Anda di halaman 1dari 2

A.

Karakteristik Pembelajaran IPA

Pembelajaran IPA menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan


kompetensi agar peserta didik mampu memahami alam sekitar melalui proses “mencari
tahu” dan “berbuat”, hal ini akan membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman
yang lebih mendalam. Wahidin (2006: 22) mengatakan bahwa di dalam sains, terdapat
tiga unsur utama, yaitu sikap, proses atau metodologi, dan hasil yang satu sama lain tidak
dapat dipisahkan.

Carin dan Sund (1993) dalam dalam Sulistyowati (2014: 24) mendefinisikan IPA sebagai
pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum, dan berupa
kumpulan data hasil observasi dan eksperimen. IPA memiliki empat unsur utama, yaitu
sikap, dimana IPA memunculkan rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk
hidup, serta hubungan sebab akibat. Persoalan IPA dapat dipecahkan dengan
menggunakan prosedur yang bersifat open ended; proses, dimana proses pemecahan
masalah pada IPA memungkinkan adanya prosedur yang runtut dan sistematis melalui
metode ilmiah. Metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen
atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan; produk, dimana IPA
menghasilkan produk berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; dan aplikasi dimana
penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian-penelitian pendidikan sains mengungkapkan bahwa belajar sains merupakan


suatu proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif siswa (Inhelder & Piaget,
1958, Piaget, 1964, dalam Wilis Dahar, 2011: 152). Pembelajaran terpadu dikembangkan
dengan landasan pemikiran progresivisme, konstruktivisme, Developmentally
Appropriate Practice (DAP), landasan normatif, dan landasan praktis (Depdikbud, 1996:5
dalam Trianto 2011: 69). Aliran progresivisme menyatakan bahwa pembelajaran
seharusnya berlangsung secara alami, tidak artificial. Pembelajaran di sekolah tidak
seperti keadaan dalam dunia nyata sehingga tidak memberikan makna kepada kebanyakan
siswa.

Pembelajaran terpadu juga dikembangkan menurut paham konstruktivisme yang


menyatakan bahwa pengetahuan dibentuk sendiri oleh individu dan pengalaman
merupakan kunci utama dari belajar bermakna. Belajar bermakna tidak akan terwujud
hanya dengan mendengarkan ceramah atau membaca buku tentang pengalaman orang
lain. Mengalami sendiri merupakan kunci untuk kebermaknaan (Trianto, 2011: 69)
Prinsip utama yang dikembangkan dalam pemelajaran terpadu adalah Developmentally
Appropriate Practice (DAP). DAP menyatakan bahwa pembelajaran harus disesuaikan
dengan perkembangan usia dan individu yang meliputi perkembangan kognisi, emosi,
minat, dan akat. Siswa kelas III SLTA (SMA/MA), yang berusia rata-rata 11 sampai 18
tahun (tahap operasi normal) sesuai perkembangan kognitif Piaget, telah memiliki
kemampuan pemikiran abstrak sehingga dapat dirancang pembelajaran yang memberikan
siswa memecahkan masalah melalui kegiatan eksperimentasi. (Trianto, 2011: 69-70)

Pembelajaran terpadu dilandasi oleh landasan normative dan landasan praktis. Landasan
normatif menghendaki bahwa pembelajaran terpadu hendaknya dilaksanakan berdasarkan
gambaran ideal yang ingin dicapai oleh tujuan-tujuan pembelajaran. Sedangkan landasan
praktis, mengharapkan bahwa pembelajaran terpadu dilaksanakan dengan memerhatikan
situasi dan kondisi praktis yang berpengaruh terhadap kemungkinan pelaksanaannya
mencapai hasil yang optimal. (Trianto, 2011: 70)

Anda mungkin juga menyukai