Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketenaran Gajah Mada, sang Mahapatih Amangkubhumi Majapahit, jauh
mengungguli para Raja Majapahit pada umumnya. Bahkan Gajah Mada jauh lebih disegani
dibandingkan dengan Hayam Wuruk, raja terbesar Majapahit yang berjuluk Rajasanegara
(1350-1389).
Hingga saat ini kepemimpinan Gajah Mada masih dijadikan acuan dan teladan oleh
masyarakat Indonesia. Muhamad Yamin telah menjadikan sosok Gajah Mada sebagai suatu
karakter dalam mencapai kesatuan nasional (national building).
Utamanya Yamin mengangkat kiprah Gajah Mada dalam mempersatukan Nusantara
melalui sumpahnya yang terkenal, Sumpah Palapa. Dengan demikian, Yamin berusaha
menunjukkan kepada khalayak bahwa persatuan Nusantara bukanlah suatu omong kosong
karena telah dirintis sejak berabad-abad sebelumnya.
Apa dasarnya Gajah Mada mengucap sumpah? Agus Aris Munandar dalam “Sumpah
Palapa Gajah Mada” menyebutkan, tujuannya adalah membendung pengaruh kerajaan-
kerajaan di Asia Tenggara. Masa itu (abad ke-14), berdiri Kerajaan Ayut’ia (Ayudhya) yang
pengaruhnya sampai ke Myanmar.
Ada juga Kerajaan Champa (Cina) yang sudah menjalin hubungan baik dengan
Majapahit. Di Trowulan bahkan ditemukan makam Putri Campa serta boneka tanah liat
bakar yang menggambarkan figur wajah Asiatic Mongoloid.
Di pihak lain, serangan Jayakatwang berhasil menghancurkan Singasari dengan
terbunuhnya Raja Kertanegara. Khubilai Khan pun terus memperluas wilayah
kekuasaannya. Namun seiring kematiannya, justru banyak terjadi pemberontakan yang
merongrong kekuasaan raja-raja Mongol.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah cerita sumpah amukti patih Gajah Mada?

C. Tujuan
Untuk mengetahui cerita sumpah amukti patih Gajah Mada
BAB II
PEMBAHASAN

SUMPAH AMUKTI PATIH GAJAH MADA

Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada
pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka
(1336 M).
Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton, yang berbunyi
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada:
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran,
Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana
isun amukti palapa”.
Terjemahannya,
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada,
“Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan
Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.
Dari isi naskah ini dapat diketahui bahwa pada masa diangkatnya Gajah Mada, sebagian
wilayah Nusantara yang disebutkan pada sumpahnya belum dikuasai Majapahit.
Arti nama-nama tempat: Gurun = Nusa Penida; Seran = Seram; Tañjung Pura =
Kerajaan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat; Haru = Sumatra Utara (ada kemungkinan
merujuk kepada Karo); Pahang = Pahang di Semenanjung Melayu; Dompo = sebuah daerah di
pulau Sumbawa; Bali = Bali; Sunda = Kerajaan Sunda; Palembang = Palembang atau Sriwijaya;
Tumasik = Singapura.

Gadjah Mada, Sumpah Palapa Membawa Petaka


[Disebut membawa petaka karena lalu “harus terjadi Perang Bubat” yang merusak citra
Hayam Wuruk dan Gajah Mada sendiri serta Majapahit. Bahasan khasnya ada di bawah, sudah
diperbaiki ejaannya, dan dalam bahasan tesebut hal yang penting Pengutip cetak tebal.]
“Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada:
Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram,
Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana
ingsun amukti palapa.”
(Gadjah Mada sang Mahapatih tak akan menikmati palapa, berkata Gadjah Mada,
“selama aku belum menyatukan nusantara, aku takkan menikmati palapa, sebelum aku
menaklukan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pahang, Dompu,
Pulau Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik, aku takkan mencicipi palapa)
Menurut anda apa yang terlintas dalam pikiran dan bayangan anda ketika membaca
sumpah Mahapatih Gadjah Mada itu? Apakah anda berfikir tentang sumpah untuk
mempersatukan atau sumpah untuk menaklukan? Apakah itu sumpah pemersatu atau
sumpah penjajah?
Kita selalu diajarkan bahwa Sumpah Palapa adalah sebuah sumpah lambang pemersatu,
tapi pernahkah kita berfikir bahwa sumpah itu adalah sumpah ketamakan untuk menguasai
negara (baca : kerajaan) lain untuk berada di bawah kekuasaan Majapahit? Semua tafsir itu
saya serahkan kepada anda.
Dan akibat tidak langsung dari sumpah ini adalah tidak adanya nama jalan atau tempat
bertuliskan Gadjah Mada atau Hayam Wuruk [di Jawa Barat–Pengutip].
Menarik, kan. Nah tulisan berikut nukilan dari “Budaya Nusantara.” [Juga yang penting
disalin dengan cetak tebal]. Paparannya, redaksional, (maaf) agak kacau balau karena logika
berpikirnya juga (sekali lagi, maaf) agak amburadul. Akan tetapi isinya tetap harus dihargai,
sebagai sebuah opini. Yang “agak amburadul” saya beri tanda dengan menulismiringkannya.

Memaknai Sumpah Palapa Gajah Mada


Serat Pararaton yang memuat naskah Sumpah Palapa sebenarnya tak secara eksplisit
menyebutkan teks itu sebagai sebuah sumpah, dan tak ada satu pun kata dalam serat tersebut
yang mencantumkan kata sumpah di dalamnya. Akan tetapi bila dilihat dari makna [isi] teks
yang terkandung di dalamnya, jika dihubungkan  dengan [mengacu] Kamus Besar Bahasa
Indonesia tentang arti sumpah (halaman 973) yang berbunyi, “Sumpah adalah : (1) pernyataan
yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap
suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dsb.); (2) pernyataan disertai tekad
melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau
pernyataan itu tidak benar; (3) janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu), maka teks
mengenai ucapan Gajah Mada yang terdapat dalam Serat Pararaton [itu akan termasuk kategori
sumpah. Ucapan Gajah Mada itu (yang)] berbunyi :
Sira Gajah Mada patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada :
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran,
Tanjung Pura, ring Haru, ring ahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana
isun amukti palapa”.
Terjemahannya adalah :
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa(nya). Beliau
Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru) melepaskan puasa, jika (berhasil)
mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, demikianlah saya (baru) melepaskan puasa (saya)”.
[Uapan Gajah Mada] Itu jelas sekali sebagai sebuah sumpah, [setidaknya] jika [parameter
yang digunakan adalah buku] [mengacu pada rumusan sumpah menurut] Kamus Besar Bahasa
Indonesia di atas. Maka jelaslah sekarang jika teks dalam Serat Pararaton itu bisa dikategorikan
sebagai sebuah sumpah karena [sesuai dengan] ketiga pengertian [sumpah] tersebut di atas,
baik secara sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan [dapat dipakai dalam konteks
pengertian sumpah].
Sebuah ungkapan, apalagi sebuah sumpah, kalau dikaji benar-benar menawarkan bentuk,
isi, nilai, ideologi, dan enerji. Dari sisi bentuk Sumpah Palapa adalah prosa. Sedangkan isinya
mengandung pernyataan suci kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diucapkan oleh Gajah Mada
di hadapan ratu Majapahit Tribuwana Tunggadewi [Note: Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334.
Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah–“pabanyu pindah” dapat
berarti sungai besar berpindah aliran ke sisi lain, karena ada timbunan lahar yang baanyak–
Pengtp.– dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah
Palapa] dengan disaksikan oleh para menteri dan pejabat-pejabat lainnya, yang substansinya
Gajah Mada baru mau melepaskan (menghentikan) puasanya apabila telah terkuasai Nusantara.
Sayangnya tidak diterangkan di dalam teks tersebut tentang jenis puasa dan berapa lama
pelaksanaan puasanya itu (keterangan tentang terjemahan amukti palapa, lihat Budya Pradipta,
2003).
Dari sisi nilai Sumpah Palapa mengandung pelbagai nilai : nilai kesatuan dan
persatuan wilayah Nusantara, nilai historis, nilai keberanian, nilai percaya diri, nilai rasa
memiliki kerajaan Majapahit yang besar dan berwibawa, nilai geopolitik, nilai sosial budaya,
nilai filsafat, dsb. [?–Pen.]
Dari sisi ideologi, Sumpah Palapa yang juga dikenal sebagai Sumpah Gajah Mada atau
Sumpah Nusantara […..]. Sumpah Palapa memiliki ideologi kebineka tunggal ikaan, artinya
menuju pada ketunggalan keyakinan, ketunggalan ide, ketunggalan senasib dan
sepenanggungan, dan ketunggalan ideologi, akan tetapi tetap diberi ruang gerak
kemerdekaan budaya bagi wilayah-wilayah negeri se Nusantara dalam mengembangkan
kebahagiaan dan kesejahteraannya masing-masing.[?–dari “teks” yang mana simpulan ini
dibuat,  Pengutip tidak paham!]
Dari sisi enerji Sumpah Palapa dianugerahi enerji Ketuhanan Yang Maha Dasyat [?–
Pengtp] karena tanpa enerji tersebut tak mungkin Gajah Mada berani mencanangkan sumpah
tersebut.
Sumpah Palapa akan menjadi sangat menarik lagi apabila dikaji dengan pendekatan
komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan seperti : Kepada siapa Sumpah Palapa diucapkan, dalam
lingkungan apa (situasi, kondisi, iklim, dan suasana) Sumpah Palapa dicanangkan, dengan
sasaran apa dan siapa Sumpah Palapa dideklarasikan, mengapa atau apa perlunya Gajah Mada
mengumumkan Sumpah Palapa, dan manfaat apa yang mau dicapai adalah pertanyaan-
pertanyaan yang perlu dijawab secara seksama. Betapapun Sumpah Gajah Mada itu kontekstual
[?–Pengtp]. Tidak semua pertanyaan-pertanyaan tersebut akan di jawab di sini, namun
pertanyaan manfaat apa yang mau dicapai, kiranya perlu dijawab sekarang dengan lebih cermat.
Menurut pemahaman saya Gajah Mada mempunyai kesadaran penuh tentang
kenegaraan dan batas-batas wilayah kerajaan Majapahit, mengingat Nusantara berada
sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua samudra besar yaitu Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik, di samping diapit-apit oleh lautan Cina Selatan dan Lautan Indonesia
(Segoro Kidul)[Nanti ada pemaknaan lain–Pengtp]. Dari kesadaran yang tinggi terhadap
keberadaan Nusantara, Gajah Mada meletakkan dasar-dasar negara yang kokoh, sebagaimana
terungkap dalam perundang-undangan Majapahit (Slamet Mulyana, 1965 : 56 – 70; 1979 : 182
– 213).
Uraian singkat tersebut dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa kerajaan
Majapahit khususnya ketika berada dalam peng[kek]uasaan Gajah Mada telah berorientasi jauh
ke depan, kalau istilah sekarang mempersiapkan diri sebagai negara yang modern, kuat, dan
tangguh.
Dari beberapa pengertian diatas maka tak berlebihan kiranya jika sumpah/amukti
palapa itu memiliki dimensi spiritual artinya tidak main-main. Oleh sebab itu tidak berlebihan,
apabila dikatakan bahwa Sumpah Palapa itu sakral.
Terakhir (sebelum nanti ada tulisan lain yang layak dinukil), ini bahasan Baban Sarbana.
Ada yang sengaja disalin cetak miring, karena rasanya logikanya agak membingungkan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah
Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258
Saka (1336 M).

B. Saran
Dari makalah yang telah penulis buat, mungkin terdapat kesalahan dan kekurangan
baik itu dari penulisan atau dari kata-katanya, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik
dari para pembaca, agar dapat memberikan motivasi atau nasihat guna memperbaiki
makalah ini nantinya.

Anda mungkin juga menyukai