Anda di halaman 1dari 70

7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang (Helmi, 2012).


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan
maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik (Price, 2005).

Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari
5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta
orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki
prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas atas sekitar 40% dari
insiden kecelakaan yang terjadi. Menurut depkes RI (2011), Penyebab
terbanyaknya adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses
degeneratif dan osteoporosis juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya fraktur.

Pada usia pediatric dan dewasa kasus fraktur tentu berbeda, pada pediatric
fraktur bukan menjadi hal yang langka sehingga dalam pembedahan memerlukan
anestesi khusus. Penatalaksanaan anastesi pada pediatrik sedikit berbeda bila
dibandingkan dengan dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
mendasar antara anak dan dewasa, meliputi perbedaan anatomi, fisiologi, respon
farmakologi dan psikologi pada anak. Walaupun terdapat perbedaan yang
mendasar, tetapi prinsip utama anestesi yaitu kewaspadaan, keamanan,
kenyamanan, dan perhatian pada anak maupun dewasa adalah sama. Beberapa
tahapan anastesi pediatrik seperti tahapan evaluasi, persiapan pra bedah, dan
tahapan premedikasi-induksi merupakan tahapan yang paling menentukan
keberhasilan dari tindakan anastesia yang akan kita lakukan. Berjalannya setiap
tahap dengan baik akan menentukan untuk tahap selanjutnya.
8

Fenomena yang ada di rumah sakit menunjukan bahwa pasien pediatrik di


rumah sakit mengalami berbagai masalah keperawatan dalam diantaranya nyeri,
hambatan mobilitas, resiko infeksi, cemas dalam perianestesi. Masalah tersebut
harus di antisipasi dan di atasi agar tidak terjadi komplikasi. Peran perawat sangat
penting dalam perawatan pasien pre, intra dan post anestesi terutama dalam
pemberian asuhan keperawatan pada pasien.

Berdasarkan uraian di atas, maka saya tertarik untuk memberikan asuhan


keperawatan anestesi pada pasien dengan fraktur humerus dengan pendekatan
proses keperawatan di gedung GBPT RSUD Dr. Soetomo Surabaya

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana asuhan keperawatan perianestesi pada pasien an. G dengan
fraktur humerus yang dilakukan tindakan orief dengan general anestesi di OK Lt.
2 RSU dr. Suyudi Paciran Lamongan.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Penulis mampu melakukan asuhan keperawatan anestesi pada pasien
dengan fraktur humerus yang dilakukan tindakan orief dengan anestesi
umum.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan fraktur
humerus yang dilakukan tindakan operasi dengan general anestesi.
2. Penulis mampu menganalisa dan membuat diagnose keperawatan
anestesi pada pasien dengan fraktur humerus yang dilakukan
operasi dengan general anestesi.
3. Penulis mampu menyusun intervensi atau rencana keperawatan
anestesi pada pasien dengan fraktur humerus yang dilakukan
operasi dengan general anestesi
9

4. Penulis mampu melakukan tindakan keperawatan anestesi pada


pasien dengan fraktur humerus yang dilakukan operasi dengan
anestesi umum.
5. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan fraktur
humerus yang dilakukan tindakan operasi dengan general anestesi.
6. Penulis mampu melakukan dokumentasi pada pasien dengan
fraktur humerus yang dilakukan tindakan operasi dengan general
anestesi.

1.4 Manfaat Penyusunan KTI


1.4.1 Manfaat Teoritis
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan proses
asuhan keperawatan anestesi pada pasien dengan fraktur humerus yang
dilakukan tindakan operasi dengan general anestesi di OK Lt. 2 RSU dr.
Suyudi Surabaya.

1.4.2 Manfaat Praktik


1. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan penulis tentang asuhan keperawatan anestesi
pada pasien dengan fraktur humerus yang dilakukan tindakan operasi
dengan general anestesi

2. Bagi perawat anestesi


Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan tingkat profesi mekanisme
pelayanan keperawatan anestesi yang sesuai dengan setandar asuhan
keperawatan anestesi.

3. Bagi institusi pendidikan


Memberi masukan bagi institusi sehingga dapat menghasilkan perawat
anestesi yang kompeten dalam memberikan asuhan keperawatan anestesi.
10

1.5 Metode Penulisan


Dalam penyusunan laporan kasus ini, penyusun menggunakan metode
penulisan deskriptif dalam bentuk studi kasus dengan tahap-tahapan
meliputi, pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaan/intervensi, dan
evaluasi (Nikmatur 2012).
Cara yang digunakan dalam pengumpulan data diantaranya :
1.5.1 Anamnesa
Tanya jawab/komunikasi secara langsung dengan keluarga untuk
mengkajiinformasi tentang setatus, keluhan pasien. Komunikasi yang
digunakan adalah komunikasi terapiutik (Nikmatur 2012).

1.5.2 Observasi
Tindakan secara umum mengamati perilaku dan keadaan pasien (Nikmatur
2012).

1.5.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan empat cara yaitu
dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

1.5.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi, contoh : foto
thorax, pemeriksaan laboratorium, ECG, dll (Nikmatur 2012).

1.6 Lokasi dan Waktu


Pelaksanaan asuhan keperawatan anestesi dilakukan pada hari Rabu, 02
Juni 2021 di OK Lt. 2 RSU dr. Suyudi Pacoran Kab. Lamongan

1.7 Strategi Pelaksanaan

1. Wawancara
2. Pemeriksaan Fisik
3. Observasi
11

4. Studi dokumentasi
12

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi Tulang Humerus


13
14

Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar


dari ekstremitas superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal
dengan skapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan
dua tulang, ulna dan radius.3

Ujung proksimal humerus memiliki bentuk kepala bulat (caput


humeri) yang bersendi dengan kavitas glenoidalis dari scapula untuk
membentuk articulatio gleno-humeri. Pada bagian distal dari caput humeri
terdapat collum anatomicum yang terlihat sebagai sebuah lekukan oblik.
Tuberculum majus merupakan sebuah proyeksi lateral pada bagian distal
dari collum anatomicum. Tuberculum majus merupakan penanda tulang
bagian paling lateral yang teraba pada regio bahu. Antara tuberculum
majus dan tuberculum minus terdapat sebuah lekukan yang disebut
sebagai sulcus intertubercularis. Collum chirurgicum merupakan suatu
penyempitan humerus pada bagian distal dari kedua tuberculum, dimana
caput humeri perlahan berubah menjadi corpus humeri. Bagian tersebut
dinamakan collum chirurgicum karena fraktur sering terjadi pada bagian
ini.

Corpus humeri merupakan bagian humerus yang berbentuk seperti


silinder pada ujung proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi
berbentuk segitiga hingga akhirnya menipis dan melebar pada ujung
15

distalnya. Pada bagian lateralnya, yakni di pertengahan corpus humeri,


terdapat daerah berbentuk huruf V dan kasar yang disebut sebagai
tuberositas deltoidea. Daerah ini berperan sebagai titik perlekatan tendon
musculus deltoideus.

Beberapa bagian yang khas merupakan penanda yang terletak pada


bagian distal dari humerus. Capitulum humeri merupakan suatu struktur
seperti tombol bundar pada sisi lateral humerus, yang bersendi dengan
caput radii. Fossa radialis merupakan suatu depresi anterior di atas
capitulum humeri, yang bersendi dengan caput radii ketika lengan
difleksikan. Trochlea humeri, yang berada pada sisi medial dari capitulum
humeri, bersendi dengan ulna. Fossa coronoidea merupakan suatu depresi
anterior yang menerima processus coronoideus ulna ketika lengan
difleksikan. Fossa olecrani merupakan suatu depresi posterior yang besar
yang menerima olecranon ulna ketika lengan diekstensikan. Epicondylus
medialis dan epicondylus lateralis merupakan suatu proyeksi kasar pada
sisi medial dan lateral dari ujung distal humerus, tempat kebanyakan
tendon otot-otot lengan menempel. Nervus ulnaris, suatu saraf yang dapat
membuat seseorang merasa sangat nyeri ketika siku lengannya terbentur,
dapat dipalpasi menggunakan jari tangan pada permukaan kulit di atas area
posterior dari epicondylus medialis.

Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung


atas), korpus, dan ujung bawah.
a. Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang
membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan
bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang
lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas
dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas
Mayor dan disebelah depan terdapat sebuahmbenjolan lebih kecil yaitu
Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus
16

intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah


tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.

b. Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih.
Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas
deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah
benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial
ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf
muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.

c. Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi
dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi
sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan
ulna dan disebelah luar terdapat kapitulum yang bersendi dengan
radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat
epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)

2.2.1 Fungsi Tulang (secara umum)


a. Memberi kekuatan pada kerangka tubuh
b. Tempat melekatnya otot
c. Melindungi organ penting
d. Tempat pembuatan sel darah
e. Tempat penyimpanan garam mineral. (Ignatavicius, Donna D,
1993)

2.2.2 Sel-sel Pada Tulang


Sel-sel pada tulang adalah :
1) Osteoblas
Sel ini bertanggung jawab atas pembentukan matriks tulang, oleh
karena itu banyak ditemukan pada tulang yang sedang tumbuh. Selnya
17

berbentuk kuboid atau silindris pendek, dengan inti terdapat pada


bagian puncak sel dengan kompleks Golgi di bagian basal. Sitoplasma
tampak basofil karena banyak mengandung ribonukleoprotein yang
menandakan aktif mensintesis protein.
Pada pengamatan dengan M.E tampak jelas bahwa sel-sel tersebut
memang aktif mensintesis protein, karena banyak terlihat RE dalam
sitoplasmanya. Selain itu terlihat pula adanya lisosom.

2) Osteosit
Merupakan komponen sel utama dalam jaringan tulang. Pada
sediaan gosok terlihat bahwa bentuk osteosit yang gepeng mempunyai
tonjolan-tonjolan yang bercabang-cabang. Bentuk ini dapat diduga
dari bentuk lacuna yang ditempati oleh osteosit bersama tonjolan-
tonjolannya dalam canaliculi. Dari pengamatan dengan M.E dapat
diungkapkan bahwa kompleks Golgi tidak jelas, walaupun masih
terlihat adanya aktivitas sintesis protein dalam sitoplasmanya. Ujung-
ujung tonjolan dari osteosit yang berdekatan saling berhubungan
melalui gap junction. Hal-hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan
adanya pertukaran ion-ion di antara osteosit yang berdekatan.
Osteosit yang terlepas dari lacunanya akan mempunyai kemampuan
menjadi sel osteoprogenitor yang pada gilirannya tentu saja dapat
berubah menjadi osteosit lagi atau osteoklas.

3) Osteoklas
Merupakan sel multinukleat raksasa dengan ukuran berkisar
antara 20 μm-100μm dengan inti sampai mencapai 50 buah. Sel ini
ditemukan untuk pertama kali oleh Köllicker dalam tahun 1873 yang
telah menduga bahwa terdapat hubungan sel osteoklas (O) dengan
resorpsi tulang. Hal tersebut misalnya dihubungkan dengan
keberadaan sel-sel osteoklas dalam suatu lekukan jaringan tulang yang
dinamakan Lacuna Howship (H). keberadaan osteoklas ini secara khas
terlihat dengan adanya microvilli halus yang membentuk batas yang
18

berkerut-kerut (ruffled border). Gambaran ini dapat dilihat dengan


mroskop electron. Ruffled border ini dapat mensekresikan beberapa
asam organik yang dapat melarutkan komponen mineral pada enzim
proteolitik lisosom untuk kemudian bertugas menghancurkan matriks
organic. Pada proses persiapan dekalsifikasi
a. Osteoklas cenderung menyusut dan memisahkan diri dari
permukaan tulang. Relasi yang baik dari osteoklas dan tulang
terlihat pada gambar
b. Resorpsi osteoklatik berperan pada proses remodeling tulang
sebagai respon dari pertumbuhan atau perubahan tekanan
mekanikal pada tulang. Osteoklas juga berpartisipasi pada
pemeliharaan homeostasis darah jangka panjang.

Selain pendapat di atas, ada sebagian peneliti berpendapat bahwa


keberadaan osteoklas merupakan akibat dari penghancuran tulang.
Adanya penghancuran tulang osteosit yang terlepas akan bergabung
menjadi osteoklas. Tetapi akhir-akhir ini pendapat tersebut sudah
banyak ditinggalkan dan beralih pada pendapat bahwa sel-sel
osteoklas-lah yang menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan
tulang.

4) Sel Osteoprogenitor
Sel tulang jenis ini bersifat osteogenik, oleh karena itu dinamakan
pula sel osteogenik. Sel-sel tersebut berada pada permukaan jaringan
tulang pada periosteum bagian dalam dan juga endosteum. Selama
pertumbuhan tulang, sel-sel ini akan membelah diri dan mnghasilkan
sel osteoblas yang kemudian akan akan membentuk tulang.
Sebaliknya pada permukaan dalam dari jaringan tulang tempat
terjadinya pengikisan jaringan tulang, sel-sel osteogenik menghasilkan
osteoklas.
19

Sel – sel osteogenik selain dapat memberikan osteoblas juga


berdiferensiasi menjadi khondroblas yang selanjutnya menjadi sel
cartilago. Kejadian ini, misalnya, dapat diamati pada proses
penyembuhan patah tulang. Menurut penelitian, diferensiasi ini
dipengaruhi oleh lingkungannya, apabila terdapat pembuluh darah
maka akan berdiferensiasi menjadi osteoblas, dan apabila tidak ada
pembuluh darah akan menjadi khondroblas. Selain itu, terdapat pula
penelitian yang menyatakan bahwa sel osteoprogenitor dapat
berdiferensiasi menjadi sel osteoklas lebih – lebih pada permukaan
dalam dari jaringan tulang.

Sel osteoprogenitor : merupakan sel mesenchimal primitive yang


menghasilkan osteoblast selama pertumbuhan tulang dan osteosit pada
permukaan dalam jaringan tulang.

Tulang membentuk formasi endoskeleton yang kaku dan kuat


dimana otot-otot skeletal menempel sehingga memungkinkan
terjadinya pergerakan. Tulang juga berperan dalam penyimpanan dan
homeostasis kalsium. Kebanyakan tulang memiliki lapisan luar tulang
kompak yang kaku dan padat.

Tulang dan kartilago merupakan jaringan penyokong sebagai


bagian dari jaringan pengikat tetapi keduanya memiliki perbedaan
pokok antara lain :
- Tulang memiliki system kanalikuler yang menembus seluruh
substansi tulang.
- Tulang memiliki jaringan pembuluh darah untuk nutrisi sel-sel
tulang.
- Tulang hanya dapat tumbuh secara aposisi.
- Substansi interseluler tulang selalu mengalami pengapuran.

2.2.3 Jenis Jaringan Tulang


20

Secara histologis tulang dibedakan menjadi 2 komponen utama, yaitu :


- Tulang muda/tulang primer
- Tulang dewasa/tulang sekunder
Kedua jenis ini memiliki komponen yang sama, tetapi tulang primer
mempunyai serabut-serabut kolagen yang tersusun secara acak, sedang
tulang sekunder tersusun secara teratur.

a. Jaringan Tulang Primer


Dalam pembentukan tulang atau juga dalam proses penyembuhan
kerusakan tulang, maka tulang yang tumbuh tersebut bersifat muda atau
tulang primer yang bersifat sementara karena nantinya akan diganti
dengan tulang sekunder
Jaringan tulang ini berupa anyaman, sehingga disebut sebagai woven
bone. Merupakan komponen muda yang tersusun dari serat kolagen yang
tidak teratur pada osteoid. Woven bone terbentuk pada saat osteoblast
membentuk osteoid secara cepat seperti pada pembentukan tulang bayi
dan pada dewasa ketika terjadi pembentukan susunan tulang baru akibat
keadaan patologis.
Selain tidak teraturnya serabut-serabut kolagen, terdapat ciri lain
untuk jaringan tulang primer, yaitu sedikitnya kandungan garam mineral
sehingga mudah ditembus oleh sinar-X dan lebih banyak jumlah osteosit
kalau dibandingkan dengan jaringan tulang sekunder.
Jaringan tulang primer akhirnya akan mengalami remodeling menjadi
tulang sekunder (lamellar bone) yang secara fisik lebih kuat dan resilien.
Karena itu pada tulang orang dewasa yang sehat itu hanya terdapat
lamella saja.

b. Jaringan Tulang Sekunder


Jenis ini biasa terdapat pada kerangka orang dewasa. Dikenal juga
sebagai lamellar bone karena jaringan tulang sekunder terdiri dari ikatan
paralel kolagen yang tersusun dalam lembaran-lembaran lamella. Ciri
khasnya : serabut-serabut kolagen yang tersusun dalam lamellae(lapisan)
setebal 3-7μm yang sejajar satu sama lain dan melingkari konsentris
21

saluran di tengah yang dinamakan Canalis Haversi. Dalam Canalis


Haversi ini berjalan pembuluh darah, serabut saraf dan diisi oleh jaringan
pengikat longgar. Keseluruhan struktur konsentris ini dinamai Systema
Haversi atau osteon.

Sel-sel tulang yang dinamakan osteosit berada di antara lamellae


atau kadang-kadang di dalam lamella. Di dalam setiap lamella, serabut-
serabut kolagen berjalan sejajar secara spiral meliliti sumbu osteon, tetapi
serabut-serabut kolagen yang berada dalam lamellae di dekatnya arahnya
menyilang.
Di antara masing-masing osteon seringkali terdapat substansi amorf yang
merupakan bahan perekat.

Susunan lamellae dalam diaphysis mempunyai pola sebagai berikut :


- Tersusun konsentris membentuk osteon.
- Lamellae yang tidak tersusun konsentris membentuk systema
interstitialis.
- Lamellae yang malingkari pada permukaan luar membentuk
lamellae circumferentialis externa.
- Lamellae yang melingkari pada permukaan dalam membentuk
lamellae circumferentialis interna.

c. Periosteum
Bagian luar dari jaringan tulang yang diselubungi oleh jaringan
pengikat pada fibrosa yang mengandung sedikit sel. Pembuluh darah
yang terdapat di bagian periosteum luar akan bercabang-cabang dan
menembus ke bagian dalam periosteum yang selanjutnya samapai ke
dalam Canalis Volkmanni. Bagian dalam periosteum ini disebut pula
lapisan osteogenik karena memiliki potensi membentuk tulang. Oleh
karena itu lapisan osteogenik sangat penting dalam proses
penyembuhan tulang.
22

Periosteum dapat melekat pada jaringan tulang karena :


pembuluh-pembuluh darah yang masuk ke dalam tulang.
terdapat serabut Sharpey ( serat kolagen ) yang masuk ke dalam tulang.
terdapat serabut elastis yang tidak sebanyak serabut Sharpey.

d. Endosteum
Endosteum merupakan lapisan sel-sel berbentuk gepeng yang
membatasi rongga sumsum tulang dan melanjutkan diri ke seluruh
rongga-rongga dalam jaringan tulang termasuk Canalis Haversi dan
Canalis Volkmanni. Sebenarnya endosteum berasal dari jaringan
sumsum tulang yang berubah potensinya menjadi osteogenik.

e. Komponen Jaringan Tulang


Sepertinya halnya jaringan pengikat pada umumnya, jaringan
tulang juga terdiri atas unsur-unsur : sel, substansi dasar, dan komponen
fibriler. Dalam jaringan tulang yang sedang tumbuh, seperti telah
dijelaskan pada awal pembahasan, dibedakan atas 4 macam sel :

2.2.4 Matriks Tulang


Berdasarkan beratnya, matriks tulang yang merupakan substansi
interseluler terdiri dari ± 70% garam anorganik dan 30% matriks
organic.
95% komponen organic dibentuk dari kolagen, sisanya terdiri dari
substansi dasar proteoglycan dan molekul-molekul non kolagen yang
tampaknya terlibat dalam pengaturan mineralisasi tulang. Kolagen yang
dimiliki oleh tulang adalah kurang lebih setengah dari total kolagen
tubuh, strukturnya pun sama dengan kolagen pada jaringan pengikat
lainnya. Hampir seluruhnya adalah fiber tipe I. Ruang pada struktur tiga
dimensinya yang disebut sebagai hole zones, merupakan tempat bagi
deposit mineral.
23

Kontribusi substansi dasar proteoglycan pada tulang memiliki


proporsi yang jauh lebih kecil dibandingkan pada kartilago, terutama
terdiri atas chondroitin sulphate dan asam hyaluronic. Substansi dasar
mengontrol kandungan air dalam tulang, dan kemungkinan terlibat
dalam pengaturan pembentukan fiber kolagen.

Materi organik non kolagen terdiri dari osteocalcin (Osla protein)


yang terlibat dalam pengikatan kalsium selama proses mineralisasi,
osteonectin yang berfungsi sebagai jembatan antara kolagen dan
komponen mineral, sialoprotein (kaya akan asam salisilat) dan
beberapa protein.

Matriks anorganik merupakan bahan mineral yang sebagian besar


terdiri dari kalsium dan fosfat dalam bentuk kristal-kristal
hydroxyapatite. Kristal –kristal tersebut tersusun sepanjang serabut
kolagen. Bahan mineral lain : ion sitrat, karbonat, magnesium,
natrium, dan potassium.

Kekerasan tulang tergantung dari kadar bahan anorganik dalam


matriks, sedangkan dalam kekuatannya tergantung dari bahan-bahan
organik khususnya serabut kolagen.

2.2.5 Mekanisme Klasifikasi dan Reapsorsi Tulang


Proses kalsifikasi tulang yang kompleks belum diketahui secara
pasti, namun disini akan dibahas garis besarnya.
Kalsifikasi dalam tulang tidak terlepas dari proses metabolisme
kalsium dan fosfat. Bahan-bahan mineral yang akan diendapkan
semula berada dalam aliran darah. Osteoblas berperan dalam
mensekresikan enzim alkali fosfatase.

Dalam keadaan biasa, darah dan cairan jaringan mengandung


cukup ion fosfat dan kalsium untuk pengendapan kalsium Ca3(PO4)2
24

apabila terjadi penambahan ion fosfat dan kalsium. Penambahan ion-


ion tersebut diperoleh dari pengaruh enzim alkali fosfatase dari
osteoblas. Hal tersebut juga dapat diperoleh dari pengaruh hormone
parathyreoid dan pemberian vitamin D atau pengaruh makanan yang
mengandung garam kalsium tinggi.

Faktor lain yang harus diperhitungkan yaitu keadaan pH karena


kondisi yang agak asam lebih menjurus ke pembentukan garam
CaHPO4 daripada Ca3(PO4)2. Karena CaHPO4 lebih mudah larut,
maka untuk mengendapkannya dibutuhkan kadar fosfat dan kalsium
yang lebih tinggi daripada dalam kondisi alkali untuk mengendapkan
Ca3(PO4)2 yang kurang dapat larut.

Kenaikan kadar ion kalsium dan fosfat setempat sekitar osteoblast


dan khondrosit hipertrofi disebabkan sekresi alkali fosfatase yang
akan melepaskan fosfat dari senyawa organik yang ada di sekitarnya.
Serabut kolagen yang ada di sekitar osteoblast akan merupakan inti
pengendapan, sehingga kristal-kristal kalsium akan tersusun sepanjang
serabut.

Resorpsi tulang sama pentingnya dengan proses kalsifikasinya,


karena tulang akan dapat tumbuh membesar dengan cara menambah
jaringan tulang baru dari permukaan luarnya yang dibarengi dengan
pengikisan tulang dari permukaan dalamnya.

Resorpsi tulang yang sangat erat hubungannya dengan sel-sel


osteoklas, mencakup pembersihan garam mineral dan matriks organic
yang kebanyakan merupakan kolagen. Dalam kaitannya dengan
resorpsi tersebut terdapat 3 kemungkinan :
- Osteoklas bertindak primer dengan cara melepaskan mineral
yang disusul dengan depolimerisasi molekul-molekul organic,
25

- Osteoklas menyebabkan depolimerisasi mukopolisakarida dan


glikoprotein sehingga garam mineral yang melekat menjadi
bebas,
- Sel osteoklas berpengaruh kepada serabut kolagen, cara yang
paling mudah untuk osteoklas dalam membersihkan garam
mineral yaitu dengan menyediakan suasana setempat yang
cukup asam pada permukaan kasarnya. Bagaimana cara
osteoklas membuat suasana asam belum dapat dijelaskan.
Perlu pula dipertimbangkan adanya lisosom dalam sitoplasma
osteoklas yang pernah dibuktikan.

2.2.6 Vaskularisasi
a. Arteri Epiphyseal → masuk pada Epiphysis
b. Arteri Metaphyseal → masuk pada Metaphysis
c. Arteri Nutricia →masuk pada Corpus
d. Cabang-cabang arteri ke Periosteum

2.2.7 Otot dan Saraf Pada Humerus

Nama Otot Origo Insersio Aksi Persarafan


M. pectoralis Clavicula, Tuberculum Aduksi dan Nervus
major sternum, majus dan sisi merotasi medial pectoralis
cartilago lateral sulcus lengan pada medialis dan
costalis II-VI, intertubercularis sendi bahu; lateralis
terkadang dari humerus kepala clavicula
cartilago memfleksikan
costalis I-VII lengan dan
kepala
sternocostal
mengekstensikan
lengan yang
fleksi tadi ke
26

arah truncus

M. latissimus Spina T7-L5, Sulcus Ekstensi, aduksi, Nervus


dorsi vertebrae intertubercularis dan merotasi thoracodorsalis
lumbales, crista dari humerus medial lengan
sacralis dan pada sendi bahu;
crista iliaca, menarik lengan
costa ke arah inferior
IV inferior dan posterior
melalui fascia
thoracolumbali
s

M. Extremitas Tuberositas Serat lateral Nervus axillaris


deltoideus acromialis dari deltoidea dari mengabduksi
clavicula, humerus lengan pada
acromion dari sendi bahu; serat
scapula (serat anterior
lateral), dan memfleksikan
spina scapulae dan merotasi
(serat posterior) medial lengan
pada sendi bahu,
serat posterior
mengekstensikan
dan merotasi
lateral lengan
pada sendi bahu.

M. Fossa Tuberculum Merotasi medial Nervus


subscapularis subscapularis minus dari lengan pada subscapularis
dari scapula humerus sendi bahu
27

M. Fossa Tuberculuum Membantu M. Nervus


supraspinatus supraspinata majus dari deltoideus subscapularis
dari scapula humerus mengabduksi
pada sendi bahu

M. Fossa Tuberculum Merotasi lateral Nervus


infraspinatus infraspinata majus dari lengan pada suprascapularis
dari scapula humerus sendi bahu

M. teres Angulus Sissi medial Mengekstensikan Nervus


major inferior dari sulcus lengan pada subscapularis
scapula intertubercularis sendi bahu dan
membantu
aduksi dan rotasi
medial lengan
pada sendi bahu

M. teres Margo lateralis Tuberculum Merotasi lateral Nervus axillaris


minor inferior dari majus dari dan ekstensi
scapula humerus lengan pada
sendi bahu

M. Processus Pertengahan sisi Memfleksikan Nervus


coracobrachi coracoideus medial dari dan aduksi musculocutaneus
alis dari scapula corpus humeri lengan pada
sendi bahu

2.2.8 Pertumbuhan Tulang


Perkembangan tulang pada embrio terjadi melalui dua cara, yaitu
osteogenesis desmalis dan osteogenesis enchondralis. Keduanya
menyebabkan jaringan pendukung kolagen primitive diganti oleh
28

tulang, atau jaringan kartilago yang selanjutnya akan diganti pula


menjadi jaringan tulang. Hasil kedua proses osteogenesis tersebut
adalah anyaman tulang yang selanjutnya akan mengalami remodeling
oleh proses resorpsi dan aposisi untuk membentuk tulang dewasa yang
tersusun dari lamella tulang. Kemudian, resorpsi dan deposisi tulang
terjadi pada rasio yang jauh lebih kecil untuk mengakomodasi
perubahan yang terjadi karena fungsi dan untuk mempengaruhi
homeostasis kalsium. Perkembangan tulang ini diatur oleh hormone
pertumbuhan, hormone tyroid, dan hormone sex.

- Osteogenesis Desmalis
Nama lain dari penulangan ini yaitu Osteogenesis
intramembranosa, karena terjadinya dalam membrane jaringan.
Tulang yang terbentuk selanjutnya dinamakan tulang desmal. Yang
mengalami penulangan desmal ini yaitu tulang atap tengkorak.

Mula-mula jaringan mesenkhim mengalami kondensasi menjadi


lembaran jaringan pengikat yang banyak mengandung pembuluh
darah. Sel-sel mesenkhimal saling berhubungan melalui tonjolan-
tonjolannya. Dalam substansi interselulernya terbentuk serabut-
serabut kolagen halus yang terpendam dalam substansi dasar yang
sangat padat.

Tanda-tanda pertama yang dapat dilihat adanya pembentukan


tulang yaitu matriks yang terwarna eosinofil di antara 2 pembuluh
darah yang berdekatan. Oleh karena di daerah yang akan menjadi atap
tengkorak tersebut terdapat anyaman pembuluh darah, maka matriks
yang terbentuk pun akan berupa anyaman. Tempat perubahan awal
tersebut dinamakan Pusat penulangan primer.

Pada proses awal ini, sel-sel mesenkhim berdiferensiasi menjadi


osteoblas yang memulai sintesis dan sekresi osteoid. Osteoid
29

kemudian bertambah sehingga berbentuk lempeng-lempeng atau


trabekulae yang tebal. Sementara itu berlangsung pula sekresi
molekul-molekul tropokolagen yang akan membentuk kolagen dan
sekresi glikoprotein.

Sesudah berlangsungnya sekresi oleh osteoblas tersebut disusul


oleh proses pengendapan garam kalsium fosfat pada sebagian dari
matriksnya sehingga bersisa sebagai selapis tipis matriks osteoid
sekeliling osteoblas.
Dengan menebalnya trabekula, beberapa osteoblas akan terbenam
dalam matriks yang mengapur sehingga sel tersebut dinamakan
osteosit. Antara sel-sel tersebut masih terdapat hubungan melalui
tonjolannya yang sekarang terperangkap dalam kanalikuli.
Osteoblas yang telah berubah menjadi osteosit akan diganti
kedudukannya oleh sel-sel jaringan pengikat di sekitarnya. Dengan
berlanjutnya perubahan osteoblas menjadi osteosit maka trabekulae
makin menebal, sehingga jaringan pengikat yang memisahkan makin
menipis. Pada bagian yang nantinya akan menjadi tulang padat,
rongga yang memisahkan trabekulae sangat sempit, sebaliknya pada
bagian yang nantinya akan menjadi tulang berongga, jaingan pengikat
yang masih ada akan berubah menjadi sumsum tulang yang akan
menghasilkan sel-sel darah. Sementara itu, sel-sel osteoprogenitor
pada permukaan Pusat penulangan mengalami mitosis untuk
memproduksi osteoblas lebih lanjut

- Osteogenesis Enchondralis
Awal dari penulangan enkhondralis ditandai oleh pembesaran
khondrosit di tengah-tengah diaphysis yang dinamakan sebagai pusat
penulangan primer. Sel – sel khondrosit di daerah pusat penulangan
primer mengalami hypertrophy, sehingga matriks kartilago akan
terdesak mejadi sekat – sekat tipis. Dalam sitoplasma khondrosit
terdapat penimbunan glikogen. Pada saat ini matriks kartilago siap
30

menerima pengendapan garam – garam kalsium yang pada gilirannya


akan membawa kemunduran sel – sel kartilago yang terperangkap
karena terganggu nutrisinya. Kemunduran sel – sel tersebut akan
berakhir dengan kematian., sehingga rongga – rongga yang saling
berhubungan sebagai sisa – sisa lacuna. Proses kerusakan ini akan
mengurangi kekuatan kerangka kalau tidak diperkuat oleh
pembentukan tulang disekelilingnya. Pada saat yang bersamaan,
perikhondrium di sekeliling pusat penulangan memiliki potensi
osteogenik sehingga di bawahnya terbentuk tulang. Pada hakekatnya
pembentukan tulang ini melalui penulangan desmal karena jaringan
pengikat berubah menjadi tulang. Tulang yang terbentuk merupakan
pipa yang mengelilingi pusat penulangan yang masih berongga –
rongga sehingga bertindeak sebagai penopang agar model bentuk
kerangka tidak terganggu. Lapisan tipis tulang tersebut dinamakan
pipa periosteal.

Setelah terbentuknya pipa periosteal, masuklah pembuluh –


pembuluh darah dari perikhondrium,yang sekarang dapat dinamakan
periosteum, yang selanjutnya menembus masuk kedalam pusat
penulangan primer yang tinggal matriks kartilago yang mengalami
klasifikasi. Darah membawa sel – sel yang diletakan pada dinding
matriks. Sel – sel tersebut memiliki potensi hemopoetik dan
osteogenik. Sel – sel yang diletakan pada matriks kartilago akan
bertindak sebagai osteoblast. Osteoblas ini akan mensekresikan
matriks osteoid dan melapiskan pada matriks kartilago yang
mengapur. Selanjutnya trabekula yang terbentuk oleh matriks
kartilago yang mengapur dan dilapisi matriks osteoid akan mengalami
pengapuran pula sehingga akhirnya jaringan osteoid berubah menjadi
jaringan tulang yang masih mengandung matriks kartilago yang
mengapur di bagian tengahnya. Pusat penulangan primer yang terjadi
dalam diaphysis akan disusun oleh pusat penulangan sekunder yang
berlangsung di ujung – ujung model kerangka kartilago.
31

2.3 Konsep Teori fraktur


2.3.1 Pengertian fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma,
tekanan maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 2005). Sedangkan
menurut Smeltzer (2005) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang
yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang
dikenai stres yang lebih besar dari yang diabsorpsinya.

2.3.2 Penyebab fraktur


Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang
mempengaruhi jaringan sekitarnya mengakibatkan oedema jaringan lunak,
perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan
saraf dan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat
gaya yang disebabkan oleh fraktur atau gerakan fragmen tulang (Brunner
& Suddarth, 2005)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur:

a. Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang


mengenai tulang, arah serta kekuatan tulang.
b. Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi energi
trauma, kelenturan, densitas serta kekuatan tulang.
32

Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti


kecelakan mobil, olah raga atau karena jatuh. Jenis dan beratnya patah
tulang dipengaruhi oleh arah, kecepatan, kekuatan dari tenaga yang
melawan tulang, usia penderita dan kelenturan tulang. Tulang yang rapuh
karena osteoporosis dapat mengalami patah tulang.

2.3.3 Klasifikasi Fraktur


The Orthopedic Trauma Association (OTA), secara umum fraktur
diklasifikasi berdasarkan lima hal, yaitu berdasarkan nama tulang yang
terkena, lokasi fraktur, tipe fraktur dan hubungan dengan dunia luar, bentuk
atau pola patahan, dan juga kerusakan lainnya seperti stabilitas (OTA,
2010). Adapun klasifikasi fraktur berdasarkan dengan nama tulang yang
terkena contohnya adalah fraktur humerus, fraktur femur, fraktur
radius/ulnaris dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan hubungan dengan dunia
luar, fraktur dapat dibagi atas fraktur tertutup dan fraktur terbuka.

Jenis fraktur dapat dibagi menjadi:


a. Fraktur Tertutup (simple/close fracture)
Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit,
tetapi terjadi pergeseran tulang didalamnya. Pasien dengan fraktur
tertutup harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera
mungkin. Pasien diajarkan bagaimana cara mengontrol pembengkakan
dan nyeri yaitu dengan meninggikan ekstremitas yang cedera, dan mulai
melakukan latihan kekuatan otot yang dibutuhkan untuk pemindahan
atau menggunakan alat bantu jalan (Smeltzer & Bare, 2009)
b. Fraktur Terbuka (complicated/open fracture)
Fraktur terbuka merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran
mukosa sampai ke patahan tulang. Klasifikasi fraktur terbuka menurut
Gustilo – Anderson (Smeltzer & Bare, 2009) adalah:
1) Grade I : dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, kerusakan
jaringan lunak minimal, biasanya tipe fraktur simple transverse dan
fraktur obliq pendek.
33

2) Grade II : luka lebih dari 1 cm panjangnya, tanpa kerusaka


jaringan lunak yang ekstensif, fraktur komunitif sedang dan ada
kontaminasi.
3) Grade III : yang sangat terkontaminasi dan mengalami
kerusakan jaringan lunak yang ekstensif, kerusakan meliputi otot, kulit
dan struktur neurovascular.
4) Grade III ini dibagi lagi kedalam :
III A : fraktur grade III, tapi tidak membutuhkan kulit untuk penutup
lukanya.
III B : fraktur grade III, hilangnya jaringan lunak, sehingga tampak
jaringan tulang, dan membutuhkan kulit untuk penutup (skin graft).
III C : fraktur grade III, dengan kerusakan arteri yang harus
diperbaiki, dan beresiko untuk dilakukannya amputasi.

Fraktur juga dapat diklasifikasikan menurut bentuk dan pola


patahannya (Smeltzer & Bare, 2009), yaitu:
a. Fraktur transversal: Fraktur yang terjadi karena benturan langsung pada
titik fraktur dengan bentuk patahan fraktur adalah lurus melintang pada
batang tulang. Fraktur ini pada umumnya menjadi stabil kembali setelah
direduksi.
b. Fraktur oblik: Fraktur ini terjadi karena benturan tak langsung ketika
suatu kekuatan pada jarak tertentu menyebabkan tulang patah pada
bagian yang paling lemah. Fraktur ini berbentuk diagonal sepanjang
tulang dan biasanya terjadi karena pemelintiran padaekstremitas.
c. Fraktur spiral: Fraktur spiral terjadi ketika sebuah anggota gerak terpuntir
dengan kuat dan biasanya disertai dengan kerusakan pada jaringan lunak.
Bentuk patahan dari fraktur spiral hampir sama dengan fraktur obilk,
akan tetapi pada fraktur spiral patahannya mengelilingi tulang sehingga
seolah-olah terpilin seperti spiral.
d. Fraktur komunitiva: Fraktur komunitiva merupakan kondisi di mana
tulang yang patah pecah menjdai dua bagian atau lebih.
34

e. Fraktur kompresi: Fraktur yang terjadi ketika kedua tulang menumbuk


(akibat tubrukan) tulang ketiga yang berada di antaranya, contoh fraktur
jenis ini adalah tumbukan antara tulang belakang dengan tulang belakang
lainnya.
f. Fraktur greenstick: Fraktur di mana garis fraktur pada tulang tersebut
hanya parsial (tidak lengkap) pada sisi konveks bagian tulang yang
tertekuk, seperti ranting pohon yang lentur. Fraktur jenis ini hanya terjadi
pada anak-anak.
g. Fraktur patologik: Fraktur yang terjadi pada tulang yang sudah
mengalami kelainan misalnya metastase tumor.

2.3.4 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan
warna(Smeltzer,2005)
35

a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang


diimobilisasi.
b. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang normal.
c. Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang
melekat diatas maupun dibawah tempat fraktur.
d. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat
gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan


pemeriksaan sinar X. Setelah mengalami cedera, pasien akan mengalami
kebingungan dan tidak menyadari adanya fraktur, serta berusaha berjalan
dengan tungkai yang patah (Brunner & Suddarth, 2005). Nyeri
berhubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan
menghindari gerakan antar fragmen tulang dan sendi disekitar fraktur.

2.4 Konsep Dasar Nyeri pada Fraktur


2.4.1 Pengkajian Neurovaskular
Nyeri merupakan salah satu aspek dalam pengkajian neurovaskular.
Pengkajian neurovaskular pada pasien dengan trauma ekstremitas
merupakan keterampilan penting yang harus dimiliki oleh seorang
perawat.MenurutJudge(2007).
36

Pengkajian neurovaskular adalah tindakan yang dilakukan untuk


mengetahui fungsi neurologis dan integritas vaskuler dari ekstremitas.
Pengkajian ini dilakukan secara sistematis untuk mengetahui adanya
penurunan fungsi neurovaskular yang dapat membantu dalam upaya
pencegahan kematian jaringan dari ekstremitas yang mengalami cedera.
Pengkajian difokuskan pada tanda dan gejala penurunan status
neurovaskular yang berdasarkan pada prinsip 5 P yaitu pain (nyeri),
paralyze (kelemahan), pulselessness (penurunan/ hilangnya denyut nadi,
parestesia (kehilangan sensasi) dan pallor (penurunan suhu). Pengkajian
neurovaskuler dengan akurat serta pelaporan yang cepat dan tepat
dilakukan untuk mencegah iskemia, deformitas atau kehilangan fungsi
permanen dari ekstremitas tersebut.

Pengkajian neurovaskular dilakukan pada kasus trauma


muskuloskeletal, pada pasien yang dilakukan pemasangan gips, pasca
operasi orthopedik dan kasus pemasangan traksi. Beberapa hal yang
diobservasi pada pemeriksaan neurovaskular meliputi:
a. Warna
Warna ekstremitas yang dilakukan tindakan seharusnya natural yang
menggambarkan suplai arteri dan vena lancar ke area yang cedera.
Warna pucat mengindikasikan adanya sumbatan arteri dan warna
kebiruan mengindikasikan adanya sumbatan vena.
b. Suhu
Judge (2007), menyatakan bahwa pemeriksaan suhu dari ekstremitas
bagian bawah yang cedera dengan menggunakan punggung tangan.
Ekstremitas yang terasa dingin mengindikasikan adanya insufisiensi
arteri.
37

Ekstremitas yang lebih hangat dari ekstremitas yang tidak mengalami


cedera kemungkinan terdapat stasis vena.
c. Pergerakan/movement
Pasien disuruh untuk menggerakkan jemari serta pergelangan/sendi
ekstremitas sesuai dengan toleransi. Jika pasien tidak bisa melakukan
secara aktif, maka bantu dengan teknik pergerakan pasif.
Penurunan kemampuan pergerakan mengindikasikan masalah
persarafan.
d. Pengisian kapiler/capillary refill
Dilakukan dengan menekan ujung jari pada kuku dan melihat
pengembalian warna sehingga menjadi normal. Tekan ujung jari kuku
selama 2-3 detik sampai berwarna pucat kemudian lepas tekanan dan
observasi waktu sampai warna kuku kembali seperti semula:
1) Normal Capillary refill 1 – 2 detik
2) Capillary refill > 2 detik (lambat) : insufisiensi arteri.
e. Sensasi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui sensasi dengan meminta
pasien menutup mata saat melaksanakan sentuhan pada ekstremitas.
Kemudian minta pasien mendeskripsikan sentuhan tersebut, apakah
merasa dengan baik atau kesemutan / tidak merasakan sentuhan.
f. Nadi
Perawat melakukan palpasi pada daerah-daerah denyut nadi.
Bandingkan kekuatan denyutan dengan ekstremitas yang sehat.
38

g. Nyeri
Pasien yang mengalami iskemia karena vaskularisasi yang buruk akan
mengalami nyeri pada saat pergerakan pasif.

2.4.2 Nyeri Pada Fraktur


Nyeri merupakan gejala penting yang timbul pertama kali saat terjadi
kompartemen sindrom (Davis dan Lukas, 2005 dalam Judge, 2007).
Bagian pertama dari observasi neurovaskular adalah menentukan level
dari rasa nyeri yang dialami pasien. Alat pengkajian nyeri harus
memberikan pilihan sesuai kondisi pasien. Berbagai macam alat
pengkajian nyeri dapat digunakan dan masing – masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan tetapi yang paling penting alat pengkajian nyeri
harus sama digunakan oleh satu team yang memberikan perawatan pasien.
Hal ini akan meningkatkan reliabilitas dan menurunkan subyektifitas dari
pemeriksa. Numeric pain scale yang memberikan rata- rata dari tingkat
rasa nyeri dengan menggunakan skala dari angka satu sampai sepuluh
sangat berguna. Respon non verbal seperti mengepalkan tangan, meringis,
berkeringat juga penting sebagai perwujudan nyeri.

Nyeri dapat timbul secara primer baik karena masalah muskuloskeletal


maupun masalah penyertanya. Misalnya; tekanan pada tonjolan tulang
akibat dari pembidaian, spasme otot dan pembengkakan. Tekanan yang
berkepanjangan diatas tonjolan tulang dapat menyebabakan rasa terbakar.
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial (Brunner &
Suddarth, 2005).
39

Pasien dengan fraktur terjadi kerusakan fragmen tulang dan jaringan


sekitar. Jaringan tulang terutama pada periosteum terdapat ujung-ujung
saraf bebas sebagai reseptor nyeri. Kerusakan jaringan tulang dan
sekitarnya mengakibatkan keluarnya mediator kimia yaitu bradikinin,
histamin dan kalium yang bergabung dengan lokasi reseptor di nosiseptor
untuk memulai transmisi neural (Clancy dan Mc Vicar, 1992 dalam Potter
dan Perry, 2005). Bradikinin dilepas dari plasma yang keluar dari
pembuluh darah di jaringan sekitar pada lokasi cedera jaringan. Bradikinin
juga terikat dengan sel-sel yang menyebabkan reaksi rantai yang
menghasilkan prostaglandin dari pemecahan fosfolipid dalam membrane
sel. Rangsangan nyeri ini menyebar disepanjang serabut saraf perifer
aferen yang terdiri atas serabut A delta yang bermielin menghantarkan
impuls secara lebih cepat daripada serabut C yang tidak bermielin.
Transmisi stimulus nyeri berakhir di bagian kornu dorsalis medulla
spinalis. Di dalam kornu dorsalis, neurotransmitter seperti substansi
glutamat dan substansi P dilepaskan sehingga menyebabkan suatu
transmisi sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus. Impuls
nyeri diteruskan ke system saraf pusat, system limbik, thalamus, kortek
sensori dan kortek asosiasi sehingga nyeri dapat dipersepsikan (Potter dan
Perry, 2005)

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi


seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain
(IASP) yang dikutif dari Lestari (2010)
Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan
didapat terkait dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual
40

maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.


Nyeri merupakan sensasi peringatan bagi otak terhadap beberapa stimulus
yang menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Nyeri merupakan tanda
penting terhadap adanya gangguan fisiologis.

2.4.3 Penyebab Nyeri


Wiryoatmojo (2002) dalam Zahrulyza (2005) dan Lestari (2010),
menyatakan bahwa beberapa penyebab nyeri antara lain:
a. Rangsangan fisik misalnya karena terpapar suhu, mekanik, listrik, atau
pembedahan.
b. Rangsangan kimiawi, misalnya karena ada substansia algogenik
ekstrensik: HCl lambung, ATP, bradikinin, prostaglandin dari sel yang
rusak, serotonin, asetilkolin, asam laktat. Zat-zat ini akan menimbulkan
rasa nyeri bila keluar dari sel dan berada di jaringan interstisial.

2.4.4 Klasifikasi Nyeri


Secara umum nyeri diklasifikasikan kedalam 2 jenis yaitu:
a. Nyeri akut
Nyeri akut disebabkan oleh injuri pada tubuh. Nyeri ini merupakan
peringatan adanya potensial kerusakan jaringan yang membutuhkan
reaksi tubuh yang diperintahkan oleh otak. Nyeri dapat berkembang
secara cepat ataupun perlahan. Nyeri dikatakan akut jika berlangsung
paling lama 6 bulan sejak terjadinya injuri pada tubuh.
41

b. Nyeri kronis
Nyeri yang berlangsung lebih dari enam bulan biasanya
diklasifikasikan sebagai nyeri kronis. Nyeri kronis biasanya akibat
terjadinya penurunan fungsi tubuh.

2.4.5 Jenis - Jenis Nyeri


Mubarak dan Chayatin (2008), menyatakan bahwa ada tiga jenis nyeri
yaitu:
a. Nyeri perifer
Nyeri perifer ini dibedakan lagi menjadi tiga macam, yaitu:
1) Superficial pain, nyeri pada kulit, mukosa terasa tajam atau
seperti ditusuk, akibat dari rangsangan fisik, mekanis, kimiawi.
2) Deep pain (nyeri dalam), nyeri pada daerah viscera, sendi
pleura, peritoneum
3) Referred (menjalar), kejang otot didaerah lain, nyeri dirasakan
pada daerah yang jauh dari sumber rangsangan, sering terjadi pada
deep pain.
b. Nyeri sentral (central pain), akibat rangsangan pada tulang
belakang, batang otak, dan thalamus.
c. Nyeri psikogenik, keluhan nyeri tanpa adanya kerusakan di organ
tempat dan tingkat keparahan berupa (rekayasa). Nyeri psikogenik tidak
diketahui penyebab fisiknya. Seringkali muncul karena faktor
psikologis bukan karena faktor fisiologis.

2.4.6 Fisiologi Nyeri


Murdianto (2009), menyatakan reseptor nyeri adalah organ tubuh yang
berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor
42

nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap
stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga
nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf perifer.

Nosireseptor berdasarkan letaknya dapat dikelompokkan dalam


beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), dalam (deep somatic),
dan pada daerah, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang
timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal
dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya
mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.

Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:


a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0, 5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat


pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya.
Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri
yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Spasme otot menimbulkan nyeri
karena menekan pembuluh darah
43

yang menjadi anoksia. Spasme otot juga dapat berakibat anoksia.


Pembengkakan jaringan menjadi nyeri akibat tekanan kepada nosiseptor
yang menghubungkan jaringan (Brunner &Suddarth, 2005).

Sejumlah substansi dilepaskan kejaringan ekstraseluler sebagai


akibat dari kerusakan jaringan. Zat–zat kimia yang meningkatkan
transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin, dan
substansi prostaglandin. Prostaglandin adalah zat kimia yang diduga dapat
meningkatakan sensitivitas reseptor nyeri dengan meningkatkan efek dari
bradikinin.

2.4.7 Teori Transmisi Nyeri


Impuls nyeri dialirkan ke sumsum tulang belakang oleh dua jenis serabut
yaitu serabut- serabut yang bermielin rapat disebut serabut A-delta dan
serabut lamban yang disebutb serabut C. Menurut Long (1997) terdapat
beberapa teori tentang terjadinya pengiriman rangsangan nyeri yaitu :
a. Teori pengendalian gerbang (Gate Control Theory)
Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja saraf besar dan kecil yang
terdapat pada akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf besar
akan meningkatkan aktifitas substansia gelatinosa yang mengakibatkan
tertutupnya pintu mekanisme (gate control) sehingga aktifitas sel T
terhambat sehingga rangsangan ikut terhambat. Rangsangan saraf besar
ini langsung merangsang korteks cerebri. Hasil persepsi ini akan
dikembalikan ke medulla spinalis melalui serat efferent. Rangsangan
serat saraf kecil menghambat substansia
44

gelatinosa sehingga membuka pintu mekanisme gate control,


mengaktivasi sel T dan menghantarkan nyeri.
b. Teori pemisahan ( specifity theory)
Menurut teori ini rangsangan sakit masuk ke medulla spinalis melalui
kornu dorsalis yang bersinap didaerah posterior, kemudian naik ke
traktus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya dan
berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan diteruskan.
c. Teori pola (pattern theory)
Rangsangan nyeri masuk melalui akar dorsalis ke medulla spinalis
kemudian merangsang aktifitas sel T mengakibatkan respon yang
merangsang bagian lebih tinggi yaitu kortek serebri serta menimbulkan
persepsi.
d. Teori transmisi dan inhibisi
Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls saraf
sehingga menjadi lebih efektif oleh neurotransmitter yang spesifik.

2.4.8 Karakteristik Nyeri


Karakteristik nyeri meliputi letak atau lokasi, durasi, irama dan
kualitas (Brunner & Suddarth, 2005). Nyeri merupakan kejadian yang
bersifat individu. Untuk mengkaji nyeri dapat dilakukan dengan
pendekatan PQRST yaitu:
P: Provokating (pemacu) faktor yang memperberat atau
meringankan nyeri Q: Quality (kualitas) tumpul, tajam, merobek
R: Region
(daerah) lokasi S:
Severity
(keparahan)
T: Time (waktu) serangan, lamanya
45

2.4.9 Skala Intensitas Nyeri


Untuk mengetahui suatu tindakan terhadap nyeri berhasil atau
tidak, maka perlu adanya suatu alat ukur. Menurut AHCPR (Agency for
Health care policy and research, 1992 dalam Lestari, 2010) ada beberapa
metode pengukuran tingkat nyeri seperti yang terlihat dalam gambar
berikut ini:
a. Skala Visual Analog Nyeri ( Visual Analog Scale)
Skala analog visual (Visual Analog Scale) adalah suatu garis lurus
yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi
verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih
satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
46

Tidak nyeri Nyeri sangat

hebat

Gambar 1. Visual analog


scale
47

b. Skala Intensitas Nyeri Numerik ( Numeric Pain Rating Scale)


Skala penilaian NPRS (Numerical Pain Rating Scales) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala ini paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
48

01 2 3 4 5 6 7 8 910
49

Ti Nyeri sedang Nyeri


dak
hebat
n Gambar 2. Numerical pain rating
yeri scale
50

c. Skala Nyeri Bourbanis


0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang: secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat: secara obyektif klien tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya,
tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi.
10 : Nyeri sangat berat: Pasien tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
51

T Nyer Nyer Nye Ny


i i i ri eri
d ringa sedan bera san
a n g t gat
k ber
n at
3. Bourbanis scale
y
e
ri
52

2.4.10 Respon Terhadap Nyeri


Secara objektif respon nyeri dapat diamati berupa tanda dan gejala
fisiknya. Menurut Potter & Perry (2006) berupa respon fisiologis dan
respon prilaku sebagai berikut:
a. Respon prilaku akibat nyeri
Respon prilaku terhadap nyeri meliputi pernyataan verbal, prilaku
vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dan perubahan respon
terhadap lingkungan, seperti:
1) Menangis
2) Merintih
3) Mendesis
4) Merenggut
5) Memegang bagian tubuh yang terasa nyeri
6) Takut menggerakkan bagian tubuh
7) Mengepalkan tangan
8) Menarik diri

b. Respon fisiologis terhadap nyeri


Pada nyeri akut akan terjadi akan terjadi perubahan fisiologis yang
dianggap sebagai indikator nyeri:
1) Peningkatan frekuensi pernafasan
2) Peningkatan frekuensi nadi
3) Pucat
4) Berkeringat.
53

2.4.11 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri


Prohealth (2009), menyatakan bahwa nyeri yang dialami pasien
dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain:
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi. Pada lansia cenderung menyembunyikan nyeri yang dialami,
karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus
dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau
meninggal jika nyeri diperiksakan.

b. Makna nyeri
Makna nyeri berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.

c. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, lebih dipengaruhi budaya contoh:
tidak pantas kalau
laki-laki mengeluh nyeri sedangkan wanita boleh mengeluh nyeri.

d. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan
bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka
melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
54

e. Perhatian
Tingkatseorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
Dapat mempengaruhi persepsi nyeri.

f. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa
menyebabkan seseorang cemas.

g. Pengalaman masa lalu


Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan
saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi
nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung
pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

h. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.

i. Support keluarga
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat ntuk memperoleh dukungan dan
perlindungan.

2.4.12 Manajemen Nyeri


Metode nonfarmakologi yang dapat digunakan untuk pengelolaan
nyeri menurut Brunner & Suddarth (2005) adalah:
a. Stimulasi dan masase kutaneus
b. Terapi es dan panas
55

c. Stimulasi saraf elektris transkutan (Trancutaneus Electrical Nerve


Stimulating)
d. Distraksi
e. Teknik relaksasi pernafasan dan relaksasi otot progresif
f. Imaginasi terbimbing
g. Hypnosis
h. Metode bedah neuro dari penatalaksanaan nyeri

Metode farmakologi menurut Long (1997) dalam Lestari (2010)


pengelolaan nyeri menggunakan farmakologi dilakukan dengan pemberian
obat- obatan yang terdiri dari analgesik, narkotik, analgesik nonnarkotik,
Non Steroid Antiinflamatory Drug (NSAID) dan obat lain untuk mengura

2.4.13Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) dibagi
menjadi 2 yaitu:
a. Komplikasi awal
1) Syok
Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang merupakan
organ yang sangat vaskuler maka dapat terjadi perdarahan yang
sangat besar sebagai akibat dari trauma khususnya pada fraktur
femur dan fraktur pelvis.
2) Emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah
karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan
katekolamin yang dilepaskan memobilisasi asam lemak kedalam
aliran darah. Globula lemak ini bergabung dengan trombosit
membentuk emboli yang dapat
56

menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok darah ke otak,


paru- paru, ginjal dan organ lainnya.
3) Compartment Syndrome
Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat
perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini
disebabkan oleh karena penurunan ukuran fasia yang membungkus
otot terlalu ketat, balutan yang terlalu ketat dan peningkatan isi
kompartemen karena perdarahan atau edema.
4) Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan
koagulopati intravaskular.

b. Komplikasi lambat
1) Delayed union, malunion, nonunion
Penyatuan terlambat (delayed union) terjadi bila penyembuhan
tidak terjadi dengan kecepatan normal berhubungan dengan infeksi
dan distraksi (tarikan) dari fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang
juga dapat menyebabkan kesalahan bentuk dari penyatuan tulang
(malunion). Tidak adanya penyatuan (nonunion) terjadi karena
kegagalan penyatuan ujung- ujung dari patahan tulang.
2) Nekrosis avaskular tulang
Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah dan
mati. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan
diganti dengan tulang yang baru. Sinar-X menunjukkan kehilangan
kalsium dan kolaps struktural
57

3) Reaksi terhadap alat fiksasi interna


Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan tulang
namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai
menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan
indikator terjadinya masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan
mekanis dari pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai,
kegagalan material, berkaratnya alat, respon alergi terhadap logam
yang digunakan dan remodeling osteoporotik disekitar alat.

2.5 Penatalaksanaan Fraktur dan Kegawatdaruratannya


Menurut Brunner & Suddarth (2005) selama pengkajian primer dan
resusitasi, sangat penting untuk mengontrol perdarahan yang diakibatkan
oleh trauma muskuloskeletal. Perdarahan dari patah tulang panjang dapat
menjadi penyebab terjadinya syok hipovolemik. Pasien dievaluasi dengan
seksama dan lengkap. Ekstremitas sebisa mungkin jangan digerakkan
untuk mencegah kerusakan soft tissue pada area yang cedera.
58

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang


ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat, 2011).

a. Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada
fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama
masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan
imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara
manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada
fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur (Nayagam, 2010).

Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan


fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur
kolum femur. Fragmen direposisi secara nonoperatif dengan meja traksi,
setelah rereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis secara operatif pada
kolum femur (Nayagam, 2010).

Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan untuk


fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan
pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh dengan
batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar
antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk
fraktur terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk
terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di
sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu
bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multiple yang
berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait
dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi (Nayagam, 2010).
59

Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan


pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur, tibia,
humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di
dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan skrup di permukaan
tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai reposisi
sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi
tidak diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan
imobilisasi. Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di
reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung
terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yang
buruk dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple
dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi, fraktur pada
pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien geriatri) (Nayagam,
2010; Sjamsuhidajat dkk, 2011; Bucholz; Heckman; Court-Brown, 2006).

b. Reduksi fraktur
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajaran dan rotasi anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara tertutup,
terbuka dan traksi tergantung pada sifat fraktur namun prinsip yang
mendasarinya tetap sama.

c. Traksi
Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Menurut Brunner &
Suddarth (2005), traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian
tubuh untuk meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan,
serta mengurangi deformitas. Jenis – jenis traksi meliputi:
• Traksi kulit : Buck traction, Russel traction, Dunlop traction
• Traksi skelet: traksi skelet dipasang langsung pada tulang
dengan menggunakan pin metal atau kawat. Beban yang digunakan
pada traksi skeletal 7 kilogram sampai 12 kilogram untuk mencapai
efek traksi.
60

d. Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau
eksterna. Fiksasi eksterna dapat menggunakan pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu pin dan teknik gips. Fiksator interna dengan implant
logam.

e. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi


Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari diusahakan
untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

2.6 Konsep Dasar Pembidaian


2.6.1 Pengertian Pembidaian
Saleh (2006), menyatakan bahwa pembidaian (splinting) adalah suatu
cara pertolongan pertama pada cedera atau trauma pada sistem
muskuloskeletal yang harus diketahui oleh dokter, perawat, atau orang
yang akan memberikan pertolongan pertama pada tempat kejadian
kecelakaan. Pembidaian adalah cara untuk mengistirahatkan (imobilisasi)
bagian tubuh yang mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat.

Fitch (2008), menyatakan bahwa pembidaian mengimobilisasi


ekstremitas yang mengalami cedera dan melindungi dari cedera yang lebih
lanjut, mengurangi nyeri dan perdarahan serta digunakan untuk memulai
proses penyembuhan. Pemakaian pembidaian pada pasien rawat jalan
termasuk didalamnya fraktur, dislokasi dan sprain otot. Stabilisasi dari
ektremitas yang patah tulang dengan pembidaian membantu kesejajaran
tulang dan mengurangi ketidak nyamanan.
61

Sesudah dilakukan reduksi dari dislokasi, posisi anatomi dijaga dengan


pembidaian. Menurut Saleh (2006), bidai dapat kaku atau lunak. Ada bidai
buatan pabrik untuk penggunaan pada tempat tertentu pada tubuh kita dan
ada pula bidai yang dapat dibuat dengan melakukan improvisasi dari
barang atau benda yang sudah ada disekitar kita.

2.6.2 Tujuan Pembidaian


Saleh (2006), menyatakan bahwa ada 5 alasan dalam melakukan
pembidaian pada cedera musculoskeletal yaitu:
a. Untuk mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau
sendi yang mengalami dislokasi.
b. Untuk meminimalisasi/mencegah kerusakan pada jaringan lunak sekitar
tulang yang patah (mengurangi/mencegah cedera pada pembuluh darah,
jaringan saraf perifer dan pada jaringan patah tulang tersebut).
c. Untuk mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul.
d. Untuk mencegah terjadinya syok.
e. Untuk mengurangi nyeri dan penderitaan.

2.6.3 Kontra Indikasi Pembidaian


Fitch (2008) menyatakan bahwa meskipun tidak ada kontraindikasi
absolut dalam menggunakan pembidaian/splinting pada ekstremitas yang
mengalami cedera, beberapa hal unik harus diperhatikan. Pembengkakan
alami akan terjadi sesudah terjadi cedera dapat menjadi hambatan dari
keamanan metode dari imobilisasi.
62

2.6.4 Prinsip Dasar Pembidaian


Prinsip dasar pembidaian ini harus selalu diingat sebelum kita
melakukan pembidaian (Saleh, 2006).
a. Harus melakukan proteksi diri sebelum pembidaian
b. Jangan melepaskan stabilisasi manual pada tulang yang cedera
sampai kita benar- benar melakukan pembidaian
c. Jangan mereposisi atau menekan fragmen tulang yang keluar kembali
ketempat semula
d. Buka pakaian yang menutupi tulang yang patah sebelum memasang bidai
e. Lakukan balut tekan untuk menghentikan perdarahan pada fraktur
terbuka sebelum memasang bidai
f. Bidai harus melewati sendi proksimal dan sendi distal dari tulang yang
patah
g. Bila persendian yang mengalami cedera, lakukan juga imobilisasi pada
tulang proksimal dan distal dari sendi tersebut
h. Berikan bantalan atau padding untuk mencegah penekanan pada
bagian tulang yang menonjol dibawah kulit
i. Sebelum dan sesudah memasang bidai lakukan penilaian terhadap
nadi, gerakan dan rasa /sensasi pada bagian distal dari tempat yang
fraktur atau cedera
j. Berikan dukungan dan tenangkan penderita menghadapi cedera ini.
63

2.6.5 Tipe-Tipe Bidai/Splint


Gilbert (2011) menyatakan bahwa pembidaian membantu mengurangi
komplikasi sekunder dari pergerakan fragmen tulang, trauma
neurovaskular dan mengurangi nyeri. Ada beberapa macam splint, yaitu:
a. Hard splint (bidai kaku)
Bidai kaku biasanya digunakan untuk fraktur ekstremitas. Bidai kaku
sederhana bisa dibuat dari kayu dan papan. Bidai ini juga bisa dibuat
dari plastik, aluminium, fiberglass dan gips back slab. Gips back slab
ini dibentuk dan diberi nama sesuai peruntukannya untuk area trauma
yang dipasang bidai. Gips back slab merupakan alat pembidaian yang
lebih baik dan lebih tepat digunakan pada ekstremitas atas dan bawah
serta digunakan untuk imobilisasi sementara pada persendian.

b. Soft splint (bidai lunak)


Pembidaian dimulai dari tempat kejadian yang dilakukan oleh penolong
dengan menggunakan alat pembidaian sederhana seperti bantal atau
selimut.

c. Air slint atau vacuum splint


Bidai ini digunakan pada trauma yang spesifik seperti bidai udara.
Bidai udara mempunyai efek kompresi sehingga beresiko terjadi
compartment syndrome dan iritasi pada kulit.

d. Traction splint (bidai dengan traksi)


Bidai dengan tarikan merupakan alat mekanik yang mampu melakukan
traksi pada bidai. Bidai dengan tarikan ini biasanya digunakan untuk
trauma pada daerah femur dan sepertiga bagian tengah ekstremitas
bawah.
64

2.6.6 Back slab cast


a. Pengertian
New Zealand Orthopaedic Organization (2010), menyatakan bahwa
back slab cast adalah alat imobilisasi pertama sebelum dilakukan tindakan
definitif yang digunakan untuk stabilisasi dari bagian fraktur dan otot yang
mengelilinginya dan digunakan untuk mengurangi oedema (swelling)
sebagai bidai. Gips ini mudah dilepaskan bila diperlukan pemeriksaan
inspeksi pada bagian tubuh yang ditutupi.

Miranda (2010), menyatakan bahwa back slab cast adalah gips


sementara yang digunakan pada penanganan pertama trauma seperti patah
tulang ankle. Back slab cast ini terdiri dari plaster yang menjaga tendon
achiles dan digunakan pada bagian yang terjadi pembengkakan tanpa
memberikan penekanan. Bidai tradisional dapat menekan aliran darah,
meningkatkan rasa nyeri dan ketidak nyamanan. Back slab cast ini dapat
membantu mengurangi nyeri, pembengkakan, spasme otot yang terjadi
ketika trauma patah tulang. Sedangkan menurut Koval & Zukerman
(2006), back slab cast ini menjaga tulang yang patah pada kesejajaran
selama proses penyembuhan. Back slab cast ini dipasang mengikuti daerah
tonjolan tulang.

b. Cara pembuatan
Fitch (2008), menyatakan bahwa tahap pertama dalam pembidaian
adalah melapisi bagian ekstremitas dengan beberapa lembar bantalan
(padding) pada bagian tonjolan tulang atau bagian tubuh yang mengalami
iritasi. Ukur panjang pembidaian yang diperlukan yaitu melewati dua
sendi. Gunakan 3 lembar dari
65

gips untuk ekstremitas atas dan 6 lembar untuk ekstremitas bawah untuk
meyakinkan pembidaian yang dilakukan cukup kuat. Celupkan kedalam
mangkok air yang sudah disiapkan, diamkan beberapa saat sampai
mengenai seluruh gips, kemudian angkat, pegang secara vertikal dan
gunakan dua jari menurunkan sisa air pada gips sehingga memudahkan
pengeringan kemudian lapisi dengan padding. Letakkan dibawah
ekstremitas yang akan dibidai sesuai posisi anatomis. Gunakan perban
elastis untuk memegang posisi dari back slab cast yang dibuat dari bagian
terjauh dari tubuh ke bagian yang lebih dekat dari pusat tubuh. Gunakan
telapak tangan pada saat pemasangan back slab cast. Setelah kering
periksa kembali adekuat tidaknya imobilisasi yang dilakukan, posisi
anatomis dan kenyamanan pasien.
Brunner & Suddarth (2005), menyatakan bahwa gips akan mengalami
kristalisasi yang menghasilkan pembalutan yang kaku. Kecepatan
terjadinya reaksi bervariasi sekitar 30 menit sampai 60 menit tergantung
dari ketebalan dan kelembaban lingkungan. Selanjutnya perlu pemeriksaan
X-ray untuk mengetahui fraktur atau dislokasi yang membutuhkan reduksi
sebelum pembidaian dilepaskan.

c. Keunggulan dari pembidaian dengan back slab cast


Brunner & Suddarth (2005), menyatakan bahwa pasien yang
menderita masalah tulang dan sendi sering mengalami nyeri yang sangat
berat. Nyeri dapat timbul secara primer baik karena masalah
muskuloskeletal maupun masalah penyertanya misalnya; tekanan pada
tonjolan tulang akibat dari pembidaian, spasme otot dan pembengkakan.
Tekanan yang berkepanjangan diatas tonjolan tulang dapat
66

menyebabkan rasa terbakar. Menurut Miranda (2010) back slab cast ini
dapat membantu mengurangi nyeri, pembengkakan, spasme otot yang
terjadi ketika trauma pada kasus patah tulang. Back slab cast ini terdiri dari
plaster yang menjaga tendon dan digunakan pada bagian yang terjadi
pembengkakan tanpa memberikan penekanan. Pergerakan ekstremitas
yang mengalami fraktur setelah pembidaian dengan back slab cast sangat
minimal, sehingga dapat mencegah kerusakan fragmen tulang dan jaringan
sekitarnya yang lebih berat.

Koval & Zukerman (2006), menyatakan bahwa back slab cast


menjaga tulang yang patah pada kesejajaran selama proses penyembuhan.
Back slab cast ini dipasang mengikuti daerah tonjolan tulang. Sedangkan
menurut New Zealand Orthopaedic Organization (2010), back slab cast
digunakan untuk stabilisasi dari bagian fraktur dan otot yang
mengelilinginya dan digunakan untuk mengurangi oedema (swelling)
sebagai bidai. Gips ini sangat mudah dilepaskan bila diperlukan
pemeriksaan inspeksi pada bagian tubuh yang ditutupi.

2.6.7 Komplikasi Pembidaian


Saleh (2006) menyatakan bahwa komplikasi pembidaian biasanya
timbul bila kita tidak melakukan pembidaian secara benar, misalnya;
a. Bisa menekan jaringan saraf, pembuluh darah atau jaringan dibawah
bidai yang bisa memperparah cedera yang sudah ada, bila dipasang
terlalu ketat.
b. Bila bidai terlalu longgar bisa menimbulkan kerusakan pada saraf
perifer, pembuluh darah, atau jaringan sekitarnya akibat pergerakan
ujung – ujung fragmen patah tulang.
67

c. Menghambat aliran darah bila terlalu ketat bisa menyebabkan iskemi jaringan.

Brinkley (2010), meyatakan bahwa komplikasi pembidaian antara lain:


a. Kerusakan kulit
Penekanan pada kulit dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan pada
kulit sehingga sebelum dilakukan pembidaian kulit harus benar – benar
dalam keadaan bersih. Pasir dan kotoran dapat menjadi titik tekanan
pada kulit.
b. Compartment syndrome
Compartment syndrome merupakan komplikasi serius dari pembidaian.
Peningkatan nyeri, pembengkakan, perubahan warna dan peningkatan
temperatur merupakan gejala penting yang harus diperhatikan.
c. Infeksi
Kerusakan kulit dalam pembidaian dapat menjadi tempat masuknya
bakteri dan infeksi jamur.
d. Kerusakan saraf
Trauma dapat menyebabkan pembengkakan yang dapat menimbulkan
penekanan sirkulasi dan kerusakan saraf.

2.7 Proses Penyembuhan Fraktur


Black & Hawks (2009) menyebutkan bahwa tulang yang fraktur akan
melewati beberapa tahap penyembuhan diantaranya :
a. Fase Inflamasi, yaitu terjadi respons tubuh terhadap cedera yang ditandai oleh
adanya perdarahan dan pembentukan hematoma pada tempat patah
tulang.Ujung fragmen tulang mengalami divitalisasi karena terputusnya aliran
darah, lalu terjadi pembengkakan dan nyeri, tahap inflamasi berlangsung
beberapa hari.
b. Fase Proliferasi, pada fase ini hematoma akan mengalami organisasi dengan
membentuk benang-benang fibrin, membentuk revaskularisasi dan invasi
fibroblast dan osteoblast. Kemudian menghasilkan kolagen dan proteoglikan
sebagai matriks kolagen pada patahan tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan
tulang rawan (osteoid) berlangsung setelah hari ke lima.
68

c. Fase Pembentukan Kalus, Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang


rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan.Fragmen
patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang
serat imatur. Waktu yang dibutuhkan agar fragmen tulang tergabung adalah 3-4
minggu. Pada fase ini, penting sekali dilakukannya pelurusan tulang secara
tepat.
d. Fase penulangan kalus/Ossifikasi, adalah pembentukan kalus mulai mengalami
penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang melalui proses penulangan
endokondral. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar
bersatu. Selama minggu ketiga sampai kesepuluh, kalus berubah menjadi
tulang dan menyatukan patahan tulang dengan sempurna sehingga tahap ini
sering disebut tahap penyatuan Pada patah tulang panjang orang dewasa
normal,penulangan tersebut memerlukan waktu 3-4 bulan.
e. Fase Remodeling/konsolidasi, merupakan tahap akhir perbaikan patah tulang
meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan
struktural sebelumnya. Pada tahap ini osifikasi terus berlanjut dan jarak antara
patahan tulang semakin hilang dan akhirnya menutup. Bersamaan dengan
terbentuknya tulang sejati melalui osifikasi, terjadi remodeling kalus oleh
aktivitas osteoblas dan osteoklas. Jaringan tulang berlebih akan direabsorpsi
dari kalus. Jumlah dan jangka waktu remodeling tulang tergantung pada
tekanan yang dialami tulang, beban tulang, dan usia

2.8 Jenis Fraktur Tulang Humerus


Karena panjang panjang tulang humerus dan tulang ini pun bekerja untuk
mendukung beberapa fungsi, maka ketika tulang ini patah atau terluka, maka
akan timbul masalah di beberapa lokasi, dengan konsekuensi yang sangat
tergantung pada lokasi fraktur. Hal penting lain ada lah dislokasi dari fragmen
patah tulang, patah tulang yang disertai dislokasi setidaknya memiliki hasil
yang sangat buruk. 4
69

• Fraktur humerus proksimal umumnya karena jatuh pada bahu dan bisa
disertai dengan dislokasi bahu. Ini adalah cedera yang umum pada wanita
lanjut usia bahkan setelah jatuh sepele karena osteoporosis pasca menopause.
Karena sifat cancellous tulang humerus di bagian ini (seperti spons), tulang
bagian ini dapat ada dapat runtuh danterdeformasi bersama dengan fraktur, hal
ini menyebabkan perlunya reformasi tulang pada saat pengobatan.

• Fraktur Midshaft humerus sebagian besar terjadi setelah jatuh pada siku atau
kecelakaan di jalan. Saraf radialis berjalan sangat dekat ke bagian tulang
humerus sehingga dapat terluka karena trauma primer, atau karena terjebak
antara ujung tulang retak, atau bahkan selama pengobatan. Oleh karena itu,
perawatan harus dilakukan di setiap langkah untuk memastikan integritas dari
saraf radial dan bahkan kecurigaan sekecil apapun terhadap kelumpuhan saraf
radialis harus diikuti oleh eksplorasi pembedahan.

• Fraktur humerus distal dapat berupa fraktur humerus suprakondilaris atau


fraktur humerus condylar. Sebuah fraktur humerus suprakondilaris berada di
persimpangan Kondilus (ujung bawah) dan poros, dan patah tulang siku yang
paling umum pada anak-anak. Sebuah fraktur condylar adalah fraktur humerus
parah yang umumnya terjadi karena cedera kecepatan tinggi, seperti
kecelakaan mobil atau jatuh dari ketinggian. Kecelakaan seperti ini sering
mengakibatkan siku tidak stabil bahkan setelah operasi dan sering memerlukan
suatu operasi siku pengganti untuk mendapatkan kembali fungsi siku.

2.9 Konsep Dasar Anesthesi


2.9.1 Pengertian
Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang
sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa
menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien.
70

Mangku (2010) menjelaskan bahwa anestesi umum adalah suatu


keadaan tidak sadar yang berifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa
nyeri diseluruh tubuh akibat pemberian obat anestesi. Efek neurofisiologis
yang dihasilkan oleh anestesi umum ditandai oleh lima efek utama: tidak
sadarkan diri, amnesia, analgesia, penghambatan refleks otonom, dan
relaksasi otot rangka. Tak satu pun dari agen anestesi yang saat ini tersedia
ketika digunakan sendiri bisa mencapai semua lima efek yang diinginkan
dengan baik. Selain itu, anestesi yang ideal harus menginduksi cepat,
kehilangan kesadaran secara halus, cepat kembali setelah penghentian, dan
memiliki batas keselamatan yang lebar (Katzung, 2015). Praktek anestesi
modern bergantung pada penggunaan kombinasi obat intravena dan inhalasi
(balanced anesthesia) untuk mengambil keuntungan dari setiap agen dan
meminimalkan efek samping mereka. Pemilihan teknik anestesi ditentukan
oleh jenis diagnostik, terapi, atau intervensi bedah yang akan dilakukan.
Untuk operasi kecil atau untuk prosedur diagnostik invasif, obat oral atau
parenteral dapat digunakan dalam kombinasi dengan anestesi lokal, yang
disebut teknik monitored anesthesia (Katzung, 2015)

2.9.2 Anestesi Pada Pediatrik


a. Perbedaan Anatomi Anak dan Dewasa
1) Pernafasan
Frekuensi pernafasan pada bayi dan anak lebih cepat dibanding
orang dewasa. Pada orok dan bayi antara 30 - 40 x semenit. Tipe
pemafasan; orok, dan bayi ialah abdominal,lewat hidung, sehingga
gangguan pada kedua bagian ini memudahkan timbulnya kegawatan
pernafasan. Paru-paru lebih mudah rusak karena tekanan ventilasi yang
berlebihan, sehingga menyebabka pneumotoraks, atau
pneumomediastinum. Laju metabolisme yang tinggi menyebabka
cadangan oksigen yang jauh lebih kecil; sehingga kurangnya kadar
oksige yang tersedia pada udara inspirasi, dapat menyebabkan terjadinya
bahaya hipoksia yang lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.
Neonatus tampaknya lebih dapat bertahan terbadap gangguan hipoksia
71

daripada anak yang besar dan orang dewasa, tetapi hal ini bukan alasan
untuk mengabaikan hipoksia pada neonatus (Boulton, 1994).

Ada 5 perbedaan mendasar anatomi dari airway pada anak-anak dan


dewasa
a) Pada anak-anak, kepala lebih besar, dan lidah juga lebih besar
b) Laring yang letaknya lebih anteriorepiglottis yang lebih panjang
c) Leher dan trache yang lebih pendek daripada dewasa
d) Cartilago tiroid yang terletak berdekatan dengan airway

2) Kardio-Sirkulasi
Frekuensi jantung/nadi bayi dan anak berkisar antara 100 - 120 x
permenit. Hipoksia menimbulkan bradikardia, karena parasimpatis yang
lebih dominan. Kadar hemoglobin orok tinggi (16-20 gr%), tetapi
kemtidian menurun sampai usia 6 bulan (10-12 gr%), karena pergantian
dari HbF (fetal) menjadi HbA (adult). Jumlah darah bayi secara absoluts
sedikit, walaupun untuk perhitungan mengandung 90 miligram berat
badan Karena itu perdarahan dapat menimbulkan gangguan sistem
kardiosirkulasi. Dan juga duktus arteriosus dan foramina pada septa
interatrium dan interventrikel belum menutup selama beberapa hari
setelah lahir (Boulton, 1994).

Sumber ( Boulton, 1994)


Bayi bersifat poikilotennik, karena luas permukaan tubuhnya relative
lebih luas dibanding orang dewasa. Hal ini dapat menimbulkan bahaya
hipotermia pada lingkungan yang dingin, dan hipertermia pada
lingkungan yang panas. Disamping itu pusat pengaturan suhu di
hipotalamus belum berkembang dengan baik (Said, 1989)

3) Cairan tubuh
Bayi lahir cukup bulan mengandung relatif banyak air
yaitu dari berat badan 75%, setelah berusia 1 tahun turun
72

menjadi 65% clan setelah dewasa menjadi 55-60 %. Cairan


ekstrasel orok ialah 40% dari berat badan, sedangkan pada
dewasa ialah 20%.
Umur Premature EBV 90-
100cc/kg 80-90
Baru lahit cc/kg 70-80
cc/kg
3 bulan-1 tahun 70 cc/kg
55.
>1tahun Dewasa 60
cc/ kg

b. Penerapan Anestesi Pada Pediatri


1) Tahap Pra Bedah
Kunjungan pra-anestesia dilakukan sekurang-kurangnya dalam waktu
24 jam sebelum tindakan anestesia. Perkenalan dengan orang tua
penderita .sangat penting untuk memberi penjelasan mengenai masalah
pembedahan dan anestesia yang akan dilakukan. Pada kunjungan tersebut
kita mengadakan penilaian tentang keadaan. umum, keadaan fisik dan
mental penderita.

2) Premedikasi pada anak


73

Anak-anak dan orang tuanya sering merasa cemas saatsaat pre


operatif. Kecemasan saat pre-operasi dapat bervariasi dengan berbagai
macam cara. Sesuai dengan umurnya, bentukbentuk kecemasan ini dapat
berupa verbal atau tingkah laku. Menangis, agitasi, retensi urine, nafas
dalam, tak mau bicara, pernafasan dalam, merupakan bentuk dari anak
yang cemas. Kecemasan ini dapat mencapai puncaknya saat induksi
anestesi. Ada berbagai cara untuk menekan kecemasan pre-operatif ini.
Bagi tenaga medis, premedikasi berfungsi untuk pendekatan psikologis
memberikan penjelasan pada pasien dan keluarganya, tentang apa yang
akan dilakukan sebelum dan sesudah operasi beserta yang akan terjadi
kemudian. Dan juga untuk memisahkan sang pasien dari orang tuanya
dengan tenang pada saat akan dilakukan operasi, dan juga penggunaan
obatobatan analgesi dan hipnotik yang bertujuan untuk membuat amnesia
ataupun mengurangi nyeri post operasi. Tujuan lainnnya dapat berupa
menekan biaya obat yang akan digunakan, anti emesis, memudahkan saat
induksi, dan hal-hal lain yang tak diinginkan.

3) Induksi pada Anak


Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang membantu.
Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang sekecil
mungkin. Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau seintravena.

a) Induksi inhalasi.
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau pada
yang takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran
N20 dalam oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 1 vol
% kemudian dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai
tidur. Sungkup muka mula-mula jaraknya beberapa sentimeter dari
mulut dan hidung, kalau sudah tidur barn dirapatkan ke muka
penderita.
74

b) Induksi intravena.
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada
mereka yang sudah terpasang infus. Induksi intravena biasanya
dengan tiopenton (pentotal) 2~4 mg/kg pada neonatus dan 4-7 mg/kg
pada anak . Induksi dapat juga dengan ketamin (ketalar) 1-2mg/kg IV.
Kadang-kadang ketalar diberikan secara intra muskular.

4) Intubasi
Anestesi sebelum intubasi tidak penting bagi anakanak dengan
berat badan kurang dari 5 kg, dan dapat berbahaya.Risiko stridor
meningkat karena pembengkakan mukosa pada saluran pernapasan kecil
akibat ititasi laring oleh pipa, perala tan atau uap. Pipa tak bertutup yang
cukup kecil untuk pengeluaran gas dapat dipakai. Suatu bungkus
tenggorokan akan menghentikan cairan melalui pipa yang masuk ke
paru-paru. Bayi kecil yang berat badannya kurang dari 5 kg tidak dapat
mempertahankan pemapasan spontan dengan pipa trakea yang sempit,
sehingga hams diberikan ventilasi (Boulton, 1994).
Para ahli anestesi harus memutuskan antara penggunaan masker
anestesi dan intubasi. Penggunaan intubasi dapat dicapai dengan atau
tanpa bantuan relaksan otot. Pada anak yang kecil, atau jika terdapat
kelainan sa luran pemapasan, paling aman untuk memperdalam anestesi
sampai pipa dapat disisipkan sementara pernapasan spontan berlangsung.
Jika terdapat keraguan tentang kemampuan saluran pernapasan untuk
dilalui pipa, seorang ahli anestesi barus memperlibatkan babwa ia dapat
memberikan ventilasi pada paru menggunakan kantong, dan masker
sebelum membuat penderita menjadi lumpuh dengan relaksan otot
Laringoskopi pada bayi dan anak tidak membutuhkan bantal kepala.
Kepala bayi terutama neonatus oksiputnya menonjol. Dengan adanya
perbedaan anatomis padajalan nafas bagian atas, lebih mudah
menggunakan laringoskop dengan bilah lurus pada bayi.
75

Blade laringkoskop yang lebib kecil'digunakan untuk anak jenisnya


tergantung pada piliban ahli anestesi dan adanya gangguan salura
pernapasan. Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip babwa pipa yang
dapat dibengkokkan tidak digunakan di bawab nomor 7, dan dua nomor
lebih rendah harus disiapkan bila diperlukan. Daerah aliran udara paling
sempit pada anak kecil adalah di bawah pita suara.

Intubasi dalam keadaan sadar dikerjakan pada keadaan gawat atau


diperkirakan akan menjumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan
intubasi sadar pada neonatus usia kurang dari 10-14 hari . Hati-hati
terhadap hipertensi dan meningginya tekanan intrakranial yang mungkin
dapat menyebabkan perdarahan dalam otak akibat laringoskopi dan
intubasi. Lebih digemari intubasi sesudah tidur dengan atau tanpa
pelumpuh otot. Kalau tidak menggunakan pelumpuh otot, bayi atau anak
ditidurkan sampai dalam lalu diberikan analgesia topikal barn dikerjakan
intubasi. Dengan pelumpuh otot digunakan suksinil-kolin dosis 2
mg/kgBB secara intravena setelah bayi/anak tidur.

Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa
cuff. Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada kasus-kasus
laparotomi atau jika ditakutkan akan terjadi aspirasi. Secara kasar ukuran
besarnya pipa trakea .sama dengan besarnya jari kelingking atau
besarnya lubang hidung.

5) Pengakhiran Anestesi
Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan
pemberiannya. Berikan zat asam murni 5-15 menit. Bersihkan rongga
hidung dan mulut dari lendir kalau perlu. Jika menggunakan pelumpuh
otot, netralkan dengan prostigmin (0,04 mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg).
Depresi nafas oleh narkotika-analgetika netralkan dengan naloksin 0,2-
0,4mg secara titrasi.
76

Setelah pasien dipindah di Ruang Recovery, pasien diobservasi


secara berkala. Pasien boleh dipindah apabila score steward mencapai 6

Anda mungkin juga menyukai