PENDAHULUAN
Penyakit herpes zoster merupakan infeksi akut virus yang ditandai dengan lesi sesuai
dermatomal saraf. Insiden herpes zoster 1,5-3,0 per 1000 orang pertahun pada segala usia.
Menurut data Depkes pada tahun 2011-2013 didapatkan prevalensi herpes zoster dari data
13 rumah sakit pendidikan di Indonesia sebanyak 2.232 penderita. Puncak kasus herpes
zoster terjadi pada usia 45-64 tahun. Herpes zoster cenderung terjadi pada usia yang lebih
muda. Perempuan cenderung mempunyai insiden lebih tinggi. Pada tahun 2012 di
Poliklinik Kulit dan kelamin RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, angka kejadian
herpes zoster ialah 2% dari 1096 pasien. Kelompok usia terbanyak ialah 45-64 tahun, yaitu
sebanyak 73%. Herpes zoster lebih banyak terdapat pada laki-laki yaitu sebanyak 54,5%
sedangkan pada perempuan sebanyak 45,5%.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Herpes Zoster.
DEFINISI
Herpes zoster berasal dari bahasa Yunani “herpein” yaitu “menjalar” dan “zoster” yaitu
“ikat pinggang”. Herpes zoster atau yang juga sering disebut “shingles” merupakan
penyakit yang disebabkan reaktivasi virus varisela zoster (VVZ) yang berdiam di ganglion
sensoris setelah infeksi primer.
Setelah mengalami infeksi primer atau vaksinasi, VVZ tetap laten berdiam terutama dalam
sel neuronal dan kadang-kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion
sensorik saraf kranial, kemudian menyebar ke dermatom atau jaringan saraf sesuai dengan
segmen yang dipersarafinya. Virus mulai bereplikasi beberapa waktu kemudian, lalu
menyusuri saraf sensoris menuju kulit dengan karakteristik unilateral. Selama fase
reaktivasi dapat terjadi infeksi VVZ di dalam sel mononuklear darah tepi yang biasanya
subklinis. Penyebab reaktivasi tidak sepenuhnya dimengerti tetapi diperkirakan terjadi
pada kondisi gangguan imunitas selular.
ETIOLOGI
Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster yang memiliki envelope /
pembungkus yang termasuk ke dalam keluarga Herpesviridae. Virus menginfeksi sel
Human diploid fibroblast in vitro, sel limfosit T teraktivasi, sel epitel, dan sel epidermal
in vivo untuk replikasi produktif, serta sel neuron. Virus ini dapat membentuk sel sinsitia
dan menyebar secara langsung dari sel ke sel. Pada herpes zoster, VZV menginfeksi sel
basal epidermis dan sel neuron, sehingga terjadi edem intra sel (degerasi balon) epidermis
dan neuritis.
Faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan reaktivasi adalah:
1. Pajanan VVZ sebelumnya (cacar air, vaksinasi)
2. Usia lebih dari 50 tahun
3. Keadaan imunokompromais
4. Obat-obatan imunosupresif
5. HIV/AIDS
6. Transplantasi sumsum tulang atau organ
7. Keganasan
8. Terapi steroid jangka panjang
9. Stres psikologis atau fisik
PETA KONSEP
Herpes Zoster
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
1. Keluhan nyeri radicular dan gatal terjadi sebelum erupsi pada daerah dermatom yang
akan timbul lesi.
2. Dapat disertai gejala prodromal atau sistemik, berupa demam, pusing, dan malaise.
3. Muncul gejala kulit kemerahan yang dalam waktu singkat berubah menjadi vesikel
berkelompok dengan dasar eritem dan edema, unilateral.
4. Umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama orang tua.
5. Terdapat faktor risiko/pencetus
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS KLINIS
DIAGNOSIS BANDING
1. Herpes simpleks
2. Dermatitis venenata
3. Dermatitis kontak alergi atau iritan
4. Pada saat nyeri prodromal: diagnosis dapat menyerupai migraine, nyeri pleuritik, infark
miokard, atau apendisitis
1. Kaca pembesar
2. Sarung tangan
3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Tzanck (bisturi, swab alcohol, gelas objek,
cairan Gemsa, mikroskop).
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Penatalaksanaan
1. Terapi suportif dilakukan dengan menghindari gesekan kulit yang mengakibatkan
pecahnya vesikel, pemberian nutrisi TKTP, dan istirahat dan mencegah kontak dengan
orang lain.
2. Pengobatan antivirus oral :
a. Diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada pasien dengan:
1) Usia > 50 tahun
2) Mempunyai risiko neuralgia paska herpetic
3) Herpes zoster optalmika, servikal, sacral atau sindrom Ramsay Hunt
4) Imunokompromais, lesi generalisata/diseminata, lesi dengan komplikasi.
b. Obat antivirus berupa Asiklovir dengan dosis dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x
20 mg/kgBB (dosis maksimal 800 mg), atau Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari.
c. Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan pada 48-72 jam
pertama setelah timbul lesi.
3. Obat simtomatik
a. Nyeri ringan dengan parasetamol 3x500 mg/hari atau obat antiinflamasi non steroid
(AINS), seperti asam mefenamat 3x500 mg/hari.
b. Nyeri sedang sampai berat dengan obat AINS, seperti asam mefenamat 3x500
mg/hari, kalium diklofenak 2x25-50 mg/hari, kombinasi dengan tramadol, dll.
c. Pasien dengan neuralgia menetap dapat ditambahkan antidepresan trisiklik
(amitriptilin 1x10-20mg /hari pada malam hari) dan gabapentin 300 mg/hari.
4. Topikal :
a. Stadium vesikel : bedak salisil 2% atau bedak kocok kalamin agar vesikel tidak
pecah.
b. Apabila erosif, diberikan kompres terbuka,dan atau krim antibiotik, seperti
gentamisin, kloramfenikol, dll.
KRITERIA RUJUKAN
Pasien dirujuk apabila:
1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari setelah terapi.
2. Terjadi pada pasien bayi, anak dan geriatri (imunokompromais).
3. Herpes zoster dengan penyulit, seperti pada herpes zoster oftalmikus, herpes zoster
otikus dengan paralisis N. facialis.
4. Herpes zoster disertai komplikasi
5. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka
KOMPLIKASI
1. Neuralgia pasca-herpetik, yaitu nyeri yang menetap pada dermatome yang terkena,
setelah 3 bulan erupsi lesi herpes zoster menyembuh.
2. Ramsay Hunt Syndrome: herpes pada ganglion genikulatum, ditandai dengan
manifestasi herpes zoster facialis (N. VII) disertai gangguan pendengaran,
keseimbangan, tinnitus, vertigo, nystagmus, nausea dan paralisis otot muka
(paralisis Bell).
3. Pada penderita dengan imunodefisiensi (HIV, keganasan, atau usia lanjut), vesikel
sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik, dan dapat terjadi infeksi sistemik.
4. Pada herpes zoster oftalmikus, dapat terjadi ptosis paralitik, keratitis, skleritis,
uveitis, korioretinitis, serta neuritis optik.
5. Paralisis motorik.
PROGNOSIS
Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya adalah bonam, sedangkan pasien
dengan imunokompromais atau usia > 50 tahun, prognosis menjadi dubia ad bonam.
PENCEGAHAN
Metode pencegahan dapat berupa:
1. Dengan cara pemakaian asiklovir jangka panjang dengan dosis supresi. Misalnya,
asiklovir sering diberikan sebagai obat pencegahan pada penderita leukemia yang akan
melakukan transplantasi sumsum tulang dengan dosis 5 x 200 mg/hari, dimulai 7 hari
sebelum transplantasi sampai 15 hari sesudah transplantasi.
2. Pemberian vaksinasi dengan vaksin VZV hidup yang dilemahkan (Zostavax®), sering
diberikan pada orang berusia > 50 tahun, baik yang mempunyai Riwayat varisela atau
belum, untuk mencegah terjadinya penyakit, meringankan beban penyakit, serta
menurunkan terjadinya komplikasi neuralgia pasca-herpetik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer dalam
Permenkes No. 5 tahun 2014
2. PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia.
3. Kelompok Studi Herpes Indonesia (KSHI). 2014. Buku Panduan Herpes Zoster di
Indonesia. Jakarta: Penerbit FKUI.
4. Riskesdas 2013, Depkes
MORBILI (CAMPAK)
No. ICD-10 : B05.9 Measles without complication (Measles NOS)
No. ICPC-2 : A71 Measles
Tingkat Kompetensi : 4A
PENDAHULUAN
Pada tahun 1980, sebelum imunisasi dilakukan secara luas, diperkirakan lebih 20 juta
orang di dunia terkena Campak dengan 2,6 juta kematian setiap tahun yang sebagian besar
adalah anak-anak di bawah usia lima tahun. Sejak tahun 2000, lebih dari satu miliar anak
di negara-negara berisiko tinggi telah divaksinasi melalui program imunisasi, sehingga
pada tahun 2012 kematian akibat Campak telah mengalami penurunan sebesar 78% secara
global. Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara dengan kasus Campak
terbanyak di dunia.
Kegiatan surveilans yang dilakukan setiap tahun melaporkan lebih dari 11.000 kasus
suspect Campak. Hasil konfirmasi laboratorium terhadap kasus tersebut, diketahui bahwa
12 – 39% di antaranya adalah Campak pasti (confirmed), dan sebanyak 16–43% adalah
Rubella pasti.
Incidence Rate campak per 100.000 penduduk di Indonesia pada tahun 2011-2017
menunjukkan kecenderungan penurunan, dari 9,2 menjadi 5,6 per 100.000 penduduk.
Namun demikian, incidence rate cenderung naik dari tahun 2015 sampai dengan 2017,
yaitu dari 3,2 menjadi 5,6 per 100.000 penduduk.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Morbili.
ETIOLOGI
Penyebab Morbili adalah virus Morbili (family Paramyxoviridae, golongan virus RNA).
Penyakit ini menyebar melalui udara dengan droplet (tetesan) pernafasan yang dihasilkan
dari batuk atau bersin. Partikel virus bisa bertahan di udara sekitar 2 jam. Virus masuk
melalui slauran pernafasan dan mengalami replikasi di sel epitel trachea dan bronchus.
Setelah 2-4 hari, virus masuk ke jaringan limfa, mengalami perkembangbiakan di jaringan
limfoid dan menyebar ke seluruh organ tubuh, diikuti dengan timbulnya erupsi
makulopapuler di kulit.
Virus Morbili menyebabkan imunosupresi yang ditandai dengan penurunan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat dan produksi IL-2 dan antigen-specific lymphoprolifoherative
responses yang terjadi selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi. Penurunan
imunitas tubuh inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai infeksi opotunistik atau
infeksi sekunder yang menyertai kejadian morbilli. Pada individu dengan imunokompeten,
virus yang dilemahkan dapat menstimuli respon imun untuk membunuh virus di tubuh dan
menghasilkan imunitas tubuh trehadap virus Morbili seumur hidup.
PETA KONSEP
Virus Morbili
Masuk melalui saluran
pernafasan
FAKTOR RISIKO
Faktor yang berperan terjadinya infeksi Morbili sebagai berikut:
1. Anak dengan imunodefisiensi, seperti pada anak dengan terapi kortikosteroid, pasien
leukemia, AIDS, dll
2. Bepergian ke daerah endemic campak
3. Bayi yang tidak mempunyai antibody terhadap virus Morbili setelah masa imunisasi
Morbili.
Faktr risiko yang meningkatkan risiko terjadinya Morbili dengan komplikasi:
1. Malnutrisi
2. Imunodefisiensi
3. Kehamilan
4. Defisiensi vitamin A
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis morbilli berdasar pada gambaran klinis, terutama trias gejala yang
terdiri atas batuk, coryza (peradangan akut membran mukosa rongga hidung) dan
konjungtivitis, dengan tanda patognomonik Koplik spots pada mukosa bukal dan erupsi
kulit yang dimulai dari belakang telinga ke wajah, badan dan ekstremitas.
Masa inkubasi Morbili 8-12 hari melalui 3 tahap berikut:
1. Stadium prodromal
Gejala awal ditandai demam selama 2-4 hari mencapai 39,50C, lemah, trias morbilli,
Koplik spot yang muncul pada hari ke-2 atau 3 demam dan berlangsung selama 12 jam.
2. Stadium eksantem
Erupsi maculopapular yang menyebar secara sentrifugal, dari belakang telinga
kemudian menyebar ke wajah, leher, dada, ekstremitas atas dan bokong dan akhirnya
ekstremitas bawah. Erupsi ini terjadi selama 6-7 hari.
3. Stadium penyembuhan (konvalesen)
Erupsi maculopapular mulai menghilang 3-4 hari kemudian sesuai pola munculnya
erupsi, berubah menjadi hiperpigmentasi (bercak kecoklatan) dan akan menghilang
dalam waktu 7-10 hari.
ANAMNESIS
1. Demam
2. Lemah
3. Batuk, pilek atau hidung tersumbat
4. Mata merah dan berair.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan tanda vital: suhu mencapai 38-400C, diikuti peningkatan frekuensi napas
dan denyut nadi sesuai peningkatan suhu.
2. Mukosa mulut: pada mukosa bukal bisa terlihat enantem Koplik spot pada hari ke2-3
demam.
3. Kulit tampak erupsi makulopapular ukuran miliar sampai lentikuler, multiple di seluruh
tubuh.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan penunjang khusus untuk penegakan diagnosis Morbili dengan tes serologi
IgG dan IgM.
2. Pemeriksaan darah rutin menunjukkan leukopenia dengan limfositois dan
trombositopenia relatif.
DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis Morbili berdasarkan gambaran klinis, terutama trias batuk, koriza (peradangan
akut membran mukosa rongga hidung) dan konjungtivitis, serta tanda patognomonik
Koplik spot dan erupsi maculopapular di kulit.
DIAGNOSIS BANDING
1. Demam berdarah
2. Erupsi obat maculopapular
3. Eritema infeksiosum
4. Eksantema virus yang lain, seperti demam Scarlet, dll.
5. Sifilis
1. Thermometer
2. Kaca pembesar
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Tujuan utama penatalaksanaan morbili adalah melakukan pencegahan primer, sekunder
maupu tertier.
1. Pencegahan primer yaitu mencegah kejadian penyakit morbilli dengan pemberian
imunisasi aktif pada bayi berumur 9 bulan atau lebih.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian terapi untuk mengurangi atau menghilangkan
gejala yang dirasakan pasien dan mencegah terjadinya komplikasi, karena morbilli bisa
sembuh sendiri dalam waktu 7-10 hari.
TERAPI FARMAKOLOGIS
MONITORING PENGOBATAN
Untuk mencapai kesembuhan yang optimal, pasien diminta menjaga asupan gizi dan
aktivitas agar imunitas tubuh terjaga baik.
KRITERIA RUJUKAN
Bila timbul gejala yang mengarah ke timbulnya komplikasi morbilli atau gejala tidak
membaik dengan pengobatan tersebut di atas, pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat
lanjut.
KOMPLIKASI
Penyulit yang tersering ialah bronkopneumonia, meninitis, ensefalopati, hepatitis atau
enteritis. Pengobatan dilakukan sesuai pengobatan baku untuk jenis penyulit tersebut.
PROGNOSIS
1. Ad sanasionam : bonam
2. Ad fungsionam : bonam
3. Ad vitam : bonam
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
Pada masa sebelum adanya vaksinasi, usia puncak terjadinya varisela adalah 5-10 tahun,
dengan masa puncak infeksi pada musim dingin dan musim semi. Hanya 5 % kasus dari
varisela yang timbul pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Secara umum insiden varisela
215 kasus per 100.00 orang pertahun dengan kumulatif insiden selama masa kehidupan
diperkirakan 10-20 %, dengan 75 % kasus terjadi setelah usia 45 tahun. Insiden varisela
meningkat pada pasien imunokompromis. Tingginya infeksi varicella di Indonesia terbukti
pada studi yang dilakukan Jufri, et al tahun 1995-1996, dimana 2/3 dari populasi berusia
15 tahun seropositive terhadap antibodi varicella.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit varisela.
DEFINISI
Infeksi akut oleh virus Variccela zoster yang bersifat swasirna, mengenai kulit dan
mukosa, yang ditandai dengan gejala konstitusi (demam, malaise) dan kelainan kulit
polimorfik (papul eritem, vesikel yang tersebar generalisata terutama berlokasi di bagian
sentral tubuh). Masa inkubasi 14-21 hari. Penularan melalui udara (airborne) dan kontak
langsung.
ETIOLOGI
Infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster (VVZ) yang menyerang kulit dan mukosa,
klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian
sentral tubuh. Virus Varicella zoster termasuk golongan virus herpes yang merupakan
penyebab dari 2 penyakit berbeda yaitu varisela (juga dikenal cacar air) dan herpes zoster
(juga dikenal sebagai shingles/cacar ular/cacar api/dompo).
Virus Varicella masuk melalui saluran respirasi. Virus menginfeksi sel epitel dan limfosit
di orofaring dan saluran nafas atas atau pada konjungtiva, kemudian limfosit terinfeksi
akan menyebar ke seluruh tubuh. Virus kemudian masuk ke kulit melalui sel endotel
pembuluh darah dan menginfeksi sel epitel di lapisan basal, dan menyebabkan reaksi
edem intrasel atau degenerasi balon. Reaksi ini menyebabkan ruam vesikel varisela. Lesi
vesikular akan berubah menjadi pustular setelah infiltrasi sel radang akut (leukosit
polimorfonuklear). Selanjutnya lesi akan terbuka dan kering membentuk krusta,
umumnya sembuh tanpa bekas.
Penularan VVZ bisa berasal dari lesi vesikel yang terbuka dan mengeluarkan komponen
virus yang kemudian tersebar di udara (airborne). Waktu dari pertama kali kontak dengan
VVZ sampai muncul gejala klinis adalah 10 - 21 hari, dengan rerata 14 hari. Setelah
infeksi primer, virus akan menginfeksi secara laten neuron sensoris di ganglion kranial
atau ganglion dorsalis medulla spinalis.
PETA KONSEP
Pustul
Krustasi
Sembuh
FAKTOR RISIKO
Factor yang meningkatkan risiko terkena varisela :
1. Sistem kekebalan tubuh yang lemah (penderita HIV/AIDS)
2. Belum pernah mendapatkan imunisasi (vaksin) cacar air, dan terpapar dengan penderita
cacar air atau herpes zoster.
3. Wanita hamil dan bayi baru lahir juga lebih mudah untuk terinfeksi cacar air.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Patognomonis
Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi
vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan menjadi
keruh dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi
vesikel-vesikel baru yang menimbulkan gambaran polimorfik khas untuk varisela.
Penyebaran terjadi secara sentrifugal. Erupsi vesikel dapat menyerang mukosa atau
selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas atas serta saluran pencernaan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan pada varisela tanpa komplikasi, namun bisa
dilakukan pemeriksaan seperti berikut:
1. Pada pemeriksaan darah tepi, jumlah leukosit dapat sedikit meningkat, normal, atau
sedikit menurun beberapa hari pertama.
2. Enzim hepatik kadang meningkat.
3. Pada Tzank test ditemukan sel datia berinti banyak, yang sebenarnya khas untuk
golongan virus herpes, bukan hanya VVZ.
4. Kultur virus dari cairan vesikel seringkali positif pada 3 hari pertama, tetapi tidak
dilakukan karena sulit dan mahal.
5. Deteksi antigen virus dengan PCR untuk kasus varisela yang berat atau tidak khas.
DIAGNOSIS KLINIS
DIAGNOSIS BANDING
1. Hand, foot and mouth disease: pola penyebaran lesi di akral, mukosa lebih banyak
terkena, pada pemeriksaan dengan Tzank test tidak ditemukan sel datia berinti banyak.
2. Reaksi vesikular terhadap gigitan serangga: seringkali berkelompok, pola penyebaran
akral, berupa urtikaria papular dengan titik di tengahnya.
3. Erupsi obat variselaformis: biasanya tanpa demam, timbul serentak dan tidak disertai
pembesaran kelenjar getah bening, dengan Riwayat minum obat.
4. Dermatitis kontak,
5. Skabies impetigenisata (dengan infeksi sekunder)
6. Impetigo.
SARANA DAN PRASARANA
1. Kaca pembesar
2. Sarung tangan
3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Tzanck (bisturi, swab alcohol, gelas objek,
cairan Gemsa, mikroskop).
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Penatalaksanaan
1. Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak mengakibatkan vesikel pecah.
2. Selain itu, dilakukan pemberian nutrisi tinggi kalori tinggi protein
3. Istirahat dan mencegah kontak dengan orang lain dilakukan selama masih muncul lesi
baru atau lesi belum mengalami stadium krustasi.
4. Topikal:
a. Lesi vesikuler, diberikan Losio kelamin atau bedak salisil, untuk mengurangi
gesekan atau gatal.
b. Vesikel yang sudah pecah atau berkrusta diberikan krim antibiotik, seperti
kloramfenikol, gentamisin atau mupirosin.
5. Sistemik:
a. Gejala prodromal dapat diberikan obat simtomatik, seperti antipiretik, anatipruritus.
Namun, aspirin sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan Reye’s syndrome.
b. Pengobatan antivirus oral, dengan:
1) Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x 10-20 mg/kgBB (dosis
maksimal 800 mg), atau
2) Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari.
3) Antivirus dapat diberikan pada anak, dewasa, atau pasien yang tertular orang
serumah, neonates dari ibu yang menderita varisela 2 hari sebelum sampai 4 hari
setelah melahirkan.
c. Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan efektif diberikan pada 48 jam pertama
setelah timbul lesi.
d. Asiklovir oral dapat diberikan pada ibu hamil lebih dari 20 minggu, dengan tetap
mempertimbangkan risiko dan manfaat pemberiannya.
Edukasi bahwa varisela merupakan penyakit yang swasirna pada anak yang
imunokompeten. Komplikasi yang ringan dapat berupa infeksi bakteri sekunder. Oleh
karena itu, pasien sebaiknya menjaga kebersihan tubuh dengan tetap mandi memakai
sabun. Penderita sebaiknya dikarantina untuk mencegah penularan.
1. Tetap mandi sehari 2 kali dengan sabun, namun harus hati-hati agar vesikel tidak pecah.
2. Jangan menggaruk dan dijaga agar vesikel tidak pecah, biarkan mengering dan lepas
sendiri
3. Istirahat pada masa aktif sampai semua lesi sudah mencapai stadium krustasi.
4. Perawatan di RS untuk pasien dengan gejala klinis berat, bayi, usia lanjut atau disertai
komplikasi.
5. Pemberian makanan lunak, terutama bila terdapat banyak lesi di mukosa mulut.
MONITORING PENGOBATAN
Pasien kembali ke fasilitas kesehatan dalam waktu 7-10 hari untuk mengevaluasi
perkembangan setelah mendapat pengobatan.
Pemberian obat efektif diberikan pada 48 jam pertama setelah timbul lesi.
KRITERIA RUJUKAN
Pasien dirujuk apabila:
1. Terdapat gangguan imunitas
2. Mengalami komplikasi yang berat seperti pneumonia, ensefalitis, dan hepatitis.
KOMPLIKASI
Pneumonia, ensefalitis, hepatitis, terutama terjadi pada pasien dengan gangguan imun.
Varisela pada kehamilan berisiko menyebabkan infeksi intrauterin pada janin,
menyebabkan sindrom varisela kongenital.
PROGNOSIS
Prognosis pada pasien dengan imunokompeten adalah bonam, sedangkan pada pasien
dengan imunokompromais, prognosis menjadi dubia ad bonam.
PENCEGAHAN
Metode pencegahan dapat berupa Vaksinasi.
Vaksinasi diindikasikan kepada semua pasien sehat yang tidak menunjukkan adanya
imunitas terhadap varisela, kecuali mereka memiliki kontraindikasi (alergi,
imunodefisiensi parah, kehamilan). Vaksin diberikan 2 dosis dengan jarak 4 minggu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer dalam
Permenkes No. 5 tahun 2014
2. PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia.
3. Kelompok Studi Herpes Indonesia (KSHI). 2014. Buku Panduan Herpes Zoster di
Indonesia. Jakarta: Penerbit FKUI.
4. Chickenpox (varicella). Centers for Disease Control and Prevention.
https://www.cdc.gov/chickenpox/about/index.html. Accessed Jan. 14, 2019.
HERPES SIMPLEKS
No. ICD-10 : B054.9 Herpes Simplex without mention of complication
No. ICPC-2 : S71 Herpes Simplex
Tingkat Kompetensi : 4A
PENDAHULUAN
Virus herpes simpleks termasuk jenis patogen yang dapat menyesuaikan diri dengan tubuh
inang. Ada dua jenis yaitu virus herpes simpleks tipe 1 (VHS-1) dan tipe 2 (VHS-2).
Keduanya berkaitan erat tetapi berbeda dalam gambaran epidemiologinya. Virus HS-1
dikaitkan dengan penyakit orofasial, sedangkan VHS-2 dikaitkan dengan penyakit genital,
namun lokasi lesi tidak selalu menunjukkan tipe virus.
Prevalensi antibody VHS-2 pada wanita pekerja seksual di 3 kota besar di Indonesia
mencapai 87%, sedangkan pada wanita non pekerja seksual sebesar 19%. Sedangkan IgM
VHS-2 ditemukan pada 0,7-39,2% wanita hamil yang dating ke klinik di 4 kota di
Indonesia. Sekitar 80 % dari infeksi herpes simpleks tidak menunjukkan gejala. Gejala
infeksi dapat dicirikan dengan rekurensi yang sering terjadi dimana pada host yang
immunocompromised, infeksi dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa.
Prevalensi infeksi HSV di seluruh dunia telah meningkat selama beberapa dekade terakhir,
membuatnya menjadi permasalahan kesehatan masyarakat. Sehingga deteksi dini infeksi
herpes simpleks dan inisiasi awal dari terapi adalah sangat penting dalam pengelolaan
penyakit ini.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
penyakit Herpes Simpleks.
ETIOLOGI
Kelompok virus herpes termasuk virus double-stranded DNA, family Alpha herpesviridae,
subfamili Herpes viridae, yang melakukan replikasi secara intranuklear dan menghasilkan
inklusi intranuklear khas yang terdeteksi dalam preparat pewarnaan. Virus ini mudah
dilemahkan pada suhu kamar dan pengeringan.
Dua jenis VHS ini disebarkan melalui permukaan lesi herpes pada mukosa atau kulit atau
secret/discar yang mengandung virus. Selanjutnya melalui kontak mukosa yang rentan
(misalnya, oropharynx, serviks, konjungtiva) atau kulit yang luka, virus masuk menuju sel
basal epidermis. Setelah menginfeksi dan menyebabkan inflamasi di epidermis, VHS
bermigrasi ke ganglion sensoris melalui serabut saraf yang sesuai. VHS akan menetap
dalam keadaan laten di ganglion sensoris tersebut. VHS-1 lebih dominan pada lesi
orofasial dan biasanya ditemukan di ganglia trigeminal, sedangkan VHS-2 lebih dominan
pada lesi genital dan paling sering ditemukan di ganglia lumbosakral. Transmisi dapat
terjadi tidak hanya saat terjadi gejala, tetapi juga berasal dari pengeluaran virus dari
mukosa atau kulit dalam keadaan asimptomatis.
Jumlah DNA virus terbanyak terjadi setelah 48 jam sejak muncul gejala, dan tidak ada
virus yang terdeteksi setelah 96 jam. Secara umum, gejala terjadi 3-6 hari setelah kontak
dengan virus, namun bisa juga tidak muncul gejala sampai satu bulan atau lebih setelah
infeksi.
PETA KONSEP
FAKTOR RISIKO
Semua orang memiliki risiko terkena virus herpes simpleks, dari anak-anak hingga
dewasa. Namun, dalam kasus HSV-2 yang menyerang daerah genital, lebih mudah
menginfeksi orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak aman. Berbagai
faktor risiko HSV, adalah:
1. Stres psikis atau fisik
2. Memiliki pasangan seks lebih dari satu.
3. Berhubungan seksual di usia yang sangat muda.
4. Minuman beralkohol
5. Sedang menstruasi
6. Memiliki kekebalan tubuh yang lemah.
7. Memiliki penyakit kelamin yang lain.
8. Perempuan
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Beberapa hal yang sering ditemukan saat anamnesis pada kasus herpes simpleks:
1. Herpes primer :
a. Pasien mengeluh sariawan daerah genital, nyeri, dapat disertai keluhan sistemik
seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, pembengkakan getah bening inguinal atau
disuria, discar (duh tubuh) vagina/uretra.
b. Terdapat riwayat hubungan seksual atau kontak dengan pasien herpes, namun ini
sering disangkal atau tidak disadari pasien.
2. Herpes rekuren :
a. Hampir sama dengan pasien herpes primer, namun keluhan lebih ringan atau tidak
ada.
3. Herpes asimtomatik: pasien tidak mengalami keluhan atau gejala.
4. Herpes atipikal: pasien datang dengan keluhan gejala herpes, namun lokasi bukan di
daerah perioral atau genital, seperti di jari, areola mamae atau pantat, dll.
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS KLINIS
DIAGNOSIS BANDING
1. Herpes intraoral didiagnosis banding dengan stomatitis aftosa rekuren dan herpes zoster
intraoral.
2. Infeksi VHS genital perlu didiagnosis banding dengan penyebab ulkus genital lain baik
berupa infeksi maupun noninfeksi. Penyakit infeksi yang ditandai ulkus genital terjadi
pada sifilis, chancroid, limfogranuloma venerum, atau donovanosis. Sedangkan
penyakit noninfeksi, misalnya pada penyakit Crohn, atau Behcet disease.
1. Kaca pembesar
2. Sarung tangan
3. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan Tzanck (bisturi, swab alcohol, gelas objek,
cairan Gemsa, mikroskop).
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Penatalaksanaan komprehensif untuk penyakit infeksi meliputi:
1. Edukasi tentang perjalanan penyakit yang mudah menular, terutama bila ada lesi erosi
atau vesikel, infeksi herpes dapat berulang/rekuren, sehingga perlu abtinens saat muncul
gejala.
2. Menghindari atau mengelola factor risiko.
3. Proteksi individual dengan memakai kondom atau busa spermisidal.
4. Pada pasien yang sering mengalami rekurensi, perlu dilakukan skrining teradap
penyakit IMS lain dan HIV.
Pemberian obat-obatan terdiri atas:
1. Obat simtomatik sesuai kebutuhan pasien :
a. analgetic atau antipiretik, seperti parasetamol, asam mefenamat atau ibuproven.
b. antipruritus dengan antihistamin sedative (CTM) atau non sedative (cetirizine,
loratadine).
2. Dapat diberikan cairan fisiologis atau antiseptic dengan cairan NaCl atau povidone
iodine 1% yang berfungsi untuk kompres dan membersihkan lesi.
3. Antivirus dengan memberikan :
a. Asiklovir 5 x 200 mg/hari atau 3 x 400 mg/hari atau valasiklovir 2 x 500-1000
mg/hari atau famsiklovir 3 x 250 mg /hari selama 7-10 hari, pada herpes primer.
b. Asiklovir 5 x 200 mg/hari atau 3 x 400 mg/hari atau valasiklovir 2 x 500mg/hari
selama 5 hari, pada herpes rekuren dengan klinis berat.
4. Herpes rekuren dengan gambaran klinis ringan dengan obat simtomatik saja.
5. Jika terjadi rekurensi 6 kali/tahun atau lebih, diberikan terapi supresif dengan Asiklovir
2 x 400 mg/hari atau valasiklovir 2 x 1000mg/hari.
6. Pemberian asiklovir topical dapat bermanfaat pada herpes rekuren dengan lesi ringan,
diberikan 6 kali sehari selama 7 hari.
KONSELING DAN EDUKASI
Beberapa hal yang perlu disampaikan adalah:
1. Perjalanan penyakit Herpes Simpleks.
2. Lesi biasanya membaik dalam 2-3 minggu pada individu imunokompeten.
3. Pengendalian factor risiko penularaan, terutama hubungan seksual, pemakaian barang
bersama, seperti handuk, toilet, dll, terutama saat muncul lesi herpes maupun pada
herpes asimtomatik.
4. Melakukan abstinens ketika terjadi keluhan atau gejala awal.
5. Penggunaan kondom untuk mengurangi penularan.
MONITORING PENGOBATAN
Pasien kembali ke fasilitas kesehatan dalam waktu 7 hari untuk mengevaluasi
perkembangan setelah mendapat pengobatan.
KRITERIA RUJUKAN
Pasien dirujuk apabila:
1. Penyakit tidak sembuh pada 7-10 hari setelah terapi.
2. Terjadi pada pasien bayi, anak, ibu hamil dan geriatri (imunokompromais).
3. Terjadi komplikasi.
4. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka
KOMPLIKASI
1. Infeksi sekunder
2. Herpes simpleks diseminata, merupakan infeksi virus herpes yang menyebar
generalisata, dapat terjadi pada bayi baru lahir atau pasien imunokompromais.
3. Herpes simpleks kronis, biasa terjadi pada penderita HIV.
4. Herpes ensefalitis, merupakan komplikasi serius herpes simpleks, yang tidak selalu
disertai dengan lesi kulit.
PROGNOSIS
Prognosis penyakit pada pasien imunokompeten umumnya bonam, sedangkan pada pasien
imunokompromais, menjadi dubia ad bonam, tergantung pada derajat penyakit, kepatuhan
pengobatan dan pengendalian faktor risiko.
PENCEGAHAN
Metode pencegahan dapat berupa pencegahan kontak dan pengendalian factor risiko.
Vaksin untuk herpes simpleks sampai sekarang belum tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer dalam
Permenkes No. 5 tahun 2014
2. PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia.
3. Wolf K, Johnson RA, Surmond D, Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology,
7th ed, McGraw-Hill, 2015.
4. Anonim, Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual, Departemen Kesehatan
RI, Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta,
2015.
5. Davies, Stephen C, Janette A Taylor, Endang R Sedyaningsih-Mamahit, Suriadi
Gunawan, Anthony L Cunningham, and Adrian Mindel. “Prevalence and Risk Factors
for Herpes Simplex Virus Type 2 Antibodies Among Low- and High-Risk Populations
in Indonesia.” Sexually Transmitted Diseases 34, no. 3 (2007): 7.
6. Pasaribu L, Sunarno, Hariastuti N, Yudopuspito T, Daili SF, Aziz M,. Prevalence of
reproductive tract infections and HIV Pregnant women in some areas in Indonesia,
2016-2017, Sex Transm Infect, 2019; 95 (suppl 1): A144-145.