Anda di halaman 1dari 14

BAGIAN 13

MELAKUKAN PENOLAKAN TERHADAP KEKERASAN

Isslandy Ayu Hermalia, Nita Kustiana

PEMBAHASAN

A. Definisi Kekerasan
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.
Menurut (Reza 2012), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour sebagai
serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental
psikologis seseorang. Sementara menurut Galtung, terminology
kekerasan atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang berarti daya
tahan atau kekuatan atau latus yang berarti membawa sehingga dapat
diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk membawa
(Reza. 2012).

Kekerasan adalah pemakaian kekuatan yang tidak adil, dan tidak


dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan
yang tidak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar dan menghina.(Reza,
2012).

Menurut Ricard J. Gelles (Hurairah, 2012: 47), kekerasan terhadap anak


merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-
anak (baik secara fisik maupun emosional). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun
psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak.

Kedekatan anak dengan orang tua para anak menyatakan memiliki


kedekatan dengan orang tua yang berbeda-beda. anak yang tinggal satu rumah dengan
orang tuanya dan merasa nyaman berinteraksi dengan ayah
ibunya mengungkapkan perasaan dekat dengan keduanya. Mereka bisa
berbagi cerita dengan kedua orang tuanya tentang peristiwa yang di alami
di sekolah dan melakukan kegiatan bersama seperti menonton TV,
melakukan tugas rumah, dan ada pula yang berekreasi. Para anak tersebut
jarang mengalami masalah di sekolah, sehingga tidak pernah berurusan
dengan guru BK di sekolah karena prilakunya, (Lestari 2012: 178)

Ketika ditanyakan pada anak tentang harapannya pada orang tua,


anak yang sering dihukum berharap orang tuanya tidak lagi memberikan
hukuman fisik. Pemberian hukuman fisik pada mereka tidak hanya
dirasakan sebagai sakit fisik, tetapi juga dimaknai sebagai rasa tidak
sayang orang tua kepada diri mereka. anak mengharapkan orang tuanya
tidak mudah marah, karena dalam persepsi mereka kemarahan dan
penghukuman yang dilakukan orang tua menandakan orang tua tidak
menghendaki keberadaan mereka secara pribadi. Respons psikologis yang
anak kembangkan adalah mereka tidak merasa betah di rumah, dan
membayangkan untuk pergi dari rumah begitu mereka selesai sekolah, ,
(Lestari 2012: 178-179).

Berbeda halnya dengan remaja yang relatif tidak bermasalah di


sekolah dan tidak mengalami problem relasi dengan orang tua. Pada umumnya mereka
masih bisa menerima kemarahan orang tua bila mereka
berbuat kesalahan. Bahkan remaja yang merasa dekat dengan orang tua
mempersepsikan kemarahan orang tua sebagai salah satu tanda orang tua
menyayangi mereka. Walaupun demikian, mereka juga mengungkapkan
harapan agar orang tua tidak terlalu mudah marah, dan mau
memperlakukan mereka dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, juga
lebih memperhatikan mereka, (Lestari 2012:179).

Dari berbagai definisi kekerasan menurut para ahli tersebut penulis


mengambil kesimpulan bahwa kekerasan merupakan tindakan yang tidak
pantas utuk diterapkan dalam mendidik anak. Kekerasan termasuk
tindakan yang mencelakakan kesehatan dan ketenangan anak,
mengakibatkan cidera fisik atau tekanan mental pada anak. Yang
seharusnya orang tua bertanggung jawab terhadap kesehatan dan
masadepan anak, dari tindak kekerasan ini orang tua secara tidak langsung
telah mematahkan kesehatan dan masadepan anaknya sendiri.

B. Alamiah atau Bentukan

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), bukan


berdasarkan katas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas
tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan sebagai negara
hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban,
keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu
semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu Negara besar yang
sangat mengedepankan ketentuan hukum yang berlaku. Aturan hukum positif yang
berlaku di Indonesia jelas menjadi komponen penting dalam membangun kehidupan yang
aman, tentram dan damai. Salah satu bidang hukum dalam rangka menjaga ketertiban dan
keamanan warga Negara Indonesia sendiri yaitu hukum pidana. Hukum pidana yang
berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu
sebagian terbesar dan aturanaturannya telah disusun dalam satu kitab undang-undang
(wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem

Konflik lebih mengarah pada pertikaian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih.
Sementara kekerasan mengarah pada dorongan nafsu untuk menghancurkan pihak yang
lemah dan tak berdaya. Dampak yang menjadi perbedaan konflik dan kekerasan, apabila
konflik bisa memberikan hal positif berupa perubahan, tidak untuk masalah kekerasan.
James B. Rule, kekerasan merupakan manifestasi naluri bersama atau gerakan naluri
primitif yang menciptakan kondisi- kondisi tindakan massa.
Masalah konflik bukan termasuk pelanggaran hukum, sementara kekerasan termasuk
pelanggaran hukum. Jenis pelanggaran ini menjadi perbedaan konflik dan kekerasan yang
paling mencolok.
1. Waktu
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik terjadi dalam waktu yang panjang,
sementara kekerasan terjadi dalam waktu yang singkat.

2. Proses
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik dalam proses terjadinya diketahui oleh
kedua pihak yang melakukan pertikaian, sementara kekerasan dalam proses terjadinya
umumnya tidak diketahui oleh pihak yang lemah.

3. Niat
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik pada praktiknya tidak disertai niat
menjatuhkan lawan dalam pertikaian, sementara kekerasan pada praktiknya memang
diniatkan untuk menjatuhkan lawan yang lemah.

4. Reaksi
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik umumnya tidak menimbulkan reaksi
yang berlebihan, sementara kekerasan umumnya menimbulkan reaksi cukup keras karena
berhubungan dengan fisik.

5. Penyebab
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik penyebabnya bisa karena persaingan
antara dua belah pihak yang melakukan pertikaian, sementara kekerasan penyebabnya
bisa karena kesalahpahaman kedua pihak yang melakukan pertikaian.

6. Perlakuan
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik dilakukan secara nyata untuk mencapai
tujuan yang diinginkan kedua belah pihak, sementara kekerasan dilakukan penuh
prasangka buruk dan berakibat merugikan pihak yang lemah.

7. Pelanggaran
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik bukan termasuk pelanggaran hukum,
sementara kekerasan termasuk pelanggaran hukum.

8. Pengaruh
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik dipengaruhi oleh keinginan untuk
menghancurkan pihak lain, sementara kekerasan dipengaruhi oleh dorongan nafsu saja.

9. Penyelesaian

Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik bentuk penyelesaiannya dapat dilakukan
dengan akomodasi dan peradilan antara kedua belah pihak, sementara kekerasan bentuk
penyelesaiannya hanya bisa diselesaikan dengan peradilan.

10. Dampak
Perbedaan konflik dan kekerasan adalah konflik dapat memberikan dampak positif
berupa perubahan dalam proses penyelesaiannya, sementara kekerasan justru berisiko
meningkatkan kedestruktifan di masa yang akan datang.

Itulah perbedaan konflik dan kekerasan yang paling mencolok serta bisa dijadikan
perbandingan nyata.

C. Konflik tidak sama dengan kekerasan

Kata konflik berasal dari bahasa Latin yaitu configere yang artinya saling memukul.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik diartikan sebagai
percekcokan, perselisihan, pertentangan. Definisi konflik menurut sosiologis adalah suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
Robert M.Z Lawang, konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, dan
kekuasaan di mana tujuan mereka tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk
menundukkan saingannya.
Secara etimologis, kekerasan merupakan terjemahan dari kata violence yang artinya
kekuasaan atau berkuasa. Kata violence, berasal dari bahasa Latin yaitu violentia yang
berarti force (kekerasan). Secara terminologi, kekerasan (violent) didefinisikan sebagai
perilaku pihak yang terlibat konflik yang bisa melukai lawan konflik untuk
memenangkan konflik. Kamus Sosiologi (2012:106), kekerasan merupakan suatu
ekspresi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok di mana secara fisik maupun
verbal mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat.
Stuart dan Sundeen, perilaku kekerasan atau tindak kekerasan merupakan ungkapan
perasaan marah dan permusuhan yang mengakibatkan hilangnya konrol diri di mana
individu bisa berperilaku menyerang atau melakuakan suatu tindakan yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Pada dasarnya, konflik dan kekerasan merupakan dua konsep yang berbeda yang
keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Konflik dapat menjadi faktor yang
menyebabkan kekerasan begitu pula sebaliknya, kekerasan dapat menjadi faktor yang
menyebabkan konflik. Dengan begitu, konflik dapat diartikan sebagai sebuah
pertentangan dalam suatu masyarakat yang tidak selalu muncul dalam bentuk kekerasan.
Karena dalam konflik itu sendiri kekerasan tak selalu berada dalam posisi yang
disebabkan oleh konflik. Dalam hal ini, kekerasan juga bisa menyebabkan konflik.
Misalnya saja, seorang yang mempunyai tempramen yang buruk dan terbiasa hidup
dengan kekerasan lebih rentan untuk terlibat dalam sebuah konflik yang diakibatkan oleh
tempramen dan sikapnya. Namun, yang harus diperhatikan disini ialah dalam kasus
tersebut konflik yang muncul setelahnya belum tentu juga diwujudkan dalam bentuk
kekerasan. Konflik yang terjadi bisa juga muncul dalam bentuk yang lain, misalnya
tekanan-tekanan struktural yang dilakukan pihak lain tanpa menyebabkan dampak atau
kerusakan fisik pada pihak lainnya. Stuart dan Sundeen, perilaku kekerasan atau tindak
kekerasan merupakan ungkapan perasaan marah dan permusuhan yang mengakibatkan
hilangnya konrol diri di mana individu bisa berperilaku menyerang atau melakuakan
suatu tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Kekerasan, bagaimanapun juga merupakan sebuah bentuk usaha penguasaan


untuk memenangkan posisi dalam sebuah konflik dengan menindas pihak yang lemah.
Artinya, kekerasan bisa terjadi ketika tindakan berupa konsolidasi dan penyelesaian
konflik yang tidak melibatkan kekerasan antara kedua belah pihak baik secara individu
maupun kelompok tidak mungkin dilakukan lagi, keduanya mempunyai kekuatan dan
posisi yang sama. Untuk itulah, usaha yang bisa dilakukan untuk menggerakkan
dinamika konflik yang ada dalam masyarakat tersebut ialah menempuh jalan kekerasan
berupa penindasan suatu kelompok atau individu terhadap kelompok atau individu
lainnya yang sekiranya tidak atau kurang mampu dan tidak mempunyai kekuatan dalam
aspek kekerasan.

Bentuk-Bentuk Konflik

Bentuk Konflik Sosial Secara Umum

Konflik Pribadi

Konflik ini terjadi dikarenakan ada dua individu yang mana sedang mengalami
sebuah masalah pribadi dan saling tidak ingin menyadari kesalahan masing-masing.
Dalam konflik pribadi, biasanya masing-masing individu akan berusaha untuk
mengalahkan lawannya.

Konflik Antar Kelas

Konflik yang terjadi antar kelompok ataupun individu yang memiliki masalah
dengan individu lainnya yang berada di kelompok (kelas) lainnya. Yang dimaksud kelas
disini dapat diartikan sebagai kedudukan seseorang ataupun kelompok di dalam
lingkungan masyarakat secara vertikal (kelas atas atau kelas bawah).

Konflik Politik

Konflik sosial yang terjadi pada dua kelompok atau individu yang satu sama
lainnya memiliki perbedaan serta pandangan berbeda mengenai prinsip dari masalah
ketatanegaraan yang akhirnya berdampak pada perselisihan pandangan. Konflik politik
ini bisa mengaitkan beberapa golongan-golongan tertentu dalam masyarakat hingga
negara.

Konflik Rasial

Konflik rasial merupakan konflik yang terjadi diantara kelompok ras yang
berbeda dikarenakan adanya kepentingan serta kebudayaan yang bertabrakan satu sama
lainnya.. Konflik ini biasanya terjadi karena salah satu ras yang merasa lebih unggul
dibandingkan dengan ras lainnya.
Konflik Internasional

Konflik internasional merupakan konflik yang terjadi dengan melibatkan


beberapa kelompok negara dikarenakan adanya perbedaan kepentingan di dalamnya.
Banyak sekali kasus konflik internasional yang terjadi berawal dari konflik dua negara
yang mana dikarenakan adanya masalah ekonomi dan politik. Lambat laun, konflik yang
terjadi diantara kedua negara ini berkembang dan menjadi konflik internasional. Hal ini
terjadi karena masing-masing negara mencari kawan sekutu yang memiliki visi serta
tujuan yang sama mengenai masalah yang sedang terjadi.

Konflik Antar Suku Bangsa

Konflik yang terjadi karena adanya perbedaan di dalam kehidupan masyarakat,


antara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang dimaksud adalah
mulai dari abhasa daerah, adat istiadat, kesenian daerah, seni bangunan rumah, serta tata
susunan kekerabatan.

Konflik Antar Agama

Bentuk-bentuk konflik sosial antara agama ini merupakan konflik yang terjadi
pada pemeluk agama satu sama lainnya.

D. Dimensi – Dimensi Kekerasan

Jumlah kasus kekerasan di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Dan  bentuknya


bervariasi. Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2012,
kasus radikalisme meningkat hampir 80 persen dari tahun sebelumnya. Hal itu
disebabkan oleh masalah ekonomi dan pemahaman demokrasi yang terlampau bebas.
Kemendagri mencatat peningkatan adanya paham radikalisme tertinggi pada tahun 2012.
Pada tahun 2012, telah terjadi 128 konflik di Indonesia akibat paham radikalisme. Pada
tahun 2010, tercatat 93 konflik dan 2011 sebanyak 77 konflik. Peningkatan angka aksi
radikalisme yang terjadi pada tahun 2012 hampir 80 persen. Tentunya keadaan ini cukup
mengkhawatirkan jika tidak segera ditangani. Benturan-benturan kecil bisa menjadi
besar. Begitu pula variasi kekerasan terhadap perempuan, KOMNAS Perempuan
mencatat ada sekitar 93.960 dari hasil laporan sekitar 400.939. Artinya setiap hari 20
perempuan menjadi korban tindak kekerasan. Berbeda lagi dengan kekerasan Negara
terhadap rakyat sipil, beberapa kasus meningkat pula.

Kasus kekerasan di atas, hipotesa Francis Houtart sangat relevan untuk dikaji dalam
diskusi kali ini, menurutnya bahwa setiap masyarakat itu mengandung kekerasan.
Kekerasan dapat berbentuk fisik maupun simbolik. Ia dapat diterima atau diderita. Ia
tampak dalam bentuk konstruksi, reproduksi atau transformasi dalam hubungannya
dengan hubungan sosial. Sehingga alasan yang sangat fundamental dari hal ini adalah
harus dicari dalam hati manusia itu sendiri. Karena itu faktor manusia menjadi sangat
penting untuk menjelaskan mengapa kekerasan itu terjadi.

Menurut anggapan Thomas Hobbes, merupakan makhluk yang dikuasai oleh


dorongan-dorongan irasional dan anarkistis yang saling mengiri dan membenci sehingga
menjadi kasar, jahat, buas dan pendek pikir. Inilah sosok homo homini lupus, manusia
adalah serigala bagi yang lain dan akibatnya perang semua lawan semua (bellum omnium
contra omnes).

Robert Audi, seperti yang dikutip oleh I. Marshana Windhu, merumuskan violence
sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau
serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik
atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang. Istilah kekerasan
digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup
(covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang
disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.

Mengenai akar instingtif, Konrad Lorenz dalam On Agreesion (1986) berpendapat


energi khusus untuk tindakan naluriah (instingtif) manusia mengumpul secara kontinu
(terus-menerus) di pusat-pusat syaraf yang ada kaitannya dengan pola tindakan yang
dilakukan manusia, termasuk tindak kekerasan. Tindakan kekerasan merupakan ledakan
yang terjadi ketika di dalam syaraf tadi sudah terkumpul cukup energi sekalipun tanpa
ada rangsangan dari luar.
Demikian, menurut Lorenz, tindak agresif dan kekerasan manusia pada dasarnya
merupakan rangsangan dari dalam (internal) yang sudah terpasang dan mencari
pelampiasan serta akan terekspresikan sekalipun dengan rangsangan luar yang sangat
kecil, bahkan tidak ada. Model agresi dan kekerasan manusia yang bersifat naluriah
(instingtif) ini dinamai model hidrolik yang dianalogikan dengan tekanan yang
ditimbulkan oleh air atau uap di dalam tabung tertutup.
Terdapat beberapa titik yang menjadi tolak ukur akar-akar kekerasan di beberapa tempat,
untuk itu sebelum menelaah lebih jauh, ada beberapa pemikir besar yang konsen dengan
menelusuri akar-akar kekerasan dalam manusia. Pertama kekerasan sebagai tindakan
actor atau kelompok. Kelompok ini dipelopori ahli biologi, fisiologi dan sebagainya yang
berpendapat bahwa manusia secara kedirian dapat menimbulkan kekerasan karena
kecenderungan bawaan (innet) atau sebagai konseksuensi dari kelainan genetik atau
fisiologis (seperti teori mark twain). Mereka meneliti hubungan kekerasan dengan
keadaan biologis sebagai factor (cause prime) penyebab kekerasan (violence). Kedua,
kekerasan sebagai bentukan dari tindakan struktur (nation). Pendapat ini lebih
menekankan bahwa akar-akar kekerasan ada karena struktur yang menyebabkan itu.
Seperti teorinya J. Galtung ketika menjelaskan “kekerasan” sebagai segala sesuatu yang
menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Dan
terakhir yang berendapat bahwa kekerasan sebagai jejaringan antara aktor dengan
struktur berkelindan. Asumsi kelompok ini ialah konflik kekerasan bersifat endemik bagi
kehidupan masyarakat (konflik sebagai sesuatu yang ditentukan), ada sejumlah alat
alternatif untuk menyatakan/menyampaikan konflik sosiial, untuk menyampaikan
masalah kekerasan dengan efektif diperlukan perubahan dalam organisasi/kelompok dan
individu. Pandangan geneologi kekerasan ini pula terdapat bentuk dialektika antara
kekerasan aktor serta kekerasan struktural sebagai akumulasi bentuk
pengejewantahannya.

Merenungkan Filsafat Anti Kekerasan

Dalam lintasan sejarah gerakan Anti Kekerasan beragam bentuknya. Seperti yang
penulis ketahui, yaitu gerakan Pasifisme, Nirkekerasan, Gerakan Tasawuf, Pasifisme,
Tolstoyisme, Ahimsa, dan banyak lagi yang lainnya. Gerakan anti kekerasan yang
dilakukan belakangan menjadi tidak bernilai manakala kekerasan menjadi pemecah
masalah (problem solving). Dalam beberapa kasus besar gerakan anti kekerasan di dunia
menjadi terlihat kurang relevan ketika saat bersamaan legitimasi sistem hukum untuk
mencapai keadilan masih bermuatan kekerasan (violence). Hinggap di beberapa benak
sebagian pemikir bahwa gerakan anti kekerasan (non-violence movement) merupakan
sesuatu yang tidak rasional? Anggapan itu menjadi sangat dilematis ketika satu sisi
persoalan dunia sangatlah massif sedangkan di sisi lain perlu memanusiakan rasionalisme
manusia dalam beberapa bentuk. Hinggap di benak kita sebuah pertanyaan apakah
kekerasan menjadi pisau terkahir dalam mencapai keadilan manusia? Sebelum menjawab
ini, marilah kita renungkan nilai-nilai filosofis anti kekerasan di bawah ini dengan
beragam bentuknya.
Meminjam istilah M. Abu Nimer, bahwa anti kekerasan atau Nirkekerasan merupakan
sekumpulan sikap, pandangan, dan aksi yang ditunjukan untuk mengajak orang di pihak
lain agar mengubah pendapat, pandangan, dan aksi mereka. Nirkekerasan menggunakan
cara-cara damai untuk mencapai hasil yang damai. Nirkekerasan berarti bahwa para aktor
tidak membalas tindakan musuh mereka dengan kekerasan. Malah, mereka menyerap
kemarahan dan kerusakan sambil menyampaikan pesan ketabahan yang tegas dan
desakan untuk mengatasi ketidakadilan.
Lebih lanjut menurutnya (Abu Nimer), Ciri utama aksi nirkekerasan yaitu Pertama,
secara lahir tidak agresif, tapi secara dinamis adalah batin yang agresif, Kedua, “ ia tidak
berusaha untuk tidak menistakan musuh” tapi mengajak musuh untuk berubah lewat
pemahaman dan kesadaran baru tentang aib moral untuk kemudian membangun kembali
“ komunitas-komunitas terkasih “ lainnya. Ketiga, “ ia ditunjukan kepada kekuatan
kejahatan, bukan kepada orang-orang yang terperangkap dalam kekuatan tersebut.
Keempat, nirkekerasan berupaya untuk menghindari bukan hanya “ kekerasan lahiriah,
tapi juga kekerasan batiniah. Kelima, nirkekerasan “ didasarkan atas pendirian bahwa
alam semesta berpihak pada keadilan

E. Macam-macam kekerasan

Kekerasan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tindak kekerasan seolah-olah


telah melekat dalam diri seseorang guna mencapai tujuan hidupnya. Tidak
mengherankan, jika semakin hari kekerasan semakin meningkatdalam berbagai macam
dan bentuk. Oleh karena itu para ahli sosial berusaha mengklasifikasikan bentuk dan jenis
kekerasan menjadi dua macam, yaitu:

 Berdasarkan bentuknya, kekerasan dapat digolongkan menjadi kekerasan fisik,


psikologis, dan struktural.
1. Kekerasan fisik, yaitu kekerasan nyata yang dapat dilihat, dirasakan oleh tubuh.
Wujud kekerasan fisik berupa penghilangan kesehatan atau kemampuan normal tubuh,
sampai pada penghilangan nyawa seseorang. Contoh: Pengaiayaan, pemukulan,
pembunuhan, dll.
2. Kekerasan psikologis, yaitu kekerasan yang memiliki sasaran pada rohani atau
jiwa sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa.
(Contoh: kebohongan, ancaman dan tekanan)
3. Kekerasan Struktural, yaitu kekerasan yang dilakukan oleh individu atau
sekelompok orang dengan menggunakan sistem, hukum, ekonomi, atau tata kebiasaan
yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan ini sulit untuk dikenali.

 Berdasarkan pelakunya, kekerasan dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu:


1. Kekerasan individual, adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu kepada satu
atau lebih individu. Contoh: pencurian, pemukulan, penganiayaan, dll.
2. Kekerasan Kolektif, adalah kekerasan yang dilakukan oleh banyak individu atau
massa. Contoh: tawuran pelajar, bentrokan antar desa.
Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Tindak Kekerasan

Ada beberapa hal yang yang mempengaruhi para pelaku dalam melakukan tindak
krimiali dan kekerasan. Faktor ekonomi mungkin yang paling berpengaruh dalam
terjadinya tindak kriminal dan akan semakin parah pada saat tertentu seperti misalnya
pada Bulan Puasa (Ramadhan) yang akan mendekati Hari Raya Idul Fitri. Pada saat ini
kebutuhan masyarakat akan menjadi sangat tinggi baik primer maupun sekunder dan
sebagian orang lein mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutuhannya dengan
melakukan tindakan kriminal dan bahkan disertai dengan tindak kekerasan.

Banyaknya tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat menimbulkan rasa keprinatinan


yag mendalam dalam diri setiap ahli sosial. Setiap kekerasan yang terjadi, tidak sekedar
muncul begitu saja tanpa sebab-sebab yang mendorongnya. Oleh karena itu, para ahli
sosial berusaha mencari penyebab terjadinya kekerasan dalam rangka menemukan solusi
tepat mengurangi kekerasan.

Menurut Thomas Hobbes, kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah dalam diri
manusia. Dia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh dorongan-
dorongan irasional, anarkis, saling iri, serta benci sehingga menjadi jahat, buas, kasar dan
berpikir pendek. Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia
(homo homini lupus). Oleh karena itu, kekerasan adalah sifat alami manusia. Dalam
ketatanegaraan, sikap kekerasan digunakan untuk menjadikan warga takut dan tunduk
kepada pemerintah. Bahkan Hobbes berprinsip bahwa hanya suatu pemerintahan negara
yang menggunakan kekerasan terpusat dan memiliki kekuatanlah yang dapat
mengedalikan situasi dan kondisi bangsa.

Sedangkan J. J. Rosseau mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia itu polos,


mencintai diri secara spontan, serta tidak egois. Peradaban serta kebudayaanlah yang
menjadikan manusia kehilangan sifat aslinya. Manusia menjadi kasar dan kejam terhadap
orang lain. Dengan kata lain kekerasan yang dilakukan bukan merupakan sifat murni
manusia.

Terlepas dari kedua Tokoh tersebut kekerasan terjadi karena situasi dan kondisi
yang mengharuskan seseorang melakukan tindak kekerasan. Hal inilah yang melandasi
sebagian besar terjadinya kekerasan di Indonesia. Seperti adanya penyalahgunaan
wewenang dan kedudukan oleh para perjabat negara yang tentunya merugikan kehidupan
rakyat, lemahnya sistem hukum yang dimiliki Indonesia, dll.

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tindakan kekerasan, antara lain sbb:

i. Pertentangan dan persaingan kebudayaan


Hal ini dapat memicu suatu tindakan kriminal yang mengacu pada kekerasan bermotif
SARA (Suku, Agama, Ras, Aliran) seperti yang terjadi pada kerusuhan di Sampit antara
orang Madura dan orang Kalimantan.

ii. Kepadatan dan Komposisi Jumlah Penduduk

Seperti yang terjadi di Kota Jakarta, karena kepadatan penduduk dan komposisi
penduduk yang sangat padat di suatu tempat mengakibatkan meningkatnya daya saing,
tingkat strees, dan lain sebagainya yang berpotensi mengakibatkan seseorang atau
kelompok untuk berbuat tindakan kekerasan.

iii. Perbedaan distribusi kebudayaan

Distribusi kebudayaan dari luar tidak selali berdampakk positif bila diterapkan pada suatu
daerah atau negara. Sebagai contoh budaya orang barat yang menggunakan busana yang
mini para kaum wanita, hal ini akan mengundang untuk melakukan tindak kriminal dan
kekerasan seperti pemerkosaan dan perampokan.

iv. Mentalitas yang labil

Seseorang yang memiliki mentalitas yang labil pasti akan mempunyai jalan pikiran yang
singkat tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Layaknya seorang preman jika
ingin memenuhi kebutuhannya mungkin dia hanya akan menggunakan cara yang mudah,
seperti meminta pungutan liar, pemerasan dan lain sebagainya.

V. Tingkat Pengangguran yang Tinggi

Dikarenakan tingkat pengangguran yang tinggi maka pendapatan pada suatu daerah
sangat rendah dan tidak merata. Hal ini sangat memicu seseorang atau sekelompok orang
untuk melakukan jalan pintas dalam memenuhi kebutuhannya dan mungkin dengan cara
melakukan tindak kekerasan.

F. Perdamaian

Berbagai macam bentuk konflik dan kekerasan kemudian menjadi stimulan untuk
menerapkan metode-metode baru konsep perdamaian agar bisa menjawab tantangan
yang ada. Perdamaian adalah sebuah istilah/kata untuk menyebut suatu kondisi adanya
harmoni, kemanan (tidak terjadi perang), serasi, dan adanya saling pengertian.
Perdamaian juga bisa diartikan suasana yang tenang dan tidak adanya kekerasan
Hakikat mendalam dari perdamaian tidak hanya ketiadaan suatu peperangan/konflik
kekerasan. Dalam mengembangkan cara-cara yang menunjang transformasi konflik
internal yang berbahaya, kita harus mempunyai komitmen untuk menciptakan perjanjian
yang adil dan abadi melalui alat perdamaian yang menyeluruh dengan mengakui bahwa
konflik yang tidak berbahaya dapat menjadi suatu kekuatan yang konstruktif menuju
perubahan. Proses terciptanya budaya perdamaian memerlukan niat baik, keterlibatan,
dan keseriusan semua pihak, terutama mereka yang terlibat langsung dalam kekerasan
yang terjadi. Proses tersebut merupakan perjalanan panjang yang harus dilakukan dengan
sabar. Perdamaian tidak mungkin terjadi jika trauma dan luka akibat kekerasan yang
terjadi masih menganga lebar. Perdamaian pun tidak mungkin didorong jika berbagai
ketidakadilan masih terjadi.

Perdamaian merupakan tahap yang sangat menentukan bagi terwujudnya kesejahteraan


umat manusia. Unsur yang paling mendasar dan terpenting dari pengertian umum
perdamaian tersebut adalah adanya “pengakuan (kesalahan sendiri)”, sehingga
memunkinkan terjadinya proses saling melupakan (sakit hati, dendam, atau kepedihan
yang diakibatkan oleh perselisihan atau pertikaian yang telah terjadi) dan memaafkan
satu sama lain”.
Dengan kata lain, “ saling member dan menerima” (take and give), kata orang lain selama
ini , atau dalam ungkapan lainnya yang kini banyak digunakan dalam berbagai proses
perdamaian di seluruh dunia “Lupakan dan maafkan” (forgot and forgive).
A. Pelajaran dan Nilai-nilai yang dapat Dipetik
Berdasarkan kajian dari success story proses rekonsiliasi di Afsel serta berdasarkan
pengamatan empiris, maka ada 9 faktor untuk terjadinya suatu rekonsiliasi dan
perdamaian, yaitu : 1) visi yang kuat untuk masa depan 2) membangun sistem hukum 3)
partisipasi kelompok masyarakat sipil 4) penggunaan atribut/cara local 5) leadership 6)
media kampanye 7) berfokus kepada korban 8) workshop kritis 9) penggunaan fasilitator

G. Multikulturalisme

Anders Behring Breivik, pria Norwegia yang melakukan penembakan di Pulau Utoya
menjadi salah satu contoh kekerasan yang dilakukan dengan kesadaran anti-
multukulturalisme (Kompas, 25 Juni 2011). Bangsa Indonesia tidak terlalu heboh dengan
berita kekerasan, terorisme atau kekerasan atas nama perbedayaan keyakinan sudah
menjadi konsumsi keseharian warga republik ini. Sebagai konsumsi keseharian,
kekerasan perlu dihindari agar masyarakat tidak terbiasakan menyelesaikan setiap
perbedaan dengan cara-cara kekerasan. Melawan kekerasan membutuhkan perubahan
kerangka berpikir yang ‘bersumbu pendek dan membangun budaya perdamaian. Sumbu
pendek masyarakat terkait dengan rasa frustasi dalam menghadapi berbagai masalah
kehidupan, khususnya dalam mencukupi kebutuhan hidup. Masalah kehidupan tersebut
terkait dengan sulitnya melakukan migrasi sosial-ekonomi secara vertikal, ketika sumber
daya ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir orang. Selain itu hambatan mingrasi
disebabkan oleh berbagai kebijakan pemerintah yang mendisinsentif kekuatan ekonomi
rakyat.

Multikulturalisme atau kemajemukan budaya (berasal dari kata “multi” dan “kultural”;
yang berarti “budaya yang majemuk”) adalah sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan individu dengan
individu lain atau perbedaan nilai-nilai yang dianut,[2] seperti perbedaan sistem, budaya,
agama, kebiasaan, dan politik.

Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik


multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama
Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2011
meringkas uraian Parekh):

1. Multikulturali, mengacu pada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan


hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat
penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas.
Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan
yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk
mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum
minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara
Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kutural utama
berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan
kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-
pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang
sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha
menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok
kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih
membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif
distingtif mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk
menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu
dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus
mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.[

Anda mungkin juga menyukai