Anda di halaman 1dari 6

Tugas MP ( Manajemen Pemasaran )

Dosen Pembimbing : Dr. Tabrani, MM

Nama : Riyadi
7120800014

PRODI S2 PASCASARAJA MAGISTER MANAGEMEN


UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL

2020
Kritisi pertarungan/persaingan negara Korea, Jepang, dan China
di pasar Indonesia

Apa yang menyebabkan Jepang melemah, sedangkan Korea Selatan dan China menguat
dalam persaingan bisnis di Indonesia?

Isu buruknya iklim investasi di Indonesia telah dimentahkan melalui pernyataan resmi
pemerintah dan swasta, yang menyatakan kepada media Bisnis, “Consumer electronic secara
umum tidak menguntungkan dan Jepang tidak kompetitif. Lebih cepat produsen Jepang beralih
bisnis ke sektor lain, maka lebih baik untuk perusahaan dan menghentikan kerugian.”

Isu iklim investasi yang buruk juga dimentahkan melalui media ekonomi terkemuka, The
Economist, yang menyatakan Indonesia menduduki posisi kedua setelah China sebagai negara
tujuan investasi dunia. Informasi tersebut didukung data Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) yang menunjukkan realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) meningkat tajam.

Lebih lanjut lagi, bahwa realisasi investasi negara-negara anggota APEC cenderung meningkat,
antara lain ditunjukkan melalui dominasi lima besar negara dengan investasi terbesar di
Indonesia adalah :

(1) Singapura,
(2) Jepang,
(3) Amerika Serikat,
(4) Korea Selatan,
(5) Malaysia.
Berdasarkan hasil survei oleh Media Bisnis Maeil (Korea Selatan), Nihon Keizai Shimbun
(Jepang), dan the Global Times (China) pun menunjukkan bahwa Indonesia (59.6 persen) adalah
pasar paling menarik di Asia Tenggara pasca penerapan Asean Economic Community (AEC), di
atas Vietnam (38.5 persen), dan Thailand (31.1 persen).

Indonesia adalah pasar paling menarik di Asia Tenggara pasca penerapan Asean Economic Community (AEC).

Melalui paparan data yang sudah disampaikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa peta persaingan
bisnis Jepang, Korea Selatan, dan China memang sudah berubah. Jepang masih menunjukkan
dominasi, antara lain melalui realisasi penanaman modal, jika dibandingkan dengan seterunya
sesama negara Asia Timur.
Namun tak dapat dipungkiri dominasi tersebut mulai melemah dan salah satu penyebab
pelemahan tersebut adalah pijakan industri elektronik yang semakin tergusur oleh Korea Selatan
dan China. Inilah penyebab tutupnya pabrik-pabrik elektronik Jepang di Indonesia.

Hasanudin Abdurakhman, General Manager Business Development PT. Toray Industries


Indonesia, menyatakan indikasi pelemahan dominasi Jepang sebenarnya sudah terlihat 20 tahun
lalu saat dirinya masih tinggal dan bekerja di Jepang. Hasanudin yang menempuh pendidikan S2
dan S3 di Jepang menyampaikan, “Pada tahun 2000, saat saya mulai kuliah ke Jepang, melalui
berita NHK saya mengetahui bahwa Sony, raksasa elektronik Jepang, melakukan perekrutan
kalangan anak-anak muda China di RRC untuk divisi riset dan pengembangan. Sebuah langkah
yang sangat mengejutkan bagi saya, karena Jepang melakukan perekrutan dari pihak yang bisa
dikatakan seteru abadi mereka, China.”

“Selain melalui berita NHK tersebut, saya juga mengetahui langsung bagaimana perbedaan
kinerja Jepang, China, dan Korea Selatan di universitas dan lembaga riset Jepang. Terlihat
adanya jurang yang lebar dalam hal etos kerja antara generasi muda Jepang dibandingkan dengan
generasi muda Korea Selatan dan China. Para pemuda Korea Selatan dan China terlihat sangat
militan dalam bekerja jika dibandingkan dengan pemuda Jepang. Para pemuda Jepang dalam
pandangan saya terlihat terlalu santai,”.

Rentetan kejadian tersebut sudah menjadi pertanda bahwa tanda-tanda kemunduran industri
Jepang sudah mulai terlihat. Jepang yang memiliki keunggulan sangat kuat dalam hal riset
teknologi tidak memiliki tenaga pengganti dengan etos kerja sebaik generasi pendahulu, yang
berakibat para periset dan profesor senior harus merekrut para pekerja ulet dari Korea Selatan
dan China.
Para pekerja ulet berusia muda dari Korea Selatan dan China tersebut kemudian kembali ke
kampung halamannya dengan bekal ilmu riset memadai, bekerja sebagai insinyur eksekutif, dan
menjadi tulang punggung perusahaan-perusahaan Korea Selatan dan China.

Apakah generasi muda Jepang benar-benar sulit diharapkan? Kenyataan yang ada menunjukkan
banyak dari mereka yang bermalas-malasan. Meski secara ekonomi tidak kaya-raya, mereka
sudah mampu hidup berkecukupan hanya dengan bekerja di toko serba ada. Bisa jadi mereka
merasa nyaman, memiliki orang tua yang mapan dan berada, serta terlena oleh kemajuan
ekonomi Jepang yang sayangnya tidak kekal.

Selain faktor melemahnya kekuatan riset Jepang dan kemalasan generasi muda Jepang,
Hasanudin menyampaikan bahwa Jepang juga melemah karena budaya mereka, salah
satunya kodawari.
Kodawari menggambarkan obsesi, keuletan, fokus, dan kegigihan bangsa Jepang menciptakan
kesempurnaan dalam setiap karya, “Bagi orang Jepang, harga menjadi mahal tidak masalah
asalkan hasil akhirnya sempurna.”
Hal tersebut relatif tidak dipedulikan seteru mereka, China, yang lebih jeli melihat peluang pasar.
Saat menghadapi pasar China, para pengusaha China terbiasa membuat produk-produk berbiaya
rendah dan bekualitas rendah, namun tetap memiliki penyerapan pasar yang baik. Mereka tidak
memiliki idealisme kodawari ala Jepang dan mereka menerapkannya ke pasar Indonesia. Maka
tak heran dalam segmentasi pasar yang sensitif harga dan mengesampingkan kualitas, produk
Jepang tersingkir oleh produk-produk China.

Ingat, Jepang masih dominan!


Dengan berbagai kondisi tersebut, meski Jepang mengalami pelemahan, pelemahan yang dialami
masih terbatas pada industri tertentu, yaitu elektronik.
Dalam industri elektronik, misalnya piranti telekomunikasi untuk pasar pengguna akhir dan alat-
alat rumah tangga, bisa dikatakan merek Jepang sudah tersingkir dari posisi puncak di hampir
semua segmen pasar oleh merek-merek Korea Selatan dan China.

Secara kasat mata dapat dilihat merek-merek telepon genggam dan gawai seperti Samsung,
Oppo, dan Xiaomi terlihat sangat dominan dan merek-merek Jepang seperti Sony seakan sekedar
hidup. Sedangkan untuk merek-merek peralatan rumah tangga, misalnya mesin  cuci, pendingin
ruangan, dan televisi, merek-merek non-Jepang kembali terlihat mendominasi pandangan mata di
berbagai pusat penjualan produk elektronik.

Namun saat kita memandang pasar dan industri secara luas, Jepang sebenarnya masih terlihat
dominan di Indonesia. Keunggulan tersebut selain melalui realisasi penanaman modal yang
masih di atas Korea Selatan dan China, Jepang juga masih menguasai industri-industri lainnya di
Indonesia melebihi dua seterunya.

Sebagai contoh dalam hal industri otomotif, Toyota, Honda, Hino, dan merek-merek otomotif
Jepang lainnya terlihat sangat dominan. Di wilayah-wilayah seperti Bekasi, Cikarang, Cibitung,
dan Purwakarta, pabrikan Jepang dan industri pendukungnya terlihat di mana-mana.
Selain industri otomotif, Jepang memiliki penguasaan pasar Indonesia yang lebih kuat
dibandingkan Korea Selatan dan China, antara lain dalam industri makanan dan minuman, Fast
Moving Consumer Goods (FMCG), alat-alat berat, infrastruktur, dan advanced materials.
Contoh industri makanan dan minuman diwakili keberadaan Asahi, Yamazaki, dan Morinaga,
kemudian dalam industri Fast Moving Consumer Goods (FMCG) yang diwakili antara lain
Fumakila, Lion, dan Otsuka.

Jadi dari kesimpulan di atas dapat diketahui bahwa sebenarnya Jepang masih unggul atas Korea
Selatan dan China secara umum dalam usaha merangkul pasar Indonesia. Namun, tak ada yang
abadi dan bisa jadi dalam beberapa waktu ke depan, rangkulan Korea Selatan dan China dapat
makin meluas melebihi Jepang.

Anda mungkin juga menyukai