PENDAHULUAN
1
Titik Lestari, Verbal Abuse Dampak Buruk dan Solusi Penanganannya pada Anak (Yogyakarta:
Psikosain, 2016), hlm. 3.
2
Aditya Ramadhan, "Sekitar 1 miliar anak di dunia alami kekerasan setiap tahunnya" dalam
antaranews.com, 19 Juni 2020, 02:50 WIB, https://www.antaranews.com/berita/1562400/sekitar-
1-miliar-anak-di-dunia-alami-kekerasan-setiap-tahunnya, diakses pada tanggal 10 Mei 2021.
3
Lusia Kus Anna (ed.), "Anak Sering Jadi Sasaran Kekerasan Verbal Orangtuanya" dalam
Kompas.com, 3 November 2015, 18:00 WIB,
http://megapolitan.kompas.com-/read/2015/11/03/180000923/Anak.Sering.Jadi.Sasaran.Kekerasan
.Verbal.Orangtuanya, diakses pada tanggal 10 Mei 2021.
1
dari orangtua sendiri maupun orang dewasa lain di sekitarnya, dapat mengalami
dampak buruk yang berat. Kekerasan verbal di sisi lain juga dapat menyebabkan
dampak buruk yang tidak ringan. Hal itu tentu saja menimbulkan keprihatinan.
Dampak dari kekerasan fisik akan terlihat pada tubuh anak yang menjadi
korban, sedangkan dampak dari kekerasan verbal akan mengganggu kondisi
kejiwaan atau emosional anak. Kekerasan verbal tidak bisa dipisahkan dari
nonverbal, misalnya tatapan mata melotot, intonasi, dan tempo ucapan. Orangtua
mungkin tidak mengucapkan kata-kata kotor, tetapi ekspresi wajah, gestikulasi,
tekanan dan intonasi suaranya dapat menyebabkan anak merasa terluka dan
tersakiti. Selain orangtua, anak-anak juga bisa menjadi korban kekerasan dari
orang di sekitarnya, seperti anggota keluarga lainnya, para guru di sekolah, teman
bermain, dan anggota masyarakat lainnya di sekitar dirinya.
4
Kasus Kekerasan Fisik Terhadap Anak [t.p.], dalam ayahbunda,
https://www.ayahbunda.co.id/balita-psikologi/-kasus-kekerasan-fisik-terhadap-anak-, diakses pada
tanggal 6 Mei 2021.
2
Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang
terjangkau oleh media, seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan lain sebagainya.
Fenomena kekerasan terhadap anak hampir terjadi di seluruh tempat. Hal tersebut
juga diungkapkan oleh Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak RI, Arist
Merdeka Sirait. Dia berkata bahwa kekerasan terhadap anak terjadi hampir di
seluruh daerah Indonesia.5
Zhiyah Zhulma Zain, “Dinamika Perlindungan Anak di Indonesia”, 10:2, Jurnal Sejarah (Jakarta:
5
3
Pola didik guru dan murid di sekolah juga memiliki nuansa yang tidak
jauh berbeda dengan pola asuh orangtua dan anak di rumah. Guru sering kali
merasa diri sebagai sosok yang harus dihormati dan ditaati oleh semua murid.
Aturan yang dibuat oleh guru harus dipatuhi. Murid yang berani melanggar aturan
para guru akan dihukum. Hukuman yang diberikan juga kerap kali dan pada
umumnya dalam bentuk sebuah kekerasan, seperti dicubit atau dipukul. Murid
yang melanggar aturan juga tidak jarang menerima kata-kata kasar dari gurunya,
seperti bodoh, bebal, atau dicap sama seperti nama binatang tertentu.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah banyak pihak yang kurang
memahami UU Perlindungan Anak, baik aparat hukum maupun masyarakat
umum. Kenyataan tersebut sangat tampak jelas dalam proses hukum untuk kasus
kekerasan. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia mengungkapkan angka kekerasan terhadap anak malah
4
bertambah besar pada masa pandemi Covid-19.6 Hal itu juga disebabkan karena
minimnya sosialisasi dari pihak pemerintah kepada masyarakat terkait dengan UU
Perlindungan Anak. Orangtua dan orang-orang dewasa lain di sekitar anak masih
kurang memahami jenis-jenis tindakan kekerasan terhadap anak dan sanksi yang
akan diterima apabila melanggar Undang-Undang tersebut.
Kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun, baik verbal maupun non-
verbal, akan terekam dalam alam bawah sadar anak hingga mereka tumbuh
dewasa. Yayasan Arek Lintang (ALIT) sebagai salah satu organisasi kemanusiaan
yang berfokus pada anak turut menyikapi fenomena tersebut. Yayasan ALIT terus
berusaha untuk melakukan berbagai upaya agar kesejahteraan dan hak-hak anak
terpenuhi dan dilindungi. Penulis terdorong oleh keprihatinan yang sama dengan
upaya yayasan ALIT untuk mendalami persoalan kekerasan terhadap anak di Desa
Ladogahar, tempat tinggal penulis. Penulis tertarik untuk menganalisis peran
yayasan ALIT dalam upaya memerangi tindakan kekerasan terhadap anak dalam
bentuk karya ilmiah. Penulis pun mengemas seluruh isi skripsi ini dalam judul
“PERAN YAYASAN AREK LINTANG (ALIT) DALAM UPAYA
MEMERANGI TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DI DESA
LADOGAHAR”.
Rumusan masalah utama dari skripsi ini adalah bagaimana peran yayasan
Arek Lintang (ALIT) dalam upaya memerangi tindakan kekerasan terhadap anak
di Desa Ladogahar? Rumusan masalah utama tersebut memiliki beberapa rumusan
masalah turunan. Pertama, apa itu yayasan Arek Lintang (ALIT)? Kedua, apa itu
tindakan kekerasan terhadap anak? Ketiga, apa profil Desa Ladogahar? Beberapa
pertanyaan tersebut merupakan gambaran umum poin-poin utama yang akan
dibahas dalam skripsi ini.
5
1.3.1 Tujuan Umum
Penulisan skripsi ini juga mempunyai arti penting bagi diri penulis sendiri.
Selain tujuan umum di atas, skripsi ini juga disusun untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
Ledalero.
Penulis membagi seluruh isi skripsi ini ke dalam lima bab. Bab pertama
berisikan latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan. Bab kedua membahas tentang fenomena
kekerasan terhadap anak. Bab ketiga membahas tema tentang yayasan Arek
6
Lintang (ALIT). Bab keempat mengurai tema tentang peran yayasan Arek Lintang
(ALIT) dalam upaya memerangi tindakan kekerasan terhadap anak di Desa
Ladogahar. Bab kelima berisikan kesimpulan umum dari seluruh pembahasan
skripsi ini dan saran untuk beberapa pihak yang berhubungan dengan tema yang
dibahas dalam skripsi ini.