Alamat korespondensi :
dr. Hasma Idris Nohong
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar, 90245
HP : 081342602899
E-mail :hasmanohong@yahoo.com
2
Abstrak
Sensasi penghidu memegang peranan penting dalam memproteksi seseorang dari bahaya lingkungan seperti
kebakaran, kebocoran gas, polusi udara dan makanan yang tercemar. Tujuan penelitian, mengetahui perbandingan
fungsi penghidu pada penderita rhinosinusitis kronis pre dan post operasi BSEF menurut hasil CT Scan
menggunakan sniffin’ sticks test. Sniffin’ sticks test adalah tes untuk menilai kemosensoris dari penghidu dengan alat
berupa pena. Metode penelitian ini menggunakan studi kohor prospektif dengan 40 penderita rinosinusitis kronis.
Pemeriksaan dilakukan 2 kali, pemeriksaan fungsi penghidu menggunakan sniffin’ sticks test pre operasi dan 2
minggu post operasi BSEF. Data dianalisa dengan Kolmogorov-Smirnov Z, Mann-Whitney test, Kruskal-Wallis test,
Wilcoxon test. Hasil penelitian ini menunjukkan perubahan fungsi penghidu nilai ADI(Ambang, Diskriminasi,
Identifikasi) pada penderita rinosinusitis kronis terjadi peningkatan post operasi BSEF. Disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan signifikan fungsi penghidu pada pasien rinosinusitis kronis, nilai ADI pre dan post operasi BSEF
(p<0,05).
Abstract
Olfactory sensation is very important in protecting someone from environmental danger such as fire, gas leakage,
air pollution and contaminatied food. The objective of this study is to know the comparison olfactory function of
chronic rhinosinusitis patient in pre and post FESS according to CT Scan by using sniffin’ sticks test. Sniffin’ sticks
test is the test to evaluate olfactory chemosensoris like a pen stick. Method is prospective cohort study with 40
chronic rhinosinusitis patients.Examination performed 2 times, using sniffin’ sticks test preoperatively and another
2 weeks for post FESS. The data was analyzed using Kolmogorov-Smirnov Z, Mann-Whitney test, Kruskal-Wallis
test, Wilcoxon test.The result showed olfactory function based on TDI(Threshold, Discrimination, Identification)
value in chronic rhinosinusitis patient after FESS. Conclusion is significant difference olfactory function in
rhinosinusitis kronis, TDI value in pre and post FESS (P<0,05)
PENDAHULUAN
Sensasi penghidu memegang peranan penting dalam memproteksi seseorang dari bahaya
lingkungan seperti kebakaran, kebocoran gas, polusi udara dan makanan yang tercemar. Defek
pada sensasi penghidu dihubungkan dengan perubahan dalam persepsi selera makan, anoreksia
dan penurunan berat badan. Gangguan penghidu dapat timbul dari berbagai sebab dan sangat
mempengaruhi kualitas hidup penderita, disamping itu merupakan tanda dari penyakit yang
mendasarinya. Secara psikologi sangat mempengaruhi sosialisasi dan hubungan interpersonal
penderita. Pada masyarakat gangguan penghidu sering diabaikan karena kurangnya pengetahuan
dan pemahaman tentang masalah ini. Untuk itu penderita dengan gangguan penghidu
memerlukan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat (Sobol S., et al 2002).
Tahun 2004 dilaporkan lebih dari 200.000 penderita pertahun di USA menderita
gangguan penghidu. Sementara di Jerman didapatkan total 79.000 penderita pertahun di rawat
di berbagai rumah sakit. Mayoritas gangguan disebabkan oleh penyakit pada sinus. Dari 46
penderita dengan gangguan penghidu di rumah sakit tiap bulan di dapatkan penyebabnya oleh
inflamasi pada hidung/sinus paranasalis (53%), disfungsi pernapasan (19%) atau kondisi setelah
terinfeksi virus (11%). (Hummel, (2004). Di Indonesia Siahaan dkk tahun 1995 melaporkan 32,3%
penderita yang berobat di RSCM dengan gangguan penghidu sebagai keluhan utama. Etiologi
tersering adalah inflamasi hidung dan sinus paranasalis. Gangguan penghidu dapat muncul pada
sekitar 21% sampai 25% penderita Rinosinusitis kronis (Chang H., et al ,2009).
Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasalis
(Panduan diseksi cadaver, 2009). Menurut perjalanan penyakit sesuai konsensus tahun 2004,
rinosinusitis dibagi dalam bentuk akut sampai 4 minggu, subakut antara 4 sampai 12 minggu,
dan kronis jika lebih 12 minggu. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis dan bila
semua sinus disebut pansinusitis (Mangunkusumo E., et al, 2007).
Gangguan penghidu pada penyakit sinonasal seperti rinosinusitis kronis disebabkan
inflamasi dari saluran nafas yang menyebabkan berkurangnya aliran udara dan odoran yang
sampai ke mukosa olfaktorius. Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronis dapat berupa
gangguan konduktif atau saraf. Perubahan pada aliran udara di celah olfaktorius yang disebabkan
rinosinusitis kronis yaitu edem atau adanya polip yang menyebabkan gangguan konduksi (Raviv
JR, et al, 2006).
4
11,13, Identifikasi 12,78, serta nilaai ADI 30,75.(Ardianti NE., 2012). Rakhma didapatkan nilai
ambang 7,2; diskriminasi 12,1; identifikasi 12,4; serta nilai ADI 31,8 pada penderita rinitis
alergi.( Rakhma., 2014). Melihat begitu banyaknya jumlah penderita rinosinusitis yang dilakukan
tindakan bedah sinus endoskopi funsional serta belum adanya data fungsi penghidu pre dan post
operasi BSEF membuat peneliti tertarik meneliti fungsi penghidu pada penderita rinosinusitis
kronis pre dan post operasi dengan melakukan pemeriksaan secara kuantitatif dengan sniffin’
sticks test untuk melengkapi data kami.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan
fungsi penghidu pada penderita rinosinusitis kronis pre dan post operasi BSEF menurut hasil CT
Scan menggunakan sniffin’sticks test.
HASIL
Karakteristik Sampel
Penelitian ini melibatkan 40 subyek Rinosinusitis kronis dengan perolehan jumlah subyek
perempuan lebih banyak, dan usia 16-55 tahun. Keluhan obstruksi nasi merupakan keluhan
terbanyak yang dirasakan oleh subyek, diikuti secara berurutan cefalgi, rinore dan post nasal drip.
Mayoritas subyek memiliki tingkat pendidikan SMA dan S1 . Pada penelitian ini telah ditetapkan
39 subyek dengan hiposmia, 1 subyek normosmia. Pemeriksaan fungsi penghidu dengan Sniffin’
sticks terdiri atas pemeriksaan ambang, diskriminasi, dan identifikasi penghidu, sehingga
diperoleh nilai ADI yaitu hasil penjumlahan dari ketiga pemeriksaan, Pada penelitian ini
didapatkan hampir seluruh penderita rinosinusitis kronis mengalami hiposmia dengan nilai ADI
pre operasi rerata 25,52 dan ADI post operasi rerata 43,41(normosmia). Tidak ada perbedaan
signifikan nilai ADI menurut ,umur, Jenis Kelamin, pendidikan, dan keluhan utama (masing-
masing dengan nilai p>0,05). Terdapat perbedaan signifikan nilai ADI pre dan post operasi
BSEF pada penderita dengan hasil CT Scan multisinusitis dan multisinusitis disetai deviasi
septum masing-masing nilai P<0,005.Terdapat perbedaan signifikan dari Nilai Ambang,
Diskriminasi, Identifikasi dan ADI pre dan post operasi BSEF (p<0,005).
Tabel 1. Memperlihatkan karakteristik penderita rinosinusitis kronik di RSUP Wahidin
Sudirohusodo Makassar, tabel 2. Memperlihatkan perbandingan fungsi penghidu penderita
rinosinusitis kronis pre dan post operasi BSEF menurut hasil CT Scan (multisinusitis) di RSUP
Wahidin Sudirohusodo Makassar, seluruh subyek mengalami perbaikan fungsi penghidu setelah
operasi dilihat dari peningkatan mean nilai Ambang, Diskriminasi, Identifikasi dan nilai ADI ,
tabel 3. Memperlihatkan perbandingan fungsi penghidu penderita rinosinusitis kronis pre dan
post operasi BSEF menurut hasil CT Scan (pansinusitis) di RSUP Wahidin Sudirohusodo
Makassar, seluruh subyek mengalami perbaikan fungsi penghidu setelah operasi dilihat dari
peningkatan mean nilai Ambang, Diskriminasi, Identifikasi dan nilai ADI, tabel 4.
Memperlihatkan perbadingan fungsi penghidu penderita rinosinusitis kronis pre dan post operasi
BSEF menurut hasil CT Scan (multisinusitis + deviasi septum) di RSUP Wahidin Sudirohusodo
Makassar, seluruh subyek mengalami perbaikan fungsi penghidu setelah operasi dilihat dari
peningkatan mean nilai Ambang, Diskriminasi, Identifikasi dan nilai ADI, tabel 5.
Memperlihatkan perbandingan fungsi penghidu penderita rinosinusitis kronik pre dan post
7
operasi BSEF di RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar, terdapat perbedaan signifikan nilai
Ambang, Diskriminasi, Identifikasi dan nilai ADI pre dan post operasi nilai P<0,005.
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini didapatkan hampir seluruh penderita rinosinusitis kronis mengalami
hiposmia dengan nilai ADI pre operasi rerata 25,52 dan ADI post operasi rerata
43,41(normosmia). Penderita yang menjalani operasi BSEF adalah penderita yang telah
mendapat terapi optimal. Terdapat perbedaan signifikan nilai ADI pre dan post operasi BSEF
pada penderita dengan hasil CT Scan multisinusitis dan multisinusitis disetai deviasi septum.
Hasil penelitian memperlihatkan perbedaan signifikan dari Nilai Ambang, Diskriminasi,
Identifikasi dan ADI pre dan post operasi (p<0,005).
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Katotomichelakis M., et al, (2012) pada 116
penderita polip nasal stage III (Malm Classification) setelah BSEF semuanya mengalami
perbaikan fungsi penghidu baik dari nilai Ambang, Diskriminasi, Identifikasi dan nilai ADI
(P<0,005). Fernades, dikutip dalam panduan diseksi kadaver., (2009) pada suatu studi prospektif
melaporkan pada 55 penderita yang dilakukan BSEF 95,5% mengalami perbaikan gejala klinik.
Pada penelitian ini nilai ambang yang memperlihatkan peningkatan yang paling
signifikan (nilai ambang pre operasi rerata 2,92±1,27 , post operasi rerata 13,18±2,55). Hal ini
disebabkan karena gangguan penghidu pada penyakit rinosinusitis kronik akibat inflamasi dan
gangguan konduksi aliran udara dari cavum nasi menuju area olfaktori sehingga odoran tidak
sampai ke neuroepitel olfaktorius. Perubahan pada aliran udara di celah olfaktorius yang
disebabkan rinosinusitis kronik yaitu edem mukosa dan kerusakan neuroepitel menyebabkan
gangguan konduksi. Pada penelitian ini keluhan utama yang paling banyak adalah obstruksi nasi
sehingga dengan prosedur BSEF maka obstruksi dapat diperbaiki sehingga fungsi konduktif
menjadi lebih baik dan nilai ambang meningkat secara bermakna.
Inflamasi pada epitel olfaktorius menghasilkan mediator inflamasi yang akan merangsang
hipersekresi dari kelenjar bowman’s. Hal ini akan mengubah konsentrasi ion pada mukus
olfaktorius yang akan mengganggu pada tingkat konduksi atau transduksi. Mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh limfosit, makrofag, dan eosinofil yaitu sitokin yang bersifat toksik terhadap
reseptor neuron olfaktorius. Disini yang terlibat adalah proses di saraf. Proses inflamasi kronis
8
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
terlaksananya penelitian ini; khususnya kepada Prof. dr. Abdul Kadir, Sp.THT-KL(K), Ph.D,
M.Kes Dr. dr. Muhammad Fadjar Perkasa, Sp.THT-KL(K), dan teman-teman sejawat peserta
PPDS THT-KL FK-UNHAS.
DAFTAR PUSTAKA
Al Amini DN., (2011), Nilai normal Pemeriksaan threshold, diskriminasi dan identifikasi
penghidu dengan sniffin’’ sticks di RSUPN Cipto Mangungkusumo. Tesis. Jakarta:
Universitas Indonesia. P.49-55
Ardianti NE., (2012) Gambaran Fungsi Penghidu dengan Sniffin’’ sticks pada pasien Rinitis
Alergi. In: Otorhinolaryngologica Indonesiana. PERHATI-KL. p.104-11
Chang H, Lee Hj, Mo JH, Lee CH, Kim JW., (2009) Clinical Implication of The Olfactory Cleft
in Patient with Chronic Rhinosinusitis and Olfactory Loss. P. 988-92
10
2. Jenis Kelamin
a. Laki-laki 17 4`2,5
b. Perempuan 23 57,5
3. Pendidikan
a. SD 2 5,0
11
b. SLTP 2 5,0
c. SLTA 24 60,0
d. SARJANA/D3 12 30,0
4. Keluhan utama
a. Cefalgia 13 32,5
b. Obstruksi nasi 18 45,0
c. PND 2 5,0
d. Rinore 7 17,5
5. Lamanya penyakit
< 12 bulan 30 75
>12 bulan 10 25
6. Hasil CT Scan
a. Multisinusitis 21 52,5
b. Pansinusitis 3 7,5
c. Multisinusitis + 16 40
deviasi septi
Tabel 2. Perbandingan fungsi penghidu pre dan post operasi menurut hasil CT
Scan(multisinusitis).
Variabel Median
N (Minimun-Maksimun) Rerata ± SD P
Variabel Median
N (Minimun-Maksimun) Rerata ± SD P