PENDAHULUAN
Prevalensi di Indonesia, kelainan refraksi menempati urutan pertama dari penyakit mata,
meliputi 25% penduduk atau sekitar 55 juta jiwa sedangkan prevalensi miopia di Indonesia
lebih dari -0,5 D pada usia dewasa muda di atas 21 tahun adalah 48,1%.
Klasifikasi miopia berdasarkan tingkat keparahannya dibagi menjadi miopia ringan, sedang,
dan berat. Miopia ringan adalah miopia dengan koreksi sferis ≤ 3 dioptri, miopia sedang dengan
koreksi sferis 3-6 dioptri, dan miopia berat atau tinggi dengan koreks sferis > 6 dioptri.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Miopia Ringan.
DEFINISI
Miopia adalah kelainan refraksi mata dimana cahaya yang berasal dari bayangan objek terletak
didepan retina pada saat mata tanpa akomodasi.
ETIOLOGI
Faktor yang berperan dalam terjadinya miopia adalah faktor genetik dan faktor lingkungan.
Genetik berperan dalam variasi biologis perkembangan mata, karena prevalensi miopia lebih
banyak pada anak-anak dengan kedua orang tua miopia (20%) dibandingkan dengan satu
orang tua miopia (10%) dan tanpa orang tua miopia (5%).
Miopia adalah kelainan refraksi mata yang disebabkan sinar sejajar yang datang dari jarak tak
terhingga difokuskan di depan retina oleh mata dalam keadaan tanpa akomodasi, seperti pada
gambar 1. Miopia aksial disebabkan karena jarak antara anterior dan posterior terlalu panjang.
Ini dapat terjadi akibat herediter atau karena kelainan kongenital pada makroftalmus. Miopia
kurvatura dapat terjadi jika ada kelainan kornea, akibat kongenital (keratokonus,
keratoglobus) maupun akuisita (keratektasia) dan lensa yang terlepas dari zonula zinii
sehingga lensa menjadi cembung. Miopia indeks dapat terjadi pada diabetes melitus yang
tidak terkontrol. Kadar gula dalam aquos humor meninggi sehingga menyebabkan daya
biasnya juga dapat meninggi. Miopia posisi dapat terjadi bila posisi lensa terlalu depan
sehingga menyebabkan fokus lebih maju.
Gambar 1. Sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga difokuskan di depan retina oleh mata
dalam keadaan tanpa akomodasi pada miopia
PETA KONSEP
Miopia
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada miopia ringan tidak diperlukan pemeriksaan penunjang kecuali didapatkan kelainan pada
pemeriksaan funduskopi.
DIAGNOSIS BANDING
1. Miopia indeks
2. Miopisasi
3. Pseudomiopia
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Tujuan penatalaksanaan miopia:
1. Mengoptimalkan penglihatan jauh
2. Mencegah progresifitas miopia
3. Mengupayakan aktivitas normal
4. Menghindari terjadinya komplikasi miopia
TERAPI MIOPIA
1. Kacamata
Pemberian kacamata pada miopia diberikan sesuai hasil pemeriksaan refraksi sujektif atau
objektif. Pada refraksi subjektif ukuran kacamata yang diberikan adalah ukuran sferis
terkecil yang menghasilkan visus 6/6 agar tidak terjadi akomodasi.
2. Contact lens
Tujuan utama pemberian lensa kontak (contact lens) adalah dalam hal kosmetik.
Dibandingkan dengan kacamata, mengenakan lensa kontak meningkatkan ketajaman visual
(karena peningkatan pembesaran pada miopia), memberikan bidang pandang yang lebih luas
dan menghilangkan distorsi perifer prismatik.
3. LASIK (Laser in situ keratomileusis)
4. Photo refractive keratectomy (PRK)
5. Refractive lens exchange (RLE)
6. Penanaman lensa intraokular
TERAPI FARMAKOLOGIS
1. Membaca dalam cahaya yang cukup dan tidak membaca dalam jarak terlalu dekat.
2. Aktivitas luar ruangan yang cukup.
3. Kontrol setidaknya satu kali dalam setahun untuk pemeriksaan refraksi, bila ada keluhan.
MONITORING PENGOBATAN
Kontrol setidaknya satu kali dalam setahun untuk pemeriksaan refraksi, bila ada keluhan
KRITERIA RUJUKAN
Pasien yang dirujuk adalah:
1. Umur kurang dari 18 tahun
2. Hasil koreksi (BCVA) < 6/6
3. Kelainan refraksi yan progresif.
4. Kelainan refraksi yang tidak maju dengan koreksi atau tidak ditemukan ukuran lensa yang
memberikan perbaikan visus.
5. Kelainan yang tidak maju dengan pinhole.
6. Adanya komorbid seperti anisometropia, kelainan organik, diplopia, spasme akomodasi.
KOMPLIKASI
Ambliopia merupakan kondisi berkurangnya tajam penglihatan walau dengan koreksi
terbaik (best corrected visual acuity) yang biasanya terjadi unilateral jarang bilateral yang
tidak berhubungan dengan kelainan struktural anatomi mata atau kelainan organik.
Strabismus adalah kelainan letak bola mata sedemikian rupa sehingga besar deviasi
bervariasi pada berbagai posisi lirikan, bergantung pada arah lirikan atau mata mana yang
digunakan untuk berfiksasi.
PROGNOSIS
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam
DAFTAR PUSTAKA
1. Wulandari M, Mahadini C. Chengqi, tongziliao and yintang point acupuncture in
improving the case of miopia visus. J Vocat Heal Stud. 2018. pp. 56–59.
2. Riordan-Eva P, Augsburger JJ. Vaughan and Asbury’s general ophthalmology 19th Ed.
mcGraw Hil Proffesional. 2018. p. 907.
3. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktek klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Edisi I. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. 2017.
4. Sitorus R, Sitompul R, Widyawati S, dkk. Buku ajar oftalmologi. Edisi pertama. Jakarta:
FKUI 2017.
5. Maksus AI. Standar prosedur pemeriksaan refraksi untuk refraksionis optisien (diploma
optometris). Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2016. pp 24-7.
6. Ali-BM, Tan XL. Patterns of use and knowledge about contact lens wear amongst
teenagers in rural areas in Malaysia. Int. J. Environ. Res. Public Health. 2019;16:1-7.
7. Ilyas S, Yulianti SR. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna. In:
Ilmu Penyakit Mata (5th ed). Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2019: p. 77.
8. World Health Organization. The impact of miopia and high miopia. In: Report of the Joint
World Health Organization–Brien Holden Vision Institute Global Scientific Meeting on
Miopia [Internet]. Australia: 2015.
9. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Bagian Ilmu Kesehatan Penyakit Mata FK
UGM. Jogjakarta: 2007.
10. Khurana AK, Khurana AK, Khurana B. Optics and refraction. In: Comprehensive
Ophthalmology (6th ed). India:Jaypee Brother Medical Publishers. 2015. p.39.
HIPERMETROPIA RINGAN
No. ICD-10 : H52.0 Hypermetropia
No. ICPC-2 : F91 Refractive error
Tingkat Kompetensi : 4A
PENDAHULUAN
Hipermetropia atau rabun jauh dan dekat secara fisiologis terjadi pada sekitar 75% bayi baru
lahir dan akan berkurang dengan cepat pada usia awal kehidupan. Kejadian hipermetropia
meningkat pada usia tua, yaitu meningkat sekitar 20% pada usia 40 tahun dan 60% pada usia
70 dan 80 tahun.
Klasifikasi hipermetropia berdasarkan tingkat keparahannya dibagi menjadi hipermetropia
ringan, sedang, dan tinggi. Hipermetropia ringan adalah hipermetropia dengan koreksi sferis
+0.25D s/d +3.00D. Hipermetropia sedang yaitu antara sferis +3.25D s/d sferis +6.00D,
sedangkan hipermetropia tinggi yaitu jika ukuran Dioptri > +6.25D.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit hipermetropia ringan.
DEFINISI
Hipermetropia atau rabun jauh dan dekat adalah keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang
retina, seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga difokuskan di depan retina oleh mata dalam
keadaan tanpa akomodasi.
ETIOLOGI
1. Kelainan kongenital berupa tidak adanya lensa
2. Aksial hipermetropia merupakan bentuk terbanyak yang menyebabkan hipermetropia.
Pada kondisi ini terjadi pemendekan aksis bola mata. Pemendekan 1 mm dari diameter
antero-posterior mata akan menghasilkan +3,00D hipermetrop
3. Kurvatura hipermetropia menggambarkan kondisi kornea yang kurang cembung yang
mengakibatkan penerununan kemampuan refraksi pada mata.
4. Indeks hipermetropia yang menurun pada usia tua, namun juga dapat terjadi pada
penderita diabetes.
5. Dislokasi lensa / posisi lensa yang bergeser dari biasanya
PETA KONSEP
Hipermetropia
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
1. Mata lelah dan pegal karena akomodasi yang terjadi dalam waktu lama
2. Penglihatan kurang jelas untuk objek yang dekat dan jauh
3. Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada penggunaan mata yang lama dan
membaca dekat.
4. Penglihatan tidak enak (asthenopia akomodatif = eye strain) terutama melihat pada jarak
yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas pada jangka waktu yang lama, misalnya
menonton TV, dan lain-lain.
5. Mata sensitif terhadap sinar/cahaya
6. Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia. Mata juling dapat terjadi
karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti konvergensi yang berlebihan pula.
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS BANDING
1. Presbiopia
2. Katarak
3. Post operasi refraktif
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Tujuan penatalaksanaan hipermetropia:
1. Mengurangi kelelahan pada mata
2. Mengoptimalkan penglihatan jauh dan dekat
3. Mencegah progresifitas hipermetropia
4. Mengupayakan aktivitas normal
5. Menghindari terjadinya komplikasi hipermetropia
Program penatalaksanaan hipermetropia meliputi :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor progresifitas hipermetropia secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor risiko
4. Pola hidup sehat
TERAPI HIPERMETROPIA
1. Kacamata / lensa kontak. Hipermetropia dikoreksi dengan lensa positif atau lensa plus untuk
menggeser fokus sinar di dalam mata ke depan ke daerah bintik kuning atau makula lutea.
Untuk menghindari akomodasi maka pemilihan lensa pada hypermetropia adalah lensa
dengan kekuatan dioptri terbesar yang menghasilkan visus 6/6. Contoh: jika hasil koreksi
subjektif dengan sferis +1.50 dioptri dan sferis +1,75 dioptri didapatkan visus 6/6, maka
lensa yang dipilih adalah lensa sferis terbesar yaitu sferis+1,75 dioptri.
2. Holmium laser thermoplasty
3. Laser in-situ keratomileusis (LASIK)
4. Photorefraktive keratektomi (PRK)
KRITERIA RUJUKAN
Pasien yang dirujuk adalah:
1. Kelainan refraksi yang progresif.
2. Kelainan refraksi yang tidak maju dengan koreksi atau tidak ditemukan ukuran lensa yang
memberikan perbaikan visus.
3. Kelainan yang tidak maju dengan pinhole.
KOMPLIKASI
1. Esotropia atau juling kedalam terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi
2. Glaukoma sekunder sudut tertutup
3. Ambliopia
PROGNOSIS
1. Ad vitam : bonam
2. Ad functionam : bonam
3. Ad sanationam : bonam
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S, Yulianti SR. Tajam penglihatan dan kelainan refraksi penglihatan warna. Dalam:
Ilmu Penyakit Mata. Fakultas kedokteran universitas Indonesia. Edisi 5. Jakarta: EGC.
2019. h 79-82.
2. Khurana AK. Errors of refraction and Accommodation. In: Comprehensive Opthalmology
6th Ed. India: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2015. p 34-6
3. Maksus AI. Standar prosedur pemeriksaan refraksi untuk refraksionis optisien (diploma
optometris). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2016. h 24-7.
4. Ikatan Dokter Indonesia. Hipermetropia. Dalam: Panduan Praktek Klinis bagi dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi I. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. 2017
5. Khurana AK. Optics and refractions, in: Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. India: New
Age International (P) Limited Publisher. 2007; p.28-48
6. Vitresia H. Penatalaksanaan Hipermetrop.[Tinjauan Kepustakaan]. Ilmu Penyakit Mata FK
Unand - RS Dr. M. Djamil Padang. 2007.
7. Casser L, Carmiencke K, Goss DA, Kneib BA, Morrow D, Musick JE. Optometric Clinical
Practice Guideline Comprehensive Adult Eye and Vission Examination, reference guide for
Clinicals. 2nd ed. American Optoric Ascociation, St. Louis: 2005.
ASIGMATISME RINGAN
No. ICD-10 : H52.2 Astigmatisme
No. ICPC-2 : F91 Refractive error
Tingkat Kompetensi : 4A
PENDAHULUAN
Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata.
Jumlah penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55
juta jiwa. Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 provinsi Riau menempati urutan
kesebelas prevalensi kelainan refraksi di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah populasi.
Astigmatisme adalah kondisi dimana pantulan cahaya dari objek tidak jatuh tepat pada 1 titik
karena variasi kelengkungan kornea atau lensa pada meridian yang berbeda. Kondisi ini
menyebabkan pandangan kabur, baik dalam jarak dekat maupun jauh. Astigmatisme dapat
terjadi bersamaan dengan miopia dan hypermetropia.
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina astigmatisme dibagi menjadi astigmatisme regular
dan astigmatisme irregular. Astigmatisma memiliki beberapa tingkatan, yaitu astigmatisma
ringan (0.50 – 1.00 D), astigmatisma sedang (1.00D – 2.50 D) dan astigmatisma berat (>2.50
D). Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina dibagi menjadi Astigmatisme
Miopia Simpleks, Astigmatisme Hipermetropia Simpleks, Astigmatisme Miopia Kompositus,
Astigmatisme Hipermetropia Kompositus dan Astigmatisme Miktus.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit astigmatisme ringan.
ETIOLOGI
Etiologi kelainan astigmatisme adalah sebagai berikut:
1. Kelainan kornea
Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur. Perubahan lengkung
kornea dengan atau tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior bola
mata. Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karena kelainan kongenital, trauma,
luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta akibat pembedahan kornea.
2. Kelainan lensa
Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin bertambah umur
seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga semakin berkurang dan lama
kelamaan lensa kristalin akan mengalami kekeruhan yang dapat menyebabkan
astigmatisme.
PETA KONSEP
Astigmatisme
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan kabur dan sedikit distorsi yang kadang
juga menimbulkan sakit kepala. Pasien sering memicingkan mata atau head tilt untuk dapat
melihat lebih jelas.
PEMERIKSAAN FISIK
DIAGNOSIS
1. Strabismus
2. Miopia
3. Hipermetropia
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Tujuan penatalaksanaan astigmatisme:
1. Mengoptimalkan penglihatn dekat dan jauh
2. Mencegah progresifitas astigmatisme
3. Mengupayakan aktivitas normal dengan tajam penglihatan yang optimal
4. Menghindari terjadinya komplikasi astigmatisme
Program penatalaksanaan astigmatisme ringan meliputi :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor progresivitas astigmatisme secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor risiko
4. Pola hidup sehat
TERAPI ASTIGMATISME
TERAPI OPERATIF
Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk beluk penyakit, sifat
penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau memburuk), dan mengetahui kapan
harus meminta pertolongan dokter. Menjelaskan bahwa astigmatisme merupakan gangguan
penglihatan yang dapat dikoreksi
MONITORING PENGOBATAN
Kontrol setidaknya sekali dalam setahun untuk untuk menilai progresifitas astigmatisme.
KRITERIA RUJUKAN
Pasien yang dirujuk adalah:
1. Koreksi dengan kacamata tidak memperbaiki visus, atau
2. Ukuran lensa tidak dapat ditentukan (misalnya astigmatisme berat)
KOMPLIKASI
Amblyopia, strabismus (esotropia)
PROGNOSIS
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam
DAFTAR PUSTAKA
1. Astigmatisme. Dalam: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Buku Ajar
Oftalmologi. Ed. 1. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu kesehatan mata Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013 [Internet]. 2013.
3. Riordan-Eva P. Optics & refraction. In: Riordan-Eva P, Augsburger JJ, editors. Vaughan
& Asbury’s General Ophtalmology. 19th Ed. New York: McGraw-Hill;2018. p. 908-10.
4. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktek klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Edisi I. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2017. p. 124-25.
5. Widjaya SC, Rasyid M. Hubungan Faktor Genetika Terhadap Kejadian Astigmatisma Pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara angkatan 2013. Tarumanagara
6. Medical Journal. 2019;1(2): p. 181-82.
7. Clinical refraction. In:Clinical Optics. American Academy of Ophtalmology. Section 3.
2014. p. American Academy of Ophtlamology. 102-3.
8. Errors of refrction and accommodation. In: Khurana AK, Khurana AK, Khurana B, editors.
Comprehensive Ophtalmology. 6th Ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers
(P) Ltd;2015. p. 42-3.
9. Miraftab M, Hashemi H, Asgari S. Two year results of femtosecond asisted LASIK versus
PRK for different severity of astigmatism. Journal of current ophtalmology. 2017;30(1):
48-53.