Isi Revisi
Isi Revisi
PENDAHULUAN
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari
5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta
orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki
prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas atas sekitar 40% dari
insiden kecelakaan yang terjadi. Menurut depkes RI (2011), Penyebab
terbanyaknya adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses
degeneratif dan osteoporosis juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya fraktur.
Fraktur dapat terjadi pada semua bagian tubuh, salah satunya yaitu fraktur
proximal interphalanx (PIP). Terdapat 408 remaja yang mengalami patah tulang
disebabkan karena cidera olahraga dengan angka keseluruhan kejadian 563/tahun.
84% adalah fraktur ekstremitas atas, fraktur paling umum adalah fraktur phalanx
dengan 28,7%, radius dan ulna sebanyak 23,0%, dan metacarpus 12,7%.
Fenomena yang ada di rumah sakit menunjukan bahwa pasien pediatrik dan
remaja di rumah sakit mengalami berbagai masalah keperawatan dalam
diantaranya nyeri, hambatan mobilitas, resiko infeksi, cemas dalam perianestesi,
emosional yang tidak bisa dikontrol. Masalah tersebut harus di antisipasi dan di
atasi agar tidak terjadi komplikasi. Peran perawat sangat penting dalam perawatan
pasien pre, intra dan post anestesi terutama dalam pemberian asuhan keperawatan
pada pasien.
5. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan fraktur phalanx medial
manus yang dilakukan tindakan operasi dengan general anestesi.
1. Bagi penulis
1. Wawancara
2. Pemeriksaan Fisik
3. Observasi
4. Studi dokumentasi
BAB II
TINJAUAN TEORI
b. Metacarpal
Pergelangan tangan (ossa carpalia) yaitu tulang-tulang yang terdiri dari:
1) Bagian proximal :
Os navikular/skapoid (tulang bentuk kepala)
Os lunatum (tulang bentuk bulan sabit)
Os triquetrum (tulang bentuk segi tiga)
Os fisiformis (tulang bentuk kacang)
2) Bagian distal
Os multangulum mavus/trapizoid (tulang besar persegi panjang)
Os multangulum/trapezium (tulang kecil segi banyak)
Os kapitatum (tulang berkepala)
Os hamatum (tulang berkait)
2.2.3 Patofisiology
Ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di daerah
patah dan kedalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak
biasanya mengalami kerusakan akibat cidera. Reaksi inflamasi yang intens terjadi
setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel mast terakumulasi sehingga
menyebabkan peningkatan aliran darah ke area tersebut. Fogositosis dan
pembersihan sel dan jaringan mati dimulai.
b. Fraktur oblik
Fraktur ini terjadi karena benturan tak langsung ketika suatu kekuatan pada
jarak tertentu menyebabkan tulang patah pada bagian yang paling lemah. Fraktur
ini berbentuk diagonal sepanjang tulang dan biasanya terjadi karena pemelintiran
padaekstremitas.
c. Fraktur spiral
Fraktur spiral terjadi ketika sebuah anggota gerak terpuntir dengan kuat dan
biasanya disertai dengan kerusakan pada jaringan lunak. Bentuk patahan dari
fraktur spiral hampir sama dengan fraktur obilk, akan tetapi pada fraktur spiral
patahannya mengelilingi tulang sehingga seolah-olah terpilin seperti spiral.
d. Fraktur komunitiva
Fraktur komunitiva merupakan kondisi di mana tulang yang patah pecah
menjdai dua bagian atau lebih.
e. Fraktur kompresi
Fraktur yang terjadi ketika kedua tulang menumbuk (akibat tubrukan) tulang
ketiga yang berada di antaranya, contoh fraktur jenis ini adalah tumbukan antara
tulang belakang dengan tulang belakang lainnya.
f. Fraktur greenstick
Fraktur di mana garis fraktur pada tulang tersebut hanya parsial (tidak
lengkap) pada sisi konveks bagian tulang yang tertekuk, seperti ranting pohon
yang lentur. Fraktur jenis ini hanya terjadi pada anak-anak.
g. Fraktur patologik
Fraktur yang terjadi pada tulang yang sudah mengalami kelainan misalnya
metastase tumor.
c. Pergerakan/movement
Pasien disuruh untuk menggerakkan jemari serta pergelangan/sendi
ekstremitas sesuai dengan toleransi. Jika pasien tidak bisa melakukan secara
aktif, maka bantu dengan teknik pergerakan pasif. Penurunan kemampuan
pergerakan mengindikasikan masalah persarafan.
e. Sensasi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui sensasi dengan meminta
pasien menutup mata saat melaksanakan sentuhan pada ekstremitas. Kemudian
minta pasien mendeskripsikan sentuhan tersebut, apakah merasa dengan baik
atau kesemutan / tidak merasakan sentuhan.
f. Nadi
Perawat melakukan palpasi pada daerah-daerah denyut nadi. Bandingkan
kekuatan denyutan dengan ekstremitas yang sehat.
g. Nyeri
Pasien yang mengalami iskemia karena vaskularisasi yang buruk akan
mengalami nyeri pada saat pergerakan pasif.
Nyeri merupakan gejala penting yang timbul pertama kali saat terjadi
kompartemen sindrom (Davis dan Lukas, 2005 dalam Judge, 2007). Bagian
pertama dari observasi neurovaskular adalah menentukan level dari rasa nyeri
yang dialami pasien. Alat pengkajian nyeri harus memberikan pilihan sesuai
kondisi pasien. Berbagai macam alat pengkajian nyeri dapat digunakan dan
masing – masing mempunyai kelebihan dan kekurangan tetapi yang paling
penting alat pengkajian nyeri harus sama digunakan oleh satu team yang
memberikan perawatan pasien. Hal ini akan meningkatkan reliabilitas dan
menurunkan subyektifitas dari pemeriksa. Numeric pain scale yang memberikan
rata- rata dari tingkat rasa nyeri dengan menggunakan skala dari angka satu
sampai sepuluh sangat berguna. Respon non verbal seperti mengepalkan tangan,
meringis, berkeringat juga penting sebagai perwujudan nyeri.
Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan didapat
terkait dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri merupakan sensasi peringatan
bagi otak terhadap beberapa stimulus yang menyebabkan kerusakan jaringan tubuh.
Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan fisiologis.
b. Nyeri kronis
Nyeri yang berlangsung lebih dari enam bulan biasanya diklasifikasikan sebagai
nyeri kronis. Nyeri kronis biasanya akibat terjadinya penurunan fungsi tubuh.
Mubarak dan Chayatin (2008), menyatakan bahwa ada tiga jenis nyeri yaitu:
a. Nyeri perifer
Nyeri perifer ini dibedakan lagi menjadi tiga macam, yaitu:
1) Superficial pain, nyeri pada kulit, mukosa terasa tajam atau seperti ditusuk,
akibat dari rangsangan fisik, mekanis, kimiawi.
2) Deep pain (nyeri dalam), nyeri pada daerah viscera, sendi pleura,
peritoneum
3) Referred (menjalar), kejang otot didaerah lain, nyeri dirasakan pada daerah yang
jauh dari sumber rangsangan, sering terjadi pada deep pain.
b. Nyeri sentral (central pain), akibat rangsangan pada tulang belakang, batang
otak, dan thalamus.
c. Nyeri psikogenik, keluhan nyeri tanpa adanya kerusakan di organ tempat dan
tingkat keparahan berupa (rekayasa). Nyeri psikogenik tidak diketahui penyebab
fisiknya. Seringkali muncul karena faktor psikologis bukan karena faktor
fisiologis.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0, 5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang,
pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit
dilokalisasi. Spasme otot menimbulkan nyeri karena menekan pembuluh darah yang
menjadi anoksia. Spasme otot juga dapat berakibat anoksia. Pembengkakan jaringan
menjadi nyeri akibat tekanan kepada nosiseptor yang menghubungkan jaringan
(Brunner &Suddarth, 2005).
1) Menangis
2) Merintih
3) Mendesis
4) Merenggut
5) Memegang bagian tubuh yang terasa nyeri
6) Takut menggerakkan bagian tubuh
7) Mengepalkan tangan
8) Menarik diri
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung menyembunyikan
nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang
harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika
nyeri diperiksakan.
b. Makna nyeri
Makna nyeri berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap
nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan
dalam merespon nyeri, lebih dipengaruhi budaya contoh: tidak pantas kalau laki-laki
mengeluh nyeri sedangkan wanita boleh mengeluh nyeri.
Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap
nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat
yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh
jika ada nyeri.
Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri, dapat
mempengaruhi persepsi nyeri.
Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi
nyeri.
Support keluarga
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga
atau teman dekat ntuk memperoleh dukungan dan perlindungan.
Komplikasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Komplikasi awal
1) Syok
Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang merupakan organ yang
sangat vaskuler maka dapat terjadi perdarahan yang sangat besar sebagai akibat dari
trauma khususnya pada fraktur femur dan fraktur pelvis.
2) Emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan katekolamin yang
dilepaskan memobilisasi asam lemak kedalam aliran darah. Globula lemak ini
bergabung dengan trombosit membentuk emboli yang dapat menyumbat pembuluh
darah kecil yang memasok darah ke otak, paru- paru, ginjal dan organ lainnya.
3) Compartment Syndrome
Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan
dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh karena penurunan
ukuran fasia yang membungkus otot terlalu ketat, balutan yang terlalu ketat dan
peningkatan isi kompartemen karena perdarahan atau edema.
Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan tulang namun pada
kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri
dan penurunan fungsi merupakan indikator terjadinya masalah. Masalah tersebut
meliputi kegagalan mekanis dari pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai,
kegagalan material, berkaratnya alat, respon alergi terhadap logam yang digunakan
dan remodeling osteoporotik disekitar alat.
Menurut Brunner & Suddarth (2005) selama pengkajian primer dan resusitasi,
sangat penting untuk mengontrol perdarahan yang diakibatkan oleh trauma
muskuloskeletal. Perdarahan dari patah tulang panjang dapat menjadi penyebab
terjadinya syok hipovolemik. Pasien dievaluasi dengan seksama dan lengkap.
Ekstremitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk mencegah kerusakan soft tissue
pada area yang cedera.
1. Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi dilakukan
pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada fraktur radius distal.
Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu, misalnya
beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada
fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips.
Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur
(Nayagam, 2010).
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan untuk fiksasi
fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen
tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar.
Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan
lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu
berisiko untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur
di sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak
untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang
panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur
dengan infeksi (Nayagam, 2010).
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah.
Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga
plat dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah
dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah
operasi tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi.
Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan
operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah
reduksi fraktur dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck),
fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan
komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien
geriatri) (Nayagam, 2010; Sjamsuhidajat dkk, 2011; Bucholz; Heckman; Court-Brown,
2006).
2. Reduksi fraktur
Berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan rotasi anatomis.
Reduksi bisa dilakukan secara tertutup, terbuka dan traksi tergantung pada sifat fraktur
namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
3. Traksi
Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Menurut Brunner & Suddarth
(2005), traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh untuk meminimalisasi
spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, serta mengurangi deformitas. Jenis – jenis
traksi meliputi:
Traksi kulit : Buck traction, Russel traction, Dunlop traction
Traksi skelet: traksi skelet dipasang langsung pada tulang dengan menggunakan pin
metal atau kawat. Beban yang digunakan pada traksi skeletal 7 kilogram sampai 12
kilogram untuk mencapai efek traksi.
4. Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Fiksasi eksterna
dapat menggunakan pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin dan teknik gips.
Fiksator interna dengan implant logam.
Prinsip dasar pembidaian ini harus selalu diingat sebelum kita melakukan
pembidaian (Saleh, 2006).
a. Harus melakukan proteksi diri sebelum pembidaian
b. Jangan melepaskan stabilisasi manual pada tulang yang cedera sampai kita
benar- benar melakukan pembidaian
c. Jangan mereposisi atau menekan fragmen tulang yang keluar kembali ketempat
semula
d. Buka pakaian yang menutupi tulang yang patah sebelum memasang bidai
e. Lakukan balut tekan untuk menghentikan perdarahan pada fraktur terbuka
sebelum memasang bidai.
f. Bidai harus melewati sendi proksimal dan sendi distal dari tulang yang patah
g. Bila persendian yang mengalami cedera, lakukan juga imobilisasi pada tulang
proksimal dan distal dari sendi tersebut
h. Berikan bantalan atau padding untuk mencegah penekanan pada bagian tulang
yang menonjol dibawah kulit
i. Sebelum dan sesudah memasang bidai lakukan penilaian terhadap nadi, gerakan
dan rasa /sensasi pada bagian distal dari tempat yang fraktur atau cedera
j. Berikan dukungan dan tenangkan penderita menghadapi cedera ini.
a. Pengertian
New Zealand Orthopaedic Organization (2010), menyatakan bahwa back slab
cast adalah alat imobilisasi pertama sebelum dilakukan tindakan definitif yang
digunakan untuk stabilisasi dari bagian fraktur dan otot yang mengelilinginya dan
digunakan untuk mengurangi oedema (swelling) sebagai bidai. Gips ini mudah
dilepaskan bila diperlukan pemeriksaan inspeksi pada bagian tubuh yang ditutupi.
Miranda (2010), menyatakan bahwa back slab cast adalah gips sementara yang
digunakan pada penanganan pertama trauma seperti patah tulang ankle. Back slab cast
ini terdiri dari plaster yang menjaga tendon achiles dan digunakan pada bagian yang
terjadi pembengkakan tanpa memberikan penekanan. Bidai tradisional dapat menekan
aliran darah, meningkatkan rasa nyeri dan ketidak nyamanan. Back slab cast ini dapat
membantu mengurangi nyeri, pembengkakan, spasme otot yang terjadi ketika trauma
patah tulang. Sedangkan menurut Koval & Zukerman (2006), back slab cast ini
menjaga tulang yang patah pada kesejajaran selama proses penyembuhan. Back slab
cast ini dipasang mengikuti daerah tonjolan tulang.
b. Cara pembuatan
Fitch (2008), menyatakan bahwa tahap pertama dalam pembidaian adalah
melapisi bagian ekstremitas dengan beberapa lembar bantalan (padding) pada bagian
tonjolan tulang atau bagian tubuh yang mengalami iritasi. Ukur panjang pembidaian
yang diperlukan yaitu melewati dua sendi. Gunakan 3 lembar gips untuk
ekstremitas atas dan 6 lembar untuk ekstremitas bawah untuk meyakinkan pembidaian
yang dilakukan cukup kuat.
Celupkan kedalam mangkok air yang sudah disiapkan, diamkan beberapa saat
sampai mengenai seluruh gips, kemudian angkat, pegang secara vertikal dan
gunakan dua jari menurunkan sisa air pada gips sehingga memudahkan pengeringan
kemudian lapisi dengan padding. Letakkan dibawah ekstremitas yang akan dibidai
sesuai posisi anatomis. Gunakan perban elastis untuk memegang posisi dari back slab
cast yang dibuat dari bagian terjauh dari tubuh ke bagian yang lebih dekat dari pusat
tubuh. Gunakan telapak tangan pada saat pemasangan back slab cast. Setelah kering
periksa kembali adekuat tidaknya imobilisasi yang dilakukan, posisi anatomis dan
kenyamanan pasien.
b. Bila bidai terlalu longgar bisa menimbulkan kerusakan pada saraf perifer,
pembuluh darah, atau jaringan sekitarnya akibat pergerakan ujung – ujung fragmen
patah tulang.
c. Menghambat aliran darah bila terlalu ketat bisa menyebabkan iskemi jaringan.
b. Compartment syndrome
Compartment syndrome merupakan komplikasi serius dari pembidaian.
Peningkatan nyeri, pembengkakan, perubahan warna dan peningkatan temperatur
merupakan gejala penting yang harus diperhatikan.
c. Infeksi
Kerusakan kulit dalam pembidaian dapat menjadi tempat masuknya bakteri dan
infeksi jamur.
d. Kerusakan saraf
Trauma dapat menyebabkan pembengkakan yang dapat menimbulkan penekanan
sirkulasi dan kerusakan saraf.
Koval & Zukerman (2006), menyatakan bahwa back slab cast menjaga tulang
yang patah pada kesejajaran selama proses penyembuhan. Back slab cast ini
dipasang mengikuti daerah tonjolan tulang. Sedangkan menurut New Zealand
Orthopaedic Organization (2010), back slab cast digunakan untuk stabilisasi dari
bagian fraktur dan otot yang mengelilinginya dan digunakan untuk mengurangi
oedema (swelling) sebagai bidai. Gips ini sangat mudah dilepaskan bila diperlukan
pemeriksaan inspeksi pada bagian tubuh yang ditutupi.
b. Fase Proliferasi, pada fase ini hematoma akan mengalami organisasi dengan
membentuk benang-benang fibrin, membentuk revaskularisasi dan invasi fibroblast
dan osteoblast. Kemudian menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks
kolagen pada patahan tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan
(osteoid) berlangsung setelah hari ke lima.
2.7.1 Pengertian
Anestesi umum dibagi menjadi tiga tehnik yaitu tehnik anestesi total intravena,
anestesi total inhalasi, dan anestesi kombinasi antara intravena dan inhalasi yang
sering disebut balance anestesia. Masing-masing dari tehnik tersebut memiliki
kekurangan dan kelebihan. Pemilihan tehnik seriingkali ditentukan oleh karakteristik
pasien sehingga tepat penggunaan dan resiko efek samping yang paling minimal. Saat
ini penggunaan tehnik ini sudah umum dan sering dikerjakan.
Mangku (2010) menjelaskan bahwa anestesi umum adalah suatu keadaan tidak
sadar yang berifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh
akibat pemberian obat anestesi. Efek neurofisiologis yang dihasilkan oleh anestesi
umum ditandai oleh lima efek utama: tidak sadarkan diri, amnesia, analgesia,
penghambatan refleks otonom, dan relaksasi otot rangka. Tak satu pun dari agen
anestesi yang saat ini tersedia ketika digunakan sendiri bisa mencapai semua lima efek
yang diinginkan dengan baik. Selain itu, anestesi yang ideal harus menginduksi cepat,
kehilangan kesadaran secara halus, cepat kembali setelah penghentian, dan memiliki
batas keselamatan yang lebar (Katzung, 2015). Praktek anestesi modern bergantung
pada penggunaan kombinasi obat intravena dan inhalasi (balanced anesthesia) untuk
mengambil keuntungan dari setiap agen dan meminimalkan efek samping mereka.
Pemilihan teknik anestesi ditentukan oleh jenis diagnostik, terapi, atau intervensi bedah
yang akan dilakukan. Untuk operasi kecil atau untuk prosedur diagnostik invasif, obat
oral atau parenteral dapat digunakan dalam kombinasi dengan anestesi lokal, yang
disebut teknik monitored anesthesia (Katzung, 2015).
Trias anesthesia:
Hipnotika : Pasien kehilangan kesadaran
Anestesia : Pasien bebas nyeri
Relaksasi : Pasien mengalami kelumpuhan otot rangka
b. Anestesi Intravena
Anestesi nonopioid intravena memainkan peran penting dalam praktek anestesi
modern. Mereka digunakan untuk memfasilitasi induksi cepat dan telah menggantikan
inhalasi sebagai metode yang disukai kecuali untuk anestesi pediatrik. Dengan
diperkenalkannya propofol, anestesi intravena juga menjadi pilihan yang baik untuk
pemeliharaan anestesi. Anestesi intravena yang digunakan untuk induksi anestesi umum
bersifat lipofilik (otak, sumsum tulang belakang), yang mampu menyumbang onset
yang cepat. Agen anestesi intravena antara lain: dexmedetomidine, etomidat, ketamin,
benzodiazepam (diazepam, lorazepam, midazolam), propofol, dan barbitural
(thiopental, methohexital).
c. Anestesi seimbang
Mirip dengan agen inhalasi, anestesi intravena yang tersedia saat ini bukan obat
anestesi yang ideal untuk menimbulkan lima efek yang diinginkan. Sehingga,
digunakan anestesi seimbang dengan beberapa obat (anestesi inhalasi, sedatif-hipnotik,
opioid, dan agen neuromuscular blocking) untuk meminimalkan efek yang tidak
diinginkan.
2.7.2 Induksi dan Rumatan Anestesia
1. Induksi anestesia
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Induksi anestesia dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular, maupun
rektal.
Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia, dapat langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anestesia/maentenance sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum
memulai induksi anestesia, sebaiknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat
dan lebih baik.
Jenis-jenis induksi
Induksi Intravena Merupakan metode yang paling banyak dilakukan. Obat
induksi disuntikkan secara bolus intravena dengan
kecepatan antara 30-60 detik.
Contoh obat induksi intravena: Thiopental, Propofol,
Ketamin.
Induksi Intramuskular Obat induksi diberikan secara injeksi intramuskular.
Obat yang dapat digunakan: Ketamin.
Induksi Inhalasi Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang
belum terpasang jalur intravena atau pada pasien
dewasa yang takut disuntik.
Obat induksi inhalasi yang dapat digunakan: Halotan,
Sevofluran
Induksi Perrectal Cara induksi ini hanya dilakukan pada bayi atau anak
dengan menggunakan Thiopental atau Midazolam
Induksi Mencuri Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur.
Induksi mencuri inhalasi sama seperti induksi biasa
hanya sungkup muka tidak ditempelkan di muka pasien,
namun diberi jarak beberapa centimeter hingga pasien
tertidur baru sungkup muka ditempelkan.
T = Tubes
Pipa trakhea, pilih sesuai usia, usia ‹ 5 tahun tanpa balon dan
usia › 5 tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway
Pipa mulut-Faring (Gudel/orofaringeal airway) atau pipa
nasofaring. Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga agar lidah tidak menyumbat jalan nafas.
T = Tape
Plaster untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik yang
mudah dibengkokkan untuk pemandu agar pipa trakhea mudah
dimasukkan.
C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S = Suction (penyedot lendir, saliva/lendir, dll)
Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan nafas yang
terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan sehingga lidah jatuh ke
belakang dan menyumbat jalan nafas pada bagian faring.
Pada penderita yang dicurigai mengalami trauma servical tehnik head till-chin lift
tidak bisa dilakukan. Tehnik yang bisa dilakukan pada keadaan tersebut adalah menarik
rahang tanpa melakukan ekstensi kepala (Jaw trust).
• Intubasi endotrakhea
Merupakan proses memasukkan pipa endotrakhea ke dalam trakhea pasien.
Kegunaan pipa endotrakheal:
o Memelihara jalan nafas atas terbuka (paten)
o Membantu pemberian oksigen kosentrasi tinggi
o Memfasilitasi pemberian ventilasi dengan volume tidal yang tepat untuk memelihara
pengembangan paru yang adekuat
o Mencegah jalan napas dari aspirasi isi lambung atau benda padat atau cairan dari
mulut, kerongkongan, atau jalan nafas atas.
o Mempermudah penyedotan cairan dalam trakhea
Kesulitan intubasi:
o Leher pendek berotot
o Mandibula menonjol
o Maksila/gigi depan menonjol
o Uvula tidak terlihat (skor mallempati 3 atau 4)
o Gerak sendi temporomandibular terbatas
o Gerak vertebra servical terbatas.
1. Mesin anestesi
a. pengertian
Tidak ada satu alat pun yang lebih erat hubungannya dengan seorang ahli
anestesiologi selain mesin anestesi.1 Tugas utama seorang ahli anestesiologi adalah
memastikan bahwa peralatannya dapat memberikan suatu kadar oksigen yang adekuat
pada penderita.
Mesin anestesi digunakan oleh ahli anestesi untuk mendukung pemberian
anestesi. Tipe mesin anestesi yang digunakan di negara maju adalah mesin anestesi
jenis cotinuous-flow, yang dirancang untuk memberikan secara akurat dan terus-
menerus pasokan gas (seperti oksigen dan nitrogen oksida), dicampur dengan uap agen
anestesi (seperti isoflurane) yang dihantarkan dengan aliran dan tekanan yang aman
bagi pasien. Mesin anestesi modern dilengkapi ventilator, sucktion unit, dan peralatan
monitoring pasien.
Istilah “mesin anestesi” adalah tradisional berlaku untuk suatu perlengkapan yang
mengirimkan oksigen dan agen bersifat gas dan/ atau cairan yang mudah menguap.
Yang dimaksud dengan peralatan anestesi adalah alat-alat anestesi dan perlengkapannya
yang digunakan untuk memberikan anestesi umum secara inhalasi. Mesin anestesi
adalah peralatan yang digunakan untuk memberikan anestesi inhalasi.
b. Fungsi
Fungsi mesin anestesi ( mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas
anestetik yang aman kerangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien
dan membuang sisa campuran gas dari pasien.
Mesin yang aman dan ideal adalah mesin yang memenuhi persyaratan berikut:
• Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
• Ruang rugi ( dead space ) minimal
• Mengeluarkan CO2 dengan efesien
• Bertekanan rendah
• Kelembaban terjaga dengan baik
• Penggunaannya sangat mudah dan aman
c. Komponen
Secara umum mesin anestesi yang kita kenal sekarang terdiri dari 3 komponen
yang saling berhubungan, yaitu:
• Komponen 1 : sumber gas, penunjuk aliran gas/ flow meter, penguap/ vaporizer
dan oksigen flush control yang dapat mengalirkan O2 murni 35-37 Liter/menit
tanpa melalui meter aliran gas pada keadaan darurat
• Komponen 2 : sirkuit nafas: sistem lingkar dan sistem magill
• Komponen 3 : alat yang menghubungkan sirkuit nafas dan pasien; sungkup
muka (FACE MASK), pipa endotrakea (ETT).
Penjelasan :
Komponen 1
Sumber gas
Tersimpan dalam tabung-tabung khusus dibawah tekanan tinggi.dapat disimpan
dalam bentuk gas (O2, udara ) maupun dalam bentuk cair ( N2O, CO2, C6H6 ).
Masing-masing tabung gas mempunyai alat pengukur tekanan ( regulator ) khusus.
Regulator ini menunjukkan tekanan gas didalam tabung dan dapat menurunkan tekanan,
dengan pertolongan pressure reducting valve( katup penurun tekanan ). Mesin anestesi
bekerja efektif pada tekanan 50-60 PSI atau 3-4 atm.
Pada rumah sakit besar dengan banyak kamar operasi, mungkin tidak dijumpai
tabung-tabung gas tersebut karena telah dibuat dengan system sentral.
Tabel. Berbagai macam gas anestesi, warna tabung, bentuk gas dan tekanan jenuh.
Jenis Warna tabung Dalam Tekanan Tekanan
bentuk (Psi) (atm)
O2 Putih/hijau Gas 1800-2400 120-160
N2O Biru Cair 745 50
Air Hitam/putih Gas 1800 120
Cyclopropan Jingga Cair 75 5
CO2 Abu-abu Cair 838 56
Sebelum membuka flowmeter perhatikan dulu gas apa yang akan diputar ( tidak
jarang terjadi bahwa kita bermaksud membuka O2, tanpa sengaja kita membuka N2O ).
Flowmeter dapat dibuka dengan cara memutar tombol pemutar kearah berlawanan
dengan arah jarum jam. Bila indikator berbentuk bola, maka angka laju aliran
( flowmeter) dibaca setinggi bagian tengah bola dan bila memakai rotameter dibaca
setinggi bagian atas rotameter.
Flowmeter dan regulator, berfungsi untuk mengatur besarnya aliran gas yang
masuk pada pasien.
Berfungsi untuk menguapkan zat anestesi cair yang mudah menguap ( volatile
anesthetic agent ) yang biasanya dilengkapi dial untuk mengatur besar kecilnya
konsentrasi zat anestesi yang keluar.
Vaporizer, berfungsi untuk menguapkan obat bius yang dipakai dan mengatur
berapa konsentrasi obat yang masuk kepada pasien.
Penempatan vaporizer.
a. Dapat diletakkan diluar sirkuit nafas, terletak diantara flowmeter dan lubang keluar
gas
b. Dapat diletakkan didalam sirkuit nafas
c. Dapat lebih 2 vaporizer yang akan dipakai, maka vaporizer untuk zat anestesi
cairyang lebih mudah menguap diletakkan lebih dekat dengan flowmeter.
Pada umumnya zat anestesi cair mempunyai alat penguapannya sendiri, tetapi ada
alat penguap yang dapat dipakai untuk menguapkan beberapa zat anestesi.
Contoh : Fluotec Mark II, Mark III hanya untuk halothane dan EMO khusus
untuk eter. Copper kettle dapat untuk eter, halothane, trilene metoksifluran.
Komponen 2
Sirkuit nafas
Sirkuit nafas: Aliran gas dari sumber gas berupa campuran O2 dan gas anestesi
akan mengalir melalui vaporizer. Campuran gas yang lazim disebut aliran gas segar ini
selanjutnya akan masuk ke sirkuit nafas pasien. Sirkuit nafas pasien tersebut adalah:
Sistem Magill dan Mapleson dengan variasi: rebreathing tidak ada atau minimal
sekali.
Komponen 3
Sungkup muka atau pipa endotrakea terdapat dalam berbagai ukuran dan dapat terbuat
dari bahan plastik maupun karet.
Sungkup muka
Oksigen, N2O masuk kedalam mesin anesthesi dan diatur alirannya oleh regulator
dan berapa besarnya aliran gas dapat dilihat dari flowmeter, dari flow meter tersebut
Oksigen dan N2O akan bercampur melewati vaporizer, didalam vaporizer ini oksigen
akan membawa partikel-partikel obat bius yang berada didalam vaporizer tersebut.
Setelah melewati vaporizer gas yang telah tercampur dengan partikel obat bius tadi
akan masuk kedalam saluran pernafasan melalui masker atau endotracheal tube. Setelah
masuk kedalam paru-paru pada saat pasien menghembuskan nafas maka gas tadi akan
keluar, pada proses ini sebagian oksigen akan di filter kandungan karbondioksidanya
dan setelah kandungan karbondioksida hilang oksigen tersebut bisa masuk lagi kedalam
saluran pernafasan, siklus tersebut akan selalu berulang-ulang sampai pasien tertidur.
Setelah pasien tertidur, maka gas N2O dan obat bius tadi akan dihentikan. Jadi setelah
pasien tertidur gas yang dialirkan hanya Oksigen yang berfungsi untuk menjaga sistem
pernafasan pasien.
2. Monitor
a. Pengertian
Alat yang difungsikan untuk memonitor kondisi fisiologis pasien. Domana
proses monitoring tersebut dilakukan secara real time sehingga dapat diketahui kondisi
fisiologis pasien pada saat itu juga.
b. Parameter monitor
Parameter adalah bagian-bagian fisiologis dan pasien yang diperiksa
melalui monitor pasien jika kita ketahui ada sebuah monitor pasien dengan 5
parameter maka yang dimaksud dari 5 parameter tersebut adalah banyaknya jenis
pemeriksaan yang bisa dilakukan oleh monitor tersebut.
Didalam istilah monitor kita mengetahui beberapa parameter yang diperiksa,
parameter itu antara lain:
c. Jenis monitor
Beberapa jenis monitor pasien
(a) Pasien monitor vital sign, pasien monitor ini bersifat pemeriksaan stándar, yaitu
pemeriksaan ECG, Respirasi, Tekanan darah atau NIBP, dan Kadar oksigen
dalam darah / saturasi darah / SpO2.
(b) Pasien monitor 5 parameter, pasien monitor ini bisa melakukan pemeriksaan
seperti ECO, Respirasi, Tekanan darah atau NIBP, kadar oksigen dalam darah /
saturasi darah / SpO2, dan Temperatur.
(c) Pasien monitor 7 parameter, pasien monitor ini biasanya dipakai diruangan
operasi. karena ada satu parameter tambahan yang biasa dipakai pada saat operasi,
yaitu “ECG, Respirasi, Tekanan darah atau NIBP (Non Invasive Blood Pressure),
kadar oksigen dalam darah / Saturasi darah / SpO2, temperatur, dan sebagai
tambahan adalah IBP (Invasive Blood Pressure).
d. Accessories monitor
Yang termasuk dalam aksesoris pasien monitor adalah tergantung dari
parameter pengukuran yang ada. Seperti ECG, NIBP, SpO2, Temperatur.
Bayi premature 80
3 bulan 70
6 bulan 60
1-2 tahun 59
l1-l6 tahun 58
Dewasa 58-60
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelurn tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam
kompartemen. intraselular dan kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen
ekstraselular dibagi menjadi cairan intravaskular dan intersisial.
2) Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang
dewasa, sekitar duapertiga dan cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar
27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram),
sebaliknya pada bayi hanya setengah dan berat badannya merupakan cairan
intraselular.
3) Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dan
cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan
ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dan volume total. Ini sebanding dengan
sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg. Cairan eksfraselular
dibagi menjadi :
Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12
liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif
terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir
dibandingkan orang dewasa.
Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 L dimana 3 liternya
merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.
Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dan ruang transeluler.
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elelctrolit dan non
elektrolit:
• Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik.
Elelctrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah
kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).
• Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan
kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa
terdapat di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
• Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat
(HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat
(PO43-). Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada
intinya sama maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dan cairan
eksfraseluler tetapi tidak mencerminkan komposisi cairan intraseluler.
• Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan.
Zat lainya tenmasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.
5) persiapan mental.
7) Premedikasi anastesi
antara lain:
1. Sulfas Atropin
a. Penggunaan
Pengobatan dari sinus bradikardi/CPR
Premedikasi (vagosis)
Reversal dari blokade neuromuskular (blokade efek muskarinik anticolinergik)
Terapi tambahan pada pengobatab bronkospasme dan tukak lambung
b. Dosis
Dewasa :
IV/IM/SC : 0,5-1,0 mg ulang setiap 3-5 menit sesuai indikasi,
dosis maksimurn 40 µg / kg
Anak :
IV/IM/SC : 10-20 pg/kg (dosis minimum: 0,1 mg)
c. Premedikasi
Dewasa:
IV/IM : 0,4-T,0 mg
PO : 0,4-0,6 mg tiap 4-6 jam
Anak-anak
IV : 10-20 μg/kg BB (dosis minimum 0,1 mg)
PO : 30 μg/kg BB setiap 4-6 jam
Pada reseptor muskarinik. Menurunkan sekresi saliva, bronkus dan lambung dan
merelaksasi otot polos bronkus, tonus dan motilitas gastrointestinal berkurang, tekanan
sfinfier esophagus bagian bawah berkurang, dan tekanan intraokuler meningkat (karena
dilatasi pupil). Dalam dosis digunakan untuk premedikasi. Peningkatan TOP ini secara
klinis tidak bermakna. Dosis yang besar dapat meningkatkan suhu tubuh dengan mencegah
sekresi keringat.
Blokade vagus perifer dari sinus dan nodus AV meningkatkan nadi. Penurunan
sementara dari nadi dosis yang kecil (0,5 mg pada orang dewasa) disebabkan oleh efek
agonis kolinergik muskarinik perifer yang lemah. Atropin merupakan suatu amin tersier
dan karena itu melintasi sawar darah otak pada dosis yang tinggi merangsang dan
d. Farmakokinetik
e. Interaksi / Intoxixitas
f. Pedoman / peringatan
• Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan takiaritmia, gagal jantung kongestif
(CHF), iskemia miokard akut atau infark, demam, refluk esophagus, infeksi.
• Kontraindikasi pada pasien dengan glukoma sudut sempit uropati obstriktif, penyakit
obstruktif trakus.
• Jika tidak tersediaakses intra vens selama resusitasi kardiopuirnoner, obat dapat
diencerkan 1:1 dalam normal saline steril dan disuntikkan via suatu tube andotrakea
kecepatan lama absorbs dan efek farmakologik dan pemberian obat intra trakeal dengan
nate IV.
• Dapat berakumulasi dan menimbulkan efek samping sistemik dengan dosis majemuk
melalui inhalsi khususnya pada manusia,
• Bayi dan anak kecil dan pasien manula lebih rentan terhadap efak system atropine,
contohnya nadi yang cepat dan teratur, demam, eksitas agitasi.
GI : Refluk gastroesofagus
Dermatologik : Urtikaria
2. Petidhine
a) Penggunaan
Premedikasi
Analgesia
b) Dosis
• Analgesia
• Infus
c) Farmakologi
otak terutama diekskresikan dalam urin. Pada pemberian yang lama dapat
Transfer placenta maksimum dan depresi neonates terjadi 2-3 jam setelah
d) Farmakokinetik
akan tetapi kecepatan absorbs mungkin tidak teratur setelah suntikan TM.
Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang
dicapai bervariasi antar individu. Setelah pemberian secara oral, sekitar 50%
obat mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maksimal dalam plasma
tercapai dalam 1-2 jam. Setelah pemberian meperidine IV, kadarnya dalam
dalam urine. Sebanyak 1/3 dan dosis meperidine ditemukan dalam urine.
penderita berobat jalan reaksi ini timbul lebih sering dan lebih berat opstipasi
dan retensi urine tidak begitu sering timbul pada morin tetapi efek sedasinya
mungkin tidak mengalami hal tersebut bila morfin diganti dengan meperidine,
terhadap morfin dan opioi lain. Pada penderita hati dan orang tua dosis obat
harus dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposis obat. Selain itu
sedasi dan obat-obat lain penekan SSP. Pada penderita yang sedang mendapat
tremor dan kovulsi bahkan juga depresi nafas, koma dan kematian. Depresi
nafas oleh meperidine dapat dilawan oleh nalorfin atau nalokson. Pada
pecandu meperidine yang telah kebal akan efek depresi, pemberian meperidine
dalam dosis besar dapat menimbulkan tremor, kedutan otot, midriasis, reflek
panjang terutama pada gangguan fungsi ginjal atau anemi bulan sabit.
f) Indikasi
masa kerjanya yang lebih pendek daripada morpin. Misalnya untuk tindakan
4. Midazolam
a) Farmakodinamik
karena
(1) Premedikasi
(2) Sedasi
(3) Induksi
IV 50-350igIkg
(4) Antikonvulsan
c) Farmakologi
Mula kerja:
IM sedasi: sampai 15 menit;
IV.: 1-5 menit.
Puncak efek: IM:0,5-1 jam.
Durasi: IM sampai 6 jam; rata-rata 2 jam.
Absorpsi oral cepat. Distribusi: Vd: 0,8-2,5 L/kg; meningkat oleh adanya
gagal jantung kongestif dan gagal ginjal kronik. Ikatan protein 95%.
Metabolisme: secara ekstensif di hati melalui CYP3A4. Biovailabilitas rata-
rata 45%. Waktu paruh eliminasi: 1-4 jam; diperpanjang oleh sifrosis, gagal
jantung kongestif, obesitas dan ketuaan. Ekskresi : lewat urin sebagai
metabolit yang terkonjugasi oleh glukuronat; feses 2-10%.
d) Penyimpanan
Pada konsentrasi akhir 0,5 mg/ml stabil sampai 24 jam bila diencerkan
dengan larutan NaC1 fisiologis atau larutan dekstrosa 5%. Larutan 1 mg/mli
dalam NaCl fisiologis stabil sampai 10 hari. Dapat juga dicampur dengan
dari cahaya.
e) Kontra Indikasi
bentuk sediaan parental tidak boleh digunakan untuk intratekal atau epiderual;
f) Efek Samping
g) Interaksi Makanan
h) Interaksi Obat
diturunkan 30% padausia < 65 tahun, 50% pada usia > 65 tahun bila diberikan
rifamisin.
i) Pengaruh Kehamilan
j) Peringatan
Hipotensi dan depresi pernafasan yang tidak diharapkan dapat terjadi jika
kelabihan dosis dengan tindakan suportif dan flumazenil (IV lambat 0,2-1
mg).
k) Mekanisme Aksi
ion Chlorida.
2.9.3.2 Induksi
1. Propofol
memiliki efek anti emetic intrinsic. Dapat menekan korteks adren& dan
perpusi otak, dapat terjadi pelepasan histamin dan reaksi alergi kemugkinan
a) Farmakologi
terjadi nekrosis jaringan, pada injeksi intra arteri tidak terjadi nekrosis
jaringan. Mekanisme kerja: diduga menghasilkan efek sedative hipnotik
b) Dosis
spuit 20cc.
c) Kontra Indikasi
Pada pasien yang mengalami alergi terhadap telur atau minyak kedelai.
d) Efek Samping
2. Ketamine
Pertama kali ditemukan oleh Domino dan Carsen tahun 1965, yang
adanya reflex laring yang normal atau agak meningkat, tonus otot rangka yang
Pengaruh terhadap ECG meliputi peningkatan aktifitas alfa, delta, Dan tetap
uterus terkait dosis tanpa efek berlawananterhadap aliran darah uterus (pada
melepaskan histamin.
b) Farmakokinetik
c) Sifat Fisik
d) Penggunaan Klinik
pengenceran:
e) Dosis
Terhadap Kardiovaskuler
histamine
g) Indikasi
Pasien asmatik
Untuk pasien resiko tinggi karena ketamine tidak mendepresi fungsi vital
h) Kontraindikasi
Hipertensi dengan systole > 160 mmHg, diastole > 100 mmHg
i) Keuntungan Ketamin
Mudah pemberiannya
Harga mahal
Hipertensi
Relaksasi kurang
Peningkatan salivasi
Hindari sedasi ketamine TM (1-2 mg/kg) pada bayi praterm karena dapat
Jangan campur dengan barbiturate dalam suntikan yang sama Karena dapat
1. Fentanyl
Obat analgesic yang sangat kuat berupa cairan isotonic steril untuk
morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan
metabolit tidak aktif dan obat utuh 2-12 %.Pada kerusakan ginj al terj adi
Dosis
(1) Analgesia
Induksi
IV : 2-20 μg/kg
Anestesik Tunggal
Epidural
Spinal
b) Penyimpanan
c) Kontraindikasi
tidak derekomendasikan pada nyeri akut atau paska operasi, nyeri kronis
ringan atau intermitten atau pasien yang belum pernah menggunakan opioid
e) Efek Samping
Kardiovaskuler : hipotensi, bradikardi
Pulmoner depresi pernafasan, apneu
SSP : pusing, penglihatan kabur, kejang
Mata miosis
Muskuloskeletal kekakuan otot
GI : mual, emesis, pengosongan lambung tertunda, spasme trakstus
biliaris.
f) Interaksi Obat
neuromuskuler
Kumarin, antikoagulan : potensiasi aktivitas antikoagulan
kengestifjantung
opioid.
o Pengaruh Menyusui
Parameter Monitoring
3) Bentuk Sediaan
Suntikan 50 μg/ml
4) Peringatan
Hati-hati pada pasien disfungsi hati dan ginjal karena akan memperiama kerja dan
efek akurnulasi opioid, juga pada pasien lanjut usia, pada depresi SSP yang parah,
anoreksia, hiperkapnia, depresi pernapasan, aritmia, kejang, cedera kepala, tumor otak dan
asma bronkial.
Informasi Pasien
Hindari pemakaian alkohol, dapat menyebabkan ngantuk (hati-hati mengendarai
mobil atau menjalankan mesin), gangguan koordirtasi, pada penggunaan jangka panjang
Mekanisme Aksi
Berikatan dengan reseptor di system saraf pusat, mempengaruhi persepsi dan respon
terhadap nyeri.
1. Naloxone
delta, kappa dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien setelah mendapatkan
morfm akan terlihat : laju nafas meningkat, kantuk menghilang, pupil mata
Kegunaan
akhir pembedahan dengan dosis dicicil 1-2 μg/KgBB IV, dapat diulang flap 3-
Pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan per inflis dosis 4-5
μg/kg/jam. Untuk depresi nafas neonates yang ibunya mendapat opioid berikan
10 cc, sehingga tiap cc mengandung 0,04 mg, bisa diberikan bertahap yaitu
Eliminasi Dimetabolisme di
liver.
Penggunaan:
Farmakologi
secara kompetisi menghambat agonis opiate pada reseptor mu, delta, kappa
sedasi, hipotensi, analgesia dan spasme traktus biliaris. Nalokson dapat juga
Depresi SSP dan pernafasan sebagai akibat sekunder kelebihan dosis captopril,
(vasodilatasi poten) yang dilepaskan pada pasien syok septik atau kardiogenik,
pupil.
Farmakokinetik
simpatis termasuk takikardi, hipertensi, edema paru dan aritmia jantung. Mual dan
Pedoman/peringatan
potensial kardotoksik.
o Jika akses intravena tidak ada, obat dapat diencerkan 1:1 dalam NS
ketergantungan narkotik.
Kemasan
Efek samping narkotik: IV, 0,4-0,8 mg (1-2 ampul) dalam 100 ml.
1. Adrenalin
a. Farmakologi
adrenergik adalah Non epinefrmne. Efek paling menonjol adalah efek pada
jantung, otot polos pembuluh darah dan otot polos lain.Obat ini menstimuler
baik alfa maupun betha reseptor. Zat ini juga dibentuk dalam medulla supra
ujung-ujung saraf adrenergik dan dilepaskan oleh acetil choline dan serabut
Sistem Kardiovaskuler
miokard dan nadi. Tekanan sistole akan meninggi tetap tekanan diastole tidak
bertambahnya cardi output inilah yang akan menyebabkan tekanan darah naik,
tekanan darah perifer juga naik. Sangat penting digunakan pada penderita
jantung dan jaringan konduksi. ini merupakan dasar efek inotropik dan
atrial (SA) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian mempercepat firing rate
mempunyai firing rate yang lebih cepat. Epinefrine memperkuat waktu sistolik
jantung berkurang.
Ginjal/Kandung Kemih
Menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui reseptor Beta-2 dan kotraksi otot
urine.
Sistem Respirasi
secara topikal maupun injeksi. Hal ini dapat menambah tidal volume walaupun
sudah ada kontraksi otot polos bronchus karena asma bronkial, histamin, ester
kolin, pilorkapin, bradikinin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (SRS-A) dan
dari sel-sel mast melalui reseptor B2, serta mengurangi sekresi bronkus dan
Epinefrmne pada dosis terapi tidak mempunyai efek stimulasi SSP kuat
karena obat ini relatif polar sehingga sukar masuk SSP. Tetapi pada banyak
polos saluran cerna pada umumnya, tonus dan motilitas usus dan lambung
berkurang, tapi spinter pylorus dan spinter ileocolic akan berkontraksi (efek
alfa dan betha). sekresi dan kelenjar-kelenjar usus akan terlambat. Glikogin
akan dimobilisir dan liver, sehingga kadar gula darah akan naik.
b. Farmakokinetik
karena sebagian besar oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat
pada dinding usus dan hati. Pada penyuntikan sub kutan, absorpsi yang lambat
suntikan. Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada
pemberian lokal
enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini.
dikeluarkan dalam urine. Pada orang normal jumlah epinefrine dalam urine
hanya sedikit.
c. Intoksikasi
kepala berdenyut, pusing, sukar bernafas, dan palpitasi. Gejala-gejala ini cepat
setelah istirahat. Penderita hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek-
efek tersebut diatas maupun terhadap efek pada sistem vaskuler. Pada
epinefrmne yang besar atau penyuntikan IV cepat dengan tidak disengaja akan
dapat diberikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrit atau natrium
bisa terjadi biasanya bersifat fatal, ini terutama terjadi bila epinefrine diberikan
organic.
Inhalasi 1 - 3 jam
d. Penggunaan Klinis
jantung pada waktu terjadi henti jantung oleh berbagai sebab. Secara lokal obat
e. Dosis
Henti Jantung
Dosis standart Bolus IV, 1 mg atau 0,02 mg/kg (10 ml atau 0,02 mg/kg
larutan 1; 10000). Berikan setiap 3 - 5 menit seperlunya, jika tidak ada respon
setelah dosis kedua berikan dosis tinggi.
Dosis tinggi (dapat diterima, kemungkinan dapat membantu), bolus IV 5
intra vena tidak ada encerkan 5 - 10 mg atau 0,1 - 0,2 mg/kg ( 5 - 10 ml larutan
1 : 1000) dalam volume yang sama normal saline steril dan suntikan via tube
endotrakea.
Dewasa 0,1 - 0,5mg sub kutan atau IM ( 0,1 - 0,5 ml dilarutkan 1: 10000)
subkutan dapat diulangi dalam interval 10 -15 menit pada pasien dengan syok
anafilatik dan dalam interval 20 menit hingga 4 jam pada pasien asma.
2. Lidokain
a) Penggunaan
Anestesi regional, pengobatan aritmia ventrikuler, khususnya jilca
berkaitan dengan infark miokard akut atau pembedahan jantung, perlemahan
prosesor terhadap intubasi (tekanan darah/ tekanan intracranial: pelemahan
fasikulasi yang diakibatkan subsikolin.
b) Dosis
Antiaritmik : bolus IV lambat, 1 mg/kg (dalam 1%-2%) diikuti oleh 0,5
hemodinarnik stabil.
Pelemahan fasikulasi
Anestesi local
6-12 ml/jam (larutan 0,55 dengan atau tanpa narkotik pidural); anak-anak
d) Kemasan
langsung 1%-2%, suntikan untuk campuran TV 4%, 10%, 20%, suntikan untuk
e) Farmakologi
Anestesi local turunan amida ini mempunyai awitan aksi yang cepat.
merupakan suatu obat antiarimik kelas 1 B, yang secara otomatis menekan dan
mempendek periode refraktek efek dan lama potensial aksi dan system his-
purkinje. Lama potensial aksi dan periode refraktef aktif otot ventrikuler juga
tekanan darah yang ditimbulkan oleh intubasi trakea. Jika diberikan secara
intravena, hal ini disebabkan oleh efek analgesic dan efek anatetik local
f) Farmakokinetik
g) Pedoman / Peringatan
amida
kemih dan usus, deficit motorik, sensorik, otonomik dan segmen bawah.
3. Ephedrine
a) Farmakodinamik
berefek
Durasi efek kira-kira 30-40 menit tetapi dosis ulang kurang efektif
b) Penggunaan
Memiliki keuntungan bahwa cardiac out put dan venous return itu
meningkat
c) Dosis
d) Pedoman
sistemik.
Dapat menimbulkan suatu tingkat stimulasi SSP tidak dapat diterirna yang
menimbulkan
3. Isofluran
berwarna, tidak eksplosif, tidak mengandung zat pengawet, dan relatif tidak
larut dalam darah tapi cukup iritatif terhadap jalan nafas sehingga pada saat
induksi inhalasi sering menimbulkan batuk dan tahanan nafas. Proses induksi
inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih lebih lambat dibandingkan dengan
sevofluran.
a) Efek Farmakologi
sirkulasi serebrum serta mekanisme autoregtilasi aliran darah otak tetap stabil.
Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah lebih ringan
dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain. Tekanan darah dan denyut
nadi relatif stabil selama anestesi. Dengan demikian isofluran merupakan obat
diberikan.
Terhadap ginjal
Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah ginjal dan laju
fitrasi glomerulus sehingga produksi urin berkurang, akan tetapi masih dalam
batas normal.
Terhadap hati
hepatotoksik.
b) Biotransformasi
c) Fenggunaan Klinik
d) Dosis
Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 2-3%
e) Kontra Indikasi
Tidak ada kontra indikasi yang unik. Hati-hati pada hipovolemik berat.
4. Sevoflurane
tidak berbau, stabil di tempat biasa (tidak perlu tempat gelam), dan tidak
terlihat adanya degradasi sevofluran dengan asam kuaat atau panas. Obat ini
tidak bersifat iritatif terhadap jalan nafas sehingga baik untuk induksi inhalasi.
anestesi inhalasi yang ada pada saat ini. Sevofluran dapat dirusak oleh kapur
a) Efek Farmakologi
Efek depresinya pada SSP hampir sama dengan Aliran darah otak sedikit
enfluran.
tahanan vaskuler sisternik kira-kira 20% dan tekanan darah arteri kira-kira
20%-40%. Curah jantung akan menurun 20% pada pemakaian sevofluran lebih
koroner. Dilatasi arresi koroner yang terjadi akibat sevofluran lebih kecil
sevofluran aman dipakai untuk penderita penyakit jantung koroner atau yang
mempunyai resiko penyakit jantung iskemik, tetapi penelitian pada orang tua
Seperti halnya dengan obat anestesi inhalasi yang lain sevofluran juga
yang diberikan sehingga volume tidal akan menurun, tapi frekuensi nafas
sedikit meningkat. Pada manusia, 1,1 MAC sevofluran menyebahkan tingkat
depresi pemafasan hampir sama dengan halotan dan pada 1,4 MAC tingkat
isofluran. Relaksasi otot dapat terjadi pada anestesi yang cukup dalam denga
penggunaan sevofluran oleh lebih dari dua jua orang sejak tahun l988.
meningkatkan konsentrasi fluoride plasma, tetapi tidak ada bukti hal ini
Terhadap uterus
kehilangan darah minimal. Tidak terjadi efek buruk pada bayi dan ibu.
hemodinamik ibu dan efek samping pasca bedah adalah sebanding antara
c) Elemmnasi
tetapi masih lebih cepat dibanding isofluran, enfluran, dan halotan. Sevofluran
menjadi produk tidak aktif, kemudian diekskresikan lewat urine. Tidak ada
d) Penggunaan Klinik
hipnotik, juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Pada
bayi dan anak-anak yang tidak kooperatif, sangat baik digunakan untuk
e) Dosis
(1) Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 3,0-
f) Kontra Indikasi
(1) Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap
volatil lain.
5. Desflurane
dibandingkan dengan agen volatil yang lain. Memerlukan alat penguap khusus
a) Efek Farmakologi
takikardi, akan tetapi tidak bermakna dalam meningkatkan tekanan darah. Efek
b) Biotransformasi
hipnotik, desfiuran juga mempunyai efek analgetik yang ringan dan relaksasi
otot ringan.
d) Dosis
e) Kontra Indikasi
2.10.1 Pengkajian
teliti dan cermat sehingga seluruh kebutuhan perawatan pada klien dapat
1. Pengkajian pre op
Pengkajian ini dilakukan sejak pasien MRS sampai saat operasinya, yang
meliputi :
a. Identitas pasien
Meliputi nama, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, usia, alamat, setatus
sakit
e. Pemeriksaan fisik
B1 (Breath)
nafas, perkembangan dada, bentuk dada, gangguan pola nafas, serta anatomis
anestesi.
B2 (Blood)
Meliputi pemeriksaan tekanan darah, nadi, suhu, perfusi, CRT serta hal-
hal lain yang berhubungan dengan sirkulasi dan perdarahan yang dapat
B3 (Brain)
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
a) Keluhan utama
Keluhan post operasi yang sering muncul adalah rasa nyeri, tidak nyaman
b) Keadaan umum
c) Pemeriksaan fisik
2012).
2.10.4 Perencanaan
(Nikmatur, 2012)
2.10.5 Pelaksanaan
yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap
Pada bab ini akan disajikan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan anestesi
dengan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian,
perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang
dilakukan pada tanggal 2 Juli 2021 pukul 16.00 WIB di ruang operasi OK 1 RSU
dr. Suyudi Paciran kab, Lamongan dengan uraian sebagai berikut:
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas pasien
Nama : Sdr. A
No. RM : 04.97.xx
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 17 tahun
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Alamat : Kemantren 07/04 Paciran Lamongan
Tgl. MRS : 01 Juli 2021 pkl 22.00 WIB
Tgl. Pengkajian: 02 Juli 2021 pkl 16.00 WIB
B2 (Blood)
Akral teraba hangat kering, didapatkan CRT ‹ 2 detik, dari hasil
pemeriksaan vital sign didapatkan tensi 130/80 MmHg dan nadi 100x/mnt, dari
auskultasi didapatkan suara jantung S1 S2 tunggal.
B3 (Brain)
Sadar baik, GCS e 4, v 5, m 6, pupil isokor ukuran 2mm/2mm, kooperatif
namun sedikit takut karena merupakan pengalaman pertama pasien menjalani
operasi.
B4 (Blader)
Genitalia normal, BAK spontan normal dengan konsistensi warna kuning
jernih tanpa nyeri dan bau khas. Jumlah ± 250cc pkl 13.00.
B5 (Bowel)
Pasien saat ini telah puasa sejak sekitar pkl 09.30 pagi, makan terakhir (nasi
dan lauk pauk) pkl 07.00 pagi, minum terakhir air putih pkl 09.30.
BAB pagi ini sekitar pukul 05.00 saat akan sholat subuh, dengan kosistensi
lembek, warna kuning dan bau khas, untuk jumlah tidak terkaji.
B6 (Bone)
Cara berjalan normal, pasien mengalami keterbatasan gerak di tangan kanan
karena terdapat fraktur di jari tangan ke 3 sebelah kanan. Bengkak, dan deformitas
Edukasi :
ajarkan teknik batuk
efektif (jika pasien
sadar)
Kolaborasi :
kolaborasi pemberian
bronkodilatir,
ekspetoran, mukolitik,
jika perlu
Gangguan rasa Setelah dilakukan asuhan Pemberian obat Intravena
nyaman nyeri keperawatan selama 10 menit di Observasi:
berhubunhan harapkan nyeri dapat teratasi Identifikasi
dengan efek dengan kriteria hasil: kemungkinan
pembedahan TD dalam batas nosrmal 110- alergi,interaksi,dan
ditandai 120 mmHg kontraindikasi
dengan Nadi kembali normal 70-90 Monitor efek terapeutik
TD naik x/mnt Monitor efek samping,
145/85 dan toksisitas, dan interaksi
nadi 121x/mnt obat
Terapeutik:
Lakukan prinsip 6
benar (pasien, obat,
dosis, waktu, Rute,
dokumentasi)
Pastikan ketepatan dan
kepatenan kateter IV
Bertikan obat IV
dengan kecepatan yang
tepat
Edukasi:
Jelaskan jenis obat,
alasan pemberian obat,
tindakan yang di
harapkan, dan efek
samping sebelum
pemberian obat.
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian
obat analgetik jika
perlu
Nyeri Akut setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri :
berhubungan asuhan keperawatan selama Observasi :
dengan agen 2x60 menit diharapkan Tingkat identifikasi lokasi,
pencedera fisik Nyeri Menurun dengan kriteria karakteristik, durasi,
(prosedur hasil : frekuensi, kualitas,
pembedahan) keluhan nyeri menurun insensitas nyeri
ditandai meringis menurun identifikasi skala nyeri
dengan pasien gelisah menurun identifikasi repon nyeri
mengeluh frekuensi nadi membaik non verbal
nyeri pada area identifikasi faktor yang
pola nafas membaik
yang dilakukan memperberat dan
tekanan darah dalam
operasi memperingan nyeri
batas normal
skala nyari 5 Terapeutik :
berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri
Edukasi :
jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
jelaskan strategi
meredakan nyeri
anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat
ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi :
kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Sumber: SDKI, SLKI, SIKI (PPNI, 2019)
propofol 20 iv nyeri
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas masalah yang ditemui selama
melaksanakan asuhan keperawatan anestesi pada Pasien Sdr. A dengan diagnosa
fraktur phalanx medial digiti 3 manus dekstra dengan General Anestesi LMA di
Ruang OK Rumah Sakit Umum dr. Suyudi Paciran Kab. Lamongan. Adapun
masalah tersebut berupa kesenjangan antara teori dan pelaksanaan praktik secara
langsung, meliputi pengkajian, diagnosis keperawatan, intervensi, implementasi
dan evaluasi.
Masalah yang penulis temukan selama melaksanakan asuhan keperawatan
anestesi pada Pasien Sdr. A dengan diagnosa medis fraktur phalanx medial digiti
3 manus dekstra dengan General Anestesi LMA di Ruang OK Rumah Sakit
Umum dr. Suyudi Paciran Kab. Lamongan.. adalah sebagai berikut:
4.1 Pengkajian
4.1.1 Identitas Pasien
Pengkajian identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur,
agama/kepercayaan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa,
alamat, nomor register dan diagnosa medis.
Pasien bernama Sdr. A, nomor register 04.97.xx, berjenis kelamin laki-laki,
berumur 17 tahun, suku Jawa, pasien beragama Islam, pendidikan terakhir pasien
adalah SMA, pasien adalah seorang pelajar, pasien bertempat tinggal di desa
Kemantren kab. Lamongan.
Berdasarkan data teori dan kasus di atas, penulis berpendapat dengan
menanyakan dan mengetahui identitas pasien merupakan salah satu upaya untuk
menjalankan patient safety. Selain itu, latar belakang pasien juga memengaruhi
kemampuan pasien dalam menerima informasi yang penulis berikan sehingga
pasien bertindak kooperatif saat dilakukan tindakan.
2. Riwayat Alergi
Berdasarkan data yang diperoleh melalui anamnesa, pasien tidak memiliki
riwayat alergi obat dan/atau makanan.
2. B1 (Breath)
Pemeriksaan meliputi beberapa aspek seperti, respiratory rate, suara nafas,
perkembangan dada, dan gangguan pola nafas, serta anatomis jalan nafas yang
dapat memengaruhi atau menyulitkan dalam pemberian tindakan anestesi.
Jalan napas pasien bebas, pasien bernapas dengan spontan, pergerakan dada
simetris, RR 16-20 kali/menit, SPO2 98-100% tanpa menggunakan oksigen
tambahan, tidak terlihat otot bantu napas, tidak ada pernapasan cuping hidung,
suara napas vesikuler pada kedua lapang paru, tidak ada suara ronchi, tidak ada
suara wheezing.
Berdasarkan data teori dan kasus di atas, penulis berpendapat kondisi sistem
pernapasan pasien berfungsi dengan baik dan tidak ada masalah yang ditemukan.
3. B2 (Blood)
Pemeriksaan meliputi tekanan darah, nadi, suhu, perfusi, CRT, serta hal-hal
lain yang berhubungan dengan sirkulasi dan pendarahan yang dapat mendukung
pelaksanaan anestesi serta proses operasi.
Berdasarkan data teori dan kasus di atas, penulis berpendapat kondisi sistem
sirkulasi pasien berfungsi dengan baik dan tidak ada masalah yang ditemukan.
4. B3 (Brain)
Keadaan umum pasien yang meliputi kesadaran pasien, orientasi pasien,
kecemasan. Hasil pemeriksaan yang penulis lakukan adalah Pasien sadar baik,
GCS pasien E4, V5, M6, pasien bertindak kooperatif, pupil paisen isokor, ukuran
2 mm/2 mm. Berdasarkan data teori dan kasus di atas, penulis berpendapat
kondisi sistem persarafan pasien berfungsi dengan baik dan tidak ada masalah
yang ditemukan.
5. B4 (Bladder)
Frekuensi berkemih normal, warna kuning jernih, pancaran normal, Hasil
pemeriksaan yang penulis dapatkan adalah Genitalia normal, Berdasarkan data
teori dan kasus di atas, terkait masalah genitalia pasien dalam batas normal.
6. B5 (Bowel)
Pemeriksaan yang meliputi sekitar abdomen dan sistem pencernaan
yang ada di dalamnya seperti contohnya gangguan eliminasi BAB.
Hasil pemeriksaan yang penulis dapatkan adalah Abdomen pasien
supel, tidak terdapat jejas atau luka, bising usus positif, suara perkusi
timpani, tidak ada nyeri tekan pada supra pubis, terasa gerakan janin
berkurang.
Berdasarkan data teori dan kasus di atas, penulis berpendapat kondisi
sistem pencernaan pasien berfungsi dengan baik dan tidak ditemukan
masalah resiko gawat.
7. B6 (Bone)
Kemampuan beraktivitas, kekuatan otot, gangguan motorik, lokasi operasi,
atau pemeriksaan terhadap postur tubuh yang menyimpan, serta pemeriksaan
terhadap odema.
Hasil pemeriksaan yang penulis dapatkan adalah terdapat jari tengah tangan
kanan terlihat bengkak, sedikit deformitas, dan terasa nyeri.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Secara garis besar penulis akan menyimpulkan tentang apa yang
dibahas di bab-bab sebelumnya yaitu :
1. Pelaksaan pengkajian harus dilakukan sedetail mungkin agar mendapatkan
data yang akurat dan dapat di pertanggung jawabkan, baik dari pengkajian
langsung pada pasien dan keluarga maupun dari hasil pengkajian dignostic
yang dilakukan.
4. Didalam pelaksaan anestesi segala hal dapat terjadi, maka dari itu kita harus
cepat tanggap, memahami kondisi-kondisi yang bisa terjadi saat
pelaksanaan anestesi.
6. Hasil akhir dari pelayanan Anestesi adalah tercapainya keadaan yang aman
dan nyaman pada pasien, serta efek minimal pada pasien, baik jangka
panjang maupun jangka pendek
5.2 Saran Saran
Untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta,
maka perlu di dukung oleh praktek lapangan yang cukup, sehingga
pengetahuan yang didapatkan akan lebih sinkron dan aplikatif, yang
merupakan tolak ukur suatu evaluasi kegiatan pendidikan dan pelatihan.
Sebagai perawat anestesi harus mampu berkolaborasi dan bekerja tim
dalam melaksanakan pelayanan yang optimal, dan tak henti-hentinya belajar
dan terus belajar dalam mengembangkan potensi agar dapat berkontribusi
positif dan mengaplikasikan ilmu serta senangtiasa menjaga etika-etika.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Asuhan
Keperawatan Perioperatif pada pasien Sdr. A dengan Diagnosa Medis
Fraktur Phalanx Medial Digiti 3 Manus Dekstra Dengan General Anestesi
LMA di RSU dr. Suyudi Paciran Kab. Lamongan, penulis menyadari masih
banyak kekurangan, untuk itu penulis mohon kritik dan saran yang
membangun.