Anda di halaman 1dari 6

RESUME MATERI HARI KE-2

1. ASPEK HUKUM KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN


Sumber hukum utama terkait kekerasan terhadap perempuan meliputi:
a. UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 285-286
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut di atas meliputi:
1. Pengertian
Pengertian kekerasan terhadap perempuan tercakup dalam pengertian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga(UU 23/2004 Pasal 1 Ayat 1).
2. Ruang lingkup
Berdasarkan UU 23/2004 Pasal 2, lingkup rumah tangga meliputi:
a. Suami, istri dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;
dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja
tersebut dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang
bersangkutan.
3. Jenis kekerasan
Jenis kekerasan yang termasuk dalam kategori KDRT menurut UU 23/2004 Pasal 5 meliputi:
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6). Kekerasan
fisik yang dapat dikenai sanksi hukum terdiri dari (Pasal 44):
1) Setiap perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga;
2) Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat;
3) Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban meninggal dunia; dan
4) Kekerasan fisik dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari
b. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7).
Kekerasan psikis yang dapat diancam dengan sanksi hukum terdiri dari (Pasal
45):
1) Setiap perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga; dan
2) Kekerasan psikis dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari.
c. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual meliputi (Pasal 8):
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut; atau
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Berdasarkan UU 23/2004 Pasal 46-48 dan KUHP Pasal 285-286,
kekerasan seksual yang dapat diancam dengan sanksi hukum terdiri dari:
1) Setiap perbuatan kekerasan seksual;
2) Pemaksaan orang yang menetap dalam rumah tangga untuk melakukan hubungan seksual;
3) Perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban:
 Mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali;
 Mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-
menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut;
 Gugur atau matinya janin dalam kandungan; atau Mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi.
4) Pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap seorang perempuan untuk bersetubuh di luar
perkawinan
5) Persetubuhan di luar perkawinan dengan perempuan yang sedang pingsan atau tidak berdaya.
d. Penelantaran
Penelantaran yang diatur dan yang dapat diancam sanksi hukum meliputi (Pasal 9 dan 49):
1) Tindakan seseorang yang tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang dalam
lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2) Tindakan seseorang yang mengakibatkan orang lain bergantung secara ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut.
4. Sanksi Tindak Kekerasan
UU 23 tahun 2004 mengatur penjatuhan sanksi pidana bagi tindak kekerasan, yang meliputi:
a. Pidana penjara
b. Denda
5. Tugas Tenaga Kesehatan
Terkait penanganan korban KDRT, UU 23/2004 Pasal 29 dan 40 mewajibkan petugas kesehatan untuk:
a. Tahap Perlindungan Korban
1) Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
2) Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti; dan
3) Memberikan pelayanan medis di fasilitas pelayanan kesehatan milikpemerintah, pemerintah daerah, atau
masyarakat.
b. Tahap Pemulihan Korban
1) Memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya;
2) Memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban apabila korban memerlukan perawatan.

2. ASPEK HUKUM KEKERASAN TERHADAP ANAK


Sumber hukum utama terkait kekerasan terhadap anak meliputi:
1. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, beserta perubahannya, yaitu:
a. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
c. Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
2. UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 305-308
Hal-hal yang diatur dalam UU Perlindungan Anak (UU Nomor 23 Tahun 2002 dan perubahan-perubahannya)
tersebut di atas meliputi:
1. Pengertian
Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2014, kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan
Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak, kekerasan terhadap anak adalah
semua bentuk tindakan/perlakuan yang menyakitkan secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran, yang
mengakibatkan atau dapat mengakibatkan cidera/kerugian nyata terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup
anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak.
2. Ruang lingkup
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Lingkup yang sangat terkait dengan perlindungan anak adalah:
 Orang tua, yaitu ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
 Wali, yaitu orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua
terhadap anak.
 Keluarga, yaitu unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya,
atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai dengan derajat ketiga.
3. Jenis kekerasan
Perlakuan terhadap anak yang dapat dianggap melanggar perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU
Perlindungan Anak meliputi:
a. Perlakuan diskriminatif
b. Perlakuan salah dan penelantaran
c. Perlakuan kekerasan fisik
d. Kekerasan seksual, meliputi persetubuhan atau perbuatan cabul
e. Penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan anak
f. Penghalangan praktik berbudaya, beragama, dan/atau berbahasa
g. Perekrutan untuk kepentingan militer
h. Pembiaran anak tanpa perlindungan jiwa
i. Eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
j. Aborsi dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan peraturan perundang-undangan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan
Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak, kekerasan terhadap anak meliputi:
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak sebagai
akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi yang layaknya ada dalam kendali orangtua atau orang dalam
hubungan posisi tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Kekerasan fisik yang dapat diancam dengan sanksi
hukum (UU Perlindungan Anak) terdiri dari:
1) Kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan;
2) Kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan yang mengakibatkan luka berat; dan
3) Kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan yang mengakibatkan kematian.

b. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis merupakan perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan
mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Kekerasan psikis
dapat berupa pembatasan gerak, sikap tindak yang meremehkan, mencemarkan, mengkambinghitamkan,
mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau menertawakan anak, atau perlakuan kasar lain atau
penolakan. Kekerasan psikis yang dapat diancam dengan sanksi hukum (UU Perlindungan Anak) terdiri dari:
1) Perlakuan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril
sehingga menghambat fungsi sosialnya
2) Perlakuan anak penyandang disabilitas secara diskriminatif
3) Perlakuan salah

c. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya
memahami atau tidak mampu memberi persetujuan,yang ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak
dengan orang dewasa atau anak lain dengan tujuan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Kekerasan
seksual yang dapat diancam dengan sanksi hukum (UU Perlindungan Anak) terdiri dari:
1) Melakukan pemaksaan, penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat, kebohongan, atau
pembujukan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan dengan pelaku maupun orang lain.
2) Melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul terhadap anak dengan pemaksaan, penggunaan
kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat, kebohongan, atau pembujukan.
d. Penelantaran
Penelantaran merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang
anak yang bukan disebabkan oleh karena keterbatasan sumber daya. Berdasarkan Permenkes 68/2013, jenis
penelantaran dapat berupa:
1) Kegagalan pemenuhan kebutuhan kesehatan
2) Kegagalan pemenuhan kebutuhan pendidikan
3) Kegagalan pemenuhan kebutuhanperkembangan emosional
4) Kegagalan pemenuhan kebutuhan nutrisi
5) Kegagalan pemenuhan kebutuhan rumah atau tempat bernaung
6) Kegagalan pemenuhan kebutuhan hidup yang aman dan layak
4. Sanksi Hukum
Sanksi hukum bagi pelaku kekerasan terhadap anak meliputi:
a. Pidana penjara
b. Denda
c. Pemberatan hukuman, berupa:
1) Tambahan pidana penjara;
2) Tambahan denda;
3) Pengumuman identitas pelaku;
4) Kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi; dan/atau
5) Pemasangan alat pendeteksi elektronik
Sanksi pemberatan hukuman dapat dikenakan pada kasus:
a. Kekerasan fisik terhadap anak dilakukan oleh orangtua
b. Kekerasan seksual (persetubuhan, perbuatan cabul) dilakukan oleh orang tua, wali, keluarga, pengasuh,
pendidik, aparat perlindungan anak, pelaku berkelompok lebih dari satu orang, atau pelaku berulang
c. Kekerasan seksual (persetubuhan, perbuatan cabul) yang mengakibatkan korban lebih dari satu anak, luka berat,
gangguan jiwa, penyakit menular,gangguan/hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau kematian korban.Sanksi bagi
anak yang berkonflik dengan hukum diatur melalui Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA) yang diatur melalui undang-undang nomor 11 tahun 2012. SPPA adalah Keseluruhan proses
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
5. Tugas Tenaga Kesehatan
Terkait penanganan anak korban kekerasan, Permenkes 68/2013 mewajibkan petugas kesehatan untuk:
a. Memberikan pertolongan pertama;
b. Memberikan konseling awal;
c. Menjelaskan kepada orang tua anak tentang keadaan anak dan dugaan penyebabnya, serta mendiskusikan
langkah-langkah ke depan;
d. Melakukan rujukan apabila diperlukan;
e. Memastikan keselamatan anak;
f. Melakukan pencatatan lengkap di dalam rekam medis serta siap untuk membuat Visum et Repertum apabila
diminta secara resmi; dan
g. Memberikan informasi kepada kepolisian.

3. ASPEK HUKUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG


Sumber hukum utama terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) meliputi:
a. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
b. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, beserta perubahannya, yaitu UU Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 297 dan 324
Hal-hal yang diatur dalam UU TPPO meliputi:
a. Pengertian
Berdasarkan UU TPPO, perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi.
b. Jenis TPPO
Jenis TPPO yang diatur dalam UU TPPO meliputi:
1) Pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut
2) Kegiatan memasukkan orang ke wilayah Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah Indonesia atau
dieksploitasi di negara lain
3) Kegiatan membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di
luar wilayah Indonesia
4) Pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi
5) Pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut
tereksploitasi
6) Kegiatan lain yang mendukung terjadinya TPPO, misal:
a) Menggerakkan orang lain supaya melakukan TPPO
b) Membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan TPPO
c) Merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan TPPO
d) Menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul
lainnya dengan korban, mempekerjakan korban untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil
keuntungan dari hasil TPPO
e) Memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan
dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya TPPO
c. Sanksi Hukum
Sanksi hukum bagi pelaku TPPO yang diatur dalam UU TPPO meliputi:
1) Pidana penjara
2) Pidana denda
3) Pemberatan hukuman, berupa:
a) Tambahan pidana penjara;
b) Tambahan pidana denda;
Sanksi pemberatan hukuman dapat dikenakan pada kasus:
a) TPPO yang mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang
membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya
b) TPPO yang mengakibatkan kematian korban
c) Penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya TPPO
d) TPPO yang dilakukan oleh korporasi
e) TPPO yang dilakukan oleh kelompok terorganisasi
f) TPPO yang dilakukan terhadap anak
d. Tugas Tenaga Kesehatan
UU TPPO mewajibkan petugas kesehatan untuk:
1) Memberikan rehabilitasi kesehatan
2) Memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukanModul Pelatihan
Pelayanan Kesehatan Bagi Korban KtP/A dan TPPO 42

4. ETIKA PEMBERIAN INFORMASI DAN PERLINDUNGAN SAKSI PADA KASUS KtP/A TERMASUK TPPO
Rujukan utama terkait etika pemberian informasi dan perlindungan sanksi pada kasus KtP/A termasuk TPPO
meliputi:
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan Untuk
Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia
3. Kode Etik Keperawatan Indonesia
4. Kode Etik Kebidanan Indonesia
Ruang lingkup bahasan:
1. Ketentuan Etika Terkait Pemberian Informasi dan Perlindungan Saksi pada Kasus KtP/A
Ketentuan umum etika:
Kode etik profesi kesehatan, termasuk dokter, perawat, dan bidan, mewajibkan tenaga kesehatan untuk
merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien.
Ketentuan pengecualian:
a. Kode Etik Keperawatan dan Kode Etik Kebidanan mengecualikan kewajiban menyimpan rahasia pasien jika
diperlukan oleh pihak berwenang sesuai ketentuan hukum.
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kewajiban Pemberi Layanan Kesehatan Untuk
Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak mewajibkan seluruh setiap pemberi
layanan kesehatan yang memberi pelayanan kesehatan kepada anak yang diduga menjadi anak korban kekerasan
berkewajiban memberikan informasi kepada kepolisian.
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait pemberian informasi atas adanya dugaan kekerasan terhadap anak
a. Pemberian informasi kepada kepolisian dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
b. Pemberian informasi paling sedikit berisi tentang: a) umur dan jenis kelamin korban; b) nama dan alamat
pemberi pelayanan kesehatan; dan/atau c) waktu pemeriksaan kesehatan.
c. Pemberi layanan kesehatan yang memberikan informasi adanya dugaan anak korban KtA berkedudukan sebagai
pemberi informasi, bukan sebagai saksi pelapor.
d. Pemberi layanan kesehatan yang memberikan informasi adanya dugaan anak korban KtA berhak mendapat
perlindungan hukum.

Anda mungkin juga menyukai