Anda di halaman 1dari 4

Folklore: Geliat Bermusik di Masa Pandemi

Dirilis 24 Juli 2020

Direkam April–Juli 2020

Long Pond (Hudson Valley, New York)


Studio
Kitty Committee (Los Angeles)

Rough Customer (New York City)

Electric Lady (New York City)

Conway (Los Angeles)

Genre Indie folk

alternative rock

electro-folk

chamber pop

Durasi 63:29

Label Republic

Produser Aaron Dessner

Jack Antonoff

Taylor Swift
Folklore merupakan album studio kesembilan dari Taylor Swift, pelantun “Love Story”
dan “Blank Space”. Sebagai penyanyi internasional yang memulai karir di jalur musik country
dan sukses bertransisi ke jalur pop, Taylor Swift kembali menunjukkan konsistensinya dalam
berkarya: menyambut perubahan. Ia menggaet Aaron Dessner, pentolan band alternatif The
National, sebagai produser dan mitra dalam menulis lagu. Diikuti Jack Antonoff yang setia
memproduserinya dari album 1989 hingga Folklore. Tidak hanya dua nama tersebut, Justin
Vernon, pentolan band indie Bon Iver, ikut mengisi vokal. Sang kekasih, Joe Alwyn (yang
disamarkan dengan nama William Bowery), juga ikut berpartisipasi dalam menulis lagu.
Jadwal tur dan festival yang dibatalkan sepanjang tahun 2020 karena pandemi virus
korona membuat Taylor Swift menjalani karantina. Selama karantina ia mengaku imajinasinya
beranjak liar dan satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menulis lagu.
Kolaborasi pertamanya dengan Aaron berhasil menelurkan lagu hit “Cardigan”, diikuti
dengan lagu-lagu lain dengan proses penciptaan yang terhitung cepat. Selama empat bulan masa
karantina, Taylor dan para kolaboratornya berhasil menelurkan album yang disebut sebagai salah
satu esensi terbaik di bidang musik selama masa pandemi. Lebih jauh lagi, para kritikus
menyebut Folklore sebagai karya terbaiknya hingga kini.
Disusun dari 17 lagu yang sebagian besar diproduseri Aaron, Jack, dan Taylor sendiri,
Folklore dibuka dengan lagu “The 1” yang mendobrak para pendengar setianya dengan baris
provokatif, I'm doing good, I'm on some new shit. Pada baris pembuka itu ia sudah mengubah
kebiasaannya sebagai penulis yang santun dan bertaruh dengan para penggemarnya.
Lagu kedua “Cardigan” berkutat dengan tema patah hati dan mengambil sudut pandang
Betty, tokoh fiktif yang Taylor ciptakan. Uniknya, sudut pandang James, kekasih Betty,
kemudian digunakan dalam lagu “Betty”. Sementara, sudut pandang gadis yang membuat James
berpaling dituangkan dalam lagu “August”. Dengan trilogi lagu tentang cinta segitiga, Taylor
seolah menegaskan semua orang berhak memaparkan cerita dengan pendekatan dan kebenaran
mereka masing-masing.
Tidak hanya mengangkat cerita fiktif, Swift juga menulis lagu tentang Rebekkah
Harkness, sosialita legendaris yang rumahnya sekarang jadi properti pribadi Taylor. Ketenaran
Harkness sebagai janda kaya raya yang hidup glamor dan gemar mengambil resiko ia tuangkan
dalam lagu “The Last Great American Dynasty”. Lagu tersebut menjadi bentuk refleksi atas
kemiripan hidupnya dengan si almarhumah yang abunya kini disimpan pada guci antik buatan
Salvador Dali seharga 250.000 dolar.
Sisi sentimentil juga ia tuangkan dengan jujur lewat lagu-lagu, seperti “My Tears
Ricochet”, “Mad Woman”, dan “This Is Me Trying”. Tiga lagu yang secara berurutan mewakili
pandangannya sebagai orang yang pernah dikhianati, standar ganda atas emosi wanita yang
kerap dicap tak valid, serta sebagai suara riil dari perasaan-perasaan depresif.
Kematangan Taylor sebagai penyanyi dan penulis lagu juga semakin dibuktikan dengan
lagu “Seven”, di mana ia menceritakan tentang sahabatnya di masa kecil; “Epiphany”, di mana ia
mengambil cerita sang kakek yang pernah terlibat pertempuran brutal di masa perang dan
mengaitkan pertempuran tersebut dengan pengorbanan para tenaga medis di masa pandemi;
“Illicit Affair”, yang mengisahkan curahan hati seseorang yang dicampakan; “Mirrorball”, lagu
antem para people pleaser yang dibalut metafora yang koheren dengan statusnya sebagai
penyanyi di masa pandemi; dan “Hoax”, lagu tentang kekalahan yang telak dalam sebuah
hubungan. Lagu-lagu tersebut membawa bakat kepenulisan lagu Taylor berada pada level di
mana ia seolah berhenti bersaing dengan para koleganya.
“Exile”, lagu yang ia tulis dengan sang kekasih, Joe Alwyn, dan dinyanyikan bersama
dengan Justin Vernon, menjadi salah satu momentum emas dalam Folklore. Tidak ada yang bisa
membayangkan penyanyi yang dikenal sebagai artis pop internasional menyanyi saling sahut
dengan vokalis paling indie bersuara berat. Hasilnya, sebuah duet yang tak biasa dengan lirik
yang cukup menyakitkan.
Bukan Taylor Swift kalau ia tak menyanyikan lagu yang ia tulis berdasarkan kehidupan
pribadinya. Judul-judul seperti “The Lakes”, “Invisible String”, dan “Peace” ditulis bak puisi
klasik, sebuah janji pernikahan, maupun cerita indah di buku harian. Ketiga lagu tersebut
menggambarkan kebahagiaan sekaligus kontemplasinya atas cinta dan pendewasaan.
Folklore adalah satu album di mana realitas dan imajinasi kehilangan batas-batasnya di
bawah mata pena Taylor dan vokalnya yang khas. Barangkali, itulah pemaknaan Swift atas kata
folklore yang berarti cerita atau tradisi yang diwariskan dari mulut ke mulut. Di situ, kebenaran
menemukan pembelokan dan menjadi mitos, hingga cerita terus disampaikan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Kebenaran dan khayalan memang menjadi begitu tipis. Namun, bagi
Taylor, mitos sama halnya seperti gosip: tergantung kau mempercayai atau tidak. Semua kembali
pada epistem penerima cerita masing-masing. Meski tidak semua cerita di dalam lagunya dapat
dipercayai karena berlindung di balik unsur fakta yang kabur, namun, lagu-lagu tersebut masih
dapat dinikmati. Suara Taylor Swift yang terdengar effortless dan lebih dewasa tidak memberi
banyak kejutan dalam segi teknik, meski masih bisa dinikmati. Begitu pula dengan aransemen
musiknya yang sangat tipikal dengan music-musik alternatif lainnya. Namun, album ini tetap
terasa segar dengan teknik penulisan lagu yang lebih purna dan dikeluarkan di momentum yang
pas di kala pandemi.
Lewat Folklore, Taylor menawarkan pendekatan baru dalam seni bercerita. Pendekatan
yang melampaui usianya dan ditawarkan ketika orang-orang di seluruh dunia membutuhkan
penghiburan dan pengharapan atas kabar duka yang datang silih berganti. Folklore menjadi
menjadi momen katarsis dari bidang musik yang diantisipasi kurang dari 24 jam, dirilis secara
mendadak di tengah pandemi, dan membuat jutaan penggemar di seluruh dunia kegirangan atas
mahakarya yang dihasilkan dari isolasi dan rasa bosan. Pada akhirnya, harus diakui Folklore
akan terus diingat, diputar, dan dibicarakan sebelum atau sesudah pandemi berakhir.

Anda mungkin juga menyukai