Anda di halaman 1dari 8

1.

Keberkahan maksimal dalam mendapatkan keuntungan:


-
2. Penetapan harga:
a. Salah satu alasan lagi mengapa Rasulullah SAW
menolak menetapkan harga adalah “pada waktu itu, di
Madinah, tak ada kelompok yang secara khusus hanya
menyadi pedagang. Para penjual dan pedagang
merupakan orang yang sama, satu sama lain (min jins
wahid). Tak seorang pun bisa dipaksa untuk menjual
sesuatu. Karena penjualnya tak bisa diidentifikasi
secara khusus. Kepada siapa penetapan itu akan
dipaksakan??(Taimiyah, 1983: 51). Itu sebabnya
penetapan harga hanya mungkin dilakukan jika
diketahui secara persis ada kelompok yang melakukan
perdagangan dan bisnis melakukan manipulasi
sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan
kondisi ini, tak ada alasan yang bisa digunakan untuk
menetapkan harga. Sebab, itu tak bisa dikatakan pada
seseorang yang tak berfungsi sebagai suplaier, sebab
tak akan berarti apa-apa atau tak akan adil.
b. Menurut Ibnu Taimiyah, barang barang yang dijual di
Madinah sebagian besar berasal dari impor. Kondisi
apapun yang dilakukan terhadap barang itu, akan bisa
menyebabkan timbulnya kekurangan suplai dan
memperburuk situasi. Jadi, Rasulullah SAW
menghargai kegiatan impor tadi, dengan mengatakan,
“Seseorang yang mambawa barang yang dibutuhkan
untuk kehidupan sehari-hari, siapapun yang
menghalanginya sangat dilarang.?Faktanya saat itu
penduduk madinah tidak memerlukan penetapan
harga. (Islahi, 1997: 116)
3. Riba dan Ghahar:
Riba: riba secara bahasa bermakna Ziyadah yang artinya yaitu
tambahan. Sedangkan menurut istilah, teknis riba adalah
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
Riba juga dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil
yang bertentangan dengan prinsip muamalat dalam islam. Dan
menurut syari’ah, riba yaitu merujuk pada “premi” yang harus
dibayarkan oleh peminjam kepada yang memberikan pinjaman
bersama dengan jumlah pokok utang sebagai syarat pinjaman
atau untuk perpanjangan waktu pinjaman.
Larangan Riba dalam Al-Qur’an
Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia
bahwa riba akan melipatgandakan harta. “Dan sesuatu tambahan
(riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (QS. 30 : 39 )
Tahap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi
umat terdahulu.
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami
haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik
(yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara
yang bathil. Kami telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir
diantara mereka itu siksa yang pedih”. (QS 4 : 160 – 161 )
Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan
menjadi berlipat ganda. “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. 3:130)
Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Alla hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS.
2 : 278 – 279 )

Ghahar: Gharar atau taghrir adalah istilah dalam


kajian hukum Islam yang berarti keraguan, tipuan,
atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan orang
lain. Garar dapat berupa suatu akad yang
mengandung unsur penipuan karena tidak adanya
kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya objek
akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan
menyerahkan objek yang disebutkan di dalam akad
tersebut. Menurut Imam an-Nawawi, garar
merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat
Islam.[1]
Perbedaan taghrir dengan tadlis adalah apabila
tadlis terjadi pihak A tidak mengetahui apa yang
diketahui pihak B (unknown to one party), sedangkan
dalam taghrir baik pihak A dan pihak B sama-sama
tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang
ditransaksikan. Gharar bisa terjadi apabila
mengubah sesuatu yang bersifat certain atau pasti
menjadi uncertain atau tidak pasti.[2]
Gharar berasal dari bahasa Arab Al-Khatr yang
bermakna pertaruhan. Al-gharar adalah al-
mukhatarah (pertaruhan) dan al-
jahalah (ketidakjelasasan) sehingga termasuk ke
dalam perjudian. Sehingga dari penjelasan tersebut,
yang dimaksud jual beli gharar adalah dalam
perdagangan tersebut semua jual beli yang
transaksinya mengandung ketidakjelasan,
pertaruhan, atau perjudian.[3]
Secara etimologi, garar dalam bahasa
Arab adalah sesuatu yang pada lahirnya disenangi
tetapi sebenarnya dibenci. Para
ahli fikih mengemukakan beberapa definisi garar
yang bervariasi dan saling melengkapi.
Menurut Imam al-Qarafi, garar adalah suatu akad
yang tidak diketahui dengan tegas apakah efek akad
terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual beli
terhadap burung yang masih di udara atau ikan yang
masih di dalam air.
Gharar dapat terjadi dalam empat hal yaitu:

1. Kuantitas.
2. Kualitas.
3. Harga.
4. Waktu penyerahan.
Apabila salah satu atau lebih faktor-faktor di atas diubah
dari pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertain), maka
terjadilah gharar. Meskipun pada awalnya terjadi
kesepakatan secara sukarela, namun kondisi
ketidakjelasan tersebut di kemudian hari akan membuat
salah satu pihak (penjual atau pembeli) merasa terzalimi.

4. ZIS waqaf (zakat Infaq Shodaqoh):


Zakat Secara Bahasa (lughat), berarti : tumbuh;
berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat
pula berarti membersihkan atau mensucikan:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan (maksudnya: zakat itu
membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang
berlebih-lebihan kepada harta benda)
dan mensucikan mereka (maksudnya: zakat itu
menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka
dan memperkembangkan harta benda mereka) dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu
itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS
At Taubah 103)
Pengertian infaq adalah lebih luas dan lebih umum
dibanding dengan zakat. Tidak ditentukan
jenisnya, jumlahnya dan waktunya suatu kekayaan
atau harta harus didermakan. Allah memberi
kebebasan kepada pemiliknya untuk menetukan
jenis harta, berapa jumlah yang yang sebaiknya
diserahkan.

Shadaqoh mempunyai makna yang lebih luas lagi


dibanding infaq. Shadaqah ialah segala bentuk nilai
kebajikan yang tidak terikat oleh jumlah, waktu dan
juga yang tidak terbatas pada materi tetapi juga
dapat dalam bentuk non materi,
misalnya menyingkirkan rintangan di jalan, menuntun
orang yang buta, memberikan senyuman dan wajah
yang manis kepada saudaranya, menyalurkan
syahwatnya pada istri dsb.
Dan shadaqoh adalah ungkapan kejujuran (shiddiq)
iman seseorang.

wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang


berarti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang
berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada
dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam.
Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta
seperti tanah,
binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak
milik untuk faedah tertentu
(Ibnu Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf
diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi
benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan
manfaat atau faedahnya (al-manfa’ah) (al-
Jurjani:328).
Hukum  Zakat
Zakat sifatnya wajib bagi setiap muslim yang
hartanya telah memenuhi syarat tertentu sedangkan
infaq atau shadaqah adalah sunnah. Dengan
demikian ibadah wajib harus lebih dahulu
setelah sunnah.
Ancaman bagi yang meninggalkannya “..Dan orang-
orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka
akan mendapat) siksa yang pedih, pada
hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka
jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka,
lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan)
kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah
sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
(QS At Taubah: 34-35)

Orang yang berhak menerima Zakat


Orang yang berhak menerima zakat fitrah ditetapkan
oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an ada delapan
Golongan. “Sesungguhnya sedekah – sedekah
(zakat) itu hanya untuk orang – orang Fakir, Miskin,
Pengurus zakat (amil),orang – orang yang telah
dibujuk hatinya (muallaf), Untuk
memerdekakan budak – budak yang telah dijanjikan
akan dimerdekakan, orang yang berhutang (gharim)
untuk dijalan Allah (sabilillah) dan untuk orang
musafir (orang  yang dalam perjalanan). Yang
demikian ketentuan Allah” (Q.S.At taubah : 60)

5. Pandangan Bunga riba dalam ekonomi islam


Ajaran Islam menganjurkan dalam mengembangkan
ekonomi tidak boleh menimpakan bahaya atau kerugian
pada orang lain (QS Al Muthaffifin, 1-3). Begitu juga, di
dalam QS AlBaqarah: 275 dijelaskan pula bahwa segala
tambahan atas pinjaman atau tambahan dari pertukaran
pada satu jenis barang yang sama atau disebut juga dengan
riba dalam ekonomi Islam diharamkan. Sudah menjadi
keputusan hampir seluruh ahli fiqih di dunia bahwa
tingkat bunga bank masuk dalam kategori riba, Maka dari
itu sebagai umat muslim harus memahami riba dalam
islam.

Anda mungkin juga menyukai