Fira Putri Wulandari - 320210303013 - Sejarah Perang Aceh
Fira Putri Wulandari - 320210303013 - Sejarah Perang Aceh
NIM : 320210303013
Perang Aceh
Provinsi Aceh yang posisinya pada sisi paling barat Pulau Sumatra, memiliki
posisi strategis karena menjadi akses utama dari lalu lintas perniagaan dan kebudayaaan
(Purwanto, 2020). Jauh sebelum Indonesia merdeka Aceh merupakan sebuah kerajaan
yang sangat dominan, hal ini dibuktikan oleh kekuatan ekspedisi-ekspedisinya di Selat
Malaka. Pada tahun 1575 armada Portugis dihancurkan oleh angkatan laut Kerajaan Aceh
yang digambarkan sebagai kabut hitam yang menutupi Selat Malaka(Anwar, 2020).
Pertengahan abad ke 19 terjadi suatu evolusi kolonialisme imperialisme yang sangat pesat
yang dilakukan oleh kaum penjajah negaranegara di Eropa Barat yang ditandai dengan
ekplanasi geografi dan persaingan kolonialisme. Kala itu, lada dan pinang menjadi
komoditi andalan Aceh di Pulau Sumatera. Jika pantai barat Sumatera tersohor sebagai
gudang lada, sedangakan pantai utaranya terkenal dengan daerah pinang (García, 2013).
Wilayah Meulaboh dan Daya dibagian timur termasyhur sebagai pusat pertambangan
emas dan kayu dengan bijih logam. Disebabkan posisi geografi yang strategis, dalam
perjalanan historisnya, kerajaan Aceh dikunjungi banyak bangsa asing dengan berbagai
tujuan dan kepentingan, seperti perdagangan, diplomasi, dan termasuk penyebaran agama
khususnya agama Islam. Kehadiran bangsa-bangsa asing ke Aceh menjadi hal yang
dominan bagi perkembangan Aceh, baik dalam aspek politik, kultural maupun ekonomi.
Selain tujuan yang disebut tadi, terdapat pula pendatang yang melakukan tindakan-
tindakan yang didorong oleh kolonialisme dan imperialisme baik di Aceh sendiri maupun
dikawasan sekitarnya.
Keadaan Aceh Ketika Perang
Pada tahun 1904 secara umum dianggaplah perang Aceh telah selesai. Nama Van
Heutsz makin menanjak karena sukses ini, dan dia diangkat menjadi Gubernur Hindia
Belanda. Dan Van Daalen diangkat sebagai gubernur Aceh (1904). (Nyoman Deker,
1974:146-147) Sebenarnya perlawanan rakyat Aceh masih terus berjalan sampai Jepang
tiba di Indonesia. Reputasi pejuang Aceh yang datang ke Medan cukup diperhitungkan.
Mereka tergabung dalam pasukan Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) yang terdiri
dari sebelas batalion. Selain dengan senjata ringan, pasukan ini dilengkapi dengan
meriam-meriam 4 cm, Penangkis Serangan Pantai (PSP), Penangkis Serangan Udara
(PSU), mortir 2 dan 3 inci, bom, dan granat. Batalion terkuat berkedudukan di Kampung
Lalang berdampingan dengan Pasukan Meriam Nukum Sanany yang terkenal ampuh
menggempur musuh. Pada 15 Januari 1947, kota Medan digempur pasukan dari Aceh
dengan lindungan tembakan meriam. Duel meriam berlangsung selama satu jam.
“Pertahanan Kampung Lalang terkenal sekali kuatnya. Menurut Belanda, front tersebut
merupakan pertahanan Republik satu-satunya yang payah dihadapi di Medan Area,” tulis
Teuku Alibasyah Talsya dalam Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan
Kemerdekaan di Aceh 1947-1948. Lebih menakutkan lagi menakutkan, pasukan Aceh
kadangkala bergerak dalam kelompok kecil di malam hari. Mereka kerap menyambangi
tangsi-tangsi tentara Belanda atau membuntuti patroli musuh yang lengah. Dengan
bermodal senjata tajam macam parang, klewang, atau rencong, tak sedikit tentara Belanda
yang jadi korban teror pasukan Aceh, kena tebas atau luka parah.
Daftar Pustaka
Anwar. 2020. Strategi Kolonial Belanda dalam menaklukkan Kerajaan Aceh
Darussalam. Jurnal Adabiya, 19(1): 13.
https://doi.org/10.22373/adabiya.v19i1.74 82
García R. 2013. Heroisme perlawanan kolonial dalam film Cut Nyak Dhien.
Journal of Chemical Information and Modeling. 53(9): 1689–1699.
Munir MM. 2019. Keterlibatan Snouck Hurgronje Dalam Menaklukkan Aceh
Tahun 1899-1906 M [Tesis]. Universitas Jember: Jember.
Siahaan S, Hendra A, dan Midhio IW. 2021. Strategi perang sesmesta dalam
perang aceh (1873-1912). Jurnal Inovasi Penelitian. 1(11): 2537-2548.