Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan
Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak, kekerasan terhadap anak meliputi:
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak sebagai
akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi yang layaknya ada dalam kendali orangtua atau orang dalam
hubungan posisi tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Kekerasan fisik yang dapat diancam dengan sanksi
hukum (UU Perlindungan Anak) terdiri dari:
1) Kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan;
2) Kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan yang mengakibatkan luka berat; dan
3) Kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
b. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis merupakan perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan
mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Kekerasan psikis
dapat berupa pembatasan gerak, sikap tindak yang meremehkan, mencemarkan, mengkambinghitamkan,
mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau menertawakan anak, atau perlakuan kasar lain atau
penolakan. Kekerasan psikis yang dapat diancam dengan sanksi hukum (UU Perlindungan Anak) terdiri dari:
1) Perlakuan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril
sehingga menghambat fungsi sosialnya
2) Perlakuan anak penyandang disabilitas secara diskriminatif
3) Perlakuan salah
c. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya
memahami atau tidak mampu memberi persetujuan,yang ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak
dengan orang dewasa atau anak lain dengan tujuan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Kekerasan
seksual yang dapat diancam dengan sanksi hukum (UU Perlindungan Anak) terdiri dari:
1) Melakukan pemaksaan, penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat, kebohongan, atau
pembujukan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan dengan pelaku maupun orang lain.
2) Melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul terhadap anak dengan pemaksaan, penggunaan
kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat, kebohongan, atau pembujukan.
d. Penelantaran
Penelantaran merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang
anak yang bukan disebabkan oleh karena keterbatasan sumber daya. Berdasarkan Permenkes 68/2013, jenis
penelantaran dapat berupa:
1) Kegagalan pemenuhan kebutuhan kesehatan
2) Kegagalan pemenuhan kebutuhan pendidikan
3) Kegagalan pemenuhan kebutuhanperkembangan emosional
4) Kegagalan pemenuhan kebutuhan nutrisi
5) Kegagalan pemenuhan kebutuhan rumah atau tempat bernaung
6) Kegagalan pemenuhan kebutuhan hidup yang aman dan layak
4. Sanksi Hukum
Sanksi hukum bagi pelaku kekerasan terhadap anak meliputi:
a. Pidana penjara
b. Denda
c. Pemberatan hukuman, berupa:
1) Tambahan pidana penjara;
2) Tambahan denda;
3) Pengumuman identitas pelaku;
4) Kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi; dan/atau
5) Pemasangan alat pendeteksi elektronik
Sanksi pemberatan hukuman dapat dikenakan pada kasus:
a. Kekerasan fisik terhadap anak dilakukan oleh orangtua
b. Kekerasan seksual (persetubuhan, perbuatan cabul) dilakukan oleh orang tua, wali, keluarga, pengasuh,
pendidik, aparat perlindungan anak, pelaku berkelompok lebih dari satu orang, atau pelaku berulang
c. Kekerasan seksual (persetubuhan, perbuatan cabul) yang mengakibatkan korban lebih dari satu anak, luka berat,
gangguan jiwa, penyakit menular,gangguan/hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau kematian korban.Sanksi bagi
anak yang berkonflik dengan hukum diatur melalui Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA) yang diatur melalui undang-undang nomor 11 tahun 2012. SPPA adalah Keseluruhan proses
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
5. Tugas Tenaga Kesehatan
Terkait penanganan anak korban kekerasan, Permenkes 68/2013 mewajibkan petugas kesehatan untuk:
a. Memberikan pertolongan pertama;
b. Memberikan konseling awal;
c. Menjelaskan kepada orang tua anak tentang keadaan anak dan dugaan penyebabnya, serta mendiskusikan
langkah-langkah ke depan;
d. Melakukan rujukan apabila diperlukan;
e. Memastikan keselamatan anak;
f. Melakukan pencatatan lengkap di dalam rekam medis serta siap untuk membuat Visum et Repertum apabila
diminta secara resmi; dan
g. Memberikan informasi kepada kepolisian.
4. ETIKA PEMBERIAN INFORMASI DAN PERLINDUNGAN SAKSI PADA KASUS KtP/A TERMASUK TPPO
Rujukan utama terkait etika pemberian informasi dan perlindungan sanksi pada kasus KtP/A termasuk TPPO
meliputi:
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan Untuk
Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia
3. Kode Etik Keperawatan Indonesia
4. Kode Etik Kebidanan Indonesia
Ruang lingkup bahasan:
1. Ketentuan Etika Terkait Pemberian Informasi dan Perlindungan Saksi pada Kasus KtP/A
Ketentuan umum etika:
Kode etik profesi kesehatan, termasuk dokter, perawat, dan bidan, mewajibkan tenaga kesehatan untuk
merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien.
Ketentuan pengecualian:
a. Kode Etik Keperawatan dan Kode Etik Kebidanan mengecualikan kewajiban menyimpan rahasia pasien jika
diperlukan oleh pihak berwenang sesuai ketentuan hukum.
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan Untuk
Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak mewajibkan seluruh setiap pemberi
layanan kesehatan yang memberi pelayanan kesehatan kepada anak yang diduga menjadi anak korban kekerasan
berkewajiban memberikan informasi kepada kepolisian.
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait pemberian informasi atas adanya dugaan kekerasan terhadap anak
a. Pemberian informasi kepada kepolisian dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
b. Pemberian informasi paling sedikit berisi tentang: a) umur dan jenis kelamin korban; b) nama dan alamat
pemberi pelayanan kesehatan; dan/atau c) waktu pemeriksaan kesehatan.
c. Pemberi layanan kesehatan yang memberikan informasi adanya dugaan anak korban KtA berkedudukan sebagai
pemberi informasi, bukan sebagai saksi pelapor.
d. Pemberi layanan kesehatan yang memberikan informasi adanya dugaan anak korban KtA berhak mendapat
perlindungan hukum.