Anda di halaman 1dari 5

1. Dari tinjauan struktur sosial, jelaskan pengertian komunitas dan desa pada era kini?

Struktur sosial meurut Merton (Ritzer & Goodman, 2004) adalah serangkaian hubungan sosial
teratur yang memengaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan satu atau lain
cara. Ditinjau dari struktur sosial, komunitas adalah sekumpulan orang atau kelompk yang terdiri
dari suatu masyarakat yang saling berinteraksi dan bekerjasama dalam menjalankan fungsinya
demi mencapai tujuan bersama. Desa adalah komponen struktur sosial yang mewadahi terjadinya
interaksi sosial yang di dalamnya terikat norma dan nilai.

Menurut Koentjaraningrat (Zid, 2016) bahwa desa dimaknai sebagai suatu komunitas kecil yang
menetap tetap di suatu tempat. Hayami dan Kikuchi (Zid, 2016) bahwa desa sebagai unit dasar
kehidupan kelompok terkecil di Asia, dalam konteks ini “desa” dimaknai sebagai suatu “desa alamiah”
atau dukuh tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling
ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Sastramihardja (Zid, 2016) menyatakan bahwa
desa merupakan suatu sistem sosial yang melakukan fungsi internal yaitu mengarah pada
pengintegrasian komponen-komponennya, sehingga keseluruhannya merupakan satu sistem yang bulat
dan mantap. bahwa desa tidak semata-mata terikat pada pertanian, tetapi sebagai suatu kumpulan
komunitas yang memiliki ikatan warganya terhadap wilayah yang didiaminya (Murdiyanto, 2020).

Berdasarkan Undang-undang No. 5 th 1979, dan Undang-undang no 22 th 1999, desa didefinisikan


sebagi suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk
didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung
dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Murdiyanto, 2020).

Pada dasarnya komunitas itu mempunyai dua karakteristik yaitu adanya 1) ikatan kedaerahan, dan 2)
ikatan emosional di antara warganya. Pada pembahasan ini komunitas desa diartikan sebagai komunitas
kecil yang relatif masih bersahaja, yang masih jelas memiliki ketergantungan terhadap tempat tinggal
(lingkungan) mereka entah sebagai petani, nelayan atau yang lainnya (Zid, 2016).

Dalam konteks sosiologi, masyarakat yang memiliki ikatan kebersamaan dan ikatan terhadap wilayah
tertentu disebut sebagai suatu komunitas (Murdiyanto, 2020).

komunitas yang menurut Horto n(Murdiyanto, 2020) adalah suatu kelompok setempat atau local
dimana orang melaksanakan segenap kegiatan (aktivitas) kehidupannya.

2. Mengapa isu masalah yang dihadapi desa dan komunitas berkaitan dengan persoalan
struktural?Buat desa dan komunitas dalam menjadi dua lingkaran di dalam lingkaran
struktur, dan struktural lingkaran besar.
Tambahkan karakter komunitas desa di bukunya Zip dan Murdiyanto.
Hal ini dapat dijelaskan dalam pendapat Parson (Ritzer & Goodman, 2004) :
a. Sistem memiliki tatanan dan bagian-bagian yang tergantung satu sama lain
b. Sistem cenderung menjadi tatanan yang memelihara dirinya atau ekuilibrium
c. Sistem bisa jadi statis atau mengalami perubahan secara statis
d. Sifat satu bagian sistem berdampak pada kemungkinan bentuk bagian lain
e. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungan mereka
f. Alokasi dan integrasi adalah dua proses fundamental yang diperlukan bagi kondisi
ekuilibrium sistem
g. Sistem cenderung memelihara dirinya yang meliputi pemeliharaan batas dan
hubungan bagian-bagian dengan keseluruhan, kontrol variasi lingkungan, dan kontrol
kecendrungan untuk mengubah sistem dari dalam

3. Mengapa Prof Sajogyo berpendapat bahwa memahami komunitas desa di indonesia


dapat ditelaah dari kondisi budaya dan ekonomi?

(dinamika golongan lemah pedesaan refleksi atas kaya tulis dan pemikiran prof. Dr.
Sajogyo,oleh Prof Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro, 1991)
sajogyo berpendapat development sebagai perbaikan struktur sosial demikian rupa
sehingga golongan lemah yang bertambah baik kemandiriannya, kedudukannya maupun
nasibnya. Ketimpangan antar laposan dapat terjadi akibat pembangunan yang dari sudut
ekonomi politik lebih sering diartikan kemajuan fisik. Ada jenis-jenis hubungan sosial
yang tidak terutama dipengaruhi oleh untung atau mengefisienkan proses produksi.
Kekuasaan mencari kedudukan dan gengsi, meraih penghargaan dan memperbesar
kekuasaan adalah pertimbangan lain yang mendorong usaha manusia. Tujuan-tujuan
sosial dan ekonomi mengarahkan perilaku manusia dalam masayarakat sehinggga kedua
segi harus dihayati dalam saling kaitan erat.

(Amir Mahmud. (2019). REKONSTRUKSI PEMIKIRAN SAJOGYO TENTANG KEMISKINAN DALAM


PERSPEKTIF AGRARIA KRITIS. Jurnal Agraria dan Pertanahan, 5(1))
Relasi produksi dan sosial-budaya antar golongan petani dan ragam golongan “atas desa” dalam
struktur kemiskinan (Sajogyo 1992) sebagai sumber kemunculan dan dinamika golongan miskin.
Sebab, keberadaan pusat politik, pusat perdagangan dan pusat tenaga kerja telah
mempengaruhi masyarakat petani (Sajogyo 1992) sehingga menciptakan kemiskinan dalam
relasi kompetisi dan eksklusi pada suatu rentang waktu tertentu, dan pada suatu ruang geografis
beserta sumber agrarianya. Sitorus (1998) mulai menyusun proposisi sosiologi kemakmuran
sebagai bangunan sosiologi terapan mengacu pada gagasan sosiologis Sajogyo, yaitu:
kemakmuran/ kemiskinan sebagai konstruksi sosial yang bersifat struktural, keadilan alokasi
sumberdaya ekonomi, solidaritas sosial dalam gerakan sosial, dan pengembangan ruang
partisipasi yang setara.
Namun gambaran pelapisan sosial agraria ini bukan hanya suatu penggolongan “kelas statistik”
semata melainkan punya arti sosiologis (Sajogyo 1978). Petani gurem bukan semata merujuk
pada pembagian kelas luasan penguasaan lahan tapi juga posisi/ status sosial dalam komunitas
dan desa. Sebab posisi kelas sosial ini menjadi alat pemeriksa status kemiskinan ketimbang
berbasis penguasaan lahan semata .
Bila dirangkum secara sederhana, def inisi tentang penduduk miskin oleh Sajogyo berfokus pada
pekerjaan (berusaha dan bekerja), pendapatan (imbalan kerja) dan penggunaan pendapatan
untuk kebutuhan pokok, yang ketiganya tidak terpisahkan dari elemen kunci perspektif agraria
kritis

Arya Hadi Dharmawan. (2007). Sistem penghidupan dannafkah pedesaan: pandanan sosiologi
nafkah (livehood sociology) mazhab barat dan mahab bogor. Jurnal transdusiplin sosiologi,
komunikasi, dan ekologi manusia, 1(2)
Sajogyo ini concern dengan masalah sistem penghidupan pedesaan hingga mendapatkan gelar
bapak sosiologi pedesaan indonesia dan melahirkan mazhab bogor. Beberapa implikasi
persoalan strukturan pedesaan yaitu ketimpangan penguasaan sumber-sumber nafkah agraria
yang makin menajam, dan hilangnya berbagai sumber nafkah tradisi yang diikuti dengan
terbentuknya struktur-struktur nafkah baru yang tidak selalu memberikan kesempatan pada
peningkatan kesejahteraan petani atau lapisan miskin. Hal ini tidak terlepas dari distabilisasi
sistem sosial ekonnomu yang melanda pedesaan. Proses-proses adaptasi ekonomi dan ekologis
yang dibentuk oleh petani, rumah tangga, serta komunitas lokal sebagai upaya menyelaraskan
eksistensi mereka terhadap arus perubahan sosial, menghasilkan sejumlah gambaran dinamik
sistem penghidupan dan nafkah pedesaan.
Tradisi emikiran Sajogyo lebih ke aliran teori kritis yang bercirikan ke-kiria(pembelaan terhadap
lapisan miskin pedesaan sebagai kelompok yang termarjinalkan oleh pembangunan).
Investigasi akademik mazhab in lebih terdorong ke pemanfaatan lintas batas tradisi pemikiran
(selain modernisasi-pertumbuhan) dan boleh dikatakan sebagai aliram pos-developmentalisme.
Meski demikian, strukturalisme kontemporer atau tepatnya post-strukturalisme atau post-
developmentalisme tetap menjadi penciri penting cara pandang yang digunakan oleh Sjogyo dan
para muridnya dalam memahami dinamika pedesaan. Dalam mazhab bogor memandang posisi
strategis jaringan sosial asli atau tradisi sebagai basis nafkah pedesaan. Mazhab bogor
memandang bahwa modernitas pedesaan telah memberikan dampak tidak diinginkan berupa
ketimpangan akses terhadap sumber-sumber nafkah bagi masyarakat di pedesaan dan
lumpuhnya kelembagaan penjamin ketahan hidup asli. Mazhab bogor ingin memberikan
pemahaman betapa petani sesungguhnya selalu terkukung secara struktural oleh kekuatan-
kekuatan ekonomi olitik eksternal.
a. Mazhab bogor lahir sebagai respon aktif atas keprihatinan pada persoalan kemiskinan dan
kemunduran ekonomi pedesaan akibat tidak mampunya petani kecul beradaptasi dengan
proses modernisasi pertanian yang memerlukan modal besar.
b. Dalam konsep gagasannya mazhab bogor menggunakan tradisi pemikiran strukturalisme-
marxian dimana faktor-faktor sosial-ekonomi (lahan, kapital, jumlah tenaga kerja, struktur
rumah tangga) menjadi determinan penting.
c. Mazhab bogor bekerja berbasis pemahaman sosial ekonomi lokal, dimana penyelesaian
masalah yang di pedesaan seperti kemiskinan tetap berada pada koridor ekonomi tetapi
tetap mempertahankan kekhasan karakter komunitas asli.
Karakteristik sitem penghidupan komunitas di desa memiliki tiga elemen penting yaitu (1)
infrastruktur (kelembagaan dan tatanan norma sosial), (2) struktur sosial(lapisan sosial,
struktur agraria, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal,
pengetahuan lokal), (3) supra struktur sosial(idelogi,, etika-moral ekonomi, dan sistem nilai)

https://sajogyo-institute.org/mazhab-bogor/

Istilah Mazhab Bogor tercetus pada momen pendirian Yayasan Sajogyo Inside (kini Yayasan
Sajogyo Inti Utama) pada Maret 2005. Penyebutan istilah Mazhab Bogor tidak lepas dari
representasi 4 orang ilmuwan Bogor yang mengabdikan diri pada masalah-masalah pedesaan di
Indonesia, yaitu Prof. Dr. Sajogyo, Prof. Dr. Pudjiwati Sajogyo, Prof. Dr. Sediono M.P.
Tjondronegoro dan Dr. (HC) Gunawan Wiradi.

Pemikiran yang ditawarkan oleh Mazhab Bogor adalah berusaha untuk mengupas dan
memahami masalah-masalah di pedesaan dalam aspek sosial-ekonomi dan melalui analisis dan
disiplin keilmuan sosiologi. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman penelitian-aksi yang telah
dijalani oleh keempat tokoh tersebut di tahun 1960-an yang berkembang dalam penelitian lapang
Bimbingan Massal (BIMAS).  

Prinsip BIMAS (kelak menjadi landasan bagi kaji tindak partisipatif) adalah timbal balik dan
sinergitas antara praktek dan teori, menjadi praktek yang ber-teori. Caranya, mengirimkan
mahasiswa ke pedesaan (terutama di masa tanam penuh), mengajarkan ilmu yang mereka dapat
di perkuliahan sekaligus belajar dari petani, memperkenalkan teknik tanam baru,
menghubungkan antara aparat desa dan petani, lalu membawa pengalaman itu kembali ke
bangku kuliah.  

Mazhab Bogor sangat menekankan pada keterlibatan aktif dan kemandirian masyarakat desa dari
bawah (menghidupkan ‘tenaga dalam masyarakat’). Artinya, mengangkat harkat martabat
lapisan masyarakat paling bawah (paling rentan, paling miskin, paling termarjinalkan) adalah
misi dan inti paling utama dari pemikiran Mazhab Bogor.

Sikap pemikiran ini sangat tercermin pada kritik terhadap Revolusi Hijau pada dekade 1970-
1980. Kebijakan pembangunan pertanian di masa itu terlalu bias kelas petani atas dan orang-
orang kaya pedesaan dan meninggalkan lapisan bawah masyarakat pedesaan (petani gurem,
buruh tani, kaum perempuan desa). Sehingga, pola pembangunan tersebut dikritik
sebagai modernization without development.

Dari kritik-kritik terhadap kebijakan Revolusi Hijau, Mazhab Bogor mengetengahkan diskursus
kritis terhadap masalah-masalah pedesaan secara komprehensif dan tidak sepotong-sepotong.
Mengangkat harkat martabat masyarakat lapis paling bawah memerlukan pendekatan yang
menyeluruh dan tidak setengah-setengah.

Tidak hanya berbicara inovasi dan alih-teknologi, tidak hanya berbicara produktivitas dan jumlah
produksi pertanian, tidak hanya berbicara jumlah pendapatan uang semata, tetapi yang lebih
substantif dan vital seperti transformasi kelembagaan dan masyarakat desa, masalah-masalah
agraria (tanah sebagai sumber sosial ekonomi desa!), pelibatan berbagai elemen dan pihak di
desa (terutama perempuan, petani gurem dan buruh tani-tunakisma), masalah gizi dan pangan,
hingga keterkaitan antara on-farm dan off-farm.

Namun, di balik itu semua, kata kunci dalam transformasi pedesaan Indonesia adalah
restrukturisasi penguasaan sumber-sumber produksi desa, yaitu tanah (sumber-sumber agraria).

Anda mungkin juga menyukai