Anda di halaman 1dari 9

Pengertian Kritisisme

Pengertian Kritisisme
Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu
menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Filsafat kritisisme adalah
faham yang mengkritik terhadap faham Rasionalisme dan faham Empirisme.
Yang mana kedua faham tersebut berlawanan, Adapun pengertian secara perinci
adalah sebagai berikut:

 Faham Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah


ditentukan melalui pembuktian, logika, dan dan analisis yang berdasarkan
fakta. Paham ini menjadi salah satu bagian dari renaissance atau
pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap gereja yang menyebar
ajaran dengan dogma-dogma yang tidak bisa diterima oleh logika. Filsafat
Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala
pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika
yang jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada logika
matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya
adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza – biasa
dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise
Pascal (1623-1662).

 Faham Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui pembuktian-


pembukitan indrawi. Kebenaran belum dapat dikatakan kebenaran apabila
tidak bisa dibuktikan secara indrawi, yaitu dilihat, didengar dan dirasa.
Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad
Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala
kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui pengalamn dan
pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui kesimpulan dari hal
yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul sebagai akibat
ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang
dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah
John Locke (1632-1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume
(1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan
pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi
sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah
mempengaruhi manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang
Hukum dan HAM.

Pelopor kritisisme adalah Immanuel Kant. Immanuel Kant (1724 – 1804)


mengkritisi Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari
dua unsur (akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu
unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang
berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu, Kant
menawarkan sebuah konsep “Filsafat Kritisisme” yang merupakan sintesis dari
rasionalisme dan empirisme. Kata kritik secara harfiah berarti “pemisahan”.
Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan
yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan
dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi
filsafatnya dimaksudkan sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio
secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi
tempat kepada iman kepercayaan.
Dengan filsafatnya Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia dan ilmu
pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari
sifat sepihak rasionalisme dan dari sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira
telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari
segala pengalaman, sedang empirisme mengira hanya dapat memperoleh
pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisme sekalipun mulai
dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif
bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal.
Dengan kritisisme, Imanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas
dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita
tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor
yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-
kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang
dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti
apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti
tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur
yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang
pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita
ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah
cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik di mana hal itu merupakan materi
pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia
mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak
terpatahkan.
Sejarah Timbulnya Kritisisme
Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seorang yang cerdas
mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan emperisme.
Zaman baru ini disebut zaman pencerahan (aufklarung) zaman pencerahan ini
muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran
filsafatnya). Akan tetapi, seorang filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804)
mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap pernah pengetahuan akal.
Sebagai latar belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan
(ilmu pasti, biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang
menggembirakan. Disisi lain, jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu
diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan
alam.
Pada rasionalimse dan emperisme ternyata amat jelas pertentangan antara budi
dan pengalaman, manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan, makanah
pengetahuan yang benar? Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant mencoba
mengadakan penyelesaian pertalian ini. Pada umumnya, Kant mengikuti
rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh emperisme (hume). Walaupun
demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa
emperisme membawa karagu-raguan terhadap budi manusia akan dapat mencapai
kebenaran. Maka Kant akan menyelidiki (mengadakan kritik) pengetahuan budi
serta akan diterangkan, apa sebabnya pengetahuan budi ini mungkin. Itulah
sebabnya aliran ini disebut kriticisme.
Akhirnya, Kant mengakui peranan budi dan keharusan empiri, kemudian
dicobanya mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada
budi (nasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (emperisme) budi
metode berpikirnya disebut metode kritik.
Pemikiran Kritisisme Tentang Ilmu Pengetahuan
Kant membedakan pengetahuan ke dalam empat bagian, sebagai berikut:
1. Yang analitis a priori
2. Yang sintetis a priori
3. Yang analitis a posteriori
4. Yang sintetis a posteriori
Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya
pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman. Sedangkan pengetahuan a
posteriori terjadi sebagai akibat pengalaman. Pengetahuan yang analitis
merupakan hasil analisa dan pengetahuan sintetis merupakan hasil keadaan yang
mempersatukan dua hal yang biasanya terpisah Pengetahuan yang analitis a priori
adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang a
priori. Pengetahuan sintetis a priori dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap
bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak
saling bertumpu. Misal, 7 – 2 = 5 merupakan contoh pengetahuan semacam itu.
Pengetahuan sintetis a posteriori diperoleh setelah adanya pengalaman.
Dengan filsafatnya, ia bermaksud memugar sifat obyektivitas dunia dan ilmu
pengetahuan. Agar maksud tersebut terlaksana orang harus menghindarkan diri
dari sifat sepihak. Menurut Kant ilmu pengetahuan adalah bersyarat pada: a)
bersiafat umum dan bersifat perlu mutlak dan b) memberi pengetahuan yang baru.
Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan
realita.
Kant yang mengajarkan tentang daya pengenalan mengemukakan bahwa daya
pengenalan roh adalah bertingkat, dari tingkatan terendah pengamatan inderawi,
menuju ke tingkat menengah akal (Verstand) dan yang tertinggi rasio atau buddhi
(Vernunft).
Immanuel Kant menganggap Empirisme (pengalaman) itu bersifat relative bila
tanpa ada landasan teorinya. contohnya adalah kamu selama ini tahu air yang
dimasak sampai mendidih pasti akan panas, itu kita dapat dari pengalaman kita di
rumah kita di Indonesia ini, namun lain cerita bila kita memasak air sampai
mendidih di daerah kutub yang suhunya di bawah 0̊ C, maka air itu tidak akan
panas karena terkena suhu dingin daerah kutub, karena pada teorinya suhu air
malah akan menjadi dingin. dan contoh lainnya adalah pada gravitasi, gravitasi
hanya dapat di buktikan di bumi saja, tetapi tidak dapat diterapkan di bulan. Jadi
sudah terbukti bahwa pengalaman itu bersifat relatif, tidak bisa kita simpulkan
atau kita iyakan begitu saja tanpa dibuktikan dengan sebuah akal dan teori. Dan
oleh karena itu Ilmu pengetahuan atau Science haruslah bersifat berkembang,
tidak absolute atau mutlak dan tidak bertahan lama karena akan melalui perubahan
yang mengikuti perkembangan zaman yang terus maju.

1. Metodologi berpikir Dalam Mendapatkan Ilmu


Metodelogi Immanuel Kant tersebut dikenal dengan metode Induksi, dari
particular data-data terkecil baru mencapai kesimpulan Universal. Menurut
Immanuel Kant, Manusia sudah mendapatkan ke 12 kategori tersebut sejak
terlahir di dunia ini, Teori itu terinspirasi dari Dunia Ide Plato.
Immanuel Kant juga beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa
menentukan Fenomena saja. Fenomena itu sendiri adalah sesuatu yang tampak
yang hanya menunjukkan fisiknya saja. Seperti benda pada dirinya, bukan isinya
atau idenya. Seperti ada ungkapan “The Think in itself” Sama halnya dengan
Manusia hanya bisa melihat Manusia lain secara penampakannya saja atau
fisiknya saja, tetapi tidak bisa melihat ide manusia tersebut. Inderawi hanya bisa
melihat Fenomena (fisik) tapi tidak bisa melihat Nomena (Dunia ide abstrak–>
Plato). Cara berpikir yang demikian itu, yaitu pemikiran dengan memakai tese,
antitese dan sintese.
Immanuel Kant menggabungkan dunia Ide Plato “a priori” yang artinya sebelum
dibuktikan tapi kita sudah percaya, seperti konsep ketuhanan dengan pengalaman
itu sendiri yang bersifat “a posteriori” yaitu setelah dibuktikan baru percaya, kata
lainnya adalah kesimpulan dari kesan-kesan baru kemudian membentuk sebuah
ide.

Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan


“Pencerahan”, yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang menekankan
kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pasa masa itu lahir
berbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama paradigma ilmu
fisika alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) di bidang
ilmu astronomi yang membutuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia
mereinterpretasikan pandangan duniannya, tidak hanya pandangan dunia ilmu
tetapi juga keagamaan.
Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme, yaitu suatu paham
yang kemudian melahirkan apa yang disebut Natural Religion (Agama alam) atau
agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan
alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia
kepada nasibnya sendiri. Sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke
dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia
dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai
dengan hukum-hukum akalnya. Maksud paham ini adalah menaklukkan wahyu
ilahi beserta degan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, mukjizat,
dan lain-lain kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang
alamiah, bebas dari pada segala ajaran Gereja. Singkatnya, yang dipandang
sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran adalah akal.
Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan
kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran
filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang – dianggap – benar-benar berbeda
sama sekali dengan metafisikan pra kant.
Pengaruh Leibniz dan Hume
Leibniz-Wolf dan Hume merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang
kuat melanda Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagai tokoh penting
dari aliran empirisisme.
Di sini jelas, bahwa epistemologi ‘ala Leibniz bertentangan dengan epistemologi
Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasionya
saja, dan bukan pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa diturunkan kebenaran
yang umum dan mutlak. Sedangkan Hume megnajarkan bahwa pengalamanlah
sumber pengetahuan itu. Pengetahuan rasional mengenai sesuatu terjadi setelah itu
dialami terlebih dahulu.
Epistemologi Kant, Membangun dari Bawah
Filsafat Kant berusaha mengatasi dua aliran tersebut dengan menunjukkan unsur-
unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur
mana yang terdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu antinomy, seakan
kedua belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat memberi peluang
untuk munculnya alternatif ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan
konstruktif.
Mendapatkan inspirasi dari “Copernican Revolution”, Kant mengubah wajah
filsafat secara radikal, dimana ia memberikan filsafatnya, Kant tidak mulai dengan
penyeledikan atas benda-benda yang memungkinkan mengetahui benda-benda
sebagai objek. Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif
mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap. Kant mengatakan:
Akal tidak boleh bertindak seperti seroang mahasiswa yang Cuma puas dengan
mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennnya, tapi
hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan
memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah
rumuskan dan persiapkan sebelumnya.
Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama yang
diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan
terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas
rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya pertimbangan.
1. Kritik atas Rasio Murni
Dalam kritik ini, atara lain kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah
bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu
membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
a. Putusan analitis apriori; dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru
pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (msialnya, setiap benda
menempati ruang).
b. Putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini
predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena
dinyatakan setelah (=post, bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam
meja yang pernah diketahui.
c. Putusan sintesis apriori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang
kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang
berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan
mutlak, namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam
pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi
dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusu atas
putusan sintetis yang bersifat apriori ini.
Tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:
a. Tingkat Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
Unsur apriori, pada taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu. Dengan
unsur apriori ini membuat benda-benda objek pencerapan ini menjadi ‘meruang’
dan ‘mewaktu’. Pengertian kant mengenai ruang dan waktu ini berbeda dengan
ruang dan waktu dalam pandangan Newton. Kalau Newton menempatkan ruang
dan waktu ‘di luar’ manusia, kant megnatakan bahwa keduanya
adalah apriori sensibilitas. Maksud Kant, keduanya sudah berakar di dalam
struktur subjek. Ruang bukanlah ruang kosong, ke dalamnya suatu benda bisa
ditempatkan; ruang bukan merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (Raum an
sich). Dan waktu bukanlah arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan
berlangsung, tetapi ia merupakan kndisi formal dari fenomena apapun, dan
bersifat apriori.
Yang bisa diamati dan diselidiki hanyalah fenomena-fenomena atau penampakan-
penampakannya saja, yang tak lain merupakan sintesis antara unsur-unsur yang
datang dari luar sebagai materi dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu di
dalam struktur pemikiran manusia.
b. Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan.
Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi,
sehingga menghasilkan putusan-putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja dengan
bantuan fantasinya (Einbildungskarft). Pengetahuan akal budi baru dieroleh ketika
terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-
bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang
mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia.
c. Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk buat
pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk;
‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas intelek adalah menarik
kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal
budi(Verstand)  dan tingkat pencerapan indrawi (Senneswahnehmung). Dengan
kata lain, intelek dengan idea-idea argumentatif.
Kendati Kant menerima ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa
diketahui lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi
di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal
(dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia
gagasan, dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah
pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya
sendiri” (das Ding an Sich). Ketiganya merupakan postulat atau aksioma-aksioma
epistemologis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoretis-empiris.
2. Kritik atas Rasio Praktis
Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang
perseorangan (individu), sedangkanimperative  (perintah) merupakan azas
kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan.
Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan
bersyarat (hypothetical)atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif
kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan
formal (=solen). Menurut kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber
paa kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban
merupakan sikap hormat (achtung).Sikap inilah penggerak sesungguhnya
perbuatan manusia.
Kant, ada akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila
mengandung adanya praanggapan dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut
“postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya
Tuhan.
Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang
disebut dengan “argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan
dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan,
rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.
3. Kritik atas Daya Pertimbangan
Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti
persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep
finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas
bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah
yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat
objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.
Idealisme Transedental : Sebuah Konsekuensi
Tidak mudah memahami kant, terutama ketika sampai pada teorinya: realisme
empirikal (Empirical realism)dan Idealisme transendental (transendental
idealism), apalagi jika mencoba mempertemukan bagian-bagian dari teorinya itu.
Istilah “transenden” berhadapan dengan istilah ‘empiris’, dimana keduanya sama-
sama merupakan term epistemologis, namun sudah tentu mengandung maksud
yang berbeda; yang pertama berartiindependent dari pengalaman (dalam arti
transenden), sedang yang terakhir disebut berarti imanen dalam
pengalaman. Begitu saja “realisme” yang berlawanan dengan “idealisme”, adalah
dua istilah ontologis yang masing-masing bermakna: “lepas dari eksistensi
subyek” (independet of my existance)  dan “bergantung pada eksistensi
subyek” (dependent of my existence). Teori Kant ini mengingatkan kita kepada
filsuf Berkeley dan Descartes. Berkeley sduah tentu seorang empirisis, tetapi ia
sekaligus muncul sebagai seroang idealis. Sementara Descartes bisa disebut
seorang realis karena ia percaya bahwa eksistensi obyek itu, secara umum,
independen dari kita, tetapi ia juga memahami bahwa kita hanya mengetahui
esensinya melalui idea bawaaninnate ideas) secara “clear and distinct”, bukan
melalui pengalaman. Inilah yang kemudian membuat Descartes sebagai seorang
“realis transendental”. 
BAB III
KESIMPULAN

Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya telah memadukan dua pendekatan dalam


pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substansial dari
sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat
menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula
pengalaman, tidak dapat dijadikan melulu tolak ukur, karena tidak semua
pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”, yang demikian sukar untuk
dinyatakan sebagai kebenaran.
Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirialisme harusnya bergabung
agar melahirkan suatu paradigm baru bahwa kebenaran empiris harus rasional
sebagaimana kebenaran rasional harus empiris.
DAFTAR PUSTAKA

Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu. Jogjakarta: Belukar, 2004.


S.Praja.Juhaya,Aliran-aliran filsafat dan etika.Cet II;Jakarta:Prenada Media 2005.
Akhmadi,Asmoro,Filsafat Umum. Cet V; Jakarta: RajaGrafindo Persada.2003.

Immanuel Kant Dia lahir di Königsberg, 22 April 1724 – meninggal di


Königsberg, 12 Februari 1804 pada umur 79 tahun, dia adalah seorang filsuf
Jerman. Karya yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft, 1781. Dalam
bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa
yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga
pertanyaan: a. Apakah yang bisa kuketahui? b. Apakah yang harus kulakukan? c.
Apakah yang bisa kuharapkan? Pertanyaan ini dijawab sebagai berikut: a. Apa-
apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indria.
Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide. b. Semua yang harus
dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini
disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan
mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila
semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan. c. Yang bisa diharapkan
manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan
manusia.

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

4. Immanuel Kant Dia lahir di Königsberg, 22 April 1724 – meninggal di Königsberg, 12


Februari 1804 pada umur 79 tahun, dia adalah seorang filsuf Jerman. Karya yang
terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft, 1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi
pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia
menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan: a. Apakah yang bisa kuketahui? b.
Apakah yang harus kulakukan? c. Apakah yang bisa kuharapkan? Pertanyaan ini dijawab
sebagai berikut: a. Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi
dengan panca indria. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide. b. Semua
yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal
ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan
mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua
orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan. c. Yang bisa diharapkan manusia ditentukan
oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia.

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

Anda mungkin juga menyukai