Anda di halaman 1dari 25

HERPES ZOSTER

No. ICD-10 : B02.0 Zoster without complication


No. ICPC-2 : S70 Herpes Zoster
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Penyakit herpes zoster merupakan infeksi akut virus yang ditandai dengan lesi sesuai
dermatomal saraf. Insiden herpes zoster 1,5-3,0 per 1000 orang pertahun pada segala usia.
Menurut data Depkes pada tahun 2011-2013 didapatkan prevalensi herpes zoster dari data
13 rumah sakit pendidikan di Indonesia sebanyak 2.232 penderita. Puncak kasus herpes
zoster terjadi pada usia 45-64 tahun. Herpes zoster cenderung terjadi pada usia yang lebih
muda. Perempuan cenderung mempunyai insiden lebih tinggi. Pada tahun 2012 di
Poliklinik Kulit dan kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, angka kejadian
herpes zoster ialah 2% dari 1096 pasien. Kelompok usia terbanyak ialah 45-64 tahun, yaitu
sebanyak 73%. Herpes zoster lebih banyak terdapat pada laki-laki yaitu sebanyak 54,5%
sedangkan pada perempuan sebanyak 45,5%.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Herpes Zoster.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan atau mengurangi frekuensi serangan
penyakit, dan akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, farmakologis, diet, rawat luka, atau
perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi, menerapkan dan melakukan monitor evaluasi kegiatan pencegahan
herpes zoster yang tepat, berkaitan dengan pasien, anggota keluarga dan masyarakat.

DEFINISI
Herpes zoster berasal dari bahasa Yunani “herpein” yaitu “menjalar” dan “zoster” yaitu
“ikat pinggang”. Herpes zoster atau yang juga sering disebut “shingles” merupakan
penyakit yang disebabkan reaktivasi virus varisela zoster (VVZ) yang berdiam di ganglion
sensoris setelah infeksi primer.
Setelah mengalami infeksi primer atau vaksinasi, VVZ tetap laten berdiam terutama dalam
sel neuronal dan kadang-kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion
sensorik saraf kranial, kemudian menyebar ke dermatom atau jaringan saraf sesuai dengan
segmen yang dipersarafinya. Virus mulai bereplikasi beberapa waktu kemudian, lalu
menyusuri saraf sensoris menuju kulit dengan karakteristik unilateral. Selama fase
reaktivasi dapat terjadi infeksi VVZ di dalam sel mononuklear darah tepi yang biasanya
subklinis. Penyebab reaktivasi tidak sepenuhnya dimengerti tetapi diperkirakan terjadi
pada kondisi gangguan imunitas selular.

ETIOLOGI
Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster yang memiliki envelope /
pembungkus yang termasuk ke dalam keluarga Herpesviridae. Virus menginfeksi sel
Human diploid fibroblast in vitro, sel limfosit T teraktivasi, sel epitel, dan sel epidermal
in vivo untuk replikasi produktif, serta sel neuron. Virus ini dapat membentuk sel sinsitia
dan menyebar secara langsung dari sel ke sel. Pada herpes zoster, VZV menginfeksi sel
basal epidermis dan sel neuron, sehingga terjadi edem intra sel (degerasi balon) epidermis
dan neuritis.
Faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan reaktivasi adalah:
1. Pajanan VVZ sebelumnya (cacar air, vaksinasi)
2. Usia lebih dari 50 tahun
3. Keadaan imunokompromais
4. Obat-obatan imunosupresif
5. HIV/AIDS
6. Transplantasi sumsum tulang atau organ
7. Keganasan
8. Terapi steroid jangka panjang
9. Stres psikologis atau fisik

PETA KONSEP

Virus di sel neuron ganglion dorsalis Faktor risiko :


mengalami aktivasi 1. Pajanan VVZ sebelumnya
(cacar air, vaksinasi)
2. Usia lebih dari 50 tahun
Virus migrasi sepanjang serabut saraf 3. Keadaan imunokompromais
sensoris menuju sel basal epidermis

Inflamasi epidermis (degenerasi balon)


menyebabkan lesi vesikuler

Herpes Zoster

Interaksi faktor pencetus pada kejadian herpes zoster


FAKTOR RISIKO
Factor yang meningkatkan risiko terkena herpes zoster :
1. Pajanan VVZ sebelumnya (cacar air, vaksinasi)
2. Pasien dengan kekebalan seluler terganggu misal usia tua, diabetes, penyakit kronis,
trauma, dan pembedahan.
3. Usia lebih dari 50 tahun
4. Keadaan imunokompromais
a. Pasien dengan terapi imunosupresan, seperti methotrexate, azathioprine, steroid
jangka panjang, kemoterapi.
b. HIV/AIDS
c. Transplantasi sumsum tulang atau organ
d. Keganasan
e. Terapi kortikosteroid jangka panjang
5. Stres psikologis atau fisik

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

1. Keluhan nyeri radicular dan gatal terjadi sebelum erupsi pada daerah dermatom yang
akan timbul lesi.
2. Dapat disertai gejala prodromal atau sistemik, berupa demam, pusing, dan malaise.
3. Muncul gejala kulit kemerahan yang dalam waktu singkat berubah menjadi vesikel
berkelompok dengan dasar eritem dan edema, unilateral.
4. Umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama orang tua.
5. Terdapat faktor risiko/pencetus

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan dermatologi menunjukkan sekelompok vesikel dengan dasar eritem yang


terletak unilateral sepanjang distribusi saraf spinal atau kranial. Lesi bilateral jarang
ditemui, namun seringkali, erupsi juga terjadi pada dermatom di dekatnya.
Lesi vesikel dengan dasar eritem, Sebagian tampak erosi, multipl, berkelompok, sepanjang
dermatome N. torakalis 9-10 kanan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium diperlukan bila terdapat gambaran klinis yang meragukan


1. Tes Tzanck, membutuhkan sampel dari kerokan halus pada dasar vesikel, selanjutnya
dilakukan pengecatan Giemsa. Hasil positif, jika ditemukan sel raksasa berinti banyak
(multinucleated giant cell).
2. Identifikasi antigen/asam nukleat VVZ dengan metode PCR

DIAGNOSIS KLINIS

Penegakan herpes zoster bisa ditegakkan berdasar gambaran klinis berikut:


1. Anamnesis menunjukkan timbulnya gejala prodromal, yang didahului atau disertai
terjadinya factor risiko.
2. pemeriksaan fisik tampak lesi vesikel dengan dasar eritem multiple bergerombol di
kulit sesuai dermatome saraf tertentu.
3. pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil yang positif.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan:


1. Herpes zoster hemoragik, yaitu jika vesikel mengandung darah.
2. Herpes zoster generalisata, yaitu kelainan kulit unilateral dan segmental ditambah
kelainan kulit generalisata berupa vesikel soliter yang berumbilikasi.

Kedua hal di atas merupakan tanda bahwa pasien mengalami imunokompromais.


1. Herpes zoster oftalmikus, yaitu infeksi cabang pertama nervus trigeminus sehingga
menimbulkan kelainan pada mata, disamping itu juga cabang kedua dan ketiga
menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya.
2. Herpes zoster abortif, penyakit yang hanya berlangsung dalam waktu singkat dan
kelainan kulit hanya berupa beberapa vesikel dan eritem.

DIAGNOSIS BANDING

1. Herpes simpleks
2. Dermatitis venenata
3. Dermatitis kontak alergi atau iritan
4. Pada saat nyeri prodromal: diagnosis dapat menyerupai migraine, nyeri pleuritik, infark
miokard, atau apendisitis

SARANA DAN PRASARANA

1. Kaca pembesar
2. Sarung tangan
3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Tzanck (bisturi, swab alcohol, gelas objek,
cairan Gemsa, mikroskop).
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Penatalaksanaan
1. Terapi suportif dilakukan dengan menghindari gesekan kulit yang mengakibatkan
pecahnya vesikel, pemberian nutrisi TKTP, dan istirahat dan mencegah kontak dengan
orang lain.
2. Pengobatan antivirus oral :
a. Diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada pasien dengan:
1) Usia > 50 tahun
2) Mempunyai risiko neuralgia paska herpetic
3) Herpes zoster optalmika, servikal, sacral atau sindrom Ramsay Hunt
4) Imunokompromais, lesi generalisata/diseminata, lesi dengan komplikasi.
b. Obat antivirus berupa Asiklovir dengan dosis dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x
20 mg/kgBB (dosis maksimal 800 mg), atau Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari.
c. Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan pada 48-72 jam
pertama setelah timbul lesi.
3. Obat simtomatik
a. Nyeri ringan dengan parasetamol 3x500 mg/hari atau obat antiinflamasi non steroid
(AINS), seperti asam mefenamat 3x500 mg/hari.
b. Nyeri sedang sampai berat dengan obat AINS, seperti asam mefenamat 3x500
mg/hari, kalium diklofenak 2x25-50 mg/hari, kombinasi dengan tramadol, dll.
c. Pasien dengan neuralgia menetap dapat ditambahkan antidepresan trisiklik
(amitriptilin 1x10-20mg /hari pada malam hari) dan gabapentin 300 mg/hari.
4. Topikal :
a. Stadium vesikel : bedak salisil 2% atau bedak kocok kalamin agar vesikel tidak
pecah.
b. Apabila erosif, diberikan kompres terbuka,dan atau krim antibiotik, seperti
gentamisin, kloramfenikol, dll.

KONSELING DAN EDUKASI

1. Edukasi tentang perjalanan penyakit Herpes Zoster.


2. Memulai pengobatan sesegera mungkin.
3. Menjalani istirahat hingga lesi mencapai stadium krustasi.
4. Tidak menggaruk lesi
5. Diet tinggi kalori tinggi protein atau sesuai kebutuhan gizi pasien dan tidak ada
pantangan.
6. Tetap mandi sehari 2 kali dengan sabun.
7. Mengelola kecemasan dan ketidakpahaman pasien.
8. Edukasi bahwa lesi biasanya membaik dalam 2-4 minggu pada individu
imunokompeten, tetapi penyembuhan sempurna kadang membutuhkan > 4 minggu.
9. Pasien usia lanjut atau imunokompromais membutuhkan waktu penyembuhan lebih
lama.
10. Edukasi mengenai seringnya komplikasi neuralgia pasca-herpetik.
MONITORING PENGOBATAN
Pasien kembali ke fasilitas kesehatan dalam waktu 7 hari untuk mengevaluasi
perkembangan setelah mendapat pengobatan.

KRITERIA RUJUKAN
Pasien dirujuk apabila:
1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari setelah terapi.
2. Terjadi pada pasien bayi, anak dan geriatri (imunokompromais).
3. Herpes zoster dengan penyulit, seperti pada herpes zoster oftalmikus, herpes zoster
otikus dengan paralisis N. facialis.
4. Herpes zoster disertai komplikasi
5. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka

KOMPLIKASI
1. Neuralgia pasca-herpetik, yaitu nyeri yang menetap pada dermatome yang terkena,
setelah 3 bulan erupsi lesi herpes zoster menyembuh.
2. Ramsay Hunt Syndrome: herpes pada ganglion genikulatum, ditandai dengan
manifestasi herpes zoster facialis (N. VII) disertai gangguan pendengaran,
keseimbangan, tinnitus, vertigo, nystagmus, nausea dan paralisis otot muka
(paralisis Bell).
3. Pada penderita dengan imunodefisiensi (HIV, keganasan, atau usia lanjut), vesikel
sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik, dan dapat terjadi infeksi sistemik.
4. Pada herpes zoster oftalmikus, dapat terjadi ptosis paralitik, keratitis, skleritis,
uveitis, korioretinitis, serta neuritis optik.
5. Paralisis motorik.

PROGNOSIS
Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya adalah bonam, sedangkan pasien
dengan imunokompromais atau usia > 50 tahun, prognosis menjadi dubia ad bonam.

PENCEGAHAN
Metode pencegahan dapat berupa:
1. Dengan cara pemakaian asiklovir jangka panjang dengan dosis supresi. Misalnya,
asiklovir sering diberikan sebagai obat pencegahan pada penderita leukemia yang akan
melakukan transplantasi sumsum tulang dengan dosis 5 x 200 mg/hari, dimulai 7 hari
sebelum transplantasi sampai 15 hari sesudah transplantasi.
2. Pemberian vaksinasi dengan vaksin VZV hidup yang dilemahkan (Zostavax®), sering
diberikan pada orang berusia > 50 tahun, baik yang mempunyai Riwayat varisela atau
belum, untuk mencegah terjadinya penyakit, meringankan beban penyakit, serta
menurunkan terjadinya komplikasi neuralgia pasca-herpetik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer dalam
Permenkes No. 5 tahun 2014
2. PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia.
3. Kelompok Studi Herpes Indonesia (KSHI). 2014. Buku Panduan Herpes Zoster di
Indonesia. Jakarta: Penerbit FKUI.
4. Riskesdas 2013, Depkes
MORBILI (CAMPAK)
No. ICD-10 : B05.9 Measles without complication (Measles NOS)
No. ICPC-2 : A71 Measles
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Pada tahun 1980, sebelum imunisasi dilakukan secara luas, diperkirakan lebih 20 juta
orang di dunia terkena Campak dengan 2,6 juta kematian setiap tahun yang sebagian besar
adalah anak-anak di bawah usia lima tahun. Sejak tahun 2000, lebih dari satu miliar anak
di negara-negara berisiko tinggi telah divaksinasi melalui program imunisasi, sehingga
pada tahun 2012 kematian akibat Campak telah mengalami penurunan sebesar 78% secara
global. Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara dengan kasus Campak
terbanyak di dunia.
Kegiatan surveilans yang dilakukan setiap tahun melaporkan lebih dari 11.000 kasus
suspect Campak. Hasil konfirmasi laboratorium terhadap kasus tersebut, diketahui bahwa
12 – 39% di antaranya adalah Campak pasti (confirmed), dan sebanyak 16–43% adalah
Rubella pasti.
Incidence Rate campak per 100.000 penduduk di Indonesia pada tahun 2011-2017
menunjukkan kecenderungan penurunan, dari 9,2 menjadi 5,6 per 100.000 penduduk.
Namun demikian, incidence rate cenderung naik dari tahun 2015 sampai dengan 2017,
yaitu dari 3,2 menjadi 5,6 per 100.000 penduduk.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Morbili.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan atau mengurangi frekuensi serangan
penyakit, dan akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, farmakologis, diet, olah raga atau
perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi, menerapkan dan melakukan monitor evaluasi kegiatan pencegahan
kejadian morbili yang tepat, berkaitan dengan pasien, anggota keluarga dan masyarakat.
DEFINISI
Penyakit Campak dikenal juga sebagai Morbili atau Measles atau Rubeola, merupakan
penyakit infeksi virus yang sangat menular (infeksius), berasal dari genus Morbillivirus
dan termasuk family Paramyxoviridae, golongan virus RNA. Manusia diperkirakan satu-
satunya reservoir, walaupun monyet dapat terinfeksi tetapi tidak berperan dalam
penularan. Morbilli ditandai dengan gejala sistemik seperti demam, lemah, sakit kepala
yangdiikuti dengan erupsi makulopapuler yang dimulai dari belakang telinga dan
menyebar ke seluruh tubuh.

ETIOLOGI
Penyebab Morbili adalah virus Morbili (family Paramyxoviridae, golongan virus RNA).
Penyakit ini menyebar melalui udara dengan droplet (tetesan) pernafasan yang dihasilkan
dari batuk atau bersin. Partikel virus bisa bertahan di udara sekitar 2 jam. Virus masuk
melalui slauran pernafasan dan mengalami replikasi di sel epitel trachea dan bronchus.
Setelah 2-4 hari, virus masuk ke jaringan limfa, mengalami perkembangbiakan di jaringan
limfoid dan menyebar ke seluruh organ tubuh, diikuti dengan timbulnya erupsi
makulopapuler di kulit.
Virus Morbili menyebabkan imunosupresi yang ditandai dengan penurunan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat dan produksi IL-2 dan antigen-specific lymphoprolifoherative
responses yang terjadi selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi. Penurunan
imunitas tubuh inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai infeksi opotunistik atau
infeksi sekunder yang menyertai kejadian morbilli. Pada individu dengan imunokompeten,
virus yang dilemahkan dapat menstimuli respon imun untuk membunuh virus di tubuh dan
menghasilkan imunitas tubuh trehadap virus Morbili seumur hidup.

PETA KONSEP

Virus Morbili
Masuk melalui saluran
pernafasan

Trakhea & bronchus

Organ seluruh tubuh


Jaringan limfatika Erupsi morbiliformis
termasuk kulit

FAKTOR RISIKO
Faktor yang berperan terjadinya infeksi Morbili sebagai berikut:
1. Anak dengan imunodefisiensi, seperti pada anak dengan terapi kortikosteroid, pasien
leukemia, AIDS, dll
2. Bepergian ke daerah endemic campak
3. Bayi yang tidak mempunyai antibody terhadap virus Morbili setelah masa imunisasi
Morbili.
Faktr risiko yang meningkatkan risiko terjadinya Morbili dengan komplikasi:
1. Malnutrisi
2. Imunodefisiensi
3. Kehamilan
4. Defisiensi vitamin A

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis morbilli berdasar pada gambaran klinis, terutama trias gejala yang
terdiri atas batuk, coryza (peradangan akut membran mukosa rongga hidung) dan
konjungtivitis, dengan tanda patognomonik Koplik spots pada mukosa bukal dan erupsi
kulit yang dimulai dari belakang telinga ke wajah, badan dan ekstremitas.
Masa inkubasi Morbili 8-12 hari melalui 3 tahap berikut:
1. Stadium prodromal
Gejala awal ditandai demam selama 2-4 hari mencapai 39,50C, lemah, trias morbilli,
Koplik spot yang muncul pada hari ke-2 atau 3 demam dan berlangsung selama 12 jam.
2. Stadium eksantem
Erupsi maculopapular yang menyebar secara sentrifugal, dari belakang telinga
kemudian menyebar ke wajah, leher, dada, ekstremitas atas dan bokong dan akhirnya
ekstremitas bawah. Erupsi ini terjadi selama 6-7 hari.
3. Stadium penyembuhan (konvalesen)
Erupsi maculopapular mulai menghilang 3-4 hari kemudian sesuai pola munculnya
erupsi, berubah menjadi hiperpigmentasi (bercak kecoklatan) dan akan menghilang
dalam waktu 7-10 hari.

ANAMNESIS

1. Demam
2. Lemah
3. Batuk, pilek atau hidung tersumbat
4. Mata merah dan berair.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Pemeriksaan tanda vital: suhu mencapai 38-400C, diikuti peningkatan frekuensi napas
dan denyut nadi sesuai peningkatan suhu.
2. Mukosa mulut: pada mukosa bukal bisa terlihat enantem Koplik spot pada hari ke2-3
demam.
3. Kulit tampak erupsi makulopapular ukuran miliar sampai lentikuler, multiple di seluruh
tubuh.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan penunjang khusus untuk penegakan diagnosis Morbili dengan tes serologi
IgG dan IgM.
2. Pemeriksaan darah rutin menunjukkan leukopenia dengan limfositois dan
trombositopenia relatif.

DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis Morbili berdasarkan gambaran klinis, terutama trias batuk, koriza (peradangan
akut membran mukosa rongga hidung) dan konjungtivitis, serta tanda patognomonik
Koplik spot dan erupsi maculopapular di kulit.

DIAGNOSIS BANDING

1. Demam berdarah
2. Erupsi obat maculopapular
3. Eritema infeksiosum
4. Eksantema virus yang lain, seperti demam Scarlet, dll.
5. Sifilis

SARANA DAN PRASARANA

1. Thermometer
2. Kaca pembesar

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Tujuan utama penatalaksanaan morbili adalah melakukan pencegahan primer, sekunder
maupu tertier.
1. Pencegahan primer yaitu mencegah kejadian penyakit morbilli dengan pemberian
imunisasi aktif pada bayi berumur 9 bulan atau lebih.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian terapi untuk mengurangi atau menghilangkan
gejala yang dirasakan pasien dan mencegah terjadinya komplikasi, karena morbilli bisa
sembuh sendiri dalam waktu 7-10 hari.

TERAPI FARMAKOLOGIS

Penatalaksanaan morbilli meliputi:


1. Tirah baring,
2. Pemberian antipiretik dan analgetik diperlukan untuk mengurangi demam dan rasa
nyeri.
3. Vitamin A 100.000 IU per oral satu kali pemberian untuk anak dibawah usia 1 tahun
dan 200.000 IU untuk diatas 1 tahun.
4. Di rumah sakit pasien campak dirawat di bangsal isolasi.

KONSELING DAN EDUKASI


1. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk beluk penyakit,
sifat penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau memburuk), jenis dan
mekanisme kerja obat-obatan dan mengetahui kapan harus meminta pertolongan dokter
2. Informasi tentang kemungkinan terjadinya komplikasi.
3. Pola hidup sehat
4. Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan memberikan imunisasi rutin
secara teratur kepada bayi, dan menghindari bepergian ke daerah endemic penyakit.

MONITORING PENGOBATAN
Untuk mencapai kesembuhan yang optimal, pasien diminta menjaga asupan gizi dan
aktivitas agar imunitas tubuh terjaga baik.

KRITERIA RUJUKAN
Bila timbul gejala yang mengarah ke timbulnya komplikasi morbilli atau gejala tidak
membaik dengan pengobatan tersebut di atas, pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat
lanjut.

KOMPLIKASI
Penyulit yang tersering ialah bronkopneumonia, meninitis, ensefalopati, hepatitis atau
enteritis. Pengobatan dilakukan sesuai pengobatan baku untuk jenis penyulit tersebut.

PROGNOSIS
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam

DAFTAR PUSTAKA

1. Wolf K, Johnson RA, Surmond D, Color Atlas and Synopsis of Clinical


Dermatology, 7th ed, McGraw-Hill, 2015.
2. Habif TP, Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy, Mosby,
2014.
3. Sudigdo A, Menaldi SL, Boediarja SA, Wasitaatmadja SM, (Penyunting), Standar
Pelayanan Medik Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, Perhimpunan Dokter Spesialis
Kulit Indonesia (Perdoski), 2017.
4. Djuanda, Adhi, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, FK UI, Jakarta, 2017.
5. Anonim, Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual, Departemen Kesehatan
RI, Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta,
2015.
6. James G. Marks, Jr. and Jeffrey J. Miller, Lookingbill and Marks' Principles of
Dermatology, 6th Edition, Elsevier Inc 2019.
VARISELA TANPA KOMPLIKASI
No. ICD-10 : B01.9Varicella without complication (Varicella NOS)
No. ICPC-2 : A72 Chickenpox
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Pada masa sebelum adanya vaksinasi, usia puncak terjadinya varisela adalah 5-10 tahun,
dengan masa puncak infeksi pada musim dingin dan musim semi. Hanya 5 % kasus dari
varisela yang timbul pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Secara umum insiden varisela
215 kasus per 100.00 orang pertahun dengan kumulatif insiden selama masa kehidupan
diperkirakan 10-20 %, dengan 75 % kasus terjadi setelah usia 45 tahun. Insiden varisela
meningkat pada pasien imunokompromis. Tingginya infeksi varicella di Indonesia terbukti
pada studi yang dilakukan Jufri, et al tahun 1995-1996, dimana 2/3 dari populasi berusia
15 tahun seropositive terhadap antibodi varicella.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM (TIU)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit varisela.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS (TIK)

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan atau mengurangi frekuensi serangan
penyakit, dan akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, farmakologis, diet, rawat luka, atau
perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi, menerapkan dan melakukan monitor evaluasi kegiatan pencegahan
varisela yang tepat, berkaitan dengan pasien, anggota keluarga dan masyarakat.

DEFINISI
Infeksi akut oleh virus Variccela zoster yang bersifat swasirna, mengenai kulit dan
mukosa, yang ditandai dengan gejala konstitusi (demam, malaise) dan kelainan kulit
polimorfik (papul eritem, vesikel yang tersebar generalisata terutama berlokasi di bagian
sentral tubuh). Masa inkubasi 14-21 hari. Penularan melalui udara (airborne) dan kontak
langsung.
ETIOLOGI
Infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster (VVZ) yang menyerang kulit dan mukosa,
klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian
sentral tubuh. Virus Varicella zoster termasuk golongan virus herpes yang merupakan
penyebab dari 2 penyakit berbeda yaitu varisela (juga dikenal cacar air) dan herpes zoster
(juga dikenal sebagai shingles/cacar ular/cacar api/dompo).
Virus Varicella masuk melalui saluran respirasi. Virus menginfeksi sel epitel dan limfosit
di orofaring dan saluran nafas atas atau pada konjungtiva, kemudian limfosit terinfeksi
akan menyebar ke seluruh tubuh. Virus kemudian masuk ke kulit melalui sel endotel
pembuluh darah dan menginfeksi sel epitel di lapisan basal, dan menyebabkan reaksi
edem intrasel atau degenerasi balon. Reaksi ini menyebabkan ruam vesikel varisela. Lesi
vesikular akan berubah menjadi pustular setelah infiltrasi sel radang akut (leukosit
polimorfonuklear). Selanjutnya lesi akan terbuka dan kering membentuk krusta,
umumnya sembuh tanpa bekas.
Penularan VVZ bisa berasal dari lesi vesikel yang terbuka dan mengeluarkan komponen
virus yang kemudian tersebar di udara (airborne). Waktu dari pertama kali kontak dengan
VVZ sampai muncul gejala klinis adalah 10 - 21 hari, dengan rerata 14 hari. Setelah
infeksi primer, virus akan menginfeksi secara laten neuron sensoris di ganglion kranial
atau ganglion dorsalis medulla spinalis.

PETA KONSEP

Virus Varicella zoster


Masuk melalui saluran Ganglion
pernafasan dorsalis/sensoris Infeksi VVZ laten

Sel epitel & limfosit Serabut saraf sensoris


Orofaring, saluran nafas, konjungtiva

Limfosit terinfeksi menyebar ke


seluruh tubuh Kulit Lesi papulo - vesikel

Pustul

Krustasi

Sembuh
FAKTOR RISIKO
Factor yang meningkatkan risiko terkena varisela :
1. Sistem kekebalan tubuh yang lemah (penderita HIV/AIDS)
2. Belum pernah mendapatkan imunisasi (vaksin) cacar air, dan terpapar dengan penderita
cacar air atau herpes zoster.
3. Wanita hamil dan bayi baru lahir juga lebih mudah untuk terinfeksi cacar air.

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

1. Demam, malaise, dan nyeri kepala.


2. Kemudian disusul timbulnya lesi kulit berupa papul eritem yang dalam waktu beberapa
jam berubah menjadi vesikel.
3. Biasanya disertai rasa gatal.
4. Umumnya terjadi anak-anak.
5. Terdapat faktor risiko/pencetus

PEMERIKSAAN FISIK

Tanda Patognomonis
Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi
vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan menjadi
keruh dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi
vesikel-vesikel baru yang menimbulkan gambaran polimorfik khas untuk varisela.
Penyebaran terjadi secara sentrifugal. Erupsi vesikel dapat menyerang mukosa atau
selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas atas serta saluran pencernaan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan pada varisela tanpa komplikasi, namun bisa
dilakukan pemeriksaan seperti berikut:
1. Pada pemeriksaan darah tepi, jumlah leukosit dapat sedikit meningkat, normal, atau
sedikit menurun beberapa hari pertama.
2. Enzim hepatik kadang meningkat.
3. Pada Tzank test ditemukan sel datia berinti banyak, yang sebenarnya khas untuk
golongan virus herpes, bukan hanya VVZ.
4. Kultur virus dari cairan vesikel seringkali positif pada 3 hari pertama, tetapi tidak
dilakukan karena sulit dan mahal.
5. Deteksi antigen virus dengan PCR untuk kasus varisela yang berat atau tidak khas.
DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis klinis berdasarkan anamnesis (gejala prodromal, kemungkinan factor risiko


maupun pencetus), pemeriksaan fisik (ujud kelainan kulit yang timbul), dan pemeriksaan
penunjang bila diperlukan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Gejala prodromal berupa demam, nyeri kepala, dan lesu, sebelum timbul ruam kulit.
2. Ruam kulit muncul mulai dari wajah atau kepala dan menyebar ke tubuh. Lesi
menyebar sentrifugal (dari sentral ke perifer) sehingga dapat ditemukan lesi baru
di ekstremitas, sedangkan di badan lesi sudah berkrusta.
3. Lesi berupa makula papul eritematosa yang cepat berubah menjadi vesikel ”dewdrop
on rose petal appearance”. Dalam beberapa jam sampai 1-2 hari vesikel dengan
cepat menjadi keruh, menjadi pustul dan krusta kemudian mulai menyembuh. Ciri
khas varisela adalah ditemukannya lesi kulit berbagai stadium atau bentuk di
berbagai area tubuh pada satu waktu (polimorfi).
4. Pada anak, erupsi kulit terutama berbentuk vesikular: beberapa kelompok vesikel
timbul 1-2 hari sebelum erupsi meluas. Jumlah lesi bervariasi, mulai dari beberapa
sampai ratusan. Jumlah lesi pada anak-anak biasanya sedikit, sedangkan pada bayi
(usia <1 tahun), pubertas dan dewasa biasanya lesi lebih banyak.
5. Lesi dapat berbentuk bula atau hemoragik.
6. Selaput lendir sering terkena, terutama mulut, dapat juga konjungtiva palpebra, dan
vulva.
7. Keadaan umum dan tanda-tanda vital (tekanan darah, frekuensi nadi, suhu, dsb)
dapat memberikan petunjuk tentang berat ringannya penyakit.
8. Status imunitas pasien perlu diketahui untuk menentukan apakah obat antivirus perlu
diberikan atau tidak. Status imunitas pasien yang rendah, karena keadaan
imunokompromais (keganasan, infeksi HIV/AIDS, pengobatan dengan
imunosupresan, misalnya kortikosteroid jangka panjang atau sitostatik, kehamilan,
bayi berat badan rendah) akan menyebabkan gejala dan tanda klinis lebih berat.

DIAGNOSIS BANDING

1. Hand, foot and mouth disease: pola penyebaran lesi di akral, mukosa lebih banyak
terkena, pada pemeriksaan dengan Tzank test tidak ditemukan sel datia berinti banyak.
2. Reaksi vesikular terhadap gigitan serangga: seringkali berkelompok, pola penyebaran
akral, berupa urtikaria papular dengan titik di tengahnya.
3. Erupsi obat variselaformis: biasanya tanpa demam, timbul serentak dan tidak disertai
pembesaran kelenjar getah bening, dengan Riwayat minum obat.
4. Dermatitis kontak,
5. Skabies impetigenisata (dengan infeksi sekunder)
6. Impetigo.
SARANA DAN PRASARANA

1. Kaca pembesar
2. Sarung tangan
3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Tzanck (bisturi, swab alcohol, gelas objek,
cairan Gemsa, mikroskop).

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Penatalaksanaan
1. Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak mengakibatkan vesikel pecah.
2. Selain itu, dilakukan pemberian nutrisi tinggi kalori tinggi protein
3. Istirahat dan mencegah kontak dengan orang lain dilakukan selama masih muncul lesi
baru atau lesi belum mengalami stadium krustasi.
4. Topikal:
a. Lesi vesikuler, diberikan Losio kelamin atau bedak salisil, untuk mengurangi
gesekan atau gatal.
b. Vesikel yang sudah pecah atau berkrusta diberikan krim antibiotik, seperti
kloramfenikol, gentamisin atau mupirosin.
5. Sistemik:
a. Gejala prodromal dapat diberikan obat simtomatik, seperti antipiretik, anatipruritus.
Namun, aspirin sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan Reye’s syndrome.
b. Pengobatan antivirus oral, dengan:
1) Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x 10-20 mg/kgBB (dosis
maksimal 800 mg), atau
2) Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari.
3) Antivirus dapat diberikan pada anak, dewasa, atau pasien yang tertular orang
serumah, neonates dari ibu yang menderita varisela 2 hari sebelum sampai 4 hari
setelah melahirkan.
c. Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan pada 48 jam pertama
setelah timbul lesi.
d. Asiklovir oral dapat diberikan pada ibu hamil lebih dari 20 minggu, dengan tetap
mempertimbangkan risiko dan manfaat pemberiannya.

KONSELING DAN EDUKASI

Edukasi bahwa varisela merupakan penyakit yang swasirna pada anak yang
imunokompeten. Komplikasi yang ringan dapat berupa infeksi bakteri sekunder. Oleh
karena itu, pasien sebaiknya menjaga kebersihan tubuh dengan tetap mandi memakai
sabun. Penderita sebaiknya dikarantina untuk mencegah penularan.
1. Tetap mandi sehari 2 kali dengan sabun, namun harus hati-hati agar vesikel tidak pecah.
2. Jangan menggaruk dan dijaga agar vesikel tidak pecah, biarkan mengering dan lepas
sendiri
3. Istirahat pada masa aktif sampai semua lesi sudah mencapai stadium krustasi.
4. Perawatan di RS untuk pasien dengan gejala klinis berat, bayi, usia lanjut atau disertai
komplikasi.
5. Pemberian makanan lunak, terutama bila terdapat banyak lesi di mukosa mulut.

MONITORING PENGOBATAN
Pasien kembali ke fasilitas kesehatan dalam waktu 7-10 hari untuk mengevaluasi
perkembangan setelah mendapat pengobatan.
Pemberian obat efektif diberikan pada 48 jam pertama setelah timbul lesi.

KRITERIA RUJUKAN
Pasien dirujuk apabila:
1. Terdapat gangguan imunitas
2. Mengalami komplikasi yang berat seperti pneumonia, ensefalitis, dan hepatitis.

KOMPLIKASI
Pneumonia, ensefalitis, hepatitis, terutama terjadi pada pasien dengan gangguan imun.
Varisela pada kehamilan berisiko menyebabkan infeksi intrauterin pada janin,
menyebabkan sindrom varisela kongenital.

PROGNOSIS
Prognosis pada pasien dengan imunokompeten adalah bonam, sedangkan pada pasien
dengan imunokompromais, prognosis menjadi dubia ad bonam.

PENCEGAHAN
Metode pencegahan dapat berupa Vaksinasi.
Vaksinasi diindikasikan kepada semua pasien sehat yang tidak menunjukkan adanya
imunitas terhadap varisela, kecuali mereka memiliki kontraindikasi (alergi,
imunodefisiensi parah, kehamilan). Vaksin diberikan 2 dosis dengan jarak 4 minggu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer dalam
Permenkes No. 5 tahun 2014
2. PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia.
3. Kelompok Studi Herpes Indonesia (KSHI). 2014. Buku Panduan Herpes Zoster di
Indonesia. Jakarta: Penerbit FKUI.
4. Chickenpox (varicella). Centers for Disease Control and Prevention.
https://www.cdc.gov/chickenpox/about/index.html. Accessed Jan. 14, 2019.
HERPES SIMPLEKS
No. ICD-10 : B054.9 Herpes Simplex without mention of complication
No. ICPC-2 : S71 Herpes Simplex
Tingkat Kompetensi : 4A

PENDAHULUAN
Virus herpes simpleks termasuk jenis patogen yang dapat menyesuaikan diri dengan tubuh
inang. Ada dua jenis yaitu virus herpes simpleks tipe 1 (VHS-1) dan tipe 2 (VHS-2).
Keduanya berkaitan erat tetapi berbeda dalam gambaran epidemiologinya. Virus HS-1
dikaitkan dengan penyakit orofasial, sedangkan VHS-2 dikaitkan dengan penyakit genital,
namun lokasi lesi tidak selalu menunjukkan tipe virus.
Prevalensi antibody VHS-2 pada wanita pekerja seksual di 3 kota besar di Indonesia
mencapai 87%, sedangkan pada wanita non pekerja seksual sebesar 19%. Sedangkan IgM
VHS-2 ditemukan pada 0,7-39,2% wanita hamil yang dating ke klinik di 4 kota di
Indonesia. Sekitar 80 % dari infeksi herpes simpleks tidak menunjukkan gejala. Gejala
infeksi dapat dicirikan dengan rekurensi yang sering terjadi dimana pada host yang
immunocompromised, infeksi dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa.
Prevalensi infeksi HSV di seluruh dunia telah meningkat selama beberapa dekade terakhir,
membuatnya menjadi permasalahan kesehatan masyarakat. Sehingga deteksi dini infeksi
herpes simpleks dan inisiasi awal dari terapi adalah sangat penting dalam pengelolaan
penyakit ini.

TUJUAN PEMBELAJARAN

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Herpes Simpleks.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu:


1. Menganalisis data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis masalah kesehatan pasien.
2. Mengembangkan strategi untuk menghentikan atau mengurangi frekuensi serangan
penyakit, dan akibat yang ditimbulkan serta risiko spesifik secara selektif.
3. Menentukan penanganan penyakit baik klinik, farmakologis, diet, rawat luka, atau
perubahan perilaku secara rasional dan ilmiah.
4. Memilih dan menerapkan strategi pengelolaan yang paling tepat berdasarkan prinsip
kendali mutu, kendali biaya, manfaat dan keadaan pasien serta sesuai pilihan pasien.
5. Mengidentifikasi, menerapkan dan melakukan monitor evaluasi kegiatan pencegahan
herpes simpleks yang tepat, berkaitan dengan pasien, anggota keluarga dan masyarakat.
DEFINISI
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh VHS tipe 1 atau tipe 2 bersifat
rekuren dan seumur hidup, karena virus berdiam di jaringan saraf terutama ganglia dorsalis
atau sensoris. Infeksi ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di daerah dekat
mukokutan perioral atau genital. Perjalanan infeksi VHS dapat berupa:
1. Herpes primer: infeksi VHS pertama kali
2. Herpes rekuren: infeksi karena aktivasi VHS yang berdian di ganglion sensoris.
3. Herpes asismtomatik: infeksi VHS tanpa gejala klinis, namun terdapat reaksi serologis
yang reaktif.
4. Herpes atipikal: infksi VHS yang menyerang kulit, seperti Herpes Withlow di jari,
areola mamae atau pantat, dll.

ETIOLOGI
Kelompok virus herpes termasuk virus double-stranded DNA, family Alpha herpesviridae,
subfamili Herpes viridae, yang melakukan replikasi secara intranuklear dan menghasilkan
inklusi intranuklear khas yang terdeteksi dalam preparat pewarnaan. Virus ini mudah
dilemahkan pada suhu kamar dan pengeringan.
Dua jenis VHS ini disebarkan melalui permukaan lesi herpes pada mukosa atau kulit atau
secret/discar yang mengandung virus. Selanjutnya melalui kontak mukosa yang rentan
(misalnya, oropharynx, serviks, konjungtiva) atau kulit yang luka, virus masuk menuju sel
basal epidermis. Setelah menginfeksi dan menyebabkan inflamasi di epidermis, VHS
bermigrasi ke ganglion sensoris melalui serabut saraf yang sesuai. VHS akan menetap
dalam keadaan laten di ganglion sensoris tersebut. VHS-1 lebih dominan pada lesi
orofasial dan biasanya ditemukan di ganglia trigeminal, sedangkan VHS-2 lebih dominan
pada lesi genital dan paling sering ditemukan di ganglia lumbosakral. Transmisi dapat
terjadi tidak hanya saat terjadi gejala, tetapi juga berasal dari pengeluaran virus dari
mukosa atau kulit dalam keadaan asimptomatis.
Jumlah DNA virus terbanyak terjadi setelah 48 jam sejak muncul gejala, dan tidak ada
virus yang terdeteksi setelah 96 jam. Secara umum, gejala terjadi 3-6 hari setelah kontak
dengan virus, namun bisa juga tidak muncul gejala sampai satu bulan atau lebih setelah
infeksi.
PETA KONSEP

FAKTOR RISIKO
Semua orang memiliki risiko terkena virus herpes simpleks, dari anak-anak hingga
dewasa. Namun, dalam kasus HSV-2 yang menyerang daerah genital, lebih mudah
menginfeksi orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak aman. Berbagai
faktor risiko HSV, adalah:
1. Stres psikis atau fisik
2. Memiliki pasangan seks lebih dari satu.
3. Berhubungan seksual di usia yang sangat muda.
4. Minuman beralkohol
5. Sedang menstruasi
6. Memiliki kekebalan tubuh yang lemah.
7. Memiliki penyakit kelamin yang lain.
8. Perempuan

PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS

Beberapa hal yang sering ditemukan saat anamnesis pada kasus herpes simpleks:
1. Herpes primer :
a. Pasien mengeluh sariawan daerah genital, nyeri, dapat disertai keluhan sistemik
seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, pembengkakan getah bening inguinal atau
disuria, discar (duh tubuh) vagina/uretra.
b. Terdapat riwayat hubungan seksual atau kontak dengan pasien herpes, namun ini
sering disangkal atau tidak disadari pasien.
2. Herpes rekuren :
a. Hampir sama dengan pasien herpes primer, namun keluhan lebih ringan atau tidak
ada.
3. Herpes asimtomatik: pasien tidak mengalami keluhan atau gejala.
4. Herpes atipikal: pasien datang dengan keluhan gejala herpes, namun lokasi bukan di
daerah perioral atau genital, seperti di jari, areola mamae atau pantat, dll.

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik ditemukan:


1. Dapat ditemukan peningkatan suhu tubuh
2. Lesi vesikel/erosi/ulkus dangkal multiple berkelompok, dengan dasar eritematosa,
disertai rasa nyeri di daerah perioral atau genital atau yang lain,
3. Dapat ditemukan pembesaran limfonodi inguinal.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium diperlukan bila terdapat gambaran klinis yang meragukan.


1. Tes Tzanck, membutuhkan sampel dari kerokan halus pada dasar vesikel, selanjutnya
dilakukan pengecatan Giemsa. Hasil positif, jika ditemukan sel raksasa berinti banyak
(multinucleated giant cell).
2. Kultur virus VHS yang berasal dari lesi vesikel mempunyai sensitivitas lebih tinggi,
yaitu 67-70%, dibandingkan lesi pustule 32%.
3. Pemeriksaan Serologi untuk mendeteksi antibodi IgM untuk infeksi akut dan IgG
untuk infeksi kronis, baik pada VHS-1 maupun VHS-2. Pemeriksaan serologi ini
berguna terutama untuk menentukan herpes simpleks asimtomatik.

DIAGNOSIS KLINIS

Penegakan diagnosis herpes simpleks umumnya cukup dilakukan berdasar gambaran


klinis, yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hasil anamnesis dapat
menunjukkan gejala nyeri di daerah lesi, bisa disertai keluhan sistemik, tergantung dari
jenis penyakit herpes. Pemeriksaan fisik menunjukkan lesi erosi atau vesikel dengan dasar
eritem, multiple, berkelompok.

DIAGNOSIS BANDING

1. Herpes intraoral didiagnosis banding dengan stomatitis aftosa rekuren dan herpes zoster
intraoral.
2. Infeksi VHS genital perlu didiagnosis banding dengan penyebab ulkus genital lain baik
berupa infeksi maupun noninfeksi. Penyakit infeksi yang ditandai ulkus genital terjadi
pada sifilis, chancroid, limfogranuloma venerum, atau donovanosis. Sedangkan
penyakit noninfeksi, misalnya pada penyakit Crohn, atau Behcet disease.

SARANA DAN PRASARANA

1. Kaca pembesar
2. Sarung tangan
3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Tzanck (bisturi, swab alcohol, gelas objek,
cairan Gemsa, mikroskop).

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Penatalaksanaan komprehensif untuk penyakit infeksi meliputi:
1. Edukasi tentang perjalanan penyakit yang mudah menular, terutama bila ada lesi erosi
atau vesikel, infeksi herpes dapat berulang/rekuren, sehingga perlu abtinens saat muncul
gejala.
2. Menghindari atau mengelola factor risiko.
3. Proteksi individual dengan memakai kondom atau busa spermisidal.
4. Pada pasien yang sering mengalami rekurensi, perlu dilakukan skrining teradap
penyakit IMS lain dan HIV.
Pemberian obat-obatan terdiri atas:
1. Obat simtomatik sesuai kebutuhan pasien :
a. analgetic atau antipiretik, seperti parasetamol, asam mefenamat atau ibuproven.
b. antipruritus dengan antihistamin sedative (CTM) atau non sedative (cetirizine,
loratadine).
2. Dapat diberikan cairan fisiologis atau antiseptic dengan cairan NaCl atau povidone
iodine 1% yang berfungsi untuk kompres dan membersihkan lesi.
3. Antivirus dengan memberikan :
a. Asiklovir 5 x 200 mg/hari atau 3 x 400 mg/hari atau valasiklovir 2 x 500-1000
mg/hari atau famsiklovir 3 x 250 mg /hari selama 7-10 hari, pada herpes primer.
b. Asiklovir 5 x 200 mg/hari atau 3 x 400 mg/hari atau valasiklovir 2 x 500mg/hari
selama 5 hari, pada herpes rekuren dengan klinis berat.
4. Herpes rekuren dengan gambaran klinis ringan dengan obat simtomatik saja.
5. Jika terjadi rekurensi 6 kali/tahun atau lebih, diberikan terapi supresif dengan Asiklovir
2 x 400 mg/hari atau valasiklovir 2 x 1000mg/hari.
6. Pemberian asiklovir topical dapat bermanfaat pada herpes rekuren dengan lesi ringan,
diberikan 6 kali sehari selama 7 hari.
KONSELING DAN EDUKASI
Beberapa hal yang perlu disampaikan adalah:
1. Perjalanan penyakit Herpes Simpleks.
2. Lesi biasanya membaik dalam 2-3 minggu pada individu imunokompeten.
3. Pengendalian factor risiko penularaan, terutama hubungan seksual, pemakaian barang
bersama, seperti handuk, toilet, dll, terutama saat muncul lesi herpes maupun pada
herpes asimtomatik.
4. Melakukan abstinens ketika terjadi keluhan atau gejala awal.
5. Penggunaan kondom untuk mengurangi penularan.

MONITORING PENGOBATAN
Pasien kembali ke fasilitas kesehatan dalam waktu 7 hari untuk mengevaluasi
perkembangan setelah mendapat pengobatan.

KRITERIA RUJUKAN
Pasien dirujuk apabila:
1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari setelah terapi.
2. Terjadi pada pasien bayi, anak, ibu hamil dan geriatri (imunokompromais).
3. Terjadi komplikasi.
4. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka

KOMPLIKASI
1. Infeksi sekunder
2. Herpes simpleks diseminata, merupakan infeksi virus herpes yang menyebar
generalisata, dapat terjadi pada bayi baru lahir atau pasien imunokompromais.
3. Herpes simpleks kronis, biasa terjadi pada penderita HIV.
4. Herpes ensefalitis, merupakan komplikasi serius herpes simpleks, yang tidak selalu
disertai dengan lesi kulit.

PROGNOSIS
Prognosis penyakit pada pasien imunokompeten umumnya bonam, sedangkan pada pasien
imunokompromais, menjadi dubia ad bonam, tergantung pada derajat penyakit, kepatuhan
pengobatan dan pengendalian faktor risiko.

PENCEGAHAN
Metode pencegahan dapat berupa pencegahan kontak dan pengendalian factor risiko.
Vaksin untuk herpes simpleks sampai sekarang belum tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer dalam
Permenkes No. 5 tahun 2014
2. PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia.
3. Wolf K, Johnson RA, Surmond D, Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology,
7th ed, McGraw-Hill, 2015.
4. Anonim, Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual, Departemen Kesehatan
RI, Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta,
2015.
5. Davies, Stephen C, Janette A Taylor, Endang R Sedyaningsih-Mamahit, Suriadi
Gunawan, Anthony L Cunningham, and Adrian Mindel. “Prevalence and Risk Factors
for Herpes Simplex Virus Type 2 Antibodies Among Low- and High-Risk Populations
in Indonesia.” Sexually Transmitted Diseases 34, no. 3 (2007): 7.
6. Pasaribu L, Sunarno, Hariastuti N, Yudopuspito T, Daili SF, Aziz M,. Prevalence of
reproductive tract infections and HIV Pregnant women in some areas in Indonesia,
2016-2017, Sex Transm Infect, 2019; 95 (suppl 1): A144-145.

Anda mungkin juga menyukai