Anda di halaman 1dari 28
BB Seven Titonits oF Reucion. ritual baru pada hampir setiap perubahan kehidupan mereka. ~ Mereka begitu terbenam dalam transaksi dengan roh ini atau setan itu sehingga mereka bahkan hampir tidak sadar bahwa mereka “memiliki” sebuah agama; itu adalah apa yang benar- benar selalu mereka lakukan. Perjumpaan dengan dewa-de- wa itu memenuhi setiap aspek masyarakat mereka. Pada sisi lain, agama-agama yang dirasionalisasikan adalah berbeda. Ini adalah yang disebut dengan agama-agama besar dunia se- perti Yudaisme, Konfusianisme, dan Hinduisme dari para fil- suf India. Bukannya memiliki banyak roh, agama-agama ini cenderung melihat ketuhanan dalam bentuk satu, dua, atau sekadar prinsip spiritual yang besar: Tuhan esa dari Israel, Tao dari Cina, atau Jalan Alam; dan Brahman dari India, atau Roh Yang Tertinggi. Agama-agama yang dirasionalisasikan pada umumnya bersifat abstrak dan logis; Tuhan atau prinsip spiritual mereka berada “terlepas” atau “di atas” hal-hal kecil kehidupan yang selalu dihadiri oleh roh agama-agama magis. Dan penghapusan mereka terhadap tuhan dari hal-hal yang dekat, membuat kehidupan biasa “terkecewakan” —dibuat kosong—dari dewa-dewanya yang kecil, sehingga, agar dapat membawa umat kembali ke kontak dengan yang sakral, me- Teka sering harus membawa umat kembali ke kontak dengan yang sakral, mereka sering harus memperkenalkan jalan yang baru untuk mencapai Tuhan. Sebagai ganti melakukan ritual tiap hari yang tak terbilang dari agama magis, agama-agama yang dirasionalisasikan mengusulkan perjumpaan dengan yang ilahi melalui pengalaman mistik, seperti yang dianjur- kan oleh para guru Hindu, atau melalui kode moral seperti Se- puluh Perintah dari Yudaisme. Tidak seperti para penganut kultus-kultus tradisional, para pengikut agama-agama sema- cam itu sangat sadar dengan apa yang mereka lakukan; mere- ka sangat tahu bahwa mereka telah memilih suatu sistem ke- percayaan yang sangat teratur. 420 ‘es Dan Pas Agama-agama yang dirasionalisasikan dan agama-ag- ama tradsisional juga berbeda dalam hal penting yang lain: cara mereka menghadapi problem besar kehidupan. Agama- agama tradisional, seperti dijelaskan Evans-Pritchard dalam kasus ilmu sihir Zande, membicarakan persoalan-persoalan besar seperti ini— apa arti hidup, mengapa ada penderitaan, mengapa ada kejahatan —melalui cara-cara yang khusus dan sa- ngat partikular. Mereka tidak bertanya,“ mengapa orang-orang. menderita?” tetapi mereka bertanya, “Mengapa bapakku sak- it?” dan mereka juga mencari jawaban-jawaban yang sangat partikuler: “Bapakku sakit karena musuhnya menggunakan il- mu sihir.” Namun, agama-agama yang dirasionalisasikan sela- ju mengemukakan persoalan semacam itu di dalam skala kos- mis; persoalan-persoalan itu mencakup dunia secara keseluruh- an. Dalam hal penderitaan, mereka tidak menunjuk pada su- atu ilmu sihir tetapi pada setan, yang membawa dosa ke du- nia, atau pada kegelapan, sisi dingin dari Tao; singkatnya, me- reka menyeru kepada realitas-realitas besar yang mempenga- ruhi setiap orang. Setelah menunjukkan perbedaan-perbedaan ini, We- ber terus berkata bahwa sebagian besar agama-gama dunia yang dirasionalisasikan tampaknya muncul pada saat pergolakan Sosial yang besar pada saat ketika agama-agama tradisional di desa dan di ladang tidak lagi memenuhi kebutuhan para peng- anutnya, Agama Kristen, misalnya, muncul di tengah-tengah kekacauan sosial yang besar di alam Mediteranea kuno yang disebabkan oleh kemunculan dan menyebarnya peradaban Yunani-Romawi, Konfusianisme muncul di tengah-tengah ke- kacauan perang-perang sipil kuno yang destruktif di Cina. Dengan mengakui nilai kerangka konseptual yang luas ini, kata Geertz, marilah kita sekarang menerapkannya ke ke- adaan Bali pada zaman modern. Setiap orang yang mendekati kebudayaan Bali dengan mengingat perbedaan yang dibuat $421 (B Seven Tutors oF Reucion———-—_— ees omens oleh Weber ini serta-merta akan memperhatikan beberapa hal yang menarik. Meskipun namanya Hindu, namun agama Bali bukanlah mistisisme para intelektual India tetapi politeisme dan mitologi setiap hari penduduk desanya; artinya, agama itu sesuai dengan kategori Weber tentang agama tradisional. Di dalam agama itu, hampir tak ada teologi yang dirasionali- sasi, sebaliknya, ritual dan suatu perasaan ketuhanan yang dekat dapat ditemukan di mana-mana. Ada ribuan kuil di da- ratan itu, dan pada saat yang sama, seseorang dapat termasuk dalam anggota dari lusinan kuil. Orang-orang sering tak memi- liki gambaran, mana dewa-dewa yang disembah dalam kuil- kuil itu, tetapi untuk setiap dewa, mereka menegaskan bahwa suatu ritual yang benar harus dilakukan tepat sesuai dengan serangkaian perencanaan. Apalagi, upacara-upacara itu juga sangat terkait dengan struktur sosial. Para pendeta lokal yang termasuk dalam kasta Brahmin menemukan tingkatan sosial mereka didukung oleh status spiritual mereka yang khusus; setiap anggota kasta Brahmin “memiliki” sekelompok peng- ikut berkasta lebih rendah yang mengasosiasikannya dengan Tuhan, sementara ia sendiri menyebut para pengikut itu seba- gai “klien’”-nya. Di samping itu, salah satu usaha utama dari berbagai pangeran, raja, dan kaum bangsawan di pulau itu adalah untuk mengadakan perayaan keagamaan berskala be- sar, tontonan yang menuntut tenaga kerja yang memakan wak- tu, terkadang dari ratusan petani dan para warga yang lain. Upacara-upacara itu secara simbolik mengingatkan orang- orang akan tempat mereka yang tepat menurut skala sosial; para bangsawan menyelenggarakan perayaan-perayaan itu, sementara rakyat jelata yang mengerjakannya. Akhirnya, menurut cara agama magi yang sebenarnya, kultus kematian dan ilmu sihir, yang kita lihat di atas dalam pertempuran be- sar antara Rangda dengan Barong, menembus ke hampir se- tiap aspek kehidupan orang-orang Bali. Apalagi, selama ber- 422 $$ Dann Pras » whun-tahun, meskipun orang-orang Bali telah berjumpa de- ngan agama Kristen dan Islam, namun mereka tidak pernah eenius mempertimbangkan konversi kepada kedua agama da- niluar ini.* Oleh karena itu, agama tradisional mereka dapat pertahan selama berabad-abad dan pada umumnya tak ter- sentuh oleh pengaruh dari suatu agama dunia yang dirasiona- lisasikan. Namun, seperti yang dilihat Geertz pada tahun 1964, Bali adalah sebuah pulau yang berhadapan dengan perubah- ansosial secara dramatis, banyak yang terjadi dengan datang- nya kemerdekaan untuk semua orang Indonesia pada tahun 1949. Pendidikan moder, kesadaran politik, dan komunikasi yang diperbaiki telah membuka saluran kontak dengan dunia luar. Pertumbuhan kota-kota dan penduduk telah menambah tekanan, sehingga apa yang terjadi di masyarakat-masyarakat kuno ketika kekacauan sosial mengakibatkan kekecewaan pa- da dunia dan akhirnya agama magis, tampak sangat serupa dengan apa yang sedang terjadi di Bali. Sebenarnya, jika orang mau melihat secara dekat, akan tampak bahwa orang-orang Bali modern pada saat itu terlibat dalam proses “konversi in- tema!” menurut Weber, mengubah cara-cara pemujaan tradi- sional mereka ke sesuatu yang secara perlahan-lahan, mulai menerima ciri-ciri agama dunia yang dirasionalisasikan. Geertz mencatat bahwa selama melakukan kerja lapangan, pada su- atu petang ia sangat terkejut ketika di suatu pemakaman ter- jadi pembicaraan filosofis yang intens tentang arti dan tujuan agama di kalangan beberapa orang muda di kota itu. Hampir tak dikenal di dalam kebudayaan tradisional, pembahasan-pem- bahasan semacam itu adalah tanda agama yang dirasionalisa- sikan; namun di sini, perubahan aktif sedang terjadi di jalan- jalan di Bali. Yang hampir tak terdengar di dalam sebuah situ- asi tradisional adalah perkembangan kitab suci, doktrin, me- lek agama, dan suatu kependetaan yang teratur. Namun lagi, $423 BB Stven Troms of Reus + ada tanda-tanda bahwa setiap satu dari hal-hal ini sekarang telah mewarisi kebudayaan Bali. Menarik juga, orang-orang bangsawan dan para pangeran, mungkin melihat hak-hak is. timewa mereka yang lama terancam oleh datangnya pemerin. tahan yang demokratis, benar-benar telah menempatkan dirj mereka di balik inisiatif ini, mereka mengharap dapat memper. tahankan status dengan berada di barisan depan agama Balj yang sadar diri dan lebih terdefinisi. Gerakan baru ini, kata Geertz, bam akhir-akhir ini memperoleh tanda yang paling tampak sebagai agama yang dirasionalisasikan: yakni sebuah organi- sasi. Bertentangan dengan kementrian Agama pemerintah Indonesia yang didominasi oleh kaum Muslim, baru-baru ini Bali memilih mendirikan kementrian yang memiliki dukung- an dari orang-orang Bali saja, yang menanggung tugas menge- sahkan para pendeta Brahmana dan menciptakan suatu klas pendeta profesional yang sah. Singkatnya, dan pada esensinya, jelas Geertz, semua proses dan perubahan yang ditemukan Weber di balik tum- buhnya agama-agama besar dunia yang dirasionalisasikan itu, dapat dibuktikan di pulau Bali di era paskaperang. Pada ta~ hun 1964, Bali tampak seperti kota Roma pada masa Yesus dan Cina di zaman Konfusius. Begitulah, persoalan yang muncul di pikiran adalah: dapatkah suatu kesimpulan yang lebih umum diambil dari pengalaman di Bali? Adakah suatu teori untuk menghubungkan Roma kuno dengan Bali modem, dan mung- kin juga dengan tempat-tempat yang lain? Geertz tidak meng- usulkan satu pun. Apa yang akan terjadi di masa depan, aku Geertz, adalah sesuatu yang tak dapat diprediksi oleh siapa pun. Meskipun demikian, walau tak ada teori, jelas ada banyak Pengertian yang dapat diambil dari penerapan gambaran umum seperti gambaran milik Weber, beserta dengan harap- an bahwa kasus Bali mungkin dapat membantu kita lebih lan- jut menerapkan dan memperhalus gambaran itu. Dalam ke- 424 es——_____ a Dane Ps smpulannya Geertz mengamati, “Dengan melihat secara de- kot pada apa yang terjadi di pulau kecil yang aneh ini selama rapa dekade yang akan datang, kita mungkin dapat me- rt dinamika perubahan agama dari suatu kekhususan dan u kesiapan yang setelah terjadi, tidak pernah diberikan kepada kita oleh sejarah.”” Ista OBSERVED Contoh kita yang ke dua dari aksi pendekatan interpretif Geertz membawa kita pada subjek yang lebih besar, perbandingan Geertz terhadap dua jenis Islam. Di awal Islam Observed (1968), dengan cukup ambisius, Geertz menyatakan bahwa tujuannya edalzh untuk menyusun suatu “kerangka umum bagi analisis agama secara perbandingan” dan menerapkannya pada suatu agama, Islam, sebagaimana agama ini berada di dua negeri yang betul-betul berbeda yang dimungkinkan sangat diketa- hui oleh kerja lapangannya: Indonesia dan Maroko.® Di sam- Ping berkebudayaan Muslim, catat Geertz, kedua kebudaya- animi pada masa modem telah melewati perubahan sosial yang besar. Pada saat yang bersamaan, tempat yang pertama me- niiliki masyarakat tradisional yang terdiri atas petani beras, den tempat yang ke dua terdiri atas para penggembala; kedu- anya telah menjadi koloni negara-negara Barat (Belanda dan Perancis) dan baru akhir-akhir ini memperoleh kemerdekaan (indonesia di tahun 1945 dan Maroko di tahun 1956). Tak per- \u dikatakan, agama sering berada di tengah-tengah perubah- an sosial yang terjadi pada kedua bangsa ini. CorAK-CORAK ISLAM KLASIK | Maroko memiliki bentuk sebagai suatu bangsa Muslim selama empat abad yang penting, yang dari tahun 1050 sampai 1450, ketika masyarakat didominasi o! g-orang suku gurun PERPUSTAKAAN | 6 pete: ee Tear cane aqrest Gar care seudager sone tare wereemanat ems, Dua uxcit atom Gaia sefutiarear im adaiat sren- ct agu emmow. dar mstias, camusa set Masi. rae wRacang Tern Gaiam Gene. ateal wait — seamer. oes L wang cada ainad ke memibemgan Sate Fez dar mere ngs memamat a adalat pearing rang gaizic Cam pemitace wang memgiiaon memilic asi-asui ergs cars Nai Vo sunk geumnizin peagiicat vane meaiogi mepeci ke daians seis rag mnie, mess meg sat Se ae mumps sare sical Sebelieere & indoresiz. slam cag See. Ga ee See veg acs ee pag dang Demme See See ener ieee . wee pee Gen petegeng Edonesia hana pois sede mange price Bars pace whem an, ela moins tec pai repizwan: ndonenz, dam heme secara Gada tok inde sang ties, yang mengazmiaerre, prams anamus yang telah ade sebeimeye. Dengan demiicur, sim indonesia mengemiangeen cscs yang fieksibe’ vain bes fee" adapt. menvexap, pragmacs, dan graduabsck” sme. tetete Catt “idediewan: yang ak kena kompeet dan “ae dementaiome yong egresf” di Maeroko™ Semenuce rT i —— Dara L. Pats 8 » pertama berkembang ke dalam sesuatu yang gradualis, libe- ral, dan akomodatif, yang kedua mengambil sesuatu yang bersifat perfeksionis, puritan, dan tak kenal kompromi. Sikap agama yang karakteristik ini, keras di satu tem- pat rileks di tempat lain, disebut oleh Geertz, dengan “corak- corak klasik” Islam di setiap bangsa. Keduanya bersifat “mis- tik”, karena menemukan kebenaran agama melalui kontak yang langsung dengan Tuhan, tetapi ada perbedaan yang signi- fikan, yang dijelaskan oleh Geertz melalui cerita tentang dua pemimpin keagamaan yang legendaris. Dalam legenda-legen- da suci di Indonesia, Sunan Kalijaga dikatakan adalah pahla- wan yang menyebarkan Islam di pulau Jawa. la lahir dari se- orang pegawai di istana keluarga penguasa pada masa “nega- Ta-negara teater” Hindu-Budha yang besar—yakni, pada ma- sa ketika klas-klas yang berkuasa, sebagai anggota dari klas yang tertinggi, dipandang sebagai elit spiritual di dalam nege- 11. Di dalam istana kerajaan dan kaum bangsawan, upacara- upacara agama yang rumit diselenggarakan untuk menun- jukkan kekuasaan politik dan kekuasaan agama para raja. Na- mun, sebagai orang muda, Kalijaga memiliki perhatian yang kecil terhadap agama hingga pada suatu hari ia bertemu dengan orang mistikus Muslim yang ingin ia curi intan dan tongkat- nya yang berharga. Orang suci itu hanya menertawakan ke- inginan bodohnya akan hal-hal materi dan secara tiba-tiba meng- uubah sebatang pohon beringin di dekatnya menjadi pohon emas, yang bergantungan intan permata. Kalijaga begitu terkejut dengan keajaiban ini dan ketidakacuhan orang itu terhadap kekayaan, dan ia memohon padanya untuk menjadikan diri- nya seorang Muslim, kemudian ia membuktikan ketaatan dirinya pada Islam dengan tetap berada di suatu tempat, di da- lam keadaan meditasi yang patuh, selama selang waktu be- berapa dekade! Jadi, Kalijaga menjadi seorang Muslim tanpa per- rah methat Al Quran atau mengunjungi masjid. Namun, penting, S427 (B Seven Tutomts oF Reucion: setelah memeluk Islam, Kalijaga tidak meninggalkan kebuda- # yaan negara-teater di masa kanak-kanaknya, Sebaliknya, ia membantu mendirikan suatu kota kerajaan baru di Mataram, dan di sana menggunakan kedudukannya yang tinggi dan upa- cara istana raja untuk mempromosikan Islam, sebagaimana hal ini pernah memenuhi tujuan agama Hindu-Budha yang lebih tua. Tentu, legenda Kalijaga adalah lebih dari sekadar ki- sah seorang manusia. Legenda itu adalah ceritan tentang se- mua Islam saat masuk ke Indonesia, bergabung dengan aga- ma-agama yang lebih dahulu, dan menyesuaikan dirinya de- ngan kebudayaan negara-negara teater. Sinkretisme atau per- campuran agama semacam itu adalah sangat khas Indonesia, tetapi ia tidak bertahan. Di masa modern, ia mulai runtuh, ke- tika Islam muncul sebagai agama para saudagar yang berkua- sa, yang kekuasaannya tumbuh semakin besar, dan ketika Be- landa, yang datang pada saat yang sama untuk menjajah ne- gara kepualaun itu, mendorong Klas Ppenguasa keluar dari ke- kuasaan. Di bawah tekanan para penakluk Eropa, agama cam- Puran yang lembut pada masa-masa sebelumnya ini terpecah ke dalam tiga tradisi yang terpisah — Hindu-Budha, Muslim, dan animis pribumi— yang sekarang kita temukan di Jawa. Dalam suatu cara yang serupa dengan Kalijaga di Ja~ Wa, ciri-ciri Islam di Maroko dapat dilihat dengan baik di da- lam kehidupan manusia Muslim yang sakral, yang dikenal sebagai Sidi Lahsen Lyusi, salah seorang pengikut Murobit yang terakhir, yang hidup pada tahun 1600-an, Seperti yang lain, Lyusi melihat dirinya “terikat dengan Tuhan”. Sebagai Seorang penyiar agama yang mengembara, sarjana, dan pezi- arah, Lyusi adalah seseorang yang memiliki moralitas kuat dan pengetahuan yang tinggi, seorang tokoh yang di dalam ce- Tita orang-orang Maroko, dipuja sebagai wali yang menun- dukkan seorang sultan. Hal itu terjadi ketika di suatu hari saat 428 ‘es a DAML. Pats OB + menjadi tamu Sultan Mulay Ismail, pendiri dinasti Alawiyyah yang besar, Lyusi menghina tuan rumah dengan membuang eomua hidangan yang disajikan di istana, Tujuan dari pertun- jukan yang tak kenal terima kasih int sebenarnya adalah mu- li: untuk memprotes pemerasan tenaga kerja yang dilakukan Sultan pada para budaknya, Atas peristiwa ini, Sultan meng- usir Lyusi dari istana dan secara pribadi kemudian mengam- bil tindakan untuk membunuhnya. Namun, ketika Sultan me- nyerang tenda Lyusi, secara,ajaib kudanya terperosok ke da- lam tanah, Dengan segera Sultan mengakui kesalahannya, memenuhi persyaratan Lyusi agar diakui sebagai wali dan se- orang sherif, atau keturunan Nabi, dan mengizinkannya pergi. Sifat luar biasa ini adalah baraka, sejenis kharisma spir- itual. Kekuatan spiritual Lyusi yang menghentikan kuda Sul- tan adalah satu tanda yang pasti bahwa ia memiliki berkah ilahi ini. Namun, di dalam Islam selalu ada cara ke dua untuk membuktikan otoritas ilahi dalam diri seseorang —yakni, di- akui sebagai syarif, keturunan nabi. Meskipun telah melaku- kan kemukjizatan, namun Lyusi tetap menuntut sultan meng- akui dirinya dalam bukti kesuciannya yang ke dua ini. Maka, kita menemukan di dalam orang suci ini persoalan besar yang menghadang Islam di Maroko: Bagaimanakah juru bicara Tu- han dikenal? Apakah baraka datang hanya melalui kharisma pribadi seorang yang sakral (wali) dan kekuatan ajaib? Atau, haruskah seseorang itu adalah sherif, keturunan nabi Muham- mad? Atau, apakah keduanya sebagai Persyaratan? Di dalam ketegangan antara dua prinsip ini, kata Geertz kepada kita, kita dapat melihat salah satu kunci utama yang menghidupkan kebudayaan Islam Maroko sepanjang sejarahnya. Selama ren- tangan waktu tertentu, keluarga-keluarga yang berkuasa di ne- geri itu menetapkan keturunan dari Nabi sebagai prinsip yang dominan, tetapi ide baraka ~ seperti yang diungkapkan dalam sifat kesucian yang kharismatik, keteguhan moral, dan kekua- “es429 - = 7 FE Seven Tutonts oF Riucon = — tan yang menimbulkan keajaiban—tidak pernah hilang. Hal * int tetap sangat hidup di dalam berbagai kultus terhadap para wali dan secara berarti bagi sejarah belakangan —di dalam opi- ni umum. Rakyat cenderung beranggapan bahwa seorang sul- tan harus memilki kedua sifat itu: kharisma religius pribadi dan keturunan dari garis Nabi. Sebagai akibatnya, spirituali- tas dan keturunan harus dibuktikan jika seorang sultan ingin memerintah dengan kekuasaan yang sejati.” Jadi, di Indonesia dan Maroko, corak-corak Islam kla- sik adalah “mistik’; corak-corak itu mencoba untuk membawa umat ke hadirat Tuhan secara langsung. Namun, kisah-kisah tentang para wali Muslim menunjukkan betapa beda bentuk mistik di dalam Islam. Mistisisme “illuminasionis” dari Kalija- ga sangat berlawanan dengan kesalehan “murobitun” yang agresif dari Lyusi. Dengan meminjam definisi dari Geertz sen- diri, agama-agama di Indonesia dan Maroko, meskipun sama- sama Islam, memperlihatkan “suasana hati dan motivasi” yang betul-betul berbeda. Di Indonesia, ada “kebatinan (imward- ness), ketenangan, kesabaran, keseimbangan, sensibilitas, este- tisisme, elitisme, dan peniadaan-diri yang hampir secara obse- sif...; di Maroko, ada akitivisme, semangat, kecepatan bergerak, keberanian, ketegaran, moralisme, Ppopulisme, dan suatu pe- negasan-diri yang hampir obsesif.2 Revotust Kum SKRIPTURALIS Apa pun perbedaannya, Islam di Indonesia dan Maroko akhir- akhir ini harus menghadapi dua problem besar yang umum: para penguasa kolonial dan tantangan modernisasi. Di dua Negeri itu, kata Geertz, hal penting dari kekuasaan kolonial terjadi kira-kira antara tahun 1820 hingga 1920. Di kedua ne- geri itu, pengalaman ini membuat rakyat jauh lebih sadar bahwa mereka adalah Muslim sedang para penguasa Kristen 430 ‘es- Darat L. Paws » momka tidak, Agama Islam kemudian diidentifikasikan de- ngan protes, nastonalisme, dan harapan kererdekaan, Na- mun, di dalam prosesnya, kepercayaan itu sendiri mulai ber- ubah, Corak-corak klasik = illuminasionisme Indonesia dan marobitisme Maroko— pada masa sekarang menemukan diri mereka mendapat tantangan dari gerakan baru yang kuat, yang mengklaim telah menemukan kembali sesuatu yang sangat tua, Ini adalah Islam “skripturalis”, Dalam kasus Indonesia, revolysi skripturalis ini dimu- ai pada tahun 1800-an, saat penting dari kekuasaan Belanda dan ketika sentimen nasional sangat kuat menentang kekua- saan kolonial. Dengan mendapat inspirasi dari kesempatan berhaji di Mekah, orang-orang Indonesia mulai menemukan Islam yang berbeda, yang lebih keras dan militan di Arabia, yang kemudian segera diajarkan di dalam sekolah-sekolah yang baru didirikan. Di dalam institusi-institusi santri ini (ka- ta Jawa untuk “murid agama”), Islam illuminasionis yang lebih tua dan lebih fleksibel dikesampingkan untuk memberi ruang pada tradisi asli yang lebih “murni”, yang berpusat pada con- toh dari Nabi, para khalifah pertama, dan terutama, kebenar- en harfiah dari setiap kata Al Quran. Apalagi, masjid dan pa- Sar, tempat untuk selalu berkumpul secara alami, sehingga, di sejumlah pusat perdagangan yang tumbuh di seluruh Indo- nesia, Islam corak baru yang berdasarkan kitab suci (scripture) ini menyebar dengan cepat, sambil menyumbangkan kekuat- anya bagi suatu nasionalisme yang sedang tumbuh dan usa- ha melawan pemerintahan kolonial. Menarik, kata Geertz, di saat yang hampir bersamaan, skripturalisme juga muncul di Maroko, Dikenal sebagai Salafi, atau “para leluhur yang sa- Ieh” dan dipimpin oleh para nasionalis yang keras dan penuh nafsu, seperti Allal Al-Fassi, gerakan yang baru ini pada ta- hun 1900 mulai membuka kon{flik dengan corak Islam muro- bit yang lama—atau dengan “wali”. Sebagaimana di Indone- @8.431 Seven THtomts oF Riucion ————_-_ sia, kaum skripturalis baru ini menentang Perancis dan corak® Muslim klasik yang lebih tua. Jadi, Islam skripturalis di Indonesia dan Maroko mern- beri latar belakang pada perjuangan untuk kemerdekaan bangsa yang terjadi di kedua negeri itu selama tahun-tahun pertengahan abad ke-20. Perjuangan ini dapat diikuti dalam karir dua pemimpin nasional pada saat itu, Sultan Muham- mad V di Maroko dan Presiden Sukarno di Indonesia. Muham- mad V memegang kekuasaan atas dasar nasionalisme yang diilhami oleh revolusi skripturalis di negerinya. Meskipun se- cara pribadi sebagai seorang yang saleh, namun Muhammad V merasakan dirinya tak tenang dengan fundamentalisme kaum skripturalis. Ia lebih menyukai Islam murobit corak la- ma, yang mengakui sultan sebagai manusia suci (wali) utama di dalam negeri. Selama tahun 1950-an, ketika Perancis mela- kukan sejumlah tindakan yang tak disenangi, Muhammad V menolak untuk menjadi boneka mereka dan melakukan per- lawanan. Ia dipecat dan diusir, tetapi dua tahun kemudian ia berhasil kembali dalam kemenangan sebagai kepala negara Maroko merdeka yang baru. Di mata Muslim, perlawanan dan ketaatan Muhammad V adalah bukti yang jelas dari dukungan ilahi; ia telah memperlihatkan baraka yang serupa dengan Lyusi, dan ia sepenuhnya memiliki ideal marobit ten- tang wali-prajurit yang dijunjung tinggi.” Namun demikian, kata Geertz, adalah sulit untuk dilihat kesuksesannya dalam menyatukan ideal-ideal agama lama dengan zaman baru paskakolonial, lebih dari sekadar tindakan bertahan. Kisah Sukarno di Indonesia adalah sesuatu yang kurang, menyenangkan, karena kisah itu berakhir dengan pengguling- an Sukamo oleh militer pada tahun 1965, Namun, dalam per- juangan panjang yang ia pimpin dari tahun 1920-an hingga tahun kemerdekaan 1945 dan kemudian sebagai presiden dari bangsa yang baru, kita dapat melihat campuran serupa antara 432 a Dan LPs * cepentingan agama dengan kepentingan politik. Karena ber- chap sensitif terhadap: keanekaragaman agama dari takyat- nvadan menentang komunisme di sayap kiri dan kaum skrip- quralis Mustim di sayap Kanan, maka Sukamo mencoba untuk menyatukan semua partai dengan Pancasila-nya yang terke- nal: nasionalisme, kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, dan ketuhanan yang Maha Esa. Ketika hal ini secara perlahan- Jahan gagal ia melakukan usaha penyatuan yang terakhir, yang tampak memutar jam kembali “negara teater” kuno dalam bentuk baru, membangun masjid paling besar di dunia, sebuah stadion olah raga yang besar sekali, dan sebuah monumen na- sional. la juga melembagakan sejumlah upacara besar kenega- ran. Dalam analisis yang terakhir, Sukarno dan Muhammad V sangat mengetahui kekuatan agama dalam masyarakat me- reka; keduanya berusaha mempergunakannya secara kons- truktif untuk tujuan nasional. Penting, keduanya memutuskan bahwa dibandingkan corak skripturalis, Islam corak klasik menawarkan harapan kesuksesan yang lebih besar. Meskipun signifikan, namun tidak sepenuhnya berhasil. Meskipun Muham- mad V lebih berhasil dibandingkan Sukamo, namun Geertz me- nyatakan bahwa tak ada bentuk agama lama yang dapat ber. tahan tanpa perubahan di zaman modem. KesimPuLAN: PANDANGAN DUNIA DAN Eros Lalu, apa signifikansi persamaan sejarah Islam yang dapat di- temukan di Indonesia dan Maroko? Pertanyaan ini dapat dija- wab dengan mengingat hal pokok tentang “Agama sebagai Sistem Budaya”: agama terdiri atas suatu pandangan dunia dan suatu etos yang bergabung untuk memperkuat satu sama lain, Serangkaian kepercayaan yang dimiliki umat tentang apa yang riil, dewa apa yang ada, dan lain-lain (yakni, pan- \@8.433 §B Soe Troms oF Rivaon: dangan dunia mereka), yang membimbing mereka ketika me- reka hidup dan dengan demikian menegaskan kepercayaan. Setidaknya hingga tahun 1800, di dalam kedua kebudayaan ini pandangan dunia dan etos mendukung satu sama lain mela- lui cara yang alami ini dan memenuhi kebutuhan keagamaan umat. Di Maroko, kepercayaan Islam memberi dukungan pa- da etos murobitisme, yang “memproyeksikan gaya hidup de- ngan memuji semangat moral”, dan etos ini pada gilirannya, menguatkan kepercayaan Muslim Di Indonesia, keseimbang- an yang sama tampak telah tetap; pandangan dunia dari cam- puran Islam dan Hindu mendukung mistisisme yang lembut dan meditatif dalam tokoh-tokoh seperti Kalijaga, sementara ideal tingkah laku dan emosi yang ia berikan mendukung pan- dangan-dunia. Namun, sejak seabad yang lalu, dan di kedua negeri itu, munculnya nasionalisme dan protes dari skriptura- lisme telah menimbulkan tantangan yang serius. Keraguan terhadap pandangan dunia dan perubahan di dalam etos t= Jah muncul melalui cara-cara yang mengakibatkan umat tidak yakin terhadap masing-masing dan secara diam-diam sadar bahwa yang satu sering bertentangan dengan yang lain. Mengenai pandangan dunia, akar persoalannya ad=- lah perbenturan ide-ide. Di kedua negeri itu, sikap-sikap se kular masuk bersamaan dengan menyebarnya sains dalam in- dustri, universitas, dan klas-klas profesional, pada titik eks- trem sebaliknya, “ideologisasi” agama yang telah ditentukan oleh tangan-tangan kaum skripturalis, yang mengisolasi Al Quran dari semua pengetahuan lain atau mengklaim bahwa semua pengetahuan agaknya telah ada dalam Al Quran me miliki pengaruh yang sama-sama tak pasti. Perbenturan anta~ ta kedua perspektif yang tampak tak sesuai ini telah menyu- burkan ketidakpastian kepercayaan yang dalam di mana se belumnya betul-betul ada kepastian. Pengaruh perkembangan modern pada komponen 434 es . Danie L. Pats 8 etos dari agama di kedua negeri itu juga penting. Untuk men- * cogah kesalahpahaman, Geertz mencatat bahwa suatu perbe- daan pertama-tama harus dibuat antara kekuatan yang mung- kin dimiliki suatu agama dengan jangkauan pengaruhnya di suatu kebudayaan. Orang-orang Muslim Maroko memandang perjumpaan dengan Tuhan sebagai suatu pengalaman yang sangat intens; namun, bagi mereka, sebagian besar kehidupan biasa di pasar, tempat rekreasi, atau politik, tampak benar-be- nar tidak religius. Sebaliknya, di Indonesia, sedikit pengala- man keagamaan yang dianggap intens, penuh kekuatan, seperti yang dihargai di Maroko, tetapi tingkatan religiusitasnya jauh lebih luas. Jarang ada suatu aspek kehidupan tunggal yang da- lam suatu cara tidak terwarnai oleh suatu perasaan tentang yang supernatural.* Namun, meskipun ada perbedaan-perbedaan ini, adalah jelas bahwa di kedua negeri itu sedang berlangsung erosi etos yang signifikan, melalui cara-cara yang kecil dan ter- sembunyi, pegangan pada motivasi dan suasana keagamaan di kedua kebudayaan itu mulai melemah. Orang-orang masih “berpikiran religius,” ingin mempertahankan simbol-simbol suci mereka, tetapi mereka dengan cepat kurang religius. Me- reka kurang terdorong oleh kehadiran langsung tuhan-tuhan mereka dibandingkan oleh perasaan yang lebih tak langsung, yang mana mereka menginginkan tuhan-tuhan mereka hadir. Semakin lama, kita hampir dapat berkata, agama mereka se- dang menjadi suatu agama yang pernah dibuang dari realitas yang disembah. Islam Observed menawarkan suatu ilustrasi yang sangat baik tentang pendekatan Geertz terhadap agama, justru dise- babkan oleh apa yang tidak ia lakukan. Buku itu tidak mena- warkan suatu argumen logis yang mengena dan singkat untuk mempertahankan suatu tesis yang pasti tentang agama, Islam atau yang lain. Sebaliknya, buku itu adalah sejenis eksplorasi, perjalanan ke sistem-sistem budaya yang dituntun oleh seorang ———_ 48435 BB Sever THronts oF Reucion pembimbing yang begitu tertarik untuk menggambarkan pe- , mandangan alam dan membandingkan satu dengan yang lain- nya untuk mengetahui apakah jalan jalan yang ia tempuh akan terus mencapai suatu tujuan. Ketika Geertz berjalan, kita me- lihat tiga hal. Pertama, Geertz memiliki perhatian yang kuat pada kekhususan setiap kebudayaan yang ia interpretasikan. Walaupun Maroko dan Indonesia adalah bangsa-bangsa Is- lam, namun tema pokok dari pembicaraan Geertz adalah per- bedaan yang mencolok di dalam rasa, karakter, dan susunan dari dua bentuk Islam yang dihadirkan oleh keduanya. Ke dua, ada penekanan yang karakteristik pada arti, “deskripsi mendalam” tentang agama dipandang dari segi apa yang signifikan bagi orang-orang yang hidup dengannya. Islam di Maroko dan di Indonesia diatur oleh teologi formal yang sama di kedua tempat itu, tetapi di dalam sistem yang sama itu, ide-ide yang ditekankan, sikap, dan emosi yang di- * hargai, berbeda dalam tingkatan. Di Maroko, penekanan pada wali, semangat moral, dan intensitas pengalaman, mencipta- kan susunan arti dan nilai yang sangat berbeda dari perasaan yang lebih toleran, pasif, yang tercampur secara luas tentang yang supernatural, yang ditemukan di Indonesia. Maka, mes- Kipun kedua bangsa tersebut Muslim dan keduanya menemui tantangan nasionalisme dan skripturalisme, namun masing- masing merespon menurut caranya sendiri, dan dengan ber- bagai tingkat keberhasilan, Muhammad V di Maroko berhasil mempertahankan corak Islam klasik di masa nasionalisme ba- tu; Sukarno di Indonesia tidak. Yang ke tiga dan terakhir, meskipun memperhatikan semua perbedaan dan seluk-beluk, Geertz benar-benar ber- usaha mengusulkan setidak-tidaknya suatu prospek kesimpu- lan yang lebih umum. Misalnya, ia melihat bahwa apa pun perbedaannya, Maroko maupun Indonesia tampaknya secara permanen tidak menolak keraguan yang diakibatkan oleh 436 ‘es. Dame L. Pats * munculnya sekularisme dan skripturalisme. Bagi Geertz, ini adalah jenis persamaan yang mungkin dapat bertindak, se- petti kategori Max Weber, setidaknya sebagai permulaan sebuah dalil yang dapat “dicoba” di mana-mana, dengan harapan ia akan berlaku lebih luas bagi agama di tempat dan waktu lain. ANALISIS Kita dengan baik mengukur prestasi Geertz sebagai seorang penafsir agama dengan memperhatikan dua hal: 1) di mana kedudukan dia di antara teoretisi agama yang telah kita bahas dalam buku ini dan 2) di mana posisi dia sebagai juru bicara atau antropologi interpretif yang terkemuka. 1. Geertz dan Teoretisi yang Lain Dalam urutan yang ada dalam buku ini, Geertz jelas memiliki tempat dalam pola pemikiran yang dianut oleh Evans-Prit- chard dan Eliade. Ia adalah penentang reduksionisme fungsionalis yang paling mutakhir dan paling luas mendapat sambutan—menentangnya tidak hanya sebagai penjelasan agama, tetapi sebagai sebuah catatan tentang suatu sistem budaya manusia. Bertentangan dengan Marx, Durkheim, dan Freud, Geertz menegaskan bahwa sebuah reduksi yang umum terhadap semua agama sebagai produk dari neurosis yang tersembunyi, kebutuhan sosial, atau konflik ekonomi, tak lagi mendapatkan kepercayaan dibandingkan teori besar yang lain —artinya, sangat kecil. Menjelaskan agama tanpa mencoba untuk menjelaskan sebuah komputer tanpa meny- inggung sebuah program, atau sebuah buku tanpa menyebut kata-kata. Itu tak dapat dijalankan. Maka, meskipun Geertz berada dekat dengan Eliade dan Evans-Pritchard pada masalah reduksionisme yang po- kok, namun ada isu-isu lain di mana ia jelas berdiri berse- @S.437 EB Sten Tutonts of REucion a berangan. Misalnya, kita melihat bahwa Evans-Pritchard * menghargai pemikiran tentang pada suatu hari, ada sains ag. ama umum yang teori-teorinya dapat dibangun dari studi. studi khusus yang kecil, yang pada masa sekarang dan masa depan masih perlu disempurnakan oleh para etnografer, Geertz menganggap bahwa waktu yang dihabiskan untuk mewujudkan impian semacam adalah disia-siakan, karena apa yang dibayangkan benar-benar tidak pernah terjadi. Ten- tu, program Eliade sangat berbeda dari Program Evans-Prit- chard tetapi ia juga terinspirasi oleh harapan untuk menemu- kan sesuatu yang universal: respon manusia terhadap yang sakral sebagaimana diekspresikan dalam beberapa gambaran dan simbol yang abadi, yang dianut oleh orang-orang beraga- ma di segala zaman dan tempat. Geertz, sebaliknya, adalah seorang partikularis yang penuh gairah dan terus-terang; bagi- nya, suatu teori tentang “bentuk-bentuk universal” dari aga- ma adalah seperti bayangan dari setiap “sains yang umum” tentangnya. Meskipun merupakan teman bagi setiap orang yang menentang reduksionisme, namun Geertz adalah se- orang teoretisi yang sangat independen. 2. Antropolog Interpretif Dalam menilai Geertz sebagai seorang antropolog, kita terle- bih dahulu harus mengingat lagi dua sisi dari karimya yang luar biasa. Sejak awal ia adalah seorang etnografer dan teoreti- si: pada satu sisi, sebagai seorang peneliti kebudayaan yang sangat khusus di Indonesia dan Maroko; pada sisi lain, seba- gai seorang pemikir konseptual yang berbakat, yang didor- ong oleh isu yang luas tentang bagaimana memahami dan menjelaskan perilaku manusia. Etnografinya, meski di sini tidak menjadi perhatian utama kita, dipuji dan dikagumi oleh semua pihak. Para pembaca biasa dan sebagian besar sarjana 438 ——$—$$_$_—_—————- Daa L. Pas yang paling profesional sama-sama kagum dengan sensitivi- tes wawasan, keterampilan analisis, berbelit-belit dari gaya esoinya tentang agama Bali dan studi-studi lapangan seperti The Relignon of Jeoa, maupun karya-karya yang lain. Di hampir eepap halaman dari tulisan-tulisan ini, kita dapat menunjuk dan melihat suatu perubahan frase yang tak kentara, penga- maten yang tajam, atau penemuan suatu ide penting yang tersembunyi di dalam hal-hal detail yang tampak remeh. Etnografi yang memiliki kualitas yang begity tinggi su adalah betul-betul menarik, tetapi di dalam kasus Geertz, ecografi itu juga mendukung —secara tidak langsung —titik ctamz dari teori interpretifnya. Sebagian besar sarjana dari se- gals jenis—tidak hanya teoretisi agama, antropolog, dan sain- ts sosial—berusaha mengetahui satu atau beberapa hal secara mendalam, sehingga, dari landasan ini, mereka juga dapat berbicara dengan cerdas tentang subjek-subjek yang lebih ines Psikoanalisis Freud di mulai dengan pasien-pasien tung- gi den lambat lain mengarah pada suatu teori tentang semua iepribedian manusia. Dari kasus khusus totemisme Australia, Durkheim menciptakan suatu keterangan tentang agama di sezaz masyarakat, namun di dalam kasus Geertz, hubungan antaza yang khusus dengan yang umum ini jelas betul-betul berbeda. Kecuali dalam beberapa hal yang sangat terbatas, Gerz tidak seperti Durkheim atau Freud, bergerak dari hal- fal hasous tentang agama di Bali atau Maroko ke pernyataan- penyeuen umum tentang agama di semua atau bahkan di apn tear tempat yang lain. Geertz juga hampir melaku- kas bal sebaliknys. la sering menyatakan bahwa etnografi- nye~Cen juga enografi orang lain —tidak boleh dan tidak da- yt tepdiken guata teori umum, Tujuan dari metodenya ada- Sas ontuk. melakukan sebaliknya: partikularitas, Di dalam yaddaten interpretif tak ada dua contoh arti yang dibuat se- crs manusiawi yang pernah dapat disesuaikan menurut 6439 HB Seven Tronits of Reuaon statu hukuny best, Kita mungkin hampir dapat berkata bah- © wa semakin baik etnografi, semakin buruk kesempatannya untuk menjadi sains, setidaknya dalam arti tradisional dari istilah itu, Geert menerbitkan catatannya yang, dietsa dengan baik tentang ritual Bali dan perayaan di Jawa seperti seorang pelukis besar mengerjakan sebuah lukisan—untuk menunjuk- kan pada kita bahwa ciri-ciri dan watak dari wanita bangsa- wan ini atau ratu itu benar-benar adalah individual; tak ada, dan tak akan pernah ada, orang lain seperti dia. Maka, setelah membaca The Religion of Java atau Islam Observed, kita merasa- kan diri kita berkata bahwa kita sekarang tahu banyak hal tentang agama Indonesia dan Maroko, Namun, jika kita ke- mudian melihat lebih jauh pada halaman-halaman Geertz un- tuk menemukan suatu jenis ide atau tesis umum yang meng- ikat banyak hal sekaligus, adalah sulit untuk menemukan hal hal lebih dari sekadar saran yang hati-hati, isyarat pada suatu hubungan yang mungkin di sini, perbandingkan yang mung- kin di sana. Di luar itu, kita tak dapat berjalan. Karena fakta- nya adalah bahwa di dalam pendapat Geertz, ekspresi kultural yang khas betul-betul tidak dapat dihubungkan bersama, se- tidaknya, di bawah hukum tunggal seperti yang dilakukan para saintis eksperimental terhadap fakta pembelahan sel atau gerak planet. Seperti yang dikemukakan Geertz dalam judul dari kumpulan esainya yang ke’dua, di dalam urusan manu- sia, semua pengetahuan adalah “pengetahuan lokal.” Frase itu adalah pilihan yang sangat baik. la dapat berdiri sebagai bagian dari seluruh pendekatan antropologi interpretif dan tanda dari kontribusi khas Geertz terhadap bidang itu. Kuk Tampaknya, langkah pertama untuk mengemukakan setiap kritik terhadap pandangan Geertz tentang agama atau subjek yang lain adalah mengakui bahwa ini bukanlah hal yang mu- 440 es: Dan LPs + dah untuk dilakukan, Kemasyhuran Geertz dalam ilmu sosial Amerika, dan di luamya, mungkin betul-betul di luar kritisis- me, tetapi cukup mengagumkan. Para pengkritik Geertz ha- nyalah sedikit; sedangkan pengagumnya sangat banyak. Ke- Juhan-keluhan kecil dikemukakan menyangkut perbendaha- rean kata yang berlimpah dan gaya sastra yang penuh den- ganhiasan metafor, analogi, dan alusi, yang terkadang gaya semacam itu dapat mengaburkan apa yang jelas dan khas. Te- tapi ini semua tidak tampak merupakan serangan yang serius; semua itu bahkan berasal dari semacam kecemburuan profesi yang sebenarnya merupakan bentuk pujian.* Namun demikian, setidaknya ada dua isu substantif. lagi yang dapat dikemukakan: yang pertama tentang pandangan Geertz yang agak membingungkan mengenai antropologi seba- . gai“sains”; yang kedua tentang perbenturan antara prinsip- prinsipnya dengan praktiknya di dalam menafsirkan agama. 1 Antropologi sebagai Sains Dalam mempromosikan programnya tentang antropologi in- terpretif, Geertz menegaskan bahwa ia tidak memiliki mak- sud untuk meninggalkan kepercayaan bahwa disiplinnya ada- Jah sebuah sains.” Namun, sejumlah kritikus antropologi te- Jah melihat bahwa itulah yang sebenarnya tampak sedang ia lakukan, Misalnya, di dalam “deskripsi mendalam’, esai yang menyatakan komitmennya pada sains, dengan terus-terang ia juga menyatakan bahwa bentuk analisis budayanya “bukan- {ah sains eksperimental yang mencari suatu kaidah, tetapi Sains interpretif yang mencari makna.”** Beberapa kritikus an- , “opolog telah menunjukkan suatu kebingungan yang dapat dimengerti akibat pernyataan-pernyataan yang bertentangan Semacam itu menyangkut suatu isu yang fundamental sema- ‘am itu, Dalam pandangan Paul Shankman, salah seorang Pengkritik Geertz yang paling keras, beberapa klain Geertz ‘es441 (Seven Troms oF Rataon mereduksi dirinya sendiri hingga sekadar menjadi seni me- « menangkan permainan dengan kata-kata.” Shankman dan yang, lain berpendapat bahwa jika antropologi interpretif ha- nya mencani “arti”, apa pun arti itu, dan tidak berusaha untuk mengembangkan teori-teori yang ilmiah untuk menjelaskan apa yang ditemukan, maka ide-ide Geertz mungkin menarik, tetapi tentu bukan merupakan hasil sebuah sains.” Bagaima- napun, kaidah-kaidah teoretis adalah hal-hal yang menyang- kut sains. Maka mungkin Geertz, si penafsir makna itu, tidak- lah senang merekomendasikan sains; ia sedang merekomen- dasikan akhir dari sains, setidaknya dalam antropologi. Haruslah jelas dari apa yang telah kita lihat tentang posisi Geertz, bahwa para kritikus ini sebagian adalah benar. Geertz sedang memaklumkan akhir sains di dalam antropologi jika kita memasudkan “sains” dengan menyusun kaidah-kai- dah prediktif yang pasti tentang perilaku manusia menurut . cara bicara ahli fisika tentang hukum gravitasi dan menurut cara ahli biologi menggambarkan hukum pembelahan sel. Te- tapi Geertz tentu terus akan menambahkan bahwa ini bukan- Jah satu-satunya bentuk yang dapat diambil oleh sains. Kare- na “sains”, dari istilah latin scientia, sekadar berarti suatu kumpulan pengetahuan yang diperoleh secara sistematis. Mi- salkan bidang studi perbandingan seperti sejarah. Ada suatu pengertian di mana para sejarawan adalah saintis. Dalam me- nilai suatu dokumen, mereka bekerja betul-betul secara rasio- nal untuk menentukan hal-hal seperti tanggal-tanggal terten- tu sebelum dan setelah dokumen itu mungkin ditulis. Dalam mengkonstruksi cerita suatu pertempuran atau suatu parle- men, mereka bergerak betul-betul secara kritis, mempertim- bangkan dari berbagai peristiwa dan keputusan. Dalam men- jelaskan kemunculan suatu bangsa atau kejatuhan seorang ra- ja, mereka selalu mengusulkan teori-teori, mengujinya dengan bukti, dan kemudian membuang atau merevisinya sesuai AAD '@s Dani L. Pats 8B * yang dituntut oleh keadaan sebenarnya. Semua prosedur ini adalah hal-hal yang kita sebut dengan sains; hal-hal itu adalah rasional, kritis, dan evidensial. Dan sejauh yang dituju antro- pologi, semua itu adalah persis hal-hal yang dilakukan oleh para etnografer yang baik pada setiap hari riset lapangan me- reka, Dalam hal itu, para etnografer jelas bekerja sebagai sain- tis, meskipun kesimpulan mereka selalu dinyatakan dalam kemungkinan yang berlaku dalam urusan manusia, bukan dalam hukum-hukum pasti dari,alam fisik. Maka, dengan memahami bahwa dapat ada dua jenis sains, akan menghilangkan kebingungan. Namun, meskipun demikian, para antropolog yang menghargai sains alam seba- gai model studi mereka masih merasa was-was. Mereka meli- hat bahwa suatu problem lebih lanjut dari pendekatan interpre- tif adalah pengaruhnya yang melumpuhkan pada motivasi kita untuk menjelaskan. Pengkritik pendekatan interpretif yang lain, Richard Franke, melihat bahwa, dalam satu artikel- nya, Geertz membicarakan fakta bahwa puluhan ribu petani Bali dibantai setelah jatuhnya Presiden Sukarno di tahun 1965. Dalam usaha menerangkan kekejaman ini, Geertz mengarah- kannya pada suatu kontradiksi yang mendalam di dalam sen- sibilitas orang-orang Bali, suatu kombinasi cinta pada seni Yang tinggi dengan cinta yang lebih gelap pada kekejaman yang ekstrem. Tetapi dalam prosesnya, kata Franke, Geertz benar- benar tidak pernah mencoba untuk mengetahui, Siapa membunuh siapa, siapa yang mengambil keuntungan dari pembantaian itu... bahkan menanyakan kemungkinan pemah terjadi... unsur bisnis asing, CLA Amerika Serikat, para perwira militer Indonesia yang kaya dan bisnis mereka ber- satu... (dan yang lain), Geertz menawarkan “tujuan (dari) me- mahami bagaimana setiap orang memperoleh politik yang dibayangkan,”" , Para sarjana yang lain telah menunjukkan bahwa sebenarnya es443 Sere Traces oo Rasp $$$ tidak ada yang unik dari Bali tentang sensibilitas yang men * gakibatkan pembunuhan ini. Pembunuhan itu terjadi akibet perebutan kekuasaan antara orang-orang kotmunis dengan kaum militer—suatu perebutan yang murat sebagai kekhas an dari apa yang terjadi di seluruh Asia. Terkadang, Geer tampek sadar akan kecenderungan untuk melebih-levitker penafsiran ini. Tetapi di dalam pandangan para pengiritk, kecenderungan yang lebih kuat dari pemikiran Geertz adaizh secara diam-diam melupakan perjngatan yang muncpl dari saat-saatnya yang lebih baik.* 2. Menafsirkan Agama Di dalam hal-hal yang secara khusus lebih religius, kita haras memusatkan perhatian pada ide utama Geertz: bahwa agama selalu merupakan sebuah pandangan dunia dan sebuah etos. Agama terdiri atas ide dan kepercayaan tentang dunia dan suatu kecenderungan untuk merasa dan berperilaku sesuai dengan ide-ide tersebut. Faktor penyebabnya yang aneh ber- asal dari dukungan yang diberikan masing-masing unsur ini kepada yang lain. Meskipun di seluruh pembahasannya Geertz sering memperingatkan kita akan hal ini, tidaklah sangat je- las, setidaknya secara sepintas, mengapa pertanyaan sema- cam itu harus dipandang sebagai sangat baru, orisinil, pen- ting, atau mencerahkan. Pernyataan itu tampak tidak hanya benar tetapi hampir sangat terlalu benar. Ia adalah semacam truisme. Orang cenderung bertanya bagaimana agama selalu dapat menjadi segalanya kecuali serangkaian kepercayaan dan perilaku yang berhubungan satu sama lain, Bahkan, dapatkah kita benar-benar membayangkan suatu agama yang membe- ~ ritakan kepada penganutnya, “Tuhan ada”, sebagai bagian dari pandangan dunianya, tetapi kemudian menganjurkan bahwa mereka hidup seolah-olah tak ada Tuhan, atau tidak AAA ‘as: ————— Dann Pas memberi rekomendasi tentang suatu pola hidup? Dapatkah * (ut benar-benar memahami seorang guru Cina kuno yang te- ish berkata, “Tao menyimpan rahasia hidup,” tetapi kernudi- an merekomendasikan bahwa orang-orang hidup #olah-olah teh ada hal-hal semacam itu ketika Tao ada? Dalam hubungan yang sama, adalah menarik untuk dumati bahwa ketika Geertz benar-benar menafsirkan perila- kv egama, hanya ada satu dari dua unsur yang ia anggap sentral bagi agama, yang terus-menerus mendapatkan penyelidikan yang teliti dan rinci. la cenderung banyak berbicara tentang os - tentang tingkah laku, nilai, sikap, estetika, watak, dan emosi— tetapi benar-benar sangat sedikit tentang pandangan dunia. Henry Munson Jr., seorang pengkritik mutakhir, seca- 2 perseptif mancatat bahwa dalam pembicaraannya tentang pertunjukan Rangda dan Barong yang dramatis di Bali, Geertz * dengan lancar dan luas menulis tentang etos Bali, gabungan emosi horor dan kegembiraan, suasana ketakutan yang suram dan komedi yang lucu, yang naik turun di sepanjang pertun- jokan.” Tetapi Geertz hampir melewatkan seluruh mitos pri- bumi yang menjadi dasar dari cerita itu. Misalnya, saat dika- takan bahwa para penonton takut dengan dukun sihir Rang- de, apa yang sebenarnya mereka takutkan? Kejelekannya? Ascemannya pada anak-anak, kenapa ia dikenal suka mema- ken mereka? Kematian itu sendiri, yang ia simbolkan? Atau ¥ouatu yang menakutkan yang terjadi setelah mati? Mung- kin hanya satu dari hal-hal ini? Ataukah semuanya? Dari ca- tatan Geertz, kita betul-betul tidak tahu. “Pandangan dunia” dari persamaan agama yang dalam teori Geertz sama-sama penting seperti “etos”, dalam praktiknya, sering dilupakan. Di dalam Islam Observed, hal yang sama cenderung ‘eyadi, Saat mencari hubungan yang sangat dekat antara kon- ‘ks sosial dengan kehidupan agama di Indonesia dan Maro- ko, Geertz secara panjang menulis tentang perbedaan etos: 8445 BB Sew Tetons of Recon: nilai-nilai, suasana, dan watak yang berbeda-beda, yang mun- cul dalam perbedaan antara penegasan-diri yang aktif dari orang-orang Maroko dan peniadaan-diri secara batin dari orang- orang Indonesia. Tetapi dari semua ini, kita hampir tidak di- beri tahu apa-apa tentang pandangan-dunia Islam: kepercaya- annya kepada Allah, lima rukun Islam, doktrin tentang takdir dan hari akhir, dan lain-lain. Dan penghapusan itu mening- galkan suatu jejak personal yang substansial: tanpa menunjuk pada pandangan dunia, bagaimana kita mengetahui “watak” itu adalah religius? Revolusi politik sering merupakan penon- jolan diri, sementara kecanduan pada obat-obatan tertentu be- tul-betul dapat merupakan peniadaan-diri dan imward. Kita ju- ga ingin tahu apakah konteks sosial yang berbeda, yang me- miliki pengaruh besar pada etos, juga memiliki kesan yang se- Tupa pada pandangan dunia. Apakah ada beberapa hal yang dipercaya oleh kaum Muslim Maroko, sementara Muslim In- donesia tidak? Atau, apakah kepercayaan dasar tentang Tu- han dan dunia, misalnya, masih sama? Jika hal-hal itu sebenar- nya sama, maka apakah tidak ada problem serius yang harus dibicarakan? Jika pandangan dunia dan etos mencerminkan dan “menguatkan” satu sama lain, dan jika etos Maroko sangat berbeda dari etos Indonesia, mengapa pandangan-pandangan dunia itu tidak juga berbeda? Semua persoalan ini mengarah pada ciri pendekatan interpretasi Geertz yang agak aneh, terutama dalam kasus agama. Meskipun dalam teori Geertz terus-menerus menyata- kan bahwa cap dagang dari metodenya adalah caranya mem- bicarakan “arti”, caranya menggarap simbol sosial yang mem- bawa ide, namun ia tampak sering sangat tidak tertarik dalam. arti-arti ini. Di dalam praktik, ia tampak jauh lebih sering dengan tindakan dan perasaan-perasaan yang tak terikat dengan ke- Percayaan yang tampak perlu untuk memberi inspirasi dan mem- bentuknya.” Apa yang sangat membingungkan tentang pe- 446 ‘as os aoe | oxen pata emus fier sive a —terutemne jing Hite iegzet argn mar windy amuyling Lauetns ten ore — vie af oie faite eters yerehaint ty temtews perbarg- ip cuter Ter eomiball patie gages syed texteng, Cecriadin eoaman yang abe tales Vet tate ett sate PO Nag, came eyes yurwnys, Ferven, gee. nen» walt. Thftican th tale ohne exgretionys yor ae emma wang stim pale potas ate wile ee maken Tubge Iain acters Mepenyeen yory Kaew Gi tien wing Ba tongs: slog apps tel. Ti wei, ge ces otal oS Senet, alaldie webb Sie the yea- rae ng mba agpsn Cat ey) attinys ban inygn meng: RG NAA BBE YORE Yih Keepany ten Tests ge GEESE et IRE POUT G, Yin ess er pba LYE YEG IRE. TBE 88 Yor InY ploy hin, “eat, he tin Col ponbanya yet ih yong resny, OUP SMS LENDS CE, Wiley papentian pera, air Neos yuh AAA, as: tanty pene Be yess twheypoye RWI IY st Cone bebeigpes RS Vanes tne Barwsbeens Wh SOY voKIe peogpysin Can ponypines dat videny, Vila shy wi Leswhecneape Caner, Galen nemibenyyn yet Phe si YY, tpeael O: Dilows, tes eaten henge, Oat thas MenwyHKiaee hon yey yarn yeswies wyptna, vlsh reine wey vininey he tated Apteds Wasted, Sonat Geriiaa, _ yr YONA LO mene, wing pete mop hn, LOY IE VIRMMS White Oaepen yang, elihes herapen po- 4 palit sett. whprniyn wean wha dan en YOK AM AOA RNY VERY D ike whe perbunye lay) une eden, manera, Oop mneingerowild pendeaian iW, Avammaaccensune EAGT

Anda mungkin juga menyukai