Anda di halaman 1dari 19

BAB III

FENOMENA KEKERASAN TERHADAP ANAK

Kekerasan terhadap anak dikenal dengan istilah abuse yang memiliki arti
kekerasan, penganiayaan, perlakuan yang salah atau penyiksaan.1 Kekerasan
terhadap anak merupakan perilaku yang sengaja dan berdampak bahaya untuk
anak-anak secara fisik maupun emosionalnya. Kekerasan yang diterima oleh
anak-anak dapat menimbulkan dampak fisik dan traumatis pada anak yang mana
kekerasan itu dilakukan oleh orang-orang terdekat anak seperti keluarga dan
lingkungan sekitar yang mengakibatkan gejala penurunan moral. Pada bagian ini,
penulis akan membahas tentang pengertian kekerasan terhadap anak, faktor
penyebab tindakan kekerasan terhadap anak, dampak yang ditimbulkan akibat
tindakan kekerasan terhadap anak, dan realitas kekerasan terhadap anak di
Indonesia.

3.1 Pengertian Kekerasan Terhadap Anak

3.1.1 Pengertian Kekerasan

3.1.1.1 Arti Etimologis

Kekerasan merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris yakni violence.


Secara etimologis kata violence masih bertalian dengan bahasa Latin vis dan latus.
Kata vis berarti daya atau kekuatan. Kata latus (berasal dari kata ferre) berarti
membawa, mengandung, dan mempunyai. Kata violence masih memiliki
kesamaan arti dengan kata aggression (agresi). Kata agresi berarti berada dalam
keadaan marah; perilaku yang ditunjukkan untuk menyakiti; melukai atau
merusak pihak lain; sikap penyerangan akibat kekecawaan atau kegagalan dalam
mencapai kepuasan yang diinginkan.2

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai ’sifat


atau hal yang berciri keras; kekuatan; paksaan’. Kata ‘paksaan’ di sini berarti

1
Dr. Abu Huraerah, M. Si., Kekerasan Terhadap Anak
2
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan Cet. Ke-5 (Jakarta:Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 2006), hlm. 16.
tekanan, desakan yang keras. Kata-kata ini juga bersinonim dengan kata
‘memperkosa’ yang berarti menundukkan dengan kekerasan; menggagahi;
memaksa dengan kekerasan dan melanggar dengan kekerasan.3

Jadi, arti kekerasan (violence) adalah suatu tindakan yang menyertai


kekuatan dan bersifat memaksa dari pelaku tindakan kekerasan yang secara
potensial menghancurkan atau merusakkan.

3.1.1.2 Pengertian Menurut Para Ahli

Thomas Hobbes berpendapat bahwa kekerasan merupakan sesuatu yang


alamiah dalam manusia. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang dikuasi oleh
dorongan-dorongan irasional, anarkis, dan mekanistis yang saling mengiri dan
membenci sehingga menjadi jahat, buas, kasar dan berpikir pendek. Hobbes
mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini
lupus). Hal itu juga dijelaskan oleh Jean Paul Sartre, “l’enfer c’est les autres”
(orang lain adalah neraka). Artinya, ketika manusia mengobjekkan yang lain
serentak manusia juga mematikan kemerdekaan yang lain. Pada posisi ini, benih
pertarungan dan peperangan mulai tumbuh, kekerasan semakin menjadi-jadi.4

Soerjono Soekanto mendefiniskan kekerasan (violence) sebagai


penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Lebih lanjut,
Abdul Munir Mukan menjelaskan bahwa kekerasan adalah tindakan fisik yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk melukai, merusak atau
menghancurkan orang lain atau harta benda dan segala fasilitas kehidupan yang
menjadi bagian dari orang lain tersebut.5

Mansour Fakih juga mendefinisikan kekerasan dalam arti yang luas, yaitu
berupa serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental
psikologi seseorang. Kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat
fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain
3
A. Hasan (ed.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka, 2005), hlm. 550 dan 861.
4
Nar Hayon, “Kekerasan Polarisasi Manusia Sebagai Obyek”, Akademika, Edisi I, Tahun VI, 2000,
hlm. 27-28.
5
Aletheia Rabbani, “Pengertian Kekerasan Menurut Ahli”, dalam sosiologi79.com,
https://www.sosiologi79.com/2017/04/pengertian-kekerasan-menurut-ahli.html?m=1, diakses pada
16 Juni 2022.
dengan unsur berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak ada persetujuan pihak
lain yang dilukai. Kekerasan adalah suatu perilaku yang disengaja oleh seorang
individu pada individu lain yang menyebabkan kerugian fisik dan psikologi.6

3.1.2 Pengertian Anak

Secara umum anak berarti sesuatu yang lebih kecil, seseorang yang belum
dewasa, atau suatu objek yang “dibawahi” oleh objek lain. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, anak dideskripsikan sebagai manusia yang masih kecil. 7
Namun, arti tersebut mencakup hal-hal yang beragam menurut disipilin
ilmiahnya. Dalam ilmu biologi, anak umumnya adalah makhluk hidup yang belum
mencapai tahap matang atau dewasa. Istilah anak terutama digunakan pada hewan
yang belum memasuki masa siap kawin, tetapi dapat juga digunakan pada
beberapa tumbuhan untuk merujuk pada pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau
rumpun tumbuh-tumbuhan yang besar. Sementara dalam ilmu psikolgi, anak
merupakan laki-laki atau perempuan yang belum mencapai tahap dewasa secara
fisik dan mental atau belum mencapai masa pubertas.

Anak juga dikategorikan berada pada usia-usia masa bayi hingga masa-
masa sekolah dasar, bahkan hingga masa remaja tergantung penggolongannya. 8
Menurut Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of Children) dalam
Bagian I pasal 1 disebutkan bahwa: “Yang dimaksud anak adalah setiap manusia
yang berusia dibawah 18 tahun”. Berdasarkan pasal ini dapat diartikan bahwa
manusia berusia 18 tahun tidak lagi tergolong anak.9

Dalam silsilah keluarga, anak merupakan keturunan pertama atau generasi


kedua setelah ego (generasi pertama). Anak merupakan “buah hati” kedua orang
tua tanpa memedulikan usianya. Dalam bidang yang sama, anak laki-laki disebut
dengan “putra” sedangkan anak perempuan disebut dengan “putri”. Dalam sistem
hukum di Indonesia, terutama menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, anak
6
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),
hlm. 17.
7
A. Hasan (ed.), op. cit., hlm. 30.
8
Psikologi Zone, ”Fase-Fase Perkembangan Manusia”, dalam psikologizone.com,
http://www.psokilogizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465, diakses pada 16 Juni
2022.
9
Hadi Setia Tunggal, Konvensi Hak-Hak Anak (Jakarta: Harvarindo, 2000), hlm. 3.
merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Penggolongan ini terutama penting dalam proses
hukum dan pengadilan di Indonesia, di mana seorang kriminal yang dikategorikan
sebagai anak akan diadili dalam pengadilan khusus yang disebut pengadilan anak.
Dalam struktur organsasi atau profesi istilah anak atau anak buah diidentikkan
dengan orang-orang yang bekerja di bawah seseorang atau beberapa bos.10

3.1.3 Pengertian Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan terhadap anak adalah segala sesuatu yang membuat anak


tersiksa, baik secara fisik, psikologis maupun mental. Para ahli, memberikan
definisi yang berbeda-beda tentang kekerasan terhadap anak. Di bawah ini akan
diberikan beberapa definisi pengertian kekerasan terhadap anak oleh beberapa
ahli.11

Kekerasan terhadap anak menurut Andez adalah segala bentuk tindakan


yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi:
Penelantaran dan perlakuan buruk, eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta
trafficking / jual beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk
kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya
bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak
tersebut, yang seharusnya dapat dipercaya, misalnya orang tua, keluarga dekat,
dan guru.

Sedangkan Nadia memberikan pengertian kekerasan terhadap anak sebagai


bentuk penganiayaan baik fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah
tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan segala bentuk kekerasan
fisik lainnya pada anak. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan
merendahkan atau meremehkan anak. Alva menambahkan bahwa penganiayaan
pada anak-anak banyak dilakukan oleh orang tua atau pengasuh yang seharusnya
menjadi pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang.

10
Tim Permata Press, Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) (Jawa Timur: Permata Press,
2012), hlm. 191.
11
Sumiadji Asy’ary, “Kekerasan Terhadap Anak”, Jurnal Keislaman, 2:2 (Bandung: September),
hlm. 180-181.
Menurut WHO, kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan
penganiayaan atau perlakuan salah dalam bentuk menyakiti fisik, emosional,
seksual, melalaikan pengasuhan, dan eksploitasi untuk kepentingan komersial
yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan
hidup, martabat atau perkembangannya. Tindakan kekerasan diperoleh dari orang
yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak
tersebut.

Sedangkan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 13


menyebutkan: Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan melukai dan
merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan yang meliputi: penelantaran
dan perlakuan buruk, eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta jual beli anak
(trafficking).12

Dengan demikian orang yang melakukan kekerasan adalah orang yang


kehilangan kontrol dan tidak dapat menyeimbangkan pikiran, hasrat, dan perasaan
terhadap orang lain. Hal tersebut dikarenakan kekerasan seharusnya menjadi
perhatian yang serius bagi semua orang terlebih khusus dalam keluarga. Beberapa
waktu terakhir ini kejadian kekerasan semakin terkuak ke permukaan karena
aspek kekerasan juga menyangkut aspek psikologis korbannya, sosial, budaya,
ekonomi, politik bahkan hak-hak asasi.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan kekerasan


terhadap anak adalah perilaku yang salah dari orang tua, pengasuh, dan
lingkungan dalam bentuk perlakuan kekerasan fisik, psikis maupun mental yang
termasuk di dalamnya adalah penganiayaan, eskploitasi, mengancam dan lain-lain
terhadap anak.

3.2 Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Bentuk-bentuk kekerasan pada anak dapat diklasifikasikan dalam empat


macam, yaitu: Kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan seksual dan kekerasan
sosial (penelantaran).

12
Tim Permata Press, op. cit., hlm. 224.
3.2.1 Kekerasan Secara Fisik

Kekerasan terhadap anak secara fisik, yaitu tindakan kekerasan berupa


penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa
menggunakan benda-benda tertentu yang dapat menimbulkan luka fisik bahkan
sampai kematian. Bentuk-bentuk kekerasan secara fisik yang menimbulkan luka
dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan dengan
menggunakan benda tumpul atau tajam; seperti bekas gigitan, cubitan, tusukan,
ikat pinggang, dan rotan. Selain itu, dampak dari kekerasan fisik juga dapat
berupa luka bakar akibat sundutan rokok atau sentrika. Bekas luka biasanya
ditemukan pada daerah sekitar paha, lengan, pipi, mulut, perut, dada, punggung,
dan daerah bokong.13

Kekerasan yang dialami oleh anak dapat terjadi dengan dalih untuk
mendidiplinkan anak. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya
dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal
atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang
tempat atau memecahkan barang berharga. Namun, kekerasan fisik terkadang
dilakukan orang tua kepada anaknya sebagai bentuk hukuman atas kesalahan yang
telah diperbuat oleh anak. Hal yang menurut orang tua baik justru sebenarnya
keliru untuk mengajarkan kedisiplinan dalam bentuk kekerasan fisik dan dapat
menimbulkan hal-hal negatif.

3.2.2 Kekerasan Secara Verbal

Bahasa pada dasarnya digunakan sebagai pembawa pesan yang akan


disampaikan kepada orang lain. Kemampuan verbal yang diterima oleh anak akan
mudah diserap dan diingat oleh anak. Bahasa yang diberikan kepada anak sangat
berpengaruh terhadap perilaku dan perkembangan anak. Apabila memberikan
bahasa yang tidak sesuai dapat merusak perilaku dan perkembangan anak.
Kekerasan verbal adalah salah satu bentuk kekerasan yang menggunakan bahasa,
yaitu menggunakan kata-kata, kalimat, dan unsur-unsur bahasa lainnya.
Kekerasan verbal dapat terjadi pada anak ketika mengalami penolakan atas
13
Dr. Abu Huraerah, M. Si., Kekerasan Terhadap Anak (Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia,
2018), hlm. 49.
keinginannya. Bentuk kekerasan verbal mempunyai sifat menghina, membentak,
memaki, memarahi, dan menakuti dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak
pantas.14

Kekerasan verbal dapat terjadi di lingkungan sekitar antara orang tua


dengan anak, guru dengan murid, atau antar sesama teman. Kekerasan verbal
dapat mengganggu kondisi psikologis anak yang menjadi korban sedangkan
pelaku tindak kekerasan mungkin merasa legah dengan ungkapan emosi yang
telah diucapkannya. Setiap anak memilki pribadi yang berbeda-beda ketika
mendapatkan perilaku kekerasan verbal. Respon yang dapat terjadi pada anak
adalah menghiraukan pelaku, membantah, menangis, atau diam saja memendam
perasaan yang berdampak psikologis pada anak. Beberapa dampak negatif yang
dapat terjadi adalah merasa takut, sakit hati, malu, benci, marah, tertekan (stres),
rendah diri, dan lain sebagainya.

3.2.3 Kekerasan Secara Seksual

Kekerasan seksual terhadap anak merupakan hubungan atau interaksi


antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti
orang asing, saudara kandung atau orang tua di mana anak dipergunakan sebagai
objek pemuas kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan
menggunakan paksaan, ancaman, suap tipuan bahkan tekanan. Kegiatan-kegiatan
kekerasan seksual terhadap anak tersebut tidak harus melibatkan kontak badan
antara pelaku dengan anak sebagai korban. Bentuk-bentuk kekerasan seksual itu
sendiri bisa dalam tindakan perkosaan atau pun pencabulan.15

Kekerasan seksual terhadap anak terjadi apabila seseorang mengggunakan


anak untuk mendapatkan kenikmatan atau kepuasan seksual. Tidak terbatas pada
hubungan seks saja, tetapi juga tindakan-tindakan yang mengarah kepada aktivitas
seksual terhadap anak-anak, seperti: menyentuh tubuh anak secara seksual baik si
anak memakai pakaian atau tidak, segala bentuk penetrasi seks, termasuk
14
Faradina Puspitasari, “Hubungan antara Kekerasan Fisik dan Kekerasan Verbal Terhadap
Kecemasan pada Siswa-Siswi SD Negeri 2 Ngemplak (Skripsi Sarjana, Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2017), hlm. 8.
15
Ivo Noviana, “Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya”, Sosio Informa,
01:1 (Jakarta: Januari-April 2015), hlm. 15.
penetrasi ke mulut anak menggunakan benda atau anggota tubuh, membuat atau
memaksa anak terlibat dalam aktivitas seksual; secara sengaja melakukan aktivitas
seksual di hadapan anak, atau tidak melindungi atau mencegah anak menyaksikan
aktivitas seksual yang dilakukan orang lain; membuat, mendistribusikan dan
menampilkan gambar atau film yang mengandung adegan anak-anak dalam pose
atau tindakan yang tidak senonoh; serta memperlihatkan kepada anak, gambar,
foto atau film yang menampilkan aktivitas seksual.

3.2.4 Kekerasan Secara Sosial

Kekerasan anak secara sosial ialah bentuk kekerasan yang mencakup


pengabaian (penelantaran) anak dan eksploitasi anak. Pengabaian anak adalah
sikap atau tindakan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak
terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Perlakuan pengabaian
terhadap anak dapat berupa: Pertama, pengabaian fisik yaitu kegagalan
menyediakan makanan, pakaian yang sesuai untuk anak, pengawasan, rumah
yang aman dan bersih. Kedua, pengabaian medis ialah kegagalan dalam
memberikan perawatan medis yang diperlukan untuk kondisi anak. Ketiga,
pengabaian pendidikan seperti kegagalan mendaftarkan anak usia sekolah untuk
memperoleh pendidikan. Keempat, pengabaian emosional yakni kegagalan
memberikan dukungan emosional, cinta, dan kasih sayang kepada seorang anak.

Sedangkan eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau


perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga atau
masyarakat. Adapun bentuk dari tindakan eksploitasi anak seperti memaksa anak
untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa
memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai
perkembangan fisik, psikis, dan status sosialnya. Contohnya, anak dipaksa
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang melebihi batas kemampuannya.16

3.3 Faktor Penyebab Tindakan Kekerasan Terhadap Anak

Tindakan kekerasan terhadap anak disebabkan oleh berbagai macam


faktor. Penulis akan membagi faktor penyebab terjadinya tindakan kekerasan
16
Dr. Abu Huraerah, M. Si., op. cit., hlm. 50.
terhadap anak ke dalam dua faktor yakni faktor internal dan faktor eksternal
sebagai berikut:

3.3.1 Faktor Internal

Faktor penyebab terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak ditinjau dari


faktor penyebab internal ialah:

1. Pewarisan kekerasan antar generasi

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama bagi anak. Dalam hal


ini, orang tua memiliki peran penting dalam tumbuh kembang anak.
Perkembangan karakter seorang anak dapat terbentuk melalui pendidikan di dalam
keluarga. Muhammad Syukri Pulungan mengutip Gales Richard J,
mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak dapat terjadi akibat pewarisan
kekerasan antar generasi. Pada umumnya perilaku kekerasan yang ditunjukkan
oleh seseorang merupakan hasil belajar dari perilaku kekerasan yang ditunjukkan
oleh orang tuanya sendiri. Ketika tumbuh dewasa, perilaku kekerasan yang ia
alami sebagai anak dilakukan juga terhadap anaknya. Dengan kata lain kekerasan
ini merupakan perilaku kekerasan yang diwarisi (transmitted) dari generasi ke
generasi.17

Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat perlakuan yang salah


merupakan pencetus terjadinya kekerasan terhadap anak. Semua tindakan
terhadap anak akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa
sampai pada masa dewasa. Anak yang mendapat perilaku kekerasan dari orang
tuanya akan menjadi agresif dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam
pada anaknya.18

2. Stres Sosial

Stres yang diakibatkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko


kekerasan terhadap anak di dalam keluarga dan mengganggu kemampuan orang

17
Muhammad Syukri Pulungan, M. Psi., Kekerasan pada Anak Kajian Teoretis dan Empiris
(Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2012), hlm. 96.
18
Ibid.
tua untuk merawat anak-anak. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup:
pengangguran, penyakit, kondisi perumahan buruk, ukuran keluarga besar dari
rata-rata, kelahiran bayi baru, orang cacat di rumah, dan kematian seorang
anggota keluarga.19

3. Ketidakmatangan Emosional

Ketidakmatangan emosional atau emosi yang tidak stabil, yakni orang tua
yang umumnya bersifat kekanak-kanakan dan menikah sebelum mencapai usia
sesuai dengan tanggung jawab yang harus diemban sebagai orang tua atau
mendapatkan anak sebelum usia 20 tahun.20

Ketidakmampuan orang tua mengendalikan emosinya, dapat berakibat


fatal terhadap perkembangan anak-anak mereka terutama perkembangan
emosionalnya. Berbagai bentuk perlakuan keras orang tua sering dijadikan
alternatif untuk memberikan hukuman dan peringatan terhadap anak-anak mereka.
Pukulan, tamparan, celaan, umpatan ataupun kata-kata yang tidak selayaknya
sering dijadikan wujud hukuman orang tua terhadap anak. Hal-hal tersebut
tentunya akan menimbulkan rasa sakit bagi anak, baik secara fisik maupun psikis
yang tentunya akan berdampak negatif terhadap perkembangan kepribadiannya.21

4. Struktur Keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang lebih besar untuk


melakukan tindakan kekerasan kepada anak. Terjadinya kekerasan terhadap anak
di dalam rumah tangga dapat dijelaskan dengan melihat struktur kekuasaan di
dalam rumah tangga yang berjenjang yakni ayah, ibu, anak dan anak yang lebih
kecil. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kekerasan dalam rumah tangga
yang sering terjadi adalah kekerasan oleh suami (ayah) terhadap istri (ibu), dan
kekerasan orang tua terhadap anak, ataupun kekerasan oleh anak yang lebih tua
terhadap anak yang lebih kecil.

19
Ibid.
20
Ibid.
21
Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran, (Bandung: CV. Wacana Prima, 2009), hlm. 82.
Struktur keluarga bisa menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan dapat
juga menjadi pemicu terjadinya kekerasan, seperti dalam kekerasan anak dalam
rumah tangga, di mana kekuasaan ayah untuk menghukum si anak, seharusnya
ditujukan untuk mendidik, akan tetapi seringkali dilaksanakan secara berlebihan,
sehingga terjadilah kekerasan fisik seperti penganiayaan sampai pada
pembunuhan. Kekuasaan sang ibu dalam mendidik anak juga seringkali
berlebihan sehingga yang terjadi justru kekerasan psikologis seperti mengucapkan
kata-kata yang menyakitkan hati si anak. Demikian pula pada struktur berikutnya
anak yang lebih kecil cenderung mendapat perlakuan kasar dari anak tertua baik
dengan tindakan maupun secara verbal.

3.3.2 Faktor Eksternal


1. Status Sosial Ekonomi

Sebagian besar kekerasan yang terjadi di dalam keluarga dapat dipicu


faktor kemiskinan, dan tekanan hidup atau ekonomi. Pengangguran, PHK, dan
beban hidup lain kian memperparah kondisi itu. Faktor kemiskinan dan tekanan
hidup yang selalu meningkat, disertai dengan kemarahan atau kekecewaan pada
pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi
menyebabkan orang tua mudah sekali melimpahkan emosi pada orang di
sekitarnya. Anak sebagai makhluk lemah, rentan, dan dianggap sepenuhnya milik
orang tua sehingga anak paling mudah menjadi sasaran dalam meluapkan
kemarahan. Kemiskinan sangat berhubungan dengan penyebab kekerasan pada
anak karena bertambahnya jumlah krisis dalam hidupnya dan disebabkan mereka
mempunyai jalan yang terbatas dalam mencari sumber ekonomi. 22

2. Isolasi Sosial

Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan
terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang
bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan
mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. Kurangnya kontak
dengan masyarakat atau perilaku anti sosial menjadikan para orang tua kurang

22
Muhammad Syukri Pulungan, M. Psi., op. cit., hlm. 99.
mungkin mengubah perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai dan standar
masyarakat.23

3.4 Dampak atau Konsekuensi Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan terhadap anak akan mempunyai dampak. Dampak yang muncul


akibat dari kekerasan terhadap anak tergantung dari jenis kekerasan yang dialami.
Adapun dampak kekerasan terhadap anak dapat dikategorikan menjadi 4 macam
yaitu dampak kekerasan fisik, dampak kekerasan verbal, dampak kekerasan
seksual dan dampak kekerasan sosial.

3.4.1 Dampak Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik dapat menimbulkan luka fisik yang lebih mudah terlihat
dan dikenali. Meski tanda kekerasan fisik yang terlihat tidak selalu berarti seorang
anak menderita penganiayaan, mengidentifikasikannya jadi penting untuk
menentukan langkah selanjutnya. Beberapa tanda kekerasan fisik tersebut dapat
berupa: Luka, lecet, gigi rompal, cidera, memar dan bengkak, keseleo atau patah
tulang, luka bakar, sulit berjalan atau duduk, perdarahan organ dalam, cacat
permanen dan kematian. Biasanya anak-anak tidak memberi tahu siapapun dan
cenderung menutup-nutupi kekerasan yang dilakukan terhadapnya. Mungkin
mereka merasa takut tidak ada orang yang akan percaya padanya, atau malah
menyalahkannya. Mereka pun khawatir jika pelaku mengetahuinya, ia akan
dianiaya lebih parah.

3.4.2 Dampak Kekerasan Verbal

Kekerasan secara verbal dapat menyebabkan gangguan emosi pada anak.


Anak akan mengalami perkembangan konsep diri yang kurang baik, hubungan
sosialnya dengan lingkungannya akan bermasalah, dan anak menjadi lebih agresif
serta menjadikan orang dewasa sebagai musuhnya. Anak akan menarik diri dari
lingkungannya dan lebih senang menyendiri. Hal ini juga akan berdampak akan
kesulitan dalam belajar baik di rumah maupun di sekolah.

23
Ibid.
Ketika anak mengalami kekerasan verbal secara terus menerus, maka anak
akan merasa bahwa dirinya jelek, tidak dibutuhkan, tidak dicintai, muram, tidak
bahagia, dan tidak menyukai aktivitasnya. Dampak terburuk dari kekerasan verbal
adalah saat anak mencoba untuk melakukan bunuh diri karena merasa dirinya
sudah tidak berharga lagi.24

3.4.3 Dampak Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak bagi sang korban.


Akan tetapi, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya
penyangkalan terhadap peristiwa seksual yang terjadi. Lebih sulit lagi apabila
kasus kekerasan seksual terjadi terhadap anak-anak, karena anak-anak tidak
mengerti bahwa dirinya menjadi korban. Selain itu, anak merasa terancam akan
mendapatkan kosekuensi yang lebih buruk apabila melapor. Dampak pelecehan
seksual yang terjadi ditandai dengan adanya powerlessnes, di mana korban merasa
tidak berdaya dan tersiksa ketika mengungkap peristiwa pelecehan seksual
tersebut.25

Tindakan kekerasan seksual terhadap anak membawa dampak emosional


dan fisik bagi korbannya. Secara emosional, anak korban kekerasan seksual
mengalami stress, depresi, adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri
sendiri, rasa takut berhubungan dengan orang lain, bayangan akan kejadian di
mana anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, malu dan
keinginan bunuh diri. Sedangkan secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu
makan, sakit kepala, merasa sakit di sekitar vagina atau alat kelamin, berisiko
tertular penyakit menular seksual dan luka di tubuh akibat perkosaan dengan
kekerasan.

3.4.4 Dampak Kekerasan Sosial

Kekerasan sosial dapat berupa penelantaran anak dan eksploitasi anak.


Penelantaran anak dapat berdampak: Berat badan anak tidak bertambah, anak
tidak mendapatkan perilaku kasih sayang penuh, memiliki masalah dengan
24
Faradina Puspitasari, op. cit., hlm. 9.
25
Ivo Noviana, op.cit., hlm. 18.
perkembangan otak, mengambil risiko dengan melarikan diri dari rumah,
menggunakan narkorba atau alkohol serta melanggar hukum, masuk ke dalam
hubungan yang berbahaya misalnya bergaul dengan kelompok kriminal, kesulitan
membangun hubungan dengan orang lain, cenderung menjadi pelaku kekerasan,
dan dapat memiliki masalah kesehatan mental termasuk depresi.

Sedangkan eksploitasi terhadap anak dapat berdampak pada kepribadian


anak yang mulai berbohong, ketakutan, kurang dapat mengenal cinta dan kasih
sayang dan sulit percaya kepada orang lain. Selain itu harga diri anak rendah dan
menunjukkan perilaku yang destruktif. Anak juga bisa mengalami gangguan
dalam perkembangan psikologis dan interaksi sosial.

3.5 Upaya Pendampingan Terhadap Anak Korban Kekerasan

Upaya untuk meningkatkan kualitas kedekatan antara anak dengan pendidik,


anak dengan teman sebaya, anak dengan orang tua dan lingkungan sosial atau
anak dengan pengasuh, sangat tergantung pada kualitas pengasuhan dan kualitas
didikan. Artinya bagaimana subjek yang berhubungan dengan anak, mampu
menjalin kedekatan yang aman dengan anak sehingga anak dapat merasa nyaman
dan aman. Fungsi pengasuhan dan dukungan sosial pada sistem mikro (keluarga)
harus dioptimalkan agar tidak memberi peluang terjadinya kekerasan terhadap
anak.

Adapun strategi sebagai upaya pendampingan terhadap anak korban


kekerasan ialah: Pertama; bimbingan tentang cara-cara pengelolaan stres yang
dialami, agar tingkat parenting stress menurun. Jika perlu diberikan therapy
psikologis terhadap anak yang mengalami stres yang cukup mengkhawatirkan.
Pengelolaan bagi parenting stress, menjadi penting bagi pengasuhan dan
penyesuaian dalam keluarga karena memiliki pengaruh signifikan terhadap
perilaku kekerasan terhadap anak di dalam rumah tangga. Kedua; pembelajaran
tentang pengaturan emosi (manajemen emosi) selama proses pengasuhan agar
tingkat hormon stresnya menurun, anak dapat menjadi tenang saat berperilaku
kurang menyenangkan (menangis atau gelisah) bukan kembali melakukan
perlawanan. Ketiga; pemahaman tentang deteksi dini terhadap anak yang telah
mengalami kekerasan berdasarkan ciri-ciri dari perilaku dan kepribadiannya,
sehingga dapat segera mendapatkan pertolongan dan terhindar dari dampak
lanjutan. Keempat; pelatihan untuk interpretasi anak atas pengalaman
emosionalnya yang kurang menyenangkan menjadi motivasi yang mendorong
anak berperilaku sebaliknya.26

Beberapa upaya di atas sangat bergantung dengan orang-orang terdekat anak.


Untuk mencegah gangguan yang lebih parah, orang terdekat harus bisa menjadi
pendengar yang baik. Sehingga anak korban kekerasan bisa bercerita dengan lepas
semua yang ia alami. Kemudian orang terdekat juga harus bisa memberikan rasa
aman kepada sang anak. Hal itu bisa membangung pikiran positif pada anak
sehingga dapat mengurangi trauma yang dirasakan.

3.6 Fenomena Kekerasan Terhadap Anak

Kasus kekerasan khususnya terhadap anak tidak pernah sepi dari pemberitaan
di media massa, baik cetak maupun elektronik. Maslah kekerasan terhadap anak
telah banyak menjadi topic pembicaraan dalam forum-forum informal maupun
menjadi topik dalam pembicaraan forml dan ilmiah. Bahkan juga banyak pakar
dan pemerhati yang telah menulis dalam jurnal maupun dalam bentuk buku,
demikian juga para peneliti yang telah melakukan penelitian terkait dengan
kekerasan terhadap anak dari sudut pandang tertentu.

Berbicara masalah kekerasan terhadap anak, cakupannya cukup luas karena


tindakan tersebut dapat terjadi pada masyarakat umum, dalam dunia pendidikan
(di sekolah-sekolah), dan tidak kalah pentingnya adalah kekerasan terhadap anak
yang terjadi di lingkungan keluarga. Kekerasan yang terjadi di lingkup keluarga
mempunyai keunikan sendiri, karena pelakunya adalah orang-orang yang
mempunyai hubungan dekat bahkan mempunyai hubungan darah yang sangat
dekat dan dikenal dengan baik, seperti ayah atau ibu terhadap anak, kakak
terhadap adik, ataupun majikan terhadap pembantu rumah tangganya. Kekerasan
terhadap anak dapat terjadi baik terhadap anak laki-laki maupun terhadap anak

26
Kuntoro, Kinanti AR., “Hubungan Parenting Stress, Pengasuhan Dan Penyesuaian Dalam
Keluarga Terhadap Perilaku Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga”, Jurnal Manajemen
Kesehatan, 3:1 (Surabaya: April 2017), hlm. 86-98.
perempuan. Kekerasan yang terjadi terhadap anak perempuan ada yang secara
spesifik seperti kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan.

Realitas menunjukkan, tidak sedikit orang tua yang belum mampu


menjalankan peranannya sebagai orang tua yang baik. Tindak kekerasanpun biasa
mereka lakukan dalam memberikan peringatan atau hukuman terhadap anak.
Dalam lingkup keluarga anak perlu menaati peraturan dan tata cara yang berlaku.
Di samping peraturan tertentu perlu adanya semacam punishment yang dibuat
oleh orang tua terhadap pelanggaran tata tertib keluarga. Akan tetapi punishment
tersebut tidak dapat dijadikan alasan orang tua mengadakan kekerasan kepada
anaknya. Hukuman yanag diberikan hendaknya berupa sesuatu yang bersifat
mendidik kea rah perbaikan, bukan sesuuatu yang menyakitkan seperti
kekerasan.27

Anak membutuhkan orang lain untuk mengembangkan kemampuannya.


Setiap tingkah laku seorang anak di masa depan mencerminkan apa yang mereka
terima atau alami di masa kecilnya baik itu cara mendidik maupun sikap-sikap
yang mereka lihat pada saat mereka masih mencari jati diri. Oleh karena itu
perlunya suatu Perlindungan Anak supaya mereka merasa terlindungi dari apapun
yang merugikan mereka baik fisik maupun psikologis. Pemerintah Indonesia
sudah menyatakan dengan tegas anak sangat dilindungi oleh negara, terbukti
dengan lahirnya Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Karena tindak kekerasan atau penganiayaan bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa
terkecuali, dan dapat terjadi di manapun baik itu di dalam keluarga, lingkungan
bermain, maupun lingkungan sekolah. Oleh karena itu pelaku tindak pidana
kekerasan terhadap anak-anak harus dijatuhkan sanksi yang sesuai dan setimpal
sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

Kekerasan terhadap anak telah dan akan mempengaruhi kehidupan anak di


seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pemerintah Repulik Indonesia telah
melakukan langkah-langkah dalam rangka melindungi anak dari tindak kekerasan.
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa setiap anak memiliki hak

27
Widodo, “Dampak Kekerasan Terhadap Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Anak Didik”,
Journal of Social Community, 1:2 (Jakarta: Desember 2016), hlm. 278.
untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat 2). Pemerintah juga telah meratifikasi
Konvensi Hak Anak, melalui UU No. 10 Tahun 2012, yang mewajibkan negara
untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, baik dari sisi pencegahan
maupun penanganan, termasuk memberi bantuan dan perlindungan bagi korban
kekerasan (Pasal 19). Selain itu, telah diterbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak yang meynyatakan negara menyediakan
pendekatan menyeluruh untuk melindungi anak yang mengacu pada Konvensi
Hak Anak.28

Tingkat kekerasan terhadap anak di Indonesia selalu meningkat setiap


tahun. Kendala dalam pengumpulan data kekerasan terhadap anak ialah jumlah
peristiwa kekerasan yang belum dilaporkan, terutama bila kekerasan tersebut
terjadi di dalam lingkungan keluarga. Sebagian besar masyarakat menganggap
bahwa kekerasan yang terjadi dalam keluarga adalah masalah internal keluarga
yang tidak bisa diintervensi oleh pihak lain seperti lembaga penegak hukum atau
LSM dalam memecahkan berbagai permasalahan kekerasan terhadap anak.
Selama Pandemi Covid-19, saat anak melaksanakan pembelajaran di rumah, justru
banyak terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak.

Secara faktual, kasus kekerasan terhadap anak terus mengalami


peningkatan yang cukup signifikan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (PPPA) mencatat setidaknya ada 11.952 kasus kekerasan anak
yang tercatat oleh Sistem Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni)
sepanjang tahun 2021. Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (PPPA), menyebutkan, dari jumlah tersebut bentuk
kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak adalah kekerasan seksual
yaitu sebanyak 7.004 kasus.29

28
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Penghapusan Kekerasan
Terhadap Anak 2016-2020 (Jakarta: KPP, 2017), hlm. 1.
29
Ardito Ramadhan, “Kementerian PPPA: 11.952 Kasus Kekerasan terhadap Anak Terjadi
Sepanjang 2021, Mayoritasnya Kekerasan Seksual”, dalam Kompas.com,
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/24/15034051/kementerian-pppa-11952-kasus-
kekerasan-terhadap-anak-terjadi-sepanjang-2021, diakses pada 18 Juli 2022.
Kekerasan terhadap anak sebanyak 11.952 kasus dengan kekerasan seksual
sebanyak 7.004 kasus. Hal ini berarti 58,6 persen kasus kekerasan terhadap anak
adalah kasus kekerasan seksual. Menurut data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI), kekerasan seksual terhadap anak terjadi di rumah (48,7%), sekolah
(4,6%), tempat umum (6,1%), tempat kerja (3,0%) dan tempat lainnya seperti
hotel maupun yang lain (37,6%). Kekerasan seksual dengan persentase paling
tinggi terjadi di rumah. Padahal rumah seharusnya adalah tempat yang paling
aman untuk anak tetapi ternyata menjadi lokasi dengan persentase tertinggi
terjadinya kekerasan seksual. Menurut IDAI (2014), kasus kekerasan seksual
terhadap anak terjadi paling banyak pada usia 6-12 tahun (33%) dan terendah 0-5
(7,7%).30

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti


mencatat sepanjang Januari-Juli 2022, ada 12 kasus kekerasan seksual yang
terjadi. Hal ini berdasarkan hasil pemantauannya di media massa dari kasus yang
keluarga korban sudah melapaorkannya ke pihak kepolisian. Dari 12 kasus itu,
sebanyak 31 persen kekerasan seksual terjadi pada anak laki-laki dan 69 persen
anak perempuan. Retno menyebut, jumlah korban berjumlah 52 anak dengan
rincian 16 anak laki-laki dan 36 anak perempuan. Sedangkan pelaku berjumlah 15
orang yang terdiri dari 12 guru (80 persen), 1 pemilik pesantren (6,67 persen), 1
anak pemilik pesantren (6,67 persen), dan 1 kakak kelas korban (6,67 persen).31

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi bahkan


menghilangkan segala bentuk tindakan kekerasan terhadap anak. Pada tingkat
regional, pemerintah terlibat dalam penyusunan Rencana Aksi ASEAN untuk
pengurangan kekerasan terhadap perempuan dan anak (ASEAN Regional Plan of
Action of Elimination on Violence against Women and Children 2015).
Sedangkan pada tingkat global, Indonesia berkomitmen untuk mencapai Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGS), yang
30
Ardito Ramadhan, “Kementerian PPPA: 11.952 Kasus Kekerasan terhadap Anak Terjadi
Sepanjang 2021, Mayoritasnya Kekerasan Seksual”, dalam Kompas.com,
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/24/15034051/kementerian-pppa-11952-kasus-
kekerasan-terhadap-anak-terjadi-sepanjang-2021, diakses pada 18 Juli 2022.
31
Amirullah (ed.), “KPAI Ungkap Ada 12 Kasus Kekerasan Seksual Anak Sepanjang Januari-Juli
2022”, dalam tempo.co, https://nasional.tempo.co/read/1615052/kpai-ungkap-ada-12-kasus-
kekerasan-seksual-anak-sepanjang-januari-juli-2022, diakses pada 18 Juli 2022.
disahkan oleh Majelis Umum PBB pada bulan September 2015. Penghapusan
kekerasan terhadap anak menjadi salah satu SDG, yang menyatakan negara
anggota, termasuk Indonesia, harus berupaya untuk menghentikan kekerasan,
eksploitasi, perdagangan, serta segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap
anak.32

Meskipun pemerintah telah berupaya mengatasi masalah kekerasan


terhadap anak dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, namun dalam penerapannya masih belum optimal.
Kasus kekerasan terhadap anak malah terus mengalami peningkatan. Oleh karena
itu, dibutuhkan kerja sama dari semua pihak agar kasus kekerasan terhadap anak
dapat diminimalisir. Sebagai masalah yang kompleks, tindakan kekerasan
terhadap anak memerlukan penanganan secara komprehensif, holistik dan terpadu
oleh berbagai sektor terkait baik pemerintah, LSM maupun masyarakat.

32
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, loc. Cit.

Anda mungkin juga menyukai