Anda di halaman 1dari 21

MIOPIA RINGAN

No. ICD-10 : H52.1 Miopia


No. ICPC-2 : F91 Refractive error
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Prevalensi di Indonesia, kelainan refraksi menempati urutan pertama dari penyakit mata,
meliputi 25% penduduk atau sekitar 55 juta jiwa sedangkan prevalensi miopia di Indonesia
lebih dari -0,5 D pada usia dewasa muda di atas 21 tahun adalah 48,1%.
Klasifikasi miopia berdasarkan tingkat keparahannya dibagi menjadi miopia ringan, sedang,
dan berat. Miopia ringan adalah miopia dengan koreksi sferis ≤ 3 dioptri, miopia sedang dengan
koreksi sferis 3-6 dioptri, dan miopia berat atau tinggi dengan koreks sferis > 6 dioptri.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Miopia Ringan.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan atau mengurangi frekuensi serangan
penyakit, dan akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, farmakologis, diet, olah raga atau perubahan
perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip kendali
mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi, menerapkan dan melakukan monitor evaluasi kegiatan pencegahan
progresifitas miopia yang tepat, berkaitan dengan pasien, anggota keluarga dan masyarakat.

DEFINISI
Miopia adalah kelainan refraksi mata dimana cahaya yang berasal dari bayangan objek terletak
didepan retina pada saat mata tanpa akomodasi.

ETIOLOGI
Faktor yang berperan dalam terjadinya miopia adalah faktor genetik dan faktor lingkungan.
Genetik berperan dalam variasi biologis perkembangan mata, karena prevalensi miopia lebih
banyak pada anak-anak dengan kedua orang tua miopia (20%) dibandingkan dengan satu
orang tua miopia (10%) dan tanpa orang tua miopia (5%).
Miopia adalah kelainan refraksi mata yang disebabkan sinar sejajar yang datang dari jarak tak
terhingga difokuskan di depan retina oleh mata dalam keadaan tanpa akomodasi, seperti pada
gambar 1. Miopia aksial disebabkan karena jarak antara anterior dan posterior terlalu panjang.
Ini dapat terjadi akibat herediter atau karena kelainan kongenital pada makroftalmus. Miopia
kurvatura dapat terjadi jika ada kelainan kornea, akibat kongenital (keratokonus,
keratoglobus) maupun akuisita (keratektasia) dan lensa yang terlepas dari zonula zinii
sehingga lensa menjadi cembung. Miopia indeks dapat terjadi pada diabetes melitus yang
tidak terkontrol. Kadar gula dalam aquos humor meninggi sehingga menyebabkan daya
biasnya juga dapat meninggi. Miopia posisi dapat terjadi bila posisi lensa terlalu depan
sehingga menyebabkan fokus lebih maju.

Gambar 1. Sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga difokuskan di depan retina oleh mata
dalam keadaan tanpa akomodasi pada miopia

PETA KONSEP

Bakat yang diturunkan : Pengaruh lingkungan :


Kedua orang tua tidak myopia Kebiasaan melihat dekat
Salah satu orang tua myopia Aktivitas luar ruangan yang
Kedua orang tua myopia minimal
penyakit genetik Malnutrisi

Miopia

Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian myopia


FAKTOR RISIKO
1. Faktor Internal
Predisposisi genetik
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan mempengaruhi berkembangnya Miopia pada individu dengan/tanpa
predisposisi genetic, yaitu:
a. Aktivitas luar ruangan yang minimal
b. Kebiasaan melihat dekat
c. Gizi kurang saat masa kanak-kanak

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

1. Tajam penglihatan jarak jauh yang kurang (kabur)


2. Penglihatan dekat dalam batas normal
3. Sering memicingkan mata saat melihat jauh
4. Sering bekerja/ membaca/menonton TV dalam jarak dekat

PEMERIKSAAN FISIK

1. Pemeriksaan Refraksi Subjektif merupakan suatu metoda pemeriksaan dimana hasil


pemeriksaan ditentukan oleh tanggapan pasien terhadap pemeriksaan yang dilakukan.
Prosedur pemeriksaan refraksi subjektif meliputi:
a. Pengukuran jarak antar pupil (inter pupilary distance/PD)
Pengukuran jarak (dalam mm) di antara kedua garis penglihatan apabila pasien
memandang target jarak jauh (PD jauh) dan target jarak dekat (PD dekat).
Pengukuran jarak pupil ini ditujukan untuk:
1) Penempatan pusat optik lensa koreksi pada bingkai uji coba dalam pemeriksaan
refraksi.
2) Sebagai pedoman penempatan pusat optik lensa kacamata agar dibuat tepat di depan
pusat pupil pemakai kacamata sehingga tidak terjadi efek prisma yang tidak
dikehendaki.
3) Pengukuran jarak antar pupil/ PD pada mata normal dilakukan dari pusat pupil mata
kanan hingga pusat pupil mata kiri.
4) Untuk menentukan PD mata penderita strabismus dilakukan pengukuran antar
limbus.
5) Pada mata nystagmus dilakukan antar kantus.
Jika kita melakukan pengukuran PD jauh, maka pengukuran PD dekatnya dilakukan
dengan mengurangi 2 mm dari PD jauh, misalnya PD jauh 63 mm, maka PD dekatnya
adalah 63mm-2mm yaitu 61mm.
b. Penilaian Visus Jauh
1) Penilaian visus dilakuakan dengan menggunakan Snellen chart/ E chart
Tentukan tajam penglihatan kedua mata dengan menutup salah satu mata yang tidak
diperiksa dengan menunjukkan huruf – huruf pada optotype snellen mulai dari
deretan huruf terbesar hingga terkecil yang masih dapat dilihat atau dibaca dengan
jelas dan lengkap (=D). Disebelah kanan deretan huruf tersebut, tertera angka yang
menunjukkan jarak dalam meter yang masih dapat dibaca mata normal (emmetrop).
2) Uji Hitung Jari
Dilakukan apabila pasien tidak mampu mengenali baris paling atas dari
obyek/Snellen Chart. Visus ditentukan dengan cara:
a) Meminta pasien menghitung jari tangan yag diperlihatkan oleh pemeriksa
dengan D tangan = 60
b) Apabila pasien mampu menghitung jari pada jarak 1 meter, maka visus
dinyatakan sebagai 1/60 atau 0,02.
c) Apabila pasien mampu menghitung jari pada jarak 2 meter, maka visus
dinyatakan sebagai 2/60 atau 0,3, dan seterusnya.
c. Uji Gerakan/Lambaian Tangan
1) Dilakukan apabila pasien tidak mampu menghitung jari tangan walaupun pada
jarak yang sangat dekat (<0,5 meter) maka untuk menentukan visus digunakan
gerakan/lambaian tangan dengan D=300.
2) Pasien diminta untuk mengenali gerakan tangan pemeriksa, dimulai pada jarak 0,5
– 1 meter.
3) Apabila pasien mampu mengenali gerakan tangan dengan baik dan benar, maka
visus dinyatakan 1/300 pb (proyeksi benar).
4) Apabila pasien hanya mampu mengenali adanya gerakan, tanpa dapat menyatakan
arah gerakan tangan, maka visus dinyatakan 1/300 ps (proyeksi salah).
d. Uji Proyeksi Sinar
Dilakukan jika pasien tidak mampu mengenali adanya gerakan tangan walaupun pada
jarak yang paling dekat, maka untuk menentukan visus digunakan cahaya lampu senter.
1) Apabila pasien masih mampu mengenali adanya cahaya dari lampu senter dan
mampu menyatakan posisi dari sumber cahaya tadi dengan baik dan benar, maka
visus dinyatakan 1/~ pb.
2) Apabila pasien hanya mampu mengenali adanya sumber cahaya dari lampu senter,
namun tidak mampu menyatakan posisi dari sumber cahaya, maka visus dinyatakan
1/~ NLP (No Light Perception).
3) Apabila pasien sama sekali tidak mampu mengenali adanya sumber cahaya, maka
visus dinyatakan nol.
4) Pemeriksaan dengan lensa coba
Langkah-langkah pemeriksaan refraksi dengan lensa coba sebagai berikut:
a) Pasang kacamata coba dengan menutup salah satu mata dengan penutup
(occluder)
b) Mengukur besar power miopia berdasarkan perkiraan pada tabel tajam
penglihatan, seperti tabel 1 di bawah ini dengan menggunakan lensa coba
Table 1. Perkiraan Kelainan Refraksi Berdasarkan Visus
Tajam penglihatan Kelainan refraksi (D)
6/6 (20/20 < -0,50
6/9 (20/30) -0,50
6/12 (20/40) -0,75
6/18 (20/60) -1,00
6/24 (20/80) -1,50
6/36 (20/120) -2,00
6/60 (20/200) -2,00 s/d -3,00

c) Menentukan besarnya power dioptri untuk mendapatkan visus 6/6


d) Koreksi miopia dengan lensa minus atau lensa negatif yang ukurannya paling
kecil yang menghasilkan visus 6/6 untuk mengurangi akomodasi mata.
Contuhnya jika didapatkan hasil pemeriksaan subjektif dengan sferis -1,25
dioptri dan 1,50 dioptri adalah 6/6, maka ukuran lensa sferis yang dipilih adalah
yang terkecil yaitu sferis -1,25 dioptri.

2. Pemeriksaan Refraksi Objektif merupakan suatu metoda pemeriksaan dimana hasil


pemeriksaan ditentukan oleh kemampuan pemeriksa semata-mata, sedangkan pasien
bersikap pasif. Perlatan yang digunakan ialah autorefraktor dan retinoskopi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada miopia ringan tidak diperlukan pemeriksaan penunjang kecuali didapatkan kelainan pada
pemeriksaan funduskopi.

DIAGNOSIS BANDING

1. Miopia indeks
2. Miopisasi
3. Pseudomiopia

SARANA DAN PRASARANA

1. Snellen chart/ E chart/


2. Lensa coba (trial lens)
3. Kacamata coba( trial frame)
4. Senter (pen light)
5. Penggaris

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Tujuan penatalaksanaan miopia:
1. Mengoptimalkan penglihatan jauh
2. Mencegah progresifitas miopia
3. Mengupayakan aktivitas normal
4. Menghindari terjadinya komplikasi miopia

Program penatalaksanaan miopia meliputi:


1. Edukasi
2. Menilai dan monitor progresifitas miopia secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor risiko
4. Pola hidup sehat

TERAPI MIOPIA

1. Kacamata
Pemberian kacamata pada miopia diberikan sesuai hasil pemeriksaan refraksi sujektif atau
objektif. Pada refraksi subjektif ukuran kacamata yang diberikan adalah ukuran sferis
terkecil yang menghasilkan visus 6/6 agar tidak terjadi akomodasi.
2. Contact lens
Tujuan utama pemberian lensa kontak (contact lens) adalah dalam hal kosmetik.
Dibandingkan dengan kacamata, mengenakan lensa kontak meningkatkan ketajaman visual
(karena peningkatan pembesaran pada miopia), memberikan bidang pandang yang lebih luas
dan menghilangkan distorsi perifer prismatik.
3. LASIK (Laser in situ keratomileusis)
4. Photo refractive keratectomy (PRK)
5. Refractive lens exchange (RLE)
6. Penanaman lensa intraokular

TERAPI FARMAKOLOGIS

Pada prinsipnya penatalaksanaan miopia secara farmakologi ditujukan untuk mencegah


progesivitas miopia terutama pada anak-anak. Pemberian tetes mata Atrofin Sulfat dosis rendah
(0.01% atau 0.1%) dipertimbangkan dapat memberi manfaat pada pencegahan progresifitas
miopia jangka panjang.
7-methylxanthine adalah antagonis adenosin non-selektif yang mempengaruhi pelepasan
neurotransmitter seperti dopamin, norepinefrin, asetilkolin, glutamat dan serotonin. Dosis 400
mg dua kali sehari mengurangi perkembangan miopia dan elongasi mata yang berlebihan
hingga 60%.
Algoritma Tatalaksana Miopia Di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

Nilai Derajat Myopia

Myopia Ringan Myopia Sedang MyopiaTinggi


≤ 3 dioptri 3 – 6 dioptri > 6 dioptri

 Berikan kacamata dengan ukuran


terkecil yang menghasilkan visus 6/6  Rujuk ke Spesialis Mata
 Edukasi cara pemakian kacamata
yang benar
 Edukasi dan pecegahan faktor risiko
 Evaluasi 6 bulan- 1 tahun

Jika terjadi progresifitas dan


atau komplikasi

Cara Pemakaian Kacamata Miopia Ringan :


1. Kacamata digunakan saat melihat objek > 40 cm.
2. Saat melihat objek dekat, saat membaca buku, atau menulis
kacamata boleh dibuka.

KONSELING DAN EDUKASI

1. Membaca dalam cahaya yang cukup dan tidak membaca dalam jarak terlalu dekat.
2. Aktivitas luar ruangan yang cukup.
3. Kontrol setidaknya satu kali dalam setahun untuk pemeriksaan refraksi, bila ada keluhan.

MONITORING PENGOBATAN
Kontrol setidaknya satu kali dalam setahun untuk pemeriksaan refraksi, bila ada keluhan

KRITERIA RUJUKAN
Pasien yang dirujuk adalah:
1. Umur kurang dari 18 tahun
2. Hasil koreksi (BCVA) < 6/6
3. Kelainan refraksi yan progresif.
4. Kelainan refraksi yang tidak maju dengan koreksi atau tidak ditemukan ukuran lensa yang
memberikan perbaikan visus.
5. Kelainan yang tidak maju dengan pinhole.
6. Adanya komorbid seperti anisometropia, kelainan organik, diplopia, spasme akomodasi.
KOMPLIKASI
Ambliopia merupakan kondisi berkurangnya tajam penglihatan walau dengan koreksi
terbaik (best corrected visual acuity) yang biasanya terjadi unilateral jarang bilateral yang
tidak berhubungan dengan kelainan struktural anatomi mata atau kelainan organik.
Strabismus adalah kelainan letak bola mata sedemikian rupa sehingga besar deviasi
bervariasi pada berbagai posisi lirikan, bergantung pada arah lirikan atau mata mana yang
digunakan untuk berfiksasi.

PROGNOSIS
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam

DAFTAR PUSTAKA
1. Wulandari M, Mahadini C. Chengqi, tongziliao and yintang point acupuncture in
improving the case of miopia visus. J Vocat Heal Stud. 2018. pp. 56–59.
2. Riordan-Eva P, Augsburger JJ. Vaughan and Asbury’s general ophthalmology 19th Ed.
mcGraw Hil Proffesional. 2018. p. 907.
3. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktek klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Edisi I. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. 2017.
4. Sitorus R, Sitompul R, Widyawati S, dkk. Buku ajar oftalmologi. Edisi pertama. Jakarta:
FKUI 2017.
5. Maksus AI. Standar prosedur pemeriksaan refraksi untuk refraksionis optisien (diploma
optometris). Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2016. pp 24-7.
6. Ali-BM, Tan XL. Patterns of use and knowledge about contact lens wear amongst
teenagers in rural areas in Malaysia. Int. J. Environ. Res. Public Health. 2019;16:1-7.
7. Ilyas S, Yulianti SR. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna. In:
Ilmu Penyakit Mata (5th ed). Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2019: p. 77.
8. World Health Organization. The impact of miopia and high miopia. In: Report of the Joint
World Health Organization–Brien Holden Vision Institute Global Scientific Meeting on
Miopia [Internet]. Australia: 2015.
9. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Bagian Ilmu Kesehatan Penyakit Mata FK
UGM. Jogjakarta: 2007.
10. Khurana AK, Khurana AK, Khurana B. Optics and refraction. In: Comprehensive
Ophthalmology (6th ed). India:Jaypee Brother Medical Publishers. 2015. p.39.
HIPERMETROPIA RINGAN
No. ICD-10 : H52.0 Hypermetropia
No. ICPC-2 : F91 Refractive error
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Hipermetropia atau rabun jauh dan dekat secara fisiologis terjadi pada sekitar 75% bayi baru
lahir dan akan berkurang dengan cepat pada usia awal kehidupan. Kejadian hipermetropia
meningkat pada usia tua, yaitu meningkat sekitar 20% pada usia 40 tahun dan 60% pada usia
70 dan 80 tahun.
Klasifikasi hipermetropia berdasarkan tingkat keparahannya dibagi menjadi hipermetropia
ringan, sedang, dan tinggi. Hipermetropia ringan adalah hipermetropia dengan koreksi sferis
+0.25D s/d +3.00D. Hipermetropia sedang yaitu antara sferis +3.25D s/d sferis +6.00D,
sedangkan hipermetropia tinggi yaitu jika ukuran Dioptri > +6.25D.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit hipermetropia ringan.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan atau mengurangi frekuensi serangan
penyakit, dan akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, farmakologis, diet, olah raga atau perubahan
perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip kendali
mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi, menerapkan dan melakukan monitor evaluasi kegiatan pencegahan
progresifitas hipermetropia yang tepat, berkaitan dengan pasien, anggota keluarga dan
masyarakat.

DEFINISI
Hipermetropia atau rabun jauh dan dekat adalah keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang
retina, seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga difokuskan di depan retina oleh mata dalam
keadaan tanpa akomodasi.

ETIOLOGI
1. Kelainan kongenital berupa tidak adanya lensa
2. Aksial hipermetropia merupakan bentuk terbanyak yang menyebabkan hipermetropia.
Pada kondisi ini terjadi pemendekan aksis bola mata. Pemendekan 1 mm dari diameter
antero-posterior mata akan menghasilkan +3,00D hipermetrop
3. Kurvatura hipermetropia menggambarkan kondisi kornea yang kurang cembung yang
mengakibatkan penerununan kemampuan refraksi pada mata.
4. Indeks hipermetropia yang menurun pada usia tua, namun juga dapat terjadi pada
penderita diabetes.
5. Dislokasi lensa / posisi lensa yang bergeser dari biasanya

PETA KONSEP

Bakat yang diturunkan : Pengaruh lingkungan :


Kedua orang tua tidak hipermetropia Kebiasaan melihat dekat
Salah satu orang tua hipermetropia Aktivitas luar ruangan yang
Kedua orang tua hipermetropia minimal
penyakit genetik

Hipermetropia

Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian hipermetropia


FAKTOR RISIKO
1. Faktor Internal
a. Predisposisi genetic
b. Usia (bayi baru lahir dan usia > 50 tahun)
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan mempengaruhi berkembangnya Hipermetropia pada individu
dengan/tanpa predisposisi genetic, yaitu:
a. Aktivitas melihat jarak dekat dan lama
b. Aktivitas dalam intensitas cahaya yang kurang

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

1. Mata lelah dan pegal karena akomodasi yang terjadi dalam waktu lama
2. Penglihatan kurang jelas untuk objek yang dekat dan jauh
3. Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada penggunaan mata yang lama dan
membaca dekat.
4. Penglihatan tidak enak (asthenopia akomodatif = eye strain) terutama melihat pada jarak
yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas pada jangka waktu yang lama, misalnya
menonton TV, dan lain-lain.
5. Mata sensitif terhadap sinar/cahaya
6. Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia. Mata juling dapat terjadi
karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti konvergensi yang berlebihan pula.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Pemeriksaan Refraksi Subjektif Metode Trial and Error


Rumus yang digunakan adalah Visus = d/D, nilai d selalu 5 atau 6 meter. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara :
a) Persiapkan pasien untuk duduk sejajar pada jarak 6 meter dari optotype Snellen.
b) Ukur jarak pupil (pupil distance = PD)
c) Tentukan tajam penglihatan kedua mata dengan menutup salah satu mata yang tidak
diperiksa dengan menunjukkan huruf – huruf pada optotype snellen mulai dari deretan
huruf terbesar hingga terkecil yang masih dapat dilihat atau dibaca dengan jelas dan
lengkap (=D). Disebelah kanan deretan huruf tersebut, tertera angka yang
menunjukkan jarak dalam meter yang masih dapat dibaca mata normal (emmetrop).
d) Apabila visus mata awal 6/6 kemungkinan mata emetropia atau hipermetropia dengan
akomodasi.
e) Selanjutnya pasang kacamata coba dengan menutup salah satu mata dengan penutup
(occluder) dan dimulai dari lensa spheris +0,25D.
f) Ulangi pemeriksaan dengan meminta pasien membaca semua deretan huruf snellen
dari yang terbesar hingga terkecil yang masih dapat dibaca dengan lengkap dan jelas.
Bila dengan lensa ini huruf 6/6 yg semula jelas menjadi kabur maka berarti penderita
adalah emetropia. Namun jika visus tetap 6/6 pemeriksaan terus dilanjutkan dengan
penambahan lensa +0,25D sampai pasien dapat melihat deretan huruf 6/6 dengan jelas
tanpa akomodasi.
g) Lensa positif terkuat dimana mata hipermetropia masih dapat melihat deretan huruf 6/6
dengan jelas atau tanpa akomodasi merupakan besar kelainan hipermetropianya
2. Pemeriksaan dengan kartu Jaeger
Berbeda dengan pada saat pemeriksaan penglihatan jauh dengan cara monokuler. Cara
pemberian lensa koreksi langsung diberikan bersamaan pada kedua mata (binokuler)
setelah koreksi untuk penglihatan jauhnya diperoleh, lensa ditempatkan pada trial frame
berhimpitan dengan lensa trial untuk koreksi jauh (bila ada). Kemudian pasien diminta
melihat kartu jaeger sesuai umur, jarak kerja yang dibutuhkan atau kebiasaan pasien. Hasil
power yang diperoleh menjadi power dari lensa adiksi yang akan dibuat menjadi kacamata.
3. Pemeriksaan Refraksi Objektif merupakan suatu metoda pemeriksaan dimana hasil
pemeriksaan ditentukan oleh kemampuan pemeriksa semata-mata, sedangkan pasien
bersikap pasif. Perlatan yang digunakan ialah autorefraktor dan retinoskopi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada hipermetropia ringan tidak diperlukan pemeriksaan penunjang kecuali didapatkan


kelainan pada pemeriksaan funduskopi.

DIAGNOSIS BANDING

1. Presbiopia
2. Katarak
3. Post operasi refraktif

SARANA DAN PRASARANA

1. Snellen chart/ E chart


2. Jeager chart
3. Lensa coba (trial lens)
4. Kacamata coba( trial frame)
5. Senter (pen light)
6. Penggaris

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Tujuan penatalaksanaan hipermetropia:
1. Mengurangi kelelahan pada mata
2. Mengoptimalkan penglihatan jauh dan dekat
3. Mencegah progresifitas hipermetropia
4. Mengupayakan aktivitas normal
5. Menghindari terjadinya komplikasi hipermetropia
Program penatalaksanaan hipermetropia meliputi :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor progresifitas hipermetropia secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor risiko
4. Pola hidup sehat

TERAPI HIPERMETROPIA

1. Kacamata / lensa kontak. Hipermetropia dikoreksi dengan lensa positif atau lensa plus untuk
menggeser fokus sinar di dalam mata ke depan ke daerah bintik kuning atau makula lutea.
Untuk menghindari akomodasi maka pemilihan lensa pada hypermetropia adalah lensa
dengan kekuatan dioptri terbesar yang menghasilkan visus 6/6. Contoh: jika hasil koreksi
subjektif dengan sferis +1.50 dioptri dan sferis +1,75 dioptri didapatkan visus 6/6, maka
lensa yang dipilih adalah lensa sferis terbesar yaitu sferis+1,75 dioptri.
2. Holmium laser thermoplasty
3. Laser in-situ keratomileusis (LASIK)
4. Photorefraktive keratektomi (PRK)

Algoritma Tatalaksana Hipermetropia Di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Nilai Derajat Hipermetropia

Hipermetropia Ringan Hipermetropia Sedang Hipermetropia Tinggi


+0.25 s/d +3.00 +3.25 s/d +6.00 >+6.25

 Berikan kacamata dengan


ukuran terbesar yang  Rujuk ke Spesialis Mata
menghasilkan visus 6/6
 Edukasi cara pemakian
kacamata yang benar
 Edukasi dan pecegahan faktor
risiko
 Evaluasi 6 bulan- 1 tahun

Jika terjadi progresifitas dan


atau komplikasi

Cara Pemakaian Kacamata Hipermetropia Ringan :


Gunakan kacamata sesering mungkin terutama untuk melihat objek
jauh maupun dekat

KONSELING DAN EDUKASI

1. Gunakan kacamata sesering mungkin untuk mengurangi kelelahan pada mata


2. Kontrol setiap 6 bulan, dapat dipercepat jika ada keluhan
MONITORING PENGOBATAN
Kontrol setidaknya 6 bulan sekali untuk pemeriksaan refraksi

KRITERIA RUJUKAN
Pasien yang dirujuk adalah:
1. Kelainan refraksi yang progresif.
2. Kelainan refraksi yang tidak maju dengan koreksi atau tidak ditemukan ukuran lensa yang
memberikan perbaikan visus.
3. Kelainan yang tidak maju dengan pinhole.

KOMPLIKASI
1. Esotropia atau juling kedalam terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi
2. Glaukoma sekunder sudut tertutup
3. Ambliopia

PROGNOSIS
1. Ad vitam : bonam
2. Ad functionam : bonam
3. Ad sanationam : bonam

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S, Yulianti SR. Tajam penglihatan dan kelainan refraksi penglihatan warna. Dalam:
Ilmu Penyakit Mata. Fakultas kedokteran universitas Indonesia. Edisi 5. Jakarta: EGC.
2019. h 79-82.
2. Khurana AK. Errors of refraction and Accommodation. In: Comprehensive Opthalmology
6th Ed. India: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2015. p 34-6
3. Maksus AI. Standar prosedur pemeriksaan refraksi untuk refraksionis optisien (diploma
optometris). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2016. h 24-7.
4. Ikatan Dokter Indonesia. Hipermetropia. Dalam: Panduan Praktek Klinis bagi dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi I. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. 2017
5. Khurana AK. Optics and refractions, in: Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. India: New
Age International (P) Limited Publisher. 2007; p.28-48
6. Vitresia H. Penatalaksanaan Hipermetrop.[Tinjauan Kepustakaan]. Ilmu Penyakit Mata FK
Unand - RS Dr. M. Djamil Padang. 2007.
7. Casser L, Carmiencke K, Goss DA, Kneib BA, Morrow D, Musick JE. Optometric Clinical
Practice Guideline Comprehensive Adult Eye and Vission Examination, reference guide for
Clinicals. 2nd ed. American Optoric Ascociation, St. Louis: 2005.
ASIGMATISME RINGAN
No. ICD-10 : H52.2 Astigmatisme
No. ICPC-2 : F91 Refractive error
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata.
Jumlah penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55
juta jiwa. Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 provinsi Riau menempati urutan
kesebelas prevalensi kelainan refraksi di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah populasi.
Astigmatisme adalah kondisi dimana pantulan cahaya dari objek tidak jatuh tepat pada 1 titik
karena variasi kelengkungan kornea atau lensa pada meridian yang berbeda. Kondisi ini
menyebabkan pandangan kabur, baik dalam jarak dekat maupun jauh. Astigmatisme dapat
terjadi bersamaan dengan miopia dan hypermetropia.
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina astigmatisme dibagi menjadi astigmatisme regular
dan astigmatisme irregular. Astigmatisma memiliki beberapa tingkatan, yaitu astigmatisma
ringan (0.50 – 1.00 D), astigmatisma sedang (1.00D – 2.50 D) dan astigmatisma berat (>2.50
D). Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina dibagi menjadi Astigmatisme
Miopia Simpleks, Astigmatisme Hipermetropia Simpleks, Astigmatisme Miopia Kompositus,
Astigmatisme Hipermetropia Kompositus dan Astigmatisme Miktus.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit astigmatisme ringan.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, farmakologis, diet, olah raga atau perubahan
perilaku secara rasional dan ilmiah.
3. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip kendali
mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
4. Mengidentifikasi, menerapkan dan melakukan monitor evaluasi kegiatan pencegahan
progresifitas astigmatisme yang tepat, berkaitan dengan pasien, anggota keluarga dan
masyarakat.
DEFINISI
Astigmatisme adalah suatu kondisi refraktif yang merupakan akibat dari dua meridian utama
mata yang memiliki daya bias yang berbeda.

ETIOLOGI
Etiologi kelainan astigmatisme adalah sebagai berikut:
1. Kelainan kornea
Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur. Perubahan lengkung
kornea dengan atau tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior bola
mata. Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karena kelainan kongenital, trauma,
luka atau parut di kornea, peradangan kornea serta akibat pembedahan kornea.
2. Kelainan lensa
Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin bertambah umur
seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga semakin berkurang dan lama
kelamaan lensa kristalin akan mengalami kekeruhan yang dapat menyebabkan
astigmatisme.

PETA KONSEP

Bakat yang diturunkan : Pengaruh lingkungan :


Kedua orang tua tidak astigmatisme Kebiasaan melihat dekat
Salah satu orang tua astigmatisme Aktivitas luar ruangan yang
Kedua orang tua astigmatisme minimal
penyakit genetik

Astigmatisme

Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian astigmatisme


FAKTOR RISIKO
1. Faktor Internal
a. Predisposisi genetik
b. Ada riwayat keluarga dengan kelainan astigmatisme
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal Mempengaruhi berkembangnya Astigmatisme pada individu
dengan/tanpa predisposisi genetik
a. Infeksi yang menyebabkan jaringan parut pada kornea
b. Tindakan operasi mata
c. Kebiasaan menggosok mata
d. Kelainan kelopak mata yang menekan kornea

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan kabur dan sedikit distorsi yang kadang
juga menimbulkan sakit kepala. Pasien sering memicingkan mata atau head tilt untuk dapat
melihat lebih jelas.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Pemeriksaan Refraksi Subjektif dengan Astigmatic dial chart


Adapun langkah-langkah untuk pemeriksaan astigmatisme dengan astigmatic dial chart
adalah sebagai berikut:
a. Tentukan tajam pengliatan terbaik dengan menggunakan lensa sferis minus (atau plus)
b. Kaburkan tajam penglihatan pasien dengan menambahkan lensa sferis plus (atau minus)
c. Minta pasien untuk menunjuk garis yang terlihat paling tebal dan paling tipis
dibandingkan garis lainnya pada astigmatic dial chart
d. Tambahkan lensa silinder minus (atau plus) dengan aksis yang tegak lurus dari garis
yang terlihat paling tebal atau paling tipis sebelumnya hingga semua garis terlihat sama
ketebalannya
e. Kurangi kekuatan lensa sferis minus hingga didapatkan tajam penglihatan terbaik
dengan kekuatan dioptri terendah. Jika menggunakan lensa sferis plus tambahkan
kekuatan dioptri hingga didapatkan tajam penglihatan terbaik dengan kekuatan lensa
tertinggi.
2. Pemeriksaan Refraksi Objektif
Merupakan suatu metoda pemeriksaan dimana hasil pemeriksaan ditentukan oleh
kemampuan pemeriksa semata-mata, sedangkan pasien bersikap pasif. Perlatan yang
digunakan ialah autorefraktor dan retinoskopi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada astigmatisme ringan tidak diperlukan pemeriksaan penunjang kecuali didapatkan


kelainan pada pemeriksaan funduskopi.

DIAGNOSIS

1. Astigmatisme Miopia Simpleks


Bayangan yang jatuh pada 2 titik, dimana 1 titik di retina dan satu lagi didepan retina
(astigmatisme miopia simpleks). Pola ukuran lensa koreksi astigmatisma jenis ini adalah
Sph 0,00 Cyl -Y atau Sph -X Cyl –Y. Contoh : Cyl – 1,25 axis 900
2. Astigmatisme Hipermetropia Simpleks
Bayangan yang jatuh pada 2 titik, dimana 1 titik di retina dan satu lagi di belakang retina
(astigmatisme hipermetropia simpleks). Pola ukuran lensa koreksi astigmatisma jenis ini
adalah Sph 0,00 Cyl +Y atau Sph +X Cyl +Y. Contoh: Cyl +0,75 axis 1800
3. Astigmatisme Miopia Kompositus
Bayangan yang jatuh pada 2 titik, dimana bayangan tidak ada yang jatuh tepat di retina.
Kedua tiitik jatuhnya bayangan berada di depan retina. Pola ukuran lensa koreksi
astigmatisma jenis ini adalah Sph -X Cyl –Y. Contoh: S -1,25 C -0,5 axis 900
4. Astigmatisme Hipermetropia Kompleks
Bayangan yang jatuh pada 2 titik, dimana bayangan tidak ada yang jatuh tepat di retina.
Kedua tiitik jatuhnya bayangan berada di belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi
astigmatisma jenis ini adalah Sph +X Cyl +Y.Contoh: S+2,25 C +0,75 axis 900
5. Astigmatisme Miktus
Suatu kondisi dimana bayagan jatuh pada 2 titik, namun tidak ada bayangan yang jatuh
tepat diretina. Bayangan jatuh didepan retina dan dibelakang retina. Pola ukuran lensa
koreksi astigmatisma jenis ini adalah Sph +X Cyl -Y, atau Sph -X Cyl +Y, dengan syarat
setelah dilakukan transposisi nilai sph dan Cyl tidak bisa menjadi sama-sama (-) atau (+).
Contoh : S-1,00 C+1,50 axis 1800, pada kasus ini jika dilakukan transposisi maka menjadi
S+0,5 C -1,50 axis 900 (didapatkan nilai S dan C tidak sama-sama negatif atau sama-sama
positif).
Gambar 1. A. Astigmat myopia simpleks, B.Astigmat hypermetropia simpleks, C.Astigmat
hypermetropia kompositus, D.astigmat myopia kompositus, E.Astigmat miktus.
DIAGNOSIS BANDING

1. Strabismus
2. Miopia
3. Hipermetropia

SARANA DAN PRASARANA

1. Snellen chart/ E chart


2. Astigmatic dial chart
3. Lensa coba (trial lens)
4. Kacamata coba( trial frame)
5. Pinhole
6. Senter (pen light)
7. Penggaris

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Tujuan penatalaksanaan astigmatisme:
1. Mengoptimalkan penglihatn dekat dan jauh
2. Mencegah progresifitas astigmatisme
3. Mengupayakan aktivitas normal dengan tajam penglihatan yang optimal
4. Menghindari terjadinya komplikasi astigmatisme
Program penatalaksanaan astigmatisme ringan meliputi :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor progresivitas astigmatisme secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor risiko
4. Pola hidup sehat

TERAPI ASTIGMATISME

Penggunaan kacamata lensa silindris dengan koreksi yang sesuai.

TERAPI OPERATIF

1. Laser in situ keratomileusis (LASIK)


2. Photorefractive keratectomy (PRK)

KONSELING DAN EDUKASI

Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk beluk penyakit, sifat
penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau memburuk), dan mengetahui kapan
harus meminta pertolongan dokter. Menjelaskan bahwa astigmatisme merupakan gangguan
penglihatan yang dapat dikoreksi
MONITORING PENGOBATAN
Kontrol setidaknya sekali dalam setahun untuk untuk menilai progresifitas astigmatisme.

KRITERIA RUJUKAN
Pasien yang dirujuk adalah:
1. Koreksi dengan kacamata tidak memperbaiki visus, atau
2. Ukuran lensa tidak dapat ditentukan (misalnya astigmatisme berat)

KOMPLIKASI
Amblyopia, strabismus (esotropia)

PROGNOSIS
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam

DAFTAR PUSTAKA
1. Astigmatisme. Dalam: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Buku Ajar
Oftalmologi. Ed. 1. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu kesehatan mata Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013 [Internet]. 2013.
3. Riordan-Eva P. Optics & refraction. In: Riordan-Eva P, Augsburger JJ, editors. Vaughan
& Asbury’s General Ophtalmology. 19th Ed. New York: McGraw-Hill;2018. p. 908-10.
4. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktek klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Edisi I. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2017. p. 124-25.
5. Widjaya SC, Rasyid M. Hubungan Faktor Genetika Terhadap Kejadian Astigmatisma Pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara angkatan 2013. Tarumanagara
6. Medical Journal. 2019;1(2): p. 181-82.
7. Clinical refraction. In:Clinical Optics. American Academy of Ophtalmology. Section 3.
2014. p. American Academy of Ophtlamology. 102-3.
8. Errors of refrction and accommodation. In: Khurana AK, Khurana AK, Khurana B, editors.
Comprehensive Ophtalmology. 6th Ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers
(P) Ltd;2015. p. 42-3.
9. Miraftab M, Hashemi H, Asgari S. Two year results of femtosecond asisted LASIK versus
PRK for different severity of astigmatism. Journal of current ophtalmology. 2017;30(1):
48-53.

Anda mungkin juga menyukai