Anda di halaman 1dari 7

Wacana Keislaman di Era Pasca Reformasi

Era pasca Reformasi (post-Reform) merupakan era lanjutan dari era


Reformasi. Oleh sebab itu, rasanya sulit untuk mencari pembeda di dua era
ini kecuali dalam, beberapa hal saja. Isu-isu terkait dengan wacana
keislaman, oleh karenanya, tidak jauh berbeda dengan isu-isu keislaman di
era Reformasi. Bedanya berada pada eskalasinya. Di antara isu-isu keislaman
yang paling menonjol pada masa Pasca Reformasi ini adalah politisasi agama
(terutama pada tahun-tahun pemilu yakni 2014, 2019), populisme Islam,
intoleransi, radikalisme, dan moderasi beragama.

A. Isu Perempuan di Era Pasca Reformasi (2010-sekarang)

Meskipun isu perempuan sudah mendapatkan perhatian pada


momentum reformasi, namun 20 tahun setelah reformasi, masalah- masalah
tentang perempuan masih tetap muncul. Gerakan perempuan dihadapkan
pada tantangan yang semakin kompleks dan harus linkage transnasional-
nasional dan lokal dalam merespons banyak hal di antaranya
fundamentalisme agama, masalah counter-terrorism, buruh migran dan
kekerasan seksual. Masalah-masalah ini tidak lagi bisa dilihat dalam cakupan
mikro, tapi berdimensi global.

Masa Reformasi yang melahirkan otonomi daerah, ternyata juga


menyisakan masalah bagi perempuan dan menghambat gerakan kesetaraan
gender. Pada hakikatnya, otonomi daerah dibentuk sebagai sistem agar rakyat
bisa menjangkau pemerintahnya, baik dalam menentukan keputusan maupun
dalam pemenuhan hak-haknya. Namun otonomi daerah juga dijadikan
sebagai wilayah perebutan kekuasaan, dan sekat-sekat identitas masyarakat
semakin menguat karena digunakan sebagai alat untuk memenangkanya.
Cara jitu yang dipakai adalah menggunakan politik identitas berbasis agama
atau adat yang justru kembali ke norma-norma konservatif. Perempuan pun
menjadi sasaran untuk dikembalikan dalam nilai-nilai tersebut.

Politik identitas bukan hanya bekerja di ranah publik namun telah


masuk ke dalam institusi dan kebijakan. Data Komisi Nasional Perempuan
tahun 2016 menunjukkan peningkatan bahwa Peraturan Daerah yang
diskriminatif dalam 10 tahun ini yaitu 421 kebijakan. UU No.1 Tahun 1974
sumber penghambat dalam meningkatkan kualitas generasi dan perempuan,
sampai saat ini masih dipertahankan. Bahkan dalam Judicial Review untuk
menaikkan usia perkawinan ditolak dan dalih yang digunakan adalah ajaran
agama dan bukan konstitusi yang dengan jelas menyatakan non diskriminasi.
Munculnya UU pornografi dan usulan dalam RKUHP yang justru
mengancam kehidupan generasi, perempuan dan minoritas.

Sekat-sekat identitas yang kemudian dipolitisasi dan dilembagakan


dalam kebijakan ini semakin menguatkan fanatisme terhadap golongannya
sendiri. Perempuan dimanfaatkan sebagai penyangga dari politik identitas ini,
misalnya tercermin dalam peraturan daerah yang dimaksudkan untuk
menjaga monralitas daerah maka perempuan yang dijadikan parameter.
Perempuan dibatasi jam malamnya, diatur cara berpakaiannya bahkan
menjadi pihak yang dikriminalisasi jika terjadi kasus meski penyebabnya
adalah dua pihak yaitu perempuan dan laki-laki. Sementara dunia global,
beberapa negara mengalami hal yang sama yaitu fundamentalisme menguat
ditambah dengan satu ancaman baru yaitu terorisme yang terus mengintai.
Terorisme menggunakan situasi ini dan lagi-lagi perempuan yang menjadi
sasaran untuk diperalat dalam bom-bom bunuh diri maupun penyangga
kekuatanya.

Oleh sebab itu, Lies Marcoes, sebagai Direktur Rumah KitaB (Kita
Bersama), mengusulkan agar perempuan harus dilibatkan dalam proses
deradikalisasi atau upaya untuk mengurangi dan menghilangkan paham
radikal. Selain pelibatan perempuan, cara pandang, persepsi dan rasa yang
dialami perempuan juga harus menjadi di dalam upaya-upaya deradikalisasi.
Hal ini mengingat perempuan merupakan penerima, penafsir sekaligus yang
mengimplementasikan dan mereproduksi nilai-nilai fundamentalisme.
Temuan penelitian Lies Marcoes menunjukkan bahwa pertama, kelompok
perempuan adalah penafsir nilai-nilai fundamentalisme. Kedua, kelompok
perempuam ini sekaligus menjadi agen yang sangat aktif dalam menerapkan
dan menyebarkan nilai-nilai fundamentalisme tersebut, apapun ragam
fundamentalismenya, baik MMI, DI/NII, Salafi maupun HTI. Karena itu
upaya deradikalisasi perlu melibatkan perempuan dan membutuhkan analisis
sosial. kemiskinan, politik dan gender.

Perjuangan kesetaraan gender terus didengungkan terutama melalui


kebijakan-kebijakan seperti Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan. Namun RUU ini tidak masuk di dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. RUU ini diinisiasi
sebelum tahun 2016 dan telah mendapatkan dukungan dari gerakan
perempuan Indonesia. Salah satu pelaku yang mendukung RUU ini adalah
Komnas Perempuan. RUU ini bertujuan untuk menyelesaikan semua bentuk
kekerasan seksual (seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan
aborsi, nikah paksa, pemerkosaan, pemaksaan untuk terlibat prostitusi dan
perbudakan perempuan.) Dari sini, gerakan-gerakan perempuan yang
memperjuangkan hak perempuan terus bergulir meskir mendapatkan
hambatan dan tantangan.

Di tahun 2017, tepatnya pada 25-27 April, di tengah semaraknya


konservatisme Islam, para ulama perempuan Indonesia menggelar Kongres
Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang pertama kalinya di Pesantren
Kebon Jambu al-Islam Cirebon Jawa Barat. Dalam kongres ini dihasilkan
tiga fatwa: Pertama, haram melakukan kekerasan seksual (baik dalam
pernikahan maupun di luar pemikahan). Korban pemerkosaan tidak harus
dihukum dan mereka haru dibantu secara psikologis, fisik dan sosial. Kedua,
mewajibkan umat Islam untuk melarang pernikahan di usia dini, karena
mudharatnya lebih besar. KUPI menuntut revisi UU No. 1 Pasal 7 tahun 1974
umur pernikahan anak laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. KUPI
mengusulkan agar batas legal umur anak perempuan menikah adalah 18
tahun. Ketiga, terkait dengan perusakan lingkungan dalam konteks
ketidakadilan sosial di mana perempuan biasanya menjadi kelompok yang
paling rentan.

Tiga fatwa tersebut menunjukkan bahwa ulama perempuan tidak hanya


sibuk dengan membaca Al-Qur'an, hadis dan kitab-kitab, tetapi mereka juga
konsen pada isu-isu kontemporer yang beragam. Aganda lain KUPI adalah
mendirikan Ma'had 'Aly, khusus untuk perempuan yang bertujuan sebagai
wadah kaderisasi ulama perempuan di masa

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa gerakan- gerakan


untuk keadilan gender terus menerus disuarakan tidak hanya para aktivis
perempuan tetapi juga ulama-ulama perempuan. Agenda-agenda yang
diperjuangkanpun berkembang sesuai dengan tantangan dan isu yang
muncul.

B. Isu Teologi di Era Pasca Reformasi

Perdebatan teologi yang muncul pada masa pasca Reformasi bukan lagi
isu-isu teologi klasik, tetapi teologi yang berorientasi pada: Pertama,
pragmatism politik, yang di dalamnya ada politik identitas, populisme Islam
dan politisasi agama. Kedua, teologi yang berorientasi pada bagaimana
menghadirkan agama yang moderat, ramah dan inklusif. Pertama, politisasi
agama di masa pasca Reformasi yang paling mencolok adalah Aksi Bela
Islam I, II, dan III yang bermula dari tuntutan agar Basuki Tjahaya Purnama
(Ahok) dipenjarakan karena dianggap telah melecehkan Islam dalam salah
satu kalimat pidatonya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Dalam
pidato tersebut Ahok pada intinya berbicara tentang kebijakan dan program
pemberdayaan budi daya kerapu. Ia meyakinkan warga Kepulauan Seribu
bahwa program ini akan tetap dilaksanakan meski ia tak terpilih lagi menjadi
gubernur DKI Jakarta pada Pilkada Februari 2017. Karena itu, masyarakat
harus tetap menjaganya.

Ahok berkata: "Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih
saya karena dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51 macam- macam itu. Itu hak
Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk
neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa- apa, karena ini panggilan pribadi
Bapak Ibu... Program ini jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa
nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok," demikian kutipan
beberapa kalimat yang disampaikan Ahok dalam pidato itu.

Pidato yang berdurasi 1 jam 48 menit itu diunggah di Youtube oleh


Pemda DKI Jakarta pada 28 September 2016. Tidak ada reaksi apa-apa dari
masyarakat dengan video tersebut. Namun setelah Buni Yani mengunggah
potongan video itu sepanjang 30 detik di akun Facebooknya pada 6 Oktober
2016, maka isu ini menjadi viral. Judul status facebook Yani adalah
"Penistaan terhadap Agama?"

Pidato Ahok tersebut menunjukkan bahwa Ahok memahami kata


auliva pada Al-Maidah ayat 51 sebagai pemimpin. Dengan demikian, ayat
tersebut adalah anjuran untuk tidak memilih pemimpin dari kalangan Yahudi
dan Nasrani. Padahal kata auliya memiliki banyak makna, diantaranya teman
setia. Peristiwa Aksi Bela Islam I, II, III ini menjadi peristiwa penting atau
critical event untuk melihat perkembangan keagamaan di Indonesia. Banyak
sarjana mengidentifikasi aksi tersebut yang dihadiri 5-7 juta orang berpakaian
putih-putih dengan gerakan “people power” dan gerakan “populisme Islam”

Kedua, pemahamaan keagamaan yang moderat dan inklusif sebagai


usaha untuk membendung paham keagamaan yang radikal. Organisasi
masyarakat, seperti Nahdlatul Ulama (NU) di tahun 2014 telah me-launching
kampanye gerakan anti ekstrimisme. Tujuannya adalah untuk menyebarkan
Islam toleran untuk memerangi radikalisme, ekstrimisme dan terorisme.
Islam toleran ala NU ini adalah Islam Nusantara, bentuk Islam yang sinkretik
dengan Jawa atau Nusantara.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri menyukai konsep Islam


Nusantara, yang ia nyatakan pada bulan Juni 2015 dengan istilah kebudayaan
("Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran", "Islam kita adalah
Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata
krama"). Konsep Islam Nusantara ini kemudian menjadi terkenal khususnya
setelah NU mempromosikan di tahun 2015 sebagai cara untuk mendamaikan
antara Islam dan budaya lokal. Inilah prinsip dasar NU sejak dari awal. Islam
Nusantara dilihat sebagai apropriasi dan rekonfigurasi wastiyya Islam.
Moderasi berhubungan al-waqi'iyyah, sebuah sikap realistis yang tidak hanya
mempertimbangkan teks tetapi juga konteksnya.

Pada masa pasca Reformasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian


Agama, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sangat aktif melawan aktivitas-aktivitas terorisme di
Indonesia dengan mempromosikan Islam moderat. Hal ini menunjukkan
bahwa negara berusaha bersama dengan para pemimpin muslim untuk
merespon terorisme dan radikalisme. Pemerintah harus memperoleh kembali
ideologinya dengan mendorong gagasan semacam Islam Moderat. Islam
Moderat dilihat sebagai usaha untuk mengkonstruk image negara agar bisa
memobilisasi umat Islam untuk merespon terorisme dan radikalisme. Dalam
hal ini, terorisme dan radikalisme tidak hanya ancaman bagi negara tetapi
juga kejahatan terhadap kemanusiaan. Meskipun begitu, aksi terorisme dan
tumbuhnya tren radikalisme telah dipersepsi sebagai ancaman bagi ideology
negara yang sudah ada sejak dahulu, yakni NKRI dan Pancasila.

Di sisi lain, New Religion Movement- yang diawali masa Reformasi


sudah muncul- di pasca reformasi juga terus muncul dan memantik
kontroversi, misalnya Komunitas Milah Abraham dan Gafatar (Gerakan Fajar
Nusantara) dan sebagainya. Tentu ini menjadikan suasana teologi di
Indonesia gaduh dan diuji terus menerus.

Anda mungkin juga menyukai