Anda di halaman 1dari 399

PANDUAN KETERAMPILAN

KLINIS
(Bagian 1)

EDITOR :
Indonesian Skills Laboratory Network and
Development (ISLaND)
Panduan Keterampilan Klinis
(Bagian 1)

Editor : Indonesian Skills Laboratory Network and


Development (ISLaND)

© 2020

Diterbitkan Oleh: Bekerjasama dengan:


Cetakan Pertama, Mei 2020
Ukuran/ Jumlah hal: 14,8 x 21 mm / 399 hlm
Layout : Fitri
Cover: Emjy

ISBN : 978-602-5815-84-3

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Ketentuan Pidana Pasal 112 - 119. Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi,
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
KATA
PENGANTAR

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan medis


di Indonesia, institusi pendidikan kedokteran terus
berupaya untuk menghasilkan dokter yang kompeten
dan terstandarisasi. Upaya ini tercermin dalam
penerapan berbagai inovasi metode pendidikan.
Pembelajaran keterampilan medis di laboratorium
keterampilan medis (skills laboratory) adalah salah satu
upaya yang dilakukan institusi pendidikan kedokteran
untuk memaparkan mahasiswa pada kompetensi
keterampilan klinis sejak tahun-tahun awal pendidikan.
Di laboratorium keterampilan medis, mahasiswa dapat
melatih kemampuan psikomotor dalam situasi simulasi
yang aman, terstruktur, dan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan pembelajaran.
Pembelajaran keterampilan medis di Indonesia
masih menghadapi berbagai tantangan, salah
satunya adalah materi pembelajaran yang belum
terstandarisasi. Sementara itu persiapan penerapan
ujian OSCE sebagai bagian dari exit exam telah
dilakukan. Tantangan dan permasalahan yang sedang
dihadapi oleh berbagai fakultas kedokteran di Indonesia
ini akhirnya diangkat menjadi salah satu topic diskusi
dalam pertemuan PEPKI di Bali pada tahun 2011 yang

| i
dihadiri oleh para dekan fakultas kedokteran seluruh
Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan
tersebut, pada tahun 2012, sebuah pertemuan nasional
di Jakarta telah menghasilkan suatu kesepakatan
berbagai institusi pendidikan untuk bersama-sama
memperkuat upaya pembelajaran keterampilan medis
di Indonesia. Wujud komitmen ini adalah suatu jejaring
yang bernama ISLaND (Indonesian Skills Laboratory
Network and Development), yang kemudian menjadi
salah satu taskforce Asosiasi Institusi Pendidikan
Kedokteran Indonesia (AIPKI). Dalam jejaring ini,
institusi pendidikan bersama-sama membuat modul-
modul pembelajaran keterampilan medis yang
disepakati secara nasional.
Draf awal tiap-tiap modul ditulis oleh staf
pengajar dari berbagai universitas. Draft tersebut
kemudian dikaji oleh staf pengajar dari universitas
lain, dan direvisi. Proses ini berjalan bersama
dengan diselenggarakannya berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kemampuan staf pengajar
untuk menjadi fasilitator dan pengelola laboratorium
keterampilan medis. Beberapa modul awal bahkan
sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk
dikaji oleh beberapa pakar pembelajaran keterampilan
medis di luar negeri, antara lain dr Pie Bartholomeus
yang merupakan mantan instruktur dan pengelola
Laboratorium Keterampilan Medis di Maastricht
University The Netherlands. Terakhir, bulan Desember
2017, draft ini dikaji dan diberi masukan oleh kolegium
terkait.
Sebagai catatan, di tingkat nasional terdapat
buku panduan keterampilan klinis yang diterbitkan
oleh Ikatan Dokter Indonesia. Isi kedua buku ini tidak
bertentangan. Buku panduan keterampilan klinis
dari IDI hadir sebagai panduan di ranah profesional,

ii |
sedangkan buku ini hadir sebagai bahan rujukan
dalam proses pembelajaran. Buku ini banyak merujuk
buku yang diterbitkan oleh IDI, sementara buku ini juga
melengkapi buku yang diterbitkan oleh IDI.
Proses pengembangan modul ini memang
panjang, berkelok, dan banyak mengalami berbagai
tantangan. Kami berterima kasih atas semua pihak
yang pernah menjadi tuan rumah pertemuan-
pertemuan ISLaND seperti Universitas Indonesia dan
Universitas Pelita Harapan di Jakarta, Universitas
Airlangga di Surabaya, Universitas Hasanudin di
Makasar, Universitas Gajah Mada di Yogyakarta,
dan Universitas Pajajaran di Bandung. Terima
kasih juga atas dukungan dari Health Professional
Education Quality Project terutama di awal-awal
proses pengembangan modul; dari Panitia Nasional
Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter
(PNUKMPPD) pada proses pengkajian dan revisi,
serta dukungan dari AIPKI di sepanjang proses. Kami
juga berterima kasih secara khusus kepada dr. Pie
Bartholomeus yang telah membidani lahirnya ISLaND
dan memfasilitasi persiapan pembuatan modul
keterampilan medis ini sejak awal.
Singkat kata, buku ini adalah karya dan
persembahan anak bangsa, sebagai salah satu wujud
kolaborasi antar institusi pendidikan kedokteran di
Indonesia. Buku ini hadir dari kita untuk para calon
dokter Indonesia.

Surabaya, Januari 2020

ISLaND

| iii
KATA
PENGANTAR
KETUA AIPKI
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dokter merupakan profesi yang membutuhkan


kemampuan pengetahuan, keterampilan dan perilaku
yang terstandar dan terukur untuk melaksanakan
proses pelayanan kesehatan melalui praktik
kedokterannya. Untuk itu, dalam proses pendidikan
kedokteran, institusi pendidikan kedokteran mengacu
pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
sebagai standar minimal bagi kompetensi lulusan
sebagai dokter.
Dalam sistematika penulisan SKDI, bagian
lampiran terdapat acuan jenis keterampilan yang
dibutuhkan bagi profesi dokter. Pada pelaksanaan
pendidikan di setiap institusi pendidikan kedokteran,
pelatihan keterampilan klinis bagi mahasiswa
sering terdapat kendala berupa perbedaan langkah
melakukan keterampilan. Hal ini terjadi karena adanya
variasi keterampilan yang dilaksanakan di institusi
pendidikan baik karena buku acuan yang digunakan
institusi berbeda, maupun karena adanya kebiasaan
yang diterapkan di institusi yang tidak sama. Untuk itu,

iv |
dibutuhkan suatu panduan minimal bagi pelaksanaan
pelatihan keterampilan klinis di Indonesia.
AIPKI sebagai organisasi institusi pendidikan
kedokteran menjadi wadah yang tepat untuk
menyusun panduan keterampilan klinis bagi
mahasiswa kedokteran. Alhamdulillah, puji dan syukur
kita panjatkan kehadirat Tuhan YME bahwa panduan
keterampilan klinis edisi pertama bagi mahasiswa
kedokteran ini telah dapat diselesaikan dengan baik.
Langkah penyusunan yang cukup panjang dengan
melibatkan staf pengajar dari berbagai institusi
pendidikan kedokteran telah membuahkan hasil yang
diharapkan. Oleh karena itu, Ketua AIPKI mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepada semua
anggota tim ISLaND (Indonesian Skills Laboratory
Network and Development) sebagai penyusun yang
telah bekerja keras dan perlahan tetapi pasti telah
menyelesaikan amanah yang diberikan. Demikian pula
terima kasih juga saya sampaikan kepada semua staf
pengajar dari berbagai institusi pendidikan kedokteran
dan dari berbagai bidang spesialisasi yang membantu
berkontribusi dalam penyusunan panduan ini.
Panduan keterampilan klinis ini diharapkan
dapat dimanfaatkan oleh institusi pendidikan
kedokteran sebagai rujukan bagi Program Studi
Kedokteran dalam melatih mahasiswa dan dalam
menyiapkan sarana & prasarananya. Penguasaan
keterampilan yang terstandar akan menjamin lulusan
dokter dari berbagai institusi pendidikan kedokteran
dapat memberikan kualitas pelayanan kesehatan yang
setara dan optimal di berbagai wilayah Indonesia. Hal
ini sangat penting karena kita harus meningkatkan
capaian lulusan dokter Indonesia agar dapat bersaing
di era MEA dengan tuntutan industri 4.0. Di akhir kata,
panduan ini terbuka terhadap saran dan masukan

| v
dari setiap institusi pendidikan kedokteran sehingga
panduan ini menjadi lebih baik lagi.
Demikian, semoga kehadiran buku panduan ini
bermanfaat untuk kita semua.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, Agustus 2019


Ketua Asosiasi
Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia

Dr.Mahmud Ghaznawie PhD, Sp.PA(K)

vi |
TIM EDITOR &
KONTRIBUTOR

EDITOR
dr. Lukas Daniel Leatemia, M.Kes, M.Pd.Ked, M.Sc
(Universitas Mulawarman)

dr. Fika Ekayanti, M.Med.Ed


(Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

dr. Adisti Dwijayanti, M.Biomed


(Universitas Indonesia)

dr. Hemma Yulfi, DAP&E, M.Med.Ed 


(Universitas Sumatera Utara)

dr. Fundhy Sinar Ikrar Prihatanto, M.Med.Ed


(Universitas Airlangga)

dr. Astrid Pratidina Susilo, Sp.An, PhD


(Universitas Surabaya)

dr. Oktarina, M.Sc


(Universitas Muhammadiyah Jakarta)

| vii
dr. Diantha Soemantri, M.Med.Ed, PhD
(Universitas Indonesia)

dr. July Ivone, MKK, M.Pd.Ked


(Universitas Kristen Maranatha)

dr. Kristanti Wanito Wigati, M.Si


(Universitas Airlangga)

dr. Detty Iryani, M.Pd.Ked


(Universitas Andalas)

dr. Natalia Puspadewi, M.Med.Ed


(Universitas Katolik Atma Jaya)

dr. Vivi Meidianawaty, M.Med.Ed


(Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon)

dr. Theo Audi Yanto, Sp.PD


(Universitas Pelita Harapan)

dr. Prattama Santoso


(Universitas Gajah Mada)

dr. Widyandana, MHPE, PhD, Sp.M


(Universitas Gajah Mada)

Dr. dr. Welly Ratwita, M.Kes


(Universitas Jenderal Achmad Yani)

dr. Anglita Yantisetiasti, Sp.PA


(Universitas Padjajaran)

dr. Kinik Darsono, M.Pd.Ked


(RSUD Soehadi Prijonegoro Sragen)

viii |
dr. Sari Puspa Dewi, MHPE
(Universitas Padjadjaran)

KONTRIBUTOR
Kesehatan Masyarakat-Kedokteran Keluarga
Dr. dr. Kusbaryanto, M.Kes, FISPH, FISCM
(Universitas Muhammadiyah Yogjakarta)

Dr. dr. Isti Ilmiati Fujiati, M.Sc.CM-FM, M.Pd.Ked


(Universitas Sumatera Utara)

Dr. dr. Retno Asti Werdhani, M.Epid


(Universitas Indonesia)

Dr. dr. Sulistiawati, M.Kes


(Universitas Airlangga)

Dr. Luh Seri Ani, SKM, M.Kes


(Universitas Udayana)

dr. July Ivone, MKK, M.Pd.Ked


(Universitas Kristen Maranatha)

Sistem Muskuloskeletal
dr. Jainal Arifin, M.Kes, Sp.OT(K)Spine
(Universitas Hasanuddin)

dr. Husna Dharma Putera, M.Si, Sp.OT


(Universitas Lambung Mangkurat)

| ix
Radiologi
dr. Ana Majdawati., M.Sc., Sp.Rad(K)
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

dr. Damayanti Sekarsari, Sp.Rad(K)


(Universitas Indonesia)

Dr. dr. Elysanti Dwi Martadiani, Sp.Rad(K)


(Universitas Udayana)

dr. Ilma Fiddiyanti, Sp.Rad., M.Kes


(Universitas Jenderal Achmad Yani)

dr. Hermina Sukmaningtyas, M.Kes., Sp.Rad(K)


(Ikatan Dokter Indonesia)

Gizi Klinik
dr. A. Yasmin Syauki, Sp.GK
(Universitas Hasanuddin)

dr. Tri Juli Edi, Sp.PD


(Universitas Indonesia)

dr. Nur Aini Djunet, M.Gizi


(Universitas Muhammadiyah Jakarta)

dr. Laksmi Sasiarini, Sp.PD-KEMD


(Universitas Brawijaya)

dr. Ulya Uti Fasrini, M.Biomed


(Universitas Andalas)

Prof. Dr. dr. Delmi Sulatri, MS., Sp.GK


(Universitas Andalas)

x |
dr. Meiliati Aminyoto, M.Kes, Sp.GK
(Universitas Mulawarman)

Psikiatri
dr. Yusri Hapsari, MKes, Sp.KJ
(Universitas Muhammadiyah Jakarta)

dr. Innawati J. M.Kes, Sp.KJ


(Universitas Diponegoro)

dr. Erikasavitri Yulianti, Sp.KJ


(Universitas Airlangga)

Dr. dr. Elmeida Effendy, Mked(KJ), Sp.KJ(K)


(Universitas Sumatera Utara)

dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ


(Universitas Jember)

Kegawatdaruratan
dr. Christijogo Sumartono, SpAn-KAR
(Universitas Airlangga)

dr. Djayanti Sari, MKes, Sp.An, KAP


(Universitas Gadjah Mada)

dr. Beni Indra, Sp.An


(Universitas Andalas)

dr. Dedi Fitri Yadi, Sp.An


(Universitas Padjadjaran)

dr. Bernardus Realino Harjanto, Sp.An


(Universitas Katolik Atma Jaya)

| xi
Mata
dr. Hendriati, Sp.M
(Universitas Andalas)

dr. Meriana Rasyid, Sp.M


(Universitas Tarumanegara)

dr. Riski Prihatningtias, Sp.M


(Universitas Diponegoro)

Laboratorium
dr. Vivi Keumala Mutiawati, Sp.PK
(Universitas Syiah Kuala)

dr. Dian Ariningrum, MKes, Sp.PK


(Universitas Sebelas Maret)

Dr. dr. Yani Triyani, M.Kes., Sp.PK


(Universitas Islam Bandung)

dr. Rinadewi Astriningrum, Sp.KK


(Ikatan Dokter Indonesia)

Penyakit Dalam
dr. Dimas, Sp.PD
(Universitas Hasanuddin)

dr. Tri Juli Edi Tarigan, Sp.PD-KEMD, FINASIM


(Universitas Indonesia)

dr. Wahyudi, Sp.PD


(Universitas Andalas)

xii |
dr. I Ketut Mariadi, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
(Universitas Udayana)

dr. Hendri Priyadi, M.Kes., M.Pd.Ked., SpPD


(Universitas Ahmad Yani)

dr. Yuniza, Sp.PD., KAI


(Universitas Sriwijaya)

dr. Theo Audi Yanto, Sp.PD


(Universitas Pelita Harapan)

dr. Candra Wibowo Sp.PD-KGH, FINASIM


(Universitas Trisakti)

dr. Robert Sinto, Sp.PD


(Kolegium Ilmu Penyakit Dalam)

Bedah
dr. Daniel Ardian Soeselo, Sp.B, Msi.Med
(Universitas Katolik Atma Jaya)

dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-KBD


(Universitas Sumatera Utara)

dr. Ratin Adira, Sp.B


(Universitas Pelita Harapan)

dr. Reny Purnamasari, M.Kes., Sp.B


(Universitas Muslim Indonesia)

| xiii
Forensik
dr. M. Ardhian Syaifuddin, Sp.F
(Universitas Indonesia)

dr. Syarifah Hidayah Fatriah, Sp.F


(Universitas Riau)

Dr.dr.Berti Nelwan, DFM, M.Kes, Sp.PA, Sp.F


(Universitas Hasanuddin)

dr. Nily Sulistyorini, Sp.F


(Universitas Airlangga)

dr. Beta Ahlam Gizela, Sp.F, DFM


(Universitas Gajah Mada)

Obstetri dan Ginekologi


dr. Moh. Nailul Fahmi, Sp.OG
(Universitas Gajah Mada)

dr. Julian Dewantiningrum, M.Si.Med, Sp.OG (K)


(Universitas Diponegoro)

dr. Mulyanusa Amarullah Ritonga, Sp.OG(K), M.Kes


(Universitas Padjadjaran)

Dr.dr. Arietta Rathmanaswari Pusponegoro, Sp.OG(K)


(Universitas Indonesia)

dr. Elizabeth Yusuf, Sp.OG


(Universitas Hasanuddin)

Prof. Dr. dr. John Wantania, Sp.OG(K)


(Universitas Sam Ratulangi)

xiv |
Neurologi
dr. Dedeh Supantini, Sp.S, M.Pd.Ked
(Universitas Kristen Maranatha)

dr. Jimmy F.A.Barus, Sp.S


(Universitas Katolik Atma Jaya)

dr. Yetty Octavia Hutahaean, Sp.S


(Universitas Mulawarman)

dr. Ilsa Hunaifi, Sp.S


(Universitas Mataram)

Jantung
dr. Chalid Tri T, Sp.JP
(Universitas Brawijaya)

Dr. dr. Muzakkir, Sp.JP


(Universitas Hasanuddin)

Paru
dr. Fathiyah Isbaniah, Sp.P(K), M.Pd.Ked
(Kolegium Pulmonologi Indonesia)

dr. Triwahju Astuti, M.Kes., Sp.P(K)


(Universitas Brawijaya)

| xv
Kulit dan Kelamin
dr. Aryati Yosi, Sp.KK
(Universitas Sumatera Utara)

Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, Sp.KK


(Universitas Indonesia)

dr. Vera Madonna Lumbantoruan, M.Kes., M.Ked(DV),


Sp.DV
(Universitas Mulawarman)

dr. Siti Aminah TSE, Sp.KK., M.Kes


(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

dr. Sasi Purwanti, Sp.KK


(Universitas Islam Malang)

Telinga, Hidung, dan Tenggorokan


dr. Ahmad Dian, Sp.THT
(Universitas Brawijaya)

dr. Agus Surono, Ph.D., M.Sc., Sp.THT-KL


(Universitas Gajah Mada)

dr. Muhammad Edy Syahputra Nst, M.Ked(ORL-HNS),


Sp.THT-KL
(Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)

Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.THT


(Universitas Sumatera Utara)

xvi |
Rehabilitasi Medik
dr. Indrayuni Lukitra Wardhani, Sp.KFR
(Universitas Airlangga)

dr. Tjie Haming Setiadi, Sp.KFR


(Universitas Tarumanegara)

dr. Yose Waluyo, Sp.KFR


(Universitas Hasanuddin)

dr. Massita Dwi Yuliani, Sp.KFR


(Universitas Jenderal Soedirman)

dr. Arnengsih, Sp.KFR., MMRS


(Universitas Padjadjaran)

Anak
dr. Aditiawati, Sp.A
(Universitas Sriwijaya)

dr. Bambang Edy Susyanto, Sp.A., M.Kes


(Universitas Muhammadiyah Yogjakarta)

dr. Tun Paksi Sareharto, MSi.Med, Sp.A


(Universitas Diponegoro)

dr. Herwanto, Sp.A


(Universitas Mataram)

dr. Amelia Dwi Fitri, M.Med.Ed


(Univesitas Jambi)

| xvii
KETENTUAN
UMUM

a) Panduan Keterampilan Klinis bagi Mahasiswa


Pendidikan Dokter ini memuat berbagai jenis
keterampilan klinis yang dapat digunakan oleh
mahasiswa pendidkan dokter maupun institusi
pendidikan dokter untuk melakukan pelatihan
di laboratorium keterampilan medis/ skillab di
institusi pendidikan dokter.
b) Bagi mahasiswa dan institusi tenaga kesehatan
lainnya harus menyesuaikan dengan standar
kompetensi profesinya masing-masing
c) Keterampilan klinis dalam panduan ini secara
umum merupakan tingkat kemampuan 4A
dan sebagian kecil tingkat kemampuan 3
pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia
(SKDI) tahun 2012 yang diterbitkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI).
d) Panduan ini tidak memuat seluruh teori
tentang keterampilan klinis, sehingga sangat
disarankan setiap mahasiswa dan institusi yang
menggunakan panduan ini harus memperhatikan
pengetahuan dan keterampilan yang harus
dimiliki sebelum keterampilan ini dilatih.
e) Penempatan masing-masing keterampilan di
dalam kurikulum harus menyesuaikan dengan
Pengetahuan dan Keterampilan yang harus

xviii |
dimiliki oleh mahasiswa yang tercantum dalam
setiap keterampilan.
f) Beberapa keterampilan klinis berisi variasi
prosedur keterampilan untuk memperkaya
pengetahuan dan keterampilan peserta didik.
Bagi pembuatan soal OSCE baik di tingkat
institusi/ lokal maupun di tingkat nasional
(UKMPPD), ketentuan ini diharapkan untuk
diperhatikan.
g) Dalam proses pelaksanaan pelatihan
keterampilan ini, intitusi/instruktur harus tetap
membuat rancangan pembelajaran.
h) Prosedur keterampilan klinis dapat berubah
seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
i) Panduan ini diakui oleh Panitia Nasional Uji
Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi
Dokter Indonesia dan Kemenristek Dikti untuk
dapat dipakai sebagai referensi pembuatan soal
OSCE UKMPPD.
j) Panduan ini juga diakui oleh Ikatan Dokter
Indonesia melalui kolegium pendidikan profesi
dan sejalan dengan Panduan Keterampilan Klinis
bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes) Primer yang dikeluarkan oleh
Ikatan Dokter Indonesia.

| xix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................... i
KATA PENGANTAR KETUA AIPKI.................................. iv
TIM EDITOR & KONTRIBUTOR.................................... vii
KETENTUAN UMUM....................................................xviii
DAFTAR ISI.................................................................... xx
DAFTAR GAMBAR..................................................... xxxiii
DAFTAR TABEL...........................................................xxvi
PENDAHULUAN........................................................ xxviii

TANDA VITAL...................................................................1
Pemeriksaan Tekanan Darah........................................4
Pemeriksaan Denyut Nadi............................................5
Pemeriksaan Pernapasan............................................6
Pemeriksaan Suhu.....................................................10
MATA..............................................................................14
Penilaian Penglihatan pada Bayi dan Anak................14
Penilaian Refraksi dan Tajam Penglihatan.................20
Pemeriksaan Lapang Pandang..................................26
Pemeriksaan Eksternal Mata dan Media Refraksi......30
Pemeriksaan Posisi Bola Mata...................................40

xx |
Pemeriksaan Tekanan Intraokular dengan Palpasi &
Tonometer Schiotz......................................................42
Penilaian Penglihatan Warna dengan Buku Ishihara 12
Plate............................................................................47
Pemeriksaan Funduskopi...........................................50
Pemberian Obat Tetes Mata dan Salep Mata.............52
Pencabutan Bulu Mata...............................................54
Membersihkan Benda Asing pada Konjungtiva..........56
KEGAWATDARURATAN................................................58
Bantuan Hidup Dasar.................................................58
Manajemen Jalan Nafas.............................................71
Penilaian Status Dehidrasi..........................................77
Resusitasi Cairan........................................................81
Manuver Heimlich/Abdominal Thrust..........................88
GIZI.................................................................................94
Penentuan Status Gizi Orang Dewasa
Berdasarkan IMT........................................................94
Penentuan Status Gizi Orang Dewasa Berdasar
Lingkar Pinggang......................................................104
Pengaturan Diet pada Pasien Obesitas....................109
Pengaturan Diet pada Pasien DM Tipe 2................. 116
PSIKIATRI....................................................................123
Anamnesis Psikiatri..................................................123
Diagnosis Multiaksial................................................131
Penilaian Status Mental............................................137
Penilaian Mini Mental State Examination (MMSE)...153
Merujuk pada Kasus Psikiatri dan Mengelola
Rujukan Balik............................................................159
Menetukan Prognosis pada Kasus Psikiatri.............165
KULIT DAN KELAMIN..................................................174
Pemeriksaan Fisik Kulit, Mukosa, dan Kuku.............174
Pemeriksaan Efloresensi Kulit..................................181
Pemeriksaan Genitalia Pria......................................189
SARAF.........................................................................193

| xxi
Pemeriksaan Rangsang Meningeal..........................193
Pemeriksaan Nervus Kranialis..................................198
Pemeriksaan Refleks Fisiologis................................216
Pemeriksaan Refleks Patologis................................223
Pemeriksaan Sistem Sensorik (Eksteroseptif dan
Proprioseptif)............................................................228
Pemeriksaan Sistem Motorik....................................233
Pemeriksaan Koordinasi...........................................245
Pemeriksaan Fungsi Luhur.......................................250
Pemeriksaan Neurologi Lainnya: Patrick dan
Kontra Patrick...........................................................255
FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL................................258
Pembuatan Visum et Repertum................................258
Penentuan Derajat Luka...........................................265
Prosedur Medikolegal...............................................278
Penerbitan Sertifikat Kematian.................................280
Pembuatan Surat Keterangan Medis........................281
Pemeriksaan Korban Trauma dan Deskripsi Luka...284
Pemeriksaan Luar pada Mayat.................................287
Pengambilan Muntahan atau Isi Lambung...............308
Pengambilan Urine...................................................310
Pengambilan Sampel Darah.....................................312
Buccal Swab.............................................................315
Pemeriksaan Selaput Dara.......................................317
Pemeriksaan Swab Vagina.......................................322
KEDOKTERAN KOMUNITAS.......................................328
Diagnosis Penyakit Akibat Kerja...............................328
Evaluasi Program (Puskesmas)...............................333
Skrining.....................................................................337
Diagnosis Komunitas................................................341
Surveilans.................................................................343
Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut..........................346
Rehabilitasi Sosial....................................................347
Diagnosis Holistik.....................................................350

xxii |
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Boneka atau mainan....................................15


Gambar 2. Snellen chart................................................15
Gambar 3. Lea symbol..................................................16
Gambar 4. Pemeriksaan mata pada anak.....................18
Gambar 5. Pemeriksaan visus dengan Snellen chart....22
Gambar 6. Pemeriksaan visus dengan hitung jari.........22
Gambar 7. Pemeriksaan konfrontasi.............................27
Gambar 8. Kelainan lapang pandang............................29
Gambar 9. Pemeriksaan inspeksi dengan pen light......32
Gambar 10. Penampang Mata......................................36
Gambar 11. Cover uncover test, A. Ortoforia,B. Ortoforia,
C. Esoforia, D. Eksoforia, E. Hiperforia, F. Hipoforia......41
Gambar 12. Pemeriksaan TIO dengan palpasi..............43
Gambar 13. Tonometer Schiotz.....................................44
Gambar 14. Tabel tonometri schiotz..............................46
Gambar 15. Buku ishihara.............................................48
Gambar 16. Pemeriksaan buta warna...........................49
Gambar 17. Cuci tangan sebelum dan sesudah
pemberian tetes mata.....................................................53
Gambar 18. Pemberian salep mata...............................54
Gambar 19. Tindakan epilasi.........................................56
Gambar 20. Cek respon pada pasien tidak sadar.........59
Gambar 21. Kompresi dada...........................................61

| xxiii
Gambar 22. A. Pada pasien tidak sadar sering
lidah jatuh; B. Head tilt dan chin lift................................62
Gambar 23. Jaw thrust..................................................63
Gambar 24. Oropharingeal airway.................................63
Gambar 25. Nasopharing airway...................................63
Gambar 26. Resusitasi mulut ke sungkup.....................65
Gambar 27. A. Teknik E-C Clamp (penolong sendiri
ventilasi); B. 2 penolong ventilasi...................................66
Gambar 28. Penggunaan AED pada korban dewasa....67
Gambar 29. Anatomi dan persyarafan jalan nafas atas.73
Gambar 30. Bag mask ventilation..................................73
Gambar 31. Laringoskop, endotrakeal tube, dan cara
intubasi...........................................................................74
Gambar 32. Mata cowong.............................................79
Gambar 33. Pemeriksaan turgor kulit............................79
Gambar 34. A. Kesadaran menurun akibat diare, B.
Peritonitis, tensi 80/50, nadi 150, urine = 0, nafas 35x,
flare (+)...........................................................................83
Gambar 35. Gejala sumbatan jalan nafas.....................89
Gambar 36. Algoritme penanganan sumbatan
pada jalan nafas.............................................................90
Gambar 37. Abdominal thrust (Heimlich Manuver)
pada pasien sadar..........................................................92
Gambar 38. Abdominal thrust (Heimlich Manuver)
pada pasien tidak sadar.................................................92
Gambar 39. Timbangan/weighing scale nondigital........97
Gambar 40. Cara pengukuran lingkar pinggang..........107
Gambar 41. Pemeriksaan duh tubuh...........................190
Gambar 42. Pemeriksaan Kernig................................195
Gambar 43. Tanda leher menurut Brudzinski..............195
Gambar 44. Pemeriksaan tanda tungkai
kontralateral menurut Brudzinski..................................196
Gambar 45. Pupil anisokor..........................................209
Gambar 46. Funduskopi normal..................................209
Gambar 47. Atrofi optik................................................210

xxiv |
Gambar 48. Papiledema..............................................210
Gambar 49. Coupping pada glaukoma........................ 211
Gambar 50. Kelainan posisi bola mata........................212
Gambar 51. Refleks Babinski......................................224
Gambar 52. Refleks Chaddock....................................224
Gambar 53. Refleks Oppenheim.................................225
Gambar 54. Refleks Gordon........................................226
Gambar 55. Refleks Schaeffer.....................................254
Gambar 56. Tremor.....................................................241
Gambar 57. Tick..........................................................241
Gambar 58. Chorea.....................................................242
Gambar 59. Athetosis..................................................242
Gambar 60. Patrick’s sign............................................255
Gambar 61. Label untuk identitas................................264
Gambar 62. Contoh penggunaan label untuk
identitas dan skala ukuran luka....................................265
Gambar 63. Sketsa tubuh............................................270
Gambar 64. Sketsa tubuh untuk menggambarkan
luka...............................................................................285
Gambar 65. Lebam mayat...........................................289
Gambar 66. Perubahan mayat setelah kematian........289
Gambar 67. Pemeriksaan pada mata..........................290
Gambar 68. Buccal swab.............................................315
Gambar 69. Swab vagina............................................322
Gambar 70. Proses pembungkusan sampel. Amplop
kertas dapat dijadikan sebagai wadah pembungkus....322

| xxv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Derajat dehidrasi berdasarkan kriteria WHO....80


Tabel 2. Klasifikasi perdarahan......................................83
Tabel 3. Karakteristik cairan resusitasi...........................87
Tabel 4. Perbedaan sumbatan jalan nafas ringan
dan berat........................................................................90
Tabel 5. Klasifikasi berat badan orang Asia
(WHO, 2000)..................................................................95
Tabel 6. Nilai standar lingkar pinggang........................107
Tabel 7. Kebutuhan energi berdasarkan berat badan
dan jenis aktivitas........................................................ 111
Tabel 8. Kebutuhan energi berdasarkan BB dan
jenis aktivitas................................................................ 118
Tabel 9. Skala GAF......................................................135
Tabel 10. Form MMSE.................................................154
Tabel 11. Jenis dan waktu pemeriksaan laboratorium.161
Tabel 12. Tabel identifikasi masalah bio-psiko-sosial...165

xxvi |
Tabel 13. Formulir MMSE (Mini Mental State
Examination)................................................................250
Tabel 14. Klasifikasi berat badan orang Asia
(WHO, 2000)................................................................338
Tabel 15. Lingkar perut................................................339
Tabel 16. Kategori tekanan darah (Whelton PK, et al.
2017 Updated Classification and Management of High
Blood Pressure in Adult. J Am Coll Cardiol).................339

| xxvii
PENDAHULUAN

Sejak tahun 2006 Indonesia telah memiliki


Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).
Standar ini, bersama dengan Standar Pendidikan
Profesi Dokter (SPPD), menjadi acuan bagi setiap
fakultas kedokteran atau institusi pendidikan dokter
dalam mengembangkan program pendidikannya
masing-masing. Selain itu sebagai salah satu bentuk
akuntabilitas pendidikan dokter, maka negara telah
menyelenggarakan Ujian Kompetensi Mahasiswa
Program Pendidikan Dokter (UKMPPD), yang sampai
saat ini terdiri atas dua jenis ujian yaitu, Multiple Choice
Questions computer-based test (MCQs CBT) dan
OSCE (Objective Structured Clinical Examination).
Pada dokumen SKDI, telah diuraikan secara
rinci area kompetensi yang harus dikuasai oleh
lulusan dokter Indonesia, termasuk di dalamnya
adalah daftar masalah dan daftar keterampilan klinis.
Terdapat empat tingkat kemampuan baik untuk daftar
masalah/penyakit maupun keterampilan klinis, dengan
deskriptornya masing-masing. Tingkat kemampuan
1 untuk keterampilan klinis adalah mahasiswa
mampu mengetahui dan menjelaskan keterampilan

xxviii |
klinis tersebut; sedangkan tingkat kemampuan 2
adalah pernah melihat atau didemonstrasikan. Untuk
keterampilan klinis dengan tingkat kemampuan 3,
mahasiswa harus pernah melakukan atau menerapkan
di bawah supervisi. Dan yang tertinggi adalah tingkat
kemampuan 4 yaitu mahasiswa dapat melakukan
suatu keterampilan klinis secara mandiri.
Dengan demikian pengembangan kurikulum
pendidikan dokter perlu merujuk pada SKDI,
termasuk dalam kaitannya dengan daftar masalah
dan keterampilan klinis yang akan diajarkan dan
diujikan oleh institusi pendidikan dokter. Tambahan
lagi, materi yang diujikan dalam UKMPPD juga
mengacu pada SKDI sebagai standar minimal yang
harus dicapai oleh seluruh lulusan dokter dari institusi
manapun di Indonesia. Namun pada kenyataannya,
dalam praktek pengajaran keterampilan klinis, masih
lazim ditemukan multi interpretasi mengenai langkah-
langkah pengerjaan suatu keterampilan klinis. Hal ini
dapat disebabkan salah satunya karena penggunaan
referensi yang berbeda.
Merujuk pada kondisi di atas, maka dirasakan
perlu untuk menyusun sebuah panduan keterampilan
klinis yang dapat membantu pelatihan keterampilan
klinis mahasiswa pendidikan dokter di institusinya
masing-masing. Sebuah panduan yang diakui secara
nasional akan membantu proses penyamaan persepsi
dalam pelatihan keterampilan klinis, sehingga setiap
mahasiswa diharapkan dapat memiliki kemampuan
minimal yang sama.

TUJUAN
Panduan Keterampilan Klinis bagi Mahasiswa
Pendidikan Dokter ini disusun dengan tujuan untuk
menjadi acuan dalam penyelenggaraan pelatihan

| xxix
keterampilan klinis di institusi pendidikan dokter.

DASAR HUKUM
Dasar hukum penyusunan Panduan
Keterampilan Klinis bagi Mahasiswa Pendidikan
Dokter adalah sebagai berikut:
a) Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan
b) Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran
c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi
d) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang
Pendidikan Kedokteran
e) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
Tentang Standar Nasional Pendidikan
f) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2017
Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 20 tahun
2013 tentang Pendidikan Kedokteran
g) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 10
tahun 2012 tentang Standar Pendidikan Profesi
Dokter Indonesia
h) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 11
tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter
Indonesia

SASARAN
Sasaran buku panduan keterampilan klinis
ini adalah mahasiswa pendidikan dokter dan institusi
pendidikan dokter yang akan melakukan pelatihan
keterampilan klinis, khususnya di laboratorium
keterampilan klinis (skills laboratory). Selain itu bagi
penyusun materi OSCE UKMPPD, maka panduan
ini juga dapat menjadi salah satu rujukan dalam
penyusunan rubrik.

xxx |
Panduan ini dapat digunakan oleh mahasiswa
dan institusi profesi kesehatan lainnya namun tetap
harus disesuaikan dengan standar kompetensi
masing-masing profesi

RUANG LINGKUP
Buku Panduan Keterampilan Klinis bagi
Mahasiswa Pendidikan Dokter ini memuat berbagai
jenis keterampilan klinis sesuai dengan SKDI tahun
2012. Adapun keterampilan klinis dalam panduan ini
secara umum merupakan keterampilan klinis dengan
tingkat kemampuan 4A pada Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012 yang diterbitkan
oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Sebagian
kecil keterampilan klinis merupakan keterampilan
dengan tingkat kemampuan 3.
Panduan ini diakui oleh Panitia Nasional Uji
Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter
Indonesia dan Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi sebagai referensi pembuatan soal
OSCE UKMPPD. Selain itu, panduan ini juga telah
diakui oleh Ikatan Dokter Indonesia melalui kolegium
pendidikan profesi dan sejalan dengan Panduan
Keterampilan Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (Fasyankes) Primer yang dikeluarkan oleh
Ikatan Dokter Indonesia tahun 2014.
Panduan ini tidak dimaksudkan untuk memuat
seluruh teori mengenai keterampilan klinis. Dengan
demikian, dalam pelaksanaan pelatihan keterampilan
klinis menggunakan panduan ini, mahasiswa dan staf
pengajar tetap harus memerhatikan pengetahuan
yang mendasari keterampilan klinis tersebut. Selain itu
perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran terus berkembang, dan sedikit banyak
hal tersebut dapat berpengaruh pada perkembangan

| xxxi
keterampilan klinis dan teori yang mendasari.
Dalam proses pelaksanaan pelatihan
keterampilan menggunakan panduan ini, institusi
harus tetap menyusun rancangan pengajaran yang
sesuai. Rancangan pengajaran perlu memerhatikan
sekuens penguasaan berbagai keterampilan, serta
prasyarat yang dibutuhkan untuk dapat menguasai
keterampilan tertentu, baik dari aspek kognitif
maupun keterampilan. Beberapa keterampilan klinis
dalam panduan ini berisi poin-poin variasi prosedur
untuk memperkaya pengetahuan dan meningkatkan
keterampilan mahasiswa.

STRUKTUR PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS


Panduan untuk setiap keterampilan klinis
disusun dengan mengikuti struktur sebagai berikut:
a) Jenis keterampilan
b) Tingkat kemampuan
c) Tujuan pembelajaran
d) Pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan
e) Alat dan bahan
f) Prosedur keterampilan (dapat dilengkapi dengan
gambar keterampilan sesuai prosedur)
g) Analisis/interpretasi hasil pemeriksaan (jika
relevan)
h) Variasi istilah atau keterampilan (jika ada)
i) Catatan khusus (jika ada)
j) Contoh kasus
k) Referensi

xxxii |
PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS

TANDA VITAL

4A Pemeriksaan Tekanan Darah


TUJUAN
Mengukur tekanan darah.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


• Anatomi sistem sirkulasi
• Fisiologi sistem sirkulasi

ALAT DAN BAHAN


• Sphygmomanometer
• Stetoskop
• Kursi atau meja periksa

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan.
2) Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang akan dilakukan.
3) Mempersilahkan pasien untuk istirahat paling
tidak 5 menit dalam posisi pemeriksaan (posisi
duduk).
4) Pastikan ruang pemeriksaan tenang dan
nyaman.

Tanda Vital | 1
5) Lengan yang akan diperiksa harus bebas dari
pakaian. Pastikan pada lengan tersebut tidak
terdapat cimino untuk dialisis, bekas luka yang
disebabkan putusnya arteri brachial sebelumnya
maupun limfaoedema.
6) Lakukan palpasi pada arteri brakhialis untuk
memastikan terabanya denyut.
7) Posisikan lengan pasien sedemikian rupa
sehingga arteri brakhialis sejajar dengan
jantung. Apabila pasien dengan posisi duduk
maka letakkan lengan pada meja sedikit diatas
pinggul.
8) Tentukan ukuran manset. Bila manset terlalu
besar untuk lengan pasien, seperti pada anak-
anak, maka pembacaannya akan lebih rendah
dari tekanan sebenarnya. Bila manset terlalu
kecil, misalnya pada penggunaan manset
standar pada pasien obes, maka pembacaan
tekanan akan lebih tinggi dibanding tekanan
sebenarnya.
9) Pasang manset dengan membalutkannya
dengan kencang dan lembut pada lengan atas.
Batas bawah manset berada pada 2.5 cm di
atas fossa antecubiti, dan balon manset harus
berada di tengah arteri brakialis.
10) Posisikan lengan pasien sedemikan rupa
sehingga siku sedikit fleksi.
11) Pompa manset hingga mengembang. Untuk
menentukan seberapa tinggi tekanan manset,
pertama-tama perkirakan tekanan sistolik
dengan palpasi. Raba arteri radialis dengan
satu tangan, kembangkan manset secara cepat
sampai dengan pulsasi arteri radialis menghilang.
Baca tekanan yang terbaca pada manometer,
lalu tambahkan 30 mmHg. Gunakan jumlah ini

2 | Tanda Vital
sebagai target untuk mengembangkan manset
sehingga mengurangi ketidaknyamanan karena
manset yang terlalu kencang.
12) Kempiskan manset dan tunggu 15-30 detik.
13) Tempatkan membran stetoskop pada arteri
brachialis.
14) Kembangkan manset secara cepat sampai
dengan tekanan yang telah ditentukan
sebelumnya.
15) Kempiskan secara perlahan dengan kecepatan
2-3 mmHg per detik.
16) Dua bunyi pertama yang terdengar adalah
tekanan sistolik pasien.
17) Turunkan tekanan 10-20 mmHg.
18) Kemudian kempiskan manset secara cepat
hingga nol.
19) Titik dimana bunyi terdengar menghilang
merupakan tekanan diastolik pasien.
20) Tunggu selama 2 menit, kemudian ulangi
pemeriksaan untuk mendapatkan nilai rata-rata
atau tekanan darah diastolik ≥ 10 mmHg setelah
pasien berdiri sampai dengan 3 menit.

REFERENSI
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical
examination and history taking. 10th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins,
2009.
Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical
examination. Ed 13. Edenburg: Elsevier. 2013.

Tanda Vital | 3
4A Pemeriksaan Denyut Nadi
TUJUAN
Menilai sirkulasi perifer.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


• Anatomi sistem sirkulasi
• Fisiologi sistem sirkulasi

ALAT DAN BAHAN


Meja periksa.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Pasien dalam posisi terlentang.
2) Dengan menggunakan telunjuk dan jari tengah,
tekan arteri radialis sampai dengan terdeteksi
denyut maksimal. Yang perlu dinilai adalah
frekuensi, irama, dan kuat angkat.
3) Apabila didapatkan frekuensi denyut dan irama
normal, maka hitung frekuensi selama 30 detik
lalu kalikan 2. Jika frekuensi denyut nadi sangat
cepat atau sangat lambat, hitung selama 60
detik.
4) Untuk menilai irama, rasakan denyut radialis.
Apabila didapatkan irama ireguler, cek kembali
irama dengan menempelkan stetoskop pada
apeks jantung.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


• Frekuensi
Frekuensi nadi normal adalah antara 50 – 90
x/menit. Frekuensi nadi kurang dari 50 x/menit
disebut bradikardia. Frekuensi nadi lebih dari
100 x/menit disebut takikardia.

4 | Tanda Vital
• Irama
Untuk menilai irama, rasakan denyut arteri
radialis. Apabila denyut teraba ireguler,
periksa kembali irama dengan mendengarkan
detak jantung pada apeks kordis dengan
menggunakan stetoskop. Apakah irama jantung
reguler atau ireguler? Apabila didapatkan irama
jantung ireguler, identifikasi polanya.
o Apakah terdapat detak jantung
tambahan pada irama yang reguler?
o Apakah irama ireguler berubah secara
konstan sesuai respirasi pasien?
o Apakah irama ireguler total?
• Irama ireguler dapat disebabkan oleh fibrilasi
atrial dan kontraksi prematur atrial atau
ventrikel. Untuk seluruh pola denyut arteri
ireguler diperlukan pemeriksaan EKG untuk
mengidentifikasi aritmia.

REFERENSI
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical
examination and history taking. 10th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins,
2009.
Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical
examination. Ed 13. Edenburg: Elsevier. 2013.

4A Pemeriksaan Pernapasan
TUJUAN
Melakukan penilaian pernapasan dan kelainan yang
dapat ditemukan.

Tanda Vital | 5
TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Pasien paling baik dalam posisi berdiri dengan
pemeriksa berada berhadapan dengan pasien.
Bila tidak bisa, pasien dapat duduk di meja
periksa atau dalam posisi berbaring. Posisi
pemeriksa paling baik berada di ujung kaki
pasien.
2) Nilai:
a. Tipe pernapasan
b. Frekuensi napas
c. Dalamnya pernapasan
d. Regularitas
e. Rasio antara inspirasi dan ekspirasi
f. Adanya batuk atau bunyi napas
tambahan
g. Adanya dipsnoe
3) Nilai juga adanya postur tubuh tertentu dan
penggunaan otot bantu napas.
4) Nilai adanya sianosis sentral dan/atau perifer.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


• Penilaian pernapasan
o Tipe pernapasan
Pada keadaan normal, tipe pernapasan
pada wanita biasanya adalah
pernapasan dada (thoraco-abdominal),
sedangkan pada laki-laki biasanya tipe
pernapasan abdomino-thoracal.
o Frekuensi napas
Frekuensi pernapasan normal dewasa
saat istirahat antara 14-20 kali/menit
dan sampai dengan 44 x/menit pada
bayi. Bila terdapat kesulitan bernapas,
maka frekuensi napas juga akan
meningkat (takipnea). Frekuensi napas

6 | Tanda Vital
juga dapat berkurang (bradipnea),
misalnya akibat stimulasi saraf.
o Dalam pernapasan
Saat keadaan istirahat, pernapasan
biasanya cukup dangkal, namun
kedalamannya akan meningkat saat
latihan. Pernapasan yang sangat
cepat dan adanya nyeri dada, misalnya
pada fraktur iga, pernapasan biasanya
dangkal.
o Regularitas
Pada keadaan normal, pernapasan
biasanya teratur, bila terdapat
gangguan pada pusat napas, misalnya,
pernapasan dapat memiliki jeda yang
cukup lama (apnoe).
o Hubungan inspirasi dan ekspirasi
Normalnya masa inspirasi lebih
pendek dari ekspirasi dengan rasio 5:6.
Pada serangan asma, fase ekspirasi
memanjang (biasanya disertai
wheezing). Pada obstruksi jalan napas
atas, misalnya saat tersedak, fase
inspirasi dapat memanjang (disertai
stridor).
 Batuk atau suara napas
tambahan
Apabila pasien batuk, tentukan
apakah merupakan batuk
kering atau batuk produktif.
Normalnya, saat bernapas tidak
terdengar adanya suara, namun
pada keadaan patologis dapat
terdengar suara wheezing,
ronkhi atau rattling.

Tanda Vital | 7
 Dispnoe
Bila ditemukan adanya dispnoe,
tentukan derajat kesulitan
bernapas. Napas yang pendek
saat olahraga disebut exertional
dyspnoea. Kesualitan bernapas
saat beristirahat disebut
dyspnoea at rest.
 Postur tertentu dan penggunaan
otot bantu napas
Pasien dengan pernapasan
yang memendek biasanya
sedikit lean (misalnya di
meja). Biasanya mereka
menggunakan otot bantu
napas tambahan seperti
pektoralis mayor, skalenus,
sternokleidomastoideus dan
otot nasalis.
 Bibir atau lidah yang kebiruan
atau ungu
Gejala ini merupakan tanda
sianosis sentral. Keadaan
ini dapat terjadi bila darah
kekurangan oksigen.
• Kelainan laju dan irama pernapasan
o Takipnea
Pernapasan dangkal dan cepat, dapat
disebabkan oleh penyakit paru restriktif,
pleuritis dan elevated diaphragm.
o Hiperventilasi
Pernapasan yang cepat, dapat
disebabkan oleh latihan, kecemasan
dan asidosis metabolik. Pada pasien
koma, pertimbangkan infark, hipoksia

8 | Tanda Vital
atau hipoglikemia yang mempengaruhi
otak tengah atau pons. Kussmaul
adalah pernapasan cepat dan dalam
karena asidosis metabolik.
o Bradipnea
Pernapasan lambat, mungkin secara
tidak langsung terjadi pada koma
diabeteikum, drug induced, depresi
pernapasan, dan peningkatan tekanan
intrakranial.
o Cheyne–Stokes Breathing
Pernapasan yang dalam kemudian
berubah menjadi periode apnea (tidak
bernapas). Anak-anak dan orang tua
mungkin menunjukkan pola ini saat
tidur. Penyebab lainnya meliputi gagal
jantung, uremia, drug-induced, depresi
pernapasan, dan kerusakan otak
(biasanya pada kedua hemisfer atau
diencephalon).
o Ataxic Breathing (Biot’s Breathing)
Pernapasan ini ditandai dengan
ketidakteraturan napas yang tidak
terduga. Napas mungkin dangkal atau
dalam dan berhenti untuk periode
yang singkat. Penyebabnya antara lain
depresi pernapasan dan kerusakan
otak, biasanya pada tingkat medula.
o Sighing Respiration
Pernapasan diselingi dengan periode
mendesah, pemeriksa harus waspada
dengan kemungkinan sindroma
hiperventilasi – penyebab umum
dispnea dan pusing. Desahan yang
jarang, normal terjadi.

Tanda Vital | 9
o Obstructive Breathing
Pada penyakit paru obstruktif,
ekspirasi memanjang disebabkan
oleh menyempitnya saluran napas
meningkatkan hambatan aliran udara.
Penyebabnya antara lain asma,
bronkhitis kronis dan COPD.

REFERENSI
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical
examination and history taking. 10th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins.
2009.
Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination. 2009.
Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical
examination. Ed 13. Edenburg: Elsevier. 2013.

4A Pemeriksaan Suhu
TUJUAN
• Mampu melakukan pengukuran suhu
• Mampu menentukan letak-letak untuk mengukur
suhu pada bayi dan anak

ALAT DAN BAHAN


• Termometer raksa atau termometer digital
• Kapas alkohol

TEKNIK PEMERIKSAAN AKSILA


1) Pemeriksa menjelaskan pemeriksaan yang
akan dilakukan dan prosedurnya.
2) Siapkan termometer (air raksa, digital, dll).
3) Cuci tangan terlebih dahulu.

10 | Tanda Vital
4) Bersihkan termometer dengan kapas alkohol.
5) Pastikan ketiak tidak basah agar tidak terjadi
kesalahan dalam hasil pemeriksaan suhu.
6) Selipkan di ketiak dan tunggu selama 10 menit
(pada termometer digital sampai bunyi).

TEKNIK PEMERIKSAAN ORAL


1) Bersihkan termometer dengan kapas alkohol.
2) Minta anak untuk membuka mulutnya dan
angkat lidahnya.
3) Selipkan termometer di bawah lidah.
4) Minta pasien untuk menutup mulutnya kembali.
5) Tunggu selama 10 menit.

TEKNIK PEMERIKSAAN REKTAL


1) Bersihkan termometer dengan kapas alkohol.
2) Minta ibu untuk membukakan celana atau popok
bayi.
3) Posisikan bayi miring dengan fleksi pada
panggul.
4) Olesi termometer dengan lubrikan.
5) Masukkan termometer pada anus bayi dengan
kedalaman 3-4 cm dengan arah menuju
umbilikus, pastikan bahwa bayi tidak sedang
mengalami diare.
6) Tunggu selama 10 menit.

TEKNIK PEMERIKSAAN MEMBRAN TIMPANI


1) Pastikan kanalis auditori eksternus bebas dari
serumen.
2) Posisikan probe pada kanalis sehingga sinar
infrared mengarah ke membran timpani (bila
tidak, pengukuran tidak akan tepat).
3) Tunggu 2-3 detik sampai termometer digital
terbaca.

Tanda Vital | 11
ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN
• Usia 0-3 bulan sebaiknya dilakukan pengukuran
suhu di rektal.
• Usia 3 bulan-4 tahun sudah mulai bisa dilakukan
di aksila.
• Usia 4 tahun keatas sudah mulai bisa dilakukan
di oral.
• Pada pemeriksaan suhu oral, suhu didapatkan
dari aliran darah arteri karotis eksterna.
• Pemeriksaan suhu di rektal merupakan yang
paling akurat karena mendekati suhu inti tubuh.
• 36.1 – 37.2 oC : normal
37.8 – 38.9 oC : low-grade fever
>39.5 oC : high-grade fever
• Demam atau pireksia adalah peningkatan
suhu tubuh diatas normal. Hiperpireksia
adalah peningkatan suhu tubuh diatas 41.1
o
C. Hipotermia adalah penurunan suhu tubuh
abnormal dibawah 35 oC per rektal.
• Penyebab demam antara lain infeksi, trauma
(seperti operasi atau cedera kompresi),
keganasan, kelainan darah (seperti anemia
hemolitik akut), reaksi obat dan gangguan
imunitas (seperti collagen vascular disease).
• Penyebab utama hipotermia adalah paparan
terhadap dingin. Penyebab predisposisi lain
termasuk menurunnya pergerakan seperti
pada paralisis, vasokonstriksi seperti pada
sepsis, konsumsi alkohol berlebih, kelaparan,
hipotiroidisme dan hipoglikemia. Orang tua
merupakan golongan yang rentan terhadap
hipotermia dan lebih sedikit terjadi demam.

12 | Tanda Vital
REFERENSI
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. China. 2009. p
759.

Tanda Vital | 13
PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS

MATA

4A Penilaian Penglihatan
pada Bayi dan Anak
TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan penilaian penglihatan
pada bayi dan anak.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


• Anatomi dan fisiologi mata
• Perkembangan sensoris penglihatan pada bayi
dan anak

ALAT DAN BAHAN


• Pen light
• Boneka atau mainan bayi yang tidak
menimbulkan suara

14 | Mata
(Sumber: Julita, 2018)
Gambar 1. Allen card (Sumber: Julita, 2018)

(Sumber: D A H Laidlaw, A Abbott, D A Rosser, 2003)


Gambar 2. Snellen chart

Mata | 15
(Sumber: Julita, 2018)
Gambar 3. Lea symbol

TEKNIK PEMERIKSAAN
Bayi baru lahir sampai umur 1 tahun
1) Jelaskan kepada orang tua pasien jenis dan
prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
2) Bangunkan bayi, redupkan cahaya pada ruang
periksa dan pegang bayi pada posisi duduk,
maka pemeriksa akan mendapatkan mata bayi
terbuka.
3) Pada saat bayi membuka matanya dan
menatap pemeriksa, pemeriksa dapat bergerak
ke sisi kanan dan kiri sehingga bayi memutar
kepalanya sampai dengan 90o pada setiap
sisinya. Pemeriksa juga dapat menggunakan
pen light atau mainan yang tidak menimbulkan
suara untuk menarik perhatian bayi.
4) Deskripsi tajam penglihatan berupa refleks
kedip (blink refleks), menatap cahaya (fix the

16 | Mata
light), menatap dan mengikuti arah cahaya (fix
and follow the light).

Anak usia 1 – 3 tahun (Batita)


1) Jelaskan kepada orang tua pasien jenis dan
prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
2) Posisikan anak pada meja periksa atau kursi
periksa.
3) Tutup salah satu mata anak secara bergantian.
4) Amati respon anak.
5) Selain itu dapat menggunakan benda untuk
menilai tajam penglihatan anak.
6) Deskripsi tajam penglihatan berupa menatap
dan mengikuti arah benda (fix and follow object),
mengambil benda (grab object).

Anak lebih dari 5 tahun atau anak sudah bisa


membaca atau melihat gambar
1) Kartu Snellen chart diletakkan sejajar mata
pasien dengan jarak 5-6 m dari pasien sesuai
kartu yang dipakai. Untuk Lea symbol diletakkan
pada jarak 3 meter.
2) Tajam penglihatan diperiksa satu per satu
(monokuler), dimulai dari mata kanan.
3) Pada saat memeriksa mata kanan, pasien
diminta menutup mata kiri dengan telapak
tangan pasien, tidak ditekan atau menggunakan
penutup mata atau menggunakan eye occluder.
4) Pasien diminta untuk melihat objek pada kartu
bergambar atau kartu Snellen “E” dari yang
terbesar hingga yang terkecil sesuai batas
kemampuannya.
5) Minta pasien menyebutkan nama gambar
yang ditunjuk pada kartu bergambar atau
menyebutkan arah huruf “E” pada kartu Snellen.

Mata | 17
6) Kesalahan jumlahnya tidak boleh sampai
dengan setengah jumlah huruf/gambar pada
baris tersebut.
7) Bila jumlah kesalahannya setengah atau lebih,
maka visusnya menjadi visus baris diatasnya.

Gambar 4. Pemeriksaan mata pada anak

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


Bayi baru lahir sampai umur 1 tahun
· Normalnya pada pemeriksaan ini bayi akan
mengikuti arah pergerakan pemeriksa, sumber
cahaya, maupun mainan yang menarik
perhatiannya. Apabila bayi yang baru lahir gagal
untuk memandang pemeriksa dan mengikuti
pergerakan pemeriksa, maka perhatikan pada
pemeriksaan mata lainnya. Hal ini masih dapat
terjadi pada bayi normal, namun dapat juga
merupakan tanda kelainan visual.
· Pemeriksa tidak akan dapat menilai tajam
penglihatan pada bayi kurang dari 1 tahun.
Selama tahun pertama kehidupan, tajam
penglihatan bayi akan meningkat sehingga
kemampuan untuk memfokuskan mata juga
meningkat.

18 | Mata
· Interpretasi tajam penglihatan normal sesuai
usia.
o Bayi baru lahir: menggerakkan kepala
ke sumber penerangan kuat
o 6 minggu: melakukan fiksasi
o 3 bulan: dapat menggerakkan mata ke
arah benda bergerak
o 4-6 bulan: koordinasi penglihatan
dengan gerakan mata
o 6-8 bulan: mulai dapat melihat dan
mengambil objek
o 9 bulan: tajam penglihatan 20/200 atau
6/60
o 1 tahun: tajam penglihatan 20/100

Anak usia 1 – 3 tahun (Batita)


Tajam penglihatan pada batita tidak dapat dinilai
karena batita belum dapat mengidentifikasi gambar
pada kartu Snellen. Pemeriksa menutup salah
satu mata dapat menjadi alternatif. Anak dengan
penglihatan yang normal pada kedua mata tidak akan
menolak bila salah satu matanya ditutup, sedangkan
anak dengan gangguan penglihatan akan menolak
bila matanya yang sehat ditutup.

Anak lebih dari 5 tahun atau anak sudah bisa membaca


atau melihat gambar
Interpretasi sama dengan interpretasi pemeriksaan
visus pada dewasa.

Mata | 19
CONTOH KASUS
Seorang ibu membawa bayinya yang
berusia 4 bulan ke puskesmas dengan
keluhan bayinya tidak pernah melihat ke
ibunya apabila sedang disusui.

Lakukanlah pemeriksaan tajam penglihatan


pada kedua mata bayi tersebut!

REFERENSI
Artini W, Hutauruk J, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar
Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.
Harper RA. Basic Ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2010.

4A Penilaian Refraksi dan


Tajam Penglihatan
TUJUAN
· Mahasiswa mampu melakukan penilaian tajam
penglihatan
· Mahasiswa mampu mendiagnosis kelainan
refraksi

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi mata
· Perkembangan sensoris penglihatan
· Anomali/kelainan refraksi

20 | Mata
ALAT DAN BAHAN
· Ruangan sepanjang 6 m atau disesuaikan
dengan jenis chart
· Penerangan yang cukup
· Kartu Snellen
· Trial frame
· Trial lens
· Occluder
· Pinhole
· Penggaris/alat penunjuk
· Pen light

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
2) Kartu Snellen diletakkan sejajar mata pasien
dengan jarak 5-6 m dari pasien sesuai kartu
Snellen yang dipakai.
3) Tajam penglihatan diperiksa satu per satu
(monokuler), dimulai dari mata kanan.
4) Pada saat memeriksa maka kanan, pasien diminta
menutup mata kiri dengan telapak tangan pasien,
tidak ditekan, atau bisa dengan menggunakan
eye occluder.
5) Pasien diminta untuk melihat objek pada kartu
Snellen dari yang terbesar hingga yang terkecil
sesuai batas kemampuannya.
6) Kesalahan jumlahnya tidak boleh sampai dengan
setengah jumlah huruf/gambar pada baris
tersebut.
7) Bila jumlah kesalahannya setengah atau lebih,
maka visusnya menjadi visus baris diatasnya.

Mata | 21
(sumber: https://www.ochkov.net)
Gambar 5. Pemeriksaan visus dengan Snellen chart

8) Bila pasien tidak dapat melihat huruf yang terbesar


(dengan visus 6/60) maka dilakukan dengan cara
hitung jari/ finger counting, yaitu menghitung jari
pemeriksa pada jarak 1-6 m dengan visus 1/60
sampai dengan 6/60, dimulai dari jarak 1 meter
mundur sampai maksimal 6 meter.

(Sumber: https://www.koshika.org/camp-photo-gallery.php?id=26)
Gambar 6. Pemeriksaan visus dengan hitung jari

22 | Mata
9) Bila pasien tidak dapat menghitung jari dari
jarak 1 m, maka dilakukan dengan cara hand
movement, yaitu menentukan arah gerakan
tangan pemeriksa (atas-bawah, kanan-kiri)
pada jarak 60-100 cm. Visus 1/300 bila pasien
bisa mengenali arah pergerakan tangan.
10) Bila pasien tidak dapat melihat arah gerakan
tangan, dilakukan cara penyinaran dengan
penlight pada mata pasien (light perception).
Pasien diminta menentukan arah datangnya
sinar (diperiksa dari 4 arah). Bila pasien
dapat mengenali adanya cahaya dan dapat
mengetahui arah cahaya, tajam penglihatan
dideskripsikan sebagai 1/~ dengan proyeksi
cahaya (light projection) baik. Tetapi bila pasien
tidak dapat mengetahui arah cahaya deskripsi
menjadi 1/~ dengan proyeksi cahaya (light
projection) jelek.
11) Pasien dinyatakan buta total (visus 0) bila tidak
dapat menentukan ada atau tidak ada sinar (no
light perception = NLP).
12) Apabila visus pasien tidak mencapai 6/6,
lanjutkan dengan pemeriksaan pinhole.
13) Pasang trial frame dan letakkan pinhole di
depan mata yang diperiksa, lalu pasien diminta
kembali membaca Snellen.
14) Apabila dengan pinhole, visus pasien maju
minimal 2 baris di optotype Snellen berarti
pasien ada kelainan refraksi.
15) Ambil S + 1,00 dan S -1,00, tanyakan pada
pasien mana yang memberi penglihatan lebih
baik.
16) Koreksi dimulai dari S -/+ 0,25 terus menerus
sampai didapat koreksi yang optimal.

Mata | 23
ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN
· Visus pasien adalah baris huruf terkecil yang
pasien dapat sebutkan dari seluruh huruf/
gambar pada kartu Snellen dengan benar.
Contoh: visus 6/18. Bila pasien dapat melihat
huruf pada baris tersebut namun ada yang salah,
dinyatakan dengan “f” (faltive). Contoh: pasien
dapat membaca baris 6/18 tetapi terdapat satu
kesalahan maka visus 6/18 f1.
· Bila pasien dapat menghitung jari pemeriksa
yang berjarak 1 m dari pasien dengan benar,
maka visus pasien 1/60; dapat menghitung jari
pada jarak 2 m dengan benar, visusnya 3/60,
dan seterusnya hingga 6/60.
· Bila pasien dapat menentukan atau menirukan
arah gerakan tangan pemeriksa dari jarak 1 m,
maka visusnya 1/300.
· Bila pasien dapat menentukan arah datangnya
sinar (diperiksa dari 6 arah), maka visusnya 1/~
proyeksi baik.
· Bila pasien tidak dapat menentukan arah
datangnya sinar, maka visusnya 1/~ proyeksi
buruk.
· Bila dengan pemeriksaan pinhole visus pasien
maju menjadi lebih baik minimal 2 baris, berarti
pasien ada kelainan refraksi.
· Bila dengan pemeriksaan pinhole visus pasien
tidak maju, berarti ada kelainan pada media
refraksi.
· Jika ada kelainan refraksi dilihat hasil koreksi,
jika dengan S – berarti diagnosis myopia, jika
dengan S + berarti diagnosis hipermetropia.

24 | Mata
CATATAN KHUSUS

Untuk kompetensi untuk umum koreksi refraksi S -/+


0,25 sampai S -/+ 3,00.

CONTOH KASUS
Seorang pasien perempuan berusia 20
tahun datang ke puskesmas dengan
keluhan penglihatannya kabur apabila
melihat tulisan di papan tulis sewaktu
sedang kuliah. Keluhan dini dirasakan
sejak 1 bulan yang lalu. Pasien tidak
berkacamata sebelumnya.

Lakukanlah pemeriksaan visus pada


pasien ini, dan tentukan apakah ada
kelainan refraksi atau tidak, kemudian
tentukan diagnosis kelainan refraksi pasien
tersebut!

REFERENSI
Artini W, Hutauruk J, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar
Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.
Harper RA. Basic Ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2010.

Mata | 25
4A Pemeriksaan Lapang Pandang
TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan penilaian lapang
pandang dengan Donders’ confrontation test.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi mata
· Kelainan mata karena penyakit sistemik
· Kelainan retina
· Kelainan nervus optikus
· Glaukoma

ALAT DAN BAHAN


· Kursi periksa
· Penerangan yang cukup

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan
dengan jarak 1 meter. Tinggi mata pemeriksa
sejajar dengan pasien.
2) Pemeriksa dan pasien apabila menggunakan
kacamata harus dilepas terlebih dahulu.
3) Pemeriksaan dilakukan satu per satu
(monokuler), dimulai dengan mata kanan.
4) Pada saat memeriksa mata kanan, pasien
diminta menutup mata kiri dengan telapak
tangan pasien, tidak ditekan. Sedangkan
pemeriksa menutup mata kanannya dengan
telapak tangan pemeriksa. Begitupun sebaliknya
untuk memeriksa mata kiri.

26 | Mata
(Sumber: https://perrlaeyes.com/confrontation-eye-test.html)
Gambar 7. Pemeriksaan konfrontasi

5) Tempatkan tangan pemeriksa yang bebas


di bidang imajiner antara lutut pasien dan
pemeriksa. Jarak antara bidang imajiner ini
dengan mata pemeriksa sama dengan jarak
bidang imajiner dengan mata pasien. Pada
bidang ini lapang pandang pemeriksa dan
pasien saling bertumpuk.
6) Pemeriksa dan pasien saling bertatapan, pasien
diminta untuk memfiksasi pandangannya ke
depan (mata pemeriksa).
7) Dengan perlahan, gerakkan pensil atau objek
kecil lainnya dari perifer ke arah tengah dari
delapan arah dan mintalah penderita memberi
tanda tepat ketika ia mulai melihat objek tersebut.
8) Lakukan prosedur yang sama terhadap mata
yang lain.

Mata | 27
ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN
Kelainan pada pemeriksaan lapang pandang:
· Penyempitan lapang pandang: apabila lapang
pandang pasien lebih sempit dibandingkan
lapang pandang pemeriksa.
o Defek Horizontal: disebabkan oleh
oklusi pada cabang arteri retina sentral.
Pada Pada no 1 gambar 8 terdapat
oklusi cabang superior arteri retina
sentral.
o Kebutaan Unilateral: disebabkan oleh
lesi pada saraf optik unilateral yang
menyebabkan kebutaan. pada nomor
2 gambar 8.
o Hemianopsia Bitemporal: disebabkan
oleh lesi pada kiasma optikum
sehingga menyebabkan kehilangan
penglihatan pada sisi temporal kedua
lapang pandang. No 3 gambar 8.
o Hemianopsia Homonim Kiri :
disebabkan oleh lesi pada traktus
optikus di tempat yang sama pada
kedua mata. Hal ini menyebabkan
kehilangan penglihatan sisi yang
sama pada kedua mata. tampak pada
gambar 8 no 4.
o Homonymous Left Superior
Quadrantic Defect : disebabkan oleh
lesi parsial pada radiasio optikus yang
menyebabkan kehilangan penglihatan
pada seperempat bagian lapang
pandang sisi yang sama. Hemianopsia
himonim kiri juga dapat disebabkan
oleh terputusnya jaringan pada radiasio
optikus.

28 | Mata
Gambar 8. Kelainan lapang pandang

CONTOH KASUS
Seorang pasien laki-laki berusia 65 tahun
datang ke puskesmas dengan keluhan
mata kanan seperti tertutup tirai. Mata
kanan mendadak tertutup tirai sejak 1 jam
yang lalu. Dari anamnesis diketahui bahwa
pasien dikenal menderita hipertensi sejak
10 tahun yang lalu.

Lakukanlah pemeriksaan lapangan


pandang pasien tersebut!

Mata | 29
REFERENSI
Artini W, Hutauruk J, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar
Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.
Harper RA. Basic Ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2010.
The examination of the eyes and vision: examination
of the peripheral visual field (donders’
confrontation method).

4A Pemeriksaan Eksternal Mata


dan Media Refraksi
TUJUAN
· Mahasiswa mampu melakukan inspeksi pada:
o Kelopak mata
o Kelopak mata dengan eversi kelopak
atas
o Bulu mata
o Konjungtiva, termasuk forniks
o Sklera
o Orifisium punctum lakrimalis
· Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan
media refraksi

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi mata
· Kelainan/penyakit mata luar

ALAT DAN BAHAN


· Pen light
· Kaca pembesar/Head binocular loop (3-5
Dioptri)
· Cotton bud

30 | Mata
TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan.
2) Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
3) Cuci tangan sebelum melakukan prosedur
pemeriksaan.
4) Minta pasien untuk duduk di kursi periksa,
lakukan:
a. Inspeksi kelopak mata
b. Pemeriksa menilai kelopak mata
pasien, apakah ada kelainan pada
kelopak mata
c. Inspeksi kelopak mata dengan eversi
kelopak mata
- Pemeriksa meminta pasien
untuk melirik ke bawah
- Pemeriksa mengeversi
kelopak mata atas dengan
bantuan cotton bud. Cotton
bud diletakkan dikelopak
mata atas bagian luar (diatas
tarsus superior) dan pemeriksa
mengeversi kelopak atas
dengan jari
- Nilai adakah kelainan pada
konjungtiva palpebra superior/
konjungtiva tarsal superior
d. Inspeksi bulu mata. Pemeriksa menilai
ada tidaknya bulu mata dan arah
tumbuhnya bulu mata
e. Inspeksi konjungtiva, termasuk
forniks. Pemeriksa menilai konjungtiva
bulbi. Nilai adakah kelaianan pada
konjungtiva
f. Inspeksi sklera. Pemeriksa menilai

Mata | 31
sklera pasien. Nilai adakah kelainan
pada sklera
g. Inspeksi orifisium duktus lakrimalis
(pungtum lakrimalis). Pemeriksa
menilai orifisium punctum lakrimalis

(Sumber: http://www.meddean.luc.edu/lumen/meded/medicine/pulmonar/pd/
pstep96.htm)
Gambar 9. Pemeriksaan inspeksi dengan pen light

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Inspeksi kelopak mata
Berikut beberapa kelainan pada kelopak mata:
o Edema palpebra, difus. Dapat ditemukan
pada sindroma nefrotik, penyakit
jantung, anemia, dakrioadenitis (udem
seperti huruf S terbalik) dan hipertiroid.
o Benjolan berbatas tegas: hordeolum,
kalazion, tumor.
o Sikatriks dan jaringan parut pada
kelopak.
o Xantelasma: penimbunan deposit
berwarna kekuningan pada kelopak,
terutama nasal atas dan bawah.
o Ekimosis/hematom: kulit kelopak mata
yang berubah warna akibat ekstravasasi

32 | Mata
darah setelah trauma.
o Posisi kelopak mata melipat kearah
keluar: ektropion (konjungtiva tarsal
berhubungan langsung dengan dunia
luar).
o Posisi kelopak mata melipat kearah ke
dalam: entropion (bulu mata menyentuh
konjungtiva dan kornea).
o Spasme palpebra: kelopak mata sulit
dibuka karena silau (fotofobia). Dapat
terjadi pada erosi kornea, uveitis
anterior dan glaukoma akut.
o Kelopak mata tidak dapat diangkat
sehingga celah kelopak mata menjadi
lebih kecil (ptosis).
o Pseudoptosis: kelopak mata sukar
terangkat akibat beban kelopak. Dapat
terjadi pada enoftalmus, ptisis bulbi,
kalazion, tumor kelopak dan edema
palpebra.
o Kelopak mata tidak dapat tertutup
sempurna (lagoftalmus) akibat
terbentuknya jaringan parut atau
sikatrik yang menarik kelopak,
entropion, paralisis orbicularis atau
terdapatnya tumor retrobulbar, parese
N.VII misalnya pada Bell’s palsy.
· Inspeksi bulu mata
o Trikhiasis: bulu mata tumbuh ke arah
dalam sehingga dapat merusak kornea
akibat gesekan kornea dengan bulu
mata. Dapat disebabkan oleh blefaritis
dan entropion.
o Madarosis: rontoknya bulu mata.

Mata | 33
· Inspeksi konjungtiva, termasuk forniks
o Sekret
o Folikel: penimbunan cairan dan sel
limfoid dibawah konjungtiva tarsal
superior.
o Papil: timbunan sel radang
subkonjungtiva yang berwarna merah
dengan pembuluh darah ditengahnya.
o Giant papil: berbentuk poligonal dan
tersusun berdekatan, permukaan
datar, terdapat pada konjungtivitis
vernal, keratitis limbus superior dan
iatrogenik konjungtivitis, konjungtivitis
karena lensa kontak.
o Sikatrik atau jaringan ikat.
o Simblefaron: melekatnya konjungtiva
tarsal, bulbi dan kornea. Dapat
ditemukan pada trauma kimia,
sindroma Steven Johnson dan trauma
mekanik.
o Injeksi konjungtiva: melebarnya arteri
konjungtiva posterior.
o Injeksi siliar: melebarnya pembuluh
perikorneal atau arteri siliar anterior.
o Injeksi episklera: melebarnya pembuluh
darah episklera atau siliar anterior.
o Perdarahan subkonjungtiva.
o Flikten: peradangan disertai neo-
vaskularisasi di sekitarnya
o Pinguekula: bercak degenerasi
konjungtiva di daerah celah kelopak
yang di bagian nasal dan temporal
kornea.
o Pterigium: jaringan fibrovaskuler
berbentuk segitiga di konjungtiva dan

34 | Mata
bisa melewati limbus.
o Pseudopterigium: konjungtivalisasi
kornea karena trauma pada kornea.
· Inspeksi orifisium punctum lakrimalis
o Dinilai ada tidaknya punctum lakrimalis.
o Posisinya menempel ke bola mata atau
tidak.

· Inspeksi media refraksi


o Nyalakan penlight dan arahkan cahaya
ke mata pasien. Amati media refraksi
mulai dari kornea.
o Amati kejernihan kornea dan nilai
apabila ada kelaianan pada kornea.
o Periksa kedalaman kamera okuli
anterior dengan memberikan sinar
secara mendatar dari arah temporal
ke nasal menembus mata sehingga
perkiraan kasar.
o Kedalaman kamera okuli anterior
dapat dibuat dengan memperhatikan
paparan sinar apakah sampai di
iris bagian nasal. Nilai juga apakah
ada flare, hifema maupun hipopion.
Flare dapat dinilai dengan loop jika
merupakan derajat yang hebat
o Periksa iris pasien. Nilai pola dan
warnanya, apakah ada nodul dan
vaskularitas.
o Periksa pupil. Nilai bentuk, letak,
regularitas margo pupil, refleks pupil
direk dan indirek, dan kesimetrisan
antara kedua mata
o Periksa kejernihan lensa mata, apabila
lensa mata terlihat keruh, lakukan

Mata | 35
pemeriksaan shadow test. Dengan
penlight, cahaya diarahkan pada pupil
dengan membentuk sudut 45o terhadap
iris. Nilai bayangan iris pada lensa.

(Sumber Am Fam Physician. 1998 Jun 1;57(11):2695-2702.)


Gambar 10. Penampang mata

· Kornea
o Kornea normal jernih dan tanpa
kekeruhan atau kabut.
o Cincin keputih-putihan pada perimeter
kornea mungkin arkus senilis; yang
pada pasien diatas usia 40 tahun
merupakan fenomena penuaan normal
sedangkan pada pasien dibawah 40
tahun mungkin hiperkolesterolemia.
o Pada keratitis, dijumpai adanya infiltrat
di kornea atau suatu defek dengan
jaringan nekrotik pada ulkus kornea.
· Kamera Okuli Anterior
o Kedalaman kamera okuli anterior
dinilai cukup (normal) jika paparan
sinar sampai ke iris bagian nasal.
o Jika terlihat paparan sinar tidak
sampai di iris bagian nasal, kamera

36 | Mata
okuli anterior mungkin dangkal.
Pendangkalan kamera okuli anterior
mungkin akibat penyempitan ruangan
antara iris dan kornea.
o Adanya kamera okuli anterior yang
sempit terdapat pada mata berbakat
glaukoma sudut tertutup, hipermetropia,
blokade pupil, katarak intumesen dan
sinekia posterior perifer.
o Bilik mata dalam terdapat pada afakia,
miopia, glaukoma kongenital dan
resesi sudut.
o Flare merupakan efek tyndal dalam
bilik mata depan yang keruh akibat
penimbunan sel radang atau bahan
darah lainnya.
o Hipopion merupakan penimbunan sel
radang bagian bawah kamera okuli
anterior. Hipopion terdapat pada tukak/
ulkus kornea, iritis berat, endoftalmitis
dan tumor intraokular.
o Hifema merupakan sel darah di dalam
bilik mata depan dengan permukaan
darah yang datar atau rata. Hifema
terdapat pada cedera mata, trauma
bedah, diskrasia darah (hemofilia) atau
tumor intrakranial.
· Iris
Iris mempunyai gambaran kripti normal, terlihat
adanya lekukan iris. Beberapa kelainan iris
antara lain:
o Normalnya pembuluh darah iris tidak
dapat terlihat dengan mata telanjang.
Terlihatnya pembuluh darah iris
(rubeosis) akibat radang dalam iris.

Mata | 37
Rubeosis iridis terdapat pada penyakit
vaskular, oklusi arteri/vena retina
sentral, diabetes melitus, glaukoma
kronik dan pasca uveitis.
o Atrofi adalah iris yang berwarna putih
dan sukar bergerak bersama pupil. Iris
atrofi terdapat pada diabetes melitus,
lansia, iskemia iris dan glaukoma.
o Sinekia anterior adalah menempelnya
iris dengan kornea belakang.
o Sinekia posterior adalah menempelnya
iris degan bagian depan lensa. Hal ini
dapat terjadi pada uveitis.
· Pupil
Pupil normal apabila kedua pupil simetris
(isokor), bentuk bulat, diameter 2-4 mm letak
di sentral, regular, refleks pupil (+) normal baik
direk maupun indirek.
· Lensa
o Pada uji bayangan iris (shadow test),
bila didapatkan semakin sedikit lensa
keruh, maka semakin besar bayangan
iris pada lensa.
o Bila bayangan iris pada lensa terlihat
besar dan letaknya jauh terhadap pupil
maka lensa belum keruh seluruhnya
sehingga shadow test (+). Hal ini
terjadi pada katarak immatur. Apabila
bayangan iris pada lensa kecil dan dekat
tepi pupil atau bahkan tidak tampak
bayangan iris maka lensa sudah keruh
seluruhnya sehingga shadow test (-).
Hal ini terdapat pada katarak matur.
Pada katarak hipermatur, lensa sudah
keruh seluruhnya, sehingga bayangan

38 | Mata
iris pada lensa besar dan keadaan ini
disebut pseudopositif.

CONTOH KASUS
Seorang pasien perempuan berusia 17
tahun datang dengan keluhan kedua
1 mata gatal sejak 2 hari yang lalu. Mata
gatal disertai berair dan sekret mukoid,
sering hilang timbul. Saat ini mata terasa
lebih gatal daripada biasanya. Pasien
mempunyai riwayat alergi.

Lakukanlah pemeriksaan mata luar pada


pasien tersebut!

Seorang pasien laki-laki berusia 60 tahun


datang ke puskesmas dengan keluhan
2 mata kiri kabur sejak 1 bulan yang lalu.
Mata kabur perlahan beragsur-angsur,
sehingga menjadi bertambah kabur 1
bulan yang lalu.

Lakukanlah pemeriksaan media refraksi


pada pasien!

REFERENSI
Artini W, Hutauruk J, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar
Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.
Harper RA. Basic Ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2010.

Mata | 39
4A Pemeriksaan Posisi Bola Mata
TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan penilaian posisi bola
mata dengan cover uncover test.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi mata
· Otot-otot ekstra okuler
· Persarafan otot-otot mata
· Gerakan bola mata

ALAT DAN BAHAN


· Kursi periksa
· Penutup mata
· Mainan anak
· Pen light

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Minta pasien untuk memfiksasi matanya pada
satu titik. Untuk pasien anak, gunakan objek
berupa mainan yang berukuran kecil atau pen
light.
2) Tutup salah satu mata untuk 1-2 detik.
3) Dengan cepat buka penutup mata.
4) Perhatikan pergerakan mata yang yang
sebelumnya ditutup. Lihat adanya deviasi mata
kembali ke posisi fiksasi objek.
5) Tutup mata yang lain dan ulangi prosedur
pemeriksaan.

40 | Mata
Gambar 11. Cover uncover test, A. Ortoforia, B. Ortoforia, C.
Esoforia, D. Eksoforia, E. Hiperforia, F. Hipoforia

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


Pada pasien abnormal atau hasil tes positif didapatkan
strabismus laten (phoria).

CONTOH KASUS
Seorang pasien anak perempuan berusia
5 tahun dibawa ibunya ke puskesmas
dengan keluhan mata terlihat juling apabila
sedang melamun atau melihat jauh.

Lakukanlah pemeriksaan posisi bola mata


pada pasien ini!

REFERENSI
Artini W, Hutauruk J, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar
Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.

Mata | 41
Harper RA. Basic Ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2010.
Van Noorden GK, Alih Bahasa : Waliban, Hariono B.
Atlas strabismus. Edisi ke 4. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

4A Pemeriksaan Tekanan Intraokular


dengan Palpasi & Tonometer
Schiotz
PENGUKURAN TEKANAN INTRAOKULAR
DENGAN PALPASI

TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan pengukuran tekanan
intraokular, estimasi dengan palpasi.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi mata
· Fisiologi dan patofisiologi akuous humour

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
2) Mencuci tangan.
3) Minta pasien duduk. Posisi pemeriksa berada di
depan pasien.
4) Penderita diminta untuk melirik ke bawah.
5) Pemeriksa menggunakan kedua jari telunjuknya
untuk menilai fluktuasi pada bola mata pasien
dengan bagian tangan lain bertumpu di sekitar
mata. Bandingkan kiri dan kanan.

42 | Mata
Gambar 12. Pemeriksaan TIO dengan palpasi

CONTOH KASUS
Seorang pasien wanita 45 tahun datang
ke IGD rumah sakit dengan keluhan sakit
kepala hebat. Sakit kepala diiringi rasa
mual muntah, dan terasa nyeri pada mata.

Lakukan pemeriksaan tekanan intra okuler


dengan palpasi pada pasien!

PENGUKURAN TEKANAN INTRAOKULAR


DENGAN TONOMETER SCHIOTZ

TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan pengukuran tekanan
intraokular dengan Tonometer Schiotz.

Mata | 43
ALAT DAN BAHAN
· Meja periksa
· Tonometer Schiotz
· Anestesi lokal tetes Pantocain 0,5%
· Antibiotik topical

(https://www.cehjournal.org/article/understanding-and-caring-for-a-s-
chiotz-tonometer/
Gambar 13. Tonometer Schiotz

44 | Mata
TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan.
2) Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
3) Mencuci tangan.
4) Minta pasien berbaring terlentang di meja
periksa. Posisi pemeriksa berada di bagian
kepala pasien.
5) Mata pasien terlebih dulu ditetesi dengan larutan
anestesi lokal (pantocaine 0,5%).
6) Pastikan keadaan kornea intak tidak ada
kelainan/infeksi yang akan mengganggu
pemeriksaan.
7) Tonometer didisinfeksi dengan kapas alkohol.
8) Minta pasien untuk melihat lurus keatas tanpa
berkedip.
9) Tonometer dengan beban 5,5 diletakkan
dengan perlahan-lahan dan hati-hati diatas
kornea pasien.
10) Apabila dengan beban 5,5 angka yang
ditunjukkan jarum ≤ 3, maka beban ditambah
menjadi 7,5, dan apabila masih menunjukkan
angka ≤ 3, beban ditambah menjadi 10 (beban
maksimal).
11) Pemeriksa membaca angka yang ditunjuk oleh
jarum tonometer. Pemeriksaan diulang 2-3 kali
untuk menjaga konsistensi pemeriksaan.
12) Kemudian pemeriksa melihat pada tabel,
dimana terdapat daftar tekanan bola mata.
13) Meneteskan antibiotik topikal pada mata yang
sudah diperiksa.

Mata | 45
Eichtabelle 1955
Calibration Scole nach Friedenwold, Kronfeld, Ballintine und Trotter
Gebrauchsanweisung ouf der Rockseite
Augendruck - Pressure mm Hg
Zeiger-Aussclhog
Tonometerstiftgewicht - Plunger Load
Scole Reading
5.5 GM. 7.5 GM. 10.0 GM. 15.0 GM
0.0 41.5 59.1 81.7 127.5
0.5 37.8 54.2 75.1 117.9
1.0 34.5 49.8 69.3 109.3
1.5 31.6 45.8 64.0 101.4
2.0 29.0 42.1 59.1 94.3
2.5 26.6 38.8 54.7 88.0
3.0 24.4 35.8 50.6 81.8
3.5 22.4 33.0 46.9 76.2
4.0 20.6 30.4 43.4 71.0
4.5 18.9 28.0 40.2 66.2
5.0 17.3 25.8 37.2 61.8
5.5 15.9 23.8 34.4 57.6
6.0 14.6 21.9 31.8 53.6
6.5 13.4 20.1 29.4 49.9
7.0 12.2 18.5 27.2 46.5
7.5 11.2 17.0 25.1 43.2
8.0 10.2 15.6 23.1 40.2
8.5 9.4 14.3 21.3 38.1
9.0 8.5 13.1 19.6 34.6
9.5 7.8 12.0 18.0 32.0
10.0 7.1 10.9 16.5 29.6
10.5 6.5 10.0 15.1 27.4
11.0 5.9 9.0 13.8 25.3
11.5 5.3 8.3 12.6 23.3
12.0 4.9 7.5 11.5 21.4
12.5 4.4 6.8 10.5 19.7
13.0 4.0 6.2 9.5 18.1
13.5 5.6 8.6 16.5
14.0 5.0 7.8 15.1
14.5 4.5 7.1 13.7
15.0 4.0 6.4 12.6
15.5 5.8 11.4
16.0 5.2 10.4
16.5 4.7 9.4
17.5 4.2 8.5
18.0 7.7
18.3 6.9
19.0 6.2
11.5 5.6
20.0 4.9

Gambar 14. Tabel tonometri schiotz

46 | Mata
ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN
Sesuai dengan referensi kalibrasi pada tabel alat
Schiotz.

CONTOH KASUS
Seorang pasien laki-laki berusia 55 tahun
datang ke puskesmas dengan keluhan
penglihatannya terasa menyempit.
Pasien tidak menyadari kalau lapangan
pandangnya makin lama makin menyempit.

Lakukan pemeriksaan tekanan intra okuler


dengan Schiotz pada pasien!

REFERENSI
Artini W, Hutauruk J, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar
Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.
Harper RA. Basic Ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2010.

Penilaian Penglihatan Warna


4A
dengan Buku Ishihara 12 Plate
TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan buta
warna.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi mata
· Kelainan retina

Mata | 47
· Kelaian nervus optikus
· Penyakit herediter pada mata

ALAT DAN BAHAN

Gambar 15. Buku ishihara


Buku ishihara 12 plate.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan.
2) Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
3) Minta pasien duduk di kursi periksa.
4) Minta pasien mengenali dan menyebutkan
gambar atau angka yang terdapat di dalam buku
ishihara dalam waktu masing-masing 10 detik
pada setiap halaman.
5) Pemeriksa menilai kemampuan pasien
mengenali gambar atau angka dalam buku
ishihara.
6) Mata diperiksa satu persatu.

48 | Mata
https://www.healthline.com/health/color-vision-test#procedure
Gambar 16. Pemeriksaan buta warna

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


Buku Ishihara adalah buku dengan titik-titik berwarna
yang kecerahannya dan bayangannya membentuk
angka, huruf, atau lainnya. Kartu ini digunakan
untuk menguji daya pisah warna mata penderita
yang diuji untuk menilai adanya buta warna. Pada
penyakit tertentu dapat terjadi gangguan penglihatan
warna seperti buta merah dan hijau pada atrofi saraf
optik, neuropati optik toksik, dengan pengecualian
neuropati iskemia, glaukoma dengan atrofi optik yang
memberikan gangguan penglihatan biru kuning.

REFERENSI
Artini W, Hutauruk J, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar
Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.
Harper RA. Basic Ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2010.

Mata | 49
4A Pemeriksaan Funduskopi
TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan
funduskopi untuk melihat refleks fundus, papil,
pembuluh darah, retina dan makula.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi mata
· Kelainan retina
· Kelaian nervus optikus

ALAT DAN BAHAN


· Oftalmoskop direct
· Midriatikum, misalnya mydriatil 1%

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Bila TIO normal, teteskan midriatikum, tunggu
sampai pupil berdilatasi maksimal atau sampai
tidak ada refleks pupil (kira-kira 15 menit).
2) Memberitahukan pasien bahwa setelah ditetesi
midriatikum akan terasa silai dan kabur terutama
untuk melihat dekat selama 4-6 jam.
3) Pasien diminta melihat ke depan jauh,
pencahayaan ruangan diredupkan.
4) Power dioptri oftalmoskop diletakkan di angka 0.
5) Periksa mata kanan pasien dengan mata kanan
pemeriksa dan sebaliknya
6) Periksa refleks fundus terlebih dahulu dari jarak
30 cm.
7) Dekatkan oftalmoskop sedekat mungkin dengan
mata pasien hingga bisa terlihat fundus.
8) Apabila masih kabur, power dioptri diputar
sampai fundus terlihat jelas.

50 | Mata
9) Periksa papil N.II, pembuluh darah, retina, dan
macula.
10) Saat pemeriksaan makula, pasien diminta
melihat lampu oftalmoskop untuk menilai refleks
fovea.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Bila didapatkan refleks fundus cemerlang
berarti media refrakta jernih.
· Papil N.II: bentuk bulat atau oval, batas tegas
atau tidak, warna kuning kemerahan, pucat atau
hiperemis, cup disc ratio (CDR) normal 0,3.
· Pembuluh darah (vasa): arterivena ratio (AVR)
normal 2/3.
· Retina: adakah perdarahan, eksudat, ablatio,
neovaskularisasi
· Makula: dinilai ada atau tidak refleks fovea.

CONTOH KASUS
Seorang perempuan berusia 60 tahun
datang dengan keluhan kedua penglihatan
kabur dengan riwayat DM 10 tahun.

Lakukan pemeriksaan funduskopi pada


pasien tersebut!

REFERENSI
Artini W, Hutauruk J, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar
Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.
Harper RA. Basic Ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2010.

Mata | 51
4A Pemberian Obat Tetes Mata
dan Salep Mata
TUJUAN
· Mahasiswa mampu melakukan aplikasi
pemberian obat tetes mata.
· Mahasiswa mampu melakukan aplikasi
pemberian salep mata.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


Farmakodinamik dan farmakokinetik obat mata topikal.

ALAT DAN BAHAN


· Meja periksa atau kursi periksa
· Obat tetes mata atau salep mata
· Kapas pembersih muka
· Air matang hangat

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan.
2) Botol tetes mata atau tube salep mata harus
disesuaikan dengan suhu ruangan karena tetes
mata/salep mata yang dingin lebih tidak nyaman.
3) Memberikan penjelasan kepada pasien jenis
dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
4) Cuci tangan, lalu siapkan kapas pembersih
muka yang dibasahi dengan air matang hangat.
Bersihkan mata dari dalam ke luar.
5) Minta pasien berbaring di meja periksa atau
duduk di kursi periksa.
6) Pemberian obat dalam posisi berbaring atau
duduk dengan kepala menengadah agar tetes
mata/salep mata tepat ke arah mata yang dituju.
Jangan sampai mata terkena aplikator botol

52 | Mata
tetes mata atau tutup salep mata.
7) Dengan satu tangan, tarik kelopak bawah mata
secara lembut, sehingga membentuk kantung.
Arahkan ujung botol tetes mata/tube salep mata
ke kantung kelopak bawah mata kearah forniks
inferior dan teteskan/berikan salep sesuai
aturan.
8) Hindari tip (ujung) botol tetes mata menyentuh
bulu mata/kelopak mata/bola mata. Posisi ujung
botol tetes atau salep mata pada saat menetesi
mata anak ialah kurang lebih 2 cm diatas
‘kantung’ kelopak bawah mata.
9) Beri jeda sekitar 3-5 menit antara satu obat tetes
mata ke obat tetes mata atau salep mata yang
lain. Apabila kombinasi tetes mata dan salep
mata, maka yang diberikan terlebih dahulu ialah
yang tetes mata.
10) Ketika sudah selesai memberikan tetes mata/
salep mata, segera tutup botol tetes mata/salep
mata. Minta pasien memejamkan kembali mata
secara perlahan (seperti tidur) selama 1-2 menit.
11) Cuci tangan setelah memberi tetes mata/ salep
mata.

Gambar 17. Cuci tangan sebelum dan sesudah pemberian


tetes mata

Mata | 53
Gambar 18. Pemberian salep mata

REFERENSI
Artini W, Hutauruk J, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar
Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.
Harper RA. Basic Ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2010.

4A Pencabutan Bulu Mata


TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan teknik pencabutan
bulu mata (epilasi).

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi mata
· Kelainan bulu mata

ALAT DAN BAHAN


· Anastesi topikal
· Pinset
· Lup/binocular 3-5 Dioptri
· Pen light atau senter
· Kasa

54 | Mata
TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan.
2) Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan dan informasikan
bahwa prosedur ini akan menyebabkan nyeri.
3) Mencuci tangan.
4) Minta pasien berbaring terlentang di meja
periksa. Posisi pemeriksa berada di bagian
kepala pasien. Posisikan pasien senyaman
mungkin dengan penyangga di kepala pasien.
5) Minta perawat untuk memegang senter atau
pen light.
6) Aplikasikan anastesi topikal pada mata yang
akan dilakukan tindakan.
7) Dengan menggunakan loupe, identifikasi bulu
mata yang perlu dicabut.
8) Untuk pencabutan bulu mata bagian bawah:
a. Minta pasien untuk melihat ke atas
dan fiksasi pandangannya. Minimalkan
gerakan pasien.
b. Dengan jari telunjuk, tarik ke bawah
kelopak mata bagian bawah.
9) Untuk pencabutan bulu mata bagian atas:
a. Minta pasien untuk melihat ke bawah
dan fiksasi pandangannya. Minimalkan
gerakan pasien.
b. Dengan ibu jari, dorong ke atas kelopak
mata bagian atas.
c. Dengan pinset yang dipegang tangan
yang lain, jepit bulu mata yang akan
dicabut kemudian tarik secara perlahan
ke arah depan.
d. Ulangi sampai seluruh bulu mata yang
diinginkan tercabut.
10) Antara setiap epilasi, usap bulu mata dengan

Mata | 55
menggunakan kasa.
11) Yakinkan pasien bahwa semua bulu mata
sudah tercabut. Sarankan pasien untuk tidak
menggosok mata.
12) Cuci tangan setelah melakukan tindakan.

(Sumber: https://www.cehjournal.org/article/epilation-of-eyelashes/
Gambar 19. Tindakan epilasi

REFERENSI
Artini W, Hutauruk J, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar
Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.
Harper RA. Basic Ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2010.

4A Membersihkan Benda Asing


pada Konjungtiva
TUJUAN
Mahasiswa mampu membersihkan benda asing pada
konjungtiva.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi mata
· Kelainan konjungtiva dan kornea

56 | Mata
ALAT DAN BAHAN
· Pen light
· Loupe binocular 3-5 Dioptri
· Tetes anestesi topical (misal tetracaine 0,5%
atau 2%)
· Cotton bud
· Cairan fisiologis

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Lakukan pemeriksaan fisik mata secara
menyeluruh.
2) Identifikasi benda asing konjungtiva, apakah
dikonjungtiva bulbi atau konjungtiva tarsalis,
ukuran, jenis, kedalaman penetrasi benda asing.
3) Hanya lakukan pembersihan benda asing/
debris konjungtiva yang berada di permukaan
bila benda asing berada di konjungtiva bulbi.
4) Teteskan anestesi topikan, eversikan kelopak,
identifikasi benda asing dengan loop.
5) Ambil/sapu benda asing dengan menggunakan
cotton bud yang sudah dibasahi, kearah yang
menjauhi kornea.
6) Bilas konjungtiva dengan menggunakan cairan
fisiologis.
7) Setelah benda asing terangkat, identifikasi lesi,
ada atau tidak laserasi konjungtiva, berikan
tetes mata antibiotika spektrum luas.

REFERENSI
Artini W, Hutauruk J, Yudisianil. Pemerikskaan Dasar
Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.
Harper RA. Basic Ophthalmology. American Academy
of Ophthalmology. 2010.

| 57
PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS
KEGAWATDARURATAN

4A Bantuan Hidup Dasar


TUJUAN
Mampu melakukan bantuan hidup dasar sesuai
kompetensi dokter.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Memahami Ilmu Anatomi dan fisiologi sistem
pernafasan dan jantung
· Memahami penilaian kondisi dan situasi
kegawatdaruratan
· Memahami sistem komunikasi dan layanan
gawat darurat (code blue)
· Memahami penggunaan Automated Defibrilation
External (AED)
· Memahami prosedur etik
· Mampu menggunakan Alat Proteksi diri/APD

ALAT DAN BAHAN


· Manekin manusia dewasa untuk resusitasi
· Automated Defibrilation External
· Tisu, kapas alkohol dan plastik untuk

58 | Kegawatdaruratan
membersihkan mulut manekin sebelum memberi
bantuan nafas
· Oropharyngeal airway
· Nasopharyngeal airway
· Sungkup
· Kantung pernafasan

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Pastikan kondisi aman untuk penolong dan
penderita.
2) Menilai respon korban. Penilaian respon
dilakukan dengan menepuk sambil memanggil
penderita.

Gambar 20. Cek respon pada pasien tidak sadar

a. Jika penderita menjawab atau bergerak


terhadap respon yang diberikan,
usahakan tetap mempertahankan
posisi seperti pada saat ditemukan
atau posisikan ke posisi mantap.

Kegawatdaruratan | 59
b. Jika penderita tidak merespon, serta
tidak bernapas atau bernapas tidak
normal, maka dianggap mengalami
kejadian henti jantung. (untuk orang
awam).
3) Jika pasien tidak respon, lakukan aktivasi
sistem layanan gawat darurat dan meminta
bantuan orang lain sekitar untuk mengambilkan
alat kejut jantung yang mungkin ada di sekitar
lokasi kejadian (AED=Automated Defibrilation
External), atau minta bantuan orang terdekat
atau penolong sendiri yang menelepon jika tidak
ada orang lain.
4) Periksa denyut nadi arteri karotis dalam waktu
maksimal 10 detik.
5) Jika tidak teraba nadi atau ragu, segera lakukan
kompresi dada:
a. Penderita dibaringkan di tempat yang
datar dan keras.
b. Tentukan lokasi kompresi dada dengan
cara meletakkan telapak tangan
yang telah saling berkaitan di bagian
setengah bawah sternum.
c. Frekuensi 100-120 kali per menit
dengan kedalaman 5-6 cm.
d. Interupsi kompresi minimal (maksimal
10 detik).
e. Setiap kompresi, pastikan dinding dada
kembali semula sebelum dilakukan
kompresi berikutnya (full recoil).
f. Penolong melakukan kompresi dengan
perbandingan kompresi dan ventilasi
30:2.

60 | Kegawatdaruratan
Gambar 21. Kompresi dada

6) Setelah lakukan kompresi 30 kali, dengan


menyingkirkan kemungkinan adanya patah
tulang leher, lakukan ventilasi dengan membuka
jalan napas. Teknik membuka jalan nafas:
a. Head tilt chin lift maneuver
- Dorong kepala korban dengan
mendorong dahi ke belakang
(head tilt) dan pada saat yang
bersamaan dagu korban (chin
lift).
- Langkah Head tilt tidak boleh
dilakukan pada pasien dengan
kasus trauma, sampai bisa
dibuktikan tidak ada cidera
tulang leher.

Kegawatdaruratan | 61
Gambar 22. A. Pada pasien tidak sadar sering lidah jatuh;
B. Head tilt dan chin lift
b. Jaw thrust

- Letakkan siku-siku pada


bidang datar tempat korban
dibaringkan. Cari rahang
bawah. Pegang rahang bawah
dengan jari-jari kedua tangan
dari sisi kanan dan kiri korban.
- Dorong rahang bawah dengan
mendorong kedua sudutnya ke
depan dengan jari-jari kedua
tangan.
- Buka mulut korban dengan
ibu jari dan jari telunjuk kedua
tangan.

62 | Kegawatdaruratan
Gambar 23. Jaw thrust

c. Pemasangan Oropharyngeal Airway

Gambar 24. Oropharyngeal Airway

d. Pemasangan Nasopharyngeal Airway

(Sumber: https://www.sciencedirect.com/topics/medicine-and-dentistry/head-
tilt-chin-lift)
Gambar 25. Nasopharyngeal Airway

Kegawatdaruratan | 63
7) Setelah membuka jalan nafas, berikan 1 bantuan
nafas setiap 6 detik (10 nafas/menit). Bantuan
nafas dapat diberikan dengan teknik:
a. Mulut ke mulut
- Pertahankan posisi head tilt
chin lift. Jepit hidung dengan
menggunakan ibu jari dan
telunjuk tangan.
- Buka sedikit mulut penderita,
tarik napas panjang, dan
tempelkan rapat bibir penolong
melingkari mulut penderita.
Hembuskan napas lambat
setiap tiupan selama 1 detik.
Pastikan dada terangkat.
- Lepaskan mulut penolong dari
mulut penderita, lihat apakah
dada penderita turun waktu
ekshalasi.
- Lanjutkan bantuan nafas.
b. Mulut ke sungkup
- Letakkan sungkup pada muka
penderita dan dipegang dengan
kedua ibu jari.
- Lakukan head tilt chin lift/ jaw
thrust. Tekan sungkup ke muka
penderita dengan rapat.
- Hembuskan udara melalui
lubang sungkup hingga dada
terangkat.
- Amati turunnya pergerakan
dinding dada.

64 | Kegawatdaruratan
Gambar 26. Resusitasi mulut ke sungkup
c. Dengan kantung pernafasan
- Tempatkan tangan untuk
membuka jalan japas.
- Letakkan sungkup menutupi
muka dengan teknik E-C clamp
(bila seorang diri) yaitu dengan
meletakkan jari ketiga, keempat,
kelima membentuk huruf E dan
diletakkan dibawah rahang
bawah dan mengekstensi dagu
serta rahang bawah; ibu jari
dan telunjuk membentuk huruf
C untuk mempertahankan
sungkup.
- Bila 2 penolong, 1 penolong
berada pada posisi di atas
kepala penderita dan dengan
menggunakan ibu jari dan
telunjuk tangan kiri dan
kanan mencegah agar tidak
terjadi kebocoran disekitar
sungkup. Jari-jari yang lain

Kegawatdaruratan | 65
mengektensikan kepala sambil
melihat pergerakan dada.
Penolong kedua memompa
kantung sampai dada terangkat.

Gambar 27. A. Teknik E-C Clamp (penolong sendiri ventilasi); B. 2


penolong ventilasi

8) Evaluasi nadi carotis dan ulangi siklus setiap 2


menit.
9) Bila masih belum teraba denyut nadi leher,
lanjutkan 30x pijat jantung dan 2x nafas buatan.
10) Lakukan tindakan ini terus sampai datang tim
bantuan yang lebih kompeten.

TINDAKAN KEJUT JANTUNG DENGAN AED


Tanpa menunggu 1 siklus selesai, jika AED telah siap,
gunakan AED sesegera mungkin:
1) Tempelkan adhesive pad pd pasien. Kompresi
dada tetap dilanjutkan.
2) Hidupkan power AED.
3) Ikuti instruksi AED.
a. Menghentikan kompresi dada untuk
analisa irama sesuai instruksi AED.
b. Jika diperintahkan untuk shock:
- Pastikan semua penolong tidak

66 | Kegawatdaruratan
menyentuh korban dan tempat
tidur
- Tekan tombol shock
- Lanjutkan CPR
c. Jika tidak diperintahkan untuk shock,
melanjutkan kompresi dada.
d. Evaluasi korban (nafas dan nadi)
setiap selesai 5 siklus sampai bantuan
tim ahli datang.
e. Jika korban sudah ROSC (return of
spontaneous of circulation) diposisikan
recovery.
f. Monitor secara periodik 2 menit sampai
bantuan tim ahli datang.

(Sumber: https://www.aedcpr.com/online-cpr/adult-aed.php)
Gambar 28. Penggunaan AED pada korban dewasa

TEKNIK TINDAKAN PADA ANAK


1) Pemeriksaan nadi bayi kurang dari satu tahun
dilakukan pada arteri brachialis atau arteri
femoralis. Untuk anak diatas satu tahun,
pemeriksaan dilakukan sama seperti pada
orang dewasa.
2) Jika pulsasi teraba, berikan 1 bantuan napas

Kegawatdaruratan | 67
tiap 3 detik. Berikan kompresi jika denyut jantung
<60/menit dengan perfusi yang buruk walaupun
setelah oksigenasi dan ventilasi yang adekuat.
3) Kompresi pada anak usia 1-8 tahun:
a. Menekan sternum sekitar 5 cm dengan
kecepatan minimal 100 kali per menit.
b. Setelah 30 kali kompresi, buka jalan
napas dan berikan 2 kali napas bantuan
sampai dada terangkat (1 penolong).
c. Kompresi dan napas buatan dengan
rasio 30:2 (2 penolong).
4) Kompresi dada pada bayi:
a. Letakkan 2 jari satu tangan pada
setengah bawah sternum; lebar 1 jari
berada di bawah garis intermammari.
b. Menekan sternum sekitar 4 cm
kemudian angkat tanpa melepas jari
dari sternum dngan kecepatan minimal
100 kali per menit.
c. Setelah 30 kali kompresi, buka jalan
napas dan berikan 2 kali napas bantuan
sampai dada terangkat (1 penolong).
d. Kompresi dan napas bantuan dengan
rasio 30 :2 jika 2 penolong.
5) Jika bayi atau anak sudah kembali ke dalam
sirkulasi spontan, maka baringkan anak atau
bayi ke posisi mantap.
a. Gendong bayi di lengan penolong
sambil menyangga perut dan dada
bayi dengan kepala bayi terletak lebih
rendah.
b. Usahakan tidak menutup mulut dan
hidung bayi.
c. Monitor dan rekam tanda vital, tingkat
respon, denyut nadi, dan pernapasan.

68 | Kegawatdaruratan
VARIASI ISTILAH

1) Dalam penanganan kegawat daruratan untuk


pertolongan “Bantuan Hidup Dasar” ada
pembenda antara penolong awam dan orang
terlatih dimana karena orang awam tidak
mengerti dan tidak diajarkan meraba nadi
karotis, karena itu memposisikan penolong
sebagai orang awam atau medis terlatih sangat
penting.

2) Dalam Guideline ILCOR 2015 ditekankan


kualitas pertolongannya yaitu kompresi yang
keras sedalam 2 inci /atau sedalam 5 -6 cm
dengan kecepatan 100 -120 x/menit atau 2
kompresi per detik.

3) Aktivasi sistem layanan gawat darurat


disesuaikan dengan lokasi setempat. Nomer
telpon emergensi yang disebutkan untuk
mengatifkan sistem layanan gawat darurat di
satu tempat bisa berbeda dengan tempat yang
lain.

4) Penggunaan alat bantu kejut jantung AED pada


kasus bantuan hidup dasar menjadi variasi
kasus.

5) Variasi kasus bisa dengan lokasi di tempat umum


yang ada atau tidak ada alat kejut jantung, di
rumah sakit (poliklinik, UGD atau bangsal).

Kegawatdaruratan | 69
CONTOH KASUS
1 Seorang laki-laki mengeluh sakit dada saat
sedang bermain sepak bola dan kemudian
jatuh pingsan (tidak sadarkan diri).

2 Seorang laki-laki usia 55 tahun sedang


menunggu keberangkatan pesawatnya
di ruang tunggu airport. Tiba-tiba laki-laki
tersebut tampak memegang dada sebelah
kiri dan tampak kesakitan, dan kemudian
tidak sadarkan diri.

3 Seorang laki-laki usia 64 tahun sedang


menunggu antrian untuk periksa di
poliklinik penyakit dalam untuk kontrol
penyakit tekanan darah tingginya. Setelah
1 jam antri, pasien tiba-tiba mengeluh nyeri
dada dan kemudian tidak sadarkan diri.

REFERENSI
ILCOR (International Liason Committee On
Resuscitation).
Morgan, Jr, GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology
ed 5, 2013, McGraw Hill companies, New York.
Tintinalli’s Emergency’s Medicine A, Comprehensive
Study Guide, Judith E. Tintinalli, Ed 8, 2016,
McGraw-Hill Education, New York.

70 | Kegawatdaruratan
3 Manajemen Jalan Nafas: Intubasi
TUJUAN
Mahasiswa memiliki kemampuan menguasai
penatalaksanaan jalan nafas pada pasien dewasa
dan anak-anak serta intubasi.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi sistem respirasi
· Memiliki pengetahuan dalam menilai tanda-
tanda gagal nafas
· Mengetahui indikasi intubasi dan prosedur
intubasi yang benar

ALAT DAN BAHAN


· Manekin untuk intubasi
· Bag mask ventilation (BMV)
· Laringoskop
· Steteskop
· Endotrakeal tube
· Oropharingeal airway device (guedel),
nasopharingeal airway device
· Plester untuk fiksasi tube
· Introducer/stylet
· Konektor endotrakeal tube
· Suction
· Monitor non invasif: Tensimeter, Pulse oksimetri,
Nadi

Kegawatdaruratan | 71
TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Mengidentifikasi kondisi terindikasi untuk
intubasi endotrakeal. Yang menjadi indikasi
intubasi endotrakeal:
a. Proteksi jalan nafas nafas
b. Menghilangkan obstruksi jalan nafas
c. Memungkinkan untuk ventilasi mekanik
dan terapi oksigen
d. Gagal nafas
e. Pasien syok
f. Hiperventilasi untuk pasien hipertensi
intra kranial
g. Mengurangi WOB (work of breathing)
h. Memfasilitasi untuk suction atau toilet
pulmonal
2) Melakukan persiapan intubasi. Untuk persiapan
intubasi, yang diperlu diperhatikan:
a. Penilaian anatomi jalan nafas dan
fungsinya untuk memperkirakan
kesulitan ventilasi dan intubasi
b. Cek persiapan alat-alat dan perangkat
intubasi
c. Memastikan ventilasi dan
oksigenisasinya optimal sebelum
dilakukan intubasi
Hal yang perlu diamati untuk menentukan
kesulitan intubasi:
a. Kemampuan gerak leher. Adanya
kemungkinan cedera servikal tulang
belakang, leher yang pendek, atau
keterbatasan gerak leher disebabkan
operasi sebelumnya atau adanya
arthritis.
b. Kelainan anatomi seperti seperti
micrognathia, adanya jaringan sikatrik

72 | Kegawatdaruratan
bekas operasi sebelumnya, trauma
dan pendarahan pada wajah.
c. Bukaan mulut kurang 3 jari atau 6cm
diperkirakan akan sulit intubasi.
d. Lidah. Ukuran lidah relatif terhadap
posterior faring memperkirakan luas
relatif untuk memvisualisasi struktur
glotis.
e. Rahang (Thyromental distance). Jika
jaraknya kurang dari 3 jari, menunjukkan
posisi laring lebih anterior dan sulit
dilakukan intubasi.

Gambar 29. Anatomi dan persyarafan jalan nafas atas

Gambar 30. Bag mask ventilation

Kegawatdaruratan | 73
Gambar 31. Laringoskop, endotracheal tube, dan cara intubasi

3) Melakukan prosedur intubasi


a. Memperkenalkan diri serta informed
consent kepada keluarga pasien.
b. Menggunakan alat pelindung diri
(sarung tangan/gloves dan masker).
c. Melakukan evaluasi terhadap kondisi

74 | Kegawatdaruratan
pasien dan memastikan patensi jalan
nafas baik dengan manuver jalan
nafas.
d. Cek peralatan untuk tindakan intubasi.
e. Posisikan posisi kepala pasien sedikit
ektensi atau pada posisi ne sniffing.
f. Lakukan preoksigenisasi.
g. Masukkan blade laringoskop dari
pinggir kanan mulut pasien sambil
menggeser lidah ke kiri.
h. Insersikan tip dari blade ke valecula
sambil visualisasi epiglotis dan pita
suara (cegah jangan sampai bibir
terjepit).
i. Handel laringoskop diangkat sehingga
pita suara lebih jelas tervisualisasi dan
insersikan ET tube kedalamnya sampai
batas yang ditentukan.
j. Kembangkan Cuff ET tube dan cek
posisi ET tube dengan auskultasi.
k. Fiksasi posisi ET di pinggir mulut pasien
dengan plester dan melanjutkan
bantuan ventilasi.
l. Penjelasan ke keluarga hasil dari
tindakan intubasi dan tindakan medis.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Cek suara nafas di kedua lapang paru pada
daerah apek dan basal (pastikan suara nafas
vesikuler simetris).
· Jika tidak ada suara nafas, pastikan tidak terjadi
laringospasme atau bronkospasme dengan
melihat tanda-tanda klinis yang lain.
· Jika terdengar suara nafas di lambung, ETT di
cabut.

Kegawatdaruratan | 75
· Lakukan ventilasi dan oksigenisasi lagi.
· Lakukan intubasi ulang

CONTOH KASUS

Seorang pasien laki-laki umur 25 tahun


Masuk ke IGD Rumah Sakit. Pasien
mengalami kecelakaan lalu lintas dan
mengalami cedera kepala dengan GCS
7, RR 35x/mnt, SpO2 80 %, nafas pasien
ngorok. Tanda vital relatif stabil.

Apa tindakan saudara untuk manajemen


jalan nafas?

REFERENSI
ILCOR (International Liason Committee On
Resuscitation).
Morgan, Jr, GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology
ed 5, 2013, McGraw Hill companies, New York.
Tintinalli’s Emergency’s Medicine A, Comprehensive
Study Guide, Judith E. Tintinalli, Ed 8, 2016,
McGraw-Hill Education, New York.
Truma Resuscitation Emergency Resuscitation,
Perioperative Anesthesia, Surgical
Management, William C Wilsion, Chistopher
Grande, David B Hyot, 2007 by Informa
Healthcare USA.

76 | Kegawatdaruratan
4 Penilaian Status Dehidrasi
TUJUAN
Mahasiswa mampu menilai turgor kulit sebagai salah
satu pemeriksaan untuk menentukan status dehidrasi.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Memahami anatomi dan fisiologi sistem sirkulasi
tubuh
· Memahami fisiologi keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh
· Memahami mekanisme gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
· Memahami tanda klinis dehidrasi dan dapat
menentukan status dehidrasi
· Memahami terapi dan cara penanganan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
· Memahami monitoring klinis hemodinamik
· Mampu melakukan cuci tangan
· Mampu menggunakan Alat Proteksi diri/APD

ALAT DAN BAHAN


· Sabun cair
· Alkohol
· Wastafel dengan air mengalir
· Tissue/handuk kecil
· Pasien standar
· Tensimeter
· Stetoskop
· Termometer
· Tempat tidur pasien
· Meja
· Kursi (dokter dan pasien)
· Tempat sampah

Kegawatdaruratan | 77
TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Jelaskan kepada pasien tentang pemeriksaan
yang akan dilakukan dan prosedurnya.
2) Cuci tangan 7 langkah.
3) Minta pasien untuk tiduran dan siap diperiksa
tanda-tanda dehidrasi.
4) Identifikasi tanda atau gejala dehidrasi:
a. Keadaan umum – dinilai dengan
pemeriksaan fisik secara umum
b. Penurunan kesadaran – dinilai dari
pemeriksaan klinis pasien
c. Rasa haus – ditanyakan kepada pasien
atau orang tua pasien (jika pasien
anak)
d. Mata cowong – dinilai dengan
pemeriksaan fisik (pengamatan)
e. Tugor kulit – dinilai dengan mencubit
kulit di daerah perut selama 1 detik,
setelah itu lepaskan. Perhatikan
berapa lama waktu yang dibutuhkan
kulit untuk kembali ke bentuk semula
f. Membran mukosa – dinilai dengan
pemeriksaan klinis (pengamatan)
g. Nadi cepat – diperiksa dengan meraba
nadi
h. Tekanan darah turun – diperiksa
dengan mengukur tekanan darah
i. Frekuensi nafas – diperiksa dengan
menghitung nafas dalam semenit
j. Suhu tubuh – diukur dengan termometer
k. Akral – diperiksa dengan meraba akral
l. Produksi urine menurun – ditanyakan
kepada pasien atau orang tua pasien
terakhir buang air kecil, atau dari
pengukuran jumlah urin setelah

78 | Kegawatdaruratan
dipasang kateter urin
m. Warna urine berubah (lebih pekat)
– ditanyakan kepada pasien atau
orang tua pasien warna urin atau
dari pengamatan urin di kantong urin
(setelah dipasang kateter urin)

Gambar 32. Mata cowong

Gambar 33. Pemeriksaan turgor kulit

Kegawatdaruratan | 79
5) Menilai tingkat dehidrasi yang terjadi.
Menurut WHO, dehidrasi dibagi tiga tingkat yaitu
tidak dehidrasi, dehidrasi ringan-sedang, dan
dehidrasi berat.

Tabel 1. Derajat dehidrasi berdasarkan kriteria WHO


Tidak Ringan-
Berat
dehidrasi Sedang
Dewasa <3% 3-9% >9%

Anak 5% 10% 15%

Kesadaran Sadar gelisah Letargis,


penuh koma
Haus Normal haus Tidak bisa
minum
Tanda Vital Normal Takikardi Takikardi
nadi dan
Tekanan CRT*>2 CRT*>>2
darah detik detik
Frekuensi Normal meningkat meningkat
nafas
Akral Normal dingin Basah dan
dingin
Membran Normal kering kering
mukosa
Turgor kulit Normal Kembali >2 Kembali >2
detik detik
Urin output Normal berkurang Tidak ada
*CRT: Capillary Refill Time

80 | Kegawatdaruratan
ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN
Sesuai tabel.

VARIASI ISTILAH
· Variasi kasus bisa dengan berbagai tingkat
dehidrasi.
· Variasi kasus bisa dengan terpasang tidaknya
kateter urin.

CONTOH KASUS
Seorang wanita, 34 tahun diare dan muntah
sejak 2 hari yang lalu. Dalam sehari, diare
bisa 10 x. Wanita ini kemudian dibawa ke
rumah sakit primer dengan kesadaran
menurun, napas cepat, nadi cepat dan
lemah.

REFERENSI
IMCI, Integrated Management Of Childhood Illness.
Distance Learning Course Modul 4 Diarrhoea,
World Health Organization, 2014.
Tintinalli’s Emergency’s Medicine A, Comprehensive
Study Guide, Judith E. Tintinalli, Ed 8, 2016,
McGraw-Hill Education, New York.

4A Resusitasi Cairan
TUJUAN
Menilai dan menentukan status dehidrasi, syok
hipovolemik, sehingga dapat melakukan penggantian
kehilangan cairan tubuh yang terjadi secara akut.

Kegawatdaruratan | 81
PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI
· Memahami anatomi dan fisiologi sistem sirkulasi
tubuh
· Memahami fisiologi keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh
· Memahami mekanisme gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
· Memahami tanda klinis dehidrasi dan dapat
menentukan status dehidrasi
· Memahami terapi dan cara penanganan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
· Memahami monitoring klinis hemodinamik
· Memahami jenis cairan untuk resusitasi
· Mampu melakukan cuci tangan
· Mampu menggunakan Alat Proteksi diri/APD

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Dimulai dengan penyakit atau cedera atau
apapun yang dapat mengubah keseimbangan
cairan dan elektrolit dan distribusi kebutuhan
dalam banyak cara karena:
a. Respon metabolik nonspesifik
terhadap stres (terutama di sakit parah
atau terluka)
b. Perubahan keseimbangan cairan atau
elektrolit karena disfungsi organ atau
sistem atau efek dari obat-obatan atau
terapi
c. Kehilangan cairan tubuh akut karena
perdarahan yang menyebabkan shock
2) Identifikasi tanda atau gejala gangguan
keseimbangan cairan atau elektrolit, baik tanda-
tanda interstitial sign (mata cowong, tugor, rasa
haus) atapun plasma sign (nadi cepat, tekanan
darah turun, sampai produksi urine menurun

82 | Kegawatdaruratan
bahkan warna urine berubah. Bila perubahan
keseimbangan cairan menjadi memberat maka
tanda-tanda kegawatan akan mulai mengganggu
organ atau sistem vital, misalnya pernapasan,
jantung dan saluran pembuluh darahnya serta
kesadaran otak.

Gambar 34. A. Kesadaran menurun akibat diare, B.


Peritonitis, tensi 80/50, nadi 150, urine = 0, nafas 35x,
flare (+)

Tabel 2. Klasifikasi perdarahan

Kelas
I II III IV
Hilangnya <750 750-1500 1500-2000 >2000
darah (ml)
Hilangnya <15% 15-30% 30-40% >40%
darah (%)
Frekuensi nadi <100 >100 >120 >140
(x/mnt)
Tekanan darah Normal menurun menurun menurun

Frekuensi 14-20 20-30 30-40 >35


nafas (x/mnt)
Urin output >30 20-30 5-15 <<<
Kesadaran Normal gelisah confused letargis

Kegawatdaruratan | 83
3) Menentukan status hidrasi atau status shock
sesuai dengan kehilangan cairan yang
disebabkan suatu penyakit atau trauma.
Klasifikasi perdarahan dan dehidrasi dapat
dilihat pada tabel 1 dan 2.
Nilai dan catat hasil pemeriksaan untuk indikasi
kebutuhan resusitasi cairan: tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi pernapasan (lihat
Bab Tanda Vital) capillary refill time (lihat Bab
Kardiovaskular) perabaan ekstrimitas (lihat Bab
Kardiovaskular).

ALGORITME RESUSITASI
1) Berikan oksigenasi.
2) Pasang kanula IV berkururan besar.
3) Identifikasi penyebab gangguan yang terjadi
dan respons pasien.
4) Berikan bolus 500 ml cairan kristaloid.
5) Nilai ulang kondisi pasien dengan menggunakan
ABCDE (lihat Bagian Bantuan Hidup Dasar).
Pertimbangkan apakah pasien masih
membutuhkan resusitasi cairan.
6) Jika cairan yang diberikan masih kurang dari
2000 ml, berikan lagi 250-500 ml bolus cairan
kristaloid. Setelah pemberian cairan selesai,
nilai ulang kondisi pasien dengan ABCDE.
7) Jika tidak, nilai kebutuhan cairan dan elektrolit
pasien.
8) Jika penderita tidak membutuhkan resusitasi
cairan, pastikan kebutuhan cairan dan nutrisi
terpenuhi.
9) Nilai kebutuhan cairan dan elektrolit pasien
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang

84 | Kegawatdaruratan
dibutuhkan.
10) Jika terdapat tanda-tanda kekurangan dan
kelebihan cairan serta cairan yang keluar masih
berlangsung, maka lanjut ke bagian penggantian
dan redistribusi cairan. Jika tidak lanjut ke bagian
rumatan rutin.

PENGGANTIAN DAN REDISTRIBUSI CAIRAN


1) Lihat apakah masih terdapat defisit cairan dan/
atau elektrolit.
2) Jika ada, perkirakan defisit atau kelebihan
cairan lalu tambah atau kurangi dari kebutuhan
rumatan normal per hari.
3) Resepkan kebutuhan rumatan rutin ditambah
suplemen cairan dan elektrolit yang dibutuhkan
berdasarkan pengukuran sebelumnya.
4) Jika kondisi tidak membaik, konsultasi ke
spesialis.
5) Jika tidak ada, periksa adanya kehilangan cairan
yang masih berlangsung. Jika iya, kembali ke
nomor (2).

RUMATAN RUTIN
1) Berikan rumatan cairan IV sesuai dengan
kebutuhan cairan dan elektrolit normal harian
25-30 ml/kg/hari air.
2) Nilai ulang dan awasi kondisi pasien.
3) Stop cairan IV jika sudah tidak ada indikasi yang
sesuai.

PADA LUKA BAKAR


1) Pemberian terapi cairan dilak alam volume
besar.
2) Transfusi diberikan bila hematokrit ukan dengan
memberikan 2-4 ml RL/RA per kg BB tiap %luka

Kegawatdaruratan | 85
bakar.
a. ½ dosis diberikan 8 jam pertama
b. ½ dosis berikut 16 jam kemudian
3) Sesuaikan dosis infus untuk menjaga urin 30-50
ml/jam pada dewasa.
4) Jika respon membaik, turunkan laju infus secara
bertahap.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


Sesuai tabel.
CATATAN KHUSUS

· TD<100 mmHg, CRT >2 detik, dan perabaan


akral dingin; frekuensi nadi >90 per menit; serta
frekuensi napas >20 kali per menit menandakan
kebutuhan resusitasi.
· Medikasi harus diberikan secara IV selama
resusitasi.
· Perubahan Natrium, dapat menyebabkan
hiponatremia yang serius. Na serum harus
dimonitor, terutama pada pemberian infus.
· Pilihan cairan untuk resusitasi bisa kristaloi,
koloid ataupun darah dan komponennya.
Adapun karakteristik tiap cairan resustasi dapat
dilihat pada Tabel 3.

86 | Kegawatdaruratan
Tabel 3. Karakteristik cairan resusitasi

VARIASI ISTILAH
1) Syok hipovolemik bisa disebabkan hilangnya
cairan tubuh misal akibat muntah diare, luka
bakar ataupun perdarahan pada kasus trauma.
2) Variasi kasus bisa dengan berbagai tingkat
dehidrasi dan perdarahan.
3) Pemberian cairan bisa berupa kristaloid, koloid
ataupun darah dan komponennya, disesuaikan
dengan kasusnya. Pilihan kristaloid : ringer
laktat, ringer asetat ataupun NaCl 0,8%. Pilihan
Koloid: hestarch, gelatin, albumin. Dextran.

Kegawatdaruratan | 87
CONTOH KASUS
Seorang wanita, 34 tahun diare dan muntah
sejak 2 hari yang lalu. Dalam sehari, diare
bisa 10 x. Wanita ini kemudian dibawa ke
Rumah sakit primer dengan kesadaran
menurun, napas cepat, nadi cepat dan
lemah.

REFERENSI
ILCOR (International Liason Committee On
Resuscitation).
Morgan, Jr, GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology
ed 5, 2013, McGraw Hill companies, New York.
Tintinalli’s Emergency’s Medicine A, Comprehensive
Study Guide, Judith E. Tintinalli, Ed 8, 2016,
McGraw-Hill Education, New York.

4A Manuver Heimlich/
Abdominal Thrust
TUJUAN
Melakukan tatalaksana sumbatan jalan napas oleh
benda asing sebagai salah satu bantuan hidup dasar
sesuai kompetensi dokter di pelayanan primer.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Memahami anatomi dan fisiologi jalan nafas
· Memahami tanda-tanda sumbatan jalan nafas
· Memahami penanganan jalan nafas tanpa alat
· Memahami penangan penderita henti jantung

88 | Kegawatdaruratan
TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Kenali tanda-tanda pasien mengalami sumbatan
jalan nafas oleh benda asing. Gejala sumbatan
jalan napas oleh benda asing:
a. Kejadiannya terlihat
b. Batuk atau tersedak
c. Onset mendadak
d. Riwayat sebelumnya bermain atau
makan suatu objek yang kecil
e. Penderita dapat terlihat memegang
leher atau dadanya

Gambar 35. Gejala sumbatan jalan nafas

Korban mengalami sumbatan total atau parsial


masih dapat bernapas dengan kondisi korban
yang makin memburuk, seperti menjadi sianosis,
lemah atau tidak lagi batuk.

2) Lakukan penilaian keparahan sumbatan jalan


nafas. Keparahan sumbatan jalan nafas dapat
dilihat pada Tabel 4.

Kegawatdaruratan | 89
Tabel 4. Perbedaan sumbatan jalan nafas ringan dan berat
Tanda Sumbatan Sumbatan Jalan
Jalan Nafas Nafas Berat
Ringan
‘Anda terse- Ya Tidak bisa
dak?’ bicara, mungkin
mengangguk
Tanda-tanda Dapat Tidak dapat
lainnya bicara, bernafas/ wheezy
batuk, breathing/ Cannot
bernafas breathe/ wheezy
breathing/silent
attempts to cough/
unconsciousness.

Setelah yakin lakukan Heimlich maneuver/


abdominal thrust sesuai dengan algoritma
sumbatan pada jalan nafas.

Penilaian tingkat
keparahan

Obstruksi berat jalan Obstruksi sedangjalan nafas


nafas
(Batuk tidak efektif)

Tidak sadar
Mulai Bantuan Sadar
5 kali back blow Merangsang batuk
Hidup Dasar Lanjutkan dengan
5 kali abdominal thrust
pengecekan deteriorasi
batuk hingga obstruksi

Gambar 36. Algoritma penanganan sumbatan pada jalan nafas

90 | Kegawatdaruratan
3) Tindakan penatalaksanaan sumbatan benda
asing pada jalan nafas yang terdiri dari penderita
sadar dan tidak sadar.
a. Penatalaksanaan penderita tidak sadar
- Segera aktifkan sistem layanan
gawat darurat, panggil bantuan
- Segera baringkan penderita
- Lakukan kompresi 30 kali
- Jika belum bisa dikeluarkan,
terus lakukan kompresi jantung
- Jika benda asing padat sudah
bisa terlihat, benda asing boleh
dikeluarkan secara manual
b. Penatalaksanaan penderita sadar
- Sumbatan ringan: Penolong
merangsang penderita batuk
tanpa melakukan tindakan dan
terus mengobservasi
- Sumbatan berat: Tanya pada
penderita apa yang terjadi
- Nilai keparahan sumbatan jalan
nafas
- Setelah yakin lakukan Heimlich
maneuver/abdominal thrust
sesuai dengan algoritme
sumbatan pada jalan nafas
4) Melakukan abdominal thrust.
a. Penolong berdiri di belakang penderita
kemudian melingkarkan kedua
lengannya pada bagian atas abdomen
penderita.
b. Condongkan penderita ke depan.
c. Letakkan kepalan tangan penolong
diantara umbilikus dan iga.
d. Raih kepalan tangan tersebut dengan

Kegawatdaruratan | 91
tangan yang lain, tarik ke arah dalam
dan atas secara mendadak sebanyak
5 kali.
e. Jika cara tersebut gagal, lakukan
kembali 5 abdominal thrust sampai
sumbatan berhasil keluar atau
penderita tidak sadarkan diri.

Gambar 37. Abdominal thrust (Heimlich Manuver) pada


pasien sadar

Gambar 38. Abdominal thrust (Heimlich Manuver) pada pasien


tidak sadar

92 | Kegawatdaruratan
CONTOH KASUS
Seorang laki-laki usia 29 tahun sedang
menghadiri undangan makan di suatu
restoran. Anda kebetulan berada di
restoran yang sama. Laki-laki tersebut
tampak tertawa terbahak-bahak dengan
teman-temannya. Tiba-tiba laki-laki
tersebut memegang lehernya, tidak bisa
bersuara dan panik.

REFERENSI
ILCOR (International Liason Committee On
Resuscitation).
Morgan, Jr, GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology
ed 5, 2013, McGraw Hill companies, New York.
Tintinalli’s Emergency’s Medicine A, Comprehensive
Study Guide, Judith E. Tintinalli, Ed 8, 2016,
McGraw-Hill Education, New York.
Truma Resuscitation Emergency Resuscitation,
Perioperative Anesthesia, Surgical
Management, William C Wilsion, Chistopher
Grande, David B Hyot, 2007 by Informa
Healthcare USA.

Kegawatdaruratan | 93
PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS

GIZI

Penentuan Status Gizi Orang


Dewasa Berdasarkan IMT
TUJUAN
· Mampu menjelaskan tujuan dilakukannya
pengukuran berat badan dan tinggi badan pada
orang dewasa
· Mampu melakukan persiapan dengan benar
· Mampu mengetahui alat-alat yang akan
dipergunakan pada pengukuran berat badan
dan tinggi badan pada orang dewasa
· Mampu melakukan pengukuran berat badan
pada orang dewasa
· Mampu melakukan pengukuran tinggi badan
pada orang dewasa
· Mampu melakukan penentuan status gizi
dengan pengukuran antropometrik berdasarkan
IMT pada orang dewasa secara tepat dan benar

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Komposisi tubuh
· Pemeriksaan antropometri

94 | Gizi
· Komunikasi dengan pasien

ALAT DAN BAHAN


· Weighing scale
· Mobile stadiometer/Microtoise
· Tabel klasifikasi status gizi berdasarkan IMT
(WHO-Asia Pasifik, 2000)

Tabel 5. Klasifikasi berat badan orang Asia (WHO, 2000)

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Kurus < 18,5

Normal 18,5 – 22,9

Kegemukan ≥ 23

Pra-obes 23 – 24,9

Obes I 25 – 29,9

Obes II ≥ 30

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Medical consent
a. Sapalah pasien atau keluarganya
dengan ramah dan perkenalkan diri
anda serta tanyakan keadaannya
b. Berikan informasi umum kepada
pasien atau keluarganya tentang
indikasi/tujuan dan cara penentuan

Gizi | 95
status gizi berdasarkan indeks massa
tubuh (IMT) dengan cara pengukuran
berat badan dan tinggi badan
c. Jelaskan tentang kemungkinan hasil
penentuan status gizi yang akan
diperoleh
d. Lakukan cuci tangan rutin
2) Persiapan alat
a. Untuk pengukuran berat badan (digital)
- Cek kelayakan pakai pada
weighing scale digital (tidak
ada kerusakan pada alat)
serta cek angka pada jendela
baca memperlihatkan angka 0
dengan menekan tombol on.
- Kalibrasi alat dengan
meletakkan besi seberat 5 kg.
Jika jendela baca menunjuk
ke angka 5, maka alat dapat
digunakan. Akan tetapi, jika
jendela baca tidak menunjuk ke
angka 5, maka alat tidak dapat
digunakan. (Kalibrasi dilakukan
saat maintenance, bukan di
saat akan memeriksa pasien)
b. Untuk pengukuran berat badan
(nondigital)
- Letakkan timbangan/weighing
scale nondigital di tempat yang
datar
- Pastikan posisi bandul pada
angka nol dan jarum dalam
keadaan seimbang

96 | Gizi
Gambar 39. Timbangan/weighing scale nondigital

c. Untuk pengukuran tinggi badan


- Stadiometer
à Cek alat dengan
tiang alat tegak lurus
terhadap dinding
à Cek jendela baca dapat
digeser naik ataupun
turun serta angka
terlihat dengan jelas

- Microtoise
à Tarik pita pengukur
microtoise sehingga
angka 0 tampak
menyentuh garis merah
di jendela baca, dengan
panjang sekitar 200 cm
= 2 meter. Posisi tegak
lurus lantai dengan
dinding ukur rata
à Pasang pengait
microtoise pada
dinding. Kembalikan

Gizi | 97
pita pengukur sehingga
alat siap untuk dipakai
3) Persiapan pasien
a. Untuk pengukuran berat badan
- Pakai pakaian seminimal
mungkin (jaket, kain sarung
dilepaskan). Jika perlu
mengganti baju dengan baju
yang telah disediakan untuk
pengukuran
- Buka alas kaki (sepatu atau
sandal)
- Keluarkan benda-benda berat
yang akan mempengaruhi hasil
pengukuran (kunci, telepon
seluler, dompet, ikat pinggang)
- Dilakukan sebelum pasien
mendapatkan makanan utama
dan kandung kemih dalam
keadaan kosong

b. Untuk pengukuran tinggi badan


- Pakai pakaian seminimal
mungkin sehingga postur tubuh
dapat terlihat dengan jelas (jaket
atau kain sarung dilepaskan).
Jika perlu mengganti pakaian
dengan pakaian yang telah
disediakan untuk pengukuran
- Lepaskan alas kaki (sandal/
sepatu) serta aksesoris
kepala (jepitan rambut, topi,
ikat rambut, jilbab yang tebal
sebaiknya diganti dengan jilbab
yang tipis)

98 | Gizi
4) Pelaksanaan penentuan status gizi pasien

a. Untuk pengukuran berat badan (digital)


- Nyalakan weighing scale
dengan menekan tombol on
maka akan muncul angka 0.00
pada jendela baca
- Minta pasien tersebut naik ke
alat ukur dalam posisi berdiri
tanpa dibantu oleh siapapun
- Minta pasien berdiri menghadap
lurus ke depan (kepala tidak
menunduk), berdiri tegak, rileks
dan tenang
- Bacalah angka yang muncul
pada jendela baca alat
- Catat angka tersebut pada
lembar pemeriksaan status
gizi orang dewasa untuk BB
dengan ketelitian 0.1 kg
- Minta pasien untuk turun setelah
hasil pengukuran dicatat

b. Untuk pengukuran berat badan


(nondigital)
- Minta pasien tersebut naik ke
alat ukur dalam posisi berdiri
tanpa dibantu oleh siapapun
- Minta pasien berdiri menghadap
lurus ke depan (kepala tidak
menunduk), posisi kaki pasien
tepat di tengah alat ukur, berdiri
tegak (tidak menumpu pada
satu kaki), rileks dan tenang
- Baca dengan teliti angka atau

Gizi | 99
garis yang menunjukkan angka
di jendela baca dan catat berat
badan pada status pasien
- Catat angka tersebut pada
lembar pemeriksaan status gizi
pasien orang dewasa untuk BB
dengan ketelitian 0.1 kg
- Minta pasien untuk turun setelah
hasil pengukuran dicatat
- Lakukan pengukuran sebanyak
2 kali

c. Untuk pengukuran tinggi badan


- Minta pasien berdiri tegak
dengan tangan dalam posisi
tergantung bebas di samping
tubuh dan kedua kaki dirapatkan
di depan tiang pengukur /
dinding ukur tepat di bawah
microtoise
- Minta pasien memandang lurus
ke depan sehingga membentuk
posisi kepala Frankfurt Plane
(garis imaginasi dari bagian
inferior orbita horisontal
terhadap meatus akustikus
eksterna bagian dalam)
- Minta pasien untuk menempelkan
kepala bagian belakang, bahu
bagian belakang, bokong, betis
dan kedua tumit pada tiang
pengukur/dinding. Pada pasien
gemuk cukup tiga bagian saja
yaitu bahu bagian belakang
(punggung), bokong dan betis

100 | Gizi
- Turunkan alat geser hingga
menyentuh bagian atas kepala
dan rambut pasien. Dalam
keadaan ini bagian belakang
alat geser harus tetap menempel
pada dinding
- Minta pasien inspirasi
maksimum pada saat diukur
untuk meluruskan tulang
belakang
- Bacalah angka yang ditunjukkan
oleh jendela baca ke arah angka
yang lebih besar (ke bawah).
Pembacaan dilakukan tepat
di depan angka (skala) pada
garis merah, sejajar dengan
mata pemeriksa. Apabila
pengukur lebih rendah dari
yang diukur, pengukur harus
berdiri di atas kursi/bangku agar
hasil pembacaannya benar.
Pencatatan dilakukan dengan
ketelitian hingga 0,1 cm, misal:
157,3 cm
- Lakukan pengukuran 2 kali
5) Penentuan status gizi
a. Indeks massa tubuh (IMT)
- Hitung IMT pasien dengan
menggunakan rumus :

Berat Badan (kg )


IMT =
Tinggi Badan (m 2 )

Gizi | 101
- Ambil tabel klasifikasi status
gizi pada orang dewasa
- Masukkan nilai IMT pasien ke
tabel tersebut
- Tentukan status gizi (status gizi:
normal, kurus, kegemukan)
pasien tersebut

CONTOH KASUS
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang
ke praktik dokter umum dengan keluhan
nafsu makan menurun sejak 1 bulan yang
lalu. Pasien sebelumnya berpostur agak
gempal. Tiga bulan terakhir pasien batuk
berulang dengan demam tidak terlalu

tinggi yang hilang timbul. Pasien ingin
mengetahui bagaimana keadaan status
gizinya saat ini.
1. Lakukanlah pengukuran berat badan
dan tinggi badan pada pasien.
2. Tentukanlah status gizi berdasarkan
IMT.

102 | Gizi
jawaban

Seorang melakukan medical consent


terlebih dahulu kemudian melakukan
persiapan alat dan persiapan pasien.

Menghitung IMT pasien dengan


menggunakan rumus:

Berat Badan (kgKg )


IMT =
Berat Bad
Tinggi g 2))
Badaann (km
Tinggi Badan (m 2 )
48
IMT = 48 ,5
63 2
1,6
3
= 18,25 = 18,3 kg/m2

Kemudian mengambil tabel klasifikasi


status gizi pada orang dewasa, lalu
masukkan nilai IMT pasien ke tabel
tersebut yang didapatkan sebesar 18,3
kg/m2. Status gizi (status gizi kurus,
normal, kegemukan) pada pasien tersebut
ditentukan  status gizi: kurus

REFERENSI
Elia M, Olle Ljungqvist, Rebecca J Strattan, Susan
A Lanham, 2013. Clinical Nutrition. Second
Edition. Willey- Blackwell.

Gizi | 103
Ross A. Catherine, Benjamin Caballero, Robert J.
Cousins, Katherine L. Tucker, Thomas R.
Thomas R.Ziegler, 2014. Modern Nutrition
in Health and Disease. Eleventh edition.
Lippincott Williams & Wilkin.
Taslim, Nurpudji A, R. Satriono, dkk, 2015. Standar
Prosedur Operasional Gizi Klinik. SMF Gizi
Klinik RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Departemen Ilmu Gizi FK Unhas, Makassar.

4A Penentuan Status Gizi Orang


Dewasa Berdasar Lingkar
Pinggang
TUJUAN
· Mampu melakukan persiapan dengan benar
· Mampu mengetahui alat-alat yang akan
dipergunakan pada pengukuran lingkar
pinggang orang dewasa
· Mampu menjelaskan tujuan dilakukannya
pengukuran lingkar pinggang pada orang dewasa
· Mengetahui tempat pengukuran lingkar pinggang
dengan benar
· Mampu melakukan pengukuran lingkar pinggang
dengan benar
· Mampu menentukan status gizi dengan
pengukuran antropometrik berdasarkan lingkar
pinggang pada orang dewasa secara benar
dan tepat

104 | Gizi
PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI
· Komposisi tubuh
· Pemeriksaan antropometri
· Komunikasi dengan pasien

ALAT DAN BAHAN


· Meteran/waist ruler
· Alat tulis (spidol/pena)

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Medical consent
a. Sapalah pasien atau keluarganya
dengan ramah dan perkenalkan diri
anda serta tanyakan keadaannya
b. Berikan informasi umum kepada pasien
atau keluarganya tentang indikasi/
tujuan dan cara penentuan status gizi
berdasarkan lingkar pinggang (LP)
c. Jelaskan tentang kemungkinan hasil
penentuan status gizi yang akan
diperoleh
d. Lakukan cuci tangan rutin
2) Persiapan alat. Siapkan alat pengukur lingkar
pinggang yaitu meteran/waist ruler dan pastikan
alat dalam keadaan baik.
3) Persiapan pasien. Minta pasien berdiri tegak
dengan kedua tungkai dilebarkan dan mengangkat
pakaian yang menutupi perut sampai pinggang
sehingga daerah yang akan diukur nampak jelas
4) Pelaksanaan penentuan status gizi pasien
a. Untuk pengukuran lingkar pinggang
- Tetapkan titik batas tepi tulang
rusuk paling bawah (ujung
costa)
- Tetapkan titik ujung lengkung

Gizi | 105
tulang pangkal paha/panggul
(crista iliaca)
- Tetapkan titik tengah di antara
ujung costa dan titik ujung
lengkung tulang pangkal paha/
panggul dan tandai titik tengah
tersebut dengan alat tulis
(pena/spidol)
- Lakukan pengukuran lingkar
pinggang dimulai/diambil dari
titik tengah kemudian secara
sejajar horizontal melingkari
pinggang dan perut kembali
menuju titik tengah diawal
pengukuran. (Pita pengukur
ditarik sampai menempel di
kulit dengan baik, tidak terlalu
kuat dan tidak terlalu longgar)
- Apabila pasien mempunyai
perut yang membuncit,
pengukuran mengambil bagian
yang paling buncit lalu berakhir
pada titik tengah tersebut lagi
- Pita pengukur tidak boleh
terlipat dan ukur lingkar
pinggang mendekati angka 0,1
cm
- Bacalah skala meteran dengan
seksama dan catatlah hasilnya
- Lakukanlah cuci tangan rutin
setelah pengukuran selesai
b. Penentuan status gizi pasien
Tentukanlah status lingkar pinggang
berdasar nilai standar lingkar pinggang
pada acuan

106 | Gizi
Tabel 6. Nilai standar lingkar pinggang

Obesitas sentral

Laki-laki ≥ 90 cm

Perempuan ≥ 80 cm

Gambar 40. Cara pengukuran lingkar pinggang

Gizi | 107
CONTOH KASUS
Seorang laki-laki berusia 50 tahun
datang ke praktik dokter umum dengan
keluhan nafsu makan bertambah dan
baju semakin sempit. Dalam dua bulan
terakhir berat badan pasien naik sampai
10 kg. Di keluarganya hanya pasien yang
mengalami kegemukan seperti ini. Pasien
ingin mengetahui bagaimana status gizinya
dan berapa kelebihan berat badannya dari
normal.
1. Lakukan pengukuran lingkar pinggang
pada pasien
2. Tentukan status gizi berdasarkan
lingkar pinggang

REFERENSI
Ross A. Catherine, Benjamin Caballero, Robert J.
Cousins, Katherine L. Tucker, Thomas R.
Ziegler, 2014. Modern Nutrition in Health and
Disease. Eleventh edition. Lippincott Williams
& Wilkin.
Taslim, Nurpudji A, R. Satriono, dkk, 2015. Standar
Prosedur Operasional Gizi Klinik. SMF Gizi
Klinik RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Departemen Ilmu Gizi FK Unhas, Makassar.

108 | Gizi
4A Pengaturan Diet pada
Pasien Obesitas
TUJUAN
· Mampu melakukan medical consent pada
pengaturan diet
· Mampu melakukan anamnesis pola makan
pasien
· Mampu menentukan kebutuhan energi sesuai
dengan status gizi pasien
· Mampu menentukan komposisi makronutrien
dari kebutuhan energi
· Mampu menentukan kebutuhan karbohidrat,
protein dan lemak dalam gram
· Mampu memberikan edukasi gizi pada pasien
obesitas

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Pengelompokan zat gizi (makronutrien dan
mikronutrien)
· Penghitungan kandungan zat gizi pada bahan
makanan (makronutrien dan mikronutrien)
· Metabolisme zat-zat gizi (makronutrien dan
mikronutrien)
· Interaksi antar zat-zat gizi
· Interaksi antara zat gizi dan obat
· Patofisiologi obesitas
· Manajemen obesitas
· Penentuan status gizi orang dewasa berdasarkan
IMT (pengukuran BB dan TB)
· Komunikasi dengan pasien

ALAT DAN BAHAN


· Food model (alat peraga bahan makanan zat

Gizi | 109
gizi makro dan mikro) seperti nasi putih, roti
putih, ikan, daging ayam, sayur-sayuran, buah
pisang, apel, jeruk dan sebagainya
· Leaflet bahan makanan penukar dan leaflet diet
pada pasien obesitas
· Pengukur TB dan BB
· Kalkulator

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Medical consent
a. Sapalah pasien dan keluarganya
dengan ramah dan perkenalkan diri
anda serta tanyakan keadaannya
b. Berikan informasi umum kepada
pasien dan keluarganya tentang tujuan
dan cara pengaturan diet
c. Jelaskan tentang target yang
dikehendaki sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan
d. Minta komitmen pasien untuk menjalani
terapi agar target yang dikehendaki
dapat tercapai
2) Anamnesis pola makan pasien
a. Tanyakan pola makan pasien selama
ini (jadwal makan, jenis makanan dan
jumlah makanannya)
b. Gunakan leaflet bahan penukar
makanan untuk menilai pola makan
terutama jenis makanan dan jumlah
makanan yang dikonsumsi
3) Penentuan kebutuhan energi
Kebutuhan energi dihitung berdasarkan berat
badan dan jenis aktivitas.
a. Tegakkan diagnosis gizi  berdasarkan
antropometri  IMT  status gizi

110 | Gizi
Tabel 7. Kebutuhan energi berdasarkan berat badan dan
jenis aktivitas

Jenis Aktivitas

Ringan Sedang Berat


BB lebih 20 – 25 30 kkal/kg 35 kkal/kg
(kegemukan) kkal/kgs

4) Penentuan komposisi makronutrien dari


kebutuhan energi
a. Komposisi makronutrien terdiri dari
karbohidrat : protein : lemak yaitu = 50-
60% : 15-20% : <30%
b. Komposisi zat gizi yang dihitung
termasuk makronutrien, mikronutrien
dan air
- Makronutrien
Penghitungan makronutrien
dari kebutuhan kalori total
(KKT).
Karbohidrat : Protein : Lemak =
(50-60%) : (15-20%): (20-30%)
Jumlah ketiga makronutrien ini
harus 100%
- Kebutuhan harian protein
Sehat : 1,0 – 1,2 g/kg/hr
Stres : 1,0 – 2,0 g/kg/hr,
tergantung kondisi pasien
- Mikronutrien
Sesuai dengan AKG
- Air
5) Penentuan kebutuhan karbohidrat, protein dan
lemak dalam gram
a. Kebutuhan karbohidrat dalam gram

Gizi | 111
- Kebutuhan karbohidrat (kkal)
= persentase komposisi x
kebutuhan energi (kkal)
- kebutuhan karbohidrat (gram) =
kebutuhan karbohidrat (kkal)/4
kkal
- Contoh:
Kebutuhan energi = 1200 kkal
Kebutuhan karbohidrat dalam
kkal
= 50 – 60 % x 1200 kkal
= 600 – 720 kkal
Kebutuhan karbohidrat dalam
gram
= 600 – 720 kkal/4 kkal
= 150 –180 gram
b. Kebutuhan protein dalam gram
- Kebutuhan protein (kkal)
= persentase komposisi x
kebutuhan energi (kkal)
- Kebutuhan protein (gram) =
kebutuhan protein (kkal)/4 kkal
- Contoh:
Kebutuhan energi = 1200 kkal
Kebutuhan protein dalam kkal
= 15 – 20 % x 1200 kkal
= 180 – 240 kkal
Kebutuhan protein dalam gram
= 180 – 240 kkal/4 kkal
= 45 – 60 gram
c. Kebutuhan lemak dalam gram
- Kebutuhan lemak (kkal)
= persentase komposisi x
kebutuhan energi (kkal)
- Kebutuhan lemak (gram) =

112 | Gizi
kebutuhan lemak (kkal)/9 kkal
- Contoh:
Kebutuhan energi = 1200 kkal
Kebutuhan lemak dalam kkal
= 20 – 30 % x 1200 kkal
= 240 – 360 kkal
Kebutuhan lemak dalam gram
= 240 – 360 kkal/9 kkal
- = 26,7 – 40 gram
6) Melakukan edukasi gizi
a. Pasien sebaiknya memiliki waktu
makan 5-6 kali yang terdiri atas 3
kali makanan utama (pagi, siang
dan malam) serta 2-3 kali makanan
selingan (snack pagi, sore dan malam)
b. Tidak boleh menunda makan karena
dapat menimbulkan gejala-gejala
dispepsia
c. Pasien makan sesuai dengan porsi
yang dianjurkan
d. Pasien makan sesuai dengan jenis
bahan makanan yang dianjurkan
e. Penurunan BB yang dianjurkan adalah
0,5-1 kg/minggu sehingga maksimal
dalam 1 bulan dapat turun 2-4 kg
f. Pada pemberian edukasi tetap
memperhatikan kebiasaan makan
sebelumnya, daya beli pasien serta
ketersediaan bahan makanan tersebut
g. Peningkatan aktivitas fisik, olah
raga aerobik yang tidak membebani
ekstremitas bawah
h. Meminta pasien dating kembali sesuai
waktu yang disepakati untuk menilai
keberhasilan diet dan kendala yang

Gizi | 113
dialami pasien. Lakukan rujukan jika
diperlukan

CONTOH KASUS
Seorang perempuan berusia 29 tahun
datang ke puskesmas dengan keluhan berat
badan yang semakin bertambah. Pasien
merasa tidak nyaman dan mengalami
masalah dengan kepercayaan diri sejak
berat badannya bertambah. Dari anamnesis
didapatkan pola makan pasien tidak sarapan
pagi, tapi mulai makan camilan setelah
sampai di kantor. Biasanya sekitar jam 9 pagi
pasien makan brownies kukus yang tersedia
di kantor sebanyak 2 potong dan satu buah
jeruk manis. Untuk makan siang biasa
memesan makanan online. Pasien sangat
menyukai makanan cepat saji, makanan
yang digoreng, dan minuman ringan.
Dalam sehari pasien bisa menghabiskan
beberapa porsi camilan seperti kerupuk dan
coklat batangan. Pekerjaan pasien sebagai
auditor internal, bekerja dalam ruangan
dan sebagian besar waktu bekerja dengan
duduk di belakang meja. Rutinitas setelah
pulang malam dari kantor, pasien langsung
istirahat tanpa makan malam. Bila pasien
terbangun di malam hari biasanya baru bisa
tidur lagi setelah makan mie instant dengan
dua telur mata sapi dan segelas susu rendah
lemak. Pada pemeriksaan antropometri
didapatkan berat badan (BB) 65 kg, TB 150
cm, didapatkan IMT 28,9 kg/m2. Lakukanlah
pengaturan diet dan edukasi pada pasien
tersebut!

114 | Gizi
Jawaban

Melakukan medical consent terlebih dahulu
kemudian melakukan anamnesis pola
makan pasien.
• Melakukan pengaturan diet berdasarkan
IMT pasien (28,9 kg/m2)  kegemukan
(obes 1). Tahap pengaturan diet berupa:
◦◦ Menentukan kebutuhan energi berdasarkan
IMT dan aktivitas fisik  perempuan = 20 –
25 kkal/kgBB 
20 – 25 x 65 kkal = 1300 - 1625 kkal
◦◦ Komposisi makronutrien terdiri dari
karbohidrat : protein : lemak yaitu = (50-
60%) : (15-20%): (20-30%)
◦◦ Menentukan kebutuhan makronutrien
dalam gram
• Memberikan edukasi
◦◦ Tidak boleh menunda makan karena
dapat menimbulkan gejala-gejala
dispepsia
◦◦ Pasien makan sesuai dengan porsi yang
dianjurkan
◦◦ Pasien makan sesuai dengan jenis
bahan makanan yang dianjurkan
◦◦ Penurunan BB yang dianjurkan adalah
0,5-1 kg/minggu sehingga maksimal
dalam 1 bulan dapat turun 2-4 kg dengan
mempertimbangkan pola makan dengan
menggunakan leaflet bahan makanan
penukar dan leaflet untuk pasien obesitas
◦◦ Tingkatkan aktivitas fisik dan latihan
jasmani secara teratur
◦◦ Meminta pasien datang kembali sesuai
waktu yang disepakati untuk menilai
keberhasilan diet dan kendala yang
dialami pasien. Lakukan rujukan jika
diperlukan

Gizi | 115
REFERENSI
Bredbenner, C.B, et al, 2013. Wardlaw’s Perspectives
in Nutrition. Ninth edition. Mc Graw-Hill.
Elia M, Olle Ljungqvist, Rebecca J Strattan, Susan
A Lanham, 2013. Clinical Nutrition. Second
Edition. Willey- Blackwell.
Waspadji, S, 2011. Daftar Bahan Makanan Penukar.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Wiramihardja, K.H, 2007. Obesitas dan
Penanggulangannya. Granada.

4A Pengaturan Diet pada


Pasien DM Tipe 2
TUJUAN
· Mampu melakukan medical consent pada
pengaturan diet
· Mampu melakukan anamnesis pola makan
pasien
· Mampu menentukan kebutuhan energi sesuai
dengan status gizi pasien
· Mampu menentukan komposisi makronutrien
dari kebutuhan energi
· Mampu menentukan kebutuhan karbohidrat,
protein dan lemak dalam gram
· Mampu memberikan edukasi gizi pada pasien
DM tipe 2

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Pengelompokan zat gizi (makronutrien dan
mikronutrien)
· Penghitungan kandungan zat gizi pada bahan
makanan (makronutrien dan mikronutrien)

116 | Gizi
· Metabolisme zat-zat gizi (makronutrien dan
mikronutrien)
· Interaksi antar zat-zat gizi
· Interaksi antara zat gizi dan obat
· Patofisiologi DM tipe 2
· Manajemen DM tipe 2 (non farmakologis dan
farmakologis)
· Penentuan status gizi orang dewasa berdasarkan
IMT (pengukuran BB dan TB)
· Komunikasi dengan pasien

ALAT DAN BAHAN


· Food model (alat peraga bahan makanan zat
gizi makro dan mikro) seperti nasi putih, roti
putih, ikan, daging ayam, sayur-sayuran, buah
pisang, apel, jeruk dan sebagainya
· Leaflet bahan makanan penukar dan leaflet diet
pada pasien DM
· Pengukur TB dan BB
· Kalkulator

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Medical consent
a. Sapalah pasien dan keluarganya
dengan ramah dan perkenalkan diri
anda serta tanyakan keadaannya
b. Berikan informasi umum kepada
pasien dan keluarganya tentang tujuan
dan cara pengaturan diet
c. Jelaskan tentang target yang
dikehendaki sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan
d. Minta komitmen pasien untuk menjalani
terapi agar target yang dikehendaki
dapat tercapai

Gizi | 117
2) Anamnesis pola makan pasien
a. Tanyakan pola makan pasien selama
ini (jadwal makan, jenis makanan dan
jumlah makanannya)
b. Gunakan leaflet bahan makanan
penukar untuk melihat pola makan
terutama jenis makanan dan jumlah
makanan yang dikonsumsi
3) Penentuan kebutuhan energi
Kebutuhan energi dihitung berdasarkan berat
badan dan jenis aktivitas.
a. Tegakkan diagnosis gizi  berdasarkan
antropometri  IMT  status gizi

Tabel 8. Kebutuhan energi berdasarkan BB dan jenis


aktivitas

Jenis Aktivitas

Ringan Sedang Berat


BB lebih 20 – 25 30 kkal/kg 35 kkal/kg
(kegemukan) kkal/kgs
BB normal 30 kkal/kg 35 kkal/kg 40 kkal/kg

BB kurang 30 kkal/kg 40 kkal/kg45 – 50


kkal/kg
4) Komposisi zat gizi yang dihitung termasuk
makronutrien, mikronutrien dan air
a. Makronutrien
Penghitungan makronutrien dari
kebutuhan kalori total (KKT).
Karbohidrat : Protein : Lemak = (50-
60%) : (15-20%): (20-30%)
Jumlah ketiga makronutrien ini harus

118 | Gizi
100%
b. Kebutuhan harian protein
Sehat : 1,0 – 1,2 g/kg/hr
Stres : 1,0 – 2,0 g/kg/hr, tergantung
kondisi pasien
c. Mikronutrien
Sesuai dengan AKG 2013
d. Air
5) Penentuan kebutuhan karbohidrat, protein dan
lemak dalam gram
a. Kebutuhan karbohidrat dalam gram
i. Kebutuhan karbohidrat (kkal)
= persentase komposisi x
kebutuhan energi (kkal)
ii. kebutuhan karbohidrat (gram) =
kebutuhan karbohidrat (kkal)/4
kkal
iii. Contoh:
Kebutuhan energi = 1200 kkal
Kebutuhan karbohidrat dalam
kkal
= 45 – 60 % x 1200 kkal
= 540 – 720 kkal
Kebutuhan karbohidrat dalam
gram
= 540 – 720 kkal/4 kkal
= 135 –180 gram
b. Kebutuhan protein dalam gram
i. Kebutuhan protein (kkal)
= persentase komposisi x
kebutuhan energi (kkal)
ii. Kebutuhan protein (gram) =
kebutuhan protein (kkal)/4 kkal
iii. Contoh:
Kebutuhan energi = 1200 kkal

Gizi | 119
Kebutuhan protein dalam kkal
= 15 – 20 % x 1200 kkal
= 180 – 240 kkal
Kebutuhan protein dalam gram
= 180 – 240 kkal/4 kkal
= 45 – 60 gram
c. Kebutuhan lemak dalam gram
i. Kebutuhan lemak (kkal)
= persentase komposisi x
kebutuhan energi (kkal)
ii. Kebutuhan lemak (gram) =
kebutuhan lemak (kkal)/9 kkal
iii. Contoh:
Kebutuhan energi = 1200 kkal
Kebutuhan lemak dalam kkal
= 20 – 30 % x 1200 kkal
= 240 – 360 kkal
Kebutuhan lemak dalam gram
= 240 – 360 kkal/9 kkal
= 26,7 – 40 gram
6) Melakukan edukasi gizi
a. Pasien sebaiknya memiliki waktu
makan 5-6 kali yang terdiri atas 3
kali makanan utama (pagi, siang
dan malam) serta 2-3 kali makanan
selingan (snack pagi, sore dan malam)
b. Asupan karbohidrat sederhana tidak
boleh lebih dari 10% kebutuhan energi
c. Pasien makan sesuai dengan porsi
yang dianjurkan
d. Pada pemberian edukasi tetap
memperhatikan kebiasaan makan
sebelumnya, daya beli pasien serta
ketersediaan bahan makanan tersebut
e. Meningkatkan aktivitas fisik

120 | Gizi
f. Melakukan olahraga yang bersifat
aerobik ringan – sedang
g. Manajemen stress

CONTOH KASUS

Seorang laki-laki berusia 43 tahun datang


ke puskesmas dengan keluhan gula darah
yang tidak bisa turun padahal sudah
mengonsumsi obat penurun gula darah
oleh dokter. Kontrol terakhir dua hari yang
lalu diketahui GDP pasien 345 mg/dl.
Dari anamnesis didapatkan pasien sering
mengonsumsi nasi 2 sendok nasi tiap
makan, biskuit dan minum teh dengan dua
sendok makan gula pasir untuk segelas
seduhan teh 300 ml. Akhir-akhir ini pasien
makan lebih sering dari pada biasanya
dengan porsi yang lebih tetapi pasien tetap
merasa lapar. Pasien baru menyadari
kalau tubuhnya semakin kurus beberapa
waktu belakangan. Pasien telah mencoba
beberapa diet yang disarankan kawan-
kawan dan keluarganya tetapi pasien justru
merasa semakin lelah dan akhirnya justru
menambah porsi makan. Makanan yang
sering dikonsumsi yaitu nasi putih, goreng-
gorengan dan kuah sayur. Jarang makan
sayur karena menurut pasien rasanya tidak
enak. Pada pemeriksaan antropometri
diperoleh data berat badan (BB) 45 kg,
tinggi badan (TB) 160 cm, IMT 17,6 kg/m2.
Tingkat aktivitas harian pasien termasuk
sedang. Lakukanlah pengaturan diet dan
edukasi pada pasien tersebut!

Gizi | 121
Jawaban
• Melakukan medical consent terlebih
dahulu kemudian melakukan
anamnesis pola makan pasien.
◦◦ Melakukan pengaturan diet
berdasarkan IMT pasien (17,6 kg/
m2) yaitu status gizi kurang. Tahap
pengaturan diet berupa:
◦◦ Menentukan kebutuhan energi
yaitu 40 kkal/kg  1800 kkal
◦◦ Menentukan komposisi
makronutrien terdiri dari karbohidrat
: protein : lemak yaitu = 45-60% :
15-20% : <20-30%
• Menentukan kebutuhan makronutrien
dalam gram
• Melakukan edukasi gizi

REFERENSI
Bredbenner, C.B, et al, 2013. Wardlaw’s Perspectives
in Nutrition. Ninth edition. Mc Graw-Hill.
Elia M, Olle Ljungqvist, Rebecca J Strattan, Susan
A Lanham, 2013. Clinical Nutrition. Second
Edition. Willey- Blackwell.
PERKENI., 2015. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia
Waspadji, S, 2011. Daftar Bahan Makanan Penukar.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

122 | Gizi
PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS

PSIKIATRI

4 Anamnesis Psikiatri
TUJUAN
· Dapat melakukan wawancara psikiatrik
· Dapat menilai psikopatologi gangguan jiwa
secara deskriptif

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Komunikasi efektif
· Anamnesis
· Status mental
· Mengenali klasifikasi gangguan jiwa
berdasarkan urutan hirarki
· Mengetahui psikopatolgi gangguan jiwa

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Menyapa dan tanyakan nama pasien.
2) Perkenalkan diri, jelaskan tujuan sesi, meminta
persetujuan pasien bila diperlukan. Jangan
lupa menekankan prinsip kerahasiaan terhadap
keterangan yang diberikan pasien terhadap
pemeriksa.
3) Tanyakan identitas pasien lainnya berupa

Psikiatri | 123
alamat, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, bahasa, suku bangsa
dan agama. Perlu ditanyakan pula apakah
pasien datang sendiri, dibawa oleh anggota
keluarga atau dikonsulkan oleh sejawat.
4) Tanyakan keluhan utama dan identifikasi
masalah pasien dengan kalimat terbuka.
a. Ada pasien yang tidak merasakan
ada masalah atau mengaku tidak
ada keluhan apapun (alasan pasien
dibawa berobat harus ditanyakan
kepada keluarga atau orang yang
mengenalnya karena khawatir tentang
perilaku pasien, ketika melakukan
heteroanamnesis)
b. Ada pula pasien yang tidak berbicara,
sehingga perlu dicatat deskripsi kondisi
pasien saat wawancara (ekspresi
wajah, tonus otot, tatapan mata dan
sikap tubuh)
c. Apabila pasien mendominasi
wawancara dengan berbicara
terus menerus, maka pemeriksa
perlu mengalihkan pembicaraan ke
topik yang lain untuk melengkapi
pemeriksaan dengan cara yang sopan
dan tidak menyinggung pasien
5) Apabila pasien kooperatif, dengarkan dengan
penuh perhatian apa yang dikatakan pasien
tanpa memotong atau mengarahkan jawaban
pasien, setelah itu baru diatur dan dilengkapi
kronologi kejadian dengan pertanyaan-
pertanyaan tertutup. Umumnya prognosis
lebih baik pada kelainan akut dan dramatis,
berhubungan erat dengan kejadian nyata

124 | Psikiatri
daripada kelainan yang perlahan-lahan atau
awalnya tidak diketahui, tidak berkaitan dengan
kejadian di lingkungannya.
6) Gali riwayat penyakit pasien sekarang
dilengkapi dengan faktor presipitasi/pencetus;
perkembangan gejala, termasuk gejala yang
tidak ada; perubahan perilaku yang terjadi dan
dampaknya bagi kehidupan pasien sekarang;
keterkaitan gejala psikologis dengan gejala fisik;
dan latar belakang kepribadian.
7) Tanyakan kepada pasien mengenai kejadian
yang pernah dialaminya dari internal maupun
eksternal dirinya, dan bagaimana reaksi
terhadapnya sehingga terdapat gambaran
keseluruhan karakter kehidupan dan kepribadian
pasien serta benih psikopatologi pasien. Riwayat
gangguan sebelumnya ini terdiri dari:
a. Riwayat psikiatrik: episode gejala
sebelumnya, faktor presipitasi, derajat
disfungsi, terapi, lama gangguan, dan
kepatuhan terhadap terapi
b. Riwayat gangguan medik: penyakit
klinis, bedah, trauma, neurologis, HIV,
sifilis, dan psikosomatis
c. Riwayat penggunaan zat: zat stimulan,
alkohol, morfin, dst
8) Tanyakan riwayat hidup pasien mulai dari pre
dan perinatal hingga situasi kehidupannya saat
ini. Riwayat yang digali lebih dititikberatkan pada
masa perkembangan dewasa saat ini yaitu pada
remaja dan dewasa, masa tumbuh kembang
anak sebagai tambahan. Hal yang penting
diketahui dari setiap episode kehidupannya
yaitu:
a. Prenatal dan perinatal: data yang

Psikiatri | 125
penting antara lain adalah apakah
kehamilan direncanakan/diinginkan
atau tidak, bagaimana proses
kehamilan, adakah cedera lahir,
bagaimana kondisi ibu saat melahirkan
dan riwayat penggunaan obat
b. Masa kanak awal (0-3 tahun):
bagaimana kualitas interaksi ibu dan
anak (termasuk toilet training), apakah
ada masalah pertumbuhan dan
perkembangan anak, bagaimana sifat
masa kanak, bagaimana pola bermain
anak dengan anak lain, pola makan
dan gangguan tingkah laku
c. Masa pertengahan (3-7 tahun):
identifikasi gender, hukuman, disiplin,
masuk sekolah, pertemanan, perasaan
saat berpisah dengan ibu, pasif atau
aktif, perilaku sosial, intelektual dan
seterusnya
d. Masa kanak akhir dan remaja: siapa
tokoh idola, penilaian kelompok sosial
dan dirinya sendiri, minat terhadap
aktivitas sekolah dan luar sekolah,
hubungan dengan teman, guru dan
orang tua, bagaimana pengetahuan
dan sikapnya terhadap seksualitas,
dan seterusnya
e. Masa dewasa: bagaimana riwayat
pekerjaan (jenis pekerjaan, konflik dan
sikap dalam bekerja, dan seterusnya),
riwayat perkawinan (lamanya, konflik,
masalah, dan seterusnya), agama
(pendidikan, sikap dan penilaiannya
terhadap agama), riwayat militer (jika

126 | Psikiatri
ada), aktivitas sosial (hubungan dengan
lingkungan dan sikap menghadapinya),
situasi kehidupan saat ini (kondisi
keluarga, tetangga, sumber keuangan,
biaya perawatan, dan seterusnya),
riwayat hukum (pernah atau tidak
melakukan pelanggaran hukum),
riwayat psikoseksual (pengetahuan dan
sikap tentang seks), riwayat keluarga
(keturunan atau kejadian penyakit
jiwa pada keluarga, dan penyakit fisik
serta sikap keluarga menghadapinya),
dan terakhir tanyakan pula mengenai
mimpi, fantasi dan nilai-nilai
9) Amati respon dan komunikasi pasien secara
verbal maupun non-verbal (mis: bahasa tubuh,
ucapan, ekspresi wajah) dan sensitif terhadap
perubahan respon pasien.
10) Klarifikasi pernyataan pasien bila kurang jelas
atau meminta penjelasan lebih lanjut (mis: ”bisa
jelaskan apa yang dimaksud dengan kepala
terasa melayang?”).
11) Lakukan rangkuman beberapa kali pada akhir
satu bagian konsultasi untuk memastikan
bahwa pengertian dokter sama dengan pasien
sebelum pindah ke bagian berikutnya; meminta
pasien mengoreksi bila ada interpretasi yang
kurang tepat, atau meminta pasien memberikan
penjelasan lebih lanjut.
12) Lakukan proses membaca, mencatat atau
menggunakan komputer, namun diyakinkan
untuk tidak mengganggu jalannya sesi.
13) Lakukan pemeriksaan fisik dengan penjelaskan
proses dan meminta izin. Berikan perhatian
khusus terhadap hal-hal sensitif yang dapat

Psikiatri | 127
membuat pasien merasa malu atau menyakitkan
pasien. Jelaskan alasan pertanyaan atau
pemeriksaan fisik yang mungkin dirasa tidak
masuk akal.
14) Rangkum sesi secara singkat dan klarifikasi
rencana penatalaksanaan. Cek terakhir kali
apakah pasien setuju dan merasa nyaman
dengan rencana yang telah disusun, tanyakan
apakah masih ada pertanyaan atau hal-hal
lain yang masih perlu didiskusikan. (Mis: ”ada
pertanyaan lagi atau masih ada hal yang ingin
didiskusikan?”).
15) Lakukan wawancara terhadap keluarga
atau kerabat dekat untuk melengkapi dan
mengkonfirmasi masalah pasien, serta
menginformasikan peran keluarga atau kerabat
tersebut dalam proses tata laksana pasien.
Sebelum melakukan wawancara terhadap
keluarga pasien, jangan lupa meminta ijin
pasien. Tanyakan apakah pasien keberatan
bila pemeriksa bertanya kepada keluarga yang
mengantar.
16) Apabila pasien gaduh gelisah:
a. Bersikaplah tenang dan wajar
b. Lakukan komunikasi terapeutik, diawali
dengan mengucapkan salam dan
memperkenalkan diri
i. Bicara dengan tenang ajak
pasien untuk tenang
ii. Vokal jelas dan nada suara
tegas
iii. Intonasi rendah
iv. Gerakan tidak tergesa-gesa
v. Pertahankan posisi tubuh
vi. Hargai pendapat pasien

128 | Psikiatri
yang berbeda meskipun hal
tersebut adalah waham atau
halusinasinya Pertanyaan
difokuskan pada keluhan
saat ini menggunakan kalimat
pendek dan mudah dipahami
dan bicaralah dengan sopan
c. Pertanyaan difokuskan pada keluhan
saat ini menggunakan kalimat pendek
dan mudah dipahami
d. Bersikaplah suportif dan yakinkan
bahwa pasien berada di tempat yang
aman, pemeriksa akan melindungi
pasien dari kemungkinan melukai diri
maupun orang lain
e. Lakukan wawancara dengan tetap
memperhatikan keselamatan
pemeriksa. Jarak yang aman dalam
melakukan pemeriksaan sekitar 2-3
langkah dari pasien
f. Bila diperlukan lakukan fiksasi

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


Sesuai konteks.

Psikiatri | 129
CONTOH KASUS
Seorang perempuan, 30 tahun datang ke
Unit Gawat Darurat Rumah Sakit dibawa oleh
keluarganya dengan keluhan utama bicara
tidak nyambung. Ia juga terlihat berbicara
sendiri tanpa ada yang mengajaknya
bercakap-cakap. Ia bercerita bahwa
suaminya menyewa beberapa tetangga
untuk mengganggunya agar ia menjadi gila.
Ia menyakini bahwa pikirannya dapat dibaca
untuk mengawasi dirinya. Pada kasus ini
perlu dilakukan pemeriksaan sesuai prosedur
di atas.

REFERENSI
American Psychiatric Association, Diagnostic and
Statistic manual of Mental Disorder, Fifth ed,
1000 Arlington, VA, 2013.
Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry
11thEdition. Wolter Kluwer Health. 2014.
Othmer dan Othmer. The Clinical Interview Using
DSM-IV-TR. Fundamental. Vol.1-2. American
Psychiatric Publishing. 2001.
Redayani L.S.P. 2013, Wawancara dan Pemeriksaan
Fisik dalam Buku Ajar Psikiatri , 2nd edn.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. 2013. 47-54.

130 | Psikiatri
4 Diagnosis Multiaksial
TUJUAN
· Mampu membuat diagnosis banding gangguan
psikiatrik setiap aksis
· Mampu menegakkan diagnosis kerja
berdasarkan kriteria diagnosis multiaksial

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Mengetahui alur diagnosis dalam psikiatri
· Mengetahui kriteria gangguan jiwa
· Mengetahui klasifikasi gangguan psikiatri dan
urutan hierarkis

TEKNIK PEMERIKSAAN
Diagnosis Multiaksial memiliki 5 aksis. Berikut ini
merupakan langkah-langkah membuat diagnosis
multiaksial:

1) Lakukan diagnosis pada Aksis I: Diagnosis


klinik
Berisi tentang gangguan klinis dan gangguan
perkembangan dan pembelajaran. Merupakan
kriteria diagnosis yang dikelompokkan
berdasarkan gejala-gejala klinik yang telah
dibuktikan dalam pemeriksaan.
Gangguan yang dapat ditemukan pada aksis I
antara lain:
a. Gangguan yang biasanya didiagnosis
pada masa bayi, anak dan remaja
(kecuali retardasi mental, yang
didiagnosis pada aksis II)
b. Delirium, dimensia, amnesia dan
gangguan kognitif lainnya

Psikiatri | 131
c. Gangguan mental organik
d. Gangguan akibat zat psikoaktif
e. Skizofrenia dan gangguan psikotik
lainnya
f. Gangguan mood
g. Gangguan cemas menyeluruh
h. Gangguan somatoform
i. Gangguan factitious
j. Gangguan disosiatif
k. Gangguan makan
l. Gangguan tidur
m. Gangguan kontrol impuls yang tidak
dapat diklasifikasikan
n. Gangguan penyesuaian
o. Kondisi lain yang dapat menjadi fokus
perhatian klinis

2) Lakukan diagnosis pada Aksis II: Gangguan


kepribadian dan retardasi mental
Merupakan ciri atau gangguan kepribadian yaitu
pola perilaku yang menetap (kebiasaan, sifat)
yang tampak dalam tentang diri dan lingkungan
(yang akan ditampilkan dalam pola interaksi
dengan orang lain).
Kelainan yang dapat ditemukan pada aksis II
atara lain:
a. F60 - F69. Gangguan Kepribadian dan
Perilaku Masa Dewasa
- F60.0. Gangguan Kepribadian
Paranoid
- F60.1. Gangguan Kepribadian
Skizoid
- F60.2. Gangguan Kepribadian
Antisosial
- F60.3.31. Gangguan Kepribadian

132 | Psikiatri
Ambang
- F60.4. Gangguan Kepribadian
Histerionik
- F60.5. Gangguan Kepribadian
Obsesif-Kompulsif
- F60.6. Gangguan Kepribadian
Menghindar
- F60.7. Gangguan Kepribadian
Dependen
- F60.8. Gangguan Kepribadian
Pasif-Agresif
- F60.9. Gangguan Kepribadian
Yang Tidak Ditentukan (YTT)
- Gangguan Kepribadian Skizotipal
- Gangguan Kepribadian Narsisistik
b. F70 ‒ F79. Retardasi Mental
3) Lakukan diagnosis pada Aksis III: Penyakit
Fisik
Penyakit atau kondisi fisik, khususnya yang perlu
diperhatikan pada tatalaksana atau menjadi
penyebab munculnya gangguan yang dituliskan
pada aksis I.
Kelainan yang dapat ditemukan pada aksis III
antara lain:
a. Penyakit infeksi dan parasit
b. Neoplasma
c. Penyakit endokrin, nutrisi, metabolik
dan imunitas
d. Penyakit hematologi
e. Penyakit sistem saraf
f. Penyakit sistem sirkulasi
g. Penyakit sistem respirasi
h. Penyakit sistem pencernaan
i. Penyakit sistem kelamin dan saluran
kemih

Psikiatri | 133
j. Komplikasi kehamilan, persalinan dan
masa nifas
k. Penyakit kulit dan jaringan subkutan
l. Penyakit sistem muskuloskeletal dan
jaringan ikat
m. Kelainan kongenital
n. Kondisi tertentu pada masa perinatal
o. Tanda, gejala dan penyakit tertentu
p. Cedera dan keracunan
4) Lakukan diagnosis pada Aksis IV: Masalah
psikososial dan lingkungan
Merupakan merupakan semua faktor yang
berkontribusi terhadap, atau mempengaruhi,
gangguan jiwa saat ini dan hasil pengobatan.
Kelainan yang dapat ditemukan pada aksis IV
antara lain:
a. Masalah yang berhubungan dengan
keluarga
b. Masalah yang berhubungan dengan
lingkungan sosial
c. Masalah pendidikan
d. Masalah berkenaan dengan pekerjaan
e. Masalah perumahan
f. Masalah ekonomi
g. Masalah dalam akses ke pelayanan
kesehatan
h. Masalah hukum
i. Masalah psikososial dan lingkungan
lainnya
5) Lakukan diagnosis pada Aksis V : GAF
Aksis V adalah skala penilaian global terhadap
fungsi yang sering disebut sebagai Global
assesment of functioning (GAF). Pemeriksa
mempertimbangkan keseluruhan tingkat
fungsional pasien selama periode waktu tertentu

134 | Psikiatri
(misalnya saat pemeriksaan, tingkat fungsional
pasien tertinggi untuk sekurangnya 1 bulan
selama 1 tahun terakhir). Fungsional diartikan
sebagai kesatuan dari 3 bidang utama yaitu
fungsi sosial, fungsi pekerjaan, fungsi psikologis.
Tabel 9. Skala GAF

CODE Code (Note: Use intermediate codes when appropriate, e.g., 45, 68, 72.)

100 Superior functioning in a wide range of activities, life's problems never


seem to get out of hand, is sought out by others because of his or her
91 many positive qualities. No symptoms. 91

90 Absent or minimal symptoms (e.g. mild anxiety before an exam), good


functioning in all areas, interested and involved in a wide range of
activities. socially effective, generally satisfied with life, no more than
everyday problems 90 81 or concerns (e.g. an occasional argument with
81 family members).

80 If symptoms are present, they are transient and expectable reactions to


psychosocial stressors (e.g. difficulty concentrating after family argument);
no more than slight impairment in social, occupational or school
71 functioning (e.g. temporarily failing behind in schoolwork).

70 Some mild symptoms (e.g. depressed mood and mild insomnia)


OR some difficulty in social, occupational, or school functioning (e.g.
occasional truancy, or theft within the household), but generally functioning
61 pretty well, has some meaningful interpersonal relationships.

60 Moderate symptoms (e.g., flat affect and circumstantial speech, occasional


panic attacks)
OR moderate difficulty in social, occupational, or school functioning
51 (e.g. few 51 friends, conflicts with peers or co-workers).

50 Serious symptoms (e.g. suicidal ideation, severe obsessional rituals,


frequent shoplifting)
OR any serious impairment in social, occupational, or school functioning
41 (e.g. no friends, unable to keep a job).

40 Some impairment in reality testing or communication (e.g., speech is at


times logical, obscure, or irrelevant)
OR major impairment in several areas, such as work or school, family
relations, judgment, thinking, or mood (e.g. depressed man avoids friends,
31 neglects family. and is unable to work; child frequently beats up younger
children, is defiant at home, and is failing at school).

30 Behavior is considerably influenced by delusions or hallucinations


OR serious impairment in communication or judgment (e.g., sometimes
incoherent, acts grossly inappropriately, suicidal preoccupation)
21 OR inability to function in almost all areas (e.g., stays in bed all day: no
job, home, or friends).

Psikiatri | 135
20 Some danger of hurting self or others (e.g., suicide attempts without clear
20 expectation of death; frequently violent; manic excitement)
OR occasionally fails to maintain minimal personal hygiene (e.g., smears
feces)
11 OR gross impairment in communication (e.g., largely incoherent or mute).

10 Persistent danger of severely hurting self or others (eg., recurrent


violence)
OR persistent inability to maintain minimal personal hygiene
OR serious suicidal act with clear expectation of death.
1 Inadequate information.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


Sesuai konteks.

CONTOH KASUS
Seorang laki-laki, usia 57 tahun, datang ke
Unit Gawat Darurat Rumah Sakit dengan
penurunan kesadaran. Dari alloanamnesis
diketahui pasien menderita gagal ginjal
kronik dan mengalami gangguan siklus
tidur. Terdapat kesadaran fluktuatif disertai
penurunan kemampuan memusatkan,
mengalihkan dan mempertahankan
perhatian. Pasien juga mengalami hendaya
kognitif.

REFERENSI
American Psychiatric Association, Diagnostic and
Statistic manual of Mental Disorder, Fifth ed,
1000 Arlington, VA, 2013.
Buku Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III. Departemen Kesehatan
RI. 2003.

136 | Psikiatri
The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disoreders. WHO.
Rusdi Maslim. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan
Ringkas PPDGJ-III. PT Nuh Jaya. Jakarta.
2001.

4 Penilaian Status Mental


TUJUAN
Dapat melakukan penilaian status mental.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Komunikasi efektif
· Anamnesis
· Status mental
· Mengenali klasifikasi gangguan jiwa
berdasarkan urutan hirarki
· Mengetahui psikopatolgi gangguan jiwa

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan serta tujuan pemeriksaan status
mental.
2) Pemeriksa berhadapan dengan pasien.
3) Melakukan penilaian status mental.
Penampilan dan tingkah laku
· Nilailah tingkat kesadaran pasien
o Nilai apakah pasien bangun dan dalam
keadaan sadar sepenuhnya.
o Nilai apakah pasien dapat mengerti
pertanyaan yang diajukan oleh
pemeiksa dan dapat merespon dengan
cepat dan tepat.
o Nilai adanya kecenderungan pasien

Psikiatri | 137
berbicara keluar dari topik, tiba-tiba
diam atau bahkan tertidur ditengah
pembicaraan.
o Bila pasien tidak merespon pertanyaan
pemeriksa, coba berikan stimulus
berupa: bicara dengan suara yang lebih
keras atau memanggil nama pasien,
atau mengguncang pasien dengan
lembut untuk membangunkannya.
o Nilai tingkat kesadarannya.
· Perhatikan postur dan sikap motorik
o Nilai apakah pasien berbaring di tempat
tidur atau memilih berjalan-jalan.
o Nilai postur tubuh pasien dan
kemampuan pasien untuk bersikap
santai.
o Observasi karakter pergerakan
(contoh: lambat atau cepatnya
gerakan, kekakuan, gerakan berulang,
dan lainnya)
o Nilai apakah pasien bergerak atas
kemauannya.
o Nilai adakah bagian tubuh pasien yang
tidak dapat digerakkan.
· Nilailah cara berpakaian, penampilan dan
kebersihan diri
o Nilai bagaimana cara berpakaian
pasien. Apakah pakaian yang dikenakan
bersih dan digunakan dengan benar.
Bandingkan cara berpakaian pasien
dengan orang-orang sebayanya dan
kelompok soasialnya.
o Nilai rambut, kuku, gigi, kulit pasien
dan jenggot jika ada. Bagaimana
penampilannya dan bandingkan

138 | Psikiatri
dengan perawatan diri dan kebersihan
orang-orang sebaya pasien dan
kelompok sosialnya.
· Perhatikan ekspresi wajah
o Nilai ekspresi wajah pasien saat
istirahat dan saat berinteraksi dengan
orang lain.
o Perhatikan variasi ekspresi wajah
pasien sesuai topik diskusi.
o Nilai apakah sesuai atau cenderung
berubah-ubah.
· Nilailah sikap, afek dan hubungan pasien
dengan orang lain atau sesuatu
o Nilai afek pasien melalui ekspresi
wajah, suara dan gerakan tubuh
pasien.
o Nilai apakah normal, terbatas, tumpul
atau datar.
o Nilai apakah tidak sesuai atau terlihat
berlebihan pada topik tertentu. Bila iya,
deskripsikan.
o Perhatikan keterbukaan pasien,
pendekatan dan reaksi terhadap orang
lain atau terhadap lingkungan.
o Nilai apakah pasien tampak
mendengar atau melihat hal-hal yang
tidak dilakukan pemeriksa atau pasien
terlihat seperti berbicara dengan
seseorang yang tidak ada.
Pembicaraan dan bahasa
Lihat dalam penilaian fungsi luhur.
Mood
· Nilai suasana hati pasien selama wawancara
dengan mengeksplorasi persepsi pasien akan
hal tersebut. Cari tahu mengenai suasana hati

Psikiatri | 139
pasien sehari-hari dan variasinya saat terjadi
suatu peristiwa.
· Pemeriksa dapat menanyakan, “Bagaimana
perasaan anda hari ini?” atau, “Bagaimana
perasaan anda mengenai hal tersebut?”.
· Nilai bagaimana suasana hati pasien, seberapa
sering pasien merasakan perasaan itu, apakah
suasana hati pasien sering berubah-ubah, dan
apakah suasana hati tersebut sesuai dengan
keadaan yang sedang dialami pasien.
· Nilai juga dalam kasus depresi, adakah
episode dimana mood pasien meningkat, yang
menunjukkan adanya gejala bipolar.
· Pada pasien yang dicurigai mengalami depresi,
nilai kedalamannya dan adakah risiko bunuh
diri.
Pikiran dan persepsi
· Proses pikir
Nilai logika, relevansi, organisasi, dan koherensi
proses berpikir pasien yang terungkap dalam
kata-kata dan pembicaraan sepanjang
wawancara. Apakah pembicaraan pasien logis
dan bertujuan? Di sini pemeriksa menilai cara
berbicara pasien untuk melihat ke dalam pikiran
pasien. Dengarkan pola pembicaraan yang
menunjukkan gangguan proses berpikir.

· Isi pikir
Pastikan bahwa informasi yang didapatkan
sesuai dengan isi pikir pasien selama
wawancara. Pemeriksa dapat bertanya
mengikuti pembicaraan pasien:
“Anda menyebutkan beberapa saat yang lalu
bahwa seorang tetangga anda bertanggung
jawab atas semua penyakit anda, bisakah anda

140 | Psikiatri
ceritakan lebih lanjut mengenai hal itu?”
Pemeriksa mungkin perlu membuat pertanyaan
yang lebih spesifik, maka arahkan pasien
dengan bijaksana dan dengan hal-hal yang
dapat diterima pasien:
“... hal-hal tempaknya tidak nyata. Pernahkah
anda mengalami hal seperti ini?”
· Persepsi
Klarifikasi persepsi pasien yang salah dengan
menggunakan cara yang sama seperti saat
bertanya mengenai isi pikir pasien:
“Apakah anda pernah melihat hal-hal yang tidak
benar-benar ada?”
“Apakah anda pernah mendengar suara-suara
yang mana sebenarnya tidak ada sumber
suaranya?”
· Nilailah tilikan (insight) dan kemampuan menilai
realitas (judgement)
o Tilikan
Tanyakan kepada pasien untuk
mendapatkan informasi mengenai
tilikan pasien, seperti:
“Apa yang membawa anda ke rumah
sakit?”
“Apakah yang menjadi masalah anda?”
Khususnya perhatikan apakah pasien
menyadari atau tidak bahwa suasana
hati, pikiran atau adanya persepsi
tertentu yang tidak normal atau
merupakan bagian dari suatu penyakit.
o Kemampuan menilai realitas
Nilailah kemampuan pasien dalam
menilai realitas dengan melihat respon
pasien terhadap situasi keluarga,
pekerjaan, penggunaan uang, atau

Psikiatri | 141
konflik interpersonal:
“Bagaimana Anda akan mengelola
hidup Anda jika Anda kehilangan
pekerjaan Anda?”
Perhatikan apakah keputusan
dan tindakan pasien berdasarkan
realitas atau berdasarkan impuls,
pemenuhan keinginan atau gangguan
isi pikir. Nilai-nilai apa yang tampaknya
mendasari keputusan dan perilaku
pasien? Bandingkan dengan standar
kedewasaan pasien.
Fungsi kognitif
Lihat dalam penilaian fungsi luhur - MMSE.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


Penampilan dan tingkah laku
· Kesadaran
o Sadar (komposmentis)
Pemeriksa dapat berbicara denngan
pasien dengan nada suara normal.
Pasien dapat membuka mata spontan,
melihat lawan bicaranya dan dapat
merespon secara penuh dan tepat
terhadap stimulus.
o Letargis
Pemeriksa harus berbicara dengan
pasien dengan suara yang keras agar
pasein fokus terhadap pemeriksa.
o Somnolen
Pasien cenderung mengantuk.
Guncang pasien untuk membangunkan
pasien.
o Stupor/ sopor
Pasien dapat dibangunkan dengan

142 | Psikiatri
rangsangan yang kuat seperti nyeri.
Misalnya dengan mencubit tendon
atau menggosok sternum.
o Koma
Pasien tidak dapat dibangunkan
dengan rangsangan nyeri.
· Postur dan sikap motorik
o Postur tubuh yang tegang, gelisah dan
resah menandakan gangguan cemas.
o Pasien yang menangis atau berjalan
mondar mandir menunjukkan
kegelisahan.
o Sikap yang putus asa, postur yang
merosot dan gerakan melambat
menunjukkan depresi.
o Pasien yang menyanyi, menari dan
menunjukkan gerakan ekspansif
menunjukkan episode manik.
· Cara berpakaian, penampilan dan kebersihan
diri
o Perawatan dan kebersihan diri mungkin
kurang atau buruk pada pasien dengan
depresi, skizofrenia dan demensia.
o Kehati-hatian yang berlebihan dapat
terlihat pada pasien dengan gangguan
obsesif-kompulsif.
o Mengabaikan penampilan pada satu
sisi mungkin merupakan akibat adanya
lesi di seberang korteks parietal,
biasanya sisi non-dominan.
· Ekspresi wajah
o Menilai adanya ekspresi kecemasan,
depresi, apatis, marah atau gembira.
o Pada pasein parkinson biasanya
didapatkan ekspresi yang datar

Psikiatri | 143
(imobilitas fasial).
· Sikap, afek dan hubungan pasien dengan orang
lain atau sesuatu
o Pada pasien paranoid didapatkan
sikap marah, permusuhan, kecurigaan
atau menghindar.
o Pada sindrom manik didapatkan afek
yang meningkat, gembira dan euforia.
o Afek tumpul dan cenderung tidak
perduli terhadap orang atau lingkungan
sekitar didapatkan pada demensia.
Pembicaraan dan bahasa
Lihat dalam penilaian fungsi luhur.
Mood
Suasana hati meliputi kesedihan, melakolis, kepuasan,
sukacita, euforia, kegembiraan, kemarahan,
kegelisahan, kekhawatiran dan ketidak pedulian.
· Episode Depresi
Minimal terdapat lima gejala dan termasuk salah
satu dari dua gejala teratas dibawah ini:
o Mood depresi (mungkin suasana hati
yang mudah marah pada anak-anak
dan remaja) hampir sepanjang hari
dan hampir setiap hari.
o Berkurangnya minat dan kesenangan
yang nyata pada hampir seluruh
aktivitas hampir sepanjang hari dan
hampir setiap hari.
o Peningkatan atau penurunan berat
badan yang berlebihan (tanpa diet)
atau peningkatan atau penurunan
napsu makan hampir setiap hari
o Sulit tidur atau tidur yang berlebihan
hampir setiap hari.
o Agitasi psikomotor atau retardasi

144 | Psikiatri
terjadi hampir setiap hati.
o Kelelahan atau kehilangan energi
hampir setiap hari.
o Perasaan tidak berharga atau rasa
bersalah hampir setiap hari.
o Ketidakmampuan berpikir dan
berkonsentrasi hampir setiap hari
o Pemikiran yang berulang-ulang tentang
kematian atau bunuh diri; atau adanya
rencana atau upaya bunuh diri.
Gejala-gejala tersebut diatas menyebabkan
penderitaan terhadap pasien atau gangguan
sosialisasi dan pekerjaan atau fungsi lainnya.
Pada kasus yang berat mungkin didapatkan
delusi dan halusinasi.
· Episode Campuran
Pada episode campuran, pada minimal satu
minggu harus didapatkan kriteria baik episode
manik dan depresi.
· Episode Manik
Suatu periode abnormal dimana mood meningkat
secara terus menerus atau mudah tersinggung
yang berlangsung minimal 1 minggu. Selama
masa ini, pasien minimal memiliki 3 dari 7 gejala
dibawah ini yang sangat menonjol.
o Harga diri meningkat
o Waktu tidur berkurang (merasa sukup
beristirahat setelah 3 jam tidur)
o Lebih banyak bicara dibanding
biasanya atau selalu ingin bicara
o Flight of ideas (bicara meloncat-loncat
dan tidak berhubungan) atau racing
thoughts (pikiran berkejaran).
o Pikirannya mudah teralihkan.
o Peningkatan aktivitas (baik sosial,

Psikiatri | 145
pekerjaan, sekolah maupun seksual)
atau agitasi psikomotor.
o Melakukan kegiatan menyenangkan
dan berisiko (belanja berlebihan,
berbisnis yang jelas tidak
menguntungkan)
Gangguan diatas cukup berat sehingga
merugikan baik secara sosial, dalam pekerjaan
maupun hubungan. Pada keadaan yang berat
dapat terjadi halusinasi dan delusi.
· Gangguan Distimik
Suatu kondisi kronis yang ditandai dengan
gejala depresi yang terjadi hampir sepanjang
hari, lebih banyak hari daripada tidak, selama
minimal 2 tahun (pada anak-anak dan remaja
minimal 1 tahun). Selama periode tersebut,
interval bebas gejala tidak bertahan lebih lama
dari 2 bulan.
· Episode Hipomanik
Mood dan gejala menyerupai episode matik,
namun tidak terlalu nyata. Tidak terdapat
halusinasi dan delusi. Durasi minimum lebih
pendek yaitu 4 hari.
· Episode Siklotimik
Beberapa periode gejala hipomanik dan depresi
yang berlangsung minimal 2 tahun (1 tahun pada
anak dan remaja). Selama periode tersebut,
interval bebas gejala tidak bertahan lebih dari 2
bulan.
Pikiran dan persepsi
· Proses pikir
Beberapa gangguan dalam proses pikir:
o Circumstantiality
- Ditandai dengan bicara
yang berbelit-belit dan

146 | Psikiatri
tidak langsung mencapai
pokok tujuan disebabkan
detail yang tidak diperlukan,
meskipun komponen deskripsi
berhubungan dengan tujuan
pembicaraan. Banyak orang
tanpa gangguan mental
berbicara berbelit-belit seperti
ini.
- Dapat muncul pada orang yang
obsesif.
o Derailment (kehilangan hubungan)
- Gangguan proses pikir yang
ditandai dengan berbicara
bergeser dari satu hal ke hal
lain yang tidak berhubungan
atau berhubungan jauh.
- Terdapat pada skizofrenia,
episode manik dan gangguan
psikotik lainnya.
o Flight of ideas
- Suatu keadaan dimana aliran
asosiasi berlangsung sangat
cepat yang tampak dari
perubahan isi pembicaraan
dan pikiran dari suatu topik ke
topik lain. Di sini nampak suatu
gagasan belum selesai, disusul
gagasan yang lain. Perubahan
biasanya berdasarkan
kesamaan kata atau
stimulus yang mengalihkan,
namun gagasan-gagasan
tersebut tidak menjadi suatu
pembicaraan yang masuk akal.

Psikiatri | 147
- Biasanya didapatkan pada
episode manik.
o Neologisme
- Menciptakan kata-kata baru atau
kata-kata yang menyimpang
dan memiliki makna baru dan
aneh.
- Dapat ditemukan pada
skizofrenia, afasia dan
gangguan psikotik lainnya.
o Inkoheren
- Gangguan proses pikir dimana
pembicaraan sebagian
besar tidak dapat dimengerti
karena tidak logis, kurangnya
hubungan yang bermakna,
adanya perubahan topik
mendadak, ataupun kesalahan
penggunaan tata bahasa atau
kata. Flight of ideas yang
berat dapat menyebabkan
inkoherensi.
- Biasanya ditemukan pada
skizofrenia.
o Blocking
- Gangguan proses pikir di mana
pembicaraan tiba-tiba berhenti
di tengah-tengah kalimat
atau sebelum suatu gagasan
diselesaikan.
- Dapat terjadi pada skizofrenia,
namun dapat terjadi pula pada
orang normal.
o Konfabulasi
- Ingatan palsu yang muncul saat

148 | Psikiatri
merespon pertanyaan, untuk
mengisi kekosongan memori.
- Biasanya ditemukan pada
pasien dengan amnesia.
o Perseverasi
- Pengulangan persisten kata-
kata atau gagasan.
- Terjadi pada skizofrenia, dan
gangguan psikotik lainnya.
o Ekolali
- Pengulangan kata atau frase
orang lain atau lawan bicara.
- Dapat ditemukan pada episode
manik dan skizofrenia.
o Clanging
- Berbicara dan merangkai
kata-kata yang tidak memiliki
hubungan satu sama lain dan
diucapkan berdasarkan irama
atau rima verbal tertentu.
- Biasanya ditemukan pada
episode manik dan skizofrenia.

· Isi pikir
Beberapa kelainan isi pikir:
o Kompulsi
Perilaku atau tindakan mental berulang
dari seseorang yang merasa terdorong
untuk menghasilkan atau mencegah
sesuatu terjadi di kemudian hari,
walaupun harapan efek tersebut tidak
realistik.
o Obsesi
Gagasan, khayalan atau dorongan
yang berulang, tidak diinginkan dan

Psikiatri | 149
mengganggu, yang tampaknya konyol,
aneh atau menakutkan.
o Fobia
Ketakutan yang persisten dan irasional
disertai oleh keinginan kuat untuk
menghindari stimulus tersebut.
o Ansietas
Kekhawatiran, ketakutan, ketegangan
atau kegelisahan yang mungkin
terfokus (fobia) atau tidak (ketakutan
akan sesuatu yang tidak jelas).
o Feelings of Unreality
Suatu perasaan bahwa hal-hal dalam
lingkungan tersebut aneh, tidak nyata
atau jauh.
o Depersonalisasi
Suatu perasaan di mana seseorang
merasa dirinya berbeda, berubah atau
tidak nyata, atau kehilangan identitas
diri atau merasa terlepat pikirannya
dari tubuhnya.
o Delusi
Keyakinan palsu, didasarkan kepada
kesimpulan yang salah tentang
eksternal, tidak sejalan dengan
intelegensi pasien dan latar belakang
kultural, yang tidak dapat dikorelasi
dengan suatu alasan.
Kompulsi, obsesi, fobia dan ansietas
biasanya berhubungan dengan
gangguan neurotik. Sedangkan
delusi, depersonalisasi dan feelings of
unreality sering berhubungan dengan
gangguan psikotik.

150 | Psikiatri
· Persepsi
Berikut merupakan gangguan persepsi:
o Ilusi
Kesalahan interpretasi dari stimulus
eksternal yang nyata. Ilusi dapat
terjadi akibat reaksi berduka cita, pada
keadaan delirium, gangguan stres
pasca trauma dan skizofrenia.
o Halusinasi
Persepsi sensori subjektif terhadap
stimulus yang tidak nyata. Pasien
mungkin mengenali atau tidak bahwa
pengalaman tersebut tidak nyata.
Dapat berupa halusinasi auditori
(pendengaran), visual (penglihatan),
olfaktori (penghidu), gustatori
(pengecapan) atau somatik. Halusinasi
dapat terjadi pada keadaan delirium,
dimensia (jarang), gangguan stres
pasca trauma, skizofrenia dan
alkoholisme.
· Tilikan (insight) dan kemampuan menilai realitas
(judgement)
Pasien dengan gangguan psikotik sering tidak
menyadari penyakitnya. Beberapa gangguan
neurologis mungkin dapat disertai oleh
penyangkalan (denial). Kemampuan menilai
realitas dapat menurun atau buruk pada
keadaan delirium, dimensia, retardasi mental
dan keadaan psikotik. Kemampuan menilai
realitas juga dapat dipengaruhi oleh keadaan
ansietas, gangguan mood, tingkat intelegensi,
pendidikan, sosioekonomi, dan nilai budaya.
Derajat Tilikan adalah sebagai berikut:
o Tilikan derajat 1: pasien menyangkal

Psikiatri | 151
total terhadap sakitnya
o Tilikan derajat 2: pasien menyadari
dirinya sakit, tetapi bersamaan ia juga
menyangkal ia sakit
o Tilikan derajat 3: pasien menyadari
dirinya sakit dan mengatakan
penyebab sakitnya adalah hal di luar
dirinya (faktor eksternal)
o Tilikan derajat 4: pasien menyadari
dirinya sakit dan membutuhkan
bantuan, tetapi tidak memahami
penyebab sakitnya.
o Tilikan derajat 5: pasien menyadari
dirinya sakit, penyebab sakit dari
dalam dirinya dan membutuhkan
bantuan, tetapi mempunyai motivasi
untuk melakukan usaha pengobatan/
perbaikan.
o Tilikan derajat 6: pasien menyadari
penuh bahwa dirinya sakit, penyebab
sakit dari dalam dirinya dan mempunyai
motivasi penuh untuk melakukan
usaha pengobatan dan perbaikan.

Fungsi kognitif
Lihat penilaian fungsi luhur.

152 | Psikiatri
CONTOH KASUS
Seorang perempuan, 20 tahun, datang
dengan ke rumah sakit dengan keluhan
marah-marah, berteriak-teriak di rumah dan
mengancam ibu dan kakak kurang lebih 6
jam sebelum dibawa ke rumah sakit. Pada
pemeriksaan status mental didapatkan:
psikomotor berjalan mondar-mandir,
mood disforik, afek terbatas, perilaku
halusinatorik, asosiasi longgar, waham
kejar, reality testing ability terganggu, dan
insight derajat 1. Pada kasus ini perlu
dilakukan pemeriksaan sesuai prosedur di
atas!

REFERENSI
Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry 8ed. 2009.
LS Bickley. & PG Szilagyi. Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. China. 2009.
556-565, 595, 599.

4 Penilaian Mini Mental


State Examination (MMSE)
TUJUAN
· Mampu melakukan pemeriksaan MMSE
(Folstein)
· Mampu menilai hasil MMSE
· Mampu mengetahui adanya hendaya kognitif

Psikiatri | 153
PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI
· Komunikasi efektif
· Anamnesis
· Indikasi MMSE

ALAT DAN BAHAN


· Form MMSE
· Kertas kosong
· Pensil
· Arloji
· Tulisan yang harus dibaca
· Gambar yang harus ditiru/disalin

154 | Psikiatri
Tabel 10. Form MMSE

MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)


(modifikasi FOLSTEIN)

Nama Pasien : ..................(Lk/Pr)


Umur : ..................
Pendidikan : ..................
Pekerjaan : ..................
Riwayat Penyakit :
Stroke (......) Hipertensi (......)
DM (......) Peny. Jantung (......)

Pemeriksa : ....................................Tgl..................

Nilai
Item Tes Nilai
Maks
ORIENTASI
1 Sekarang (tahun), (musim), (bulan), 5 --
(tanggal), hari apa?

2 kita berada dimana? (negara), (propinsi),


(kota), (rumah sakit), (lantai/kamar) 5 --

REGISTRASI
3 Sebutkan 3 buah nama benda (jeruk, 3 --
uang, mawar), tiap benda 1 detik, pasien
disuruh mengulangi ketiga nama benda
tadi. Nilai 1 untuk tiap nama benda yang
benar. Ulangi sampai pasien dapat
menyebutkan dengan benar dan catat
jumlah pengulangan

ATENSI DAN KALKULASI


4 Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap 5 --
jawaban yang benar. Hentikan setelah
5 jawaban. Atau disuruh mengeja
terbalik kata "WAHYU" (nilai diberi pada
huruf yang benar sebelum kesalahan;
misalnya uyahw=2 nilai)

Psikiatri | 155
MENGINGAT KEBALI (RECALL)
5 Pasien disuruh menyebut kembali 3 3 --
nama benda di atas
BAHASA
6 Pasien diminta menyebutkan nama 2 --
benda yang ditunjukkan (pensil, arloji)
7 Pasien diminta mengulang rankaian 1 --
kata: "tanpa kalau dan atau tetapi"
8 Pasien diminta melakukan perintah: 3 --
"Ambil kertas ini dengan tangan kanan,
lipatlah menjadi dua dan letakkan di
lantai".

9 Pasien diminta membaca dan 1 --


melakukan perintah
"Angkatlah tangan kiri anda"
10 Pasien diminta menulis sebuah kalimat 1 --
(spontan)
11 Pasien diminta meniru gambar di bawah 1 --
ini

Skor Total 30 --

Pedoman Skor Kognitif global (secara umum):


Nilai: 24-30 normal
Nilai: 17-23 curiga gangguan kognitif
Nilai: 0-16 pasti gangguan kognitif

Catatan: dalam membuat penilaian fungsi kognitif harus


diperhatikan tingkat pendidikan dan usia responden

156 | Psikiatri
TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Menjelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
2) Minta pasien duduk di kursi periksa.
3) Lengkapi identitas pasien di lembar MMSE
4) Lakukan penilaian MMSE terhadap pasien
sesuai form
5) Hitung total skor dan lakukan interpretasi
6) Pedoman Skor kognitif global (secara umum):
7) Nilai: 24 -30 normal
8) Nilai: 17-23 curiga gangguan kognitif /
kemungkinan gangguan kognitif
9) Nilai: 0-16 pasti gangguan kognitif
10) Lakukan rujukan bila total skor <24
11) Akhiri sesi pemeriksaan

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


Sesuai konteks.
CATATAN KHUSUS

Mini mental state examination merupakan instrumen


pengkajian sederhana yang digunakan untuk
mengetahui kemampuan seseorang dalam berpikir
atau menguji aspek-aspek kognitif. Tes ini menilai
orientasi waktu, tempat, ingatan segera, memori
jangka pendek dan kemampuan pengurangan serial
atau membaca terbalik, selain itu juga mengukur
kemampuan konstruksional dan pemakaian bahasa.
Nilai MMSE dipengaruhi oleh usia dan tingkat
pendidikan.

Psikiatri | 157
CONTOH KASUS

Seorang laki-laki berusia 40 tahun, 3


hari yang lalu mengalami kecelakaan
lalu lintas. Dikeluhkan adanya halusinasi
berupa melihat bayangan orang yang
tidak dikenalnya, kesadaran berfluktuasi
sepanjang hari, terdapat disorientasi waktu
namun orientasi tempat dan orang masih
baik, untuk menilai gangguan kognitif perlu
dilakukan pemerikanan MMSE sesuai
prosedur di atas.

REFERENSI
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. China. 2009. P
556-565, 595, 599.
Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Psychiatric
Interview- The Mental Status Examination.
2009.
Folstein. MF, Folstein, SE McHugh PR. Mini mental
state: A practical method for grading the
cognitive state of patient for the clinician.
Journal of Psychiatric Research vol 12 (3).
189-98.
Kolegium Psikiatri Indonesia. Modul psikiatri geriatri.
Program Pendidikan Dokter Spesialis Psikiatri.
Kolegium Psikiatri Indonesia. 2008.

158 | Psikiatri
4 Merujuk pada Kasus Psikiatri dan
Mengelola Rujukan Balik
TUJUAN
· Mampu menentukan indikasi rujukan kasus
kegawatdarutan, rujukan rutin, rujukan
laboratorium
· Mampu menentukan rujukan yang paling tepat
bagi penanganan pasien selanjutnya
· Mampu melaksanakan perencanaan rujukan
· Mampu mengelola sesudah kembali dari rujukan
(Rujukan balik)
· Mampu memberikan penjelasan pada pasien
keperluan rujukan dan/atau rawat inap

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Tehnik wawancara dan pemeriksaan psikiatri
· Tanda dan gejala, psikopatologi,
kegawatandaruratan psikiatri
· Membuat surat rujukan

TEKNIK PEMERIKSAAN
Rujukan
1) Indikasi Rujuk pada Kasus Psikiatri
a. Pada pasien yang mengalami kondisi
gaduh gelisah (agitasi akut, agresif,
perilaku kekerasan pada diri sendiri
dan orang lain, percobaan bunuh diri),
membutuhkan evaluasi lebih lanjut
serta perawatan rawat inap. Evaluasi
secara mendalam dilakukan untuk
mencari penyebab agitasi akut baik dari

Psikiatri | 159
sisi medis (seperti gangguan metabolik,
kardiopulmoner, endokrin, gangguan
neurologis) atau sisi psikiatrik (psikosis,
intoksikasi, dementia, delirium, putus
obat).
b. Pasien yang mempunyai atau
memperlihatkan ide untuk membunuh
atau bunuh diri, keinginan untuk mati,
tidak mempedulikan diri sendiri (self
neglect). Pasien seperti ini harus
dievaluasi dan dirujuk untuk rawat inap.
c. Pasien yang membutuhkan fasilitas
diagnostik dan pemeriksaan lebih
canggih untuk kepastian diagnosis
serta membutuhkan tatalaksana lebih
lanjut sesuai indikasi.
d. Pasien yang mempunyai ikatan jangka
panjang dengan dokter tertentu (seperti
pasien dengan gangguan mood
dan ansietas). Rujukan kadang juga
disebabkan oleh tekanan dari keluarga
atau dari pasien.
e. Pada sindroma neuroleptik malignan
(SMN): rigiditas, hiperpirekti, delirium,
gangguan saraf otonom, EPS berat:
distonia akut, asfiksia pada distonia
larings
2) Melakukan komunikasi kepada pasien terkait
alasan rujukan. Apabila pasien tidak kooperatif,
maka komunikasi dilakukan kepada keluarga
pasien atau pengantar.
3) Melakukan komunikasi kepada pusat layanan
kesehatan yang menjadi tujuan rujukan.
4) Membuat surat rujukan medik dengan
keterangan tentang pasien sesuai kriteria

160 | Psikiatri
berikut:
a. Identitas pasien dengan nama pasien,
usia, alamat
b. Riwayat singkat perjalanan penyakitnya
c. Pemeriksaan fisik dan status mental
d. Diagnosis sementara
e. Pemberian obat oral dan atau injeksi
5) Jika ada indikasi untuk melakukan terapi awal,
bisa dikomunikasikan sesuai koordinasi dengan
tujuan rujukan.
6) Melengkapi surat rujukan medik dengan berkas
tambahan yang ada misal hasil pemeriksaan
laboratorium. Seluruh berkas dimasukkan di
dalam amplop tertutup dan dituliskan informasi
tujuan:
a. Kepada: tulis dengan jelas dan lengkap
nama dokter spesialis
b. Nama rumah sakit
c. Alamat rumah sakit dan kota tujuan
7) Memastikan alat dan prosedur transportasi
pasien.
Rujukan balik
Rujuk balik ditujukan untuk pantauan rutin setelah
rujuk balik untuk kasus psikosis
1) Pelajari surat dan informasi rujukan balik dari
FKRTL.
2) Lakukan perencanaan pantauan rutin sesuai
informasi rujukan balik untuk melakukan deteksi
dini komorbiditas dan komplikasi.

Tabel 11. Jenis dan waktu pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan
Setiap 1 tahun atau atas indikasi
fungsi liver

Psikiatri | 161
Pemeriksaan
Setiap 1 tahun atau atas indikasi
fungsi ginjal
Setiap 1 tahun atau atas indikasi:
- Memiliki gangguan KV
EKG
- Perpanjangan QT kongenital
- Riwayat sinkop

Darah Rutin Pada penggunaan Clozapine, (pada


bulan ke-2 dan 3, selanjutnya tiap 3
(agranulositosis) bulan

Pemeriksaan Tiap 2 tahun untuk usia ?40 tahun,


mata Tiap tahun ? 40 tahun

Pemeriksaan
Tiap 1 tahun atau atas indikasi
Neurologi
Tiap 3-6 bulan pada 1 tahun per-
Pemeriksaan tama onset sakit.
fungsi kognitif Tiap tahun atau atas indikasi > 1
tahun onset sakit

3) Informasikan kepada pasien dan keluarga


pasien tentang rencana pantauan rutin.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


Sesuai konteks.
CATATAN KHUSUS

· Pengertian Merujuk
Rujukan Medis merupakan suatu upaya
pelimpahan wewenang dan tanggung jawab
pasien dari satu strata pelayanan kesehatan yang
kurang mampu ke strata pelayanan kesehatan
yang lebih mampu, dan sebaliknya untuk
pelayanan kesehatan tindak lanjut yang diperlukan

162 | Psikiatri
demi memulihkan status kesehatan pasiennya.
· Sistematika merujuk secara umum
o Sistem rujukan dengan Berjenjang.
Terdapat 3 (tiga) pelayanan kesehatan
(yakni tingkat pertama, kedua, dan
ketiga).
o Rujukan berjenjang dari fasilitas
kesehatan primer (puskemas, klinik,
dokter keluarga), menuju sekunder (RS
kabupaten), lalu tersier (RS propinsi),
kecuali keadaan darurat.
o Perujukan bisa bersifat vertikal
maupun horizontal. Dengan beberapa
ketentuan tertentu pula.
 Perujukan Horizontal
Rujukan horizontal adalah
rujukan yang dilakukan antar
pelayanan kesehatan dalam
satu tingkatan apabila perujuk
tidak dapat memberikan
pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien
karena keterbatasan fasilitas,
peralatan dan/atau ketenagaan
yang sifatnya sementara atau
menetap.
 Perujukan Vertikal ke atas
à Pasien membutuhkan
pelayanan kesehatan
spesialistik atau
subspesialistik
à Perujuk tidak dapat
memberikan pelayanan
kesehatan sesuai
dengan kebutuhan
pasien karena
keterbatasan fasilitas,
Psikiatri | 163
peralatan dan/ atau
ketenagaan
 Perujukan Vertikal ke bawah
à P e r m a s a l a h a n
kesehatan pasien dapat
ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan
yang lebih rendah sesuai
dengan kompetensi dan
kewenangannya
à Kompetensi dan
kewenangan pelayanan
tingkat pertama atau
kedua lebih baik dalam
menangani pasien
tersebut
à Pasien membutuhkan
pelayanan lanjutan yang
dapat ditangani oleh
tingkatan pelayanan
kesehatan yang lebih
rendah dan untuk
alasan kemudahan,
efisiensi dan pelayanan
jangka panjang; dan/
atau
à Perujuk tidak dapat
memberikan pelayanan
kesehatan sesuai
dengan kebutuhan
pasien karena
keterbatasan sarana,
prasarana, peralatan
dan/atau ketenagaan

164 | Psikiatri
CONTOH KASUS
Seorang wanita, 30 tahun, mengalami
gangguan jiwa 10 tahun yang lalu, saat
ini mengalami resistensi obat kemudian
dokter psikiatri memberikan obat
clozapine kemudian membuat rujuk balik
pada perujuk, dokter layanan primer akan
memberikan rujukan ke laboratorium untuk
pemeriksaan darah rutin pada bulan ke
2 setelah pengobatan Clozapine guna
pemantauan efek obat agranulosistosis.

REFERENSI
Goldman HH. Review of general psychiatry. 5thed. New
York: Lange, 2000.
Gelder MG, Lopez-Ibor JJ, Andreasen N (eds). New
oxford textbook of psychiatry. Oxford: Oxford
university press, 2012.
Kay J. Tasman A. Essential of psychiatry. West Sussex:
John Wiley&Sons ltd, 2006.
Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang. BPJS
Kesehatan.
Panduan Praktis Program Rujukan Balik bagi Peserta
JKS. BPJS Kesehatan.

4 Menetukan Prognosis pada


Kasus Psikiatri
TUJUAN
· Mengetahui masalah gangguan psikiatri secara

Psikiatri | 165
bio-psiko-sosial
· Mengetahui prognosis kasus psikiatri

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Diagnosis psikiatri
· Psikopatologi

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Identifikasi masalah bio-psiko-sosial sesuai
tabel berikut, beri tanda (V) pada kolom yang
sesuai

Tabel 12. Tabel identifikasi masalah bio-psiko-sosial


Daftar masalah ada (+) buruk Tidak ada (-)
baik
Biologi:
Faktor keturunan
(genetik)
Comorbid dengan
penyakit fisik
Comorbid dengan
Napza
Gangguan masa
nifas
Trauma pasca
persalinan
Jenis kelamin
Umur
Psikologis:
Trauma masa
kanak

166 | Psikiatri
keluarga tidak
harmonis
Kepribadian clus-
ter A/B/C
Sosial:
Kemiskinan
Akses kesehatan
jauh
Ada masalah
hukum
Pendidikan rendah
Tidak bekerja
Dukungan sosial
buruk
Dukungan
keluarga buruk
Lain-lain:
Ketidakpatuhan
minum obat
Kekambuhan
Lama sakit
Resistensi
Total
permasalahan:

2) Hitung jumlah masalah yang ada pada pasien.


3) Lakukan penilaian dengan kriteria berikut:
a. Total masalah positif > negatif 
prognosis buruk
b. Total masalah positif = negatif 

Psikiatri | 167
prognosis ragu-ragu
c. Total masalah positif < negatif 
prognosis baik
4) Konfirmasikan hasil penilaian di atas dengan
prognosis sesuai diagnosis.
a. Schizophrenia
Prognosis buruk: onset penyakit
muncul lebih awal, riwayat keluarga
schizophrenia, abnormalitas struktur
otak, gangguan kognitif yang menonjol.
b. Gangguan kecemasan menyeluruh
Prognosis buruk bila disertai: fobia
comorbid, gangguan mood sekunder,
stres akut.
c. Gangguan kepribadian
- Gangguan kluster A dan
morbiditasnya termasuk:
à Gangguan
kepribadian paranoid
berisiko mengalami
agoraphobia, depresi
berat, gangguan
obsesif kompulsif, dan
penyalahgunaan obat-
obatan.
à Gangguan kepribadian
skizoid berisiko
mengalami depresi
berat.
à Gangguan
kepribadian skizotipal
berisiko mengalami
gangguan psikotik
singkat, gangguan
skizofreniform,

168 | Psikiatri
gangguan delusi dan
mengalami depresi
berat berulang.
- Gangguan kluster B dan
morbiditasnya termasuk:
à Gangguan kepribadian
antisosial berisiko
mengalami gangguan
kecemasan,
penyalahgunaan obat-
obatan, gangguan
somatisasi, dan judi
patologis
à Gangguan kepribadian
ambang berisiko
mengalami gangguan
pola makan,
penyalahgunaan obat-
obatan, gangguan
stress paska trauma,
dan berisiko bunuh diri.
à Gangguan kepribadian
histrionik berisiko
mengalami gangguan
somatoform.
à Gangguan kepribadian
narsistik berisiko
mengalami anoreksia
nervosa dan
penyalahgunaan obat-
obatan serta depresi.
- Gangguan kluster C dan
morbiditasnya termasuk:
à Gangguan kepribadian
menghindar

Psikiatri | 169
berhubungan dengan
gangguan cemas
(terutama fobia sosial)
à Gangguan kepribadian
dependen berisiko
mengalami gangguan
cemas dan gangguan
penyesuaian
à Gangguan kepribadian
obsesif kompulsif
berisiko mengalami
gangguan cemas.
d. Gangguan afektif bipolar
- Faktor yang menandakan
prognosis lebih buruk: riwayat
pekerjaan yang buruk,
ketergantungan alkohol,
gambaran psikotik, gambaran
depresif diantara periode manic
dan depresi, adanya gambaran
depresi, jenis kelamin pria
- Faktor yang menandakan
prognosis lebih baik: lamanya
fase manik (durasi yang lebih
singkat), onset yang muncul
lebih lambat; gejala psikotik,
pikiran untuk bunuh diri, dan
masalah medis yang lebih
sedikit.
e. Depresi
Gangguan depresi saat masa anak-
anak dan remaja, riwayat episode
depresi sebelumnya, gejala depresi
subsindromal, distimia, dan gangguan
cemas meningkatkan risiko depresi di

170 | Psikiatri
masa depan. Prognosis lebih buruk
pada depresi onset lambat.
f. Gangguan obsesif kompulsif
Sekitar 70% pasien mengalami
perbaikan gejala namun gangguan
obsesif kompulsif adalah penyakit
kronis seumur hidup. 15% pasien
mengalami perburukan dan 5%
mengalami remisi total.
g. Gangguan fobia
Prognosis ditentukan oleh keparahan
diagnosis, tingkat kemampuan sebelum
timbul gejala, derajat motivasi untuk
pengobatan, besarnya dukungan,
serta kemampuan untuk menjalani
pengobatan, regimen psikoterapeutik,
atau keduanya.
h. Gangguan stres pasca trauma
- Prognosis pasien dengan
gangguan stres pasca trauma
sulit untuk ditentukan karena
bervariasi tiap pasien.
- Faktor yang berhubungan
dengan prognosis yang baik
diantaranya adalah pengobatan
yang lebih dini, dukungan sosial
sejak dini dan terus menerus,
menghindari trauma berulang,
dan tidak adanya gangguan
psikiatrik lainnya.
i. Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer berhubungan
dengan gangguan memori yang
memburuk seiring waktu, pasien
dengan penyakit Alzheimer juga

Psikiatri | 171
menunjukkan gejala cemas, depresi,
insomnia, agitasi, dan paranoia.
Saat penyakitnya memburuk, pasien
membutuhkan bantuan dalam aktivitas
sehari-harinya.
5) Informasikan prognosis kepada pasien dan/atau
keluarga pasien.
6) Jelaskan rencana penatalaksanaan selanjutnya
kepada pasien dan/atau keluarga pasien.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


Sesuai konteks.

CONTOH KASUS
Soni, usia 24 tahun, mengalami depresi
berat dengan gejala psikotik, langsung
mendapatkan pengobatan, minum obat
teratur hampir 6 bulan, tidak mengalami
kekambuhan, tidak ditemukan keluarga
yang sakit seperti ini, riwayat penyakit
fisik tidak di temukan, ibu dan keluarganya
selalu memberikan dukungan, warga
sekitar rumah tinggal sering mengajak nya
bermain bola, sekarang Soni bisa bekerja
paruh waktu di toko swalayan, biaya
pengobatan ditanggung BPJS. Prognosis
Soni saat ini baik.

REFERENSI
Buku Ajar Psikiatri. Badan  Penerbit FK Universitas
Indonesia. Jakarta, 2010.
Diagnostic and statistical Manual Of Mental (DSM)
Disorder IV TR, 2004.

172 | Psikiatri
Goldman HH. Review of general psychiatry. 5thed.
New York: Lange, 2000.
Gelder MG, Lopez-Ibor JJ, Andreasen N (eds). New
oxford textbook of psychiatry.Oxford: Oxford
University press, 2012.
Harverson JL. Depression.
Kaplan, HI, Sadock BJ. Kaplan dan sadock sinopsis
psikiatri. Ed. Wiguna I Made. Bina Rupa Aksara
Publisher, Tangerang, 2001.
Kay J. Tasman A. Essential of psychiatry. John
Wiley&Sons ltd, Tangerang, 2006.
Sorref S. Bipolar affective disorders.

Psikiatri | 173
PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS

KULIT DAN KELAMIN

4 Pemeriksaan Fisik Kulit,


Mukosa, dan Kuku
TUJUAN
Mampu melihat dan menilai kelainan kulit dan jaringan
penunjang.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi, histologi dan fisiologi kulit
· Morfologi kelainan kulit
· Mekanisme kerja diaskopi, pemeriksaan lampu
Wood, pemeriksaan dermografisme

ALAT DAN BAHAN


· Lup (kaca pembesar)
· Lampu pemeriksaan
· Senter (pen light) sinar putih
· Gelas obyek
· Lampu Wood

174 | Kulit & Kelamin


TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Kulit
a. Inspeksi dan palpasi
Lakukan palpasi tanpa menggunakan
sarung tangan kecuali untuk lesi kulit
yang membasah.
- Warna: lihat apakah terdapat
penambahan pigmentasi,
berkurangnya pigmentasi,
kemerahan, pucat, sianosis
dan kekuningan di kulit.
- Kelembapan: lihat, raba dan
rasakan apakah kulit pasien
kering, banyak keringat atau
berminyak
- Suhu: raba dengan
menggunakan punggung jari
tangan untuk memeriksa dan
mengidentifikasi perubahan
suhu kulit.
- Tekstur: nilai, raba dan rasakan
kelembutan atau kekasaran
kulit pasien
- Turgor dan elastisitas: cubit
sedikit kulit dan nilai apakah
mudah terangkat dan kembali
ke bentuk semula
b. Lesi kulit
Lakukan observasi terhadap setiap
kelainan yang ditemukan.
- Tentukan lokasi anatomi
dan distribusinya di tubuh:
generalisata, lokal, universalis,
unilateral, bilateral, regional,
dermatomal

Kulit & Kelamin | 175


- Tentukan tipe lesi kulit
à Lesi primer: setinggi
permukaan kulit (makula),
diatas permukaan kulit
(urtika, vesikel, bula,
kista, pustul, papul,
nodus, plak)
à Lesi sekunder (ekskoriasi,
krusta, skuama, erosi,
ulkus, fisura, likenifikasi)
disertai keterangan warna
(sewarna kulit, eritem,
hipo/hiperpigmentasi)
- Tentukan batas lesi (untuk
lesi kulit tipe plak): difus,
sirkumskripta
- Tentukan jumlah lesi: soliter,
multiple
- Tentukan ukuran lesi kulit:
milier, lentikuler, numular, plakat
- Tentukan konfigurasi: liniar,
anular, arsinar polisiklik,
korimbiformis, iris, berkelompok,
serpiginosa
2) Rambut
a. Inspeksi dan palpasi rambut.
- Tentukan warna rambut: kusam
atau cerah
- Catat volume rambut: tebal
atau tipis
- Catat kepadatan rambut:
adakah alopesia atau tidak
b. Lakukan tes tarik rambut: lakukan
penarikan rambut secara ringan
dengan memakai jari telunjuk dan jari

176 | Kulit & Kelamin


tengah untuk menjepit sekitar 30 helai
rambut. Apabila dijumpai rambut lepas
lebih dari lima helai dikatakan tes tarik
rambut positif.
- Lakukan pemeriksaan kerapuhan
batang rambut: tarik sehelai
batang rambut lalu amati apakah
batang rambut tersebut mudah
patah atau tidak
3) Skalp
Inspeksi skalp:
a. Lihat apakah ada area alopesia yang
berbatas tegas atau tidak
b. Lihat apakah ada lesi kulit (makula,
papul, plak, krusta, ekskoriasi, skuama)
pada skalp
4) Kuku
Lakukan inspeksi dan palpasi kuku jari tangan
dan kuku jari kaki: lihat warna dan bentuk
dari kuku, bantalan kuku, serta lipatan kuku
(perubahan warna, keratosis, onikolisis, edema,
eritema). Garis longitudinal seperti pigmen
mungkin dapat terlihat pada orang normal
dengan kulit yang lebih gelap.
5) Mukosa
Inspeksi mukosa mulut: Lihat adakah erosi atau
ulkus pada mukosa mulut.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Pucat terjadi akibat anemia dan kekurangan
aliran darah
· Penyebab sianosis sentral adalah penyakit
paru lanjut, penyakit jantung kongenital, dan
hemoglobinopati.
· Sianosis pada gagal jantung kongestif sering

Kulit & Kelamin | 177


perifer dan merefleksikan penurunan aliran
darah, tetapi pada edema paru kemungkinan
sentral. Obstruksi vena mungkin menyebabkan
sianosis perifer.
· Jaundice menandakan penyakit hepar atau
hemolisis dari sel darah merah yang terlalu
banyak.
· Kulit kering dapat ditemukan pada keadaan
hipotiroid, kulit berminyak pada jerawat.
· Peningkatan suhu kulit menyeluruh pada
demam, sedangkan lokal akibat proses
inflamasi atau selulitis. Akral dingin dapat
ditemukan misalnya pada keadaan syok.
· Penurunan elastisitas dapat ditemukan pada
edema dan skrofuloderma, penurunan turgor
akibat dehidrasi.
· Banyak penyakit kulit memiliki distribusi
yang tipikal, misal: jerawat umum ditemukan
di wajah, dada bagian atas dan punggung;
psoriasis umum ditemukan pada lutut, siku
dan punggung bawah; infeksi kandida umum
ditemukan pada area-area lipatan tubuh.
· Vesikel yang unilateral dan bersifat dermatom
khas pada herpes zoster.
· Kemerahan lokal di kulit menandakan akan
terjadi nekrosis, walaupun beberapa luka
akibat tekanan dalam dapat terjadi tanpa
didahului oleh kemerahan.
· Alopesia artinya kerontokan rambut patologis,
bisa difus, bercak atau total. Alopesia difus
misalnya pada telogen effluvium. Bercak
alopesia berbatas tegas misalnya pada tinea
kapitis, sifilis sekunder. Alopesia total misalnya
pada alopesia totalis.
· Rambut mudah patah bisa dijumpai pada tinea
kapitis.
· Skuama pada skalp bisa dijumpai pada

178 | Kulit & Kelamin


psoriasis, dermatitis seboroik, dan tinea kapitis.
· Perubahan warna kuku kekuningan atau
kehitaman dapat terjadi pada infeksi jamur,
bakteri, melanoma kuku. Perubahan bentuk
kuku dapat terjadi pada psoriasis.
· Pada pemeriksaan diaskopi, warna merah
pada eritema akan menghilang, sedangkan
pada purpura warna merah akan menetap.
· Hasil pemeriksaan lampu Wood pada lesi
kulit: fluoresensi kuning keemasan ditemukan
pada pityriasis versikolor, fluoresensi coral
red pada eritrasma. Lampu Wood dapat
digunakan untuk melihat perbedaan warna
pada hiperpigmentasi: pigmen yang terletak
superfisial akan tampak lebih gelap, sedangkan
pada hipopigmentasi (misalnya vitiligo/
depigmentasi lengkap) akan tampak lebih
putih dengan batas yang tegas dibandingkan
dengan kulit sekitarnya.
· Dermografisme adalah reaksi bila kulit digosok
dengan benda tumpul, maka di tempat tersebut
muncul garis kemerahan diikuti urtika (edema
berbentuk linear sesuai goresan).

Kulit & Kelamin | 179


CONTOH KASUS
Seorang laki-laki, usia 18 tahun, pelajar,
datang ke klinik Dokter keluarga dengan
keluhan bercak-bercak putih di punggung
sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan ini disertai
dengan rasa gatal terutama bila berkeringat.
Awalnya bercak sedikit dan makin lama
semakin luas. Dari anamnesis diketahui
pasien mudah berkeringat bila beraktivitas.
Pada pemeriksaan dermatologis di
regio torakalis posterior dijumpai makula
hipopigmentasi, multipel, berukuran
lentikuler hingga numuler, dengan skuama
halus diatasnya. Kulit teraba lembab. Pada
pemeriksaan lampu Wood didapatkan
fluoresensi kuning keemasan pada lesi.

REFERENSI
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edition.
Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009, p
168-170.
James WD, Berger TG, Elston DM, editor. Andrew’s
Diseases of the skin: clinical dermatology. 12th
Ed. Cina: Saunders Elsevier. 2015.
Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 7. Jakarta;
Badan Penerbit UI; 2015.
Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. Fitzpatrick’s color
atlas and synopsis of clinical dermatology. 7th
Ed. McGraw-hill Education. 2013.

180 | Kulit & Kelamin


4 Pemeriksaan Efloresensi Kulit
TUJUAN
Mampu menilai kelainan kulit yang terlihat secara
objektif berdasarkan bentuk, jumlah, ukuran, susunan,
letak, konfigurasi dan distribusi lesi.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi, histologi dan fisiologi kulit
· Morfologi kelainan kulit
· Mekanisme kerja diaskopi, pemeriksaan lampu
Wood, pemeriksaan dermografisme

ALAT DAN BAHAN


· Lup (kaca pembesar)
· Lampu pemeriksaan/senter (pen light) sinar
putih
· Gelas obyek
· Lampu Wood

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Tentukan efloresensi kulit. Efloresensi terdiri
dari efloresensi primer dan sekunder.
a. Efloresensi primer:
- Makula: kelainan kulit berbatas
tegas setinggi permukaan
kulit, berupa perubahan warna
semata-mata.
- Papula: penonjolan di atas
permukaan kulit, sirkumskrip,
berukuran diameter <0,5 cma
dan berisi zat padat.
- Plak: peninggian di atas
permukaan kulit, permukaan

Kulit & Kelamin | 181


rata dan berisi zat padat,
diameter ≥2 cmb
- Urtika: edema setempat yang
timbul mendadak dan hilang
perlahan-lahan.
- Nodus: massa padat
sirkumskrip, terletak di kutan
dan subkutan, dapat menonjol.
- Nodulus: nodus yang berukuran
<1 cm
- Vesikel: gelembung berisi cairan
serum, beratap, berukuran <0,5
cmc garis tengah, mempunyai
dasar. Vesikel yang berisi darah
disebut vesikel hemoragik.
- Bula: vesikel yang berukuran
lebih besar, disebut juga
dengan bula hemoragik, bula
purulen dan bula hipopion.
- Pustul: vesikel yang berisi
nanah, bila nanah mengendap
di bagian bawah vesikel disebut
dengan vesikel hipopion.
- Kista: Suatu kantong berisi
cairan, sel maupun sisa sel.
Kista tidak terbentuk karena
peradangan, namun dapat
terjadi radang.
- Tumor: penonjolan di atas
permukaan kulit yang
merupakan pertumbuhan sel
atau jaringan tubuh.
b. Efloresensi sekunder:
- Skuama: lapisan stratum
korneum terlepas dari kulit,

182 | Kulit & Kelamin


dapat berbentuk seperti tepung
atau tebal dan luas, seperti
kertas. Bentuknya dibedakan
menjadfi pitiriasiformis (halus),
psoriasiformis (berlapis-
lapis), iktiosiformis (seperti
ikan), kutikular (tipis), lamellar
(berlapis), membranosa
atau eksfoliativa (lembaran-
lembaran) dan keratotik (terdiri
dari zat tanduk)
- Krusta: cairan badan yang
mengering, dapat bercampur
dengan jaringan nekrosis
maupun benda asing. Krusta
dapat berwarna kuning (berasal
dari serum), kuning kehijauan
(berasal dari pus), kehitaman
(berasal dari darah)
- Erosi: kehilangan jaringan
yang tidak melampaui stratum
basale.
- Ekskoriasi: kehilangan jaringan
sampai stratum papilare di
dermis.
- Ulkus: hilangnya jaringan yang
lebih dalam dari ekskoriasi,
memiliki dasar, dinding, tepi
dan isi.
- Fisura: hilangnya kontinuitas
kulit secara linier vertikal pada
epidermis dan dermis tanpa
kehilangan jaringan
- Sikatriks: terdiri dari jaringan tak
utuh, relief kulit tidak normal,

Kulit & Kelamin | 183


permukaan kulit licin dan tidak
terdapat adneksa kulit. Sikatriks
dapat berbentuk atrofik (kulit
mencekung) dan hipertrofik
(menonjol). Jika sikatriks
hipertrofik melebihi batas luka
disebut dengan keloid.
- Abses: kumpulan nanah dalam
jaringan atau kutis/subkutis.
- Likenifikasi: penebalan kulit
hingga garis-garis lipatan atau
relief kulit tampak lebih jelas.
c. Efloresensi khusus, antara lain: adalah
kanalikuli, milia, komedo, eksantema,
telangiektasi, vegetasi, raseola, dst.
- Vegetasi: adalah pertumbuhan
berupa penonjolan bulat atau
runcing yang menjadi satu.
- Kanalikuli: adalah suatu
saluran yang sempit, berkelok-
kelok, meninggi di epidermis
superfisial dan disebabkan oleh
parasit.
- Teleangiektasi: adalah
pembuluh darah superfisial
yang berdilatasi.
- Purpura: adalah ptekie yang
lebih lebar dari 0,5 cm.
- Non palpabel (makula):
kerusakan pembuluh darah
tanpa inflamasi akibat
kerapuhan pembuluh darah.
- Palpabel (papular): akibat
kerusakan pembuluh darah
dengan inflamasi.

184 | Kulit & Kelamin


- Komedo: adalah ruam akne
yang non inflamasi akibat
tersumbatnya keratin di muara
pilosebasea.
- Lesi target: adalah lesi yang
terdiri dari 3 zona yang
berbentuk lingkaran, lingkaran
pertama mengandung purpura
atau vesikel di bagian tengah
yang dikelilingi oleh lingkaran
pucat (lingkaran kedua),
lingkaran ketiga adalah
lingkaran eritema. Lesi target
biasanya dijumpai di telapak
tangan penderita eritema
multiforme (gambaran seperti
mata sapi).
2) Tentukan konfigurasi lesi kulit:
a. Linier: lesi tersusun linier (lurus) seperti
garis
b. Sirsiner / anuler: lesi tersusun mirip
cincin (lingkaran)
c. Arsiner: lesi berbentuk setengah
lingkaran (arcus)
d. polisiklik: beberapa lesi arsiner
sambung menyambung
e. Irisformis: lesi tersusun menyerupai iris
mata
f. konfluens: dua atau beberapa lesi
menyatu
g. Korimbiformis: satu lesi dikelilingi
beberapa lesi yang lebih kecil
h. Herpetiformis: beberapa vesikel
berkelompok menyerupai lesi herpes
i. Monomorfi: kelaianan kulit terdiri atas 1

Kulit & Kelamin | 185


jenis morfologi
j. Polimorfi: bermacam-macam kelainan
kulit atau morfologi
3) Tentukan ukuran lesi kulit:
a. Milier: ukuran lesi sebesar jarum pentul
(ukuran terkecil)
b. Lentikuler: ukuran lesi sebesar biji
jagung
c. Numuler: ukuran lesi sebesar koin
d. Plakat: ukuran lesi sebesar telapak
tangan
e. Geografis
4) Tentukan distribusi Lesi:
a. Regional: lesi terbatas hanya
ditemukan di satu tempat saja.
b. Universalis: lesi ditemukan tersebar
hampir di seluruh tubuh (90-100%),
hampir tidak ada kulit yang sehat
c. Generalisata: lesi tersebar ditemukan
di setiap bagaian tubuh. Umumnya
meliputi 50-90% luas permukaan tubuh
d. Bilateral: lesi tersebar di kedua belahan
tubuh kanann kiri, tidak perlu persis
baik letak maupun ukuran.
e. Diseminata: penjalaran dari 1 bagian
tubuh ke satu bagian tubuh yang lain
f. Fagadenik: proses penjalaran yang
meluas ke dalam dan ke samping dari
satu lesi awal
g. Diskret: lesi tersebar satu per satu, ada
dimana-mana
h. Serpiginosa: penjalaran lesi ke satu
arah, diikuti oleh proses penyembuhan
di sisi yang ditinggalkan

186 | Kulit & Kelamin


ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN
· Makula dapat dijumpai pada tanda lahir, vitiligo,
melanoderma, leukoderma, ekimosis, petekie.
· Papul dapat dijumpai pada dermatitis atau
eksim, folikulitis, keratosis folikularis, veruka
vulgaris.
· Nodul ditemui pada eritema nodosum leprosum,
neurofibromatosis.
· Tumor ditemui pada neurofibromatosis,
dermatofibroma
· Vesikel misalnya ditemui pada herpes simpleks,
herpes zoster, varisela, impetigo vesikobulosa.
· Bula misalnya ditemui pada impetigo
vesikobulosa, luka bakar, herpes zoster.
· Plak ditemui pada morbus hansen, dermatitis
kronis.
· Pustul ditemui pada folikulitis, furukulosis.
· Kista ditemui pada kista atherom, kista Bartholin.

VARIASI ISTILAH
Terdapat perbedaan ukuran pada beberapa efloresensi
primer pada referensi.
1) Papul: ukuran kurang dari 0,5 cm pada referensi
nomor 1 dan 3. Ukuran kurang dari 1 cm pada
referensi nomor 2.
2) Plak: ukuran lebih dari 2 cm pada referensi
nomor 1. Ukuran lebih dari 0,5 cm pada referensi
nomor 3. Ukuran lebih dari 1 cm pada referensi
nomor 2
3) Vesikel: ukuran kurang dari 0,5 cm pada
referensi nomor 1 dan 3. Ukuran kurang dari 1
cm pada referensi nomor 2
4) Bula: ukuran lebih dari 0,5 cm pada referensi
nomor 1 dan 3. Ukuran lebih dari 1cm pada
referensi nomor 2

Kulit & Kelamin | 187


CATATAN KHUSUS

1) Pemeriksaan palpasi saraf tepi: yang dinilai


pembesaran saraf, konsistensi, ada tidaknya
nyeri tekan.
2) Pemeriksaan fungsi saraf tepi n. Fasialis, n.
Aurikularis magnus, n. Radialis, n. Ulnaris, n.
Medianus, n. Peroneus communis, n. Tibialis
posterior.

CONTOH KASUS
Seorang perempuan, 30 tahun, pekerjaan
pegawai swasta, datang berobat ke
Puskesmas dengan keluhan bercak merah
dengan bintil-bintil berair disertai rasa nyeri
mulai dari punggung kanan hingga dada
kanan sejak 3 hari yang lalu. Mulanya
pasien merasakan nyeri di pungung
sejak 1 minggu sebelumnya, kemudian
muncul bintil-bintil berair yang meluas ke
dada. Pasien tidak mengeluhkan demam.
Pada pemeriksaan dermatologi pada
regio torakalis posterior dan torakalis
anterior dekstra dijumpai vesikel multipel
berkelompok di atas dasar eritema, disertai
krusta kuning yang tersebar dermatomal,
unilateral, setinggi thorakal IV.

REFERENSI
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional
Program Pengendalian Penyakit Kusta. 2012.
James WD, Berger TG, Elston DM, editor. Andrew’s

188 | Kulit & Kelamin


Diseases of the skin: clinical dermatology. 12th
Ed. Cina: Saunders Elsevier. 2015.
Sri Linuwih, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi 5 7. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2015.
Hal 96-97.
Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. Fitzpatrick’s color
atlas and synopsis of clinical dermatology. 7th
Ed. McGraw-hill Education. 2013.

4 Pemeriksaan Genitalia Pria


TUJUAN
· Mampu melakukan Inspeksi genitalia eksterna
dan sekitarnya
· Mampu melakukan palpasi penis dan skrotum

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi genitalia eksterna laki-laki
· Morfologi kelainan kulit pada regio genitalia
eksterna laki-laki
· Macam-macam duh tubuh genital
· Langkah-langkah mencuci tangan

ALAT DAN BAHAN


· Ruang pemeriksaan
· Sarung tangan
· Masker
· Kaca pembesar
· Lampu periksa

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Jelaskan kepada pasien tujuan dan prosedur
pemeriksaan
2) Minta persetujuan pasien secara lisan

Kulit & Kelamin | 189


3) Lakukan pemeriksaan didampingi oleh asisten
dalam
4) Kondisikan ruang pemeriksaan yang nyaman
5) Cuci tangan dan gunakan sarung tangan dan
masker
6) Minta pasien untuk melepas seluruh pakaian
bagian bawah
7) Minta pasien untuk berbaring di meja periksa
8) Lakukan pemeriksaan penis
a. Lakukan inspeksi pada penis, nilai kulit
di sekitar penis apakah terdapat lesi
kulit atau tanda-tanda inflamasi.
b. Preputium: apabila pasien tidak
disirkumsisi, tarik preputium ke
belakang atau minta pasien yang
melakukan, perhatikan apakah terdapat
lesi (ulserasi, skar, nodul, atau tanda-
tanda inflamasi, vegetasi), smegma,
atau kotoran di bawah lipatan kulit dan
glans penis.
c. Nilai posisi dari meatus uretra.
d. Tekan glans penis menggunakan ibu
jari dan telunjuk, untuk menilai apakah
terdapat duh tubuh (discharge). Jika
tidak terdapat duh tubuh namun
pasien mengeluhkannya, maka minta
pasien untuk melakukan pemijatan
penis dari pangkal hingga glans untuk
mengeluarkan duh tubuh.

190 | Kulit & Kelamin


Gambar 41. Pemeriksaan duh tubuh
e. Lakukan palpasi pada penis, nilai
apakah terdapat benjolan atau indurasi.
f. Kembalikan preputium ke posisi semula
sebelum melakukan pemeriksaan
lainnya.
9) Lakukan pemeriksaan Skrotum
Lakukan inspeksi, nilai kulit dan kontur dari
skrotum. Angkat skrotum untuk menilai
permukaan posterior skrotum, perhatikan
apakah ada lesi kulit (benjolan, ulserasi, dll)

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Terdapatnya inflamasi pada glans penis, disebut
balanitis, inflamasi pada glans penis dan
preputium, disebut balanopostitis.
· Adanya papul, vesikel dan ekskoriasi di sekitar
pubis dan genital, dicurigai adanya skabies.
Adanya papul verukosa dicurigai adanya
kondiloma akuminata.
· Adanya ulkus dicurigai ke arah herpes genital,
sifilis primer, atau ulkus mole, untuk diagnosis
pasti diperlukan pemeriksaan penunjang.
· Terdapatnya duh tubuh berwarna kuning keruh

Kulit & Kelamin | 191


dicurigai ke arah urethritis gonokokus, sekret
bening dicurigai ke arah urethritis non spesifik,
untuk diagnosis pasti dilakukan pewarnaan
Gram dan kultur.

CONTOH KASUS
Seorang laki-laki, 27 tahun, pekerjaan supir truk,
datang berobat ke Puskesmas dengan keluhan
keluar cairan putih dari kemaluan sejak 4 hari yang
lalu. Satu minggu yang lalu, pasien melakukan
hubungan seksual dengan seorang perempuan yang
baru dikenalnya tanpa menggunakan pengaman
kondom. Cairan lebih banyak keluar pada pagi hari.
Keluhan ini juga disertai sakit bila buang air kecil.
Pasien tidak merasakan demam. Pada pemeriksaan
genitalia eksterna pada inspeksi glans penis,
prepusium dan skrotum tidak tampak kelainan.

Dengan penarikan prepusium tampak glans penis


sedikit eritem, orifisium uretra eksterna didapatkan
edema dan eritema. Pada orifisium uretra eksterna
didapatkan duh tubuh berwarna kekuningan dan
seropurulen. Pada palpasi penis tidak didapatkan
nyeri pada bagian ventral penis dan skrotum.

REFERENSI
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edition.
Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009.
Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi menular
seksual. Edisi ke 4. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI. 2014.
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional
Penanganan Infeksi Menular Seksual. 2015.

192 | Kulit & Kelamin


PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS

SARAF
4 Pemeriksaan Rangsang
Meningeal
TUJUAN
· Mampu melakukan pemeriksaan kaku kuduk
· Mampu melakukan pemeriksaan tanda leher
menurut Brudzinzki
· Mampu melakukan pemeriksaan tanda tungkai
kontralateral menurut Brudzinzki
· Mampu melakukan pemeriksaan kernig

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi sistem saraf
· Pembelajaran blok neurologi
· Keterampilan Anamnesis
· Keterampilan Pemeriksaan fisik umum

ALAT DAN BAHAN


Sesuai konteks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan (setting klinik standar)
2) Jelaskan kepada pasien mengenai jenis dan

Kulit & Kelamin | 193


prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3) Cuci tangan dahulu.
4) Lakukan pemeriksaan kaku kuduk:
a. Posisikan pasien dalam keadaan
berbaring tanpa menggunakan bantal
kepala.
b. Berdiri di sebelah kanan pasien.
c. Tempatkan tangan kiri pemeriksa
dibelakang kepala pasien.
d. Tempatkan tangan kanan pemeriksa
pada sternum pasien, untuk memfiksasi
tubuh pasien.
e. Dengan hati-hati, putar kepala pasien
ke kanan dan kiri.
f. Dengan hati-hati, fleksikan kepala
pasien sehingga dagu pasien
menyentuh dada.
g. Nilai adakah nyeri atau tahanan pada
leher saat pemeriksaan ini dilakukan.
5) Lakukan pemeriksaan kernig:
a. Posisikan pasien dalam berbaring
tanpa menggunakan bantal kepala
dengan kedua tungkai diekstensikan
(lurus).
b. Fleksikan tungkai atas pasien pada
sendi panggul dan lutut sehingga
membentuk sudut 90 derajat.
c. Selanjutnya ekstensikan tungkai bawah
pasien sampai membentuk sudut 135°.
d. Nilai adanya tahanan maupun rasa
nyeri.
e. Lakukan pemeriksaan pada tungkai
lainnya lalu bandingkan hasilnya.
6) Periksa tanda leher menurut Brudzinski
a. Pastikan kedua tungkai dalam posisi

194 | Saraf
ekstensi sebelum melakukan prosedur
pemeriksaan kaku kuduk.
b. Nilai adakah fleksi pada kedua tungkai
pada saat melakukan pemeriksaan
kaku kuduk.
7) Periksa tanda tungkai kontralateral menurut
Brudzinski
a. Posisikan pasien dalam berbaring
tanpa menggunakan bantal dengan
kedua tungkai diekstensikan
b. Fleksikan tungkai pasien pada sendi
panggul dan lutut dengan tungkai
lainnya dalam keadaan ekstensi
c. Nilai tungkai lainnya apakah terjadi
fleksi
d. Lakukan hal yang sama pada tungkai
sisi kontralateral

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Pemeriksaan kaku kuduk
Saat kepala digerakkan ke kanan dan ke kiri,
normalnya tidak ada tahanan maupun rasa
nyeri. Tahanan dan rasa nyeri dapat terjadi
pada arthrosis dan mialgia. Tahanan pada leher
saat kepala difleksikan menunjukkan adanya
iritasi meningeal. Dalam kondisi adanya iritasi
meningeal, pada pasien masih bisa dilakukan
gerakan rotasi, hiperekstensi dan fleksi lateral
leher.
· Pemeriksaan Kernig
Pada saat tungkai bawah diekstensikan,
normalnya tungkai dapat mencapai sudut 135
derajat dari tungkai atas sebelum terdapat
tahanan atau rasa sakit. Bila tahanan atau
rasa sakit ini timbul sebelum mencapai sudut
tersebut, maka dikatakan kernig positif.

Saraf | 195
Gambar 42. Pemeriksaan Kernig
· Tanda leher menurut Brudzinski
Pemeriksaan ini dikatakan positif bila terdapat
fleksi pada salah satu atau kedua tungkai. Perlu
diketahui adanya kelumpuhan pada tungkai
sebelum pemeriksaan, karena pada tungkai
yang lumpuh tidak akan terjadi fleksi.

Gambar 43. Tanda leher menurut Brudzinski

· Tanda tungkai kontralateral menurut Brudzinski


Pemeriksaan ini dikatakan positif bila saat
salah satu tungkai difleksikan atas difleksikan,

196 | Saraf
dalam kondisi tungkai bawah ekstensi atau
diekstensikan kemudian, maka tungkai lainnya
terjadifleksi. Pada tungkai yang lumpuh tidak
terjadi fleksi.

Gambar 44. Pemeriksaan tanda tungkai kontralateral


menurut Brudzinski

CATATAN KHUSUS

Untuk menghindari perbedaan pemahaman


disarankan istilah Brudzinski I dan II ditinggalkan,
diganti dengan istilah yang lazim diterima secara
internasional yaitu:
1) Tanda leher menurut Brudzinski
2) Tanda tungkai kontralateral menurut Brudzinski

CONTOH KASUS
Laki-laki berusia 19 tahun dibawa ke UGD dengan
penurunan kesadaran bertahap sejak 2 hari.
Keluhan disertai dengan demam hilang timbul sejak
2 minggu. Riwayat batuk lama dan penurunan berat
badan sejak 1 bulan terakhir. Pemeriksaan tanda
rangsang meningeal perlu dilakukan pada pasien
tersebut.

Saraf | 197
REFERENSI
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edition.
Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009.
Campbell, WW. DeJong’s Neurological Examination
6th Edition. Lippincott Williams & Wilkins,
2005.
Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Neurology
Examination. 2009.
Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik
dan Mental. Jakarta. Balai penerbit FKUI.
2008. p18-20.
Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi.
Dian Rakyat. 1995.

4 Pemeriksaan Nervus Kranialis


TUJUAN
· Mampu melakukan pemeriksaaan ke-12 saraf
kranial
· Mampu menilai dan interpretasi hasil
pemeriksaan ke-12 saraf kranial

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi sistem saraf
· Pembelajaran blok neurologi
· Keterampilan Anamnesis
· Keterampilan Pemeriksaan fisik umum

ALAT DAN BAHAN


· Bubuk kopi
· Teh
· Tembakau
· Gula

198 | Saraf
· Garam
· Pen light
· Kartu Snellen
· Ophtalmoskop
· Kapas dipilin ujungnya
· Garpu tala

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan.
2) Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan
yang akan dilakukan dan prosedurnya.
3) Pastikan pasien tidak mengalami gangguan
sistem penghidu (contoh pilek)
4) Lakukan pemeriksaan indera penghidu (N. I)
a. Posisikan pasien dalam duduk atau
berbaring (sesuai kondisi klinis)
b. Perkenalkan bau-bauan yang akan
digunakan dalam pemeriksaan satu
per satu
c. Minta pasien untuk menutup kedua
matanya dan tutup salah satu lubang
hidung yang tidak diperiksa. Lakukan
pemeriksaan dari lubang hidung
sebelah kanan.
d. Dekatkan beberapa benda di bawah
lubang hidung yang terbuka satu per
satu, seperti kopi, teh, dan tembakau.
e. Tanyakan kepada pasien apakah ia
menghidu sesuatu. Bila ya, tanyakan
jenisnya. Berikan pilihan jawaban bila
pasien merasa menghidu sesuatu
namun tidak dapat mengenalinya
secara spontan, misalnya: “Apakah ini
kopi atau teh?”
f. Lakukan prosedur yang sama pada

Saraf | 199
lubang hidung yang lain
5) Lakukan pemeriksaan pupil (N. II)
a. Posisikan pasien dalam duduk atau
berbaring tergantung situasi.
b. Lakukan inspeksi pada kedua pupil
dan catat ukuran serta bentuknya.
c. Bandingkan pupil kanan dan kiri.
d. Tempatkan tangan diantara kedua
mata (optional).
e. Minta pasien untuk memfiksasi
pandangan ke depan. Sinari salah
satu mata dari arah tepi (pasien tidak
boleh melihat kearah sinar dan sumber
cahaya harus cukup terang)
f. Catat reaksi pupil baik langsung
maupun tidak langsung.
g. Lakukan prosedur yang sama pada
mata yang lain
6) Lakukan pemeriksaan lapang pandang (N. II)
a. Posisikan pasien duduk berhadapan
dengan pemeriksa dalam keadaan
lutut pemeriksa hampir bersentuhan
dengan lutut pasien dan tinggi mata
pemeriksa sama dengan pasien.
b. Lakukan pemeriksaan lapang pandang
satu per satu (monokuler), dimulai
dengan mata kanan:
- Minta pasien menutup mata kiri
dengan telapak tangan pasien
tanpa menekan mata tersebut
- Tutup mata kanan pemeriksa
- Tempatkan tangan pemeriksa
yang bebas di bidang imajiner
antara lutut pasien dan
pemeriksa. Jarak antara bidang

200 | Saraf
imajiner ini dengan mata
pemeriksa sama dengan jarak
bidang imajiner dengan mata
pasien.
- Minta pasien untuk memfiksasi
pandangannya ke depan,
pemeriksa dan pasien dalam
keadaan saling bertatapan.
- Gerakkan tangan pada bidang
imajiner tersebut dari tepi
ke tengah bidang, jari-jari
pemeriksa boleh digerakkan
atau tidak, kemudian minta
pasien menyebutkan apakah
jari-jari tersebut dalam keadaan
bergerak atau diam.
- Tanyakan kepada pasien
apakah ia dapat melihat tangan
pemeriksa.
- Lakukan pemeriksaan pada
empat kuadran kuadran
(temporal atas, nasal bawah,
nasal atas, temporal bawah).
- Lakukan prosedur yang sama
terhadap mata yang lain.
7) Lakukan pemeriksaan fundus mata (N. II)
a. Berikan cairan midriatikum pada pupil
pasien yang ingin diperiksa.
b. Redupkan cahaya dalam ruang
periksa.
c. Posisikan diri duduk berhadapan
dengan pasien.
d. Nyalakan oftalmoskop.
e. Atur lensa pada oftalmoskop (sesuaikan
bila pemeriksa memiliki kelainan

Saraf | 201
refraksi). Atur dioptri funduskopi sesuai
dengan visus pasien, mata pemeriksa
harus normal atau menggunakan
kacamata sesuai visus.
f. Atur jenis cahaya pada jenis lingkaran
penuh.
g. Minta pasien memfiksasi pandangan
jauh melewati bahu pemeriksa.
h. Pegang oftalmoskop dengan tangan
kanan dan letakkan didepan mata
kanan saat memeriksa mata kanan
pasien. Lakukan fiksasi kepala pasien
menggunakan tangan kiri.
i. Amati ke dalam pupil dengan sudut
aksis 0o untuk melihat diskus optikus
dan pembuluh darah retina kemudian
nilai retina, diskus optikus, cup-disc
ratio dan pembuluh darah retina.
Setelah itu, arahkan oftalmoskop 15o
ke arah temporal untuk menilai daerah
sekitarnya.
j. Lakukan prosedur yang sama terhadap
mata lainnya
8) Lakukan pemeriksaan kelopak mata, posisi bola
mata, dan reaksi konvergensi mata (N. III)
a. Inspeksi kelopak mata
- Posisikan pasien dalam duduk
atau berbaring tergantung
situasi.
- Amati kedua kelopak mata
pasien, bandingkan kanan dan
kiri.
- Minta pasien untuk
menengadahkan kepala atau
mengangkat alisnya untuk

202 | Saraf
mempertahankan mata tetap
terbuka kemudian amati.
- Apabila pemeriksa mencurigai
adanya ptosis pada mata
kanan, kiri atau kedua mata,
minta pasien menutup matanya
beberapa menit kemudian buka
mata pasien dan nilai kembali
b. Lakukan penilaian posisi bola mata
- Lakukan inspeksi posisi kedua
mata
- Nilai posisi bola mata pasien,
apakah terdapat juling atau
tidak.
- Tanyakan apakah pasien
memiliki keluhan pandangan
ganda.
- Apabila pemeriksa tidak yakin
bila pasien memiliki strabismus,
sinari mata dari jarak 30 cm
dengan letak tepat di tengah
antara kedua mata dan minta
pasien melihat ke sumber
cahaya.
- Lihat refleksi cahaya pada
kedua mata pasien. Normalnya
refleksi cahaya berada tepat di
tengah pupil.
c. Lakukan pemeriksaan reaksi
konvergensi
- Posisikan pasien dalam duduk
atau berbaring tergantung
situasi.
- Minta pasien untuk memfiksasi
penglihatan pada jari

Saraf | 203
pemeriksa yang diletakkan
pada jarak 1 m di depan wajah
pasien. Agar pupil pasien
lebih terlihat, pemeriksa dapat
mengangkat kelopak mata atas
menggunakan tangan lainnya.
- Secara perlahan, dekatkan
jari pemeriksa mendekati titik
antara kedua alis pasien sambil
memerhatikan ukuran pupil
pasien.
- Minta pasien untuk mengikuti
pergerakan tangan pemeriksa.
- Amati reaksi pupil selama
pemeriksaan kovergensi.
9) Lakukan pemeriksaan pergerakan bola mata (N.
III, IV, VI)
a. Posisikan pasien dalam duduk atau
berbaring tergantung situasi.
b. Angkat telunjuk pemeriksa di depan
mata pasien dan minta pasien untuk
memfiksasi penglihatannya pada ujung
jari pemeriksa dan untuk mengikuti
pergerakan tangan pemeriksa.
c. Minta pasien untuk memfiksasi
kepalanya sehingga hanya bola
matanya saja yang bergerak.
d. Gerakkan tangan ke kanan dan kiri, kiri
atas, kanan atas, kiri bawah dan kanan
bawah serta atas bawah melewati titik
tengah (6 arah). Pada saat melakukan
pemeriksaan ini, sudut penglihatan
tidak boleh lebih dari 45o.
e. Tanyakan kepada pasien apakah
ia merasakan adanya penglihatan

204 | Saraf
ganda pada saat mengikuti gerakan
jari. Bila ya, tanyakan di arah mana
saja. Lakukan pemeriksaan kembali
pada arah yang dirasa pasien terdapat
penglihatan ganda, lalu tutup salah
satu mata secara bergantian.
10) Lakukan pemeriksaan reflex kornea (N. V
komponen sensorik)
a. Posisikan pasien dalam duduk
atau berbaring tergantung situasi.
Pemeriksa dapat berada di sisi kanan
atau kiri pasien.
b. Angkat kelopak mata atas pasien,
kemudian minta pasien untuk melirik ke
sisi berlawanan dari tempat pemeriksa.
c. Sentuh sklera dengan ujung kapas dari
sisi ke arah kornea tanpa menyentuh
bulu mata maupun konjungtiva.
d. Perhatikan adanya refleks mengedip
dari pasien.
e. Lakukan pemeriksaan pada mata
lainnya dan bandingkan hasilnya.
11) Lakukan penilaian otot temporal dan masseter
(N. V komponen motorik)
a. Minta pasien untuk mengatupkan
rahangnya sekuat mungkin.
b. Lakukan palpasi pada otot temporal
dan masseter pasien. Kemudian nilai
kekuatan tonusnya
12) Lakukan penilaian sensasi wajah (N. V)
a. Posisikan pasien dalam duduk atau
berbaring tergantung situasi.
b. Dalam keadaan mata pasien terbuka
(agar pasien dapat melihat stimulus
yang akan ia identifikasi), sentuh

Saraf | 205
pasien di daerah wajah dengan
kapas di beberapa tempat sesuai
dengan percabangan N.V yaitu
regio supraorbital, frontal kiri, dan
frontal kanan (cabang oftalmikus),
regio maksilaris (cabang maksilaris),
serta regio mandibularis (cabang
mandibularis).
c. Bandingkan sensasi kanan dan kiri.
d. Minta pasien menutup mata, kemudian
ulangi prosedur di atas lalu tanyakan
apakah pasien merasakan stimuli
sentuhan yang diberikan. Bila ya, dan
minta ia mengidentifikasi letak stimuli.
Bandingkan kanan dan kiri.
e. Perhatikan adanya penurunan fungsi
sensoris yang ditandai dengan adanya
perbedaan sensasi stimuli pada pasien.
Walaupun pasien dapat menyebutkan
seluruh letak stimuli, tetap perlu
ditanyakan apakah ia merasakan
adanya perbedaan sensasi dari setiap
stimuli yang diberikan.
13) Lakukan penilaian kesimetrisan wajah (N. VII)
a. Amati wajah pasien dan nilai
kesimetrisannya sisi kanan dan kiri.
Adanya ketidaksimetrisan yang ringan
pada saat istirahat bersifat fisiologis.
b. Minta pasien untuk:
- Mengangkat kedua alis
- Menutup kedua mata dengan
kuat
- Menggembungkan pipi
- Mencucu
c. Amati apakah pasien dapat melakukan

206 | Saraf
seluruh gerakan yang diminta dan nilai
kesimetrisannya.
d. Amati seluruh mimik spontan pada
pasien, seperti tersenyum atau tertawa
dan nilai kesimetrisannya. Pemeriksaan
simetris wajah, dibedakan atas dan
bawah untuk membedakan tipe sentral
dan perifer.
e. Periksa pula sensori khusus di lidah
2/3 anterior.
14) Lakukan penilaian indra pendengaran:
lateralisasi, konduksi udara dan tulang (N. VIII)
lihat BAB INDERA: Tes Pendengaran
15) Lakukan pemeriksaan nistagmus (N. VIII
komponen motorik)
a. Posisikan pasien dalam duduk atau
berbaring tergantung situasi.
b. Minta pasien memfiksasi matanya
pada jari pemeriksa yang berjarak 75
cm di depan wajah pasien
c. Minta pasien mengikuti gerakan tangan
pemeriksa tanpa menggerakkan
kepala. Usahakan agar sudut pandang
mata tidak lebih dari 45o. Nistagmus
yang terjadi pada sudut pandang yang
lebih besar dapat bersifat fisiologis.
d. Amati timbulnya nistagmus. Tentukan
arah nistagnus, lamanya, dan apakah
terjadi pada fase cepat atau lambat.
e. Sebutkan apakah kelainan bersifat
sentral dan perifer, vestibuler dan non
vestibuler
16) Lakukan inspeksi palatum (N. IX & X)
a. Minta pasien untuk membuka mulutnya
dan nilai posisi arkus palatum

Saraf | 207
b. Minta pasien mengatakan “aaa”.
c. Nilai apakah arkus palatum berkontaksi
secara simetris.
17) Lakukan penilaian otot sternomastoid dan
trapezius (N. XI)
a. Otot Sternocleidomastoideus
- Berdiri di belakang pasien dan
letakkan tangan kanan pada
rahang bawah kanan pasien.
- Minta pasien untuk mendorong
tangan pemeriksa dengan
menggerakkan kepala ke sisi
kanan.
- Nilai kekuatan otot
sternokleidomastoideus kiri.
- Lakukan prosedur ini
terhadap rahang kiri untuk
menilai kekuatan otot
sternocleidomastoideus kanan.
b. Otot Trapezius
- Berdiri di belakang pasien.
- Minta pasien mengangkat
kedua bahunya.
- Tempatkan kedua tangan
diatas bahu pasien dan coba
untuk menurunkannya.
- Nilai kekuatan otot trapezius
dan bandingkan kanan dan kiri.
18) Lakukan pemeriksaan lidah (N. XII)
a. Minta pasien untuk membuka mulutnya.
b. Nilai bentuk dan kedudukan lidah di
dalam rongga mulut.
c. Nilai apakah lidah merapat kearah
kanan atau kiri.
d. Minta pasien menekan pipi kanan dan

208 | Saraf
kiri menggunakan lidah sedangkan
pemeriksa mendorong lidah pipi luar.
e. Nilai kekuatan lidah dan bandingkan
kanan dan kiri.
f. Nilai ada tidaknya atrofi (lidah terlihat
licin) dan fasikulasi (gelombang pada
otot-otot lidah).
g. Minta pasien menjulurkan lidah.
h. Nilai bentuk dan posisi lidah saat
dijulurkan. Apakah lurus ditengah,
deviasi ke arah kanan atau kiri.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Pemeriksaan N. I
Kehilangan kemampuan menghidu dapat
disebabkan oleh beberapa hal, termasuk
penyakit pada rongga hidung, trauma kepala,
akibat merokok, proses penuaan, dan
pengguanaan kokain. Kelaianan ini dapat juga
bersifat kongenital.
· Pemeriksaan N. II
Refleks pupil:
Normalnya ukuran pupil kanan dan kiri sama
besar. Saat diberikan rangsangan cahaya pupil
mengalami konstriksi.
Pada pupil anisokor yang nyata pada
pencahayaan terang, ukuran pupil tidak sama
kanan dan kiri. Pupil yang berukuran lebih besar
tidak dapat berkonstriksi dengan baik. Penyebab
kelaianan ini antara lain trauma tumpul pada
mata, glaukoma sudut terbuka, dan gangguan
saraf parasimpatik pada iris, seperti pada
tonic pupil dan paralisis n.okulomotorius. Saat
pupil anisokor pada cahaya yang redup, pupil
yang lebih kecil tidak dapat berdilatasi dengan
baik, seperti pada Horner’s syndrome. Hal ini
disebabkan oleh gangguan saraf simpatik.

Saraf | 209
Gambar 45. Pupil anisokor

· Pemeriksaan lapang pandang


Lihat Pemeriksaan Lapang Pandang
· Pemeriksaan fundus mata
o Gambaran funduskopi normal
- Warna kuning-orange
- Pembuluh darah sedikit pada
disc
- Batas diskus tegas

Gambar 46. Funduskopi normal

210 | Saraf
o Gambaran atrofi optik
- Warna putih
- Tidak terdapat pembuluh darah
pada diskus

(Sumber: Kidd, DP., et all., Neuro-Ophthalmology, Elsevier, 2008, hal. 46)


Gambar 47. Atrofi optik

o Gambaran papiledema
- Warna pink, hiperemis
- Pembuluh darah diskus lebih
terlihat dan banyak
- Diskus sembab

(Sumber: Kidd, DP., et all., Neuro-Ophthalmology, Elsevier, 2008, hal. 289)


Gambar 48. Papiledema

Saraf | 211
o Gambaran coupping pada glaucoma
- Cup membesar
- Warna pucat

(Sumber: Kidd, DP., et all., Neuro-Ophthalmology, Elsevier, 2008, hal. 116)


Gambar 49. Coupping pada glaukoma

· Inspeksi kelopak mata


Ptosis terjadi pada palsy N. III, Horner’s
syndrome (ptosis, miosis, anhidrosis) dan
miastenia gravis.
· Posisi bola mata dan pergerakan bola mata
Berikut ini adalah kelaianan posisi bola mata
dan pergerakan mata:

Strabismus konvergen
(esotropia)

Strabismus divergen
(eksotropia)

212 | Saraf
Paralisis N VI kiri

Paralisis N IV kiri

Paralisis N III kiri

Gambar 50. Kelainan posisi bola mata

· Reaksi konvergensi
Pada tes konvergensi normalnya pupil mengecil
(miosis).
· Refleks kornea
Pada pemeriksaan ini reaksi normal yang
ditimbulkan adalah refleks berkedip. Refleks ini
menghilang ada kerusakan atau lesi N. V. Lesi
pada N. VII juga dapat menyebabkan gangguan
pada refleks ini.
· Penilaian otot temporal dan masseter
Kelemahan atau hilangnya kontraksi otot
temporal dan masseter pada salah satu sisi
dapat menunjukkan adanya lesi N. V. Adanya
kelemahan bilateral disebabkan oleh gangguan
perifer atau sentral. Pada pasien yang tidak

Saraf | 213
memiliki gigi, hasil pemeriksaan ini mungkin sulit
dinilai.
· Kesimetrisan otot wajah
Lipatan nasolabial yang mendatar dan kelopak
mata yang jatuh kebawah menandakan adanya
kelemahan fasial. Cedera perifer N. VII, seperti
pada Bell’s palsy, mempengaruhi otot wajah
atas dan bawah sisi ipsilateral, sedangkan lesi
sentral hanya mempengaruhi otot wajah bagian
bawah. Pada paralisis wajah unilateal, sudut
mulut sisi yang paralisis jatuh ke bawah saat
pasien tersenyum atau meringis.
· Penilaian sensasi wajah
Penurunan atau kehilangan sensasi wajah
unilateral menunjukkan adanya lesi N V atau
jalur interkoneksi sensoris yang lebih tinggi.
· Pemeriksaan nystagmus
Nistagmus dapat menunjukkan adanya
gangguan vestibular ataupun kelaianan sentral.
Pada kelaianan nistagmus yang perlu dinilai
antara lain:
o Arah komponen cepat dan komponen
lambat
o Gerakan nistagmus
- Vertikal
- Horizontal
- Rotatoar
o Arah pandangan dimana nistagmus
muncul
· Inspeksi palatum
Palatum tidak dapat naik pada lesi bilateral dari
nervus vagus. Pada kelumpuhan unilateral, satu
sisi palatum tidak dapat terangkat dan bersama-
sama uvula tertarik ke arah sisi yang normal.
· Penilaian otot sternomastoid dan trapezius
Kelemahan yang disertai atrofi dan fasikulasi
menunjukkan adanya gangguan saraf perifer.

214 | Saraf
Saat m. trapezius mengalami paralisis, bahu
terkulai dan skapula terjatuh kebawah dan
lateral.
Pada pasien dengan posisi berbaring
yang mengalami kelemahan otot
strenokleidomastoideus bilateral akan
mengalami kesulitan mengangkat kepalanya
dari bantal.
· Pemeriksaan lidah
Pada pasien dengan paralisis N. XII, inspeksi
saat di dalam rongga mulut, dapat terlihat lidah
terdorong ke sisi yang sehat dan saat lidah
dijulurkan, maka akan terdorong ke sisi yang
sakit. Interpretasi hasil perlu disebutkan apakah
paralisis terjadi sentral atau perifer.

CATATAN KHUSUS

Untuk memeriksa fundus, pupil harus cukup berdilatasi,


sehingga sebelum melakukan pemeriksaan pasien
perlu diberikan cairan midriatikum.

CONTOH KASUS
Wanita berusia 20 tahun datang ke puskesmas
dengan keluhan wajah merot sejak 1 hari yang
lalu. Keluhan disertai kelopak mata kanan tidak
bisa menutup dan lidah hambar serta mata berair.
Pemeriksaan nervus kranialis perlu dilakukan pada
pasien tersebut.

REFERENSI
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and
History Taking 8th Edition. 2002-08.
Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary
Examination. 2009.

Saraf | 215
4 Pemeriksaan Refleks Fisiologis
TUJUAN
· Mampu melakukan pemeriksaan reflek fisiologis
· Mampu menilai refleks fisiologis serta mengenali
kelainannya

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi sistem saraf
· Pembelajaran blok neurologi
· Keterampilan Anamnesis
· Keterampilan Pemeriksaan fisik umum

ALAT DAN BAHAN


Palu refleks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Persiapkan alat yang dibutuhkan
2) Nilai Refleks tendon (bisep, trisep, pergelangan,
patella, tumit):
a. Tendon bisceps (posisi pasien duduk)
- Apabila pemeriksa tidak kidal,
pegang siku pasien dengan
tangan kiri.
- Lengan bawah pasien harus
rileks berada diatas lengan
bawah pemeriksa.
- Jempol kiri pemeriksa harus
berada diatas tendon bisep di
lipat siku pasien.
- Ketuk jempol anda dengan palu
refleks.
- Nilai adanya kontraksi pada otot
bisep dan pergerakan lengan

216 | Saraf
bawah, bandingkan kanan dan
kiri.
b. Tendon biceps (posisi pasien berbaring)
- Fleksikan lengan dan letakkan
lengan bawah di atas abdomen.
- Pastikan otot biscep dalam
keadaan rileks dengan
menggerakkan siku secara
pasif.
- Tempatkan jempol atau telunjuk
kiri pemeriksa pada tendon
bisceps di lipat siku pasien
sebagai pemandu lokasi tendon
otot biceps.
- Ketuk jari pemandu dengan
palu refleks.
- Nilai adanya fleksi lengan
bawah dan kontraksi pada otot
bisceps, bandingkan kanan
dan kiri.
c. Tendon trisep (posisi pasien duduk)
- Fleksikan lengan bawah pasien
secara pasif sehingga sikunya
membentuk sudut 90o. Pegang
pergelangan tangan pasien
sehingga otot pasien benar-
benar dalam keadan rileks.
- Letakkan jari telunjuk pada
tendon triceps sebagai
pemandu.
- Ketuk jari telunjuk dengan palu
refleks, sekitar 3 cm diatas
olecranon.
- Nilai adanya ekstensi lengan
bawah dan kontraksi pada otot

Saraf | 217
triceps, bandingkan kanan dan
kiri.
d. Tendon trisep (posisi pasien berbaring)
- Lengan bawah pasien
diposisikan diatas dadanya
dalam posisi rileks, dengan
siku fleksi 90o.
- Gerakkan siku pasien fleksi-
ekstensi secara pasif lalu,
dengan menggunakan 1
tangan, pegang tangan atau
pergelangan tangan pasien
kemudian fleksikan sedikit lebih
dari 90o.
- Letakkan jari telunjuk pada
tendon triceps sebagai
pemandu.
- Ketuk jari telunjuk dengan palu
refleks, sekitar 3 cm diatas
olecranon.
- Ketuk tendon triceps dengan
palu refleks, sekitar 3 cm diatas
olecranon.
- Nilai adanya ekstensi lengan
bawah dan kontraksi pada otot
triceps, bandingkan kanan dan
kiri.
e. Pemeriksaan Refleks brachioradialis/
pergelangan tangan (pasien posisi
duduk)
- Pegang lengan pasien dalam
posisi awal seperti saat
melakukan pemeriksaan refleks
bisceps.
- Ketuk di daerah 1 cm

218 | Saraf
diatas prosesus radiostyloid
menggunakan palu refleks.
- Nilai adanya fleksi lengan
bawah dan kontraksi otot
brachioradialis
- Bandingkan kanan dan kiri.
f. Pemeriksaan Refleks brachioradialis/
pergelangan tangan (pasien posisi
berbaring)
- Pegang lengan pasien dalam
posisi awal seperti saat
melakukan pemeriksaan refleks
bisep.
- Pegang jari telunjuk pasien
dengan satu tangan dan
gerakkan dengan bawah dan
pergelangan tangan pasien
hingga otot rileks.
- Ketuk di daerah 1 cm
diatas prosesus radiostyloid
menggunakan palu refleks.
- Nilai adanya fleksi lengan
bawah dan kontraksi otot
brachioradialis
- Bandingkan kanan dan kiri.
g. Pemeriksaan Refleks Patella (pasien
posisi duduk)
- Posisikan tungkai bawah pasien
dalam keadaan menggantung
dan rileks.
- Yakinkan otot quadriceps
pasien dalam keadaan rileks.
- Ketuk tendon quadriceps
menggunakan palu refleks,
diantara patella dan tuberositas

Saraf | 219
tibial.
- Nilai adanya ekstensi tungkai
bawah dan kontraksi otot
quadriceps
- Bandingkan kanan dan kiri.
h. Pemeriksaan Refleks Patella (pasien
posisi berbaring)
- Tempatkan tangan pemeriksa
pada salah satu lutut pasien
melewati bawah lutut yang
akan diperiksa.
- Yakinkan tangan pemeriksa
yang bebas mengecek bahwa
otot quadriceps pasien dalam
keadaan rileks.
- Ketuk tendon quadriceps
menggunakan palu refleks,
diantara patella dan tuberositas
tibial.
- Nilai adanya ekstensi tungkai
bawah dan kontraksi otot
quadriceps
- Bandingkan kanan dan kiri.
i. Pemeriksaan Refleks Achilles (pasen
posisi berbaring)
- Letakkan kaki pasien dalam
posisi menyilang, satu kaki
diatas kaki lainnya.
- Pegang ujung kaki pasien dan
gerakkan pergelangan kakinya
fleksi-ekstensi hingga otot
rileks.
- Tekan kaki pasien sehingga
kaki pasien sedikit dorso fleksi.
- Ketuk tendon Achilles

220 | Saraf
menggunakan palu refleks.
- Nilai adanya fleksi dorsum
pedis atau ekstensi plantar
pedis
- Bandingkan kanan dan kiri.
3) Nilai refleks abdominal
a. Posisikan pasien dalam keadaan
berbaring dan rileks.
b. Goreskan ujung lancip palu refleks
dengan arah dari tepi ke umbilikus
di enam regio abdomen (epigastrik,
mesogastrik, hipogastrik, kanan dan
kiri)
c. Nilai adanya pergerakan umbilikus
yang disebabkan oleh adanya kontraksi
otot abomen.
4) Nilai refleks kremaster
a. Posisikan pasien berbaring diatas meja
periksa
b. Goreskan ujung lancip palu refleks
didaerah paha dalam dengan arah dari
distal ke proksimal.
c. Nilai adanya pergerakkan testis yang
terangkat ke atas
d. Bandingkan kanan dan kiri.
5) Nilai refleks anal
a. Minta pasien berbaring dengan posisi
litotomi.
b. Dengan perlahan, goreskan ujung
lancip palu refleks di sekitar anus
dengan gerakkan melingkar.
c. Nilai adanya kontraksi dari muskulus
sfingter ani eksternal.
6) Nilai snout reflex (refleks regresi)
a. Dengan perlahan, ketukkan jari

Saraf | 221
pemeriksa diantara hidung dan mulut
pasien.
b. Nilai respon mulut pasien berupa
gerakan mencucu.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Penilaian hasil pemeriksaan refleks:
o 0 : tidak ada refleks
o 1 : refleks lemah
o 2 : refleks normal
o 3 : refleks cepat dengan zona reflek
meluas
o 4 : refleks cepat dengan disertai klonus
(beberapa kontraksi pendek dan
ritmik)
· Kelainan yang dapat ditemukan antara lain:
o Hiporefleksia : refleks menurun pada
kelainan lower motor neuron.
o Arefleksia. Dapat disebabkan oleh:
- Lesi yang melibatkan saraf tepi
(jalur aferen dan/atau eferen
lengkung refleks).
- Lesi pada bagian sentral (spinal
root) dari lengkung refleks,
seperti syringomielosia.
- Fase akut dari cedera spinal.
- Koma dalam.
- Arefleksia kongenital, biasanya
pada tungkai.
o Hiperefleksia: refleks meningkat pada
gangguan yang melibatkan upper
motor neuron.
o Adanya klonus merupakan tanda
patologis dan indikasi adanya lesi
pada central motor neuron (CML)
diatas motor neuron medula spinalis.
Pada bayi baru lahir atau pasien

222 | Saraf
dengan refleks yang sangat cepat,
klonus bertahan selama 3-4 ketukan
didapatkan dikedua sisi.
CONTOH KASUS

Laki-laki berusia 25 tahun dibawa ke UGD


dengan keluhan lemas pada kedua tungkai
yang semakin memberat sejak 1 hari,
diawali dengan kesemutan yang menjalar
dari kedua kaki ke betis. Didapatkan
riwayat mencret sejak 1 minggu
sebelumnya. Pemeriksaan reflek fisiologis
perlu dilakukan pada kasus ini.

REFERENSI
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and
History Taking 8th Edition. 2002-08.
Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology
Examination. 2009.

4 Pemeriksaan Refleks Patologis


TUJUAN
· Mampu melakukan pemeriksaan reflek patologis
Hofmann Tromner, Babinski, Oppenheim,
Chaddock, Gordon, Schaefer, dan Gonda
· Mampu menilai refleks patologis Hofmann
Tromner, Babinski, Oppenheim, Chaddock,
Gordon, Schaefer, dan Gonda serta mengenali
kelainannya

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi sistem saraf

Saraf | 223
· Pembelajaran blok neurologi
· Keterampilan Anamnesis
· Keterampilan Pemeriksaan fisik umum

ALAT DAN BAHAN


Palu refleks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan.
2) Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
3) Cuci tangan.
4) Nilai refleks Hoffman Tromner
a. Minta pasien untuk melakukan
hiperekstensi di pergelangan
tangannya
b. Petik dan sentil (snapped) ujung jari
tengah pasien
c. Lihat gerakan jari lainnya, hasil positif
adalah bila jari-jari fleksi dan ibu jari
adduksi
5) Minta pasien berbaring di meja periksa dengan
kedua tungkai diluruskan.
6) Nilai refleks Babinski
a. Fiksasi pergelangan kaki pasien
dengan cara memegangnya.
b. Gunakan ujung tajam palu refleks
untuk menggores telapak kaki bagian
lateral, mulai tumit menuju pangkal
jempol kaki.
c. Goresan dilakukan secara perlahan
dan tidak sampai mengakibatkan rasa
nyeri.
d. Lakukan prosedur pemeriksaan ini
pada kaki lainnya dan bandingkan

224 | Saraf
hasilnya.

Gambar 51. Refleks Babinski


7) Nilai refleks Chaddock
Berikan rangsangan dengan cara menggoreskan
ujung runcing palu refleks di bagian lateral
maleolus

Gambar 52. Refleks Chaddock


8) Nilai refleks Oppenheim
Berikan rangsangan dengan mengurut tibia
dan otot tibialis anterior secara kuat dari arah
proksimal ke distal.

Saraf | 225
Gambar 53. Refleks Oppenheim

9) Nilai refleks Gordon


Berikan rangsangan dengan memencet otot
gastroknemius.

Gambar 54. Refleks Gordon

226 | Saraf
10) Nilai refleks Schaeffer
Berikan rangsangan dengan cara memencet
tendon achilles

Gambar 55. Refleks Schaeffer

11) Nilai refleks Gonda


Berikan rangsangan dengan cara menekan
salah satu jari kaki (jari 2, 3 atau 4) lalu lepaskan.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Refleks Hoffman Tromner positif bilateral pada
25% orang normal, sedangkan bila unilateral
merupakan indikasi lesi UMN diatas segmen
servikal VIII.
· Refleks dikatakan positif apabila pada saat
dilakukan manuver-manuver diatas didapatkan
gerakan dorsofleksi ibu jari kaki yang dapat
disertai dengan gerak mekarnya jari-jari lainnya.
Refleks-refleks ini positif pada lesi traktus
piramidalis.

Saraf | 227
CONTOH KASUS
Seorang lak-laki berusia 60 tahun dibawa
ke UGD dengan keluhan lemas pada
tubuh sisi kanan sejak 2 jam. Sebelumnya
pasien mengeluh bicara pelo. Diketahui
pasien mempunyai riwayat darah tinggi
dan kencing manis. Pemeriksaan reflek
patologis perlu dilakukan pada pasien
tersebut.

REFERENSI
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical
Examination and History Taking, 10th edition.
Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009.
Campbell WW, Dejong’s The Neurologic Examination
7th ed, Philadelphia : Lippincott William &
Wilkins & Wolters Kluwer, 2013.
Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Neurology
Examination. 2009.
Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik
dan Mental. Jakarta. Balai penerbit FKUI.
2008. p46-47.

4 Pemeriksaan Sistem Sensorik


(Eksteroseptif dan Proprioseptif)
TUJUAN
· Mampu melakukan pemeriksaan fungsi sistem
sensoris eksteroseptif
· Mampu melakukan pemeriksaan fungsi sistem
saraf sensoris propioseptif

228 | Saraf
· Mampu menilai fungsi sistem sensorik
exteroseptif dan propioseptif

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi sistem saraf
· Pembelajaran blok neurologi
· Keterampilan Anamnesis
· Keterampilan Pemeriksaan fisik umum

ALAT DAN BAHAN


· Tusuk gigi
· Cotton bud
· Dua buah tabung reaksi
· Air panas
· Air dingin
· Garpu tala 128 Hz

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan.
2) Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan
yang akan dilakukan dan prosedurnya.
3) Nilai sensasi nyeri:
a. Pada area dimana yang diyakini
tidak terdapat defisit sensorik, tekan
ujung runcing tusuk gigi dan ujung
tumpul cotton bud dan biarkan pasien
merasakan perbedaan rangsangan.
b. Minta pasien menutup mata.
c. Tekan ujung tajam tusuk gigi dan
ujung tumpul cotton bud. Lakukan
prosedur ini di beberapa tempat secara
bergantian dan acak.
d. Tanyakan sensasi yang dirasakan oleh
pasien pada setiap penekanan salah
satu benda diatas, apakah pasien

Saraf | 229
merasakan sensasi tajam atau tumpul.
e. Apabila terdapat gangguan
membedakan sensasi tajam dan
tumpul, gunakan istilah hipalgesia atau
analgesia dan catat bagian tubuh yang
mengalami gangguan.
4) Nilai sensasi suhu:
a. Siapkan dua buah tabung reaksi yang
berisi air dingin dan air panas.
b. Pada area dimana yang diyakini tidak
terdapat defisit sensorik, perkenalkan
rangsangan suhu yang akan digunakan
dan biarkan pasien merasakan
perbedaan rangsangan.
c. Minta pasien menutup mata.
d. Sentuhkan rangsangan panas dan
dingin di beberapa area pada tubuh
pasien, tanyakan apa yang pasien
rasakan setiap kali memberikan
rangsangan.
e. Catat bagian tubuh mana saja
yang mengalami gangguan dalam
membedakan rangsangan suhu.
5) Nilai sensasi raba halus:
a. Untuk pemeriksaan ini, gunakan ujung
cotton bud.
b. Minta pasien untuk menutup mata.
c. Selalu sentuh pasien dengan sentuhan
ringan, jangan di tekan.
d. Minta pasien mengatakan “ya” setiap
kali pasien merasakan kontak.
e. Minta pasien untuk menyebutkan
bila pasien merasakan sensasi yang
berbeda saat disentuh.
f. Catat bagian tubuh mana saja

230 | Saraf
yang mengalami gangguan dalam
membedakan rangsangan suhu.
6) Nilai rasa posisi (propioseptif):
a. Minta pasien menutup mata.
b. Pegang jempol kaki pasien diantara
jempol dan jari telunjuk pemeriksa.
c. Pastikan bahwa pemeriksa tidak
menyentuh jari pasien yang lainnya.
d. Gerakkan jempol kaki pasien dan
tanyakan bila pasien merasakan
gerakan tersebut dan menyebutkan
arahnya.
e. Ulangi prosedur ini pada ekstremitas
atas.
f. Lakukan pemeriksaan getar dengan
menggunakan garpu tala yang
ditempatkan pada tulang yang
menonjol.
g. Lakukan pemeriksaan two point
discrimination dengan cara
menekankan 2 tusuk gigi pada ujung
jari sisi telapak dengan jarak 2-5 mm

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Dengan menandai area yang mengalami defisit
neurologis, pemeriksa dapat mengetahui adanya
kelainan mononeuropathy, polineuropathy, lesi
saraf tepi maupun lesi pada saraf sentral.
· Penilaian sensasi nyeri dan suhu merupakan
penilaian fungsi sensoris spinothalamikus
sehingga kelainan pada pemeriksaan ini
merupakan tanda adanya gangguan pada fungsi
sensoris spinothalamiskus.
· Penilaian sensasi raba dan posisi (propioseptif)
merupakan penilaian fungsi sensoris kolumna
dorsalis sehingga kelainan pada pemeriksaan

Saraf | 231
ini merupakan tanda adanya gangguan pada
fungsi sensoris kolumna dorsalis.
· Kondisi yang melibatkan korda spinalis dapat
menyebabkan gangguan pada salah satu
fungsi tersebut, misanya fungsi sensoris
spinothalamikus yang intak namun ada defisit
dari fungsi sensoris kolumna dorsalis.
· Berdasarkan lokasi gangguan fungsi sensoris,
pemeriksa dapat memperkirakan kemungkinan
letak lesi

CATATAN KHUSUS

Disusun berdasar dermatom, mulai dari C3 untuk


rangsang nyeri, raba halus dan suhu.

CONTOH KASUS

Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang


ke puskesmas dengan keluhan kesemutan
pada kedua ujung kaki sejak 1 tahun
terakhir. Pasien mempunyai riwayat
kencing manis sejak 10 tahun terakhir dan
tidak rutin berobat. Pemeriksaan fungsi
sistem saraf sensoris perlu dilakukan pada
pasien tersebut.

REFERENSI
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and
History Taking 8th Edition. 2002-08.
Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology
Examination. 2009.

232 | Saraf
4 Pemeriksaan Sistem Motorik
TUJUAN
· Mampu melakukan dan Menilai postur dan
habitus (lihat Bab III General Survey)
· Mampu melakukan dan Menilai adanya gerakan
involunter
· Mampu melakukan dan Menilai tonus otot
· Mampu melakukan dan Menilai kekuatan otot

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi sistem saraf
· Pembelajaran blok neurologi
· Keterampilan Anamnesis
· Keterampilan Pemeriksaan fisik umum

ALAT DAN BAHAN


Sesuai konteks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan.
2) Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
3) Cuci tangan sebelum melakukan prosedur
pemeriksaan.
4) Lakukan inspeksi:
a. Minta pasien berdiri dengan santai.
b. Nilai postur tubuh pasien dan kontur
otot. Amati tanda-tanda adanya
hipertrofi maupun atrofi otot.
c. Nilai adanya gerakan involunter
seperti tremor, fasikulasi dan gerakan
koreiform.
5) Nilai tonus otot:

Saraf | 233
a. Persiapkan pasien dalam posisi
berbaring, se-rileks mungkin.
b. Pegang lengan pasien dengan
menempatkan tangan pemeriksa
disekitar pergelangan tangan pasien
(hanya di sendi siku dan lutut;sendi-
sendi besar). Siku dalam keadaan
menempel pada meja periksa.
c. Tempatkan jari-jari pemeriksa pada
tendon biceps.
d. Fleksi dan ekstensikan sendi siku
beberapa kali.
e. Nilai tonus otot-otot lengan atas pasien
dan bandingkan kanan dan kiri.
f. Nilai juga tonus otot-otot tungkai atas
dengan fleksi dan ekstensi secara pasif
sendi panggul dan lutut.
6) Nilai kekuatan otot:
a. Untuk menilai kekuatan otot, pasien
harus mengkontraksikan ototnya
secara maksimal.
b. Coba untuk membuat tahanan
terhadap otot yang diperiksa dengan
menggunakan tangan pemeriksa.
c. Saat menilai kekuatan otot pasien,
coba untuk membuat perbandingan
dengan kekuatan pemeriksa.
d. Buat penilaian semi kuantitatif
berdasarkan skala 0-5.
7) Nilai sistem motorik area kepala dan leher
Lihat BAB SISTEM SARAF dalam pemeriksaan
saraf kranial
8) Nilai sistem motorik ekstremitas atas
a. M. serratus anterior
- Minta pasien berdiri dengan

234 | Saraf
kedua tangan diregangkan
dan disandarkan pada dinding.
Tinggi tangan yang menempel
pada dinding kurang lebih
sejajar dengan bahu.
- Minta pasien mendorong
tembok. Nilai kekuatan ototnya,
bandingkan kanan dan kiri.
b. M. deltoideus
- Minta pasien untuk
mengekstensikan kedua
lengannya ke arah samping dan
minta ia untuk mempertahankan
posisi tersebut.
- Tekan kedua lengan pasien ke
bawah sambil meminta pasien
melawan gerakan pemeriksa.
- Nilai kekuatan ototnya.
- Bandingkan kanan dan kiri.
c. M. biceps brachii
- Minta pasien memfleksikan
sendi sikunya dengan maksimal
ke arah bahu, dengan posisi
supinasi lengan bawah.
- Luruskan lengan pasien sambil
meminta pasien melawan
gerakan pemeriksa.
- Nilai kekuatan ototnya.
- Bandingkan kanan dan kiri.
d. M. triceps brachii
- Minta pasien mengekstensikan
maksimal lengannya pada
sendi siku.
- Tekuk lengan pasien pada sendi
siku sambil meminta pasien
melawan gerakan pemeriksa.
- Nilai kekuatan ototnya.

Saraf | 235
- Bandingkan kanan dan kiri.
e. Muskulus-muskulus ekstensor
pergelangan tangan
- Minta pasien untuk
mengekstensikan pergelangan
tangannya dengan pronasi
lengan bawah.
- Fleksikan pergelangan tangan
pasien sambil meminta pasien
melawan gerakan pemeriksa.
- Nilai kekuatan ototnya.
- Bandingkan kanan dan kiri.
f. Muskulus-muskulus fleksor
pergelangan tangan
- Minta pasien meletakkan
lengan bawahnya diatas meja
pada posisi supinasi dan
fleksi pada sendi pergelangan
tangan.
- Ekstensikan pergelangan
tangan pasien sambil meminta
pasien melawan gerakan
pemeriksa.
- Nilai kekuatan ototnya.
- Bandingkan kanan dan kiri.
g. Muskulus-muskulus fleksor jari
- Minta pasien untuk
menggenggam jari pemeriksa
sekuatnya.
- Coba lepaskan jari-jari pasien
- Nilai kekuatan ototnya
- Bandingkan kanan dan kiri.
h. Muskulus-muskulus ekstensor jari
- Minta pasien meluruskan sendi-
sendi jari tangannya.
- Fleksikan sendi-sendi jari
pasien sambil meminta pasien

236 | Saraf
melawan gerakan pemeriksa
- Nilai kekuatan ototnya
- Bandingkan kanan dan kiri.
i. M. opponens pollicis
- Minta pasien untuk menautkan
ujung jempol dan ujung
kelingkingnya sehingga
membentuk lingkaran.
- Coba lepaskan lingkaran
tersebut menggunakan jari
pemeriksa.
- Nilai kekuatan ototnya.
- Bandingkan kanan dan kiri.
j. Muskulus-muskulus interoseus
- Minta pasien untuk
mengekstensikan seluruh
jarinya dan regangkan.
- Tempatkan jari-jari pemeriksa
diantara jari-jari pasien
dalam keadaan ekstensi dan
regangkan.
- Minta pasien untuk merapatkan
jari-jarinya sekuatnya.
- Nilai kekuatan ototnya.
- Bandingkan kanan dan kiri.
9) Nilai sistem motorik ekstremitas bawah
a. M. gluteus medius dan m. gluteus
minimus
- Minta pasien untuk berdiri
tegak.
- Amati apakah tubuh bagian atas
pasien terlihat membungkuk.
- Amati apakah pasien dapat
mempertahankan pelvis pada
posisi sejajar garis horizontal.
b. M. iliopsoas
- Minta pasien berbaring di meja

Saraf | 237
periksa dengan posisi sendi
panggul fleksi maksimal.
- Luruskan sendi panggul pasien
sambil meminta pasien untuk
melawan gerakan pemeriksa.
- Nilai kekuatan ototnya.
- Bandingkan kanan dan kiri.
c. M. quadriceps
- Berdiri di sebelah kanan pasien.
- Tempatkan tangan kanan
pemeriksa pada pergelangan
kaki kanan pasien yang sedang
dalam posisi lurus, angkat
sedikit kaki pasien.
- Letakkan tangan kiri pemeriksa
dibawah kaki kanan pasien
tepat melewati bawah lutut dan
pegang lutut kaki kiri pasien.
- Dengan menggunakan tangan
kanan, tekuk sendi lutut kanan
pasien sambil meminta pasien
untuk melawan gerakan
pemeriksa.
- Nilai kekuatan ototnya.
- Lakukan prosedur yang sama
untuk kaki sebelah kiri dan
bandingkan kekuatannya.
d. M. femoral adductor
- Minta pasien berbaring dengan
posisi fleksi pada sendi panggul
dan lutut. Rapatkan kedua lutut.
- Pisahkan kedua lutut pasien
sambil meminta pasien untuk
melawan gerakan pemeriksa.
- Nilai kekuatan ototnya.
- Bandingkan kanan dan kiri.
e. M. hamstrings

238 | Saraf
- Minta pasien berbaring dengan
posisi fleksi pada sendi panggul
dan fleksi maksimal pada sendi
lutut sehingga tumit pasien
menyentuh paha atas.
- Ekstensikan sendi lutut pasien
sambil meminta pasien untuk
melawan gerakan pemeriksa.
- Nilai kekuatannya.
- Bandingkan kanan dan kiri.
f. M. tibialis anterior dan m. extensor
digitorum
- Minta pasien berbaring dengan
posisi kedua tungkai ekstensi.
- Minta pasien untuk menarik
telapak kakinya ke arah kranial
sehingga fleksi pada sendi
pergelangan kaki (dorso fleksi).
- Dorong kaki pasien menjauhi
tubuh sambil meminta pasien
untuk melawan gerakan
pemeriksa.
- Nilai kekuatannya.
- Bandingkan kanan dan kiri.
g. M. gastrocnemius
- Minta pasien berbaring dengan
posisi kedua tungkai ekstensi.
- Minta pasien untuk meluruskan
telapak kakinya seperti
menginjak rem (plantar fleksi).
- Dorong kaki pasien mendekati
tubuh sambil meminta pasien
untuk melawan gerakan
pemeriksa.
- Nilai kekuatannya.
- Bandingkan kanan dan kiri.

Saraf | 239
h. M. peroneal
- Letakkan tangan pemeriksa di
sisi luar kaki pasien sejajar jari
kelingking.
- Minta pasien mendorong
tangan pemeriksa sekuatnya
dan nilai kekuatan ototnya.
- Bandingkan kanan dan kiri.
i. M. extensor hallucis longus
- Letakkan tangan pemeriksa di
sisi dalam kaki pasien sejajar
jempol.
- Minta pasien mendorong
tangan pemeriksa sekuatnya
dan nilai kekuatan ototnya,
bandingkan kanan dan kiri.
j. M. flexor hallucis longus
- Minta pasien untuk
memfleksikan kedua jempol
kakinya.
- Luruskan kedua jempol pasien
sambil meminta pasien untuk
melawan gerakan pemeriksa.
- Nilai kekuatan ototnya.
- Bandingkan kanan dan kiri.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Atrofi otot dapat ditemukan pada:
o Penyakit kronis dan malnutrisi
o Penyakit muskular
o Setelah terjadi kerusakan saraf perifer
o Setelah kerusakan traktus kortikospinal
· Bentuk atrofi dapat berupa:
o Atrofi asimetris terjadi pada contohnya
mononeuropathy
o Atrofi simetris terjadi pada contohnya
penyakit muscular

240 | Saraf
· Gerakan involunter
o Fasikulasi merupakan kontraksi otot
yang tidak beraturan. Keadaan ini
dapat mengindikasikan adanya lesi
motor neuron (contohnya polimielitis,
amyotrophic lateral sclerosis) namun
dapat juga tidak memiliki makna
patologis.
o Tremor merupakan gerakan involunter
yang relatif berirama, yang kurang lebih
dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
- Resting (Static) Tremors
Tremor ini paling mencolok
saat istirahat dan dapat
berkurang atau menghilang
dengan adanya pergerakan.
(https://youtube.com/
watch?v=7uhT2ipQpKs)
- Postural Tremors
Tremor ini terlihat saat bagian
yang terkena aktif menjaga
postur. Contohnya tremor pada
hipertiroid dan tremor pada
kecemasan atau kelelahan.
Tremor ini dapat memburuk bila
bagian yang terkena disengaja
untuk mempertahankan suatu
postur tertentu.
- Intention Tremors
Merupakan tremor yang hilang
saat istirahat dan timbul saat
aktivitas dan semakin memburuk
bila target yang akan disentuh
semakin dekat. Penyebabnya
antara lain gangguan jaras
serebelar seperti pada multiple

Saraf | 241
sclerosis. (https://youtube.com/
watch?v=ZkM-1MLn0_A)

Gambar 56. Tremor

o Tick
Tics merupakan gerakan yang singkat,
berulang, stereotip, gerakan
terkoordinasi yang terjadi pada interval
yang tidak teratur. Contohnya termasuk
berulang mengedip, meringis,
danmengangkat bahu bahu.
Penyebab
termasuk
sindrom dan
obat-obatan
s e p e r t i
To u r e t t e ,
fenotiazin dan
amfetamin.

Gambar 57. Tick


o Chorea
Gerakan Choreiform merupakan
gerakan yang singkat, cepat, tidak
teratur, dan tak terduga. Terjadi saat
istirahat atau mengganggu gerakan
terkoordinasi normal. Tidak seperti tics,
chorea jarang berulang. Wajah, kepala,

242 | Saraf
lengan bawah, dan tangansering
terlibat. Penyebabnya termasuk chorea
Sydenham (dengan demam rematik)
dan penyakit Huntington.

Gambar 58. Chorea


o Athetosis
Gerakan Athetoid lebih lambat dan
lebih memutar dan menggeliat
dibandingkan gerakan choreiform,
dan memiliki amplitudo yang lebih
besar. Paling sering melibatkan wajah
dan ekstremitas distal. Athetosis
sering dikaitkan dengan spastisitas.
Penyebabnya antara lain cerebral palsy.

Gambar 59. Athetosis

· Penilaian tonus otot:


o Rigiditas: adanya tahanan pada
seluruh pergerakan. Kondisi ini
menandakan adanya keterlibatan
sistem ekstrapiramidal (fenomena
chogweel)

Saraf | 243
o Spastisitas: adanya tahanan pada
bagian tertentu dari suatu gerakan
(claps and knife phenomena) ,
letaknya dapat bervariasi. kondisi ini
menandakan adanya keterlibatan jaras
kortikospinal (sistem piramidal).
o Hipotonia: pada keadaan relaksasi
pun biasanya otot teraba sedikit
berkontraksi. Namun konduksi sensoris
ke otot dapat terganggu, misalnya
pada kerusakan saraf tepi yang berat
atau kerusakan akut jalur kortikospinal,
sehingga tonus otot dapat menghilang.
· Penilaian pemeriksaan kekuatan otot:
o 0: Tidak ada pergerakan sama sekali,
tonus otot tidak teraba.
o 1: Tonus otot teraba namun tidak ada
pergerakan. Hanya bisa menggerakkan
sendi kecil
o 2: Terdapat pergerakan namun tidak
dapat melawan gravitasi (gerakan
menggeser ke kanan dan kiri). Hanya
bisa menggeser di permukaan.
o 3: Kekuatan otot hanya cukup untuk
melawan gravitasi namun tidak dapat
melawan tahanan ringan.
o 4: Kekuatan otot dapat menahan
tahanan ringan namun tidak dapat
melawan tahanan maksimal.
o 5: Kekuatan otot dapat menahan
tahanan maksimal.

244 | Saraf
CONTOH KASUS
Laki-laki berusia 70 tahun datang ke
puskesmas dengan keluhan tangan kanan
gemetar sejak 1 tahun terakhir. Pasien
mengeluh semua tubuhnya kaku dan
jalannya melambat. Pemeriksaan dan
penilaian sistem motorik perlu dilakukan
pada pasien ini.

REFERENSI
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and
History Taking 8th Edition. 2002-08.
Campbell WW, Dejong’s The Neurologic Examination
7th ed, Philadelphia : Lippincott William &
Wilkins & Wolters Kluwer, 2013
Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology
Examination. 2009.

4 Pemeriksaan Koordinasi
TUJUAN
Mampu melakukan dan Menilai fungsi koordinasi.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi sistem saraf
· Pembelajaran blok neurologi
· Keterampilan Anamnesis
· Keterampilan Pemeriksaan fisik umum

ALAT DAN BAHAN


Sesuai konteks.

Saraf | 245
TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan
yang akan dilakukan dan prosedurnya.
2) Lakukan inspeksi cara berjalan (gait):
a. Minta pasien untuk berjalan melintasi
ruangan beberapa kali.
b. Amati cara berjalan pasien, pola kontak
kaki dengan lantai, ayunan tangan dan
lebar langkah.
3) Lakukan pemeriksaan tandem gait:
a. Minta pasien untuk berjalan dalam
satu garis lurus dengan cara ujung
tumit menyentuh ujung jempol kaki
dibelakangnya. Bila dibutuhkan,
berikan contoh kepada pasien.
b. Amati cara berjalan pasien. Perhatikan
bilamana pasien terlihat kehilangan
keseimbangan.
4) Lakukan tes Romberg dan Romberg dipertajam:
a. Minta pasien berdiri dengan kedua kaki
dirapatkan (Romberg), atau meminta
pasien berdiri dengan salah satu
kaki diletakkan didepan kaki lainnya
(Romberg dipertajam).
b. Berdiri di belakang pasien dengan
posisi tangan pemeriksa berada di sisi
pasien tanpa menyentuhnya.
c. Minta pasien untuk merentangkan
kedua tangannya ke depan sejajar
bahu dengan posisi supinasi atau
kedua lengan bersedekap di kedua
bahu atau posisi lengan berada di sisi
tubuh.
d. Minta pasien untuk mempertahankan
posisi dengan mata terbuka dan kondisi
mata tertutup.
e. Amati bila pasien kehilangan

246 | Saraf
keseimbangan atau terjatuh pada saat
membukan dan menutup mata. Nilai
arah jatuh atau ayunan pasien.
5) Tes Tunjuk Hidung:
a. Minta pasien menutup mata dan
rentangkan tangan kanan jauh ke
samping.
b. Minta pasien menyentuh hidungnya
dengan jari telunjuk kanan, ulangi
beberapa kali. Lakukan prosedur yang
sama terhadap tangan kiri.
c. Nilai tanda-tanda hipermetria atau
kecenderungan tremor saat pasien
melakukan prosedur diatas.
d. Bila pemeriksa menemukan tanda
hipermetria atau tremor, minta pasien
melakukan prosedur pemeriksaan
dengan mata terbuka.
e. Nilai apakah dengan mata terbuka
pasien lebih mudah melakukan
prosedur pemeriksaan. Bandingkan
kanan dan kiri.
6) Tes Telunjuk Hidung Telunjuk
a. Posisikan pasien dalam keadaan
duduk atau berbaring sesuai kondisi
b. Tunjukkan jari telunjuk di hadapan
pasien dengan jarak yang terjangkau
c. Minta pasien dengan jari telunjuk nya
menyentuhkan ke ujung jari telunjuk
pemeriksa yang ada dihadapannya
secara cepat kemudian jari telunjuk
pasien menyentuhkan ke hidung
pasien dan kemudian menyentuh
kembali ujung jari telunjuk pemeriksa
dengan ujung telunjuk pasien. Lakukan
gerakan ini secara berulang dengan
memperhatikan ketepatan pasien

Saraf | 247
menunjuk target yang ditentukan.
d. Ulangi pemeriksaan dengan sisi tangan
lainnya.
7) Tes Tumit-Lutut:
a. Minta pasien untuk menutup kedua
matanya, kemudian menempatkan
tumit kanan di atas lutut kiri.
b. Minta pasien untuk menurunkan
tumitnya menyusuri tungkai bawah
kaki kiri ke bawah.
c. Lakukan prosedur bergantian dengan
kaki kiri.
d. Nilai bila pasien menunjukkan tanda-
tanda hipermetria atau ataksia, yaitu
bila tumit berkali-kali terjatuh dari
jalurnya pada tungkai bawah.
e. Bila pemeriksa menemukan tanda
hipermetria atau ataksia, minta pasien
melakukan prosedur pemeriksaan
dengan mata terbuka.
f. Bandingkan kanan dan kiri.
8) Pemeriksaan Disdiadokokinesis:
a. Minta pasien melakukan gerakan
tangan pronasi dan supinasi. Tangan
kanan dimulai dari pronasi, tangan kiri
dimulai dari supinasi, lakukan gerakan
ini secepat mungkin.
b. Bila diperlukan, berikan contoh
pemeriksaan terhadap pasien.
c. Bandingkan kanan dan kiri.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Keseimbangan pasien dipengaruhi oleh
fungsi cerebellum dan sistem vestibular, serta
propriosptif ekstremitas bawah, sehingga
kelainan pada keseimbangan berhubungan
dengan gangguan pada sistem-sistem

248 | Saraf
tersebut.
· Pola kontak kaki-lantai. Kondisi yang
berhubungan dengan N.peroneal dapat
menyebabkan drop foot. Pada keadaan ini,
saat berjalan bagian kaki pasien yang lebih
dulu menyentuh lantai adalah jempol kaki,
diikuti telapak kaki, terakhir tumit.
· Jarak antar langkah dapat memendek pada
pasien dengan penyakit Parkinson. Pada
keadaan ini juga dapat dilihat ayunan tangan
berkurang saat pasien berjalan.
· Pada pemeriksaan Romberg, dinyatakan
positif bila pasien terlihat berayun atau
pemeriksa harus memegang pasien untuk
mencegah pasien terjatuh.
· Apabila pasien terganggu koordinasinya hanya
saat pasien menutup mata, maka pasien
mengalami gangguan koordinasi karena
proprioseptif yang tidak adekuat. Kondisi ini
juga dikenal dengan ataksia sensoris.
· Bila gangguan koordinasi meningkat saat
pasien menutup mata, maka pasien mengalami
gangguan koordinasi disebabkan oleh kondisi
vestibular.
· Bila gangguan koordinasi sama saat pasien
menutup maupun membuka mata, maka
gangguan koordinasi ini disebabkan oleh
kondisi cerebelar.
· Tes telunjuk hidung tidak terganggu pada
pasien dengan gangguan ekstrapiramidal,
namun mungkin terdapat tremor yang hilang
bila pasien diminta melakukan gerakan yang
bertujuan. Namun saat berdiri dan berjalan,
pasien mengalami kesulitan akibat adanya
gerakan involunter yang berlebihan, seperti
pada pasien Parkinson

Saraf | 249
CONTOH KASUS
Seorang wanita berusia 30 tahun dibawa
ke UGD dengan keluhan tiba-tiba pusing
berputar sejak 10 menit yang lalu. Pusing
memberat dengan perubahan posisi
badan dan disertai mual dan muntah
serta keringat dingin. Pemeriksaan fungsi
koordinasi perlu dilakukan kepada pasien
tersebut.

REFERENSI
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and
History Taking 8th Edition. 2002-08.
Campbell WW, Dejong’s The Neurologic Examination
7th ed, Philadelphia : Lippincott William &
Wilkins & Wolters Kluwer, 2013.
Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology
Examination. 2009.
4 Pemeriksaan Fungsi Luhur
TUJUAN
· Mampu melakukan pemeriksaan MMSE
· Mampu menilai hasil pemeriksaan MMSE

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi sistem saraf
· Pembelajaran blok neurologi
· Keterampilan Anamnesis
· Keterampilan Pemeriksaan fisik umum

ALAT DAN BAHAN


· Lembar pemeriksaan MMSE

250 | Saraf
· Bolpoin
· Kertas kosong

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Tanyakan kepada pasien sesuai urutan pada
formulir MMSE
2) Setiap pertanyaan yang dijawab oleh pasien
diberikan penilaian, bila benar diberi nilai 1 dan
bila salah atau tidak dapat menjawab diberi nilai
0.

Tabel 13. Formulir MMSE (Mini Mental State Examination)


Item Tes Nilai
ORIENTASI
1 Sekarang : tahun, bulan, hari, tanggal, 5
musim berapa/apa?
5
Kita berada dimana? Negara, Provinsi,
2 Kota, RS, Lantai

REGISTRASI
3 Sebutkan nama 3 benda (apel-meja- 3
koin), tiap benda 1 detik. Penderita
disuruh menyebutkan nama benda
tersebut. Nilai 1 untuk setiap jawaban
yang benar. Ulangi sampai Penderita
dapat menyebutkan ketiganya dengan
benar, catat berapa kali pengulangan-
nya.

Saraf | 251
ATENSI dan KALKULASI
4 Kurangi 100 dengan 7 sampai 5 kali 5
pengurangan. Nilai 1 untuk setiap
jawaban benar. Atau disuruh mengeja
terbalik kata “WAHYU”, nilai 1 untuk
setiap urutan benarnya.

MENGINGAT KEMBALI
5 3
Penderita disuruh menyebut ulang ke 3
nama ad 3. Nilai 1 setiap yang benar.

BAHASA 2
Penderita disuruh menyebutkan 2
6 nama benda yang ditunjukkan ke dia.
7 Penderita disuruh mengulang kata : 1
namun – tanpa – bila.

8 Penderita disuruh melakukan perintah: 3


“ Ambil kertas ini dengan tangan kanan
anda – Lipat menjadi 2 – dan letakkan
di lantai!”
Penderita disuruh baca dan melakukan
9 perintah tertulis: “ Pejamkan mata 1
anda!”

10 Penderita disuruh menulis satu kalimat 1


lengkap yang berarti.

252 | Saraf
11 Penderita disuruh mengkopi bentuk 1
gambar dibawah ini:

TOTAL 30

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Skor MMSE dan nilai cut off dipengaruhi
beberapa faktor seperti tingkat pendidikan, usia
dan etnis. Beberapa komponen MMSE dapat
lebih diandalkan untuk mengarahkan diagnosis
daripada skor total. Nilai cut off untuk MMSE
harus disesuaikan menurut tingkat pendidikan.
· Nilai cut off 27 memberikan sensitivitas 0.9,
spesitifitas 0.9, PPV 0.8, NPV 0.9. Nilai cut off
28 (sensitivitas 0.78, spesifisitas 0.8, PPV 0.6,
NPV 0.9) pada subjek dengan tingkat pendidikan
lebih tinggi memberikan akurasi diagnostik yang
lebih tinggi, baik pada subjek dengan kognisi
intak maupun terganggu di etnis Kaukasia yang
menggunakan bahasa Inggris. (Level III, fair)
· Nilai area under the curve (AUC) MMSE berkisar
antara 0.9 sampai 1.0, mengindikasikan akurasi
yang baik dalam mengidentifikasi demensia
pada populasi dengan beragam usia dan tingkat
pendidikan. (Level III, good)

Saraf | 253
CATATAN KHUSUS

· Pemeriksaan Atensi/Kalkulasi juga termasuk


pemeriksaan konsentrasi.
· Pemeriksaan MMSE merupakan skrining fungsi
memori. Kemungkinan adanya gangguan
kognitif berat yang mengarah ke Demensia
adalah jika skor <24. MMSE merupakan
pemeriksaan fungsi luhur sederhana yang bisa
dilakukan secara bed-side.

CONTOH KASUS
Wanita berusia 70 tahun dibawa
keluarganya dengan keluhan sering lupa-
lupa. Pemeriksaan MMSE perlu dilakukan
pada pasien tersebut.

REFERENSI
Campbell WW, Dejong’s The Neurologic Examination
7th ed, Philadelphia : Lippincott William &
Wilkins & Wolters Kluwer, 2013.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Panduan praktek klinik diagnosis dan
penatalaksanaan dementia.

254 | Saraf
4 Pemeriksaan Neurologi Lainnya:
Patrick dan Kontra Patrick
TUJUAN
Mampu melakukan pemeriksaan Patrick dan Kontra
Patrick.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi sistem saraf
· Pembelajaran blok neurologi
· Keterampilan Anamnesis
· Keterampilan Pemeriksaan fisik umum

ALAT DAN BAHAN


Sesuai konteks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan.
2) Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur
pemeriksaan yang dilakukan.
3) Minta pasien berbaring di meja periksadengan
kedua tungkai diluruskan.
4) Lakukan pemeriksaan Patrick’s sign
a. Posisikan salah satu sendi lutut pasien
dalam keadaan fleksi, abduksi dan
internal rotasi.
b. Letakkan salah satu tangan pemeriksa
pada anterior superior os iliaka untuk
menstabilkan panggul, dan tangan
lainnya pada lutut pasien yang fleksi
kemudian lakukan penekanan.
c. Nilai adakah nyeri dan lokasinya,
bandingkan tungkai kanan dan kiri.

Saraf | 255
Gambar 60. Patrick’s sign

5) Lakukan pemeriksaan Contra-Patrick’s sign


a. Posisikan salah satu sendi lutut pasien
dalam keadaan fleksi, abduksi dan
eksternal rotasi.
b. Letakkan salah satu tangan pemeriksa
pada anterior superior os iliaka untuk
menstabilkan panggul, dan tangan
lainnya pada lutut pasien yang fleksi
kemudian lakukan penekanan.
c. Nilai adakah nyeri dan lokasinya,
bandingkan tungkai kanan dan kiri.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Patrick’s sign
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi
kelainan pada sendi panggul atau sendi
sakroiliaka. Jika rasa nyeri timbul pada sisi
ipsilateral anterior, maka hal ini menandakan
adanya gangguan sendi panggul pada
sisi ipsilateral. Jika nyeri timbul pada sisi

256 | Saraf
kontralateral posterior sekitar sendi panggul,
maka hal ini menandakan adanya kelainan pada
sendi tersebut.
· Contra-Patrick’s sign
Pemeriksaan ini merupakan kebalikan dari
tindakan Patrick’s sign. Bila nyeri timbul pada
pemeriksaan ini, maka hal ini menandakan
adanya kelainan pada sendi sakroiliaka.

CONTOH KASUS
Wanita berusia 55 tahun datang ke
puskesmas dengan keluhan nyeri pada
paha kanan sejak 2 minggu terakhir.
Pemeriksaan Patrick dan Kontra-Patrick
pada pasien tersebut.

REFERENSI
Buckup K. Clinical test for the musculoskeletal
system: examinations-signs-phenomena. 2nd
ed. Stuttgart: Thieme. 2008.

Saraf | 257
PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS
FORENSIK DAN
MEDIKOLEGAL

4 Pembuatan Visum et Repertum


TUJUAN
Mampu membuat visum et repertum bila diminta oleh
penyidik yang berwenang.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi
· Patofisiologi penyakit
· Traumatologi
· Toksikologi
· Hukum Kedokteran

ALAT DAN BAHAN


· Kertas
· Alat tulis
· Rekam medis

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Dokter harus menerima permintaan dari
penyidik yang berwenang untuk membuat visum
et repertum

258 | Saraf
2) Bagian visum et repertum
a. Kata pro justitia menjelaskan bahwa
visum et repertum dibuat khusus untuk
tujuan peradilan, sebagai pengganti
meterai yang menunjukkan suatu surat
resmi yang sah untuk kepentingan
peradilan
b. Bagian pendahuluan menerangkan
nama dokter pembuat visum et
repertum, institusi kesehatannya,
tempat dan waktu pemeriksaan,
instansi yang meminta, nomor dan
tanggal SPV, nama dan pangkat
peminta yang bertandatangan, dan
keterangan dari peminta mengenai
identitas dan latar belakang peristiwa
pada korban yang diperiksa sesuai
dengan permintaan visum et repertum
c. Bagian pemberitaan berjudul hasil
pemeriksaan dan berisi tentang
hasil pemeriksaan medik korban,
luka korban, kelainan-kelainan yang
ditemukan pada korban dan tindakan
yang telah dilakukan oleh dokter
d. Bagian kesimpulan berisi pendapat
dokter berdasarkan keilmuannya
tentang jenis perlukaan yang
ditemukan, zat penyebab keracunan,
derajat luka serta hasil pemeriksaan
luar mayat
e. Bagian penutup berisi kalimat
“Demikianlah visum et repertum ini
saya buat dengan sesungguhnya
berdasarkan keilmuan saya dan
dengan mengingat sumpah jabatan”
3) Poin-poin dalam VER yang harus dilengkapi:
a. Logo institusi yang mengeluarkan/

Forensik & Medikolegal | 259


menerbitkan VER
b. Kop surat institusi yang mengeluarkan/
menerbitkan VER
c. Pro Justitia
d. No. VER dari institusi yang
mengeluarkan/menerbitkan VER
e. No. Surat Permintaan VER (SPV)
f. Tanggal dan waktu SPV diterima
g. Pihak yang membuat SPV
h. Jenis permintaan yang diminta
i. Waktu dan tempat pemeriksaan
j. Identitas pasien
k. Anamnesis
l. Pemeriksaan fisis
m. Pemeriksaan penunjang
n. Ringkasan pemeriksaan
o. Diagnosis kerja
p. Pengobatan dan tindakan
q. Prognosis dari penyakit/damage
r. Kesimpulan
s. Tempat dan tanggal dikeluarkan/
diterbitkan VER
t. Nama lengkap dan NIK dokter yang
membuat VER
u. Jabatan/kompetensi dari dokter yang
membuat VER
v. Tanda tangan dokter yang membuat
VER

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Dasar hukum pengadaan visum et repertum
adalah pasal 133KUHAP, pasal 48 UU Praktik
Kedokteran (dan pasal 7 Permenkes no 36
tahun 2012).
· Visum et repertum adalah alat bukti yang sah
menurut pasal 184 KUHAP
· Visum et repertum tidak membutuhkan meterai

260 | Forensik & Medikolegal


untuk memiliki kekuatan hukum di pengadilan
· Dokter tidak dibebani pemastian identitas
korban, dokter hanya melakukan pemeriksaan
sesuai dengan yang diminta oleh penyidik yang
berwenang, namun bila ada ketidaksesuaian
identitias korban dengan hasil pemeriksaan
dapat meminta penjelasan dari penyidik
· Uraian dalam bagian pemberitaan adalah
sebagai pengganti barang bukti
· Pada bagian Kesimpulan dapat ditambahkan
informasi lain yang merupakan interpretasi
ilmiah dan diperlukan pada kasus tersebut.
Pendapat tersebut harus didasarkan kepada
hasil pemeriksaan yang sesuai dengan standar
profesi, analisis berdasar ilmu pengetahuan dan
teknologi yang relevan, dan ketentuan hukum
yang berlaku.

VARIASI ISTILAH
Laporan medis untuk kepentingan peradilan.

Forensik & Medikolegal | 261


262 | Forensik & Medikolegal
Forensik & Medikolegal | 263
REFERENSI
Budianto A, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I.
Cetakan II. 1997. Jakarta : Ilmu Kedokteran
Forensik FKUI.
Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan Hukum
(Sebuah Pengantar), Budi Sampurna,
Zulhazmar Samsu, Tjetjep DwijaSiswaja. 2008.

264 | Forensik & Medikolegal


4 Penentuan Derajat Luka
TUJUAN
Mampu menentukan derajat luka untuk dipergunakan
dalam pembuatan visum et repertum.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi, histologi, fisiologi
· Patofisiologi penyakit
· Traumatologi
· Toksikologi

ALAT DAN BAHAN


· Lembar Form Visum et Repertum
· Label untuk identitas

Gambar 61. Label untuk identitas

Forensik & Medikolegal | 265


Gambar 62. Contoh penggunaan label untuk identitas dan
skala ukuran luka

· Kamera

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Berikan salam perkenalan dan menjelaskan
kepada pasien dan atau keluarga tentang tujuan
pemeriksaan dan apa saja yang akan diperiksa.
2) Persiapkan peralatan ( meteran, skala, kamera,
lembar pengisian visum et repertum).
3) Lakukan cuci tangan medis atau gunakan cairan
antiseptik (APD).
4) Kenakan sarung tangan medis (hanscoen).
5) Lakukan anamnesis pada korban hidup (bila
tidak sadar dapat dilakukan alloanamnesis)
a. Riwayat penyakit dan pengobatan
pasien sebelumnya.
b. Riwayat bagaimana trauma terjadi:
tanggal, waktu, dan tempat terjadinya;

266 | Forensik & Medikolegal


identitas dan jumlah pelaku;
biomekanika trauma; alat atau senjata
yang digunakan; apakah melibatkan
obat-obatan/alkohol/zat lainnya.
c. Lakukan pemeriksaan fisik lengkap:
- Gambaran umum klinis pasien;
- Tanda vital:
à keadaan umum
à Tingkat kesadaran
à Frekuensi napas
à Frekuensi nadi
à Tekanan darah
à Suhu
- Periksa pasien dari ujung
kepala hinga ujung kaki,
termasuk daerah genitor-anal.
- Foto jejas yang tampak. Minta
persetujuan pasien untuk
mengambil foto (lihat teknik
fotografi forensik).
- Minta dan lakukan pemeriksaan
penunjang lainnya yang
membantu diagnosis
d. Foto Forensik - seluruh tubuh (whole
body)
- Posisikan pasien dalam posisi
anatomis, baik berdiri maupun
berbaring
- Letakkan alat pengukur tinggi/
panjang badan di samping
tubuh pasien
- Letakkan label identitas yang
telah diisi di tempat yang dapat
terlihat jelas (di samping kepala
pasien, di dada atau perut
pasien)
- Lakukan pengambilan foto

Forensik & Medikolegal | 267


dengan posisi kamera tegak
lurus 90° terhadap titik pusat
tubuh pasien (pusar)
- Foto harus memuat
keseluruhan tubuh pasien
(ujung kepala hingga ujung
kaki), menampakkan wajah
pasien (diambil dari depan),
dan pasien tetap mengenakan
pakaian (kecuali alas kaki jika
pasien dalam posisi berdiri 
guna pengukuran tinggi badan),
label identitas dan alat ukur
- Dapat dilakukan pengambilan
foto tambahan dari sisi kanan/
kiri/belakang jika dirasa perlu.
e. Foto regional
- Bebaskan regio anatomis yang
ingin didokumentasikan dari
pakaian
- Letakkan alat pengukur dan
label identitas yang telah diisi
sebidang dengan bagian tubuh
yang akan difoto
- Lakukan pengambilan foto
dengan posisi kamera tegak
lurus 90° terhadap titik pusat
dari bagian tubuh (regio
anatomis) yang akan difoto
- Foto harus memuat
keseluruhan regio yang ingin
didokumentasikan, yakni ada
penanda (marker) anatomis
dan harus jelas sisi atas dan
bawah, kanan dan kiri, depan
dan belakang, label identitas
dan alat ukur.

268 | Forensik & Medikolegal


f. Foto close up
- Identifikasi objek/luka yang
ingin didokumentasikan dan
bebaskan dari penutup tubuh
- Letakkan alat pengukur dan
label identitas yang telah diisi
sebidang dengan luka
- Lakukan pengambilan foto
dengan posisi kamera tegak
lurus 90° terhadap titik pusat
luka
- Foto harus memuat
keseluruhan luka dan dapat
memberikan keterangan
mengenai karakteristik luka,
label identitas dan alat ukur
- Dapat dilakukan pengambilan
foto tambahan dengan posisi
kamera miring 45° terhadap titik
pusat luka, baik dari sisi atas,
bawah, kanan, kiri, maupun
diagonal, jika dirasa perlu.
g. Foto objek lain (barang bukti pakaian,
bercak darah, anak peluru, senjata,
dokumen, dan lain-lain)  jika ada
h. Letakkan alat pengukur dan label
identitas yang telah diisi sebidang
dengan objek yang akan difoto
i. Lakukan pengambilan foto dengan
posisi kamera tegak lurus 90° terhadap
titik pusat objek
j. Foto memuat keseluruhan objek, label
identitas dan alat ukur
k. Jika objek mengandung tulisan,
tulisan harus dapat dibaca dengan
jelas. Dapat dilakukan pengambilan
foto tambahan dengan posisi kamera

Forensik & Medikolegal | 269


miring 45° terhadap titik pusat objek,
baik dari sisi atas, bawah, kanan, kiri,
maupun diagonal, jika dirasa perlu.
l. Dokumentasi luka pada body chart
harus memuat:
- Orientasi luka pada body chart
harus sesuai dengan orientasi
luka pada tubuh korban
- Luka diarsir sesuai dengan
petunjuk pada legenda
- Garis yang menjadi acuan
untuk menentukan absis dan
ordinat luka harus digambarkan
- Absis dan ordinat luka harus
dicantumkan
- Panjang dan lebar luka harus
dicantumkan
- Jika ada bagian tubuh yang
perlu sesuai identifikasi spesifik

270 | Forensik & Medikolegal


Gambar 63. Sketsa tubuh
6) Deskripsi luka :
a. Jumlah luka
b. Bentuk luka
c. Garis batas luka (tepi, sudut)
d. Keadaan daerah di dalam garis batas
luka (jembatan jaringan, dasar luka)
e. Keadaan daerah di sekitar garis batas
luka (memar, tato, jelaga)
f. Ukuran luka
g. Lokasi (region, koordinat)

Forensik & Medikolegal | 271


7) Tindakan perawatan /pemeriksaan penunjang
(bila diperlukan)
8) Penentuan :
a. Jenis luka
b. Jenis kekerasan
c. Derajat Luka (berdasarkan fungsi
anatomis dan fisiologis dari organ yang
terganggu)
9) Kesimpulan Visum et Repertum

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Definisi penyakit adalah keadaan kondisi tubuh
dimana terjadi gangguan fisik, psikis, metabolis
oleh karena berbagai sebab sehingga fungsi
fisiologis orang tersebut tidak dapat berjalan
normal.
· Luka mekanik diakibatkan oleh:
o Kekerasan tajam
o Kekerasan tumpul
o Tembakan senjata api
· Luka fisika disebabkan oleh:
o Suhu
o Listrik dan petir
o Perubahan tekanan udara
o Akustik
o Radiasi
· Luka kimia disebabkan oleh asam atau basa
kuat
· Derajat luka dibagi menjadi :
o Luka derajat tiga berarti luka tersebut
telah menyebabkan: (Luka berat pada
pasal 90 KUHP menurut engelbrecht
berarti)
- Jatuh sakit atau mendapat luka
yang tidak dapat diharapkan
akan sembuh secara sempurna,
atau yang menimbulkan bahaya

272 | Forensik & Medikolegal


maut;
- Untuk selamanya tidak mampu
menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan yang merupakan
pencaharian;
- Kehilangan salah satu panca
indra
- Mendapat cacat berat
- Menderita sakit lumpuh
- Terganggunya daya pikir
selama lebih dari empat minggu
- Gugur atau terbunuhnya
kandungan seorang perempuan
o Luka derajat dua berarti luka tersebut
menyebabkan penyakit atau halangan
dalam menjalankan pekerjaan untuk
sementara waktu.
o Luka derajat satu berarti luka tersebut
tidak menimbulkan penyakit atau
halangan pekerjaan.

CATATAN KHUSUS

Forensik & Medikolegal | 273


274 | Forensik & Medikolegal
Forensik & Medikolegal | 275
276 | Forensik & Medikolegal
REFERENSI
Budianto A, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I.
Cetakan II. 1997, Jakarta : Ilmu Kedokteran
Forensik FKUI.
DiMaio VJ, DiMaio D. Forensic Pathology. 2nd ed.
(Geberth VJ, ed.). Boca Raton: CRC Press
LLC; 2001.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dalam Himpunan Peraturan Perundang-
Undangan Republik Indonesia Menurut
Sistem Engelbrecht.Jakarta: Intermasa.2006.
hal:1710-1743.
Mudah Membuat Visum et Repertum Kasus Luka,
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal FKUI, Jakarta, 2013.

Forensik & Medikolegal | 277


4 Prosedur Medikolegal
TUJUAN
Mengetahui langkah-langkah dilakukannya prosedur
medikolegal.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


Hukum kedokteran.

ALAT DAN BAHAN


Sesuai konteks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
Kematian Tidak Wajar
1) Mayat datang dibawa ke IGD/IRD/instalasi
forensik dilaporkan ke penyidik.
2) Penyidik kemudian mengeluarkan surat
permintaan VeR (pemeriksaan luar).
3) Lakukan pemeriksaan kedokteran forensik
sesuai surat permintaan dari penyidik.
4) Hasil pemeriksaan keluar sebagai VeR.
5) Formulir Model A, surat kubur serta izin
embalming/pengawetan dikeluarkan setelah
semua pemeriksaan kedokteran forensik selesai
(jika penyidik meminta pemeriksaan dalam,
mayat dirujuk ke RS dengan pelayanan oleh
dokter spesialis forensik).
Kematian Wajar
1) Jika ditemukan kematian wajar, isi buku
penerimaan jenazah, buku kematian jenazah,
dan buku surat kubur.
2) Keluarkan Formulir model A.
3) Jenazah dapat dibawa pulang atau diawetkan.
Keluarga Menolak Pemeriksaan
1) Minta keluarga menyampaikan penolakan
kepada penyidik.

278 | Forensik & Medikolegal


2) Dokter menunggu keputusan penyidik untuk
pemeriksaan.
Korban Hidup
1) Setiap orang yang mengalami, melihat,
menyaksikan, atau menjadi korban tindak pidana
berhak mengajukan laporan atau pengaduan
kepada penyelidik atau penyidik baik lisan
maupun tulisan.
2) Setiap orang yang mengetahui pemufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap
keamanan umum atau terhadap jiwa atau hak
milik wajib seketika itu juga melaporkan hal
tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
3) Jika sudah ada surat permintaan VeR, dokter
wajib melakukan pemeriksaan kedokteran
forensik untuk membantu penyidik dalam
pembuktian.
4) Rahasia medis dapat dibuka atas permintaan
aparatur penegak hukum untuk proses
penegakan hukum pada tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
5) Hasil pemeriksaan dikeluarkan dalam bentuk
VeR.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Curiga kematian tidak wajar pada: kematian
yang tidak pada tempatnya, kematian yang tidak
diperiksa dokter, kematian dipenjara, dan DOA
(death on arrival).
· Kemungkinan penyebab kematian.
· Cara terjadi cedera.
· Prognosis/konsekuensi cedera terhadap fungsi.

Forensik & Medikolegal | 279


CONTOH KASUS

1. Seorang mayat laki-laki dibawa ke RS


oleh penyidik dengan membawa surat
permintaan V et R untuk pemeriksaan luar.
Menurut keterangan polisi, mayat ditemukan
meninggal dunia di dalam rumah.
2. Seorang perempuan berusia 17 tahun
dibawa ke UGD RS setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas. Pasien mengaku
terserempet bus saat mengendarai sepeda
motor. Pemeriksaan diperoleh luka pada
beberapa bagian tubuh.

REFERENSI
Sampurna B, Samsu Z, Siswaja TD. Peranan Ilmu
Forensik dalam Penegakan Hukum (Sebuah
Pengantar). 2008.

4 Penerbitan Sertifikat Kematian


TUJUAN
Mengetahui langkah-langkah keluarnya sertifikat
kematian.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· ICD 10
· Hukum kedokteran (aturan penerbitan surat
kematian)
· Tanatologi

ALAT DAN BAHAN


· Rekam medis

280 | Forensik & Medikolegal


· Formulir model A

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Jenazah dengan kematian wajar diobservasi
selama 2 jam atau sampai tanda kematian lanjut
terlihat.
2) Dokter mempelajari rekam medis pasien untuk
menentukan sebab kematian pasien.
3) Mengisi sebab kematian berdasarkan ICD 10
dan menandatangani formulir model A (surat
keterangan kematian).
4) Menyerahkan surat formulir model A ke keluarga.
5) Jenazah dapat dibawa ke kamar jenazah.

CONTOH
ANALISIS HASIL KASUS
PEMERIKSAAN
Menyimpulkan kematian wajar berdasarkan kelompok
sebabSeorang
kematiananak laki-laki
sesuai standarberusia
WHO. 12 tahun
meninggal dunia setelah dirawat inap
selama 1 minggu. Pasien dirawat karena
demam dan sesak napas.

REFERENSI
Form keterangan penyebab kematian (Formulir A)
Kemenkes

4 Pembuatan Surat Keterangan


Medis (SKM)
TUJUAN
Mengetahui prosedur pembuatan surat keterangan
medis.

Forensik & Medikolegal | 281


PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI
· Patofisiologi penyakit
· Traumatologi
· Toksikologi
· ICD 10

ALAT DAN BAHAN


· Rekam medis
· ATK

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Petugas menerima surat permohonan SKM
dari pasien dan mencatat permohonan SKM ke
dalam buku register SKM.
2) Petugas mencari rekam medis pasien di ruang
filing, apabila tidak ada maka dicari di unit lain.
3) Petugas membuat draft SKM sesuai berkas
rekam medis pasien.
4) Dokter yang merawat memeriksa draft SKM,
apabila belum benar maka diperbaiki oleh
petugas rekam medis.
5) Apabila draft SKM telah benar, dokter
menandatangani draft SKM tersebut.
6) Setelah SKM jadi, petugas SKM
mengarsipkannya dan mencatatnya di buku
ekspedisi setelah pasien mengambil SKM.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


Menyimpulkan diagnosis, prognosis, dan terapi
lanjutan yang diperlukan.

VARIASI ISTILAH
Laporan medis/laporan hasil pemeriksaan.

282 | Forensik & Medikolegal


CATATAN KHUSUS
Kebijakan
1) Setiap permohonan informasi medis pasien
(SKM) harus dengan surat permohonan dari
pasien.
2) Pembuatan informasi medis (SKM) dilakukan
oleh dokter yang merawat pasien.

CONTOH KASUS
Seorang laki-laki berusia 24 tahun dirawat
inap karena cedera saat melakukan
pertandingan sepak bola. Pemeriksaan
diperoleh pasien mengalami cedera pada
tendon achiles.

REFERENSI
Pedoman pengelolaan rekam medis rumah sakit di
Indonesia.
Pedoman manajemen informasi kesehatan di sarana
pelayanan kesehatan.

Forensik & Medikolegal | 283


4 Pemeriksaan Korban Trauma
dan Deskripsi Luka
TUJUAN
· Melakukan pemeriksaan terhadap korban
trauma.
· Menggambarkan dan melaporkan deskripsi luka
dengan rinci.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


Traumatologi.

ALAT DAN BAHAN


· Alat pelindung diri.
· Alat ukur (penggaris, meteran).
· Alat tulis untuk pencatatan.
· Kamera untuk mendokumentasikan temuan
yang ada.

TEKNIK PEMERIKSAAN
· Perkenalkan diri dan jelaskan mengenai
tindakan yang akan dilakukan. Dapatkan
informed consent dari pasien.
· Lakukan anamnesis pada korban hidup.
Tanyakan:
o Riwayat penyakit dan pengobatan
pasien sebelumnya.
o Riwayat bagaimana trauma terjadi:
tanggal, waktu, dan tempat terjadinya;
identitas dan jumlah pelaku;
biomekanika trauma; alat atau senjata
yang digunakan; apakah melibatkan
obat-obatan/alkohol/zat lainnya.
· Lakukan pemeriksaan fisik lengkap:
o Gambaran umum klinis pasien;

284 | Forensik & Medikolegal


o Tanda vital (lihat bab Tanda Vital).
o Periksa pasien dari ujung kepala hinga
ujung kaki, termasuk daerah genitor-
anal.
o Foto jejas yang tampak. Minta
persetujuan pasien untuk mengambil
foto.
o Minta dan lakukan pemeriksaan
penunjang lainnya yang membantu
diagnosis.
· Deskripsi luka
Saat menggambarkan deskripsi luka, beberapa
hal yang harus dinilai adalah:
o Regio tempat luka tersebut berada.
o Ukur jarak luka berdasarkan letaknya
dari titik tengah/garis anatomis yang
terdekat.
o Bentuk luka. Deskripsikan bentuk
luka apakah liner, melengkung, atau
irregular.
o Tipe luka (luka mekanik, luka fisika
atau luka kimia).
o Tepi luka dan deskripsikan batasnya.
o Kondisi di sekeliling luka atau di
jaringan sekitarnya.
o Warna luka.
o Panjang luka.
o Adanya benda asing yang terdapat di
dalam luka (contoh: kotoran, kaca).
o Usia luka. Lihat adanya gambaran
penyembuhan luka.
o Kedalaman luka.

Forensik & Medikolegal | 285


Gambar 64. Sketsa tubuh untuk menggambarkan luka
ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN
· Luka mekanik diakibatkan oleh:
o Kekerasan tajam
o Kekerasan tumpul
o Tembakan senjata api
· Luka fisika disebabkan oleh:
o Suhu
o Listrik dan petir
o Perubahan tekanan udara
o Akustik
o Radiasi
· Luka kimia disebabkan oleh asam atau basa
kuat

CONTOH KASUS
Seorang perempuan berusia 32 tahun
datang ke UGD RS dengan keluhan luka
pada dahi. Menurut pengakuan pasien,
luka diakibatkan lemparan sepatu saat
pertengkaran dalam rumah tangga.

286 | Forensik & Medikolegal


REFERENSI
Budianto A, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Jakarta,
1997; p 37.
World Health Organization. Guidelines for medico-legal
care for victims of sexual violence. Geneva:
World health organization, 2003.

4 Pemeriksaan Luar pada Mayat


TUJUAN
· Menyebutkan syarat-syarat dan kelengkapan
administrasi untuk melakukan pemeriksaan luar
pada jenazah.
· Mengidentifikasi label mayat dan mencocokkan
keterangan pada label mayat dengan data-data
yang terdapat pada SPV maupun berkas rekam
medis.
· Mendokumentasikan pembungkus jenazah
termasuk pakaian dan barang-barang yang
melekat pada tubuh mayat.
· Mengukur panjang badan dan berat badan
jenazah serta menilai status gizi.
· Mendokumentasikan ciri-ciri fisik jenazah
maupun ciri khusus/kelainan yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi mayat.
· Memeriksa kaku mayat, lebam mayat, dan tanda-
tanda pembusukan serta menginterpretasikan
temuan-temuan tersebut untuk menyimpulkan
perkiraan interval postmortem.
· Memeriksa dan menginterpretasikan tanda-
tanda kegagalan napas dan kegagalan sirkulasi
yang ditemukan pada pemeriksaan luar.
· Mendokumentasikan kondisi gigi jenazah serta

Forensik & Medikolegal | 287


mengonsultasikan pada ahli odontologi forensik
jika perlu.
· Memeriksa lubang-lubang tubuh dan
mendokumentasikan kelainan yang ditemukan.
· Memeriksa ada tidaknya luka-luka pada kulit,
lalu mendokumentasikan dan mendeskripsikan
temuan yang diperoleh.
· Menilai intravitalitas luka yang ditemukan.
· Memeriksa ada tidaknya patah tulang tertutup
pada jenazah.
· Memeriksa ada tidaknya tanda-tanda tenggelam
berdasarkan pemeriksaan luar.
· Menuliskan anjuran/saran untuk melakukan
pemeriksaan bedah mayat (autopsi) pada
kasus-kasus tertentu

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Tanatologi
· Traumatologi
· Toksikologi
· Asfiksia mekanik
· Hukum kedokteran
· Aturan hukum terkait kasus dengan korban
manusia

ALAT DAN BAHAN


· Buku panduan belajar keterampilan klinik Dept.
Forensik & Medikolegal
· Kamera
· Sarung tangan medis (hanscoen)
· Label identitas
· Standar/skala pengukuran: penggaris, meteran,
dsb
· Senter
· Pinset anatomis

288 | Forensik & Medikolegal


· Gunting anatomis
· Spons dan air bersih
· Alat tulis menulis.

TEKNIK PEMERIKSAAN
Label mayat
Pencatatan pada label mayat meliputi:
1) Warna dan bahan label tersebut.
2) Catat apakah terdapat materai atau segel pada
label ini.
3) Isi dari label juga dicatat dengan lengkap.
4) Dapat juga ditemukan label identifikasi dari
Instalasi Kamar Jenazah.
Baju mayat
Pencatatan pada baju mayat meliputi:
1) Bahan, warna dasar, warna dan corak/motif dari
tekstil.
2) Bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit,
cap binatu, monogram/inisial serta tambalan
atau tisikan bila ada.
3) Bila terdapat pengotoran atau robekan juga
perlu dicatat dengan mengukur letaknya yang
tepat menggunakan koordinat, serta ukuran dari
pengotoran dan atau robekan yang ditemukan.
4) Bila ditemukan saku pada pakaian, maka saku
ini harus diperiksa dan dicatat isinya.
Pemeriksaan lebam mayat
Pencatatan pada lebam mayat meliputi:
1) Letak/distribusi lebam mayat.
2) Warna lebam mayat.
3) Intnsitas lebam mayat (masih hilang dalam
penekanan, sedikit menghilang atau sudah tidak
hilang sama sekali).

Forensik & Medikolegal | 289


Gambar 65. Lebam mayat

Pemeriksaan kaku mayat


Pencatatan pada lebam mayat meliputi:
1) Distribusi kaku mayat.
2) Derajat kekakuan pada beberapa sendi. Periksa
daerah dagu/tengkuk, lengan atas, siku, pangkal
paha, sendi lutut. Tentukan apakah mudah atau
sukar dilawan.
3) Apabila ditemukan spasme kadaverik harus
dicatat untuk memberi petunjuk apa yang sedang
dilakukan oleh korban saat terjadi kematian.

Gambar 66. Perubahan mayat setelah kematian

290 | Forensik & Medikolegal


Pemeriksaan tanda-tanda asfiksia mekanik
Pada pemeriksaan mayat dapat ditemukan tanda-
tanda asfiksia mekanik, yaitu:
1) Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2) Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan
terbentuk lebih cepat.
3) Busa halus pada hidung dan mulut.
4) Gambaran perbendungan pada mata berupa
pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi
dan palpebra.
5) Timbul bintik-bintik perdarahan yang disebut
sebagai Tardieu’s spot.

Gambar 67. Pemeriksaan pada mata

Pemeriksaan tanda-tanda asfiksia (tenggelam)


Pada pemeriksan mayat dapat ditemukan tanda-tanda
asfiksia traumatik akibat tenggelam, yaitu:
1) Mayat dalam keadaan basah, mungkin
berlumuran lumpur, pasir, dan benda lainnya,
bila seluruh tubuh terbenam air.
2) Busa halus pada hidung dan mulut, terkadang
berdarah.
3) Mata setengah terbuka atau tertutup, jarang

Forensik & Medikolegal | 291


terdapat perdarahan atau perbendungan.
4) Kutis anserina pada kulit permukaan anterior
tubuh terutama pada ekstremitas akibat
kontraksi otot erektor pili yang dapat terjadi
karena rangsang dinginnya air.
5) Telapak tangan dan kaki berwarna keputihan
dan keriput atau washer woman’s hand.
6) Spasme kadaverik.
7) Luka-luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan
kaki akibat gesekan pada benda-benda dalam
air.

Pemeriksaan gigi mayat


Yang harus diperhatikan dan dicatat pada pemeriksaan
gigi mayat adalah:
1) Jumlah gigi yang terdapat.
2) Gigi geligi yang hilang/patah/mendapat
tambalan/bungkus logam.
3) Gigi palsu.
4) Kelainan letak.
5) Pewarnaan (staining).
Pemeriksaan patah tulang
1) Tentukan letak patah tulang yang ditemukan
2) Catat sifat/jenis masing-masing patah tulang
yang didapat
Pemeriksaan lubang-lubang pada tubuh
1) Pada pemeriksaan telinga dan hidung, periksa
apakah ada cairan atau darah yang keluar.
2) Pada pemeriksaan rongga mulut, catat kelainan
atau tanda kekerasan yang ditemukan, Periksa
dengan teliti kemungkinan adanya benda asing.
3) Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan.
a. Pada mayat pria
- Catat kelainan bawaan (contoh:
epispadi, hipospadi, fimosis,
dll).
- Adanya manik-manik di bawah

292 | Forensik & Medikolegal


kulit.
- Keluarnya cairan dari lubang
kemaluan serta kelainan yang
timbul oleh penyakit.
b. Pada mayat wanita
- Periksa keadaan selaput dara
dan komisura posterior.
- Lakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap cairan/
sekret liang senggama.
- Lubang pelepasan yang sering
mendapat sodomi ditemukan
anus berbentuk corong yang
selaput lendirnya sebagian
berubah menjadi lapisan
bertanduk dan hilangnya rugae.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Lebam mayat biasanya mulai tampak 20-30
menit pasca mati, makin lama intensitasnya
bertambah dan menjadi lengkap dan menetap
setelah 8-12 jam.
· Lebam mayat dapat digunakan untuk
memperkirakan sebab kematian, misalnya
lebam berwarna merah terang pada keracunan
CO atau CN, warna kecoklatan pada keracunan
anilin, nitrit, nitrat sulfonal, mengetahui
perubahan posisi mayat yang dilakukan setelah
terjadinya lebam mayat yang menetap.
· Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa
persendian, kaku mayat mulai tampak 2 jam
setelah mati klinis dimulai dari bagian luar tubuh
ke arah dalam.
· Kaku mayat menjadi lengkap setelah mati klinis
12 jam, dipertahankan selama 12 jam dan
kemudian menghilang 12 jam berikutnya.
· Mekanisme kematian korban

Forensik & Medikolegal | 293


CATATAN KHUSUS

PROSEDUR PEMERIKSAAN LUAR


PADA JENAZAH

NO. AKTIVITAS
A. Pemeriksaan Kelengkapan Administrasi
Jika pemeriksaan dilakukan sebagai salah
satu prosedur rutin di rumah sakit:
1. Berkas rekam medis, yang dicocokkan
dengan identitas jenazah
2. Lembar persetujuan pemeriksaan luar
jenazah oleh keluarga (disesuaikan
dengan SOP rumah sakit).
Jika pemeriksaan dilakukan berdasarkan
permintaan penyidik:
1. Berkas rekam medis (jika sebelumnya
pasien pernah dirawat di rumah sakit)
2. Surat permintaan pemeriksaan jenazah
(Surat Permintaan Visum) dari penyidik
3. Pemeriksaan dilakukan terhadap jenazah
yang ditunjukkan oleh penyidik (penyidik
bertanggung jawab untuk menunjukkan/
mengidentifikasi jenazah yang dimaksud).

B. Pemeriksaan Label dan Pembungkus


Tubuh Jenazah
1. Identifikasi label yang terdapat pada
jenazah, cocokkan identitas pada label
dengan data-data di berkas rekam medis/
SPV

294 | Forensik & Medikolegal


2. Deskripsikan jenis pembungkus tubuh
mayat lapis demi lapis, dimulai dari lapisan
paling luar ke lapisan paling dalam
3. Deskripsi meliputi:
· Jenis barang (kantung jenazah,
selimut, pakaian, dsb)
· Jenis bahan (terpal, plastik, kain
katun, dsb)
· Merk barang (jika ada)
· Ukuran (panjang dan lebar, atau
ukuran huruf [S, M, L], atau ukuran
angka)
· Motif/corak
· Warna
· Keterangan tambahan (terdapat
cacat/noda/robekan/bercak darah/dll)
4. Dokumentasikan setiap pembungkus
jenazah dalam bentuk foto
5. Jika terdapat barang-barang yang melekat
pada tubuh mayat, juga dicatat masing-
masing deskripsi dan difoto.
C. Pemeriksaan Status Antropometri dan Ciri
Fisik
1. Lepaskan seluruh pembungkus tubuh dan
pakaian jenazah
2. Posisikan jenazah dalam posisi anatomis
3. Ukur panjang badan mulai dari puncak
kepala (vertex) ke dasar tumit
4. Pengukuran berat badan hanya bermakna
pada jenazah yang belum mengalami
proses pembusukan

Forensik & Medikolegal | 295


5. Deskripsikan ciri-ciri fisik jenazah seperti:
· Jenis kelamin, yakni melalui inspeksi
alat kelamin dan tanda-tanda
perkembangan seks sekunder
· Perkiraan usia
· Ras
· Warna kulit
· Status gizi
· Rambut-rambut pada jenazah, mulai
dari rambut kepala, alis, bulu mata,
kumis dan janggut, rambut di tubuh
dan ekstremitas, rambut kemaluan
(catat warna, ukuran terpanjang, jenis
[lurus/ikal], serta mudah/tidaknya
dicabut)
6. Amati dan deskripsikan jika terdapat ciri-
ciri khusus pada jenazah, misalnya:
· Tanda lahir
· Cacat khusus
· Tato
· Lain-lain, seperti gigi emas, dll
7. Dapat dilakukan pengambilan sampel
sidik jari dengan bantuan tim INAFIS.
D. Pemeriksaan Tanatologi
Kaku mayat (rigor mortis)
1. Periksa kekakuan pada mayat dengan
menggerakkan persendian: rahang, siku,
pergelangan tangan dan jari-jari tangan,
lutut, serta pergelangan kaki dan jari-jari
kaki
2. Nilai derajat kekakuan: tidak ada, mudah
dilawan, sukar dilawan
3. Perhatikan ada tidaknya cadaveric spasm

296 | Forensik & Medikolegal


4. Pada jenazah yang terbakar, bedakan
antara kaku mayat dengan heat stiffening
atau sikap pugilistik
5. Penilaian kaku mayat akan rancu jika
jenazah telah disimpan di dalam lemari
pendingin sebelumnya (cold stiffening)
Lebam mayat (livor mortis)
1. Periksa lebam mayat dengan cara inspeksi
seluruh tubuh jenazah dari semua sisi
serta amati bagian-bagian yang berwarna
lebih gelap dan umumnya berbatas tegas
2. Lakukan penekanan pada bagian yang
berwarna lebih gelap, dan amati apakah
terjadi perubahan warna menjadi pucat
(blanching)
3. Catat lokasi dan warna lebam mayat,
serta apakah lebam masih menghilang
dengan penekanan atau sudah menetap
4. Lebam mayat mungkin akan sulit dinilai
pada pasien yang meninggal dalam
kondisi hypovolemia atau memiliki riwayat
anemia
Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
1. Pengukuran suhu tubuh mayat jarang
dilakukan karena banyaknya faktor
perancu yang dapat menghasilkan bias
dalam interpretasi penentuan interval
postmortem
2. Pengukuran suhu tubuh mayat biasanya
hanya dilakukan pada temuan kasus baru,
dan tidak perlu dilakukan jika mayat sudah
dimasukkan ke dalam lemari pendingin

Forensik & Medikolegal | 297


Pembusukan (dekomposisi)
1. Amati ada tidaknya warna kehijauan
serta pelebaran vena-vena superfisial
(marbling) pada kulit jenazah; jika ada,
catat lokasinya
2. Amati ada tidaknya pembengkakan oleh
gas pembusukan (bloating); biasanya
terlihat jelas pada bagian tubuh yang
berongga seperti wajah, dan perut. Pada
wajah, bola mata dan lidah bisa terdorong
keluar
3. Amati apakah terdapat cairan
pembusukan berwarna kecoklatan yang
keluar dari lubang-lubang tubuh seperti
hidung, telinga, dan mulut; bedakan
dengan darah
4. Amati ada tidaknya pembentukan vesikel/
bulla maupun pengelupasan lapisan
epidermis yang kadang menyerupai luka
lecet. Dapat pula terjadi degloving pada
tangan dan kaki
5. Periksa apakah rambut-rambut mayat
mudah dicabut (rambut kepala, alis, bulu
mata, kumis dan janggut, rambut tubuh
dan ekstremitas, rambut kemaluan)
6. Kenali tanda-tanda mumifikasi, adiposera/
saponifikasi, dan maserasi
Penentuan interval postmortem
Tentukan perkiraan interval postmortem
berdasarkan kaku mayat, lebam mayat, dan
tanda-tanda pembusukan.

298 | Forensik & Medikolegal


E. Pemeriksaan Tanda-Tanda Asfiksia
1. Buka kedua mata mayat dan periksa
konjungtiva palpebra serta konjungtiva
bulbi, cari ada tidaknya petekia dan tanda-
tanda anemis
2. Periksa bibir, bagian dalam bibir, gusi dan
palatum, cari ada tidaknya petekia, tanda-
tanda sianosis, atau tanda-tanda anemis
3. Periksa ujung-ujung jari tangan dan kaki
mayat, nilai apakah terdapat tanda-tanda
anemis atau sianosis.
F. Pemeriksaan Gigi Jenazah
1. Buka mulut mayat dan periksa
kelengkapan gigi-geligi, bedakan antara
gigi susu dan gigi dewasa
2. Jika gigi dewasa, lihat apakah gigi
geraham belakang (molar III) sudah
erupsi atau belum
3. Periksa ada tidaknya karang gigi
4. Amati kelainan pada gigi (gigi hilang, gigi
palsu, dsb)
5. Pemeriksaan gigi dapat digunakan un-
tuk menentukan perkiraan umur, ras, dan
identitas mayat
6. Interpretasi lanjut untuk kondisi gigi dapat
dikonsultasikan kepada ahli odontologi fo-
rensik.

Forensik & Medikolegal | 299


G. Pemeriksaan Lubang-Lubang pada Tubuh
1. Periksa kedua lubang telinga, amati ada
tidaknya benda asing, cairan, perdarahan,
maupun kelainan lainnya
2. Periksa kedua lubang hidung, amati ada
tidaknya benda asing, cairan, perdarahan,
maupun kelainan lainnya
3. Periksa mulut, amati ada tidaknya benda
asing, cairan, perdarahan, maupun
kelainan lainnya
4. Periksa anus, amati ada tidaknya benda
asing, cairan, perdarahan, feses, maupun
kelainan lainnya
5. Untuk mayat laki-laki, periksa uretra,
amati ada tidaknya urine, cairan mani,
atau kelainan lainnya
6. Untuk mayat perempuan, periksa uretra,
amati ada tidaknya urine; serta liang
vagina untuk melihat apakah terjadi
prolaps uteri atau ekstrusi janin akibat
proses pembusukan.
H. Pemeriksaan Luka-Luka pada Kulit dan
Deskripsi Luka
1. Bersihkan tubuh mayat dengan
menggunakan spons; jika sulit dapat
menggunakan spons yang dibasahi
dengan air bersih
2. Pemeriksaan luka-luka pada kulit
dilakukan sesuai dengan langkah-langkah
deskripsi luka
3. Lakukan penilaian intravitalitas untuk
setiap luka yang ditemukan.

300 | Forensik & Medikolegal


I. Pemeriksaan Patah Tulang
1. Jika memungkinkan, pemeriksaan
adanya kecurigaan patah tulang tertutup
sebaiknya menggunakan pemeriksaan
radiologi
2. Jika pemeriksaan radiologi tidak dapat
dilakukan, pemeriksaan patah tulang
tertutup bisa dilakukan dengan melihat
adanya deformitas pada tubuh dan
meraba adanya krepitasi pada bagian
tubuh yang dicurigai mengalami patah
tulang.
J. Pemeriksaan Tanda Tenggelam
1. Amati ada tidaknya tanda-tanda tenggelam
pada pemeriksaan luar, seperti:
· Adanya busa berwarna putih/merah
pada hidung dan mulut
· Adanya benda-benda air seperti pasir,
tumbuhan, dsb pada rongga hidung
dan rongga mulut
· Cutis anserina
· Washer woman’s hand
· Cadaveric spasm
· Dan lain-lain
2. Tentukan apakah tanda-tanda tersebut
merupakan tanda intravital atau
postmortem.

K. Menuliskan Anjuran/Saran untuk


Melakukan Pemeriksaan Bedah Mayat
(Autopsi)

Forensik & Medikolegal | 301


1. Pada kasus-kasus yang dinilai mati tidak
wajar berdasarkan pemeriksaan luar,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan bedah
mayat untuk memastikan penyebab
kematian
2. Kasus-kasus yang memerlukan tindakan
autopsi medikolegal dilakukan oleh dokter
spesialis forensik berdasarkan surat
permintaan dari penyidik
3. Jika dirasa perlu untuk melakukan
tindakan autopsi, dapat dituliskan anjuran/
saran untuk pemeriksaan bedah mayat
pada laporan hasil pemeriksaan luar
jenazah.

302 | Forensik & Medikolegal


ALGORITMA PEMERIKSAAN LUAR PADA
JENAZAH BAYI DAN JANIN

Forensik & Medikolegal | 303


304 | Forensik & Medikolegal
GRAFIK PERKIRAAN INTERVAL POSTMORTEM
BERDASARKAN TANATOLOGI

CONTOH KASUS
Telah ditemukan mayat Mr.X di TKP hutan
dan dibawa oleh polisi ke kamar jenazah
RSUD dengan dugaan penganiayaan.
Prosedur medikolegal kepada polisi pada
kasus ini:
1. Memastikan bahwa mayat yang akan
diperiksa sesuai dengan permintaan
visum et repertum.
2. Kumpulkan keterangan tentang
kejadian dan hal-hal yang terkait pada
penyidik

Forensik & Medikolegal | 305


Pemeriksaan forensik yang dilakukan
1. Mempersiapkan peralatan
pemeriksaan luar jenazah (meteran,
kamera, skala, lembar pengisian visum
et repertum)
2. Tulislah nama pemeriksa, tanggal dan
jam mulai dilakukan pemeriksaan
3. Kaku mayat : pada ekstremitas , masih
mudah dilawan
4. Lebam mayat : pada tubuh bagian
belakang , warna ungu, hilang pada
penekanan
5. Jenis kelamin : laki-laki
6. Ras : mongoloid
7. Perkiraan umur : 30-40 tahun
8. Tinggi badan : 165cm
9. Luka –luka : Pada punggung kanan,
19cm dari garis pertengahan belakang,
4cm diatas taju atas belakang tulang
usus, 154cm diatas tumit , ditemukan
luka tebuka, tepi rata, kedua sudut
lancip, dasar otot, bila dirapatkan
berbentuk garis sepanjang dua
sentimeter.
10. Patah tulang: tidak tampak dan
tidak teraba patah tulang. Perkiraan
waktu kematian : 2-12 jam sebelum
pemeriksaan forensic

306 | Forensik & Medikolegal


Kesimpulan visum et repertum

Kesimpulan: Pada pemeriksaan mayat


berjenis kelamin laki-laki, usia sekitar 30-
40 tahun, ras mongoloid, tinggi badan
165cm ini, ditemukan luka terbuka pada
punggung akibat kekerasan tajam. Sebab
mati mayat ini tidak dapat ditentukan
karena tidak dilakukan bedah mayat.

Sebab mati mayat ini tidak dapat ditentukan


karena tidak dilakukan bedah mayat.

Komunikasikan aspek medikolegal hasil


pemeriksaan kepada pihak kepolisian
a. Dokter menjelaskan kepada polisi hasil
pemeriksaan secara lisan
b. Dokter menjelaskan kepada polisi
tentang visum et repertum

REFERENSI
Forensic Pathology, Bernard Knight, Oxford University
Press, New York. 2015.
Staf Pengajar Forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik.
FKUI Bagian Kedokteran Forensik: Jakarta.
2000. Hal 12-20.
Simpson’s Forensic Medicine 13thed, James P.J et al,
Hodder Arnold. 2011.

Forensik & Medikolegal | 307


4 Pengambilan Muntahan atau
Isi Lambung
TUJUAN
Mengambil sampel muntahan atau isi lambung untuk
pemeriksaan toksikologi.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Toksikologi
· Pemasangan NGT
· Penanganan barang bukti (chain of custody)

ALAT DAN BAHAN


· APD
· Sonde Wangensteen atau sonde Levine.
· Sarung tangan.
· Botol plastic atau botol biasa untuk
menampung sampel
· Label botol

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Persiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan
untuk pengambilan sampel.
2) Cuci tangan dan gunakan APD.
Pada korban hidup
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan oleh
pasien
2) Minta pasien untuk duduk, ikatlah serbet pada
lehernya dan berilah kaleng atau penampung
lain dalam tangannya. Pasien harus tenang,
bernafas melalui mulutnya dengan kepalanya
agak menunduk dan lidahnya sedikit dijulurkan
3) Cuci tangan 7 langkah dan memakai sarung
tangan
4) Masukkanlah ujung sonde ke dalam mulutnya

308 | Forensik & Medikolegal


sampai hampir bersentuh dengan dinding
belakang faring
5) Sekarang minta psien menutup mulutnya dan
menelan sonde itu berkali-kali
6) Apabila garis gigi seri telah bertepatan antara
garis kedua dan ketiga sonde, ujung sonde itu
ada di dalam lumen lambung, jarak antara gigi
seri dan ujung sonde menjadi sekitar 60 cm.
7) Setelah ujung sonde mencapai kedalaman
yang dikehendaki, ujung luar sonde di rekatkan
kepada pipi dengan sepotong plester
Sampel Postmortem
1) Saat melakukan autopsi, setidaknya 20 mL;
rata-rata 25-50 mL sampel dibutuhkan untuk
pemeriksaan lebih lanjut.
2) Perhatikan bau tertentu yang tercium saat
mengambil sampel. Senyawa tertentu
mempunyai bau yang khas yang dapat
diidentifikasi.
3) Masukkan sampel isi lambung dan/atau
muntahan ke dalam botol biasa.
4) Pil atau obat yang belum tercerna sepenuhnya
disimpan di dalam botol spesimen plastic untuk
analisis lebih lanjut.
Informasi yang harus dituliskan pada container sampel
1) Nama lengkap pasien dan pemeriksa
2) Jumlah pasien/subjek/hewan
3) Tanggal dan waktu pengambilan sampel
4) Tempat pengambilan sampel
5) Jenis sampel (termasuk catatan jika
menggunakan pengawet tertentu)
6) Informasi lainnya yang sesuai.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Isi lambung dapat mengandung sejumlah besar
racun terutama jika racun tersebut dicerna.
· Pastikan tidak terjadi kontaminasi silang dengan

Forensik & Medikolegal | 309


spesimen lainnya saat penyimpanan dan
transportasi sampel.
· Lakukan pengambilan sampel sedini mungkin.

CONTOH KASUS
Seorang laki-laki berusia 25 tahun dibawa
ke UGD RS dengan keluhan muntah.
Keluhan muncul setelah menyantap
makanan katering pabrik tempatnya
bekerja.

REFERENSI
Flanagan RJ, et al. Fundamentals of analytical
toxicology. West Sussex: Wiley. 2007.
Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik.
Jakarta: Dian Rakyat. 2008.

4 Pengambilan Urine
TUJUAN
Pengambilan sampel urin untuk pemeriksaan
toksikologi. Pemeriksaan urin biasa digunakan untuk
penapisan kasus penyalahgunaan obat-obatan.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


Penanganan barang bukti (chain of custody).

ALAT DAN BAHAN


· Pot urine
· Label
· Segel
· Pendingin

310 | Forensik & Medikolegal


TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan oleh
pasien.
2) Jelaskan kepada pasien pilihan waktu yang
akan diambil sebagai spesimen.
3) Sebelum mengambil urin, pasien harus cuci
tangan.
4) Penis atau vulva dibersihakn dengan air sabun
atau tissue basah steril.
5) Hindari mengenai kulit.
6) Kumpulkan sampel dalam botol biasa, tanpa
pengawet.
7) Spesimen dikumpulkan di pertengahan urine
(mid stream urine) dikeluarkan. Minta pasien
menampung 20-50 mL untuk pemeriksaan.
8) pengumpulan urine selesai sebelum aliran air
urine habis
9) Tutup botol spesimen dan kirim ke lab untuk
diperiksa
10) Kembali cuci tangan.
11) Informasi yang harus dituliskan pada container
sampel:
a. Nama lengkap pasien dan pemeriksa.
b. Jumlah pasien/subjek/hewan
c. Tanggal dan waktu pengambilan
sampel
d. Tempat pengambilan sampel
e. Jenis sampel (termasuk catatan jika
menggunakan pengawet tertentu)
f. Informasi lainnya yang sesuai.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Spesimen urin yang berbeda (seperti urin
random, pagi hari, 24 jam) dapat dikumpulkan
untuk pemeriksaan metabolic atau kasus lainnya.
· Transport minimal 2 jam setelah pengumpulan
spesimen. Bila lebih dari 2 jam simpan si lemari

Forensik & Medikolegal | 311


es (bukan freezer).
· Wanita yang sedang haid harus memasukkan
tampon yang bersih sebelum menampung
spesimen.
· Sampel urin dapat mengandung konsentrasi
tinggi berbagai zat.
· Merupakan sampel standard untuk penapisan
kasus penyalahgunaan obat-obatan.
· Jaga agar tidak terjadi kontaminasi silang saat
penyimpanan dan transport sampel.
· Ambil sampel sedini mungkin.

CONTOH KASUS

Seorang laki-laki berusia 17 tahun


datang ke poliklinik RS untuk melakukan
pemeriksaan bebas narkoba. Pasien
memerlukan hasil pemeriksaan sebagai
salah satu syarat mengikuti pendidikan.

REFERENSI
Flanagan RJ, et al. Fundamentals of analytical
toxicology. West Sussex: Wiley. 2007.
Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik.
Jakarta: Dian Rakyat. 2008.

4 Pengambilan Sampel Darah


TUJUAN
Mengambil sampel darah baik pada korban hidup
ataupun korban mati untuk pemeriksaan toksikologi.

312 | Forensik & Medikolegal


PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI
· Anatomi pembuluh darah
· Toksikologi
· Penanganan barang bukti (chain of custody)

ALAT DAN BAHAN


· APD
· Spuit
· Kapas alkohol
· Tabung pemeriksaan yang diperlukan.
· Label
· Segel
· Pengawet

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Persiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2) Cuci tangan sebelum melakukan tindakan dan
kenakan APD.
3) Untuk pengambilan sampel darah pada korban
hidup, lihat Bab Pungsi Vena.
4) Pada korban mati, kumpulkan darah dari
vena femoralis atau vena perifer lain dengan
memastikan tidak ada kontaminasi.
5) Tampung 10 mL sampel untuk whole blood dan
5 ml untuk pemeriksaan plasma/serum.
6) Cuci tangan setelah melakukan tindakan.
7) Catat dan tuliskan informasi pada tabung
sampel:
a. Nama lengkap pemeriksa dan pasien
b. Tanggal dan waktu pengambilan
sampel
c. Tempat pengambilan sampel
d. Jenis sampel (termasuk catatan jika
menggunakan pengawet tertentu)
e. Informasi lainnya yang sesuai.

Forensik & Medikolegal | 313


ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN
· Untuk pemeriksaan whole blood, gunakan tabung
EDTA atau lithium heparin.
· Gunakan fluoride/oksalat jika dicurigai keracunan
ethanol. Volume darah yang dibutuhkan untuk
pemeriksaan: 2mL.
· Gunakan tabung kaca atau plastik dengan bagian
terbuka yang minimal jika dicurigai keracunan
karbon monoksida atau zat volatile lainnya.
· Kumpulkan sampel whole blood jika dicurigai
kercunan senyawa volatile atau logam.
· Jika dicurigai mengalami keracunan, 10 mL
sampel darah (dalam tabung lithium heparin
atau EDTA) harus segera dikumpukan dari orang
dewasa (untuk anak, volume yang dikumpulkan
lebih sedikit) secepat mungkin.

CONTOH KASUS

Seorang laki-laki berusia 17 tahun dibawa


ke UGD RS setelah mengalami kecelakaan
lalu lintas. Pemeriksaan diperoleh
pasien berbicara tidak jelas, sulit diajak
komunikasi, dan tampak mabuk.

REFERENSI
Flanagan RJ, et al. Fundamentals of analytical
toxicology. West Sussex: Wiley. 2007.
Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik.
Jakarta: Dian Rakyat. 2008.

314 | Forensik & Medikolegal


4 Buccal Swab
TUJUAN
Melakukan buccal swab untuk pemeriksaan semen
dan/atau DNA.
PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI
· Anatomi rongga mulut
· Penanganan barang bukti (chain of custody)
· Aturan hukum terkait kasus kekerasan seksual

ALAT DAN BAHAN


· Cotton swab
· Kaca objek
· APD
· Pendingin
· Amplop kertas

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Siapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.
2) Perkenalkan diri. Jelaskan tindakan dan
langkah-langkah yang akan dilakukan. Minta
informed consent dari pasien dan atau keluarga
3) Cuci tangan sebelum melakukan tindakan.
Kenakan APD.
4) Untuk semen: gunakan swab kering pada ruang
antara gigi dan batas gusi rahang bawah. Swab
ini kemudian dikeringkan, ditutup, dan diberi
label. Lakukan penyekaan di beberapa tempat
dengan satu atau beberapa swab.
5) Untuk DNA: seka cotton swab pada bagian
dalam pipi. Swab kemudian dikeringkan.

Forensik & Medikolegal | 315


Gambar 68. Buccal swab

6) Tunggu hingga swab dan kaca objek kering


sebelum menyegel sampel dan menyimpannya
di tempat penyimpanan.
7) Cuci tangan setelah selesai melakukan
pemeriksaan.
8) Catat dan beri label sampel.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Gunakan cotton swab steril.
· Buccal swab untuk pemeriksaan DNA sebaiknya
tidak digunakan jika ada kemungkinan terdapat
benda asing (seperti jika ejakulasi terjadi dalam
mulut pasien).

CONTOH KASUS
Seorang perempuan berusia 14 tahun
dibawa ke UGD RS setelah mengalami
kekerasan seksual. Anamnesis diperoleh
keterangan bahkan pelaku melakukan
penetrasi oral pada hubungan seksual.

316 | Forensik & Medikolegal


REFERENSI
World Health Organization. Guidelines for medico-legal
care for victims of sexual violence. Geneva:
World health organization, 2003.

3 Pemeriksaan Selaput Dara


TUJUAN
Mampu melakukan pemeriksaan selaput dara pada
kasus kejahatan seksual.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Anatomi dan fisiologi genitalia wanita
· Patofisiologi luka

ALAT DAN BAHAN


· Lembar Form Visum et Repertum
· Label untuk identitas
· Lembar persetujuan/penolakan dilakukan
tindakan medis
· Sarung tangan

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Dokter memberikan salam perkenalan dan
menjelaskan kepada korban tentang prinsip dan
tujuan pemeriksaan, tatalaksana pemeriksaan
dan interprestasi hasil pemeriksaan; serta
kemudian meminta persetujuan dari korban
atau keluarganya dengan meminta korban
atau keluarganya menandatangani lembar
persetujuan dalam berkas rekam medis.
2) Anamnesis :
Pada anamnesis dicatat identitas pasien
(terutama umur dan tanggal lahir), riwayat
menstruasi (usia menarche, siklus haid, haid

Forensik & Medikolegal | 317


terakhir), status perkawinan, riwayat aktifitas
seksual, riwayat penyakit dahulu (penyakit atau
operasi yang pernah dilakukan), kebiasaan
(alkohol atau obat-obatan). Anamnesis
mengenai kejadian yaitu kronologis kejadian
(rincian kejadian, waktu dan lokasi, adanya
kekerasan/tidak), pelaku (jumlah, pemakaian
kondom, penetrasi/tidak, ejakulasi di luar/
di dalam), riwayat pemberian obat atau zat
tertentu, dan apa yang dilakukan setelah
terjadinya kekerasan seksual.
3) Pemeriksaan tanda-tanda vital :
Status generalis seperti keadaan umum,
kesadaran, tanda-tanda vital, penampilan secara
keseluruhan, keadaan emosional (tenang,
sedih, gelisah), pakaian (kondisi pakaian, sudah
diganti/belum), kooperatif atau tidak. Gigi geligi
juga perlu diperiksa terutama pertumbuhan gigi
ke VII dan gigi ke VIII. Pemeriksaan tanda-tanda
kekerasan pada bagian tubuh lainnya
4) Pemeriksaan status ginekologis
a. Pemeriksa menggunakan sarung
tangan
b. Pasien diposisikan litotomi
c. Periksa luka-luka sekitar paha, vulva,
perineum
d. Lakukan pemeriksaan alat kemaluan
berturut-turut mulai dari labia mayora,
labium minora, vestibulum, selaput
dara, vagina, leher rahim, dan besar
uterus.
5) Pemeriksaan selaput dara meliputi :
a. ada tidaknya robekan.
b. bila ada tentukan apakah robekan baru
atau lama
c. apakah robekan sampai dasar liang
vagina atau tidak sampai dasar

318 | Forensik & Medikolegal


d. lokasi robekan, gunakan arah jam
sebagai petunjuk lokasi robekan. 
6) Tindakan perawatan /pemeriksaan penunjang /
konsultasi ke spesialis lain (bila diperlukan)
7) Kesimpulan Visum et Repertum

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Gigi ke VII tumbuh mulai usia 12 tahun dan gigi ke
VIII mulai tumbuh pada usia 17 tahun
· Jika ditemukan robekan selaput dara dan kejadian
terjadi <72 jam maka diambil swab vagina
· Ciri-ciri robekan baru adalah ditemukan
perdarahan aktif atau tanda radang, nyeri tekan
dengan lidi kapas, dikelilingi memar pada daerah
sekitar
· Ciri-ciri robekan lama adalah warna robekan
sama dengan sekitar, tidak ada tanda radang.
· Korban yang telah berusia 18 tahun atau telah
pernah menikah, sadar dan tidak mempunyai
gangguan jiwa (psikosis atau retardasi mental)
harus menandatangani lembar persetujuan/
penolakan tindakan medis sendiri. Korban yang
tidak memenuhi kriteria di atas diwakili oleh
keluarga terdekatnya

Forensik & Medikolegal | 319


CONTOH KASUS

Nn.Mona perempuan usia 20 tahun


mengaku disetubuhi oleh pacarnya sekitar
2 bulan sebelum pemeriksaan.
Anamnesis:
Sekitar 2 bulan sebelum dilakukan
pemeriksaan, korban mengaku disetubuhi
lebih dari satu kali, oleh orang yang dikenal
yaitu pacar korban, dalam keadaan sadar
dan tidak dipaksa. Kejadian ini terjadi
berulang kali sejak lima bulan yang lalu
oleh pelaku yang sama. Korban belum
menikah. Setiap kali berhubungan tidak
memakai kondom, ejakulasi di dalam
kemaluan korban, setelah kejadian korban
diantar pulang oleh pelaku.
Riwayat haid: hari pertama haid terakhir
tidak ingat, siklus haid tidak teratur, lama
masa haid lima-tujuh hari.
Pemeriksaan tanda-tanda vital :
-- Keadaan umum baik, kesadaran
penuh, emosi tenang, sikap kooperatif
selama pemeriksaan.
-- Tekanan darah 110/70mmHg, frekuensi
nadi 80x/menit, frekuensi nafas 20x/
menit, suhu 36,7oC
-- Penampilan bersih, rambut rapi,
pakaian rapi, tanpa robekan, tanpa
kancing terputus.
-- Gigi ke VIII telah tumbuh
-- Tidak ditemukan tanda-tanda
kekerasan pada bagian tubuh lainnya

320 | Forensik & Medikolegal


Pemeriksaan Forensik
Pemeriksaan Genitalia
-- Korban posisi litotomi
-- Vulva : tidak ada luka-luka
-- Perineum : tidak ada luka-luka
-- Labia mayora: tidak ada kelainan
-- Labia minora: tidak ada kelainan
-- Vestibulum : tidak ada kelainan
-- Selaput dara : ditemukan robekan,
tidak sampai dasar , tidak dikelilingi
memar ,pada selaput darah arah jam
6 sesuai arah putaran jarum jam. Dan
ditemukan robekan sampai dasar pada
arah jam 5 dan 7 sesuai arah putaran
jarum jam, tidak ada memar.

Kesimpulan visum: pada pemeriksaan


perempuan berusia 20 tahun ini, pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-
tanda kekerasan. pada pemeriksaan
ginekologis ditemukan robekan lama
selaput dara akibat kekerasan tumpul yang
melewati liang senggama (penetrasi).

REFERENSI
Afandi D. Visum et Repertum Tata Laksana dan Teknik
Pembuatan.2011.Pekanbaru: UR Press.
Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan Hukum
(Sebuah Pengantar), Budi Sampurna,
Zulhazmar Samsu, Tjetjep DwijaSiswaja. 2008.
World Health Organization. Guidelines for medico-legal
care for victims of sexual violence. Geneva:
WHO; 2003.

Forensik & Medikolegal | 321


4 Pemeriksaan Swab Vagina
TUJUAN
Mampu melakukan pemeriksaan swab vagina pada
kasus kejahatan seksual.
PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI
· Anatomi dan fisiologi genitalia wanita
· Penanganan barang bukti (chain of custody)
· Aturan hukum terkait kasus kekerasan seksual

ALAT DAN BAHAN


· Cotton swab
· Kaca objek
· APD
· Pendingin
· Label untuk identitas
· Amplop kertas

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Dokter harus menjelaskan kepada korban
tentang prinsip dan tujuan pemeriksaan, tata
laksana pemeriksaan dan interprestasi hasil
pemeriksaan
2) Korban yang telah berusia 18 tahun atau telah
pernah menikah, sadar dan tidak mempunyai
gangguan jiwa (psikosis atau retardasi mental)
harus menandatanganinya sendiri. Korban yang
tidak memenuhi kriteria di atas diwakili oleh
keluarga terdekatnya
3) Persiapkan peralatan ( sarung tangan, masker,
lidi kapas, object glass, amplop, aquades dll).
Beri label pada kaca obyek dan amplop yang
berisi identitas sampel dan waktu pengambilan
sampel
4) Pasien posisi litotomi, lakukan lateral traksi pada

322 | Forensik & Medikolegal


labia mayora dengan menggunakan ibu jari dan
jari tengah
5) Lakukan swab dengan lidi kapas steril pada
daerah vestibulum (swab luar) buat sediaan
apus
6) Lakukan swab forniks posterior dengan lidi
kapas (swab dalam) jika selaput dara tidak utuh
dan buat sediaan apus.

Gambar 69. Swab vagina

7) Biarkan sediaan apus dan lidi kapas mengering


dengan suhu ruangan

Gambar 70. Proses pembungkusan sampel. Amplop kertas


dapat dijadikan sebagai wadah pembungkus

Forensik & Medikolegal | 323


8) Setelah mengering lalu simpan sediaan apus
dan lidi kapas ke dalam amplop dan diberi
label/lak dan diberi keterangan berupa identitas
korban, tanggal pengambilan, jenis sampel,
diambil dari, lokasi pengambilan dan petugas
yang mengambil di sisi wadah kertas

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Pengambilan sampel swab luar dan swab dalam
harus dilakukan apabila kejadian kurang dari 72
jam
· Pengambilan sampel swab dalam hanya
dilakukan apabila kejadian kurang dari 72 jam
dan ditemukan adanya robekan selaput dara.
· Adanya sperma merupakan tanda pasti
persetubuhan

324 | Forensik & Medikolegal


CONTOH KASUS
Anamnesis

Seorang perempuan usia 19 tahun


datang ke IGD RSUD bersama polisi
untuk meminta visum et repertum. korban
mengaku diperkosa oleh pacarnya sekitar 1
hari sebelum pemeriksaan. Korban Belum
menikah .Kejadian terjadi 1 hari sebelum
pemeriksaan. Tidak ada kekerasan
fisik. Riwayat penggunaan kondom saat
disetubuhi tidak ada. keluar cairan dari
alat kelamin pelaku tidak jelas .Setelah
kejadian korban mandi dan berganti
pakaian. Hari pertama haid terakhir: 1
bulan sebelum kejadian, tidak teratur

Hasil Pemeriksaan Fisik


KU : kesadaran: compos mentis;
Pakaian : Rapi
Keadaan emosional : tenang
Tanda Vital :TD:110/80mmHg;
N:95kali/menit; R:20 kali/menit, reguler;
T:36,5o C
Gigi geligi : gigi ke molar
ketiga (gigi ke VIII) pada keempat rahang
telah tumbuh
Tanda-tanda kekerasan pada tubuh lainnya
: tidak ada

Pemeriksaan forensik
Bila peserta ujian melakukan pemeriksaan di
bawah ini, penguji menyampaikan hasil pada
peserta.

Forensik & Medikolegal | 325


Pemeriksaan Genitalia
Posisi litotomi
3. Vulva : tidak ada luka-luka
4. Perineum : tidak ada luka-luka
5. Labia mayora: tidak ada kelainan
6. Labia minora: tidak ada kelainan
7. Vestibulum : tidak ada kelainan
8. Selaput dara : ditemukan robekan, tidak
sampai dasar , dikelilingi memar ungu,
pada selaput darah arah jam 3 sesuai arah
putaran jarum jam.
Pengambilan sampel yang dilakukan:
1. Persiapkan peralatan (sarung tangan,
masker, lidi kapas, object glass, amplop dan
aquades)
2. Pasien posisi litotomi, lakukan lateral
traksi pada labia mayora dengan dengan
menggunakan ibu jari dan jari tengah
3. Lakukan swab dengan lidi kapas steril pada
daerah vestibulum (swab luar)
4. Lakukan swab forniks posterior (swab dalam)
5. Buat sediaan apus pada kaca obyek dari
hasil swab
6. Biarkan sediaan apus dan lidi kapas
mengering dengan suhu ruangan
7. Setelah mengering lalu simpan sediaan
apus dan lidi kapas kedalam amplop dan
diberi lak/label dan diberi keterangan berupa
tanggal pengambilan, jenis sampel, diambil
dari, lokasi pengambilan, dan petugas yg
mengambil.
8. Hasil swab vagina : tidak ditemukan sperma
dan cairan mani

326 | Forensik & Medikolegal


Kesimpulan visum et repertum :

Kesimpulan : pada pemeriksaan


perempuan usia 21 tahun ini,pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-
tanda kekerasan, pada pemeriksaan
ginekologis ditemukan robekan baru pada
selaput dara akibat kekerasan tumpul yang
melewati liang senggama (penetrasi).

REFERENSI
Afandi D. Visum et Repertum Tata Laksana dan Teknik
Pembuatan. 2011. Pekanbaru: UR Press.
DiMaio VJ, DiMaio D. Forensic Pathology. 2nd ed.
(Geberth VJ, ed.). Boca Raton: CRC Press
LLC. 2001.
PUSSDOKKES POLRI. Panduan Teknis tentang
pengambilan sampel DNA bagi petugas olah
TKP atau Penyidik. Juni 2012.

Forensik & Medikolegal | 327


PANDUAN KETERAMPILAN KLINIS

KEDOKTERAN
KOMUNITAS
4 Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
TUJUAN
· Mampu mendiagnosis penyakit akibat kerja
· Mampu melakukan tindakan preventif terhadap
penyakit akibat kerja

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Langkah-langkah diagnosis penyakit akibat
kerja
· Pengetahuan kedokteran klinik
· Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3)

ALAT DAN BAHAN


Sesuai konteks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Menegakkan diagnosis klinis
2) Menentukan pajanan di tempat kerja (fisika,
kimia, biologi, ergonomi, psikis)
3) Menentukan evidence based dari hubungan
antara pajanan dengan diagnosis klinis
4) Menentukan apakah pajanan cukup untuk

328 | Forensik & Medikolegal


menimbulkan diagnosis klinis
5) Menentukan apakah ada faktor individu yang
berpengaruh terhadap diagnosis
6) Menentukan apakah ada pajanan lain diluar
pekerjaan yang berpengaruh terhadap diagnosis
7) Menentukan diagnosis klinis merupakan
penyakit akibat kerja/diperberat oleh pekerjaan/
bukan penyakit akibat kerja/perlu tambah data
8) Memberikan informasi untuk pekerja dan
perusahaan/tempat kerja untuk pencegahan
penyakit akibat kerja

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Diagnosis klinis
o Anamnesis
o Pemeriksaan fisik
o Pemeriksaan penunjang
· Pemeriksaan pajanan di tempat kerja
o Fisik: Suara, Radiasi sinar Ro atau
sinar radioaktif, suhu, tekanan udara,
cahaya, getaran
o Kimia: Debu, uap, gas, larutan, awan
/ kabut
o Biologi: bakteri, virus, jamur, binatang
o Fisiologis: Ergonomi
o Psikososial: stress kerja
· Evidence based dari hubungan antara pajanan
dengan diagnosis klinis
· Pajanan cukup untuk menimbulkan penyakit
akibat kerja
o Anamnesis: masa kerja
o Pengukuran di lapangan: konsentrasi
pajanan
· Faktor individu yang berpengaruh terhadap
diagnosis
o Penyakit keturunan
o Riwayat penyakit dahulu

Kedokteran Komunitas | 329


o Riwayat atopi/alergi
o Riwayat penyakit dalam keluarga
o Higiene perorangan
· Jenis pajanan lain diluar pekerjaan: (pajanan lain
yang dapat menyebabkan penyakit namun bukan
faktor pekerjaan
o Kebiasaan merokok
o Pajanan di rumah
o dll
· Diagnosis penyakit akibat kerja:
Hasil: Penyakit akibat kerja/diperberat oleh
pekerjaan/bukan penyakit akibat kerja/perlu data
tambahan

330 | Kedokteran Komunitas


CONTOH KASUS

Seorang perempuan berusia 22 tahun,


bekerja sebagai staff keuangan PT X,
datang ke klinik karena mengeluh mata
terasa pegal dan terkadang merah sejak 1
minggu yang lalu terutama setelah melihat
computer. Keluhan lain penglihatan juga
menjadi berbayang, namun tetapi tidak
keluar airmata, tidak nyeri, tidak gatal.
Keluhan membaik jika pasien di rumah
dan setelah bangun tidur tetapi jika
dikantor keluhan muncul kembali. Pasien
mengatakan sejak 2 minggu ini sibuk
mengerjakan laporan keuangan tengah
tahunan dari 4 cabang sehingga pasien
sering pulang malam (lembur). Pasien juga
mengatakan keluhan penglihatan menjadi
buram sejak 6 bulan terakhir ini. Sehingga
pasien harus memicingkan mata untuk
melihat jauh. Keluhan menganggu pasien
karena menganggu konsentrasi pasien
dalam mengerjakan tugas atau melihat
jauh. Keluhan ini pertama kali timbul. Tidak
ada riwayat trauma dalam 2 minggu ini.
Pasien tidak merokok.
Riwayat Penyakit dahulu
Keluhan serupa disangkal, penyakit
degeneratif disangkal.
Pemeriksaan fisik
Tanda vital dalam batas normal
Didapatkan injeksi siliaris dan pemeriksaan
visus didapatkan 20/25 ODS dengan
PD:53 mm.

Kedokteran Komunitas | 331


Anamnesis pekerjaan
Pasien bekerja sebagai staf keuangan di
perusahaan jasa konsultasi. Bekerja mulai senin-
jumat dari pukul 08-16.00. Pasien biasa bangun
jam 4.30 pagi kemudian ibadah, mandi, dan
sarapan pagi. Pukul 07.00, Pasien berangkat
menggunakan angkot. Pukul 07.45 pasien sudah
sampai kantor. Di kantor pasien bekerja dengan
kursi yang bisa diatur dan bisa memutar, pasien
bekerja menggunakan laptop ukuran 10 inchi
tanpa mouse. Pasien hampir seharian duduk
untuk mengerjakan cash flow, rekap uang masuk
dan keluar, penggajian dan membuat laporan
keuangan. Sehingga pasien jarang beristirahat
sejenak. Pukul 12-13 pasien istirahat. Dan
kemudian melanjutkan kerjanya hingga pukul
16.00. Pasien dalam 2 minggu terakhir hampir
tiap hari lembur hingga pukul 20.00. Kemudian
pasien pulang dengan menggunakan angkot.
Jika hari libur pasien digunakan untuk istirahat
atau jalan-jalan dengan temannya.

REFERENSI
ILO. Occupational Health Services in ILO
Encyclopaedia. 2000: 16.1-62.
Soemarko DS, Sulistomo AB, dkk. Buku konsensus
diagnosis okupasi sebagai penentuan penyakit
akibat kerja. Jakarta: Perhimpunan Spesialis
Kedokteran Okupasi Indonesia dan Kolegium
Kedokteran Okupasi Indonesia. 2011.
World Health Organisation. Deteksi Dini Penyakit
Akibat Kerja. World Health Organization. 1993.

332 | Kedokteran Komunitas


4 Evaluasi Program (Puskesmas)
TUJUAN
Mampu melakukan evaluasi program puskesmas.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Wawancara
· Observasi
· Analisis situasi
· Analisis data
· Interpretasi hasil

ALAT DAN BAHAN


Sesuai konteks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Menetapkan indikator dari unsur luaran
2) Menentukan standar capaian tiap-tiap luaran
yang telah ditetapkan
3) Meminta ijin untuk melakukan evaluasi pada
instansi yang akan dievaluasi
4) Meminta subyek untuk menyiapkan
bahan,laporan, SOP dan sarana lainnya yang
akan dievaluasi
5) Melakukan wawancara dan atau observasi
untuk mengidentifikasi masalah
6) Membandingkan pencapaian masing-masing
indikator luaran dengan standar capaian
7) Menentukan prioritas masalah
8) Mengidentifikasi penyebab masalah
9) Menyusun alternatif pemecahan masalah
10) Menentukan prioritas pemecahan masalah
11) Menyusun rencana intervensi dan standar
capaian intervensi

Kedokteran Komunitas | 333


ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN
· Sangat baik: jika 81% program yang dilaksanakan
sesuai dengan prosedur
· Baik: jika 61 - 80% program yang dilaksanakan
sesuai dengan prosedur
· Cukup: jika 41-60% program yang dilaksanakan
sesuai dengan prosedur
· Buruk: jika 21 -40% program yang dilaksanakan
sesuai dengan prosedur
· Sangat buruk: jika ≤ 20% program yang
dilaksanakan sesuai dengan prosedur

334 | Kedokteran Komunitas


medis

Kedokteran Komunitas | 335


336 | Kedokteran Komunitas
REFERENSI
Azwar A, Basuki E, Soerawidjaja R. Evaluasi
Program Kedokteran/Kesehatan Berdasarkan
Pendekatan Sistem. Departemen Ilmu
Komunitas FKUI, Sub-departemen Manajemen
Kedokteran, FKUI;2009
Azrul Azwar. Pengantar Administrasi Kesehatan.Edisi,
Binarupa Aksara, Jakarta;1996.p.181-210,
p.329-347.
Franco LM, Newman J, Murphy G, Mariani E. Achieving
Quality Through Problem Solving and Process
Improvement, 2nd Ed. USAID;Wisconsin, 1997.
Hughes RG. Tools and Strategies for Quality
Improvement and Patient Safety: An Evidence-
Based Handbook for Nurses. Rockville; US,
2008.
Levitt C, Hilts L. Quality in Family Practice Books
of Tools, 1st ed. McMaster Innovation
Press;Toronto, 2010.

4 Skrining
TUJUAN
Mampu melakukan deteksi dini masalah gaya hidup.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Pengukuran berat badan
· Pengukuran tinggi badan
· Pengukuran lingkar perut
· Pengukuran lingkar lengan
· Pengukuran tekanan darah
· Konseling

Kedokteran Komunitas | 337


ALAT DAN BAHAN
· Timbangan berat badan yang sudah dikalibrasi
· Pengukur tinggi badan (microtoise)
· Meteran
· Tensimeter

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Mempersiapkan peralatan:
a. Timbangan berat badan yang sudah
dikalibrasi
b. Pengukur tinggi badan (microtoise)
c. Meteran
d. Tensimeter
2) Mempersiapkan tempat untuk melakukan
pengukuran
3) Melakukan pengukuran
a. Menimbang berat badan 2x pengukuran
b. Mengukur tinggi badan 2x pengukuran
c. Mengukur lingkar pinggang 2x
pengukuran
d. Mengukur tekanan darah 2x
pengukuran
e. Mengukur lingkar lengan atas 2x
pengukuran
4) Mencatat hasil pengukuran yang merupakan
rerata dari 2x pengukuran
5) Menginterpretasikan hasil pengukuran
6) Lakukan KIE dan Konseling CERDIK
a. Cek kesehatan berkala
b. Enyahkan asap rokok
c. Rajin Aktivitas fisik
d. Diet sehat dengan kalori seimbang
e. Istirahat cukup
f. Kelola stress
7) Patuh pengobatan

338 | Kedokteran Komunitas


ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Kurus < 18,5

Normal 18,5 – 22,9

Kegemukan ≥ 23

Pra-obes 23 – 24,9

Obes I 25 – 29,9

Obes II ≥ 30

Klasifikasi Lingkar perut

Normal Laki-laki ≤ 90 cm

Perempuan ≤ 80 cm

Tidak Normal Laki-laki > 90 cm

Perempuan > 80 cm
Tabel 14. Klasifikasi berat badan orang Asia (WHO, 2000)

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Kurus < 18,5

Normal 18,5 – 22,9

Kegemukan ≥ 23

Kedokteran Komunitas | 339


Tabel 15. Lingkar perut

Klasifikasi Lingkar perut

Normal Laki-laki ≤ 90 cm

Perempuan ≤ 80 cm

Tidak Normal Laki-laki > 90 cm

Perempuan > 80 cm

Tabel 16. Kategori tekanan darah (Whelton PK, et al. 2017


Updated Classification and Management of High Blood
Pressure in Adult. J Am Coll Cardiol)
Diasto-
Klasifikasi Sistolik Dan/Atau
lik
Normal < 120 mmHg Dan < 80
mmHg
Pre-hipertensi/ 120 – 129 Dan < 80
mmHg mmHg
meningkat
Hipertensi 130 – 139 Atau 80 – 89
Grade 1 mmHg mmHg
Hipertensi ≥ 140 mmHg Atau ≥ 90
Grade 2 mmHg

340 | Kedokteran Komunitas


CONTOH KASUS
Seorang laki-laki, pemadam kebakaran, usia 42
tahun, datang untuk melakukan pemeriksaan
kesehatan rutin di klinik perusahaannya. Ia
merasa baik-baik saja dan tidak ada keluhan. Dari
anamnesis, pasien mengatakan kedua orang tua
masih hidup, ayah mengalami diabetes melitus dan
ibu mengalami hipertensi. Langkah apa yang perlu
dilakukan oleh dokter?

REFERENSI
Donatelle. R. 2008. Acces to Health. Pearson Bejamin
Cummings. San Fransisco.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Teknis
PenyelenggaraanPengendalian Penyakit Tidak
Menular di Puskesmas.
Prochasca J, Norcros, Diclemente. 2007. Changing for
Good : A Revolutionary Six-Stage Program for
Overcoming Bad Habits and Moving Your Life
Positively Forward. Collins, US.

4 Diagnosis Komunitas
TUJUAN
· Mampu mengidentifikasi masalah kesehatan di
masyarakat
· Mampu mengembangkan instrumen untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan
· Mampu menganalisis permasalahan kesehatan
dan mengajukan solusi pemecahannya
· Mampu menjelaskan struktur organisasi fasilitas
kesehatan tingkat primer
· Mampu berkomunikasi secara baik dengan

Kedokteran Komunitas | 341


masyarakat
· Mampu membuat usulan pemecahan terhadap
masalah kesehatan

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Membuat instrumen pengumpulan data primer
dan skunder
· Komunikasi dengan masyarakat

ALAT DAN BAHAN


Sesuai konteks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Melakukan pertemuan awal untuk menentukan
area permasalahan
2) Menentukan instrument pengumpulan data
3) Melakukan pengumpulan data dari masyarakat
dan lingkungan
4) Melakukan analisis dan menyimpulkan data
5) Membuat laporan hasil dan presentasi
diseminasi.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Ada masalah
· Tidak ada masalah

CONTOH KASUS
Pada hari yang sama didapatkan 35 orang
datang ke puskesmas dengan keluhan mual
muntah dan diare yang berasal dari satu wilayah
desa yang sama dan merupakan undangan
dari acara Bapak X. Langkah apa yang perlu
dilakukan untuk menginvestigasi kasus tersebut
di atas?

342 | Kedokteran Komunitas


REFERENSI
Bennett FJ, Health U of ND of C. Community diagnosis
and health action: a manual for tropical and
rural areas. Macmillan. 1979. 208 p.
Budiningsih S. Kekalih A. Prihartono J. Panduan
pelaksanaan keterampilan kedokteran
komunitas di FKUI: modul ilmu kedokteran
komunitas. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2014.
Garcia P, McCarthy M. Measuring health: a step in the
development of city health profiles.
Indonesia KK. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
Matsuda Y, Okada N. Community diagnosis for
sustainable disaster reparedness. Journal of
Natural Disaster Science. 2006. 28(1):25–33.
Suryakantha AH. Community medicine with recent
advances. Jaypee Brothers, Medical
Publishers. 2010. 904 p.377.
World Health Organization. City health profiles: how to
report on health in yourcity. ICP/HSIT/94/01 PB
02.

4 Surveilans
TUJUAN
· Mampu melakukan pemantau dan memprediksi
trend permasalahan kesehatan masyarakat
(morbiditas, mortalitas, penggunaan obat,
efektivitas obat, dan efek samping pengobatan,
penggunaan vaksin, serta data-data lingkungan
· Mampu mendeteksi perubahan cepat yang
terjadi di masyarakat tentang sebuah kondisi
kesehatan termasuk distribusi kondisi tersebut
· Mampu mengidentifikasi perubahan pada faktor
agent dan host

Kedokteran Komunitas | 343


· Mampu mengidentifikasi praktek pelayanan
kesehatan

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Observasi
· Meramal (forecasting)/memprediksi

ALAT DAN BAHAN


Sesuai konteks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Menyampaikan pemberitahuan ke seluruh
stakeholder yang akan terlibat dalam kegiatan
survailans
2) Mendiskripsikan kondisi kesehatan yang akan di
survailans
3) Menentukan tujuan surveillance
4) Merumuskan rencana operasional survailans
5) Merumuskan kebijakan dan prosedur privasi
pasien serta pembiayaan survailans
6) Merumuskan rencana evaluasi program
survailans
7) Merumuskan manfaat dari program survailans
8) Membuat rekomendasi

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Berdampak positif.
· Proses survailans sederhana dan dapat
untuk dilakukan sistem survailans mampu
mengakomodir perubahan seperti misalnya
mendeteksi kondisi kesehatan baru
o Sistem survailans mendorong
willingness individu atau komunitas
untuk berperan aktif dalam survailans
o Sistem memiliki kemampuan untuk
secara sensitif mendeteksi epidemik

344 | Kedokteran Komunitas


dan perubahan kondisi kesehatan
lainnya
o Sistem dapat mendeteksi kasus yang
memang benar-benar kasus (bukan
false positif)
o Sistem dapat mendeteksi kondisi
kesehatan berdasarkan pada person,
place dan time
o Sistem dapat menyediakan data
diwaktu yang dibutuhkan untuk aksi
o Sistem efisien dari sisi biaya yang
dibutuhkan untuk maintai sistem
survailans

CONTOH KASUS
Berdasarkan data register Puskesmas
wilayah DKI Jakarta tahun 2015 ditemukan
kejadian DBD dalam satu bulan terakhir
sebesar 695 kasus dengan 1 orang
meninggal dunia. Angka ini meningkat dari
kejadian bulan sebelumnya yaitu sebanyak
536 kasus. Upaya pemberantasan telah
dilakukan namun masih ada beberapa
wilayah kerja puskesmas yang belum
dijangkau. Apa yang perlu dilakukan untuk
mengetahui wilayah yang pandemi DBD?

REFERENSI
US Department of Health and Human Services- CDC.
Principles of Epidemiology 2nd Edition. An
Introduction to Apllied Epidemiology and
Biostatistics.

Kedokteran Komunitas | 345


4 Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut
TUJUAN
· Mampu melakukan penilaian terhadap masalah
kesehatan usia lanjut
· Mampu melakukan edukasi tentang perilaku
hidup bersih dan sehat
· Mampu melakukan pengobatan pada masalah
kesehatan lansia
· Mampu melakukan rehabilitasi

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Comprehensive Geriatric Assessment (CGA)
· Indeks ADL’s Barthel, test up and go
· MSE dan AMT (AbbreviatedMental Tes/ AMT)
sebagai skrining demensia.
· MMSE dapat ditambahkan dengan Clock
Drawing Test (CDT)
· Mini Nutritional Assessment/MNA

ALAT DAN BAHAN


Form penilaian.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Menyiapkan form penilaian yang akan di pakai
2) Pastikan lansia koordinatif dalam proses
penilaian

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Lanjut Usia sehat dan mandiri
· Lanjut Usia sehat dengan ketergantungan ringan
· Lanjut Usia sehat dengan ketergantungan sedang
· Lanjut Usia dengan ketergantungan berat/ total
· Lanjut Usia pasca-rawat (dua minggu pertama)
· Lanjut Usia yang memerlukan asuhan nutrisi atau

346 | Kedokteran Komunitas


· Lanjut Usia yang memerlukan pendampingan
(memiliki masalah psikokognitif)

CONTOH KASUS
Seorang kakek berumur 65 tahun datang
ke puskesmas dengan keluhan nyeri pada
lutut sejak 3 bulan terakhir. Keluhan mulai
dirasakan semenjak berhenti bekerja.
Dari hasil wawancara didapat bahwa dia
tinggal dengan anak tertuanya yang sudah
berkeluarga dengan 2 orang cucu. Istrinya
sudah meninggal sejak 1 tahun yang lalu.
Dia sering merasa kesepian karena anak
dan menantunya sibuk bekerja sedangkan
cucunya sekolah sampai sore sehingga
di rumah dia hanya menonton tv sendiri
untuk hiburan. Bagaimana pendekatan
yang tepat untuk mengetahui kesehatan
pasien usia lanjut tersebut?

REFERENSI
Permenkes No 67 Tahun 2015: Penyelenggaraan
Pelayanan Lansia di Puskesmas.
Permenkes No 79 Tahun 2014: Penyelenggaraan
Pelayanan Geriatri di Rumah sakit.

4 Rehabilitasi Sosial
TUJUAN
· Mampu melakukan komunikasi timbal balik,
sehingga didapatkan keadaan sosial yang
nyaman bagi individu yang berusia 17 tahun ke
atas untuk kembali pada keadaan keseharian
sebelum sakit dalam rangka menjamin kualitas

Kedokteran Komunitas | 347


hidup individu
· Mampu melakukan komunikasi timbal balik,
sehingga didapatkan keadaan sosial yang
nyaman bagi keluarga setelah adanya individu
dalam keluarga yang mengalami masalah
kesehatan
· Mampu melakukan komunikasi timbal balik,
sehingga didapatkan keadaan sosial yang
nyaman bagi masyarakat setelah pengalaman
masalah kesehatan luar biasa kesehatan lansia

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Konseling pasien dan keluarga
· KIE

ALAT DAN BAHAN


Sesuai konteks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Menyapa pasien dan keluarga serta menanyakan
namanya
2) Memperkenalkan diri serta memberitahukan
perannya
3) Menjelaskan tujuan pertemuan, yaitu
merencanakan penatalaksanaan rehabilitasi
sosial
4) Menetapkan tujuan rehabilitasi bagi pasien
5) Menetapkan hasil diskusi saat ini:
a. Menyusun jadwal dan target setiap titik
di jadwal
b. Peran serta pasien dan keluarga dalam
penatalaksanaan rehabilitasi sosial
6) Menjelaskan keuntungan dan kerugian dari
masing-masing alternatif tersebut
7) Mencek kembali pemahaman pasien/keluarga
tentang:

348 | Kedokteran Komunitas


a. Proses pencapaian target rehabilitasi
b. Bagaimana memperoleh penjelasan
yang diperlukan setiap saat
c. Siapa yang akan berpartisipasi dan
mendukung pencapaian target
8) Memberikan penjelasan yang terorganisir
dengan baik
9) Memberi kesempatan/waktu kepada pasien
untuk bereaksi terhadap penjelasan dokter
(berdiam diri sejenak)
10) Mendorong pasien untuk menyampaikan
reaksinya, keprihatinannya, serta perasaannya
11) Menyampaikan refleksi terhadap keprihatinan,
perasaan dan nilai-nilai pasien
12) Mendorong pasien untuk menentukan pilihannya
13) Membuat perencanaan untuk tindak lanjut

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Baik: bila ada komunikasi timbal balik dengan
lancar
· Cukup : bila komunikasi timbal balik tersendat-
sendat
· Kurang: komunikasi hanya 1 arah

CONTOH KASUS
Seorang laki-laki berusia 25 tahun, menikah, baru
saja menyelesaikan program rehabilitasi rumatan
methadon di puskesmas. Pasien masih merasa
kurang nyaman untuk kembali beraktivitas baik
di lingkungan rumah maupun tempat kerjanya.
Langkah apa yang perlu dilakukan oleh dokter
untuk pasien tersebut?

REFERENSI
Modifikasi dari Basuki E, Daftar Tilik Konseling,
Keterampilan Klinik Dasar FKUI. 2009.

Kedokteran Komunitas | 349


4 Diagnosis Holistik
TUJUAN
· Mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang
berkontribusi dalam sehat-sakit dan sejahtera
· Mampu mencari penyebab masalah kesehatan
yang dikaitkan dengan aspek personal, aspek
klinis, aspek individual (faktor risiko internal),
psikososial, keluarga, serta lingkungan
kehidupan pasien lainnya (faktor risiko
eksternal).
· Mampu menyelesaikan masalah dapat dilakukan
langsung secara efektif dan efisien terhadap
penyebab utamanya.

PENGETAHUAN YANG HARUS DIKUASAI


· Pengetahuan kedokteran klinik
· Epidemiologi
· Kesehatan lingkungan
· Kesehatan kerja
· Keterampilan komunikasi
· Ilmu perubahan perilaku

ALAT DAN BAHAN


Sesuai konteks.

TEKNIK PEMERIKSAAN
1) Anamnesis holistik, terdiri dari:
2) Aspek personal, aspek klinis, aspek risiko
internal, aspek risiko eksternal, dinamika
keluarga, siklus kehidupan keluarga, lingkungan
fisik perumahan dan pekerjaan.
3) Pemeriksaan fisik
4) Pemeriksaan penunjang
5) Diagnosis holistik, terdiri dari:

350 | Kedokteran Komunitas


6) Diagnosis medis, dan diagnosis psikososial.
7) Penatalaksanaan yang komprehensif,
bersinambung, mengutamakan pencegahan,
koordinatif dan kolaboratif, menjunjung tinggi
etika dan hukum, sadar mutu dan biaya, dapat
diaudit dan dipertanggungjawabkan.

ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN


· Aspek personal (patient centered approach)
o Idenfitikasi alasan kedatangan pasien
o Identifikasi harapan pasien
o Identifikasi kekhawatiran pasien
· Aspek klinik
o Identifikasi diagnosis kerja/diagnosis
klinis
o Identifikasi diagnosis banding
· Aspek risiko internal pasien
Identifikasi faktor penyebab masalah kesehatan
pasien yang berasal dari dalam tubuh pasien :
status gizi, perilaku/kebiasaan, imunitas, jenis
kelamin, usia, dll.
· Aspek risiko eksternal pasien
Identifikasi faktor penyebab masalah kesehatan
pasien yang berasal dari luar tubuh pasien:
lingkungan keluarga, lingkungan rumah,
lingkungan pekerjaan, dll
· Aspek fungsional
Identifikasi derajat fungsional pasien yaitu
dampak aktivitas harian pasien saat mengalami
keluhan/gejala yang dikeluhkan (International
Classification of Primary Care II) yang disesuaikan
dengan aktivitas sesuai usia pasien
o 1 = Tidak ada kesulitan karena sakitnya
o 2 = Mulai mengurangi aktivitas ringan
karena sakitnya
o 3 = Mulai mengurangi aktivitas berat
karena sakitnya, namun seluruh

Kedokteran Komunitas | 351


perawatan diri masih mampu dilakukan
mandiri
o 4 = Aktivitas harian seluruhnya
dilakukan di dalam rumah, sebagian
perawatan diri sudah dibantu orang
lain
o 5 = Aktivitas total di tempat tidur,
seluruh perawatan diri sudah dibantu
orang lain

352 | Kedokteran Komunitas


CATATAN KHUSUS

SKEMA PENGELOLAAN KASUS KLINIS SECARA


HOLISTIK, KOMPREHENSIF DAN PARIPURNA

(Sumber: Modul Praktek Modul Praktik Klinik Program Pendidikan Dokter


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Gambar 71. Skema Pengelolaan Kasus Klinis Secara Holisitk,
Komprehensif Dan Paripurna

Kedokteran Komunitas | 353


PENJELASAN
1. Skema diterapkan pada telaah kasus oleh
mahasiswa/kelompok mahasiswa yang
memungkinkan mahasiswa memperoleh
data secara menyeluruh dan memiliki waktu
cukup untuk melakukan kajian. Beberapa
kegiatan pembelajaran atau asesmen yang dapat
dimanfaatkan adalah kegiatan pembelajaran
di klinik berbasis kasus, seperti case-based
discussion, presentasi kasus, ujian kasus
panjang, dan lain-lain. Diharapkan mahasiswa
mendapatkan kesempatan untuk belajar
penerapkan telaah kasus dengan pendekatan
ini, dan kemudian baru diuji. Tiap modul praktik
klinik dapat menyesuaikan penerapannya
sesuai dengan situasi dan kondisi masing-
masing, dengan tetap menerapkan prinsip yang
sama.

2. DESKRIPSI PASIEN DAN MASALAH


KESEHATANNYA
Pada kotak ini, mahasiswa diharapkan dapat
mendeskripsikan inisial pasien, usia, jenis
kelamin pasien, alasan kedatangan pasien,
serta diagnosis kerja pasien/masalah kesehatan
pasien berdasarkan pengkajian masalah dari
data-data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (bila diperlukan)

3. PENDEKATAN HOLISTIK (RISK FACTOR


ASSESSMENT)
Merupakan pendekatan klinis yang mencakup
seluruh tubuh jasmani dan rohani pasien
(whole body system) dan nutrisi, tidak hanya
berorientasi pada penyakit, berorientasi pasien,
keluarga, dan masyarakat, memandang
manusia sebagai mahluk biopsikososialkultural

354 | Kedokteran Komunitas


pada ekosistemnya, serta memperhatikan
persepsi pasien terhadap kondisinya dan
persepsi keluarga terhadap kondisi pasien.
Five Family Oriented Question dapat digunakan
untuk menggali informasi tersebut.
Dari diagnosis kerja/masalah kesehatan yang
telah dikaji berdasarkan berbagai sumber data,
mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi
berbagai faktor risiko terkait dengan masalah
kesehatan pasien, ditinjau dari:
a. Faktor risiko internal
Contoh: Genetik, perilaku pasien,
persepsi dan pengetahuan pasien,
berat badan, imunitas, usia/jenis
kelamin, dan segala hal yang berasal
dari fisik, mental, dan spiritual pasien
b. Faktor risiko eksternal
Contoh: Lingkungan rumah, keluarga,
pekerjaan, sosial, atau sistem pelayanan
kesehatan yang kurang memadai
Untuk mengidentifikasi berbagai faktor
di atas, dapat menggunakan salah satu
dari model di bawah ini:
- Trias epidemiologi (Host-Agent-
Environment)
- Blum (Genetik-Perilaku-
Lingkungan-Pelayanan
Kesehatan)
- Mandala of Health
- Social Determinant of Health

4. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Merupakan aplikasi upaya 5 tingkat pencegahan
pada setiap kasus yang ditemui serta dapat
diaplikasikan kepada pasien, keluarga, dan
masyarakat baik penatalaksanaan secara
farmakologi, non farmakologi, dan edukasi yang

Kedokteran Komunitas | 355


diperlukan di setiap tingkat pencegahan.
Lima upaya tingkat pencegahan tersebut antara
lain:
a. Health promotion
b. Specific protection
c. Early diagnosis and Prompt treatment
d. Disability limitation
e. Rehabilitation
Dari diagnosis kerja dan masalah kesehatan
yang ditemukan pada pasien dan berbagai
faktor risiko terkait yang berkontribusi
terhadap terjadinya penyakit pada pasien,
maka mahasiswa diharapkan dapat membuat
rencana penatalaksanaan komprehensif secara
farmakologi, non farmakologi, dan edukasi
sesuai kebutuhan pada setiap level 5 tingkat
pencegahan, kepada pasien, keluarga, dan
masyarakat terkait kasus pasien.
Kemampuan mahasiswa untuk menetapkan
terapi farmakologis yang tepat sesuai
indikasi, dengan dosis, sediaan, dan waktu
pemberian yang tepat perlu dipastikan dalam
penatalaksanaan komprehensif ini, terutama
terkait upaya melakukan ‘prompt treatment’,
‘disability limitation’ dan ‘rehabilitation’ sesuai
kondisi pasien. Hal ini termasuk juga kemampuan
mahasiswa untuk menuliskan resep dan
memberikan edukasi cara menggunakan
obat pada pasien dan/atau keluarganya. Terapi
farmakologis juga dapat diterapkan pada upaya
‘specific protection’ seperti contoh pemberian
profilaksis pada anggota keluarga yang berisiko
tertular penyakit pasien.

5. RENCANA INTEGRASI/KERJASAMA
Dari rencana penatalaksanaan komprehensif
yang telah disusun, mahasiswa diharapkan

356 | Kedokteran Komunitas


dapat mengidentifikasi kebutuhan partisipasi
pihak lain (cth. Dokter spesialis, perawat,
fisioterapi, tenaga laboran/radiographer,
keluarga, kader, instansi lain, dll) untuk
menjamin keberlangsungan penatalaksanaan
kasus pasien.
Pelayanan terpadu/integratif merupakan
pelayanan dengan gambaran sebagai berikut:
a. Mitra kerja dengan tenaga kesehatan
lain
b. Dapat disertai rujukan bila diperlukan
c. Melibatkan keluarga
d. Penalataksanaan disepakati bersama
antara provider kesehatan-pasien-
keluarga
e. Membina hubungan kerjasama dengan
fasilitas kesehatan sekitar
f. Membina hubungan dengan dokter-
dokter spesialis untuk melakukan
rujukan dan rujukan balik
g. Membina komunikasi efektif antar
dokter dan tenaga kesehatan lain/
paramedik
h. Membahas kasus bersama secara
berkala
i. Update ilmu medis, bedah, kedokteran
komunitas
j. Sistem kerjasama konsultasi dan
rujukan
6. FOLLOW UP ATAU TARGET PENGELOLAAN
Dari rencana penatalaksanaan komprehensif
yang telah disusun mahasiswa, diharapkan
mahasiswa dapat mengidentifikasi target
pengelolaan kasus, dan melakukan follow up
untuk melihat perkembangan pasien serta
melihat perubahan kondisi dari penatalaksanaan
yang telah diberikan.

Kedokteran Komunitas | 357


7. FAKTOR PENDUKUNG
Pada kotak ini mahasiswa diharapkan dapat
mengidentifikasi berbagai faktor pendukung
baik pada pasien (cth. Koorperatif, ada
asuransi, memiliki pelaku rawat, dll), keluarga
(cth. Persepsi baik, tidak ada kesulitan
ekonomi, bersedia membantu pasien, dll),
dan masyarakat (cth. Ada fasilitas senam,
posbindu, dan puskesmas di sekitar rumah
pasien, dll) yang dapat membantu keberhasilan
penatalaksanaan pasien.

8. KESIMPULAN AKHIR
Hasil akhir perubahan kondisi pasien dilihat dari
perubahan derajat fungsional pasien dan/atau
indeks koping keluarga pasien atau perbaikan
pasien keseluruhan (cth. Gula darah terkontrol,
keluhan membaik, pola makan dan olah raga
teratur, dll)

A FAMILY-ORIENTED APPROACH TO
INDIVIDUAL PATIENTS: FIVE FAMILY
ORIENTED QUESTIONS
Kelly KC, Seaburn DB. In: McDaniel SH,
Campbell TL, Hepworth J, Lorenz A.
Family-Oriented Primary Care. 2nd Ed.
USA:Springer,2005

Identitas Pasien
Nama :
Jenis kelamin :
Usia :
Masalah kesehatan yang ditemukan:

Lakukan wawancara dengan pasien saat


pertemuan pertama untuk menggali informasi

358 | Kedokteran Komunitas


mengenai keluarga pasien. Tuliskan jawabannya
dalam bentuk narasi di bawah setiap pertanyaan.
Kumpulkan berkas bersama dengan berkas
pelengkap lainnya.
1. Riwayat penyakit di keluarga (Family
History)
(Ada/tidaknya anggota keluarga lain/
keturunan yang mengalami sakit yang sama
dengan pasien serta respons keluarga
dalam menyikapi masalah kesehatan pada
pasien)
2. Persepsi keluarga terhadap kesehatan
(Health Belief)
(Pendapat/persepsi keluarga terhadap
penyebab masalah kesehatan pada pasien
dan menurut mereka, bagaimana cara
mengatasinya)
3. Kepedulian keluarga terhadap kesehatan
(Concern)
(Anggota dalam keluarga yang memberikan
perhatian terhadap masalah kesehatan
pasien dan sejauh apa perhatian tersebut)

4. Stress dan perubahan dalam keluarga


(Family Stress and Change)
(Ada/tidaknya perubahan atau stressor lain
yang terjadi dalam diri kehidupan pasien
dan keluarga, selain masalah kesehatan
pada pasien)
5. Dukungan keluarga (Family Support)
(Dukungan keluarga atau teman untuk
membantu pasien dalam mengatasi
masalah kesehatannya; dukungan
emosional, finansial, instrumental)

Kedokteran Komunitas | 359


360 | Kedokteran Komunitas
Kedokteran Komunitas | 361
362 | Kedokteran Komunitas
Kedokteran Komunitas | 363
364 | Kedokteran Komunitas
REFERENSI
McDaniel SH, Campbell TL, Hepworth J, Lorenz
A. Family-Oriented Primary Care. 2nd Ed.
USA:Springer. 2005.
Medical Education Unit. Faculty of Medicine University
of Indonesia. Courtesy of Retno Asti Werdhani
and Community Medicine Department FMUI.
2015.
Rakel RE, Rakel DP. Textbook of Family Medicine. 8th
ed. Philadephia:Elsevier Saunders. 2011.
Rifki NN. Diagnosis Holistik Pada Pelayanan
Kesehatan Primer:Pendekatan Multi Aspek.
Jakarta:Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas. 2016.

Kedokteran Komunitas | 365

Anda mungkin juga menyukai