Anda di halaman 1dari 19

DASAR-DASAR BUDIDAYA

PERIKANAN
PROGRAM STUDI : BUDIDAYA IKAN (BDI)
TINGKAT I, SEMESTER 1

Oleh :
Desilina Arif, A. Pi, M.Si

1
Kompetensi 2 : Ruang Lingkup dan prinsip Prinsip Budidaya
Sub Kompetensi : 2.1. Jenis Ekosistem Perairan
2.2. Sifat fisika dan kimia perairan
2.3. Potensi budidaya air
2.4. Tipologi dasar laut
2.5. Zonasi lingkungan laut
Capaian Pebelajara : Setelah mempelajari

2.1. Jenis Ekosistem Perairan


Pengertian Ekosistem Akuatik dan Jenisnya. Pada postingan sebelumnya
kami telah menjelaskan tentang Seputar Pengertian dan Jenis Ekosistem.
Berikut adalah penjelasan seputar pengertian Ekosistem Akuatik dan jenis
ekosistem akuatik.

Definisi Ekosistem Akuatik


Pengertian Ekosistem akuatik (perairan) adalah merupakan tipe ekosistem
yang sebagian lingkungan fisiknya didominasi oleh air. Ekosistem akuatik
dipengaruhi oleh empat factor, yaitu penetrasi cahaya matahari, substrat,
temperatur, dan jumlah material terlarut. Akan tetapi, factor penentu
utama dari ekosistem perairan adalah jumlah garam terlarut di dalam air.
Jika perairan tersebut sedikit mengandung garam terlarut, maka disebut
ekosistem air tawar . Sebaliknya, jika mengandung kadar garam tinggi,
maka disebut ekosistem laut.

Jenis Ekosistem Akuatik


1. Air Tawar. Ekosistem air tawar dibagi menjadi dua, yaitu lotik dan
lentik. Ekosistem air tawar lotik memiliki ciri airnya berarus. Contohnya
adalah sungai. Organisme yang hidup pada ekosistem ini dapat
menyesuaikan diri dengan arus air. Produsen utama pada ekosistem
ini adalah ganggang. Akan tetapi, umumnya organisme lotik memakan
detritus yang berasal dari ekosistem darat di sekitarnya. Ekosistem air
tawar lentik memiliki ciri airnya tidak berarus. Ekosistem air tawar lentik
meliputi rawa air tawar, rawa gambut, kolam, dan danau. Rawa
didominasi oleh lumut Spaghnum. Ekosistem danau dan kolam terdiri
dari tiga wilayah horizontal, yaitu litoral, limnetik, dan profundal.

Gambar 1. Berbagai Tipe Sungai

2
2. Laut. Hampir 71% dari permukaan bumi tertutup oleh laut. Rata-
rata salinitas (kadar garam) laut adalah 3%, tetapi angka ini
bervariasi dari satu wilayah ke wilayah yang lain sesuai dengan
kedalaman dan geografinya. Salinitas tertinggi terdapat di daerah
tropis. Pada daerah tropis suhu yang tinggi menyebebkan laju
penguapan berlangsung cepat sehingga salinitas laut menjadi
tinggi. Contohnya, Laut Merah memiliki salinitas 4%. Sebaliknya,
pada geografi yang lebih tinggi, proses penguapan berkurang
sehingga salinitasnya rendah. Contohnya, Laut Baltik dengan
salinitas 0,7%.

Gambar 2. Marine Ekosistem


3. Estuari.
Ekosistem estuary terdapat pada wilayah pertemuan antara sungai
dan laut atau disebut muara sungai. Muara sungai disebut juga
pantai Lumpur. Esturi mamiliki cirri berair payau dengan tingkat
salinitas di antarsa air tawar dan laut. Vegetasi didominasi oleh
tumbuhan bakau. Beberapa organisme laut melakukan
perkembangbiakan di wilayah ini seperti ikan, udang, dan moluska
yang dapat dimakan.

3
Gambar 3. Perairan Estuaria
4. Pantai Batu. Ekosistem pantai batu tersusun dari komponen abiotik,
berupa batu-batuan kecil maupun bongkahan batu yang besar.
Pada ekosistem pantai batu terdapat organisme seperti ganggang
Eucheuma dan Sargassum, serta beberapa jenis moluska yang
dapat melekat di batu. Ekosistem pantai batu antara lain terdapat di
Pantai Selatan Jawa, Pantai Barat Sumatera, Bali, Nusa Tenggara,
dan Maluku.

Gambar 4. Pantai Berbatu


5. Terumbu Karang. Ekosistem terumbu karang hanya dapat tumbuh
di dasar perairan yang jernih. Terumbu karang terbentuk dari
rangka hewan kelompok Coelenterata. Pada ekosistem ini terdapat
berbagai jenis organisme laut dari kelompok Porifera, Coelenterata,
ganggang, berbagai jenis ikan, serta udang. Ekosistem terumbu
karang antara lain terdapat di perairan Nusa Tenggara dan Maluku.

4
Gambar 5. Ekosistem Terumbu Karang
6. Laut Dalam. Ekosistem laut dalam merupakan zona pelagic laut.
Ekosistem ini berada pada kedalaman 76.000 m dari permukaan
laut, sehingga tidak ada lagi cahaya matahari. Oleh karena itu,
produsen utama di ekosistem ini merupakan organisme
kemoautotrof.

Gambar 6. Ekosistem Laut Dalam

Sifat Fisika dan Kimia Perairan


a.Sifat Fisika Air
Sifat fisika air adalah tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau.
Memiliki 3 fasa yang berbeda : cair, gas, dan padat pada temperatur
normal di bumi. Air di bumi selalu berinteraksi, berubah, dan bergerak. Air
dapat menyerap sejumlah kalor karena memiliki kalor jenis yang tinggi.

5
Mempunyai tegangan permukaan yang sangat tinggi. Tegangan
permukan tersebut berguna untuk gaya kapilaritas air. Air adalah pelarut
yang baik karena kepolarannya, konstanta dielektrik yang tinggi dan
ukurannya yang kecil, terutama untuk senyawa ionik dan garam yang
polar. Air mempunyai titik didih yang tinggi. Jika tidak mempunyai sifat ini
maka pada suhu yang normal tidak ada laut, danau , sungai, tumbuhan,
atau binatang di bumi ini. Air mempunyai massa jenis yang lebih kecil
dalam keadaan beku bila dibandingkan dengan keadaan cair, karena sifat
ini maka ini di bagian dalam lautan meskipun suhunya turun tetap
berbentuk cair yang memungkinkan mahluk hidup tetap hidup.
Rumus molekul air adalah H2O

A. Suhu
Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen.
Pembuangan limbah yang dilakukan pada badan air dapat menimbulkan
kenaikan suhu sehingga akan mempengaruhi aktivitas hidrologis di
dalamnya. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang
(latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari,
sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air.
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi
badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem
perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu (batas atas
dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya. Misalnya algae dari filum
Chlorophyta dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu
berturut-turut 30-35oC dan 20- 30oC. Filum Cyanophyta lebih dapat
bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan
Chlorophyta dan diatom.

B. Kecerahan
Kecerahan dapat diidentifikasi dari tingkat kekeruhan air dengan alat
sechidisk. Kekeruhan terdapat pada kebanyakan air permukaan akibat
suspensi lempung, silt, organik dan anorganik, plankton, dan
mikroorganisme lain. Kekeruhan pada perairan tergenang, misalnya
danau, lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa
koloid dan partikel-partikel halus, sedangkan kekeruhan pada sungai yang
sedang banjir disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berukuran lebih
besar, yang berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air
pada saat hujan. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan
terganggunya sistem osmoregulasi, misa Kimia Perairan 4 daya lihat
organisme akuatik, serta juga dapat menghambat penetrasi cahaya ke
dalam air. Tingginya nilai kekeruhan juga dapat mempersulit usaha
penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses
penjernihan air.

C. Total Dissolved Solids (TDS)


Selama perjalanannya air dapat melarutkan dan membawa kandungan
material wahana yang dilaluinya. Sehingga selain mengadung unsur-
unsur, air dapat pula mengandung material yang terkandung di dalamnya.

6
Pengukuran suspensi dilakukan dengan dua cara, yaitu pengendapan dan
pemisahan, cara pengendapan didasari oleh prinsip perubahan berat jenis
suatu zat. Artinya karena berat jenis suatu material yang terlarut dalam air
lebih besar daripada berat jenis air itu sendiri, maka jika didiamkan
beberapa saat maka material tersebut lambat laun akan mengendap.
Dengan mengetahui besarnya endapan tersebut secara tidak langsung
dapat diketahui besarnya suspensi. Sementara itu cara pemisahan
dilakukan dengan mendasarkan prinsip bahwa jika banyaknya material
yang tersuspensi dapat diketahui beratnya, maka secara langsung dapat
diketahui suatu suspensi pada suatu contoh air. C. Sifat Kimia Air Air
adalah zat kimia yang istimewa, terdiri dari dua atom hidrogen dan satu
atom oksigen. Panjang ikatan O--H = 95.7 picometers. Sudut H--O---H =
104.5° Energi ikatan O-H = 450 kJ/mol. Momen dipol = 1.83 debyes.
Atom-atom hidrogen tertarik pada satu sisi atom oksigen, menghasilkan
molekul air yang mempunyai muatan positif pada atom hidrogen dan
muatan negatif pada atom oksigen. Karena muatan yang berlawanan
tersebut di dalam molekul air saling tarik menarik dan membuatnya
menjadi lengket. Sisi positif dari suatu molekul air tertarik pada sisi negatif
dari molekul yang lain.
i. Sifat Kimia Air
1) Molekul air berbentuk seperti huruf V disebabkan karena:
a) Struktur geometrinya yang tetrahedral (109,50).
b) Keberadaan pasangan elektron bebas pada atom oksigen.
2) Bersifat polar karena adanya perbedaan muatan.
3) Sebagai pelarut yang baik karena kepolarannya.
4) Bersifat netral (pH=7) dalam keadaan murni

A. Derajat Keasaman (pH)


Kadar asam atau basa suatu larutan ditunjukkan melalui pH, yaitu
konsentrasi ion hidrogen efektif atau merupakan aktivitas ion hidrogen. Ion
hidrogen merupakan faktor utama untuk mengetahui suatu reaksi kimiawi.
Ion hidrogen selalu ada dalam keseimbangan dinamis dengan air, yang
membentuk suasana untuk semua reaksi kimiawi yang berkaitan dengan
masalah pencemaran air di mana sumber ion hidrogen tidak pernah habis.
Ion hidrogen tidak hanya unsur molekul H2O saja tetapi juga merupakan
unsur dari senyawa lain, hingga jumlah reaksi tanpa H+ dikatakan sedikit
saja. pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa
amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang
memiliki pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Namun,
pada suasana alkalis tinggi (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amonia.
Amonia yang tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh
organisme akuatik dibandingkan amonium.

B. Amonia (NH3)
NH3 (amonia) merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH4 pada pH
rendah dan amonium. Amoniak berasal dari air seni dan tinja serta hasil
oksidasi zat organik secara mikrobiologis, yaitu yang berasal dari air

7
buangan industri dan penduduk. Karena rasaya tidak enak, maka
kadarnya dalam air minum harus nol.

C. Phospat (PO4)
Phospat terdapat dalam air alam atau limbah sebagai senyawa ortofosfat,
polifosfat, dan fosfat-organis. Setiap nyawa fosfat tersebut terdapat dalam
bentuk terlarut, tersuspensi, atau terikat di dalam sel organisme air. Fosfat
dapat berasal dari limbah penduduk, industri, dan pertanian. Pemilihan
senyawa fosfat yang akan dianalisa tergantung dari keperluan
pemeriksaan dan keadaan badan air. Untuk sampel air alam yang jernih
dan diperuntukkan bagi air minum, misalnya mungkin hanya diperlukan
pemeriksaan fosfat atau ortofosfat terlarut.

D. Dissolved Oxygen (DO)


Atmosfer bumi mengandung oksigen sekitar 210 ml/liter. Adanya oksigen
terlarut di dalam air sangat penting untuk menunjang kehidupan
organisme air. Kemampuan air untuk membersihkan pencemaran secara
alamiah banyak tergantung pada cukup tidaknya oksigen terlarut (DO).
Oksigen terlarut dalam air berasal dari udara dan proses fotosintesa
tumbuh-tumbuhan air. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
oksigen terlarut dalam air antara lain temperatur, tekanan udara, dan
kadar mineral dalam air. Peningkatan suhu sebesar 1oC akan
meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Dekomposisi bahan organik
dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut
hingga mencapai nol (anaerob). Semakin tinggi suhu maka kelarutan
oksigen berkurang. Kelarutan oksigen dan gas lain juga berkurang dengan
meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut lebih rendah
daripada di perairan tawar. Di perairan danau, oksigen lebih banyak
dihasilkan oleh fotosintesis algae yang banyak terdapat pada mintakat
epilimnion. Pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi
tanaman air pada zona litoral, keberadaan oksigen lebih banyak
dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air.

E. Biochemical Oxygen Demand (BOD)


Biochemical Oxygen Demand merupakan suatu analisa empiris yang
mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang
benarbenar terjadi di dalam air. Angka BOD menunjukkan jumlah oksigen
yang dibutuhkan bakteri untuk menguraikan hampir semua zat organis
yang terlarut dan sebagian zat-zat organis tersuspensi di dalam air.
Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran
akibat buangan air penduduk atau industri dan mendesain sistem
pengolahan biologis bagi air yang tercemar. BOD hanya menggambarkan
bahan organik yang dapat dikomposisi secara biologis (bioagredable).
Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji (strach), glukosa,
aldehida, ester, dsb. Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung
relatif lambat. Bahan organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan
hewan yag telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan
industri.

8
F. Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen (mg O2) yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organis yang ada dalam 1 liter
sampel air, dalam hal ini K7Cr7O7 digunakan sebagai sumber oksigen
(oxidizing agent). Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air
oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses
mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam
air.

b. Tipologi Dasar Laut


Topografi laut merupakan bentuk rupa bumi di wilayah atau dasar laut
yang terbentuk oleh berbagai faktor baik endogen maupun eksogen,
pemetaan menggunakan pengukuran tinggi muka laut relatif terhadap
geoid bumi digunakan untuk memetakkan arus laut, yang bergerak di
sekitar laut ‘bukit’ dan ‘lembah’ dengan cara yang dapat diprediksi.

1. Continental Margin / Tepi Kontinen. dasar laut yang berdekatan dengan


benua. Bagian ini dibedakan atas 3 bagian, yaitu :
a. Continental Shelf. (landas kontinen) dasar laut yang berhubungan
langsung dengan benua lerengnya landai, pada umumnya kurang
dari 10 kedalamannya kurang dari 200 m. Lebar continental shelt
pada berbagai daerah berbeda beda. Continental shelf yang
bersambungan dengan pantai yang datar sangat lebar, sedangkan
yang bersambungan dengan pantai curam dan bergunung sangat
sempit.
b. Continental Slope. (lereng kontinen) dasar laut yang terletak di
bawah continental shelf. Kemiringan lerengnya lebih curam, yaitu
antara 20-50, dengan kedalaman sampai 1400 m -3000 m.
Continental shelf dan continental slope berbatuan dasar granit,
seperti halnya batuan dasar benua.
c. Continental rise. (kaki kontinen) Continental rise terletak di luar
continental slope dan merupakan peralihan dengan ocean basin di
bandingkan dengan continental slope lerengnya lebih landai 0,50
dan mempunyai lapisan sedimen yang tebal.
2. Ocean Bassin, dasar laut yang paling dalam dan berbentuk oval
menyerupai suatu baskom yang luas, dan mempunyai bentuk bentuk
topografi khusus, yakni :
a. Abyssal Plain dan Abyssal Hill Bagian terbesar dari topografi dasar
laut dan paling rata di bandingkan dengan bentuk topografi dasar
laut yang lain. Apabila pada bagian tertentu reliefnya lebih kasar
maka disebut abyssal hill.
b. Submarine Ridge. dasar laut yang dangkal, panjang dan
memisahkan laut yang dalam. Jika lerengnya tidak begitu terjal
dinamakan oceanic rise. c. Trough / Palung Laut dasar laut yang
sangat dalam panjang dan sempit seolah olah adalah lembah di
dasar laut.
c. Seamount gunung berapi muncul di dasar laut tetapi puncaknya
masih di bawah permukaan air laut. Sedimentasi adalah suatu

9
proses pengendapan material yang ditransport oleh media air,
angin, es atau gletser di suatu cekungan. Sedimen terutama terdiri
dari partikel-partikel yang berasal dari hasil pecahan-pecahan
batuan dan potongan-potongan kulit (shell) serta sisa rangka dari
organisme laut.

Gambar 7. Topologi Dasar Laut

Untuk mengklasifikasikan sedimen laut yakni :


1. Sedimen Biogenik Pelagis. Berupa sisa-sisa fitoplankton dan
zooplankton laut. Karena umur organisme plankton hannya satu atau
dua minggu, terjadi suatu bentuk ‘hujan’ sisa-sisa organisme plankton
yang perlahan, tetapi kontinue di dalam kolam air untuk membentuk
lapisan sedimen.
2. Sedimen Terigen Pelagis. Hampir semua sedimen Terigen di
lingkungan pelagis terdiri atas materi-materi yang berukuran sangat
kecil.

Ada dua cara materi tersebut sampai ke lingkungan pelagis. Pertama


dengan bantuan arus turbiditas dan aliran grafitasi. Kedua melalui gerakan
es yaitu materi glasial yang dibawa oleh bongkahan es ke laut lepas dan
mencair.
Distribusi sendimentasi laut dapat terdistribusi pada :
a. Daerah perairan dangkal, seperti endapan yang terjadi pada
paparan benua (Continental Shelf) dan lereng benua (Continental
Slope) adalah suatu daerah yang mempunyai lereng landai kurang
lebih 0,4o dan berbatasan langsung dengan daerah daratan, lebar
dari pantai 50 – 70 km, kedalaman maksimum dari lautan yang ada
di atasnya di antara 100 – 200 meter. ‘Continental Slope’ adalah
daerah yang mempunyai lereng lebih terjal dari continental shelf,
kemiringannya anatara 3 – 6o.
b. Daerah perairan dalam, seperti endapan yang terjadi pada laut
dalam. Akumulasi dari mineral-mineral dan pecahan-pecahan
batuan yang tercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari

10
organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk lewat
proses kimia yang terjadi di laut.

c. Zonasi Lingkungan Laut


Berdasarkan faktor-faktor fisik dan penyebaran komunitas biotanya
yakni daerah pelagik yang meliputi kolom air dan daerah bentik yang
meliputi dasar laut dimana biota laut hidup. Pada gambar 1 dapat dilihat
pembagian zonasi lingkungan perairan laut.

a. Lingkungan Pelagik
Lingkungan pelagik merupakan lingkungan yang meliputi seluruh
kolom air mulai dari permukaan dasar laut sampai permukaan laut.
Lingkungan pelagik mempunyai batas wilayah yang meluas mulai dari
garis pantai sampai wilayah laut terdalam (Romimohtarto, 2007).

b. Zona Neritik
Ernawati (2011), mendefinisikan zona neritik merupakan daerah laut
dangkal yang masih dapat ditembus cahaya sampai ke dasar, kedalaman
daerah ini dapat mencapai 200 m. Biota yang hidup di daerah ini adalah
plankton, nekton (ikan) dan bentos dapat hidup dengan baik. Organisme
yang ada dari Alga, Porifera, Coelenterata, berbagai jenis ikan dan udang.
Kelimpahan organisme pada daerah ini tinggi karena kandungan zat hara
cukup tinggi, zat-zat terlarut juga masih cukup bervariasi yang
dikarenakan adanya tumpahan berbagai zat terlarut dari daratan. Hal yang
paling krusial adalah penetrasi cahaya pada zona ini masih optimum
sehingga asupan energi untuk produsen masih maksimal (Romimohtarto,
2007).

c. Zona Oseanik
Zona oseanik merupakan wilayah ekosistem laut lepas yang
kedalamannya mulai dari yang tertembus cahaya sampai tidak dapat
ditembus cahaya matahari sampai ke dasar, sehingga bagian dasarnya
paling gelap. Akibatnya bagian air dipermukaan tidak dapat bercampur
dengan air dibawahnya, karena ada perbedaan suhu. Batas dari kedua
lapisan air itu disebut daerah termoklin, Daerah ini banyak ikannya
(Ernawati, 2011). Menurut Romimohtarto (2007), daerah oseanik ini dibagi
menjadi 4 bagian yaitu epipelagik, mesopelagik, batipelagik, dan
abisopelagik. Effendy (2009) menyatakan bahwa pada zona oseanik
kecuali epipelagis memiliki parameter fisik dan kimia serta biologis
sebagai berikut:
a.       Cahaya : Umumnya redup – gelap gulita, sehingga tidak ada proses
fotosintesis
b.      Tekanan hidrostatis: Meningkat secara konstan sebanya 1 ATM (1
kg/cm2), setiap pertambahan kedalaman 10 meter. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tekanan hidrostatisk yang bekerja di laut dalam
sangat ekstrim
c.       Suhu: Umumnya seragam, dengan kisaran 1 – 3 oC (kecuali wilayah
hydrothermal vents (>80oC) dan cold hydrocarbon seeps (<1 oC)

11
d.      Salinitas: Umumnya seragam (35 permil),  Pada daerah cold
hydrocarbon seeps (hipersain = 40 permil)
e.      Sirkulasi air:Sangat lamban (< 5 cm/detik), tergantung pada bentuk
dan topografi dasar laut. Sikulasi air dan ventilasi dalam palung
sangat menentukan kadar oksigen di laut dalam
f.        Kadar Oksigen: Cukup untuk menghidupi seluruh organisme di laut
dalam (DO= 4% s/d 6%; di perairan eufotik, DO= 3.5% s/d 7%),      
Sumber oksigen utama: air permukaan laut di Antartika dan Arktik
yang kaya Oksigen, Air bersifat anoksik: Teluk Kau (Halmahera),
Palung Carioca (Venezuela), Palung Santa Barbara (USA)
g.       Tipe substrat: Terdiri atas substrat yang halus,  Substrat berbatu di
daerah mid-ocean ridge
h.      Suplai makanan: Langka. Bergantung pada pakan yang diproduksi
di tempat lain dan terangkut oleh proses hidrodinamis ke wilayah
laut dalam
i.        Jenis pakan : Hujan plankton atau partikel organik lain, Jatuhan
bangkai hewan besar atau tumbuhan, Bakteri berlemak yang mudah
dicerna (rata-rata populasi bakteri 2mgC/m2),

Bahan organik terlarut


a. Epipelagik
Zona epipelagik atau oseanik atas meluas dari permukaan sampai
kedalaman 200 m. Epipelagik ini masih di tembus oleh cahaya matahari
sehingga proses fotosintesis oleh organisme autotrof masih mungkin
terjadi. Area ini juga meluas ke perairan neritik sehingga ia bisa juga
dikatakan bagian dari perairan neritik.
Epipelagik dibagi menjadi tiga bagian yaitu zona dekat permukaan
dimana penyinaran siang hari diatas optimal atau bahkan letal bagi
fitoplankton. Penyinaran ini juga masih terlalu tinggi bagi zooplankton. Di
bawah zona tersebut dinamakan zona bawah-permukaan yang
merupakan tempat terjadinya pertumbuhan yang aktif sampai perairan
yang agak dalam, di mana fitoplankton yang tidak berbiak aktif masih
terdapat berlimpah. Zona ketiga atau area paling bawah merupakan
tempat zooplankton yang biasa bermigrasi ke permukaan pada malam
hari dan kembali pada siang hari. Jadi pada zona epipelagik ini organisme
penghuninya cukup banyak hampir sama halnya pada daerah neritik
(Romimohtarto, 2007)

b.    Mesopelagik
Mesopelagik merupakan perairan yang berada di bawah epipelagik
yang meluas dari 200-1000 m. Lapisan ini bertepatan dengan lapisan
terjadinya perubahan suhu dan tempat terjadinya termoklin. Karena area
ini penyinaran sudah hampir bahkan tidak ada, maka tidak ada kegiatan
produksi primer oleh produsen. Area ini kebanyakan dihuni oleh
konsumen primer yang memanfaatkan bangkai-bangkai organisme dari
lapisan di atasnya. Pada area ini tekanan lebih kecil dan persediaan
makanan lebih banyak daripada lapisan yang ada di bawahnya
(Romimohtarto, 2007).

12
Ciri dari biota yang hidup di zona ini yakni warna hewan umunya abu-
abu keperakan atau hitam (ikan), ungu kelam (ubur-ubur) dan merah
(crustacea), mata besar dan penglihatan senja (tingginya pigmen rodopsin
dan kepadatan sel batang pada retina akan memberi kemampuan
maksimum dalam melihat dan mendeteksi cahaya) dan bioluminusens
yaitu kemampuan memproduksi cahaya pada makhluk hidup, biasanya
dilengkapi oleh organ penghasil cahaya (fotofor) serta memiliki mulut
besar, morfologi mulut, rahang, gigi yang mendukung efektifitas
penangkapan mangsa (Efenndy, 2009).

c.  Batipelagik
Batipelagik meluas dari kedalaman 1000-4000 m. Kondisi fisiknya
seragam dan tidak ada aktifitas produsen sehingga hanya ada konsumen
skunder sperti ikan. Suhu pada area ini sudah lebih rendah jika di
bandingkan dengan lapisan diatasnya. Tumbuh-tumbuhan masih ada
sedikit atau juga tidak ada sama sekali (Romimohtarto, 2007).
Menurut Effendy (2009), penghuni zona ini secara umum terdiri dari
iIkan yang umumnya berwarna hitam kelam, sedangkan invertebratanya
seakan tidak berpigmen (putih cerah), ukuran mata sangat kecil, bahkan
tidak bermata, bahkan ada yang memiliki mata berbentuk pipa (ikan
Argyropelecus) dan sebelah matanya lebih besar (cumi-cumi
Histioteuthis). Ikan yang ditemukan umumnya berukuran sangat kecil,
namun invertebrata yang hidup umumnya berukuran sangat besar
d.    Abisopelagik
Abisopelagik merupakan area terdalam jika dibanding ketiga area
lainnya. Biota laut yang hidup di area ini cenderung bertahan terhadap
kegelapan, suhu semakin rendah dan tekananpun semakin tinggi.
Organisme yang hidup di area ini tentu telah beradaptasi bahkan
berevolusi seperti halnya ikan yang memiliki antena penghasil cahaya
yang berasal dari senyawa kimia yang dihasilkan oleh sel-sel penyusun
antenanya yang biasa di kenal sebagai biopendar cahaya
(biolumiscence). Selain itu ikan memiliki gelembung renang yang lebih
besar sehingga bisa melawan beratnya tekanan air. Gelembung renang
akan terperas oleh tekanan sehingga sedikit ruang untuk gas, akibatnya
ikan sedikit lebih ringan daripada berat air disekitarnya. Suhu yang rendah
pada area ini juga mebuat reaksi metabolisme menjadi lebih lambat. Pada
area ini tidak ada lagi proses fotosintesis dan tumbuh-tumbuhan yang
hidup sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Perubahan suhu, salinitas
dan kondisi serupa jarang terjadi bahkan kalupun ada sangat kecil.
Kandungan CO2 terlarut pada area ini sangat tinggi sehinnga kapur
mudah terlarut dalam air. Hal ini ditunjukkan oleh pembentukan cangkang
yang lembek dari organisme yang hidup di area ini apa lagi kondisi air
cenderung lebih tenang. Hal yang paling menjadi karakteristik dari area ini
adalah kurangnya ketersediaan makanan. Makanan hanya berasal dari
bangkai yang tenggelam sampai ke dasar. Sehingga tingkat kompetisi
semakin tinggi dan makanan ini bisa jadi faktor pembatas yang sangat
kritikal di zona ini. Begitu juga dengan kandungan oksigen terlarut sangat

13
rendah sehingga bisa juga menjadi faktor pembatas bagi organisme yang
ada pada zona ini (Romimohtarto, 2007)
Pembagian wilayah laut secara vertikal dilakukan berdasarkan
intensitas cahaya matahari yang memasuki kolom perairan, yaitu zona
fotik dan zona afotik. Zona fotik adalah bagian kolom perairan laut yang
masih mendapatkan cahaya matahari. Pada zona inilah proses fotosintesa
serta berbagai macam proses fisik, kimia dan biologi berlangsung yang
antara lain dapat mempengaruhi distribusi unsur hara dalam perairan laut,
penyerapan gas-gas dari atmosfer dan pertukaran gas yang dapat
menyediakan oksigen bagi organisme nabati laut. Zona ini disebut juga
sebagai zona epipelagis. Pada umumnya batas zona fotik adalah hingga
kedalaman perairan  50-150 meter. Sementara itu, zona afotik adalah 
secara terus menerus dalam keadaan gelap tidak mendapatkan  cahaya
matahari. Secara vertikal, zona afotik pada kawasan pelagis juga dapat
dibagi lagi kedalam beberapa zona, yaitu  zona mesopelagis, zona
batipelagis dan zona abisopelagis (Dahuri et al, 2001).

B.  Lingkungan Bentik


Zona bentik meliputi semua lingkungan dasar laut di mana biota
laut hidup melata, memendamkan diri atau meliang, mulai dari pantai
sampai ke dasar laut terdalam. Romimohtarto (2007), membagi zona
bentik menjadi zona litoral, dan abisal sedangkan Aliv (2011),
menambahkan zona batia antara litoral dan abisal.
1.  Zona Lithoral/Intertidal
Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena
hempasan gelombang tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh
dengan dinamika fisik lautan yakni pasang surut. Menurut Nybakken
(1992) zona intertidal merupakan daerah yang paling sempit diantara zona
laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi sampai
pada surut terendah. Zona ini hanya terdapat pada daerah pulau atau
daratan yang luas dengan pantai yang landai. Semakin landai pantainya
maka zona intertidalnya semakin luas, sebaliknya semakin terjal pantainya
maka zona intertidalnya akan semakin sempit.
Akibat seringnya hempasan gelombang dan pasang surut maka
daerah intertidal sangat kaya akan oksigen. Pengadukan yang sering
terjadi menyebabkan interaksi antar atmosfir dan perairan sangat tinggi
sehingga difusi gas dari permukaan keperairan juga tinggi. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Webber dan Thurman (1991) bahwa pantai
berbatu di zona intertidal merupakan salah satu lingkungan yang subur
dan kaya akan oksigen. Selain oksigen daerah ini juga mendapatkan sinar
matahari yang cukup, sehingga sangat cocok untuk beberapa jenis
organisme untuk berkembang biak. Pada daerah berbatu ini banyak
terdapat lingkungan mikro seperti celah-celah cadas dan kubangan pasut.
Jenis yang hidup pada lingkungan ini umumnya organisme yang melekat
seperti beberapa jenis keong.
Pada tiap zona intertidal terdapat perbedaan yang sangat signifikan
antara satu daerah dengan daerah yang lain. Jenis substrat daerah
intertidal ada yang berpasir, berlumpur, berbatu, dan adapula yang berupa

14
timbunan. Daerah berlumpur terjadi karena adanya aliran air yang
mengandung lumpur dari darat. Area ini biasanya terjadi di daerah teluk
yang tenang atau estuari. Lingkungan seperti ini dapat menimbulkan
masalah bagi organisme yang ada pada lingkungan tersebut, karena
lumpur bisa masuk ke saluran pernafasan sehinnga dapat menyumbat
saluran pernafasannya. Kandungan oksigen terlarut relatif rendah karena
padatnya partikel lumpur sehingga pertukaran oksigen dan karbondioksida
terhambat. Organisme yang hidup di lingkungan ini kebanyakan berupa
bakteri (Romimohtarto, 2007).
Pada daerah ini memiliki substrat yang sangat halus dengan
diameter kurang dari 0.002 mm. Menurut Nybakken (1992) daerah
berlumpur berada pada daerah yang terlindung dari hempasan gelombang
secara langsung. Akibat tidak adanya hempasan gelombang maka daerah
ini sulit untuk mengalami perkembangan yang signifikan.
Pembagian zonasi pada daerah pantai berlumpur masih sangat
kurang yang telah dikaji. Secara umum dapat dibagi menjadi:
1). Bagian atas atau supralitoral dihuni oleh berbagai jenis kepiting yang
menggali substrat. Zona ini juga dipengaruhi oleh pasang tertinggi dan
paling sering mengalami kekeringan.
2). Bagian bawah atau litoral. Bagian ini merupakan bagian yang terluas
diantara bagian ekosistem pantai berlumpur. Pada zona ini dihuni oleh
tiram dan policaeta.
Pada dasarnya pembagian tersebut belum terlalu jelas batasannya.
Hal ini dikarenakan organisme pada kedua tempat tersebut tidak menetap
hanya pada zona tersebut tetapi juga dapat berpindah ke zona yang lain.
Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm.
Jenis pantai berpasir termasuk dalam jenis pantai dengan partikel yang
halus. Sama halnya pada pantai berbatu pada pantai berpasir juga dibagi
dalam beberapa zonasi (Dahl, 1952 and Salvat, 1964 in Raffaelli and
Hawkins, 1996) yaitu:
1). Mean High Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada
pasang purnama. Zona ini berada pada bagian paling atas. Pada daerah
ini berbatasan langsung dengan daerah yang kering dan sering
terekspose.
2). Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut. Zona ini
merupakan daerah yang paling banyak mengalami fluktusi pasang surut.
Pada daerah ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem salah satunya
ekosistem padang lamun.
3). Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada
pasang surut purnama. Zona ini merupakan zona yang paling bawah.
Pada daerah ini fliktuasi pasang surut sangat sedikit yang berpengaruh
karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut. Daerah ini juga bias
ditemukan ekosistem terumbu karang.
Menurut Nybakken (1992) zonasi yang terbentuk pada daerah
berpasir sangat dipengaruhi oleh faktor fisik perairan. Hal ini nampak dari
hempasan gelombang dimana jika kecil maka ukuran partikelnya juga
kecil, tetapi sebaliknya jika hempasan gelombang besar maka partikelnya

15
juga akan besar. Pada daerah berpasir hempasan gelombangnya kecil
menyebabkan butiran partikelnya kecil.
Romimohtarto (2007), menjelaskan bahwasanya lingkungan
timbunan pada zona intertidal adalah lingkungan yang terbentuk dari
tumpukan-tumpukan kayu dermaga, galangan kapal dan bangunan-
bangunan lain buatan manusia. Organisme yang hidup di lingkungan ini
biasanya berupa tiram pengebor.
Selain ketiga lingkungan tersebut pada daerah litoral juga terdapat
jenis lingkungan berbatu. Daerah berbatu ini juga dikelompokkan menjadi
beberapa zona. Pada dasarnya pembagian zonasi untuk lingkungan
berbatu dilihat dari pasang surut yang terjadi. Pantai ini didominasi oleh
substrat dari batu. Menurut Stephenson and Stephenson (1972) in
Raffaelli and Hawkins (1996) menyatakan bahwa pembagian zona pada
daerah berbatu dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. A high-shore area (bagian daerah yang paling atas) atau yang biasa
disebut supralittoral fringe. Pada zona ini dicirikan oleh berbagai
organisme seperti alga yang menjalar, Cyanobacteria (bakteri hijau biru)
dan cacing kecil, periwinkles.
b. A broad midshore zone (zona bagian tengah yang lebar) atau yang
biasa disebut midlittoral zone. Pada daerah ini didominasi oleh pemakan
suspense seperti bernakel, kerang atau terkadang tiram.
c. A narrower low-shore zone (zona bagian bawah yang sempit) atau yang
biasa disebut infralittoral fringe. Pada daerah ini didominasi oleh alga
merah, organisme penghasil kapur, kebanyakan berbentuk menjalar,
terkadang kelp yang lebat (alga coklat) atau terkadang pada suatu tempat
di Hemisphere selatan yaitu penyering makanan seperti tunicata (sea
squirt).
Sedangkan pembagian menurut Reseck (1980) zonasi pada litoral berbatu
dibagi menjadi empat zonasi :
a. Zone I : daerah yang paling tinggi dan selalu kering (spray
zone/upper litoral zone).
b. Zona II : Daerah yang mengalami kekeringan 2 kali sehari selama
pasang terendah, selama 4-6 jam.
c. Zona III : Daerah yang mengalai kekeringan dalam waktu yang
agak pendek, kurang lebih 1-3 jam.
d. Zona IV : Daerah yang mengalami kekeringan sangat relatif
singkat, kurang lebih 12 jam.
Pembagian zonasi pada litoral berbatu juga dapat didasarkan oleh
organisme yang hidup pada daerah tersebut (Barnes & Hughes, 1999).
Pembagian zonasi tersebut dibagi menjadi dua bagian yakni:
1). Zonasi dari mikroalga. Zonasi ini didasarkan oleh fotosintesis yang
terjadi didalam air. Pembagian tersebut yakni:
a). Pada spesies yang terdapat pada lower shore fotosintesis lebih
baik di udara dibanding dalam air.
b). Pada spesies yang terdapat pada mid hingga upper shore
fotosintesis lebih baik didalam air disbanding diatas daratan. Kekuatan
fotosintesis dalam air pada spesies ini yakni enam kali lebih kuat.

16
2). Zonasi dari hewan. Zonasi ini didasarkan oleh dua hal yang sangat
signifikan yaitu:
a. Makanan. Ketersediaan makanan sangat penting utamanya bagi
organisme yang pergerakannya sangat lambat atau yang tidak
berpindah tempat.
b. Pergerakan. Organisme perlu berpindah untuk mencari makan,
sehingga faktor ini juga sangat terikat dengan faktor yang pertama.
Suatu gambaran yang sangat luar biasa dari pantai diseluruh dunia,
yang terlihat pada waktu pasang surut adalah, menonjolnya
pembagian horizontal atau zonasi organisme (Nybakken, 1992).
Zonasi litoral berbatu pada beberapa belahan dunia yang berbeda
pada berbagai belahan dunia terdapat perbedaan pola zonasi litoral
berbatu yang terjadi antara satu tempat dengan tempat yang lain.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya
kemiringan permukaan batu yang menyusunnya (Nybakken, 1992).

2. Zona Bathyal
Zona batial adalah wilayah laut yang merupakan lereng benua yang
tenggelam di dasar samudera. Kedalaman zona ini berkisar di atas 200
meter – 2000 meter. Dengan kedalaman dan struktur yang berupa lereng
atau curam maka organisme yang hidup pada area ini kebanyakan
bersifat konsumen. Pertukaran oksigen cukup kurang sehingga bisa
menjadi salah satu faktor pembatas bagi organisme yang hidup pada
lingkungan ini. Bebatuan masih relatif ada sehinnga organisme yang
hidupnya melekat masih bisa ditemukan (Aliv, 2011).
Menurut Dias (2011), keadaan bentik zona bathyal umumnya
merupakan lereng-lereng curam yang merupakan dinding laut dalam dan
sebagai bagian pinggiran kontinen. Zona bathyal juga diistilahkan sebagai
Continental Slope. Pada Continental slope sering ditemui canyon/ ngarai /
submarine canyon, yang umumnya merupakan kelanjutan dari muara
sungai – sungai besar di pesisir.
Tipe sedimen utama sedimen pada zona bathyal merupakan
lempung biru, lempung gelap dengan butiran halus dan memiliki
kandungan karbonat kurang dari 30%.  Sedimen-sedimennya memiliki
jenis sedimen terrestrial, pelagis, atau autigenik (terbentuk ditempat).
Sedimen Terrestrial (terbentuk dari daratan) lebih banyak merupakan
lempung dan lanau, berwarna biru disebabkan karena akumulasi sisa-sisa
bahan organik dan senyawa ferro besi sulfida yang diproduksi oleh
bakteri, Sedimen terrestrial juga merupakan tipe sedimen yang paling
mendominasi. Sedimen terrigenous terbawa hingga ke zona bathyal
melalui arus sporadik turbiditi yang berasal dari wilayah yang lebih
dangkal. Saat material terrigenous langka, cangkang mikroskopis dari
fitoplankton dan zooplankton akan terakumulasi di dasar membentuk
sedimen authigenik.
Biota yang hidup pada bagian bentik zona bathyal antara lain spon,
brachiopod, bintang laut, echinoid, dan populasi pemakan sedimen
lainnya yang terdapat pada bagian sedimen terrigenous. Biasanya biota
yang hidup di zona ini memiliki metabolisme yang lamban karena

17
kebutuhan konservasi energi pada lingkungan yang minim nutrisi. Kecuali
pada laut yang sangat dalam, zona bathyal memanjang hingga ke zona
bentik pada dasar laut yang merupakan bagian dari continental slope yang
berada di kedalaman 1000 hingga 4000 meter.
3. Zona Abisal
Zona abisal memiliki kemiripan dengan lingkungan lumpur yang
ada pada zona litoral. Bebatuan yang digunakan sebagai substrat oleh
organisme sangat jarang diitemukan. Hewan bercangkang yang hidup di
zona ini cangkangnya cenderung tipis dan jik mati cangkang akan mudah
sekali terlarut atau tereduksi. Endapan plankton tidak ada karena sebelum
sampai di dasar sudah dii makan terlebih dahulu oleh organisme yang ada
pada lingkungan yang ada di atasnya (Romimohtarto, 2007).
Endapan yang ada berupa mineral bola-bola mangan dan tulang-
tulang telinga ikan paus dan gigi ikan hiu yang susah terlarut. Kondisinya
sangat berlumpur sehingga oksigen terlarut sangat sedikit sehingga
hewan-hewan pada daerah ini terpaksa menggunakan glikogen atau
pigmen-pigmen pernapasan sebagai sumber oksigen sementara. Namun
demikian, kondisi dasar laut abisal tidak semuanya memiliki kondisi yang
sama. Dasar lingkungan ini pada perairan dalam berupa endapan kapur
yang berasal dari kerangka Foraminifera, endapan silika, terutama dari
kerangka diatom, dan lempung merah di dasar yang lebih dalam dengan
tekana air yang cukup tinggi sehingga membuat zat-zat lain mudah
terlarut (Romimohtarto, 2007).

a. Tugas
1. Membentuk kelompok yang beranggotakan 10 orang masing-masing
kelompok
2. Membuat makalah tentang ruang lingkup budidaya perikanan
3. Setiap kelompok memilih salah satu tema ruang lingkup budidaya
perikanan.
b. Latihan Soal
1. Jelaskan ruang lingkup budidaya perikanan
2. Jelaskan definisi dari ekosistem dan sebutkan jenis-jenis ekosistem
perairan
3. Sebutkan sifat fisika dan kimia perairan

c. Rangkuman/Jawaban
Pengertian Ekosistem Akuatik Dan Jenisnya. Pada postingan
sebelumnya kami telah menjelaskan tentang Seputar Pengertian dan
Jenis Ekosistem. Berikut adalah penjelasan seputar pengertian
Ekosistem Akuatik dan jenis ekosistem akuatik.
Jenis ekosistem perairan : ekosistem air tawar, ekosistem air payau,
ekosistem air payau, ekosistem air laut.
Sifat fisika air terdiri dari : suhu, kecerahan, total dissolved solid,
Sifat kimia air terdiri dari : derajat keasaman (pH), Biochemical Oxigen
Demand, Chemical Oxigen Demand.
Topografi laut merupakan bentuk rupa bumi di wilayah atau dasar laut
yang terbentuk oleh berbagai faktor baik endogen maupun eksogen,
pemetaan menggunakan pengukuran tinggi muka laut relatif terhadap

18
geoid bumi digunakan untuk memetakkan arus laut, yang bergerak di
sekitar laut ‘bukit’ dan ‘lembah’ dengan cara yang dapat diprediksi. 1.
Continental Margin / Tepi Kontinen. dasar laut yang berdekatan
dengan benua. Bagian ini dibedakan atas 3 bagian, yaitu :

d. Umpan Balik

Cocokkan hasil jawaban dengan kunci yang terdapat di bagian


belakang modul ini.Hitung jawaban Anda yang benar.Kemudian
gunakan rumus untuk mengetahui tingkat pemahaman terhadap
materi
Jumlah Jawaban Benar
Tingkat Penguasaan = X 100%
Jumlah Keseluruhan Soal

Apabila tingkat pemahaman Anda dalam memahami materi yang


sudah dipelajari mencapai
91 % - 100% : Amat Baik
81 % -. 90,00 % : Baik
71 % - 80,99 % : Cukup
61 % - 70,99 % : Kurang

Bila tingkat pemahaman belum mencapai 81 % ke atas (kategori


“Baik”), maka disarankan mengulangi materi.

19

Anda mungkin juga menyukai