PEMBAHASAN
A. Definisi Kekerasan
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.
Menurut (Reza 2012), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour sebagai
serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental
psikologis seseorang. Sementara menurut Galtung, terminology
kekerasan atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang berarti daya
tahan atau kekuatan atau latus yang berarti membawa sehingga dapat
diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk membawa
(Reza. 2012).
Konflik lebih mengarah pada pertikaian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih.
Sementara kekerasan mengarah pada dorongan nafsu untuk menghancurkan pihak yang
lemah dan tak berdaya. Dampak yang menjadi perbedaan konflik dan kekerasan, apabila
konflik bisa memberikan hal positif berupa perubahan, tidak untuk masalah kekerasan.
James B. Rule, kekerasan merupakan manifestasi naluri bersama atau gerakan naluri
primitif yang menciptakan kondisi- kondisi tindakan massa.
Masalah konflik bukan termasuk pelanggaran hukum, sementara kekerasan termasuk
pelanggaran hukum. Jenis pelanggaran ini menjadi perbedaan konflik dan kekerasan yang
paling mencolok.
1. Waktu
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik terjadi dalam waktu yang panjang,
sementara kekerasan terjadi dalam waktu yang singkat.
2. Proses
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik dalam proses terjadinya diketahui oleh
kedua pihak yang melakukan pertikaian, sementara kekerasan dalam proses terjadinya
umumnya tidak diketahui oleh pihak yang lemah.
3. Niat
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik pada praktiknya tidak disertai niat
menjatuhkan lawan dalam pertikaian, sementara kekerasan pada praktiknya memang
diniatkan untuk menjatuhkan lawan yang lemah.
4. Reaksi
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik umumnya tidak menimbulkan reaksi
yang berlebihan, sementara kekerasan umumnya menimbulkan reaksi cukup keras karena
berhubungan dengan fisik.
5. Penyebab
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik penyebabnya bisa karena persaingan
antara dua belah pihak yang melakukan pertikaian, sementara kekerasan penyebabnya
bisa karena kesalahpahaman kedua pihak yang melakukan pertikaian.
6. Perlakuan
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik dilakukan secara nyata untuk mencapai
tujuan yang diinginkan kedua belah pihak, sementara kekerasan dilakukan penuh
prasangka buruk dan berakibat merugikan pihak yang lemah.
7. Pelanggaran
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik bukan termasuk pelanggaran hukum,
sementara kekerasan termasuk pelanggaran hukum.
8. Pengaruh
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik dipengaruhi oleh keinginan untuk
menghancurkan pihak lain, sementara kekerasan dipengaruhi oleh dorongan nafsu saja.
9. Penyelesaian
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik bentuk penyelesaiannya dapat dilakukan
dengan akomodasi dan peradilan antara kedua belah pihak, sementara kekerasan bentuk
penyelesaiannya hanya bisa diselesaikan dengan peradilan.
10. Dampak
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik dapat memberikan dampak positif
berupa perubahan dalam proses penyelesaiannya, sementara kekerasan justru berisiko
meningkatkan kedestruktifan di masa yang akan datang.
Itulah perbedaan konflik dan kekerasan yang paling mencolok serta bisa dijadikan
perbandingan nyata.
Kata konflik berasal dari bahasa Latin yaitu configere yang artinya saling memukul.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik diartikan sebagai
percekcokan, perselisihan, pertentangan. Definisi konflik menurut sosiologis adalah suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
Robert M.Z Lawang, konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, dan
kekuasaan di mana tujuan mereka tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk
menundukkan saingannya.
Secara etimologis, kekerasan merupakan terjemahan dari kata violence yang artinya
kekuasaan atau berkuasa. Kata violence, berasal dari bahasa Latin yaitu violentia yang
berarti force (kekerasan). Secara terminologi, kekerasan (violent) didefinisikan sebagai
perilaku pihak yang terlibat konflik yang bisa melukai lawan konflik untuk
memenangkan konflik. Kamus Sosiologi (2012:106), kekerasan merupakan suatu
ekspresi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok di mana secara fisik maupun
verbal mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat.
Stuart dan Sundeen, perilaku kekerasan atau tindak kekerasan merupakan ungkapan
perasaan marah dan permusuhan yang mengakibatkan hilangnya konrol diri di mana
individu bisa berperilaku menyerang atau melakuakan suatu tindakan yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Pada dasarnya, konflik dan kekerasan merupakan dua konsep yang berbeda yang
keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Konflik dapat menjadi faktor yang
menyebabkan kekerasan begitu pula sebaliknya, kekerasan dapat menjadi faktor yang
menyebabkan konflik. Dengan begitu, konflik dapat diartikan sebagai sebuah
pertentangan dalam suatu masyarakat yang tidak selalu muncul dalam bentuk kekerasan.
Karena dalam konflik itu sendiri kekerasan tak selalu berada dalam posisi yang
disebabkan oleh konflik. Dalam hal ini, kekerasan juga bisa menyebabkan konflik.
Misalnya saja, seorang yang mempunyai tempramen yang buruk dan terbiasa hidup
dengan kekerasan lebih rentan untuk terlibat dalam sebuah konflik yang diakibatkan oleh
tempramen dan sikapnya. Namun, yang harus diperhatikan disini ialah dalam kasus
tersebut konflik yang muncul setelahnya belum tentu juga diwujudkan dalam bentuk
kekerasan. Konflik yang terjadi bisa juga muncul dalam bentuk yang lain, misalnya
tekanan-tekanan struktural yang dilakukan pihak lain tanpa menyebabkan dampak atau
kerusakan fisik pada pihak lainnya. Stuart dan Sundeen, perilaku kekerasan atau tindak
kekerasan merupakan ungkapan perasaan marah dan permusuhan yang mengakibatkan
hilangnya konrol diri di mana individu bisa berperilaku menyerang atau melakuakan
suatu tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Bentuk-Bentuk Konflik
Konflik Pribadi
Konflik ini terjadi dikarenakan ada dua individu yang mana sedang mengalami
sebuah masalah pribadi dan saling tidak ingin menyadari kesalahan masing-masing.
Dalam konflik pribadi, biasanya masing-masing individu akan berusaha untuk
mengalahkan lawannya.
Konflik yang terjadi antar kelompok ataupun individu yang memiliki masalah
dengan individu lainnya yang berada di kelompok (kelas) lainnya. Yang dimaksud kelas
disini dapat diartikan sebagai kedudukan seseorang ataupun kelompok di dalam
lingkungan masyarakat secara vertikal (kelas atas atau kelas bawah).
Konflik Politik
Konflik sosial yang terjadi pada dua kelompok atau individu yang satu sama
lainnya memiliki perbedaan serta pandangan berbeda mengenai prinsip dari masalah
ketatanegaraan yang akhirnya berdampak pada perselisihan pandangan. Konflik politik
ini bisa mengaitkan beberapa golongan-golongan tertentu dalam masyarakat hingga
negara.
Konflik Rasial
Konflik rasial merupakan konflik yang terjadi diantara kelompok ras yang
berbeda dikarenakan adanya kepentingan serta kebudayaan yang bertabrakan satu sama
lainnya.. Konflik ini biasanya terjadi karena salah satu ras yang merasa lebih unggul
dibandingkan dengan ras lainnya.
Konflik Internasional
Bentuk-bentuk konflik sosial antara agama ini merupakan konflik yang terjadi
pada pemeluk agama satu sama lainnya.
Kasus kekerasan di atas, hipotesa Francis Houtart sangat relevan untuk dikaji dalam
diskusi kali ini, menurutnya bahwa setiap masyarakat itu mengandung kekerasan.
Kekerasan dapat berbentuk fisik maupun simbolik. Ia dapat diterima atau diderita. Ia
tampak dalam bentuk konstruksi, reproduksi atau transformasi dalam hubungannya
dengan hubungan sosial. Sehingga alasan yang sangat fundamental dari hal ini adalah
harus dicari dalam hati manusia itu sendiri. Karena itu faktor manusia menjadi sangat
penting untuk menjelaskan mengapa kekerasan itu terjadi.
Robert Audi, seperti yang dikutip oleh I. Marshana Windhu, merumuskan violence
sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau
serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik
atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang. Istilah kekerasan
digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup
(covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang
disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Dalam lintasan sejarah gerakan Anti Kekerasan beragam bentuknya. Seperti yang
penulis ketahui, yaitu gerakan Pasifisme, Nirkekerasan, Gerakan Tasawuf, Pasifisme,
Tolstoyisme, Ahimsa, dan banyak lagi yang lainnya. Gerakan anti kekerasan yang
dilakukan belakangan menjadi tidak bernilai manakala kekerasan menjadi pemecah
masalah (problem solving). Dalam beberapa kasus besar gerakan anti kekerasan di dunia
menjadi terlihat kurang relevan ketika saat bersamaan legitimasi sistem hukum untuk
mencapai keadilan masih bermuatan kekerasan (violence). Hinggap di beberapa benak
sebagian pemikir bahwa gerakan anti kekerasan (non-violence movement) merupakan
sesuatu yang tidak rasional? Anggapan itu menjadi sangat dilematis ketika satu sisi
persoalan dunia sangatlah massif sedangkan di sisi lain perlu memanusiakan rasionalisme
manusia dalam beberapa bentuk. Hinggap di benak kita sebuah pertanyaan apakah
kekerasan menjadi pisau terkahir dalam mencapai keadilan manusia? Sebelum menjawab
ini, marilah kita renungkan nilai-nilai filosofis anti kekerasan di bawah ini dengan
beragam bentuknya.
Meminjam istilah M. Abu Nimer, bahwa anti kekerasan atau Nirkekerasan merupakan
sekumpulan sikap, pandangan, dan aksi yang ditunjukan untuk mengajak orang di pihak
lain agar mengubah pendapat, pandangan, dan aksi mereka. Nirkekerasan menggunakan
cara-cara damai untuk mencapai hasil yang damai. Nirkekerasan berarti bahwa para aktor
tidak membalas tindakan musuh mereka dengan kekerasan. Malah, mereka menyerap
kemarahan dan kerusakan sambil menyampaikan pesan ketabahan yang tegas dan
desakan untuk mengatasi ketidakadilan.
Lebih lanjut menurutnya (Abu Nimer), Ciri utama aksi nirkekerasan yaitu Pertama,
secara lahir tidak agresif, tapi secara dinamis adalah batin yang agresif, Kedua, “ ia tidak
berusaha untuk tidak menistakan musuh” tapi mengajak musuh untuk berubah lewat
pemahaman dan kesadaran baru tentang aib moral untuk kemudian membangun kembali
“ komunitas-komunitas terkasih “ lainnya. Ketiga, “ ia ditunjukan kepada kekuatan
kejahatan, bukan kepada orang-orang yang terperangkap dalam kekuatan tersebut.
Keempat, nirkekerasan berupaya untuk menghindari bukan hanya “ kekerasan lahiriah,
tapi juga kekerasan batiniah. Kelima, nirkekerasan “ didasarkan atas pendirian bahwa
alam semesta berpihak pada keadilan
E. Macam-macam kekerasan
Ada beberapa hal yang yang mempengaruhi para pelaku dalam melakukan tindak
krimiali dan kekerasan. Faktor ekonomi mungkin yang paling berpengaruh dalam
terjadinya tindak kriminal dan akan semakin parah pada saat tertentu seperti misalnya
pada Bulan Puasa (Ramadhan) yang akan mendekati Hari Raya Idul Fitri. Pada saat ini
kebutuhan masyarakat akan menjadi sangat tinggi baik primer maupun sekunder dan
sebagian orang lein mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutuhannya dengan
melakukan tindakan kriminal dan bahkan disertai dengan tindak kekerasan.
Menurut Thomas Hobbes, kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah dalam diri
manusia. Dia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh dorongan-
dorongan irasional, anarkis, saling iri, serta benci sehingga menjadi jahat, buas, kasar dan
berpikir pendek. Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia
(homo homini lupus). Oleh karena itu, kekerasan adalah sifat alami manusia. Dalam
ketatanegaraan, sikap kekerasan digunakan untuk menjadikan warga takut dan tunduk
kepada pemerintah. Bahkan Hobbes berprinsip bahwa hanya suatu pemerintahan negara
yang menggunakan kekerasan terpusat dan memiliki kekuatanlah yang dapat
mengedalikan situasi dan kondisi bangsa.
Terlepas dari kedua Tokoh tersebut kekerasan terjadi karena situasi dan kondisi
yang mengharuskan seseorang melakukan tindak kekerasan. Hal inilah yang melandasi
sebagian besar terjadinya kekerasan di Indonesia. Seperti adanya penyalahgunaan
wewenang dan kedudukan oleh para perjabat negara yang tentunya merugikan kehidupan
rakyat, lemahnya sistem hukum yang dimiliki Indonesia, dll.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tindakan kekerasan, antara lain sbb:
Seperti yang terjadi di Kota Jakarta, karena kepadatan penduduk dan komposisi
penduduk yang sangat padat di suatu tempat mengakibatkan meningkatnya daya saing,
tingkat strees, dan lain sebagainya yang berpotensi mengakibatkan seseorang atau
kelompok untuk berbuat tindakan kekerasan.
Distribusi kebudayaan dari luar tidak selali berdampakk positif bila diterapkan pada suatu
daerah atau negara. Sebagai contoh budaya orang barat yang menggunakan busana yang
mini para kaum wanita, hal ini akan mengundang untuk melakukan tindak kriminal dan
kekerasan seperti pemerkosaan dan perampokan.
Seseorang yang memiliki mentalitas yang labil pasti akan mempunyai jalan pikiran yang
singkat tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Layaknya seorang preman jika
ingin memenuhi kebutuhannya mungkin dia hanya akan menggunakan cara yang mudah,
seperti meminta pungutan liar, pemerasan dan lain sebagainya.
Dikarenakan tingkat pengangguran yang tinggi maka pendapatan pada suatu daerah
sangat rendah dan tidak merata. Hal ini sangat memicu seseorang atau sekelompok orang
untuk melakukan jalan pintas dalam memenuhi kebutuhannya dan mungkin dengan cara
melakukan tindak kekerasan.
F. Perdamaian
Berbagai macam bentuk konflik dan kekerasan kemudian menjadi stimulan untuk
menerapkan metode-metode baru konsep perdamaian agar bisa menjawab tantangan
yang ada. Perdamaian adalah sebuah istilah/kata untuk menyebut suatu kondisi adanya
harmoni, kemanan (tidak terjadi perang), serasi, dan adanya saling pengertian.
Perdamaian juga bisa diartikan suasana yang tenang dan tidak adanya kekerasan
Hakikat mendalam dari perdamaian tidak hanya ketiadaan suatu peperangan/konflik
kekerasan. Dalam mengembangkan cara-cara yang menunjang transformasi konflik
internal yang berbahaya, kita harus mempunyai komitmen untuk menciptakan perjanjian
yang adil dan abadi melalui alat perdamaian yang menyeluruh dengan mengakui bahwa
konflik yang tidak berbahaya dapat menjadi suatu kekuatan yang konstruktif menuju
perubahan. Proses terciptanya budaya perdamaian memerlukan niat baik, keterlibatan,
dan keseriusan semua pihak, terutama mereka yang terlibat langsung dalam kekerasan
yang terjadi. Proses tersebut merupakan perjalanan panjang yang harus dilakukan dengan
sabar. Perdamaian tidak mungkin terjadi jika trauma dan luka akibat kekerasan yang
terjadi masih menganga lebar. Perdamaian pun tidak mungkin didorong jika berbagai
ketidakadilan masih terjadi.
G. Multikulturalisme
Anders Behring Breivik, pria Norwegia yang melakukan penembakan di Pulau Utoya
menjadi salah satu contoh kekerasan yang dilakukan dengan kesadaran anti-
multukulturalisme (Kompas, 25 Juni 2011). Bangsa Indonesia tidak terlalu heboh dengan
berita kekerasan, terorisme atau kekerasan atas nama perbedayaan keyakinan sudah
menjadi konsumsi keseharian warga republik ini. Sebagai konsumsi keseharian,
kekerasan perlu dihindari agar masyarakat tidak terbiasakan menyelesaikan setiap
perbedaan dengan cara-cara kekerasan. Melawan kekerasan membutuhkan perubahan
kerangka berpikir yang ‘bersumbu pendek dan membangun budaya perdamaian. Sumbu
pendek masyarakat terkait dengan rasa frustasi dalam menghadapi berbagai masalah
kehidupan, khususnya dalam mencukupi kebutuhan hidup. Masalah kehidupan tersebut
terkait dengan sulitnya melakukan migrasi sosial-ekonomi secara vertikal, ketika sumber
daya ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir orang. Selain itu hambatan mingrasi
disebabkan oleh berbagai kebijakan pemerintah yang mendisinsentif kekuatan ekonomi
rakyat.
Multikulturalisme atau kemajemukan budaya (berasal dari kata “multi” dan “kultural”;
yang berarti “budaya yang majemuk”) adalah sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan individu dengan
individu lain atau perbedaan nilai-nilai yang dianut,[2] seperti perbedaan sistem, budaya,
agama, kebiasaan, dan politik.