Anda di halaman 1dari 36

Mata Puisi

No. 16 Tahun II | Agustus 2021

503
Service Unavailable
The server is temporarily busy, try again later!

disi
E
TIS
A
www.matapuisi.com
GR
Donasi: Rp25.000
Mata Puisi NO. 16 TAHUN II | AGUSTUS 2021

Melihat jauh ke dalam kata.

Anotasi Apresiasi
Hasan Aspahani | Tak akan Ada Namaku | 4 Dedy Tri Riyadi | Membuat Peta untuk Diri
Sendri | 24-26
Petik
Maya Angelou (1828-2014) Prosopon
Joy Harjo
Prosopon Ah, Ah | 27
Khalish Abniswarin | Karasmin Pikiran dan Perasaan Ikan Tak Kasatmata | 28
|5 Puisi Elang | 28
Pasar Pagi | 6 Anugerah | 29
Obat yang Kuat | 7 Peta untuk Dunia Berikutnya | 30-31
Tutorial Menanam di Lahan Sempit | 7
Kompilasi Lagu Sedih | 8
Tears | 8 Pointe
Ke Tanjungsembilang | 9 Habel Rajavani | Pada Mulanya adalah
Terminal Basah | 10 Merasakan | 32-33

Apresiasi Klasik
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Hasan Aspahani | Satir dan Sinisme Om Jan | 11 - 14 Ajip Rosidi | Percakapan | 34

Prosopon Petik
J.E. Tatengkeng (1908 - 1968) Emily Dickinson | 35
Aku Dilukis | 14
Penumpang Kelas I | 15
Aku Berjasa |16
Mengheningkan Cipta | 17
Aku dan Temanku | 18

Prosopon
Ali Sadli Salim | Yang Terus Memelihara Anjing Liar |
19
Penerbit:
Anjing Para Pemburu | 20
Hasan Aspahani
Kamadhatu } 20
Penyunting:
Senja di Sisi Nuubi | 21
Hasan Aspahani, Dedy Tri Riyadi,
Mudarat Darurat | 22
Agus Hidayat, Salman Aristo,
Con Dolore | 22
Hikmat Darmawan, Khalish Abniswarin
Au Rebvoir | 23
Alamat:
Lelaki di Hujung Kemarau | 23
Permata Mediterania, Kluster Safir Raya No. 6,
Jl. Pospengumben, Jakarta Barat
DKI Jakarta, 11630
Email/Telepon
matapuisikita@gmail.com / 0819 02601010
Rekening Bank
8210278045 (BCA)
a/n Dhiana Daharimanoza

Manajemen
Lokomoteks Sinematra Mediaraya
Sampul: Donasi Berlangganan Rp25.000 per edisi
Desain @pabrikolase konfirmasi bukti transfer ke email kami.
Foto bebas royalti Canva.

Mata Puisi | 2
Anotasi
Hasan Aspahani

Tak akan Ada Namaku


KETIKA mereka memilih dan menyusun seratus
nama penyair, aku sedang merencanakan daftar
seratus puisi terbaik untukmu. Susah sekali
ternyata karena aku telah menulis ribuan puisi, dan
di setiap puisi itu tak hanya sekali kusebut
namamu.

Ya, tak akan ada namaku di antara seratus penyair


itu, tapi akan ada namamu di tiap larik puisiku,
kusebutkan atau tak kusebutkan, karena engkaulah
puisi bagiku, kamulah alasan bagi setiap puisi yang
kutuliskan, sejak semula aku mengenalmu hingga
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

kamu pergi meninggalkanku.

Ya, akan selalu ada namamu di semua larik puisiku,


kutuliskan atau tak kutuliskan, kamu adalah udara
bagi kata-kataku, darah bagi kalimat-kalimatku,
apa yang kuhirup masuk mengisi paru-paru,
mengalir di tubuhku, lalu kemudian harus
kulepaskan kembali, berulang kali.

Akan selalu ada namamu di seluruh bait puisiku,


kuwujudkan atau kusembunyikan, sejak kau
menerimaku, menulis puisi tentangmu adalah
menulis apa saja yang bukan kamu, dengan cara itu
ingin kupastikan banyak jejak akan tertinggal
ketika engkau pergi dariku.

KAMI menerbitkan Majalah Mata Puisi sebagai usaha untuk ikut dalam perayaan dan perjalanan panjang
puisi Indonesia. Hari ini puisi ditulis banyak orang, disebarkan di media sosial yang riuh berebut perhatian
dengan teks-teks lain. Kami ingin menampung apa yang berharga dari yang terserak itu, menyimpannya di
sini, menjadikan majalah ini semacam lumbung. Ada puisi yang dipilih dengan hati-hati, dan kami berharap
itu menjadi semacam benih yang baik - bahkan unggul - yang tersimpan di sini yang kelak menjadi bahan
sumber bagi siapa saja yang ingin membuat hibrida baru yang memperkaya cara ucap dan penggarapan
tema dalam puisi Indonesia.

Mata Puisi | 3
Petik

KATA-KATA punya
arti lebih daripada apa
yang tertulis di kertas. Ia
membawa suara manusia
lalu menginfusnya
dengan makna yang
lebih dalam.

Maya Angelou (1928-


2014)

Mata Puisi | 4
Prosopon
Khalish Abniswarin

Karasmin
Pikiran dan
Perasaan
MANUSIA sesekali perlu asyik dan sibuk
dengan diri sendiri. Menengok ke dalam, juga
ke belakang. Bergelut dengan kenangan,
masa lalu yang remeh, peristiwa personal
yang kerap kali terlewatkan demi kesibukan
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

dan hal-hal yang bagi umum tak penting.


Apabila kebutuhan itu datang, puisi
menyediakan diri untuk melayani.

Khalish Abniswarin menikmati benar saat


bersendiri - bersama puisi - itu, tanpa harus
benar-benar terpisah dari kesibukannya
sebagai pamong praja. Hasilnya adalah
permainan yang girang tapi juga gundah,
sebuah karasmin perasaan dan pikiran.

Khalish Abniswarin, lahir di Handil Baru Kec.


Samboja 22 Februari 1975. Anak seorang guru
yang lucu dan ibu yang pintar memasak. Ia
tumbuh dan menua pada akhirnya menjadi
seorang abdi negara yang jenaka dan suka
makan. Sujud Sebelas Bintang buku puisi
pertamanya terbit 2017 disusul buku kedua
Batumbang Apam, 2021. Camat Samboja sejak
2019 -2021. Dan saat menjabat Kepala Bidang
di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab.
Kutai Kartanegara.

Mata Puisi | 5
Prosopon

Khalish Abniswarin
Pasar Pagi

Ia bercita-cita jika kelak tutup usia. Berita kematiannya dipampang di tengah kota.
Di sebuah baliho raksasa.

Dunia dipenuhi permainan yang menipu dan video lucu.


Anak muda milenial tidak gampang diajak berduka cita.
Hanya gambar bunga tanpa air mata. Stiker murah dari aplikasi gratis sudah cukup
mewakili ucapan bela sungkawa.

Di bawah baliho besar itu. Penjual ayam merapikan cambang dengan sebilah pisau.
Dua ekor ayam jago duduk lesu. Bernaung di sobekan kardus dengan tulisan dijual cepat
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

dan murah setelah kalah diadu.

Perempuan dengan tutup kepala seperti siput. Kalung dengan liontin buah anggur
menutup lehernya yang mulai keriput. Tawar menawar dengan tukang kemasan. Gelang
besar puluhan gram itu tampaknya akan segera tampil di Facebook dan Instagram.

Lampu merah dan menara masjid raya. Baju takwa, kopiah dan sarung tenun Samarinda.
Pusat perbelanjaan yang tak lagi mesra. Masih jadi pilihan bagi mereka yang percaya
tuhan selalu memberi jalan.

Aku menyusuri pasar pagi. Melacak harum melati. Mengenang kelopak kenanga.
Di pelepah batang pisang. Bayanganmu tak pernah usang.

Mata Puisi | 6
Prosopon

Khalish Abniswarin
Obat yang Kuat
Setelah lelah mendaki malam. Kita turun dari ranjang. Seperti gerimis pelangi bagi
bidadari. Adalah isyarat wajib untuk mandi.

Hujan turun dua rakaat. Tunjukilah pagiku ini. Dalam selimut keringat ia masih saja
mengigau dan tersesat.

Telah tunai cinta ditunaskan. Pejantan menikmati sarapan. Madu dan telur ayam
kampung setengah matang adalah modal menghadapi hidup yang penuh pergulatan.
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Khalish Abniswarin
Tutorial Menanam di Lahan Sempit
Meski malam begitu luas.
Di lahan sempit
Kita mesti belajar bercocok tanam.

Lihatlah dinda.
Pekaranganmu dipenuhi gulma.
Malam ini di sela-selanya aku ingin bermain halma.

Selepas salat isya


Kulihat kau melepas mukena
Sementara di layar kaca
Prakiraan cuaca mengumumkan
Air sungai bangai dan masa subur telah tiba.

Mata Puisi | 7
Prosopon

Khalish Abniswarin
Kompilasi Lagu Sedih
Semusim semu.
Semasam jemu.
Bulan di atas ember. Gerimis berlimpah sejak bulan november.

Perempuan bercadar. Menunggu liuk tango dan getar gitar. Bryan Adam bertanya, apakah
kau pernah benar-benar?

Meniduri duri. Bermimpi bidadari. Bon Jovi terkapar. Di atas ranjang mawar.
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Bagaimana bisa tegar. Mendengar suara lembut Nella Regar. Hujan jatuh menyentuh tahi
lalat Rano .
Kesedihan tak mengenal hari minggu.
Jangan lagi kau menangis untukku

Khalish Abniswarin
Tears
Bagaimana cara menerjemahkan kata
yang bisa kau ucapkan lewat mata?
Mengapa duka itu membuat kita
dehidrasi,? Lalu kita perlu air mata
untuk menyirami kepedihan.
Aku haus. Tak ada soda gembira.
Hanya seseduh kesedihan.

Mata Puisi | 8
Prosopon

Khalish Abniswarin
Ke Tanjungsembilang
Ke sinikah kita menghentikan kayuh.
Melupakan burung enggang dan ulak jeram yang jauh.
Di muara selat ujung perahuku menikam.
Meraba napas terakhir arus mahakam.

Anak nelayan mengumpulkan hatap nipah yang hijau.


Sekelompok berijing menata ranjau.
Bagantar turus
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

runtuh rumah burung tinjau.

Anak nelayan yang kurus mengingat-ingat cara ibunya memasak cumi-cumi.


Cairan hitam ini bukan lagi milik kita.
Kita relakan ia mengalir ke tenggorokan negara.
Mengenyangkan perut dunia.

Di malam hari anak-anak nelayan


ke luar dari kampungnya.
Di layar kaca mereka melihat laut menelan orang-orang kaya.
Kapal pesiar yang tak akan pernah lewat di depan rumah mereka.
Di pinggiran selat makasar.

Anak nelayan mengenang teman perempuannya yang mati tenggelam.


Sepulang dari nonton video
angin meniupkan wangi Kate Winslet ke perahu
Tiba-tiba aku ingin memelukmu.

Mata Puisi | 9
Prosopon

Khalish Abniswarin
Terminal Basah
Tubuhku terminal basah.
Hujan datang sebentar lalu berangkat.
Menuju kota lain yang aku hafal dari lagu koplo pengamen Solo.

Bangku tunggu berulang tahun.


Lilin membakar warna rambutnya.

Hanya putih abu yang tersisa dari usia.


Ia adalah waktu yang masih belajar untuk setia.
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Tubuhku saung dan susunan daun.


Kumpulan kisah rumbai rumbia.

Daun lontar yang mencatat tujuh warna.


Setiap kali pelangi menghamburkan krayon pada langit
dan pematang sawah yang berkaca-kaca.

Di batang paring yang terbelah dua.


Ibu mengucuriku doa-doa.

Mata Puisi | 10
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Apresiasi

Oleh Hasan Aspahani


Sinisme
Om Jan
Satir dan
Apresiasi
J.E. Tatengkeng (1908 – 1968)

Satir dan Sinisme Om Jan


Oleh Hasan Aspahani

Kusuka hidup! Gerakan sukma, Meski ia sebut itu sebagai “penyelidikan


Yang berpancaran dalam mata, sastra”.
Terus menjelma,
Ke-Indah-Kata. Sikap itu tergambar jelas dalam esainya
yang penting “Penyelidikan dan
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(“Sukma Pujangga”, J.E. Tatengkeng) Pengakuan”, 1935. Esai yang ia tulis di


Waingapu, Kupang itu, adalah pernyataan
kepercayaannya pada bahasa dan sastra
SEORANG sinis adalah seorang idealis yang Indonesia, yang kala itu masih berupa
kecewa. Sebagai penyair Jan Engelbert ‘tumbuhan kecil’ yang ‘menjanjikan
Tatengkeng barangkali adalah orang kembang yang indah permai’! Tatengkeng
demikian. Sahabat-sahabatnya menerjunkan diri mengikut ‘gerakan
mengenangnya sebagai sosok yang ramah, sukma’, untuk membantu menyuburkan
banyak cerita, suka melucu, dan doyan tumbuhan bernama sastra itu.
makan kacang.
“Jangan orang berkata seni itu tidak perlu!”
Hingga ia meninggal pada 6 Maret 1968, pada katanya. Filsafat seni Tatengkeng adalah
usia 61 tahun di Makassar (ia lahir di filsafat keindahan, manusia
Kolongan, Sangihe, pada 19 Oktober 1907), ia memerlukannya, dan puisi
tetap demikian, tapi sajak-sajaknya berubah. mencukupkannya. Tapi keindahan itu
harus dikembangkan, terus ditumbuhkan,
“Sejak 1949 sajak-sajaknya bersifat sinis,” dirawat, dan disuburkan, karena itu, dan
kata H.B. Jassin. Ia menduga itu karena Om untuk tu Tatengkeng meyakini, kritik
Jan – demikian banyak kerabatnya sastra diperlukan.
mengakrabinya – sering melihat kenyataan
dalam masyarakat dengan perasaan tidak Kepercayaannya dan kebanggaannya pada
puas. “Tapi sinisme Tatengkeng adalah bahasa bisa dilihat dalam dua kuatrin yang
sinisme yang halus,” tambah Jassin. secara terpisah dalam lampiran surat yang
ia kirim ke dua sahabatnya, Yogi dan
Idealisme Om Jan, dalam hal sastra berwujud Takdir. Untuk kepraktisan kedua sajak
kebanggaannya pada bahasa Indonesia, dan berjudul sama itu saya gabung dan saya
yang langka di kalangan penyair sebelum beri nomor. Barangkali keduanya bagian
Pujangga Baru adalah kepecayaannya pada dari surat bertahun 1935 yang ia kirim ke
perlunya kritik. Pujangga Baru.

Mata Puisi | 12
Apresiasi Satir dan Sinisme Om Jan
Bahasaku
puisi dan gerakan sastra bermula di kota
I itu. Ia berteman dengan Amir Hamzah,
Kepada Yogi sang pangeran dari Barat dan kelak menjadi
Raja Pujangga Baru.
Kukasih engkau, berkelebihan
Dalam kehalusan dan kemanisan Mungkin, bersama Amir Hamzah-lah,
Akan membawa rindu – keluhan Tatengkeng mempelajari puisi-puisi
Dan mengalirkan air tangisan Belanda dari kelompok 80-an itu. Ia sempat
memimpin surat kabar Rindoe Dendam, di
II mana ia menyiarkan sajak-sajaknya. Nama
Kepada S.T. Alisyahbana surat kabar itu, yang kelak pada 1934 ia
pakai sebagai kumpulan sajaknya yang
Dia mengalir memancar terang, pertama.
Dia meloncat menitik beribuan,
Bersiaran bersinar cemerlang, Tatengkeng lalu tenggelam dalam tugas,
Mengelipkan warna berganti-gantian dan waktunya tersita aktivitas politiknya.
Ia pernah menjadi menteri bahkanp
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Kepada Yogi, Tatengkeng menyatakan perdana menteri NIT pada masa perang
kepercayaannya pada bahasa Indonesia, yang kemerdekaan. Karya-karyanya tak muncul
halus dan manis, yang mampu menjalankan lagi, kecuali sedikit yang disimpan oleh
fungsi ekspresi-estetis. Kepada Takdir – sang Jassin, sajak=sajak bertahun 1950-an.
insinyur bahasa itu – ia menegaskan
keyakinannya akan kemampuan bahasa Lima sajaknya berikut ini memang amat
Indonesia menjadi bahasa yang lancar, jelas, berbeda dengan sajak-sajaknya yang
menjadi bahasa yang kuat dan selama ini kita kenal. Jassin benar, ada nada
memungkinkan berbagai cara untuk sinis terasa. Ia terasa kecewa pada banyak
mengucapkan banyak hal. hal, juga pada sistem dan situasi sosial yang
justru memberinya previles. Dalam hal
Takdir percaya pada kritik. Ia percaya yang bentuk dan rasa bahasa, ia juga telah jauh
menyebabkan pantun, syair, dan puisi lama meninggalkan gaya Pujangga Baru itu.
yang lain mengalami kelemahan dan Perhatikan sajak terakhir dari rangkaian
kelayuan, menurutnya karena tidak adanya sajak yang kami tampilkan ini.
kritik yang ditujukan kepadanya. Hal itu
berarti bahwa puisi lama tadi harus diberi Sajak yang terbit di Siasat, 16 November
kritik-kritik demi kebaikannya. Dan kritik 1952, berjudul “Mengheningkan Cipta” itu,
paling keras apa lagi kalau bukan menulis ia tulis untuk mengenang Cornel
sajak dengan semangat isi dan bentuk yang Simanjuntak. Ia menulis: Kini, / katamu
baru. Maka ia – seperti rekannya sezaman, menjadi pengisi buku / disusun guru / yang
dan seide – menulis soneta. tidak mengerti sedikit / pesanan jiwamu; /
namamu tercatat – no. 115 – / sebagai
Sebagai putra seorang guru Injil, kepala pahlawan seni / dalam daftar resmi /
sekolah zending, Tatengkeng memanfaatkan kepunyaan jawatan kebudayaan.
benar kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan formal, hingga ke sekolah guru Tatengkeng tak berubah, sesungguhnya, ia
Christelijk Hogere Kweekschool di Solo. sedang menjelmakan “gerak sukma”-nya.
Ia kesal karena sejarah perjuangan orang
Ketertarikan dan keterlibatannya dalam yang berjasa tak diberi harga yang pantas.

Mata Puisi | 13
Apresiasi
Tapi, mana “indah kata” yang dulu ia sebut Karena itu mungkin tak lagi banyak menulis
dalam sajak “Sukma Pujangga”? Ia yang puisi. Bahkan berhenti sebagai penyair yang
percaya kritik kini mengkritik kecewa, yang akhirnya hanya bisa mengadu
kepercayaannya sendiri. Sajak-sajak pada sahabat-sahabatnya yang mengerti dan
sinisnya, memerlukan tenaga lain. Jalan yang telah mati, dengan sinis. Roti manis dan
satirlah yang harus ia tempuh. Keindahan lemper diedarkan orang / acara no. 14 /
baginya sepertinya adalah mengucapkan apa Untunglah engkau sudah mati / tidak melihat
yang benar, bukan lagi dayu-dayu kata nan mendengar / pertunjukan ini.
membuai itu.
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Prosopon J.E. Tatengkeng (1908 – 1968)


Aku Dilukis
Olehnya aku disuruh
duduk di terang matahari

Aku merokok dan membaca


menahan panas
tapi senyum tetap ada

Kacamata hitam aku pakai


untuk menutupi jiwa

Tangan pelukis bergerak


sedang teman-temanku
tak berhentinya makan
kacang goreng

Di atas kertas
Aku lahir
persis seperti pamanku
yang punya bungalow
puas, sangat puas.

Bali-Candikuning, 28 April 1951

Sumber: Arsip PDS HB. Jassin.

Mata Puisi | 14
Prosopon

J.E. Tatengkeng (1908 – 1968)


Penumpang Kelas I
Sampai umurku 30 tahun
aku selalu menumpang dek
Kini, berkat perjuangan temanku
dan penyerahan kedaulatan
aku penumpang kelas I

Aku salah seorang


barisan pegawai peninjau
yang mondar mandir
dari pulau ke pulau
membangun tanah air.
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Saban malam di salon main brigde


dan minum bir
dan marah-marah sama pelayan.

Aku tak pernah tulis laporan.

Aku turun ke darat,


Aku bayar sesuku pada buruh
dalam bulan Mei tanggal 1.

2-5-’51

Sumber: Arsip PDS HB. Jassin.

Mata Puisi | 15
Prosopon

J.E. Tatengkeng (1908 – 1968)


Aku Berjasa
Sebab aku pernah bersekolah dagang
maka tugasku dalam perjuangan kebangsaan
meruntuhkan kapitalisme
dan ekonomi penjajahan

Aku membangun perdagangan nasional;


saban hari beli susu di tangsi
dan menjualnya di rumah sakit;
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

begitulah dagangku bersifat amal.

dan olehnya hidup bangsa naik setingkat,


aku beli lemari es dan mobil…
tapi oleh polisi penjajah aku ditangkap,
dituduh mencatut dan berdagang gelap.

Tiga bulan aku berkorban dalam penjara


tahun 50 aku dibebaskan
dan disambut khalayak sebagai pahlawan

Perjuanganku, pengorbananku, jasaku


seluruhnya dihargai orang
Aku dijadikan walikota P.G.P 6d

Tapi kini padaku barulah nyata,


betapa sukar membimbing
dan mengatur bangsa kita
wanita siapa harus duduk di samping
Aku, dalam jaman nasional?

Sumber: Siasat, 6 Januari 1952.

Mata Puisi | 16
Prosopon

J.E. Tatengkeng (1908 – 1968)


Mengheningkan Cipta
Enam tahun lalu engkau mati,
sungai di sisi liang kuburan,
hanya tiga orang temanmu
berdiri memegang tongkat.

Kini,
katamu menjadi pengisi buku
disusun guru
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

yang tidak mengerti sedikit


pesanan jiwamu;
namamu tercatat – no. 115 –
sebagai pahlawan seni
dalam daftar resmi
kepunyaan jawatan kebudayaan.

Dalam malam ramah tamah


sambil lalu
acara no. 12
orang mengenang jasamu;
saat itu pembesar-pembesar negara
ramai menyebut-nyebut namamu.
“Mengheningkan cipta”
komando tukang protokol
semua tunduk, senyum
dan mengerling keliling
“Selesai”

Roti manis dan lemper diedarkan orang


acara no. 14
Untunglah engkau sudah mati
tidak melihat mendengar
pertunjukan ini.

Sumber: Siasat, 16 November 1952.

Mata Puisi | 17
Prosopon

J.E. Tatengkeng (1908 – 1968)


Aku dan Temanku
Tak ada suatu makhluk
padanya aku takluk
Di atas batu hitam
Di ujung tanduk
aku berdiri
seorang diri
menantang gelombang
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

menggertak guruh
membenamkan rasa
mematikan cinta

Gadis manis
anak penyelundup kopra
tersenyum dalam perahu
aku bunuh
dalam hatiku.

Temanku
ikan kecil hijau kuning
bermai-main di tengah karang
mengerling
padaku.

Sumber: Indonesia, Agustus/September 1953

Mata Puisi | 18
Prosopon
Ali Sadli Salim

Yang Terus
Memelihara
AnjingLiar
ANTARA merusak dengan eksploitasi atau
menyelaraskan diri agar sama-sama
bertahan dan lestari, ia memilih yang
kedua. Antara maju melawan atau
mengelak pertempuran dia memilih
menepi untuk meraih kemenangan yang
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

lain. Ali Sadli Salim menulis sajak-


sajaknya dengan tema alam yang ia hayati
dan ia cintai dan dia sadari benar sebagai
manusia di adalah bagian dari semesta itu.
Manusia yang harus menghadapi iklim
yang berubah tak tentu, yang masih
memelihara anjing liar dalam dirinya yang
sesekali hendak ia lepaskan,
menggonggong ketidakneresan situasi dan
mendengus pada ketidakbecusan keadaan.

Ali Sadli Salim, lahir dan menetap di Sei


Raden,Samboja, Kutai Kartanegara, Kaltim,
1978. Bertani dan beternak sambil
mengelola Komunitas Taman Bacaan dan
Rumah Latihan (Macandahan).
Prosopon
Ali Sadli Salim
Kamadhatu
Jam nol kosong kosong
hawa turun, serendah tabiat
di bawah akar rumput.

Baik dan buruk


seumpama pinang dibelah.

Tafsir kita kacau


pikiran -pikiran kita meracau.

Tanah yang harusnya suci


disucikan lagi air mengalir
Ali Sadli Salim tumpah ke selokan.
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Anjing Para Pemburu Sisa-sisa permufakatan


di balik tangan sepaham.
Ada anjing dalam tubuhku
menggonggong pada ketidakberesan Tumbal dipersiapkan,
situasi. digiring dan dipuaskan
sebelum diburu
Tapi ia terkekang. dan dirajam peluru.
Rasa lapar, Jejak dusta disamarkan
belumkah cukup ia menjadi liar? kejujuran ditianggantungkan.
Ada anjing dalam kepalaku Kita masih berkutat pada waktu
mendengus pada ketidakbecusan semakin pudar mundur
keadaan. ke ruang sempit itu.
Tapi ia terkurung. Betapa,
kita telah keluar
Rasa bosan, tapi masih di dalam.
Belumkah sanggup ia menanggalkan
kenyamanan? Sungairaden, 2021.
Aku rindu,
anjing-anjing liar di tubuhku
berkeliaran berburu
meluas di padang bebas.

Sungairaden, 2021

Mata Puisi | 20
Prosopon

Ali Sadli Salim


Senja di Sisi Nuubi
Di anjungan sumur migas
lepas pantai Delta Mahakam
di laut yang sama, langit senja.
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Kabarkan pada daratan,


aku masih baik-baik saja.

Setelah badai, sayap camar


bertahan rentang tenang
bermain kecipak
ikan anak.

Ombak tak seberapa gejolak


menandai waktu berganti.

Magrib segera
biarkan rindu bertaut
pada dahi dan bumi
saat sujud.

Sungairaden, 2021.

Mata Puisi | 21
Prosopon

Ali Sadli Salim


Mudarat Darurat
Tuhan, sedekat ini kita
tapi kota-kota kami membangun dinding.
Meninggikan sekat,
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

mengikat dengan ketat.

Di Rumahmu, barisan tak rapat lagi.


Sebab ajal cuma sejengkal.

Tuhan, segerakanlah hujan


mandikan bumi, mandikan kami
agar terkumbah
mudarat ini.

2021.

Ali Sadli Salim


Con Dolore
Kita, hanya bayangan,
pertemuan dan kenangan.
Kelopak kering beterbangan.

Kita, hanya pikiran,


doa dan harapan.
Saling berhadap-hadapan.

Sungairaden, 2019

Mata Puisi | 22
Prosopon

Ali Sadli Salim


Au Revoir
Dalam kenangan wara
Ya, cukup dalam bayangan saja.

Tak perlu menjuntai tawa


ahwal cinta tak bermuara.

Sungai Raden, 2019


Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Ali Sadli Salim


Lelaki di Hujung Kemarau

Ketika jatuh hujan pertama


pada musim kemarau kali ini
aku tak ada di sampingmu.

Ini hanya hujan sela.

Tapi cukup menggigilkan


karena angin musim selatan
tak seharusnya datang membawa awan.

Tahukah engkau?

Esok, hujan–hujan berikutnya


datang dengan gegar gelugut
yang lebih keras kepala.

Dan di puncak rindu itu


airmata kita membatu.

Bersiaplah, engkau tanpa aku.

Balikpapan, 2018.

Mata Puisi | 23
Apresiasi

Membuat
Peta untuk
Diri Sendiri
Dedy Tri Riyadi
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

PEMIKIRAN bahwa sikap dan posisi diri sebagai penulis


memang penting untuk memulai, meski bisa juga
diabaikan. Alasan saya mengemukakan hal ini, semata
sebagai sumbang saran juga pengingat bagi diri sendiri,
bahwa di samping teori kepenulisan, ada baiknya kita
mencoba mengambil sudut pandang yang begitu jelas
bagi diri sendiri untuk memandang semua persoalan.
Esai ini adalah pengantar apresiasi untuk sajak-sajak
yang saya terjemahkan untuk Mata Puisi o. 16, Agustus
2021.

Joy Harjo lahir 9 Mei 1951) adalah penyair, musisi,


dramawan, dan penulis Amerika. Dia adalah sedang
menjalani peran sebagai Poet Laureate Amerika Serikat.
Dia orang asli Amerika pertama yang memegang
kehormatan itu. Dia juga poet laureate kedua yang
menerima tugas dari Library of Congress itu tiga kali.
Apresiasi

Membuat Peta untuk Diri Sendiri


Dedy Tri Riyadi

LEPAS dari soalan mengerti, memahami, dan Dalam puisi yang ditujukan pada cucunya,
memegang teguh teori-teori mengenai puisi dan Desiray Kierra Chee, yang berjudul “A Map to the
menulis puisi, seorang penyair hendaknya mau Next World” di sana ada dituliskan; The map
meneliti terlebih dahulu ke dalam dirinya; hal must be of sand and can’t be read by ordinary
apakah yang membuat ia harus menuliskan puisi. light. It must carry fire to the next tribal town, for
Apakah menulis puisi sekadar memberi laporan renewal of spirit - yang seolah memberi tautan
pandangan mata atau menorehkan perasaan atas pada kisah leluhur mereka dan juga
apa yang terjadi pada hari-hari ini, atau memang keberlangsungan hidup sebagai bagian dari
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

ia memiliki agenda tersendiri bahwa menulis masyarakat Native American. Meski demikian,
puisi menjadi suatu keluaran dari kegelisahan pada puisi tersebut, diakhiri dengan perkataan;
yang ia rasakan berkenaan dengan diri, You must make your own map – yang berarti
lingkungan baik dalam arti sempit keluarga, atau adanya kebebasan untuk menentukan nasib diri,
dalam arti luas sebagai anggota masyarakat, mau meneruskan atau mengingkari garis darah
suku, bangsa, sampai pada keadaan negara yang dan sejarah itu nanti.
dirisaukannya.
Jika kita memerhatikan kondisi di Indonesia,
Joy Harjo, misalnya, banyak menuliskan tentang sebenarnya banyak hal yang belum selesai dan
lanskap di Amerika bagian barat daya, tenggara, diselesaikan sejak kemerdekaan; belum adanya
Alaska, dan Hawaii, karena ia memosisikan pihak yang merasa harus bertanggungjawab dan
dirinya sebagai bagian dari kebudayaan meminta maaf dari penghilangan paksa di tahun-
penduduk asli Amerika. Dalam satu kesempatan, tahun antara 1965 sampai 1968, lanjut pada
ia mengatakan,” Saya merasa sangat dekade 80-an, dan memuncak pada tahun ’98,
bertanggungjawab pada semua sumber yang friksi-friksi yang pernah terjadi di Aceh, di Timor
membentuk saya: masa silam dan masa depan dan yang sedang berlangsung di Papua,
dari leluhur saya, negara saya, ke semua tempat ketimpangan pembangunan, pengalihan hutan
di mana saya singgah yang akhirnya membentuk lindung dan hutan masyarakat adat demi
saya, kepada semua suara, perempuan, suku tambang dan perkebunan, belum lagi gesekan
saya, rakyat, tanah, dan hal-hal yang melampaui yang terjadi masyarakat karena perbedaan
apa yang sudah dimulakan dan diakhiri.” Salah agama dan kepercayaan, ekonomi, dan lainnya.
satu puisi Joy Harjo yang berjudul, “Ah, Ah” Hal-hal seperti itu seharusnya membuat kita bisa
ditujukan kepada Lurline Wailana McGregor, menentukan pijakan hendak sebagai apa kita
seorang perempuan yang meskipun berasal dari sebelum memutuskan untuk menuliskannya,
keturunan campuran Cina, Skotlandia, dan entah di dalam puisi, atau karya sastra lainnya.
Jerman, tetapi merasa sebagai dan selalu
mewakili Hawaii, dan penduduk kepulauan Dalam puisi yang ditujukan pada cucunya,
Pasifik. Selalu ada hal dari setiap puisi Joy Harjo Desiray Kierra Chee, yang berjudul “A Map to the
yang bisa ditarik pada “tanggungjawab” yang ia Next World” di sana ada dituliskan; The map
sebut itu. must be of sand and can’t be read by ordinary
light.

Mata Puisi | 25
Prosopon Membuat Peta untuk Diri Sendiri
It must carry fire to the next tribal town, for Kondisi yang belum benar-benar selesai dari
renewal of spirit - yang seolah memberi tautan setiap soalan yang terjadi di negara ini,
pada kisah leluhur mereka dan juga dipadatkan. Negara yang adalah tanah tumpah
keberlangsungan hidup sebagai bagian dari darah, cinta, yang di puisi ini ditulis sebagai
masyarakat Native American. “hatiku” (cinta selalu berlambang hati, bukan?)
tidak pernah berhenti membuat hatiku (ini hati
Meski demikian, pada puisi tersebut, diakhiri penulisnya sendiri) patah.
dengan perkataan; You must make your own
map – yang berarti adanya kebebasan untuk Dan karena tidak pernah selesai setiap
menentukan nasib diri, mau meneruskan atau persoalannya, bahkan nyaris berulang, seperti
mengingkari garis darah dan sejarah itu nanti. ketegangan antara masyarakat (adat,
konservasi) dengan kepentingan ekonomi
Jika kita memerhatikan kondisi di Indonesia, (tambang, kebun, bendungan, jalan, dll.), sampai
sebenarnya banyak hal yang belum selesai dan dengan kekerasan yang mengiringinya, kita jadi
diselesaikan sejak kemerdekaan; belum adanya selalu mengalami de javu, sepertinya hal ini
pihak yang merasa harus bertanggungjawab dan dulu pernah terjadi, kok terjadi lagi?
meminta maaf dari penghilangan paksa di tahun-
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

tahun antara 1965 sampai 1968, lanjut pada Pada puisi yang judulnya menjadi judul buku
dekade 80-an, dan memuncak pada tahun ’98, kumpulan puisinya, M. Aan Mansyur juga
friksi-friksi yang pernah terjadi di Aceh, di Timor menulis; mengapa orang kota bersandar pada
dan yang sedang berlangsung di Papua, humor / untuk bisa bertahan hidup & mengapa
ketimpangan pembangunan, pengalihan hutan orang desa / harus bertahan hidup untuk bisa
lindung dan hutan masyarakat adat demi tertawa? Yang tentu ini menyentil ketimpangan
tambang dan perkebunan, belum lagi gesekan (ekonomi) antara pusat dan daerah, kota dan
yang terjadi masyarakat karena perbedaan desa, yang juga memerlihatkan budaya atau
agama dan kepercayaan, ekonomi, dan lainnya. sikap yang berbeda yang ditunjukkan dalam
media, semisal tersangka koruptor yang bisa
Hal-hal seperti itu seharusnya membuat kita bisa tersenyum (bahkan tertawa) tak lama setelah ia
menentukan pijakan hendak sebagai apa kita dicokok KPK lalu mengatakan bahwa ia sedang
sebelum memutuskan untuk menuliskannya, diuji Tuhan, betapa menggelikan, bukan?
entah di dalam puisi, atau karya sastra lainnya.
Pemikiran bahwa sikap dan posisi diri sebagai
Lain lagi dengan M. Aan Mansyur yang pada buku penulis memang penting untuk memulai, meski
“Mengapa Luka Tak Memaafkan Pisau” tidak bisa juga diabaikan. Alasan saya
sekadar memotret karut marut negara seperti mengemukakan hal ini, semata sebagai
yang saya sebut di atas dengan puisi pendeknya sumbang saran juga pengingat bagi diri sendiri,
ini. bahwa di samping teori kepenulisan, ada
baiknya kita mencoba mengambil sudut
NEGARA pandang yang begitu jelas bagi diri sendiri
untuk memandang semua persoalan. Tentu,
hatiku tidak pendapat seperti ini juga sangat mudah untuk
berhenti mema- dibantah!
tahkan hatiku.
halo, tahun Jakarta, Agustus 2021
berapa kamu
hari ini?

Mata Puisi | 26
Prosopon

Joy Harjo
Ah, Ah

untuk Lurline McGregor

Ah, ah jerit gagak melayang naik ke arah langit berat


di atas pantai. Mendarat ia pada mahkota pokok palma.

Ah, ah tampar teluk mendesak laut berenang melalui celah


karang. Kita mendayung perahu-perahu sampai ke tepian garam.
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Ah,ah merintih para pendayung yang letih, angin mengiris


kulit. Kita tercekat di kursi. Burung pelikan hinggap di
anjungan mencari ikan.

Ah, ah memompa paru-paru kita saat berpacu dengan gelombang.


Meski ada dunia di atas dan di bawah kita, tapi kita laju
lurus ke muka.

Ah, ah jelas jejak pesawat jadi jejas di langitan -- jauh


dari perairan ini. Setiap gerak mendayung mengikuti arus dari
sejangkau sampai melepaskannya.

Ah, ah memanggil matahari dari perahu nelayan dengan layar


kuning pucat. Kita melayang pada saat kembali, melampaui
jaring keabadian yang dilempar jauh bagi gemintang.

Mata Puisi | 27
Prosopon
Joy Harjo
Ikan Tak Kasatmata

Ikan-ikan tak kasatmata berenang di lautan hantu saat ini


digambarkan dengan ombak pasir, dengan batu yang terkikis air.
Segera ikan-ikan itu akan belajar berjalan. Kemudian manusia
akan mendarat dan melukis mimpi di atas batu yang sekarat.
Kemudian nanti, jauh di kemudian hari, dasar laut akan dipenuhi
dengan truk Chevy, yang membawa keturunan si pemimpi, yang
akan pergi berbelanja.

Joy Harjo
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Puisi Elang

Untuk berdoa kau buka seluruh selubung dirimu


Pada langit, pada bumi, pada matahari, pada bulan
Pada satu suara penuh yaitu dirimu.
Dan mengetahui ada yang lebih
Yang tak bisa kau lihat, kau dengar;
Tak dapat kau ketahui kecuali pada saat-saat
Yang berkembang pasti, dan dalam bahasa-bahasa
Yang tak selalu terdengar hanya
Gerak melingkar-lingkar.
Seperti elang pada Minggu pagi
Di atas Sungai Salt. Berputar di langit biru
Yang berangin, membersihkan hati kita
Dengan sayap-sayap sucinya.
Kami melihatmu, melihat diri kami dan tahu
Bahwa kami harus benar-benar memelihara
Dan berbaik-baik dalam segala sesuatunya.
Menarik napas, memahami bahwa kami telah
Dibuat dari semua ini, dan bernapas, mengerti
Kami benar-benar telah diberkati sebab kami
Telah dilahirkan, dan segera mati dalam sebuah
Gerak melingkar murni,
Seperti elang memutari pagi
Dalam diri kami.
Kami berdoa agar semuanya tercapai
Dalam keindahan.
Dalam keindahan.

Mata Puisi | 28
Prosopon

Joy Harjo
Anugerah
untuk Darlene Wind dan James Welch

Aku berpikir tentang Angin dan kegilaan jalan-jalannya pada tahun dimana
kita tak kehilangan apa-apa dan pada akhirnya kehilangannya juga dalam negeri
rubah yang terkutuk. Kami masih bicara tentang musim dingin itu, tentang
kerbau imajiner yang dingin membeku pada cakrawala yang dipadati oleh gundukan
salju. Suara-suara menakutkan dari pagar-pagar rubuh yang kelaparan dan patah,
menghancurkan impian-impian thermostat kami, dan kami tak tahan lagi. Jadi
sekali lagi kami kehilangan sebuah musim dingin dalam ingatan yang keras kepala,
berjalan melewati tembok apartemen yang murah, meluncur melalui ladang-ladang
hantu menuju kota yang tak pernah menginginkan kami, dalam pencarian anugerah
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

yang epik.

Seperti coyote, seperti kelinci, kami tak bisa menanggung kengerian kami dan
ditertawakan cara kami melalui satu musim dengan tengah malamnya yang palsu.
Kami harus menelan kota itu dengan tawa, sampai ia bisa turun dengan mudah
seperti madu. Dan suatu pagi ketika matahari berjuang untuk memecahkan es, dan
mimpi-mimpi kami telah menemukan kami dengan kopi dan kue dadar dalam sebuah
truk yang berhenti di sepanjang Highway 80, kami telah menemukan anugerah.

Aku bisa mengatakan anugerah adalah seorang perempuan dengan waktu pada
tangannya,
atau seekor kerbau putih yang melarikan diri dari ingatan. Namun dalam cahaya yang
suram itu ia adalah sebuah janji dari keseimbangan. Kami sekali lagi mengerti
perkataan tentang binatang, dan musim semi yang kurus dan lapar dengan harapan dari
anak-anak dan jagung.

Aku ingin mengatakan, dengan anugerah, kami mengangkat diri kami dan berjalan ke
dalam musim semi yang mencair. Yang tak kami inginkan; musim berikutnya akan lebih
buruk. Kau pulang ke Leech Lake untuk bekerja dengan suku itu sedangkan aku pergi
ke selatan. Dan, Angin, aku masih marah. Aku tahu ada yang lebih besar daripada
kenangan akan orang-orang yang dirampas. Kami telah melihatnya.

Mata Puisi | 29
Prosopon
Joy Harjo
Peta untuk Dunia Berikutnya
untuk Desiray Kierra Chee

Di hari-hari terakhir dunia keempat aku ingin membuat peta


bagi mereka yang akan memanjat melalui lubang di langit.

Peralatanku hanyalah keinginan-keinginan manusia begitu ia


muncul dari ladang pembantaian, dari kamar tidur dan dapur.

Karena jiwa adalah pengelana dengan banyak tangan dan kaki.

Peta itu harus dibuat dari pasir dan tak dapat dibaca dengan
cahaya biasa. Ia harus membawa api pada kota suku berikutnya,
untuk pembaruan roh.
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Dalam legenda ada petunjuk-petunjuk dengan bahasa setempat,


bagaimana caranya kita lupa mengakui hadiah itu, seolah kita
tak ada di dalamnya atau bukan darinya.

Perhatikan betapa menjamur supermarket dan mal, altar-altar


uang. Mereka gambaran paling baik dari jalan memutar dari anugerah.

Tetap lacak kesalahan dari kealpaan kami; kabut mencuri anak-anak


kita saat mereka tidur.

Bunga-bunga kemarahan bermekaran dalam perasaan tertekan.


Monster-monster dilahirkan di sana dari inti kemarahan.

Pohon-pohon abu melambaikan perpisahan pada ucapan selamat


tinggal dan peta itu muncul untuk menghilang.

Kami tak lagi tahu nama-nama dari burung-burung di sini, juga


bagaimana berbicara pada mereka dengan nama-nama pribadi mereka.

Pernah kami tahu segalanya dalam janji yang subur ini.

Apa yang ku katakan adalah benar adanya dan itu telah dicetak
dalam peringatan pada peta itu. Kealpaan kita membuntuti kita,
berjalan di bumi di belakang kita, meninggalkan jejak dari popok
kertas, jarum, dan darah yang terbuang.

Peta yang tak sempurna harus dibuat, Anak Kecil.

Tempat masuknya adalah lautan dari darah ibumu, dari kematian


kecil ayahmu begitu ia rindu untuk mengenali dirinya sendiri
dalam wujud yang lain.

Mata Puisi | 30
Prosopon
Dan tak ada tempat keluar.

Peta itu dapat ditafsirkan melalui dinding usus—


sebuah spiral di jalan pengetahuan.

Kau akan mengembara melalui membran kematian, mencium bau


masakan dari perkemahan dimana kerabat kita membuat pesta
dari daging menjangan segar dan sup jagung, dalam gugusan
Bima Sakti.

Mereka tak pernah meninggalkan kita; kita yang meninggalkan


mereka demi ilmu pengetahuan.

Dan saat kau mengambil napas selanjutnya begitu kita memasuki


dunia ke lima tak akan ada X, tak ada buku panduan dengan
kata-kata yang dapat kau bawa.

Kau harus menuntunnya dengan suara ibumu, memperbarui nyanyian


yang sedang ia nyanyikan.
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Keberanian baru berkilau dari planet-planet.

Dan menyinari peta yang dicetak dengan darah dari sejarah,


peta yang harus kau ketahui dengan niatanmu, dengan bahasa
dari matahari-matahari.

Saat kau mulai memerhatikan jejak-jejak para pembunuh monster


dimana mereka memasuki kota-kota dengan cahaya buatan dan
membunuh apa yang membunuh kita.

Kau akan melihat tebing-tebing merah. Mereka adalah hati,


berisi tangga.

Seekor rusa putih akan menyambutmu saat manusia terakhir


memanjat dari penghancuran.

Ingatlah lubang dari rasa malu yang menandai tindakan


meninggalkan tanah-tanah suku kita.

Kita tak pernah sempurna.

Tapi, perjalanan yang kita buat bersama itu sempurna pada bumi
yang pernah menjadi bintang dan membuat kesalahan yang sama sebagai
manusia.

Kita mungkin akan membuat mereka kembali, ia berkata.

Begitu penting untuk tahu bahwa jalannya adalah ini:


tidak ada awal atau akhir.

Kau harus membuat petamu sendiri.

Mata Puisi | 31
Pointe
Bisakah kau tak peduli pada rasa haus itu?
Pada Mulanya Bisa saja. Kau mungkin mengabaikannya, kau
lawan nalurimu untuk menemukan air. Kau
adalah akhirnya mati karena dehidrasi.

Merasakan Bayangkan sekarang kau berdua. Perempuan


dan lelaki. Versi lain dari Adam dan Hawa.
Mula-mula kau tahu apa yang masing-masing
kalian mau. Semacam naluri untuk bisa lekas
Oleh Habel Rajavani memahami. Batin kalian saling bicara tanpa
isyarat dan kata. Semuanya sederhana, jelas
dan jernih, terkatakan tanpa kata. Bayangkan
BAYANGKAN engkau adalah manusia bait Chairil Anwar dalam “Rumahku” (1943):
pertama di dunia. Sendirian saja. Kau haus.
Kau tahu kau harus minum. Kau tahu kau Rumahku dari unggun-timbun sajak
harus menemukan air. Kau tahu ada sungai Kaca jernih dari luar segala nampak
kecil di dekatmu lalu kau menuju ke sana. Di
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

sungai itu kau minum. Hausmu hilang. Semuanya tampak, semuanya terpahami.
Puisi (“unggun-timbun sajak”) itu
Lihatlah, ketika sendirian seperti itu kau tak mendahului bahasa, bahkan ketika bahasa itu
perlu bahasa. Kau tak berteriak atau berbisik, belum ada.
“aku haus!” Tak ada kawan bicara, tak ada
yang mendengarkanmu. Adakah makna Bahasa adalah rumah yang didiami bersama.
hidup dan dunia, dengan kehadiranmu Kita ada di dalam bahasa itu untuk saling
sendiri seperti itu? Subagio Sastrowardojo memahami. Bahasa adalah rumah yang kita
menjawab dengan sajak yang sinis (“Adam”,
bangun karena kita memerlukannya. Tuhan
1992), tapi cukup bagi kita untuk membayang
tidak memberi kita bahasa di dunia. Kalian
situasinya:
lupa dulu di surga berbicara – dengan Tuhan
– dengan bahasa apa. Bukankah Tuhan tahu
Karena terkutuk segala apa yang bahkan ketika itu masih ada
manusia pertama yang terdampar di pantai dalam pikiran kalian?
matanya buta
Lalu kau, Hawa, mengandung anak pertama.
Dinding mega memagari cakrawala Adam mulai tak memahamimu. Kau haus,
Dunianya adalah kekosongan tanpa makna. kau tahu di mana sungai tapi kau tak bisa
kesana. Kau meminta tolong pada Adam
Kosong, tak ada makna. Mungkin kau juga untuk membantumu mengambil dan
tak bicara dengan dirimu sendiri. Hanya membawakan air untukmu. Mungkin kau
tubuhmu yang merasakan bahwa kau perlu memberi isyarat kepadanya. Dengan gerakan
air untuk minum. Pikiranmu menegaskan tangan, goyangan tubuh atau ekspresi muka.
kau haus seperti yang dirasakan tubuhmu. Adam mengerti dan mengambilkan air
Rasa haus itu belum diberi nama. Kata “haus”
untukmu.
itu belum ada. Tapi kau tahu kau haus, dan
kau tahu harus melakukan apa karena rasa
hausmu itu. Bayangkan sebagai Hawa, semakin banyak
saja hal-ihwal yang harus kau kerjasamakan
Tubuhmu bicara dengan caranya sendiri agar dengan Adam. Bahasa batin tak lagi memadai.
kau mempertahankan eksistensimu,
keberadaanmu.

Mata Puisi | 32
Pointe Pada Mulanya adalah Merasakan

Bahasa isyarat dengan gerak tangan dan Perjalanan napak tilas itu – tidak mudah, tapi
tubuh tak cukup produktif menghasilkan sesungguhnya menyenangkan – meskipun
kode-kode yang bisa sama-sama disepakati tak selalu berhasil. Oleh karena itu saya
dengan mudah. setuju pada Subagio Sastrowardojo yang
rasanya telah merumuskan proses itu dengan
Lalu kalian sadar kalian punya mulut dengan baik, ketika ia menulis dalam Catatan
seperangkat organ lain yang ada padanya – tentang Simphoni (dalam “Simphoni”, 1957):
lidah, gigi, langit-langit, bibir, tekak, anak
tekak, – yang bisa menghasilkan bunyi yang
Saudara Jassin,
tak terbatas kemungkinannya. Mula-mula
Sajak-sajak adalah suara dari bawahsadar.
sederhana saja. Bunyi-bunyi itu tercipta
menghasilkan apa yang kemudian disebut Aku tak mau bilang tentang suara-suara yang
sebagai “kata”, seiring kebutuhan untuk timbul dari roh, untuk menghindarkan kesan
saling memahami. yang mengandung pretensi. Aku lebih baik
dalam hal ini mempergunakan istilah
Pada mulanya adalah merasakan atau technis-psychologis: bawahsadar.
bangkitnya perasaan, lalu lintasan pikiran,
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

lalu kesadaran suara, lalu kebutuhan makna, Sajak-sajaknya, bagi Subagio, adalah hasil
lalu kesepakatan kata, lalu nun jauh pergulatan untuk merebut kilatan-kilatan
kemudian dirangkum oleh sistem bahasa. kesadaran itu sebelum tenggelam lagi dalam
Puisi, nanti akan kita lihat, mengekalkan ketaksadaran yang dungu.
jejak-jejak proses asali itu dalam dirinya.
Suara bawahsadar itu hanya muncul (dan
Penyair (juga pembaca puisi) adalah seorang ditangkap jika kita pembaca) apabila kita
penilas yang menyadari benar proses sedang dalam keadaan sadar. Jika kita tak
lahirnya bahasa itu, seraya sadar benar
sadar maka itu namanya mengigau.
bahwa ia hidup di masa kini, masa ketika
Menceracau.
kehidupan tak sesederhana dunia Adam dan
Hawa, masa ketika bahasa sudah berjalan
jauh meninggalkan titik awal kelahirannya.

Mata Puisi | 33
Klasik
Memecah Diri
Menjadi Kau
dan Aku
Ajip Rosidi (l. 1938 - 2020) DI dalam sajak seseorang bisa bicara pada
Percakapan siapa, juga pada dirinya sendiri. Jika itu ia
lakukan maka yang terhidang adalah sebuah
Akankah ini suatu permainan dialog, dua orang bercakap-cakap, tapi pada
Sedang wajah jadi layu, ayip hakikatnya itu adalah monolog, seorang
bicara pada seorang yang sama.
Malam terlalu tebal di matamu
Hidup menjanjikan tantangan kepadaku Dalam sajak seseorang bisa membagi dirinya
menjadi dua. Ini salah satu modus persajakan
Dekapkan wajahmu ke wajahku yang bisa dimanfaatkan. Ajip Rosidi
Biar malam tebal menebal bergelayutan melakukannya dalam sajak "Percakapan". Kita
Di dinding trem lari kepadaku tak melihat ada beda antara kau dan aku
dalam sajaknya itu, kau dan aku yang adalah
Akankah ini cuma permainan Ajip sendiri.
Sedang umur dan wajah runtuh ke bumi,
ayip? "Akankah ini suatu permainan / sedang wajah
jadi layu, ayip?"
Kulihat kota yang agung terkaca di matamu
Kusaksikan kau ada di sana Ada kemungkinan pembacaan lain. Ajip
Sedang kita berangkat tua dalam sajaknya ini sedang mencacat
omongan orang kepadanya. Bisa saja. Tapi
mari kita lihat kemungkinannya.
Sumber: Terkenang Topeng Cirebon (1993)
Kau dan aku dalam sajak ini terlalu akrab.
Kau terlalu banyak tahu tentang aku. Maka
kemungkinan terbesar keduanya memang
orang yang sama yang sedang saling
meninjau. "Dekapkan wajahmu ke wajahku".

Bait penutup sajak itu meyakinkan kita


bahwa ini memang permainan sudut pandang
Ajip untuk menggali kemungkinan
mengucapkan perasaannya dengan lepas.

Kulihat kota yang agung terkaca di matamu /


Kusaksikan kau ada di sana. Ajib sedang
mengenang perjalanannya sendiri. Mengingat
kota-kota yang pernah ia kunjungi.

Dan dua orang itu akhirnya kembali satu,


disatukan oleh kesadaran, oleh perasaan:
sedang kita berangkat tua. (ha)

Mata Puisi | 34
Petik

SEPATAH kata mati


segera setelah ia
diucapkan. Menurutku
ia justru memulai hidup
ketika itu.
Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Emily Dickinson (1830 -


1886)

Mata Puisi | 35
No. 16 Tahun II No. 17 Tahun II
Agustus 2021 September 2021

Mata Puisi
Melihat jauh ke dalam kata.

Anda mungkin juga menyukai