Anda di halaman 1dari 13

STRIKTUR URETRA

No. ICD-10 :
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :

PENDAHULUAN
Penyempitan atau penyumbatan lumen uretra karena pembentukan jaringan fibrotik (parut)
pada uretra dan/atau daerah peri uretra, yang pada tingkat lanjut dapat menyebabkan fibrosis
pada korpus spongiosum. Striktur uretra dapat terjadi karena infeksi, trauma pada uretra, dan
kelainan bawaan. Infeksi yang paling sering menjadi penyebabnya adalah infeksi oleh kuman
gonokokus yang telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya. Trauma yang
menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada selangkangan (straddle injury), fraktur
tulang pelvis, dan instrumentasi/tindakan transuretra uretra yang kurang hati-hati.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Striktur Uretra.

TUJUAN PEMBALAJARAN KHUSUS

1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit, patogenesis dan patofisiologi,
akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, epidemiologis, farmakologis, diet, olah raga
atau perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip kendali
mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi dan menerapkan pencegahan penyakit dengan melibatkan pasien, anggota
keluarga dan masyarakat untuk mencegah kekambuhan.

PATOFISIOLOGI
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan
sikatrik pada uretra. Jaringan sikatrik pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urine
hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat mencari jalan keluar di tempat lain (di
sebelah proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi
menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada
keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling.
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari sepertiga diameter lumen uretra
2. Sedang : jika terdapat oklusi setengah sampai sepertiga diameter lumen uretra
3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar darisetengah diameter lumen uretra Pada penyempitan
derajat berat, kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum, yang dikenal dengan
spongiofibrosis.

Keluhan yang muncul berupa sulit kencing (harus mengejan), pancaran bercabang,
menetes,sampai retensi urine. Selain itu, bisa juga disertai pembengkakan/abses di daerah
perineum dan skrotum, serta bila terjadi infeksi sistematik juga timbul panas badan, menggigil,
dan kencing berwarna keruh.

PENEGAKAN DIAGNOSIS

PEMERIKSAAN FISIK

1. Anamnesis yang lengkap (uretritis, trauma dengan kerusakan pada panggul, straddle injury,
instrumentasi pada uretra, penggunaan kateter uretra, kelainan sejak lahir)
2. Inspeksi: meatus eksternus sempit,pembengkakan serta fistula di daerah
penis,skrotum,perineum,suprapubik.
3. Palpasi: teraba jaringan parut sepanjang perjalanan uretra anterior; pada bagian ventral penis,
muara fistula bila dipijit mengeluarkan getah/nanah
4. Rectal toucher (colok dubur) untuk mengetahui pola pancaran urine secara obyektif, dapat
diukur dengan cara sederhana atau dengan memakai alat uroflowmetri. Kecepatan pancaran
urine untuk pria normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang dari 10 ml/detik
menandakan adanya obstruksi. Untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan
uretra dibuat foto uretrografi. Lebih lengkap lagi dibuat foto bipolar sisto-uretrografi untuk
mengetahui panjang striktur, yaitu dengan memasukkan bahan kontras secara antegrad dari
buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Selain itu, untuk melihat pembuntuan uretra secara
langsung dilakukan melalui uretroskopi, yaitu melihat striktur uretra transuretra.

DIAGNOSIS BANDING

1. Batu ureter dengan/tanpa infiltrate urin


2. Kelainan-kelainan dari kelenjar prostat

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Penatalaksanaan striktur uretra tergantung pada lokasinya, panjang/pendeknya striktur, serta
keadaan darurat (retensi urin, sistostomi (trokar, terbuka), infiltrat urin, insisi multipel, dan
drain). Jika pasien datang karena retensi urine, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik
untuk mengeluarkan urine. Jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan pemberian
antibiotika.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1. Businasi (dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar
tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya
menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Tindakan ini dapat menimbulkan salah jalan (false
route).
2. Uretrotomi interna, yaitu memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis/Sachse. Otis
dikerjakan bila belum terjadi striktur uretra total, sedangkan pada striktur yang lebih berat,
pemotongan striktur dikerjakan secara visual dengan memakai pisau Sachse.
3. Uretrotomi eksterna, adalah tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis,
kemudian dilakukan anastomosis di antara jaringan uretra yang masih sehat. Untuk
penggunaan antibiotik lihat standar antibiotik SMF Urologi RSU Dr. Saiful Anwar

Catatan untuk dokter umum:


1. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, coba kateterisasi (kateter
karet/ lateks)
2. Bila terjadi retensi urin, maka dilakukan sistostomi, kemudian dirujuk
3. Bila terjadi infiltrat urin, maka dilakukan sistostomi dan insisi multipel, kemudian
dirujuk apabila proses infeksi sudah tenang.

PROGNOSIS
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani pemeriksaan yang
teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah dilakukan observasi selama 1
tahun tidak menunjukkan tanda-tanda kekambuhan. Setiap pasien kontrol berkala dilakukan
pemeriksaan pancaran urine yang langsung dilihat oleh dokter atau dengan pemeriksaan
uroflowmetri. Utuk mencegah terjadinya kekambuhan, sering kali pasien harus menjalani
beberapa tindakan, antara lain dilatasi berkala dengan busi dan kateterisasi bersih mandiri
berkala (KBMB) atau CIC (clean intermitten catheterization), yaitu pasien dianjurkan
melakukan kateterisasi secara periodik pada waktu tertentu dengan kateter yang bersih (tidak
perlu steril).

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007, hal 153-
156.
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 17 th ed., Mc Graw Hill 2004,
hal. 77, 613, 620-623
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 9 th ed., WB
Saunders, Philadephia 2002, hal. 3915-3930
BENIGN PROSTATE
HYPERPLASIA (BPH)
No. ICD-10 :
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :

PENDAHULUAN
Benign prostate hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran jinak kelenjar prostat yang
disebabkan oleh hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat, antara lain jaringan
kelenjar dan jaringan fibro-muskular. Hiperplasia ini dapat menyebabkan penyumbatan uretra
pars prostatika.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Pembesaran Prostat Jinak.

TUJUAN PEMBALAJARAN KHUSUS

1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit, patogenesis dan
patofisiologi, akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, epidemiologis, farmakologis, diet, olah raga
atau perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip kendali
mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi dan menerapkan pencegahan penyakit dengan melibatkan pasien, anggota
keluarga dan masyarakat untuk mencegah kekambuhan.

PATOFISIOLOGI
Banyak diderita oleh lelaki berusia di atas 50 tahun. Penyebabnya belum diketahui secara
pasti, diduga antara lain karena perubahan hormonal dan ketidakseimbangan faktor
pertumbuhan.

GEJALA KLINIS
Lower Urinary Tract Symptom (LUTS), yaitu:
1. gangguan pengeluaran, berupa kelemahan pancaran urine, hesitansi, proses kencing
berlangsung lebih lama, rasa tidak puas pada akhir kencing.
2. gangguan penyimpanan, berupa frekuensi, urgensi, nokturia, dan disuria.
3. residu urine makin banyak dan terjadi retensi urine. Untuk menentukan berat ringannya
keluhan tersebut, maka digunakan penghitungan dengan IPPS (International Prostate
Symptom Score)

PENEGAKAN DIAGNOSIS

PEMERIKSAAN FISIK

1. Inspeksi buli-buli: ada/tidak penonjolan perut di daerah suprapubik (buli-buli


penuh/kosong)
2. Palpasi Buli-buli: tekanan di daerah suprapubik menimbulkan rangsangan ingin kencing
bila buli-buli berisi/penuh
3. Perkusi: buli-buli penuh berisi urine memberi suara redup
4. Colok dubur
5. Laboratorium – darah lengkap, urine lengkap, biakan urine, serum kreatinin, BUN, PSA
(prostate spesific antigen)
6. Radiologi – USG – IVP atas indikasi
7. Uroflowmetri

DIAGNOSIS BANDING

1. Prostatitis
2. Keganasan prostat

PENATALAKSANAAN
Tergantung pada berat ringan keluhan pasien
1. Ringan (IPPS15ml/s) → Watchful waiting
2. Sedang (IPPS 9-18, maks. flow rate 10-15 ml/s) → Medikamentosa: α-blocker
(tamsulosin,doxazosin atau terazosin); anti androgen (inhibitor 5-α reduktase)
3. Berat (IPPS >18, maks. flow rate < 10 ml/s Operatif terbuka bila ≥ 100 cc, endoskopik
TURP.

KOMPLIKASI
1. Infeksi pada saluran kemih (ISK)
2. Urosepsis
3. Trabekulasi buli, divertikuli buli
4. Batu buli-buli
5. Hidronefrosis
6. Hematuria
7. Penurunan fungsi ginjal (pada yang disertai retensi urin kronis)
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007, hal 153-
156.
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 16th ed, The McGraw Hill
Companies 2004, hal 367-374
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 8th ed., WB
Saunders, Philadephia 2002, hal 1297-1433
4. Ikatan Ahli Urologi Indonesia, Panduan Penatalaksanaan Benign Prostate Hyperplasia
(BPH), IAUI 2003.
TORSIO TESTIS
No. ICD-10 :
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :

PENDAHULUAN
Terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat terjadinya gangguan aliran darah pada
testis.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM:

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Torsio Testis.

TUJUAN PEMBALAJARAN KHUSUS:

1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit, patogenesis dan
patofisiologi, akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, epidemiologis, farmakologis, diet, olah raga
atau perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip kendali
mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi dan menerapkan pencegahan penyakit dengan melibatkan pasien, anggota
keluarga dan masyarakat untuk mencegah kekambuhan.

ETIOLOGI
1. Trauma
2. Kelainan sistem penyangga testis (anomali bell-clapper)

PATOFISIOLOGI
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati dan menjauhi rongga
abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis. Adanya kelainan sistem penyanggah
testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa
keadaan yang menyebabkan pergerakan yang berlebihan itu, antara lain perubahan suhu yang
mendadak, celana dalam yang terlalu ketat dan trauma yang mengenai skrotum.
GEJALA KLINIS
Keluhan berupa nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya mendadak dan diikuti
pembengkakan pada testis. Keadaan ini dikenal sebagai akut skrotum. Nyeri dapat menjalar ke
daerah inguinal atau perut sebelah bawah, sehingga jika tidak diwaspadai sering dikacaukan
dengan apendisitis akut. Pada bayi gejalanya tidak khas yakni gelisah, rewel, atau tidak mau
menyusui.

PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis yang lengkap mengenai proses kejadian
2. Inspeksi: testis membengkak, letaknya lebih tinggi dan lebih horisontal daripada testis sisi
kontralateral.
3. Palpasi: kadang-kadang pada torsio testis yang baru saja terjadi dapat diraba adanya lilitan
atau penebalan funikulus spermatikus.
4. Pemeriksaan sedimen urine tidak menunjukkan adanya lekosit dalam urine dan pemeriksaan
darah tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada torsio testis yang sudah lama dan
telah mengalami keradangan steril.

DIAGNOSIS BANDING

1. Epididimitis akut. Secara klinis sulit dibedakan dengan torsio testis. Nyeri skrotum akut
biasanya disertai dengan kenaikan suhu tubuh, keluarnya nanah dari uretra. Jika dilakukan
elevasi atau pengangkatan testis terkadang nyeri akan berkurang, sedangkan pada torsio testis
nyeri tetap ada. Pada pemeriksaan sedimen urine didapatkan adanya leukosituria atau
bakteriuria
2. Hernia skrotalis inkarserata
3. Hidrokel terinfeksi

PENATALAKSANAAN
1. Detorsi manual Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya dengan jalan
memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena biasanya ke medial maka
dianjurkan memutar kearah lateral dulu dan jika tidak terjadi perubahan dicoba ke arah
medial. Jika detorsi berhasil operasi harus tetap dilaksanakan.
2. Operasi Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada arah
yang benar dan setelah itu dinilai apakah testis yang mengalami torsio masih voable atau
sudah nekrosis.Jika testis masih hidup, dikaukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika
dartos kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Orkidopeksi dilakukan
dengan mempergunakan benang yang tidak diserap pada tiga tempat, sedangkan pada testis
yang sudah nekrosis dilakukan orkidektomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007, hal 153-
156.
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 16th ed., Mc Graw Hill 2004
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 8th ed., WB
Saunders, Philadephia 2002
BATU SALURAN KEMIH (BSK)
No. ICD-10 :
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :

PENDAHULUAN
Batu saluran kemih (BSK) merupakan suatu kondisi didapatkannya batu di dalam saluran
kemih (mulai dari kaliks sampai dengan uretra anterior).

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM:

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Batu Saluran Kemih.

TUJUAN PEMBALAJARAN KHUSUS:

1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan sumber penyakit, patogenesis dan
patofisiologi, akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, epidemiologis, farmakologis, diet, olah raga
atau perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip kendali
mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi dan menerapkan pencegahan penyakit dengan melibatkan pasien, anggota
keluarga dan masyarakat untuk mencegah kekambuhan.

PATOFISIOLOGI
1. Faktor intrinsik, meliputi:
a. Herediter (keturunan)
b. Umur (paling sering didapatkan pada usia 30–50 tahun)
c. Jenis kelamin jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien
perempuan.

2. Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya adalah:


a. Geografi pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang
lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu)
b. Iklim dan temperatur
c. Asupan air kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih
d. Diet diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu
saluran kemih.
GEJALA KLINIS

Tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu, dan penyulit/komplikasi yang telah terjadi.
Penyakit BSK dapat memberikan gejala klinis yang sangat bervariasi, dari yang tanpa keluhan
sampai dengan keluhan yang sangat berat. Keluhan yang paling sering dirasakan adalah nyeri
pinggang (kéméng) yang dapat bersifat kolik ataupun bukan kolik. Nyeri tersebut terasa mulai
dari pinggang menjalar ke depan dan ke arah kemaluan disertai nausea dan muntah, selain itu
dapat juga berupa nyeri saat kencing. Hematuria seringkali dikeluhkan akibat trauma pada
mukosa saluran kencing, yang terkadang didapatkan dari pemeriksaaan urinalisis berupa
hematuria mikroskopik. Jika didapatkan demam harus dicurigai suatu urosepsis dan ini
merupakan kedaruratan Urologi. Hal lain yang sering dikeluhkan adalah terjadinya retensi
urine jika didapatkan batu pada uretra atau leher buli buli.

PENEGAKAN DIAGNOSIS

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra, teraba
ginjal pada sisi sakit (akibat hidronefrosis), terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine, dan
jika disertai infeksi didapatkan demam/menggigil. Pemeriksaan sedimen urine menunjukkan
adanya leukosituria, hematuria, dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan
kultur urine mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea. Pemeriksaan
faal ginjal bertujuan untuk mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk
mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV. Perlu juga diperiksa kadar elektrolit
yang diduga sebagai faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih, antara lain kadar dari
kalsium, oksalat, fosfat, maupun urat di dalam darah maupun urine. Pembuatan foto polos
abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radio-opak di saluran kemih.
Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-opak dan paling sering
dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen).
Pemeriksaan Pielografi Intra Vena (PIV) ini bertujuan untuk menilai keadaan anatomi dan
fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non opak
yang tidak dapat terlihat oleh foto polos perut. Jika PIV belum dapat menjelaskan keadaan
sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah
pemeriksaan pielografi retrograd.e) Pekerjaan sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya
banyak duduk atau kurang aktifitas (sedentary life). Pemeriksaan USG dikerjakan bila pasien
tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV, yaitu ketika pasien memiliki alergi terhadap bahan
kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG
dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow),
hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan ginjal.

DIAGNOSIS BANDING
1. Pielonefrosis akuta
2. Tumor ginjal
3. Tuberkuloasis ginjal
4. Kolik dari organ lain

PENATALAKSANAAN
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus dikeluarkan agar
tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi pada
batu saluran kemih adalah jika batu telah telah menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus
diambil karena sesuatu indikasi sosial. Batu dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa,
dipecahkan dengan ESWL, melalui tindakan endourologi, bedah laparoskopi, atau
pembedahan terbuka. Medikamentosa Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang
ukurannya kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian
diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih.
ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) Alat ESWL adalah pemecah batu yang
digunakan untuk memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa melalui
tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen kecil sehingga mudah
dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan batu yang sedang keluar
menimbulkan perasaan nyeri kolik dan menyebabkan hematuria. Endourologi Tindakan
endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan batu saluran kemih, yaitu
berupa tindakan memecah batu dan mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang
dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui
insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahanan batu dapat dilakukan secara mekanik,
dengan memakai energi hidrolik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
Beberapa tindakan endourologi itu adalah:
1. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu yang berada dalam
saluran ginjal, dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada
kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmenfragmen
kecil.
2. Litotripsi yaitu memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah
batu (litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan evakuator Ellik.
3. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi yaitu memasukkan alat ureteroskopi per-uretram guna
melihat keadaan ureter atau sistem pielo-kaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu,
batu yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan
ureteroskopi/ureterorenoskopi ini.
4. Ekstraksi Dormia yaitu mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat
keranjang Dormia Bedah Laparoskopi Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu
saluran kemih saat ini sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu
ureter.
Bedah terbuka Di klinik atau rumah sakit yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk
tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, maka pengambilan batu masih dilakukan
melalui pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka itu antara lain adalah:
1. Pielolitotomi atau Nefrolitotomi
2. Ureterolithotomi
3. Vesicolithotomi
4. Urethrolithotomi
5. Nefrektomi

KOMPLIKASI
1. Obstruksi: Hidroureter,hidronefrosis
2. Infeksi: Sistitis, pionefrosis,urosepsis
3. Gagal ginjal akut dan kronis

PENCEGAHAN
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang tidak kalah pentingnya
adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih
rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun. Pencegahan yang dilakukan
adalah berdasarkan atas kandungan unsur yang menyusun batu saluran kemih yang diperoleh
dari analisis batu. Pada umumnya pencegahan itu berupa: 1. menghindari dehidrasi dengan
minum cukup dan diusahakan produksi urine sebanyak 2-3 liter per hari, 2. diet untuk
mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu, 3. aktivitas harian yang cukup, dan 4.
pemberian medikamentosa. Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan
adalah: 1. rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan
menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam, 2. rendah oksalat, 3. rendah garam karena
natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri, dan 4. rendah purin. Diet rendah kalsium
tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang menderita hiperkalsiuri absortif tipe II.

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007, hal 153-
156.
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 16th ed., Mc Graw Hill 2004,
hal. 77, 613, 620-623
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 8th ed., WB
Saunders, Philadephia 2002, hal. 3915-3930

Anda mungkin juga menyukai