama lain yang pernah digunakan
untuk menamai wilayah di bagian Barat pulau Jawa. Ada nama Pasundan, yang
pernah digunakan sebagai nama Provinsi, khusus untuk orang Sunda, sebagaimana
yang diusulkan Paguyuban Pasundan pada tahun 1926. Nama Pasundan juga
pernah digunakan pada nama negara bagian yang dibentuk pada masa revolusi fisik,
yakni negara Pasundan. Bahkan, ada dua negara Pasundan yang pernah didirikan di
wilayah bagian Barat pulau Jawa. Sebagaimana halnya Priangan, nama Pasundan
pun tampak lebih dekat dengan identitas mayoritas etnis Sunda yang tinggal di
bagian Barat Pulau Jawa.
Di luar Priangan dan Pasundan, sejarah juga pernah mencatat nama lain,
meskipun baru sebatas usulan, yakni nama Sunda. Sunda sebagai nama sebuah
wilayah pernah diusulkan para pemuda Sunda dalam Kongres Pemuda Sunda, yang
berlangsung 4-7 November 1956. Dalam proklamasi kongres tersebut, para pemuda
Sunda merekomendasikan bahwa istilah Jawa Barat diganti dengan Sunda. Sebagai
konsekuensinya istilah Jawa Tengah diganti dengan Jawa Barat dan nama pulau
Jawa diganti dengan Nusa Selatan, sesuai contoh dari pemerintah sendiri yang
mengganti istilah Sunda Kecil dengan Nusa Tenggara. Dibanding dua nama
sebelumnya, nama Sunda secara eksplisit merepresentasikan secara tegas etnis
mayoritas yang menghuni wilayah bagian Barat pulau Jawa.
Begitu banyak pilihan nama yang dapat digunakan untuk menggantikan nama
Jawa Barat yang dianggap tidak merepresentasikan etnis mayoritas yang tinggal di
wilayah bagian Barat pulau Jawa. Nama apapun yang kelak akan dipilih, pada
akhirnya tentu tidak hanya sekedar memperlihatkan kedekatan sekaligus memberi
identitas terhadap etnis mayoritas yang tinggal di wilayah tersebut tetapi yang paling
penting, nama baru tersebut akan mampu memberi kesejahteraan bagi masyarakat
yang tinggal di dalamnya, khususnya etnis mayoritas yang tinggal di wilayah
tersebut.
18
C. LANDASAN SOSIAL BUDAYA
Edward Burnett Tylor dalam Taliziduhu Ndraha (1999:15) mendefinisikan makna
nama dari Budaya dalam arti yang luas yang meliputi culture dan civilization sebagai
berikut;
“Culture or Civilization, taken in it’s wide ethnographic sense, is that complex whole
which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities
and habits acquired by man as a member of society”.
Secara substansi yang dimaksud dengan budaya oleh Tylor termasuk di
dalamnya pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat atau beberapa
kebiasaan lainnya, dengan sendirinya memiliki fungsi tersendiri di dalam kehidupan
sosial manusia.
Kebudayaan atau budaya dianalogikan sebagai suatu alat. Alat
(kebudayaan/budaya) akan dipakai oleh manusia bilamana memberi fungsi dan
manfaat bagi kehidupannya, dan sebaliknya apabila alat tersebut tidak lagi dapat
memberi fungsi atau manfaat mungkin akan ditinggalkannya. Oleh karenanya, lebih
jauh fungsi budaya dikembangkan oleh Charles Hampden – Turner, dkk (1994:14)
menjadi beberapa pokok pikiran sesuai dengan orientasi yang ditujunya,
yaitu: (1) Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat. Identitas ini terbentuk
oleh berbagai faktor seperti sejarah, kondisi dan posisi geografis, sistem-sistem
sosial, politik dan ekonomi, termasuk perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat.
Perbedaan dan identitas budaya (kebudayaan) dapat mempengaruhi kebijakan
pemerintahan di berbagai bidang; (2) Sebagai pengikat suatu masyarakat.
Kebersamaan (sharing) adalah faktor pengikat anggota masyarakat yang kuat;
(3) Sebagai sumber, kebudayaan merupakan sumber inspirasi, kebanggaan, dan
sumber daya. Kebudayaan/budaya dapat menjadi komoditi ekonomi, misalnya
wisata budaya, benda budaya, produk budaya; (4) Sebagai kekuatan penggerak
dan pengubah. Karena kebudayaan terbentuk melalui proses belajar-mengajar
(learning process) maka kebudayaan itu dinamis, resilient, tidak statis, tidak kaku;
(5) Sebagai pola perilaku, kebudayaan berisi norma tingkah laku dan
menggariskan batas-batas toleransi sosial; (6) Sebagai warisan,
kebudayaan/budaya perlu disosialisasikan dan diajarkan kepada generasi
berikutnya; (7) Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan. Dilihat dari
sudut ini, pembangunan seharusnya merupakan proses budaya, serta (8) Sebagai
19
proses yang mempersatukan. Melalui proses value sharing , masyarakat
dipersatukan, tidak seperti sapu lidi melainkan ibarat rantai.
Dalam praktik sosialnya Schien dalam Taliziduhu (op.cit) mengidentifikasikan
budaya menjadi tiga tingkatan, di antaranya;
(1) Artifacs, yaitu struktur dan proses organisasional purba yang dapat diamati tetapi
sulit ditafsirkan; (2) Espoused values, yaitu tujuan, strategi, filsafat, dan (3) Basic
underlaying assumptions, yaitu kepercayaan, persepsi, perasaan, dan
sebagainya. Weber (dalam Sutrisno, 1994) menetapkan bahwa kebudayaan
mencakup pengertian konfigurasi dari fungsi-fungsi, kaidah-kaidah, nilai-nilai, prinsip-
prinsip dan cita-cita normatif. Sementara peradaban adalah sekumpulan
pengetahuan intelektual dan praktis maupun koleksi sarana teknis sebagai
upaya manusia melakukan kontrol terhadap alam, sumber nilai dan
tindakan. Dengan demikian, konsep kebudayaan telah diperluas serta didinamisasi
kendatipun secara akademik orang sering membedakan antara kebudayaan dengan
peradaban. Tetapi pada dasarnya keduanya menyatu dalam pengertian kebudayaan
secara luas dan dinamis. Sebab kebudayaan sebagai akal budi manusia tidak hanya
mengandung salah satu aspek dari kegiatan-kegiatan manusia.
Kalau melihat kebudayaan sebagai suatu sistem, maka kebudayaan didukung
oleh empat subsistem, di antaranya : (1) Subsistem gagasan yang berisi pandangan
hidup dan nilai budaya; (2) Subsistem normatif yang meliputi norma moral, adat,
hukum dan aturan-aturan khusus; (3) Subsistem kelakuan yang berisi sikap, tingkah
laku, dan tindakan, dan (4) Subsistem hasil kebudayan.
Melihat kenyataan demikian, pertanyaannya adalah dalam posisi seperti apa
manusia hadir dalam lingkaran kebudayaan? Manusia mengembangkan
kebudayaan, justru karena manusia makhluk yang bertransendensi, yaitu suatu
kemampuan khas untuk meningkatkan dirinya selaku makhluk yang berakal
budi. Kebudayaan memungkinkan manusia memperoleh gerak hominisasi
(pemanusiaan manusia), dan di lain pihak kebudayaan merupakan proses
humanisasi, peningkatan martabat manusia. Keduanya bermakna spiritual bukan
fisikal. Berangkat dari itu semua, maka Koentjaraningrat (1985) menegaskan bahwa
budaya merupakan sebuah pengembangan dari kata majemuk budi-daya, artinya
daya dari budi yang mengandung makna kekuatan dari akal. Dengan demikian,
budaya atau kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dari karya manusia, yang
berwujud: (1) ide, gagasan, nilai, norma, peraturan yang bersifat kompleks;
20
(2) aktivitas kelakuan yang berpola dari masyarakat atau sistem sosial, serta
(3) benda-benda hasil karya manusia.
21
kemungkinan suatu waktu akan menjadi ‘time bomb’. Hal lainnya yang memiliki
urgensitas cukup tinggi adalah secara disengaja ataupun tidak, telah terjadi
pelemahan fungsi kebudayaan di wilayah Sunda itu sendiri sebagai akibat timbulnya
desakan dari kekuatan etnik lain yang ada.
Pelemahan tersebut dirasakan sangat sistematis dan cenderung masif untuk
mengubah kekuatan primordial KaSundaan. Sinyalemen ke arah itu pernah
dilontarkan oleh seorang KH. Abdrurrahman Wahid atau Gus Dur ketika beliau masih
hidup – selorohnya (pada penulis saat itu, April 2003) …..Etnik yang paling potensial
di Nusantara ini dan cukup disegani adalah etnik Sunda bilamana “mampu bersatu”.
Boleh jadi (masih tetap berpikian Huznudzon) ada faktor kekuatan tertentu yang
menghendaki etnik Sunda itu terpecah-pecah dan secara terselubung dicerai-
beraikan.
Tiga alasan yang terkemuka di atas, dipandang sangatlah wajar bilamana ada
sekelompok masyarakat yang berharap ‘Spirit Sunda’ tersebut diimplementasikan ke
dalam tindakan nyata di mana salah satunya mengubah nama Provinsi dan Jawa
Barat ke Pasundan (pe-Sunda-an). Hal ini bisa dianggap sebagai gerakan kultural
yang ingin memposisikan Sunda sebagai kekuatan budaya menjadi modal dasar
untuk membangkitkan kembali semangat ‘kesukuan’ yang positif. Primordialisme
tidak selamanya berindikasi negatif bila mampu diarahkan ke hal-hal yang positif
yang selama ini didistorsi oleh hegemoni kekuasaan dan seolah-olah menjadi
sinyalemen yang kurang baik.
Gerakan kultural ini hendaknya tidak harus dipandang sebagai bentuk
perlawanan terhadap ‘kemapanan’ yang relatif pasif serta sedikit apatis, akan tetapi
sebaliknya justru secara sadar berkeinginan mendinamisir fungsi kebudayaan ke
posisi semula agar menjadi bergairah guna mendorong energi dan atau potensi yang
selama ini terkubur. Dukungan dari berbagai elemen sangat dibutuhkan, terutama
menjawab tantangan Gus Dur agar Sunda bisa bersatu dan kecenderungan ke
arah itu bisa saja terjadi bilamana kesadaran kolektif dapat dihimpun.
22
mana kekuatan identitas nama tersebut. Di mata Jayson De Mers, faktor keunikan
dan kenampakan sebuah merek akan sangat bermanfaat bagi kekuatan daya saing.
Sekarang mari kita kaji sejauh manakah faktor keunikan, kenampakan dan
keaslian nama Jawa Barat (West Java) diantara nama-nama atau merek lain yang
hampir sama dengannya seperti Jawa Tengah (Central Java) dan Jawa Timur (East
Java)? Dengan begitu nama Jawa Barat selain bisa dinilai kurang sesuai dengan jati
diri budaya di Tatar Sunda juga tidak bisa dikatakan sebagai sebuah nama
yang brandr atau menyala. Apalagi bila dikaitkan dengan kandungan informasi yang
bisa didapat tentangnya. Bayangkan ketika masyarakat global sedang mencari
informasi tentang Jawa Barat melalui media cetak atau media sosial. Nuansa
fenomena yang bisa mereka peroleh paling banter hanya dari tahun 1925. Lain
halnya bila masyarakat global sedang mencari data/informasi tentang Sunda maka
yang mereka akan dapatkan minimal pengetahuan/informasi KeSundaan sejak abad
ke empat saat kata Sundapura dijadikan nama ibu kota kerajaan Salakanagara plus
kata Sunda yang sudah sangat populer digunakan nama sebuah kepulauan, selat,
dan lain sebagainya. Keuntungan lain dari penggunaan nama Provinsi yang
beridentitas Sunda juga memiliki kekuatan adaptif sebagaimana yang dianggap perlu
oleh Frank Goedertier juga memiliki/menyediakan kandungan tentang pengetahuan
yang menarik sebagaimana yang dipandang perlu oleh Jayson DeMers. “Merek
harus bisa menimbulkan persepsi di kepala seseorang” Begitu kata Jerry Mc
Laughtin. Selaras dengan itu pakar ilmu marketing lainnya Frank Goedartier,
mengatakan bahwa faktor keaslian dan identitas pada akhirnya akan menjadi duta
yang marketable bagi dunia luar.
23
Empat Pilar Kebangsaan
Dalam berbagai wacana selalu terungkap bahwa telah menjadi kesepakatan
bangsa adanya empat pilar penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara bagi
negara-bangsa Indonesia. Bahkan beberapa partai politik dan organisasi
kemasyarakatan telah bersepakat dan bertekad untuk berpegang teguh serta
mempertahankan empat pilar kehidupan bangsa tersebut. Empat pilar dimaksud
dimanfaatkan sebagai landasan perjuangan dalam menyusun program kerja dan
dalam melaksanakan kegiatannya. Hal ini diungkapkan lagi oleh Presiden RI Bapak
Susilo Bambang Yudhoyono, pada kesempatan berbuka puasa dengan para pejuang
kemerdekaan pada tanggal 13 Agustus 2010 di istana Negara.
Empat pilar tersebut adalah (1) Pancasila, (2) Undang-Undang Dasar
1945, (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan (4) Bhinneka Tunggal Ika.
Meskipun hal ini telah menjadi kesepakatan bersama, atau tepatnya sebagian besar
rakyat Indonesia, masih ada yang beranggapan bahwa empat pilar tersebut adalah
sekedar berupa slogan-slogan, sekedar suatu ungkapan indah, yang kurang atau
tidak bermakna dalam menghadapi era globalisasi. Bahkan ada yang beranggapan
bahwa empat pilar tersebut sekedar sebagai jargon politik. Yang diperlukan adalah
landasan riil dan konkrit yang dapat dimanfaatkan dalam persaingan menghadapi
globalisasi.
24
Indonesia, bukan untuk kesejahteraan perorangan atau golongan. Nampak bahwa
Pancasila sangat tepat sebagai pilar bagi negara-bangsa yang pluralistik.
Pancasila sebagai salah satu pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
memiliki konsep, prinsip dan nilai yang merupakan kristalisasi dari belief system yang
terdapat di seantero wilayah Indonesia, sehingga memberikan jaminan kokoh
kuatnya Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
25
Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi Sunda pun satu bagian
kecil daripada kesatuan.
Dari kutipan pidato tersebut tidak dapat dijadikan landasan argumentasi bagi
terbentuknya negara kesatuan. Apalagi kalau kita ikuti lebih lanjut pidato Bung Karno
yang justru memberikan gambaran negara kebangsaan pada negara-negara federal
seperti Jermania Raya, India dan sebagainya. Dengan demikian sila ketiga Pancasila
“Persatuan Indonesia,” tidak menjamin terwujudnya negara berbentuk kesatuan,
tetapi lebih ke arah landasan bagi terbentuknya negara kebangsaan atau nation-
state.
Untuk mencari landasan bagi Negara kesatuan para founding fathers lebih
mendasarkan diri pada pengalaman sejarah bangsa sejak zaman penjajahan, waktu
perjuangan kemerdekaan sampai persiapan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Penjajah menerapkan pendekatan devide et impera, atau pecah dan kuasai.
Pendekatan tersebut hanya mungkin dapat diatasi oleh persatuan dan kesatuan.
Sejarah membuktikan bahwa perjuangan melawan penjajah selalu dapat dipatahkan
oleh penjajah dengan memecah dan mengadu domba. Hal ini yang dipergunakan
sebagai alasan dan dasar dalam menentukan bentuk negara kesatuan.
26
hubungannya, namun yang jelas konsep keanekaragaman dalam kesatuan telah
diungkap oleh Mpu Tantular lebih dahulu.
Sejak awal telah begitu banyak pihak yang berusaha membahas untuk
memahami dan memberi makna Pancasila, serta bagaimana implementasinya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu pilar Bhinneka Tunggal Ika
masih kurang menarik bagi pihak-pihak untuk membahas dan memikirkan
bagaimana implementasinya, padahal Bhinneka Tunggal Ika memegang peran yang
sangat penting bagi negara-bangsa yang sangat pluralistik ini. Dengan bertitik tolak
dari pemikiran ini, dicoba untuk membahas makna Bhinneka Tunggal Ika dan
bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga
Bhinneka Tunggal Ika benar-benar dapat menjadi tiang penyangga yang kokoh
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.
Demokrasi Konsosiasional
Secara teoritis, solusi bagi negara-negara yang memiliki pluralisme sosial,
budaya, dan politik yang tinggi adalah dengan mengetengahkan konsep alternatif.
Sebab, dibanding dengan negara demokrasi Barat, unsur-unsur primordial sangat
kental dalam kehidupan berdemokrasi di negara-negara yang sedang membangun.
Dalam kaitan itu, Afan Gaffar (1994), dengan mengetengahkan kasus demokrasi di
Indonesia menyimpulkan, bahwa demokrasi prosedural sebagaimana yang berlaku
di negara Barat, sulit untuk diterapkan di Indonesia. Dengan kata lain, pembangunan
demokrasi di negara-negara membangun adalah sebagai demokrasi yang tidak lazim
(Uncommon democracy). Pendapat Gafar merujuk pada hasil penelitian yang
dilakukan oleh Arent Lijphart yang berhasil merumuskan konsep alternatif sebagai
corak demokrasi di negara-negara dunia ketiga.
Konsep alternatif ini harus dilihat sebagai upaya para pakar untuk menjawab
pelbagai keterbatasan dan keunikan sistem politik di negara-negara yang sedang
membangun. Konsep Lijphart (1996), dapat dikatakan sebagai suatu kombinasi
antara unsur tradisional-primordial dengan nilai demokrasi modern. Konsep ini
dibangun atas realitas masyarakat yang pluralis dan multi-etnik (primordial) dengan
mengaitkan keberadaan institusi demokrasi. Konsep ini kemudian dikenal dengan
istilah Demokrasi Konsosiasional (Consociational Democracy), dengan pemerintah
pusat mengakomodasi aspirasi kelompok-kelompok agama, etnik, dan linguistik,
adanya otonomi budaya setiap kelompok, perimbangan dalam perwakilan politik dan
27
rekrutmen pegawai pemerintah dan perlindungan kelompok minoritas (Lijphart, 1996
:258-268).
Pada umumnya, ciri-ciri demokrasi yang dikemukakan Lijphart, dipraktikkan oleh
beberapa negara di Asia seperti Malaysia dan Afrika.
Dalam istilah pemaknaan lain, demokrasi konsosiasional dapat dinamakan
sebagai demokrasi permusyawaratan atau permufakatan yang lebih mengutamakan
nilai konsensus untuk menjaga keutuhan bangsa yang plural. Bagi bangsa dan
negara yang sedang membangun, pluralitas sosial dan keragaman budaya yang
tinggi dapat menjadi ancaman dan tantangan yang sangat serius untuk tetap
menjaga integrasi bangsa. Kebebasan di luar kontrol berkemungkinan akan
menimbulkan banyak bahaya bahkan disintegrasi bangsa. Di sisi lain, tuntutan
demokratisasi juga tidak mungkin dielakkan, dan harus mampu memberikan ruang
terhadap kekayaan keanekaragaman kehidupan sosial, budaya, dan unit politik lokal.
Tegasnya, model demokrasi konsosiasional dapat dikembangkan lebih jauh sebagai
bentuk pengakuan terhadap politik lokal dengan masyarakat yang memiliki ciri-ciri
kekhususan seperti Aceh dan Yogyakarta. Fenomena ini mengukuhkan pendapat,
bahwa wujud demokrasi lebih pada makna substansi dibanding dengan bentuk
demokrasi yang pada dasarnya memang tidak mungkin sama. Oleh karena itu,
perbedaan latar belakang sejarah, sosial, budaya, politik dan perubahan global
bentuk atau model demokrasi dalam praktiknya bisa berbeda (Chang Hee, 1996).
28
Kesadaran ini kemudian memunculkan solidaritas kekompakan dan kebangsaan.
Politik etnis mengacu pada politik “kelompok etnis” dan “minoritas kecil”, sementara
penafsiran kelompok etnis bisa mencakup bangsa etnis (ethnic nation).
Pada wacana politik kontemporer nuansanya lebih sempit. Dalam konteks ini,
biasanya kelompok etnis atau minoritas etnis tidak memiliki teritori tertentu. Tujuan
mereka pun berbeda dengan nasionalis klasik, mereka tidak menghendaki
“determinasi diri kebangsaan” dalam suatu wilayah bangsa (negara). Akan tetapi,
lebih pada penerimaan proteksi dan kemajuan bagi kelompok, khususnya bagi
individu-individu dalam kelompok itu, dalam suatu negara yang telah ada.
Bila merujuk kepada Tujuan N.K.R.I pencapaian Jawa Barat sejak dulu sangat
memprihatinkan dengan faktor sebagai berikut :
1. Untuk tujuan yang pertama, penamaan Jawa Barat sangat bertentangan
dengan “sense of actuality” atau kebutuhan aktualitas diri etnis Sunda nya. Prof. Dr.
Richard L. Dixon menyatakan bahwa Suku Sunda merupakan suku yang paling tidak
dikenal di dunia. Bahkan sering dianggap sebagai bagian dari suku Sudan. Pendapat
tersebut sangat bisa difahami mengingat acuannya pada Atlas Politik, sama sekali
tidak terdapat sebutan Sunda kecuali Jawa Barat. Jangankan dikenal di level dunia,
masyarakat awam di luar Pulau Jawa pun lebih mudah mengenal orang Sunda se-
bagai orang Jawa. Hal itu pun sangat masuk akal mengingat di Pulau Jawa terdapat
dua nama Provinsi berbau kesukuan yang mendominasi yaitu Provinsi Jawa Ten-
gah dan Jawa Timur. Berbeda sekali dengan Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, Su-
29
lawesi dan sebagainya. Di situ tak ada Provinsi dengan nama berbasis kesukuan
yang mempengaruhi aktualisasi nama-nama suku bangsa yang ada di dalamnya.
Dalam konteks melindungi Tumpah Darahnya, nama Jawa Barat tidak cukup
berpengaruh. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2019 Jawa
Barat telah dinyatakan sebagai Provinsi terkumuh.
Dalam konteks melindungi Tumpah Darah yang lebih luas nama Jawa Barat pun
sangat kurang mampu menggeliatkan atau memanfaatkan seluruh potensi kearifan
lokalnya. Salah satu buktinya kebersamaan segenap masyarakatnya kian hari kian
luntur. Hal tersebut bisa dilihat dari sejumlah tokoh Sunda yang tidak setuju akan pe-
rubahan nama, lantas menyerang secara sangat parsial, tanpa dasar ilmiah disertai
alasan logis yang menggunakan basis literatur dan data.
2. Dalam hal tujuan mewujudkan bingkai N.K.R.I yang kedua (Meningkatkan
Kesejahteraan Umum) penamaan Jawa Barat sangat kurang menggeliatkan
kekuatan kearifan lokal Sunda. Buktinya pada tahun 2013 berdasarkan data Badan
Pusat Statistik merupakan Provinsi dengan Income per Capita terbawah. Pada ta-
hun 2020 dinyatakan sebagai Provinsi dengan pengangguran kedua terbanyak.
Termasuk data pada tahun 2019 indeks kebahagiaan masyarakatnya berada di po-
sisi ke-30 terbahagia. Keadaaan ini sangat berbeda dengan ketika wilayah ini
menggunakan nama Provinsi bernuansa Sunda dengan warna sosial sebagai
masyarakat yang Subur Makmur Lohjinawi.
Satu hal lagi, bahwa sejak tahun 2007 (sejak pertamakali B.P.S melakukan Sur-
vei Penduduk Miskin) hingga tahun 2020 Jabar hampir selalu berada di Posisi ke-16
tersedikit dalam prosentase Penduduk Miskin di Indonesia.
3. Dalam Konteks Tujuan N.K.R.I yang ketiga yaitu (Mencerdaskan Kehidupan
Bangsa) pun Jawa Barat sangatlah ketinggalan. Dalam hal prosentase partisipasi
pendidikan usia Perguruan Tinggi pada tahun 2019 prosentasenya hanya di angka
22.39 % di ranking ke-29. Padahal di tahun 2003 (saat pertamakali B.P.S
melaksanakan survei dimaksud) posisinya di ranking ke-25.
Termasuk rankingnya sering kalah bersaing dari Aceh, Papua, Papua Barat
yang pernah berganti nama, plus tidak memiliki Perguruan Tinggi sebanyak Jabar.
Begitu pula dalam hal Persentase Partisipasi Pendidikan Usia SMA. Jabar melorot
dari ranking ke-27 di tahun 2003 menjadi ranking ke-32 dengan persentase hanya
67.29%. Juga sering kalah bersaing dengan sejumlah Provinsi yang telah berganti
nama.
30
Diukur dari tiga bidang Tujuan N.K.R.I tadi saja, Jawa Barat sudah layak diang-
gap sebagai Provinsi yang sangat memprihatinkan. Kalah bersaing dengan Provinsi
lain yang mampu menggeliatkan kekayaan kearifan lokalnya melalui cara perubahan
nama Provinsi. Termasuk dalam banyak hal mendasar kalah telak oleh Provinsi Ban-
ten dan Gorontalo yang baru berdiri pada tahun 2000.
Keadaan ini sudah mendesak untuk diatasi. Tak perlu lagi dihambat oleh alasan
yang dicari-cari semisal, “Sunda itu bukan etnisitas!” atau “Sepakati dulu definisi su-
ku Sunda itu apa?” Apalagi tuntutan serupa sudah mulai didengungkan sejak tahun
1925 oleh Paguyuban Pasundan, oleh Kongres Pemuda Sunda 1956 dan se-
terusnya, oleh Prof. Dr. Didi Turmidzi, M.Si., oleh Prof. Dr. Ganjar Kurnia, D.E.A dan
oleh Lembaga Adat Karatwan (L.A.K) Galuh Pakuan dan lain-lain.
Tome Pires pernah menyatakan di Pulau Jawa Bagian Barat terdapat suku
Sunda yang berjiwa Ksatria. Prof. Dr. Richard L. Dixon pernah mengatakan bahwa
suku Sunda merupakan suku yang paling kurang dikenal di dunia, bahkan sering di-
anggap sebagai bagian dari suku Sudan. Jika saja kedua tokoh barat tersebut mem-
berikan pengakuan tentang keberadaan suku Sunda, betapa sangat anehnya jika
ada orang-orang yang mengaku jati diri suku Sunda tetapi masih mempertanyakan
tentang ada tidaknya suku bangsa Sunda di Indonesia.
31
oleh aspek material (pendapatan), namun juga oleh faktor kemanusiaan dan faktor
sosial. Dalam hal ini, faktor-faktor yang berkaitan dengan masyarakat menjadi
penting untuk diperhatikan, termasuk faktor budaya. Lebih lanjut lagi, konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebenarnya juga telah
menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari sisi
ekonomi, namun juga dari sisi sosial dan lingkungan.
Perhatian atas keterkaitan faktor budaya dan pembangunan semakin
memperoleh perhatian bagi para pengambil kebijakan dan perencana pembangunan.
Hal ini bukan tanpa alasan ilmiah. Pergeseran paradigma pembangunan dari
pendekatan ‘top-down’ yang cenderung sentralistik ke arah pendekatan ‘bottom-up’
yang mengakomodasi otonomi daerah dan pemberdayaan serta partisipasi
masyarakat lokal menjadi alternatif pilihan pembangunan yang sesuai khususnya
pembangunan di negara-negara berkembang. Warren, Slikkerveer dan Brokensha
(1995) adalah termasuk pemikir pembangunan yang memberikan perhatian pada
keterlibatan budaya dalam pembangunan. Mereka mendokumentasikan setidaknya
40 kasus pembangunan di berbagai Negara di dunia, khususnya di Afrika dan Asia,
termasuk Indonesia dimana faktor budaya berperan penting dalam proses
pembangunan yang memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Mereka
menawarkan konsep pembangunan dengan pendekatan ‘emic’ yang menekankan
pentingnya pengambil kebijakan dan perencana pembangunan mempertimbangkan
keragaman budaya dan kebiasaan yang ada di masyarakat dalam melakukan
perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan.
Studi mereka juga memperoleh sambutan dari pemikir pembangunan lainnya
seperti Hiemstra (2008) yang mengenalkan konsep pembangunan endogenous
(endogenous development) yang mendasarkan pendekatan pembangunan yang
bersifat ‘bottom-up’ melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat sesuai
dengan karakteristik budaya yang ada di masyarakat. Bahkan Woodley dan kawan-
kawan (2006) mengkritik para pengambil kebijakan dan perencana pembangunan
yang tidak mengindahkan faktor budaya yang ada di masyarakat. Mereka
mengatakan bahwa ketidakpahaman para pengambil kebijakan pembangunan atas
budaya lokal merupakan salah satu penyebab utama kegagalan program
pembangunan. Kegagalan ini disebabkan adanya pengabaian atas keadaan dan
kebutuhan masyarakat yang sangat beragam dalam program pembangunan yang
dijalankan.
32
Salah satu perspektif yang tengah berkembang saat ini dan sangat menghargai
budaya adalah yang berbasis pada masyarakat dengan pendekatan utama yang
digunakan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan pemberdayaan digunakan
karena diyakini sumber masalah kemiskinan dan keterbelakangan adalah
ketidakberdayaan. Oleh karena itu dalam implementasinya pendekatan utama yang
digunakan, masyarakat tidak lagi berposisi sebagai obyek pembangunan yang
keterlibatannya sebatas pelaksanaan program yang ditentukan dari atas (top-down).
Akan tetapi juga menjadi subjek yang ikut serta dalam proses pengambilan
keputusan dan perencanaan (bottom-up approach). Masyarakat diberikan hak untuk
mengelola sumber daya yang ada dalam rangka melaksanakan pembangunan
(Soetomo 2015).
Sebagai Negara yang terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku bangsa dan budaya,
perhatian pada faktor budaya dalam pembangunan tidak dapat dinafikan lagi.
Beberapa contoh keberhasilan pembangunan di masyarakat Bali sebagaimana
dituliskan oleh Seibel (2008) menunjukkan bahwa faktor budaya tidak dapat
dilepaskan dari program pembangunan. Di dunia pendidikan sendiri, Kementerian
Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi sendiri melakukan kebijakan terbaru di awal
tahun 2018 yang sangat menarik dengan memberikan kesempatan pada berbagai
perguruan tinggi di Indonesia untuk membuka program studi yang berbasis
kebudayaan dan kearifan lokal. Dalam konteks ini, budaya dimaknai sebagai sikap,
nilai, dan kepercayaan kolektif diyakini memegang peranan penting sebagai salah
satu faktor penentu kemajuan suatu masyarakat.
Di Indonesia, pelibatan masyarakat didalam pembangunan sebetulnya telah ada
sejak lama. Masyarakat Indonesia memiliki kekhasan dalam kehidupannya terkait
kepentingan bersama, yakni gotong royong yang merupakan manifestasi
kebudayaan sejak zaman nenek moyang. Kartodirdjo didalam Colletta dan Khayam
(1987) seperti dikutip Soetomo (2014) mengemukakan gotong royong merupakan
manifestasi solidaritas sosial tinggi yang didasarkan pada moralitas, rasa bersatu,
dan konsensus umum. Beberapa contoh praktek budaya gotong royong yang telah
diterapkan dalam pembangunan adalah diantaranya lembaga Lumbung Pitih Nagari
di Sumatera Barat, Gintingan di Kabupaten Subang, Beas Perelek di Kabupaten
Purwakarta, Pengelolaan Air melalui Subak dan Lembaga Perkreditan Desa di Bali,
dan lain sebagainya.
33
F. ENERGI KEARIFAN LOKAL
Beberapa Contoh Penggunaan Budaya Lokal dalam Pembangunan di Berbagai
Negara
Pelibatan Budaya lokal dalam Pembangunan tidak hanya dijalankan di
Indonesia. Menurut Posey (1999) setidaknya ada sekitar 6000 suku bangsa di
seluruh dunia yang memiliki karakteristik budaya dan bahasa yang unik, yang
membedakan satu sama lainnya. Hal ini juga mengandung konsekuensi bahwa
pembangunan di wilayah-wilayah tersebut sedikit banyak berpengaruh dan
dipengaruhi budaya setempat yang berbeda-beda. Sebagai contoh, di Amerika Utara
terdapat kearifan lokal yang bernama ‘Gadugi’, yaitu kerjasama masyarakat dimana
para lelaki dan perempuan di masyarakat bekerjasama secara sukarela membantu
dalam perawatan orangtua yang telah jompo melalui penyediaan rumah dan layanan
kesehatan. Di Irlandia, sebuah kearifan lokal yang bernama ‘Meitheal’ merupakan
sebuah program pemberdayaan masyarakat dimana kehidupan bertetangga
melakukan aktivitas tolong-menolong dalam aktivitas pertanian. Hal yang sama
dilakukan masyarakat di Eropa Utara, termasuk Finlandia, Swedia dan Estonia. Di
Negara-negara tersebut terdapat kearifan lokal yang bernama ‘Talkoot’ yang merujuk
pada kerjasama sukarela dalam bekerja di masyarakat. Hal yang sama juga
terdapat di Norwegia dengan institusi lokal yang bernama ‘Dugnad’ dimana
masyarakat bekerja bersama-sama dalam suatu program pembangunan yang
umumnya disertai dengan makan bersama.
Di daerah mediterania, terdapat kearifan lokal di Turki yang bernama ‘Imece’
yang merupakan kerjasama masyarakat pedesaaan dalam membangun jalan,
jembatan, ruang pertemuan dan lain-lain. Demikian halnya di Amerika Latin. Sebuah
kearifan lokal yang bernama ‘Minka’ dijalankan oleh masyarakat di Ekuador, Bolivia,
Chile dan juga Peru, terutama di masyarakat yang menggunakan bahasa Qeuacha
dan Aymara. Di Afrika, khususnya di Sudan, kearifan lokal yang bernama ‘Naffir’
merupakan program pemberdayaan masyarakat dimana mereka bersama-sama
melakukan pembangunan infrastuktur di pedesaan, termasuk juga dalam kegiatan
pertanian. Demikian halnya kearifan lokal di Kenya dengan nama ‘Harambee’
(semua bekerja bersama) dan di Tanzania dengan nama ‘Ujabaa’ yang berarti
pembangunan berbasis persaudaraan.
34
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa faktor budaya masih sangat melekat
dan telah berkontribusi dalam pembangunan di berbagai Negara di dunia, dimana
masyarakat tersebut memiliki karakteristik budayanya masing-masing.
35
Kearifan Sunda dalam Penentuan Lahan (Landscape)
Kearifan Lokal pada Masyarakat Sunda yang dipengaruhi Pandangan Hidup
Tritangtu sebenarnya telah memberikan kebijaksanaan dalam hal penentuan Lahan
yang dipergunakan dalam pembangunan. Masyarakat Sunda membagi lahan
menjadi 3 bagian: Tonggoh (dataran tinggi), Lebak (dataran sedang), dan Hilir
(dataran rendah). Berdasarkan pembagian ini, masyarakat Sunda memiliki
pandangan bahwa pembangunan infrastruktur dan sejenisnya tidak boleh dilakukan
di kawasan atas atau dataran tinggi (tonggoh). Lahan tersebut diperuntukkan untuk
makhluk lain selain manusia, diantaranya hewan, tumbuhan dan juga alam spiritual
atau Tuhan (Hyang). Tidak heran jika kawasan puncak atau lembah dinamakan
dengan istilah ‘para hyang’ atau tempat bagi alam spiritual/Tuhan, yang kemudian
dikenal dengan istilah populer ‘Parahyangan’. Adapun di dataran sedang (lebak)
diperuntukkan bagi pembangunan rumah-rumah kediaman manusia dan tempat
beraktivitas manusia dan makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan, termasuk lahan
pertanian, peternakan dan lain sebagainya. Sedangkan dataran rendah (hilir)
diperuntukkan untuk pembangunan yang bersifat tersier. Dalam konteks
pembangunan modern, dataran rendah ini misalnya diperuntukkan bagi
pembangunan pabrik-pabrik, dan sejenisnya.
Sebenarnya terdapat alasan mengapa pembangunan di setiap dataran tersebut
ditentukan. Hal ini sejalan dengan hukum alam mengenai air yang mengalir dari
dataran tinggi ke dataran rendah. Pembangunan di dataran tinggi (tonggoh) dilarang
bagi masyarakat Sunda mengandung hikmah bahwa hendaknya sumber air yang
berada di dataran tinggi harus selalu terjaga kebersihan dan kemurniannya, agar
makhuk hidup yang berada di dataran yang lebih rendah tidak akan terganggu
dengan air yang mungkin terkotori atau terkontaminasi dari dataran tinggi sekiranya
dilakukan pembangunan di dataran tersebut. Hal yang sama juga mengapa pabrik-
pabrik ditempatkan di dataran rendah (hilir), yang dimaksudkan agar kegiatan
tersebut dapat memanfaatkan air yang sudah tidak lagi bersih untuk aktivitas lainnya
tanpa harus mengganggu kehidupan sehari-hari manusia di dataran yang lebih
tinggi.
36
3 bagian: Bagian atap (para), Bagian Tengah/Utama Bangunan, dan Bagian Bawah
(kolong). Masyarakat Sunda menganggap bahwa bagian atap atau para bukan
diperuntukkan untuk beraktivitas, dan biasanya terkait dengan hubungan spiritual
dengan Tuhan. Adapun di bagian bawah, rumah tradisional Sunda biasanya memiliki
‘kolong’ yang memberikan kesempatan bagi makhluk lain untuk tetap hidup
sekalipun manusia menjalankan kehidupannya di bagian tengah rumah. Di sisi lain,
adanya kolong menjadi jalan bagi manusia untuk tidak menyia-nyiakan makanan
yang dikonsumsinya sekalipun terjatuh ke bagian bawah dari rumah. Misalnya,
sekiranya remah nasi terjatuh ke bawah, tetap dapat dimanfaatkan oleh makhluk lain
yang hidup seperti ayam. Dari konsep ini, sebenarnya masyarakat Sunda telah lama
sekali menerapkan prinsip ‘recycling’ dalam kegiatan sehari-harinya, terwujud dari
bentuk rumah yang dibangunnya.
37
disarankan oleh para ahli pembangunan saat ini melalui konsep pembangunan
‘endogenous’ yang mengakomodasi budaya dan kearifan lokal, dengan menyertakan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan.
38
pemerintah daerah perlu memikirkan saat melibatkan para pengambil kebijakan dan
perencanaan pembangunan: apakah yang menjadi kepribadian masyarakat yang
menjadi sasaran sekaligus pembangunan di Jawa Barat? Faktor apakah yang dapat
mengingatkan mereka akan kepribadian sebagai warga Jawa Barat? Sebagaimana
yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, Budaya dan Kearifan Lokal Sunda
perlu menjadi Local Branding dalam Pembangunan Masyarakat. Pembangunan
Jawa Barat yang didasarkan pada Budaya Kearifan Lokal Sunda memberikan
karakteristik yang membedakan pembangunan dengan daerah lain dalam 2 hal: 1)
Mendorong adanya keseimbangan pembangunan antara kehidupan manusia, Tuhan
dan alam semesta atas dasar pandangan hidup Sunda Tritangtu; 2) Mendorong
adanya partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan melalui prinsip
kesalingan (silih asah, silih asih dan silih asuh); 3) Mendorong adanya pemanfaatan
sumber daya manusia dan alam yang tidak sia-sia bagi kepentingan keseimbangan
alam dan generasi yang akan datang.
Ketiga karakteristik pembangunan di Jawa Barat yang berbasis budaya dan
kearifan lokal Sunda tersebut perlu untuk dipahami, didiseminasi dan dipraktekkan
oleh semua kalangan masyarakat di Jawa Barat, khususnya oleh para pengambil
kebijakan dan perencana pembangunan. Perlu dilakukan identifikasi atas
stakeholders pembangunan Jawa Barat yang dapat mendukung pelaksanaan
pembangunan berbasis budaya dan kearifan lokal Sunda tersebut. Jika merujuk
pada model stakeholders yang dikemukakan oleh Tonkovic et al (2017) terdapat
empat model stakeholder yang dapat dipertimbangkan bagi kepentingan local
branding pembangunan Jawa Barat yang berbasis budaya dan kearifan lokal Sunda,
yaitu model dual-helix (atau dikenal sebagai industry-government dyad), Triple-Helix,
Quad-Helix, dan Penta-Helix. Dari istilahnya, model-model tersebut menjelaskan
secara berturut-turut relasi antara dua entitas, tiga entitas, empat entitas dan lima
entitas stakeholders. Menurut pertimbangan penulis, model Penta-helix adalah
model yang paling cocok untuk menjalankan ‘Local Branding’ bagi Pembangunan
Jawa Barat yang berbasis budaya dan kearifan lokal sunda, yaitu dengan melibatkan
pihak pemerintah daerah (government), pelaku usaha (business), masyarakat
(community), akademisi (academics), dan lembaga kemasyarakatan (NGO) yang
bergerak di bidang KeSundaan. Kelima elemen stakeholders tersebut memiliki peran
masing-masing yang penting bagi terwujudnya program pembangunan di Jawa Barat
yang berbasis Budaya dan Kearifan Lokal Sunda. Pemerintah berperan dalam hal
39
penyusunan regulasi dan kebijakan yang mendukung dan memberdayakan budaya
dan kearifan Sunda. Akademisi berperan dalam hal penelitian dan pencarian model-
model aplikasi pembangunan berbasis budaya lokal Sunda dengan mempelajari
contoh-contoh yang telah berhasil dan tidak berhasil dari daerah lain. Pihak LSM
berperan dalam membantu stakeholders lain dalam melakuan penyadaran,
pendampingan dan pemberdayaan masyarakat untuk memahami dan menjalankan
kegiatan pembangunan yang berbasis budaya dan kearifan lokal Sunda, dan pelaku
Usaha berperan dalam hal pelaksanaan jenis-jenis kegiatan pembangunan yang
bersifat produktif namun dengan mempertimbangkan keseimbangan antara faktor
ekonomi, sosial dan lingkungan. Sedangkan masyarakat, menjadi pelaku utama
dalam kegiatan pembangunan yang berbasis budaya dan kearifan lokal tersebut.
H. LANDASAN YURIDIS
Sejatinya penduduk asli Amerika Serikat adalah terdiri dari beberapa etnis
Apache, Geronimo, Cheyenne, Don Sioux, Dakota, Cherokee, Comache, Navayo,
Pueblo, Iroquis, Huron, Miccosuree dan lain-lain. Di masa lalu pribumi di negara
Amerika Serikat sekarang, jumlahnya tidak kurang dari 100 juta. Tapi pada hari ini
kalau kita berkunjung ke negara Uncle Sam ini sulit bagi kita untuk menemukan
etnis ini, sebab secara sistematis ditengarai telah terjadi genocide. Kini penduduk
Amerika Serikat bukan lagi pribumi asli, tapi sudah berganti dengan masyarakat
baru, etnis baru, budaya baru, bahasa baru yang berbeda dengan penduduk pribumi.
Jawa Barat adalah sebuah Provinsi di Indonesia, ibu kotanya berada di Kota
Bandung. Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa Provinsi di Jawa Barat
merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (Staatblad Nomor:
378).
Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No. 11 Tahun 1950, tentang
Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat merupakan Provinsi dengan jumlah
penduduk terbanyak di Indonesia. Bagian barat laut Provinsi Jawa Barat berbatasan
langsung dengan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Pada tahun 2000, Provinsi Jawa
Barat dimekarkan dengan berdirinya Provinsi Banten, yang berada di bagian barat.
Saat ini ada wacana untk mengubah nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi
Pasundan, dengan memperhatikan aspek historis wilayah ini. Namun hal ini
mendapatkan penentangan dari wilayah Jawa Barat lainnya seperti Cirebon dimana
tokoh masyarakat asal Cirebon menyatakan bahwa jika nama Jawa Barat diganti
40
dengan nama Pasundan seperti yang digulirkan oleh Bapak Soeria Kartalegawa
tahun 1947 di Bandung maka Cirebon akan segera memisahkan diri dari Jawa Barat.
Alasannya karena nama “Pasundan” yang mengandung arti pa sunda an atau
tempat tinggal orang-orang Sunda, dinilai tidak merepresentasikan keberagaman
Jawa Barat yang sejak dulu, selain dihuni mayoritas suku Sunda juga dihuni oleh
Suku Betawi dan Suku Cirebon. Serta telah dikuatkan oleh Peraturan Daerah
(Perda) Jawa Barat No. 5 Tahun 2003 yang mengakui adanya tiga suku asli di Jawa
Barat. Secara kebahasaan Suku Betawi berbahasa Melayu dialek Betawi, Suku
Sunda berbahasa Sunda dan Suku Cirebon berbahasa Cirebon (dengan
keberagaman dialeknya).
Jawa Barat dalam pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925
ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat.
Pembentukan Provinsi itu sebagai pelaksanaan bestuur-shervormingwet tahun
1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah Provinsi.
Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden (Tatar Soenda) atau
Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah
Barat Sungai Cilorasi dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang
menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa Ibu.
Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik
Indonesia. Pada tanggal 27 Desember 1949 Jawa Barat menjadi Negara Pasundan
yang merupakan salah satu kesepakatan tiga pihak dalam konferensi Meja Bundar:
Republik Indoneis, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (B.F.O), dan Belanda.
Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia
(U.N.C.I) sebagai perwakilan PBB. Jawa Barat kembali bergabung dengan Republik
Indonesia pada tahun 1950.
Faktor hukum merupakan faktor penting dalam penggantian nama Provinsi Jawa
Barat menjadi Provinsi yang nyunda, karena Indonesia adalah negara hukum
(rechstaats) dimana penyelenggaraan tata kemasyarakatan didasarkan kepada
hukum bukan kepada kekuasaan (machstaats).
Untuk mengganti nama suatu Provinsi di Indonesia sudah ada aturan, ada
regulasinya, yaitu :
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
41
beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59. Selain itu Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); jo peraturan
Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan,
dan Penggabungan Daerah (Lembaran Negara Republik Indoneia Tahun 2007
Nomor 162. Selanjutmya Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4791); jo peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2012
Tentang pedoman pemberian Nama Daerah, Pemberian nama Ibu Kota, Perubahan
Nama Daerah, Perubahan Nama Ibu Kota, dan Pemindahan Ibu Kota; jo pasal 3 ayat
(2) :
Pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berdasarkan atas :
a. Faktor sejarah;
b. Budaya;
c. Adat istiadat; dan/atau
d. Adanya nama yang sama.
Kalau kita perhatikan bunyi pasal 3 ayat (2) sub a dan b serta c yaitu faktor sejarah
budaya dan adat istiadat maka semua faktor yang diperlukan untuk merubah nama
Provinsi Jawa Barat itu sudah terpenuhi.
Ada pun syarat administrasi yang harus diambil untuk mengganti nama tersebut
telah diatur dalam pasal 4 :
Usulan oleh pemerintah daerah dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 harus dilengkapi dengan persyaratan meliputi ;
a. Aspirasi masyarakat;
b. Naskah akademis tentang pemberian nama daerah, pemberian nama Ibu Kota,
perubahan nama daerah, atau perubahan nama Ibu Kota;
c. Surat Gubernur kepada DPRD Provinsi untuk daerah Provinsi, atau surat
Bupati/Walikota kepada DPRD Kabupaten/Kota untuk daerah Kabupaten/Kota;
d. Keputusan DPRD Provinsi atau keputusan DPRD Kabupaten/Kota tentang
persetujuan pemberian nama daerah, pemberian nama Ibu Kota, perubahan
nama daerah, atau perubahan nama Ibu Kota;
e. Surat Bupati/Walikota kepada Gubernur; dan
f. Surat Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri.
42
Untuk memenuhi persyaratan seperti dimaksud dalam pasal 4 adalah tugas dari
pemerintah daerah yaitu Gubernur dan DPRD Jawa Barat ditambah lagi dengan
dukungan dari masyarakat untuk merealisasikannya.
Dalam kaitannya dengan istilah KeSundaan, sesungguhnya Sunda memiliki
beberapa pengertian. Yang pertama Sunda sebagai suku bangsa (etnis), Sunda
sebagai budaya dan Sunda sebagai teritorial wilayah. Pengertian Sunda sebagai
wilayah sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu, ketika teritorial tersebut berupa
lempengan di Asia Tenggara yang kemudian dinamakan lempeng Sunda.
Wacana perubahan nama Jawa Barat dengan nama yang lebih
bernuansa nyunda telah berjalan lebih dari lima tahun terakhir. Keinginan sebagian
masyarakat ini salah satunya dipicu oleh semakin tidak relevannya Provinsi ini diberi
nama Jawa Barat. Ketidakcocokan penamaan ini terutama sejak berpisahnya
Banten, wilayah paling barat pulau Jawa, menjadi sebuah Provinsi tersendiri. Jawa
Barat kemudian tidak lagi menjadi Provinsi yang berada di wilayah paling barat pulau
Jawa. Karena itu istilah barat tidak lagi relevan untuk menjadi nama Provinsi yang
kini tidak lagi berada di posisi paling barat. Lalu apa nama yang sejatinya melekat
pada Provinsi ini?
Secara Yuridis keinginan ini menemukan argumentasinya yang legal, salah
satunya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman
Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibu Kota, Perubahan Nama Daerah,
Perubahan Nama Ibu Kota dan Pemindahan Ibu Kota. Peraturan ini dinilai memiliki
pandangan yang jauh lebih mendalam tentang keinginan dimaksud.
Bagian Pertama Pasal 2 peraturan tersebut menyatakan bahwa pemberian nama
suatu daerah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip penamaan rupa bumi, yang
meliputi: (a) penggunaan abjad romawi; (b) satu unsur rupa bumi satu nama; (c)
penggunaan nama lokal/daerah; (d) berdasarkan peraturan perundang-undangan;
(e) menghormati keberadaan suku, agama, ras, dan golongan; (f) menghindari
penggunaan nama diri atau nama orang yang masih hidup; (g) menggunakan Baha-
sa Indonesia dan/atau bahasa daerah; dan (h) paling banyak tiga kata.
Jadi jika kita analisis dengan menggunakan pedoman tersebut, secara
substantif, istilah Jawa Barat memang nyaris tak memperhatikan prinsip-prinsip
penamaan tersebut, khususnya poin (e) yang harus menghormati keberadaan suku,
agama, ras, dan golongan. Jadi nama sebuah Provinsi sebaiknya dapat
43
merepresentasikan keberadaan sebuah suku asli/ras, adat istiadat, budaya, sejarah
dan rupa unsur bumi.
Jadi, Peraturan Mendagri Nomor 30 Tahun 2012 itu bisa menjadi solusi guna
memperoleh nama tempat yang punya identitas. Payung hukum tersebut
mewajibkan dipertimbangkannya keberadaan suku asli/ras, adat istiadat, bahasa,
budaya, sejarah dan unsur rupa bumi wajib dalam menamai daerah baru atau
mengganti nama wilayah. Perda itu pun seakan menggugah komunitas budaya
mana pun yang jati dirinya masih “kahieuman” atau kurang mendapat dukungan dari
nama daerah yang ditinggalinya. Permendagri itu pun seolah mengajak kita untuk
meningkatkan potensi Kebhinnekaan Tunggal Ika di N.K.R.I.
44
I. PERMENDAGRI NOMOR 30/12
45
46
47
48
49
50
51
52
53
Jadi, Peraturan Mendagri Nomor 30 Tahun 2012 itu bisa menjadi solusi guna
memperoleh nama tempat yang punya identitas. Payung hukum tersebut
mewajibkan dipertimbangkannya keberadaan suku asli/ras, adat istiadat,
bahasa, budaya, sejarah dan unsur rupa bumi wajib dalam menamai daerah
baru atau mengganti nama wilayah. Perda itu pun seakan menggugah
komunitas budaya mana pun yang jati dirinya masih “kahieuman” atau kurang
mendapat dukungan dari nama daerah yang ditinggalinya. Permendagri itu pun
seolah mengajak kita untuk meningkatkan potensi kebhinnekaan di N.K.R.I.
54
Jakarta dan Cirebon yang pada umumnya menjadi tujuan utama para
pedagang internasional.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pusat persebaran Islam yang
pertama muncul di daerah pesisir Cirebon. Akan tetapi, tidak ada informasi
sejarah tentang kontak awal Islam di wilayah Tatar Sunda ini sebelum abad ke-14.
Hanya saja, ketika mengikuti alur logika sejarah tentang Bratalegawa yang
anak penguasa dan saudagar, dugaan bahwa jauh sebelum abad ke-14 komunitas
Muslim dari berbagai belahan dunia sudah memiliki kontak dengan masyarakat di
Tatar Sunda bisa jadi benar. Tentu untuk hal ini perlu pembuktian tambahan melalui
penelusuran fakta sejarah baru dari wilayah Tatar Sunda yang sampai saat
ini masih terbatas.
Ketiga, tumbuhnya komunitas Islam di Nusantara, baik di wilayah pesisir
mau pun pedalaman. Fase ini berlangsung sejak abad ke-11 hingga abad ke-13
Masehi. Di beberapa wilayah pesisir Sumatera, pada fase ini bahkan sudah muncul
beberapa kerajaan Islam awal. Sementara di Tatar Sunda sendiri,
seperti sudah dijelaskan di atas, kemungkinan besar sudah muncul komunitas
Muslim di wilayah pesisir utara Jawa Barat (Cirebon, Karawang, dan sekitarnya).
Bila nama-nama seperti Syekh Quro dan lainnya sudah muncul, berarti sudah
tumbuh komunitas Muslim di sana. Bahkan bila merujuk kepada mitos tentang Kian
Santang, anak Prabu Siliwangi yang masuk Islam, komunitas Muslim di Tatar Sunda
besar kemungkinan sudah masuk pula kepusat-pusat kekuasaan Kerajaan
Sunda Pajajaran.
Praktik budaya yang menjadi alat transformasi ajaran Islam salah satunya adalah
Tradisi Wawacan yang saat itu ada. Tradisi Wawacan menjadi alat penyebaran
ajaran Islam ketika teknologi masih sangat terbatas. Nilai-nilai Islam dimuat
melalui Pupuh, Kinanti, Asmarandana dan lain-lain, mulai dari acara
Sawer Panganten, upacara Kelahiran, Cukuran, dan lain-lain. Bahkan tokoh adat ada
yang sampai mengatakan, sing saha nu maca atawa miluan Wawacan tepi ka tamat
bakal dihampura dosana opat puluh taun.
Perjumpaan ajaran Islam dengan Tradisi Sunda dapat dilihat pula dalam
praktik peribadatan puasa.
Dalam ajaran Islam puasa adalah shiyam, yang berarti menahan diri dari makan,
minum, perbuatan munkar, dan hubungan seks sejak terbit fajar sampai
terbenam matahari. Dalam tradisi Sunda, puasa disebut shaum yang berarti mena-
55
han diri, berpantang makan/minum dan tidak mengucapkan sesuatu yang tidak
berguna.
Bahkan tradisi Boboran (Lebaran) setelah berpuasa pun menjadi laku yang sarat
dengan muatan budaya yang bersandar pada ritual agama. Boboran telah menjadi
tradisi unik yang penuh ornamen keSundaan, mulai dari simbol mudik (mulang ka
udik), makanan (kupat-opor), baju baru sebagai sebuah wujud simbol kelahiran baru
(bobor/kembali ke Fitrah).
Penanggalan, dalam hal penamaan bulan Sunda juga sebagian mengadaptasi
nama-nama bulan Hijriyah seperti; Sura (dari Muharam), Sapar (dari Shafar), Mulud
(dari Rabiul Awal sebagai bulan kelahiran Nabi Muhammad), Silih Mulud (Rabiul
Akhir), Jumadil Awal (dari Jumadil Awal), Jumadil Akhir (dari Jumadil Akhir), Rejeb
(dari Rajab), Rewah (dari Sya'ban), Puasa (dari Ramadhan sebagai bulan
untuk berpuasa), Sawal (dari Syawal), Hapit (Dzulkaidah), dan Rayagung (dari
Zulhijjah karena di Negara Arab perayaan akbar Iedul Adha di bulan ini lebih
semarak/agung).
Filosofi Sunda pun tak luput dari nilai-nilai keislaman seperti ujaran Someah hade ka
semah sebagai ajaran menghormati tamu, atau ulah tunggul dirurud catang
dirumpak kudu inget kana purwadaksi sebagai ajaran untuk memegang nilai-
nilai luhur budaya/agama, ulah munjung ka gunung muja ka sagara – munjung
mah kudu ka indung mujamah kudu ka bapa sebagai inti ajaran birrul walidain
dalam Islam.
56
Dalam konteks kesamaan nilai – nilai kemanusiaan dan kesemestaan maka
ungkapan ; Sunda adalah Islam dan Islam adalah Sunda bisa dinilai sebagai
ungkapan yang wajar dan atau tidak berkelebihan.
Oleh sebab itu perubahan nama dari Jawa Barat menjadi nama Provinsi Sunda
jika dianggap berlebihan untuk disebut Islami, minimal bisa diterima berdasarkan
cara pandang Islam. Apalagi mengingat arti Sunda sendiri memiliki arti positif yaitu ;
Putih/Bersih/Cerah/Cemerlang.
57
Alam Tatar Pasundan dengan perpaduan pegunungan, perbukitan, sungai,
danau, situ, telah menciptakan alam yang indah dan menawan, maka tidak salah bila
MAW Brouwer, seorang fenomenolog, budayawan, dalam tulisannya pada tahun
1970an, menyebut "Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum"
(id.wikipedia, 2019).
58
Banyak kata dalam bahasa Sunda yang mirip dengan bahasa daerah di sepanjang
Austronesia. Misalnya bahasa Sunda “manuk”, bahasa Proto Austronesia “manuk”,
bahasa Jawa “manuk”, bahasa Tagalog “manok”, bahasa Fiji “manu‐manu”, bahasa
Samoa “manu”, bahasa Rapanua P. Paskah “manu”, dan masih banyak lagi
(Bellwood, 1985, 1997).
Sunda mempunyai arti yang baik dan positif, paling tidak terdapat 25 arti kata
Sunda dalam berbagai bahasa, antara lain bahasa Sansekerta, Kawi, Jawa, dan
Sunda. Sebagai contoh arti Sunda dalam bahasa Kawi, yaitu berarti “air”, wilayah
yang banyak mengandung air, “tumpukan” bermakna subur, “pangkat” bermakna
berkualitas, ”waspada” bermakna berhati‐hati. Dalam bahasa Jawa, arti Sunda yaitu
“tersusun“, bermakna tertib, “bersatu” bermakna hidup rukun, “angka dua” bermakna
seimbang, “naik” bermakna kualitas hidup yang selalu meningkat (Sobirin, 2008).
Dalam buku Geologi Indonesia karya van Bemmelen (1949), tersurat arti Sunda
adalah “putih”, yaitu dikaitkan dengan warna abu letusan Gunung Tangkuban Parahu
yang berwarna putih. Makna putih juga berarti suci.
1) Ekozona Indo‐Malayan
Menurut World Wildlife Fund, WWF (2009) dalam Sobirin (2009), gabungan
banyak ekoregion yang berkarakter sama disebut ekozona. Di muka bumi ini
terindikasi terdapat 8 kerajaan ekozona, dan di antaranya adalah Ekozona
Indo‐Malayan, lengkapnya yaitu:
(1) Palearctic 87.7 juta km², meliputi seluruh Eurasia dan Afrika Utara.
(2) Nearctic 54.1 juta km², meliputi sebagian besar Amerika Utara.
(3) Afrotropical 22.1 juta km², meliputi Sub‐Sahara Afrika.
(4) Neotropical 19.0 juta km², meliputi Amerika Selatan dan Caribbean.
(5) Australasia 7.6 juta km², meliputi Australia, Indonesia Timur, New Guinea.
59
(6) Indo‐Malayan 7.5 juta km², meliputi India, Asia Tenggara, Indonesia Barat.
(7) Oceania 1.0 juta km², meliputi Polynesia, Fiji dan Micronesia.
(8) Antarctic 0.3 juta km², meliputi Antarctica.
Menurut klasifikasi WWF (2009) dalam Sobirin (2009), Indonesia bagian barat
masuk dalam skala besar ekozona Indo‐Malayan, sedang Indonesia bagian timur
masuk dalam skala besar ekozona Australasia. Kedua ekozona besar tersebut
dibatasi oleh garis imajiner yang dikenal dengan nama garis Wallace.
2) Ekoregion Sundaland
Indonesia bagian barat disebut sebagai ekoregion Sundaland, yang terdiri dari Pulau
Sumatra, Pulau Kalimantan, dan Pulau Jawa. Ekoregion Sundaland di Jawa Barat
atau Tatar Sunda terdiri dari Western Java mountain rain forest atau hutan hujan
dataran tinggi Jawa Barat, dan Western Java rain forest atau hutan hujan Jawa Barat
(WWF, 2009).
Ekoregion Pasundan
Berdasar peta lama Physiographic Sketchmap of Java and Madura (van Bemmelen,
1949), P. Jawa Bagian Barat secara fisiografi dapat dibedakan kedalam 6 (enam)
satuan fisiografi (lihat Gambar 4). Walaupun peta ini merupakan peta lama, namun
bisa dipakai sebagai dasar untuk membuat peta ekoregion Pulau Jawa Bagian Barat
berbasis kebumian, yang perlu digabung dengan klasifikasi ekoregion Sundaland
WWF (2009) di tempat ini.
Ekoregion Sundaland di Pulau Jawa Bagian Barat sebaiknya diusulkan namanya
sebagai Ekoregion Pasundan. Ekoregion Pasundan ini memiliki 3 (tiga) sub
ekoregion yang masing‐masing memiliki karakteristik kebumian yang khas berbeda,
namun saling terkait satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan secara fungsi
kebumian, yaitu:
(1) Sub Ekoregion Pegunungan Selatan, ditandai dengan dominasi sedimen Miosen
dan Pliosen.
(2) Sub Ekoregion Depresi Tengah, cukup komplek dengan hiasan kubah‐kubah
dan punggungan perbukitan tua serta gunung‐gunung api kwarter.
(3) Sub Ekoregion Dataran Pantai Utara, ditandai dengan sedimen Plistosen dan
alluvium, serta ekosistem dataran pantai.
60
Ketiga sub ekoregion tersebut saling terkait sifat karakteristiknya oleh keberadaan
gunung‐gunung dan sungai‐sungai yang mengalir dari puncak gunung menuju laut.
61
Sebanyak 6 wilayah sungai tersebut memiliki total 204 Daerah Aliran Sungai. Bila
rata‐ rata setiap Daerah Aliran Sungai memiliki 25 sungai baik besar, sedang,
maupun kecil, maka jumlah sungai di Ekoregion Pasundan Provini Jawa Barat
terdapat sebanyak 5.000 sungai bahkan lebih apabila didasar Daerah Aliran Sungai
nampak kesatuan ekoregion Pasundan ini meliputi Provinsi Banten, Provinsi DKI
Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan sebagian Provinsi Jawa Tengah. Luas Ekoregion
Pasundan mencapai kurang lebih 50.000 km2.
62
(6) Dataran sawah – lahan datar untuk sawah.
(7) Lebak caian – dataran rendah supaya untuk daerah air.
(8) Legok balongan – tempat cekung untuk kolam air.
(9) Situ Pulasaraeun – situ, danau, dan waduk supaya dipelihara.
(10) Walungan rawateun – sungai harus dirawat.
(11) Basisir jagaeun – pesisir harus dijaga.
Konsep tata wilayah kearifan lokal tersebut adalah konsep penataan ruang untuk
keselamatan wilayah, kesejahteraan masyarakat, kemakmuran daerah, dan
kelestarian lingkungan.
Bahkan oleh WWF (2009), bahwa Ekoregion Sundaland di Jawa Barat atau
Ekoregion Pasundan ditegaskan bahwa karakteristik harus dijaga merupakan
Western Java mountain rain forest atau hutan hujan dataran tinggi Jawa Barat, dan
Western Java rain forest atau hutan hujan Jawa Barat. Dalam kearifan lokal
Pasundan terdapat konsep yang serupa, yaitu berbasis leuweung titipan atau
larangan, leuweung tutupan atau hutan lindung, dan leuweung baladahan yaitu untuk
wanatani dan budidaya. Konsep ini adalah sesuai dengan filosofi kelestarian
lingkungan yaitu leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak, atau no forest, no
water, no future.
3) Tata Lampah
Tata lampah adalah kearifan lokal agar manusia hidup mengurus wilayahnya
(urus lembur), sesuai peraturan yang disepakati bersama (panceug dina galur), dan
harus bergotong royong dalam sinergi kebersamaan (akur jeung dulur).
Dalam adat, adab, dan budaya Sunda, dikenal dengan filosofi silih asih, silih
asah, silih asuh. Silih asih yaitu keterkaitan ekosistem, konteks hulu dan hilir. Silih
asah, yaitu keterkaitan keanekaragaman, bahwa spesies yang satu sama dan setara
dengan yang lain, tidak ada spesies yang lebih unggul dari yang lain. Silih asuh,
yaitu keterkaitan kesejahteraan, saling mengisi kekurangan, saling memberi
kelebihan. Silih wawangi, atau siliwangi, yaitu keterkaitan sinergi, saling
mengharumkan (Purwasasmita, 2008).
Berdasarkan semua uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Sunda
memiliki arti luas, yang intinya bermakna bahwa Sunda adalah peradaban manusia,
hidup bersama dalam wilayah kesatuan Ekoregion Pasundan, dan harus dapat
mempertahankan dan mengimplementasikan kearifan lokal dalam dinamika
kehidupan modern yang terus berkembang.
63
DAFTAR PUSTAKA
64
DAFTAR PUSTAKA KEBUDAYAAN
65
BAB III
KAJIAN PENDUKUNG
RINGKASAN KESIMPULAN TUJUAN PERUBAHAN NAMA
Sebagai upaya “out of the box” guna memperkuat dan melengkapi beragam
upaya standar yang selama ini dilakukan namun belum juga menunjukan hasil yang
diharapkan, untuk menjadikan wilayah dan penduduk di Pulau Jawa bagian Barat ke
arah kondisi yang jauh lebih baik dari saat ini, mengingat kata SUNDA memiliki nama
yang bermakna sangat positif yakni ; Terang/Bersinar/Berkilau. Apalagi mengingat
realitas tersebut sudah dibuktikan selama belasan abad sebelum penjajah Belanda
merubah nama wilayah Tanah/Tatar Sunda menjadi Jawa Barat hanya untuk
melakukan pemetaan daerah pertanian di tanah jajahan. Disamping dipastikan
bertujuan untuk melemahkan kekuatan jati diri masyarakatnya. Harapan tersebut
diperkuat pula oleh keyakinan, bahwa didalam kepercayaan agama Islam,
nama/penamaan sesuatu sangat erat kaitannya dengan Do’a kepada Alloh SWT.
66
BAB IV
RINGKASAN ALASAN SOSIOLOGIS
67
B. ALASAN SKALA NASIONAL
− Jabar dianggap hanya pelengkap/sempalan Pulau Jawa sehingga kurang
punya bargaining position yang kuat.
− Alokasi DAU & DAK selalu di bawah Jatim dan Jateng padahal penduduknya
terbanyak se Indonesia.
− Alokasi Dana Desa juga selalu ketiga terbanyak sementara Pemekaran Kota
dan Kabupaten tidak dipermudah.
− Perguruan Tinggi Negeri di Jabar hanya ada 12 padahal di Jatim
(Penduduknya lebih sedikit 9 juta dari Jabar) ada 18 PTN dan di Jateng ada
9 (Penduduknya 14 juta lebih sedikit dari Jabar).
− Para Politisi dari Jabar dan atau Politisi Etnis Sunda kurang diprioritaskan
untuk berkontribusi lebih besar kepada N.K.R.I oleh Pemerintah Pusat.
Termasuk oleh para Pimpinan Negara.
68
− Prosentase partisipasi pendidikan usia sekolah SLTA Jabar ke-32.
Sementara Papua Barat ke-7, Aceh ke-5 dan Banten ke-29.
− Prosentase partisipasi pendidikan usia Mahasiswa Jabar ke-28. Sementara
Papua Barat ke-7, Papua ke-20 dan Aceh ke-4.
− Setelah berganti nama Makassar dari sebelumnya Ujung Pandang jumlah
para tokoh nasional dari daerah yang berpenduduk tak sampai 2 juta jiwa
tersebut sangat jauh melampaui jumlah para politisi suku bangsa Sunda.
69
prosentase partisipasi belajar usia 13-15 tahun, posisi Jawa Barat berada di urutan
ke-24 dengan angka pencapaian 89,40%, di bawah Provinsi Papua Barat yang
menduduki peringkat ke-10, dan Banten pada peringkat ke-15.
Bahkan, belum lama ini, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Barat
menyatakan Provinsi berpenduduk sekitar 46 juta jiwa ini, darurat pendidikan
Sekolah Menengah Atas (SMA). Indikasinya, angka partisipasi kasar (APK) siswa
SMA/SMK dan sederajat di Jawa Barat ternyata di bawah rata-rata nasional dan
tergolong rendah. Hanya 51 persen lulusan SMP yang meneruskan ke SMA/SMK.
Menurut data yang diperoleh, satu dari dua siswa Sekolah Menengah Pertama di
Jawa Barat tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Padahal
tersedia dana alokasi pendidikan Rp 3 triliun untuk setahun.
Ini memang data sekitar 2 tahun yang lalu. Tapi apakah ada peningkatan
perbaikan signifikan dalam 2 tahun terakhir? Kalaupun ada, saya kira, peningkatan
dalam tempo yang relatif singkat ini tidak akan terjadi secara fantastis. Sehingga
dalam rentang perjalanan bangsa ini ke depan, masyarakat kita tetap berada pada
posisi mustahiq, posisi yang sangat memprihatinkan, posisi yang masih harus
diperhatikan, posisi yang perlu segera diselamatkan.
Angka Jawa Barat di bidang tersebut termasuk masih ketinggalan jauh dari
Papua Barat yang baru berganti nama pada 2007. Sekitar empat tahun setelah
berganti nama angka partisipasi pendidikan usia mahasiswa Papua Barat berada di
posisi ke-9 dengan prosentase 19.90 %. Dan naik dua peringkat dari saat masih
bernama Irian Barat. Masih dalam hal yang sama posisi Jawa Barat masih di
bawah Provinsi Banten yang menduduki peringkat ke-21 dengan angka 15.55%.
Khusus untuk partisipasi pendidikan usia 16 – 18 tahun, atau usia siswa SMA
pada 2012 posisi Jawa Barat berada di peringkat ke-26 dengan 55.69 %,
sedangkan Papua Barat menduduki ranking ke-10 dengan prosentase 67.18 %.
Termasuk masih di bawah Provinsi Banten di urutan ke-23 dengan 58.58
%. Untuk prosentase partisipasi belajar usia 13 – 15 tahun posisi Jawa Barat yang
berada di ranking ke- 21 dengan 88.51 %, lagi-lagi di bawah Provinsi Papua Barat
dan Banten. Papua Barat ranking ke-10 dengan 91.65 % dan Banten ranking ke-12
dengan 90.97 %.
Secara akumulatif, di bidang pendidikan Provinsi yang telah berganti nama yang
bisa “dikalahkan” Jawa Barat hanyalah Provinsi Papua. Itu pun hanya khusus dalam
hal partisipasi usia belajar 13 – 15 th dan usia 16 – 18 th. Hal lain yang cukup
70
mengejutkan bahwa dalam jumlah prosentase penduduk miskin di tahun 2014
ranking Jabar jauh di bawah Provinsi Banten yang menduduki urutan ke-5
dengan 5.89 %. Jabar sendiri di posisi ke-15 dengan angka 9.61 %. Posisi ke-15
tersebut diduduki sebagai posisi abadi sejak 2003. Pelajaran berharga lainnya
dari kota Makassar yang asalnya Ujung Pandang dan berubah nama sejak 1999.
Dari sisi eksistensi para tokoh dari kota yang berpenduduk sekitar dua juta jiwa
tersebut kini tergolong sangat menanjak. Para tokoh dari Makassar saat ini kian
banyak yang berkontribusi di tingkat nasional karena dipercaya mengisi berbagai
posisi penting termasuk di sejumlah lembaga tinggi negara. Keadaan ini tidak boleh
dibiarkan. Jangan sampai ke depan masyarakat di wilayah ini kian menjadi beban
ekonomi dan beban sosial bagi lingkungan sekitarnya mau pun bagi N.K.R.I. Jika
berbagai upaya standar terdahulu ternyata tidak pernah berhasil mengatasinya,
maka saatnyalah kita memanfaatkan jurus “out of the box” sebagai “jurus” pelengkap
yang pernah menghantar daerah lain menuju kualitas kehidupan yang lebih baik.
Dengan kata lain, perubahan nama ini diharapkan akan berdampak pula pada
daya saing (competitiveness) yang dapat dibanggakan, khususnya bagi komunitas
yang ada di dalamnya. Daya saing ini pun pada gilirannya diperlukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya terutama dalam sektor ekonomi serta
kesejahteraan lainnya, seperti tingkat kebahagiaan dan kepuasan warganya.
71
- Sering dikhawatirkan akan berakibat pemborosan terhadap pengeluaran
biaya pergantian Billboard, Kop Surat dan lain-lain. Padahal pergantian
tersebut bisa dilakukan tidak sekaligus melainkan setelah barang-barang
tersebut rusak atau habis. Begitu juga dengan perubahan Plang bisa
diperhelat dengan mengganti cat dasar untuk ditulisi dengan nomenklatur
baru.
- Dikhawatirkan akan mempersempit citra keluasan wilayah Sunda (Sunda
Kecil-Sunda Besar dan lain-lain) padahal penamaan Sunda justru akan
menghidupkan kembali keberadaannya pada atlas politik, karena sudah lebih
dari 70 tahun sama sekali sirna pada Atlas Politik nasional dan internasional.
72
BAB V
KAJIAN PENDUKUNG
RINGKASAN ALASAN HISTORIS
73
Dr. Didi Turmidzi, M.Si., Prof. Dr. Ganjar Kurnia, D.E.A dan masih banyak lagi
termasuk oleh Adjie Esa Poetra dan kawan-kawan). Termasuk Komunitas
Pangauban (Wadah) Ki Sunda Jabar di tahun 2009.
74
BAB VI
KAJIAN PENDUKUNG
RINGKASAN ALASAN YURIDIS
75
BAB VII
KAJIAN PENDUKUNG
DATA dan PENDAPAT PENTING PARA TOKOH
76
G. PENGARUH TERHADAP JUMLAH PENDUDUK MISKIN
Ketidak cocokan nama Jawa Barat dengan keberadaan suku asli plus budaya
Sunda, yang berbuntut melemahnya jati diri sekaligus daya saing tadi dibuktikan
oleh dampak negatif di antaranya : 1. Berdasarkan data yang paling mutakhir dapat
dilihat melalui riset Badan Pusat Statistik (BPS). Bahwasannya sejak Badan Pusat
Statistik mengumumkan prosentase jumlah penduduk miskin di tiap Provinsi mulai
tahun 2003, maka pada 2003 s/d 2016 didapatkan data prosentase penduduk miskin
di Jabar selalu berada di urutan antara 15 atau 16 (Kecuali di 2018 di urutan ke-13).
77
L. JABAR KURANG KONTRIBUTIF KE N.K.R.I
Dengan tereduksinya kebudayaan Sunda (termasuk kearifan lokalnya yang
dikenal memiliki nilai sangat luhur) maka dengan sendirinya Jawa Barat kurang
dapat memberikan kontribusi dalam menjaga KeBhinneka Tunggal Ika - an, karena
Kebhinnekaan yang dimaknai dengan tujuan bersumber dari pemahaman akan
kearifan lokal sebuah suku bangsa.
78
BAB VIII
KAJIAN PENDUKUNG
UPAYA KOMUNITAS
79
E. KETIDAKPEDULIAN DPD
Melakukan pertemuan dengan salah satu anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Saudara Oni Suwarman. Saat pertemuan tersebut dirinya sangat antusias untuk
memperjuangkan aspirasi ini, bahkan menyetujui untuk pertemuan berikutnya guna
menyusun program dan langkah. Namun menjelang beberapa hari
pertemuan jangankan mengangkat telepon, beberapa kali di SMS pun tidak pernah
menjawab.
80
BAB IX
KAJIAN PENDUKUNG
FAKTOR PENGHAMBAT
81
mayoritas Sunda, padahal sejak lebih dari seribu tahun lalu masyarakat Sunda
sudah memiliki tradisi Someah Hade Ka Semah atau sifat baik terhadap para
pendatang dari suku mana pun. Termasuk someah terhadap tamu warga
negara asing yang datang dari Arab, China, India, Mongolia dan lain-lain. Apalagi
terhadap saudara sebangsa Warga Negara Indonesia. Bukti paling aktual sekali pun
orang Sunda yang menjadi anggota DPRD Jabar konon tidak mencapai angka 50
%, tetapi tidak pernah sampai terjadi gejolak sosial. Terhadap minimnya kehadiran
orang Sunda di perwakilan DPRD Jabar. Kritik yang dilontarkan masyarakat Sunda
justru lebih ditujukan terhadap ketidak mampuan para politisi orang Sunda sendiri
atau tidak mengkritik kalangan legislatif dari suku non Sunda.
82
BAB X
KAJIAN PENDUKUNG
SPEKULASI PECAH PROVINSI DAN KEMUNGKINANNYA
83
84
Pusat :
Jl. Mohamad Ramdan No. 110
Kota Bandung 40253
Indonesia
Cabang :
Jl. Garut No. 2
Kota Bandung 40271
Indonesia
Telepon :
+62 816-607-894 (WA/Telegram)
+62 877-2229-8349 (WA/Telegram)
Email : provsundakajian@gmail.com
85
provsundakajian@gmail.com