Anda di halaman 1dari 12

1

PERBANDINGAN FUNGSI PENGHIDU PENDERITA RINOSINUSITIS


KRONIS PRE DAN POST BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL
(BSEF) MENURUT HASIL CT SCAN MENGGUNAKAN SNIFFIN’ STICKS
TEST
COMPARISON OLFACTORY FUNCTION IN CHRONIC RHINOSINUSITIS
PATIENT BEFORE AND AFTER FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS
SURGERY (FESS) ACCORDING TO CT SCAN RESULT USING SNIFFIN’
STICKS TEST
Hasma Idris Nohong, Abdul Kadir, Muh. Fadjar Perkasa

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher,


FakultasKedokteran,Universitas Hasanuddin, Makassar

Alamat korespondensi :
dr. Hasma Idris Nohong
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar, 90245
HP : 081342602899
E-mail :hasmanohong@yahoo.com
2

Abstrak

Sensasi penghidu memegang peranan penting dalam memproteksi seseorang dari bahaya lingkungan seperti
kebakaran, kebocoran gas, polusi udara dan makanan yang tercemar. Tujuan penelitian, mengetahui perbandingan
fungsi penghidu pada penderita rhinosinusitis kronis pre dan post operasi BSEF menurut hasil CT Scan
menggunakan sniffin’ sticks test. Sniffin’ sticks test adalah tes untuk menilai kemosensoris dari penghidu dengan alat
berupa pena. Metode penelitian ini menggunakan studi kohor prospektif dengan 40 penderita rinosinusitis kronis.
Pemeriksaan dilakukan 2 kali, pemeriksaan fungsi penghidu menggunakan sniffin’ sticks test pre operasi dan 2
minggu post operasi BSEF. Data dianalisa dengan Kolmogorov-Smirnov Z, Mann-Whitney test, Kruskal-Wallis test,
Wilcoxon test. Hasil penelitian ini menunjukkan perubahan fungsi penghidu nilai ADI(Ambang, Diskriminasi,
Identifikasi) pada penderita rinosinusitis kronis terjadi peningkatan post operasi BSEF. Disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan signifikan fungsi penghidu pada pasien rinosinusitis kronis, nilai ADI pre dan post operasi BSEF
(p<0,05).

Kata kunci: Rinosinusitis kronis, sniffin’ sticks test

Abstract

Olfactory sensation is very important in protecting someone from environmental danger such as fire, gas leakage,
air pollution and contaminatied food. The objective of this study is to know the comparison olfactory function of
chronic rhinosinusitis patient in pre and post FESS according to CT Scan by using sniffin’ sticks test. Sniffin’ sticks
test is the test to evaluate olfactory chemosensoris like a pen stick. Method is prospective cohort study with 40
chronic rhinosinusitis patients.Examination performed 2 times, using sniffin’ sticks test preoperatively and another
2 weeks for post FESS. The data was analyzed using Kolmogorov-Smirnov Z, Mann-Whitney test, Kruskal-Wallis
test, Wilcoxon test.The result showed olfactory function based on TDI(Threshold, Discrimination, Identification)
value in chronic rhinosinusitis patient after FESS. Conclusion is significant difference olfactory function in
rhinosinusitis kronis, TDI value in pre and post FESS (P<0,05)

Keyword : Chronic rhinosinusitis, Sniffin’ sticks test.


3

PENDAHULUAN
Sensasi penghidu memegang peranan penting dalam memproteksi seseorang dari bahaya
lingkungan seperti kebakaran, kebocoran gas, polusi udara dan makanan yang tercemar. Defek
pada sensasi penghidu dihubungkan dengan perubahan dalam persepsi selera makan, anoreksia
dan penurunan berat badan. Gangguan penghidu dapat timbul dari berbagai sebab dan sangat
mempengaruhi kualitas hidup penderita, disamping itu merupakan tanda dari penyakit yang
mendasarinya. Secara psikologi sangat mempengaruhi sosialisasi dan hubungan interpersonal
penderita. Pada masyarakat gangguan penghidu sering diabaikan karena kurangnya pengetahuan
dan pemahaman tentang masalah ini. Untuk itu penderita dengan gangguan penghidu
memerlukan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat (Sobol S., et al 2002).
Tahun 2004 dilaporkan lebih dari 200.000 penderita pertahun di USA menderita
gangguan penghidu. Sementara di Jerman didapatkan total 79.000 penderita pertahun di rawat
di berbagai rumah sakit. Mayoritas gangguan disebabkan oleh penyakit pada sinus. Dari 46
penderita dengan gangguan penghidu di rumah sakit tiap bulan di dapatkan penyebabnya oleh
inflamasi pada hidung/sinus paranasalis (53%), disfungsi pernapasan (19%) atau kondisi setelah
terinfeksi virus (11%). (Hummel, (2004). Di Indonesia Siahaan dkk tahun 1995 melaporkan 32,3%
penderita yang berobat di RSCM dengan gangguan penghidu sebagai keluhan utama. Etiologi
tersering adalah inflamasi hidung dan sinus paranasalis. Gangguan penghidu dapat muncul pada
sekitar 21% sampai 25% penderita Rinosinusitis kronis (Chang H., et al ,2009).
Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasalis
(Panduan diseksi cadaver, 2009). Menurut perjalanan penyakit sesuai konsensus tahun 2004,
rinosinusitis dibagi dalam bentuk akut sampai 4 minggu, subakut antara 4 sampai 12 minggu,
dan kronis jika lebih 12 minggu. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis dan bila
semua sinus disebut pansinusitis (Mangunkusumo E., et al, 2007).
Gangguan penghidu pada penyakit sinonasal seperti rinosinusitis kronis disebabkan
inflamasi dari saluran nafas yang menyebabkan berkurangnya aliran udara dan odoran yang
sampai ke mukosa olfaktorius. Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronis dapat berupa
gangguan konduktif atau saraf. Perubahan pada aliran udara di celah olfaktorius yang disebabkan
rinosinusitis kronis yaitu edem atau adanya polip yang menyebabkan gangguan konduksi (Raviv
JR, et al, 2006).
4

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Di


Amerika Serikat menurut National Ambulatory Medical Care Survey pada tahun 2001 sebanyak
12,3 juta kunjungan ke pelayanan kesehatan disebabkan oleh rinosinusitis kronis atau 1,3 % total
kunjungan pertahun. Sedangkan kasus baru pada penderita dewasa yang datang di Divisi
Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 , adalah 435 penderita. Di Makassar
sendiri, dari 3 rumah sakit pendidikan periode 2003-2007 dilaporkan sebanyak 41,5% penderita
rinosinusitis (,Mangunkusumo E., et al, 2007, Rahmi A., et al, 2008).
Salah satu pengobatan rinosinusitis kronis adalah dengan tindakan bedah sinus
endoskopik fungsional (BSEF). Dengan menggunakan beberapa alat endoskop bersudut dan
sumber cahaya yang terang, maka kelainan dalam rongga hidung, sinus dan daerah sekitarnya
dapat tampak jelas dan operasi lebih bersih/teliti, sehingga memberikan hasil yang optimal.
Namun demikian dapat juga menimbulkan komplikasi intranasal seperti sinekia, yang
menyebabkan sumbatan dan disfungsi penghidu bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia
konka media dan septum nasi (Mangunkusumo E., et al, 2007).
Saat ini telah banyak teknik pemeriksaan kemosensoris yang digunakan untuk mengukur
fungsi penghidu. Sniffin’ sticks test adalah termasuk salah satu teknik pemeriksaan kemosensori
hidung yang menggunakan perangkat seperti pulpen. Studi sebelumnya telah mengukur
reliabilitas dan validitas alat ini dalam mengukur sensitifitas penghidu secara kuantitatif, dan
disimpulkan bahwa sniffin’ sticks dapat digunakan untuk pemeriksaan rutin fungsi penghidu
(Hummel., 2004).
Kelebihan tes ”Sniffin’ Stick” dibandingkan pemeriksaan kemosensoris penghidu lainnya
adalah tes ini sederhana, dapat menentukan 3 subtest yaitu ambang penghidu (T), Diskriminasi
penghidu (D), dan Identifikasi penghidu (I). Test ini sudah dipakai pada lebih dari 100 penelitian
yang sudah dipublikasikan. Sudah dipakai di praktek pribadi dokter THT di negara Eropa, dan
dari beberapa penelitian test ini dapat digunakan di negara lain di luar Eropa termasuk di Asia
(Hummel, 2004,) Hummel T, et al, 2007).
Penelitian sebelumnya telah mencari nilai titik potong antara normosmia dan hiposmia
pada subyek tanpa gangguan penghidu dengan menggunakan alat yang sniffin’ sticks pada
persentil ke-10 nilai ADI(Ambang, Diskriminasi, Identifikasi yaitu sebesar 29,53. Bila nilai ADI
kurang dari 15 maka dianggap anosmia, sedangkan hiposmia bernilai antara 15-29,53. (Al Amini
DN, 2011). Pada Penelitian Ardianti NE, (2012) memperoleh nilai Ambang 5,76, Diskriminasi
5

11,13, Identifikasi 12,78, serta nilaai ADI 30,75.(Ardianti NE., 2012). Rakhma didapatkan nilai
ambang 7,2; diskriminasi 12,1; identifikasi 12,4; serta nilai ADI 31,8 pada penderita rinitis
alergi.( Rakhma., 2014). Melihat begitu banyaknya jumlah penderita rinosinusitis yang dilakukan
tindakan bedah sinus endoskopi funsional serta belum adanya data fungsi penghidu pre dan post
operasi BSEF membuat peneliti tertarik meneliti fungsi penghidu pada penderita rinosinusitis
kronis pre dan post operasi dengan melakukan pemeriksaan secara kuantitatif dengan sniffin’
sticks test untuk melengkapi data kami.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan
fungsi penghidu pada penderita rinosinusitis kronis pre dan post operasi BSEF menurut hasil CT
Scan menggunakan sniffin’sticks test.

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan dari bulan September 2013 sampai bulan Februari
2014 di poliklinik THT-KL RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Desain penelitian ini
adalah Kohort prospektif.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah semua penderita rinosinusitis kronis yang berumur 16-55
tahun yang datang berobat di poliklinik THT-KL RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar
selama masa penelitian. Sampel penelitian sebanyak 40 orang yang memenuhi kriteria inklusi
dan bersedia ikut dalam penelitian ini.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah sebelumnya mendapatkan rekomendasi persetujuan
dari komisi etik penelitian biomedis pada manusia Fakultas Kedokteran UNHAS Makassar.
Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis THT, CT scan sinus paranasalis potongan koronal pada
sampel penelitian, kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi penghidu menggunakan Sniffin’
Sticks Test sebanyak 2 kali yaitu pre dan 2 minggu post operasi BSEF .
Metode Analisa Data
Analisis data menggunakan program computer.Hasil analisis disajikan dalam bentuk
tabel dan atau grafik disertai penjelasannya. Uji normalitas data dengan menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov Z menunjukkan data tidak terdistribusi dengan normal karena nilai
p<0,01. Dengan demikian, maka dalam analisis statistik terhadap variabel akan digunakan uji
non-parametrik.
6

HASIL
Karakteristik Sampel
Penelitian ini melibatkan 40 subyek Rinosinusitis kronis dengan perolehan jumlah subyek
perempuan lebih banyak, dan usia 16-55 tahun. Keluhan obstruksi nasi merupakan keluhan
terbanyak yang dirasakan oleh subyek, diikuti secara berurutan cefalgi, rinore dan post nasal drip.
Mayoritas subyek memiliki tingkat pendidikan SMA dan S1 . Pada penelitian ini telah ditetapkan
39 subyek dengan hiposmia, 1 subyek normosmia. Pemeriksaan fungsi penghidu dengan Sniffin’
sticks terdiri atas pemeriksaan ambang, diskriminasi, dan identifikasi penghidu, sehingga
diperoleh nilai ADI yaitu hasil penjumlahan dari ketiga pemeriksaan, Pada penelitian ini
didapatkan hampir seluruh penderita rinosinusitis kronis mengalami hiposmia dengan nilai ADI
pre operasi rerata 25,52 dan ADI post operasi rerata 43,41(normosmia). Tidak ada perbedaan
signifikan nilai ADI menurut ,umur, Jenis Kelamin, pendidikan, dan keluhan utama (masing-
masing dengan nilai p>0,05). Terdapat perbedaan signifikan nilai ADI pre dan post operasi
BSEF pada penderita dengan hasil CT Scan multisinusitis dan multisinusitis disetai deviasi
septum masing-masing nilai P<0,005.Terdapat perbedaan signifikan dari Nilai Ambang,
Diskriminasi, Identifikasi dan ADI pre dan post operasi BSEF (p<0,005).
Tabel 1. Memperlihatkan karakteristik penderita rinosinusitis kronik di RSUP Wahidin
Sudirohusodo Makassar, tabel 2. Memperlihatkan perbandingan fungsi penghidu penderita
rinosinusitis kronis pre dan post operasi BSEF menurut hasil CT Scan (multisinusitis) di RSUP
Wahidin Sudirohusodo Makassar, seluruh subyek mengalami perbaikan fungsi penghidu setelah
operasi dilihat dari peningkatan mean nilai Ambang, Diskriminasi, Identifikasi dan nilai ADI ,
tabel 3. Memperlihatkan perbandingan fungsi penghidu penderita rinosinusitis kronis pre dan
post operasi BSEF menurut hasil CT Scan (pansinusitis) di RSUP Wahidin Sudirohusodo
Makassar, seluruh subyek mengalami perbaikan fungsi penghidu setelah operasi dilihat dari
peningkatan mean nilai Ambang, Diskriminasi, Identifikasi dan nilai ADI, tabel 4.
Memperlihatkan perbadingan fungsi penghidu penderita rinosinusitis kronis pre dan post operasi
BSEF menurut hasil CT Scan (multisinusitis + deviasi septum) di RSUP Wahidin Sudirohusodo
Makassar, seluruh subyek mengalami perbaikan fungsi penghidu setelah operasi dilihat dari
peningkatan mean nilai Ambang, Diskriminasi, Identifikasi dan nilai ADI, tabel 5.
Memperlihatkan perbandingan fungsi penghidu penderita rinosinusitis kronik pre dan post
7

operasi BSEF di RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar, terdapat perbedaan signifikan nilai
Ambang, Diskriminasi, Identifikasi dan nilai ADI pre dan post operasi nilai P<0,005.

PEMBAHASAN
Pada penelitian ini didapatkan hampir seluruh penderita rinosinusitis kronis mengalami
hiposmia dengan nilai ADI pre operasi rerata 25,52 dan ADI post operasi rerata
43,41(normosmia). Penderita yang menjalani operasi BSEF adalah penderita yang telah
mendapat terapi optimal. Terdapat perbedaan signifikan nilai ADI pre dan post operasi BSEF
pada penderita dengan hasil CT Scan multisinusitis dan multisinusitis disetai deviasi septum.
Hasil penelitian memperlihatkan perbedaan signifikan dari Nilai Ambang, Diskriminasi,
Identifikasi dan ADI pre dan post operasi (p<0,005).
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Katotomichelakis M., et al, (2012) pada 116
penderita polip nasal stage III (Malm Classification) setelah BSEF semuanya mengalami
perbaikan fungsi penghidu baik dari nilai Ambang, Diskriminasi, Identifikasi dan nilai ADI
(P<0,005). Fernades, dikutip dalam panduan diseksi kadaver., (2009) pada suatu studi prospektif
melaporkan pada 55 penderita yang dilakukan BSEF 95,5% mengalami perbaikan gejala klinik.
Pada penelitian ini nilai ambang yang memperlihatkan peningkatan yang paling
signifikan (nilai ambang pre operasi rerata 2,92±1,27 , post operasi rerata 13,18±2,55). Hal ini
disebabkan karena gangguan penghidu pada penyakit rinosinusitis kronik akibat inflamasi dan
gangguan konduksi aliran udara dari cavum nasi menuju area olfaktori sehingga odoran tidak
sampai ke neuroepitel olfaktorius. Perubahan pada aliran udara di celah olfaktorius yang
disebabkan rinosinusitis kronik yaitu edem mukosa dan kerusakan neuroepitel menyebabkan
gangguan konduksi. Pada penelitian ini keluhan utama yang paling banyak adalah obstruksi nasi
sehingga dengan prosedur BSEF maka obstruksi dapat diperbaiki sehingga fungsi konduktif
menjadi lebih baik dan nilai ambang meningkat secara bermakna.
Inflamasi pada epitel olfaktorius menghasilkan mediator inflamasi yang akan merangsang
hipersekresi dari kelenjar bowman’s. Hal ini akan mengubah konsentrasi ion pada mukus
olfaktorius yang akan mengganggu pada tingkat konduksi atau transduksi. Mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh limfosit, makrofag, dan eosinofil yaitu sitokin yang bersifat toksik terhadap
reseptor neuron olfaktorius. Disini yang terlibat adalah proses di saraf. Proses inflamasi kronis
8

bisa menyebabkan kerusakan permanen pada reseptor olfaktorius. Hasil penelitian


Chang.,(2009 )pada penderita rinosinusitis kronis didapatkan 21%-25% anosmia.
Tidak ada perbedaan signifikan fungsi Ambang, Identifikasi dan ADI menurut Jenis
Kelamin (masing-masing dengan nilai p>0,05). Penelitian oleh Ardianti NE., (2011 )terdapat 40
subyek dengan perolehan jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Kadi
menyatakan tidak adanya perbedaan bermakna pada usia antara laki-laki dan perempuan (p >
0,05). Namun suatu studi oleh Hummel et al ( 2007) yang mengukur secara kuantitatif penghidu
menggunakan Sniffin’’ sticks sebanyak dua kali, dengan interval sekitar satu tahun, didapatkan
bahwa perbedaan jenis kelamin tidak menyebabkan adanya perbedaan status fungsi penghidu.
Pada penelitian ini baik pre operasi BSEF maupun post Operasi BSEF tidak ada
perbedaan signifikan antara umur dengan nilai Ambang, Diskriminasi, Identifikasi, nilai ADI
(p>0,05). Pada penelitian Rakhma., (2014) terdapat korelasi negatif yang signifikan antara Usia
dengan fungsi Ambang (p<0,001). Semakin tua usia semakin rendah nilai fungsi Ambang. Studi
yang dilakukan Katotomichelakis et al,2012, serta Hummel et al, 2004. menyebutkan bahwa
fungsi penghidu berhubungan dengan usia dimana bertambahnya usia akan menyebabkan fungsi
penghidu menurun, terutama di atas usia 65 tahun. Hal tersebut dapat dijelaskan k.arena faktor
fisiologik, dimana pertambahan usia akan mempengaruhi memori ataupun atensi penderita.
Faktor lain adalah adanya perubahan morfologi mukosa hidung seperti aliran darah serta
metabolisme yang menurun, meningkatnya viskositas mukus, serta penurunan respon terhadap
stimulasi otonom. Penurunan fungsi penghidu merupakan hasil akumulasi dari faktor-faktor
tersebut yang menyebabkan epitelium olfaktori menjadi rentan karena sudah tidak dapat lagi
melakukan regenerasi. Robinson., et al,(2008), serta Conley., et al, (2008), dikutip oleh Litvack.,
(2008) menyatakan bahwa terdapat peningkatan ekspresi gen pro-apoptosis pada mukosa
olfaktori hewan percobaan mencit yang sudah tua serta kematian sel reseptor neuron olfaktori
yang meningkat.
Keterbatasan penelitian ini adalah : Alat Sniffin’ sticks yang digunakan pada penelitian ini
hanya merupakan salah satu dari berbagai teknik pemeriksaan kemosensoris yang ada dan alat
ini memiliki masa penggunaan (shelf time) selama enam bulan setelah tutup pulpen dibuka untuk
pertama kalinya. Dengan demikian penulis harus dapat memperoleh subyek yang sesuai kriteria
penelitian sebelum masa penggunaan alat tersebut berakhir.
9

KESIMPULAN DAN SARAN


Pada penelitian ini dapat kami simpulkan bahwa Karakteristik nilai fungsi penghidu pada
hampir seluruh subyek rinosinusitis kronis di RSUP Wahidin Sudirohusodo berdasarkan
pemeriksaan Sniffin’ sticks didapatkan nilai ADI pre operasi kategori hiposmia.Karakteristik
nilai fungsi penghidu pada hampir seluruh subyek rinosinusitis kronis di RSUP Wahidin
Sudirohusodo berdasarkan pemeriksaan Sniffin’ sticks didapatkan nilai ADI post operasi
kategori normosmia.Terdapat perbedaan signifikan Nilai Ambang, Diskriminasi, Identifikasi dan
ADI pre dan post operasi BSEF pada penderita rinosinusitis di RSUP Wahidin Sudirohusodo.
Terdapat perbedaan signifikan perbaikan fungsi penghidu pada pasien rinosinusitis kronis
dengan multisinusitis dan multisinusitis disertai deviasi septi.
Sniffin’ stick test dapat digunakan untuk evaluasi fungsi penghidu. Pemeriksaan Sniffin’
Sticks Test pada penderita rinosinusitis kronis dapat dipertimbangkan sebagai pemeriksaan rutin
untuk mengetahui nilai ambang, diskriminasi, identifikasi dan ADI, sehingga dapat digunakan
sebagai indikator perbaikan fungsi penghidu post operasi BSEF.Sebaiknya odoran yang
digunakan pada Sniffin’ Sticks Test dibuat di Indonesia agar sesuai dengan bau-bauan yang ada
di Indonesia, mudah mendapatkannya dan harga terjangkau. Dari hasil penelitian ini didapatkan
perbaikan fungsi prnghidu post operasi BSEF, sehingga operasi BSEF dapat menjadi pilihan
terapi rinosinusitis kronis dengan gangguan penghidu.

UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
terlaksananya penelitian ini; khususnya kepada Prof. dr. Abdul Kadir, Sp.THT-KL(K), Ph.D,
M.Kes Dr. dr. Muhammad Fadjar Perkasa, Sp.THT-KL(K), dan teman-teman sejawat peserta
PPDS THT-KL FK-UNHAS.

DAFTAR PUSTAKA

Al Amini DN., (2011), Nilai normal Pemeriksaan threshold, diskriminasi dan identifikasi
penghidu dengan sniffin’’ sticks di RSUPN Cipto Mangungkusumo. Tesis. Jakarta:
Universitas Indonesia. P.49-55
Ardianti NE., (2012) Gambaran Fungsi Penghidu dengan Sniffin’’ sticks pada pasien Rinitis
Alergi. In: Otorhinolaryngologica Indonesiana. PERHATI-KL. p.104-11
Chang H, Lee Hj, Mo JH, Lee CH, Kim JW., (2009) Clinical Implication of The Olfactory Cleft
in Patient with Chronic Rhinosinusitis and Olfactory Loss. P. 988-92
10

Hummel., (2004) Sniffin’ Test Tutorial. Available from:URL:http://wwwold.tu-


dresden.de/medkhno/riechen-schmecken/sticks-eng.pdf. Acces on 20 april 2012 p.22-52
Hummel T, Kobal G, Gudziol H, Mackay A,.(2007) Normative data for the “sniffin’ sticks”
including test of odor identification, odor discrimination, and olfactory thresholds:
an upgrade based on a group of more than 3,000 subjects. Eur Arch otorhinolaryngol ;
264: 23-43
Katotomichelakis M., et al, (2012). Prognostic factors for the olfactory outcome after endoscopic
sinus surgery : age and gender, Departement of Othorhinolaryngology, University
Hospital of Alexandroupolis, Democritus University of Thrace, Greece. P.36-41
Litvack, MD, MS., et al, (2008). Predictors of Olfactory Disfunction in patients with Chronic
Rhinosinusitis. Departement of Othorhinolaryngology – Head and Neck, Oregon
Health and Science University, Portland, Oregon, USA, P.1-6.
Mangunkusumo E, Soetjipto D., (2007) Sinusitis Dalam : Soepardi E, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Gaya Baru Press. Jakarta. 150-54.
Panduan diseksi cadaver., (2009). FESS di Indonesia, Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL, Fakulta
Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung, Perhati-KL
cabang Jawa Barat, p. 1-52
Rahmi A, Punagi Q.,(2008). Pola Penyakit sub Bagian Rinologi di RS Pendidikan Makassar
periode 2003-2008, Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.p. 1-15
Rakhma Ied., (2014). Dalam Faktor Determinan Fungsi Penghidu Pada Penderita Rinitis Alergi
Menggunakan Sniffin’’ Sticks Test. Tesis. Makassar. Universitas Hasanuddin, p. 1-57.
Raviv JR, Kern RC., (2006). Chronic Rhinosinusitis and olfactory dysfunction. In: Hummel T,
Lussen AW, editors. Taste and smell. Vol 63. Switzerland: Karger; p.108-24
Sobol S, Frenkiel S., (2002) In : Olfactory Dysfunction : Whats the Smell? The Canadian
Journal of Diagnosis. Head & Neck Surgery. Montereal, Quebec : McGill University,
Hal 55-63.
Lampiran

Tabel 1. Karakteristik Penderita Rinosinusitis kronis di RS. Wahidin Sudirohusodo


Makassar.

Variabel Sampel (n=40)


N %
1. Umur
a. <35 thn 30 75,00
b. >35 thn 10 25,00

2. Jenis Kelamin
a. Laki-laki 17 4`2,5
b. Perempuan 23 57,5
3. Pendidikan
a. SD 2 5,0
11

b. SLTP 2 5,0
c. SLTA 24 60,0
d. SARJANA/D3 12 30,0
4. Keluhan utama
a. Cefalgia 13 32,5
b. Obstruksi nasi 18 45,0
c. PND 2 5,0
d. Rinore 7 17,5
5. Lamanya penyakit
< 12 bulan 30 75
>12 bulan 10 25
6. Hasil CT Scan
a. Multisinusitis 21 52,5
b. Pansinusitis 3 7,5
c. Multisinusitis + 16 40
deviasi septi

Tabel 2. Perbandingan fungsi penghidu pre dan post operasi menurut hasil CT
Scan(multisinusitis).
Variabel Median
N (Minimun-Maksimun) Rerata ± SD P

Ambang Pre operasi 21 2,75 (1,75 – 7,00) 3,05 ± 1,23


0,000
Post Operasi 21 14,00 (8,00 – 16,00) 13,30 ± 2,59
Diskriminasi Pre operasi 21 11,00 (6,00 – 15,00) 11,29 ± 1,87
0,000
Post Operasi 21 15,00(14,00 – 16,00) 15,29 ± 0,56
Identifikasi Pre operasi 21 12,00 (6,00 – 15,00) 12,14 ± 2,41
0,000
Post operasi 21 15,00 (12,00 – 16,00) 15,05 ± 1,16
A+D+I Pre operasi 21 27,25 (13,75 – 30,00) 26,48 ± 3,78
0,000
Post operasi 21 45,00 (37,25 - 48,00) 43,63 ± 3,38
Uji Wilcoxon
Tabel 3. Perbandingan fungsi penghidu pre dan post operasi menurut hasil CT
Scan(pansinusitis).

Variabel Median
N (Minimun-Maksimun) Rerata ± SD P

Ambang Pre operasi 3 1,25 (1,25 – 1,500) 1,33 ± 0,14


0,109
Post Operasi 3 14,25 (12,00 – 16,00) 14,08 ± 2,01
Diskriminasi Pre operasi 3 7,00 (7,00 – 7,00) 7,00 ± 0,00
0,109
Post Operasi 3 15,00(14,00 – 16,00) 15,00 ± 1,00
12

Identifikasi Pre operasi 3 12,00 (5,00 – 14,00) 10,33 ± 4,73


0,109
Post operasi 3 16,00 (15,00 – 16,00) 15,67 ± 0,58
A+D+I Pre operasi 3 20,25 (13,50 – 22,25) 18,67 ± 4,58
0,109
Post operasi 3 44,25 (42,00 – 48,00) 44,75 ± 3,03
Uji Wilcoxon
Tabel 4. Perbandingan fungsi penghidu pre dan post operasi menurut hasil CT
Scan(multisinusitis + deviasi septi).
Variabel Median
N (Minimun-Maksimun) Rerata ± SD P

Ambang Pre operasi 16 3,00 (0,00 – 6,25) 3,11 ± 1,27


0,000
Post Operasi 16 13,00 (9,00 – 16,00) 12,86 ± 2,67
Diskriminasi Pre operasi 16 11,00 (5,00 – 14,00) 10,31 ± 2,41
0,000
Post Operasi 16 15,00(13,00 – 16,00) 14,81 ± 0,75
Identifikasi Pre operasi 16 13,00 (9,00 – 14,00) 12,12 ± 1,45
0,000
Post operasi 16 15,00 (13,00 – 16,00) 15,19 ± 0,83
A+D+I Pre operasi 16 26,12 (22,00 – 28,50) 25,54 ± 2,10
0,000
Post operasi 16 43,50 (36,75 – 47,00) 42,86 ± 3,01
Uji Wilcoxon
Tabel 5. Memperlihatkan perbandingan fungsi penghidu penderita rinosinusitis kronik
pre dan post operasi BSEF di RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Variabel Median
N Rerata ± SD P
(Minimun-Maksimun)
Ambang Pre operasi 40 2,87 (0,00 – 7,00) 2,94 ± 1,27
0,000
Post Operasi 40 14,00 (8,00 – 16,00) 13,18 ± 2,55
Deskriminasi Pre operasi 40 11,00 (5,00 – 14,00) 10,57 ± 2,31
0,000
Post Operasi 40 15,00 (13,00 – 16,00) 15,07 ± 0,69
Identifikasi Pre operasi 40 12,50 (5,00 – 15,00) 12,00 ± 2,28
0,000
Post operasi 40 15,00 (12,00 – 16,00) 15,15 ± 1,00
A+D+I Pre operasi 40 26,37 (13,50 – 30,00) 25,52 ± 3,77
0,000
Post operasi 40 44,12 (36,75 - 48,00) 43,41 ± 3,18

Anda mungkin juga menyukai