Anda di halaman 1dari 5

Judul Buku The Making of Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the

Javanese Priyayi Penulis Heather Sutherland Penerbit Heineman Educational


Books (Asian Studies Association of Australia), Singapore Tahun 1979 Halaman
xx + 182 halaman

Terbentuknya Elit Birokrasi Indonesia

Daniel Hutagalung

Studi Heather Sutherland ini memiliki hasrat untuk melakukan studi terhadap karir
dinasti para pegawai lokal Jawa di masa kolonialisme, atau umum disebut
keluarga priyayi. Dalam buku ini Sutherland melakukan penelitian dan
penyelidikan terhadap akibat-akibat dari perubahan administratif atas peran
sosial dan politik para elit priyayi dalam upaya untuk menelusuri suatu realitas
yang demikian rumit di belakang terbentuknya semacam dikotomis seperti
“tradisional” dan “modern”, “rasional” dan “patrimonial”, ataupun juga yang
terlihat dengan jelas seperti “administratif” dan “politis”.

Dalam studinya mengenai karir dari keluarga administratif lokal di Jawa masa
kolonial, yakni priyayi, Heather Sutherland juga, menguak jantung persoalan
pokok para sarjana yang menggeluti studi Asia Tenggara, yaitu dampak
kolonialisme terhadap politik tradisional. Titik masuk Sutherland adalah
keterlenaan akademis dengan elemen tradisonal atau neotradisional dalam
politik pascakolonial dan sistem politik kewilayahan.

Sutherland mengutip studi Ben Anderson dan A. R. Wilner yang berupaya untuk
mengembangkan suatu penjelasan neotradisional atas aktivitas politik
kontemporer di Indonesia. Rumusan yang mereka kembangkan disusun dalam
sejumlah buku mengenai gagasan kekuasaan tradisional serta transformasi dan
manifestasi mereka pada modernisasi. Terlihat upaya untuk memisahkan “yang
asing” dengan “yang pribumi”, “yang tradisional” dengan “yang modern”.
Sutherland menambahkan elemen lain atas dikotomi tersebut, yaitu kolonialisme.
Institusi-institusi baru yang muncul sepanjang abad sembilanbelas tidak bisa

1
diidentifikasikan semata-mata murni Belanda atau murni Indonesia, melainkan
lebih merupakan hasil dari interaksi kedua budaya tersebut.

Melalui deskripsi yang terdomukentasi dengan sangat baik mengenai pola


hubungan antara aristokrat Jawa dengan kolonialis Belanda, Sutherland
menampilkan bahwa kaum tradisional bukan semata-mata “kehilangan” nilai-nilai
mereka, atau menukarkannya dengan nilai-nilai “Barat, modern”. Lebih dari itu,
apa yang terjadi pada budaya tradisional adalah merupakan transformasi suatu
situasi baru yang beragam dan rumit, yang umumnya diciptakan oleh orang
asing. Para Pangreh Praja secara konstan selalu dibutuhkan oleh pemerintah
kolonial untuk memenuhi sekaligus melakukan penyesuaian terhadap perkiraan
perubahan/pergeseran yang terjadi, terutama untuk Binnenlands Bestuur
(semacam pegawai negeri). Dalam menyesuaikan diri dengan berbagai
perubahan dan tekanan, kaum priyayi Jawa dalam beberapa hal harus
beradaptasi dan mengubah diri secara signifikan.

Dalam studi yang menghasilkan suatu argumen yang sangat baik ini, Sutherland
menunjukkan bahwa adalah salah menyebutkan neotradisionalisme dalam
periode pascakolonial seolah-olah sejumlah “regresi” akan mengambil alih jika
pada suatu saat sistem “rasional” Eropa akan lenyap. Lebih dari itu, telah terjadi
sebuah proses perubahan dan adaptasi yang berkesinambugan dan
berkelanjutan. Tema yang tetap adalah mengenai daya juang hidup (survival)
sebuah kelas administratif. Apa yang kerap dilihat sebagai perilaku “tradisional”
dalam aktivitas politik di Indonesia merupakan hasil dari sebuah evolusi sekaligus
distorsi dari nilai-nilai tradisional. Orang-orang Indonesia tidak secara sederhana
menukar nilai-nilai sebagaimana bermain kartu, lebih dari itu, seperti semacam
tameng, nilai-nilai telah digempur dan dihantam oleh kekuatan perubahan dan
ditempa oleh revolusi. Meskipun demikian, bahan baku orsinilnya akan selalu dan
akan tetap sama.

Ide klasik mengenai kekuasaan, kebutuhan pegawai rendahan untuk


berpatronase dengan pejabat/orang yang lebih tinggi dan berkuasa, tingkah laku
dan insitusi-institusi “feodal”, sama-sekali tidak menghilang selama abad
sembilanbelas dan awal abad duapuluh. Bahkan nyaris tidak mengalami
perubahan. Dalam hubungan mereka dengan masyarakat yang mereka perintah,
para Pangreh Praja tetap melanjutkan gaya memerintah lama dan tradisional
serta mengeksploitasi hubungan paternalistik. Keberlanjutan tersebut, pada
kenyataannya, kerap didorong oleh pemerintah kolonial Belanda melalui cara-
cara yang berantakan dan amburadul. Pemerintah kolonial hanya tertarik pada
upaya menjaga stabilitas kepolitikan. Rasionalisasi hubungan administratif yang

2
menyeluruh tidak diperlukan dan dipandang sebagai suatu hal yang kontra-
produktif dengan tujuan-tuuan dari negara kolonial.

Meskipun demikian, terdapat perubahan yang patut dipertimbangkan di dalam


sifat-dasar administrasi sepanjang abad sembilanbelas. Kebanyakan ditanam dan
tumbuh pada masa reformasi Daendles dan Raffles, yang berhasil mengambil alih
Jawa pada saat perang Napoleon. Walaupun terdapat reaksi orang-orang Jawa
dalam bentuk pemberontakan Diponegoro dan juga oleh Belanda sendiri,
reformasi Daendles/Raffles banyak mendatangkan dampak pada akhir abad
sembilanbelas. Posisi-posisi seperti Bupati, pejabat wilayah, dan pegawai lainnya
ditentukan melalui pengangkatan/penujukkan (appointive). Anggota kelas priyayi
menerima pendidikan di sekolah-sekolah Belanda dan kelihatan menjadi
semacam “hiasan” dari “peradaban” Eropa.

Pada abad duapuluh, adminitrasi pemerintahan telah tumbuh menyesuaikan diri


terhadap pelbagai batasan-batasan dan peluang-peluang sebagaimana
terbentuk lingkungannya. Meski demikian, tiga-tingkatan struktur masyarakat,
segmentasi masyarakat yang terbentuk di masa lalu dengan serta-merta mulai
mengalami perubahan. Munculnya Islam, Nasionalisme dan Komunisme
memberikan ancaman terhadap status-quo. Para Pangreh Praja terjepit di antara
dua konstituensi budaya yang saling bertentangan, namun juga diharuskan untuk
bekerja di dalam dua dunia yang berbeda: sebagai orang Jawa warga desa dan
juga pegawai pemerintah kolonial Belanda. Inilah yang merupakan peran
ambivalen mereka yang menghasilkan kualitas “wajah-Janus” (Janus-faced), atau
dewa berwajah dua (depan-belakang) penjaga pintu gerbang dalam mitologi
Yunani kuno, sebagaimana dikutip Sutherland dari Wilner sebagai regresi menuju
tradisionalisme. Sutherland berpendapat bahwa “the native civil servants
perfected the ‘Janus-faced’ technique long before the arrival of foreign experts”
(Hal. 160).

Pada masa pendudukan Jepang, masa revolusi, masa kemerdekaan, dan pada
masa politik electoral menciptakan suatu situasi di mana para pegawai
pemerintahan berada dalam posisi sangat tidak aman dikarenakan banyaknya
perubahan-perubahan yang drastis terhadap institusi dan kepegawaian
pemerintahan. Meskipun demikian, perilaku dan teknik daya-juang individu para
pegawai sebagaimana juga banyak institusi-institusi administratif tetap dapat
bertahan dan terus berjalan. Pada tahun-tahun semenjak dijatuhkannya Soekarno
pada tahun 1965, Sutherland menjelaskan mengenai munculnya peran pegawai
pemerintahan Jawa yang paralel dengan yang ada pada masa kolonial,

3
Then too the corps had been used to intimidate people into political orthodoxy,
then too it had been in competition with critical politicians and Islamic spokesman
and under pressure from secret police and paramilitary agents of the government.
The use of pamong praja to mobilize support for Golkar, PKI attacks on the corps
and crushing military supervision constitute extreme developments of earlier themes.
Just as the Dutch had talked opheffing, of raising up the ‘brown brothers’, so the
New Order, in legitimation of its rule, stressed its commitment to development (Hal.
161).

Sutherland merujuk juga pada studi-studi Benedict Anderson yang menganalisa


semacam bentuk “kebangkitan kembali patrimonialisme” dalam politik
Indonesia. Basis analisa Anderson dalam memperbandingkan administrasi di
masa kolonial Belanda dan masa Republik tidaklah didasarkan pada model
Weberian mengenai otoritas rasional-legal (rational-legal authority) melainkan
berdasarkan pada perseptifnya sendiri mengenai sketsa para staf pegawai di
akhir era kolonial. Anderson, dalam karyanya The Idea of Power, melihat Pangreh
Praja sebagai kekuatan kekuatan konservatif yang esensial bagi kekuasaan
kolonial, yang mengabdi untuk mempertahankan status quo, bukan hanya karena
memang fungsinya adalah demikian, melainkan juga untuk melindungi posisi
mereka sendiri. Diilhami oleh kebanggaan yang demikian besar terhadap masa
lalu mereka sebagai kelas penguasa aristokratik, para pegawai kolonial
mengkombinasikan elitisme yang arogan dengan obsesi pada bentuk-bentuk
birokratis, yang merefleksikan etos-kerja Calvinis para borjuis yang menjadi tuan-
tuan mereka. Citra ini berhasil menangkap sejumlah karakteristik pokok dari
Pangreh Praja di akhir era kolonial, khususnya gambaran yang dekat dengan
norma Belanda, namun menggeser kesatuan yang ada dalam mereka terlalu
jauh dari akar dan realitasnya.

Studi Sutherland ini didasarkan pada suatu penelitian yang solid terutama dalam
sumber-sumber bahan material dari yang berbentuk arsip-arsip sampai dengan
sumber lisan. Studi ini menyelami juga evolusi administrasi para elit-alit Jawa
dalam ragam yang sangat jelas dan bisa dibilang memiliki gaya yang khas. Pada
saat yang sama juga, Sutherland membangun suatu argumen yang sangat hati-
hati dalam mempertahankan hipotesa esensialnya. Kombinasi dari investigasi
yang cermat, argumen yang efektif, dan disuksi yang cerdas memastikan bahwa
studi ini memiliki nilai dan daya-lekang yang kuat. Artinya, studi ini akan menjadi
studi klasik yang tetap akan digunakan sebagai pijakan, rujukan maupun acuan
bagi siapapun yang akan melakukan penelitian atau studi mengenai birokrasi
maupun elit-birokrasi di Indonesia.

Dengan manghadirkan data-data baru (pada waktu itu) yang sangat banyak,
karya Sutherland ini akan menyajikan sekaligus membuktikan diri sebagai sumber

4
utama bagi semua yang ingin melakukan studi mengenai Indonesia di abad
sembilanbelas dan duapuluh. Studi merupakan sumbangan penting untuk
memahami pengaruh kolonialisme terhadap Indonesia dan pijakan bagi studi-
studi lanjutan.

Anda mungkin juga menyukai