Anda di halaman 1dari 52

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Stroke menjadi salah satu masalah kesehatan utama bagi

masyarakat karena stroke dapat mengakibatkan kerusakan pada

otak yang mucul mendadak, progresif, dan cepat akibat gangguan

peredaran darah otak non traumatik (Riskesdas, 2018). Stroke

terbagi atas dua yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik.

Pada stroke hemoragik pembuluh darah pecah sehingga aliran

darah menjadi tidak normal dan darah yang keluar merembes

masuk ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya (Insani,

2017).

American Heart Association/American Stroke Association

(AHA/ASA) dalam Heart Disease and Stroke Statistics - 2017

Updates, menyebutkan bahwa di Amerika rata-rata setiap 40 detik

seseorang mengalami stroke dan setiap 4 menit seseorang

meninggal akibat stroke (Roger et al., 2017).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional

tahun 2018, prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis

tenaga kesehatan sebesar tujuh per mil dan yang terdiagnosis oleh

tenaga kesehatan (nakes) atau gejala sebesar 14,5 per mil. Jadi,

sebanyak 76,5 persen penyakit stroke telah terdiagnosis oleh

tenaga kesehatan. Prevanlesi stroke berdasarkan diagnosis tenaga


1
kesehatan tertinggi di Kalimantan Timur (14,7%), diikuti di

Yogyakarta (14,3%), Sulawesi Utara 14 per mil. Sementara itu di

Sumatera Utara prevalensi kejadian stroke sebesar 9,5%.

Prevalensi penyakit stroke juga meningkat seiring bertambahnya

usia. Kasus stroke tertinggi adalah usia 75 tahun keatas (50,2%)

dan lebih banyak pria (11%) dibandingkan dengan wanita (10%)

(Riskesdas, 2018).

Serangan stroke yang mendadak dapat menyebabkan

kecacatan fisik dan mental serta kematian, baik pada usia

produktif maupun lanjut usia (Dewi & Pinzon, 2016). Hampir di

seluruh dunia stroke menjadi masalah yang serius dengan angka

morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan

angka kejadian penyakit kardiovaskuler. Jumlah kematian yang

disebabkan oleh stroke menduduki urutan kedua pada usia diatas

60 tahun dan urutan kelima pada usia 15-59 tahun (Yastroki,

2012). Tahun 2020 diprediksi terdapat sekitar 7,6 juta penduduk

akan mengalami mortalitas akibat penyakit stroke dan 15% kasus

terjadi pada usia muda dan produktif.

Menurut Pinzon dalam Rahmawati, Yurida Oliviani dan

Mahdalena (2017), semakin lambat pertolongan medis yang

diperoleh pasien, maka akan semakin banyak kerusakan sel saraf

yang terjadi, sehingga semakin banyak waktu yang terbuang dan

semakin banyak sel saraf yang tidak bisa diselamatkan dan

2
semakin buruk kecacatan yang didapat. Berdasarkan data yang

berhasil dikumpulkan oleh Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki),

masalah stroke semakin penting dan mendesak karena kini jumlah

penderita stroke di Indonesia adalah terbanyak dan menduduki

urutan pertama di Asia.

Menurut Irfan dalam Rahmawati, Yurida Oliviani, dan

Mahdalena (2017), pasien stroke mengalami kelainan dari otak

sebagai susunan saraf pusat yang mengontrol dan mencetuskan

gerak dari sistem neuron muskulukeletal. Secara klinis gejala yang

sering muncul adalah adanya hemiparesis atau hemiplegi yang

menyebabkan hilangnya mekanisme refleks postural normal untuk

keseimbangan dan rotasi tubuh untuk gerak- gerak fungsional

pada ektermitas. Gangguan sensoris dan motorik post stroke

mengakibatkan gangguan keseimbangan termasuk kelemahan otot

penurunan fleksibilitas jaringan lunak, serta gangguan kontrol

motorik pada pasien stroke mengakibatkan hilangnya koordinasi,

hilangnya kemampuan keseimbangan tubuh dan

postur (kemampuan untuk mempertahankan posisi tertentu) dan

juga stroke dapat menimbulkan cacat fisik yang permanen.

Menurut Aprilia (2017) konsekuensi paling umum dari

stroke adalah hemiplegi atau hemiparesis, bahkan 80 persen

penyakit stroke menderita hemiparesis atau hemiplegi yang

berarti satu sisi tubuh lemah atau bahkan lumpuh. Menurut hasil

3
penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Sari, Agianto dan Wahid

(2015) di dapatkan bahwa pada semua pasien stroke dengan

hambatan mobilisasi mengalami tiga karateristik utama yang

muncul, yaitu kesulitan membolak balikkan posisi dan

keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar.

Rehabilitasi yang dapat diberikan pada pasien stroke yang

mengalami gangguan mobilitas fisik adalah latihan rentang gerak

atau yang sering disebut Range Of Motion (ROM) merupakan

latihan yang digunakan untuk mempertahankan atau memperbaiki

tingkat kesempurnaan kemampuan untuk menggerakkan

persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa

otot dan tonus otot. Latihan pergerakan bagi penderita stroke

merupakan prasarat bagi tercapainya kemandirian pasien, karena

latihan gerak akan membantu secara berangsur-angsur fungsi

tungkai dan lengan kembali atau mendekati normal, dan menderita

kekuatan pada pasien tersebut untuk mengontrol aktivitasnya

sehari-hari dan dampak apabila tidak diberi rehabilitasi ROM

yaitu dapat menyebabkan kekakuan otot dan sendi, aktivitas

sehari-hari dari pasien dapat bergantung total dengan keluarga,

pasien sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pemberian terapi ROM pasif berupa latihan gerakan pada

bagaian pergelangan tangan, siku, bahu, jari-jari, kaki atau pada

bagian ektermitas yang mengalami hemiparesis sangat bermanfaat

4
untuk menghindari ada nya komplikasi akibat kurang gerak,

seperti kontraktur, kekakuan sendi menurut Irfan (2014)

Menurut Yurida dalam

Rahmawati, Yurida Oliviani dan Mahdalena (2017), latihan


ROM disesuaikan dengan
kondisi pasien. Pemberian terapi ROM pasif berupa latihan

gerakan pada bagian pergelangan tangan, siku, bahu, jari-jari kaki

atau pada bagian ektermitas yang mengalami hemiparesis sangat

bermanfaat untuk menghindari adanya komplikasi akibat kurang

gerak, seperi kontraktur, kekakuan sendi menurut Irfan (2014).

Simpulan dari penelitian ini adalah latihan ROM untuk

meningkatkan fleksibilitas sendi lutut kiri sebesar 43,75% menurut

Ulliya (2014).

Mengingat betapa pentingnya penerapan penatalaksanaan

tindakan keperawatan dalam mengurangi kecacatan dan

kelemahan otot ektermitas pada pasien gangguan mobilitas fisik

pasien stroke maka penulis tertarik untuk mengambil judul

Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami Stroke

Hemoragik.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian data latar belakang diatas, di dapatkan

rumusan masalah sebagai berikut “Bagaimanakah Asuhan

Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami Stroke Hemoragik.

5
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Teoritis Medis

2.1.1 Definisi

Stroke hemoragik adalah kondisi otak yang mengalami

kerusakan karena aliran darah atau suplai darah ke otak terhambat oleh

pendarahan (Arum, 2015). Stroke hemoragik adalah pecahnya

pembuluh darah di otak sehingga aliran darah menjadi tidak normal

dan darah yang keluar merembes masuk ke dalam suatu daerah di otak

dan merusaknya (Amanda, 2018).

Stroke hemoragik merupakan disfungsi neurologis fokal yang

akut dan disebabkan oleh perdarahan pada substansi otak yang terjadi

secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis, akibat pecahnya

pembuluh arteri dan pembuluh kapiler (Nugraha, 2018). Stroke

hemoragik adalah jenis stroke yang penyebabnya adalah pecahnya

pembuluh darah di otak atau bocornya pembuluh darah otak. Terjadi

karena tekanan darah otak yang mendadak, meningkat dan menekan

pembuluh darah, sehingga pembuluh darah tersumbat, tidak dapat

menahan tekanan tersebut (Wati, 2019).

Stroke hemoragik yaitu perdarahan intrakanial berdasarkan

tempat perdarahannya yakni dirongga subarakhnoid atau didalam

parenkim otak (intraserebral) ada juga perdarahan yang terjadi

bersamaan pada kedua tempat seperti perdarhan subarakhoid yang


6
bocor kedalam otak atau sebaliknya (Rahmayanti, 2019).

2.1.2 Klasifikasi

Menurut Indrawati dkk., (2016) Klasifikasi stroke hemoragik

dibedakan atas dua kelompok yaitu sebagai berikut :

a. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan Intra Serebral diakibatkan oleh pecahnya

pembuluh darah intraserebral sehingga darah keluar dari

pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam jaringan

otak. Pada stroke jenis ini pembuluh darah pada otak pecah

dan darah membasahi jaringan otak. Darah ini sangat

mengiritasi jaringan otak sehingga menyebabkan spasme

atau menyempitnya arteri di sekitar tempat perdarahan. Sel-

sel otak yang berada jauh dari tempat perdarahan juga akan

mengalami kerusakan karena aliran darah terganggu. Selain

itu, jika volume darah yang keluar lebih dari 50 ml maka

dapat terjadi proses desak ruang yakni rongga kepala yang

luasnya tetap, “diperebutkan” oleh darah “pendatang baru”

dan jaringan otak sebagai “penghuni lama”. Biasanya pada

proses desak ruang ini, jaringan otak yang relatif lunak

mengalami kerusakan akibat penekanan oleh jendela darah.

b. Perdarahan Subarakhnoid

Perdarahan subarakhnoid adalah masuknya darah ke ruang

subarachnoid baik dari tempat lain (perdarahan

7
subarachnoid sekunder) dan sumber perdarahan berasal dari

rongga subarachnoid itu sendiri/perdarahan subarachnoid

primer. Perdarahan yang terjadi di pembuluh darah yang

terdapat pada pembungkus selaput pembungkus otak.

Selanjutnya, darah mengalir keluar mengisi rongga antara

tulang tengkorak dan otak. Sama seperti perdarahan

intraserebral, darah yang keluar dapat menyebabkan

spasme arteri sekitar tempat perdarahan, mengiritasi

jaringan sekitar, serta menyebabkan proses desak ruang.

2.1.3 Etiologi

Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah,

darah akan keluar mengisi ruang tengkorak kepala sehingga terjadi

peningkatan tekanan di dalam otak yang

akibatnya terjadi penurunan kesadaran secara tiba-tiba. Keadaan

seperti ini disebabkan karena tekanan darah yang mengalami

peningkatan cukup tinggi (Arum, 2015).

Selain hal–hal yang disebutkan diatas, ada fakor–faktor lain

yang menyebabkan stroke hemoragik (Pudiastuti, 2015), diantaranya :

a. Faktor resiko medis

Faktor resiko medis seperti migrain, hipertensi (penyakit

tekanan darah tinggi), diabetes, kolesterol, aterosklerosis

(pengerasan pembuluh darah), gangguan jantung, riwayat

stroke keluarga, penyakit ginjal, dan penyakit vaskuler


8
perifer. 80% pemicu stroke hemoragik disebabkan karena

hipertensi dan Aterosklerosis.

b. Faktor resiko perilaku

Faktor resiko perilaku seperti kurang olahraga, merokok

/aktif dan pasif, makanan tidak sehat (junk food, fast food),

kontrasepsi oral, mendengkur, narkoba, obesitas, stress, dan

cara hidup.

c. Faktor lain Data statistik 93% pengidap penyakit trombosis

ada hubungannya dengan penyakit tekanan darah tinggi.

1) Ttombosis serebral

Terjadi pada pembuluh darah dimana oklusi terjadi

trombosis dapat menyebabkan iskemik jaringan otak,

edema dan kongesti di area sekitarnya.

2) Emboli serebral

Penyumbatan pada pembuluh darah otak karena bekuan

darah, lemak atau udara. Kebanyakan emboli berasal

dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat

sistem arteri serebral.

3) Perdarahan intra serebral

Pembuluh darah otak bisa pecah, terjadi

karenaAterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh

darah otak akan menyebabkan penekanan, pergeseran,

dan
pemisahan jaringan otak yang berdekatan akibat otak
9
akan bengkan, jaringan otak internal tertekan sehingga

menyebabkan infark otak, edema dan mungkin terjadi

herniasi otak.

4) Migren

5) Trombosis sinus dura

6) Diseksi arteri karotis atau vertebralis

7) Kondisi hiperkoagulasi

8) Vaskulitis sistem saraf pusat

9) Penyakit moya–moya (oklusi arteri besar intrakranial


yang progresif)

10) Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia, atau


leukemia)

11) Miksoma atrium.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut (Tarwoto, 3013; Nugraha, 2018), manifestasi klinik

stroke hemoragik tergantung dari sisi atau bagian mana yang terkena,

rata-rata serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolaretal. Pada

stroke akut gejala klinis meliputi :

a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah

(hemiparesis) atau hemiplegia (paralisis) yang timbul secara

mendadak. Kelumpuhan terjadi akibat adanya kerusakan

pada area motorik di korteks bagian frontal, kerusakan ini

bersifat kontralateral artinya jika terjadi kerusakan pada

10
hemisfer kanan maka kelumpuhan otot pada sebelah kiri.

Pasien juga akan kehilangan kontrol otot vulenter dan

sensorik sehingga pasien tidak dapat melakukan ekstensi

maupun fleksi

b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan

Gangguan sensibilitas terjadi karena kerusakan sistem saraf

otonom dan gangguan saraf sensorik

c. Penurunan kesadaran (Konfusi, delirium, letargi, stupor,

atau koma) Terjadi akibat perdarahan, kerusakan otak

kemudian menekan batang otak atau terjadinya gangguan

metabolik otak akibat hipoksia

d. Afasia (kesulitan dalam berbicara) Afasia adalah defisit

kemampuan komunikasi bicara, termasuk dalam membaca,

menulis memahami bahasa. Afasia terjadi jika terdapat

kerusakan pada area pusat bicara primer yang berada pada

hemisfer kiri dan biasanya terjadi pada stroke dengan

gangguan pada arteri middle serebral kiri. Afasia dibagi

menjadi tiga bagian yaitu afasia motorik, sensorik dan afasia

global. Afasia motorik atau ekpresif terjadi jika area pada

Area Broca, yang terletak pada lobus frontal otak. Pada

afasia jenis ini pasien dapat memahami lawan bicara tetapi

pasien tidak dapat mengungkapkan lewat bicara. Afasia

sensorik terjadi karena kerusakan pada Area Wernicke, yang

11
terletak pada lobus temporal. Pada afasia sensorik pasien

tidak mampu menerima stimulasi pendengaran tetapi pasien

mampu mengungkapkan pembicaraan, sehingga respon

pembicaraan pasien tidak nyambung atau koheren. Pada

afasia global pasien dapat merespon pembicaraan dengan

baik menerima maupun mengungkapkan pembicaraan.

e. Disatria (bicara cadel atau pelo) merupakan kesulitan bicara

terutama dalam artikulasi sehingga ucapannya menjadi tidak

jelas. Namun demikian pasien dapat memahami

pembicaraan, menulis, mendengarkan maupun membaca.

Disatria terjadi karena kerusakan nervus kranial sehingga

terjadi kelemahan dari otot bibir, lidah dan laring. Pasien

juga terdapat kesulitan dalam mengunyah dan menelan.

f. Gangguan penglihatan (diplopia) dimana pasien dapat

kehilangan penglihatan atau juga pandangan menjadi ganda,

gangguan lapang pandang pada salah satu sisi. Hal ini

terjadi karena kerusakan pada lobus temporal atau

pariental yang dapat

menghambat serat saraf optik ada korteks oksipital.

Gangguan penglihatan juga dapat disebabkan karena

kerusakan pada saraf kranial 2, 4 dan 6.

g. Disfagia atau kesulitan menelan terjadi karena kerusakan

nervus kranial 9. Selama menelan bolus didorong oleh lidah

12
dan gluteus menutup kemudian makanan masuk ke

esophagus.

h. Inkontenesia baik bowel maupun bladder serng terjadi hal

ini karena tergangguanya saraf yang mensyarafi bladder

dan bowel.

i. Vertigo seperti mual, muntah, dan nyeri kepala, terjadi

karena peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri.

2.1.5 Patofisiologi

Faktor resiko stroke seperti gaya hidup, Diabetes Melitus,

riwayat penyakit jantung dan sebagainya dapat menyebabkan kerja

norepinefrin dipembuluh darah meningkat sehingga tekanan darah

meningkat atau hipertensi akut. Hipertensi yang terus menerus dapat

mengakibatkan timbulnya penebalan dan degeneratif pembuluh darah

yang dapat menyebabkan rupturnya arteri serebral sehingga

perdarahan menyebar dengan cepat dan menimbulkan perubahan

setempat serta iritasi pada pembuluh darah otak. Perubahan yang terus

berlanjut ini dapat menyebabkan pembuluh darah otak (serebral) pecah

sehingga terjadi stroke hemoragik (Rahmayanti, 2019).

Mekanisme yang sering terjadi pada stroke perdarahan

intraserebral adalah faktror dinamik yang berupa peningkatan tekanan

darah. Hipertensi kronis menyebabkan pembuluh darah arteriol yang

berdiameter 100-400 mikrometer mengalami perubahan yang

patologik. Perubahan tersebut berupa lipohyalinosis, fragmentasi,


13
nekrosis, dan mikroaneurisma pada arteri di otak. Kenaikan tekanan

darah secara mendadak ini dapat menginduksi pecahnya pembuluh

darah. Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka akan menyebabkan

perdarahan.

(Munir, 2015). Pecahnya pembuluh darah otak mengakibatkan darah

masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa atau hematom yang

menekan jaringan otak dan menimbulkan oedema di sekitar otak.

Peningkatan Transient Iskemic Attack (TIA) yang terjadi dengan cepat

dapat mengakibatkan kematian yang mendadak karena herniasi otak.

Perdarahan Intraserebral sering dijumpai di daerah pituitary glad,

thalamus, sub kartikal,lobus parietal, nucleus kaudatus, pons, dan

cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur

dinding pembuluh darah berupa lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid

(Perdana, 2017).

Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM

(Arteriovenous Malformati). Aneurisma paling sering di dapat pada

percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi willis sedangkan AVM

(Arteriovenous Malformatio) dapat dijumpai pada jaringan otak di

permukaan pia meter dan ventrikel otak, ataupun di dalam ventrikel

otak dan ruang subarachnoid (Perdana, 2017). Aneurisma merupakan

lesi yang didapatkan karena berkaitan dengan tekanan hemodinamik

pada dinding arteri percabangan dan perlekukan. Prekursor awal

aneurisma adalah adanya kantong kecil melalui arteri media yang

14
rusak. Kerusakan ini meluas akibat tekanan hidrostatik dari aliran

darah pulsatif dan turbulensi darah, yang paling besar berada di

bifurcatio atrei. Suatu anuerisma matur memiliki sedikit lapisan

media, diganti dengan jaringan ikat, dan mempunyai lamina elastika

yang terbatas atau tidak ada sehingga mudah terjadi ruptur. Saat

aneurisma ruptur, terjadi ekstravasasi darah dengan tekanan arteri

masuk ke ruang subarachnoid dan dengan cepat menyebar melalui

cairan serebrospinal mengelilingi otak dan medulla spinalis.

Ekstravasasi darah menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial

(TIK) global dan mengiritasi meningeal (Munir, 2015).

Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan

perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran.

Perdarahan subarachnoid dapat mengakibatkan vasopasme

pembuluh darah serebral. Vasopasme ini seringkali terjadi 3-5


hari setelah timbulnya
perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang

setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vasopasme diduga karena interaksi

antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan ke dalam

cairan serebrospinalis dengan pembuluh darah arteri di ruang

subarachnoid. Ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri

kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan

hemisensorik, afasia, dan lain-lain). Otak dapat berfungsi jika

kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang

dihasilkan di dalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses

15
oksidasi. Otak tidak punya cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan

aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi

(Wati, 2019).

Perdarahan subarachnoid (PSA) yang mengacu pada

perdarahan otak di bawah arachnoid, sering menyebabkan onset cepat

defisit neurologis dan hilangnya kesadaran. Perdarahan subarachnoid

ini akan direspon tubuh dengan cara mengkonstraksi pembuluh darah

(vasokonstriksi atau vasospasme) yang diransang oleh zat-zat yang

bersifat vasokonstriksi seperti serotonin, prostaglandin, dan produk

pecahan darah lainnya. Keadaan ini akan memicu ion kalsium untuk

masuk kedalam sel otot polos pembuluh darah. Akibatnya konstraksi

atau spasme akan semakin hebat dan lambat laun, yaitu sekitar hari

kelima setelah perdarahan, kontraksi akan mencapai puncaknya

sehingga terjadi penutupan lumen atau saluran pembuluh darah secara

total dan darah tidak dapat mengalir lagi ke sel saraf yang

bersangkutan. Akhirnya terjadi kematian pada sel saraf dan

menyebabkan kehilangan kontrol mengakibatkan terjadinya hemiplegi

dan hemiparesis. Hemiplegi dan hemiparesis dapat mengakibatkan

kelemahan pada alat gerak dan menyebabkan keterbatasan dalam

pergerakan fisik pada ekstremitas sehingga muncul masalah

keperawatan hambatan mobilitas fisik (Black dan Hawks, 2014).

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Wati (2019), pemeriksaan penunjang pada pasien

16
yang mengalami stroke hemoragik adalah sebagai berikut :

a. Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab

stroke secara spesifik misalnya pertahanan atau sumbatan

arteri, meperlihatkan secara tepat letak oklusi atau ruptur.

b. Scan tomografi komputer (Computer Tomography scan-CT

scan). Mengetahui adanya tekanan normal dan adanya

trombosis, emboli serebral, dan tekanan intrakranial (TIK).

Peningkatan TIK dan cairan yang mengandung darah

menunjukkan adanya perdarahan subarakhnoid dan

perdarahan intrakranial. Kadar protein total meningkat,

beberapa kasus trombosis disertai proses inflamasi. CT

secara sensitif mendeteksi perdarahan subarachnoid akut,

tetapi semakin lama interval antara kejadian akut dengan

CT-scan, semakin mungkin temuan CT-scan negative. Jika

SAH masih masih dicurigai pada CT-scan normal, pungsi

lumbal harus dilakukan.

c. Fungsi lumbal. Pemeriksaan ini menunjukkan terlihatnya

darah atau siderofag secara langsung pada cairan

serebrospinal.

d. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Menunjukkan daerah

infark, perdarahan, malformasi arteriovena (MAV)

e. Ultrasonografi doppler (USG doppler). Mengidentifikasi

penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis/aliran

17
darah atau timbulnya plak) dan arterioklerosis (Munir,

2015). Pemeriksaan sinar x kepala dapat menunjukkan

perubahan pada glandula pineal pada sisi yang berlawanan

dari massa yang meluas, klasifikasi karotis internal yang

dapat dilihat pada trombosis serebral, klasifikasi parsial

pada dinding aneurisme pada perdarahan subaraknoid

f. Elektroensefalogram (Electroencephalogram-EEG).

Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan

memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

g. Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar

lempeng pienal daerah yang berlawanan dan massa yang

meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada trombosis

serebral; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada

perdarahan subarakhnoid.

h. Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan gula darah: gula darah bisa meningkat

karena keadaan hiperglikemia.

2. Faktor risiko stroke hemoragik yang dapat dimodifikasi,

sebagian besar pasien memiliki hipertensi (82,30%),

kadar gula darah meningkat (63,54%), LDL meningkat

(65,63%), triglserida meningkat (64,58%), dan

kholesterol total meningkat (69,79%), pasien dengan

kadar HDL normal lebih banyak (48,96).

18
2.1.7 Penatalaksanaan

Menurut Wati (2019), penatalaksanaan yang dapat dilakukan

pada pasien yang mengalami stroke hemoragik adalah sebagai berikut :

1. Terapi Stroke Hemoragik Pada Serangan akut

a. Saran operasi diikuti dengan pemeriksaan

b. Masukan klien ke unit perawatan saraf untuk dirawat I


bagian bedah saraf

c. Pada stroke hemoragik, terutama disebabakan SAH,

manajemen cairan merupakan prioritas, sehingga pasien

berada dalam status euvolemi dengan pemberian cairan

isotonik. Tidak dianjurkan menggunakan cairan

hipotonik karena dapat mencetuskan atau memperberat

edema serebral yang terjadi, dan

larutan yang mengandung glukosa sebaiknya tidak

diberikan kecuali pasien berada dalam keadaan

hipoglikemik

d. Penatalaksanaan umum di bagian saraf

Neuroprotektor yang umum digunakan pada pasien

stroke adalah citicolin dan piracetam. Berdasarkan

penelitian penggunaan neuroprotektor memberikan

luaran yang signifikan terhadap kesadaran, fungsi

kognitif, dan motorik pada pasien stroke. Citicolin

dengan dosis 2 x 250 mg maupun 2 x 500 mg

19
memberikan nilai GCS yang tidak jauh berbeda baik

pada pasien stroke iskemik maupun stroke hemoragik.

e. Penatalaksanaan khusus pada kasus

a) Subarachnoid hemorrhage dan intraventricular


hemorrahage,

b) Kombinasi antara parenchymatous dan subarachnoid


hemorrhage,

c) Parenchymatous hemorrhage.

f. Neurologis

a) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.

American Heart Association (AHA)

merekomendasikan pengelolaan tekanan darah pada

pasien perdarahan intraserebral, dengan konsep

memilih target tekanan darah sesuai dengan faktor-

faktor yang ada pada pasien, yaitu tekanan darah

awal, penyebab dicurigai perdarahan, usia, dan

peningkatan tekanan intrakranial. Alasan utama

untuk untuk menurunkan tekanan darah adalah

untuk menghindari perdarahan akibat rupture

aneurisma atau malformasi arteriovenosa, dimana

terjadi peningkatan risiko perdarahan berlanjut atau

perdarahan berulang. Pemberian antihipertensi

jika didapatkan tekanan

20
darah yang tinggi (hipertensi emergensi) diberikan
dengan pertimbangan
bukan hanya terhadap otak saja, tetapi juga terhadap

kerusakan organ lain misalnya jantung dan ginjal.

Meskipun demikian jika tekanan darahnya rendah

pada pasien yang mempunyai riwayat hipertensi

pada fase akut serangan stroke, hal tersebut

mungkin menandakan deteriorasi neurologis dini

atau peningkatan volume infark, dan merupakan

outcome yang buruk pada bulan pertama saat

serangan, khususnya penurunan tekanan darah

sistolik lebih dari 20 mmHg.

b) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan


kematian jaringan otak.

g. Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah

a) Antifibrinolitik untuk meningkatkan mikrosirkulasi


dosis kecil.

b) Natrii Etamsylate

c) Kalsium

d) Profilaksis vasopasme

h. Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan


kematian jaringan otak.

i. Pengawasan tekanan darah dan kosentrasinya.

j. Perawatan Umum Klien Dengan Serangan Stroke Akut

k. pengaturan suhu, atur suhu ruangan menjadi 18-200C.

l. Pemantauan (monitoring) keadaan umum klien (EKG,


21
nadi, saturasi O2 PO2, PCO2).

m. Pengukuran suhu tiap dua jam.

2. Range Of Motion (ROM)

ROM bertujuan meningkatkan atau mempertahankan

fleksibilitas dan kekuatan otot, dan bermanfaat untuk

menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam

melakukan pergerakan. Prinsip ROM diantaranya yaitu,

ROM dilakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak

melelahkan pasien, ROM harus diulang 8


kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari, perhatikan umur,

diagnosa, tanda- tanda vital dan lamanya tirah baring, ROM

dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya pada

bagian-bagian yang dicurigai mengalami proses penyakit,

dan melakukan ROM harus sesuai waktunya (misalnya

setelah mandi atau perawatan rutin telah di lakukan).

3. Akupresur

Akupresur yang juga biasa disebut dengan pijat akupuntur

adalah metode pemijatan berdasarkan ilmu akupuntur tanpa

menggunakan jarum (Sukanta, 2008). Akupresur

merupakan terapi yang aman diberikan karena tidak

melibatkan penggunaan teknik invasif, hanya menggunakan

jempol dan jari (kadang-kadang siku) untuk menekan ke

titik tubuh terentu.

4. Pengaturan Posisi
22
Pengaturan posisi pasien di tempat tidur setiap dua jam

untuk memberi peluang tubuh beraktivitas secara pasif, dan

memaksimalkan pengembangan paru serta mencegah

terjadinya dekubitus, tetapi jika membalikkan tubuh pasien

terlalu sering dikhawatirkan akan meningkatkan tekanan

intrakranial, oleh karena itu dilakukan perubahan posisi

dalam selang waktu 2 jam.

5. Penilaian Kesadaran

Kesadaran mempunyai dua komponen yaitu penilaian

kualitatif dan kuantitatif. Penilaian kesadaran secara

kualitatif antara lain compos mentis pasien mengalami

kesadaran penuh dan memberikan respon yang cukup

terhadap stimulasi terhadap rangsangan, apatis pasien

mengalami acuh tak acuh terhadap keadaan disekitarnya,

somnolen pasien mengalami penurunan kesadaran ringan

sampai sedang, terbatasnya terhadap respons lingkungan,

mudah jatuh tertidur dan respons minimal terhadap

pertanyaan, tetapi masih memberikan rangsangan yang


kuat, sopor pasien tidak memberikan respons sedikit

terhadap rangsangan terhadap dengan adanya reflek pupil

terhadap cahaya yang masih positif, dan respon terhadap

stimulus berupa gerakan, koma pasien tidak bisa

memberikan respons motorik atau verbal terhadap

23
rangsangan eksternal sehingga reflek pupil terhadap cahaya

tidak ada. Nilai Glaslow Coma Scale (GCS) yaitu, compos

mentis: 15, somnolen (agak menurun atau apatis): 12-14,

sopor (mengantuk): 9- 11, koma (tidak sadar): 3-8. Pada

kondisi stroke hemoragik terjadi perdarahan yang

mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang

mempengaruhi kesadaran pasien kejadian stroke berulang

tidak memberikan dampak yang signifikan kepada nilai

GCS hari ke 8 (p> 0,05). Pada pasien menderita stroke

berulang memiliki nilai GCS lebih rendah (13,28 + 0,95)

dibanding pasien yang mengalami serangan awal stroke

hemoragik.

6. Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS)

1) Eye

a. 4 : mata terbuka secara spontan

b. 3: mata terbuka terhadap rangsangan suara

c. 2 : mata terbuka terhadap rangsangan nyeri

d. 1 : tidak membuka mata terhadap rangsangan.

2) Verbal

a. 5 : orientasi baik

b. 4 : bingung atau kacau

c. 3 : mengulang kata-kata yang tidak berhubungan

d. 2 : suara tidak dapat dimengerti

24
e. 1 : tidak berespon

f. Motorik
a. 6 : bereaksi terhadap perintah verbal

b. 5 : mengidentifikasi nyeri yag terlokalisir

c. 4 : fleksi dan menarik dari rangsangan nyeri

d. 3 : fleksi abnormal

e. 2 : ekstensi abnormal

f. 1 : tidak berespon

7. Penilaian Kekuatan Otot

Kekuatan otot dinilai dalam skala 0 sampai 5 :

a. 0 : tidak terdeteksi adanya kontraksi otot

b. 1 : kontraksi yang nyaris tidak terdeteksi atau hanya


kedutan

c. 2 : gerakan aktif bagian tubuh tanpa pengaruh gravitasi

d. 3 : gerakan aktif melawan gravitasi

e. 4 : gerakan aktif melawan gravitasi dan sedikit

resistensi penuh tanpa tanda- tanda kelelahan,

f. 5 : inilah kekuatan otot normal

2.1.8 Komplikasi

Menurut Rahmayanti (2019) komplikasi yang dapat terjadi

pada klien stroke hemoragik adalah sebagai berikut :

1. Fase akut

a. Hipoksia serebral dan menurunnya aliran darah otak

Pada area otak yang infark atau terjadi kerusakan


25
karena perdarahan maka terjadi gangguan perfusi

jaringan akibat terhambatnya aliran darah otak. Tidak

adekuatnya aliran darah dan oksigen mengakibatkan

hipoksia jaringan otak. Fungsi otak akan sangat

tergantung pada derajat kerusakan dan lokasinya.

Aliran darah ke otak snagat tergantung pada tekanan

darah, fungsi jantung atau kardiak output, keutuhan

pembuluh darah. Sehingga pada pasien dengan stroke

keadekuatan aliran darah sangat dibutuhkan untuk

menjamin perfusi jaringan yang baik untuk

menghindari terjadinya hipoksia serebral.

b. Edema serebri

Merupakan respon fisiologis terhadap adanya trauma

jaringan. Edema terjadi jika pada area yang mengalami

hipoksia atau iskemik maka tubuh akan meningkatkan

aliran darah pada lokasi tersebut dengan cara

vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan tekanan

sehingga cairan interstresial akan berpindah ke

ekstraseluler sehingga terjadi edema jaringan otak.

c. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)

Bertambahnya massa pada otak seperti adanya

perdarahan atau edema otak akan meningkatkan

tekanan intrakranial yang ditandai adanya defisit

26
neurologi seperti adanya ganggua motorik, sensorik,

nyeri kepala, gangguan kesadaran. Peningkatan

teakanan intrakranial yang tinggi dapat mengakibatkab

herniasi serebral yang dapat mengancam kehidupan.

d. Aspirasi

Pasien stroke dengan gangguan kesadaran atau koma

sangat rentan terhadap adanya aspirasi karena tidak

adanya reflek batuk dan menelan

2. Komplikasi pada masa pemulihan atau lanjut

a. Komplikasi yang sering terjadi pada masa lanjut atau

pemulihan, biasanya terjadi akibat immobilisasi seperti

pneumonia, dekubitus, kontraktur, thrombosis vena

dalam, atropi, inkontinensia urine


b. Kejang, terjadi akibat kerusakan atau gangguan pada
aktifitas listrik otak

c. Nyeri kepala kronis seperti migraine, nyeri kepala

tension, nyeri kepala clauster

d. Malnutrisi, karena intake yang tidak adekuat.

2.2 Tinjauan Teoritis Keperawatan

2.2.1 Pengkajian Keperawatan

Pengkajian keperawatan pada klien stroke hemoragik


adalah sebagai berikut :

1. Anamnesis (Khaira, 2018)

a. Identitas Klien
27
1) Umur

Stroke dapat menyerang semua umur, tetapi lebih

sering dijumpai pada populasi usia tua. Setelah

berumur 55 tahun, risikonya berlipat ganda setiap

kurun waktu sepuluh tahun. Pada stroke

hemoragik dengan perdarahan intraserebral lebih

sering ditemukan pada usia 45-60 tahun,

sedangkan stroke hemoragik dengan perdarahan

subarachnoid lebih sering ditemukan pada usia

20-40 tahun.

2) Jenis Kelamin

Laki-laki lebih cenderung terkena stroke lebih

tinggi dibandingkan wanita, dengan perbandingan

1,3 : 1, kecuali pada usia lanjut laki-laki dan

wanita hampir tidak berbeda. Laki-laki yang

berumur 45 tahun bila bertahan hidup sampai 85

tahun kemungkinan terkena stroke 25%,

sedangkan risiko bagi wanita hanya 20%. Pada

laki-laki cenderung terkena stroke iskemik

sedangkan wanita lebih sering menderita stroke

hemoragic subarachnoid dan kematiannya 2 kali

lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

3) Pekerjaan
28
Stroke dapat menyerang jeis pekerjaan lainnya

dan beberapa ahli menyebutkan bahwa stroke

cenderung diderita oleh golongan dengan sosial

ekonomi yang tinggi karena berhubungan dengan

pola hidup, pola makan, istirahat dan aktivitas.

Hasil penelitian menunjukkan sebagaian besar

(50%) berpendidikan sarjana, yang memiliki

kecenderungan adanya perubahan gaya dan pola

hidup yang dapat memicu terjadinya stroke

2. Keluhan Utama

Keluhan yang didapatkan biasanya gangguan motorik

kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan

tidak dapat berkomunikasi, nyeri kepala, gangguan

sensorik, kejang, penurunan kesadaran (Gefani, 2017).

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat

mendadak pada saat pasien sedang melakukan aktivitas.

Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang

sampai tidak sadar selain gejala kelumpuhan separuh badan

atau gangguan fungsi otak yang lain (Rahmayanti, 2019).

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya riwayat hipertensi, riwayat diabetes mellitus,

29
penyakit jantung, anemia, trauma kepala, kontrasepsi oral

yang lama, penggunaan obat antikoagulan, aspirin,

vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan. Selain itu, pada

riwayat penyakit
dahulu juga ditemukan riwayat tinggi kolesterol, merokok,

riwayat pemakaian kontrasepsi yang disertai hipertensi dan

meningkatnya kadar estrogen, dan riwayat konsumsi

alcohol (Khaira, 2018).

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi,

diabetes mellitus atau adanya riwayat stroke dari generasi

terdahulu (Khaira, 2018).

6. Pola Fungsi Kesehatan (Wati, 2019)

a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Kesehatan

Berkaitan dengan fungsi peran yang tergambar dari

penyesuaian atau pencerminan diri yang tidak adekuat

terhadap peran baru setelah stroke serta masih

menerapkan pola tidak sehat yang dapat memicu

serangan stroke berulang. Pengkajian perilaku adaptasi

interdependen pada pasien paska stroke antara lain

identifikasi sistem dukungan sosial pasien baik dari

keluarga, teman, maupun masyarakat

b. Pola Nutrisi dan Metabolisme

30
Pasien stroke sering mengalami disfagia yang

menyebabkan gangguan intake dan pola nutisi. Respons

adaptasi tidak efektif yang sering ditunjukkan pasien

antara lain mual, muntah, penurunan asupan nutrisi dan

perubahan pola nutrisi. Stimulus fokal yang sering

menyebabkan respons adaptasi tidak efektif pada pola

nutrisi pasien stroke yaitu disfagia dan penurunan

kemampuan mencerna makanan. Stimulus konstekstual

yaitu kelumpuhan saraf kranial, faktor usia dan

kurangnya pengetahuan tentang cara pemberian

makanan pada pasien stroke yang mengalami disfagia.

Stimulus residual yaitu faktor budaya serta

pemahaman pasien dan keluarga tentang manfaat nutrisi


bagi tubuh.
c. Pola Eliminasi

Pengkajian eliminasi meliputi BAB dan BAK,

konsistensi feses, jumlah dan warna urin, inkontinensia

urin, inkontinensia bowel, dan konstipasi. Selama

periode ini, dilakukan kateterisasi intermitten dengan

teknik steril. Inkontinensia urin yang berlanjut

menunjukkan kerusakan neurologis luas.

d. Pola Aktivitas dan Latihan

Sulit beraktivitas, kehilangan sensasi penglihatan,

gangguan tonus otot, gangguan tingkat kesadaran.

31
e. Pola Tidur dan Istirahat

Mudah lelah, kesulitan istirahat (nyeri atau kejang otot).

f. Pola Hubungan dan Peran

Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien

mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat

gangguan bicara

g. Pola Persepsi Dan Konsep Diri

Konsep diri merupakan pandangan individu tentang

dirinya yang terbentuk dari persepsi internal dan

persepsi berdasarkan reaksi orang lain terhadap dirinya.

Konsep diri terbagai menjadi dua aspek yaitu fisik diri

dan personal diri. Fisik diri adalah pandangan individu

tentang kondisi fisiknya yang meliputi atribut fisik,

fungsi tubuh, seksual, status sehat dan sakit, dan

gambaran diri. Personal diri adalah pandangan individu

tentang karakteristik diri, ekspresi, nilai yang meliputi

konsistensi diri, ideal diri, dan moral etika spiritual diri

h. Pola Sensori dan Kognitif

Sinkop atau pingsan, vertigo, sakit kepala, penglihatan

berkurang atau ganda, hilang rasa sensorik

kontralateral, afasia motorik, reaksi pupil tidak sama

i. Pola Penanggulangan Stress

32
Dalam hubungannya dengan kejadian stroke,

keadaan stress dapat memproduksi hormone kortisol

dan adrenalin yang berkonstribusi pada proses

aterosklerosis. Hal ini disebabkan oleh kedua hormon

tadi meningkat jumlah trombosit dan produksi

kolestrol. Kortisol dan adrenalin juga dapat merusak

sel yang melapisi arteri, sehingga lebih mudah bagi

jaringan lemak untuk tertimbun di dalam dinding arteri

j. Pola Tata Niai dan Kepercayaan

Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah

laku yang tidak stabil, kelemahan atau kelumpuhan

pada salah satu sisi tubuh

7. Pemeriksaan Fisik (Amanda, 2018)

a. Keadaan Umum

Tingkat kesadaran menurun karena terjadinya

perdarahan yang menyebabkan kerusakan otak

kemudian menekan batang otak. Evaluasi tingkat

kesadaran secara sederhana dapat dibagi atas :

a) Compos mentis : kesadaran baik

b) Apatis : perhatian kurang

c) Samnolen : kesadaran mengantuk

d) Stupor : kantuk yang dalam pasien dibangunkan

dengan rangsangan nyeri yang kuat

33
e) Soparokomatus : keadaan tidak ada respon verbal
f) Tidak ada respon sama sekali

b. Tanda-Tanda Vital

a) Tekanan darah : pasien stroke hemoragik memiliki

riwayat tekanan darah dengan tekanan systole > 140

dan diastole > 80 mmHg

b) Nadi : pasien stroke nadi terhitung normal

c) Pernapasan : pasien stroke mengalami nafas cepat

dan terdapat gangguan pada bersihan jalan napas

d) Suhu tubuh : pada pasien stroke tidak ada masalah

suhu pada pasien denga stroke hemoragik

c. Pemeriksaan Head To Toe

a) Pemeriksaan Kepala

1) Kepala : Pada umumnya bentuk kepala pada

pasien stroke normocephalik

2) Rambut : Pada umumnya tidak ada kelainan pada


rambut pasien

3) Wajah : Biasanya pada wajah klien stroke

terlihat miring kesalah satu sisi.

b) Pemeriksaan Integumen

1) Kulit : Biasanya pada klien yang kekurangan O2

kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan

cairan maka turgor kulit kan jelek.

2) Kuku : Biasanya pada pasien stroke hemoragik

34
ini capilarry refill timenya < 3 detik bila

ditangani secara cepat dan baik

c) Pemeriksaan Dada

Pada inspeksi biasanya didapatkan klien batuk,

peningkatan produksi sputum, sesak nafas,

penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan

frekuensi pernafasan. Pada auskultasi biasanya

terdengar bunyi nafas


tambahan seperti ronchi pada klien dengan

peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk

menurun yang sering didapatkan pada klien stroke

dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada

klien dengan tingkat kesdaran compos mentis, pada

pengkajian inspeksi biasanya pernafasan tidak ada

kelainan. Palpasi thoraks didapatkan fremitus kiri

dan kanan, dan pada ausklutasi tidak didapatkan

bunyi nafas tambahan

d) Pemeriksaan Abdomen

Biasanya pada klien stroke didapatkan distensi pada

abdomen, dapatkan penurunan peristaltik usus, dan

kadang-kadang perut klien terasa kembung.

e) Pemeriksaan Genitalia

Biasanya klien stroke dapat mengalami

inkontinensia urinarius sementara karena konfusi


35
dan ketidakmampuan mengungkapkan kebutuhan,

dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal

karena kerusakan kontrol motorik dan postural.

Kadang- kadang kontrol sfingter urinarius eksternal

hilang atau berkurang. Selama periode ini,

dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik

steril, inkontenesia urine yang berlanjut

menunjukkan kerusakan neurologis luas.

f) Pemeriksaan Ekstremitas

1) Ekstremitas Atas

Biasanya terpasang infuse bagian dextra /

sinistra. CRT biasanya normal yaitu < 2

detik.Pada pemeriksaan nervus XI (aksesorius) :

biasanya pasien stroke hemoragik tidak dapat

melawan tahanan pada bahu yang diberikan

perawat. Pada pemeriksaan reflek, biasanya saat

siku diketuk tidak ada respon apa-apa dari siku,

tidak fleksi maupun ekstensi (reflek bicep (-))

dan pada pemeriksaan tricep respon tidak ada


fleksi dan supinasi (reflek bicep (-)).

Sedangkan pada pemeriksaan reflek hoffman

tromer biasanya jari tidak mengembang ketika

diberi reflek (reflek Hoffman tromer (+)).

2) Ekstremitas Bawah
36
Pada pemeriksaan reflek, biasanya saat

pemeriksaan bluedzensky I kaki kiri pasien

fleksi ( bluedzensky (+)). Pada saat telapak kaki

digores biasanya jari tidak mengembang (reflek

babinsky (+)). Pada saat dorsum pedis digores

biasanya jari kaki juga tidak beresponn (reflek

caddok (+)). Pada saat tulang kering digurut dari

atas ke bawah biasanya tidak ada respon fleksi

atau ekstensi (reflek openheim (+)) dan pada

saat betis diremas dengan kuat biasanya pasien

tidak merasakan apa-apa (reflek gordon (+)).

Pada saat dilakukan reflek patella biasanya

femur tidak bereaksi saat di ketukkan (reflek

patella (+)).

g) Pemeriksaan Neurologis

1) Pemeriksaan Nervus Cranialis

(a) Nervus I (Olfaktorius). Biasanya pada klien

stroke tidak ada kelainan pada fungsi

penciuman

(b) Nervus II (Optikus). Disfungsi persepsi

visual karena gangguan jaras sensori primer

diantara mata dan korteks visual. Gangguan

hubungan visual-spasial biasanya sering


37
terlihat pada klien hemiplegia kiri. Klien

mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa

bantuan karena ketidakmampuan untuk

mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.

(c) Nervus III (Okulomotoris), IV(Troklearis),


dan VI (Abdusen).

Pemeriksaan ini diperiksa secara bersamaan,

karena saraf ini bekerjasama dalam

mengatur otot-otot ekstraokular. Jika akibat

stroke menyebabkan paralisis, pada satu sisi

okularis biasanaya didapatkan penurunan

kemampuan gerakan konjugat unilateral

disisi yang sakit.

(d) Nervus V (Trigeminus). Pada beberapa

keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf

trigeminus, penurunan kemampuan

koordinasi gerakan mengunyah,

penyimpangan rahang bawah ke sisi

ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi

pterigoideus internus dan eksternus.

(e) Nervus VII (Fasialis). Pada keadaan stroke

biasanya persepsi pengecapan dalam batas

normal, namun wajah asimetris, dan otot

wajah tertarik kebagian sisi yang sehat.


38
(f) Nervus VIII (Vestibulokoklearis/Akustikus).

Biasanya tidak ditemukan adanya tuli

konduktif dan tuli persepsi.

(g) Nervus IX (Glosofaringeus) dan X (Vagus).

Secara anatomi dan fisisologi berhubungan

erat karena glosofaringeus mempunyai

bagian sensori yang mengantarkan

rangsangan pengecapan, mempersyarafi

sinus karotikus dan korpus karotikus, dan

mengatur sensasi faring. Bagian dari faring

dipersarafi oleh saraf vagus. Biasanya pada

klien stroke mengalami penurunan

kemampuan menelan dan kesulitan

membuka mulut.

(h) Nervus XI (Aksesoris). Biasanya tidak


ada atrofi otot

sternokleisomastoideus dan trapezius


(i) Nervus XII (hipoglosus). Biasanya lidah

simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan

fasikulasi serta indra pengecapan normal.

2) Pemeriksaan Motorik

Biasanya didapatkan hemiplegia (paralisis pada

salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang

berlawanan. Hemiparise atau kelemahan salah

39
satu sisi tubuh adalah tanda yang lain. Juga

biasanya mengalami gangguan keseimbangan

dan koordinasi karena hemiplegia dan

hemiparese. Pada penilaian dengan

menggunakan kekuatan otot, tingkat kekuatan

otot pada sisi yang sakit adalah 0.

3) Pemeriksaan Refleks

Pada pemerikasaan refleks patologis. Biasanya

pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh

akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks

fisiologis akan muncul kembali didahuli dengan

reflek patologis.

8. Pemeriksaan Pada Penderita Koma

1) Gerakan penduler tungkai

Pasien tetap duduk di tepi tempat tidur dengan tungkai

tergantung, kemudian kaki diangkat ke depan dan

dilepas. Pada waktu dilepas akan ada gerakan penduler

yang maikn lama makin kecil dan biasanya berhenti 6

atau 7 gerakan. Beda pada rigiditas ekstrapiramidal

akan ada pengurangan waktu, tetapi tidak teratur atau

tersendat-sendat.

2) Menjatuhkan tangan

Tangan pasien diangkat kemudian dijatuhkan. Pada

40
kenaikan tonus (hipertoni) terdapat penundaan jatuhnya

lengan ke bawah. Sementara pada hipotomisitas

jatuhnya cepat.
3) Tes menjatuhkan kepala

Pasien berbaring tanpa bantal, pasien dalam keadaan

relaksasi, mata terpejam. Tangan pemeriksa yang satu

dilektakkan di bawah kepala pasien, tangan yang lain

mengangkat kepala dan menjatuhkan kepala lambat.

Pada kaku kuduk (nuchal rigidity) karena iritasi

meningeal terdapat hambatan dan nyeri pada fleksi

leher.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Menurut NANDA (2015) diagnosa keperawatan yang timbul

pada pasien Stroke Hemoragik adalah sebagai berikut

1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

gangguan neuromuskuler, kelemahan anggota

gerak

2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan infark jaringan otak, vasospasme serebral, edema

serebral

3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan

obstruksi jalan napas, reflek batuk yang tidak adekuat

4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan depresi


41
pusat pernapasan

5. Nyeri akut berhubungan dengan agent cidera biologis


(peningkatan TIK).

6. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan

gangguan fisologis: penurunan sirkulasi ke otak, gangguan

sistem saraf pusat ditandai dengan mengeluh sulit

menggerakkan ekstremitas, kekuatan otot menurun, rentang

gerak (ROM) menurun, dan nyeri saat bergerak, gerakan

terbatas

7. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan

(tonus otot menelan menurun)

2.2.3 Intervensi Keperawatan


Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan NANDA, NIC-NOC
2016

No Diagnosa NOC (Nursing NIC (Nursing


Keperawatan Outcome Clasification) Intervention
Clasification)
1 Hambatan Setelah dilakukan 1. Monitoring vital
komunikasi tindakan keperawatan signs sebelum dan
verbal diharapkan mobilitas sesudah latihan dan
berhubungan fisik pasien tidak ada lihat respon pasien
dengan hambatan dengan saat latihan
gangguan kriteria hasil : 2. Kaji kemampuan
fisologis: 1. Pasien meningkat motorik
penurunan dalam aktivitas fisik 3. Lakukan latihan
sirkulasi ke 2. Mengerti tujuan dari ROM pasif atau
otak, peningkatan ROM dengan
gangguan mobilitas bantuan, sesuai
sistem saraf 3. Memverbalisasik an indikasi.
pusat ditandai perasaan dalam 4. Dukung pasien
dengan meningkatkan untuk melihat
mengeluh kekuatan dan gerakan tubuh
sulit kemampuan sebelum memulai
42
menggerakkan berpindah latihan
ekstremitas, 5. Bila pasien di
kekuatan otot tempat tidur,
menurun, lakukan tindakan
rentang gerak untuk meluruskan
(ROM) postur tubuh
menurun, dan a. Gunakan papan
nyeri saat kaki jika
bergerak, diperlukan
gerakan b. Ubah posisi
terbatas sendi tiap 2-4
jam
c. Sanggah tangan
dan pergelangan
pada kelurusan
alamiah
6. Observasi daerah
yang tertekan,
termasuk warna,
oedema atau tanda
lain gangguan
sirkulasi
7. Inspeksi kulit,
terutama pada
daerah yang
tertekan
8. Lakukan massage
pada daerah yang
tertekan
9. Kolaborasi dengan
ahli terapi fisik
dalam
mengembangkan
dan menerapkan
sebuah program
latihan
10. Kolaborasi stimulai
elektrik
11. Kolaborasi dalam
penggunaan tempat
tidur anti dekubitus

2.2.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan merupakan serangkaian


43
tindakan yang dilakukan oleh perawat maupun tenaga medis

lain untuk membantu pasien dalam proses penyembuhan dan

perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang

sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan (Nursalam,

2015).

Tabel 2.2 Implementasi Keperawatan

No Diagnosa Intervensi Implementasi


Keperawatan Keperawatan Keperawatan
1 Hambatan 1. Monitoring vital 1. Memonitoring vital
komunikasi signs sebelum dan signs sebelum dan
verbal sesudah latihan sesudah latihan dan
berhubungan dan lihat respon lihat respon pasien
dengan pasien saat latihan saat latihan
gangguan 2. Kaji kemampuan 2. Mengkaji
fisologis: motorik kemampuan motorik
penurunan 3. Lakukan latihan 3. Melakukan latihan
sirkulasi ke ROM pasif atau ROM pasif atau
otak, ROM dengan ROM dengan
gangguan bantuan, sesuai bantuan, sesuai
sistem saraf indikasi. indikasi.
pusat ditandai 4. Dukung pasien 4. Mendukung pasien
dengan untuk melihat untuk melihat
mengeluh gerakan tubuh gerakan tubuh
sulit sebelum memulai sebelum memulai
menggerakkan latihan latihan
ekstremitas, 5. Bila pasien di 5. Melakukan tindakan
kekuatan otot tempat tidur, untuk meluruskan
menurun, lakukan tindakan postur tubuh bila

44
rentang gerak untuk meluruskan pasien di tempat tidur
(ROM) postur tubuh a. Menggunakan
menurun, dan a. Gunakan papan kaki jika
nyeri saat papan kaki jika diperlukan
bergerak, diperlukan b. Mengubah posisi
gerakan b. Ubah posisi sendi tiap 2-4 jam
terbatas sendi tiap 2-4 c. Menyanggah
jam tangan dan
c. Sanggah pergelangan pada
tangan dan kelurusan
pergelangan alamiah
pada kelurusan 6. Mengobservasi
alamiah daerah yang tertekan,
6. Observasi daerah termasuk warna,
yang tertekan, oedema atau tanda
termasuk warna, lain gangguan
oedema atau tanda sirkulasi
lain gangguan 7. Menginspeksi kulit,
sirkulasi terutama pada daerah
7. Inspeksi kulit, yang tertekan
terutama pada 8. Melakukan massage
daerah yang pada daerah yang
tertekan tertekan
8. Lakukan massage 9. Kolaborasikan
pada daerah yang dengan ahli terapi
tertekan fisik dalam
9. Kolaborasi dengan mengembangkan dan
ahli terapi fisik menerapkan sebuah
dalam program latihan
mengembangkan 10. Kolaborasikan
dan menerapkan stimulai elektrik
sebuah program 11. Kolaborasi dalam
latihan penggunaan tempat
10. Kolaborasi tidur anti dekubitus
stimulai elektrik
11. Kolaborasi dalam
penggunaan
tempat tidur anti
dekubitus

2.2.5 Evaluasi Keperawatan

Menurut Nursalam (2015), evaluasi keperawatan terdiri dari dua


jenis, yaitu :
45
1) Evaluasi formatif : evalusi ini disebut juga evaluasi

berjalan dimana evaluasi ini dilakukan sampai dengan

tujuan tercapai. Pada evaluasi formatif ini penulis

menilai klien tentang ketepatan gerak pada saat melakukan

latihan ROM (Range Of Motion) yang penulis ajarkan

terlebih dahulu kepada klien.

2) Evaluasi somatif : evaluasi akhir dimana dalam metode

evaluasi ini menggunakan SOAP (Subjektif, Objektif,

Analisa, Planning). Pada evaluasi somatif ini penulis

menilai tujuan akhir dari latihan ROM (Range Of Motion)

yang penulis ajarkan yaitu baik atau tidaknya rentang gerak

ataupun mobilitas fisik pada klien setelah melakukan

latihan ROM (Range Of Motion) tersebut.

Pada tahap ini penulis melakukan penilaian secara subjektif

melalui ungkapan klien dan secara objektif. Evaluasi yang

dilakukan sesuai dengan kriteria hasil, yaitu sebagai berikut :

1. Pasien meningkat dalam aktivitas fisik

2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas

3. Memverbalisasik an perasaan dalam meningkatkan

kekuatan dan kemampuan berpindah

46
DAFTAR PUSTAKA

Amanda, Arora Nexi. (2018). Asuhan Keperawatan Gangguan Oksigenasi


Pada Pasien Stroke Hemoragik Di Ruang Rawat Inap Syaraf RSUP Dr.
M. Djamil Padang. Karya Tulis Ilimiah, Prodi D-III Keperawatan.
Padang : Poltekkes Kemenkes RI Padang.

Ambarwati, Fitri Resati. 2014. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia. Yogyakarta


: Dua Satria Offset.

Apriliyani, T. (2017). Pemberian Range Of Motion (ROM) Terhadap


Kekuatan Otot Ekstremitas Pada Asuhan Keperawatan Tn. A Dengan
Stroke Hemoragik Di Ruang Aggrek II RSUD dr. Moewardi Surakarta.
Tugas Akhir. Surakarta: Program Studi DIII Keperawatan Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada Surakarta.

Arum, Sheria Puspita.2015. Stroke kenali cegah & obati, Yogyakarta:


Notebook.

Asmadi. 2013. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan


Dasar Klien.
Jakarta : Salemba Medika.

Black, Joyce M dan Jane Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah
Ed 8 Buku 2.
Singapura : Elsevier.

Denney, A.S., & Tewksbury, R. (2013). How To Write A Literature Review.


Journal Of Criminal Justice Education, 24(2). 218-234

Dewi, R. K., Pinzon R. T, & Priatmo S. (2016). Pemberian Kombinasi


Vitambin B1, B6, dan B12 Sebagai Faktor Determinan Penurunan Nilai
Total Gejala Pada Pasien Neuropati Perifer Diabetik. Jurnal Farmasi
Sains dan Komunitas. Vol.13 No.2, Hal 97-194.

Fajar Yudha dan Gustop Amatiria. (2014). “Pengaruh Range Of Motion


(ROM) Terhadap Kekuatan Otot Pasien Pasca Perawatan Stroke”. Jurnal
Keperawatan, Volume X, No. 2, Oktober 2014 ISSN 1907 – 0357

Febrianto, Eko. (2018). ‘Asuhan Keperawatan Pada Tn. L Dengan Kasus


Diabetes Melitus Dalam Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas Di Ruang
Melati Rsud Kota Kendari Tahun 2018’. Study Literatur, Prodi D-III
Keperawatan. Kendari : Politeknik Kesehatan Kendari.

Fitriyani, W. N. (2015). ‘Efektivitas Frekuensi Pemberian Range Of Motion


(ROM) Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Di Instalasi Rawat
47
Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarja Purwekorto’. Skripsi.
Purwekerto : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Purwekerto.

Geofani, Putri. (2017). ‘Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Stroke


Hemoragik Di Bangsal Syaraf RSUP Dr. M. Djamil Padang’. Karya
Tulis Ilimiah, Prodi D-III Keperawatan. Padang : Poltekkes Kemenkes RI
Padang.

Gina Dwi Anggrain, Septiyanti, dan Dahrizal. (2018). “Range Of Motion


(ROM) Spherical
Grip dapat Meningkatkan Kekuatan Otot Ekstremitas Atas Pasien Stroke”.
Politeknik

48
Kesehatan Kementerian Kesehatan Bengkulu. Jurnal Ilmu Dan Teknologi
Kesehatan Vol 6, No 1, September 2018, ISSN: 2338-9095 (Print) ISSN:
2338-9109 (online)

Heriana, P. 2014. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang : Binarupa

Aksara. Indrawati, L.,W. Sari., dan C. S Dewi. (2016). Care Your

Self Stroke Cegah dan Obati


Sendiri. Jakarta : Penebar Plus (Penebar Swadaya Grup).

Insani, Ikrar. (2017). ‘Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Stroke


Hemoragik Di Irna C Lantai 1 Rumah Sakit Stroke Nasional Bukit
Tinggi’. Study Literatur, Prodi D-III Keperawatan. Padang : Poltekkes
Kemenkes RI Padang.

Irfan, M. (2014). Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Khaira, Fathmi. (2018). ‘Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Stroke


Hemoragik Di Bangsal Saraf RSUP Dr M. Djamil Padang’. Karya Tulis
Ilimiah, Prodi D-III Keperawatan. Padang : Poltekkes Kemenkes RI
Padang.

Kun Ika Nur Rahayu. (2015). “Pengaruh Pemberian Latihan Range Of Motion
(ROM) Terhadap Kemampuan Motorik Pada Pasien Post Stroke Di Rsud
Gambiran”. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kadiri. Jurnal
Keperawatan. P-ISSN 2086-3071 E-ISSN 2443-0900

Maghfiroh, Ervi. (2018). ‘Asuhan Keperawatan Stroke Hemoragik Pada Ny. T


dan Tn. S Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik Di
Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Tahun 2017’. Study
Literatur, Prodi D-III Keperawatan. Lumajang : Universitas Jember.

Munir, B. 2015. NEUROLOGI DASAR. 1 ed. Jakarta: CV Sagung Seto.

NANDA Internasional.2015. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


20152017, edisi
10. Jakarta : EGC.

NANDA, Nic-Noc. (2015). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan


Penerapan Diagnosa Nanda, Nic-Noc dalam berbagai kasus. Jogjakarta :
Medi Action

Nasution, L. 2013. Stroke Non Hemoragik Pada Laki-Laki Usia 65 Tahun.


Karya Tulis Ilimiah, Prodi D-III Keperawatan. Lampung : Universitas
Lampung
49
Nugraha, Alan Yudha. (2018). ‘Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Stroke Hemoragik Di Ruang Rawat Inap Syaraf RSUP Dr.M.Djamil
Padang’. Karya Tulis Ilimiah, Prodi D-III Keperawatan. Padang :
Poltekkes Kemenkes RI Padang.

Nurhidayat et al. 2014. Defenisi Range of Motion (ROM), Tujuan ROM.

Jakarta: EGC.

Nursalam. (2016).Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan

Praktis Edisi 4. Jakarta : Salemba Medika.

50
Perdana, W. H. 2017. Asuhan Keperawatan Ny. S Di Ruang Teratai
RSUD Banyumas.Skripsi. Purwokerto: Fakultas Ilmu Kesehatan
UMP.

Pinzon dalam Rahmawati. (2017). Clinical Pathway Dalam Pelayanan


Stroke Akut : Apakah Pathway Memperbaiki Proses Pelayanan?
J. Manaj. Pelayanan Kesehatan 2017, (12) 20:03.

Potter, Patricia A dan Anne Griffin Perry. 2012. Buku Ajar


Fundamental Keperawatan : konsep, proses dan praktik Ed. 4
Vol. 1. Jakarta : EGC

Pudiastuti, R. Dewi. (2015). ‘Penyakit Pemicu Stroke’ Yogyakarta :


Nuha Medika

Rahmayanti, Destia. (2019). ‘Asuhan Keperawatan Pada Pasien


Dengan Stroke Hemoragik Di Ruang Rawat Inap Saraf RSUP
Dr. M. Djamil Padang’. Karya Tulis Ilimiah, Prodi D-III
Keperawatan. Padang : Poltekkes Kemenkes RI Padang.

Riskesdas. (2018). Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. http://www.depkes.go.id

Roger, V, et al. (2017). Heart Deases and Stroke Statistics-2017


Update : A Report From The American Heart Association.
Circulation, 135(10) : 146-603.

Saputra. 2013. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi


Kebutuhan Dasar Klien. (H. Haroen, Ed.). Jakarta: Salemba
Medika.

SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:


Definisi dan Indikator Diagnostik (1st ed.). Jakarta: DPP
Persatuan Perawat Indonesia.

Susana Nurtanti dan Widya Ningrum. (2018). “Efektifitas Range Of


Motion (ROM) Aktif Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Pada
Penderita Stroke”. Akademi Keperawatan Giri Satria Husada
Wonogiri. Jurnal Keperawatan GSH Vol 7 No 1 Januari 2018
ISSN 2088-2734.

Susanti dan Difran Nobel Bistara (2019) yang berjudul “Pengaruh


Range Of Motion terhadap Kekuatan Otot pada Pasien Stroke”.
Jurnal Kesehatan Vokasional, Vol. 4 No. 2 (Mei 2019) ISSN
51
2541-0644 (print), ISSN 2599-3275 (online) DOI
hps://doi.org/10.22146/jkesvo.44497

Suratun et al. 2010. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Seri


Asuhan Keperawatan.
Jakarta : EGC.

Uliyah dan Hidayat. 2014. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik. Edisi 2.


Jakarta: Salemba MedikaAmin dan Kusuma. 2015. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Hernia. Jakarta: Nuha Medika.

Wati, Eno Apriliya. (2019). ‘Asuhan Keperawatan Stroke Hemoragik Pada Ny.
B dan Ny. M
Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik Di Ruang Melati
RSUD Dr.
Haryoto Lumajang Tahun 2019’. Study Literatur, Prodi D-III
Keperawatan. Lumajang : Universitas Jember.

Widuri, H. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia. Yogyakarta : Gosyen


Publishing.

Yastroki. (2012). Stroke Penyebab Kematian Urutan Pertama Di


Rumah Sakit Indonesia.
Diakses tanggal 5 Mei, dari http://www.yastroki.or.id

52

Anda mungkin juga menyukai