NIM ; E041201057
KELAS :PERANCANGANPERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN KELAS E
PRODI : ILMU HUKUM
Permasalahan pengawasan UU
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya membatalkan sejumlah pasal UU No.
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). MK mengabulkan
permohonan pengujian yang diajukan pengusaha tambang Fatriansyah Aria dan Fahrizan;
John Murod, Zuristyo Firmadata, Nico Plamonia, dan Johardi dalam dua permohonan yang
berbeda.
Untuk eksplorasi mineral logam, WIUP minimal 5000 hektar (Pasal 52 ayat (1), Sedangkan,
untuk eksplorasi mineral bukan logam, WIUP minimal 500 hektar (Pasal 55 ayat (1). Untuk
eksplorasi batubara, IUP minimal 500 hektar (Pasal 58 ayat (1). Sebab, persyaratan luas
minimal IUP eksplorasi tersebut tak mungkin dipenuhi oleh perusahaan kecil/menengah.
Mahkamah menyatakan Pasal 52 ayat (1) telah menimbulkan diskriminasi bagi para pemohon
yang merupakan penambang skala kecil. “Batas minimal 5.000 hektare ini dengan sendirinya
juga berpotensi mereduksi atau menghilangkan hak-hak para pengusaha pertambangan,
karena belum tentu suatu wilayah pertambangan akan tersedia luas wilayah eksplorasi
minimal 5.000 hektare,” kata Akil.
Pokok permohonan mengenai Pasal 22 huruf a dan c, Pasal 38 huruf a serta Pasal 173 UU
Minerba tidak beralasan menurut hukum. Sementara Pasal 169 huruf a dan Pasal 173 ayat (2)
UU Minerba dikesampingkan
- PEMBAHASAN
.Dalam putusannya, Mahkamah menilai ketentuan yang mengatur mekanisme pengujian
peraturan perundang-undangan di MA seperti yang tercantum dalam Pasal 31A ayat (4) huruf
h UU MA tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebelumnya, para Pemohon khawatir pasal
a quo merugikan hak-hak konstitusional mereka. Sebab, selama ini norma tersebut dimaknai
bahwa proses pemeriksaan persidangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang oleh MA dilakukan secara tertutup. Hal ini
membuat para Pemohon tidak dapat mengetahui sejauh mana permohonannya diperiksa dan
juga tidak bisa menghadirkan ahli atau saksi untuk didengar keterangannya dalam
persidangan yang terbuka.
Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah menilai Pasal 31A ayat (4) UU MA tidak
menyebutkan pemeriksaan dan pengucapan putusan dilakukan dalam sidang yang sifatnya
terbuka untuk umum. Selengkapnya Pasal 31A ayat (4) UU MA menyatakan, “Permohonan
pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling
lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan”. Artinya,
pasal a quo tidak mengatur baik secara implisit maupun secara eksplisit sifat sidang, apakah
dilakukan terbuka untuk umum atau tidak.
Meski demikian, Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 40 ayat
(2) UU MA menyatakan sidang pemeriksaan maupun sidang pengucapan putusan dalam
perkara kasasi, perkara PK, dan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang harus dilakukan dalam sidang yang sifatnya terbuka untuk umum. Untuk
mengatur lebih lanjut tentang tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, Pasal 31A ayat (10) UU MA telah memberi kewenangan kepada Mahkamah
Agung untuk menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
Pasal 4 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil tanggal 30 Mei 2011
menyatakan, “Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan
tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi
perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai dengan asas peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
Dengan demikian, menurut ketentuan Pasal 4 ayat (2) PERMA tersebut, Mahkamah Agung
telah menentukan bahwa perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang adalah “perkara permohonan”. Meskipun demikian, prinsip-prinsip yang
dianut Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 40 ayat (2) UU
MA harus dijadikan dasar dalam pemeriksaan dan pengucapan putusan perkara permohonan
judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Penyelesaian Perkara
Masih terkait pasal yang digugat Pemohon, Mahkamah juga menyatakan bahwa apabila para
Pemohon mengharapkan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh para pihak,
maka MA harus diberikan waktu yang cukup, serta sarana dan prasarana yang memadai. Hal
tersebut menurut Mahkamah, merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (open
legal policy) dan bukan merupakan konstitusionalitas norma.
Untuk menghadirkan pihak berperkara yang berada di seluruh wilayah Republik Indonesia
juga memerlukan waktu lebih lama. Padahal, MA hanya diberi waktu 14 hari untuk
menyelesaikan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
sejak permohonan diterima.
Mahkamah pun berpendapat kondisi yang demikian menjadi kendala dan hambatan bagi
Mahkamah Agung untuk melakukan persidangan yang dihadiri oleh pihak-pihak dan
memberi kesempatan menghadirkan saksi dan ahli dalam sidang terbuka untuk umum dalam
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
- ANALISIS
Membahas pengujian formil UU di Mahkamah Konstitusi. bahwa pengujian formil UU di
Mahkamah Konstitusi berasal karena pembentukan UU yang cacat prosedur, mengabaikan
partisipasi publik, tidak akuntabel, serta tidak transparan.
Konfigurasi politik yang tidak berimbang sehingga melahirkan oversize coalition akan
berdampak pada fungsi legislasi antara Presiden dan DPR yang akhirnya UU dibuat secara
ugal-ugalan. Dampaknya memunculkan fast track legislation, lock accountability yang
merupakan pembentukan UU secara cepat tetapi sangat lemah terhadap akuntabilitasnya,
serta tidak bisa dipertanggungjawabkan karena sebagian besar itu pendukung pemerintah
sehingga menyebabkan matinya pengawasan politik di parlemen.
- KESIMPULAN
menelisik dari pembahasan mengenai sejumlah pasal UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).dimana ada pihak yang merasa dirugikan
dalam UU ini dimana Pengawasan reaktif yang dilakukan oleh pengusaha tambang
Fatriansyah Aria dan Fahrizan; John Murod, Zuristyo Firmadata, Nico Plamonia, dan Johardi
dimana untuk permohonan No. 25/PUU-VIII/2010, MK membatalkan Pasal 22 huruf e dan f
sepanjang frasa “dan atau” dan Pasal 52 ayat (1) UU Minerba sepanjang frasa “dengan luas
paling sedikit 5.000 hektare dan” karena bertentangan dengan UUD 1945. Ini artinya syarat
luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) minimal 5.000 hektare dihapus oleh MK,
Pasal-pasal itu dinilai berpotensi memperkecil atau menghilangkan kesempatan masyarakat
untuk berusaha. Menurut pemohon, pasal-pasal itu juga sangat diskriminatif dan merugikan
pengusaha kecil dan menengah bidang pertambangan timah, khususnya di provinsi Bangka
Belitung. Salah satunya syarat luas minimal IUP yang harus dipenuhi bila ingin memperoleh
Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Dan menurut saya kenapa terjadi seperti ini yaitu para pembuat kebijakan terlalu terburu
pengujian formil UU di Mahkamah Konstitusi. bahwa pengujian formil UU di Mahkamah
Konstitusi berasal karena pembentukan UU yang cacat prosedur, mengabaikan partisipasi
publik, tidak akuntabel, serta tidak transparan.
Referensi
MK Batalkan Sebagian Materi UU Minerba (hukumonline.com)
Problematika Pembentukan Undang-Undang - Universitas Islam Indonesia (uii.ac.id)
MK : Mekanisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di MA Konstitusional |
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (mkri.id)