Anda di halaman 1dari 33

PUTUSAN

NOMOR 002/PUU-II/2021
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada


tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara
Permohonan Uji Materil Perluasan Makna Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang –
Undangan (UU P3) Terhadap Pasal 1 Ayat (3) Undang – Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
1. Nama : Iqbal Rizqi Ramadhan S.H.
Tempat/tanggal lahir : Yogyakarta, 31 Januari 1987
Jenis kelamin : Laki - laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswata
Pendidikan : Strata - 1
Alamat tinggal : Jl. Meranti No. 4, Sleman,
Yogyakarta.
Telepon/Email/Faksimili : iqbalrizqiramadhan@gmail.com.
Untuk Selanjutnya disebut
------------------------------------------------------------------PEMOHON
I.
2. Nama : Bagus Haryo Wibowo S.Sos
Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 1 Agustus 1985
Jenis kelamin : Laki - laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswata
Pendidikan : Strata - 1
Alamat tinggal : Jl. Merpati No. 5, Kebon Jeruk,
Jakarta Barat.
Telepon/Email/Faksimili : bagusharyo1@gmail.com.
Untuk Selanjutnya disebut
------------------------------------------------------------------PEMOHON
II.
3. Nama : Sulistia Javamage S.E.
Tempat/tanggal lahir : Nganjuk, 5 Juli 1988
Jenis kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswata
Pendidikan : Strata - 1
Alamat tinggal : Jl. Mawar No. 10 Nganjuk, Jawa
Timur.
Telepon/Email/Faksimili : sulistiajavamage@gmail.com.
Untuk Selanjutnya disebut
------------------------------------------------------------------PEMOHON
III.
4. Nama : Fajri Ash Shabirin S.H.
Tempat/tanggal lahir : Bali, 10 Februari 1982
Jenis kelamin : Laki - laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswata
Pendidikan : Strata - 1
Alamat tinggal : Jl. Melon No. 2, Ubud, Bali.
Telepon/Email/Faksimili : fajri_ash@gmail.com.
Untuk Selanjutnya disebut
------------------------------------------------------------------PEMOHON
IV.

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 2 Agustus 2021 memberi kuasa


kepada Ricky Irawan, S.H., M.H., yang berprofesi sebagai Advokat pada
kantor Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung dalam Kantor
Advokat dan Konsultan Hukum Indonesia Global Law Firm yang
berdomisili hukum di GP Plaza, Gelora 2 No.1, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 10270, sedangkan Kuasa Hukum lainnya yakni Serly Puspa Sari,
S.H., M.H., merupakan Kuasa Hukum Advokat dan Konsultan Hukum yang
tergabung dalam Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Indonesia Global
Law Firm yang berdomisili hukum di GP Plaza, Gelora 2 No.1, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta 10270, baik bertindak bersama-sama maupun
sendiri-sendiri:
Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------------
PARA PEMOHON;

[1.2] Membaca permohonan dari para Pemohon;


Mendengar keterangan dari para Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti dari pemohon;
Membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
Membaca keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat;
Mendengar keterangan ahli dari para Pemerintah;
Mendengar keterangan ahli dari para DPR RI;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Para Pemohon mengajukan Permohonan


bertanggal 4 Agustus 2021 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 5
Agustus 2021 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
20/PAN.MK/2021 dan telah dicatat dalam Buku Regitrasi Perkara
Konstitusi dengan Nomor 002/PUU-II/2021 pada tanggal 16 September
2021 yang kemudian telah diperiksa oleh Mahkamah dalam Persidangan
hari Kamis, 30 September 2021, yang pada pokoknya menguraikan hal –
hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Perubahan UUD NRI 1945 telah menciptakan sebuah lembaga


baru yang berfungsi untuk mengawal konstitusi, yaitu
Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), serta
Pasal 24C UUD NRI 1945.
2. Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto
Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK), bahwa salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan
pengujian undang – undang terhadap Undang – Undang Dasar
1945. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI
1945, bahwa :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar...”

3. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor


24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut UU MK,
yang menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945...”

Selain itu Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan :

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat


pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a . Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945...”

4. Selain itu, Pasal 7 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011


tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur
bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari
undang-undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan undang –
undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika
terdapat ketentuan dalam undang – undang yang bertentangan
dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan
untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang – undang.

5. Dalam hal ini Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi


(MK) melakukan pengujian Materil Perluasan Makna Pasal 8
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3) Terhadap Pasal
1 Ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi


berwenang untuk melakukan pengujian suatu Undang – Undang
terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA
PEMOHON

1. Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk


mengajukan permohonan pengujian Undang – Undang terhadap
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan
yang positif yang merefleksikan adanya kemajuan bagi
penguatan prinsip – prinsip Negara Hukum;

2. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK junto Pasal 3 Peraturan


Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Pengujian Undang – Undang menyatakan
bahwa :

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau


kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau

d. Lembaga negara.”

Selanjutnya penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang a


quo menyatakan :
“Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-
hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.”
3. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
006/PUU-III/2005 dan putusan – putusan Mahkamah
Konstitusi yang hadir berikutnya, Mahkamah Konstitusi telah
menentukan 5 syarat mengenai kerugian konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah
Konstitusi, yakni sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
yang diberikan oleh UUD 1945.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-
undang yang dimohonkan pengujian.
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi.
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara
kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
4. Bahwa Para Pemohon adalah perseorangan sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK yang hak – hak
konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga yang tidak menjadi bagian dari
Peraturan Perundang – Undangan sehingga tidak dapat direvisi
atau diajukan uji materil terkait substansinya ke Mahkamah
Agung apabila menyalahi Undang – Undang diatasnya, dalam
hal ini adalah AD/ART Partai Keluarga yang tidak sejalan
dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3).
5. Bahwa Para Pemohon adalah perseorangan sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf c UU MK yang hak – hak
konstitusionalnya mendapat kerugian immaterial dengan
diberhentikannya sebagai Ketua DPC Cabang Partai Keluarga,
serta secara spesifik dan penalaran yang wajar apabila AD/ART
Parpol tidak dapat tersentuh oleh lembaga pengujian
(Mahkamah Agung selaku penguji Undang – Undang terhadap
Undang – Undang) berpotensi tinggi terjadinya abuse of power
(penyalahgunaan wewenang) oleh elite – elite Partai Keluarga
atas berlakunya Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) Partai Keluarga yang condong hanya kepada
petinggi – petinggi/majelis tinggi dan tidak sejalan dengan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3) yang
menjunjung tinggi kedaulatan anggota partai politik.
6. Bahwa Para Pemohon adalah perseorangan sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf d UU MK yang hak – hak
konstitusionalnya telah dirugikan sebab AD/ART Partai Politik
tidak dapat tersentuh hukum karena bukan termasuk sebagai
salah satu bagian dari Peraturan Perundang – Undangan yang
mengakibatkan terbukanya peluang dan kesempatan yang besar
terhadap elite/petinggi partai untuk bertindak sesuai selera
terhadap partai politiknya.
Bahwa hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
hak dan/atau kewenangan kontitutional dengan adanya
sebagaimana yang telah didalilkan sebelumnya, PARA
PEMOHON berkeyakinan besar apabila Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materil
perluasan makna terhadap Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang – Undangan (UU
P3) dengan batu uji Pasal 1 Ayat (3) Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Indonesia
adalah negara hukum yang apabila menambahkan AD/ART
Partai Politik sebagai salah satu bagian dari Peraturan
Perundang – Undangan merupakan manifestasi keadilan kepada
setiap warga negara Indonesia sehingga hak untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi diri
PARA PEMOHON tidak hilang. Selain itu, memungkinkan
menurunnya atau bahkan tidak akan terjadi lagi dikemudian
hari terkait pencederaan hak – hak konstitusional baik secara
materiil dan immaterial kepada warga negara Indonesia yang
lain.
7. Bahwa Para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang saat
ini telah diberhentikan dengan tidak hormat (pecat/pemecatan)
karena alasan tidak sejalan lagi dengan visi dan misi Partai
Keluarga setelah ke-4 (empat) Pemohon melakukan protes baik
dalam KLB maupun melalui surat keberatan ke DPP dengan
harapan bahwa DPP membuka keran musyawarah bagi kader
terhadap pemilihan Ketua Umum baru dan DPP dari Partai
Keluarga.
8. Bahwa merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi
(yurisprudensi), sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005
tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007
tanggal 20 September 2007 dan putusan – putusan selanjutnya,
berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK
harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
yang diberikan oleh UUD 1945.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-
undang yang dimohonkan pengujian.
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara
kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan pengujian.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan demikian maka ada 5 (lima) syarat mutlak yang harus
dipenuhi dalam menguji undang-undang terhadap Undang –
Undang Dasar 1945. Syarat pertama adalah kualifikasi
Pemohon sebagai Warga Negara Republik Indonesia, untuk
bertindak sebagai pemohon sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK. Syarat kedua dengan berlakunya
suatu undang-undang hak dan/atau kewenangan konstitusional
pemohon dirugikan. Syarat ketiga, kerugian konstitusional
tersebut bersifat spesifik. Syarat keempat kerugian tersebut
timbul akibat berlakunya undang – undang yang dimohon.
Syarat kelima, kerugian konstitusional tersebut tidak akan
terjadi lagi kalau permohonan ini dikabulkan
9. Bahwa, dengan dikabulkannya permohonan a quo, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
didalilkan PARA PEMOHON tidak akan atau tidak lagi terjadi.
10. Bahwa, berdasarkan penjelasan – penjelasan yang telah
dikemukakan di atas, maka syarat legal standing sebagaimana
disebutkan dalam Putusan MK Nomor: 022/PUU-XI/2014
terhadap PARA PEMOHON dengan ini dapat dinyatakan telah
terpenuhi;
11. Bahwa, dengan demikian, telah jelas pula secara keseluruhan
bahwa PARA PEMOHON memiliki hak dan kepentingan
hukum, untuk mengajukan Permohonan Uji Materil Perluasan
Makna Pasal 8 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3)
Terhadap Pasal 1 Ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
12. Bahwa uraian di atas membuktikan bahwa Para Pemohon
(Perseorangan Warga Negara Indonesia) memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon
dalam permohonan pengujian undang – undang ini.
Berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas, maka Pemohon
sebagai warga negara indonesia benar – benar telah dirugikan hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya akibat tidak adanya
Perluasan Makna Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3) dengan
tidak mencantumkan AD/ART Partai Politik sebagai bagian dari
Peraturan Perundang – Undangan, karena hal tersebut menimbulkan
kerugian bagi para pemohon dan anggota partai politik lainnya.
Akhirnya, apabila permohonan pengujian terhadap ketentuan
Perluasan Makna Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3)
dikabulkan, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Para
Pemohon tidak lagi dirugikan. Dengan demikian, syarat kedudukan
hukum (legal standing) Para Pemohon telah sesuai dan memenuhi
ketentuan yang berlaku.

III. POKOK PERMOHONAN

1. Bahwa pemohon dalam permohonan ini mengajukan uji materil


perluasan makna Pasal 8 Undang-Undang 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Terhadap Pasal 1
Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 8 Undang-Undang 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-Undang berbunyi :

(1) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga,
atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.

2. Bahwa jika tidak adanya Perluasan Makna Pasal 8 Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang
– Undangan (UU P3) yang tidak mengikutsertakan AD/ART Partai
Politik sebagai bagian dari Peraturan Perundang – Undangan jelas
merugikan hak-hak konstitusional pemohon sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan:

‘’ Indonesia adalah Negara hukum”

3. Bahwa Penjelasan Pasal 8 Undang – Undang No.12 Tahun 2011


Tentang Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3) dengan tidak
mengikutsertakan AD/ART Partai Politik sebagai bagian dari
peraturan perundang – undangan tidak sejalan dengan Indonesia
yang bentuknya adalah negara hukum karena masih melenggangkan
elite/petinggi partai politik bertindak secara oligarki didalam
partainya, dimana ditegaskan dalam Pasal 15 UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik dan sebagaimana mengacu dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945.

Norma Pasal 8 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945

4. Bahwa eksistensi partai politik merupakan perwujudan dari hak


untuk berserikat dan berkumpul serta hak untuk mengeluarkan
pendapat secara lisan maupun tulisan. Partai politik sebagai pilar
demokrasi merupakan wujud dari sistem politik yang demokratis.
Kehancuran sebuah partai politik sebagai sebuah pilar demokrasi
dapat meruntuhkan demokrasi itu sendiri bahkan merusak sistem
politik yang demokratis.
5. Bahwa membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum
sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi
kesempatan dan peluang bagi penguasa partai politik untuk
memperlakukan partai politik sesuai dengan selera para elitenya
sehingga cita – cita untuk melembagakan parpol sebagai penentu
gerbang demokrasi menjadi semakin jauh. Jika hal ini terus
dibiarkan, harapan masyarakat terhadap semakin membaiknya
proses berdemokrasi berpeluang sangat kecil.
6. Bahwa Penjelasan Pasal 8 Undang – Undang No.12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3) dengan tidak
mengikutsertakan AD/ART Partai Politik sebagai bagian dari
peraturan perundang – undangan tidak sejalan dengan Indonesia
yang bentuknya adalah negara hukum karena masih melenggangkan
elite/petinggi partai politik bertindak secara oligarki didalam
partainya, dimana ditegaskan dalam Pasal 15 UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik dan sebagaimana mengacu dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945.
7. Bahwa terhadap anggota badan hukum partai politik telah tidak
mendapatkan/tidak diberlakukan sama di dalam hukum yang mana
hal tersebut telah dijamin dalam UUD 1945. Telah terjadi perlakuan
norma yang berbeda/tidak sama dan tidak adil diantara kedudukan
anggota partai politik keluarga.
8. Bahwa, hak atas jaminan atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 yang sudah
jelas merepresentasikan Indonesia sebagai negara hukum, yang
menyatakan bahwa, "Indonesia adalah negara hukum’’
9. Bahwa Penjelasan Pasal 8 Undang – Undang No.12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3) adalah untuk
mendorong jaminan atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum, namun tidak mengakui AD/ART Partai Politik sebagai
bagian dari pasal tersebut;
10. Bahwa konsekuensi dari Undang – Undang yang tidak berdasar atau
bersumber dari UUD NRI 1945 adalah tidak memiliki daya laku.
Dengan kata lain, Pasal 8 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3) ini tidak
memiliki daya laku apabila masih ada hak – hak konstitusional
warga negara Indonesia yang tercederai.

3. PERTIMBANGAN HUKUM (Hakim Anggota 1)

Kewenangan Mahkamah

[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal
29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076,
selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945;

[3.2] Menimbang Bahwa mahkamah konstitusi (the guardian of


constitution) sebagaimana dalam permohonan a quo bahwa mahkamah
konstitusi berwenang untuk memberikan penafsiran terhadap sebuah
ketentuan pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai
konstitusi. Tafsir mahkamah konstitusi merupakan satu satunya tafsir (the
sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum. oleh karena
itu, terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan atau
multitafsir dapat pula dimintakan tafsirannya kepada mahkamah konstitusi.

[3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para pemohon


mengenai pengujian konstitusionalitas norma undang-undang, in casu
Perluasan Makna Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Peraturan Pembentkan Perundang-Undangan Terhadap
Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Insonesia Tahun
1945. Maka mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo,

Kedudukan hukum (legal standing) para pemohon

Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta


Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan
oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;

Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian undang-undang


terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51


ayat (1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-
undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
[3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September
2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dengan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi;
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1)
UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
a. Bahwa para Pemohon menerangkan kualifikasinya dalam permohonan a
quo adalah sebagai perseorangan warga Negara Indonesia dibuktikan
dengan Kartu Tanda Penduduk
b. Bahwa norma Undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam
permohonan a quo adalah Permohonan Uji Materil Perluasan Makna
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Perundang – Undangan (UU P3) Terhadap Pasal 1 Ayat (3) Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[3.6.1] Bahwa para Pemohon dalam mendalilkan, memiliki hak
konstitusional yang diberikan UUD 1945. Menurut para Pemohon hak
konstitusional telah dirugikan dengan Makna Pasal 8 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pementukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana diuraikan diatas, dengan alasan yang
pada pokoknya:

a. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang merupakan ketua


Dewan Pemimpin Cabang DPC Partai Keluarga yang telah
menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) mengingat Ketua Umum
yang lama Dr. H. Prihatin mengundurkan diri sebelum masa jabatannya
berakhir di 2021, Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) Partai Keluarga, KLB merupakan sarana untuk mengambil
keputusan tertinggi secara darurat untuk memilih Ketua Umum,
Menyusun AD/ART Partai Keluarga dan setelah memilih Ketua Umum
dilanjutkan dengan membentuk Kepengurusan Dewan Pimpinan (DPP)
Partai Keluarga. Namun dalam penyelenggaraan KLB 2020 Ketua
Umum tidak dipilih oleh Anggota Parpol melainkan oleh majelis
Tinggi, pembahasan AD/ART pun dilakukan secara tertutup dengan
dalih sudah mendapat persetujuan Majelis Tinggi, dan begitupun yang
menjadi pengurus DPP semuanya dipilih bukan melalui proses yang
terbuka. Hal inilah yang dipandang oleh 4 (empat) Ketua Dewan
Pimpinan Cabang (DPC) Yogyakata, DKI Jakarta, Nganjuk dan Bali
anggap KLB kali ini bertentangan dengan UU No.2 Tahun 2008 dan
UU No.2 Tahun 2011 Tentang Parpol. Dimana dalam Pasal 15 UU
No.2 Tahun 2008 pada intinya menyatakan bahwa Kedaulatan Partai
Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurutAD/ART
dan Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan
kebijakan serta hak memilih dan dipilih, artinya disini Undang-Undang
Partai Politik mengakui kedaulatan anggota dan tidak mengenal
kedaulatan lembaga super body yaitu Majelis Tinggi. Ketika di protes
baik dalam KLB maupun melalui surat keberatan ke DPP dengan
harapan adanya musyawarah namun nalah diberhentikan secara tidak
hormat karena alasan tidak sejalan lagi dengan visi dan misi Partai
Keluarga. Oleh karena itu 4 ketua DPCmenempuh jalur Hukum dengan
mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta
perluasan makna kepada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
Adapun penjelasan Pasal 8 Ayat (2) UU P3: “Yang dimaksud dengan
“berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu
pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang undangan”.
Dengan dasar inilah 4 Ketua DPC ini meminta perluasan makna dalam
Pasal 8 UU P3 sehingga AD/ART semua Parpol bisa 4 digolongkan
sebagai Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang agar
setiap AD/ART yang dibentuk dengan melanggar UU Parpol bisa diuji
ke Mahkamah Agung
b. Bahwa menurut pemohon kurangnya makna “berdasarkan kewenangan
dalam Pasal 8 ayat (2) tersebut maka hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu hak untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum tersebut
dianggap telah dirugikan oleh kurangnya makna Pasal 8 Undang-
Undang P3 yang dimohonkan pengujian;
c. Bahwa di samping itu menurut para Pemohon, secara jelas dan nyata
terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
konstitusional yang berpotensi diderita oleh para Pemohon karena
kurangnya makna yang terkandung didalam Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pementukan Peraturan Perundang-
Undangan yang para Pemohon ajukan pengujian konstitusionalitasnya.
d. Bahwa berdasarkan uraian diatas, uraian perihal kedudukan hukum para
Pemohon sekaligus berlaku sebagai bagian dari argumentasi para
Pemohon dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Penjelasan
Makna Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Terhadap
Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Insonesia
Tahun 1945
Berdasarkan seluruh uraian di atas, Mahkamah berpendapat bahwa
para Pemohon telah menerangkan hak konstitusionalnya yang menurut
anggapannya dirugikan dengan berlakunya norma yang dimohonkan
pengujian, yaitu hak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum, sehingga telah tampak adanya hubungan kausal antara anggapan
para Pemohon tentang kerugian hak konstitusionalnya dengan berlakunya
norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Sebagaimana juga
diuraikan dalam kedudukan para Pemohon, bahwa para Pemohon
merupakan perorangan warga negara Indonesia yang hak untuk menentukan
kebijakan serta hak memilih dan dipilihnya dalam Partai Politik telah
dirugikan karena kebijakan yang dilakukan oleh Partai Keluarga, sehingga
jika permohonan dikabulkan, kerugian demikian tidak lagi terjadi kepada
setiap anggota partai manapun. Oleh karena itu, terlepas dari terbukti atau
tidaknya dalil para Pemohon perihal inkonstitusionalitas norma undang-
undang yang dimohonkan pengujian, para Pemohon memiliki kedudukan
hukum untuk bertindak sebagai para Pemohon dalam permohonan a quo.

[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili


permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing), maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok
permohonan;

Dalam pokok permohonan

[3.7] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah


Permohonan Uji Materil Perluasan Makna Pasal 8 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3)
Terhadap Pasal 1 Ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai
berikut (alasan-alasan selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk
Perkara) :

a. Bahwa Perluasan makna Pasal 8 mengenai “berdasarkan


kewenangan” yang mana tercantum pada Pasal 8 ayat (2)
adalah untuk lebih menegaskan Pasal 1 Ayat (3) Undang-
Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang
artinya negara mnegakkan sepremasi hukum untu
menegakkan keadilan dan kebenaran serta agar tidak ada
kekuasaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan ;
b. Bahwa, Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan”
adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang undangan, sangat
jelas telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon
karena karena AD/ART tidak menjadi bagian dari Peraturan
Perundang-Undangan sehingga tidak dapat direvisi atau
diajukan uji materil terkait substansinya, tentunya ini
bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang
artinya tidak ada kekuasaan yang tidak akuntabel apalagi jika
hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-
Undangan diatasnya.
c. Bahwa, hak-hak kontitusional Pemohon sebagai warga
negara yang tergabung dalam suatu Parpol telah dirugikan
dengan kebijakan yang diambil oleh Partai Keluarga oleh
sebab itu diminta perluasan makna Pasal 8 UU P3 agar
kebijakan-kebijakan yang melanggar Peraturan-Perundang-
Undangan dapat digugat melalui jalur hukum agar
d. Bahwa dengan Perluasan Makna Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 akan memungkinkan menurunnya
atau bahkan tidak akan terjadi lagi dikemudian hari terkait
pencederaan hak-hak konstitusional baik secara materil
maupun immaterial kepada setiap warga negara Indonesia;
e. Bahwa untuk meningkatkan derajat kesetaraan sumber daya
manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
rakyat agar tidak tercederainya hak – hak konstitusional
warga negara Indonesia terkhususnya anggota/kader partai
politik mengingat Indonesia adalah negara hukum, antara
lain dengan dibukanya upaya pengujian AD/ART ke
lembaga pengujian seperti Mahkamah Agung apabila
sewaktu – waktu terjadi penyelewengan AD/ART dalam
partai politik yang pasti dilenggangkan oleh pemimpin –
pemimpin partai itu sendiri;
f. Bahwa, dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945 Indonesia
adalah Negara Hukum.

g. Untuk memastikan bahwa anggota benar – benar berdaulat,


berbagai ketentuan yang membelenggu dan merugikan kader
dan anggota yang termuat dalam AD/ ART parpol harus
diakhiri. Caranya adalah dengan membuka peluang bagi
siapapun yang merasa dirugikan hak – haknya untuk
mengujinya ke muka pengadilan, yaitu di Mahkamah
Agung;

h. Bahwa dengan dibukanya peluang untuk men-judicial


review AD/ART partai merupakan upaya untuk memberi
perlindungan yang maksimal terhadap kepentingan anggota,
masyarakat, dan bahkan demi menjaga kepentingan bangsa
dan negara yang lebih luas, yaitu dalam rangka
meningkatkan dan memperkuat kualitas demokrasi;

i. Bahwa membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh


hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti
memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa partai
politik untuk memperlakukan partai politik sesuai dengan
selera para elitenya sehingga cita – cita untuk
melembagakan parpol sebagai penentu gerbang demokrasi
menjadi semakin jauh. Jika hal ini terus dibiarkan, harapan
masyarakat terhadap semakin membaiknya proses
berdemokrasi berpeluang sangat kecil;

j. Bahwa berdasarkan Pasal 15 UU No. 2 Tahun 2008


disebutkan bahwa :

1) “Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota


yang dilaksanakan menurut AD dan ART.
2) Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam
menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih.
3) Anggota Partai Politik wajib mematuhi dan
melaksanakan AD dan ART serta berpartisipasi dalam
kegiatan Partai Politik”
k. Bahwa dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa AD/ART Partai Politik dapat ditambahkan menjadi
bagian dari peraturan perundang – undangan.
Hakim anggota 6
[3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil permohonannya, para
Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang masing-masing
diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-4, yang selengkapnya telah
dimuat dalam bagian Duduk Perkara, serta keterangan tiga orang ahli yang
pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut
1. Bukti P-1 : UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Bukti P-2 : UU P3
3. UU No 2 Tahun 2011 atas Perubahan UU No 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik
4. AD/ART Partai Keluarga
[3.9] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan
lebih lanjut dengan mengacu pada Pasal 54 UU MK jo Pasal 25 PMK 06/15,
bahwa Mahkamah meminta keterangan Pemerintah yang berkenaan dengan
permohonan dalam hal ini disampaikan keterangan lisan dalam persidangan
pada tanggal 8 September 2021 dan keterangan tertulis pada tanggal 18 Juli
2021 yang pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut : (Dianggap
sudah dibacakan)

[3.10] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangan termohon dalam


hal ini adalah keterangan Pemerintah yang berkenaan dengan permohonan
yang disampaikan dalam persidangan tanggal 8 September 2021 termohon
dalam hal ini Presiden mengajukan keterangan satu orang ahli yang pada
pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut: (Dianggap sudah
dibacakan)

[3.11] Menimbang bahwa saksi ahli HTN/HAN menyampaikan keterangan


lisan dan keterangan tertulis yang telah diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 20 Agustus 2021 yang pada pokoknya tetap pada
pendirian semula, selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara :
(Dianggap suah dibacakan)
[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan
lebih lanjut dengan mengacu pada Pasal 54 UU MK jo Pasal 26 PMK 06/15,
bahwa Mahkamah meminta keterangan DPR yang berkenaan dengan
permohonan, dalam hal ini disampaikan keterangan lisan dalam persidangan
pada tanggal 8 September 2021 dan keterangan tertulis pada tanggal 18 Juli
2021 yang pada pokoknya mengemukakan sebagai berikut (Dianggap
sudah dibacakan)

[3.13] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangan termohon dalam


hal ini adalah keterangan DPR yang berkenaan dengan permohonan yang
disampaikan dalam persidangan tanggal 19 September 2021, termohon
dalam hal ini DPR mengajukan keterangan satu orang ahli yang pada
pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut: (Dianggap sudah
dibacakan)

Menimbang bahwa saksi ahli HTN/HAN menyampaikan keterangan


lisan dan keterangan tertulis yang telah diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 20 Agustus 2021 yang pada pokoknya tetap pada
pendirian semula, selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara :

Hakim Anggota 7

[3.14] Menimbang bahwa para Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis


yang telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 2 Oktober
2021 yang pada pokoknya tetap pada pendirian semula, selengkapnya
termuat dalam bagian Duduk Perkara, maka dalam hal ini Mahkamah
menyampaikan pendapat

Pendapat Mahkamah (Hakim Anggota 8)

[3.15] Menimbang bahwa setelah memperhatikan secara saksama dalil-dalil


para Pemohon, bahwa keseluruhan dalil para Pemohon sesungguhnya
bertumpu pada anggapan para Pemohon Bahwa Makna Pada pasal 8
Undang-Undang Nomorr 12 Tahun 2011 telah memberikan kerugian hak-
hak konstitusional meningkatkan derajat kesetaraan sumber daya manusia
Indonesia serta dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat agar tidak
tercederainya hak – hak konstitusional warga negara Indonesia
terkhususnya anggota/kader partai politik mengingat Indonesia adalah
negara hukum, antara lain dengan dibukanya upaya pengujian AD/ART ke
lembaga pengujian seperti Mahkamah Agung apabila sewaktu – waktu
terjadi penyelewengan AD/ART dalam partai politik yang pasti
dilenggangkan oleh pemimpin – pemimpin partai itu sendiri. Sehingga
dengan demikian menurut para Pemohon Makna Pasal 8 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan bertentangan Pasal 1 Ayat (3) Undang-
undang Dasar Negara Republik Insonesia Tahun 1945, Oleh karena itu,
persoalan konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah
adalah: apakah benar Pasal Makna Pasal 8 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan hak-hak konstitusional warga negara terutama para
anggota Parpol dirugikan dan Makna Pasal 8 UU P3 tersebut apakah
bertentangan dengan gagasan negara hukum.

Terhadap persoalan konstitusional tersebut, Mahkamah


mempertimbangkan
sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 8 UU P3 selengkapnya menyatakan sebagai berikut:

1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat.
2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.
Adapun penjelasan Pasal 8 Ayat (2) UU P3: “Yang
dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah
penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang undangan”

2. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Berbunyi :

“Negara Indonesia Adalah Negara Hukum.”

3. Bahwa mengenai makna kata “berdasarkan kewenangan” pada Pasal 8


Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang menurut pemohon harus diperluas
maknanya agar AD/ART dapat digolongkan sebagai Peraturan
Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang agar supaya setiap
AD/ART yang dibentuk dengan melanggar UU Parpol bisa diuji.
4. Bahwa mengenai hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan dan
dengan dikatakannya bahwa Makna Pasal 8ndang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para
pemohon, namun tidak tampak hak-hak konstitusional seperti apa yang
dimaksud. Namun berdasarkan keterangan dari saksi ahli yang
dihadirkan oleh para pemohon atas nama Dr. Dian Putri Lestari, S.H.,
M.H dengan keahlian Hukum Tata Negara. Menyatakan Bahwa UU No.
12/2011 P3 dalam tatanan peraturan perundang – undangan tidak
mengadopsi AD/ART Partai kedalam salah satunya. Namun, disini kita
juga harus mafhum bahwasannya masalah AD/ART Partai Politik dari
sisi peraturan perundang – undangan dalam hal penormaan memang
luput menjangkau serta mengatur masalah pelembagaan pranata
pengujian norma AD/ART Parpol itu sendiri, yang mana diatur lagi
dalam Undang – Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik.
Bahwa Sebagai pengamat undang – undang, secara sadar jika dilihat
secara seksama terkait ketiadaan aturan hukum (legal vacuum) yang
dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol. Jika
suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU di atasnya, maka yang
dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan (breakthrough) secara
hukum sema – mata untuk tercipta tertib norma hukum secara
berjenjang.

Dengan demikian berdasarkan uraian pada di atas, uraian perlihan


dalam dalil para pemohon mengenai Perluasan Makna Pasal 8 Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan yang merugikan hak-hak konstitusional dan dianggap
bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

Hakim Ketua

[3.16] Bahwa potensi kerugian hak-hak konstitusional para Pemohon


sebagaimana dalam dalil-dalil para Pemohon terhadap Perluasan Makna
Pasal 8 UU P3 yang tidak mengikutsertakan AD/ART Partai Politik sebagai
bagian dari Peraturan Perundang – Undangan telah mengakibatkan
hilangnya hak Warga Negara indonesia untuk mendapatkan pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum karena tidak dapat tersentuhnya AD/ART Partai
Politik oleh hukum dan lembaga pengujian (Mahkamah Agung untuk
menguji Undang – Undang terhadap Undang – Undang). Dengan demikian,
jika tidak adanya Perluasan Makna Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang – Undangan (UU P3) yang
mengikutsertakan AD/ART Partai Politik sebagai bagian dari Peraturan
Perundang – Undangan telah secara jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 yang menjunjung tinggi keadilan, demokrasi, kesempatan
dan kedudukan yang sama terhadap warga negara Indonesia, khususnya
anggota Partai Politik ini semuanya tidak beralasan hukum. Mengingat
berdsarkan keterangan Ahli yang dihadirkan Termohon Dr.Faiha
Oktrina ,S.H.,M.Hum Mengenai hak atas jaminan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil diatur secara eksplisit dalam UUD 1945
khususnya pada pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah
negara hukum.” Yang artinya menyatakan bahwa segala tatanan kehidupan
berbangsa, bermasyarakat dan bernegara adalah didasarkan atas hukum.
Berkenaan dengan pengujian pasal yang diujikan, Mengenai perluasan
Makna Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Perundang – Undangan Terhadap Pasal 1 Ayat (3) Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena dalam
Undang-Undang terutama Pasal 8 Undang-Undang No.12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Perundang-Undangan sudah sangat berpedoman
dengan UUD 1945 dengan menjamin pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum. Selain itu, dalam pembuatan serta penerapan Undang-Undang
pembentukan Perundang – Undangan terutama Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang – Undangan sudah
sangat berpedoman dengan UUD 1945 dengan menjamin pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. AD ART tidak memenuhi unsur sebagai suatu
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
2 dan Pasal 8 Undang – Undan Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Serta jika dikaitkan dengan karakteristik
AD/ART , AD/ART berlaku internal bagi suatu organisasi / badan hukum,
sedangkan peraturan perundang-undangan memuat norma yang bersifat
umum dan berlaku ke luar. Maka AD ART Parpol bukan norma hukum
yang mengikat umum, tetapi hanya mengikat internal parpol yang
bersangkutan. Selain itu, parpol bukanlah lembaga negara, badan atau
lembaga yang dibentuk oleh UU atau Pemerintah atas perintah UU.
sehingga, AD/ART tidak termasuk peraturan perundang-undangan. .

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, uraian perlihan dalam


dalil para pemohon mengenai Perluasan Makna Pasal 8 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan merugikan hak-hak konstitusional dan hak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum adalah tidak beralasan menurut hukum. Sebab tidak
tampak hal seperti apa yang dimaksud karena dalam Pasal 8 UU P3 telah
menguraikan sangat jelas dan tidak perlu perluasan makna karena sudah
jelas Bahwa AD/ART ini tidak ada satupun amanat dari Peraturan
Perundang-Undangan agar dimasukkan kedalam suatu Peraturan
Perundang-Undangan sehingga tidak akan berakibatkan hilangnya hak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum pada seseorang dan jelas bahwa
Indonesia adalah Negara Hukum karena segala hal itu berdasarkan pada
hukum.

Dengan demikian maka Mahkamah tetap pada pendiriannya


mengenai dalil para Pemohon yang mengaggap bahwa terdapat potensi
kerugian yang dialami oleh keberlakuan makna Pasal 8 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Terhadap Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara subtansinya berkaitan
dengan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan Kekuasaan
Kehakiman. Sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut
Mahkamah dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut
hukum.
[3.19] Menimbang bahwa oleh karena keterangan Dewan Perwakilan
Rakyat dan keterangan Presiden serta didukung keterangan saksi ahli yang
dihadirkan Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dalil-dalil para Pemohon
adalah beralasan menurut hukum, maka dalil-dalil lain dari para Pemohon
selain dalil yang diruaikan diatas, tidak dipertimbangkan.

[3.20] Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum diatas.


Maka Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon tidak beralasan menurut
hukum untuk seluruhnya.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan


diatas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076);

5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:

1. Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Makna Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011


Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 terutama Pasal 1 Ayat (3) dan telah memiliki kekuatan
hukum mengikat.
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri


oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Prof. Dr. BelindaTri Utami,
S.H.,M.H. selaku Ketua merangkap Anggota,

Kinanti Primassela, Sulistia Javamage, Faiha Oktrina, Bagus Haryo


Wibowo, Dian Putri Lestari, Sahid Akbar, Ricky Irawan,M.Farrel Al-Hafid,
masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal Empat, bulan
Oktober, tahun dua ribu dua satu, dan oleh sembilan Hakim Konstitusi
yaitu Belinda Tri Utami selaku Ketua merangkap Anggota, Kinanti
Primassela, Sulistia Javamage, Faiha Oktrina, Bagus Haryo Wibowo, Dian
Putri Lestari, Sahid Akbar, Ricky Irawan,M.Farrel Al-Hafid, masing-masing
sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal Empat, bulan Oktober, tahun dua
ribu dua satu, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi
terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal Tujuh Belas, bulan Agustus,
tahun dua ribu dua satu, selesai diucapkan pukul 15.40 WIB, oleh
sembilan Hakim Konstitusi yaitu Belinda Tri Utami selaku Ketua
merangkap Anggota, Kinanti Primassela, Sulistia Javamage, Faiha Oktrina,
Bagus Haryo Wibowo, Dian Putri Lestari, Sahid Akbar, Ricky
Irawan,M.Farrel Al-Hafid, masing-masing sebagai Anggota, dengan
didampingi oleh M.Fajri Ash Shabirin sebagai Panitera Pengganti, serta
dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan
Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dihadiri Pihak
Terkait/kuasanya.

Hakim Ketua Majelis

Prof. Dr. Belinda Tri Utami, S.H.,M.H.

ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.

Dr. Kinanti Primassela, S.H.,M.H. Dr. Sulistia Javamage,


S.H.,M.H.

ttd. ttd.

Dr. Faiha Oktrina, S.H.,M.H. Dr. Bagus Haryo,S.H, M.H.

ttd. ttd.

Dr. Dian Putri Lestari, S.H.,M.H. Sahid Akbar, S,H.,M.H.

ttd. ttd.

Ricky Irawan, S.H.,M.H. M.Farrel Al-Hafid, S.H, M.H.

PANITERA PENGGANTI
ttd

M.Fajri Ash shabirin, S.H

Anda mungkin juga menyukai