Anda di halaman 1dari 7

NAMA ; BURHAN

NIM ; E041201057
KELAS :PERANCANGANPERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN KELAS E
PRODI : ILMU HUKUM

Permasalahan pengawasan UU

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya membatalkan sejumlah pasal UU No.
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). MK mengabulkan
permohonan pengujian yang diajukan pengusaha tambang Fatriansyah Aria dan Fahrizan;
John Murod, Zuristyo Firmadata, Nico Plamonia, dan Johardi dalam dua permohonan yang
berbeda.

Spesifik, untuk permohonan No. 25/PUU-VIII/2010, MK membatalkan Pasal 22 huruf e dan f


sepanjang frasa “dan atau” dan Pasal 52 ayat (1) UU Minerba sepanjang frasa “dengan luas
paling sedikit 5.000 hektare dan” karena bertentangan dengan UUD 1945. Ini artinya syarat
luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) minimal 5.000 hektare dihapus.

Sementara, untuk permohonan No. 30/PUU-VIII/2010, MK membatalkan Pasal 55 ayat (1)


sepanjang frasa “dengan luas paling sedikit 500 hektare dan”, Pasal 61 ayat (1) sepanjang
frasa “dengan luas paling sedikit 5.000 hektare dan”, dan frasa “dengan cara lelang” dalam
Pasal 51, Pasal 60, Pasal 75 ayat (4) UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang
dimaknai, “lelang dilakukan dengan menyamakan antar peserta lelang WIUP dan WIUPK
dalam hal kemampuan administratif/manajemen, teknis, lingkungan, dan finansial yang
berbeda terhadap objek yang akan dilelang”.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan menolak permohonan para


pemohon selebihnya,” kata ketua majelis, Moh Mahfud MD saat membacakan amar putusan
di ruang sidang MK, Senin (4/6).
Sebelumnya, Fatriansyah dan Fahrizan meminta MK membatalkan Pasal 22 huruf e dan f,
Pasal 52 ayat (1) UU Minerba. Dua pasal termasuk dari 11 pasal yang diuji John Murod Dkk
yakni Pasal 22 huruf a, huruf c, huruf f, Pasal 38, Pasal 51, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat
(1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 60, Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172, Pasal 173 ayat
(3) UU Minerba.

Pasal-pasal itu dinilai berpotensi memperkecil atau menghilangkan kesempatan masyarakat


untuk berusaha. Menurut pemohon, pasal-pasal itu juga sangat diskriminatif dan merugikan
pengusaha kecil dan menengah bidang pertambangan timah, khususnya di provinsi Bangka
Belitung. Salah satunya syarat luas minimal IUP yang harus dipenuhi bila ingin memperoleh
Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Untuk eksplorasi mineral logam, WIUP minimal 5000 hektar (Pasal 52 ayat (1), Sedangkan,
untuk eksplorasi mineral bukan logam, WIUP minimal 500 hektar (Pasal 55 ayat (1). Untuk
eksplorasi batubara, IUP minimal 500 hektar (Pasal 58 ayat (1). Sebab, persyaratan luas
minimal IUP eksplorasi tersebut tak mungkin dipenuhi oleh perusahaan kecil/menengah.

Dalam pertimbangan putusan No. 25/PUU-VIII/2010, Mahkamah menilai Pasal 22 huruf f


UU Minerba berpotensi menghalang-halangi hak rakyat untuk berpartisipasi dan memenuhi
kebutuhan ekonomi melalui kegiatan pertambangan mineral dan batubara. “Karena faktanya
tidak semua kegiatan pertambangan rakyat sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 tahun,”
kata Akil saat membacakan putusan.

Mahkamah menyatakan Pasal 52 ayat (1) telah menimbulkan diskriminasi bagi para pemohon
yang merupakan penambang skala kecil. “Batas minimal 5.000 hektare ini dengan sendirinya
juga berpotensi mereduksi atau menghilangkan hak-hak para pengusaha pertambangan,
karena belum tentu suatu wilayah pertambangan akan tersedia luas wilayah eksplorasi
minimal 5.000 hektare,” kata Akil.

Sementara pertimbangan putusan permohonan No. 30/PUU-VIII/2010, Mahkamah


berpendapat batas luas minimal 500 hektar (Pasal 55 ayat (1)) dan batas luas minimal 5.000
hektare (Pasal 61 ayat (1)) dengan sendirinya akan mereduksi atau bahkan menghilangkan
hak-hak pengusaha di bidang pertambangan.
Sebab, belum tentu dalam suatu WIUP akan tersedia luas wilayah eksplorasi minimal 500
hektare dan minimal 5.000 hektare. Penghapusan luas minimal agar bisa diberikan IUP
eksplorasi mineral bukan logam dan IUP eksplorasi batubara tetap sesuai dengan potensi
serta daya dukung lingkungan.

Pokok permohonan mengenai Pasal 22 huruf a dan c, Pasal 38 huruf a serta Pasal 173 UU
Minerba tidak beralasan menurut hukum. Sementara Pasal 169 huruf a dan Pasal 173 ayat (2)
UU Minerba dikesampingkan

- PEMBAHASAN
.Dalam putusannya, Mahkamah menilai ketentuan yang mengatur mekanisme pengujian
peraturan perundang-undangan di MA seperti yang tercantum dalam Pasal 31A ayat (4) huruf
h UU MA tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebelumnya, para Pemohon khawatir pasal
a quo merugikan hak-hak konstitusional mereka. Sebab, selama ini norma tersebut dimaknai
bahwa proses pemeriksaan persidangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang oleh MA dilakukan secara tertutup. Hal ini
membuat para Pemohon tidak dapat mengetahui sejauh mana permohonannya diperiksa dan
juga tidak bisa menghadirkan ahli atau saksi untuk didengar keterangannya dalam
persidangan yang terbuka.

Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah menilai Pasal 31A ayat (4) UU MA tidak
menyebutkan pemeriksaan dan pengucapan putusan dilakukan dalam sidang yang sifatnya
terbuka untuk umum. Selengkapnya Pasal 31A ayat (4) UU MA menyatakan, “Permohonan
pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling
lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan”. Artinya,
pasal a quo tidak mengatur baik secara implisit maupun secara eksplisit sifat sidang, apakah
dilakukan terbuka untuk umum atau tidak.

Meski demikian, Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 40 ayat
(2) UU MA menyatakan sidang pemeriksaan maupun sidang pengucapan putusan dalam
perkara kasasi, perkara PK, dan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang harus dilakukan dalam sidang yang sifatnya terbuka untuk umum. Untuk
mengatur lebih lanjut tentang tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, Pasal 31A ayat (10) UU MA telah memberi kewenangan kepada Mahkamah
Agung untuk menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
Pasal 4 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil tanggal 30 Mei 2011
menyatakan, “Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan
tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi
perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai dengan asas peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.

Dengan demikian, menurut ketentuan Pasal 4 ayat (2) PERMA tersebut, Mahkamah Agung
telah menentukan bahwa perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang adalah “perkara permohonan”. Meskipun demikian, prinsip-prinsip yang
dianut Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 40 ayat (2) UU
MA harus dijadikan dasar dalam pemeriksaan dan pengucapan putusan perkara permohonan
judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menyimpulkan tidak ada pertentangan


konstitusionalitas norma antara Pasal 31A ayat (4) UU MA dengan UUD 1945. Sebab,
Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang berwenang untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang (hak uji materiil) diberikan langsung oleh
UUD 1945, maka sidang pemeriksaan dan pengucapan putusannya dilakukan dalam sidang
yang terbuka untuk umum.

Penyelesaian Perkara

Masih terkait pasal yang digugat Pemohon, Mahkamah juga menyatakan bahwa apabila para
Pemohon mengharapkan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak,
maka MA harus diberikan waktu yang cukup, serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal
tersebut menurut Mahkamah, merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (open
legal policy) dan bukan merupakan konstitusionalitas norma.

Pendapat tersebut dinyatakan Mahkamah setelah melihat kondisi penyelesaian perkara di


MA. MK melihat perkara yang ditangani oleh MA begitu banyak, tidak hanya perkara
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tetapi juga perkara kasasi
dan upaya hukum lain serta perkara peninjauan kembali yang notabene membutuhkan waktu
untuk penyelesaiannya.

Untuk menghadirkan pihak berperkara yang berada di seluruh wilayah Republik Indonesia
juga memerlukan waktu lebih lama. Padahal, MA hanya diberi waktu 14 hari untuk
menyelesaikan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
sejak permohonan diterima.
Mahkamah pun berpendapat kondisi yang demikian menjadi kendala dan hambatan bagi
Mahkamah Agung untuk melakukan persidangan yang dihadiri oleh pihak-pihak dan
memberi kesempatan menghadirkan saksi dan ahli dalam sidang terbuka untuk umum dalam
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

- ANALISIS
Membahas pengujian formil UU di Mahkamah Konstitusi. bahwa pengujian formil UU di
Mahkamah Konstitusi berasal karena pembentukan UU yang cacat prosedur, mengabaikan
partisipasi publik, tidak akuntabel, serta tidak transparan.

Konfigurasi politik yang tidak berimbang sehingga melahirkan oversize coalition akan
berdampak pada fungsi legislasi antara Presiden dan DPR yang akhirnya UU dibuat secara
ugal-ugalan. Dampaknya memunculkan fast track legislation, lock accountability yang
merupakan pembentukan UU secara cepat tetapi sangat lemah terhadap akuntabilitasnya,
serta tidak bisa dipertanggungjawabkan karena sebagian besar itu pendukung pemerintah
sehingga menyebabkan matinya pengawasan politik di parlemen.

Proses pembentukan UU secara cepat inilah yang melahirkan problematika pembentukan


UU. Pembentukan UU yang dilakukan dengan proses cepat antara lain pada UU KPK, UU
Minerba, UU MK dan UU Cipta Kerja.

Sedangkan pada pelanggaran terhadap prosedur pembentukan UU jika melihat aspek


prosedur itu dibagi menjadi 5 yakni pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan dan
perundangan. Perundangan itu tidak bisa disebut sebagai aspek formil itu sudah dikunci
norma prospektif maka jika tidak ditandatangani akan tetap berlaku dalam waktu 30 hari.
dimulai dari pengajuan itu dilihat rasionalitas kebutuhan di dalam prolegnas, karena
seharusnya ada yang tidak masuk prolegnas tetapi dipaksakan masuk di dalam pembentukan
UU. Kemudian pelanggaran aspek prosedur sering dilakukan oleh pembentuk UU dengan
kekuatan politik mayoritas di Parlemen yakni ketiadaan koherensi naskah akademik dengan
draf RUU yang diusulkan oleh pemerintah dan DPR.

Sedangkan pengambilan persetujuan kadang mengabaikan syarat kuorum, mungkin ada


beberapa fraksi yang tidak menyetujui tapi tetap disahkan dan disetujui kemudian diambil
persetujuan bersama. Serta di dalam aspek pengesahan, salah satu pelanggaran yang terjadi
contohnya pada pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja, ada penyelundupan pasal-pasal
baru yang tidak masuk di dalam naskah persetujuan. Hal inilah yang menyebabkan tuntutan
pengujian formil di MK itu meningkat.

- KESIMPULAN
menelisik dari pembahasan mengenai sejumlah pasal UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).dimana ada pihak yang merasa dirugikan
dalam UU ini dimana Pengawasan reaktif yang dilakukan oleh pengusaha tambang
Fatriansyah Aria dan Fahrizan; John Murod, Zuristyo Firmadata, Nico Plamonia, dan Johardi
dimana untuk permohonan No. 25/PUU-VIII/2010, MK membatalkan Pasal 22 huruf e dan f
sepanjang frasa “dan atau” dan Pasal 52 ayat (1) UU Minerba sepanjang frasa “dengan luas
paling sedikit 5.000 hektare dan” karena bertentangan dengan UUD 1945. Ini artinya syarat
luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) minimal 5.000 hektare dihapus oleh MK,
Pasal-pasal itu dinilai berpotensi memperkecil atau menghilangkan kesempatan masyarakat
untuk berusaha. Menurut pemohon, pasal-pasal itu juga sangat diskriminatif dan merugikan
pengusaha kecil dan menengah bidang pertambangan timah, khususnya di provinsi Bangka
Belitung. Salah satunya syarat luas minimal IUP yang harus dipenuhi bila ingin memperoleh
Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Dan menurut saya kenapa terjadi seperti ini yaitu para pembuat kebijakan terlalu terburu
pengujian formil UU di Mahkamah Konstitusi. bahwa pengujian formil UU di Mahkamah
Konstitusi berasal karena pembentukan UU yang cacat prosedur, mengabaikan partisipasi
publik, tidak akuntabel, serta tidak transparan.
Referensi
MK Batalkan Sebagian Materi UU Minerba (hukumonline.com)
Problematika Pembentukan Undang-Undang - Universitas Islam Indonesia (uii.ac.id)
MK : Mekanisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di MA Konstitusional |
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (mkri.id)

Anda mungkin juga menyukai