DISUSUN OLEH
TIM BLOK KKD 3
MEDICAL EDUCATION UNIT
FAKULTAS KEDOKTERAN EDITOR
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT dr. Alfi Yasmina, M.Kes, Ph.D
BANJARMASIN
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
MENGACU PADA KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL
INDONESIA (KKNI)
DISUSUN OLEH
TIM BLOK KKD 3
EDITOR
dr. Alfi Yasmina, M.Kes, Ph.D
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat-Nya maka kami
dapat menyelesaikan Modul Blok Keterampilan Klinik Dasar (KKD) III ini.
Penerbitan Buku Modul Blok Keterampilan Klinik Dasar III ini bertujuan agar proses
pembelajaran, khususnya Keterampilan Klinik, dalam sistem kurikulum berbasis kompetensi
dapat berjalan dengan lancar, baik dalam proses dalam proses maupun evaluasinya. Buku
modul ini diharapkan dapat memberikan panduan kepada institusi pendidikan, dosen,
mahasiswa dan staf administrasi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama tim blok, tim
kontributor, tim MEU dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam membuat buku ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak
Fakultas yang telah berkontribusi aktif.
Kami menyadari masih banyak yang perlu diperbaiki demi kesempurnaan buku ini.
Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Tim Blok
DAFTAR ISI
Halaman
1. Pendahuluan 1
2. Tujuan Blok 1
3. Praktik Keterampilan 1
4. Penilaian 1
5. Tata Tertib 2
6. Tim Blok 2
7. Referensi 2
1. PENDAHULUAN
Selain memahami berbagai teori di bidang kedokteran dan kesehatan, seorang
dokter juga dituntut untuk menguasai keterampilan klinis untuk menangani berbagai
kondisi yang diderita pasien. Modul-modul ketrampilan klinis ini disusun dengan tujuan
agar bisa menjadi materi acuan untuk mempelajari berbagai keterampilan klinis yang
diperlukan seorang dokter.
Modul Keterampilan Klinik Dasar 3 ini akan dilaksanakan pada semester 5. Pada
Modul ini, akan dipelajari lima keterampilan klinis yang akan diselesaikan dalam 6
minggu, yaitu anamnesis pada gangguan hematopoietik dan limforetikuler, pemeriksaan
darah rutin, kateterisasi/infus intravena, teknik injeksi, dan Rumple Leed test.
2. TUJUAN BLOK
Setelah menyelesaikan blok Keterampilan Klinis Dasar 3 pada sistem
hemopoietik dan limforetikuler ini, mahasiswa diharapkan mampu:
a. Melakukan anamnesis pada gangguan hematopoietik dan limforetikuler dengan
benar.
b. Melakukan pemeriksaan darah rutin (kadar hemoglobin dan laju endap darah)
dengan benar.
c. Melakukan pemasangan kateterisasi/infus intravena dengan benar.
d. Melakukan teknik injeksi (intramuskular, intrakutan, subkutan, dan intravena)
dengan benar.
e. Melakukan pemeriksaan dan menginterpretasi hasil Rumple Leed test dengan benar
3. PRAKTIK KETERAMPILAN
Praktik keterampilan/skills lab terdiri atas pembelajaran kemampuan dan
keterampilan pengambilan anamnesis, prosedural (pemeriksaan darah rutin, Rumple
Leed test) dan keterampilan terapeutik (kateterisasi/infus intravena, teknik injeksi).
Pada blok ini, masing-masing keterampilan dilatihkan secara demonstrasi oleh
instruktur pada pertemuan pertama, kemudian mahasiswa akan melakukan sendiri
keterampilan tersebut untuk pertemuan kedua.
4. PENILAIAN
a. Formatif
Prasyarat ujian:
• Kehadiran skills lab & OSCE Komprehensif: 100%
• Etika pada skills lab & OSCE Komprehensif: sufficient
b. Sumatif, terdiri atas:
• Pretest : 10%
• Posttest : 10%
• Nilai harian skills lab : 30%
• OSCE Komprehensif : 50% (Nilai Batas Lulus/NBL per Station: 70)
c. Standar Penilaian
Penilaian Acuan Patokan (PAP)/criterion-reference dengan nilai patokan
berdasarkan aturan institusi.
Skor Nilai Huruf Bobot Nilai Huruf
≥ 80 A 4
77 – < 80 A- 3,75
75 – < 77 B+ 3,5
70 – < 75 B 3
67 – < 70 B- 2,75
64 – < 67 C+ 2,5
60 – < 64 C 2
50 – < 60 D+ 1,5
40 – < 50 D 1
00 – < 40 E 0
5. TATA TERTIB
a. Mahasiwa wajib mengikuti seluruh proses kegiatan skills lab dan OSCE
Komprehensif (100%).
b. Ketidakhadiran harian skills lab dan OSCE Komprehensif hanya diperkenankan
apabila:
1. Sakit, yang dibuktikan dengan surat keterangan sakit dari dokter (surat sakit
maksimal 3 hari terhitung sejak hari pertama sakit).
2. Mendapat musibah kematian keluarga inti, dengan surat keterangan dari
orangtua/wali
3. Mendapat tugas dari fakultas/universitas, dengan surat keterangan dari
Koordinator Program Studi/Wakil Dekan/Dekan/Rektor
c. Apabila tidak hadir pada kegiatan skills lab/OSCE Komprehensif dengan alasan
selain yang tercantum pada poin (b) di atas, maka mahasiswa tidak berhak
mendapatkan penggantian waktu, dan akan mendapat nilai nol (0).
d. Apabila tidak hadir pada kegiatan skills lab/OSCE Komprehensif dengan alasan
seperti yang tercantum pada poin (b), mahasiswa dapat mengganti waktu skills
lab/OSCE Komprehensif sesuai dengan ketentuan administratif yang telah
ditetapkan oleh MEU dan diwajibkan mengerjakan tugas tambahan.
e. Bagi mahasiswa yang melanggar ketentuan administratif dan etika, maka
dinyatakan tidak lulus blok dan wajib mengulang pada tahun-tahun berikutnya
6. TIM BLOK
dr. Alfi Yasmina, M.Kes, Ph.D
dr. FX Hendriyono, Sp.PK
dr. Lena Rosida, M.Kes
dr. Ahmad Husairi, M.Ag, M.Imun
7. SUMBER REFERENSI
1. Darce J, Kopelinann P. A Handbook of clinical skills. London: Hanson, 2004
2. Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s
principles of internal medicine. 17th ed. New York: Mc Graw Hill, 2008
Sesuai dengan Anamnesis secara umum yang telah dipelajari, berikut ini adalah
panduan anamnesis untuk gangguan sistem hemopoietik dan limforetikuler:
1. Anamnesis identitas pasien, yaitu nama lengkap, umur, jenis kelamin (bila
diperlukan), alamat, dan pekerjaan.
2. Menanyakan keluhan utama. Pada gangguan sistem hemopoietik dan limforetikuler,
keluhan utama yang sering muncul adalah:
• Pucat
• Perdarahan
• Demam dan rash
• Pembesaran kelenjar limfe
3. Menggali riwayat penyakit sekarang. Berdasarkan keluhan utama, dilakukan
penggalian lebih mendalam dengan menanyakan riwayat penyakit sekarang. Seperti
pada waktu anamnesis umum, hal-hal yang harus ditanyakan adalah:
• Onset: kapan pertama kali muncul keluhan.
• Frekuensi: berapa sering keluhan muncul.
• Sifat munculnya keluhan: apakah keluhan muncul secara akut (mendadak),
kronis (sudah lama), atau intermitten (hilang timbul).
• Durasi: sudah berapa lama menderita keluhan.
• Sifat sakit/keluhan utama: sakitnya seperti apa, merupakan penjelasan sifat dari
keluhan utama, yang biasanya spesifik untuk setiap keluhan utama di atas.
Selain itu, perlu ditanyakan juga, apa hal yang memperberat keluhan.
membawa oksigen (misalnya anemia). Pada sebagian besar kasus, adanya keluhan pucat
mengarahkan ke anemia, karena anemia dianggap sebagai penyebab paling sering.
Perkecualian pada yang mempunyai penyebab konstitusional, misalnya karena warna
kulit yang lebih terang dan kurangnya paparan terhadap sinar matahari.
Penyebab anemia bisa dipisahkan menjadi karena penurunan produksi eritrosit,
peningkatan destruksi eritrosit, atau kehilangan darah yang akut.
Pucat dengan penurunan produksi eritrosit atau produksi hemoglobin bisa
disebabkan oleh: anemia defisiensi besi, anemia defisiensi asam folat dan vitamin B12,
anemia aplastik, keganasan (leukemia, limfoma, multiple myeloma), anemia penyakit
kronis, anemia Diamond-Blackfan, anemia Fanconi, intoksikasi timbal, anemia
sideroblastik, dan thalassemia.
Pucat karena peningkatan destruksi eritrosit bisa disebabkan oleh defek
membran eritrosit (misalnya sferositosis herediter, eliptositosis, stomatositosis,
piknositosis, hemoglobinuria nokturnal paroksismal), defek enzim eritrosit, defek
hexose monophosphate shunt (defisiensi G6PD), defisiensi piruvat kinase,
hemoglobinopati, sickle cell syndrome, anemia hemolitik autoimun, infeksi (misalnya
mononukelosis, campak, varicella, CMV, E. coli, Pneumococcus, Streptococcus,
demam tifoid, Mycoplasma), obat (misalnya antibiotik, metildopa), penyakit vaskular
kolagen dan inflamatorik, keganasan, anemia mikroangiopatik, diiseminated
intravascular coagulation, sindrom uremik hemolitik (HUS), trombotic
thrombocytpenic purpura, dan hemangioma kavernosa.
Pucat karena kehilangan darah bisa disebabkan karena trauma berat, lesi
anatomis, ulkus peptik atau bagian saluran cerna lain, dan hemosiderosis pulmoner
idiopatik.
Pada saat pasien datang dengan pucat, hal pertama yang perlu diperhatikan
(apalagi bila pasien datang dengan pucat disertai dengan perdarahan akut) adalah
tentang kemungkinan adanya ketidakstabilan hemodinamik yang memerlukan
intervensi emergensi dan stabilisasi dengan resusitasi cairan ataupun transfusi. Sampai
30% total volume darah bisa hilang sebelum manifestasi klinis nampak jelas. Pasien
yang memerlukan stabilisasi bisa datang dalam keadaan gangguan kesadaran, gangguan
status mental, sesak, pucat, dan mengeluhkan badannya dingin.
Identifikasi lebih pasti untuk penyakit-penyakit ini bisa dilakukan dengan
menggunakan hitung darah lengkap dan apusan darah tepi serta pemeriksaan penunjang
lainnya (Gambar 1a dan 1b), tetapi anamnesis bisa membantu dalam mengarahkan
pemeriksaan.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang paling sering ditemui. Pasien dengan
kondisi ini bisa datang dengan keluhan tambahan berupa kelelahan dan penurunan
kemampuan melakukan aktivitas yang berat, kram betis saat menaiki tangga, penurunan
kemampuan akademis atau performa di tempat kerja, intoleransi terhadap dingin,
penurunan resistensi terhadap infeksi, kesulitan menelan makanan padat (karena
esophageal webbing), gangguan pertumbuhan dan perkembangan (pada bayi dan anak),
luka di sudut bibir, kuku rapuh dan berbentuk seperti sendok. Anemia defisiensi besi
biasanya berkembang perlahan, bahkan beberapa pasien tetap tanpa gejala sampai
cadangan besinya cukup sedikit untuk mengganggu produksi eritrosit dan mengganggu
jaringan lain, sehingga kemudian timbul gejala di atas. Kebutuhan besi meningkat pada
bayi, anak, remaja, dan kehamilan. Riwayat makanan perlu digali, misalnya vegetarian
lebih mungkin untuk menderita anemia defisiensi besi, kecuali dietnya disuplementasi
dengan zat besi. Makanan yang mengandung susu sapi dalam jumlah besar dapat
meningkatkan defisiensi besi karena kurangnya intake besi dan hilangnya selera
terhadap makanan yang kaya zat besi. Kondisi lain yang menyebabkan penurunan
absorbsi besi dalam diet antara lain adalah celiac disease, Crohn disease, bedah bypass
lambung, pemakaian antasida atau tetrasiklin secara berlebihan. Riwayat adanya
kehilangan darah juga perlu dicari, terutama karena sesudah usia 1 tahun, defisiensi
makanan saja tidak cukup untuk menyebabkan defisiensi zat besi yang bermakna secara
klinis. Kehilangan darah pada kondisi ini bisa dari infeksi parasit di usus (misalnya
cacing tambang), perdarahan saluran cerna, keganasan (pada esofagus, lambung, usus,
atau kolon), varices esofagus (karena sirosis), penggunaan NSAID yang kronis, dan
haid dengan jumlah perdarahan yang banyak.
B19), dan anemia Fanconi. Pasien biasanya lelah, malaise, pucat, bintik-bintik
perdarahan di mukosa, dan sering mengalami infeksi.
Anemia Fanconi merupakan gangguan autosom resesif karena defek DNA
crosslink repair. Pasien biasanya berbadan pendek, menunjukkan hipo- atau
hiperpigmentasi, café-au-lait spot, mikrosefali, keterlambatan perkembangan,
malformasi ibu jari dan lengan bawah, gangguan pada mata dan telinga.
Anemia sideroblastik disebabkan oleh defek metabolisme hem, mengakibatkan
besi terjebak dalam mitokondria. Penyakit ini bisa diwarisi (akibat defek gen d-ALA-
sintase), atau bisa juga karena defisiensi vitamin B6, toksisitas timbal, penggunaan
alkohol, obat (misalnya kloramfenikol, INH, linezolid), defisiensi Cu, overdosis zink,
sindrom myelodisplastik, dan keganasan. Pasien bisa menunjukkan malaise, kelelahan,
sesak nafas saat aktivitas fisik, gangguan koordinasi, kegagalan pertumbuhan, diare
karena malabsorpsi, dan kelemahan otot.
Anemia Diamond-Blackfan adalah pure red cell aplasia kongenital yang
biasnaya terdeteksi saat lahir, atau lebih kemudian selama 18 bulan pertama. Pada
anemia Diamond-Blackfan terjadi defek intrinsik sel progenitor eritroid, sehingga
terjadi apoptosis. Pasien biasanya berbadan pendek dengan webbed neck, malformasi
ekstremitas atas (misalnya ibu jari dengan 3 ruas jari), mikrosefali, mikrognatia,
hipertelorism, tulang hidung datar, sumbing, dan retardasi pertumbuhan serta
perkembangan.
Thalassemia adalah gangguan sintesis hemoglobin dengan penurunan produksi
rantai alfa atau beta hemoglobin, akibat defek pada gen yang mengendalikan
produksinya. Terdapat 2 tipe utama thalassemia, yaitu thalassemia alfa dan beta, dan
masing-masing bisa mengambil bentuk mayor ataupun minor. Thalassemia mayor
terjadi bila defek diperoleh dari kedua orangtua, sedangkan thalassemia minor bila
defek diperoleh dari hanya satu orang tua, dan sebagian besar tidak menunjukkan
gejala. Pasien dengan thalassemia mayor bisa datang dengan keluhan pucat, mudah
lelah, ikterus, ulkus pada ekstremitas, pembesaran maksilla (chipmunk face), gigi
menjadi jarang, pembengkakan di kelenjar ludah, mulut terasa kering, pembesaran
abdomen, deformasi tulang tengkorak dan tulang lain karena hiperplasia eritroid dengan
ekspansi intramedulla dan penipisan tulang korteks, pertumbuhan yang lambat, dan
urine berwarna gelap. Riwayat keluarga menderita thalassemia perlu digali.
Leukemia merupakan penyakit progresif maligna dimana sumsum tulang dan
organ pembentuk darah lainnya melakukan overproduksi lekosit yang abnormal atau
imatur. Leukemia diklasifikasikan berdasar tipe lekosit yang terkena
(limfositik/limfoid/limfoblastik dan myeloid/myelogenik) serta berdasarkan seberapa
cepat penyakitnya berkembang (akut dan kronis). Dengan demikian terdapat acute
lymphocytic leukemia (ALL), acute myeloid leukemia (AML), chronic lymphocytic
leukemia (CLL) dan chronic myeloid leukemia (CML). Selain itu ada subtipe lain
seperti hairy cell leukemia (HCL).
ALL adalah penyakit (klonal) maligna sumsum tulang dimana prekursor limfoid
dini berproliferasi dan menggantikan sel hematopoietik normal sumsum tulang.
Penyakit ini adalah tipe leukemia yang paling sering pada anak. Pasien biasanya datang
dengan demam, kelelahan, pucat, pusing, jantung berdebar, sesak nafas dengan aktivitas
fisik ringan, sering mengalami infeksi, penurunan berat badan, perdarahan, pembesaran
kelemjar limfe, nyeri tulang, cepat kenyang dan perut terasa penuh, bercak-bercak
merah (perdarahan) terutama di ekstremitas bawah, serta rash.
Perdarahan
Bila keluhan pasien berupa perdarahan, maka kita perlu membedakan antara
penyebab karena trauma/injury, penyebab karena trombosit (Gambar 4), dan penyebab
karena faktor pembekuan darah (Gambar 5). Perdarahan karena kelainan trombosit
Gambar 5 Diagnosis banding perdarahan yang berkaitan dengan gangguan pada faktor
pembekuan
atau ginjal, dan riwayat penyakit infeksi juga perlu ditanyakan, terutama bila onsetnya
baru.
Riwayat keluarga juga perlu ditanyakan karena hemofilia yang resesif terkait
kromosom X atau von Willebrand disease harus dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat keluarga sering mengalami perdarahan. Evaluasi penggunaan obat dan
suplemen bisa membantu mengidentifikasi perdarahan karena obat, misalnya obat yang
menghambat koagulasi (apixaban, dabigatran, enoxaparin, heparin, warfarin,
rivaroxaban), kortikosteroid, NSAID, klopidogrel, SSRI, alkohol, antibiotik
(sefalosporin, nitrofurantoin, penisilin, rifampisin, sulfonamid, vankomisin),
karbamazepin, kuinin, tiazid, asam valproat.
ITP merupakan trombositopenia dengan sumsum tulang yang normal tanpa
adanya penyebab lain untuk trombositopenianya. Patogenesis penyakit ini adalah
adanya antibodi antiplatelet. Gambarannya bisa akut pada anak, dan kronis pada
dewasa. Gejalanya bisa berupa ptekie, purpura, bulla hemoragik pada membran
mukosa, menoragi atau metroragi, epistaksis, perdarahan gusi, dan cenderung mudah
memar. Pada anak mungkin ada riwayat infeksi virus atau imunisasi dengan virus
hidup.
TTP adalah gangguan darah dengan ciri adanya pembekuan di pembuluh darah
kecil yang mengakibatkan penurunan jumlah trombosit. Penyakit ini terdiri dari anemia
hemolitik mikroangiopatik, purpura trombositopenik, gangguan neurologis, demam,
dan penyakit ginjal. Gejalanya biasanya terjadi secara akut atau subakut dengan
gambaran yang berkaitan dengan manifestasi neurologis (perubahan status mental,
kejang, hemiplegi, parestesi, ganggaun penglihatan, afasia), anemia disertai dengan
kelelahan, perdarahan ringan dan berat karena trombositopenia, ikterus, demam, dan
urine berwarna gelap.
DIC ditandai dengan aktivasi sistemik koagulasi darah, yang mengakibatkan
pembentukan dan deposisi fibrin, dan mengarah pada trombus mikrovaskular pada
berbagai organ, sehingga berkontribusi pada multiple organ dysfunction syndrome
(MODS). DIC biasanya merupakan komplikasi atau efek dari perkembangan penyakit
lain, seperti sepsis, trauma (neurotrauma), destruksi organ (pankreatitits), keganasan,
reaksi transfusi berat, komplikasi obstetrik (abruptio plasenta, HELLP syndrome,
eklamsi), gagal hati yang berat, reaksi penolakan transplantasi, dan hipertermia. Dengan
demikian, gejala DIC sering merupakan gejala kondisi yang mendasarinya. Selain itu,
ada gejala riwayat perdarahan di area seperti gusi, palatum molle, dan sistem
gastrointestinal. Gejala akutnya berupa ptekie dan ekimosa, bersama dengan perdarahan
akibat saluran infus atau kateter. Bila sesudah operasi, perdarahan bisa terjadi di sekitar
lokasi pembedahan, drain, dan trakeostomi. Juga bisa kelihatan gambaran trombosis di
pembuluh darah besar (DVT dan gagal ginjal karena trombosis mikrovaskular). Bila
mengenai sistem SSP bisa muncul gejala perubahan kesadaran dan defisit neurologis
fokal. Bila mengenai sistem pernafasan, bisa muncul gejala sesak. Bila mengenai sistem
saluran cerna, bisa muncul gejala hematemesis dan hematochezia. Pada sistem
genitourinaria bisa muncul gejala hematuria, oliguria, metroragi dan perdarahan uterus.
Gambaran di kulit bisa berupa ptekie, iterus, purpura, bulla hemoragik, sianosis akral,
nekrosis kulit ekstremitas bawah, perdarahan luka, dan gangren.
Von Willebrand disease adalah gangguan hemoragik heterogen yang diwariskan
secara genetik, diakibatkan oleh defisiensi atau disfungsi von Willebrand factor,
sehingga mengganggu hemostasis primer. Pasien datang dengan epistaksis, hematom,
perdarahan lama dari luka kecil atau trauma minor, perdarahan rongga mulut, haid
berlebihan, mudah memar, perdarahan berat sesudah pembedahan atau ekstraksi gigi,
ikterus, dan pembesaran abdomen karena splenomegali.
Hemofilia adalah gangguan perdarahan yang diwariskan secara genetik yang
mengganggu kemampuan koagulasi. Terdapat 2 tipe utama hemofilia, yaitu hemofilia A
dan B.
Hemofilia A adalah gangguan resesif terkait kromosom X yang disebabkan oleh
defisiensi faktor pembekuan darah faktor VIII, yang bisa diperoleh secara genetik
ataupun karena mutasi spontan. Pasien datang dengan kondisi mudah memar,
kelemahan, sesak nafas, nyeri dan kaku sendi, hematemesis, melena, nyeri perut,
hematuria, kolik renal, epistaksis, perdarahan mulut, hemoptisis, perdarahan berlebihan
dan lebih lama pada trauma ringan. Pasien biasanya mempunyai riwayat perdarahan
serupa di keluarga.
Hemofilia B adalah gangguan resesif terkait kromosom X yang disebabkan oleh
defisiensi faktor pembekuan darah faktor IX. Gambarannya biasanya berupa nyeri sendi
karena perdarahan, deformitas sendi, perdarahan lebih lama sesudah menjalani prosedur
yang mengakibatkan luka atau karena trauma ringan, sering memar, lemah,
hematemesis, melena, nyeri perut, hematuria, kolik renal, epistaksis, perdarahan mulut,
dan hemoptisis. Pasien biasanya mempunyai riwayat keluarga dengan gangguan
perdarahan.
spotted fever, leptospirosis, Lyme disease, demam tifoid, demam dengue, eritema
marginatum (demam rematik), systemic lupus erythematosus (SLE),
tripanosomiasis, West Nile fever, infeksi viurs Zika.
• Demam dan rash yang tersebar di perifer mencakup Rocky Moutain spotter fever,
demam Chikungunya, sifilis sekunder, hand-foot-and-mouth disease, eritema
multiforme, rat bite fever, dan endokarditis bakterial.
• Demam dan rash eritematus deskuamatif yang konfluens adalah scarlet fever,
Kawasaki disease, Streptococcal toxic shock syndrome, Staphylococcal scalded
skin syndrome (SSSS), sindrom eritroderma eksfoliatif, DRESS/DIHS, Stevens-
Johnson syndrome (SJS), toxic epidermal necrolysis (TEN).
• Demam dan rash vesikulobullosa atau pustular: hand-foot-and-mouth syndrome,
SSSS, TEN, DRESS, varicella, folkulitis Pseudomonas, variola, infeksi HSV
primer, Rickettsial pox, acute generalized exanthematous pustulosis, eritema
gangrenosum.
• Demam dan rash yang mirip urtikaria: vaskulitis urtikaria.
• Demam dengan rash nodular: eritema nodosum, Sweet syndrome/acute febrile
neutophilic dermatosis, angiomatosis basilar.
• Demam dan rash berupa purpura: Rocky Mountain spotted fever, rat-bite fever,
endokarditis, demam dengue, meningokoksemia akut atau kronis, purpura
fulminans, infeksi gonococcus diseminata, TTP atau hemolytic uremic syndrome
(HUS).
• Demam dengan rash berupa ulkus dan/atau eschar: rickettsial spotted fever, rat-
bite fever, rickettsial pox, ektima gangrenosum, tularemia, antraks.
Sebagian besar penyakit di klasifikasi di atas sudah diperoleh di blok keluhan
yang berkaitan dengan sistem integumentum, hanya beberapa penyakit yang akan
dibahas di sini. Akan tetapi, semua diagnosis banding terkait sistem lain yang tidak
dibahas di sini tetap harus dipertimbangkan saat melakukan diagnosis banding.
Infeksi HIV primer disebabkan oleh virus HIV. Bentuk rash-nya biasanya
berupa makula dan papula difus nonspesifik, kadang bisa juga terjadi rash berupa
urtikaria, vesikel di oral, atau ulkus di genital. Gambaran lain yang bisa ditemui pada
infeksi dini bisa asimtomatik atau bisa juga berupa gejala yang bermanifestasi pada
berbagai sistem, dengan gejala paling sering adalah demam, menggigil, malaise,
pembengkakan kelenjar limfe, nyeri tenggorokan, nyeri otot, kurang nafsu makan,
penurunan berat badan, mual, nyeri sendi, dan nyeri kepala. Riwayat paparan dengan
HIV juga perlu digali, seperti hubungan seksual tanpa proteksi, pasangan seksual
multipel, riwayat atau sedang menderita penyakit infeksi menular seksual, berbagi pakai
suntikan obat intravena, menerima produk darah, kontak mukosa dengan darah yang
terinfeksi atau trauma akibat tusukan jarum suntik.
Mononukleosis infeksiosa disebabkan oleh infeksi virus Epstein-Barr (EBV).
Bentuk rash-nya makulopapular difus, urtikaria, kadang ptekie di langit-langit mulut
dan di orofaring posterior. Sebagian besar pasien dengan infeks EBV biasanya
asimtomatik. Gambaran lain yang bisa ditemui adalah malaise dan keleahan
berkepanjangan, nyeri tenggorokan, demam ringan, myalgia, mual, kurang nafsu
makan, pembesaran kelenjar limfe, bengkak kelopak dan sekitar mata, dan ikterus.
Perlu juga digali riwayat kontak dengan pasien dengan keluhan nyeri tenggorokan, yang
mungkin disebabkan oleh infeksi EBV.
SLE adalah penyakit autoimun kronis yang paling sering terjadi pada
perempuan muda sampai setengah baya. Kondisi ini ditandai oleh adanya antibodi
terhadap antigen-antigen di nukelus dan sitoplasma, inflamasi multisistem, dan
perjalanan yang sering mengalami relaps dan remisi. Penyakit ini bisa mengenai hampir
semua sistem organ, walaupun terutama mengenai kulit, sendi, ginjal sel darah, dan
sistem saraf. Perjalanan penyaktnya sangat bervariasi. Gambaran rash-nya berupa
erupsi makulopapular eritematus terutama di bagian yang terpapar matahari, kemerahan
berbentuk kupu-kupu di pipi dan hidung yang nyeri atau gatal (malar rash), kadang
juga ditemuia adanya urtikaria dan purpura yang bisa diraba. Gambaran lain yang bisa
ditemui adalah nyeri sendi, demam, malaise, myalgia, mual, nyeri perut, pembesaran
kelenjar limfe, pucat, penurunan berat badan, hipersensitivitas terhadap paparan sinar
matahari di kulit, nyeri dada, kejang, sakit kepala, dan gangguan mood. Perlu juga
digali adanya riwayat penyakit serupa pada keluarga.
Eritema multiformis adalah penyakit kulit yang akut, sembuh sendiri, dan sering
rekuren, dan dianggap sebagai reaksi hipersensitivitas tipe IV, yang bisa disebabkan
oleh infeksi (misalnya HSV atau Mycoplasma pneumoniae, EBV), obat (misalnya sulfa,
fenitoin, penisilin), dan idiopatik. Eritema mutiformis bisa muncil dalam berbagai
spektrum keparahan, mulai EM minor (erupsi lokal kulit tanpa keterlibatan atau dengan
keterlibatan minimal membran mukosa), dan EM mayor (dengan keterlibatan membran
mukosa dan sampai 10% area badan mengalami pelepasan epidermis). Bentuk rash-nya
berupa target lesion, yaitu eritema sentral yang dikelilingi oleh daerah yang bersih dan
cincin eritema lain), berukuran bisa sampai 2 cm, simetris, ditemukan di lutut, siku,
telapaka tangan dan kaki. Rash ini menyebar secara sentripetral. Pasien biasanya
berusia < 20 tahun. Kadang juga ditemukan erupsi papular atau versikular, dan bila
ekstensif bisa melibatkan membran mukosa (eritema multiformis mayor). Gambaran
lain yang bisa ditemui biasanya nampak lebih jelas pada EM mayor, yaitu demam, nyeri
tenggorokan, muntah, nyeri dada, diare, erosi mukosa mulut, kesulitan makan dan
minum atau membuka mulut, mata terasa terbakar, gangguan penglihatan, nyeri
kencing, luka di genital, dan sesak nafas. Pasien perlu dianamnesis tentang riwayat
adanya infeksi sebelumnya (misalnya HSV, EBV), dan semua penggunaan obat baik
yang diresepkan maupun yang dibeli sendiri, terutama dalam 2 bulan terakhir.
Kawasaki disease adalah penyakit akut yang ditandai oleh vaskulitis arteri
berukuran medium, dengan predileksi di arteri koroner, Kondisi ini biasanya idiopatik,
terjadi pada anak < 8 tahun. Rash-nya biasanya serupa dengan EM, berupa rash
polimorfik (makulopapular difus), eritema pada telapak tangan dan kaki, kadang diikuti
indurasi yang nyeri, deskuamasi jari tangan dan kaki yang dimulai di sekitar kuku
dalam 2-3 minggu sejak demam, eritema serta fissura bibir, eritema di mukosa mulut
dan faring. Gambaran lain yang bisa ditemui adalah demam yang berkepanjangan,
pembesaran kelenjar limfe di leher, nyeri tenggorokan, bibir pecah-pecah, lidah merah
seperti strawberry, mata merah, tangan dan kaki bengkak, adanya lekukan-lekukan
transversal yang dalam di kuku (Beau’s lines) dalam 1-2 bulan sejak demam, dan nyeri
sendi yang menahan berat badan.
DRESS atau DIHS adalan erupsi hipersensitivitas obat yang berat dengan gejala
konstitusional, seperti demam, malaise, limfadenopati, hepatitis, myokarditis, nefritis
dan pneumonitis interstisial. Keterlibatan organ hati sering terjadi dan merupakan
komplikasi paling serius, bisa berkembang menjadi hepatitis fulminans. Komplikasi
lain yang serius adalah hiptermia dan dehidrasi. Gambaran rash-nya berupa erupsi
makulopapular atau eksfoliatif, sering pada wajah, disertai dengan edema. Rash juga
bisa berupa urtikaria, vesikel, bulla, pustula, purpura, dan eritroderma. Gejala lain yang
timbul adalah demam, pembesaran kelenjar limfe minimal pada 2 lokasi, dan gambaran
lain sesuai organ yang terlibat. Penyebab tersering adalah antikonvulsan (fenitoin,
karbamazepin, lamotrigin, valproat, dan lain-lain) dan sulfonamid, dan allopurinol.
Kondisi ini sering terjadi sampai 8 minggu sesudah pemberian obat.
Checklist Anamnesis
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
Aspek komunikasi
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2 Mendengarkan secara aktif
3 Tidak memotong pembicaraan pasien selama masih
relevan
4 Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien
5 Mempertahankan kontak mata dengan pasien
6 Menunjukkan empati
Aspek anamnesis
1 Menanyakan identitas pasien: nama, umur, jenis
kelamin (bila perlu), alamat, pekerjaan
2 Menanyakan keluhan utama
3 Menggali riwayat penyakit sekarang
• Onset
• Frekuensi
• Sifat munculnya keluhan
• Durasi
• Sifat keluhan
• Lokasi
• Hubungan dengan fungsi fisiologis lain
• Akibat terhadap aktivitas sehari-hari
• Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan
4 Menanyakan keluhan penyerta (berdasarkan sistem)
5 Menggali riwayat penyakit dahulu:
• Ada tidaknya penyakit seperti ini sebelumnya
• Penyakit lain yang pernah diderita
6 Menggali riwayat penyakit keluarga
• Ada tidaknya penyakit serupa
7 Membuat resume anamnesis
8 Menyadari keterbatasan diri dengan merujuk jika
tidak mampu
TOTAL NILAI
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan, tetapi kurang benar
2 = dilakukan dengan benar
Kadar hemoglobin (Hb) dapat diukur menggunakan berbagai metode, antara lain
metode Sahli, oksihemoglobin, sianmethemoglobin atau hematology analyzer.
Metode Sahli tidak dianjurkan lagi, karena mempunyai kesalahan inheren yang
besar. Alat metode Sahli sulit distandarisasi, selain itu tidak semua jenis Hb dapat
ditetapkan menggunakan metode ini. Jenis hemoglobin yang tidak dapat diukur
menggunakan metode Sahli antara lain: karboksihemoglobin, methemoglobin, dan
sulfhemoglobin.
Meskipun tingkat kesalahan metode Sahli cukup besar, tetapi untuk tes
penyaring kasus anemia di puskesmas masih dapat digunakan.
Ada dua metode yang dapat diterima dalam pengukuran Hb (hemoglobinometri)
klinis, yaitu metode oksihemoglobin dan sianmethemoglobin, keduanya mengukur Hb
menggunakan alat spektrofotometri.
Metode oksihemoglobin hanya mengukur hemoglobin yang dapat diubah
menjadi oksihemoglobin, sedang karboksihemoglobin dan senyawa hemoglobin yang
lain tidak terukur.
International Committee for Standardization in Hematology (ICSH)
merekomendasikan metode sianmethemoglobin untuk mengukur Hb, karena mudah
dilakukan, terstandarisasi dan hampir semua jenis hemoglobin dapat terukur, kecuali
sulfhemoglobin.
Cara kerja
1. Hidupkan alat dengan menekan tombol power.
2. Biarkan alat melakukan persiapan sendiri secara otomatis hingga muncul kalimat
Ready pada layar.
3. Lakukan kontrol dengan bahan control; jika masuk dalam nilai range, lanjutkan
dengan pengukuran darah pasien.
4. Jika tidak masuk dalam nilai range kontrol, maka lakukan kalibrasi. Setelah
kalibrasi selesai, lakukan kontrol kembali.
5. Hasil akan keluar dalam bentuk print out.
Keterangan
Sumber kesalahan:
a. Darah lisis
b. Antikoagulan tidak sesuai (seharusnya menggunakan K3EDTA)
c. Volume darah tidak sesuai dengan jumlah antikoagulan
d. Tidak dilakukan kalibrasi dan kontrol
Laju endap darah (LED) atau erythrocyte sedimentation rate (ESR) adalah suatu
tes untuk mengukur kecepatan sedimentasi eritrosit di dalam plasma dalam tabung yang
sudah distandarisasi. Ada 2 metode untuk pengukuran LED, yaitu metode Wintrobe dan
metode Westergren. Metode yang direkomendasikan oleh ICSH (International Council
for Standardization in Haematology) adalah metode Westergren yaitu menggunakan
tabung LED yang disebut sebagai tabung Westergren. Hasil pengukuran LED
satuannya adalah mm/jam.
Pemeriksaan LED berguna untuk mengetahui adanya proses peradangan dalam
tubuh yang dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti: infeksi, keganasan, atau proses
imunologi.
Faktor yang mempengaruhi LED antara lain adalah:
- Faktor plasma
mempercepat : fibrinogen, 2-, -, -globulin, kolesterol
memperlambat : albumin, lesitin
- Faktor eritrosit
mempercepat : anemia
memperlambat : sferosit
(LED pada pasien dengan eritrosit bentuk mikrositik lebih
lambat dibanding bentuk makrositik)
Spesimen:
Darah vena 3 ml dimasukkan ke dalam tabung penampung darah yang berisi
antikoagulan K3EDTA.
Cara kerja:
1. Isap (jangan pakai mulut) NaCl 0,85% menggunakan tabung Westergren hingga
angka skala 150, kemudian keluarkan ke dalam tabung reaksi.
2. Isap darah ber-antikoagulan K3EDTA menggunakan tabung Westergren hingga
skala 0, kemudian keluarkan ke dalam tabung reaksi yang berisi NaCl 0,85% atau
0,9%.
3. Homogenkan larutan darah dalam tabung reaksi tersebut dengan menghisap dan
mengeluarkannya menggunakan tabung Westergren sebanyak 3 kali.
4. Jika sudah homogen, isap larutan tersebut hingga skala 0.
5. Letakkan pipet/tabung Westergren pada raknya dan diamkan selama 1 jam.
6. Baca penurunan eritrosit tepat 1 jam setelah dididiamkan pada raknya dalam satuan
mm/jam.
Sumber kesalahan:
1. Pengisian tabung tidak tepat tanda 0
2. Kelebihan antikoagulan, menyebabkan LED turun
3. Bila lebih dari 1 jam, hasil akan meningkat
4. Kenaikan/penurunan suhu akan menaikkan/menurunkan hasil
5. Kemiringan tabung akan menaikkan hasil
6. Gelembung udara akan mengakibatkan kesalahan hasil
7. Adanya koagulan fibrin/jendalan mengakibatkan kesalahan hasil
8. LED harus dikerjakan dalam waktu 2 jam setelah pengambilan darah
9. Hindari tercemarnya alkohol pada waktu mengambil darah vena
10. Pencucian tabung dilakukan dengan air, alkohol dan tahap akhir dengan aseton.
Jangan menggunakan deterjen/dikhromat.
Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
A Persiapan
1 Mencuci tangan dengan metode 6 langkah
2 Mengenakan sarung tangan
3 Menghidupkan alat hingga ready to use, kalibrasi dan kontrol
C Penutup
1 Jika sudah selesai, bersihkan peralatan dan matikan alat
dengan menekan shutdown pada layar alat dan ikuti perintah
pada layar.
2 Membersihkan meja pemeriksaan dengan desinfektan
3 Mencuci tangan pada air mengalir dan melepas sarung tangan
Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Mencuci tangan dengan 6 langkah
2 Mengenakan sarung tangan steril
3 Menyiapkan alat dan bahan untuk pemeriksaan LED
4 Isap NaCl fisiologi menggunakan tabung Westergren
sampai skala "150" menggunakan penghisap. Lalu
pindahkan NaCl tersebut ke dalam tabung reaksi yang
sudah disiapkan
5 Homogenkan darah, lalu isap menggunakan tabung
Westergren sampai skala "0" menggunakan penghisap.
Lalu pindahkan darah tersebut ke dalam tabung reaksi
yang sudah disiapkan
6 Campurkan darah dan NaCl dalam tabung reaksi agar
homogen dengan cara menghisap dan mengeluarkan
dengan hati-hati menggunakan tabung Westergren
sebanyak 3x dalam tabung reaksi tersebut
7 Isap campuran darah tersebut dengan tabung Westergren
hingga pas pada skala "0". Lalu tekan ujung pipet ke
bantalan rak penggantung LED, kemudian lepas penghisap
dan tekan mulut pipet agar ketika melakukan
penggantungan, darah tidak keluar.
8 Pindahkan posisi pipet pada tempat penjepit yang sesuai,
lalu jepitkan pipet Westergren tersebut
9 Diamkan hingga 1 jam pada meja yang datar dan tanpa
getaran
10 Bersihkan alat yang digunakan
11 Lepas sarung tangan dan cuci tangan pada air mengalir
12 Setelah satu jam, baca tinggi endapan eritrosit pada skala
berapa dan laporkan dalam mm/jam
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan, tetapi tidak benar/tidak lengkap
2 = dilakukan dengan benar
Pendahuluan
Pemasangan infus intravena adalah suatu tindakan bedah sederhana yang
bertujuan untuk memberikan jalan bagi keperluan terapi, baik terapi cairan dan
transfusi, maupun terapi medikamentosa. Untuk keperluan terapi cairan dan transfusi,
tindakan ini sering dilakukan antara lain untuk resusitasi cairan, agar fungsi
hemodinamik cairan tubuh kembali normal pada keadaan dehidrasi, shock, perdarahan,
dan lain sebagainya. Untuk tujuan terapi medikamentosa, tindakan ini dilakukan agar
efek terapeutik suatu obat yang diberikan cepat timbul, misalnya pada keadaan gawat
darurat. Selain itu, tindakan ini juga berguna pada pemberian obat-obatan tertentu yang
tidak bisa diberikan peroral, sehingga disebut juga terapi parenteral.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada tindakan ini adalah sterilitas (tindakan
aseptik), fiksasi, dan kecepatan aliran. Sterilitas mutlak dilakukan supaya mikroba atau
jasad renik tidak masuk ke dalam tubuh. Untuk itu tempat penusukan vena harus
disucihamakan, jarum harus tetap steril, tempat penampung darah harus steril. Selain itu
harus dijamin juga bahwa fiksasi cukup baik agar kanula atau jarum tidak mudah
bergerak atau tercabut. Dalam rangka fiksasi ini, maka perlu dipertimbangkan
pemilihan tempat vena yang akan dipunksi. Pemilihan tempat ini juga
mempertimbangkan ukuran dan mudahnya vena tersebut dapat terlihat. Pada orang
dewasa biasanya vena superfisial di lengan dan tungkai
• Larutan Protein
Termasuk jenis larutan ini adalah Larutan L-asam amino 350 Kcal, L-asam amino
600 Kcal + Sorbitol, L-asam amino 500 Kcal + Sorbitol, dan L-asam amino 1000
Kcal.
• Plasma Expander
Termasuk jenis ini adalah Dextran 70, Dextran 40, Human Albumin 5% dan 25%,
Human Plasma, Gelatin (dengan jembatan Urea) dan PVP.
Infusion set adalah suatu alat berbentuk pipa yang biasanya terbuat dari plastik,
dimana satu ujung berhubungan dengan botol/tabung cairan infus dan ujung yang lain
berhubungan dengan jarum infus. Bagian atau ujung yang berhubungan dengan botol
cairan infus berbentuk tabung melebar yang berfungsi untuk mengatur kecepatan
tetesan infus. Bagian yang lain yang berhubungan dengan jarum infus pada ujungnya
terdapat tabung karet elastis tempat injeksi/suntikan jarum untuk memberikan obat dan
cairan lain melalui jarum spuit injeksi. Pada pertengahan pipa plastik infusion set
terdapat klem yang berfungsi untuk mengatur kecepatan tetesan cairan infus. Infusion
set bersifat disposible untuk sekali pakai.
Jarum infus ada 2 macam, yaitu jarum infus tanpa plastik kateter dan jarum infus
yang menggunakan plastik kateter. Jarum infus tanpa plastik kateter biasanya
dilengkapi dengan karet plastik elastik berbentuk sayap (wing) pada pangkal jarum
sebagai alat fiksasi jarum pada permukaan kulit, sehingga jarum tidak bergerak
kemana-mana. Jarum infus berbentuk demikian dikenal dengan istilah wing needle.
Jarum infus yang dilengkapi plastik kateter atau kanula sekarang sudah menjadi pilihan
utama dibanding wing needle, karena relatif kurang traumatik bagi kulit pasien dan
menimbulkan reaksi jaringan yang minimal. Jarum pada jarum infus jenis ini
sebenarnya hanya sebagai penuntun (trokar) ke dalam pembuluh darah, dan dapat
dilepas jika kanula sudah berada di dalam pembuluh darah. Jarum jenis ini dikenal luas
dengan beberapa nama merk dagang, antara lain Surflo®, Abbocath®, Medicath®, dan
Venocath®. Dibanding wing needle, Surflo® pemasangannya lebih sulit dan
Kurikulum Berbasis Kompetensi Fakultas Kedokteran ULM TA. 2022/2023 31
Blok Keluhan Berkaitan dengan Sistem Hemopoietik dan Limforetikuler
kedaluwarsanya. Letakkan botol cairan infus di tempat yang lebih tinggi dari lengan
naracoba, biasanya pada tempat gantungan infus yang sudah tersedia di samping
tempat tidur dekat naracoba.
3. Bukalah infus set, letakkan klem infus ke dekat chamber, kemudian tutuplah klem
semaksimal mungkin. Pasanglah infus set dengan menusukkan bagian yang tajam ke
tempatnya pada puncak botol infus, lalu alirkan cairan ke dalam tabung pengatur
tetesan (chamber) sampai pada batas yang ada atau sekitar ½ bagian tabung tersebut.
4. Bukalah klem infus semaksimal mungkin dan alirkan cairan infus melewati pipa
infus sampai seluruh pipa terisi cairan. Usahakan jangan sampai ada gelembung
udara di dalam pipa infus tersebut. Tutup kembali klem infus secara maksimal.
5. Jika menggunakan wing needle, bukalah jarum dari kemasannya, lalu sambungkan
pipa wing needle ke ujung pipa infus, bukalah klem untuk mengalirkan cairan infus
sampai mengalir keluar dari ujung jarum. Setelah itu klem ditutup kembali.
6. Siapkan plester yang dipotong sepanjang kira-kira 10 cm sebanyak 3 buah.
7. Siapkan naracoba dalam keadaan duduk atau berbaring, terutama harus dalam
keadaan rileks. Letakkan perlak kecil di bawah tempat pemasangan.
8. Tentukan lokasi vena yang akan dipunksi pada ekstremitas.
9. Lakukan pencucian tangan secara aseptik, kemudian pakai sarung tangan.
10. Pasanglah torniquet pada bagian proksimal ekstremitas yang akan dipunksi venanya
untuk membendung aliran vena, sehingga memungkinkan penonjolan vena yang
dipilih dari permukaan kulit. Jika vena yang diinginkan terletak profunda, biasanya
tidak mudah untuk terlihat, maka lakukanlah perabaaan, tepukan ringan, atau pijatan
ringan (milking) pada pembuluh vena tersebut agar lebih menonjol.
11. Lakukan tindakan asepsis pada daerah sekitar vena yang akan dipunksi dengan kapas
alkohol 70%.
12. Bukalah pelindung jarum pada Surflo®/Abbocath® atau wing needle. Lakukan
tusukan pada permukaan vena dengan sudut 30-45° dan arah lubang jarum
menghadap ke atas dengan kedalaman yang cukup untuk menembus kulit sampai
menembus dinding anterior vena dan jarum masuk ke dalam vena. Untuk
menghindari ujung jarum menembus dinding posterior vena, setelah dirasa ujung
jarum telah masuk lumen vena, putarlah jarum 180o agar lubang jarum menghadap
ke bawah/dinding posterior vena. Jika jarum telah tepat masuk ke dalam lumen vena,
maka akan terlihat darah mengalir mengisi penuh bagian pangkal jarum yang
berbentuk pipa buntu (pada Surflo® atau Abbocath®) atau darah akan mengalir
sampai tercampur dengan cairan infus yang mengisi pipa plastik pada wing needle.
Untuk Surflo® atau Abbocath®: tariklah sedikit ke belakang bagian jarum (trokar)
dan lepaskan tourniquet, kemudian doronglah ke depan bagian plastik (kanula) yang
terletak di sebelah luarnya secara hati-hati sampai pangkalnya sehingga seluruh
panjang kanula masuk ke dalam lumen vena dengan arah sejajar dengan permukaan
vena. Pasanglah selang infus ke pangkal kanula.
13. Segera bukalah klem secara maksimal agar cairan infus mengalir deras masuk ke
dalam vena. Amati lengan penderita apakah terjadi ekstravasasi atau tidak. Jika
terjadi ekstravasasi, maka akan tampak penonjolan kulit di sekitar vena tersebut, dan
tetesan menjadi lambat sampai berhenti sama sekali. Kontrol ulang sekali lagi untuk
memastikannya. Jika terjadi ekstravasasi, cabut kanula dari vena tersebut, dan
lakukan pengulangan punksi pada vena yang sama dengan tempat yang lebih
proksimal atau pada vena lain yang baru pada tempat yang lain.
14. Apabila telah berhasil, tempelkanlah kasa yang telah diberi desinfektan (Betadin),
kemudian dipasang di bawah kanula kateter intravena, pasangkan plester di atas
tempat tusukan pada vena, dan lakukan fiksasi sekali lagi membentuk simpul kupu-
kupu dengan menggunakan plester secara melingkar pada pipa infus set sedemikian
rupa agar menjamin aliran cairan yang lancar.
15. Aturlah tetesan infus yang diinginkan dengan mengatur klem infus. Tempelkan label
pada botol cairan infus yang berisi identitas penderita, jenis, dan jumlah cairan yang
diberikan selama 24 jam, tandai botol cairan yang keberapa, dan kecepatan tetesan
cairan per menit serta jadwal pemberiannya.
16. Periksalah kembali peralatan dan bersihkan kotoran yang ada, seperti tetesan darah
ataupun tetesan cairan infus yang mungkin ada dan melekat pada lengan dan sekitar
naracoba.
Pedoman Tambahan
Ada beberapa pedoman tambahan dalam pemberian infus, yaitu:
A. Cairan dengan konsentrasi tinggi lebih dari 10% selalu diberikan melalui jarum
dengan ukuran yang besar atau melalui pipa CVP.
B. Larutan gula konsentrasi 5% sebagai cairan standar pelarut.
C. Cairan elektrolit yang pekat (misalnya KCl) selalu disuplai dalam ampul dan
pemberiannya harus diencerkan terlebih dahulu pada botol infus. Tidak boleh
langsung secara intravena.
D. Larutan asam-amino harus diberikan bersama atau sesudah (piggy-back) cairan
gula/kalori.
E. Kanula infus paling lama dipakai dalam waktu 72 jam, sedangkan jarum wing
needle paling lama 48 jam.
Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2 Menjelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan, fungsi, dan
efek sampingnya
3 Meminta persetujuan secara lisan
4 Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan
➢ kateter iv sesuai ukuran
➢ cairan iv sesuai indikasi
➢ infus set
➢ kapas alkohol 70%
➢ gunting
➢ sarung tangan
➢ tiang infus
➢ plester
➢ perlak kecil untuk alas
➢ kassa steril
➢ cairan povidon iodin
➢ torniquet
5 Menggunting plester (2 pendek, 1 panjang)
6 Mempersiapkan kassa steril (digunting separuh dan diberi larutan
antiseptik)
7 Meletakkan botol infus pada tempatnya
8 Membuka kemasan infus set
9 Mengatur letak klem pengatur tetesan ke dekat chamber
9 Memutar klem pengatur tetesan sampai selang tertutup
10 Menjaga sterilitas penusuk botol
11 Membuka penutup botol infus
12 Menusukkan ujung penusuk infus set ke botol secara tegak lurus
13 Menekan chamber sampai cairan terisi setengah
14 Menaikkan ujung infus set sejajar chamber
15 Membuka maksimal klem pengatur tetesan sampai cairan infus
mengisi seluruh selang infus set
16 Tutup kembali klem pengatur tetesan secara maksimal
Skor
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1 Mencuci tangan secara aseptik
2 Mengenakan sarung tangan
3 Menyiapkan kapas alkohol 70%, kassa, dan kateter iv ke dekat
pasien
4 Menentukan lokasi pemasangan infus
5 Melakukan stewing dengan mengencangkan torniquet
6 Melakukan tindakan asepsis pada lokasi pemasangan infus
7 Menusukkan jarum kateter iv dengan sudut 30-45o pada kulit lokasi
pemasangan infus, dengan lubang jarum menghadap ke atas
8 Memperhatikan pangkal jarum untuk melihat apakah darah mengisi
ruang vakum yang menandakan kateter iv telah masuk pembuluh
vena
9 Melepaskan torniquet
10 Mengubah sudut jarum menjadi sejajar dengan vena, kemudian
memutar jarum kateter iv 1800 agar lubang jarum menghadap ke
bawah
11 Menarik sedikit ke belakang bagian jarum (trokar)
12 Memasukkan kanula masuk ke dalam lumen vena sehingga seluruh
panjang kanula masuk ke dalam lumen vena dengan arah sejajar
dengan permukaan vena
13 Menghubungkan pangkal kanula dengan selang infus
14 Membuka pengatur tetesan (klem) secara maksimal
15 Menutup tempat tusukan dengan kassa steril yang sudah diberi
larutan povidon iodin
16 Memfiksasi karet dan selang infus
17 Mengatur kembali tetesan sesuai dengan jumlah cairan yang
diberikan
18 Membuang sampah dan memasukkan peralatan yang sudah
digunakan ke dalam bengkok
19 Melepas sarung tangan dan mencuci tangan pada air mengalir.
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan, tetapi tidak benar/tidak lengkap
2 = dilakukan dengan benar
Pendahuluan
Jalur (rute) pemberian obat adalah jalur tempat obat datang berkontak dengan
tubuh. Parenteral berarti diberikan melalui jalan selain traktus digestivus. Obat yang
diberikan melalui jalur parenteral memasuki jaringan tubuh dan sistem sirkulasi melalui
injeksi. Obat yang disuntikkan lebih cepat diabsorbsi daripada obat oral. Jalur
parenteral digunakan ketika pasien mengalami muntah, tidak dapat menelan, dan/atau
intake cairan oral yang terbatas.
Prosedur pemberian obat parenteral bersifat invasif, sehingga memiliki risiko
yang lebih besar dibandingkan obat yang diberikan secara non parenteral. Berhubung
infeksi dapat berasal dari berbagai sumber, dokter harus menggunakan teknik yang
aseptik pada pemberian obat secara parenteral.
Ada empat jalur pemberian obat secara parenteral, yaitu:
1. Injeksi subkutan (sc): injeksi ke dalam jaringan tepat profundal dari dermis
2. Injeksi intramuskular (im): injeksi ke dalam venter (body) otot seran lintang
3. Injeksi intradermal (id) atau intrakutan (ic): injeksi ke dalam dermis tepat profundal
dari epidermis
4. Injeksi atau infus intravena (iv): injeksi ke dalam vena.
Masing-masing tipe injeksi di atas memerlukan seperangkat keterampilan
tertentu untuk menjamin obat mencapai lokasi yang tepat. Kegagalan menginjeksikan
obat secara benar dapat menimbulkan komplikasi, seperti respons obat yang tidak
sesuai (misalnya terlalu cepat atau terlalu lambat), jejas saraf dengan nyeri yang
berhubungan, perdarahan yang terlokalisir, nekrosis jaringan, dan abses steril.
Keterampilan teknik injeksi pada skillab ini dilakukan pada media fantom.
Mahasiswa berlatih keterampilan teknik injeksi intramuskuler, intrakutan, subkutan,
dan intravena pada media fantom. Penguasaan keterampilan teknik injeksi pada fantom
ini akan membantu mahasiswa ketika melakukan injeksi ke pasien yang sesungguhnya
pada waktu praktik profesi.
Setelah melaksanakan kegiatan skillab teknik dasar injeksi ini, mahasiswa akan
dapat:
1. Melakukan teknik injeksi intramuskuler pada media fantom dengan benar dan
sistematik
2. Melakukan teknik injeksi intrakutan pada media fantom dengan benar dan
sistematik
3. Melakukan teknik injeksi subkutan pada media fantom dengan benar dan sistematik
4. Melakukan teknik injeksi intravena pada media fantom dengan benar dan
sistematik.
Teknik Injeksi
Berdasarkan tujuan dan tempat pemberian, injeksi terbagi menjadi 4 tipe::
1. Injeksi intramuskular (ke dalam otot)
2. Injeksi intrakutan atau intradermis (ke dalam kulit)
3. Injeksi subkutan atau hipodermis (ke dalam jaringan lemak subkutan atau
hipodermis)
4. Injeksi intravena (ke dalam vena)
A B
Gambar 2. Mengetuk batang ampul (A) dan memutar pergelangan tangan secara cepat
sambil memegang ampul secara vertikal (B)
5. Pasanglah jarum (jarum berfilter) ke spuit. Lepaskan penutup jarum dengan menarik
penutup jarum secara lurus
6. Tariklah obat dalam jumlah yang diinginkan, ditambah sedikit lebih banyak (sekitar
lebih dari 30%). Gunakan salah satu cara seperti di Gambar 4 atau Gambar 5
7. Tunggu sampai jarum telah ditarik untuk mengetuk spuit dan keluarkan udara
dengan hati-hati dengan menekan tombol plunger
8. Lakukan cuci tangan.
11. Baliklah vial obat. Jagalah ujung jarum agar berada di bawah permukaan larutan
obat (Gambar 7)
12. Peganglah vial dengan satu tangan dan gunakan tangan yang lain untuk menarik
larutan obat. Sentuhlah plunger spuit hanya di bagian tombol
13. Tariklah jumlah obat sambil memegang spuit secara vertikal dan setinggi mata
(Gambar 8)
Gambar 8. Menarik larutan obat dari vial obat setinggi mata dokter
14. Jika gelembung udara menumpuk di dalam spuit, ketuklah laras spuit secara tajam
dan pindahkan jarum melewati cairan ke dalam ruang udara untuk menyuntik
kembali gelembung udara ke dalam vial. Kembalikan ujung jarum ke dalam larutan
dan lanjutkan penarikan obat
15. Setelah dosis yang benar ditarik, cabutlah jarum dari vial dan pasang kembali secara
hati-hati penutup jarum ke jarum. Beberapa fasilitas membutuhkan pergantian
jarum, jika jarum telah digunakan untuk menarik obat, sebelum memberikan obat ke
pasien
16. Lakukan sanitasi tangan.
Otot seran lintang kurang peka terhadap obat yang iritatif dan kental. Orang
dewasa normal yang tumbuh dengan baik dapat menolerir secara aman 2-5 ml obat
pada otot yang lebih besar seperti ventrogluteal. Namun demikian, secara klinis tidak
lazim memberikan obat lebih dari 3 ml pada injeksi tunggal karena tubuh tidak dapat
mengabsorbsi obat dengan baik pada dosis tersebut. Pasien tua dan kurus sering hanya
menolerir 2 ml pada injeksi tunggal. Otot bayi yang lebih tua dan anak kecil dapat
menolerir 1 ml obat pada satu tempat. Anak dengan otot yang lebih besar dapat
menolerir maksimal 2 ml obat.
Lakukan pemberian injeksi im sedemikian rupa sehingga jarum tegak lurus
dengan permukaan tubuh dan sedekat-dekatnya ke sudut 90 derajat. Rotasikan tempat
injeksi im untuk menurunkan risiko hipertrofi. Hindari injeksi ke otot yang atrofi,
karena absorbsi obat berlangsung buruk.
Metode Z-track direkomendasikan untuk injeksi im. Metode Z-track merupakan
teknik menarik kulit selama injeksi. Metode ini dapat mencegah kebocoran larutan obat
ke jaringan subkutan, menyegel obat dalam otot, dan meminimalisir iritasi. Untuk
menggunakan metode Z-track, gunakanlah jarum berukuran yang sesuai dengan spuit
dan pilihlah tempat injeksi im. Tempat yang lebih disukai adalah otot yang besar dan
terletak di dalam seperti ventrogluteal. Tariklah kulit dan jaringan subkutan di atas otot
sekitar 2,5-3,5 cm ke lateral dengan sisi ulnar tangan yang non dominan. Tahanlah kulit
di posisi ini sampai injeksi diberikan (gambar 9A).
jaringan meluncur melintas satu sama lain (gambar 9B). Obat tersegel dalam jaringan
otot.
Tempat injeksi. Ketika memilih tempat injeksi im, tentukanlah bahwa tempat
tersebut bebas dari nyeri, infeksi, nekrosis, memar, dan lecet. Pertimbangkan juga
lokasi tulang, saraf, dan pembuluh darah di dalamnya, serta volume obat yang akan
diberikan. Otot dorsogluteal tidak direkomendasikan sebagai tempat injeksi karena
lokasi nervus ischiadicus (sciatic nerve). Jika jarum mengenai n. ischiadicus, pasien
dapat mengalami paralisis tungkai parsial atau paralisis tungkai permanen.
Lokasi ventrogluteal. Otot ventrogluteal mencakup m. gluteus medius dan m.
gluteus minimus. Otot ini merupakan tempat injeksi yang aman untuk orang dewasa
dan anak-anak.
Pasien harus berada di salah satu posisi yaitu telentang (supinasi) atau miring
(lateral) untuk melokasikan m. ventrogluteal. Letakkanlah telapak tangan (the heel of
your hand) di atas trochanter major femur pasien dengan pergelangan tangan hampir
tegak lurus dengan femur. Gunakanlah tangan kanan untuk panggul kiri pasien dan
tangan kiri untuk panggul kanan pasien. Arahkan ibu jari tangan ke lipat paha pasien.
Arahkan jari telunjuk ke SIAS (spina iliaca anterior superior) pasien. Bentangkan jari
tengah ke belakang sepanjang crista iliaca pasien ke arah pantat. Jari telunjuk, jari
tengah, dan crista iliaca membentuk segitiga berbentuk V. Tempat injeksi adalah pusat
dari segitiga tersebut (gambar 10A).
Pasien berbaring miring atau ke belakang sambil memfleksikan lutut dan panggul untuk
merelaksasikan otot ventrugluteal.
Cara lain yang bisa dipakai adalah dengan menarik garis khayal dari SIAS ke os
coccygeus. Daerah injeksi adalah di daerah 1/3 cranial lateral dari garis khayal tersebut.
Musculus vastus lateralis. M. vastus lateralis adalah tempat injeksi lain yang
digunakan pada orang dewasa. Otot ini merupakan tempat yang disukai untuk
pemberian agen biologik (misalnya imunisasi) pada bayi, balita, dan anak-anak. Otot ini
tebal dan berkembang dengan baik. Otot ini terletak di permukaan anterolateral paha.
Otot ini terbentang pada orang dewasa dari seluas tangan di atas lutut sampai seluas
tangan di bawah trochanter major femur (gambar 11A).
Gunakan 1/3 tengah otot untuk injeksi. Untuk merelaksasikan otot ini, minta pasien
berbaring telentang dengan lutut sedikit fleksi dan kaki terputar ke luar atau mengambil
posisi duduk.
Musculus deltoideus. Meskipun m. deltoideus merupakan tempat yang mudah
diakses, otot ini dapat tidak berkembang dengan baik pada banyak orang dewasa.
Gunakan lokasi injeksi ini untuk volume obat yang kecil (2 ml atau kurang), pemberian
imunisasi rutin pada balita, anak-anak yang lebih tua, dan orang dewasa, atau ketika
tempat lain tidak bisa diakses.
Lokasikan m. deltoideus dengan memaparkan sepenuhnya lengan atas dan bahu
pasien. Minta pasien merelaksasikan lengannya di sisi atau dengan menyokong lengan
pasien dan memfleksikan siku. Jangan menggulung baju ketat apapun. Persilakan
pasien untuk duduk, berdiri, atau berbaring. Palpasi tepi bawah processus acromialis.
Processus acromialis membentuk dasar segitiga pada garis dengan titik tengah
permukaan lateral lengan atas. Tempat injeksi adalah bagian pusat segitiga, sekitar 3-5
cm di bawah processus acromialis (Gambar 12A). Lokasikan apeks segitiga dengan
menempatkan 4 jari menyilang m. deltoideus dengan jari telunjuk di sepanjang
processus acromialis. Tempat injeksi adalah lebar 3 jari di bawah processus acromialis
(Gambar 12B).
8. Persilahkan pasien menuju ke bed (disesuaikan dengan posisi pasien pada saat
diinjeksi, misalnya apabila posisi pasien berbaring. Apabila posisi pasien duduk,
pasien dibolehkan untuk duduk di kursi)
9. Minta pasien melepaskan (membuka) kain penutup di tempat suntikan
10. Pilih tempat suntikan yang tepat. Perhatikan integritas dan ukuran otot. Palpasi
apakah ada rasa nyeri tekan atau bagian yang keras. Jika ada, hindari area tersebut.
Jika pasien sering disuntik, rotasikan tempat injeksi. Gunakan ventrogluteal jika
memungkinkan
11. Bantu pasien ke posisi yang nyaman. Posisi pasien bergantung pada tempat
suntikan yang dipilih (misalnya duduk, berbaring telentang, miring, atau tengkurap)
12. Relokasikan kembali tempat injeksi menggunakan penanda anatomik
13. Bersihkan tempat injeksi dengan usapan antiseptik. Lakukan usapan di pusat
tempat injeksi dan rotasikan ke arah luar dalam arah melingkar sekitar 5 cm
14. Lepaskan penutup jarum dengan menarik secara lurus
15. Pegang spuit di antara ibu jari dan telunjuk tangan yang dominan
16. Lakukan injeksi dengan teknik Z-track:
a. Posisi sisi ulnar tangan dokter yang tidak dominan berada tepat di bawah
tempat injeksi dan tarik kulit ke lateral sekitar 2,5-3,5 cm. Pertahankan posisi
tersebut sampai obat diinjeksikan. Injeksikan jarum secara cepat dengan tangan
yang dominan (Gambar 9A)
b. Pilihan: jika massa otot kecil, pegang venter otot di antara ibu jari dan telunjuk
c. Setelah jarum menembus kulit dan sampai ke otot, dengan tangan tidak
dominan masih menarik kulit, pegang ujung bawah barrel spuit dengan jari-jari
tangan non dominan untuk menstabilkan spuit. Gerakkan tangan yang dominan
ke ujung plunger spuit. Hindari menggerakkan spuit
d. Tarik plunger spuit ke belakang 5-10 detik. Jika tidak ada darah yang muncul,
suntikkan obat secara lambat dengan kecepatan 10 detik/ml
e. Tunggu 10 detik, tarik jarum secara halus dan mantap, lepaskan tarikan kulit,
dan tempelkan kasa secara lembut di atas tempat injeksi.
17. Lakukan tekanan lembut dengan kasa ke tempat suntikan. Jangan memijat tempat
suntikan. Pasang perban jika diperlukan
18. Bantu pasien ke posisi yang nyaman
19. Buang jarum dan spuit ke dalam wadah sampah medis antibocor
20. Lepaskan sarung tangan dan lakukan sanitasi tangan
21. Tetap bersama pasien selama beberapa menit dan observasi keberadaan reaksi
alergi.
8. Tusukkan jarum secara lambat ke kulit dengan sudut 5-15 derajat sampai terasa
tahanan. Jarum ditusukkan melalui epidermis sekitar 3 mm di bawah permukaan
kulit. Jarum ditusukkan sedekat-dekatnya dengan permukaan kulit dan dipertahankan
sejajar (paralel) dengan permukaan kulit. Dorong pompa spuit untuk mengalirkan
cairan obat tanpa melakukan aspirasi terlebih dahulu. Jika ujung jarum yang
ditusukkan benar masuk ke dalam kulit (intrakutan), maka segera setelah cairan obat
masuk akan terbentuk gelembung kecil (bleb) di ujung jarum pada kulit tersebut dan
tanpa perdarahan. Penekanan atau pemijatan bagian gelembung yang terbentuk tidak
dianjurkan pada injeksi untuk imunisasi BCG atau tes kulit. Pada tes kulit, buatlah
lingkaran dengan diameter 5 cm mengelilingi tempat injeksi tadi, dan tunggu sekitar
5-10 menit untuk melihat reaksi yang terjadi. Pada tes TB, hasil dibaca setelah 48-72
jam
9. Buang spuit injeksi beserta jarumnya dan kapas alkohol 70% yang telah terpakai ke
wadah sampah medis antibocor. Periksa kembali kelengkapan peralatan dan vial
cairan obat.
Injeksi Subkutan
Teknik injeksi ini hampir serupa dengan teknik injeksi intrakutan. Perbedaannya
hanya pada ukuran spuit dan jarum injeksi, serta tempat injeksinya. Teknik injeksi ini
dapat dilakukan pada lengan atas (regio brachium) sebelah extensor dan pada daerah
belakang paha sebelah lateral (regio femoralis posterior lateral). Teknik ini dapat
menggunakan spuit ukuran 2, 3, atau 5 cc dengan ukuran jarum ½ sampai 1 inci (no. 22
gauge atau lebih kecil). Teknik ini biasanya dilakukan untuk pemberian obat-obatan
tertentu seperti epinefrin atau adrenalin pada terapi asma bronkhiale akut atau pada
keadaan shock.
3. Lakukan tindakan asepsis dengan kapas alkohol 70% pada daerah yang dipilih
untuk injeksi, kira-kira 10 cm di atas siku.
4. Pegang kulit pada bagian yang ditentukan dengan tangan kiri seperti mencubit (lihat
Gambar 14) agar permukaan kulit terangkat. Tusukkan spuit + jarum pada kulit
yang terangkat di antara 2 jari tangan kiri tadi dengan arah miring sampai kira-kira
ujung jarum masuk ke lapisan subkutis (jaringan hipodermis). Tarik sedikit pompa
spuit untuk melakukan aspirasi, untuk memastikan jarum tidak menembus
pembuluh darah, lalu dorong pompa spuit untuk mengalirkan cairan obat sampai
habis secara perlahan. Cabut spuit + jarum lalu lepaskan pegangan tangan kiri,
kemudian hapus tempat bekas suntikan dengan kapas alkohol 70%.
5. Buang spuit injeksi beserta jarumnya dan kapas alkohol 70% yang telah terpakai ke
wadah sampah medis antibocor. Periksa kembali kelengkapan peralatan dan vial
cairan obat.
Injeksi Intravena
Teknik injeksi ini digunakan pada keadaan dimana efek obat diperlukan secepat
mungkin. Oleh karena obat langsung masuk ke dalam pembuluh darah tanpa melalui
perantaraan jaringan lain, maka teknik injeksi ini relatif mempunyai komplikasi yang
lebih besar daripada teknik injeksi lainnya. Tempat yang lazim dipilih adalah vena
mediana atau basilika pada lengan bawah volar dan vena-vena pada dorsum manus,
vena malleolaris anterior pada dorsum pedis, vena-vena pada tungkai dan vena
femoralis. Teknik ini dapat menggunakan spuit ukuran 2, 3, atau 5 cc dengan ukuran
jarum 1¼ atau 1½ inchi.
Prosedur (Gambar 15, injeksi pada vena mediana atau basilica dan vena malleolaris
anterior)
1. Persiapkan peralatan dan vial cairan obat, jumlah cairan obat yang diaspirasi dari
vial obat hanya 1 cc.
2. Persiapkan naracoba untuk serelaks mungkin, posisi dapat duduk atau berbaring,
lengan dalam posisi supinasi dan sedikit fleksi pada sendi siku.
3. Pasang torniquet pada lengan atas untuk membendung vena basilika dan vena
mediana. Identifikasi penonjolan vena tersebut dan kemudian lakukan tindakan
asepsis dengan kapas alkohol 70% pada kulit di atas vena tersebut
4. Tusukkan spuit + jarum pada kulit di atas vena tersebut dengan arah jarum
diusahakan separalel mungkin dengan vena.
5. Segera setelah ujung jarum masuk ke dalam lumen vena dan darah masuk dan
bercampur dengan cairan obat di dalam spuit, lepaskan torniquet.
6. Dorong pompa spuit untuk mengalirkan cairan obat secara perlahan-lahan.
7. Persiapkan kapas alkohol 70%, lalu dengan hati-hati cabut spuit + jarum dari vena.
Bersamaan ujung jarum lepas dari vena, tempelkan kapas alkohol 70% untuk
mencegah darah keluar, lalu tekan beberapa saat.
8. Lipat siku naracoba, dan minta naracoba memegang dan menekan kapas alkohol
70% tadi. Pertahankan posisi ini selama kurang lebih 5 menit agar luka tusukan
menutup dengan sendirinya akibat proses koagulasi.
9. Buang spuit injeksi beserta jarumnya dan kapas alkohol 70% yang telah terpakai ke
wadah sampah medis antibocor. Periksa kembali kelengkapan peralatan dan vial
cairan obat.
NILAI
No. ASPEK YANG DINILAI 0 1 2
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Melakukan informed consent
3. Menanyakan riwayat alergi obat
4. Mencuci tangan
5. Menyiapkan bahan dan alat: spuit (plastik pembungkus dibuka
pada salah satu sisinya), kapas/kasa beralkohol, obat (cairan),
sarung tangan bersih, dan bengkok, serta obat life saving
6. Memasang jarum dan memeriksa keutuhan pompa spuit
7. Memasukkan larutan obat dari vial/ampul ke dalam spuit
8. Menghilangkan gelembung udara (memukul spuit dengan
jari) dan mendorong pompa spuit sampai cairan obat ke luar
sedikit melalui jarum, serta memastikan sampai volume obat
yang diinginkan
9. Mencuci tangan dan mengenakan sarung tangan bersih
10. Meminta pasien untuk menuju ke bed atau kursi
11. Menentukan tempat injeksi yang tepat, misalnya lengan bawah
anterior sisi medial. Menyiapkan pasien dengan posisi lengan
lurus, bagian anterior lengan bawah pasien menghadap dokter
12. Melakukan antisepsis di daerah injeksi
13. Menusukkan jarum spuit ke kulit dengan sudut 5-15 derajat.
Setelah masuk kulit, posisi jarum disejajarkan dengan
permukaan kulit dan ditusukkan sepanjang ± 3 mm
14. Memasukkan cairan obat ke intrakutan dan mengevaluasi obat
masuk ke intrakutan (terbentuk gelembung kecil di kulit).
Jangan menekan atau memijat bagian gelembung yang
terbentuk.
15. Mencabut spuit + jarum dengan hati-hati
16. Membuang spuit dan kapas yang sudah dipakai ke dalam
wadah sampah medis antibocor, lalu memeriksa kelengkapan
alat
17. Melepas sarung tangan dan mencuci tangan
18. Menginterpretasi hasil injeksi intrakutan
19. Mengevaluasi efek samping obat pada pasien dalam waktu 15
menit.
NILAI
No. ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Melakukan informed consent
3. Menanyakan riwayat alergi obat
4. Mencuci tangan
5. Menyiapkan bahan dan alat: spuit (plastik pembungkus dibuka
pada salah satu sisinya), kapas/kasa beralkohol, obat (cairan),
sarung tangan bersih, dan bengkok, serta obat lifesaving
6. Memasang jarum ke spuit dan memeriksa keutuhan pompa
spuit
7. Memasukkan larutan obat dari vial/ampul ke dalam spuit
8. Menghilangkan gelembung udara (memukul spuit dengan
jari) dan mendorong pompa spuit sampai cairan obat keluar
sedikit melalui jarum, serta memastikan sampai volume obat
yang diinginkan
9. Mencuci tangan dan mengenakan sarung tangan bersih
10. Meminta pasien untuk menuju ke bed atau kursi
11. Mempersiapkan pasien, posisi duduk/berbaring dengan posisi
lengan dalam keadaan pronasi.
12. Melakukan antisepsis dengan kapas alkohol 70% pada lengan
kira-kira 10 cm di atas siku
13. Memegang kulit dengan cara mencubit dengan tangan kiri.
14. Memasukkan jarum antara dua jari tangan kiri dengan arah
miring sampai lapisan subcutan. Melakukan aspirasi dan
mengalirkan obat dengan perlahan-lahan
15. Mencabut spuit + jarum dan melakukan antisepsis pada bekas
suntikan
16. Membuang spuit dan kapas yang sudah dipakai ke dalam
tempat sampah medis antibocor, lalu memeriksa kelengkapan
alat
17. Melepas sarung tangan dan mencuci tangan
18. Mengevaluasi pasien dalam waktu 15 menit
NILAI
No. ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Melakukan informed consent
3. Menanyakan riwayat alergi obat
4. Mencuci tangan
5. Menyiapkan bahan dan alat: spuit (plastik pembungkus dibuka
pada salah satu sisinya), kapas/kasa beralkohol, obat (cairan),
sarung tangan bersih, dan bengkok, serta obat lifesaving
6. Memasang jarum ke spuit dan memeriksa keutuhan pompa
spuit
7. Memasukkan larutan obat dari vial/ampul ke dalam spuit
8. Menghilangkan gelembung udara (memukul spuit dengan
jari) dan mendorong pompa spuit sampai cairan obat keluar
sedikit melalui jarum, serta memastikan sampai volume obat
yang diinginkan
9. Mencuci tangan dan mengenakan sarung tangan bersih
10. Meminta pasien untuk menuju ke bed atau kursi
11. Memasang torniquet pada lengan atas pasien
12. Memilih tempat suntikan yang tepat
13. Melakukan tindakan antisepsis pada daerah vena yang disuntik
dengan kapas alkohol
14. Memasukkan spuit + jarum pada kulit di atas vena tersebut.
15. Melepaskan torniquet
16. Mendorong pompa spuit
17. Mencabut spuit + jarum dengan hati-hati
18. Membuang spuit & kapas yang sudah dipakai ke dalam wadah
sampah medis antibocor, lalu memeriksa kelengkapan alat
19. Melepaskan sarung tangan dan mencuci tangan
20. Mengevaluasi pasien dalam waktu 15 menit
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan, tetapi tidak benar
2 = dilakukan dengan benar
Tes tourniquet mempunyai nilai yang rendah dalam diagnosis infeksi demam
Dengue di rumah sakit, namun ketika digunakan pada komunitas, hasil positif dari tes
tourniquet sangat membantu dalam memprediksi adanya infeksi Dengue, tetapi hasil
yang negatif dari tes tourniquet tidak menyingkirkan adanya kemungkinan infeksi
Dengue.
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan, tetapi tidak benar
2 = dilakukan dengan benar