Anda di halaman 1dari 7

Saya mengetik ulang tulisan-tulisan terpilih dari bukunya Mahbub Djunaedi.

Setelah
mengetiknya, saya menganalisis tulisan itu supaya bisa menulis kembali karya saya sendiri
dengan gayanya pengasuh rubrik asal-usul di harian Kompas itu.
Daftar Pertanyaan Penuntun untuk Menulis
1. Masalah apa yang menjadi trending topik di twitter pada minggu-minggu belakangan
ini?
2. Video apa yang sedang trending di youtube akhir-akhir ini?
3. Model tulisan apa yang bisa dibuat berdasarkan hal-hal yang sedang menjadi buah
tutur warganet di youtube dan twitter baru-baru ini?

Sejak Kapan Rakyat Kecil Bikin Rumah Harus Pakai Arsitek?

Rakyat kecil penduduk Betawi memang sedang sial. Dalam tahun-tahun terakhir ini,
kesialan itu datang beruntun bagaikan antre. Kalau tidak dilanda banjir, tentu ditimpa
gusuran. Kalau tidak ketiban gusur, dijadikan semacam suaka alam di Condet–seperti orang
Indian direservasi–dipertahankan menurut apa adanya, siapa tau bisa jadi objek turis. Bahkan,
yang mati pun mesti pindah tempat guna memberi kesempatan bagi pendirian rumah susun
demi memenuhi selera mutakhir. Untung saja tulang-belulang itu tak punya daya. Kalau
masih mampu melangkah, pastilah mereka akan mengganggu para anggota parlemen yang
terhormat.
Sekarang ada lagi masalah baru. Jika salah-salah menanganinya, barisan sial itu tentu
akan bertambah panjang. Bebannya tambah berat, kepalanya tambah pening, dompetnya akan
ludes, dan bisa-bisa mereka akan pergi berbondong-bondong ke pasar ikan--numpak kapal
layar menuju Vietnam. Jika orang-orang Vietnam bisa mengungsi ke mari, mengapa
penduduk Betawi tidak bisa mengungsi ke Vietnam? Dipandang dari sudut gila-gilaan,
banyak persamaan antara orang-orang Vietnam dan orang Betawi, walau gayanya berbeda.
Duduk perkaranya begini. Sejak tanggal 20 hingga 22 Desember 1979, di DKI Jaya
ada Lokakarya Masalah Tata Ruang, Lingkungan, dan Bangunan. Saking sering dan
banyaknya, memang orang sudah muak mendengar yang namanya lokakarya ini. Tapi
lokakarya yang satu ini agak lumayan, bukan dibikin sekadar untuk menghabiskan anggaran,
melainkan memang ada urgensinya. Lokakarya ini mengundang para ahli dari luar DKI yang
dianggap bisa memberikan sumbangan pikiran.
Ada tiga masalah pokok yang jadi bahan bahasan. Pertama, niat tuan rumah membuat
Rancangan Tata Lingkungan DKI Jaya yang akan menggantikan Bataviasche
1
Plannenverordening 1941, BPV 1941. Kedua, niatan tuan rumah membikin Rancangan Tata
Lingkungan DKI Jaya yang akan menggantikan Bataviasche Bestemmingskringen en
Bouwtypenverordening 1941, KTV 1941. Ketiga, niat tuan rumah membuat Rancangan
Peraturan Bangunan DKI Jaya yang akan menggantikan Bataviasche Bouwverordening
1919-1941, BBV 1919-1941.
Memang betul, tidak satu pun kota di Indonesia sesudah merdeka tiga puluh lima
tahun, yang punya peraturan tentang tata bangunan kota yang up to date. Semua masih
berdasarkan zaman "kuda gigit besi". Ini mau dibilang ketololan bisa, mau dibilang
kemalasan juga bisa. Buat apa itu Biro Hukum yang ada di setiap instansi? Apa yang mereka
kerjakan selain mengunyah-ngunyah permen karet yang sudah berumur puluhan tahun? Tak
seorang pun mampu menghitung berapa banyak Sarjana Hukum di Indonesia, barangkali
sama banyaknya dengan jumlah pohon kelapa, tapi hanya Tuhan yang tahu apa saja yang
mereka pikirkan. Sedangkan salah seorang Wakil Gubernur DKI Jaya, Asmawi Manaf, bukan
hanya sekadar bergelar Drs. saja, melainkan juga Sarjana Hukum--bayangkan! Hanya titel
Insinyur saja yang belum dikantonginya. Kalau sudah, kompletlah dia sekompletkompletnya.
Dengan satu sentilan saja, dunia sudah bisa berputar pada asnya.
Tapi, mengganti hukum kolonial bukanlah sekadar asal ganti saja. Mesti lebih maju,
mesti lebih menguntungkan rakyat kecil, mesti bisa lebih memberikan perlindungan yang
membikin tenteram hati penduduk. Jika tidak, penggantian itu bukannya akan membawa
untung, melainkan buntung. Pemerintahan yang baik ialah yang berorientasi kepada
kepentingan rakyat banyak, bukan berorientasi kepada sekelompok kecil tuan-tuan besar
yang hidup di gedung bertingkat dilingkungi kaca seperti permen dalam peles.
Konon, rancangan peraturan pengganti hukum kolonial itu mengandung pasal-pasal
yang jika disahkan oleh DPRD dan dilaksanakan oleh dewan eksekutif akan membikin repot
rakyat kecil dan akan membikin mereka senewen. Rancangan peraturan yang berdalihkan
"modermisasi" itu mungkin akan membawa kelegaan kepada golongan the haves, tapi akan
membikin setengah gila golongan the haves not. Berarti, kita mengganti peraturan yang
reaksioner dengan peraturan yang lebih reaksioner lagi. Misalnya, rancangan peraturan Bab II
tentang Perizinan
Mendirikan dan atau Menghuni Bangunan, Pasal 3 rancangan peraturan itu antara lain
berbunyi sebagai berikut:
1. Untuk perencanaan arsitektur/konstruksi/instalasi dan per lengkapan bangunan,
pemilik diwajibkan menunjuk/menugas kan seorang perencana/biro perencana dan
seorang direksi/biro yang punya izin bekerja dari gubernur kepala daerah;
2
2. Untuk pelaksanaan, pemilik wajib menunjuk pemborong yang mempunyai izin
bekerja dari gubernur kepala daerah (kecuali bangunan-bangunan tertentu yang akan
ditetapkan oleh gubernur kepala daerah) serta harus menunjuk direksi/biro yang
mempunyai izin bekerja dari gubernur kepala daerah untuk tiap tiap bidang arsitektur,
konstruksi serta instalasi, dan mekanikal.
Bunyi Pasal 21 dari Bab II-nya pun tidak kurang mentereng, sehingga hati kecil bisa
terbang dibuatnya. Pasal 21 itu antara lain berbunyi sebagai berikut:
1. Izin mendirikan bangunan batal, apabila:
a. Pemegang izin tidak lagi menjadi yang berkepentingan tanpa pemberitahuan tertulis
dengan bukti-bukti hukum tentang pemilikan bangunan dalam waktu selambat
lambatnya tiga bulan;
b. Dalam waktu enam bulan setelah pemberian izin belum dimulai dengan pelaksanaan
pembangunan, atau pekerjaan yang telah dilaksanakan dianggap hanya sebagai
persiapan; Pekerjaan belum selesai menurut jadwal pelaksanaan atau dalam jangka
waktu ditetapkan dalam izin bangunan.
Membaca beberapa pasal rancangan itu, sudah jelas bin jelas betapa rakyat kecil akan
menghadapi kesulitan besar andai kata mereka punya sedikit uang untuk bangun rumah. Coba
saja pikir jika ada orang kampung mau bikin rumah. dia mesti pakai perencanaan yang
disusun oleh arsitek yang punya izin bekerja yang dikeluarkan oleh gubernur. Sesudah itu,
dia mesti tunjuk pemborong yang juga punya izin bekerja yang dikeluarkan oleh gubernur.
Jika dalam tempo enam bulan terhitung hari keluarnya izin dia belum juga melaksanakan
pembangunan rumah, izinnya batal. Atau, rumah belum selesai menurut jadwal yang
dicantumkan dalam izin bangunan, izinnya pun batal.
Nah! Sejak kapan orang kampung rakyat kecil mau bikin rumah mesti pakai arsitek
resmi? Sejak kapan orang kampung rakyat kecil mau membangun rumah mesti pakai
pemborong resmi? Sejak kapan orang kampung rakyat kecil mampu membangun rumahnya
menurut jadwal waktu yang ditentukan? Bukankah mereka bikin rumah secara berdikit-dikit,
beli kayu dulu, dan kalau ada rezeki lagi beli pasir dulu, kalau ada rezeki lagi beli balok dulu,
kalau ada rezeki lagi beli kusen dulu, kalau ada rezeki lagi beli genteng dulu, dan kalau rezeki
seret ubinnya boleh dipasang tahun depan? Untuk sementara berlantai tanah tak jadi apa.
Kalau gasir bisa hidup di tanah, mengapa manusia tidak?
Pasti Saudara Ir. Bianpoen, Kepala Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan
Lingkungan DKI Jaya, bisa mengerti, peraturan macam begini mustahil dibebankan kepada
rakyat kecil. Jika beban rakyat yang sudah berat ini ditambah l dengan peraturan peraturan
yang tidak masuk akal, rakyat kecil itu akan jadi gepeng dan rata dengan tanah!

3
Saya minta agar DPRD DKI Jaya jangan sekali-kali meloloskan rancangan-rancangan
peraturan seperti ini, jika mereka memang mau membela rakyat kecil. Pasal-pasal macam ini
mesti ditolak sekeraskerasnya!
Pelita, 13 Februari 1980
Ksatria
Sejak muda saya tidak pernah a permain bola. Ini membuat perasaan rendah diri,
seakan-akan kaki saya cuma sebelah. Seringkali saya duduk termenung di tepi lapangan,
terheran-heran mengenang nasib. Kadangkala ada juga teman berbaik hati mengajak
partisipasi. Tentu saja bukan ikut main, melainkan dipersilakan jaga sepeda.
Orang sekarang tentu menyebut ajakan itu bukan partisipasi, melainkan mobilisasi,
tapi saya tidak ambil pusing. Sudah jadi adat dunia barangkali, sebagian kebanyakan dan
sebagian lagi kesedikitan. Melawan ini berarti melawan status quo, mengusik ketenteraman,
Kekurangan saya itu terbawa terus hingga hari ini, termasuk ke dunia tulis-menulis.
Selaku penulis, saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di
depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul. Sebetulnya, saya ini
ingin meningkat jadi penulis spesialis, seperti seorang kenalan yang khusus menulis bidang
pajak. Begitu seringnya ia menulis ihwal pajak, bukan saja para pembacanya muak dan
gelisah, tapi juga kenalan saya itu menjadi senewen.
Saking generalisnya saya ini, sampai-sampai perihal sepakbola yang begitu populer
saja tak pernah saya sentuh. Kalau toh pernah juga menyentuhnya, cuma pinggir-pinggirnya
saja. Misalnya, waktu Ketua Umum PSSI Bardosono menganjurkan adanya "sepakhola
Pancasila. Ada barangkali setengah hari saya menebak-nebak, apa gerangan yang dimaksud
oleh Bardosono itu. Akhirnya, saya sampai pada kesimpulan, pemimpin PSSI itu cuma
berseloroh. Sebab, bagaimana pula caranya menerapkan Pancasila dalam pertandingan
sepakbola? Saya yakin betul, Bung Karno selaku penggali Pancasila bakal tercengang
mendengar pendapat itu.
***
Siapa sangka, kekurangan saya itu sekarang malahan memberi hikmah besar. Coba
saja pikir, andai kata saya pandai main sepakbola, besar kemungkinan saya juga senang
menonton sepakbola. Andaikata saya senang menonton pertandingan sepakbola, besar i
kemungkinan saya sudah terbang ke Belgia dan berada di Stadion Brussels menyaksikan
pertandingan antara Juventus lawan Liverpool Dan, apa yang terjadi sudah dapat dipastikan.
Saya akan menyaksikan, bagaimana orang-orang Inggris dengan sebilah pisau menikam
orang Italia, atau menggebukinya dengan sepotong besi hingga hancur lebur, kemudian
4
menginjak-injak mayat itu seperti halnya orang menginjak kertas koran. Puluhan orang mati
tanpa sempat memahami apa sebenarnya yang terjadi. Apakah Inggris itu orang gila? Bukan.
Inggris itu gentleman, kesatria, yang mengalu punya tingkat budaya beberapa langkah lebih
tinggi dibandingkan rata-rata bangsa lain. Ketinggian budayanya sudah diperlihatkan sejelas-
jelasnya di dalam stadion sepakbola.
Memang betul bahwa sepakbola itu berasal dari daratan Cina dua ribu tahun sebelum
Masehi, menekankan kesanggupan menggiring bola kulit supaya tidak melantur ke mana-
mana. Memang betul permainan itu diambil alih orang-orang Yunani dan Romawi agar
senang dan sehat badan, tapi justru orang Inggrislah yang mengolahnya jadi. Permainan
seperti yang dikenal sekarang ini, walau mula pertama sekali yang digunakan bukanlah bola
kulit, melainkan kepala bajingan berkebangsaan Denmark, yang menggelinding disepak klan
kemari. Berhubung mustahil tiap saat bisa mendapatkan kepala orang, lagi pula tidak begitu
mudah mumbul bila disepak, maka orang pun menggunakan bola kulit.
Orang Inggris yang kesatria itu bersukaria pada setiap ada lapangan, hilir mudik ke
sana ke mari memperagakan kebolehannya masing-masing. Memang betul, saat
pemerintahan Baginda Raja Edward III permainan itu sempat dilarang, karena penduduk jadi
malas-malasan berlatih panah, namun larangan itu sia-sia saja karena sudah telanjur populer.
Pada mulanya jumlah pemain antara 15-20 orang pada tahun 1850, tapi karena dirasa
lapangan jadi penuh sesak reperti di dalam toko, terhitung tahun 1870 jumlah peserta
ditetapkan sebanyak sebelas orang saja. Hingga tahun 1857, untuk pertama kalinya di Kota
Sheffield, Inggris, terbentuk sebuah perkumpulan sepakbola, dan pada 26 Oktober 1863
terbentuk pula sebuah asosiasi persepakbolaan, yang menjadi dasar organisasi seperti yang
kita lihat kini.
Sungguh hebat kesatria Inggris ini. Dia yang pertama kali memperkenalkan sepak
bola modern di dunia, dan dia-kesatria itu-pula yang mengaduk-aduk stadion sehingga orang
mati kena tikam dan kena gebuk tanpa sebab-sebab yang jelas. Boleh jadi perbuatan ini
bukan barbar, tapi rasanya kok mirip-mirip begitu itu.
Sungguh tidak adil menyebut-nyebut, kesatria Inggris itu seorang barbar, sebab tak
lain bangsa Inggris itu yang menciptakan dalil "tugas suci kulit putih" untuk membudayakan
orang-orang Afrika dan Asia, yang dianggapnya barbar, supaya lebih “berbudaya”, walau
dalam praktiknya tak lain penjajahan dan perbudakanlah yang dilakukan.
Sungguh, tidak adil merendahkan budaya Inggris, mengingat mereka itu pula yang
melahirkan seorang Shakespeare sehingga seseorang boleh merasa dungu bila ia tak pernah
sekali pun mendengar nama itu seumur hidupnya. Mereka itu pula yang melahirkan seorang
5
satiris besar Bernard Shaw sehingga waktu kesatria Inggris itu berkunjung ke Shanghai walau
cuma sehari bulan Februari 1933, penulis nasionalis revolusioner Lu Shun berkomentar.
"Kedatangan Bernard Shaw ke Shanghai lebih sensasional dibanding dengan kedatangan
Rabindranath Tagore, apalagi bila dibandingkan dengan kedatangan Boris Pilniak atau Paul
Morand. Dan, sudah pasti kesatria Inggris ini bukanlah macam orang yang bisa diperalat oleh
Imperialisme
Sambutan singkat Bernard Shaw di depan para pengarang dan intelektual Cina betul-
betul menunjukkan, dia itu memang seorang satiris jempolan. "Kedatanganku di Shanghai
dan pertemuan sekarang ini tak ubahnya seperti kunjungan ke kebun hinatang. Kini antar
binatang sudah bisa tatap muka dan berkenalan satu sama lain"
Ucapan Shaw itu disambut dengan tepuk tangan gegap gempita dan menjadi catatan
para hadirin. Bukankah tidak adil, memasukkan orang macam Str Bernard Shaw ke dalam
keluarga besar para perusuh dan pembunuh kampungan yang menonton sepakbola di Belgia?
Lebih tidak adil lagi memukulratakan bangsa Inggris, karena bukankah negeri itu
bagaikan sebuah republik dengan seorang ratu di pucuknya, yang kaum konservatifnya pada
suatu saat hisa mendadak jadi progresif, sehingga membikin dunia tercengang; yang
golongan buruhnya entah mengapa tiba-tiba bisa pula menjadi begitu reaksioner; yang
kelompok liberalnya tidak angin tidak hujan sanggup pula menjadi amat dogmatik, merasa
cuma mereka saja yang paling besar di muka bumi ini; yang polisinya hampir-hampir bukan
seperti polisi karena mondar-mandir kemana-mana hanya dengan sebatang tongkat sehingga
seekor anjing pun tidak segan-segan menggigit celananya. Bagaimana bisa bangsa macam
begini ini menjadi berandalan di stadion sepakbola? Alangkah sedih hati seorang perdana
menteri macam Nyonya Thatcher, yang membawahkan segerombolan jagal yang jauh lebih
nista dibanding teroris macam apa pun.
Tidak! Dengan segenap kerendahhatian kita masih siap memanggil orang Inggris itu
ksatria, hanya karena mereka itu amat kasih kepada binatang. Bukankah hanya orang yang
berkebudayaan sangat tinggi, yang masih sempat meluangkan waktunya untuk menaruh
perhatian kepada binatang yang ada di sekelilingnya? Boleh jadi di luar negerinya, orang
Inggris bisa gelap mata dan mencabuti nyawa seperti halnya mencabuti daun bayam, tapi
terhadap binatang di negerinya sendiri tidaklah demikian.
GJ Reiner sama sekali bukan orang berkebangsaan Inggris. Di tahun 1930-an, ia
terlongo-longo menyaksikan perilaku seorang Inggris terhadap macam-macam binatang.
Kolonial dalam politik, namun ramah-tamah terhadap kucing, anjing, begitu pula terhadap
burung-burung. Bangsa-bangsa Asia dan Afrika boleh nelangsa di bawah telapak
6
kolonialisme Inggris, tapi hewan-hewan di sana mendapat pelayanan yang lebih daripada
setimpal. Mengapa bisa terbolak-balik begitu, tak seorang pun bisa menjelaskan.
Di saat para binatang di Italia ataupun Spanyol melata, tidak ada harga barang sepeser
pun, rekan-rekan sebangsanya di Inggris hidup di tengah-tengah keluarga manusia seperti
saudara sepupu sendiri. Tuan dan Nyonya makan biskuit, anjingnya pun makan biskuit yang
dibeli dari toko serupa. Nenek dan Kakek menghirup daging cincang, begitu pula para
piaraannya di kaki meja dan kursi. Hewan di mana-mana bisa mati, tapi cuma hewan di
Inggris yang dikubur dalam satu makam yang sederajat dengan juragannya.
Ada The Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals, yang melindungi
binatang dari sepakan dan terjangan. Ada organisasi Our Dumb Friends League yang
merawat binatang seperti keponakan sendiri. Ada juga Concils of Justice to Animals, kira-
kira semacam LBH bagi bangsa binatang. Sungguh tak masuk akal, bagaimana mungkin
orang Inggris yang katanya begitu gentleman, begitu ksatria, yang begitu tinggi peradabannya
melebihi bangsa lain mana pun, suatu saat bisa menjadi buas jauh melampaui piaraannya
sendiri? Karena kelewat muskil, baiklah kita serahkan persoalannya kepada .... .

Kompas, 14 Juni 1985

Anda mungkin juga menyukai