Anda di halaman 1dari 60

PROPOSAL

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA


REMAJA KELAS VII PONDOK PESANTREN DI KECAMATAN TUBAN

Oleh :
WIDYA RAINA RAHMADANI

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN NAHDLATUL ULAMA TUBAN
2022
PROPOSAL
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA
REMAJA KELAS VII PONDOK PESANTREN DI KECAMATAN TUBAN

Oleh :
WIDYA RAINA RAHMADANI
19.12.2.149.084

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN NAHDLATUL ULAMA TUBAN
2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia akan berhadapan dengan berbagai macam

bentuk penyesuaian, mulai dari penyesuaian yang sederhana sampai dengan

penyesuaian yang rumit, yang di dalamnya terdapat sebuah pola yang terdiri

dari beberapa aspek tertentu yang dapat dilihat dengan jelas. Penyesuaian diri

adalah sebuah proses yang meliputi respon dalam diri seperti respon mental

dan perilaku, dalam proses ini seseorang akan berusaha mengatasi

permasalahan yang ada didalam dirinya dengan baik yang bertujuan untuk

menghasilkan keharmonisan dan keselarasan antara tuntutan yang berasal dari

dalam dirinya dengan lingkungan tempat seseorang itu hidup (Schneiders,

1964 dalam Marimbuni 2017). Selanjutnya, Hurlock (dalam Aristya &

Rahayu, 2018) mengemukakan bahwa salah satu pencapaian perkembangan

yang dialami setiap individu adalah mencapai hubungan baru yang lebih

matang dengan teman sebaya dan berusaha untuk mencapai peran sosialnya

di lingkungan. Individu yang memiliki masalah pada diri, akan mengalami

hambatan dan tidak mampu mencapai suatu kebahagiaan dalam hidup. Hal ini

disebabkan karena individu tidak mampu menyesuaikan diri, baik dengan

keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Usia remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak

menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan,

baik fisik, psikis, maupun sosial, yang tidak jarang menimbulkan berbagai
konflik dan masalah dalam kehidupannya (Agustiani, 2009 dalam Fadlilah &

Amin, 2021). Dalam menghadapi berbagai masalah yang begitu komplek ada

sebagian siswa yang berhasil mengatasinya, namun tidak jarang yang

mengalami kegagalan dalam menyelesaikannya.

Salah satu jenjang pendidikan pertama yang dihadapi remaja setelah

sekolah dasar adalah sekolah menengah. Jenjang pendidikan yang dimana

pelajaran agama yang lebih diutamakan adalah Pondok Pesantren. Tercatat

dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Diklat Kementrian Agama pada

tahun 2017 menunjukkan pondok pesantren mencapai angka 27.230 pondok

pesantren. Pondok Pesantren adalah suatu lembaga yang bisa disebut sebagai

wujud proses perkembangan sistem pendidikan nasional (Sa’idah &

Laksmiwati, 2017). Di mana Pondok Pesantren memiliki karakteristik yang

unik dan sedikit berbeda dengan sekolah formal pada umumnya yaitu santri di

Pondok Pesantren diwajibkan menetap untuk sementara waktu di lokasi

kompleks ia dididik sampai mereka lulus studi. Jenis pendidikan seperti ini

sudah banyak ditawarkan dan memiliki banyak peminat. (H. Hafiar dkk, 2019

dalam Azizah, 2021).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Yuniar, dkk (dalam

Marimbuni, 2017) menunjukkan setiap tahunnya 5-10% siswa SMP di

Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalam Surakarta mengalami

masalah dalam proses penyesuaian diri. Masalah yang sering terjadi diantara

lain adalah tidak mau sekolah, tidak ingin tinggal di Asrama, melakukan
tindakan yang melanggar peraturan Pondok, dan tidak bisa jauh dari orang

tua.

Berdasarkan survey awal yang penulis lakukan di kelas VII MTs Ma`ad

Hidayatun Najah, terdapat beberapa siswa yang mempunyai permasalahan di

sekolah terkait penyesuaian diri. Salah satu siswa ada yang pindah sekolah

dengan alasan yang kurang jelas. Setelah diteliti lebih lanjut oleh Pendamping

Pondok, ternyata siswa tersebut memutuskan untuk pindah sekolah

dikarenakan merasa tidak nyaman di Pondok. Selain itu, berdasarkan

informasi yang penulis dapat dari salah satu siswa kelas VII bahwa di kelas

memang berkelompok-kelompok, ada kelompok siswa yang pendiam dan ada

pula yang sering membuat keributan di Pondok. Siswa tersebut berpendapat

bahwa siswa yang keluar itu pendiam maka dia berteman dan sering

berkumpul dengan teman-teman yang pendiam lainnya.

Selain itu, penulis juga melakukan wawancara langsung dengan siswa.

Hasil wawancara secara langsung pada bulan Oktober di 3 Pondok Pesantren

di Kecamatan Tuban yaitu MTs Ma`ad Hidayatun Najah, SMP Tahfidz

Enterpreneur Khairunnas, SMPIT Al Uswah Tuban didapatkan dari 15 siswa,

7 siswa mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri, seperti tidak nyaman

di lingkungan Pondok, tidak bisa jauh dari orangtua, dan merasa terbebani

dengan pembelajaran di sekolah maupun di Pondok. 2 siswa pernah

meninggalkan sekolah dikarenakan tidak nyaman dan ingin pulang ke rumah.

Sedangkan, 6 siswa lainnya merasa nyaman dan bisa menyesuaikan diri di

lingkungan Pondok Pesantren.


Karena para santri diwajibkan atau diharuskan untuk menetap dan tinggal

di lingkungan Pondok Pesantren ini maka dibutuhkan penyesuaian diri

dengan lingkungan Pesantren, terutama di tahun pertama menetap di

Pesantren. Para santri akan bertemu dengan teman-teman baru, tempat tinggal

baru, dan situasi yang baru. Dalam proses tersebut, tidak sedikit para santri

yang merasa tidak sanggup atau merasa tidak mampu menyesuaikan diri

dengan lingkungan Pondok Pesantren. Penyesuaian diri merupakan faktor

yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebegitu pentingnya hal ini

sampai dicantumkan dalam berbagai literatur, kita sering menjumpai

ungkapan-ungkapan, seperti “Hidup manusia sejak lahir sampai mati tidak

lain adalah penyesuaian diri” (Selliana et al., 2021).

Salah satu unsur dalam kepribadian yang ada kaitannya dengan

penyesuaian diri adalah konsep diri (Partosuwido, 1993 dalam Selliana dkk.,

2021). Konsep diri merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

penyesuaian diri pada individu. Terdapat lima komponen dalam konsep diri

yaitu citra tubuh, identitas diri, ideal diri, peran diri dan harga diri (Yusuf,

Fitriyasari & Nihayati, 2015 dalam Anjastya & Pratiwi, 2020). Persoalan

yang dihadapi oleh remaja, sebagian besar meliputi tentang dirinya.

Sementara diri (self) terbentuk oleh adanya konsep tentang diri (self concept).

Indikasi permasalahan pada diri pribadi maupun diri dengan lingkungannya

menunjukkan bahwa tidak sedikit remaja memiliki konsep diri yang kurang

(rendah) atau belum bisa memahami bagaimana konsep dirinya sendiri.

Konsep diri merupakan gambaran menyeluruh tentang kemampuan dan sifat-


sifat seseorang (Papalia & Olds, 1996 dalam Widiarti, 2017). Menurut Fittz

( dalam Widiarti, 2017) menyatakan, bahwa konsep diri sangat berpengaruh

kuat terhadap tingkah laku seseorang.

Upaya untuk mengatasi masalah penyesuaian diri adalah memiliki konsep

diri yang positif. Hurlock (1976) mengemukakan penting bagi individu untuk

memiliki konsep diri yang positif, untuk dapat mewujudkan rasa percaya diri

dan harga diri, serta munculnya keyakinan terhadap kemampuan diri,

sehingga individu akan cenderung lebih aktif dan terbuka dalam melakukan

hubungan sosial dengan orang lain dan lingkungannya. Selanjutnya, Sugeng,

2003 (dalam Marimbuni, 2017) mengemukakan konsep diri yang positif akan

mengarahkan individu memiliki kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri

dengan baik. Konsep diri pada remaja cenderung untuk tidak konsisten, dan

hal ini disebabkan karena sikap orang lain yang dipersepsikan oleh remaja

juga berubah. Akan tetapi, dengan cara ini, remaja akan mengalami suatu

proses perkembangan konsep diri, sampai pada akhirnya terbentuk konsep

diri yang konsisten (Pudjianto, 2000 dalam Selliana dkk, 2021). Remaja yang

memiliki konsep diri yang baik akan mampu menyesuaiakan diri dengan

lingkungannya yang pada saatnya akan menjadi pendorong pencapaian

penyesuaian diri yang tinggi.

Uraian diatas melatarbelakangi peneliti mengambil judul penelitian

tentang, “Hubungan antara Konsep Diri dengan Penyesuaian Diri Pada

Remaja Kelas VII Pondok Pesantren di Kecamatan Tuban”.


1.2 Identifikasi Masalah

Usia remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak

menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan,

baik fisik, psikis, maupun sosial, yang tidak jarang menimbulkan berbagai

konflik dan masalah dalam kehidupannya (Agustiani, 2009 dalam Fadlilah &

Amin, 2021). Dalam menghadapi berbagai masalah yang begitu komplek ada

sebagian siswa yang berhasil mengatasinya, namun tidak jarang yang

mengalami kegagalan dalam menyelesaikannya. Menurut Tanje 2003 (dalam

Rahim, 2017) masalah yang sering dihadapi para remaja adalah perilaku

bermasalah yang dapat berdampak pada terhambatnya proses penyesuaian

diri pada remaja dengan remaja lainnya, dengan guru dan masyarakat.

Salah satu unsur dalam kepribadian yang ada kaitannya dengan

penyesuaian diri adalah konsep diri (Partosuwido, 1993 dalam Selliana dkk.,

2021). Konsep diri merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

penyesuaian diri pada individu. Menurut Sugeng, 2003 (dalam Marimbuni,

2017) mengemukakan konsep diri yang positif akan mengarahkan individu

memiliki kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Konsep

diri pada remaja cenderung untuk tidak konsisten, dan hal ini disebabkan

karena sikap orang lain yang dipersepsikan oleh remaja juga berubah.

1.3 Rumusan Masalah


Dari analisis latar belakang diatas, maka dapat dirumusukan masalah

penelitian, “Apakah ada Hubungan antara Konsep Diri dengan Penyesuaian

Diri Pada Remaja Kelas VII Pondok Pesantren Di Kecamatan Tuban?”

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui Hubungan antara Konsep Diri dengan Penyesuaian Diri

Pada Remaja Kelas VII Pondok Pesantren Di Kecamatan Tuban

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi Konsep Diri Pada Remaja Kelas VII Pondok

Pesantren Di Kecamatan Tuban

2. Mengidentifikasi Penyesuaian Diri Pada Remaja Kelas VII Pondok

Pesantren Di Kecamatan Tuban

3. Menganalisis Hubungan antara Konsep Diri dengan Penyesuaian Diri

Pada Remaja Kelas VII Pondok Pesantren Di Kecamatan Tuban

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoristis

Sebagai bahan ajar dalam proses pembuatan penelitian ilmiah lainnya dan

sebagai bahan dasar lainnya agar dapat menambah pengetahuan yang luas

tentang ilmu keperawatan jiwa komunitas yang dilakukan pada remaja yang

sedang mengalami penyesuaian diri.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Manfaat Bagi Peneliti


Manfaat bagi peneliti diharapkan agar dapat menambah wawasan dan

pengetahuan peneliti mengenai Hubungan antara Konsep Diri dengan

Penyesuaian Diri Pada Remaja Kelas VII Pondok Pesantren Di

Kecamatan Tuban

2. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan atau Keperawatan

Manfaat bagi institusi pendidikan atau keperawatan diharapkan agar

dapat menambah ilmu pengetahuan serta dapat digunakan sebagai

acuan penelitian selanjutnya terkait dengan Hubungan antara Konsep

Diri dengan Penyesuaian Diri Pada Remaja Kelas VII Pondok

Pesantren Di Kecamatan Tuban

3. Manfaat Bagi Sekolah

Memberikan informasi dan wawasan baru kepada sekolah tentang

Hubungan antara Konsep Diri dengan Penyesuaian Diri Pada Remaja

Kelas VII Pondok Pesantren Di Kecamatan Tuban

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi lingkup keperawatan jiwa dan komunitas yang

bertujuan untu menganalisis hubungan antara konsep diri dengan penyesuaian

diri pada remaja.

1.7 Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Hubungan antara Konsep Diri dengan


Penyesuaian Diri Pada Remaja Kelas VII Pondok Pesantren Di
Kecamatan Tuban

No Penulis, Tahun Judul Variabel Metode Hasil


1. Rahim, Abdul Pengaruh Variabel Kuantitatif Hasil penelitian
(2017) Konsep Diri Dan independen : memperlihatkan
Adversity konsep diri bahwa secara
Quotient Variabel umum konsep
Terhadap dependen : diri pada
Kemandirian Adversity responden
Santri Quotient penelitian
termasuk
kategori sedang.
2. Widiarti, (2017) Konsep Diri Variabel Kuantitatif Hasil penelitian
(Self Concept) independen : ini
Dan Komunikasi Konsep Diri menunjukkan
Interpersonal (Self bahwa Konsep
Dalam Concept) diri siswa
Pendampingan Variabel berimbang
Pada Siswa Smp independen : antara
Se Kota Komunikasi yang memiliki
Yogyakarta Interpersonal konsep diri yang
rendah (222
orang: 49.4%),
dengan yang
memiliki
konsep diri yang
tinggi (yaitu 227
orang: 50.6%).
3. Fadlilah & Hubungan Variabel Kuantitatif Kedua variabel
Amin, Antara Konsep independen : independen
(2021) Diri Dengan Konsep Diri yaitu konsep
Penyesuaian Diri Variabel diri dan
Terhadap independen : penyesuaian diri
Ketenangan Jiwa Penyesuaian secara bersama-
Santri Baru Diri sama (simultan)
Di Pondok Variabel berhubungan
Pesantren Sunan dependen : terhadap
Drajat ketenangan dependen yaitu
Lamongan jiwa ketenangan
Tahun 2020 jiwa.

4. Selliana et al., Hubungan Variabel Kuantitatif Berdasarkan


(2021) Konsep Diri independen : hasil penelitian
Dengan Konsep diri terdapat
Penyesuaian Diri Variabel hubungan antara
Pada Siswa dependen : konsep diri
Kelas X Smk penyesuaian dengan
Tunas Pelita diri penyesuaian diri
Binjai siswa kelas X
dengan tingkat
hubungan yang
termasuk dalam
kategori sangat
tinggi.
5. Marimbuni et al., Kontribusi Variabel Kualitatif Hasil analisis
(2017) Konsep Diri Dan independen : data
Kematangan konsep diri menunjukkan
Emosi Terhadap Variabel bahwa
Penyesuaian Diri independen : kontribusi dari
Siswa Dan kematangan kedua self-
Implikasinya emosi consept dan
Dalam Variabel kematangan
Bimbingan Dan dependen : emosional
Konseling penyesuaian terhadap self
diri adjesment
sekitar 35,2%.
6. Garnis & Hubungan Variabel Kuantitatif Hasil penelitian
Widyastuti, Antara Konsep independen : koresional ini
(2021) Diri Dengan Konsep diri menunjukkan
Penyesuaian Diri Variabel bahwa adanya
Siswa Kelas X dependen : hubungan
Madrasah Aliyah Penyesuaian positif yang
Negeri Sidoarjo diri signifikan
antara konsep
diri dengan
penyesuaian diri
pada siswa kelas
X Madrasah
Aliyah Negeri
Sidoarjo.
7. Anjastya & Gambaran Variabel Kuantitatif Hasil penelitian
Pratiwi, (2020) Konsep Diri independen : koresional ini
Remaja Depresi konsep diri menunjukkan
Yang Tinggal Di remaja gambaran
Pondok Variabel konsep diri pada
Pesantren dependen : remaja yang
Wilayah depresi mengalami
Sukoharjo depresi di
pondok
pesantren
wilayah
sukoharjo
didapatkan hasil
yang positif.
8. Mamduh, (2018) Kelekatan Dan Variabel Kuantitatif Hasil penelitian
Penyesuaian Diri independen : korelasiaonal ini
Pada Santri kelekatan menunjukkan
Pondok Variabel bahwa ada
Pesantren dependen : hubungan
penyesuaian positif antara
diri kelekatan
dengan orang
tua dan
penyesuaian diri
pada santri
9. Maghfur, (2018) Bimbingan Variabel Deskriptif Bimbingan
Kelompok independen : Kualitatif Kelompok
Berbasis Islam Bimbingan Berbasis Islam
untuk kelompok untuk
Meningkatkan Islam Meningkatkan
Penyesuaian Diri Variabel Penyesuaian
Santri dependen : Diri Santri
Pondok penyesuaian Pondok
Pesantren Al diri Santri Pesantren Al
Ishlah Pondok Ishlah
Darussalam Pesantren Darussalam
Semarang Semarang
10 Irfan & Suprapti, Hubungan Self- Variabel Kuantitatif Terdapat
. (2014) Efficacy Dengan independen : korelasional hubungan yang
Penyesuaian Diri self eficacy signifikan
Terhadap Variabel antara dengan
Perguruan dependen : penyesuaian diri
Tinggi Pada penyesuaian terhadap
Mahasiswa Baru diri perguruan tinggi
Fakultas pada mahasiswa
Psikologi baru dengan
Universitas kekuatan
Airlangga hubungan
sedang
11 Rahmawati, Hubungan Variabel Kuantitatif Hasil penelitian
. Insan Psikologi, Penyesuaian Diri independen : menunjukkan
(2021) Dengan penyesuaian bahwa
Kepatuhan Pada diri berdasarkan
Santri Pondok Variabel analisis statistik
Pesantren dependen : menunjukkan
Modern Smk Al kepatuhan adanya
Kahfi Sumbawa hubungan yang
positif dan
signifikan
antara
penyesuaia diri
dengan
kepatuhan
12 Kartono, Mengukur dan Variabel Deskriptif Hasil penelitian
. (2019) Mengembangkan independen : menunjukkan
Konsep Diri Konsep diri bahwa
Anak Menuju anak mengukur dan
Terbentuknya Variabel mengembangan
Kepribadian dependen : konsep diri anak
Anak yang kepribadian dapat
Memiliki anak membentuk
Kemandirian kepribadian
terhadap anak.
Bullying di
Kelas XI Sma
Islam Harapan
Ibu Pondok
Pinang Jakarta
Selatan
13 Azizah, Penyesuaian Diri Variabel : Deskriptif Hasil penelitian
. (2021) Santri Baru Di Penyesuaian Kualitatif menggambarkan
Pondok Diri santriwati yang
Pesantren bermukim di
pondok
pesantren yang
hidup jauh dari
orang tua dan
keluarga maka
santriwati dapat
hidup mandiri.
14 Kartono, Mengukur dan Variabel Deskriptif Hasil penelitian
. Mengembangkan independen : kualitatif menunjukkan
(2019) Konsep Diri Konsep Diri, bahwa
Anak Menuju kemandirian mengukur dan
Terbentuknya anak mengembangan
Kepribadian Variabel konsep diri anak
Anak yang dependen : dapat
Memiliki bullying membentuk
Kemandirian kepribadian
terhadap anak.
Bullying di Kelas
XI Sma Islam
Harapan Ibu
Pondok Pinang
Jakarta Selatan
15 Hyan, dkk Hubungan Variabel Kuantitatif Hasil
(2020) Strategi Coping independen : menunjukan
. Dengan Strategi bahwa nilai
Penyesuaian Diri Coping penelitian
Remaja Di Smp Variabel didapatkan nilai
Tahfidz dependen : p-value 0,523
Khairunnas penyesuaian dimana
Tuban diri (p<0,05) makas
disimpulkan
bahwa ada
hubungan
16 Utesch et al., Effects of Variabel Deskriptif
(2018) congruence independen : kualitatif
. between physical
physical self- self-concept
concept and variabel
motor dependen :
competence motor
competence
17 Chou et al., Role of School Variabel Deskriptif The results
(2020) Bullying independen : Kuantitatif indicated that
. Involvement in Depression, compared with
Depression, Anxiety, the self-
Anxiety, Suicidality, reported
Suicidality, and and Low neutrals, the
Low Self-Esteem Self-Esteem self-reported
Among Variabel perpetrator-
Adolescents dependen : victims and
With High- High- pure victims
Functioning Functioning had more
Autism Spectrum Autism severe
Disorder Wen- Spectrum depression and
Jiun Disorder anxiety. No
difference in
depression,
suicidality,
anxiety, and
self-esteem was
found among
the four groups
of various
parent-
reported
bullying
involvement
experiences.
18 Tacikowski et Perception of Variabel Deskriptif These findings
al., Our Own Body independen : kualitatif demonstrate
. (2020) Influences Self- Self- that our beliefs
Concept and Concept and about own
Self-Incoherence Self- personality are
Impairs Incoherence dynami- cally
Episodic Variabel shaped by the
Memory dependen : perception of
Episodic our body and
Memory that coherence
between the
bodily and
conceptual self-
representations
is important for
the normal
encoding of
episodic
memories.
19 Augestad, (2017) Self-concept and Variabel Deskriptif No differences
self-esteem independen : in self-esteem,
. among children Self-concept empathy toward
and young Variabel others, and
adults with dependen : bonding
visual self-esteem between
impairment: A among children
systematic children and
review young adults
with visual
impairment
20 Utesch et al., The Promotive Variabel Deskriptif These results
(2018) and Protective independen : suggest that
. Role of Children’s general self-
Children’s Self- Self-Efficacy efficacy and
Efficacy and Variabel positive self-
Self-Concept dependen : concept might
Self-Concept contribute to
promote mental
health and to
protect from
undesired
effects of
familial risk
factors in the
short term.
21 Yengimolki, S., Self-Concept, Variabel Deskriptif There is a
(2017) Social independen : Kuantitatif significant
. alantarkousheh, Adjustment and Self- correlation
S. M., Academic Concept, between
&Malekitabar, Achievement of Social academic
(2017) Persian Students Adjustment achievement
Variabel and social
dependen : adjustment, but
Academic there is no
Achievement significant
relationship
between self-
concept and
academic
achievement
22 Jenkins, Supporting Variabel Deskriptif The author
(2021) Reader and independen : kualitatif acknowledges
. Writer Self- Variabel that the
Concept in Early dependen : relation- ship
Childhood Self-Concept between
Education Early academic
Childhood achievement
Education and self-
concept is
reciprocal.
23 Noviandari & Relationship of Variabel Deskriptif The author
Mursidi, Self Concept, independen : acknowledges
. (2019) Problem Solving Self Kuantitatif that the
and Self Concept, relation- ship
Adjustment in Problem between
Youth Solving and academic
Self achievement
Adjustment and self-
concept is
reciprocal.
24 Jackman et al., A Study Of Variabel Deskriptif The quantitative
Academic Self independen : kuantitatif study did not
. (2017) Concept In First Self Concept reveal any
Year Medical Variabel changes in
Students dependen : academic self-
First Year concept or self-
Medical evaluation. The
Students
25 Tacikowski et Perception of Variabel Deskriptif These findings
al., Our Own Body independen : demonstrate
. (2020) Influences Self- Our Own that our beliefs
Concept and Body about own
Self-Incoherence Influences personality are
Impairs Self-Concept dynami- cally
Episodic shaped by the
Memory perception of
our body and
that coherence
between the
bodily and
conceptual self-
representations
is important for
the normal
encoding of
episodic
memories.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, T. N., Purwandari, E., & Lestari, R. (2020). Kematangan Emosi,


Dukungan Sosial, Dan Penyesuaian Sosial Bina Daksa. Sosio Informa, 6(1),
55–62. https://doi.org/10.33007/inf.v6i1.2116
Anjastya, H. A., & Pratiwi, S. K. A. (2020). Gambaran Konsep Diri Remaja
Depresi Yang Tinggal Di Pondok Pesantren Wilayah Sukoharjo. 12–15.
http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/82634
Aristya, D. N., & Rahayu, A. (2018). Penyesuaian Diri Remaja Kelas X Sma
Angkasa I. Jurnal Psikologi, 2, 75–81.
Augestad, L. B. (2017). Self-concept and self-esteem among children and young
adults with visual impairment: A systematic review. Cogent Psychology,
4(1). https://doi.org/10.1080/23311908.2017.1319652
Azizah, S. N. (2021). Penyesuaian diri santri baru di pondok pesantren. Skripsi, 1–
9.
Chou, W. J., Wang, P. W., Hsiao, R. C., Hu, H. F., & Yen, C. F. (2020). Role of
School Bullying Involvement in Depression, Anxiety, Suicidality, and Low
Self-Esteem Among Adolescents With High-Functioning Autism Spectrum
Disorder. Frontiers in Psychiatry, 11(January), 1–9.
https://doi.org/10.3389/fpsyt.2020.00009
Fadlilah, E. N., & Amin, N. (2021). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan
Penyesuaian Diri Di Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan Tahun 2020.
Jurnal Bimbingan Dan Konseling Islam, 1(1), 1–9.
Garnis, F. E., & Widyastuti, W. (2021). Hubungan Antara Konsep Diri Dengan
Penyesuaian Diri Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo. Proyeksi,
16(1), 92. https://doi.org/10.30659/jp.16.1.92-99
H, Y. A., Psikologi, J., Studi, P., Psikologi, F., & Dharma, U. S. (2017).
Penyesuaian Diri Di Sekolah Pada Siswa Kelas X Smu 2 Bantul. Universitas
Sanata Dharma.
Husna, M. El. (2015). Hubungan Konsep Diri dengan Penyesuaian Diri Pada
Waria Perwakoba (Persatuan Waria Kota Batu). 1–181.
Irfan, M., & Suprapti, V. (2014). Hubungan Self-Efficacy Dengan Penyesuaian
Diri Terhadap Perguruan Tinggi Pada Mahasiswa Baru Fakultas. JURNAL
Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan, 3(3), 172–178.
http://journal.unair.ac.id/JPPP@hubungan-self-efficacy-dengan-penyesuaian-
diri-terhadap-perguruan-tinggi-pada-mahasiswa-baru-fakultas-psikologi-
universitas-airlangga-article-8136-media-53-category-10.html
Jackman, K., Wilson, I., Seaton, M., & Craven, R. (2011). Big Fish in a Big Pond:
A study of academic self concept in first year medical students. BMC
Medical Education, 11(1). https://doi.org/10.1186/1472-6920-11-48
Jenkins, M. (2021). Supporting Reader and Writer Self-Concept in Early
Childhood Education. Learning to Teach, 10(1), 55–60.
https://openjournals.utoledo.edu/index.php/learningtoteach/article/view/471
Kania Saraswatia, G., Zulpahiyana, Z., & Arifah, S. (2016). Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Konsep Diri Remaja di SMPN 13 Yogyakarta. Jurnal Ners
Dan Kebidanan Indonesia, 3(1), 33.
https://doi.org/10.21927/jnki.2015.3(1).33-38
Kartono. (2019). Mengukur dan Mengembangkan Konsep Diri Anak Menuju
Terbentuknya Kepribadian Anak yang Memiliki Kemandirian terhadap
Bullying di Kelas XI Sma Islam Harapan Ibu Pondok Pinang Jakarta Selatan.
DEVIANCE: Jurnal Kriminologi, 3, 110–124.
Maghfur, S. (2018). Bimbingan Kelompok Berbasis Islam untuk Meningkatkan
Penyesuaian Diri Santri Pondok Pesantren Al Ishlah Darussalam Semarang.
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 12(1), 85–104.
https://doi.org/10.24090/komunika.v12i1.1307
Mamduh, M. S. (2018). Kelekatan dan Penyesuaian Diri pada Santri Pondok
Pesantren. https://eprints.umm.ac.id/54149
Marimbuni, M., Syahniar, S., & Ahmad, R. (2017). Kontribusi Konsep Diri Dan
Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Diri Siswa Dan Implikasinya
Dalam Bimbingan Dan Konseling. Insight Jurnal Bimbingan Konseling,
6(2), 165–175. https://doi.org/10.21009/insight.062.05
Meidiana Pritaningrum, W. H. (2013). Penyesuaian Diri Remaja yang Tinggal di
Pondok Pesantren Modern Nurul Izzah Gresik Pada Tahun Pertama.
Psikologi Kepribadian Dan Sosial, 02(03), 135.
Noviandari, H., & Mursidi, A. (2019). Relationship of Self Concept, Problem
Solving and Self Adjustment in Youth. International Journal for
Educational and Vocational Studies, 1(6), 651–657.
https://doi.org/10.29103/ijevs.v1i6.1599
Psikologi, D. I. (2021). Hubungan penyesuaian diri dengan kepatuhan pada santri
pondok pesantren modern smk al kahfi sumbawa 1. IImu Psikologi &
Pendidikan, 4(2), 74–78.
Putri, J. E. (2020). Hubungan Antara Konsep Diri Dan Dukungan Sosial Teman
Sebaya Dengan Penyesuaian Diri Pada Siswa Pondok Pesantren Alkaromah
Aidarusy.
Rahim, A. (2017). Pengaruh konsep diri dan adversity quotient terhadap
kemandirian santri. Fenomena, 16(1), 61–78.
Risnah, & Irwan, M. (2021). Falsafah dan Teori Keperawatan Dalam Integrasi
Keilmuan. In Alauddin University Press.
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/17880/
Rofiqoh, Z., Asmaningrum, N., & Wijaya, D. (2018). Hubungan Mode Adaptif
Konsep Diri Berbasis Teori Callista Roy dengan Kemampuan Interaksi
Sosial Anak Tunagrahita di SLB-C TPA Kabupaten Jember. Pustaka
Kesehatan, 6(2), 312. https://doi.org/10.19184/pk.v6i2.7777
Sa’idah, S., & Laksmiwati, H. (2017). Dukungan Sosial dan Self-Efficacy dengan
Penyesuaian Diri Pada Santri Tingkat Pertama di Pondok Pesantren. Jurnal
Psikologi Teori Dan Terapan, 7(2), 116.
https://doi.org/10.26740/jptt.v7n2.p116-122
Selliana, Nengsih, & Sitepu, D. R. (2021). Hubungan konsep diri dengan
penyesuaian diri pada siswa kelas x smk tunas pelita binjai. Jurnal Serunai
Bimbingan Dan Konseling, 10(1), 1–10.
Tacikowski, P., Weijs, M. L., & Ehrsson, H. H. (2020). Perception of Our Own
Body Influences Self-Concept and Self-Incoherence Impairs Episodic
Memory. IScience, 23(9), 101429. https://doi.org/10.1016/j.isci.2020.101429
Utesch, T., Dreiskämper, D., Naul, R., & Geukes, K. (2018). Understanding
physical (in-) activity, overweight, and obesity in childhood: Effects of
congruence between physical self-concept and motor competence. Scientific
Reports, 8(1), 1–10. https://doi.org/10.1038/s41598-018-24139-y
Widiarti, P. W. (2017). Konsep Diri (Self Concept) Dan Komunikasi
Interpersonal Dalam Pendampingan Pada Siswa Smp Se Kota Yogyakarta.
Informasi, 47(1), 135. https://doi.org/10.21831/informasi.v47i1.15035
Yengimolki, S., Kalantarkousheh, S. M., &Malekitabar, A. (2015). Self-concept,
social adjusment and academic achievement of persian students.
International Review of Social Sciences and Humanities, 8(2), 50–60.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori Sister Callista Roy

2.1.1 Teori Sister Callista Roy

Sister Callista Roy merupakan penteori yang lahir tanggal 14 Oktober

1939 di Los Angeles, California. Ia merupakan anggota Sisters of Saint

Joseph of Carondelet. Tahun 1963, Roy menyelesaikan pendidikan

sarjananya di Mount Saint Mary’s Collage dan tahun 1966 memperoleh gelar

master di Universitas California, Los Angeles. Tahun 1973, Roy kembali

mengambil pendidikan master, namun bukan bidang keperawatan tetapi

dibidang sosiologi dan kembali melanjutkan pendidikan sosiologi tahun 1977

untuk gelar doktoral di Universitas California. Ketertarikannya dalam

mengembangkan ilmu keperawatan melalui teori keperawatan dimulai sejak

Roy menjalani perkuliahan master keperawatan setelah dimotivasi oleh

Dorothy E. Jhonson. Pengalaman Roy bekerja sebagai perawat anak juga

menjadi salah satu yang melatar belakangi Roy dalam mengembangkan teori

keperawatannya. Pekerjaannya sebagai perawat anak, menyebabkan Roy

menyadari akan resiliensi anak, dan kemampuan mereka beradaptasi terhadap

respon akibat perubahan fisik dan psikologis yang besar. Roy pun

berkeinginan untuk mengembangkan adaptasi sebagai kerangka konsep bagi

keperawatan. Teori keperawatan Roy ini dikenal dengan nama Roy

Adaptation Model (RAM). Tahun 1970 untuk pertama kalinya RAM


dipublikasikan ke umum melalui artikel yang berjudul “Adaptation : A

Conceptual Framework for Nursing”.

Teori keperawatan Roy merupakan teori keperawatan yang terinspirasi

dari teori Harry Helson yang menjelaskan adanya respon adaptif yang

ditunjukan manusia. Respon adaptif didapatkan karena adanya stimulus.

Stimulus dalam adaptasi terjadi karena adanya dorongan dari banyak faktor di

lingkungan baik faktor eksternal maupun faktor internal. Beberapa tingkatan

level adaptasi menurut Harry Helson disebabkan oleh tiga stimulus yaitu

stimulus fokal yang memunculkan stimulus dengan cepat terhadap individu

sehingga individu dapat bereaksi dengan cepat, stimulus kontekstual

merupakan stimulus lainnya yang merupakan efek dari stimulus fokal, dan

stimulus residual berupa faktor lingkungan yang menimbulkan respon tidak

jelas. Teori adaptasi Helson merupakan suatu teori yang mengungkapkan

adanya adaptasi manusia yang positif terhadap perubahan lingkungan. Konsep

adaptasi Helson menekankan peranan level adaptasi yang menentukan respon

positif atau negatif (Roy & Roberts, 1981).

2.1.2 Paradigma Keperawatan Sister Callista Roy

Teori keperawatan RAM juga mendefinisikan paradigma keperawatan

yang terdiri dari manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan. Adapun

paradigama keperawatan Roy dalam teori RAM adalah sebagai berikut :

1. Manusia

Roy menggambarkan manusia sebagai makhluk yang holistik dan

memiliki sistem adaptasi. Sistem adaptasi dalam diri manusia


digambarkan sebagai suatu yang saling berkaitan dan menyatu untuk

mencapai suatu tujuan. Roy juga menggambarkan manusia sebagai

individu yang merupakan bagian dari kelompok masyarakat, keluarga

yang hidup dalam sistem tersebut atau disebut sebagai makhluk

biopsikososial. Manusia sebagai individu utama atau prioritas dalam

pelayanan keperawatan. Agar manusia mampu beradaptasi dengan

mempergunakan 4 cara yakni: fungsi fisiologi, konsep diri, fungsi

peran, dan interdependensi. Manusia di jelaskan sebagai sebuah sistem

yang hidup pada model adaptasi keperawatan, terbuka dan adaptif

yang dapat mengalami kekuatan menghadapi perubahan lingkungan.

Manusia dapat di gambarkan dengan istilah karakteristik sistem,

sebagai yang sistem adaptif.

2. Lingkungan

Roy menggambarkan lingkungan sebagai suatu yang memberikan

pengaruh terhadap proses adaptasi yang dilakukan individu. Hal ini

dikarenakan Roy berpendapat bahwa lingkungan merupakan sumber

stimulus yang menuntut manusia untuk terus menerus beradaptasi

memecahkan masalah yang dihadapinya.

3. Kesehatan

Roy menggambarkan kesehatan sebagai suatu kondisi yang tidak

hanya terbebas dari penyakit, kesedihan, stress dan kematian. Namun

juga sebagai suatu kemampuan atau usaha mengatasi permasalahan

yang dapat menimbulkan penyakit, kesedihan, stress dan kematian.


4. Keperawatan

Roy menggambarkan keperawatan sebagai sebuah profesi kesehatan

yang memberikan pelayanan berupa asuhan kesehatan kepada

individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Roy membagi

keperawatan menjadi dua yaitu sebagai ilmu dan praktik. Ilmu

keperawatan memiliki tujuan pengembangan yang terus menerus untuk

kepentingan peningkatan derajat kesehatan. Keperawatan sebagai ilmu

digolongkan atau di tingkatkan dengan cara melakukan observasi,

menggolongkan dan menghubungkan proses.

2.1.3 Model Konseptual Teori Sister Callista Roy

Teori Roy Adaptation Model (RAM) merupakan suatu proses adaptasi

individu maupun kelompok yang dihasilkan dari sebuah pemikiran dan

perasaan yang terintegrasi. Adaptasi ini terintegrasi dari interaksi manusia dan

lingkungan. Roy dalam teorinya mengungkapkan bahwa manusia merupakan

makhluk spesial yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan

perubahan kondisi sekitar atau lingkungan. RAM memandang manusia

sebagai suatu sistem adaptif yang berproses dan memiliki hubungan adaptasi

yang diciptakan dari adanya stimulus, dan koping yang dijelaskan dalam

diagram berikut ini :


Gambar 2.1 Konsep Teori Sister Callista Roy

1. Masukan (input)

Menurut Calista Roy, input adalah sebagai stimulus yang merupakan

kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang

dapat menimbulkan respons. Selain itu sebagai suatu sistem yang dapat

menyesuaikan diri dengan menerima masukan dari lingkungan dalam

individu itu sendiri, di mana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stimulus

fokal, kontekstual, dan stimulus residual (Hartanti, 2014). Berikut

merupakan penjelasan dari ketiga stimulus:

1) Stimulus fokal merupakan stimulus internal maupun eksternal yang

secara langsung dapat menyebabkan ketidakseimbangan atau

keadaan sakit yang dialami saat ini.

2) Stimulus kontekstual merupakan semua rangsangan yang lain yang

datang dalam situasi yang memberikan efek dari stimulus fokal.

Dengan kata lain, stimulus yang dapat menunjang terjadinya sakit

(faktor pencetus)/keadaan tidak sehat. Keadaan ini tidak terlihat

langsung pada saat ini.


3) Stimulus residual adalah faktor internal maupun eksternal manusia

dengan efek pada situasi saat ini yang tidak jelas. Merupakan

keyakinan dan pemahaman individu yang dapat mempengaruhi

terjadinya keadaan tidak sehat atau disebut dengan faktor

predisposisi sehingga terjadi kondisi fokal. Misalnya persepsi

orang tentang, gaya hidup, peran, dan fungsi.

2. Kontrol

Proses control seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme

koping yang digunakan, dibagi menjadi :

1) Subsistem regulator.

Subsystem regulator merupakan renspons system kimiawi, saraf

atau endokrin, otak dan medulla spinalis yang diteruskan sebagai

prilaku atau respons (Asmadi, 2008). Subsystem regulator

mempunyai komponen-komponen : input-proses dan output. Input

stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter regulator

system adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom adalah

respon neural atau endokrin. Refleks otonom adalah respon neural

dan brain system dan spinal cord yang diteruskan sebagai prilaku

output dari regulator system. Banyak proses fisiologis yang dapat

dinilai sebagai prilaku regulator subsitem (Sudarta, 2015).

2) Subsistem kognator

Mekanisme kognator berhubungan dengan fungsi otak dalam

memproses informasi, penilaian dan emosi (Asmadi, 2008).


Stimulus untuk subsistem kognator dapat ekstenal maupun internal.

Prilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus

umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator control proses

berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi,

penilaian dan emosi. Penyelesaian masalah dan pengambilan

keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan

penilaian atau analisa. (Sudarta, 2015).

3. Efektor atau prilaku

Konsep adaptasi Calista Roy adalah bagian dari proses internal dan

bertindak sebagai efektor sistem. Perilaku dalam konsep ini bertujuan

untuk beradaptasi dengan rangsangan, meliputi fungsi fisiologis,

konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi (Whittemore & Roy

2002)

1) Fungsi fisiologis, melibatkan kebutuhan dasar tubuh dan cara

beradaptasi. Indikator adaptif pada fungsi fisiologis oleh Priyo

(2012) dijelaskan sebagai berikut:

(1) Oksigenasi

(2) Nutrisi

(3) Eliminasi

(4) Aktifitas dan istirahat

(5) Proteksi

(6) Sensori
(7) Cairan dan elektrolit

Fungsi fisiologis dikatakan adaptif pada area cairan dan

elektrolit jika memperlihatkan adanya proses keseimbangan

cairan dan stabilitas elektrolit didalam tubuh stabil, status asam

basa yang seimbang, regulasi buffer kimia yang efektif.

2) Konsep Diri

Konsep Diri mengacu pada keyakinan dan perasaan tentang diri

sendiri, bagaimana seseorang mengenal pola-pola interaksi sosial

dalam berhubungan dengan orang lain. Terdiri dari (Priyo, 2012) :

(1) Physical self (termasuk citra tubuh), seseorang dengan

hemodialisa dikatakan beradaptasi secara adaptif apabila

gambaran diri yang positif, fungsi seksual yang efektif,

integritas fisik dengan pertumbuhan fisik, kompensasi

terhadap perubahan tubuh yang efektif, strategi koping

terhadap kehilangan yang efektif.

(2) Personal self (termasuk konsistensi diri dan ideal diri) dan

etika moral diri (termasuk observasi diri dan evaluasi diri)

(Alligood, 2012). Gambaran tentang konsep diri seseorang

akan berubah secara mendalam sebagai upaya untuk

beradaptasi terhadap stimulus (Prasetyo, 2014).

3) Fungsi Peran

Fungsi peran melibatkan perilaku berdasarkan posisi seseorang

dalam masyarakat, merupakan proses penyesuaian yang


berhubungan dengan bagaimana peran seseorang dalam mengenal

pola-pola interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain

dalam situasi tertentu tercermin pada peran primer, sekunder, dan

tersier (Alligood, 2012). Adaptasi melibatkan tanggung jawab

peran yang bermacam-macam untuk mendukung pencapaian tujuan

hidup (Aligood 2010, George 1995, sitzman & Eichelberger 2011).

4) Interdependence (saling ketergantungan)

Merupakan kemampuan seseorang mengenal pola-pola tentang

kasih sayang, cinta yang dilakukan melalui hubungan secara

interpersonal pada tingkat individu maupun kelompok (Roy, 2009).

Fokusnya adalah interaksi untuk saling memberi dan menerima

cinta atau kasih sayang, perhatian dan saling menghargai,

keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam

menerima sesuatu. Interdependensi ini dapat dilihat dari

keseimbangan antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan

menerima (Alligood, 2012).

4. Output

Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur

atau secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun

dari luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy

mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau

respon yang inefektif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan

integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila


seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan

dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan

keunggulan. Respon yang inefektif adalah perilaku yang tidak

mendukung tujuan tersebut. Pada teori Roy, tujuan intervensi

keperawatan adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan

perilaku adaptif dan merubah perilaku inefektif, sehingga pasien dapat

beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri,

fungsi peran dan interdependensi dalam rentang sehat-sakit (Potter &

Perry, 2005).

2.1.4 Penegasan Teoristis

Model konsep dan teori keperawatan Sister Calista Roy (Teori Roy)

merupakan model dalam keperawatan yang mengemukakan bagaimana

individu mampu meningkatkan kesehatan dengan cara mempertahankan

perilaku secara adaptif serta mampu merubah perilaku yang mal adaptif.

Calista Roy mengemukakan konsep keperawatan dengan model adaptasi yang

memiliki beberapa pandangan atau keyakinan serta nilai yang di milikinya

diantaranya:

1. Manusia sebagai makhluk biologi, psikologis, dan sosial yang selalu

berinteraksi dengan lingkungannya.

2. Untuk mencapai suatu hemeostatis atau terintegrasi, seseorang harus

beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi

3. Sistem adaptasi memiliki empat mode adaptasi diantaranya:

(1) Fungsi fisiologis, fungsi neurologis, dan fungsi endokrin.


(2) Konsep diri yang mempunyai pengertian bagaimana seseorang

mengenal pola-pola interaksi sosial dalam berhubungan dengan

orang lain.

(3) Fungsi peran merupakan proses penyesuaian yang berhubungan

dengan bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola

interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain.

(4) Interdependen merupakan kemampuan seseorang mengenal pola-

pola tentang kasih sayang.

Secara ringkas, pandangan roy mengemukakan bahwa individu sebagai

makhluk biopsikososial dan spiritual sebagai satu kesatuan yang utuh

memiliki konsep diri yang baik untuk beradaptasi terhadap perubahan

lingkungan sehingga individu selalu berinteraksi terhadap perubahan

lingkungan. (Risnah & Irwan, 2021)

Pada tahun 1964, Sister calista roy mengembangkan model adaptasi dalam

keperawatan dan dianut dalam Model Adaptasi Roy, antara lain:

1. Individu adalah makhluk bio-psiko-sosial yang merupakan suatu

kesatuan yang utuh

2. Setiap orang selalu menggunakan koping, baik yang bersifat positif

maupun negative, untuk dapat beradaptasi

3. Setiap individu berespons terhadap kebutuhan fisiologis, kebutuhan

akan konsep diri yang positif, kemampuan untuk hidup mandiri atau

kemandirian, serta kemampuan melakukan peran dan fungsi secara

optimal guna memelihara integritas diri.


4. Individu selalu berada dalam rentang sehat-sakit yang berhubungan erat

dengan keefektifan koping yang dilakukan guna mempertahankan

kemampuan adaptasi. Menurut Roy, respons yang menyebabkan

penurunan integritas tubuh menimbulkan sejumlah kebutuhan bagi

individu. Respon atau perilaku adaptasi seseorang bergantung pada

stimulus yang masuk dan tingkat/kemampuan adaptasi orang tersebut

tingkat atau kemampuan adaptasi seseorang ditentukan oleh tiga hal

yaitu masukan (input), control dan keluaran (output).

2.2 Konsep Dasar Konsep Diri

2.2.1 Pengertian Konsep Diri

Berzonsky (1981) mendefinisikan konsep diri sebagai konsep yang

diketahui atau dipahami mengenai diri, konsepsi yang dipegang seseorang

menyangkut dirinya sendiri. Agustiani (2006) menyatakan bahwa konsep diri

merupakan gambaran tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-

pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan.

Cawagas (dalam H et al., 2017) menjelaskan bahwa konsep diri berarti

seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya,

motivasinya, kelemahannya, kepandaiannya, kegagalannya, dan lain

sebagainya. Konsep diri juga diartikan oleh Sinurat (1991) sebagai pandangan

seseorang tentang gambaran dan penilaian tentang diri sendiri yang meliputi

seluruh keyakinan, perasaan, dan kecenderungan seseorang dalam bersikap

dan berperilaku serta mengingat segala hal yang telah diperoleh dari

pengalaman membangun relasi dengan orang lain.


Brooks (dalam Augestad, 2017) memberikan pengertian mengenai konsep

diri yaitu sebagai keseluruhan pandangan individu terhadap keadaan fisik,

sosial, dan psikologis yang diperoleh dari pengalamannya berinteraksi dengan

orang lain. Jadi, konsep diri merupakan pandangan individu terhadap dirinya

sendiri.

Grinder (1978) mengatakan bahwa konsep diri merupakan persepsi

seseorang terhadap dirinya sendiri. Persepsi tersebut dibentuk melalui

penarikan kesimpulan dari pengalamannya dan secara khusus dipengaruhi

oleh hadiah dan hukuman yang berarti dalam kehidupan orang yang

bersangkutan. Persepsi yang dilakukan oleh seseorang dalam memandang

dirinya meliputi fisik, jenis kelamin, kognisi sosial, pekerjaan, motivasi,

tujuan ataupun emosi. Konsep diri yang dimiliki seseorang digunakan untuk

mengevaluasi persepsinya terhadap dirinya sendiri (Furhman, 1990).

Meskipun banyak terhadap pengertian mengenai konsep diri, namun

berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa pada dasarnya konsep diri diartikan sebagai pandangan

individu terhadap keadaan fisik, psikologis, jenis kelamin, kognisi sosial,

pekerjaan, motivasi, tujuan ataupun emosi yang merupakan hasil penilaian

terhadap dirinya dan pengalamannya berinteraksi dengan orang lain yang

mempunyai arti penting dalam kehidupan orang yang bersangkutan.

2.2.2 Ciri-Ciri Konsep Diri


Pada umumnya konsep diri diklasifikasikan menjadi dua, yaitu konsep

diri positif dan negatif, tetapi ada juga yang menyebutkan konsep diri tinggi

dan rendah. Namun prinsip keduanya pada dasarnya sama.

Setiap jenis konsep diri mempunyai ciri-ciri yang khas. Brooks dan

Emmert (Putri, 2020) memberikan tanda-tanda orang yang mempunyai konsep

diri positif dan negatif. Orang yang mempunyai konsep diri positif

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah.

2. Merasa setara dengan orang lain.

3. Menerima pujian tanpa rasa malu.

4. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan,

dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat sekitar.

5. Mampu memperbaiki dirinya.

Orang yang mempunyai konsep diri negatif mempunyai ciri-ciri antara

lain:

1. Peka terhadap kritik.

2. Responsif sekali terhadap pujian.

3. Cenderung merasa tidak disenangi orang lain dan bersikap pesimis

terhadap kompetisi, yang terungkap dalam keenggangannya untuk

bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi.

Adler dan kawan-kawan (1985) menyebutkan beberapa ciri konsep diri

yang positif sebagai berikut :


1. Rasa aman, yaitu bentuk kepercayaan yang kuat akan suatu kebenaran

perbuatan dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang.

2. Penerimaan diri, seseorang yang dapat menerima segala sesuatu yang ada

pada dirinya, pada umumnya dapat merubah pandangan mereka menjadi

lebih mudah menerima pendapat dan perasaan orang lain dan lebih

terbuka.

3. Harga diri tinggi, orang yang harga dirinya tinggi biasanya mempunyai

popularitas, tidak gugup, tidak merasa rendah dan mempunyai rasa

percaya diri yang kuat.

Dari beberapa deskripsi tentang konsep diri di atas, dapat disimpulkan

bahwa sifat khas atau ciri khas yang dimiliki seseorang yang konsep dirinya

negatif adalah : tidak percaya diri, kurang penerimaan diri, pesimis, harga diri

rendah, tidak aman dan sangat peka terhadap kritikan, sebaliknya ciri khas

yang dimiliki seseorang yang konsep dirinya positif adalah: percaya diri,

penerimaan diri baik, optimis, harga dirinya tinggi, dan mempunyai perasaan

aman.

2.2.3 Aspek-Aspek Konsep Diri

Berzonsky (1981) menyatakan bahwa untuk mengerti konsep diri

seseorang dapat dilihat melalui penilaian seseorang terhadap dirinya. Penilaian

tersebut terdapat dalam beberapa aspek berikut yaitu:

1. Aspek fisik, di dalamnya meliputi penilaian individu terhadap segala

sesuatu yang dimilikinya seperti tubuh, pakaian, benda miliknya.


2. Aspek psikis, di dalamnya terdapat pikiran, perasaan, dan sikap yang

dimiliki oleh individu terhadap dirinya sendiri. Misalnya, individu yakin

dengan kemampuan yang dimilikinya.

3. Aspek sosial, meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan individu

dan penilaian individu terhadap peranan tersebut. Misalnya, individu

sebagai siswa memiliki peranan wajib belajar.

4. Aspek moral, di dalamnya meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti

serta arah bagi kehidupan seseorang. Misalnya, menegakkan kebenaran

dan keadilan adalah kewajiban setiap manusia.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Pasao (1973) mengemukakan ada 10 faktor yang mempengaruhi konsep

diri, yaitu:

1. Faktor saya-bukan saya

Faktor bukan saya dapat diartikan pengenalan diri yang mengandung

pemahaman akan perbedaan antara dirinya yang ingin dimiliki (ideal- self)

dengan diri yang sebenarnya (real-self).

2. Faktor emosi

Faktor emosi yaitu kemampuan seseorang untuk mengarahkan energi

emosinya dalam kehidupan sehari-hari ke saluran ekspresi yang

bermanfaat dan dapat diterima secara sosial.

3. Faktor pengarahan
Tujuan Faktor pengarahan tujuan yaitu kemampuan seseorang untuk

berupaya mencapai tujuan dalam hidupnya atau cita-cita yang ingin

dicapai dalam jangka waktu tertentu.

4. Faktor penerimaan sikap

Faktor penerimaan sikap yaitu kemampuan remaja dalam menerima reaksi

atau tindakan dari orang lain mengenai dirinya.

5. Faktor hubungan keluarga

Hubungan keluarga maksudnya adalah kualitas hubungan antara orang tua

dengan anak. Coopersmith (dalam Rofiqoh et al., 2018) mengatakan

kondisi keluarga yang tidak harmonis dapat menyebabkan remaja

memiliki konsep diri yang rendah.

6. Faktor hubungan dengan teman

Hubungan dengan teman dapat menimbulkan rasa cinta yang terwujud

dalam bentuk penerimaan terhadap diri sendiri ataupun penerimaan

terhadap teman.

7. Faktor identitas

Faktor identitas yaitu kemampuan seseorang untuk belajar memiliki dan

membentuk gambaran mengenai dirinya sendiri.

8. Faktor perasaan diri


Pengembangan perasaan diri pada usia remaja bersifat aktif serta

partisipatif dengan menggunakan segala sarana yang ada di lingkungan

sekitarnya.

9. Faktor harga diri

Harga diri merupakan hasil evaluasi yang berdasarkan interaksi remaja

dengan lingkungan, atau hasil penerimaan, penghargaan dan perlakuan

orang lain terhadap remaja (Elkins, 1979 dalam Aristya & Rahayu, 2018).

10. Faktor kepercayaan diri

Kepercayaan diri ini bertujuan untuk meningkatkan citra diri remaja

melalui tingkah laku yang didasarkan pada minat, gaya hidup dan nilai-

nilai kehidupan.

Pudjijogyanti (1985) mengungkapkan 4 hal yang dapat mempengaruhi

konsep diri seseorang, yaitu:

1. Citra diri

Citra fisik mencakup keadaan fisik secara keseluruhan, misalnya rambut

lurus, kulit halus, tubuh gemuk, dan sebagainya. Burns (dalam

Pudjijogyanti, 1985 dalam H et al., 2017) menyatakan bahwa bentuk tubuh

mempunyai peranan dalam pembentukan kepribadian. Penilaian yang

positif terhadap keadaan fisik baik berasal dari diri sendiri maupun orang

lain sangat membantu perkembangan konsep diri ke arah positif. Hal ini

disebabkan penilaian positif terhadap diri sendiri.

2. Jenis kelamin
Penetapan apakah individu digolongkan sebagai laki-laki atau perempuan

dilakukan melalui penentuan jenis kelamin berdasarkan fakta-fakta

biologisnya. Perbedaan peran kedua jenis kelamin tersebut, menimbulkan

adanya perbedaan dalam memberi perlakuan. Budiman (dalam

Pudjijogyanti, 1985 dalam H et al., 2017) mengemukakan bahwa

perbedaan peran jenis kelamin dapat mengakibatkan perempuan bersikap

negatif terhadap dirinya. Penelitian Douvan & Adelson (1985)

menyatakan bahwa konsep diri laki-laki dipengaruhi prestasinya

sedangkan konsep diri perempuan dipengaruhi oleh daya tarik dan

popularitasnya.

3. Perilaku orang tua

Keluarga merupakan lingkungan pertama dalam membentuk konsep diri

anak karena lingkungan keluarga pertama kali menanggapi perilaku

individu. Studi yang dilakukan oleh Coopersmith (Burns dalam

Pudjijogyanti, 1985) menyatakan bahwa kondisi keluarga yang buruk

dapat menyebabkan konsep diri anak menjadi rendah.

4. Faktor sosial

Konsep diri dapat dipengaruhi oleh adanya interaksi individu dengan

orang lain di sekitarnya. Konsep diri yang dipengaruhi oleh persepsi orang

lain terhadap individu maka dapat dikatakan bahwa individu yang

berstatus sosial tinggi akan memiliki konsep diri lebih positif

dibandingkan individu yang berstatus sosial rendah. Rais (dalam Gunarsa,

1986) mengemukakan faktor lingkungan yaitu bagaimana reaksi orang lain


terhadap dirinya atau tingkah lakunya, bagaimana pujian-pujian atas segala

prestasi yang dibuat ataupun segala hukuman atas kesalahan-kesalahannya

akan membentuk suatu konsep tentang dirinya sendiri.

Berdasarkan beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep

diri maka disimpulkan bahwa perkembangan konsep diri dipengaruhi oleh

citra diri mencakup keadaan fisik secara keseluruhan, jenis kelamin, perilaku

orang tua, faktor sosial yang mencakup interaksi individu dengan orang lain di

sekitarnya.

2.2.5 Komponen-komponen Konsep Diri

Menurut Sunaryo (2004) terdapat lima komponen konsep diri, yaitu:

1. Gambaran Diri (Body Image),

2. Ideal Diri (Self Ideal)

3. Harga Diri (Self Esteem)

4. Peran Diri (Self Role)

5. Identitas Diri (Self Identity).

Gambaran diri adalah sikap individu terhadap tubuhnya, baik secara sadar

maupun tidak sadar, meliputi: performance, potensi tubuh, fungsi tubuh, serta

persepsi dan perasaan tentang ukuran dan bentuk tubuh. Cara individu

memandang diri berdampak penting terhadap aspek psikologis. Individu yang

stabil, realistik, dan konsisten terhadap gambaran dirinya, dapat mendorong

sukses dalam kehidupan.

Ideal diri adalah persepsi individu tentang perilakunnya, disesuaikan

dengan standar pribadi yang terkait dengan cita-cita, harapan, dan keinginan,
tipe orang yang diidam-idamkan, dan nilai yang ingin dicapai. Sementara

harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai, dengan cara

menganalisi seberapa jauh perilaku individu tersebut sesuai dengan ideal diri.

Harga diri dapat diperoleh melalui orang lain dan diri sendiri. Aspek utama

harga diri adalah dicintai, disayangi, dikasihi orang lain dan mendapat

penghargaan dari orang lain. Kompenen lainnya dalah peran diri yang

diartikan sebagai pola perilaku, sikap, nilai, dan aspirasi yang diharapkan

individu berdasarkan posisinya di masyarakat.(Sunaryo, 2004).

Merujuk pada pengertiannya, bahwa konsep diri merupakan gamabaran

diri secara utuh maka disimpulkan bahwa komponen konsep diri meliputi

gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri dan identitas diri.

2.3 Konsep Dasar Penyesuaian Diri

2.3.1 Pengertian Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964 dalam Meidiana Pritaningrum, 2017)

penyesuaian diri adalah suatu proses yang meliputi respon mental dan

perilaku, dalam hal ini individu akan berusaha mengatasi ketegangan, frustasi,

kebutuhan, dan konflik yang berasal dari dalam dirinya dengan baik dan

menghasilkan derajat kesesuaian antara tuntutan yang berasal dari dalam

dirinya dengan dunia yang obyektif tempat individu hidup.


Penyesuaian diri adalah proses yang melibatkan respon mental dan tingkah

laku dimana individu berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam

dirinya, mengatasi ketegangan, frustasi dan konflik guna meningkatkan

keseimbangan antara kebutuhan dari dalam diri individu dan lingkungan

(Schneiders, 1964 dalam Azizah, 2021).

Kemampuan setiap individu tidaklah selalu sama. Ada yang mampu

menyesuaikan diri tetapi ada juga individu yang tidak mampu menyesuaikan

diri. Berhasil tidaknya remaja melakukan penyesuaian diri dipengaruhi oleh

dua faktor yaitu faktor dari dalam diri (internal) dan faktor dari luar

(eksternal).

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964 dalam Ali & Asrori, 2004) ada lima faktor yang

mempengaruhi proses penyesuaian diri pada remaja, diantaranya yaitu:

1. Kondisi fisik

2. Kepribadian

3. Proses belajar

4. Lingkungan

5. Agama serta budaya

Menurut Fatimah (2006), proses penyesuaian diri sangat dipengaruhi oleh

faktor - faktor yang menentukan kepribadian itu sendiri, baik internal maupun
eksternal. Adapun faktor internal yaitu : faktor fisiologis, faktor psikologis

yang mencakup faktor pengalaman, seperti : persepsi, kematangan emosi,

harga diri dan lain-lain, faktor belajar, determinasi diri, dan faktor konflik.

Sedangkan faktor eksternal meliputi kematangan sosial, moral, faktor

lingkungan, agama dan budaya. Faktor yang dapat mempengaruhi

penyesuaian diri dikelompokkan menjadi dua kelompok menurut Soeparwoto

(2004) yang terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor internal, meliputi :

1) Motif, merupakan dorongan-dorongan sosial seperti dorongan untuk

berprestasi, dorongan untuk menjadi lebih unggul didalam

lingkungan, dorongan untuk bersosialisasi.

2) Self-concept atau konsep diri, bagaimana individu memandang dirinya

sendiri serta sikap yang dimilikinya, baik terkait degan dimensi fisik,

karakteristik individual dan motivasi diri. Selain itu, meliputi

kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh dirinya, dan juga kekurangan

atau kegagalan dirinya. Individu yang memiliki konsep diri yang

positif akan mampu menyesuaiakan diri dan menyenangkan

dibandingkan dengan individu yang memiliki konsep diri yang buruk.

3) Persepsi, adalah proses pengamatan dan penilaian melalui kognitif

maupun afeksi individu terhadap objek, peristiwa dalam pembentukan

konsep baru.

4) Sikap, merupakan kesiapan atau kesediaan individu untuk bertindak.

Individu dengan sikap yang baik cenderung lebih mudah dalam


menyesuaikan diri dengan lingkungan dibandingkan dengan individu

yang memiliki sikap tidak baik.

5) Intelegensi dan minat, intelegensi sebagai langkah awal dalam

berinteraksi atau proses penyesuaian diri, dengan intelegensi individu

dapat menganalisis dan menalar, selain itu degan adanya minat

terhadap sesuatu akan membatu mempercepat proses penyesuaian diri

individu.

6) Kepribadian, prinsipnya individu yang memiliki kepribadian

ekstrovert cenderung mudah menyesuaiakan diri dibandingkan dengan

individu yang memiliki kepribadian introvert.

2. Faktor eksternal

1) Keluarga, Keluarga merupakan pintu awal individu dalam belajar

berinteraksi dengan individu lainnya. Pada dasarnya pola asuh akan

menentukan kemampuan penyesuaian diri individu, keluarga yang

menganut pola asuh demokrasi akan memberikan kesempatan lebih

kepada individu untuk berproses dalam penyesuaian diri secara lebih

baik.

2) Kondisi Sekolah, Sekolah dengan lingkungan kondusif akan sangat

mendukung individu agar dapat bertindak dalam proses penyesuaian

diri dengan lingkungannya secara selaras.

3) Kelompok Sebaya, Kelompok sebaya akan mempengaruhi proses

penyesuaian diri individu, kelompok sebaya dapat menjadi sarana


yang baik dalam proses penyesuana diri. Namun, ada juga yang

sebaliknya sebagai penghambat proses penyesuaian diri individu.

4) Prasangka Sosial, Prasangka sosial akan menghambat proses

penyesuaian diri individu apabila masyarakat memberikan label yang

negatif kepada individu seperti nakal, suka melanggar peraturan,

menentang orang tua dan sebagainya.

5) Hukum dan Norma, Hukum dan norma akan membentuk penyesuaian

diri yang baik, apabila masyarakat konsekuen dalam menegakkan

hokum dan norma yang berlakku di dalam masyarakat.

2.3.3 Aspek-Aspek Penyesuaian Diri

Schneiders (1984 dalam Husna, 2017) meninjau aspek-aspek penyesuaian

diri dari tiga sudut pandang yaitu:

1. Penyesuaian diri sebagai adaptasi (Adaptation)

Jika penyesuaian diri hanya diartikan sama dengan usaha mempertahankan

diri, maka hanya selaras dengan keadaan fisik saja, bukan penyesuaian

dalam arti psikologis. Akibatnya adanya hubungan kepribadian individu

dengan lingkungan yang menjadi terabaikan. Padahal dalam penyesuaian

diri sesungguhnya tidak hanya penyesuaian fisik, melainkan yang lebih

penting lagi adalah adanya keunikan dan keberadaan kepribadian individu

dalam hubungannya dengan lingkungan.

2. Penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (Conformity)

Selainjutnya penyesuaian diri diartikan sama dengan penyesuaian yang

mencakup konformitas terhadap norma. Dengan mengartikan penyesuaian


diri sebagai usaha konformitas , menyiratkan bahwa di sana individu

seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus selalu mampu

menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku baik secara normal,

sosial, mapupun emosional.

3. Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (Mastery)

Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery) yaitu kemampuan

untuk merencanakan dan mengorganisasikan respon dalam cara-cara

tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan dan frustasi tidak terjadi.

Dari tiga sudut pandang tersebut dapat disimpulkan bahwa penyesuian diri

merupakan suatu proses yang mencakup respon mental yang diperjuangkan

individu agar berhasil menghadapi kebutuhan- kebutuhan internal,

ketegangan, konflik, frustasi serta dapat menyelaraskan antara tuntutan dari

dalam diri dengan tuntutan lingkungan tempat individu berada.

2.3.4 Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik

Scheneiders (1964 dalam Maghfur, 2018) mengemukakan beberapa

kriteria penyesuaian yang tergolong baik (well adjustment) ditandai dengan:

1. Pengetahuan dan tilikan terhadap diri sendiri,

2. Obyektivitas diri dan penerimaan diri,

3. Pengendalian diri dan perkembangan diri,

4. Keutuhan pribadi,

5. Perspektif, skala nilai dan filsafat hidup memadai,

6. Rasa humor,

7. Rasa tanggung jawab,


8. Kematangan respon,

9. Perkembangan kebiasaan yang baik,

10. Adaptabilitas,

11. Memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain, dan

12. Kepuasan dalam bekerja dan bermain

Schneiders (1964 dalam Nova, dkk, 2020) mengungkapkan bahwa

individu yang memiliki penyesuaian yang baik (well adjusted person) adalah

mereka dengan segala keterbatasannya, kemampuannya serta kepribadiannya

telah belajar untuk bereaksi terhadap diri sendiri dan lingkungannya dengan

cara efisien, matang, bermanfaat, dan memuaskan. Sebaliknya individu yang

tidak berhasil melakukan penyesuaian sosial dengan baik akan mengalami

ketidakbahagiaan dan terbiasa untuk tidak menyukai dirinya sendiri.

Akibatnya kemudian berkembang menjadi individu yang egosentris, introvert,

tidak sosial, atau bahkan anti sosial yang keberhasilan dan kebahagiaan masa

dewasanya terganggu.

2.4 Konsep Dasar Remaja

2.4.1 Pengertian Remaja

Menurut WHO (Who Health Organization) bahwa definisi remaja

dikemukakan melalui tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan

sosialekonomi. Sehingga dapat dijabarkan bahwa remaja adalah suatu masa


dimana individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda

seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan sosial. Individu

yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak-

anak menjadi dewasa. Serta individu yang mengalami peralihan dari

ketergantungan menjadi keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono, 2013

(dalam Kania Saraswatia dkk., 2017).

Remaja dapat didefinisikan dari beberapa sudut pandang, yaitu remaja

merupakan individu yang berusia 11-12 tahun sampai 20-21 tahun. Remaja

merupakan individu yang menglami perubahan pada penampilan fisik,

maupun perubahan psikologis. Remaja merupakan masa yang penting dalam

perjalanan kehidupan manusia. Masa remaja ini merupakan jembatan antara

masa kanakkanak yang bebas menuju masa dewasa yang menuntut tanggung

jawab (Kusmiran, 2011 dalam Kania Saraswatia dkk., 2017).

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa remaja yaitu

individu yang berusia 11-12 tahun sampai 20-21 tahun. Dimana remaja

merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa dimana

individu tersebut mengalami perubahan-perubahan secara fisik, maupun

psikologis, serta masa dimana individu tersebut dituntut untuk bertanggung

jawab

2.4.2 Ciri-Ciri Remaja

Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan

periode sebelumnya (Hurlock, 1991 dalam Anjastya & Pratiwi, 2020). Ciri-

ciri tersebut adalah:


1. Masa remaja sebagai periode yang penting

Masa remaja dianggap periode yang penting karena akibatnya langsung

terhadap sikap dan perilaku, juga karena akibat jangka panjang.

2. Masa remaja sebagai periode peralihan

Dalam periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat

keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan

lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Perubahan-perubahan yang terjadi selama masa remaja adalah:

1) Meningginya emosi.

2) Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok

sosialnya.

3) Dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga

berubah.

4) Bersikap ambivalen. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan

tetapi sering takut bertanggung jawab akan akibatnya.

4. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

Ada dua alasan remaja sulit mengatasi masalah:

1) Masalah yang dialami sepanjang masa kanak-kanak, diselesaikan oleh

orang tua dan guru-guru, sehingga sebagian besar tidak

berpengalaman dalam mengatasi masalah yang terjadi.


2) Remaja yang merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi

masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pada tahun-tahun awal remaja, penyesuaian diri terhadap kelompok masih

tetap penting bagi remaja, namun lambat laun mereka mendambakan

identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-

teman dalam segala hal seperti sebelumnya.

6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan.

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak

rapi, tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku

merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan

mengawasi kehidupan remaja yang takut bertanggung jawab.

7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realitik.

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana

yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-

cita.

8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan

status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-

obatan dan terlibat perbuatan seks.


2.4.3 Remaja Kelas VII

Menurut sistem pendidikan di Indonesia, siswa kelas VII merupakan

peserta didik di sekolah formal yang sedang menjalani tingkatan VII dan

sudah melampaui tingkatan wajib belajar 6 tahun.

Siswa kelas X termasuk dalam kategori masa remaja awal dan pertengahan

karena pada umumnya mereka berusia 13-15 tahun. Hal ini diteliti oleh

Monks, dkk. (1998) yang dengan cermat menganalisis mengenai semua aspek

perkembangan pada masa remaja, dan melakukan pembagian usia pada masa

remaja. Salah satu pembagian usia yang dilakukannya adalah umur 12-15

tahun merupakan masa remaja awal dan umur 15-18 tahun merupakan masa

remaja pertengahan.

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa ciri-ciri masa remaja adalah :

masa remaja sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode

peralihan, masa remaja sebagai periode perubahan, masa remaja sebagai usia

bermasalah, masa remaja sebagai masa mencari identitas, masa remaja sebagai

masa yang menimbulkan ketakutan, masa remaja sebagai masa yang tidak

realistik, masa remaja sebagai masa ambang dewasa. Pembagian usia remaja

adalah umur 12-15 tahun merupakan masa remaja awal dan umur 15-18 tahun

merupakan masa remaja pertengahan.


BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan

dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel (baik

variabel yang diteliti maupun variabel yang tidak diteliti) (Nursalam, 2017).

Faktor yang mempengaruhi


penyesuaian diri :
Komponen Konsep Diri :
1. Faktor eksternal
2. Faktor internal 1. Gambaran Diri (Body
1) Motif Image),
2) Self konsep/konsep diri 2. Ideal Diri (Self Ideal)
3) Persepsi 3. Harga Diri (Self Esteem)
4) Sikap 4. Peran Diri (Self Role)
5) Intelegensi 5. Identitas Diri (Self
6) Minat Identity).
7) Kepribadian
(Soeparwoto, 2004)

Penyesuaian Diri
Keterangan :

= Diteliti

= Tidak Diteliti

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian Hubungan Antara Konsep Diri


Dengan Penyesuaian Diri Pada Remaja Kelas VII Pondok
Pesantren Di Kecamatan Tuban
3.2 Penjelasan Kerangka Konsep

Gambar 3.1 diatas dapat dijelaskan bahwasanya Faktor yang dapat

mempengaruhi penyesuaian diri dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok,

yaitu 1) Faktor Eksternal, dimana faktor eksternal meliputi : keluarga, kondisi

sekolah, kelompok sebaya, prasangka sosial, hukum dan norma. 2) Faktor

Internal, dimana faktor internal meliputi : motif, self-concept atau konsep diri,

persepsi, sikap, intelegensi dan minat, serta kepribadian. (Soeparwoto, 2004

dalam Garnis & Widyastuti, 2021). Salah satu faktor yang mempengaruhi

penyesuaian diri adalah konsep diri. Konsep diri berperan dalam melakukan

penyesuaian diri. Komponen Konsep Diri : 1) Gambaran Diri (Body Image),

2) Ideal Diri (Self Ideal), 3) Harga Diri (Self Esteem), 4) Peran Diri (Self

Role), 5) Identitas Diri (Self Identity). Kemampuan dalam menyesuaikan diri

dimiliki individu yang mempunyai konsep diri positif, sehingga terciptanya

hubungan baik dengan orang-orang disekelilingnya.

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pertanyaan penelitian (Nursalam, 2020). Dari kerangka konsep diatas, dapat

dikemukakan penelitian :

H1 : Ada Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Penyesuaian Diri Pada

Remaja Kelas VII Pondok Pesantren Di Kecamatan Tuban


BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan soal strategi untuk mencapai tujuan

penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penelitian

pada seluruh proses penelitian (Nursalam, 2013)

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah “analitik”

yang menguji ada tidaknya hubungan antara variabel, dengan pendekatan

“cross sectional” yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran

atau observasi dari data variabel independen dan dependen hanya satu kali

pada saat itu, pada jenis ini, variabel independen dan dependen dinilai secara

stimulant pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut. Tentu tidak semua

subjek oenelitan harus diobservasi pada hari atau waktu yang sama, tetapi

variabel independen atau dependen diukur hanya satu kali saja (Nursalam,

2013).

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

4.4.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian merupakan seluruh subjek atau objek dengan

karakteristik tertentu yang akan diteliti. Bukan hanya objek atau subjek yang

dipelajari tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek atau objek

tersebut (Hidayat, 2007)


Pada penelitian ini populasi yang akan dijadikan sampel yaitu seluruh

siswa kelas VII MTs Ma`ad Hidayatun Najah, SMP Tahfidz Enterpreneur

Khairunnas, SMPIT Al Uswah Tuban Tahun Ajaran 2021/2022.

4.4.2 Sampel Penelitian

Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan

sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2008). Sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian siswa kelas VII MTs Ma`ad

Hidayatun Najah, SMP Tahfidz Enterpreneur Khairunnas, SMPIT Al Uswah

Tuban Tahun Ajaran 2021/2022.

Kriteria yang akan dijadikan sampel penelitian adalah kriteria inklusi.

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2011).

1. Kriteria Inklusi

1) Siswa kelas VII MTs Ma`ad Hidayatun Najah, SMP Tahfidz

Enterpreneur Khairunnas, SMPIT Al Uswah Tuban Tahun Ajaran

2021/2022.

2) Siswa yang masuk sekolah saat penelitian dilakukan

3) Siswa yang bersedia dijadikan responden

4.4.3 Besar Sampel

Besar sampel adalah banyaknya anggota yang dijadikan sampel

(Nursalam, 2008). Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan besarnya

sampel penelitian ini adalah :


N
n=
1+ N ( d )2

Keterangan :

n = besar sampel

N = jumlah populasi

d = tingkat signifikan (0,05)

Berdasarkan rumus diatas, bila diketahui :

N
n=
1+ N ( d )2

312
n=
1+312 ( 0,05 )2

312
n=
1+0,78

312
n=
1,78

n=175

Jadi, besar sampel untuk penelitian ini adalah 175 orang

4.4.4 Tehnik Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh

dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai

dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2017). Penelitian ini

menggunakan tehnik probability sampling dengan jenis cluster sampling.

Prinsip utama probability sampling adalah bahwa setiap subjek dalam

populasi mempunyai kesempatan untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai


sampel (Nursalam, 2020). Untuk jenis cluster sampling ini dapat

dipergunakan dalam dua situasi. Pertama, jika simple random sampling tidak

memungkinkan karena alasan jarak dan biaya; kedua peneliti tidak mengetahui

alamat dari populasi secara pasti dan tidak memungkinkan menyusun

sampling frame. Misalnya, peneliti ingin meneliti anak yang mengalami stres

hospitalisasi. Maka peneliti mengambil sampel pada klien anak berdasarkan

tempat klien dirawat (dirumah sakit A,B,C) yang mempunyai karakteristik

yang berbeda.

4.3 Kerangka Operasional

4.4 Variabel Peneltian

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda

terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lainnya) (Soeparto, Putra, & Haryanto,

2000). Dalam riset, variabel dikarakteristikkan sebagai derajat, jumlah, dan

perbedaan. Variabel juga merupakan konsep dari berbagai level abstrak yang

didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk pengukuran dan atau manipulasi

suatu penelitian (Nursalam, 2020).

4.4.1 Variabel Independen

Variabel yang memengaruhi atau nilainya menentukan variabel lain. Suatu

kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu dampak

pada variabel dependen. Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati, dan


diukur untuk diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap variabel lain.

(Nursalam, 2020). Variabel independen pada penelitian ini adalah konsep diri.

4.4.2 Variabel Dependen

Variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel

respons akan muncul sebagai akibat dari manipulasi variabel-variabel lain.

Dalam ilmu perilaku, variabel terikat adalah aspek tingkah laku yang diamati

dari suatu organisme yang dikenai stimulus. Dengan kata lain, variabel terikat

adalah faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya

hubungan atau pengaruh dari variabel bebas (Nursalam, 2020). Variabel

dependen dari penelitian ini adalah self adaptation.

4.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari sesuatu yang didefinisikan. Karakteristik yang dapat diamati (diukur)

artinya memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran

secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Nursalam, 2017).

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen adalah alat ukur yang disusun oleh penliti yang disesuaikan

dengan tujuan penelitian (tujuan khusus) untuk dapat mengukur apa yang

seharusnya diukur dan apa yang memberikan gambaran terhadap perbedaan

subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010).

4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian


4.8 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

4.9 Analisa Data

4.10 Kerangka Kerja

4.10 Etika Penelitian


Nursalam. (2020). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis (P. P.
Lestari (ed.); Edisi 5). Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai