Anda di halaman 1dari 11

Pengertian Pengawasan

Pengawasan adalah proses yang sistematik dalam menetapkan standar kerja atau
ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang
diharapkan sesuai dengan standar kinerja yang telah ditetapkan tersebut. Pengawasan
berfungsi untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan dalam sebuah
pekerjaan, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa
semua sumber daya perusahaan atau pemerintahan telah digunakan seefektif dan seefisien
mungkin guna mencapai tujuan dari proyek perusahaan atau pemerintahan.
Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktifitas yang terlaksana
sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya
untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang
akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang
telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien.
Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan
atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga
dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana
penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan merupakan
bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan
atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya.” Dalam ilmu
manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari
segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai: “pengamatan atas pelaksanaan
seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang
sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan.” Atau
“suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan,
sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan
tindakan erbaikannya.”

Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai

“proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau


diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.”

Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan
ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks
membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola
pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi
pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama
pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri.
1. Pengawasan Intern dan Ekstern

Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di
dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.” Pengawasan dalam bentuk ini dapat
dilakukan dengan cara pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in
control) atau pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat jenderal pada setiap
kementerian dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah yang ada di Indonesia, dengan
menempatkannya di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri.

Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di
luar unit organisasi yang diawasi. Dalam hal ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), yang merupakan lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh
kekuasaan manapun. Dalam menjalankan tugasnya, BPK tidak mengabaikan hasil laporan
pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, sehingga sudah sepantasnya di antara
keduanya perlu terwujud harmonisasi dalam proses pengawasan keuangan negara. Proses
harmonisasi demikian tidak mengurangi independensi BPK untuk tidak memihak dan menilai
secara obyektif aktivitas pemerintah.

2. Pengawasan Preventif dan Represif

Pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai, “pengawasan yang dilakukan terhadap


suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat mencegah terjadinya
penyimpangan.” Lazimnya, pengawasan ini dilakukan pemerintah dengan maksud untuk
menghindari adanya penyimpangan pelaksanaan keuangan negara yang akan membebankan
dan merugikan negara lebih besar. Di sisi lain, pengawasan ini juga dimaksudkan agar sistem
pelaksanaan anggaran dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Pengawasan preventif
akan lebih bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh atasan langsung, sehingga
penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan terdeteksi lebih awal.

Di sisi lain, pengawasan represif adalah “pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan
setelah kegiatan itu dilakukan.” Pengawasan model ini lazimnya dilakukan pada akhir tahun
anggaran, di mana anggaran yang telah ditentukan kemudian disampaikan laporannya. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan dan pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
penyimpangan.

3. Pengawasan Aktif dan Pasif

Pengawasan dekat (aktif) dilakukan sebagai bentuk “pengawasan yang dilaksanakan di tempat
kegiatan yang bersangkutan.” Hal ini berbeda dengan pengawasan jauh (pasif) yang
melakukan pengawasan melalui “penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggung
jawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran.” Di sisi lain,
pengawasan berdasarkan pemeriksaan kebenaran formil menurut hak (rechmatigheid) adalah
“pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan, tidak kadaluarsa,
dan hak itu terbukti kebenarannya.” Sementara, hak berdasarkan pemeriksaan kebenaran
materil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid) adalah “pemeriksaan terhadap
pengeluaran apakah telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan
dan beban biaya yang serendah mungkin.”

4. Pengawasan kebenaran formil menurut hak (rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran


materiil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid).

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara, pengawasan ditujukan untuk menghindari


terjadinya “korupsi, penyelewengan, dan pemborosan anggaran negara yang tertuju pada
aparatur atau pegawai negeri.” Dengan dijalankannya pengawasan tersebut diharapkan
pengelolaan dan pertanggung jawaban anggaran dan kebijakan negara dapat berjalan
sebagaimana direncanakan.

Fungsi Pengawasan
Sebagai penilai apakah setiap unit-unit telah melaksanakan kebijaksanaan dan prosedur yang
menjadi tanggungjawabnya masing-masing
Sebagai penilai apakah surat-surat atau laporan yang didapat sudah menggambarkan kegiatan-
kegiatan yang sebenarnya secara tepat dan cermat.
Sebagai penilai apakah pengendalian manajemen sudah cukup memadai dan dilakukan secara
efektif.
Sebagai peneliti apakah kegiatan telah dilaksanakan secara efektif yakni mencapai tujuan
yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Sebagai peneliti apakah kegiatan telah dilaksanakan secara efisien.

Jadi bisa disimpulkan bahwa fungsi pengawasan ialah untuk memberikan nilai, analisis,
merekomendasikan dan menyampaikan hasil laporan atau surat yang berhubungan dengan
bidan pekerjaan sebuah lembaga atau organisasi yang telah diteliti.
Peran Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan atau lebih dikenal dengan istilah OJK, yang merupakan sebuah
lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen dan mengawasi lembaga keuangan baik
perbankan maupun non-perbankan. Tujuan dibentuknya OJK yaitu untuk mengatasi
kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis, menghilangkan penyalahgunaan
kekuasaan, dan mencari efisiensi di sektor perbankan dan keuangan lainnya. Keberadaan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai suatu lembaga pengawasan sektor keuangan di
Indonesia perlu diperhatikan, karena ini harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk
mendukung keberadaan Otoritas Jasa Keuangan tersebut.

Pada dasarnya OJK mempunyai fungsi dan tujuan dalam pembentukannya, seperti yang sudah
dijelaskan dalam pengertian OJK. Mengamati kegiatan bisnis di lembaga keuangan sektor
perbankan maupun non-perbankan yang jumlah transaksinya semakin banyak terjadi di 3
masyarakat, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa antar pihak yang terlibat. Setiap
jenis sengketa yang terjadi selalu menutut pemecahan dan penyelsaian yang cepat. Makin
banyak dan luas kegiatan perdagangan frekuensi terjadi sengketa makin tinggi. Ini berarti
makin banyak sengketa harus diselesaikan.

Untuk menangani permasalahan sengketa Bisnis yang sekarang ini semakin sering terjadi,
lembaga keuangan OJK mengeluarkan aturan untuk mengatur sengketa bisnis yaitu dengan
dikeluarkannya POJK Nomor 1/POJK.07/2014 ini dibuat sebagai bentuk perlindungan
terhadap konsumen sesuai amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan. Adapun latar belakang pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa adalah seringnya tidak tercapai kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Jasa
Keuangan. Oleh karena itu, diperlukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
mampu menyelesaikan persengketaan dengan cepat, murah, adil, dan efisien.

Berdasarkan dari banyaknya kegiatan bisnis sektor jasa keuangan yang menimbulkan
sengketa maka dari itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi Perbankan membentuk
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), LAPSPI yang
didirikan mulai beroperasi pada Januari 2016 didirikan atas kesepakatan bersama enam
asosiasi di sektor perbankan. Keenam asosiasi yang mendirikan LAPSPI yakni Perhimpunan
Bank Nasional (Perbanas), Asosiasi Bank Daerah (Asbanda), Himpunan Bank 4 Negara
(Himbara), Perbarindo, Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), dan Perhimpunan Bank
Asing (Perbina). Tujuannya adalah melayani penyelesaian sengketa dalam menyelesaikan
sengketa konsumen melalui penyediaan mediator, ajudikator, dan arbiter yang memiliki
kompetensi untuk menyelesaikan sengketa konsumen untuk menjaga kelanggengan hubungan
bisnis antara konsumen dan pelaku usaha di sektor jasa keuangan.

1 Keberadaan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)


pada kenyataanya dirasa belum efektif untuk menangani permasalahan sengketa bisnis yang
ada di masyarakat, hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya permasalahan sengketa bisnis
yang tidak mampu ditangani oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebab tidak semua sengketa
bisnis yang terjadi antara konsumen dan pelaku di industri jasa keuangan dapat diajukan ke
Otoritas Jasa Keuangan.

2 Setelah adanya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI),


permasalahan yang ada di masyarakat pada kenyataannya masih banyak sekali sengketa bisnis
yang diadukan setiap harinya dan belum dapat ditangani oleh aturan-aturan yang dibuat oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu semakin maraknya pengaduan konsumen terkait
dengan kasus keuangan menunjukkan tidak adanya titik temu antara industri dan konsumen
sebagai pelaku bisnis. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya
kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem
keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar subsektor keuangan baik
dalam hal produk maupun kelembagaan. Selain itu, adanya lembaga jasa keuangan yang
memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah
menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan di dalam sistem
keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi
tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan
terganggunya stabilitas sistem jasa keuangan semakin mendorong diperlukannya
pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur
pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal,
perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di
dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih
menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap
keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegras.
Lemahnya sistem arsitektur pengawasan keuangan di Indonesia; 2. Tidak adanya pertukaran
arus informasi (data sharing dan data interfacing) antarlembaga pengawas Lembaga
Keuangan; dan 3. Masih tingginya egosentris antar lembaga pengawas Lembaga Keuangan.
Akar praktik moral hazard ini bermuara pada kenyataan lemahnya koordinasi dan tidak
adanya pertukaran informasi (data sharing dan data interfacing) antar lembaga pengawas LK.
Baik Bapepam-LK, Bank Indonesia dan Kementerian Koperasi, hingga saat ini belum
memiliki protokol yang memungkinkan ketiga lembaga tersebut melakukan pertukaran
informasi. Akibatnya, pendeteksian praktik moral hazard yang dilakukan antar pasar sulit
terdeteksi, jika tidak bisa dikatakan mustahil. Sehubungan dengan uraian di atas,
menunjukkan perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-
lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang
mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pension, lembaga pembiayaan,
dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Khususnya untuk permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan bisnis lembaga penghimpun
dana masyarakat. Penataan dimakud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang
lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga
dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan
terhadap keseluruhan kegiatan jasa 8 keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi
agar dapat diketahui bagaimana potensi, dan juga peluang apa saja yang nantinya mungkin
akan muncul dalam kegiatan penghimpunan dana masyarakat. Selain itu, perlu diketahui
faktor kelemahan apakah yang menghambat penyelesaian sengketa bisnis lembaga
penghimpun dana masyarakat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), apakah kelemahan tersebut
terletak dari faktor substansi atau UndangUndang yang belum mengatur dengan jelas, faktor
penegakkan hukum atau lembaga yang kurang bisa menanganinya dengan baik atau
dikarenakan faktor budaya masyarakat yang semakin berkembang. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, maka diperlukan suatu model pengawasan yang berfungsi mengawasi segala
macam kegiatan industri keuangan tersebut.

Setiap model pengawasan memang memiliki keunggulan dan kelemahan masing masing,
bahkan dalam pelaksanaan bisnis belum ada sebuah model pengawasan industri keuangan
yang sempurna. Setiap model pengawasan memiliki celah untuk lahirnya suatu penyimpangan
misalnya pada kasus investasi illegal atau sering disebut bodong yang kasusnya berupa
investasi bertingkat dan berjenjang yang menimbulkan pengelakan tanggung jawab serta lolos
dan terhindar dari pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab, Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) hanya memiliki kewenangan terhadap lembaga keuangan atau investasi yang
menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki izin, padahal penyimpangan yang
dilakukan oleh Lembaga Keuangan (LK) yang tak berijin akan berdampak pula pada lembaga
keuangan dan perekonomian secara keseluruhan
Ruang Lingkup Pengaturan

Pengertian Ruang Lingkup Secara Umum dan Khusus –


Kita tentu sudah sering mendengar kata “ruang lingkup”, namun sudahkah anda mengetahui
pengertian yang benar mengenai kata tersebut?  Ruang lingkup secara umum memiliki makna
batasan. Dalam arti luas batasan ini bisa dalam bentuk materi, variable yang diteliti, subjek,
atau lokasi. Ruang lingkup bisa diartikan secara lebih khusus pada materi atau hal tertentu.
Dalam sebuah penelitian ruang lingkup bisa berarti pembatasan variable yang digunakan,
berapa banyak subjek yang akan diteliti, luas lokasi penelitian, materi yang dikaji, dan
sebagainya. adanya pembatasan atau ruang lingkup dalam sebuah penelitian penting adanya
karena akan mempengaruhi validitas dari hasil penelitian itu sendiri.

Kemudian ruang lingkup secara khusus juga digunakan untuk membatasi materi dari sebuah
ilmu. Misalnya saja ilmu psikologi  memiliki ruang lingkup psikologi dasar, psikologi
kepribadian, psikologi kesehatan, psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi dewasa, dan
sebagainya. dalam setiap cabang dapat dibeberkan ruang lingkupnya masing-masing.
Misalnya psikologi kesehatan memiliki ruang lingkup kesehatan jiwa, psikolopi pasien di
rumah sakit, psikologi kehamilan, gangguan psikologi, dan sebagainya. dari contoh di atas
dapat diambil pelajaran mengenai makna ruang lingkup secara khusus.

Untuk mengetahui ruang lingkup suatu hal kita perlu mendapatkan pengertian dari istilah
tersebut atau dengan kata lain ruang lingkup merupakan batasan dari pengertian umum dari
suatu pokok materi. Sebut saja materi mengenai ilmu social dasar. Pengertiannya adalah ilmu
yang membahas mengenai pemecahan masalah kehidupan. Kita tahu bahwa masalah
kehidupan ini begitu kompleks sehingga akan kesulitan bila tidak diberikan batasan apa saja
yang perlu dipelajari. Untuk itu perlu membuat ruang lingkup materi agar pembelajaran lebih
terarah. Dalam ilmu social dasar ini dapat dibuat ruang lingkup mengenai dasar-dasar masalah
manusia seperti masalah keluarga, masalah masyarakat, kebudayaan, norma setempat,
pelapisan social dan persamaan derajat, teknologi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,
masalah masyarakat di perkotaan dan pedesaan, serta masalah hubungan antar Negara. Dari
pembahasan ini kita akan mengetahui kemana arah materi akan disampaikan.

Ruang lingkup juga bisa dipakai untuk hal-hal yang sifatnya sederhana. Misalnya saja tentang
teknik membuat cangkul. Pertama kita harus mengetahui pengertian dari cangkul itu sendiri,
kemudian manfaatnya, mutu atau kualitas, uji coba, dan syarat. Pengertian cangkul adalah alat
dari bahan besi dan kayu yang banyak digunakan petani di sawah. Manfaatnya untuk
memindahkan tanah, membuat lubang di tanah, dan  bercocok tanam. Secara kualitas cangkul
dapat dilihat dari bagaimana tampilan luarnya, apakah rata dan rapi atau masih ada bagian
yang terlihat kasar. Begitu seterusnya hingga mendapatkan materi bahasan.

Secara umum ruang lingkup berarti batasan dan secara khusus ruang lingkup berarti
pengertian suatu materi secara lebih detail. Nah, dengan adanya ruang lingkup ini materi yang
disajikan jauh lebih terarah.
Kegiatan Otoritas Jasa Keuangan

Tujuan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan:
Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Fungsi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Tugas
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pengawasan
terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB.
Struktur Organisasi OJK

Keterangan struktur organisasi ojk terdiri atas:

Dewan Komisioner OJK, Terdiri Atas:


1. Ketua merangkap anggota;
2. Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
6. Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
7. Anggota yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen;
8. Anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia; dan
9. Anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat Eselon
I Kementerian Keuangan.

Pelaksana Kegiatan Operasional , Terdiri Atas:


1. Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis I;
2. Wakil Ketua Dewan Komisioner memimpin bidang Manajemen Strategis II;
3. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin bidang Pengawasan Sektor Perbankan;
4. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal memimpin bidang Pengawasan Sektor Pasar
Modal;
5. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin bidang Pengawasan Sektor IKNB;
6. Ketua Dewan Audit memimpin bidang Audit Internal dan Manajemen Risiko; dan
7. Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen memimpin
bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen.
Keterangan

ADK (Anggota Dewan Komisioner)


SCOM (Strategic Committee)
DKSK (Deputi Komisioner Stabilitas Sistem keuangan)
DSVL (Departemen Surveilance)
GKKT (Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi)
GDST (Grup Pengelolaan Data dan Statistik Terintegrasi)
DKPS (Deputi Komisioner Penyidikan, Organisasi dan SDM)
DOSM (Departemen Organisasi dan SDM)
DPJK (Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan)
DKMS (Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Manajemen Strategis)
DSHM (Departemen Sekretariat Dewan Komisioner dan Hubungan Masyarakat)
DMSP (Departemen Manajemen Strategis dan Perubahan)
DLOG (Departemen Logistik)
DKIR (Deputi Komisioner Internasional dan Riset)
DINT (Departemen Internasional)
DRJK (Departemen Riset SJK)
GPUT (Grup Penanganan APU PPT)
DKIK (Deputi Komisioner Sistem Informasi dan Keuangan)
DPSI (Departemen Pengelolaan Sistem Informasi)
DKEU (Departemen Keuangan)
GPSI (Grup Pengembangan Aplikasi Sistem Informasi)
DKHK (Deputi Komisioner Hukum)
DHUK (Departemen Hukum)
GPHK (grup Penelitian dan Pengembangan Hukum Sektor Jasa keuangan)
DKOI (Deputi Komisioner OJK Institure dan Keuangan Digital)
OJKI (OJK Institute)
GIKD (Grup Inovasi Keuangan Digital)
DKAI (Deputi Komisioner Audit Internal dan Manajemen Risiko)
DPAI (Departemen Audit Internal)
DRPK (Departemen Manajemen Risiko dan Pengendalian Kualitas
GPAF (Grup Penanganan Anti Fraud)
DKEP (Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen)
DPLK (Departemen Perlindungan Konsumen)
DLIK (Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan)
DKBI (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I)
DKB2 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II)
DKB3 (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III)
DPNP (Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan)
DPIP (Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan
DPPS (Direktorat Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah)
DPKP (Departemen Pengendalian Kualitas Pengawasan Perbankan
DPMK (Departemen Pengembangan Pengawasan dan Manajemen Krisis)
DKIP (Departemen Pemeriksaan Khusus dan Investigasi Perbankan)
DPB1 (Departemen Pengawasan Bank 1)
DPB2 (Departemen Pengawasan Bank 2)
DPB3 (Departemen Pengawasan Bank 3)
DPBS (Departemen Bank Syariah)
KR (Kantor OJK Regional)
KOJK (Kantor OJK)
DKMI (Deputi Komisioner Pengawas PM I)
DKM2 (Deputi Komisioner Pengawas PM II)
DPM1 (Departemen Pengawasan PM 1A)
DPM2 (Departemen Pengawasan PM 1B)
DPM3 (Departemen Pengawasan PM 2A)
DPM4 (Departemen Pengawasan PM 2B)
DKII (Deputi Komisioner Pengawas IKNB I)
DKI2 (Deputi Komisioner Pengawas IKNB II)
DPI1 (Departemen Pengawasan IKNB 1A)
DPI2 (Departemen Pengawasan IKNB 1B)
DPI3 (Departemen Pengawasan IKNB 2A)
DPI4 (Departemen Pengawasan IKNB 2B)

Anda mungkin juga menyukai