Kekerasan terhadap anak dikenal dengan istilah abuse yang memiliki arti
kekerasan, penganiayaan, perlakuan yang salah atau penyiksaan.1 Kekerasan
terhadap anak merupakan perilaku yang sengaja dan berdampak bahaya untuk
anak-anak secara fisik maupun emosionalnya. Kekerasan yang diterima oleh
anak-anak dapat menimbulkan dampak fisik dan traumatis pada anak yang mana
kekerasan itu dilakukan oleh orang-orang terdekat anak seperti keluarga dan
lingkungan sekitar yang mengakibatkan gejala penurunan moral. Pada bagian ini,
penulis akan membahas tentang pengertian kekerasan terhadap anak, faktor
penyebab tindakan kekerasan terhadap anak, dampak yang ditimbulkan akibat
tindakan kekerasan terhadap anak, dan realitas kekerasan terhadap anak di
Indonesia.
1
Dr. Abu Huraerah, M. Si., Kekerasan Terhadap Anak
2
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan Cet. Ke-5 (Jakarta:Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 2006), hlm. 16.
tekanan, desakan yang keras. Kata-kata ini juga bersinonim dengan kata
‘memperkosa’ yang berarti menundukkan dengan kekerasan; menggagahi;
memaksa dengan kekerasan dan melanggar dengan kekerasan.3
Mansour Fakih juga mendefinisikan kekerasan dalam arti yang luas, yaitu
berupa serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental
psikologi seseorang. Kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat
fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain
3
A. Hasan (ed.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 2005), hlm. 550 dan 861.
4
Nar Hayon, “Kekerasan Polarisasi Manusia Sebagai Obyek”, Akademika, Edisi I, Tahun VI, 2000,
hlm. 27-28.
5
Aletheia Rabbani, “Pengertian Kekerasan Menurut Ahli”, dalam sosiologi79.com,
https://www.sosiologi79.com/2017/04/pengertian-kekerasan-menurut-ahli.html?m=1, diakses pada
16 Juni 2022.
dengan unsur berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak ada persetujuan pihak
lain yang dilukai. Kekerasan adalah suatu perilaku yang disengaja oleh seorang
individu pada individu lain yang menyebabkan kerugian fisik dan psikologi.6
Secara umum anak berarti sesuatu yang lebih kecil, seseorang yang belum
dewasa, atau suatu objek yang “dibawahi” oleh objek lain. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, anak dideskripsikan sebagai manusia yang masih kecil. 7
Namun, arti tersebut mencakup hal-hal yang beragam menurut disipilin
ilmiahnya. Dalam ilmu biologi, anak umumnya adalah makhluk hidup yang belum
mencapai tahap matang atau dewasa. Istilah anak terutama digunakan pada hewan
yang belum memasuki masa siap kawin, tetapi dapat juga digunakan pada
beberapa tumbuhan untuk merujuk pada pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau
rumpun tumbuh-tumbuhan yang besar. Sementara dalam ilmu psikolgi, anak
merupakan laki-laki atau perempuan yang belum mencapai tahap dewasa secara
fisik dan mental atau belum mencapai masa pubertas.
Anak juga dikategorikan berada pada usia-usia masa bayi hingga masa-
masa sekolah dasar, bahkan hingga masa remaja tergantung penggolongannya. 8
Menurut Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of Children) dalam
Bagian I pasal 1 disebutkan bahwa: “Yang dimaksud anak adalah setiap manusia
yang berusia dibawah 18 tahun”. Berdasarkan pasal ini dapat diartikan bahwa
manusia berusia 18 tahun tidak lagi tergolong anak.9
10
Tim Permata Press, Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) (Jawa Timur: Permata Press,
2012), hlm. 191.
11
Sumiadji Asy’ary, “Kekerasan Terhadap Anak”, Jurnal Keislaman, 2:2 (Bandung: September),
hlm. 180-181.
Menurut WHO, kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan
penganiayaan atau perlakuan salah dalam bentuk menyakiti fisik, emosional,
seksual, melalaikan pengasuhan, dan eksploitasi untuk kepentingan komersial
yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan
hidup, martabat atau perkembangannya. Tindakan kekerasan diperoleh dari orang
yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak
tersebut.
12
Tim Permata Press, op. cit., hlm. 224.
3.2.1 Kekerasan Secara Fisik
Kekerasan yang dialami oleh anak dapat terjadi dengan dalih untuk
mendidiplinkan anak. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya
dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal
atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang
tempat atau memecahkan barang berharga. Namun, kekerasan fisik terkadang
dilakukan orang tua kepada anaknya sebagai bentuk hukuman atas kesalahan yang
telah diperbuat oleh anak. Hal yang menurut orang tua baik justru sebenarnya
keliru untuk mengajarkan kedisiplinan dalam bentuk kekerasan fisik dan dapat
menimbulkan hal-hal negatif.
2. Stres Sosial
17
Muhammad Syukri Pulungan, M. Psi., Kekerasan pada Anak Kajian Teoretis dan Empiris
(Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2012), hlm. 96.
18
Ibid.
tua untuk merawat anak-anak. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup:
pengangguran, penyakit, kondisi perumahan buruk, ukuran keluarga besar dari
rata-rata, kelahiran bayi baru, orang cacat di rumah, dan kematian seorang
anggota keluarga.19
3. Ketidakmatangan Emosional
Ketidakmatangan emosional atau emosi yang tidak stabil, yakni orang tua
yang umumnya bersifat kekanak-kanakan dan menikah sebelum mencapai usia
sesuai dengan tanggung jawab yang harus diemban sebagai orang tua atau
mendapatkan anak sebelum usia 20 tahun.20
4. Struktur Keluarga
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran, (Bandung: CV. Wacana Prima, 2009), hlm. 82.
Struktur keluarga bisa menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan dapat
juga menjadi pemicu terjadinya kekerasan, seperti dalam kekerasan anak dalam
rumah tangga, di mana kekuasaan ayah untuk menghukum si anak, seharusnya
ditujukan untuk mendidik, akan tetapi seringkali dilaksanakan secara berlebihan,
sehingga terjadilah kekerasan fisik seperti penganiayaan sampai pada
pembunuhan. Kekuasaan sang ibu dalam mendidik anak juga seringkali
berlebihan sehingga yang terjadi justru kekerasan psikologis seperti mengucapkan
kata-kata yang menyakitkan hati si anak. Demikian pula pada struktur berikutnya
anak yang lebih kecil cenderung mendapat perlakuan kasar dari anak tertua baik
dengan tindakan maupun secara verbal.
2. Isolasi Sosial
Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan
terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang
bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan
mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. Kurangnya kontak
dengan masyarakat atau perilaku anti sosial menjadikan para orang tua kurang
22
Muhammad Syukri Pulungan, M. Psi., op. cit., hlm. 99.
mungkin mengubah perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai dan standar
masyarakat.23
Kekerasan fisik dapat menimbulkan luka fisik yang lebih mudah terlihat
dan dikenali. Meski tanda kekerasan fisik yang terlihat tidak selalu berarti seorang
anak menderita penganiayaan, mengidentifikasikannya jadi penting untuk
menentukan langkah selanjutnya. Beberapa tanda kekerasan fisik tersebut dapat
berupa: Luka, lecet, gigi rompal, cidera, memar dan bengkak, keseleo atau patah
tulang, luka bakar, sulit berjalan atau duduk, perdarahan organ dalam, cacat
permanen dan kematian. Biasanya anak-anak tidak memberi tahu siapapun dan
cenderung menutup-nutupi kekerasan yang dilakukan terhadapnya. Mungkin
mereka merasa takut tidak ada orang yang akan percaya padanya, atau malah
menyalahkannya. Mereka pun khawatir jika pelaku mengetahuinya, ia akan
dianiaya lebih parah.
23
Ibid.
Ketika anak mengalami kekerasan verbal secara terus menerus, maka anak
akan merasa bahwa dirinya jelek, tidak dibutuhkan, tidak dicintai, muram, tidak
bahagia, dan tidak menyukai aktivitasnya. Dampak terburuk dari kekerasan verbal
adalah saat anak mencoba untuk melakukan bunuh diri karena merasa dirinya
sudah tidak berharga lagi.24
Kasus kekerasan khususnya terhadap anak tidak pernah sepi dari pemberitaan
di media massa, baik cetak maupun elektronik. Maslah kekerasan terhadap anak
telah banyak menjadi topic pembicaraan dalam forum-forum informal maupun
menjadi topik dalam pembicaraan forml dan ilmiah. Bahkan juga banyak pakar
dan pemerhati yang telah menulis dalam jurnal maupun dalam bentuk buku,
demikian juga para peneliti yang telah melakukan penelitian terkait dengan
kekerasan terhadap anak dari sudut pandang tertentu.
26
Kuntoro, Kinanti AR., “Hubungan Parenting Stress, Pengasuhan Dan Penyesuaian Dalam
Keluarga Terhadap Perilaku Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga”, Jurnal Manajemen
Kesehatan, 3:1 (Surabaya: April 2017), hlm. 86-98.
perempuan. Kekerasan yang terjadi terhadap anak perempuan ada yang secara
spesifik seperti kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan.
27
Widodo, “Dampak Kekerasan Terhadap Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Anak Didik”,
Journal of Social Community, 1:2 (Jakarta: Desember 2016), hlm. 278.
untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat 2). Pemerintah juga telah meratifikasi
Konvensi Hak Anak, melalui UU No. 10 Tahun 2012, yang mewajibkan negara
untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, baik dari sisi pencegahan
maupun penanganan, termasuk memberi bantuan dan perlindungan bagi korban
kekerasan (Pasal 19). Selain itu, telah diterbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak yang meynyatakan negara menyediakan
pendekatan menyeluruh untuk melindungi anak yang mengacu pada Konvensi
Hak Anak.28
28
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Penghapusan Kekerasan
Terhadap Anak 2016-2020 (Jakarta: KPP, 2017), hlm. 1.
29
Ardito Ramadhan, “Kementerian PPPA: 11.952 Kasus Kekerasan terhadap Anak Terjadi
Sepanjang 2021, Mayoritasnya Kekerasan Seksual”, dalam Kompas.com,
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/24/15034051/kementerian-pppa-11952-kasus-
kekerasan-terhadap-anak-terjadi-sepanjang-2021, diakses pada 18 Juli 2022.
Kekerasan terhadap anak sebanyak 11.952 kasus dengan kekerasan seksual
sebanyak 7.004 kasus. Hal ini berarti 58,6 persen kasus kekerasan terhadap anak
adalah kasus kekerasan seksual. Menurut data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI), kekerasan seksual terhadap anak terjadi di rumah (48,7%), sekolah
(4,6%), tempat umum (6,1%), tempat kerja (3,0%) dan tempat lainnya seperti
hotel maupun yang lain (37,6%). Kekerasan seksual dengan persentase paling
tinggi terjadi di rumah. Padahal rumah seharusnya adalah tempat yang paling
aman untuk anak tetapi ternyata menjadi lokasi dengan persentase tertinggi
terjadinya kekerasan seksual. Menurut IDAI (2014), kasus kekerasan seksual
terhadap anak terjadi paling banyak pada usia 6-12 tahun (33%) dan terendah 0-5
(7,7%).30
32
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, loc. Cit.