Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekerasan sering kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat


menganggap kekerasan sebagai solusi utama dalam menyelesaikan masalah.
Meskipun banyak yang telah mengetahui bahwa kerugian yang ditimbulkan dari
tindakan kekerasan lebih besar daripada manfaatnya tetapi pada kenyataannya
tindakan kekerasan terus meningkat dari waktu ke waktu.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui website-nya


menyatakan kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun dengan lokus di
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.1 Hal yang
disayangkan adalah banyak aturan normatif yang sudah diterbitkan, termasuk
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tidak berfungsi
dengan baik. Sebagian dari populasi anak di dunia atau sekitar satu miliar anak
mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, cedera, dan
meninggal dunia. Hal tersebut merupakan data terbaru yang dilaporkan oleh
WHO, UNESCO, dan UNICEF. Laporan dari laman resmi WHO menyatakan
kekerasan terhadap anak terjadi karena gagalnya negara dalam mengejawantahkan
strategi dan kebijakan yang telah dibuat untuk melindungi anak-anak.2

Menurut Psikolog Naomi Soetikno, kekerasan adalah perilaku menyakiti


sehingga korban mengalami kerugian atau kerusakan.3 Kekerasan terhadap anak
dapat berupa kekerasan verbal dan nonverbal. Kekerasan verbal merupakan
kekerasan yang menggunakan kata-kata, sedangkan kekerasan nonverbal
merupakan kekerasan fisik. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan fisik, baik

1
Titik Lestari, Verbal Abuse Dampak Buruk dan Solusi Penanganannya pada Anak (Yogyakarta:
Psikosain, 2016), hlm. 3.
2
Aditya Ramadhan, "Sekitar 1 miliar anak di dunia alami kekerasan setiap tahunnya" dalam
antaranews.com, 19 Juni 2020, 02:50 WIB, https://www.antaranews.com/berita/1562400/sekitar-
1-miliar-anak-di-dunia-alami-kekerasan-setiap-tahunnya, diakses pada tanggal 10 Mei 2021.
3
Lusia Kus Anna (ed.), "Anak Sering Jadi Sasaran Kekerasan Verbal Orangtuanya" dalam
Kompas.com, 3 November 2015, 18:00 WIB,
http://megapolitan.kompas.com-/read/2015/11/03/180000923/Anak.Sering.Jadi.Sasaran.Kekerasan
.Verbal.Orangtuanya, diakses pada tanggal 10 Mei 2021.

1
dari orangtua sendiri maupun orang dewasa lain di sekitarnya, dapat mengalami
dampak buruk yang berat. Kekerasan verbal di sisi lain juga dapat menyebabkan
dampak buruk yang tidak ringan. Hal itu tentu saja menimbulkan keprihatinan.

Dampak dari kekerasan fisik akan terlihat pada tubuh anak yang menjadi
korban, sedangkan dampak dari kekerasan verbal akan mengganggu kondisi
kejiwaan atau emosional anak. Kekerasan verbal tidak bisa dipisahkan dari
nonverbal, misalnya tatapan mata melotot, intonasi, dan tempo ucapan. Orangtua
mungkin tidak mengucapkan kata-kata kotor, tetapi ekspresi wajah, gestikulasi,
tekanan dan intonasi suaranya dapat menyebabkan anak merasa terluka dan
tersakiti. Selain orangtua, anak-anak juga bisa menjadi korban kekerasan dari
orang di sekitarnya, seperti anggota keluarga lainnya, para guru di sekolah, teman
bermain, dan anggota masyarakat lainnya di sekitar dirinya.

Banyak tindakan kekerasan terhadap anak, seperti kekerasan verbal


maupun nonverbal, masih dan bahkan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang
biasa saja atau wajar. Kekerasan juga acap kali turut mewarnai pola asuh dalam
keluarga dan dijadikan sebagai satu budaya. Hal tersebut sangat tampak jelas
dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, Yani yang berusia 30 tahun sering
menghukum anaknya yang berusia lima tahun karena dia nakal dan keras kepala.
Yani sering kali marah dan menghukum dia karena dia menuang sabun di kamar
mandi, tidak mau makan, mengotori jemuran, dan menjahili adiknya. Yani berkata
bahwa dia akan memukuli anaknya dengan gayung jika anaknya itu nakal di
kamar mandi, memukuli dia dengan sendok atau piring jika dia tidak mau makan,
dan memukuli dirinya dengan mainan jika dia mengganggu adiknya. Menurut
Yani, anak harus dihukum supaya mereka jera dan tidak mengulangi perbuatan
yang salah. Dengan kata lain, kekerasan dapat digunakan untuk mendidik dan
mendisiplinkan anak. Tindakan Yani memang bertujuan untuk mendidik anak
supaya menjadi disiplin, tetapi cara yang digunakan adalah cara yang salah. Anak
dididik harus dengan cara yang baik dan benar, yakni tidak menggunakan
kekerasan.4

4
Kasus Kekerasan Fisik Terhadap Anak [t.p.], dalam ayahbunda,
https://www.ayahbunda.co.id/balita-psikologi/-kasus-kekerasan-fisik-terhadap-anak-, diakses pada
tanggal 6 Mei 2021.

2
Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang
terjangkau oleh media, seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan lain sebagainya.
Fenomena kekerasan terhadap anak hampir terjadi di seluruh tempat. Hal tersebut
juga diungkapkan oleh Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak RI, Arist
Merdeka Sirait. Dia berkata bahwa kekerasan terhadap anak terjadi hampir di
seluruh daerah Indonesia.5

Tindakan kekerasan terhadap anak juga sering kali terjadi di wilayah


Kabupaten Sikka, termasuk di Desa Ladogahar, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tindakan kekerasan terhadap anak di wilayah tersebut sudah menjadi hal yang
lumrah. Tradisi pengasuhan orangtua terhadap anaknya di Ladogahar dengan
menggunakan kekerasan sudah menjadi hal yang biasa. Anak dididik dengan
menggunakan cara-cara yang menekankan prinsip kepatuhan anak secara penuh
kepada orangtua. Anak yang membantah atau tidak menuruti orangtua sering kali
harus dididik secara tegas, yakni menggunakan kekerasan baik secara verbal
maupun nonverbal. Para orangtua sudah menganggap hal itu sebagai sebuah
tindakan wajar dan bukan merupakan tindakan kekerasan terhadap anak.
Kekerasan dijadikan sebagai cara yang tepat untuk meningkatkan kepatuhan anak
terhadap orangtua.

Para orang tua berpikir bahwa pola pengasuhan yang menggunakan


kekerasan semacam itu merupakan ungkapan kasih sayang sejauh tindakan itu
tidak menyebabkan luka secara fisik. Pemikiran tersebut menjadi dasar tindakan
kekerasan terhadap anak itu dianggap sesuatu yang wajar dan tidak dikategorikan
sebagai tindakan kekerasan terhadap anak. Para orangtua yang menggunakan pola
pengasuhan demikian, menganggap hal itu sebagai bagian dari tradisi cara
pengasuhan orang Indonesia Timur yang telah diterapkan secara turun temurun.
Mereka justru percaya bahwa cara tersebut merupakan cara yang paling efektif
untuk mendidik dan mendisiplinkan anak-anak mereka. Pola pengasuhan tersebut
justru mengidentikkan karakter anak-anak Indonesia Timur sebagai anak-anak
yang kasar, keras kepala, dan brutal.

Zhiyah Zhulma Zain, “Dinamika Perlindungan Anak di Indonesia”, 10:2, Jurnal Sejarah (Jakarta:
5

Agustus 2021), hlm. 184.

3
Pola didik guru dan murid di sekolah juga memiliki nuansa yang tidak
jauh berbeda dengan pola asuh orangtua dan anak di rumah. Guru sering kali
merasa diri sebagai sosok yang harus dihormati dan ditaati oleh semua murid.
Aturan yang dibuat oleh guru harus dipatuhi. Murid yang berani melanggar aturan
para guru akan dihukum. Hukuman yang diberikan juga kerap kali dan pada
umumnya dalam bentuk sebuah kekerasan, seperti dicubit atau dipukul. Murid
yang melanggar aturan juga tidak jarang menerima kata-kata kasar dari gurunya,
seperti bodoh, bebal, atau dicap sama seperti nama binatang tertentu.

Menurut para guru, mendidik murid berarti mendidik anak-anak mereka


sendiri. Namun, pelanggaran terhadap aturan sekolah akan diganjari dengan
hukuman untuk mendisiplinkan para murid. Hukuman tersebut dapat berupa
kekerasan verbal maupun non-verbal tergantung dari jenis kesalahan yang
dilakukan para murid. Para guru berpikir bahwa para murid pada dasarnya sudah
terbiasa menerima tindakan demikian di rumah mereka masing-masing. Selain itu,
orangtua juga menganggap tindakan itu sebagai hal yang wajar dan bagian dari
pola didik di sekolah.

Kekerasan yang diterima anak pada masa kanak-kanaknya sudah pasti


memiliki dampak bagi pertumbuhan dan perkembangan dirinya. Perlakuan
kekerasan terhadap anak akan menyebabkan anak mengalami gangguan mental
atau psikologis, baik pada level rendah maupun level sedang hingga level yang
berat. Selain itu, masa kanak-kanak adalah masa merekam dan meniru. Anak-anak
akan merekam dan membiarkan kebiasaan-kebiasaan itu tertanam di dalam
pikiran dan alam bawah sadar mereka. Akibatnya adalah mereka juga akan
melakukan yang sama ketika mereka tumbuh dewasa. Anak yang menjadi korban
kekerasan juga dapat menjadi pelaku kekerasan.

Hal lain yang menjadi perhatian adalah banyak pihak yang kurang
memahami UU Perlindungan Anak, baik aparat hukum maupun masyarakat
umum. Kenyataan tersebut sangat tampak jelas dalam proses hukum untuk kasus
kekerasan. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia mengungkapkan angka kekerasan terhadap anak malah

4
bertambah besar pada masa pandemi Covid-19.6 Hal itu juga disebabkan karena
minimnya sosialisasi dari pihak pemerintah kepada masyarakat terkait dengan UU
Perlindungan Anak. Orangtua dan orang-orang dewasa lain di sekitar anak masih
kurang memahami jenis-jenis tindakan kekerasan terhadap anak dan sanksi yang
akan diterima apabila melanggar Undang-Undang tersebut.

Kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun, baik verbal maupun non-
verbal, akan terekam dalam alam bawah sadar anak hingga mereka tumbuh
dewasa. Yayasan Arek Lintang (ALIT) sebagai salah satu organisasi kemanusiaan
yang berfokus pada anak turut menyikapi fenomena tersebut. Yayasan ALIT terus
berusaha untuk melakukan berbagai upaya agar kesejahteraan dan hak-hak anak
terpenuhi dan dilindungi. Penulis terdorong oleh keprihatinan yang sama dengan
upaya yayasan ALIT untuk mendalami persoalan kekerasan terhadap anak di Desa
Ladogahar, tempat tinggal penulis. Penulis tertarik untuk menganalisis peran
yayasan ALIT dalam upaya memerangi tindakan kekerasan terhadap anak dalam
bentuk karya ilmiah. Penulis pun mengemas seluruh isi skripsi ini dalam judul
“PERAN YAYASAN AREK LINTANG (ALIT) DALAM UPAYA
MEMERANGI TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DI DESA
LADOGAHAR”.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah utama dari skripsi ini adalah bagaimana peran yayasan
Arek Lintang (ALIT) dalam upaya memerangi tindakan kekerasan terhadap anak
di Desa Ladogahar? Rumusan masalah utama tersebut memiliki beberapa rumusan
masalah turunan. Pertama, apa itu yayasan Arek Lintang (ALIT)? Kedua, apa itu
tindakan kekerasan terhadap anak? Ketiga, apa profil Desa Ladogahar? Beberapa
pertanyaan tersebut merupakan gambaran umum poin-poin utama yang akan
dibahas dalam skripsi ini.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan skripsi ini mempunyai dua tujuan penting, yakni tujuan umum
dan tujuan khusus.
6
Lin Kandedes, “Kekerasan Terhadap Anak di Masa Pandemi Covid 19”, Jurnal Hartkat, (Jakarta:
2020), hlm. 67.

5
1.3.1 Tujuan Umum

Berdasarkan rumusan masalah di atas, skripsi ini disusun dengan empat


tujuan utama. Pertama, mengetahui dan memahami peran yayasan Arek Lintang
(ALIT) dalam upaya memerangi tindakan kekerasan terhadap anak di Desa
Ladogahar. Kedua, mengetahui Yayasan Arek Lintang (ALIT). Ketiga,
mengetahui dan memahami tindakan kekerasan terhadap anak. Keempat,
mengenal Desa Ladogahar.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penulisan skripsi ini juga mempunyai arti penting bagi diri penulis sendiri.
Selain tujuan umum di atas, skripsi ini juga disusun untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
Ledalero.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode


penelitian kepustakaan dan metode penelitian lapangan. Penulis berusaha
menemukan dan mendalami berbagai uraian yang berhubungan dengan yayasan
Arek Lintang dan tindakan kekerasan terhadap anak dari berbagai sumber.
Sumber-sumber yang digunakan oleh penulis adalah buku-buku, artikel, jurnal,
majalah, dan sumber-sumber yang lainnya. Penulis juga menggunakan metode
penelitian lapangan, yakni pengisian kuesioner, wawancara, dan observasi
partisipatif untuk mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam
penulisan skripsi ini. Ide-ide dari berbagai sumber tersebut menjadi ide dasar
untuk mendukung ide penulis.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulis membagi seluruh isi skripsi ini ke dalam lima bab. Bab pertama
berisikan latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan. Bab kedua membahas tentang fenomena
kekerasan terhadap anak. Bab ketiga membahas tema tentang yayasan Arek

6
Lintang (ALIT). Bab keempat mengurai tema tentang peran yayasan Arek Lintang
(ALIT) dalam upaya memerangi tindakan kekerasan terhadap anak di Desa
Ladogahar. Bab kelima berisikan kesimpulan umum dari seluruh pembahasan
skripsi ini dan saran untuk beberapa pihak yang berhubungan dengan tema yang
dibahas dalam skripsi ini.

Anda mungkin juga menyukai