Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ida Ayu Putu Sharira Kirana

NIM : 2112521022

1. Mengapa aktor dalam hubungan international harus berhubungan satu sama lain? Apa faktor
pendorongnya, berikan salah satu perspektif dalam teori Hubungan Internasional yang dapat
menjelaskan argumen anda dan disertai dengan kasus yang mendukung

Jawaban:

Buku Hans Morgenthau 1948 Politics Among Nations mencakup asumsi-asumsi


mengenai teori Realisme sebagai berikut: 1) negara merupakan aktor utama dalam politik
internasional; 2) negara memiliki kemampuan ofensif; 3) adanya tidak kepastian terhadap
niat negara; 4) adanya rasa keinginan untuk survive; dan 5) adanya tindakan rasional
(Mearsheimer 1994/1995: 10).

Dari gambaran pertama mengenai teori Neorealisme, Morgenthau dan Reinhold Niebuhr
menjelaskan bahwa ada sifat manusia yang mencari kekuasaan yang dapat menimbulkan
perang. Pada gambaran kedua, sifat negara; dalam organisasi internal, komposisi etnis, atau
ideologinya dapat menjadi penyebab perang dan perdamaian (Waltz 2001: 80-82). Pada
gambaran ketiga, terdapat suatu sistem internasional, dengan dan ketidakamanan
internasional disebabkan oleh tidak adanya otoritas yang lebih tinggi dari negara atau anarki,
yang dapat menyebabkan perang terjadi (Waltz 2001: 159-18 160).

Menurut John Mearsheimer (1994/1995: 12), terdapat faktor yang menghambat


kerjasama antar negara: pertama, negara-negara mempertimbangkan bagaimana keuntungan
akan didapatkan di antara mereka. Karena negara-negara di dunia realis memperhatikan akan
balance of power, mereka harus dimotivasi terutama oleh keuntungan relatif dalam
mempertimbangkan aliansi bersama. Sementara setiap negara bagian ingin memaksimalkan
keuntungan absolutnya, lebih penting untuk memastikan apakah keuntungan tersebut lebih
baik, atau lebih buruk, daripada negara bagian lain dalam kesepakatan apa pun. (Thue, 2007)
Di bawah kondisi anarki, negara harus menjaga keamanan mereka sendiri, dan aliansi
adalah sarana untuk mencapai keamanan terhadap musuh. Ketika dihadapkan dengan power
yang mereka anggap mengancam, negara-negara bersekutu dengan negara-negara lain yang
berada di posisi yang sama, sehingga meningkatkan keamanan keduanya. Neorealis
berasumsi bahwa negara membuat keputusan aliansi dengan membandingkan manfaat aliansi
dengan biayanya, dan fokus pada efek aliansi terhadap keamanannya. Di antara manfaatnya
adalah memastikan apakah ada kemungkinan diserang atau diancam dan bantuan jika terjadi
serangan (Hellmann dan Wolf 1993: 10-11).

Security dilemma mengacu pada peristiwa bahwa sebagai seorang aktor, baik individu,
kelompok, negara, atau aliansi, meningkatkan kemampuan militernya untuk membangun rasa
amannya sendiri, pada titik tertentu, peningkatan kemampuan militer membuat aktor lain
dalam sistem merasa lebih tidak aman. Hal ini dapat dilihat dalam terbentuknya NATO pada
tahun 1949, negara-negara yang beraliansi merasa ketidakamanan terhadap kemampuan yang
dimiliki oleh Uni Soviet, demi mencapai keamanan kolektif dibentuklah NATO guna
menyeimbangi kekuatan dari Uni Soviet. (Collins 2011: 03)

Contoh kasus yang diambil adalah mengenai bagaimana pembentukan NATO melalui
sudut pandangan Neorealis. Negara dapat melakukan suatu hubungan dengan negara lain
dalam membentuk suatu aliansi. Terdapat pemahaman bahwa adanya sistem internasional
yang anarki, dan sulitnya negara untuk kerja sama. Namun, kooperasi dapat dilakukan
apabila adanya keancaman, maka lahirlah NATO. Aliansi tersebut dibentuk dengan adanya
rasa security dilemma dan bertujuan untuk melindungi diri dan menyaingi kekuatan dari Uni
Soviet. Sehingga adanya suatu balance of power dalam situasi ini. Dari penjelasan di atas,
kesimpulannya adalah negara dapat melakukan hubungan dengan negara lain apabila adanya
ancaman dari suatu pihak yang lebih kuat dibanding negara-negara lemah lainnya. Sehingga
mereka dengan sesama membentuk suatu aliansi guna untuk menangkal kekuatan bagi
mereka yang lebih kuat dan mengancam keberadaan mereka.
Daftar Pustaka:

Collins, B. J. (2011). Nato a guide to the issues. Praeger.

Hellmann, Günther, and Reinhart Wolf (1993): “Neorealism, Neoliberal Institutionalism, and the
Future of NATO”, in Security Studies, vol. 3, no. 1 (Autumn): 3-43.

Mearsheimer, John J. (1995): “A Realist Reply”, in International Security, vol. 20, no. 1
(Summer): 82-93

Thue, M. (2007). Explaining nato: Neorealism, neoliberalism, and the Atlantic Alliance after the
Cold War (thesis). University Of Oslo, Oslo.

Waltz, Kenneth (2001): Man, the State, and War: A Theoretical Analysis. New York: Columbia
University Press.

Anda mungkin juga menyukai