Anda di halaman 1dari 5

Kebijakan Itu Harus Efektif Diimplementasikan

Untuk apakah sebuah peraturan dibuat? Agar bisa diimplementasikan, karena peraturan itu dibuat
untuk kepentingan bersama. Apa jadinya kalau peraturan dibuat, tetapi tidak efektif
dilaksanakan? Pasti ada sesuatu yang tidak tepat dalam merumuskan peraturan itu.

Mulai hari Senin (29/12) masyarakat Ibu Kota menjalani tata aturan yang baru lagi. Mulai
kemarin peraturan three in one tidak lagi hanya berlaku pagi hari, tetapi juga sore hari. Setiap
mobil yang melintasi jalan-jalan utama Jakarta minimal harus ditumpangi tiga orang. Pada pagi
hari, aturan itu berlaku pukul 07.00 hingga 10.00, sementara petang hari mulai pukul 16.00
hingga 19.00.

Ketika rencana itu mulai dilontarkan, sudah muncul keberatan dari masyarakat. Bukan hanya
peraturan itu dinilai memberatkan, tetapi sejak konsep three in one diterapkan pada pagi hari
saja, efektivitas sangatlah rendah. Yang muncul adalah joki-joki yang berdiri menawarkan jasa di
sepanjang jalan utama itu.

Namun, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tetap pada sikapnya. Peraturan tetap akan diberlakukan
dengan sebulan masa sosialisasi.

Tentunya terlalu dini untuk mengevaluasi efektivitas peraturan itu. Namun, dari evaluasi awal,
para pengemudi tidak mempedulikan aturan baru itu. Petugas DLLAJR pun tidak mengambil
tindakan apapun terhadap para joki.

Mengapa peraturan itu tidak efektif? Pertama, karena soal disiplin. Masyarakat kita, termasuk
juga masyarakat Jakarta, sangat rendah tingkat disiplinnya. Mereka selalu mencari cara untuk
mengakali peraturan, apalagi masyarakat tidak mendukung peraturan pembatasan itu.

Ancaman hukuman bukanlah sesuatu yang ditakuti karena masyarakat paham bahwa hal yang
satu itu merupakan kelemahan lain dari bangsa kita. Masyarakat pun tahu bagaimana caranya
terhindar dari ancaman hukuman, yang dikenal sangat tidak tegas itu.

Alasan kedua adalah tidak adanya alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan jasa
transportasi yang bisa menjamin mobilitas mereka. Kita tahu, Pemerintah Provinsi DKI sedang
mempersiapkan sistem bus dengan jalur khusus atau busway. Namun, selain sistem transportasi
alternatif itu belum berjalan, konsepnya tidak utuh untuk bisa menjamin kebutuhan tranportasi
masyarakat.

Sekarang ini justru berkembang pertanyaan baru, apakah kebijakan Primprov DKI itu tidak
justru akan berlawanan dengan kebijakan Gubernur Sutiyoso yang sangat kuat keinginannya
untuk membuat Jakarta tertib. Ia mencoba membatasi orang untuk bisa masuk Jakarta dan
menggusur masyarakat maupun pedagang kaki lima yang menempati lahan yang bukan hak
mereka.

Namun, bagaimana orang tidak tertarik untuk masuk Jakarta kalau semua kesempatan itu mudah
didapat di Ibu Kota. Meski pertarungan hidupnya keras, lebih mudah mendapatkan uang di
Jakarta dibandingkan dengan di daerah. Di Jakarta menjadi penjaga toilet di hotel ataupun di
mall saja bisa dapat beberapa puluh ribu rupiah sehari. Jadi, tukang parkir liar, asal bisa teriak-
teriak, dengan mudah dapat seribu atau dua ribu rupiah. Bahkan menjaga tempat perputaran jalan
pun, di Jakarta bisa dapat uang

Peluang itu ditambah lagi dengan menjadi joki. Bagi kalangan pengusaha yang harus keluar-
masuk jalan utama Jakarta, apa susahnya untuk menambah satu pegawai yang bisa menemani dia
bekerja. Dengan satu sopir dan satu ajudan, maka ia bisa bebas keluar-masuk jalan utama.

Inilah yang sebenarnya kita ingin ingatkan. Peraturan itu seharusnya dibuat dengan
mempertimbangkan segala segi secara matang. Peraturan itu juga harus mendapat dukungan dari
masyarakat agar bisa berjalan efektif.

Untuk apa peraturan dibuat kalau kemudian hanya untuk dilanggar. Begitu banyak peraturan
yang kita buat, pada akhirnya tidak bisa diterapkan karena tidak dirasakan sebagai kebutuhan
bersama oleh seluruh rakyat.

Ketika peraturan itu tidak bisa efektif dilaksanakan, yang akhirnya menjadi korban adalah si
pembuat peraturan itu sendiri. Setidaknya wibawanya menjadi turun karena peraturan yang
dibuat ternyata tidak bergigi.

Peraturan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibuat. Selain soal three in one, yang juga
menjadi pembicaraan ramai masyarakat adalah soal bunga bank.

Kita ketahui bahwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia sekitar dua pekan lalu kembali
membahas soal apakah bunga bank itu tergolong riba atau tidak. Putusan Komisi Fatwa MUI
sendiri kemudian menggolongkan bunga bank itu sebagai riba. Tetapi segera ditambahkan bahwa
haramnya bunga bank itu hanya berlaku di kotakota yang sudah memiliki Bank Syariah.

Keputusan Komisi Fatwa MUI itu seharusnya dibawa dulu ke Sidang Lengkap MUI, yang
melibatkan seluruh ulama, sebelum menjadi fatwa yang menjadi pegangan seluruh umat. Namun,
keputusan itu sudah dikeluarkan terlebih dahulu ke masyarakat, apalagi media pun terjebak
seakan-akan itu sudah menjadi fatwa MUI.

Namun, di sini kita menangkap adanya kearifan pada jajaran pimpinan MUI. Keputusan Komisi
Fatwa itu tidak dianulir, tetapi pembahasannya dalam sidang lengkap MUI ditunda sampai
diperoleh waktu yang memadai untuk bisa membahas masukan Komisi Fatwa itu secara
menyeluruh.

Pimpinan MUI sangat menyadari bahwa persoalan ini bukanlah masalah mudah sebab bukan
hanya berkaitan dengan urusan ekonomi, tetapi juga kehidupan masyarakat banyak. Dengan
tradisi yang sudah panjang, tidak sedikit umat muslim yang bekerja di bidang itu. Kalaupun
sekarang harus diubah menjadi Bank Syariah, apakah sistemnya bisa cepat berubah dan
menunjang perkembangan Bank Syariah itu sendiri.

Begitu banyak aspek yang harus dilihat sehingga pada tempatnya bila MUI menunda keputusan
itu. Sebab, pada akhirnya, sebuah peraturan itu bukan hanya harus bagus di atas kertas, tetapi
sungguh bermanfaat bagi kehi-dupan masyarakat yang menjalankannya.
PENGGUSURAN LAHAN SALAH SIAPA?

(1)Banjir yang selalu melanda Ibu Kota Jakarta sudah tidak bisa ditoleransi dan dimaklumi.
Harus ada solusi yang cepat dan tepat untuk mengatasinya sebelum Jakarta benar-benar
tenggelam. Salah satu solusi yang diusung Pemkot DKI Jakarta adalah program normalisasi
sungai. Program tersebut berupa pengosongan lahan di sekitar sungai-sungai yang ada di Jakarta.
Pengosongan lahan pun akan berimbas pada seluruh warga yang tinggal di permukiman sekitar
sungai. Dengan demikian, akan banyak relokasi yang dilakukan Pemkot DKI. Namun, relokasi
ke rusunawa ternyata bukanlah kabar gembira bagi warga sekitar bantaran sungai sebab itu
artinya mereka harus menata kembali hidup mereka dari awal sehingga tidak sedikit warga yang
melakukan aksi menolak penggusuran.
(2)Masih segar dalam ingatan kita semua tragedi Kampung Pulo pada 20 Agustus 2015
kemarin. Tiga hari setelah rakyat Indonesia merayakan kemerdekaan yang ke-70 ternyata
menjadi momen mengerikan bagi warga Kampung Pulo. Mereka harus bersitegang dengan
petugas yang hendak menggusur permukiman mereka. Bahkan, bentrokan fisik yang memakan
korban luka pun tak terelakan dalam kejadian nahas itu. Hal ini sebenarnya membuat saya
dilema sekaligus kesal karena dalang dari semua keributan ini bukanlah pemerintah bukan juga
rakyat di sekitar bantaran Sungai Ciliwung. Lalu siapakah yang sebenarnya salah?
(3)Jika kita telusuri, akar permasalahan ini adalah pihak yang mengizinkan orang-orang
untuk membuat perkemahan di bantaran sungai. Menurut masyarakat sekitar, mereka telah
membayar uang sewa kepada sejumlah oknum. Entah kita harus menyebut mereka apa? Entah
preman, entah yang lainnya. Yang pasti mereka itulah yang mengaku bahwa daerah tersebut,
yang berplang milik pemerintah, merupakan wilayah kekuasaannya sehingga mereka yang ingin
membuat bangunan harus meminta izin dan menyerahkan sejumlah uang untuk dapat memiliki
lahan di tempat tersebut.
(4)Sayangnya, oknum tersebut tidak pernah muncul setiap pemerintah melakukan
penggusuran. Mereka (oknum) tidak pernah bertanggung jawab, dan mereka pun tidak pernah
ditindak tegas oleh pemerintah bahkan aparat keamanan. Keberadaannya hanya muncul ketika
hendak menerima keuntungan, sedangkan selanjutnya mereka tak mau menanggung kerugian
yang diterima warga bantaran sungai.
(5)Dengan demikian, jelaslah siapa otak yang seharusnya digusur dan dibasmi. Para oknum
tak bertanggung jawab yang mengaku sebagai penguasa, sebab rakyat bantaran sungai tentu
tidak akan mendirikan bangunan jika tidak ada yang memberi izin sebab mereka pasti mengerti
maksud plang yang dipasang di sepanjang bantaran sungai. Pemerintah pun tidak akan
melakukan penggusuran jika tidak ada bangunan yang didirikan di pinggir sungai yang
menyebabkan penyempitan area sungai sehingga banjir selalu menimpa Jakarta yang notabene
ibu kota negara. Jika normalisasi sungai tidak dilakukan, seluruh penduduk Jakartalah yang rugi.
Oleh karena itu, marilah kita sama-sama pahami maksud pemerintah yang hendak merelokasi
semua penghuni bantaran ke rusunawa yang pemerintah siapkan. Tujuannya tiada lain agar tidak
ada pihak yang kembali dirugikan.
(6)Banjir yang selalu melanda Ibu Kota Jakarta sudah tidak bisa ditoleransi dan dimaklumi.
Begitu pun pihak-pihak yang mendatangkan orang-orang yang menyebabkan kebanjiran tersebut
harus ditindak tegas oleh seluruh aparat.
Peraturan yang Merugikan Siswa
Sekolah adalah tempat untuk kegiatan belajar dan mengajar antara guru dengan siswa
baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Disekolah selalu ada peraturan yang harus
ditaati. Namun, dalam merealisasikan peraturan itu sering kali siswa merasa dirugikan.
Beberapa hari yang lalu di SMA N 1 Wonosari terdapat banyak peraturan yang
bermunculan. Namun peraturan tersebut hanya disampaikan secara lisan dan kurang begitu jelas.
Bahkan ada peraturan yang tidak disampaikan kepada siswa sehingga hal tersebut sangat
merugikan siswa.
Salah satu contohnya adalah peraturan tentang parkir sepeda motor bagi siswa yang akan
melakukan olahraga di luar lingkungan sekolah. Seperti yang sudah disampaikan oleh Bapak
Taufiq, selaku Kepala Sekolah di SMA N 1 Wonosari saat upacara bendera hari senin tanggal 22
Februari 2016 yang lalu bahwa siswa yang akan melakukan olahraga di luar lingkungan sekolah
diperbolehkan parkir sepeda motor disamping ruang kepala sekolah. Namun beberapa helm
siswa yang parkir disamping ruang kepala sekolah disita dengan alasan sampai siang hari motor
tidak dipindahkan sehingga sekolah mengira bahwa siswa tersebut hanya berbohong dan tidak
ada jam pelajaran olahraga. Padahal siswa tersebut ada jam pelajaran olahraga, hanya saja
setelah olahraga motornya diparkirkan di tempat itu lagi. Hal itu sangat merugikan bagi siswa,
terutama bagi siswa yang rumahnya jauh karena helm adalah safety device dalam berkendara.
Kemudian hukuman yang diberikan untuk siswa yang terlambat beberapa hari yang lalu
adalah disita kartu identitasnya, seperti kartu pelajar, Surat Izin Mengemudi(SIM), bahkan ada
yang disita STNK nya. Hanya karena terlambat masuk sekolah siswa terancam disita SIM nya
oleh sekolah. Hari selanjutnya ada hukuman baru bagi siswa yang terlambat yaitu bersih-bersih
lingkungan sekolah dengan memunguti sampah. Namun, dengan memberikan hukuman bagi
siswa yang terlambat untuk bersih-bersih dahulu akan membuat siswa yang terlambat menjadi
semakin terlambat masuk kelas dan tertinggal kegiatan belajar dan mengajar. Hal ini sangat
merugikan siswa. Misal saja siswa yang terlambat hanya 3 menit dan harus bersih bersih dahulu,
siswa tersebut bisa terlambat masuk kelas sampai 10 menit. Padahal sebelum diberlakukan
peraturan tersebut, bagi siswa yang terlambat hanya diminta untuk mengambil surat izin di ruang
piket, dicatat oleh guru piket, kemudian diperbolehkan masuk ke kelas.
Peraturan disekolah memang harus ditaati, namun harus ada kejelasan dalam peraturan
itu agar tidak terjadi salah paham antara pihak-pihak yang bersangkutan. Seharusnya siswa
diberitahu terlebih dahulu apabila ada peraturan baru dan juga peraturannya dalam bentuk tertulis
agar jelas dan terbukti keabsahannya. Sehingga siswa tidak merasa dirugikan dan terjalin
hubungan baik antara siswa dengan sekolah.

Anda mungkin juga menyukai