Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN

KEBUTUHAN OKSIGENASI PADA PASIEN PENYAKIT PARU


OBSTRUKSI KRONIS (PPOK) DI RUANG SUPERIOR
RS MITRA PLUMBON CIREBON

Disusun Oleh :

JUWITA SEPTIANI
NPM. 421J0051

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARDIKA CIREBON

2021/2022
A. Konsep Dasar Asuhan Kebutuhan Oksigenasi Pada Pasien PPOK
1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
a. Konsep Dasar Manusia

Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan


oleh manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun
psikologis yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan hidup dan
kesehatan. Teori hirarki kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan
Abraham Maslow mengembangkan bahwa setiap manusia memiliki
lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis (oksigen, cairan,
nutrisi, keseimbangan tubuh, eliminasi, tempat tinggal, istirahat dan
tidur, serta kebutuhan seksual), kebutuhan rasa aman dan perlindungan
terhadap ancaman, kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan
dimiliki, kebutuhan aktualisasi diri (Alimul Hidayat, 2019).

Kebutuhan oksigenasi adalah kebutuhan dasar manusia dalam


pemenuhan oksigenasi yang digunakan untuk kelangsungan
metabolism sel tubuh, mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai
organ atau sel (Potter dan Perry, 2009). Oksigenasi (O2) merupakan
gas yang sangat vital dalam kelangsungan hidup sel dan jaringan tubuh
karena oksigen diperlukan untuk proses metabolism tubuh secara
terus-menerus. Oksigenasi diperoleh dari atmosfer melalui proses
pernafasan. Pada atmosfer, gas selain oksigen juga terdapat karbon
dioksida (CO), nitrogen (N), dan unsure-unsur lain seperti argon dan
helium (Tarwoto dan Wartonah, 2017).

b. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan dasar manusia


Menurut Alimul Hidayat 2019 kebutuhan dasar manusia dipengaruhi
oleh berbagai faktor berikut:
1) Penyakit : adanya penyakit dalam tubuh dapat menyebabkan
perubahan kebutuhan, baik secara fisiologis maupun psikologis,
karena beberapa fungsi organ tubuh memerlukan pemenuhan
kebutuhan lebih besar dari biasanya.
2) Hubungan keluarga : hubungan keluarga yang dapat meningkatkan
pemenuhan kebutuhan dasar karena adanya saling percaya,
merasakan kesenangan hidup tidak ada rasa curiga dan lai-lain.
3) Konsep diri : konsep diri manusia memiliki peran dalam
pemenuhan kebutuhan dasar. Konsep diri yang positif memberikan
makna dan keutuhan (Wholeness) bagi seseorang. Konsep diri yang
sehat menghasilkan perasaan positif terhadap diri. Orang yang
merasa positif tentang dirinya akan mudah berubah, mudah
mengenali kebutuhan dan mengembangan cara hidup yang sehat,
sehingga mudah memenuhi kebutuhan dasarnya.
4) Tahap perkembangan : sejalan dengan meningkatkan usia, manusia
mengalami perkembangan. Setiap tahap perkembangan tersebut
memiliki kebutuhan yang berbeda, baik kebutuhan psikologis,
social, maupun spiritual, mengingat berbagai fungsi organ tubuh
juga mengalami proses kematangan dengan aktivitas yang berbeda.

2. Konsep Oksigenasi

a. Pengertian Oksigenasi

Oksigen merupakan gas yang sangat vital dalam kelangsungan hidup


sel dan jaringan tubuh karena oksigen diperlukan untuk proses
metabolisme tubuh secara terus menerus. Oksigen diperoleh dari
atmosfer melalui proses bernapas. Di atmosfer, gas selain oksigen juga
terdapat karbon dioksida, nitrogen, dan unsur-unsur lain seperti argon
dan helium (Tarwoto & Wartonah, 2019).

Pemenuhan kebutuhan oksigenasi tubuh sangat ditentukan oleh


adekuatnya system pernafasan, system kardiovaskuler, dan system
hematologi. System pernafasan atau respirasi berperan dalam
menjamin ketersediaan oksigen untuk kelangsungan metabolism sel-
sel tubuh dan pertukaran gas. System kardiovaskuler berperan dalam
proses transportasi oksigen melalui aliran darah dan system hematologi
yaitu sel darah merah yang sangat berperan dalam oksigenasi karena di
dalamnya terdapat hemoglobin yang mampu mengikat oksigen
(Tarwoto & Wartonah, 2017).

Kebutuhan oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang


digunakan untuk kelangsungan metabolism sel tubuh,
mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ atau sel (Alimul,
2009). Kebutuhan tubuh terhadap oksigen merupakan kebutuhan yang
sangat mendasar dan mendesak. Tanpa oksigen dalam waktu tertentu,
sel tubuh akan mengalami kerusakan yang menetap dan menimbulkan
kematian. Otak merupakan organ yang sangat sensitif terhadap
kekurangan oksigen. Otak masih mampu menoleransi kekurangan
oksigen antara tiga sampai lima menit. Apabila kekurangan oksigen
berlangsung lebih dari lima menit, dapat terjadi kerusakan sel otak
secara permanen (Kozier dan Erb dalam Asmadi 2018).

b. Proses Oksigenasi

Menurut Alimul Hidayat 2019 mengatakan proses pemenuhan


kebutuhan oksigenasi tubuh terdiri atas tiga tahap, yaitu ventilasi,
difusi gas, dan transportasi gas.
1) Ventilasi
Ventilasi merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari
atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Proses
ventilasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
a) Adanya perbedaan tekanan antara atmosfer dengan paru,
semakin tinggi tempat maka tekanan udara semakin rendah,
demikian sebaliknya, semakin rendah tempat tekanan udara
semakin tinggi.
b) Adanya kemampuan toraks dan paru pada alveoli dalam
melaksanakan ekspansi atau kembang kempis.
c) Adanya jalan napas yang dimulai dari hidung hingga alveoli
yang terdiri atas berbagai otot polos yang kerjanya sangat
dipengaruhi oleh sistem saraf otonom (terjadinya rangsangan
simpatis dapat menyebabkan relaksasi sehingga vasodilatasi
dapat terjadi, kerja saraf parasimpatis dapat menyebabkan
kontraksi sehingga vasokontriksi atau proses penyempitan
dapat terjadi).
d) Refleks batuk dan muntah
e) Adanya peran mukus siliaris sebagai barier atau penangkal
benda asing yang mengandung interveron dan dapat mengikat
virus. Pengaruh proses ventilasi selanjutnya adalah complience
dan recoil. Complience merupakan kemampuan paru untuk
mengembang. Kemampuan ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor, yaitu adanya surfaktan yang terdapat pada lapisan
alveoli yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan
adanya sisa udara yang menyebabkan tidak terjadinya kolaps
serta gangguan toraks. Surfaktan diproduksi saat terjadi
peregangan sel alveoli dan disekresi saat kita menarik napas,
sedangkan recoil adalah kemampuan mengeluarkan CO2 atau
kontraksi menyempitnya paru. Apabila complience baik namun
recoil terganggu, maka CO2 tidak dapat keluar secara
maksimal. Pusat pernapasan, yaitu medula oblongata dan pons,
dapat memengaruhi proses ventilasi, karena CO2 memiliki
kemampuan merangsang pusat pernapasan. Peningkatan CO2
dalam batas 60 mmHg dapat merangsang pusat pernapasan dan
bila pCO2 kurang dari sama dengan 80 mmHg dapat
menyebabkan depresi pusat pernapasan.
2) Difusi Gas
Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen di alveoli dengan
kapiler paru dan CO2 di kapiler alveoli. Proses pertukaran ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luasnya permukaan paru,
tebal membran respirasi/ permeabilitas yang terdiri atas epitel
alveoli dan interstitial (keduanya dapat memengaruhi proses difusi
apabila terjadi proses penebalan), perbedaan tekanan dan
konsentrasi O2 (hal ini sebagaimana O2 dari alveoli masuk ke
dalam darah oleh karena tekanan O2 dalam rongga alveoli lebih
tinggi dari tekanan O2 dalam darah vena pulmonalis masuk dalam
darah secara difusi), pCO2 dalam arteri pulmonalis akan berdifusi
ke dalam alveoli, dan afinitas gas (kemampuan menembus dan
saling mengikat hemoglobin).

3) Transportasi Gas
Transportasi gas merupakan proses pendistribusian O2 kapiler ke
jaringan tubuh dan CO2 jaringan tubuh ke kapiler. Pada proses
transportasi, O2 akan berikatan dengan Hb membentuk
oksihemoglobin (97%) dan larut dalam plasma (3%), sedangkan
CO2 akan berikatan dengan Hb membentuk karbominohemoglobin
(30%), larut dalam plasma (5%), dan sebagian menjadi HCO3
yang berada dalam darah (65%). Transportasi gas dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu curah jantung (cardiac
output), kondisi pembuluh darah, latihan (exercise), perbandingan
sel darah dengan darah secara keseluruhan (hematokrit), serta
eritrosit dan kadar Hb. (Alimul Hidayat, 2009).

c. Terapi Oksigenasi

Terapi oksigen pertama kali dipakai dalam bidang kedokteran pada


tahun 1800 oleh Thomas Beddoes, kemudian dikembangkan oleh
Alvan Barach pada tahun 1920 untuk pasien dengan hipoksemia dan
penyakit paru obstrukif kronik. Terapi oksigen adalah pemberian
oksigen lebih dari udara atmosfer atau FiO2 > 21%. Tujuan terapi
oksigen adalah mengoptimalkan oksigenasi jaringan dan mencegah
asidosis respiratorik, mencegah hipoksia jaringan, menurunkan kerja
napas dan kerja otot jantung, serta memperthankan PaO2 > 60 mmHg
atau SaO2 > 90%. (Tarwoto & Wartonah, 2015).

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2018), Pemberian oksigen atau terapi


oksigen dapat dilakukan melalui metode berikut ini :
1) Sistem aliran rendah
Pemberian oksigen dengan mengggunakan system ini ditujukan
pada pasien yang membuthkan oksigen tetapi masih mampu
bernapas normal. Contih pemberian oksigen dengan aliran rendah
adalah sebagai berikut :
a) Nasal kanula, diberikan dengan kontinu aliran 1-6 liter/menit
dengan konsentrasi oksigen 24-44%.
(1) Keuntungan : toleransi klien baik, pemasangannya mudah,
klien bebas untuk makan dan minum, harga lebih murah
(Asmadi, 2008).
(2) Kerugian : mudah lepas, tidak dapat memberikan
konsentrasi oksigen lebih dari 44%, suplai oksigen
berkurang bila klien bernapas dari mulut, mengiritasi
selaput lender, nyeri sinus (Asmadi, 2008).
b) Sungkup muka sederhana (simple mask), diberikan kontinu atau
selang-seling 5-10 liter/menit dengan konsentrasi oksigen 40-
60%.
(1) Keuntungan : konsentrasi oksigen yang diperoleh lebih
tinggi dari nasal kanula, system humidifikasi dapat
ditingkatkan (Asmadi, 2008).
(2) Kerugian : umumnya tidak nyaman bagi klien, membuat
rasa panas, sehingga mengiritasi mulut dan pipi, aktivitas
makan dan bicara terganggu, dapat menyebabkan mual dan
muntah sehingga dapat menyebabkan aspirasi, jika aliran
rendah dapat menyebabkan penumoukan karbondioksida
(Asmadi, 2008).
c) Sungkup muka dengan kantong rebreathing. Sungkup ini
memiliki kantong yang terus mengembang baik pada saat
inspirasi dan ekspirasi. Pada saat pasien inspirasi, oksigen
masuk dari sungkup melalui lubang antara sungkup dan
kantong reservoir, ditambah oksigen dari udara kamar yang
masuk dalam lubang ekpirasi pada kantong. Aliran oksigen 8-
12 liter/menit, dengan konsentrasi 60- 80%.
(1) Keuntungan : konsentrasi oksigen lebih tinggi dari sungkup
muka sederhana, tidak mengeringkan selaput lender
(Asmadi, 2008).
(2) Kerugian : kantong oksigen bisa terlipat, menyebabkan
penumpukan oksigen jika aliran lebih rendah (Asmadi,
2008).
d) Sungkup muka dengan kantong non-rebreathing. Sungkup ini
mempunyai 2 katup; 1 katup terbuka pada saat inspirasi dan
tertutup pada saat ekspirasi, dan 1 katup yang fungsinya
mencegah udara kamar masuk pada saat inspirasi dan akan
membuka pada saat ekspirasi. Pemberian oksigen dengan aliran
10-12 liter/menit, konsentrasi oksigen 80-100%.
(1) Keuntungan : konsentrasi oksigen yang diperoleh hampir
100% karena adanya katup satu arah antara kantong dan
sungkup sehingga kantong mengandung konsentrasi
oksigen yang tinggi dan tidak tercampur dengan udara
ekspirasi, dan tidak mengeringkan selaput lender (Asmadi,
2008).
(2) Kerugian : kantong oksigen bisa terlipat, berisiko untuk
terjadinya keracunan oksigen, serta tidak nyaman bagi klien
(Asmadi, 2008).
2) Sistem Aliran Tinggi

Sistem ini memungkinkan pemberian oksigen dengan FiO2 lebih


stabil dan tidak terpengaruh oleh tipe pernapasan, sehingga dapat
menambah konsentrasi oksigen yang lebih tepat dan teratur.
Contoh dari system aliran tinggi adalah dengan ventury mask atau
sungkup muka dengan ventury dengan aliran sekitar 2-15
liter/menit. Prinsip pemberian oksigen dengan ventury adalah
oksigen yang menuju sungkup diatur dengan alat yang
memungkinkan konsentrasi dapat diatur sesuai dengan warna alat,
misalnya: warna biru 24%, putih 28%, jingga 31%, kuning 35%,
merah 40%, dan hijau 60%. (Tarwoto & Wartonah, 2015).

d. Faktor – faktor yang mempengaruhi fungsi pernafasan

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2018) banyak faktor yang


mempengaruhi fungsi pernafasan misalnya yang berkaitan dengan
kemampuan ekspansi paru dan diafragma, kemampuan transportasi
atau perfusi. Faktor – faktor tersebut diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Posisi tubuh
Pada keadaan duduk atau berdiri pengembangan paru dan
pergerakan diafragma lebih baik dari pada posisi datar atau
tengkurap sehingga pernafasan lebih mudah. Ibu hamil atau tumor
abdomen dan makan sampai kenyang akan menekan diafragma ke
atas sehingga pernafasan lebih cepat.
2. Lingkungan
Oksigen di atmosfer sekitar 21 %, namun keadaan ini tergantung
dari tempat atau lingkungannya, contohnya : pada tempat yang
tinggi, dataran tinggi, dan daerah kutub akan membuat kadar
oksigen menjadi kurang, maka tubuh akan berkompentensasi
dengan meningkatkan jumlah pernafasan. Lingkungan yang panas
juga akan meningkatkan pengeluaran oksigen.
3. Polusi udara
Polusi udara yang terjadi baik karena industry maupun kendaraan
bermotor berpengaruh terhadap kesehatan paru-paru dan kadar
oksigen karena mengandung karbon monoksida yang dapat
merusak ikatan oksigen dengan hemoglobin.
4. Zat allergen
Beberapa zat allergen dapar mempengaruhi fungsi pernafasan,
seperti makanan, zat kimia, atau benda sekitar yang kemudian
merangsang membrane mukosa saluran pernafasan sehingga
mengakibatkan vasokontriksi atau vasodilatasi pembuluh darah,
seperti pada pasien asma.
5. Gaya hidup dan kebiasaan
Kebiasaan merokok dapat menyebabkan penyakit pernafasan
seperti emfisema, bronchitis, kanker, dan infeksi paru lainnya.
Penggunaan alcohol dan obat-obatan mempengaruhi susunan saraf
pusat yang akan mendepresi pernafasan sehingga menyebabkan
frekwensi pernafasan menurun.
6. Nutrisi
Nutrisi mengandung unsure nutrient sehingga sumber energy dan
untuk memperbaiki sel-sel yang rusak. Protein berperan dalam
pembentukan hemoglobin yang berfungsi mengikat oksigen untuk
disebarkan ke seluruh tubuh. Jika hemoglobin berkurang atau
anemia, maka pernafasan akan lebih cepat sebagai kompensasi
untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
7. Peningkatan aktivitas tubuh
Aktivitas tubuh membutuhkan metabolism untuk menghasilkan
energy. Metabolism membutuhkan oksigen sehingga peningkatan
metabolism akan meningkat kebutuhan lebih banyak oksigen.
8. Gangguan pergerakan paru
Kemampuan pengembangan paru juga berpengaruh terhadap
kemampuan kapasitas dan volume paru. Penyakit yang
mengakibatkan gangguan pengembangan paru di antaranya adalah
pneumotoraks dan penyakit infeksi paru menahun.
9. Obstruksi saluran pernafasan
Obstruksi saluran pernafasan seperti pada penyakit asma dapat
menghambat aliran udara masuk ke paru-paru
Menurut Alimul Hidayat (2019) mengatakan faktor – faktor yang
mempengaruhi kebutuhan oksigenasi sebagai berikut:
1. Saraf otonomik
Rangsangan meningeal dan parasimpatik dari saraf otonomis dapat
mempengaruhi kemampuan untuk dilatasi dan konstruksi. Hal ini
dapat terlihat simpatis maupun parasimpatis. Ketika terjadi
rangsangan, ujung saraf dapat mengeluarkan neurotransmitter
(untuk simpais dapat mengeluarkan noradrenalin yang berpengaruh
pada bronkodilatasi dan untuk parasimpatis mengeluarkan
asetikolin yang berpengaruh pada bronkhokontriksi). Karena pada
saluran pernafasan terdapat reseptor adrenergic dan reseptor
koligenik.
2. Hormone dan obat
Semua hormone termasuk derivate catecholamise dapat
melebarkan saluran pernafasan. Obat yang tergolong parasimpatis,
seperti sulfas atropine dan ekstrak belladonna, dapat melebarkan
saluran pernafasan. Sedangkan obat yang menghambat adregenik
tipe beta (khususnya beta-2), seperti obat yang tergolong penyakat
beta nonselektif, dapat memepersempit saluran pernafasan
(Bronkhokontriksi).
3. Alergi pada saluran pernafasan
Banyak faktor yang dapat menimbulkan alergi, antara lain debu
yang terdapat dalam hawa pernafasan, bulu binatang, serbuk
benang sari bunga, kapuk, makanan, dan lain-lain. Faktor – faktor
ini menyebabkan bensin bila terdapat rangsangan di daerah nasal:
batuk bila di saluran pernafasan bagian atas, bronkhokotriksi pada
asma bronkhiale dan rhinitis bila terdapat di saluran pernafasan
bagian bawah.
4. Perkembanga
Tahap perkembangan anak dapat mempengaruhi jumlah kebutuhan
oksigenasi, karena usia organ dalam tubuh berkembang seiring usia
perkembangan. Hal ini dapat terlihat pada bayi usia premature,
yaitu adanya kecenderungan kekurangan pembentukan surfaktan.
Setelah anak tumbuh dewasa, kemampuan kematangan organ juga
berkembang seiring bertambahnya usia.
5. Lingkungan
Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi kebutuhan oksigen
seperti faktor alergi, ketinggian tanah, dan suhu. Kondisi tersebut
mempengaruhi kemampuan adaptasi.
6. Perilaku
e. Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada pasien PPOK

Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan

secara rawat jalan atau rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU

(PDPI, 2019).

1) Bronkodilator : Albuaterol (proventil, ventolin), isoetarin

(bronkosol, bronkometer)

2) Terapi Oksigen : Sesuai indikasi hasil AGD dan toleransi klien.

Terapi oksigen dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat.

a) Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul

sesak yang disebabkan pertambahan aktivitas.

b) Pada PPOK derajat berat yaitu terapi oksigen di rumah pada waktu

aktivitas atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur,

dosis oksigen yang diberikan tidak lebih dari 2 liter/menit.

3) Ventilasi Mekanik

4) Bantu pengobatan pernafasan (Fisioterapi dada)

Menurut Alimul Aziz (2019) Fisioterapi dada merupakan tindakan

keperawatan yang dilakukan dengan cara postural drainase, clapping,

dan vibrating pada pasien dengan gangguan system pernapasan.


Tindakan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pola pernapasan

dan membersihkan jalan napas.

a) Postural drainase : tindakan memiringkan tubuh pasien ke arah kiri

dan ke arah kanan untuk membersihkan paru bagian kiri dan kanan.

Memiringkan tubuh pasien ke kiri dan tubuh bagian belakang

kanan disokong dengan satu bantal untuk membersihkan bagian

lobus tengah. Tindakan postural drainase dilakukan kurang lebih

10-15 menit dan observasi tanda vital selama prosedur.

b) Clapping : clapping dilakukan dengan cara kedua tangan menepuk

punggung pasien secara bergantian untuk merangsang terjadinya

batuk. Apabila pasien batuk, anjurkan untuk menampung lender

pada pot sputum, clapping dilakukan dengan hingga lendir bersih.

c) Vibrating : vibrating dilakukan dengan cara anjurkan pasien untuk

menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara perlahan.

Kedua tangan perawat diletakkan dibagian atas samping depan

cekungan iga, kemudian digetarkan secara perlahan, dan lakukan

berkali-kali hingga pasien terbatuk. Bila pasien terbatuk hentikan

sebentar dan anjurkan pasien mengeluarkan lendir dan

manmpungnya di pot sputum, vibrating dilakukan sampai lendir

bersih.

3. Konsep PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)


a. Pengertian PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)
PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) adalah penyakit kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat
progresif nonreversible atau reversible parsial. PPOK (Penyakit Paru
Obstruksi Kronik) terdiri dari Bronkitis kronis dan emfisema atau
gabungan keduanya (PDPI 2017)

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) telah


merumuskan definisi dari PPOK yaitu penyakit yang dapat diobati dan
dicegah, ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang
biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi jalan nafas
dan paru-paru akibat partikel berbahaya atau gas (GOLD, 2017).

PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)adalah penyakit yang ditandai


dengan hambatan aliran udara di saluran pernafasan yang tidak
sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun atau berbahaya (KEMENKES RI No. 1022/menkes/sk/xi/2018
tentang pedoman pengendalian penyakit paru obstruksi kronis, 2018).

PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) adalah penyakit kronis saluran


pernafasan yang ditandai dengan hambatan aliran udara khusunya
ekspirasi dan bersifat progresif lambat. Semakin lambat (semakin lama
dan semakin memburuk). Disebabkan oleh pejanan resiko seperti merokok
dan polusi usdara di dalam maupun di luar ruangan.

Penyakit paru-paru obstrutif kronis/PPOK merupakan suatu istilah yang


sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung
lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Irman, 2019).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu kelompok


penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten
dari jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
bronchitis, emfisema paru, asma terutama yang menahun, bronkiektasis
(Murwani, 2011).
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah jumlah gangguan yang

mempengaruhi pergerakan udara dan keluar paru. Gangguan yang penting

adalah bronchitis obstruktif, efisema dan asma bronchial (Arif Muttaqin,

2018).

b. Etiologi PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

Menurut GOLD (2017), Faktor resiko penyakit paru obstruktif kronis


sebagai berikut :
a. Pajanan dari Partikel
1) Merokok : merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95%
kasus) di Negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami
hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Perokok pasif
juga menyumbang symptom saluran napas dan PPOK dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan
gas-gas berbahaya.
2) Polusi; Indoor, polutan indoor yang penting anatara lain SO2 NO2
dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan,
zat-zat organic yang menguap dari cat, karpet, bahan percetakan
dan alergi dari gas dan hewan peliharaan.
3) Polusi; Outdoor, peningkatan kendaraan sepeda motor di jalan raya
meneyebabkan peningkatan polusi udara yang dapat memicu
terjadinya PPOK b. Genetik Defisiensi Alpha 1-antitrypsin, factor
resiko dari genetic memberikan konstribusi 1-3% pada pasien
PPOK. c. Riwayat infeksi saluran pernapasan berulang

c. Manifestasi Klinis PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

Menurut GOLD (2017), mengatakan manifestasi klinis penyakit paru


obstruktif kronis sebagai berikut :
a. Dyspnea
Dyspnea gejala kardinal PPOK, merupakan penyebab utama kecacatan
dan kecemasan terkait dengan penyakit klien PPOK yang khas
menggambarkan dyspnea mereka sebagai rasa peningkatan usaha
bernapas, berat, kelaparan udara, atau terengah-engah.
b. Batuk
Batuk kronis seringkali gejala pertama dari PPOK, sebagai
konsekuensi dari merokok atau paparan lingkungan. Awalnya, batuk
mungkin intermiten, tetapi kemudian hadir setiap hari, sering
sepanjang hari. Batuk kronis pada PPOK dapat menjadi produktif.
c. Produksi Sputum
Klien PPOK umumnya meningkatkan jumlah kecil dari sputum setelah
serangan batuk. Produksi reguler dari sputum selama 3 bulan atau
lebih dalam 2 tahun berturut-turut. Produksi sputum seringkali sulit
untuk mengevaluasi karena pasien mungkin menelan dahak daripada
meludahkan. Kehadiran sputum purulen mencerminkan peningkatan
mediator inflamasi, dan perkembangannya dapat mengidentifikasi
timbulnya eksaserbasi bakteri.
d. Mengi dan Dada Sesak
Mengi dan sesak dada adalah gejala tidak spesifik yang mungkin
berbeda antara hari, dan selama satu hari. Mengi terdengar mungkin
timbul pada tingkat laring dan tidak perlu disertai kelainan auskultasi.
Atau, inspirasi luas atau mengi ekspirasi dapat hadir dengan
mendengarkan dada. Dada sesak sering mengikuti tenaga, berotot
dalam karakter, dan mungkin timbul dari kontraksi isometrik otot
interkostal. Tidak adanya mengi atau sesak dada tidak mengecualikan
diagnosis PPOK, juga tidak adanya gejala ini mengkonfirmasikan
diagnosis asma.
e. Fitur tambahan di Penyakit berat
Kelelahan, penurunan berat badan dan anoreksia adalah masalah
umum pada pasien dengan PPOK berat dan sangat berat.
d. Patofisiologi PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

Obstruksi jalan napas menyebabkan reduksi aliran udara yang beragam


bergantung pada penyakit. Penyakit bronchitis kronis dan bronkhiolitis,
terjadi penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak sehingga
menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran
oksigen dan karbon dioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang
disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru. Pada asma jalan
napas bronchial menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir ke
dalam paru.

Penyakit paru obstruktif kronis dianggap sebagai penyakit yang


berhubungan dengan interaksi genetik dengan lingkungan. Merokok,
polusi udara dan paparan di tempat kerja (terhadap batu bara, kapas, dan
padi-padian) merupakan faktor resiko penting yang menunjang terjadinya
penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20-30 tahun.
Penyakit paru obstruktif kronis juga ditemukan terjadi pada individu yang
tidak mempunyai enzim yang normal untuk mencegah penghancuran
jaringan paru oleh enzim tertentu.

Penyakit paru obstruktif kronis merupakan kelainan dengan kemajuan


lambat yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menujukkan
awitan (onset) gejala klinisnya seperti kerusakan fungsi paru. Penyakit
paru obstruktif kronis dapat dapat memperburuk perubahan fisiologi yang
berkaitan dengan penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan napas
misalnya pada bronchitis serta kehilangan daya pengembangan (elastisitas)
paru misalnya pada emfisema. Oleh karena itu terdapat perubahan
tambahan dalam rasio ventilasi perfusi pada klien lansia dengan penyakit
paru obstruktif kronis (Arif Muttaqin, 2018).
e. Klasifikasi PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease


(GOLD) 2014, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut.
a. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri :
Normal
b. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi
sputum. Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1. Spirometri
: FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
c. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi
sputum, sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri : FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%.
d. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4, Eksaserbasi lebih
sering terjadi. Spirometri : FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%.
e. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik disertai
komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri
FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.

f. Komplikasi PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

Menurut Irman (2019), komplikasi yang ditimbulkan pada klien dengan


penyakit paru obstruktif kronis sebagai berikut :
a. Hipoksemia
Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul
sianosis.
b. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda
yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi, dizziness, dan
takipnea.
c. Infeksi respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus dan rangsangan otot polos bronchial serta edema mukosa.
Terbatasanya aliran udara akan menyebabkan peningkatan kerja napas
dan timbulnya dispnea.
d. Gagal jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada klien dengan dispnea berat.
e. Kardiak disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratori.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan,
dan sering kali tidak berespon terhadap terapi yang diberikan.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan


Oksigenasi Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis
1. Pengkajian Keperawatan

Menurut Alimul Hidayat (2019) dan Arif Muttaqin (2018) pengkajian


keperawatan pada gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi adalah
sebagai berikut:
a. Riwayat Pengkajian
Pengkajian riwayat keperawatan pada masalah kebutuhan oksigen
pada pasien PPOK meliputi:
1) Ada tidaknya riwayat merokok dan riwayat batok kronis.
Bertempat tinggal atau bekerja diarea dengan polusi udara berat.
2) Adanya riwayat atau factor pencetus eksaserbasi yang meliputi
allergen, stress emosional, peningkatan aktifitas fisik yang
berlebihan, serta infeksi saluran pernafasan.
3) Pada pengkajian ditemukan pasien anoreksia, penurunan berat
badan, dan kelemahan adalah hal yang umum terjadi.
4) Pada tahap pengkajian lanjut ditemukan pasien sesak nafas,
didapatkan kadar oksigen rendah (hipoksemia) dan karbon
dioksida yang tinggi (hiperkapnea). Pasien rentan terhadap reaksi
inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi. Setelah infeksi
terjadi, pasien mengalami mengi yang berkepanjangan saat
ekspirasi.
b. Pola Batuk dan Produksi Spontan
Pengkajian pada pola batuk dilakukan dengan cara menilai batuk
termasuk batuk kering, keras, dan kuat dengan suara mendesing.
Pengkajian juga dilakukan klien mengalami sakit pada tenggorokan
saat batuk kronis dan produktif serta saat dimana klien sedang makan,
merokok, atau saat malam hari. Pengkajian terhadap lingkungan,
tempat tinggal klien (berdebu, penuh asap, dan adanya kecendrungan
mengakibatkan alergi) perlu dilakukan. pengkajian sputum dilakukan
dengan cara memeriksa warna, kejernihan, dan apakah bercampur
darah terhadap sputum yang dikeluarkan oleh klien.
c. Pengkajian fisik

Menurut Arif Muttaqin (209) mengatakan sebagai berikut :


1) Inspeksi
Menetukan tipe jalan nafas, seperti menilai nafas spontan melalui
hidung, mulut, oral, nasal, kemudian menentukan status kondisi
seperti kebersihan, ada atau tidaknya secret, perdarahan, bengkak
atau obstruksi mekanik.
a. Menentukan tipe jalan napas, seperti menilai napas spontan
melalui hidung, mulut, oral, nasal, kemudian menentukan
status kondisi seperti kebersihan, ada atau tidaknya secret,
perdarahan, bengkak, atau obstruksi mekanik.
b. Penghitungan frekuensi pernapasan; frekuensi pernapasan
dalam waktu satu menit. Pada pasien PPOK terlihat adanya
usaha dan peningkatan frekuensi pernapasan.
c. Pemeriksaan sifat pernapasan. Pasien PPOK terlihat
penggunaan otot bantu napas (sternokleidomastoid).
d. Pengkajian irama pernapasan. Pada pasien PPOK terlihat
bentuk dada barrel chest akibat udara yang terperangkap,
penipisan masa otot, bernapas dengan bibir yang dirapatkan,
dan pernapasan abnormal yang tidak efektif.
e. Pengkajian terhadap dalam/dangkalnya pernapasan. Pasien
PPOK ditemukan adanya dispnea terjadi saat beraktivitas
bahkan pada saat aktivitas kehidupan sehari-hari
2) Palpasi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi kelainan seperti nyeri
tekan yang dapat timbul akibat luka, peradangan setempat,
metastasis tumor ganas, pleuritis, atau pembengkakan dan benjolan
pada dada. Melalui palpasi dapat diteliti gerakan dinding thoraks
pada saat inspirasi dan ekspirasi terjadi. Palpasi pada pasien
dengan PPOK yaitu ekspansi meningkat dan taktil fremitus
biasanya menurun.
3) Perkusi
Pengkajian ini bertujuan untuk menilai normal atau tidaknya suara
perkusi paru. Terdapat beberapa suara perkusi sebagai berikut:
a) Sonor, bunyinya seperti kata “dug-dug”.
b) Redup, dianggap sebagai suara tidak normal
c) Pekak, adalah suara yang terdengar seperti memperkusi paha,
terdapat pada rongga pleura yang berisi nanah, tumor pada
permukaan paru.
d) Hipersonor, bunyi perkusi apabila udara relative lebih padat,
ditemukan pada emfisema dan pneumonotoraks.
e) Timpani, bunyinya seperti ucapan “dang-dang”. Suara ini
menunjukkan bahwa di bawah tempat yang diperkusi terdapat
penimbunan udara, seperti pada pneumonotoraks.
Perkusi pada pasien PPOK didapatkan suara normal sampai
hipersonor sedangkan diafragma mendatar atau menurun.
4) Auskultasi
Pengkajian ini untuk menilai adanya suara napas, di antaranya
adalah suara napas dasar dan suara napas tambahan.
1) Suara napas dasar
Merupakan suara napas pada orang dengan paru yang sehat,
seperti :
a) Vesikuler, adalah ketika suara inspirasi lebih keras dan lebih
tinggi nadanya. Suara vesikuler dapat didengar pada
sebagian paru.
b) Bronkhial, suara yang didengar pada waktu inspirasi dan
ekspirasi, bunyinya bisa sama atau lebih panjang, antara
inspirasi dan ekspirasi terdengar jarak pause yang jelas.
Suara bronchial terdengar di daerah trakea dekat bronkus,
dalam keadaan tidak normal bisa terdengar seluruh daerah
paru.
c) Bronkovaskular, suara yang terdengar antara vesikuler dan
bronchial, ketika ekspirasi menjadi lebih panjang, hingga
hampir menyamai inspirasi. Suara ini lebih jelas terdengar
pada manubrium sterni. Pada keadaan tidak normal juga
terdengar pada daerah lain dari paru.
2) Suara napas tambahan
Merupakan suara yang terdengar pada dinding thoraks berasal
dari kelainan
dalam paru, termasuk bronkus, alveoli, dan pleura. Suara
tambahan seperti :
a) Ronkhi, yaitu suara yang terjadi dalam bronchi karena
penyempitan lumen bronkus.
b) Mengi (wheezing), yaitu ronkhi kering yang tinggi, terputus
nadanya, dan panjang, terjadi pada asma.
c) Ronkhi basah, yaitu suara berisik yang terputus akibat
aliran udara yang melewati cairan (ronkhi basah, halus,
sedang, atau kasar tergantung pada besarnya bronkus yang
terkena dan umumnya terdengar pada inspirasi).
d) Krepitasi, adalah suara seperti hujan rintik-rintikyang
berasal dari bronkus, alveoli, atau kavitasi yang
mengandung cairan.
a) Krepitasi halus menandai adanya eksudat dalam alveoli
yang membuat alveoli saling berlekatan.
b) Krepitasi kasar, terdengar seperti suara yang timbul bila
meniup dalam air. Suara ini terdengar selama inspirasi
dan ekspirasi. Gejala ini dijumpai pada bronchitis.
Pada pasien PPOK sering didapatkan adanya bunyi napas
ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruksi pada
bronkiolus.
d. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium seperti Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit
(Ht) meningkat. Jumlah eritrosit meningkat, eosinofil dan total IgE
serum meningkat. Pulse Oksimetri, SaO2 oksigenasi menurun.

e. Pemeriksaan diagnostic
1) Radiologi Thoraks foto (AP dan lateral)
Menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan
bendungan area paru. Pada emfisema paru didapatkan diafragma
dengan letak yang rendah dan mendatar.
2) Bronkografi
Menunjukkan dilatasi bronkus, kolap bronkhiale pada ekspirasi
kuat.
3) Pengukuran Fungsi Paru
Kapasitas inspirasi menurun, volume residu meningkat pada
emfisema, bronchitis, dan asma.
4) Analisa Gas Darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma.
Nilai pH normal, asidosis, alkalosis, respiratorik ringan sekunder.
5) Angiografi
Pemeriksaan ini untuk membantu menegakkan diagnosis tentang
keadaan paru, emboli atau tumor paru, aneurisma, emfisema,
kelainan congenital.
6) Radio Isotop
Bertujuan untuk menilai lobus paru, melihat adanya emboli paru.
Ventilasi scanning untuk mendeteksi ketidaknormalan ventilasi,
misalnya pada emfisema.

2. Kemungkinan Diagnosa keperawatan pada pasien PPOK

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada gangguan pemenuhan


kebutuhan oksigenasi pada pasien dengan peyakit paru obstruktif kronis
menurut standar intervensi keperawatan indonesia adalah sebagai berikut :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan :
1) Lingkungan: perokok, perokok pasif, terpajan asap.
2) Obstruksi jalan napas: adanya jalan napas buatan, benda asing
dalam jalan napas, eksudat dalam alveoli, mucus belebihan,
penyakit paru obstruktif kronis, sekresi yang tertahan, spasme jalan
napas.
3) Fisiologis: asma, infeksi, jalan napas alergik.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi, perubahan membrane alveolar-kapiler.
c. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi,
keletihan otot pernapasan, sindrom hipoventilas.
3. Intervensi Keperawatan

Tabel 2.1

Intervensi Keperawatan

NO Diagnosa Keperawatan Standar Luaran Standar Intervensi


Keperawatan Indonesia Keperawatan
(SLKI) Indonesia (SIKI)
1. Ketidakefektifan SLKI: SIKI
bersihan jalan napas Respiratory status: a) Airway
Definisi: ventilation Suctioning
Ketidakmampuan Setelah dilakukan a. Pastikan
membersihkan sekresi asuhan keperawatan kebutuhan
atau obstruksi dan ...x jam maka pola nafas oral/ trakeal
saluran napas untuk tidak efektif meningkat suctioning
mempertahankan dengan .. diapatkan b. Auskultasi
bersihan jalan napas. Kriteria Hasil: suara napas
a. Mendemonstrasikan sebelum dan
Batasan Karakteristik: batuk efektif dan sesudah
a) Batuk yang tidak suara napas ang suction
efektif bersih, tidak ada c. Informasikan
b) Dispnea sianosi dan dyspneu ke pasien dan
c) Gelisah (mampu keluarga
d) Ortopnea mengeluarkan tentang suction
e) Penurunan bunyi sputum, mampu d. Gunakan
napas bernapas dengan universal
f) Perubahan frekuensi mudah, tidak ada precaution/
napas pursed lips) prinsip steril:
g) Perubahan pola b. Menunjukkan jalan sarung tangan,
napas napas yang paten kacamata dan
h) Sianosis (klien tidak merasa masker
i) Sputum dalam tercekik, irama e. Instruksikan ke
jumlah yang napas, frekuensi pasien
berlebihan pernapasan dalam beberapa napas
j) Suara napas rentang normal, tidak dalam sebelum
tambahan ada suara napas suction
k) Tidak ada batuk abnormal) f. Bila terjadi
c. Mampu hiperoksigenas
Faktor yang mengidentifikasi dan i sampai 100%,
Berhubungan: mencegah faktor gunakan
a) Lingkungan yang menghambat ventilator atau
1) Perokok jalan napas resusitasi
2) Perokok pasif manual
3) Terpajan asap g. Lakukan alat-
b) Obstruksi jalan alat disposibel
napas yang steril
1) Adanya jalan pada saat
napas buatan melakukan
2) Benda asing prosedur
dalam jalan napas suction
3) Mucus h. Anjurkan
berlebihan napas dalam
4) Sekresi yang dan istirahat
tertahan i. Hentikan
5) Spasme jalan suction bila
napas bradikardi,
c) Fisiologis peningkatan
1) Disfungsi saturasi
neuromuscular oksigen
2) Infeksi j. Gunakan
3) 3) Jalan napas durasi singkat
alergik pada saat
menghisap
sekret dan
respon

b) Airway
Management
a) Posisikan
pasien untuk
memaksimalk
an ventilasi
b) Lakukan
fisioterapi
dada bila perlu
c) Keluarkan
sekret dengan
batuk atau
suction
d) Auskultasi
suara napas,
catat bila ada
suara
tambahan
e) Berikan
bronkodilator
bila perlu
Poltekkes
Kemenkes
Padang
f) Monitor status
respirasi dan
status O2
c) Respiratory
Monitoring
a. Monitor pola
napas, irama,
kedalaman dan
usaha napas
b. Perhatikan
gerakan dan
kesimetrisan,
menggunakan
otot bantu, dan
adanya
retraksi otot
intercostals
dan
supraclavicula
r
c. Monitor bunyi
napas,
misalnya
mendengkur
d. Monitor pola
napas
e. Catat lokasi
trakea
f. Auskultasi
bunyi napas,
catat
peningkatan
ventilasi
g. Monitor
saturasi
oksigen
h. Monitor
kemampuan
pasien dalam
batuk efektif
2. Gangguan pertukaran SLKI SIKI
gas Respiratory status: gas Respiratory
exchange
Definisi: kelebihan atau Monitoring
defisit Setelah
oksigenasi dilakukan a. Monitor pola
dan/atau asuhan
eliminasi keperawatan napas, irama,
karbondioksida didapatkan
pada kedalaman dan
membran Kriteria Hasil:
alveolar- usaha napas
kapiler. a. Mendemonstrasikan b. Perhatikan
peningkatan gerakan dan
Batasan Karakteristik: ventilasi dan kesimetrisan,
a. Dispnea oksigenasi yang menggunakan
b. Gas darah arteri adekuat otot bantu, dan
abnormal Respiratory status: adanya retraksi
c. Gelisah ventilation otot intercostals
d. Hiperkapnia Kriteria Hasil: dan
e. Hipoksemia a. Memelihara supraclavicular
f. Hipoksia kebersihan paru- c. Monitor bunyi
g. Napas cuping paru dan bebas napas, misalnya
hidung dari tanda-tanda mendengkur
h. Penurunan distress d. Monitor pola
karbondioksida pernapasan napas
i. pH arteri abnormal b. Mendemonstrasika e. Catat lokasi
j. Pola pernapasan n batuk efektif dan trakea
abnormal (mis; suara napas yang f. Auskultasi
kecepatan, irama, bersih, tidak ada bunyi napas,
kedalaman) sianosis dan catat
k. Sianosis dypsneu (mampu peningkatan
l. Takikardia mengeluarkan ventilasi
sputum, mampu g. Monitor
Faktor yang bernapas dengan saturasi oksigen
berhubungan: mudah, tidak ada h. Monitor
g) Ketidakseimbanga pursed lips) kemampuan
n ventilasi perfusi pasien dalam
h) Perubahan Vital sign status batuk efektif
membrane Tanda-tanda vital
alveolar kapiler dalam normal Oxygen Therapy
a) Periksa mulut,
hidung, dan
sekret trakea b)
Pertahankan jalan
napas yang paten
c) Atur peralatan
oksigenasi d)
Monitor aliran
oksigen
c) Vital Sign
Monitoring
Respiratory
Monitoring
a. Monitor TD,
nadi, suhu, dan
RR
b. Monitor vital
sign saat pasien
berbaring,
duduk, dan
berdiri
c. Auskultasi TD
pada kedua
lengan dan
bandingkan
d. Monitor TD,
nadi, RR,
sebelum,
selama, dan
setelah aktivitas
e. Monitor
kualitas dari
nadi
f. Monitor
frekuensi dan
irama
pernapasan
g. Monitor pola
pernapasan
abnormal
h. Monitor suhu,
warna, dan
kelembaban
kulit
i. Monitor
sianosis perifer
j. Monitor adanya
cushling triad
(tekanan nadi
yang melebar,
bradikardi,
peningkatan
sistolik)
k. Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital
sign Ketid
3. Ketidakefektifan pola SLKI: SIKI
napas Respiratory status: Oxygen Therapy
Definisi: Ventilation
inspirasi a. Periksa mulut,
dan/atau ekspirasi yang Setelah dilakukan hidung, dan
tidak member ventilasi tindakan keperawatan sekret trakea
adekuat. didapatkan b. Pertahankan
Kriteria Hasil: jalan napas yang
Batasan karakteristik: a. Mendemonstrasikan paten
a. Bradipnea batuk efektif dan c. Atur peralatan
b. Dispnea suara napas yang oksigenasi
c. Fase ekspirasi bersih, tidak ada d. Monitor aliran
memanjang sianosis dan dyspneu oksigen
d. Ortopnea (mampu e. Pertahankan
e. Penggunaan otot mengeluarkan posisi pasien
bahu pernapasan sputum, mampu f. Observasi tanda-
f. Penurunan tekanan bernapas dengan tanda
ekspirasi mudah, tidak ada hipoventilasi
g. Penurunan tekanan pursed lips) g. Monitor adanya
inspirasi kecemasan
h. Pernapasan bibir Respiratory status: pasien terhadap
i. Pernapasan cuping Airway patency oksigenasi
hidung a. Menunjukkan jalan
j. Pola napas napas yang paten Vital Sign Status
abnormal (mis; (klien tidak merasa a. Monitor TD,
irama, frekuensi, tercekik, irama nadi, suhu, dan
kedalaman) napas, frekuensi RR
k. Takipnea pernapasan dalam b. Monitor vital
rentang normal, sign saat
faktor yang tidak ada suara
Berhubungan: napas abnormal)
a. Hiperventilasi Vital Sign Status
b. Keletihan otot a. Tanda-tanda vital
pernapasan dalam rentang
c. Sindrom normal (tekanan
hipoventilasi darah, nadi,
pernapasan)

IMPLEMENTASI

Dilaksanakan Sesuai Intervensi

EVALUASI
1. Evaluasi Formatif (Merefleksikan Perawat Dan Analisis Terhadap Respon Langsung Pada Intervensi
Keperawatan)

2. evaluasi sumatif ( merefleksikan rekapitulasi dan synopsis observasi dan analisis mengenai status
kesehatan klien terhadap waktu)
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2018. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan


Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika

Astika, JR Said. 2016. Hubungan Derajat PPOK terhadap Kualitas hidup pada
pasien PPOK di Poliklinik Paru RSUP Dr.M.Djamil Padang dan Rumah Sakit
Khusu Paru Sumatera Barat. Diploma thesis Universitas Andalas. Tersedia
pada scholar.unand.ac.id diakses pada tanggal 30 Maret 2017

Dini, M.W., Agustina S.P., Dewi, S. 2009. Studi Tingkat Kepatuhan Perawat
dalam Pemberian Oksigen Melalui Nasal Kanul sesuai SOP Oksigenasi di
Ruang Rawat Inap Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Jurnal Ilmu Keperawatan
ISSN. 2085-3742. Tersedia Pada
https://adysetiadi.files.wordpress.com/2012/03/jurnal-pdf-vol-1-stikes1.pdf.
Diakses Pada 24 Maret 2017

Fauzi, Farida Luthfi. 2014. Pemberian Batuk Efektif dalam Pengeluaran Sputum
pada asuhan Keperawatan Tn.S dengan PPOK di Ruang Bugenvil RSUD
Dr.Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Studi Kasus. Prodi DIII
Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta.

Febraska, Anastasia Indah. 2017. Pemberian Posisi semi Fowler Terhadap Sesak
Nafas pada Asuhan Keperawatan Tn. A dengan Penyakit Paru Obstruktif
Kronis di Bangsal Mawar 1 RSUD Karanganyar. Studi Kasus. Prodi DIII
Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2014. Global Strategy For
The Diagnosis Management And Prevention Of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease: USA.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease Pocket. 2015. Global
Strategy For The Diagnosis Management And Prevention Of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease: USA.

Harahap, Ikhsanuddin Ahmad. 2018. Terapi Oksigen dalam Asuhan


Keperawatan.Tersedia pada http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-
ikhsanuddin2.pdf. Diakses pada tanggal 13 Maret 2017

Hartono. 2015. Peningkatan Kapasitas Vital Paru pada Pasien PPOK


Menggunakan Metode Pernapasan Pursed Lips di RSUD Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan. Tersedia pada http://
jurnal .poltekkes-solo.ac.id. Diakses pada 24 Maret 2016
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2019. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia; Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Hudoyo, Achmad. 2017. Penatalaksanaan Asma dan PPOK Pada Orang Dewasa
Berdasar Pedoman GINA dan GOLD. Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FK UI /SMF Paru RS. Persahabatan. Jakarta Timur

Kasanah. 2017. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi


Kronis Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam Medis
Pasien Rawat Inap Di RSUD Sragen. Sragen : Jurnal Keperawatan.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Provinsi


Sumatera Barat 2018

Lyndon Saputra. 2016. Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Tangerang : Binarupa


Aksara Publisher

Murray, 2016. dikutip Rosyid, Akbar. 2015. Asuhan Keperawatan Pemenuhan


Oksigenasi Pada Tn.M di Ruang Barokah RSU PKU Muhammadiyah
Gombong. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah :
Gombong

Persatuan perawat indonesia.2017.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:Definisi Dan Indikator


Diagnostik.jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai