Anda di halaman 1dari 25

Laporan Praktikum Hari/tanggal : Kamis/03 Desember 2020

Pertanian Organik Kelas/Prak/Kel : B/2/5


Dosen : Yoscarini Milasari, S.Hut, M.Si
Asisten : Fiha Nurfatharani, A.Md
Dara Khairunnisa Asri, A.Md

RESUME PRAKTIKUM
PERTANIAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Dita Aurelia K J3M118115


Mentari Umi Sriyanti J3M118121
M. Arung Makkawaru J3M118167
Sholikhah Puspita Dewi J3M218197
Yuriqe Pramudya W J3M218201

PROGRAM STUDI TEKNIK DAN MANAJEMEN LINGKUNGAN


SEKOLAH VOKASI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertanian berkelanjutan merupakan suatu tantangan dalam dunia pertanian
yang menuntut para petani untuk memiliki perilaku usaha tani yang berbeda dan
lebih baik terutama untuk aspek lingkungan. Penerapan pertanian organik secara
utuh dirasakan tidaklah mudah bagi petani, dikarenakan mereka masih tinggi
sekali faktor ketergantungannya terhadap unsur-unsur kimiawi dalam kegiatan
usaha bertaninya. Salah satu sistem pertanian yang merupakan implementasi dari
sistem pertanian berkelanjutan, yaitu sistem pertanian organik. Indonesia
merupakan negara agraris sehingga dapat memiliki peluang dan berpotensi besar
untuk mengembangkan pertanian organik. Namun, jika melihat dari karakteristik
petani yang cenderung menyukai zona aman, menghindari resiko, dan berpikiran
rasional, maka hal tersebut yang menjadi suatu hambatan bagi Indonesia dalam
penerapan pertanian organik (Charina et al 2018).
Pertanian berkelanjutan ditujukan untuk mengurangi kerusaan lingkungan,
mempertahankan produktivitas pertanian, meningkatkan pendapatan petani, dan
meningkatkan stabilitas serta kualitas kehidupaan masyarakat di pedesaan. Tiga
indikator yang dapat dilihat terhadap penerapan pertanian berkelanjutan, yaitu
lingkungannya lestari, ekonominya meningkat (sejahtera), dan secara sosial
diterima oleh masyarakat petani (Efendi 2016). Pertanian organik merupakan
salah satu sistem bertani yang akan mampu menggiring petani untuk lebih peduli
terhadap lingkungan dan memperhatikan faktor lingkungan dalam setiap aktivitas
usaha tani yang dijalankan. Salah satu komponen yang dapat ditekan oleh petani
jika menerapkan sistem pertanian organik adalah biaya pemberantasan hama serta
pemupukan, dikarenakan dapat beralih untuk menggunakan bahan yang ramah
lingkungan serta mudah untuk didapatkan dan biaya yang dikeluarkan relatif
murah (Charini et al 2018).
1.2 Tujuan
1. Mengetahui implementasi pertanian berkelanjutan di Indonesia
2. Mengetahui perkembangan serta inovasi pertanian di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Pertanian Indonesia


Bangsa Indonesia menganggap pertanian sebagai bagian dari kebudayaan
manusia, hal ini menjadikan sejarah pertanian menjadi salah satu bagian dari
sejarah kebudayaan manusia. Sebagai bagian dari kebudayaan manusia, pertanian
telah membawa revolusi yang besar dalam kehidupan manusia sebelum revolusi
industri. Terdapat pertanian dalam lintasan sejarah yaitu pada Era abad ke-19
tahun 1811-1816 dimana pertanian diindonesia menggunakan sistem pajak tanah
yang telah dikenalkan oleh raffles telah membawa beberapa persoalan terhadap
kaum feodal jawa di daerah-daerah taklukan tanah oleh desa.
Tahun 1830-1870 Era tanam paksa (cultuur stelsel) Gubenur Jendral
Johannes Van den Bosch mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian
tanahnya 20% untuk ditanami komoditi ekspor khusus kopi, tebu, nila. Hasil
tanam ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah
dipastikan dan hasil dari panen diserahkan kepada pemerintah kolonial, penduduk
desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun 20% pada
kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada prakteknya peraturan
itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami
tanaman laku ekspor dan hasilnya di serahkan kepada pemerintah belanda.
Wilayah yang digunakan untuk tanam paksa tetap dikenakan pajak. Warga yang
tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan
pertanian. Pada tahun 1870 dimana lahirnya hukum agraria kolonial yang tertuang
dalam Agrarische wet 1870 dalam aturan ini dijamin adanya hak erfopacht sampai
selama 75 tahun dan menjamin pemegang hak itu untuk menggunakan hak Ei-
gendom, serta memberi peluang kepada mereka dapat menggunkan tanahnya
sebagai agunan kredit.
Era sebelum kemerdekaan (1900-1945) dimana pada tahun 1918 berdiri
balai besar penyelidikan pertanian (Algemeen Proefstation voor den londbouw),
yang kemudian semenjak tahun 1929 menjadi jawatan penyelidik pertanian, lalu
pada tahun 1952 menjadi balai besar penyelidikan pertanian/ General Agriculture
Experiment station. Selanjutnya, pada tahun 1966 menjadi lembaga pusat
penelitian pertanian dan tahun 1980 berubah lagi menjadi balai penelitian tanaman
bogor (Balittan). Tahun 1994 menjadi balai penelitian Bioteknologi tanaman
pangan (Balitabio). Tahun 2002 menjadi balai penelitian bioteknologi dan
sumberdaya genetik pertanian (Balitbiogen). Serta terakhir tahun 2003 berganti
nama menjadi balai besar penelitian dan pengembangan bioteknologi dan
sumberdaya genetik pertanian (BB-Biogen).
Era 1945-1967, pada tahun 1960 dimana lahirnya UU No.5/1960 terkait dengan
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yaitu tanggal 24 september 1960,
kelahiran UUPA melalui proses panjang, memkan waktu 12 tahun. Dimulai dari
pembentukan panitia Soewahjo (1948), panitia Negara Urusan Agraria (1956),
Rancangan Soenarjo (1958), Rancangan Sadjarwo (1960) akhirnya digodok dan
diterima bulat dewan perwakilan rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang kala itu
dipimpin Haji Zainul Arifin.
Era Orde baru 1967-1997, pada tahun 1974 dimana dibentuk Badan
Litbang Pertanian. Keppres taahun 1974 dan 1979 menetapkan bahwa Badan
Litbang Pertanian sebagai unit Eselon 1, membawahi 12 unit Eselon II, yaitu 1
sekertaris, 4 pusat penyiapan program, pusat pengolahan data statistik. Pusat
perpustakaan biologi dan pertanian dankarantina pertanian, 2 pusat penelitian
(puslit tanah dan puslit Agro-Ekonomi), serta 5 pusat penelitian pengembangan
(puslitbang tanaman pangan, puslitbang tanaman industri, puslitbang kehutanan,
puslitbang perternakan, dan puslitbang perikanan). Tahun 1980 berdirinya
departemen koperasi secra khusus untuk membantu golongan petani lemah di luar
pulau Jawa dan Bali untuk membangun usaha tanai bersekala lebih besar. Tahun
1983 berdasarkan Kepres No. 24 tahun 1983 dimana terjadi reorganisasi di badan
litbang pertanian sehingga terdiri atas sekertaris, pusat data statistik, pusat
perpustakaan pertanian, puslit tanah, puslit argo-ekonomi, puslitbang tanaman
pangan, Puslitbang tanaman industri, Puslitbang Hortikultur, Puslitbang
perternakan dan Puslitbang perikanan. Pada tahun 1993 dimana sesuai dengan
keppres No. 83 tahun 1993 dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) yang tersebar di
seluruh provinsi Indonesia. Selain itu juga terdapat pembentukan 2 unit organisasi
BPTP di 2 provinsi yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten dan Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung (Kepmentan
No.633/kpts/01 140/12/2003).
Era Reformasi 1998-sekarang, pada tahun 1998 departemen pertanian
kehilangan arah. Hal ini dikarenakan pudaran pembangunan jangka panjang ke 6
yang menjadi ciri khas tahap orientasi pemerintah orde lama. Kegitan-kegitan
penyuluhan dan intensifikasi pertanian melambat, rendahnya produktivitas
pertanian tanman pangan dan hortikultur. Pada tahun 2005 muncul pemerintah
dalam melakukan revitalisasi pertanian di Indonesia. Hal ini ditindak lanjuti
dengan UU No.16 tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertnaian, perternkan,
dan kehutanan. Kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian
No.273 Tahun 2007 terkait tentang penjabaran dan produktivitas komoditas
pertanian ini mengantarkan Inonesia mencapai Swasembada beras ke 2 pada tahun
2008 hal ini ditunjang dengan penmbahan tenaga penyuluhan pertanian melalui
tenaga harian lepas tenaga bantu penyuluhan peranian (THL TBPP). Pada tahun
2010 pertanian di Indonesia mengarah kepada pertanian organik. Awalnya pada
tahun ini dicanangkan program pertanian organik karena banyak hal tentang
kekurangsiapan pasca petani di inonesia menjadikkan rencana pertanian organik
di undur sampai 2014 akan tetapi pada tahun 2010 ini penggunaan pupuk kimia
sudah mulai dikurangi dan pertanian oranik mulai digalakkan di beberapa daerah.
Pada masa pemerintahan orde baru dimana keberhasilan pemenuhan
kebutuhan beras yang sering disebut swasembeda beras, Oleh karena itulah
swasembada beras ini dianggap sebagai salah satu program pemerintah yang
berhasil mencapai targetnya. keberhasilan program swasembada beras pada masa
orde baru ini ada kaitannya dengan revolusi hijau yang digalakkan di seluruh
dunia, pada akhir tahun 1960-an. Revolusi hijau merupakan suatu program
khusus pada sektor pertanian, program ini dikenal pada kepemimpinan
Soeharto dimana terdapat tujuan utama dari revolusi hijau adalah untuk
menaikan produkt ivitas sektor pertania n, khusunya pada sub sektor
pangan melalui paket teknologi pertanian modern. Paket tersebut
terdiri atas pupuk non-organik, obat-obatan perlindungan tanaman dan
padi unggul. Revolusi hijau bermula dari hasil penelitian dan tulisan Thomas
Robert Malthus (1766 – 1834) yang mengemukakan bahwa masalah kemiskinan
dan kemelaratan adalah masalah yang tidak bisa dihindari oleh manusia.
Kemiskinan dan kemelaratan terjadi karena pertumbuhan penduduk dan
peningkatan produksi pangan tidak seimbang (Abbas 1997). Pertumbuhan
penduduk berjalan lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan produksi
pertanian (pangan). Menurut Malthus pertumbuhan penduduk mengikuti deret
ukur sedangkan peningkatan produksi pertanian mengikuti deret hitung. Sejak
dimulainya Perang Dunia I banyak lahan-lahan pertanian yang dihancurkan
karena menjadi area perang, terlebih lagi beberapa dekade sebelumnya telah
banyak lahan pertanian yang beralih menjadi lahan industri sejak munculnya
revolusi industri. Hal ini telah mengancam produktifitas pangan di berbagai
wilayah di eropa. Revolusi hijau dimulai sejak berakhirnya PD I yang berakibat
hancurnya lahan pertanian. Demikian juga setelah Perang Dunia II berakhir,
revolusi hijau menjadi semakin giat untuk menggunakan metode-metode
pertanian demi meningkatkan hasil pertanian yang telah terbukti berhasil di
beberapa negara seperti India dan Filipina serta di beberapa negara berkembang
lainnya. Sedangkan di Indonesia upaya pelaksanaan revolusi hijau telah dimulai
sejak rezim orde baru dalam program pembangunan.
Konsep revolusi hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan
BIMAS (Bimbingan Masyarakat) adalah program nasional untuk
meningkatkan produksi pangan khususnya swasembada beras. Tujuan
tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis
baik dit injau dari segi ekonomi, polit ik , dan sosial. Gerakan BIMAS
berisikan t iga komponen pokok, yaitu penggunaan t eknologi yang
sering disebut pasca usaha tani, penerapan kebijakan harga sarana , dan
hasil produk serta serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur.
Gerakan ini berhasil menghantarkan indonesia pada swasemeda beras.
Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara
berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rezim Orde Baru berkuasa.
Melalui program ini pada tahun 1984 Indonesia berhasil menjadi negara
swasembada pangan terbesar) Dalam waktu yang (ukup lama yaitu sekitar 20
tahun, program revolusi hijau juga telah berhasil mengubah kebiasaan dan sikap
para petani Indonesia yang awalnya memakai sistem bertani secara
tradisional menjadi sistem bertani yang modern dimana para petani mulai
menggunakan teknologi1teknologi pertanian yang ditawarkan oleh program
revolusi hujau. Perubahan sikap tersebut sangat berpengaruh terhadap kenaikan
produktifitas sub-sektor pertanian pangan, sehingga Indonesia mampu
mencapai swasembada pangan. Ke b e r h a s i l a n i n d o n e s i a i n i a d a l a h
a k i b a t d a r i m e n i n g k a t n ya ha s i l p a n e n s e b a g a i a k i b a t berjuta-juta
petani di Indonesia, khususnya di jawa, menggunakan bibit unggul baru
dan pupuk kimia (Muharam S 2020).
Revolusi Hijau memiliki dampak positif dimana Hasil pertanian sebagian
diperjualbelikan untuk mendapatkan uang. Uang yang mengalir ke pedesaan
kemudian menghidupkan ekonomi di tingkat lokal, terutama di beberapa desa
yang pada saat itu masih belum mengenal sistem uang. Melalui gerakan Revolusi
Hijau, beberapa desa tersebut akhirnya mengenal sistem uang. Revolusi Hijau ini
juga memiliki beberapa dampak negatif. Dampak negatif Revolusi Hijau ini
paling dirasakan para petani di tingkat lokal. Saat teknologi modern masuk,
seperti penggunaan traktor untuk mengolah lahan dan masuknya mesin pengolah
padi, para petani lokal yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan semua
perkembangan teknologi tersebut jadi kehilangan pendapatan sebagai buruh tani.
Hal ini terjadi karena pekerjaan mereka mulai tergantikan oleh mesin-mesin
tersebut. Selain itu, karena ketergantungan pada pupuk kimia dan zat kimia
pembasmi hama, biaya produksi menjadi tinggi dan harus ditanggung para petani.
T e t a p i d i b a l i k it u s e m u a b a n ya k d a m p a k ne g a t i f ya n g d i a l a m i
o l e h p a r a p e t a n I ndonesia. salah satunya adalah banyak petani ya ng
malah kehilangan pekerjaan bertani mereka sehingga tidak sedikit petani
yang hidup semakin miskin. sikap dan kebiasaan petani pun mulai berubah yang
awalnya tidak menggunakan teknologi atau anti teknologi menjadi
ketergantungan terhadap teknologi pertanian yang modern. selain itu pemakaian
bahan-bahan kimia yang digunakan pada hasil pertaian juga menyebabkan
khususnya para petani mengalami kesusahan dan berpengaruh juga pada
masyarakat luas pada umumnya (Rinaldi H 2019).
Revolusi hijau juga dikritik karena menimbulkan dampak negatif terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan. Intensifikasi pertanian yang menggunakan
pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan, telah menimbulkan polusi perairan
dan menurunkan kesuburan tanah, yang akhirnya menurunkan keanekargaman
hayati karena membunuh tumbuhan, serangga dan kehidupan liar yang
bermanfaat. Irigasi telah menimbulkan salinasi (meningkatnya kadar garam dalam
tanah) dan menurunkan permukaan air tanah. Sistem monokultur telah mengarah
pada hilangnya keanekaragaman hayati, termasuk hilangnya predator alami dan
meningkatkan resistensi hama, sehingga memerlukan bahan kimia yang lebih kuat
untuk mempertahankan hasil. Semua biaya-biaya ini belum diinternalisasikan
secara baik ke dalam biaya produksi revolusi hijau (Ario 2010). pupuk anorganik
akan kehilangan efektivitasnya ketika bahan organik dalam tanah rendah, yang
terutama menjadi masalah di kebanyakan negara berkembang karena pengunaan
tanah yang terus menerus dan degradasi lahan. Meninggalkan teknik bertani
modern akan menimbulkan kelaparan yang luas, akan tetapi bila tetap
melanjutkan praktek yang digunakan pada saat ini hampir dipastikan akan
menimbulkan degradasi lahan pertanian dan pada akhirnya tidak mampu
menyokong jumlah manusia yang ada sekarang ini.
Pertanian berkelanjutan telah muncul menjadi alternatif sistem pertanian
untuk menjawab banyak kendala yang dihadapi oleh petani yang miskin akan
sumber daya dan waktu, serta menjamin keberlanjutan lingkungan. Hal ini
merujuk pada kapasitas pertanian untuk memberi sumbangan terhadap
kesejahteraan secara keseluruhan dengan menyediakan pangan dan barang lainnya
serta jasa – jasa yang efisien dan menguntungkan secara ekonomi,
bertanggungjawab secara sosial, dan layak dari segi lingkungan. Sistem ini
melibatkan kombinasi yang saling berkaitan antara tanah, produksi tanaman dan
ternak yang bersesuaian dengan tidak dipakainya atau berkurangnya pemakaian
input eksternal yang mempunyai potensi membahayakan lingkungan dan atau
kesehatan petani dan konsumen. Sebagai gantinya, sistem ini lebih menekankan
teknik produksi pangan yang mengintegrasikan dan sesuai dengan proses alam
lokal seperti siklus hara, pengikatan nitrogen secara biologis, regenerasi tanah dan
musuh alami hama. Menggunakan sumber daya lokal dalam memperbaiki tanah
dan bisa bermanfaat dimana peningkatan pendapatan dapat mengurangi hambatan
untuk mengadopsi praktek-praktek penggunaan sumber daya yang berkelanjutan.
Sistem pertanian Berkelanjutan juga dapat diartikan sebagai keberhasilan dalam
mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan
manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta
konservasi sumberdaya alam. Pertanian berwawasan lingkungan selalu
memperhatikan nasabah tanah, air, manusia, hewan atau ternak, makanan,
pendapatan dan kesehatan.
Kegiatan pertanian yang dilakukan manusia berusaha memanfaatkan
sumber daya secara berlebihan sehingga merusak kondisi lingkungan dan biologi,
akibatnya terjadi percepatan kerusakan sumber daya alam, tanah dan air.
Keberlanjutan sumber daya tanah terpengaruh secara nyata yang ditunjukkan
dengan meningkatkan jumlah masukan dari luar usaha tani yang harus diberikan
dari tahun ke tahun untuk memperoleh target hasil yang sama. Dengan demikian
adalah kurang tepat apabila kedua istilah ini dipadankan yang satu tidak
menunjukkan campur tangan manusia dan lebih menggantungkan pada kondisi
alam, sedang yang lain menitikberatkan pada campur tangan manusia dalam
memanfaatkan sumber daya alam tanpa menimbulkan efek negatif dalam jangka
panjang. Pertanian berkelanjutan dengan masukan teknologi rendah (LISA) adalah
membatasi ketergantungan pada pupuk anorganik dan bahan kimia pertanian
lainnya. Gulma, penyakit dan hama tanaman dikelola melalui pergiliran tanaman,
pertanian campuran, bioherbisida, insektisida organik yang dikombinasikan
dengan pengelolaan tanaman yang baik. Kesalahan persepsi yang sekarang
berkembang bahwa apabila kita tidak melaksanakan pertanian modern, maka kita
dianggap kembali pada pertanian tradisional dan tanaman yang kita produksi akan
turun drastis. Pada prinsipnya, pertanian organik sejalan dengan pengembangan
pertanian dengan masukan teknologi rendah (low-input technology) dan upaya
menuju pembangunan pertanian berkelanjutan. Kita mulai sadar tentang potensi
teknologi, kerapuhan lingkungan, dan kemampuan budi daya manusia dalam
merusak lingkungan. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketersediaan sumber
daya alam ada batasnya (Effendi 2016).

2. Kondisi Umum sebagai Faktor Berjalannya Pertanian di Indonesia


Kondisi umum yang mempengaruhi program pertanian di Indonesia yaitu
faktor lingkungan dan daya dukung lahan. Indonesia memiliki 570.000 km2 lahan
pertanian produktif dengan rasio luas lahan pertanian untuk memproduksi pangan
terhadap penduduk adalah 0,40 Ha per orang (Suryana dan Kariyasa 2008). Selain
terkait dengan wilayah, faktor lainnya adalah faktor lingkungan yang meliputi
pola atau curah hujan, suhu, dan kelembaban yang mana seluruh faktor
lingkungan tersebut dipengaruhi oleh iklim. Suhu optimal untuk pelaksaan
pertanian di Indonesia yaitu sekitar 22,5-30°C dengan kelembaban 65-90%
(Rahayu et al 2015). Indonesia memiliki iklim musim tropis dengan dua musim,
yaitu musim hujan dan musim kemarau. Umumnya pola hujan di Indonesia dibagi
menjadi tiga, yaitu :
1. Pola hujan monsun
Pola hujan ini memiliki distribusi curah hujan bulanan berbentuk U atau V
dengan curah hujan minimum sekitar bulan Juni-Agustus dan curah hujan
maksimum pada bulan Desember-Februari. Bulan-bulan yang tidak
disebutkan pada curah hujan minimum dan maksimum adalah bulan
terjadinya musim kemarau.
2. Pola hujan equatorial
Pola hujan ini memiliki distribusi curah hujan berbentuk bimodal (dua
puncak hujan) yang umumnya terjadi sekitar bulan Maret-Oktober.
3. Pola hujan lokal
Pola hujan lokal ini memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dari pola
hujan monsun, yaitu apabila daerah dengan pola hujan monsun mengalami
musim kemarau maka daerah pola hujan lokal mengalami musim hujan,
begitupun sebaliknya (Setyowati dan Sedyawat 2010).
Berubah atau tidak sesuainya suhu, kelembaban, dan curah hujan di areal
pertanian tentu akan menyebabkan dampak negatif pada sektor pertanian. Hal
tersebut disebabkan karena iklim erat kaitannya dengan perubahan cuaca dan
pemanasan global yang dapat menurunkan produksi pertanian antara 5-20%
(Subedjo 2009 dalam Hidayati dan Suryanto 2015). Pemanasan global tentu juga
berpengaruh terhadap keberhasilan pertanian, sebab pemanasan global dapat
mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, run-off, dan kelembaban tanah.
Penurunan intensitas hujan atau presipitasi merupakan faktor utama penurunan
hasil panen. Selain itu perubahan iklim juga berpengaruh terhadap pola panen,
waktu tanam, produksi, waktu panen, dan kualitas hasil yang dapat menyebabkan
terjadinya gagal panen Pemanasan global yang berimbas pada perubahan iklim
juga dapat menurunkan produksi pertanian karena terjadinya penurunan luas lahan
panen (Hidayati dan Suryanto 2015).

3. Sistem Pertanian Berkelanjutan di Indonesia


Sampai saat ini masih merupakan dilema berkepanjangan di Indonesia
antara usaha meningkatkan produksi pangan dengan menggunakan produk
agrokimia dan usaha pelestarian lingkungan yang berusaha
mengendalikan/membatasi penggunaan bahan-bahan tersebut. Secara umum, ada
dua pemikiran yang melatari pengembangan pertanian organik di Indonesia.
Pertama, pemikiran yang merujuk kepada keprihatinan berbagai kalangan, baik
nasional maupun internasional terhadap keamanan pangan, kondisi lingkungan,
kesehatan, dan kesejahteraan petani. Kedua, pemikiran yang dilatari oleh
degradasi fisik dan kimia sebagian lahan, terutama lahan sawah serta lingkungan,
namun tetap peduli terhadap ketahanan pangan nasional yang harus bertumpu
pada produktivitas tinggi dan stabil, khususnya untuk komoditas padi.
Pertanian di Indonesia dihadapakan pada semakin menyempitnya lahan
pertanian sehingga perlu adanya penambahan luas sawah untuk memenuhi bahan
pokok. Selain itu sawah yang sudah ada perlu dipertahankan kesuburan tanahnya.
Salah satu cara dalam menjaga kesuburan tanh adalah dengan menerapkan sistem
pertanian berkelanjutan. Masalah yang sering timbul adalah kesalahan persepsi
tentang pertanian organik yang menerapkan masukan teknologi berenergi rendah
(LEISA). Ada yang berpendapat sistem pertanian dengan masukan teknologi
berenergi rendah adalah bertani secara primitif atau tradisional, seperti yang
dikembangkan oleh nenek moyang secara turun-temurun sebelum diperkenalkan
pertanian modern. Sistem pertanian ini tetap memanfaatkan teknologi modern,
termasuk benih hibrida berlabel, melaksanakan konservasi tanah dan air, serta
pengolahan tanah yang berasaskan konservasi.
Sistem pertanian yang sepadan harus mulai diperhatikan baik dari
lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial ekonomi. Meskipun budi daya
organik dengan segala aspeknya jelas memberikan keuntungan kepada
pembangunan pertanian rakyat dan penjagaan lingkungan, termasuk konservasi
sumber daya lahan, namun penerapannya tidak mudah dan banyak menghadapi
kendala. Faktor-faktor kebijakan pemerintah dan sosio-politik sangat menentukan
arah pengembangan sistem pertanian sebagai unsur pengembangan ekonomi
(Efendi 2016).
Salah satu sistem pertanian yang merupakan implementasi dari sistem
pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian organik. Indonesia sebagai
Negara agraris memiliki peluang dan potensi besar untuk mengembangkan
pertanian organik. Dengan memiliki 17 juta hektar lahan kosong dan masih
luasnya pertanian tradisional yang dikelola tanpa menggunakan bahan sintesis,
menjadi salah satu modal penting untuk mengembangkan pertanian organik.
Berdasarkan data statistik total luas area pertanian organik Indonesia tahun 2012
adalah 213.023,55 ha yang tersebar di 15 provinsi. Pemerintah pun mendukung
trend pertanian organik dengan mengeluarkan kebijakan pemerintah yang disebut
Go Organik 2010. Beberapa kebijakan lainnya yang tercantum dalam program
Nawacita sampai tahun 2020, pemerintah mencanangkan pembentukan 1000 Desa
Organik, yang terdiri dari 600 Desa Organik Pangan, 250 Desa Organik Horti dan
150 Desa Organik Perkebunan. Saat ini di Indonesia untuk trend konsumsi produk
organik mengalami peningkatan cukup signifikan antara 20-25 persen pertahun
(Charina dkk 2018). Perspektif pembangunan pertanian di Indonesia :
1. Pupuk hayati – yang sudah dimasyarakatkan diperbesar produksinya untuk
memberikan kesempatan yang lebih luas pada petani memanfaatkan pupuk
hayati. Lebih sepadan mengembangkan pupuk hayati berdasarkan potensi
mikroorganisme yang ada di Indonesia. Sedang pupuk hayati yang harus
diimpor perlu dikembangkan teknologinya di Indonesia, temasuk alih
teknologi.
2. Pestisida hayati – cukup banyak bahan dasar tumbuh-tumbuhan yang dapat
dimanfaatkan untuk perlindungan tanaman yang pada saat ini perhatian dan
penggunaannya masih sangat terbatas. Hal ini membuka peluang lebih besar
dalam menggali keragaman sumber daya hayati Indonesia untuk
dikembangkan menjadi pestisida hayati.
3. Pengetahuan/Teknologi Tradisional – meskipun cukup banyak teknologi
tradisional yang telah berkembang terutama dalam menghasilkan tanaman,
perlindungan tanaman tehadap serangan hama dan penyakit, namun masih
diperlukan usaha menggali kembali kearifan tradisional dengan tinjauan
ilmiah dan mengembangkan teknologi yang akrab dengan lingkungan.
Memperhatikan kondisi pembangunan pertanian yang sedang berjalan di
Indonesia, usaha untuk meningkatkan kebutuhan pangan sejalan dengan
meningkatnya penduduk dan kebutuhan untuk memperbaiki kesehatan tanah maka
pada tahap awal pemasyarakatan pertanian organik memerlukan strategi dengan
cara memadukan beberapa komponen pertanian organik ke dalam teknologi
konvensional yang sedang berjalan. Rekomendasi pelaksanaan adalah sebagai
berikut:
1. Teknologi pertanian konvensional tetap dilaksanakan terutama di wilayah
yang mempunyai sarana dan prasarana pendukung. Sedang konsep pertanian
organik ditetapkan di wilayah yang kurang diminati dan tidak tersentuh
teknologi konversional, termasuk lahan kering, lahan marginal, pekarangan
dan kebun.
2. Dampak negatif teknologi konvensional terhadap ekosistem dan lingkungan
perlu dievaluasi dan kemudian dicari usaha pemecahannya, baik
menyangkut penggunaan pestisida, pupuk kimia, maupun bahan kimia
pertanian lainnya.
3. Untuk memasyarakatkan di kalangan petani, maka prinsip pertanian organik
perlu dimasukkan kedalam paket teknologi pertanian. Untuk itu diperlukan
dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan berdasarkan spesifikasi
komoditas yang meliputi teknik budi daya dan pengelolaan usaha tani, mulai
dari pengelolaan tanah, penanaman, panen sampai perlakuan pascapanen.
4. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan Pengelolaan Hara/Nutrisi Terpadu
(PNT) merupakan langkah awal dalam periode transisi sebelum mengarah
pada pengembangan pertanian organik murni, dan diperlukan usaha untuk
memasyarakatkan secara lebih luas. Model pemasyarakatan PHT dapat
diadopsi untuk memasyarakatkan PNT.
5. Peluang pemasaran domestik produk organik yang meliputi tanaman
sayuran, buah-buahan dan perkebunan perlu diidentifikasi. Di samping itu,
pelu dijalin interaksi dan jaringan kerja yang saling menguntungkan antara
konsumen dan produsen untuk menjamin pemasaran produk organik secara
berkesinambungan.
6. Praktek produksi pertanian berkelanjutan pada berbagai sistem usaha tani
perlu dikembangkan dengan memperhatikan kondisi agroekosistem dan
teknologi yang spesifik lokasi.
7. Diperlukan peningkatan pengetahuan melalui jalur pendidikan dan pelatihan
tentang kesehatan tanah dan perlindungan tanaman secara organik, yang
selanjutnya dapat dijadikan dapat dijadikan sebagai materi penyuluhan
pertanian.
8. Diperlukan peninjauan kembali kebijakan penggunaan masukan bahan
kimia pertanian terutama pestisida dan pupuk kimia yang tidak terkontrol
sehingga berdampak negative terhadap lingkungan. Monitoring dan evaluasi
penggunaan pestisida perlu dilakukan secara intensif.
9. Perhatian dan penyuluhan dengan pendekatan pengeloaan DAS di lahan
kering miring termasuk pengembangan peternakan perlu dipertimbangkan.
Modal pertanian konservasi yang sudah dikembangkan perlu ditinjau
kembali untuk mencari model yang sepadan di lahan marginal.
10. Perlu adanya ketetapan mekanisme sertifikasi, akreditasi dan labelisasi
untuk menjamin kendali mutu (quality control) produk yang menggunakan
masukan organik dan yang ditanam secara organic (Efendi 2016).
Teknologi pertanian organik cukup menjanjikan dalam memperbaiki
terjadinya kekahatan hara, sehingga akan membantu dalam memperbaiki kualitas
dan kapasitas tanah dalam mendukung pertanian berkelanjutan. Sebagai langkah
awal yang perlu dipikirkan adalah strategi untuk memadukan gatra positif
teknologi pertanian organik dan pertanian konvensional. Keunggulan dan
keuntungan dari penerapan pertanian organik, adalah lebih mendukung usaha tani
yang berkelanjutan, perubahan pola konsumsi manusia, menghasilkan produk
makanan yang sehat, adanya dukungan dari lembaga pemerintah dan swasta,
ramah lingkungan. Sedangkan kendala atau permasalahan dalam pengembangan
pertanian organik adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia, anggapan
bahwa pertanian organik identik dengan pertanian primitif yang tidak
menggunakan teknologi sehingga hasilnya rendah, lahan pertanian yang dimiliki
relatif sempit, kebiasaan petani dalam menggunakan pestisida dan pupuk kimia,
belum ada jaminan pasar atau harga khusus untuk produk organik.

4. Kebijakan Pengembangan Padi di Indonesia


Sektor pertanian dalam lima tahun terakhir sejak 2012 mengacu pada
Paradigma Pertanian untuk Pembangunan yang memosisikan sektor pertanian
sebagai penggerak transformasi pembangunan yang berimbang dan menyeluruh
serta mencakup berbagai kepentingan yang luas dan multifungsi. Paradigma
tersebut didasarkan karena beras sebagai bahan makanan utama, memainkan
peran penting dalam perekonomian dan pembangunan nasional. Beras penting
untuk perekonomian Indonesia dengan beberapa pertimbangan, seperti :
1. Sistem agrobisnis padi memperkuat ketahanan pangan nasional
2. Kegiatan pertanian padi dan kontributor utama sistem pertanian nasional
padat karya, dan
3. Banyaknya petani padi yang masih dianggap miskin dan dengan demikian
sensitif terhadap kerugian produksi.

Beberapa program peningkatan produksi padi nasional yang telah


dilakukan yaitu Padi Sentra (1959), Bimbingan Masal (1965), Intensifikasi Masal
(1968), Bima Gotong Royong (1969), Supra Intensifikasi Khusus (1987), SUPTA
(1995), INBIS (1997), Gema Palagung (1998), Corporate Farming (2000), Proyek
Ketahanan Pangan (2000), Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu
(2001), Program Peningkatan Beas Nasional (P2BN) (2007-2014), UPSUS Pajale
(Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai) (2014-2017).
Masyarakat maupun pemerintah Indonesia telah melakukan pengembangan
kebijakan terkait komoditi beras sebagai bentuk inisiatif adaptasi dari perubahan
iklim yang terjadi. Kegiatan adaptasi tersebut diantaranya :
1. Pengembangan dan percepatan adopsi teknologi usaha tani yang lebih
produktif dan adaptif dalam perubahan iklim
Teknologi adaptasi yang dapat dilakukan yaitu seperti penyesuaian waktu
dan pola tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman,
dan salinitas, teknologi panen hujan, teknologi irigasi, dan teknologi
penanaman Tanpa Olah Tanam (TOT).
2. Penyediaan infrastruktur pertanian yang efektif untuk mendukung aplikasi
teknologi adaptif perubahan iklim
3. Pengembangan jaringan informasi iklim pertanian
4. Pengembangan kelembagaan perlindungan petani terhadap dampak negatif
iklim ekstrim pada usaha tani, dan
5. Kebijakan harga masukan dan keluaran usaha tani yang kondusif untuk
pendapatan petani.

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai bagian dari strategi


adaptasi perubahan iklim adalah :
1. Adaptasi Struktural
a. Pemetaan kondisi jaringan irigasi dan rehabilitasi jaringan irigasi
b. Rehabilitasi penetapan DAS
2. Adaptasi Non-Struktural
a. Regulasi berkaitan dengan konversi lahan pertanian
b. Penetapan program terstruktur untuk meningkatkan adopsi petani
terhadap tekologi baru, seperti varietas unggul baru toleran kekeringan,
banjir, dan salinitas tinggi
c. Peningkatan program teknologi pemanfaatan informasi iklim seperti
“Kalender Tanam” yang sudah dapat diakses melalui
www.katam.litbang.pertanian.go.id
d. Pengembangan Sekolah Lapang Iklim dalam upaya peningkatan
kapasitas petani iklim untuk mendukung kegiatan pertanian. Kegiatan
SLI sudah dilakukan oleh Kementerian Pertanian melalui Direktorat
Perlindungan Tanaman dan Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) pada tahun 2000-an (Perdinan et al 2018).

5. Inovasi Pertanian di Indonesia


Inovasi-inovasi pertanian yang telah diaplikasikan di Indonesia yaitu
sebagai berikut:
1. Arang Aktif Pengendali Residu Pestisida
Penggunaan pestisida yang terus menerus dan berlebihan akan
berpotensi tertinggalnya pestisida di lingkungan dan produk pertanian atau
yang lebih dikenal dengan residu pestisida. Teknologi penanganan dampak
negatif residu pestisida beraneka ragam mulai dari insinerasi, pemadatan
sampai ke penyimpanan (containment) dan bioremediasi (Wisjnuprapto,
1996) dalam (Ardiwinata AN, 2020). Teknologi penanggulangan residu
pestisida di lingkungan lahan pertanian yang memanfaatkan limbah
pertanian/ perkebunan sebagai bahan dasar sampai saat ini masih sangat
sedikit. Limbah pertanian/perkebunan (tempurung kelapa, sekam padi,
bonggol jagung, tandan kosong kelapa sawit dll) merupakan suatu biomassa
yang dapat dirubah menjadi materi yang bernilai ekonomis lebih tinggi dan
lebih bermanfaat daripada dibakar. Salah satu pemanfaatan biomassa
tersebut adalah sebagai bahan dasar produksi arang aktif. Bahan baku
pembuatan arang aktif antara lain berasal dari biomassa limbah pertanian
atau perkebunan seperti tempurung kelapa, sekam padi, tandan kosong
kelapa sawit (TKKS) dan tongkol jagung. Bentuk pemanfaatan arang aktif
dalam pengendalian residu pestisida di lahan pertanian dapat melalui
aplikasi langsung di tanah (ditaburkan), melalui alat FIO (filter inlet outlet)
dan melalui pelapisan pupuk urea. Arang aktif yang berasal dari limbah
pertanian, memiliki prospek untuk mengendalikan residu pestisida di
tanah/lahan pertanian karena memiliki karakteristik dapat menyerap residu
tersebut di dalam tanah. Residu tersebut selanjutnya akan mudah
didegradasi menjadi metabolit oleh mikroba pendegradasi yang tinggal di
dalam pori-pori arang aktif. Bakteri lebih menyukai pori-pori arang aktif
yang digunakan sebagai tempat tinggal karena terdapat sumber nutrisi yang
berasal dari residu pestisida. Permasalahannya adalah kegunaan arang aktif
untuk pengendalian residu pestisida ini belum banyak dikenal dan belum
dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat petani. Untuk itu perlu sosialisasi
dan dukungan regulasi dari pemerintah terkait pemanfaatan arang aktif ini.
Selain itu, produsen atau industri arang aktif masih sedikit atau bisa dihitung
jari (Ardiwinata AN, 2020).

2. Teknologi Pengolahan Beras Beriodium


Fortifikasi Iodium pada beras dilakukan dengan prinsip
memanfaatkan sifat Iodium yang mudah terikat dengan amilosa yang
merupakan unsur utama beras. Penggunaan fortifikan Iodium selama dalam
penyosohan dapat menambah gizi beras. Penambahan fortifikan Iodium
dengan konsentrasi 1,0 ppm akan memberikan Iodium pada nasi sebesar
0,69 ppm dan masih disukai konsumen (responden) terhadap rasa, aroma
dan warna. Mutu fisik beras yang telah difortifikasi menghasilkan beras
kepala yang bersih dan cemerlang. Hasil uji preferensi responden dengan
penderita GAKI telah menunjukkan bahwa terdapat indikasi perbaikan
terhadap penderita penyakit gondok (Rachmat R dan Lubis S, 2010).

3. Insektisida Alami Azadirachtin


Di Indonesia tanaman mimba dijumpai di sepanjang pantai utara
Jawa, dari Indramayu sampai Banyuwangi. Selain itu tanaman mimba
dijumpai di Nganjuk, Jombang, Blitar, Ponorogo, Madiun, Bojonegoro,
Bondowoso, Gianyar, Negara, dan Lombok Timur (Subiyakto, 2002) dalam
(Subiyakto, 2009). Mimba ditanam untuk berbagai keperluan, seperti hutan
industri, kayu bakar, tanaman pinggir jalan, tanaman peneduh, dan
penghasil bahan baku industri (medis, pestisida, sabun, minyak, pupuk,
pakan ternak, dan kayu) (Benge, 1986) dalam (Subiyakto, 2009). Di
Indonesia tanaman mimba tumbuh liar dan belum banyak dimanfaatkan,
kecuali sebagai kayu bakar. Ada empat senyawa dalam biji mimba yang
diketahui sebagai pestisida, yaitu azadirakhtin, salanin, nimbin, dan
meliantriol (Horbone, 1982; Jones et al dalam Schmutterer, 1990; Saxena et
al., 1993) dalam (Subiyakto, 2009). Kandungan azadirakhtin dalam biji
mimba sebesar 2-4 mg azadirakhtin per gram biji kering. Azadirakhtin tidak
langsung mematikan serangga, tetapi melalui mekanisme menolak makan,
mengganggu pertumbuhan dan reproduksi serangga. Salanin bekerja sebagai
penghambat makan serangga. Nimbin bekerja sebagai anti virus, sedangkan
meliantriol sebagai penolak serangga (Anonim, 1992) dalam (Subiyakto,
2009).

4. Alat Perangkap Hama dengan Metode Cahaya UV dan Sumber Listrik


Panel Surya
Pada siang hari Panel surya bekerja sebagai penyalur energi yang
diserap dari panas matahari, panel surya meneruskan energi ke alat kontrol,
alat kontrol akan menyimpan energi tersebut dalam Aki/baterai. Energi yang
ada dalam baterai akan diteruskan ke inverter, inverter akan mengubah arus
DC ke arus AC, arus yang telah diubah dari DC ke AC akan mengalir ke
lampu sebagai sumber cahaya, sebelum arus mengalir ke lampu, terlebih
dahulu arus akan masuk ke sensor cahaya yang berfungsi sebagai saklar
otomatis. Lampu akan hidup sendiri apabila hari sudah mulai gelap. Setelah
lampu hidup, lampu dan warna alat yang dominan berwarna kuning akan
menarik serangga untuk datang pada lampu tersebut. Serangga akan
terperangkap pada tempat perangkap yang telah di beri air sabun (Ilham HA
et al., 2018). Menurut Satria (2014) dalam Ilham HA et al. (2018), hama
serangga sanggat tertarik dengan cahaya lampu. Daya tarik tersebut
merupakan sifat fototaksis yang ada pada serangga umumnya. Serangga
umumnya tertarik dengan warna merah, biru, hijau, dan kuning.

5. Pemanfaatan Kotoran Ternak Sapi sebagai Penghasil Biogas


Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-
bahan organik oleh mikroorganisme (bakteri) pada kondisi yang relatif
kurang oksigen (anaerob). Sumber bahan untuk menghasilkan biogas yang
utama adalah kotoran ternak sapi, kerbau, babi, kuda dan unggas; dapat juga
berasal dari sampah organik (Anonim 2009) dalam (Hariansyah M, 2009)
Konversi limbah melalui proses anaerobik digestion dengan menghasilkan
biogas memiliki beberapa keuntungan, yaitu (Pambudi 2009) dalam
(Hariansyah M, 2009):
a. Biogas merupakan energi tanpa menggunakan material yang masih
memiliki manfaat termasuk biomassa sehingga biogas tidak merusak
keseimbangan karbondioksida yang diakibatkan oleh penggundulan
hutan (deforestation) dan perusakan tanah.
b. Energi biogas dapat berfungsi sebagai energi pengganti bahan bakar fosil
sehingga akan menurunkan gas rumah kaca di atmosfer dan emisi
lainnya.
c. Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang keberadaannya
di atmosfer akan meningkatkan temperatur, dengan menggunakan
biogas sebagai bahan bakar maka akan mengurangi gas metana di udara.
d. Limbah berupa kotoran hewan merupakan material yang tidak
bermanfaaat, bahkan bisa menngakibatkan racun yang sangat
berbahaya. Aplikasi anaerobik digestion akan meminimalkan efek
tersebut dan meningkatkan nilai manfaat dari limbah.
e. Selain keuntungan energi yang diperoleh dari proses anaerobik digestion
dengan menghasilkan gas bio, produk samping seperti sludge. Meterial
ini diperoleh dari sisa proses anaerobik digestion yang berupa padat dan
cair. Masing-masing dapat digunakan sebagai pupuk berupa pupuk cair
dan pupuk padat.

Adapun beberapa pertanyaan dan jawaban yang disampaikan pada saat diskusi
berlangsung di google meet, yaitu :
1. Bu Yoscarini :
a) Berdasarkan adanya regulasi dan inovasi yang telah dijelaskan. Masalah apa
saja yang sedang dialami oleh petani di Indonesia saat ini dan bagaimana
solusinya?
b) Hama apa saja yang dapat diatasi oleh insektisida yang telah dipaparkan dan
mereka biasa timbul di tanaman apa?
c) Bagaimana cara untuk memproduksi produk yang unggul, penanggulangan
pencemaran yang ada, dan pemupukan yang baik seperti apa?

Jawaban :
a) Masalah yang sedang dihadapi saat ini oleh petani, yaitu lahan yang
menurun baik kualitas dan kuantitasnya yang dikarenakan oleh
pembangunan gedung atau bangunan lainnya. Lalu, petani lebih
memprioritaskan untuk meningkatkan ekonomi dibandingkan
lingkungannya, sehingga tanah tidak terkelola dengan baik dan lingkungan
akan rusak. Solusi untuk menghadapi hal tersebut dapat dengan
diberikannya penyuluhan atau saran bagi para petani untuk tidak merusak
lingkungan oleh pemerintah maupun mahasiswa yang paham mengenai
pertanian dan juga regulasi yang ada harus lebih ditegakkan dan diperkuat.

b) Insektisida alami dari biji mimba dapat digunakan untuk membunuh larva
ulat jarak, ulat grayak, dan ulat tembakau. Ulat-ulat tersebut biasanya
terdapat di tanaman tembakau cerutu.

c) Produk yang unggul dihasilkan dari bibit yang baik, namun terdapat
beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pembibitan, yaitu pupuk,
air, cahaya, dan iklim. Untuk menanggulangi masalah pencemaran yang
dikarenakan oleh pemberian pupuk kimia pada tanaman agrikultur, yaitu
dapat mengganti penggunaan pupuk kimia dengan pupuk organik. Pupuk
organik yang dapat digunakan tersebut adalah pupuk kandang dan pupuk
organik cair.

2. Ditha Veftiana (Pembahas, Kelompok 1) :


Pengelolaan biogas dengan lumpur atau sludge yang dihasilkan digunakan
untuk menjadi pupuk, namun apakah kandungan unsur hara yang terdapat pada
lumpur tersebut masih dapat dipertahankan dalam bentuk sebelumnya atau
tidak?
Jawaban :
Kandungan hara yang terdapat pada lumpur tersebut masih baik, namun
kandungan gas metan yang memiliki perbedaan dikarenakan proses degradasi
yang dilakukan oleh bakteri anaerob. Jadi, lumpur tersebut memiliki
kandungan unsur hara yang masih bisa tercukupi untuk menjadi pupuk.

3. Narisa Eka Febryolla (Kelompok 1) :


a) Kenapa petani di Indonesia masih suka menggunakan pestisida kimia
dibandingkan dengan pestisida alami?
b) Bagaimana cara mengatasi pertanian di Indonesia yang belum optimal?

Jawaban :
a) Karena, dengan menggunakan pestisida kimia hama di tanaman dapat lebih
cepat mati dan penggunaan pestisida kimia sudah menjadi kebiasaan para
petani di Indonesia, dikarenakan mereka tidak mau menyulitkan diri sendiri
dengan lama dan susahnya pembuatan pestisida alami.
b) Untuk mengatasi hal tersebut dapat dengan melakukan pendekatan ke
masyarakat petani oleh pemerintah mengenai sistem pertanian organik yang
lebih baik dari pertanian sebelumnya dan juga dapat dengan memberikan
pendidikan kepada mereka mengenai kerugian terhadap penggunaan bahan
kimia.

4. Fikhriyan :
a) Bagaimana seharusnya pemerintah dalam penanganan tanah yang terus
terfragmentasi akibat pembangunan secara terus-menerus di Indonesia dan
program apa saja yang sudah diadakan oleh pemerintah dalam peningkatan
pertanian di indonesia?
b) Indonesia walaupun negara agraris, namun pemerintah tetap saja melakukan
impor beras yang dimana sudah menjadi makanan pokok masyarakat.
Bagaimana ketahanan pangan di Indonesia yang pemerintahnya hanya
mengutamakan komoditas jagung dibandingkan beras?
Jawaban :
a) Program yang sudah terlaksana, yaitu BIMAS, SUPTA, NAWACITA.
Hambatan yang terjadi pada program NAWACITA adalah untuk menjadi
petani pertanian organik, maka lahan yang dimiliki harus tersertifikasi
terlebih dahulu dengan harga per hektar lahan sekitar 5 – 10 juta rupiah dan
hal tersebut terbilang mahal untuk para petani di Indonesia. Regulasi di
Indonesia masih lemah dan juga diiringi dengan penurunannya kualitas dan
kuantitas lahan yang dikarenakan pemerintah Indonesia masih
mengutamakan kemajuan ekonomi tanpa memperhatikan aspek lainnya.

b) Impor beras merupakan bukti dari penurunannya kualitas dan kuantitas lahan
di Indonesia yang dimana sebenarnya beras merupakan kebutuhan sehari-
hari masyarakat Indonesia. Akibat dari hal tersebut seharusnya pemerintah
dapat merasakan kerugian.

BAB III
KESIMPULAN

Pertanian di Indonesia sudah dimulai dari Era Abad Ke-19 hingga saat ini
dengan sistem yang berbeda-beda. Pertanian itu sendiri bergantung pada kondisi
iklim hingga daya dukung lahan. Seiring dengan perkembangan sistem pertanian
di Indonesia, maka bermunculan pula inovasi-inovasi baru dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan dan dapat menunjang kesejahteraan para
petani.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Abbas S. 1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Jakarta
(ID): Sekretariat Badan Pengendali BIMAS.
Ardiwinata AN. 2020. Pemanfaatan arang aktif dalam pengendalian residu
pestisida di tanah: prospek dan masalahnya. J Sumberdaya Lahan.
14(1):49-62.
Ario. 2010. Menuju Swasembada Pangan Revolusi Hijau II. Jakarta (ID):
Introduksi Managemen Dalam Pertanian.
Charina A, Kusumo RAB, Sadeli AH, Deliana Y. 2018. Faktor-faktor yang
mempengaruhi petani dalam menerapkan standar operasional prosedur
(sop) sistem pertanian organik di kabupaten bandung barat. J Penyuluhan.
14(1):68-78.
Efendi E. 2016. Implementasi sistem pertanian berkelanjutan dalam mendukung
produksi pertanian. J Warta. 47.
Hariansyah M. 2009. Pemanfaatan kotoran ternak sapi sebagai penghasil bio gas.
J Teknik. 8(1):19-27.
Hidayati IN, Suryanto. 2015. Pengaruh perubahan iklim terhadap produksi
pertanian dan strategi adaptasi pada lahan rawan kekeringan. Jl
Ekonomi dan Studi Pembangunan. 16(1):42-52.
Ilham HA, Syahta R, Anggara F, Jamaluddin. 2018. Alat perangkap hama
serangga padi sawah menggunakan cahaya dari tenaga surya. Journal of
Applied Agricultural Science and Technology. 2(1):11-19.
Muharam S. 2020. Kebijakan “revolusi hijau” paman birin dalam menjaga
kerusakan lingkungan di provinsi kalimantan selatan. J Anlisis
kebijakan dan pelayanan publik. 6(1).
Perdinan et al. 2018. Adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan : telaah
inisiatif dan kebijakan. J Hukum Lingkungan Indonesia. 5(1):60-87.
Rahayu et al. 2015. Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap pertumbuhan
fusarium verticillioides bio 957 dan produksi fumonisin b1. J Agritech.
35(2):156-163.
Rachmat R, Lubis S. 2010. Prospek teknologi pembuatan beras bergizi melalui
fortifikasi iodium. J Pangan. 19(3):265-274.
Rinaldi H. 2019. Dampak revolusi hijau dan modernisasi teknologi pertanian studi
kasus pada budidaya pertanian bawang merah dikabupaten brebes. J
Sejarah Citah lekha. 4(2).
Setyowati DL, Sedyawat SM. 2010. Sebaran ruang terbuka hijau dan peluang
perbaikan iklim mikro di semarang barat. J Biosaintifika. 2(2):61-74.
Subiyakto. 2009. Ekstrak biji mimba sebagai pestisida nabati: potensi, kendala,
dan strategi pengembangannya. J Perspektif. 8(2):108-116.
Suryana A, Kariyasa K. 2008. Ekonomi padi di asia : suatu tinjauan berbasis
kajian komparatif. J Agro Ekonomi. 26(1):17-31.

Anda mungkin juga menyukai