Anda di halaman 1dari 255

CYBER TERRORISM

DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM


CYBER TERRORISM
DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

Sayid Qutub

a-empat
Diterbitkan oleh:
Penerbit A-Empat
Puri Kartika Banjarsari C1/1 Serang 42123
www.a-empat.com
E-mail: penerbita4@gmail.com

Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Penulis : Sayid Qutub


Tata letak : Tim kreatif A4
Perancang sampul : Wahyu Prabowo

Cetakan 1, Oktober 2014


x, 245 hlm.

ISBN: 978-602-14164-9-5

Printed by:
IRAMA OFFSET
Jl. Kertamukti No. 190 B Pisangan, Ciputat Timur, 15419
E-mail: iramaoffset@gmail.com
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat serta
pertolongan-Nya yang telah dilimpahkan khususnya dalam penyusunan
penelitian ini. Akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian
dengan proses yang panjang dan luar biasa. Penelitian ini merupakan
disertasi yang telah diujikan guna meraih gelar doktor konsentrasi
studi syari’ah pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis menyadari dengan segala hormat bahwa penelitian ini
dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan perhargaan yang
sebesar-besarnya dan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang
telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini di antaranya:
1. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA dan Prof. Dr. Huzaimah T
Yanggo, MA, selaku pembimbing dan penguji yang telah
membimbing penulis dalam penyelesaian penelitian ini mulai
dari awal hingga tuntas. Mudah-mudahan bimbingan dan ilmu
yang diberikan menjadi amal jariyah di sisi Allah SWT.
3. Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Yusuf Rahman, MA yang telah
memberikan bimbingan dan pendidikan akademis selama ini dan
pimpinan serta karyawan staf tata usaha yang telah tulus
membantu penulis dalam urusan administrasi, keuangan dan
perpustakaan.
Selain itu, tak lupa juga peneliti mengucapkan rasa syukur dan
terimakasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada keluarga, handai
taulan yang turut berjasa dalam menyelesaikan penelitian ini, di
antaranya:
1. Kedua orangtua penulis Ibunda Hj. Maimunah Muhammad yang
telah bersusah payah melahirkan Ananda dan yang tak bosan
untuk selalu mendoakan siang malam untuk kesuksesan anaknya,
dan Ayahanda Alm H. Muhammad Toha Hasan yang telah
memberikan contoh teladan terbaik bagi keluarga dan bimbingan
serta hartanya yang memberikan keberkahan sampai Ananda
selesai sekolah pendidikan doktor.

v
2. Istri dan anak-anakku tercinta, Dwi Nurmelly Handayani
S.Kom, M.TI dan Tsabit Qais El Fawaz, Uwais Qarni El Fawaz
yang selalu memberi doa, motivasi dahsyat, keceriaan,
kebahagiaan lahir batin, dukungan, bantuan, dan semangat.
3. Keluarga besar Alm H. Muhammad Toha Hasan, Keluarga
besar Alm. H. Muhammad, para abang, kakak, keponakan, amu,
amah dan semuanya semoga tali silaturahim takkan pernah
putus sampai maut menjemput.
4. Keluarga besar H. Hadi Soeseno dan Ibu Hj. Saodah Anggraeni
atas doa restu, motivasi, dan bantuannya.
5. Komisaris dan Direktur PT. Berkah Mulia Pangan (BMP) yang
senantiasa memberikan semangat dan doa.
6. Ketua yayasan, kepala sekolah, para dewan guru, staf TKIT-
SDIT Alquran El Fawaz dan semua komunitas El Fawaz
tercinta yang selalu memberi doa, dukungan, dan semangat.
7. Para dosen Fakultas Ekonomi dan Marketing Communication,
BINUS UNIVERSITY.
8. Para dosen Fakultas Komunikasi dan Penyiaran Islam, STIDDI
Al-Hikmah.
9. Seluruh rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Seluruh pihak yang membantu dalam penyelesaian penelitian
ini semoga Allah memberikan pahala atas semua yang
diberikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih jauh


dari kesempurnaan karena keterbatasan waktu dan pengetahuan yang
dimiliki. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan demi penyempurnaan buku ini.
Semoga segala bimbingan, arahan, bantuan, dorongan, dan doa
yang diberikan dari semua pihak dengan keikhlasan dan kemurahan
hati akan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Jakarta, 09 September 2014

Sayid Qutub
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

b = ‫ب‬ z = ‫ز‬ f = ‫ف‬

t = ‫ت‬ s = ‫س‬ q = ‫ق‬

th = ‫ث‬ sh = ‫ش‬ k = ‫ك‬

j = ‫ج‬ s{ = ‫ص‬ l = ‫ل‬

h{ = ‫ح‬ d{ = ‫ض‬ m = ‫م‬

kh = ‫خ‬ t{ = ‫ط‬ n = ‫ن‬

d = ‫د‬ z{ = ‫ظ‬ h = ‫ه‬

dh = ‫ذ‬ ‘ = ‫ع‬ w = ‫و‬

r = ‫ر‬ gh = ‫غ‬ y = ‫ي‬

B. Vokal Pendek C. Vokal Panjang D. Diftong


a=´ a< = ‫ا‬ ay = ‫ا ي‬
i=ِ i> = ‫ي‬ aw = ‫ا و‬
u= ُ ū=‫و‬

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................... iii


KATA PENGANTAR..................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................. 1
B. Permasalahan.................................................................. 23
C. Tujuan Penelitian .......................................................... 26
D. Manfaat Penelitian ......................................................... 26
E. Kerangka Pemikiran ....................................................... 27

BAB II CYBER DAN TERORISME


A. Sekilas Cyber Crime ....................................................... 35
B. Terorisme ........................................................................ 44
C. Diskursus Cyber Terrorism ............................................. 48

BAB III CYBER TERRORISM DALAM HUKUM POSITIF


A. Terorisme dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 ..................................................................... 83
B. Sanksi Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 ...................................... 93
C. KUHP dan di Luar KUHP Indonesia.............................. 102

BAB IV CYBER TERRORISM DALAM HUKUM ISLAM


A. Terorisme Menurut Islam ............................................... 125
B. Kualifikasi Cyber Terrorism .......................................... 145
C. Sanksi Tindak Pidana Cyber Terrorism ......................... 151

ix
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 183
B. Saran ............................................................................... 186

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 189


GLOSARIUM ................................................................................. 227
INDEX ............................................................................................ 235
BIODATA PENULIS...................................................................... 245

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Salah satu contoh penghilangan hak adalah pembunuhan
melalui aksi teror.1 Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusia-
an, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukkan
gerakan sebagai tragedi kemanusiaan. Terorisme merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu
ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara. Karena, terorisme
merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan
bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan
kesejahteraan masyarakat.2 Maka, perlu dilakukan pemberantasan
secara berencana dan berkesinambungan, sehingga hak asasi orang
banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia
yang termaktub dalam UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Indonesia sebagai negara hukum
memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia.
Demikian pula dalam hal perlindungan warga negara dari tindakan
terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya

1
Teror merupakan bentuk-bentuk kegiatan dalam rangka pelaksanaan
terorisme melalui penggunanaan/cara ancaman, pemerasan, agitasi, fitnah, pengebo-
man, penghancuran/perusakan, penculikan, intimidasi, perkosaan dan pembunuhan.
Adjie, Terorisme (Jakarta: Surya Multi Grafika, 2005), 11.
2
Terorisme suatu mazhab/aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak
guna menyuarakan pesan, asas dengan cara melakukan tindakan illegal yang
menjurus ke arah kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan. Adjie, Terorisme, 11.
Lihat juga Randall Law, Terrorism: A History (Cambridge: Polity Press, 2009), 12.
Lihat juga Knet Lyne Oot, seperti dikutip M. Riza Shibudi, mendifinisikan terorisme
sebagai sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan
ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material. M. Riza Sihbudi, Bara
Timur Tengah (Bandung: Mizan, 1991), 94. Lihat juga Clive Walker, Terrorism and
Law (New York: Oxford University Press, 2011), 1-6. Lihat juga Hendropriyono, “
Terorisme dalam Kajian Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan
Nasional”http://filsafat.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&viewarticle&id=
93:terorisme-dalam-kajianfilsafatanalitikarelevansinya-dengan-ketahanan
nasional&catid=68:pemikiran (diakses 1 Oktober 2013).

1
2 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

dari tindakan aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum


termasuk di dalamnya menciptakan produk hukum yang sesuai.3
Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan
peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah
menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana
yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga memerlukan
penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures).4
Salah satu contoh dari adanya aksi terorisme adalah teror bom
Bali I dan II. Dalam kejadian tersebut, para pelaku teror berhasil
merusak dan memporak-porandakan fasilitas publik serta menimbul-
kan ketakutan luar biasa bagi masyarakat Indonesia maupun
mancanegara. Kepercayaan luar negeri terhadap keamanan dalam
negeri kala itu sangat tipis sekali sampai-sampai ada negara lain yang
mengeluarkan travel warning bagi warganya untuk tindak
mengunjungi Indonesia, karena takut akan adanya teror bom susulan.
Proses globalisasi dan perkembangan budaya, kemajuan teknologi
persenjataan, kemajuan teknologi informasi, dan telekomunikasi,
memicu semakin berkembangnya bentuk terorisme baru, dalam hal ini
disebut dengan kejahatan cyber terrorism.5 Internet cyber space6 telah

3
Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, “ Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
PemberantasanTindakPidanaTerorisme”http://www.setneg.go.id//index.php?option=
com perundangan&id=1548&task=detail&catid=2&Itemid=42&tahun=0 (diakses 1
November 2013).
4
T. Nasrullah, “ Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun Formil
Terhadap UU No.15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1241/1146 (diakses 2 November
2013).
5
Suatu aksi kejahatan terorisme yang menggunakan sarana teknologi dan
informasi, tujuannya melumpuhkan infrastruktur secara nasional, seperti energi,
transportasi, untuk menekan atau mengintimidasi kegiatan-kegiatan pemerintah atau
masyarakat sipil. James A. Lewis, Assesing the Risk of Cyber Terrorism, Cyber War
and Other Cyber Threats, Center for Strategic and International Studies
(Washington D.C: Center for Strategic & International Studies, 2002), 1. Cyber
terrorism kadang juga disebut dengan cyber sabotage and exortion. Kejahatan ini
dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu
data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung ke internet.
Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu virus komputer atau
Pendahuluan | 3

menciptakan kejahatan baru, sebagai bentuk kejahatan yang ditimbul-


kan yaitu kejahatan yang berkaitan dengan aplikasi Internet yang
disebut cyber crime.7
Aksi cyber terrorism cenderung lebih murah, hanya dengan
kemampuan yang memadai maka aksi dapat dilakukan dengan cepat
dan memberikan hasil yang spektakuler. Melalui Internet, proses
komunikasi antar anggota, koordinasi dan konsolidasi, rekruitmen dan
propaganda dapat dengan lebih mudah dilakukan. Bentuk terorisme
beralih dari terorisme yang dilakukan di dunia nyata (fisik) ke dalam
bentuk terorisme melalui dunia maya (cyber). Internet digunakan
untuk merancang dan melaksanakan serangan terhadap objek-objek
sasaran di dunia nyata yang memiliki hubungan sistem komputer di
mana target dan kerusakan terjadi di dunia nyata.
Cyber terrorism adalah salah satu bentuk terorisme yang
memiliki karakteristik lintas bangsa negara. Sifat virtual dari cyber

program komputer tertentu, sehingga data program komputer tidak dapat digunakan,
tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana dikehendaki oleh
pelaku. Ali Juliano Gema, sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahid dan Mohammad
Labib, dalam buku Cyber Crime, Modus Operandi dan Penanggulangannya
(Jogjakarta: Leks Bang Komputer PRESSindo, 2007), 83. Lihat juga Andrew M.
Colaric, Cyber Terrorism: Political and Economic Implications (USA: Idea Grup
Inc., 2006), 47. Lihat juga Lech Janczewski dan Andrew M. Colarik. Cyber Warfare
and Cyber Terrorism (USA: Idea Group Inc, 2008) 1-5. Lihat juga Council of Europe,
Cyber Terrosim: The Use of the Internet for Terrorist Purpose (Strasbourg: Council
of Europe, 2007) 11-16.
6
Menurut Howard Rheingold bahwa cyber space adalah sebuah ruang imajiner
atau ruang maya yang bersifat artificial, di mana setiap orang melakukan apa saja
yang biasa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara-cara yang baru.
Abdul Wahid, Kejahatan Mayantara (Bandung: PT.Refika Aditama, 2005), 32. Lihat
juga Agus Raharjo, Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi (Bandung: Citra Aditya Bakti 2002), 92.
7
Menurut Kepolisian Inggris, cyber crime adalah segala macam penggunaan
jaringan komputer untuk tujuan kriminal atau kriminal berteknologi tinggi dengan
menyalahgunakan kemudahan teknologi digital. Abdul Wahid, Kejahatan Mayantara,
40. Lihat juga Peter Stephenson, Investigating Computer-Related Crime: A Hanbook
for Corporate Investigators (New York Washington D.C: CRC Press, 2000), 56.
Lihat juga Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian
Cyber di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), 234. Lihat juga Seamus O.
Ciardhuain, “ An Extended Model of Cybercrime Investigations.” International
Journal of Digital Evidence Summer Vol. 3, No. 1, (May 2004), 1-4. Lihat juga Dian
Ekawati Ismail, “ Cyber Crime Di Indonesia.” Inovasi Vol. 6, No. 3, (September
2009), 242-244.
4 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

space memungkinkan aksi terorisme dilakukan melintasi batas-batas


negara. Terganggunya keamanan dan pertahanan suatu negara akibat
aksi cyber terrorism sebenarnya juga merupakan ancaman bagi
keamanan dan pertahanan negara tetangga terdekat, regional dan
nasional. Di antara beberapa negara yang telah membuat peraturan
perundang-undangan dalam menangani cyber terrorism ini adalah
negara Pakistan, Inggris, Malaysia, dan Indonesia. Di Pakistan, adanya
aktivitas kejahatan cyber terkait terorisme di Internet membuat
pemerintah Pakistan mengumumkan pemberlakuan aturan Prevention
of Electronic Crimes Ordinance. Dalam peraturan itu, para pelaku
kejahatan cyber dengan tujuan melakukan tindak terorisme di dunia
nyata bisa dihukum mati atau meringkuk di tahanan seumur hidupnya.
Peraturan hukum tersebut diberlakukan luas, baik bagi rakyat Pakistan
dan orang asing yang tinggal di Pakistan maupun luar negeri.8
Definisi aktivitas terorisme cyber yang terkena hukuman di sini
antara lain pencurian informasi online mengenai cara pembuatan
senjata pemusnah massal. Hal tersebut dikhawatirkan mengancam
keselamatan orang banyak. Pemberlakuan peraturan tegas tersebut
memang bukan tanpa alasan. Sebab, Pakistan punya senjata nuklir
yang sensitif dan termasuk garda terdepan melawan kaum militan al-
Qa>‘idah yang beraksi di Afghanistan. Peraturan Prevention of
Electronic Crimes Ordinance ini juga mengatur hukuman mengenai
kejahatan terkait komputer lainnya. Misalnya penipuan online ataupun
serangan cyber tertentu.9
Di London, tiga orang yang menggunakan dunia maya untuk
menjalankan aksinya dihukum 6 sampai 10 tahun penjara. Mereka
memasukkan ideologi Usa>mah bin La>din dalam Internet dengan tujuan
agar pihak dapat terbujuk dan mengikuti aliran pemimpin al-Qa>‘idah
tersebut. Selain itu, ketiganya juga terbukti bersalah atas berbagai
penipuan kartu kredit, bank, dan perusahaan dengan kerugian yang

8
Summer Olmstead and Ambareen Siraj, “ Cyberterrorism: The Threat of
Virtual Warfare.” Crosstalk The Journal of Defense Software Engineering Vol. 2,
No. 3, (May 2009), 16-18. Lihat juga Mathias Holmen Johnsen, “ A Case Study of
Anders B. Breivik’s Intergroup Conceptualisation.” Journal of Terrorism Research
Vol. 2, No. 3, (May 2014), 1-8.
9
Fino Yurio Kristo, “ Hukuman Mati Ancam Teroris Cyber”
http://inet.detik.com/read/2008/11/07/104617/1032862/399/hukuman-mati-ancam-
teroris cyber (diakses 1 November 2013).
Pendahuluan | 5

ditimbulkan mencapai US$ 3,6 juta.10 Di Malaysia, pemerintahnya


membangun sebuah pusat untuk bantuan darurat manakala terjadi
serangan dunia maya terhadap sistem perdagangan dan ekonomi di
sejumlah negara. Abdullah Ahmad Badawi pun telah menegaskan
bahwa beberapa perusahaan teknologi informasi kenamaan semisal
Symantec Corporation dari Amerika, Trend Micro dari Jepang dan
Kapersky Lab dari Rusia telah sepakat untuk menjadi mitra kunci
upaya pemerintah Malaysia mengantisipasi serangan cyber.11 Di
Indonesia, Polri menangkap dua tersangka cyber terrorism dalam
pembuatan situs www.anshar.net yang mana dalam situs tersebut
dimasukkan ideologi jihad dan metode-metode perang, jenis-jenis
senjata dan penggunaannya. Penangkapan dilakukan di Semarang pada
tanggal 12 dan 16 Agustus 2006.12
Cyber terrorism banyak terjadi di negara Indonesia maupun
negara-negara lainnya. Dari data yang didapatkan di antaranya
sebagaimana yang dijelaskan di atas yaitu Bom Bali, yang salah satu
pelakunya adalah Imam Samudra yang telah dihukum mati. Ketika
masih hidup Imam Samudra memberikan laporan di saat proses
penyelidikan, dalam bukunya yang berjudul Aku Melawan Teroris,
Imam Samudra menjelaskan bahwasanya Internet merupakan alat yang
terbaik untuk mencapai misinya,13 kemudian menginstruksikan kepada
bawahannya untuk mempelajari Internet, sehingga terampil seperti
hacker.14 Sebagaimana yang dicantumkan dalam buku Autobiography

10
Ardhi Suryadhi, “Sebarkan Ideologi Osama, Teroris Cyber Dibui”
http://hot.detik.com/read/2007/07/06/113759/801904/398/sebarkan-ideologi-osama-
teroris-cyber-dibui (diakses 1 November 2013).
11
Dewidya, “Teroris Asia Tenggara Fasih Ber-Internet” http://inet.detik.com/
read/2006/05/23/100509/600625/328/ (diakses 1 November 2013).
12
Petrus Reinhard Golose, “ Polisi Indonesia Menangkap 2 Orang Diduga
Menggunakan Internet Mendukung Teroris” http://www.4law.co.il/indo1.htm
(diakses 2 November 2013). Lihat juga Gilbert Ramsay, “ Jihadi Culture on the
World Wide Web (New York: Bloomsbury, 2013),” Journal of Terrorism Research
(May 2014), 59-60.
13
AbdulAziz,“AkuMelawanTeroris”http://www.scribd.com/doc/7947911/Ima
m Samudra (diakses 10 Maret 2012).
14
Hacker adalah orang yang mempelajari, menganalisa, memodifikasi atau
bahkan mengeksploitasi sistem yang terdapat di sebuah perangkat seperti perangkat
lunak komputer maupun perangkat keras komputer. Ricardo Hermawan, The Drop
Out Billionaire Menjual Ide Ala Mark Zuckerberg (Yogyakarta: Best Publisher,
2009), 17. Lihat juga Douglas Thomas, Hacker Culture (USA: University of
Minnesota Press, 2003), 5.
6 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

of Ali Imron, A Terrorist of 2002 Bali Boombing bahwasanya pelaku


bom Bali adalah bagian dari mereka.15 Kasus cyber terrorism diperkuat
oleh komandan polisi nasional (Kompolnas), Makbul Padmanagara,
yang menyatakan bahwa polisi Indonesia sudah berhasil membongkar
kasus cyber terrorism yang melibatkan Imam Samudra. Pelaku
teroris16lainnya yang juga terlibat dan ditangkap adalah Agung Setyadi
dan Mohammad Agung Prabowo alias Max Fiderman.17 Para pelaku
menggunakan cyber terrorism untuk menyebarkan provokasi dan
propaganda.18
Melalui cyber terrorism dapat melakukan serangan berbasis
Internet terhadap institusi-institusi terpenting, jaringan teroris juga
leluasa menyebarkan propaganda, perekrutan anggota, menghimpun
dana dan mengkoordinasikan serangan-serangan bom, berkomunikasi
dengan pelaku lapangan yang terlibat dalam peledakan bom, seperti
bom Bali tersebut, sebagaimana yang dicantumkan juga dalam situs
www.anshar.net bahwasanya situs tersebut menyebarluaskan bahan-
bahan peledak dan senjata serta menyebarkan orasi Noordin M. Top
serta adegan pelaku bom bunuh diri di Bali tahun 2002.19
Kasus cyber terrorism juga terjadi di Amerika Serikat pada
bulan Februari 1998 yaitu terjadinya serangan (breaks in or attack)
sebanyak 60 kali per minggunya melalui Internet terhadap 11 jaringan
komputer militer di Pentagon. Dalam cyber attack ini yang menjadi
target utama para cyber terrorist adalah Departemen Pertahanan
Amerika Serikat. Di Srilanka, pada bulan Agustus 1997, sebuah
organisasi yang bernama The Internet Black Tigers yang berafiliasi

15
Ali Imron, Autobiography of Ali Imron, A Terrorist of 2002 Bali Bombing
(Jakarta: Republika, 2007), 34-35. Lihat juga Tim Medpress, Petualangan Teror Dr.
Azahari (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 62. Lihat juga Denny J.A,
Melewati Perubahan: Sebuah Catatan Atas Transisi Demokrasi Indonesia
(Yogyakarta: Lkis, 2006), 34.
16
Teroris merupakan pelaku bentuk-bentuk terorisme, baik oleh individu,
golongan ataupun kelompok dengan cara tindak kekerasan sampai dengan
pembunuhan, disertai berbagai penggunaan senjata, mulai dari sistem konvensional
hingga modern. Adjie, Terorisme, 11.
17
JawadeHafidz,“CyberTerrorism”http://jawade.blog.unissula.ac.id/2011/10/0
6/cyber (diakses 11 Maret 2012). Lihat juga Setya Krisna Sumargo,The Untold
Stories: Noordin Top & Co (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), 237.
18
Priyambodo, “ Indonesia Pertama Kali Bongkar Kasus Cyber Terrorism”
http://www.antaranews.com/print/1158078110/indonesia (diakses 10 Maret 2012).
19
Setya Krisna Sumargo, The Untold Stories: Noordin Top & Co, 190.
Pendahuluan | 7

kepada gerakan pemberontak Macan Tamil (The Liberation Tigers of


Tamil Eelam) menyatakan bertanggung jawab atas kejahatan e-mail
(e-mail bombing, e-mail harrasment, e-mail spoofing) yang menimpa
beberapa kedutaan serta kantor perwakilan pemerintah Srilanka di
mancanegara. Tujuan akhirnya adalah kampanye untuk melepaskan
diri dari Srilanka dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Tamil.20
Di Cina, pada bulan Juli 1998, sebuah perkumpulan cyber
terrorist atau crackers terkenal berhasil menerobos masuk ke pusat
komputer sistem kendali satelit Cina dan berhasil mengacaukan
“selama bebera waktu” sistem kendali sebuah satelit milik Cina yang
sedang mengorbit di ruang angkasa. Tujuan utama dari aksi ini adalah
untuk melakukan protes terhadap gencarnya investasi negara Barat di
Cina. Di Swedia, pada bulan September 1998, pada saat kegiatan
pemilihan umum, sejumlah cyber terrorist berhasil melakukan kegiatan
sabotase yaitu merubah (defaced) tampilan website dari partai politik
berhaluan kanan dan kiri. Di mana website links partai politik tersebut
dirubah tujuannya ke alamat situs-situs pornografi sehingga sangat
merugikan partai karena kampanye partai secara elektronik melalui
Internet menjadi terhambat.21
Kasus cyber terrorism lain, ditemukannya virus “I Love You”
dan “Love Bug” dengan berbagai variasinya yang menjalar dengan
sangat cepat, diketahui berasal dari Filipina. Virus-virus tersebut
menimbulkan kerusakan yang sangat besar pada jaringan komputer di
Malaysia, Jerman, Belgia, Prancis, Belanda, Swedia, Inggris, Amerika
Serikat dan Hongkong, peristiwa ini diyakini merupakan manivestasi
dari cyber terrorism.22 Terorisme kian dahsyat di saat gedung pecakar
langit yang sangat terkenal,World Trade Center (WTC) dan gedung
Pentagon, New York City dan Washington D.C pada 11 September
2001, hancur diserang oleh kelompok yang sampai detik ini masih
misterius.23 Jaringan yang disebut-sebut sebagai aktor dibalik aksi
20
Rudy, “Cyber Crimes (Sudah Siapkah Kita Menghadapinya?)”
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1555-cyber-crimes.html (diakses
1 November 2013).
21
Rudy, “Cyber Crimes (Sudah Siapkah Kita Menghadapinya?)”
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1555-cyber-crimes.html (diakses
1 November 2013).
22
Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004), 122-123.
23
Carolyn Gard, The Attacks on the World Trade Center: February 26, 1993,
and September 11, 2001 (New York: The Rosen Publishing Group, Inc., 2003), 5.
8 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

penyerangan itu adalah al-Qa>‘idah.24 Terorisme kian kerap identik


dengan teror, ekstreminitas, kekerasan dan intimidasi. Teror seringkali
menimbulkan konskuensi negatif bagi manusia. Terorisme juga kerap
menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang cukup banyak.
Urat nadi terorisme beragam puspa yang melatarbelakangi kemuncu-
lannya, sehingga tak terbatas pada latar belakang radikalisme agama
tertentu saja. Karena itu, dalam sejarahnya terorisme seperti halnya
radikalisme, muncul dalam berbagai bentuk kekerasan dengan alasan
yang berbeda-beda. Frustasi massal seperti banyaknya pengangguran,
juga bisa memunculkan radikalisme dan terorisme. Itu sebabnya,
terorisme bisa muncul di mana saja di setiap negara di dunia ini.25
Mengenai terorisme internasional, Riza Sihbudi menjelaskan
bahwa terorisme salah satu isitilah yang populer sejak tahun 1980-an.
Bersama istilah-istilah lain seperti, fundamentalisme, radikalisme dan
militanisme. Umumnya dipopulerkan para pakar sosial-politik Barat,
yang kemudian disebarluaskan oleh media masa tanpa berusaha
mencari makna sebenarnya dari istilah-istilah tersebut. Istilah-istilah
tersebut umumnya dikaitkan dengan tingkah laku politik sebagian
besar komunitas Timur Tengah yang berkonotasi negatif, dalam arti
tidak disukai pihak Barat. Dengan kata lain, setiap tindakan yang
sebenarnya bersifat reaktif yang dilancarkan warga Timur Tengah
yang tidak sejalan atau bertentangan dengan kepentingan Barat
(khususnya AS), maka ia disebut terorisme.26 Juhaya S. Praja
mengungkapkan juga secara panjang lebar tentang data-data terorisme
yang dilakukan oleh para pemimpin negara besar, seperti Maximiline
Robespierre, Vladimir Lenin, Joseph Stalin, Mao Tse Tung, kemudian
terorisme di AS. Sejak tahun 1980 hingga 1989, terorisme di Amerika
Serikat yang digambarkan sebagai tindakan kejahatan oleh FBI ada

Lihat juga Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan
Oase Perdamaian (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), 85. Lihat juga
Sanjay Gupta. “ The Changing Dimensions Of International Terrorism And The Role
Of The United States: A Comprehensive And Multilateral Approach To Combat
Global Terrorism.” The Indian Journal of Political Science Vol. 65, No.4, (Oct-Dec
2004), 556-587. http://www.jstor.org/stable/41856077 (diakses 10 Juni 2014).
24
Zuhairi Misrawi, “Islam dan Terorisme” http://islamlib.com/id/artikel/islam-
dan-terorisme (diakses 1 Maret 2012).
25
Suaib Didu, Radikalisme dalam Islam Antara Argumentasi Jihad dan
Terorisme (Jakarta: Divisi Penerbitan Relawan Bangsa, 2006), 90.
26
Suaib Didu, Radikalisme dalam Islam Antara Argumentasi Jihad dan
Terorisme, 91.
Pendahuluan | 9

dua ratus sembilang belas (219) jenis. Terorisme di AS pada periode


tersebut cenderung meningkat. Di antaranya, terorisme internasional
yang didominasi oleh kelompok ekstrimis Yahudi dan Nasionalis
Puetro Rico kemudian terorisme Puetro Rican, di antara yang paling
aktif ialah kelompok Armed Forces of National Liberation (FALN),
The Armed Forces of Popular Resistance (RARP) dan Ejericto
Boricua-Machesteros (ECB-Machesteros) selanjutnya terorisme
Yahudi, kelompok pro Israel di AS, baik yang tergabung dengan
Jewish Defense League (JDL) yang berdiri tahun 1968 dan
pimpinannya Rabbi Meir D. Kahane. Mereka kerap kali melakukan
pemboman di New York. Organisasi lainnya ialah United Jewish
Underground (UJU). Kemudian terorisme aliran kiri, aliran kanan, dan
terorisme yang mempunyai kepentingan khusus atau satu isu, seperti
Ku Klux Klan (KKK) yaitu kelompok rasialis orang-orang berkulit
putih.27
Di Indonesia sendiri pada bulan Agustus 1997, cyber terrorist
dari Portugal pernah merubah (defacing) tampilan situs resmi dari
Mabes ABRI (TNI), walaupun dengan segera dapat diantisipasi.
Kemudian pada bulan April 2004 situs resmi milik KPU (Komisi
Pemilihan Umum) juga berhasil di hack dengan teknik defacing,
namun dengan segera pelakunya yaitu seorang konsultan teknologi
informasi suatu perusahaan di Jakarta dapat segera diamankan oleh
pihak kepolisian. Namun sebenarnya masih banyak lagi aktivitas para
cyber terrorist di negara-negara lain yang masih berlangsung hingga
saat ini. Beberapa analis menyatakan bahwa kegitan cyber terrorism
dewasa ini sudah dapat dikategorikan sebagai peperangan informasi
berskala rendah (low-level information warfare) di mana dalam
beberapa tahun mendatang mungkin sudah dianggap sebagai
peperangan informasi yang sesungguhnya (the real information
warfare). Seperti contoh pada saat perang Irak-AS, di sana
diperlihatkan bagaimana informasi telah dieksploitasi sedemikian rupa
mulai dari laporan peliputan TV, Radio sampai dengan penggunaan

27
Maximilien Robespierre, Revolutions (London, England) Revolutions Series
(Michigan: Verso, 2007), 115. Lihat juga Suaib Didu, Radikalisme dalam Islam
Antara Argumentasi Jihad dan Terorisme, 92-97. Lihat juga Barak Mendelsohn. “
Bolstering the State: A Different Perspective on the War on the Jihadi Movement.”
Wiley on behalf of The International Studies Association Vol.11, No.4 (Dec 2009),
663-686 http://www.jstor.org/stable/International Studies Review (diakses 12 Mei
2014).
10 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

teknologi sistem informasi dalam cyber warfare untuk mendukung


kepentingan komunikasi antar prajurit serta jalur komando dan kendali
satuan tempur negara-negara koalisi di bawah pimpinan Amerika
Serikat.
Hal ini sudah dapat dikategorikan sebagai aksi cyber warfare
atau cyber information, di mana disinformasi serta kegiatan propagan-
da oleh pasukan koalisi menjadi salah satu bukti peruntuh moril
pasukan Irak.28 Di Indonesia aksi terorisme sangat banyak, setelah
terjadinya bom Bali I pada 12 Oktober 2002, bom Bali II pada 1
Oktober 2005,29 juga terjadi ledakan di Hotel Marriot Jakarta pada 5
Agustus 2003.30 Sebelumnya, tercatat beberapa aksi teror antara lain
kasus bom Istiqlal pada April 1999,31 bom malam Natal pada 24
Desember 2000,32 bom di Bursa Efek Jakarta pada September 200033
dan peristiwa-peristiwa serupa lainnya. Indonesia dalam kasus cyber
crime juga dinyatakan sebagai peringkat pertama atau tertinggi di
dunia dalam kejahatan dunia maya.34 Pada kasus bom Bali I, aksi
terorisme melalui peledakan bom mobil, semula direncanakan 11
September 2002, bertepatan dengan peringatan setahun tragedi di
Gedung World Trade Center (WTC) New York, Amerika Serikat.
Seperti diketahui, peristiwa 11 September 2001 ini mengawali “perang
global” terhadap terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Kebijakan Amerika Serikat yang terkesan berat sebelah seperti
pemunculan “jihad adalah terorisme” dalam memerangi terorisme

28
Rudy, “Cyber Crimes (Sudah Siapkah Kita Menghadapinya?)”
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1555-cyber-crimes.html (diakses
1 November 2013).
29
MuseumPolri,“BomBaliIdanII”http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakk
um_bom (diakses 4 Maret 2012). Lihat juga Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim
Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian, 93.
30
MuseumPolri,“BomHotelMarriot”http://www.museum.polri.go.id/lantai2_g
akkum_bom (diakses 7 Maret 2012).
31
Kompas,“BomdiMasjidBukanPertamaKali”http://nasional.kompas.com/read
/2011/04/15/19144273/Bom.di.Masjid.Bukan.Pertama.Kali (diakses 3 Maret 2012).
32
MuseumPolri,“BomNatalTahun2000”http://www.museum.polri.go.id/lantai
2_gakkum_bom (diakses 4 Maret 2012).
33
MuseumPolri,“BomdiGedungBursaEfekJakarta”http://www.museum.polri.g
o.id/lantai2_gakkum_bom (diakses 5 Maret 2012). Lihat juga Kiki Syahnarki, Aku
Hanya Tentara (Jakarta:Buku Kompas, 2008), 197.
34
Kompas,”CyberCrimeIndonesiaTertinggidiDunia”http://nasional.kompas.co
m/read/2009/03/25/18505497/Cyber.Crime..Indonesia.Tertinggi.di.Dunia (diakses 1
Februari 2012).
Pendahuluan | 11

tengah menjadi alasan beberapa kelompok teroris untuk melakukan


perlawanan, yang dilakukan oleh Ali Imron, Ali Gufron, Imam
Samudra dan Amrozi.
Fatwa Pimpinan al-Qa>’idah Usa>mah bin La>din35 menyerukan
tindakan cyber terrorism dengan cara menginstruksikan kepada umat
Islam untuk membunuh orang Amerika dan sekutu di mana saja
berada. Usa>mah beralasan bahwa betapa bahayanya arus globalisasi
saat ini, kebatilan merajalela di mana-mana, orang-orang batil
bersenang-senang, sedangkan kebenaran terkubur, para da’i dipenjara
dan para reformis dibungkam mulutnya. Kerusakan luar biasa telah
menyebar, mencakup semua aspek kehidupan, perbuatan syirik kepada
Allah SWT dengan cara membuat undang-undang yang membolehkan
hal-hal yang haram, menurutnya Amerika sudah menjajah dunia Islam
selama puluhan tahun.36
Sikap pernyataan Usa>mah didukung oleh banyak kalangan di
antaranya datang dari tanah air seperti Abu> Bakar Baa>’shir, yang
menyatakan bahwa aksi-aksi pengeboman yang telah terjadi
tergantung dengan niat, jika niatnya baik, maka hasilnya pun baik.37
Di sisi lain, Ahmad Sabri Lubis, Sekjen FPI (Front Pembela Islam)
mengungkapkan bahwa kematian Usa>mah bin La>din adalah kematian
syahid,38 meski FPI tidak masuk dalam daftar jaringan al-Qa>’idah,
namun kematian Usa>mah bin La>din sangat disesali dan menyatakan

35
Vincent Burn, Terrorism: A Documentary and Reference Guide (USA:
Greenwood Publishing Group, 2005), 92-93. Lihat juga Voice of Islam, “ Jihad Akan
SelaluAdaHinggaKiamat”http://www.voaislam.com/news/indonesiana/2011/09/29/1
6235/forum-komunikasi-eksafghan-jihad (diakses 3 Maret 2012). Lihat juga Michael
Scheuer, Osama Bin Laden (New York: Oxford University Press, 2011), 113-114.
Lihat juga Denny. JA, Membangun Demokrasi Sehari-hari (Yogyakarta: Lkis, 2006),
137.
36
Vincent Burn, Terrorism: A Documentary and Reference Guide, 92-93.
Lihat juga Voice Of Islam, “ Forum Komunikasi Eks Afghan Jihad Akan Selalu Ada
HinggaKiamat”http://www.voaislam.com/news/indonesiana/2011/09/29/16235/foru
m-komunikasi-eksafghan-jihad (diakses 3 Maret 2012).
37
M. Bambang Pranowo, Orang Jawa Jadi Teroris (Jakarta: Pustaka Alvaget,
2011), 36. Lihat juga Hari M. Osofsky. “ Scales of Law: Rethinking Climate Change,
Terrorism, and the Global Financial Crisis.”American Society of International Law
Vol. 103, No. 2, (March 2009), 235-237 http://www.jstor.org/stable/10.5305/
procannmeetasil.103.1.0235 (diakses 4 Juni 2014).
38
Berita Terbaru, “FPI Sebut Osama bin Laden Mati Sahid”
http://www.berita-terbaru.com/berita-nasional/fpi-sebut-osama-bin-laden-mati-
sahid.html (diakses 10 Maret 2012).
12 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Usa>mah sebagai pahlawan sedangkan Obama sebagai teroris dan


Amerika Serikat harus segera dihancurkan. Sepeninggal Usa>mah bin
La>din, kelompok T}a>liba>n sangat mengutuk serangan pasukan Amerika
Serikat yang menembak mati Usa>mah dan menguburkannya di laut,
kelompok T}a>liba>n mengancam untuk melakukan serangan balasan
kepada pemerintah Pakistan dan juga Amerika Serikat.39 Dalam hal
dukungan terkait teroris, Imam Samudra menyatakan di dalam buku
dan surat wasiatnya kepada Muslimin, menurut pemahamannya
terorisme dibenarkan menurut syariat jihad. Salah satu bentuk teror
yang diizinkan adalah membunuh kaum sipil yang selama ini dilarang
untuk dibunuh seperti anak-anak, wanita, orang tua serta pendeta.
Orang-orang yang haram darahnya ini berubah menjadi halal darahnya,
bila mereka ikut membantu orang-orang kafir memerangi umat Islam.
Membunuh kaum sipil juga dibolehkan dalam rangka qis}a>s} atau balas
dendam.40
Menurut Imam Samudra awal luka kaum Muslimin yang kian
membesar di awali dengan peristiwa tanggal 23 Mei 1924 yaitu di saat
benteng terakhir umat Islam tumbang. Pengkhianatan yang dilakukan
oleh Mustafa Kamal Ata-Turk, lewat tangan beliau kekhalifahan
‘uthmaniyah (Turki Usmani) runtuh. Mulai detik itu tidak ada lagi
khila>fah al-Isla>miyah. Detik itu juga sorak kemenangan dan
kegembiraan Yahudi membahana, karena memang itulah yang mereka
harapkan. Kemudian melalui resolusi PBB, Israel memperkosa
Palestina, Masjid al-Aqs}a dianiya. Anak-anak menjerit tak berdaya,
seratus ribu tentara Amerika dan sekutunya telah menduduki Jazirah
Arab, tiga puluh persen dari angka tersebut tentara wanita. Menurut
Imam Samudra mulanya tahun 1990 Amerika menyajikan pentas
superkolosal, devide et impera (politik belah bambu) atas Irak, Kuwait,
Arab Saudi, yang lebih terkenal dengan gulf war. Kuwait di takut-
takuti oleh Amerika bahwa Irak akan mencaplok ladang minyak
Kuwait.41Oleh sebab itulah Irak nantinya akan menganeksasi (gabung
paksa) Arab Saudi. Karena itulah Amerika menawarkan ”jasa baik”

39
Metrotvnews,“TalibanSerukanDukunganuntukBinLaden”http://metrotvnew
s.com/read/newsvideo/2011/05/03/127457/Taliban-Serukan Dukungan-Untuk-bin-
Laden (diakses 13 Maret 2012).
40
Sholahudin, “ Sejarah Paham dan Gerakan Jihad di Indonesia”
http://cdn.salihara.org/media/documents/2011/05/14/s/e/sejarah_faham_dan_gerakan
jihad (diakses 4 Maret 2012).
41
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Solo: KDT, 2004), 89-92.
Pendahuluan | 13

mereka sebagai polisi dunia untuk menjaga keamanan teluk. Caranya


dengan mengirim pasukan keamanan multinasional ke area konflik
tersebut. Terutama menjaga Bait Alla>h. Meskipun semua biaya
ditanggung negara teluk, terutama Arab Saudi. Kaum Muslimin dunia
protes, kalangan mahasiswa dan ulama non government di Saudi
melayangkan kritik dan pandangan. Mereka juga menawarkan diri
untuk menjadi penjaga keamanan di Bait Alla>h dan sekitarnya. Tetapi,
suara dan niat suci itu berakhir di balik jeruji besi. Penjara-penjara di
Saudi dipenuhi oleh ribuan mujahid dan ulama-ulama yang tidak
disukai oleh kerajaan tirani Saudi Arabia. Dinasti al-Su’u>d, di antara
mereka terdapat Safar al-Hawali, yang menulis fakta pendudukan
tentara yahudi dan nasrani terhadap jazirah Arab khususnya dan dunia
Islam umumnya.42
Fahd bin ’Abd al-Azi>z, sang raja dinasti Su’u>diyah mengikuti
jejak langkah Mustafa Kamal Ata-Turk dan Abu Righal. Mereka
mengelabui Dewan Fatwa Saudi Arabia yang dengan segala hormat
kurang mengerti trik-trik politik. Menyikapi peperangan yang
dilakukan Amerika dan sekutunya, Dewan Fatwa Saudi yang ketika itu
diketuai ’Abd al-Azi>z Bin Ba>z rahimahulla>h, segera mengeluarkan
fatwa justifikasi tentang bolehnya menggunakan Amerika dan
sekutunya sebagai penjaga keamanan Bait Alla>h dan sekitarnya. Ironis
dan amat menyakitkan hati.
Mulanya fatwa itu hanya berlaku beberapa bulan, tetapi
kemudian terus diperpanjang. Dalam keadaan umat Islam yang terlena
dibuai sekian masalah, menderita sindrom rendah diri akibat jargon
”umat Islam teroris” karya Amerika. Di mana umat Islam pada
umumnya memilih berdiam diri atau masa bodoh selagi tidak
mengusik ’perut’ dan ’bawah perut’ mereka. Begitu juga dengan
ulama-ulama yang kian asik tenggelam dalam tumpukan kitab-kitab
dan gema pengeras suara. Mereka tidak lagi peduli dengan penodaan,
penistaan, dan penjajahan terhadap kiblat dan tanah suci mereka,
dengan ini menurut Imam Samudra lahirlah segelintir mujahid yang
benar-benar sadar dan mengerti apa yang harus mereka perbuat dan
lahirlah serangan-serangan terhadap Amerika. Kelak akan eksis

42
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, 89. Lihat juga David T. Hill. “ East
Timor and the Internet: Global Political Leverage in/on Indonesia.” Southeast Asia
Program Publications at Cornell University Vol. 2, No. 73, (Apr 2002) Article DOI:
10.2307/3351468, 25-51 http://www.jstor.org/stable/3351468 (diakses 13 Juni
2014).
14 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

operasi-operasi jihad lain yang lebih baik dan hebat ditinjau dari segala
segi. Semua itu akan menambah daftar panjang perlawanan umat Islam
terhadap bangsa-bangsa penjajah. Sampai Yahudi menghentikan
kebiadaban dan kebrutalan mereka. menurutnya ketertindasan
membutuhkan pembelaan, keterjajahan membutuhkan pembebasan,
keternodaan memanggil penyucian, keterhinaan menuntut kemuliaan.
Semua itu dalam pandangan Imam Samudra hanya akan selesai dengan
jihad.43
Dalam masalah jihad, Imam Samudra berpegang pada fatwa
para ulama mujahid atau ulama ahl al-thughu>r yaitu ulama yang
mereka terjun langsung dan terlibat dalam jihad seperti Ayma>n al-
Zhawa>hiri, Sulayma>n Abu Ghaith, Usa>mah bin La>din, ’Abd Alla>h
Azza>m, Maulani Mullah Umar, juga fatwa Hammud Uqala’ al-
Syu’aibi rahimahulla>h. Menurut fatwa ’Abd Alla>h Azza>m, satu-
satunya jihad di jalan Allah (jiha>d fi> sabi>lilla>h) adalah perang (qita>l fi>
sabi>lilla>h). Azza>m juga menyebutkan bahwa hukum jihad yang asalnya
fard}u kifa>yah (kewajiban kolektif) kini berubah menjadi fard}u‘ayn
(kewajiban individu) bagi setiap Muslim ketika jengkal-jengkal tanah
kaum Muslimin diduduki orang kafir.44 Selanjutnya dukungan
semacam Imam Samudra ini juga datang dari ’Abd Alla>h Sungkar,45
Hambali,46 Ali Gufro>n alias Muchlas, Amrozi,47 Azhari48, Noordin M.
Top,49 Ibrahim Jawad dan dari kalangan Syi’ah Husain al-Habsi.50
Begitu pula pandangan dari Anwar al-Awlaki yang mendukung
Muslimin agar menjadi “mujahidin Internet” dengan cara

43
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, 93-95.
44
Herry Nurdi, Perjalanan Meminang Bidadari (Jakarta: PT Lingkar Pena
Kreativa, 2011), 126.
45
Henk Schulte Nordholt dan lain-lain, Perspektif Baru Penulisan Sejarah
Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 220-221. Lihat juga ‘Abd Alla>h
Machmud Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), 224.
46
‘Abd Alla>h Machmud Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen,
Yahudi, Islam, 242.
47
‘Abd Alla>h Machmud Hendropriyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen,
Yahudi, Islam, 207.
48
Medpress, Petualangan Teror Dr. Azahari, 7-8.
49
Prayitno Ramelan dan Pepih Nugraha, Intelijen Bertawaf (Jakarta:
Grasindo, 2009), 169.
50
Sholahudin,” Sejarah Faham dan Gerakan Jihad di Indonesia”
http://cdn.salihara.org/media/documents/2011/05/14/s/e/sejarah_faham dan_gerakan_
jihad (diakses 2 Maret 2012).
Pendahuluan | 15

menggunakan media dunia maya untuk menyebarluaskan seruan jihad


dan berita-berita tentang perjuangan para mujahidin. Bisa dengan cara
membuka forum diskusi, e-mail, membuat situs Internet, menulis
artikel tentang mujahidin, perjuangannya dan lain-lain.51
Imam senior Kuwait Iama T}a>riq Muh}ammad al-Suwayda>n
sangat mendukung cyber sebagai sarana efektif dalam jihad, ada
peluang untuk menyatukan hacker, dalam rangka cyber jihad melawan
Zionis. Iama T}a>riq menyebut serangan cyber pada lembaga-lembaga
keuangan Israel serta situsnya adalah jihad efisien yang akan menuai
manfaat yang besar.52 Al-Karraz, seorang anggota senior komite
Kuwait, mendukung perjuangan ini.53 Di dalam buku Radikalisme
dalam Islam Antara Argumentasi Jihad dan Terorisme, tokoh yang
termasuk paham radikal adalah Qaddafi, Imam Khomeini dan Hasan
at-Turabi.54 Asep Syamsul M. Romli di dalam bukunya Demonologi
Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam, menyatakan bahwa
pelaku terorisme terkesan adalah Islam dengan konsep jihadnya, hal ini
merupakan pengertian terorisme yang kabur yang dialamatkan Barat
kepada Islam. Memang tidak dapat dipungkiri, aksi kekerasan kerap
dilakukan oleh aktivis gerakan Islam, namun harus dipahami, aksi
kekerasan yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri
(defensive) atau alternatif terakhir untuk melakukan perjuangannya.
Konsep jihad bermakna umum, mengerahkan segala daya dan upaya
untuk menegakkan agama Islam. Termasuk bila perlu dan jika tidak
ada alternatif lain menggunakan kekerasan. Sering pula jihad diartikan
sebagai perang suci (holy war) melawan orang kafir. Diasosiakannya
jihad dengan terorisme adalah bagian dari demonologi Islam dengan
objek gerakan-gerakan “radikal” yang terpaksa menggunakan bahasa
kekerasan dalam perjuangannya.55 Kelekatan Islam dengan terorisme

51
Anwar al-Awlaki, 44 Ways of Support Jihad (Washington D.C: Minbar
Tawheed wa al-Jihad, 2010), 33. Lihat juga Eramuslim, “ Syaikh Al-Awlaki: 44 Cara
Mendukung Jihad (Bagian 2)” http://www.eramuslim.com/nasihat-ulama/syaikh-al-
awlaki-44-cara-mendukung-jihad-bagian-2.htm (diakses 7 Maret 2012).
52
Iama Ta>riq Muhammad al-Suwayda>n, Falasti>n, al-Ta>ri>kh al-Mus}awar
(Kuwait: Al-Ibda>’ al-Fikri>, 2004), 84-86.
53
Skalanews,“ImamKuwait:JihadCyberEfektif”http://skalanews.com/baca/ne
ws/3/0/103837/internasional/imamkuwait(diakses 12 Maret 2012).
54
Suaib Didu, Radikalisme dalam Islam Antara Argumentasi Jihad dan
Terorisme, 58-85.
55
Asep Syamsul M. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi
Kekuatan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 38-43.
16 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

diperkuat oleh propaganda Amerika ketika negara adidaya ini


menyusun daftar negara sponsor terorisme internasional. Padahal
diketahui bahwa Amerika Serikat menuduh negara-negara Muslim
tersebut sebagai sponsor terorisme internasional utamanya karena
mereka tidak mau taat dan patuh dalam melayani keinginan dan
kepentingan Amerika Serikat.56
Pendapat-pendapat di atas dibantah oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang mengharamkan terorisme baik dilakukan oleh
perorangan, kelompok maupun negara berdasarkan Fatwa Nomor 3
Tahun 2004 Tentang Terorisme.57 Bahwasanya tindakan terorisme
dengan berbagai bentuknya di beberapa negara, termasuk Indonesia,
telah menimbulkan kerugian harta dan jiwa serta rasa tidak aman di
kalangan masyarakat. Ulama Muslim Inggris, Muh}ammad T}ahir al-
Qadri, mengeluarkan fatwa yang mengutuk tindakan terorisme global
dan aksi bom bunuh diri. Fatwa ini disambut dengan baik oleh para
pemimpin pemerintahan dan organisasi-organisasi keamanan parlemen
serta kelompok-kelompok Muslim.58 Begitu juga lembaga tertinggi
keagamaan Arab Saudi di bawah pimpinan Mufti besar Saudi ‘Abd al-
Azi>z Alu al-Shaykh yang mengeluarkan fatwa berdasarkan pandangan
Alquran dan al-Sunnah, bahwa peristiwa 11 September 2001 di
Amerika Serikat merupakan serangan teroris.59 Fatwa al-Ima>m ‘Abd
al-Azi>z bin Ba>z tentang terorisme, bahwa umat Islam wajib
mewaspadai dari apa yang telah disebarkan oleh teroris, serta tidak
bekerja sama dengannya dalam kegiatan apapun yang mengarahkan
kepada tindakan kerusakan, kejelekan, kebatilan dan fitnah. Karena

56
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan
Oase Perdamaian, 38-43.
57
SyariahOnline,“FatwaMUITentangTerorisme”http://www.syariahonline.co
m/v2/fatwa. Lihat juga Republika, “MUI:TerorismeItuHukumnyaHaram”
http://www.republika.co.id/berita/duniaislam/fatwa/11/05/11/ll18kg-mui-terorisme
(diakses 8 Maret 2012). Lihat juga Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat:
Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian, 93.
58
DW, “Ulama Inggris Keluarkan Fatwa Menentang Terorisme dan Bom
Bunuh Diri” http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa (diakses 5 Maret
2012).
59
Eramuslim, “Dewan Ulama Saudi Mengeluarkan Fatwa Baru
Mendefinisikan Istilah Terorisme” http://www.eramuslim.com/berita/dunia/dewan-
ulama-saudi-keluarkan-fatwa (diakses 9 Maret 2012).
Pendahuluan | 17

Allah SWT memerintahkan untuk (taa>wun) bekerja sama di atas


kebajikan dan ketaqwaan.60
Tindakan cyber terrorism ditentang pula oleh ulama besar
Yaman, Muqbil bin Ha>diy al-Wa>di,61 menurutnya yang telah dilakukan
oleh Usa>mah bin La>din dan kroninya merupakan kejahatan dan
musibah terhadap umat ini dan aktivitasnya merupakan aktivitas
kejahatan. Muqbil menyatakan bahwa suatu kezaliman adalah apabila
melakukan perbuatan melampaui batas terhadap orang yang tidak
bersalah dan juga membunuh orang yang tidak berdosa. Nabi
Muhammad SAW adalah Nabi al-Rah}mah (Nabi yang sangat
merahmati), Nabi al-S}afaqah (Nabi yang sangat pengasih) Nabi al-
Ih}sa>n (Nabi yang memperlakukan dengan baik) yang diutus kepada
manusia, bahkan kepada kedua makhluk yaitu jin dan manusia. Nabi
Muhammad SAW menerangkan prinsip-prinsip Islam dalam jihad.
Artinya, Islam tidak membolehkan pembunuhan kecuali orang yang
membunuh dan memerangi Muslimin. Begitu juga Fatwa S}a>lih al-
Luhayda>n, Ketua Mahkamah Agung Kerajaan Saudi, yang melarang
tindakan terorisme.62
Bantahan ini juga dilakukan oleh Muhammad Haniff Hassan,
Muzammil H. Siddiqi, Abdul Hakik Jackson, Hassan Qazwini, Ahmed
Shleibak, Akbar Muhammad, Deina ’Abd al-Kadir, Ihsan Bagby, Jamal
Badawi, Muhammad Adam Shaykh, Muhammad al-Hanooti, S}alah
Sulta>n, Jamal Badawi, Muhammad Nur ‘Abd Alla>h, T}aha Jabir al-
Alwani, Yahya Hindi, Zainab al-Wani, Zulfiqar Ali Shah, Mukhtar
Mahraouni, Nazih Hammad. Pendapat tersebut juga di dukung oleh
145 organisasi Muslim, Masjid, dan Imam. Di antaranya: Council on
American-Islamic Relations (CAIR), Islamic Society of North
America (ISNA), Islamic Circle of North America (ICNA), Muslim
60
Kumpulan Ulama Saudi, Mawqif al-sunnah wa al-kita>b min al-‘anaf wa al-
Irha>b (Saudi: Maktabah Shoha>bah, 2007), 81-84. Lihat juga ‘Abd al-Azi>z bin Ba>z, ”
Fatwa Ulama Tentang Usamah bin Laden” http://www.darussalaf.or.id/fatwa-ulama-
tanya-jawab/fatwa-ulama-tentang-usamah-bin-laden/ (diakses 5 Agustus 2014).
61
Ulama Sunnah, “Usamah bin Ladin Mujahid di Jalan Syaithan”
http://ulamasunnah.wordpress.com/2011/05/19/usamah-bin-ladin-mujahid-di-jalan-
syaithan/ (diakses 1 Maret 2012).
62
Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi, “ Fatwa-Fatwa Seputar Peristiwa 11
September 2001” http://jihadbukankenistaan.com/terorisme (diakses 8 Maret 2012).
18 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Public Affairs Council (MPAC), Muslim American Society (MAS),


Muslim Student Association of the US & Canada (MSA), Majelis
Agama Islam Singapura, Majelis Agama Islam Amerika, Majelis Fikih
Amerika Utara.63
Pendapat lain juga datang dari Yu>suf al-Qarad}a>wi>,
sebagaimana beliau jelaskan bahwasanya Islam bukan hanya melarang
menyerang non Muslim, tetapi juga mengajurkan untuk menghormati
dan berbuat baik dengan non Muslim, khususnya non Muslim yang
hidup di wilayah Islam. Aturan ini disepakati di antara ahli hukum
Muslim. Islam menganggap serangan terhadap non Muslim yang tidak
melancarkan serangan terhadap Muslim adalah suatu kezaliman, yang
dilarang sekaligus dibenci oleh Alquran, al-Sunnah dan contoh para
sahabat Nabi SAW.64 Harun Yahya dalam bukunya Islam Denounces
Terrorism juga menulis bahwa membunuh seseorang tanpa alasan
adalah salah satu dosa terbesar, bahkan seakan-akan telah membunuh
semua manusia.65
Menurut Juhaya S. Praja, posisi Usa>mah bin La>din yang
menyerang Barat dengan senjata disebut sebagai tindakan terorisme, di
mana di satu pihak atas nama ajaran jihad, yang ditafsirkan secara
spesifik. Sebagaimana dalam dunia Barat menyebutkan bahwa
kelompok Usa>mah bin La>din sebagai kelompok fundamentalisme atau
ekstrimisme. Bentuk ekstrimitas dan fundamentalitasnya ialah dalam
bentuk ’pembajakan’ atas makna Alquran dan Islam. Pertama, dalam
menafsirkan ayat-ayat Alquran dan hadis tentang jihad. Kedua,
penafsiran atas hubungan antara Muslim dan non Muslim, khususnya
Yahudi dan Nasrani. Ketiga, dalam cara dan pelaksanaan untuk
mencapai tujuan.66 Dalam buku The Untold Stories: Noordin Top &

63
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudera dan Kelompok Islam Radikal (Jakarta: Grafindo Khazanah
Ilmu, 2007), 260-270.
64
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudera dan Kelompok Islam Radikal, 237-243.
65
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudera dan Kelompok Islam Radikal, 215-216. Lihat juga QS. al-
Ma>idah 5: 32).
66
Suaib Didu, Radikalisme dalam Islam Antara Argumentasi Jihad dan
Terorisme, 153-155.
Pendahuluan | 19

Co, Setya Krisna Sumargo, menyatakan bahwa para pelaku bom di


Indonesia itu digerakkan oleh satu paham keliru yang mengadopsi
hasil dari pemikiran Usama>h bin La>din yang disebarkan di akhir Tahun
1999. Niat membela umat Islam diwujudkan dengan menyerukan balas
dendam terhadap Amerika dan sekutunya dengan menghalalkan
pembunuhan warga sipil Amerika dan para sekutunya di mana saja.67
Menurut M. Quraish Shihab jihad diartikan beraneka ragam,
bukan saja mengangkat senjata, namun yang tidak kalah pentingnya
adalah bisa juga berarti memberantas kebodohan, kemiskinan dan
penyakit. Ia menjelaskan bahwasanya ilmuwan berjihad dengan
memanfaatkan ilmunya, karyawan bekerja dengan karya yang baik,
guru dengan pendidikannya yang sempurna, pemimpin dengan
keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya, demikian seterusnya.68
Menurut analisis peneliti faktor yang menyebabkan timbulnya
terorisme cukup banyak, dikarenakan perbedaan pemikiran dan
pandangan, meskipun faktornya banyak tetapi bisa disederhanakan
dalam dua faktor utama, yaitu: pertama, minimnya ilmu pengetahuan
agama yang diperoleh dari sumber utamanya. Kedua, pengaruh
lingkungan di mana seseorang tinggal.69 Kurangnya ilmu pengetahuan
agama dan lingkungan yang tidak kondusif dapat menimbulkan
pandangan pemikiran yang membahayakan, interpretasi yang muncul
dari mereka para kaum radikal seringkali dapat melahirkan bibit
ekstremisme dan terorisme.70 Lingkungan kekerasan, kesewenang-
wenangan, ketidakadilan, kejahatan dapat menumbuhkan benih-benih
ekstremisme dan terorisme. Sebagai apresiasi dari ketidaksukaan dan
kebencian terhadap hal-hal tersebut dalam suatu kelompok yang
memahami Islam dengan pandangan radikal, keras, yang selalu
meneriakkan kata-kata jihad dengan pengertian statis, yaitu berperang
di jalan Allah untuk mempertahankan syariat Allah dan memerangi

67
Setya Krisna Sumargo, The Untold Stories: Noordin Top & Co, xv.
68
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad Sesat
Imam Samudera dan Kelompok Islam Radikal, 128. Lihat juga Quraish Shiha>b,
Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2007), 271-275.
69
Nurbani,“JihadVSTerorisme”http://nurbanie.blogspot.com/2010/03/terorism
e (diakses 10 Maret 2012).
70
Qomar,”MenyikapiAksiAksiTerorisKhawarij”http://asysyariah.com/menyik
api-aksi-aksi-teroris-khawarij.html (diakses 10 Maret 2012).
20 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

musuh-musuh Allah, tidak dengan pemahaman yang dinamis. Hidup di


lingkungan semacam ini sangat mempunyai potensi melahirkan
pemikiran-pemikiran ekstrem.71
Aksi cyber terrorism dipandang berlawanan dengan nilai-nilai
ajaran Islam. Islam merupakan agama rah}mat li al-’a>lami>n, agama
yang membawa misi perdamaian kepada seluruh alam semesta. Oleh
sebab itulah, pada hakikatnya Islam sangat melarang segala bentuk
aksi kekerasan. Aksi cyber terrorism termasuk tindakan kekerasan,
maka aksi ini sangat dilarang dalam Islam meskipun dalam pandangan
kelompok Islam radikal hal ini merupakan jihad. qa>’idah fiqhiyah
(teori hukum) dalam masalah ini adalah mubararun lishay’in ma> huwa
khat}a>un hukmuhu> hura>mun wa laysa s}ah}i>h}an. Maksudnya adalah
penjustifikasian atau pembenaran terhadap sesuatu yang salah adalah
haram dan tidak benar. Jadi jelas bahwasanya aksi teror merupakan
tindakan yang salah dan bukan jihad.72
Menurut peneliti, aksi cyber terrorism bila dipandang dalam
kacamata fikih jina>yah dapat dikategorikan dalam h}ira>bah,73 yaitu
segala bentuk tindakan yang dapat mengancam harta ataupun jiwa
orang lain. Konsep h}ira>bah berdasarkan firman Allah SWT:

71
Vivanews, ”Orang Kaya Berduit Juga Bisa Jadi Teroris” http://nasional.
vivanews.com/news/read/237559--orang-kaya-berduit-juga-bisa-jadi-teroris- (diakses
10 Maret 2012).
72
Deni K Yusuf, “Teroris Layak Dihukum Mati” http://www.knowledge-
leader.net/2010/06/teroris-layak-dihukum-mati/ (diakses 20 Februari 2014).
73
Para ulama fikih mendefinisikan al-hira>bah dengan tindakan yang dilakukan
seseorang atau sekumpulan orang untuk merampas harta milik orang lain secara
terang-terangan dengan cara kekerasan, baik dengan cara pembunuhan atau menakut-
nakutkan pemilik harta dan dilakukan pada suatu tempat yang mangsanya tidak
boleh meminta pertolongan daripada orang lain. Ulama Hanafiyah mensyaratkan
bahwa tindakan itu dilakukan di dalam negara Islam dan di luar perkampungan
penduduk. Akan tetapi, ulama Malikiyah menyatakan bahwa tindak jina>yah al-
h<}ira>bah tidak harus dilakukan di luar perkampungan penduduk, bahkan di dalam
perkampungan penduduk pun boleh terjadi. Jumhur ulama lebih sesuai dengan
keadaan sekarang. Ini karena perampokan banyak dilakukan di kota-kota. Zakaria> al-
Ans}a>ri>, Asma al-Matha>lib Syarh} Raud}ah al-T}a>lib (Kairo: al-Mathba’ah Maimu>nah,
1313 H), 154-155. Lihat juga Mohd Sai>d Isha>q, H}udu>d dalam Fikih Islam (Kuala
Lumpur: UTM, 2000), 14. Lihat juga Kumpulan ulama India, Al-Irha>b wa al-Sala>m
(Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2007), 4.
Pendahuluan | 21

            

             

         


Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk
mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang
besar .(QS.al-Ma>idah 5:33).
Sejak awal Islam memang anti kekerasan.74Akan tetapi pada
saat posisi Islam terus dizalimi oleh kelompok lain, Allah mengizinkan
untuk melakukan perlawanan. Setiap akan berangkat kemedan
pertempuran, Nabi Muhammad SAW mengingatkan agar tidak
merusak pepohonan dan juga memerangi orang-orang lemah di
antaranya orang tua renta, perempuan dan anak-anak. Namun, tercatat
bahwa Nabi Muhammad SAW pernah dalam satu peperangan
menebang sejumlah pohon kurma milik Bani Nadhar, karena diduga
bahwa pohon tersebut menjadi sumber kekuatan logistik musuh, dan
ternyata oleh Allah SWT diperbolehkan.75 Hal ini jelas, bahwa Islam
membolehkan aksi perlawanan sebagai tindakan pembalasan. Tetapi,
bentuk balasan itu harus sesuai tidak boleh melampaui batas. Dalam
hal ini, perlawanan yang dilakukan tidak bisa disebut terorisme.
Sebaliknya, ia sebagai upaya mempertahankan diri dari cengkraman
kekuatan yang zalim.76 Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat)77
memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia.
Demikian pula dalam hal perlindungan warga negara dari tindakan

74
Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan
Oase Perdamaian, 104.
75
Selanjutnya lihat Al-Qur’a>n surat al-Hashr 59:5.
76
Rohimin, Jihad: Makna dan Hikmah (Jakarta: Erlangga, 2006), 142.
77
Negara memiliki konstitusi (UUD) dan berdasarkan konsitusi (UUD), di
mana konstitusi (UUD) negara itu memuat sistem ketatanegaraan negara tersebut
dan suatu negara memiliki dan berdasarkan konstitusi yang berisi sistem
ketatanegaraan negara itu, negara itu digolongkan sebagai negara hukum. Marwan
Effendi, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005), 11.
22 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya


dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum,
termasuk di dalamnya upaya menciptakan hukum yang sesuai. Hal ini
dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan peraturan pemerintah
pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian
disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.78
Meskipun Indonesia mempunyai undang-undang dalam
penanganan cyber terrorism,79 namun faktanya masih terjadi serangan-
serangan teror maupun pemboman di Indonesia maupun juga di
negara-negara lain hingga saat ini. Peneliti juga mengalami
kegelisahan akademik melihat perdebatan dalam hal cyber terrorism
sehingga perlu diadakan kajian yang lebih mendalam terhadap masalah
ini untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut tentang cyber
terrorism yang dipandang merupakan masalah yang serius yang perlu
mendapat kajian yang lebih dalam.
Menurut analisis peneliti, selama ini belum pernah terdapat
kajian yang komprehensif membahas mengenai judul yang diangkat
oleh peneliti. Meskipun ada, pembahasan tersebut masih secara global
dan belum memberikan secara spesifik dan jelas tentang
perkembangan pemikiran para ulama dan ahli hukum atau para pakar
lainnya yang memiliki kaitan dengan pembahasan dalam menanggapi
perkembangan teknologi yang semakin berkembang.80 Oleh sebab itu
peneliti melakukan penelitian ini agar diperoleh pengkajian Islam yang
lebih mendalam, jelas dan komprehensif sehingga menjadi sumbangsih
pemikiran mengenai kajian Islam khususnya hukum Islam (syari’ah).

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
78
Kontras, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang
Undang”http://www.kontras.org/uu_ri_ham/UU%20Nomor%2015%20Tahun%2020
03%20tentang%20Anti%20Terorisme (diakses 7 Maret 2012).
79
Lipi, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Informasi
dan Transaksi Elektronik” http://www.lipi.go.id/intra/informasi/1250035982.pdf
(diakses 7 Maret 2012).
80
Dikdik M.Arief Mansur, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi
(Bandung: PT.Refika Aditama, 2005).
Pendahuluan | 23

Pada penelitian ini penulis melakukan identifikasi masalah


untuk menguraikan tentang permasalahan, dalam konteks ini penting
dijelaskan berbagai kemungkinan permasalahan yang muncul dari
judul dengan meninjaunya dari berbagai perspektif. Sehingga diketahui
bahwa judul yang akan dibahas banyak permasalahan yang bisa
muncul karena berbagai tinjauan.81
Ada beberapa masalah terkait cyber terrorism, antara lain:
a. Cyber terrorism telah digunakan oleh kalangan tertentu yang
mengklaim memperjuangkan nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu,
perlunya kejelasan dan ketegasan dari penanganannya.
b. Terdapat pendapat yang mendukung dan yang menentang tindakan
cyber terrorism.
c. Meninjau dalam perspektif hukum Islam mengenai kontroversi
tentang cyber terrorism dengan melihat keadaan kondisi umat
Islam, apakah umat Islam memungkinkan untuk melakukan
penyerangan fisik maupun non fisik (cyber) kepada kaum kafir.
d. Meninjau dalam perspektif hukum Positif dan hukum Islam tentang
tindakan cyber terrorism yang dilakukan oleh orang-orang non
Muslim demi kepentingan mereka.
e. Membahas tentang tindak pidana cyber terrorism yang tertuang
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan di luar KUHP
kemudian hukum Islam serta peraturan lain yang dianggap relevan,
maupun dari segi aplikatif atau penerapan pasal-pasal tersebut
dalam hukum tindak pidana Indonesia saat ini.

2. Pembatasan dan Perumusan Masalah


Penelitian ini dibatasi pada kasus cyber terrorism, yang
merupakan salah satu bentuk kejahatan cyber crime. Cyber terrorism
dengan berbagai kasus yang terjadi baik di negara Indonesia maupun
negara-negara lainnya.
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang masalah tersebut
di atas, peneliti merumuskan permasalahan dalam dua kategori yaitu

81
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor
Pengkajian Islam 2011-2015 (SPS UIN: Jakarta, 2011), 69.
24 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

mayor dan minor, permasalahan mayor yaitu:82 Bagaimana tinjauan


hukum Islam mengenai tindak pidana cyber terrorism?
Sedangkan permasalahan minornya, yaitu:
a. Apa pemaknaan tentang cyber terrorism?
b. Apa bentuk kualifikasi cyber terrorism?
c. Apa saja sanksi tindak pidana cyber terrorism?

3. Penelitian Terdahulu yang Relevan (Literatur Review)


a. Cyber Warfare and Cyber Terrorism, penelitian ini ditulis oleh Lech
Janczewski dan Andrew M. Colarik pada Tahun 2008, peneliti
membahas tentang masalah-masalah seputar cyber warfare, cyber
terrorism, dan penanganan serta keamanannya, karya ini juga
memberikan pengenalan yang kuat akan bahaya cyber warfare dan
cyber terrorism di abad 21 begitu juga perkembangannya.
b. Terrorism and Law, penelitian ini ditulis oleh Clive Walker pada
Tahun 2011, peneliti ini membahas tentang terorisme, terorisme
dalam politik, terorisme dalam hukum, baik hukum domestik,
Eropa, Inggris dan juga dunia internasional.
c. Al-Irha>b wa al-Sala>m, penelitian ini ditulis oleh kumpulan ulama
fikih Islam India Tahun 2007 di India. Para peneliti membahas
pandangannya tentang terorisme dan perdamaian dunia
internasional dalam kacamata syariat Islam.
d. Mauqif al-Sunnah wa al-Kita>b min al-‘Ana>f wa al-Irha>b penelitian
ini ditulis oleh kumpulan ulama fikih Islam Saudi Tahun 2007,
peneliti membahas pandangan Alquran dan al-Sunnah terhadap
kekerasan, jihad, kasus-kasus terorisme, pembajakan pesawat,
pemboman, dan fatwa-fatwa yang membolehkan membunuh orang-
orang Amerika.
e. Cyberterrorism: The Use of the Internet for Terrorist Purpose,
penelitian ini ditulis oleh Council of Europe’s pada Tahun 2007,
penelitian ini membahas tentang penyalahgunaan Internet untuk
tujuan teroris dan juga meresponnya secara hukum serta

82
Dalam perumusan masalah, masalah haruslah sesuatu yang memang betul-
betul belum ditemukan jawabannya oleh siapapun. Permasalahan juga harus satu
karena jawaban yang diinginkan juga harus satu. Apabila dikehendaki ada poin-poin
masalah dapat dibuat dengan pertimbangan poin-poin yang dimaksud dengan tidak
mengindikasikan munculnya permasalahan yang baru. Lebih lanjut baca: Syahrin
Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam (Jakarta: Prenada, 2011), 44-45.
Pendahuluan | 25

memberikan evaluasi dan solusinya, penelitian ini hanya mengamati


kasus-kasus dan sedikit meresponnya dalam ranah hukum.
f. “Terorisme dalam Filsafat Analitika: Relevansinya dengan
Ketahanan Nasional,” disertasi ini ditulis oleh Hendropriyono
Tahun 2009 Universitas Gadjah Mada, disertasi ini membahas
tentang masalah terorisme yang terjadi di Indonesia dan dunia yang
dikaji melalui pendekatan analitik bahasa. Hendropriyono
menyatakan bahwa terorisme bukan hanya saja ada di Indonesia
melainkan di seluruh dunia sehingga perlu ada kerjasama
pemerintah untuk memerangi terorisme dengan berbagai negara di
dunia.
g. Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi. Penelitian ini
ditulis oleh Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom Tahun
2005, penelitian ini membahas tentang berbagai aspek hukum yang
terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Termasuk aksi
para teroris yang memanfaatkan teknologi informasi. Di tulis juga
dalam penelitian ini, bahwasanya salah satu bentuk terorisme yang
memiliki karakteristik lintas batas negara adalah cyber terrorism.
Sifat virtual dari cyber space memungkinkan aksi terorisme
dilakukan dengan melintas batas-batas negara. Penelitian ini dilatar
belakangi oleh ide bahwa hukum harus mampu berfungsi sebagai
sarana untuk mencegah dan memberantas aksi cyber terrorism
sehingga proses pembangunan nasional dapat berjalan dengan aman
dan tentram.
h. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Penelitian ini ditulis oleh
Abdul Wahid Tahun 2005, dalam penelitian ini disebutkan pada
perkembangannya Internet ternyata membawa sisi negatif, dengan
membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial yang
selama ini dianggap tidak mungkin terjadi atau tidak terpikirkan
akan terjadi. Sebuah teori menyatakan, crime is society its self,
yang secara sederhana dapat diartikan bahwa masyarakat itu
sendirilah yang menghasilkan kejahatan. Kejahatan yang lahir
sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi Internet ini
sering disebut dengan cyber crime. Dari pengertian ini tampak
bahwa cyber crime mencakup semua jenis kejahatan beserta modus
operandinya yang dilakukan sebagai dampak negatif aplikasi
Internet.
i. Tindak Pidana Mayantara. Penelitian ini ditulis oleh Barda Nawawi
Arief Tahun 2006, dalam penelitian ini ditulis tentang kejahatan
26 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

mayantara atau cyber crime dengan segala aspek hukumnya.


Termasuk di dalamnya masalah pertanggung jawaban cyber crime.
Menurut Barda Nawawi Arief, pertanggung jawaban cyber crime
tentunya harus didasarkan pada sumber hukum perundang-udangan
yang berlaku saat ini (baik di dalam KUHP maupun UU khusus di
luar KUHP).
Dalam penelitian-penelitian di atas tidak dijelaskan secara rinci
dan komprehensif tentang cyber crime, cyber terrorism maupun
terorisme dalam kacamata hukum Islam (syari’ah).

C. Tujuan Penelitian
Penulis meneliti hal ini untuk mencapai tujuan. Tujuan tersebut
adalah:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tinjauan hukum Islam terhadap
tindak pidana cyber terrorism.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pemaknaan tentang cyber
terrorism.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan kualifikasi cyber terrorism.
4. Untuk mengetahui dan menjelaskan sanksi tindak pidana cyber
terrorism.

D. Manfaat Penelitian
Peneliti mengharapkan pada studi ini mendapatkan manfaat
penelitian di antaranya:
Bagi peneliti:
1. Memperoleh pengetahuan dalam merencanakan dan melaksanakan
suatu penelitian khususnya di bidang hukum Islam.
2. Meningkatkan kemampuan berfikir analitis, sistematis dalam
mengidentifikasi, mengkaji dan menyelesaikan masalah.
3. Mengimplementasikan ilmu hukum Islam.
Bagi perguruan Tinggi:
1. Melaksanakan fungsi perguruan tinggi sebagai lembaga
penyelenggara pendidikan.
2. Meningkatkan kerjasama yang harmonis serta komunikasi antara
mahasiswa dan staf pengajar.
3. Menjadikan masukan bagi peneliti selanjutnya.

Bagi masyarakat dan pemerintah dalam bidang hukum Islam:


Pendahuluan | 27

1. Merupakan pengetahuan bagi masyarakat mengenai cyber


terrorism dalam tinjauan hukum Islam dengan melihat
perkembangan teknologi yang semakin maju dan berkembang.
2. Untuk menambah dan memperkaya khazanah pemikiran Islam
terutama dalam bidang hukum Islam.
3. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian
lebih lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada
gilirannya memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum
cyber terrorism. Kemudian dapat memberikan pengetahuan
tambahan di bidang hukum tindak pidana Islam tentang tindak
pidana kejahatan cyber terrorism.
4. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
pedoman dan masukan bagi pemerintah, peradilan, dan praktisi
hukum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk
menyelesaikan perkara yang sedang dihadapi. Kemudian dapat
memberikan penjelasan kepada masyarakat luas tentang
bagaimana cyber terrorism itu terjadi dan dampak yang
ditimbulkan dari kejahatan tersebut.
5. Agar pemerintah Indonesia mencoba menerapkan atau
mengadopsi hukum Islam dalam menangani kasus cyber
terrorism.

E. Kerangka Pemikiran
Cyber terrorism salah satu jenis cyber crime dari beberapa
jenis-jenis cyber crime yang ada, yang muncul akibat dari dampak
negatif perkembangan sarana teknologi informasi dan komunikasi
masyarakat global, sehingga terjadi perubahan-perubahan pola perilaku
masyarakat dalam bidang ini sebagai penyalahgunaan komputer.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang membawa dampak
tumbuh suburnya cyber crime, kejahatan melalui Internet di jagat
maya itu membuat beberapa negara-negara bersepakat melakukan
usaha bersama-sama dalam menanggulangi tindak pidana cyber crime
tersebut. Usaha-usaha itu terlihat dari pembahasan dalam sidang
komisi di Konferensi Ke-23 Aseanapol di Manila, Filipina, mengenai
cyber crime, yang diyakini menjadi masalah serius yang harus segera
ditangani. Kepolisian di 10 Negara Asia Tenggara menyatakan peduli
terhadap dampak yang ditimbulkan kejahatan ini dan berupaya untuk
28 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

menekannya.83 Tak ada satu negara pun yang terbebaskan dari cyber
crime. Perkembangan teknologi telah mengaburkan batas-batas fisik
dan budaya sebuah negara. Mengacu pada Kongres Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pencegahan Kejahatan di Wina, Austria,
April 2000, cyber crime meliputi melakukan akses tanpa izin merusak
data atau program komputer, melakukan sabotase untuk
menghilangkan sistem atau jaringan komputer, mengambil data dari
dan ke dalam jaringan komputer tanpa izin, serta mematai-matai
komputer.84
Indonesia telah mensahkan salah satu Rancangan Undang-
Undang yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme dan kejahatan
dunia maya. Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan
peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah
menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana
yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga memerlukan
penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures). Selain itu
juga Indonesia mensahkan tentang undang-undang kejahatan dunia
maya (cyber crime) yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU
ITE). Undang-undang ini bertujuan untuk mengharmonisasikan antara
instrumen peraturan hukum nasional dengan instrumen-instrumen
hukum internasional yang mengatur teknologi informasi di antaranya,
yaitu: The United Nations Commissions on International Trade Law
(UNCITRAL),World Trade Organization (WTO), Uni Eropa (EU),
APEC, ASEAN, dan OECD. Masing-masing organisasi mengeluarkan
peraturan atau model law yang mengisi satu sama lain. Dan juga
instrumen hukum internasional ini telah diikuti oleh beberapa negara,
seperti: Australia (The cyber crime act 2001), Malaysia (Computer
Crime Act 1997), Amerika Serikat (Federal Legislation: update April
2002 United State Code), Kongres PBB Ke VIII di Havana, Kongres
Ke X di Wina, Kongres XI 2005 di Bangkok, berbicara tentang The
Prevention of Crime and the Treatment of Offender. Dalam Kongres
83
Al Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1999), 20.
84
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian
Cyber Crime di Indonesia (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), v.
Pendahuluan | 29

PBB X tersebut dinyatakan bahwa negara-negara anggota harus


berusaha melakukan harmonisasi ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan kriminalisasi, pembuktian, dan prosedur (state
should seek harmonization of relevan provision on criminalization,
evidence, and procedure) dan negara-negara Uni Eropa yang telah
secara serius mengintegrasikan regulasi yang terkait dengan pemanfaat
teknologi informasi ke dalam instrumen hukum Positif (existing law)
nasionalnya.85
Peneliti ingin memberikan rincian sekilas mengenai pengertian
dan ruang lingkup dari tindak pidana cyber terrorism. Pengertian
tindak pidana cyber terrorism menurut peneliti pada prinsipnya
berdimensi luas dan belum memiliki keseragaman mengenai
peristilahannya, tetapi dari beberapa para ahli hukum memberikan
definisi mengenai tindak pidana cyber terrorism. Dorothy E. Denning,
memberikan definisi bahwa cyber terrorism secara umum dipahami
sebagai penyerangan dengan menggunakan komputer atau mengan-
cam, mengintimidasi atau memaksa pemerintahan atau masyarakat,
dengan tujuan untuk mencapai target politik, agama atau ideologi.
Sarana itu cukup untuk menimbulkan rasa takut yang berasal dari
tindakan psikis teroris. Serangan itu secara tidak langsung dapat
menimbulkan kematian atau cacat badan, kecelakaan pesawat,
pencemaran air dan kelumpuhan ekonomi secara makro. Kerusakan
infrastruktur seperti tenaga listrik atau pelayanan keadaan darurat
yang dapat disebabkan oleh tindakan terorisme mayantara.86
Definisi lainnya dapat dilihat dari definisi yang diberikan oleh
The National Conference of State Legislatures (NCSL) sebuah
organisasi gabungan 2 partai, para kader dan anggota-anggota

85
T. Nasrullah, “ Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun Formil
Terhadap UU No.15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1241/1146 (diakses 2 November
2013). Lihat juga Kontras, “ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang
Undang”http://www.kontras.org/uu_ri_ham/UU%20Nomor%2015%20Tahun%2020
03%20tentang%20Anti%20Terorisme (diakses 7 Maret 2012). Lihat juga Ahmad M.
Ramli, “ Naskah Akademik Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Transaksi
Elektronik”http://www.tu.bphn.go.id/substantif/Data/ISI%20KEGIATAN%20TAH
UN%20200 /15na%20ITE.pdf (diakses 19 Maret 2014).
86
Dikdik M. Arief Mansur & Eli Satris Gultom, Cyber Law, Aspek Hukum
Teknologi Infromasi (Bandung: Refika Aditama, 2005), 65.
30 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

legislatif, membantu pemerintah 50 bagian menyampaikan isu penting


yang mempengaruhi perekonomian atau keamanan dalam negeri
dengan memfasilitasi mereka dengan sebuah forum tuker ide, riset
(studi khusus), dan bantuan teknis. Bahwa cyber terrorism adalah
penggunaan teknologi informasi oleh individu dan kelompok teroris
untuk agenda mereka. Hal ini termasuk penggunaan teknologi
informasi yang mengatur dan melakukan serangan terhadap jaringan
komputer dan infrastruktur telekomunikasi, atau untuk bertukar
informasi atau membuat ancaman elektronik. Contohnya adalah
hacking.87
Hacking yaitu memasukkan ke dalam sistem komputer dengan
mengenalkan virus agar mudah kena serangan ke jaringan situs
Internet atau ancaman teroristik yang dilakukan melalui komunikasi
elektronik. Hacking dengan kata lain diartikan sebagai perusakan
komputer jaringan pihak lain. Aksi kejahatan cyber terrorism sering
diistilahkan sebagai cyber criminal, sehingga sukar untuk memisahkan
antara istilah cyber terrorism dengan cyber criminal. Mungkin yang
bisa dibedakan adalah motifnya. Seorang cyber terrorism mempunyai
tujuan lebih dari sekedar ketenaran dan uang. Mereka juga biasanya
lebih terorganisir dan mempunyai sumber dana untuk melakukan aksi-
aksi teror. Target dari aksi cyber terrorism biasanya adalah sarana-
sarana umum di dunia maya (online facility). Sedangkan, cyber
criminal biasanya bertujuan lebih ‘singkat’ dan bersifat ‘komersil’.
Sebagaimana layaknya seorang penjahat (criminal), sebagian besar
tujuan utamanya adalah uang dan ketenaran, walaupun dalam
melakukan aksinya, banyak dari mereka lebih mengutamakan kepuasan
pribadi dengan menaklukkan targetnya.
Akan tetapi aksi keduanya tidak jauh berbeda. Keduanya sering
melakukan aksi pembobolan sistem dan meninggalkan identitas pada
mangsa agar orang lain mengetahui siapa pelakunya. Dalam hal ini
biasanya seorang cyber terrorism akan menyertakan pesan sebagai
alasan baginya untuk beraksi, sedangkan cyber criminal biasanya
hanya meninggalkan identitas dan berharap hal tersebut membuatnya
terkenal dan ditakuti. Aksi cyber terrorism biasanya menyerang
jaringan komputer yang digunakan sebagai fasilitas umum. Mereka
bisa membobol bank dengan menyusup ke dalam sistem jaringan

87
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Jakarta: PT.
Refika Aditama, 2005), 130.
Pendahuluan | 31

informasi, lalu mengambil atau mengubah informasi yang ada di dalam


pusat data. Dengan demikian, mereka dapat merampok bank tersebut
tanpa harus datang ke penyimpanan uang dan memperlihatkan
keberadaan dirinya.
Dari penjelasan di atas mengenai pengertian tindak pidana
cyber terrorism, maka dapat diketahui batasan ruang lingkup tindak
pidana cyber terrorism ini sangat tergantung pada penggunaan unsur
media telekomunikasi, di mana komputer digunakan sebagai sarana
dan objek sasaran aksi terorisme. Sarana itu cukup untuk menimbulkan
rasa takut yang berasal dari tindakan psikis teroris. Serangan itu secara
tidak langsung dapat menimbulkan kematian atau cacat badan,
kecelakaan pesawat, pencemaran air, dan kelumpuhan ekonomi secara
makro, kerusakan dalam rangka menanggulangi kejahatan terdapat
berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku
kejahatan, baik berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang
dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana
dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan
politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai
hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 88
Dalam fikih jina>yah istilah terorisme atau jari>mah yang khusus
secara eksplisit membahas terorisme memang tidak ada, tetapi dalam
bahasa arab kata teror disebut irha>b dan terorisme disebut dengan al-
irha>biyah yang berarti menakuti atau mengintimidasi, di mana istilah
ini ditunjukan untuk setiap aksi kekerasan. Walaupun dalam fikih
jina>yah tidak dikenal bahkan tidak ada istilah teror dan terorisme,
tetapi di dalam Alquran kata irha>b ditemukan dalam surat al-Anfa>l
8:60.89
Dari uraian di atas, peneliti untuk selanjutnya mendefinisikan
dan menyamakan antara jari>mah hira>bah dengan tindak pidana
terorisme berdasarkan dari dan maksud keduanya, yaitu aksi
sekelompok orang dalam sebuah negara untuk melakukan kekacauan
stabilitas nasional, pembunuhan, perampasan harta benda, pemerkosa-
an, yang secara terang-terangan mengganggu dan menentang peraturan

88
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Sinar Baru, 1983), 109.
89
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), 539.
32 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

dan perundang-undangan yang berlaku.90 Dengan demikian, istilah


terorisme atau al-irha>biyah dapat diqiyaskan dengan jari>mah al-
hira>bah berdasarkan persamaan ‘illat hukum yaitu titik persamaan
antara sifat dan tindakan kedua jari>mah tersebut, yaitu melakukan
kekacauan dan mengganggu keamanan secara nasional dalam sebuah
negara. Oleh karena tindak pidana terorisme dengan jari>mah hira>bah,
maka penjelasan mengenai terorisme tidak terpisahkan dengan jari>mah
hira>bah, baik dari segi definisi, dasar hukum maupun sanksi bagi
pelakunya.91
Hira>bah adalah keluarnya kelompok bersenjata di daerah Islam
untuk mengadakan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta,
mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama,
akhlak, ketertiban dan undang-undang. Baik kelompok tersebut orang
Islam sendiri maupun dari kafir dzimmi, atau kafir harbi. Dalam fikih
Islam, yang termasuk dalam pengertian hira>bah antara lain adalah:
jari>mah pembunuhan, sindikat penculikan anak-anak, perampokan,
pelacuran, pengacauan stabilitias keamanan negara, dan perusakan
bumi yang mengakibatkan kelaparan dan kebinasaan. Kata hira>bah
dapat ditemukan dalam Alquran surat al-Ma>idah 5:33.92 Menurut
peneliti apabila diperhatikan dari sebab nuzulnya ayat ini memang
kriminal murni, tetapi tidak berarti ayat ini dikhususkan untuk
tindakan kriminal murni saja, karena zaman sekarang pengacau
keamanan tidak saja karena motif harta benda/ekonomi ataupun
kekuasaan belaka biasa saja karena motif politik, kekecewaan terhadap
penguasa yang sedang berkuasa maupun karena dendam pribadi. Jadi
pada intinya ayat ini menjelaskan tentang ancaman bagi orang-orang
tidak bertanggung jawab dengan membuat keonaran dan kekacauan di
muka bumi dengan cara meneror, mengintimidasi, membunuh dan
mengganggu keamanan. Dalam praktiknya, seseorang dikatakan

90
M. Saleh Mathar, “Jihad dan Terorisme Kajian Fikih Kontemporer,” Jurnal
Hunafa Vol. 6. No.1, (April 2009), 117-128. Lihat juga Topo Santoso, Membumikan
Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003), 30.
91
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih
Jina>yah (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 9-10. Lihat juga Iya>d Ali al-Durah, “ Al-
Irha>b al-Iliktru>ni,” Majalat al-ma’lu>ma>tiyah (May 2012).
92
Iya>d Ali al-Durah, “ Al-Irha>b al-Iliktru>ni,” Majalat al-ma’lu>ma>tiyah (May
2012). Lihat juga Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan
Syariat dalam Wacana dan Agenda, 29-30. Lihat juga Muhammad Hasbi ash-
Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam, 478-479.
Pendahuluan | 33

muha>rib (pelaku hira>bah) jika ia berada dalam beberapa kondisi.


Pertama, jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan
lalu menakut-nakuti orang yang berjalan, tetapi ia tidak mengambil
harta dan tidak membunuh orang. Kedua, jika ia keluar untuk
mengambil harta dengan cara kekerasan lalu mengambil harta, tetapi
tidak membunuh. Ketiga, jika ia keluar untuk mengambil harta
dengan cara kekerasan lalu membunuh, tetapi tidak mengambil harta.
Keempat, jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan
lalu mengambil harta dan membunuh. Dari kualifikasi kondisi pelaku
hira>bah tersebut, dapat dilihat bahwa kejahatan cyber terrorism
berada dalam kondisi poin pertama, yaitu dengan unsur menakut-
nakuti tetapi tidak tidak mengambil harta dan tidak membunuh orang.
Kondisi tersebut sesuai dengan modus pelaku cyber terrorism yang
menggunakan media Internet sebagai alat kejahatannya.
Cyber terrorism hanya bersifat menakut-nakuti orang,
membuat ketegangan, dan mengganggu keamanan, berikut adalah
penjelasan mengenai sanksi dari kejahatan tersebut. Jika muha>rib
(perampok/pengganggu keamanan) hanya menakuti orang di jalan dan
tidak mengambil harta, hukumannya adalah diasingkan.93 Upaya
penanggulangan kejahatan cyber terrorism yang merupakan jenis dari
cyber crime tentunya tidak dapat dilakukan secara parsial dengan
hukum pidana (sarana penal), tetapi harus juga ditempuh pula dengan
pendekatan integral/sistemik. Di samping itu diperlukan pula
pendekatan budaya/kultural, pendekatan edukatif dan bahkan pende-
katan global (kerja sama internasional) karena kejahatan ini
melampaui batas-batas negara (bersifat transnational/transborder).
Penegakan hukum cyber terrorism juga tidak cukup melalui non penal
(di luar KUHP), kerja sama antar negara, penegak hukum yang
menguasai teknologi informasi, akan tetapi perlu di tambah dengan
penerapan hukuman tindak pidana Islam yang dapat membuat efek jera
para pelaku cyber terrorism.

93
Yu>suf al-Qarad}a>wi, Fiqh al-Jiha>d, 728. Lihat juga Muhammad Hasbi ash-
Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam, 478-479.
34 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam
BAB II
CYBER DAN TERORISME

Teknologi adalah hasil dari perkembangan budaya dan dapat


menjadi alat perubahan di masyarakat. Kemajuan teknologi merupakan
hasil budaya manusia, ia dapat membawa dampak positif, dalam arti
dapat digunakan untuk kepentingan manusia juga membawa dampak
negatif terhadap perkembangan dan peradaban manusia sendiri.
Dampak negatif yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan dunia
kejahatan. Pada perkembangannya, dengan ditemukannya komputer
sebagai produk ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadilah konvergen-
si antara teknologi komunikasi, media dan komputer menghasilkan
sarana dan sistem informasi terbaru yang disebut dengan Internet atau
jaringan internasional (international networking), sebagai sebuah
penemuan terbesar abad 20. Internet basisnya adalah komputer, di
mana Personal Computer (PC) dihubungkan dengan menggunakan
sebuah sistem jaringan terbaru yang berhubungan langsung dengan
satelit komunikasi sehingga terbentuklah jaringan antar personal
computer. Pada bab ini peneliti akan menjelaskan perkembangan
seputar cyber terrorism.

A. Sekilas Cyber Crime1


Berawal dari rangkaian beberapa komputer dari suatu tempat
atau ruangan atau gedung yang disebut LAN (Local Area Network),
sementara di gedung lain ada lagi LAN. Jika beberapa LAN ini
digabung atau dirangkai menjadi satu akhirnya menjadi kelompok
LAN yang disebut WAN (Wide Area Network). Beberapa WAN ini

1
Cyber crime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk
tujuan kriminal atau kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan
kemudahan teknologi digital. Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan
Mayantara (Jakarta: PT.Refika Aditama, 2005), 40. Lihat juga Peter Stephenson,
Investigating Computer-Related Crime: A Hanbook for Corporate Investigators
(New York Washington D.C: CRC Press, 2000), 56. Lihat juga Agus Raharjo, Cyber
Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2002), 92. Lihat juga Richard Boateng and Others,“ Sakawa-
Cybercrime and Criminality in Ghana.”Journal of Information Technology Impact
Vol. 11, No.2, May 2011, 85-88. Lihat juga James A. Lewis, Cyber Security: Turning
National Solutions Into International Cooperation (Washington D.C: CSIS, 2003),
90-92.

35
36 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

dapat dirangkai menjadi WAN lagi yang lebih besar dan banyak serta
bukan saja berhubungan antar gedung tetapi juga menjadi antar kota,
antar propinsi bahkan antar negara yang terangkai menjadi satu, maka
disebutlah Internet.2 Internet disebut juga dengan istilah net, online
dan web atau world wide web (www)3 sebagai ruang yang bebas dan
menyediakan akses untuk layanan telekomunikasi dan sumber daya
informasi untuk jutaan pemakainya yang tersebar di seluruh dunia.4
The US Supreme Court mendefinisikan Internet sebagai
international network of interconnected computers yaitu jaringan
internasional dari komputer yang saling berhubungan. Dari definisi ini
terlihat dimensi internasionalnya yaitu bahwa jaringan antar komputer
tersebut melewati batas-batas teritorial suatu negara.5 Sementara itu
Agus Raharjo mendefinisikan Internet sebagai jaringan komputer antar
negara atau antar benua yang berbasis Transmission Control
Protocol/Internet Protocol (TCP/IP).6
Dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi yang
modern, manusia mendapatkan kenyamanan dan kemudahan-
kemudahan untuk menyebarkan informasi dan menjalin komunikasi
dengan orang lain di belahan dunia manapun. Pengaruh Internet telah
mengubah jarak dan waktu menjadi tidak terbatas. Media Internet
orang bisa melakukan berbagai aktivitas yang sulit dilakukan dalam
dunia nyata (real) karena kendala jarak dan waktu. Internet mengubah

2
Al Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1999), 35. Lihat
juga Supriyanto,Teknologi Informasi dan Komunikasi (Bogor: Yudistira, 2007), 2.
3
WWW(World Wide Web) merupakan sarana internet yang berfungsi sebagai
sarana untuk transfer file, data dan software di internet. WWW ini didesain untuk
memudahkan pengguna dalam melakukan transfer file dan juga ia memperkaya
tampilan isi (content) Internet. Dengan WWW seseorang dapat secara mudah masuk
dan terhubung ke Internet. Asril Sitompul, Hukum Internet, Pengenalan Mengenai
Masalah Hukum di Cyberspace (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), viii. Lihat juga
Jack Goldsmith and Others, Who Controls the Internet (New York: Oxford
University Press, Inc, 2006), 1-10.
4
MyPesonalLibraryOnline,“CyberCrime”http://dhani.singcat.com/internet.
(diakses 27 Desember 2013). Lihat juga Wang Shun-Yung Kevin And Wilson Huang.
“ The Evolutional View Of The Types Of Identity Thefts And Online Frauds In The
Era Of The Internet.” Internet Journal of Criminology Vol. 2, No. 3, May, 2011,
2045-6743. (diakses 1 Mei 2014).
5
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara, 31.
6
Agus Raharjo, Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, 59.
Cyber dan Terorisme | 37

paradigma komunikasi manusia dalam bergaul, berbisnis, berasmara


bahkan dalam menikmati hubungan seks sekalipun. Penggunaan
teknologi Internet tidak hanya menyelesaikan persoalan yang rumit
secara efektif dan efisien serta membawa dampak positif di berbagai
kehidupan, seperti adanya e-mail, e-commerce, e-learning, EFTS
(Electronic Funds Transfer System atau sistem transfer dana
elektronik, Internet banking, cyber bank, online business dan
sebagainya. Tetapi di sisi lain, juga membawa dampak negatif, yaitu
dengan munculnya berbagai jenis hitech crime dan cyber crime,
sehingga dinyatakan bahwa cyber crime is the most recent type of
crime dan juga oleh panitia kerja perlindungan data (data protection
working party) Dewan Eropa dinyatakan bahwa cyber crime
merupakan bagian sisi paling buruk dari masyarakat dan informasi.
Kecanggihan teknologi ini juga berpotensi membuat orang cenderung
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma sosial
yang berlaku, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah
membawa perubahan yang mendasar terhadap sensitifitas moral
masyarakat ketika teknologi itu disalahgunakan.7
Penggunaan teknologi Internet telah membentuk masyarakat
dunia baru yang tidak lagi dihalangi oleh batas-batas teritorial suatu
negara yang dahulu ditetapkan sangat esensial sekali yaitu dunia maya,
dunia yang tanpa batas atau realitas virtual (virtual reality). Inilah
sebenarnya yang dimaksud dengan borderless world.8 Dalam
menggunakan jasa pada dunia maya tersebut masyarakat cenderung
bebas berinteraksi, beraktivitas, dan berkreasi yang hampir sempurna
7
Council of Europe, “ Opinion 4/2001 On the Council of Europe’s Draft
Convention on Cyber-crime,” adopted on 22 March 2001, 5001/01/EN/Final WP 41,
2. Lihat juga Agus Raharjo, Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan
Kejahatan Berteknologi, 92. Lihat juga Abdul Wahid dan Mohammad Labib,
Kejahatan Mayantara, 40. Lihat juga Peter Stephenson, Investigating Computer-
Related Crime: A Hanbook for Corporate Investigators), 56. Lihat juga Richard
Boateng and Others, “ Sakawa-Cybercrime and Criminality in Ghana.” Journal of
Information Technology Impact Vol. 11, No. 2, (May 2011), 85-96.
8
Agus Raharjo, Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, 5. Lihat juga Dimitri Mahayana, Menjemput Masa Depan, Futuristik
dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global (Bandung: Rosda, 2000), 24-25. Lihat
juga John Nasibitt and others, eds. High Tech, High Touch, Pencarian Makna di
Tengah Perkembangan Pesat Teknologi (Bandung: Mizan, 2001), 23-24. Lihat juga
Clive Walker. “ The Prevention of Terrorism in British Law.” Cambridge University
Press on behalf of Editorial Committee of the Cambridge Law Journal Vol. 46, No.
2, (Jul 1987), 349-350 http://www.jstor.org/stable/4507040 (diakses 9 Mei 2014).
38 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

pada semua bidang. Masyarakat sedang membangun kebudayaan baru


di ruang maya yang dikenal dengan istilah cyber space. Menurut
Howard Rheingold bahwa cyber space adalah sebuah ruang imajiner
atau ruang maya yang bersifat artificial, di mana setiap orang
melakukan apa saja yang biasa dilakukan dalam kehidupan sosial
sehari-hari dengan cara-cara yang baru.9 Cyber space merupakan
tempat berada ketika mengarungi dunia informasi global interaktif
yang bernama Internet. Istilah ini pertama kali digunakan oleh William
Gibson dalam novel fiksi ilmiahnya Science Fiction, kata cyber space
ini ditemukan dalam novelnya yang berjudul Neuromancer danVirtual
Light.10 Istilah ini memang pertama kali dipakai oleh William Gibson,
tetapi dalam konteks Internet, John Perry Barlow mengklaim sebagai
pengguna pertama. Pada waktu itu istilah cyber space oleh Wiliam
Gibson belum ditunjukkan pada interaksi yang terjadi melalui jaringan
komputer. Istilah cyber space yang benar-benar ditujukan pada
interaksi yang terjadi di Internet adalah pada Tahun 1990 ketika John
Perry Barlow11 untuk pertama kalinya mengaplikasikan istilah cyber
space untuk dunia yang terhubung atau online ke Internet.12

9
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara, 32.
10
Agus Raharjo, Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, 4-5. Lihat juga Yonah Alexander; Alan O’Day. “ The Prevention of
Terrorism in British Law by Clive Walker; Ireland's Terrorist Dilemma.” Cambridge
University Press on behalf of the British Institute of International and Comparative
Law Vol. 36,No.4, (Oct 1987), 947-949 http://www.jstor.org/stable/760374 (diakses
13 Juni 2014).
11
Cyber space menurut John Perry Barlow adalah ruang yang muncul ketika
anda sedang menelpon, yaitu setiap ruang informasi tetapi ia adalah ruang interaksi
interaktif yang diciptakan oleh media yang begitu padat sehingga di sana ada
kesadaran tentang kahadiran orang lain, seperti dikutip oleh Agus Raharjo,
Cybercrime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, 92. Lihat
juga Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara, 32. Lihat Michael
N. Schmitt, “ International Law in Cyberspace: The Koh Speech and Tallinn Manual
Juxtaposed.” Harvard International Law Journal Online Vol. 54, No.3, (May 2012),
14-21.
12
The Growth and Development of Cyberspace Law in the United States:
Highlights of the Past Decade, The UCLA Online institute for Cyber Space Law and
Policy, seperti ditulis oleh Agus Raharjo, Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya
Pencegahan Kejahatan Berteknologi, 93. Lihat juga Peter J. van Krieken. “
Terrorism and the International Legal Order: With Special Reference to the UN, the
EU and Cross-Border Aspects.” Cambridge University Press on behalf of the British
Institute of International and Comparative Law Vol. 56, No. 3, (Jul 2007), 732-733
http://www.jstor.org/stable/4498105 (diakses 21 Mei 2014).
Cyber dan Terorisme | 39

Internet merupakan ruang yang bebas karena tidak ada kontrol


dari manapun dan tidak ada pusatnya, sehingga ketika pemerintah
suatu negara hendak membatasi dengan cara melakukan sensor,
mendapat tanggapan yang cukup serius dari para cyberis di antaranya
John Perry Barlow dengan mengeluarkan Declaration of Independet of
Cyber Space sebagai bentuk protesnya. Isi deklarasi tersebut lebih
ditekankan pada kebebasan ruang saja yaitu kebebasan di cyber space,
sedangkan kebebasan para penghuninya tidak menjadi perhatian
pokok. Realitas atau alam baru yang terbentuk oleh medium Internet
ini pada perkembangannya menciptakan masyarakat baru sebagai
warganya yang dalam istilah pengguna dan pemerhati Internet lazim
disebut netizen. Cyber space menawarkan manusia untuk “hidup”
dalam dunia alternatif. Sebuah dunia yang dapat diambil alih dan
menggantikan realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari
kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang
lebih menggairahkan dari kegairahan yang ada, sehingga kehidupan
manusia tidak lagi hanya merupakan aktivitas yang bersifat fisik
dalam dunia nyata (real) belaka akan tetapi menjangkau juga aktivitas
non fisik yang dilakukan secara virtual.13
Cyber space telah pula menciptakan bentuk kejahatan baru,
sebagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan dan
kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yaitu kejahatan
yang berkaitan dengan aplikasi Internet yang dalam istilah asing
disebut cyber crime yaitu segala kejahatan yang dalam modus
operandinya menggunakan fasilitas Internet. Kejahatan ini sering
dipersepsikan sebagai kejahatan yang dilakukan dalam ruang atau
wilayah siber. Cyber crime merupakan kejahatan bentuk baru yang
sama sekali berbeda dengan bentuk-bentuk kejahatan konvensional
yang selama ini dikenal. Dengan menggunakan Internet, jenis
kejahatan cyber crime tidak dapat sepenuhnya terjangkau oleh hukum
yang berlaku saat ini bahkan tidak dapat sepenuhnya diatur dan
dikontrol oleh hukum.

13
Agus Raharjo, Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, 93. Lihat juga Lihat juga Jack Goldsmith and Others, Who Controls
the Internet (New York: Oxford University Press, Inc, 2006), 1-10. Lihat juga Clive
Walker. “ The Treatment of Foreign Terror Suspects.” Wiley on behalf of
the Modern Law Review Vol. 70, No. 3, (May 2007), 427-457
http://www.jstor.org/stable/4543144 (diakses 14 Juni 2014).
40 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Dalam beberapa literatur, cyber crime sering diidentikan


dengan computer crime. Menurut kepolisian Inggris, cyber crime
adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan
kriminal dan atau kriminal berteknologi tinggi dengan
menyalahgunakan kemudahan teknologi digital.14 Selain itu di dalam
beberapa literatur, cyber crime juga disebut sebagai dimensi baru dari
hi-tech crime, transnational crime atau dimensi baru dari white collar
crime. Volodymyr Golubev menyebutnya sebagai “the new form of
anti-social bevaviour”,15 sedangkan Barda Nawawi Arief
menggunakan istilah “tindak pidana mayantara” dimaksudkan identik
dengan tindak pidana di ruang siber (cyber space).16 Tentang kejahatan
ini Muladi mengatakan bahwa, sampai saat ini belum ada definisi yang
seragam tentang cyber crime baik secara nasional maupu global.
Sekalipun demikian dapat didefinisikan beberapa karakteristik tertentu
dan merumuskan suatu definisi. Kebanyakan masih menggunakan soft
law berbentuk code of conduct seperti di Jepang dan Singapura.
Dikemukakan oleh Muladi bahwa cyber crime merupakan suatu istilah
umum yang pengertiannya mencakup berbagai tindak pidana yang
dapat diketemukan dalam KUHP atau Perundang-undangan pidana
lain yang menggunakan teknologi komputer sebagai suatu komponen
sentral. Dengan demikian cyber crime bisa berupa tindakan sengaja
merusak property, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual,
perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak, pencurian dan beberapa
tindak pidana lainnya.17
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Agus Raharjo bahwa
istilah cyber crime sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat
bahkan tidak ada pengakuan internasional mengenai istilah baku,

14
Ade Maman Suherman sebagaimana dikutip Abdul Wahid dan Mohammad
Labib, Kejahatan Mayantara, 32. Lihat juga Michael N. Schmitt, “ International Law
in Cyberspace: The Koh Speech and Tallinn Manual Juxtaposed.” Harvard
International Law Journal Online Vol. 54, No.3, (May 2012), 14-21.
15
Volodymyr Golubev, Cyber Crime and Legal Problems of Internet Usage,
sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam Sari kuliah Perbandingan
Hukum Pidana (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 252.
16
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003), 239.
17
Agus Raharjo, Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, 227. Lihat juga Richard, Boateng and Others. “ Sakawa - Cyber Crime
and Criminality in Ghana.” Journal of Information Technology Impact Vol. 11, No.
2, (May 2011), 85-100. (diakses 12 April 2014).
Cyber dan Terorisme | 41

tetapi ada yang menyamakan istilah cyber crime dengan computer


crime. Demikian juga sampai saat ini sepengetahuan peneliti belum
ada istilah baku atau definisi secara yuridis untuk menunjuk jenis
kejahatan ini dan lebih dikenal sebagai cyber crime. Berdasarkan
modus operandinya, cyber crime terdiri dari dua jenis kejahatan, yaitu:
pertama, kejahatan yang sasaran/targetnya adalah fasilitas serta sistem
teknologi komunikasi informasi. Para pelaku menggunakan sarana ini
untuk menyerang atau merusak sarana teknologi informasi lainnya
yang menjadi target. Pada posisi ini komputer/Internet adalah alat
sekaligus korban kejahatan. Kejahatan ini lebih dikenal hacking/
cracking yang menyerang program-program operasi jaringan komputer.
Ini mempunyai sifat sebagai kejahatan baru (new category of crime).
Kedua, kejahatan umum/biasa yang difasilitasi oleh teknologi
komunikasi informasi. Jenis kegiatan ini telah ada sebelum teknologi
informasi bergerak menuju ke arah penyalahgunaannya, contohnya
penipuan kartu kredit, pengancaman, pencemaran nama baik,
terorisme, pornografi dan sebagainya. Ini merupakan kejahatan yang
bersifat biasa (ordinary crime) yang pengaturannya telah terdapat
dalam KUHP.18
Dalam perspektif hukum pidana, kejahatan ini ada yang
merupakan kejahatan konvensional tetapi dengan modus baru seperti
pornografi, penipuan, pencemaran nama baik, cyber sex, cyber
terrorism dan sebagainya. Di samping itu juga ada kejahatan baru yang
tidak dikenal sebelumnya seperti hacking. Kemajuan teknologi
ternyata tidak digunakan sebagai sarana positif untuk menigkatkan
kualitas kehidupan, tetapi justru digunakan sebagai sarana negatif
yang dapat membawa dampak negatif. Masalah kejahatan di Internet
(cyber crime) ternyata telah menimbulkan keprihatinan dan
mengundang perhatian dari berbagai pihak baik secara nasional

18
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi (Bandung: Refika Aditama, 2005), 87. Lihat juga Peretti, K.
Data Breaches: What The Underground World Of “Carding” Reveals. London:
Santa Clara Computer and High Technology Journal Vol. 2, No. 3, (May 2008), 375-
377. (diakses 1 April 2014). Lihat juga Charlinda Santifort and Others. “ Terrorist
Attack and Target Diversity: Changepoints and their drivers.” Journal of Peace
Research Vol. 50, No. 1 (Januari 2013), 75-90 http://www.jstor.org/stable/23441158
(6 Juni 2014). Lihat juga Alan B. Krueger and Jitka Maleckova. “ Education, Poverty
and Terrorism: Is There a Causal Connection?.” American Economic Association
Vol. 17, No. 4, (May 2003), 119-144 http://www.jstor.org/stable/3216934 (diakses 8
Juni 2014).
42 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

maupun internasional. Kejahatan siber sudah menjadi isu internasional,


hal ini pula yang mendorong Council of Europe memperkarsai
pembentukan konvensi tentang kejahatan cyber.
Tindakan internasional selanjutnya guna lebih merinci segala
hal yang berkaitan dengan kejahatan cyber adalah dengan disusunnya
draf Convention on Cyber Crime of Council of Europe yang dimulai
pada bulan April 2000. Draf konvensi ini dipublikasikan lewat Internet
untuk mendapat tanggapan dari berbagai pihak secara internasional.
Setelah melalui berbagai debat publik diinternet, draf mengalami
berbagai perubahan dan penyesuaian sesuai dengan usul dan
tanggapan, maka akhirnya draf terakhir disetujui dan menjadi
Convention Cybercrime atau Council of Europe Cyber Crime
Convention yang ditandatangani di Budapest tanggal 23 November
2001. Dalam konvensi tentang kejahatan siber, disebutkan jenis-jenis
kejahatan tersebut, yaitu :
1. Illegal access (Art.2);
2. Illegal interception (Art.3);
3. Data interference (Art.4);
4. System interference (Art.5);
5. Misuse of devices (Art.6);
6. Computer-related forgery (Art.7);
7. Computer related fraud (Art.8);
8. Offences related to child pornography (Art.9);
9. Offences related to infringements of copyrights and related rights
(Art.10);
10. Attempt and aiding or abetting (Art.11).19
Namun demikian karena modus operandi dari kejahatan
semakin berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sehingga beberapa jenis kejahatan yang terdapat dalam
konvensi tersebut belum dapat mengcover berbagai perkembangan
19
Convention Committee on Cybercrime, “ Convention on Cybercrime”
http://conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/Html/185.htm. (diakses 20 Februari
2014). Liha juga William L. Waugh, Jr. and Richard T. Sylves. “ Organizing the War
on Terrorism.” Wiley on behalf of the American Society for Public Administration
Vol. 62, (Sep 2002), 145-153 http://www.jstor.org/stable/3110185 (diakses 17 Mei
2014). Lihat juga Clive Walker and Russell Stockdale. “ Forensic Evidence and
Terrorist Trials in the United Kingdom.” Cambridge University Press on behalf
of Editorial Committee of the Cambridge Law Journal Vol. 54, No. 1, (Mar 1995),
69-99 http://www.jstor.org/stable/4508036 (diakses 21 Mei 2014).
Cyber dan Terorisme | 43

jenis kejahatan yang ada dan mungkin akan ada. Dalam background
paper lokakarya “Measures to Combat Computer-Related Crime”
Kongres XI PBB di Bangkok tanggal 18-25 April 2005 menyatakan
bahwa “teknologi baru yang mendunia di bidang komunikasi dan
informasi memberikan “bayangan gelap” (a dark shadow) karena
memungkinkan terjadinya bentuk-bentuk eksploitasi baru, kesempatan
baru untuk aktivitas kejahatan, dan bahkan bentuk-bentuk baru dari
kejahatan”.20 Semakin berkembangnya cyber crime terlihat pula dari
munculnya berbagai istilah seperti cyber terrorism, cyber stalking,
cyber sex, cyber harrasment, hacking, cracking, carding, cyber
pornography, cyber defamation, cyber-criminals, economic cyber
crime, eft (electronic funds transfer) crime, cybank crime, Internet
banking crime, online business crime, cyber/electronic money
laundering, hitech wcc (white collar crime), Internet fraud (antara lain
bank fraud, credit card fraud, online fraud) dan sebagainya.21
Salah satu masalah cyber crime yang juga sangat meresahkan
dan mendapat perhatian berbagai kalangan adalah masalah cyber
terrorism. Dengan memperhatikan jenis-jenis kejahatan sebagaimana
dikemukakan di atas, dapat digambarkan bahwa cyber crime memiliki
ciri-ciri khusus yaitu: non violence (tanpa kekerasan), sedikit
melibatkan kontak fisik, menggunakan peralatan (equipment) dan
teknologi, memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media
dan informatika) global.22 Kejahatan-kejahatan sebagaimana disebut-
kan di atas tidak saja bersifat “baru dan modern” tetapi sekaligus
menimbulkan dampak yang sangat luas karena tidak saja dirasakan
secara nasional tetapi juga internasional. Sehingga sangat wajar jika
cyber crime dimasukan ke dalam jenis kejahatan yang sifatnya
internasional berdasarkan United Nation Convention, Against

20
Dokumen United Nations A/CONF.203/14, Eleventh United Nations
Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, Bangkok, 18-25 April 2005,
Background paper, Workshop 6: Measures to Combat Computer related Crime: “ The
worldwide multiplication of new information and communication technologies also
cast a dark shadow it has made possible newforms of exploitation, new opportunities
for criminal activity and indeed newforms of crime.”
21
William L. Tafoya, “Cyber Terror,” FBI Law Enforcement Bulletin (May
2011), 23.
22
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat (Jakarta:
Peradaban, 2001), 45. Lihat juga Summer Olmstead and Ambareen Siraj, “
Cyberterrorism: The Threat of Virtual Warfare.” Crosstalk The Journal of Defense
Software Engineering Vol. 2, No. 3, (May 2009), 16-18. (diakses 23 Mei 2014).
44 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Transnational Organized Crime (Palermo Convention) November 2000


dan berdasarkan Deklarasi ASEAN tanggal 20 Desember 1997 di
Manila. Dalam Palermo Convention ditetapkan bahwa kejahatan-
kejahatan yang termasuk transnasional crime adalah: kejahatan
narkotika, kejahatan genocide; kejahatan uang palsu, kejahatan di laut
bebas, cyber crime. Sedangkan dalam Deklarasi ASEAN di Manila,
yang termasuk transnational crime adalah: illicit drug trafficking,
money laundering, terrorism, arm smuggling, trafficking in person, sea
piracy, currency counterfeiting, cyber crime.23

B. Terorisme24
Terorisme dewasa ini telah menjadi kejahatan yang meresahkan
bukan hanya pada masyarakat suatu negara, namun juga menjadi
keresahan masyarakat internasional. Sifat kejahatan terorisme yang
memiliki jaringan internasional dan tingkat mobilitas sangat tinggi
serta mengancam keamanan domestik, regional dan internasional
menuntut perhatian masyarakat internasional. Berbagai konvensi-
konvensi yang berhubungan dengan terorisme telah beberapa kali
diadakan dalam rangka menanggulangi terorisme resolusi berbagai
organisasi-organisasi internasional dan beberapa perjanjian internasio-
nal yang dibentuk oleh negara-negara di tingkat regional.25
Sebenarnya, terorisme telah berlangsung lama dalam perkembangan

23
United Nations Office on Drugs and Crime, ” United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime and The Protocols Thereto”
http://www.unodc.org/documents/treaties/UNTOC/Publications/TOC%20Conventio
n/TOCebook-e.pdf (diakses 12 Februari 2014).
24
Knet Lyne Oot, seperti dikutip M. Riza Shibudi, mendifinisikan terorisme
sebagai: sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan
ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material. M. Riza Sihbudi, Bara
Timur Tengah (Bandung: Mizan, 1991), 94. Lihat juga Joel Busher, “ Introduction:
Terrorism and Counter-terrorism in Sub-Saharan Africa”. Journal of Terrorism
Research Vol. 5, No. 1(May 2014), 1-3. Lihat juga ‘Abd Alla>h bin al-Syakh al-
Mahfuz}, al-Irha>b al-Taskhisu wa al-Hulu>l (Riya>d}: al-U’bayka>n, 2007), 23-24. Lihat
juga Mathias Holmen Johnsen, “ A Case Study of Anders B. Breivik’s Intergroup
Conceptualisation.” Journal of Terrorism Research Vol. 2, No. 3, (May 2014), 1-8.
25
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi, 51. Lihat juga Victor Tadros. “ Justice and Terrorism.” New
Criminal Law Review: An International and Interdisciplinary Journal Vol. 10, No. 4
(May 2007) Article DOI: 10.1525/nclr.2007.10.4.658, 658-689. http://www.jstor.
org/stable/10.1525/nclr.2007.10.4.658 (diakses 10 Juni 2014).
Cyber dan Terorisme | 45

sejarah manusia. Kekerasan berbau teror dapat ditemukan dalam


bukunya Xenophone (431-350 SM) mengenai perang psikologis,
kekerasan bangsa Roma yang terjadi di Spartacus pada Tahun 73 SM
serta sejarah bagaimana Kaisar Tiberius (41-37 SM) dan Caligula yang
berupaya menyingkirkan, membuang, merampas harta benda dan
hukum lawan-lawan politiknya. Hingga saat ini definisi mengenai
terorisme masih beragam, belum ada kesepahaman di antara definisi-
definisi yang ada.26 Kesulitan memberikan suatu definisi ditambah
juga banyaknya pihak yang berkepentingan (stakeholder) terhadap isu
terorisme, baik itu perorang, organisasi, bahkan suatu negara.
Terorisme dapat dipandang dari berbagai sudut ilmu: sosiologi,
kriminologi, politik, hubungan internasional dan hukum, oleh karena
itu sulit merumuskan suatu definisi yang mampu mencakup seluruh
aspek dan dimensi berbagai disiplin ilmu tersebut.27
Sebuah forum bersama dalam forum brainstorming, akademisi,
profesional, pakar, pengamat politik dan diplomat, terkemuka
pada pertemuan bersama di kantor MenkoPolkam tanggal 15
September 2001 berpendapat bahwa, terorisme dapat diartikan
sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang
(ekstrimis, separatis, suku bangsa) sebagai jalan terakhir untuk
memperoleh keadilan yang tidak dapat dicapai mereka melalui saluran
resmi atau jalur hukum.28
T. P. Thornton dalam bukunya Terror as a Weapon of Political

26
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi, 48. Lihat juga Brahim Herbane. “ Risk Management on the
Internet.” Palgrave Macmillan Journals Vol. 5, No. 2, (May 2003), 61-62
http://www.jstor.org/stable/3867819> (diakses 21 Mei 2014). Lihat juga Juhaya S.
Praja, Islam Globalisasi dan Kontra Terorisme (Islam Pasca Tragedi 911) (Bandung:
Kaki Langit 2003), 31.
27
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara, 22. Lihat juga
Tri, Poetranto. Terorisme Bagaimana Mengatasinya? Puslitbang Strahan Balitbang
Dephan, STT No. 2289 Vol. 9 No. 17 (Mei 2006). (diakses 7 April 2014). Lihat juga
C. Satapathy. “ Impact of Cyber Vandalism on the Internet.” Economic and Political
Weekly Vol. 35, No. 13, (Mar 2000), 25-31 http://www.jstor.org/stable/4409073
(diakses 6 Juni 2014).
28
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi, 63. Lihat juga Malvina Halberstam. “ Maritime Terrorism and
International Law. by Natalino Ronzitti.” American Society of International Law
Vol. 86, No. 4, (Oct 1992) Article DOI: 10.2307/2203807, 854-856
http://www.jstor.org/stable/2203807(diakses 3 Juni 2014).
46 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Agitation menyatakan bahwa terorisme merupakan “penggunaan teror


sebagai tindakan simbolis untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah
laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya penggunaan
kekerasan dan ancaman kekerasan. Menurut Thornton, terorisme dapat
dibagi menjadi dua macam yaitu, enforcement terror dan agitational
terror. Bentuk pertama adalah teror oleh penguasa untuk menindas
yang melawan kekuasaannya, sedangkan bentuk kedua yaitu, teror
yang dilakukan untuk mengganggu tatanan politik yang mapan untuk
kemudian dikuasai”.
Sedangkan Igor Primoratz menyatakan bahwa “terrorism is
based defined as the deliberate use of violence or threat of its use,
againts innocent people, with the aim of intimidating some other
people into a coerce of action they otherwise would not take.”
Selanjutnya F. Budi Hardiman menyatakan bahwa dalam mendefinisi-
kan secara objektif mengenai terorisme, harus dilihat unsur kualitas
aksinya. Kualitas aksi tersebut adalah adanya penggunaan kekerasan
secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas.
Menurut Hardiman, pendefinisian, dengan melihat kualitas aksi atau
peristiwa lebih menguntungkan karena dapat mengidentifikasi, pola-
pola yang luas dari aksi, dapat mengenali kecenderungan di masa
depan dan dapat mengetahui pertumbuhan terorisme serta menumbuh-
kan penyebarannya di dunia.29
Menurut RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan
pengembangan swasta terkemuka di AS, melalui sejumlah penelitian
dan pengkajian menyimpulkan bahwa setiap tindakan kaum teroris
adalah tindakan kriminal. Definisi konsepsi pemahaman lainnya
menyatakan bahwa: pertama, terorisme bukan bagian dari tindakan
perang, sehingga seyogyanya tetap dianggap sebagai tindakan
kriminal, juga situasi diberlakukannya hukum perang. Kedua, sasaran
sipil merupakan sasaran utama terorisme dan dengan demikian
penyerangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikategorikan
sebagai tindakan terorisme. Ketiga meskipun dimensi politik aksi
teroris tidak boleh dinilai, aksi terorisme itu dapat saja mengklaim
bersifat politis. Adapun pengertian terorisme dalam arti yang sangat
luas adalah setiap tindakan yang menimbulkan suasana ketakutan dan
29
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi, 63. Lihat juga Joel Busher, “ Introduction: Terrorism and
Counter-terrorism in Sub-Saharan Africa.” Journal of Terrorism Research Vol. 5,
No.1, (May 2014), 1-3.
Cyber dan Terorisme | 47

keputusasaan (feur and despair).30 Dengan pengertian seperti ini maka


aksi pembunuhan, pengancaman, penindasan pengembangkangan
media pers, intimidasi penguasa kepada rakyat dapat dikategorikan
sebagai tindakan terorisme. Sebagaimana diketahui bahwa hingga kini
belum ada definisi terorisme yang diakui secara universal. Salah satu
bentuk kesulitan dalam pendefinisian terorisme adalah terletak pada
perbedaan sudut pandang orang yang memandang tindakan yang
dikategorikan teror dan terorisme. Meskipun terdapat beberapa
kesamaan pendapat para ahli mengenai ciri-ciri dasar terorisme, yaitu:
pertama, pengeksploitasian kelemahan manusia secara sistematik
(ketakutan yang melumpukan terhadap kekerasan, kekejaman dan
penganiyaan fisik). Kedua, adanya unsur pendadakan atau kejutan.
Ketiga, mempunyai tujuan politik yang lebih luas dari sasaran atau
korban. Keempat, direncanakan dan dipersiapkan secara matang dan
rasional.
Atas dasar ciri-ciri tersebut, terorisme dapat diartikan sebagai
penggunaan atau ancaman fisik yang direncanakan, dipersiapkan dan
dilancarkan secara mendadak terhadap sasaran langsung untuk
mencapai suatu tujuan politik. Sementara itu, suatu rumusan
pengertian yang lebih panjang mengenai terorisme yaitu penggunaan
atau ancaman kekerasan fisik individu atau kelompok untuk tujuan
politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang
ada, apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk
mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok
sasaran yang lebih besar dari korban langsungnya. Terorisme
melibatkan kelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-
rezim tertentu, untuk megoreksi keluhan kelompok/nasional atau
untuk menggerogoti tata politik internasional yang ada.31

30
Noorhaidi Hasan and Others, “ Counter-Terrorism Strategies in Indonesia,
Algeria and Saudi Arabia” https://www.wodc.nl/images/1806-volledige-
tekst_tcm44-435986.pdf (diakses 1 Februari 2014). Lihat juga Mona Harb and
Reinoud Leenders. “ Know Thy Enemy: Hizbullah, 'Terrorism' and the Politics of
Perception.” Taylor & Francis, Ltd Vol. 26, No. 1, (May 2005), 173-197
http://www.jstor.org/stable/3993770 (25 Mei 2014).
31
Abu Ridho, Terorisme (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003), 9-13. Lihat juga
Sener Dalyan, “ Combating the Financing of Terrorism: Rethinking Strategis for
Success.” Defence Againts Terrorism Review Vol. 1, No. 1, (May 2008), 137-153.
Lihat juga Dzia>b Mu>sa al-Bada>yanah, al-Tanmiyah al-Bashariyah wa al-Irha>b fi> al-
Wat}an al-Arabi> (Riya>d}: Ja>mi’ah Na>yif al-Arabiyah li al-Ulu>m al-Amniyah, 1431 H),
3-7. Lihat juga Jack P. Gibbs. “ Conceptualization of Terrorism.” American
48 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

C. Diskursus Cyber Terrorism32


Dalam beberapa kasus, penguasaan terhadap teknologi sering
kali disalahgunakan untuk melakukan suatu kejahatan. Di antara
ragam kejahatan menggunakan teknologi, terdapat di dalamnya suatu
bentuk kejahatan terorisme baru, yaitu cyber terrorism. Akar
perkembangan dari cyber terrorism dapat ditelusuri sejak awal 1990,
ketika pertumbuhan Internet semakin pesat dan kemunculan
komunitas informasi. Di Amerika Serikat sejak saat itu diadakan
kajian mengenai potensi resiko yang akan dihadapi Amerika Serikat
atas ketergantungannya yang begitu erat dengan jaringan (networks)
dan teknologi tinggi. Dikhawatirkan, karena ketergantungan Amerika
Serikat yang begitu tinggi terhadap jaringan dan teknologi suatu saat
nanti Amerika akan menghadapi apa yang disebut “Electronic Pearl
Harbor”.33
Faktor psikologis, politik, dan ekonomi merupakan kombinasi
yang menjadikan peningkatan ketakutan Amerika terhadap isu terkait
cyber terrorism. Sehingga pada tahun 1999, Presiden Clinton sampai
mengajukan proposal anggaran dana untuk menangani aksi cyber
terrorism sebesar $2.8 miliar. Dana tersebut juga diperuntukan bagi
penanganan keamanan nasional dari ancaman bahaya Internet.34

Sociological Association Vol. 54, No. 3, (Jun 1989), 329-340 http://www.jstor.org/


stable/2095609 (diakses 14 Juni 2014).
32
Cyber terrorism merupakan penyerangan dengan menggunakan komputer
atau mengancam, mengintimidasi atau memaksa pemerintahan atau masyarakat,
dengan tujuan untuk mencapai target politik, agama atau ideologi. Sarana itu cukup
untuk menimbulkan rasa takut yang berasal dari tindakan psikis teroris. Kerusakan
infrastruktur seperti tenaga listrik atau pelayanan keadaan darurat yang dapat
disebabkan oleh tindakkan terorisme mayantara. Dikdik M. Arief Mansur & Eli
Satris Gultom, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Infromasi, 65. Lihat juga Zahri
Yunos,“CyberTerrorismConceptua'lFramework”http://www.oiccert.net/v1/slide/sessi
on%201/03%202012%0Zahri%20OICCERT%20Oman%20V1%20%28ZAHRI%29.
pdf (diakses 20 Februari 2014).
33
Gabriel Weimann, “ Cyberterrorism: How Real Is the Threat?”
http://www.usip.org/pubs/specialreports/sr119.html. (diakses 1 Desember 2013).
Lihat juga David Isenberg, “ Electronic Pearl Harbor? More Hype Than Threat”
http://www.cato.org/publications/commentary/electronic-pearl-harbor-more-hype-
threat (diakses 10 Februari 2014).
34
ElectronicCivilDefence,http://ntrg.cs.tcd.ie/undergrad/4ba2.02/infowar/ecd.
html (diakses 23 Desember 2013). Lihat juga Gabriel Weimann. “ Terror on the
Internet: The New Arena, the New Challenges.” The Academy of Political Science
Vol. 122, No. 1, (Spring 2007), 164-165 http://www.jstor.org/stable/20202826
(diakses 9 Juni 2014).
Cyber dan Terorisme | 49

Ketakutan tersebut cukup beralasan, karena telah terjadi beberapa


insiden yang dikategorikan sebagai cyber terrorism, antara lain pada
bulan Maret dan April 2002, di Amerika Serikat, tepatnya negara
bagian California, terjadi kehilangan pasokan listrik secara total yang
disebabkan oleh ulah cracker dari Cina yang menyusup ke dalam
jaringan power generator di wilayah tersebut. Contoh lainnya adalah
aksi 40 cracker dari 23 negara bergabung dalam perang cyber konflik
Israel-Palestina sepanjang bulan Oktober 2000 sampai Januari 2001.
Kelompok yang menamakan dirinya UNITY dan memiliki hubungan
dengan organisasi Hizbulla>h merencanakan akan menyerang situs
resmi pemerintah Israel, sistem keuangan, perbankan, ISPs dan
menyerang situs e-commerce Israel.35
Motif dilakukannya cyber terrorism menurut Zhang ada lima
36
sebab: pertama, psychological warfare. Motif ini tidak berbeda
dengan motif terorisme konvensional, di mana sasaran utama
terorisme adalah menimbulkan rasa ketakutan dalam masyarakat.
Kedua, propaganda. Melalui cyber terrorism, kelompok teroris dapat
melakukan propaganda tanpa banyak hambatan seperti sensor
informasi, karena sifat Internet yang terbuka, upaya ini jauh lebih
efektif. Ketiga, fundraising. Melalui cyber terrorism, khususnya
tindakan penyadapan dan pengambilalihan harta pihak lain untuk
kepentingan organisasi teroris telah menjadi motif utama dari cyber
terrorism. Kelompok teroris juga dapat menambah keuangannya
melalui penjualan CD dan buku tentang “perjuangan” mereka.
Keempat, communication. Kelompok teroris telah secara aktif
memanfaatkan Internet sebagai media komunikasi yang efektif dan
jauh lebih aman dibandingkan komunikasi konvensional. Kelima,
information gathering. Kelompok teroris memiliki kepentingan
terhadap pengumpulan informasi untuk keperluan teror, seperti
informasi mengenai sasaran teror, informasi kekuatan pihak musuh dan
informasi lain yang dapat menunjang kinerja kelompok teroris tersebut

35
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi, 54. Lihat juga Gilbert Ramsay, “ Jihadi Culture on the World
Wide Web (New York: Bloomsbury, 2013),” Journal of Terrorism Research (May
2014), 59-60.
36
Zhang,http://www.slais.ubc.ca/course/libr500/0405wt1/www/X_Zhang/5wa
ys.htm (diakses 3 Desember 2013). Lihat juga Andrew H. Kydd and Barbara F.
Walter. “ The Strategies of Terrorism.” The MIT Press Vol. 31, No. 1, (Summer
2006), 49-80 http://www.jstor.org/stable/4137539 (diakses 4 Juni 2014).
50 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

seperti informasi rahasia (intelegent information) terkait persenjataan


dan lainnya. Atas dasar motif information gatheringlah cyber terrorism
dilakukan. Pergeseran wilayah terorisme konvensional ke cyber
terrorism disebabkan beberapa faktor. Weimann dalam tulisannya
”How Modern Terrorism Uses the Internet” menuturkan delapan
alasan mengapa terjadi pergeseran wilayah aktivitas terorisme dari
konvensional ke cyber terrorism yaitu: pertama, kemudahan untuk
mengakses. Cyber terrorism dapat dilakukan secara remote. Artinya
tindakan cyber terrorism dapat dilakukan di mana saja melalui
pengontrolan jarak jauh.
Kedua, sedikitnya peraturan, penyensoran dan segala bentuk
kontrol dari pemerintah. Ketiga, potensi penyebaran informasi yang
mengglobal. Keempat, anonimitas dalam berkomunikasi. Hal ini
merupakan hal yang biasa dalam dunia Internet. Kebanyakan orang
berinteraksi di Internet menggunakan nama palsu atau biasa disebut
nickname. Kelima, arus informasi yang cepat. Keenam, biaya yang
rendah untuk mengembangkan dan merawat website. Ketujuh,
lingkungan multimedia yang mempermudah penyampaian maksud dan
tujuan teror. Kedelapan, kemampuan yang lebih baik dari media massa
yang tradisional dalam menyajikan informasi.37
Untuk mendalami apa dan bagaimana cyber terrorism, perlu
terlebih dahulu diberikan definisi terhadap kata tersebut. Beberapa
lembaga dan ahli memberikan definisi terkait cyber terrorism. Definisi
pertama didapat dari Black’s Law Dictionary, cyber terrorism
merupakan terorisme yang dilakukan dengan menggunakan komputer
untuk melakukan penyerangan terhadap komputer, jaringan komputer
dan data elektronik sehingga menyebabkan rasa takut pada korban.
Dari definisi ini terlihat unsur utama dari cyber terrorism, yaitu:
penggunaan komputer dan tujuannya untuk melakukan penyerangan,
kemudian serangan tersebut ditujukan kepada sistem komputer dan
data serta adanya akibat rasa takut pada korban. Definisi selanjutnya
dikeluarkan oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) yang

37
Gabriel Weimann, “How Modern Terrorism
http://www.usip.org/pubs/specialreports/sr116.pdf (diakses 24 Desember 2013).
Lihat juga Janet J. Prichard and Laurie E. MacDonald, “ Cyber Terrorism: A Study
of the Extent of Coverage in Computer Security Textbooks.” Journal of Information
Technology Education Vol. 3, No. 3, (May 2004), 280-285. Lihat juga Gilbert
Ramsay, “ Jihadi Culture on the World Wide Web (New York: Bloomsbury, 2013),”
Journal of Terrorism Research (May 2014), 59-60.
Cyber dan Terorisme | 51

menyatakan bahwa cyber terrorism adalah serangan yang telah


direncanakan dengan motif politik terhadap informasi, sistem
komputer dan data yang mengakibatkan kekerasan terhadap rakyat
sipil dan dilakukan oleh sub-nasional grup atau kelompok rahasia.38
James A. Lewis mendefinisikan cyber terrorism sebagai
penggunaan jaringan komputer sebagai sarana untuk melumpuhkan
insfrastruktur secara nasional seperti energi, transportasi untuk
menekan atau mengintimidasi kegiatan-kegiatan pemerintah atau
masyarakat sipil. Menurut Dorothy E. Denning, cyber terrorism
sebagai penyerangan dengan menggunakan komputer atau mengan-
cam, mengintimidasi atau memaksa pemerintahan atau masyarakat,
dengan tujuan untuk mencapai target politik, agama atau ideologi.
Sarana itu cukup untuk menimbulkan rasa takut yang berasal dari
tindakan psikis teroris. Serangan itu secara tidak langsung dapat
menimbulkan kematian atau cacat badan, kecelakaan pesawat,
pencemaran air dan kelumpuhan ekonomi secara makro. Kerusakan
infrastruktur seperti tenaga listrik atau pelayanan keadaan darurat
yang dapat disebabkan oleh tindakan terorisme mayantara.39
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)
mendefinisikan terorisme mayantara sebagai suatu tindakan yang
dapat meresahkan dan menggangu stabilitas masyarakat secara umum.
Termasuk dalam definisi ini adalah spamming dan abusing. Spamming
adalah pengiriman surat elektronik yang berbau iklan kepada seorang
pemilik surat elektronik tanpa sepengetahuan si empunya. Selain itu
spamming juga menunjuk pada penggunaaan server orang lain untuk
38
Federal Bureau of Investigation (FBI), “ Citation Adam Savino, Cyber
terrorism” http://www.cybercrime.net/Terrorism (diakses 1 Januari 2014). Lihat juga
William L. Tafoya, “ Cyber Terror,” FBI Law Enforcement Bulletin (May 2011), 1-
15. Lihat juga Fran Moira. “ FBI Terrorism And The Ohio 5.” off our backs, inc Vol.
15, No. 4, (April 1985), 5 http://www.jstor.org/stable/25775392 (diakses 18 Mei
2014).
39
Dikdik M. Arief Mansur & Eli Satris Gultom, Cyber Law, Aspek Hukum
Teknologi Infromasi, 65. Lihat juga John Deutch. “ Terrorism.” Washingtonpost.
Newsweek Interactive, LLC No. 108, (Autumn 1997), Article DOI:
10.2307/1149086, 10-22 http://www.jstor.org/stable/1149086 (diakses 9 Juni 2014).
Lihat juga Clive Walker and Dave Whyte. “ Contracting out War?: Private Military
Companies, Law and Regulation in the United Kingdom.” Cambridge University
Press on behalf of the British Institute of International and Comparative Law Vol.
54, No. 3, (Jul 2005), 651-689 http://www.jstor.org/stable/3663453 (diakses 28 Mei
2014). James A. Lewis, Cyber Security: Turning National Solutions Into
International Cooperation, 91-92.
52 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

menyerang server target. Sedangkan abusing adalah tindakan


penyalahgunaan Internet seperti distributed denial on service, hacking,
penghinaan, menyebarkan SARA dan juga pornografi.40
South Asian Free Media Association (SAFMA) memberikan
pernyataan mengenai cyber terrorism yaitu, setiap orang, kelompok,
atau organisasi, dengan tujuan melakukan teror, mengakses atau
menyediakan akses komputer atau jaringan komputer atau sistem
elektronik atau dengan peralatan apapun yang tersedia dan diketahui
terlibat atau berusaha terlibat dalam aksi terorisme, termasuk
pelanggaran cyber terrorism. Dari definisi-definisi dan penjelasan di
atas peneliti menyimpulkan bahwa cyber terrorism adalah sebagai
tindakan melawan hukum yang bermotivasi politik untuk mencapai
ideologinya, yang secara langsung atau tidak langsung yang dapat
menyebabkan kematian terhadap orang, hilangnya harta benda,
menimbulkan ancaman, keresahan atau rasa takut masyarakat atau
menimbulkan kelumpuhan ekonomi makro, kelumpuhan infrastruktur
negara dengan menggunakan sarana teknologi informasi. Penggunaan
basis teknologi informasi sebagai media terorisme telah menunjukan
bentuk dan karakter lain dari cyber terrorism.41
Dengan demikian secara garis besar, cyber terrorism dapat
dibagi menjadi dua bentuk atau karakteristik, yaitu: pertama,
cyberterrorism yang memiliki karakteristik sebagai tindakan teror
terhadap sistem komputer, jaringan, dan/atau basis data dan informasi
yang tersimpan di dalam komputer. Kedua, cyber terrorism berkarakter
untuk pemanfaatan Internet untuk keperluan organisasi dan juga
berfungsi sebagai media teror kepada pemerintah dan masyarakat.
Bentuk atau karakter pertama cyber terrorism adalah sebagai tindakan
teror terhadap sistem komputer, jaringan, dan/atau basis data dan
informasi yang tersimpan di dalam komputer dan beberapa contoh dari
bentuk ini adalah: pertama, unauthorized access to computer system
40
Ucok Ritonga, “APJII Ingatkan Bahaya Cyberterorism” http://www.
tempo.co/read/news/2003/03/25/0567383/APJII-Ingatkan-Bahaya Cyberterorism
(diakses 5 Februari 2014).
41
Irfan Ahmed, “ Media-Pakistan: Cybercrime Law Infringes on Right-
Activists”http://www.ipsnews.net/2008/01/media-pakistan (diakses 3 Januari 2014).
Lihat juga William L. Tafoya, “ Cyber Terror,” FBI Law Enforcement Bulletin (May
2011), 1-15. Lihat juga Raed S, A. Faqir. “ Cyber Crimes in Jordan: A Legal
Assessment on the Effectiveness of Information System Crimes Law.” International
Journal of Cyber Criminology Vol. 7, No.1, (January - June 2013), 81-90. (diakses 1
Juni 2014).
Cyber dan Terorisme | 53

dan service (membajak sistem komputer dan layanan data). Merupakan


kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu
sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa
sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer. Kedua, denial of
service attacks (DOS) (serangan untuk menolak layanan data).
Penyerangan terhadap salah satu servis yang di jalankan oleh jaringan
dengan cara membanjiri server dengan jutanan permintaan layanan
data dalam hitungan detik yang menyebabkan server bekerja terlalu
keras dan berakibat dari matinya jaringan atau melambatnya kinerja
server. Ketiga, cyber sabotage and extortion (sabotase dan
pengrusakan data). Kejahatan ini dilakukan dengan membuat
gangguan, pengrusakan atau penghancuran terhadap suatu data,
program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung
dengan Internet. Keempat, viruses. Virus adalah perangkat lunak yang
telah berupa program, script, atau macro yang telah didesain untuk
menginfeksi, menghancurkan, memodifikasi dan menimbulkan
masalah pada komputer atau program komputer lainnya. Kelima,
physical attacks (serangan fisik). Penyerangan secara fisik terhadap
sistem komputer atau jaringan. Cara ini dilakukan dengan merusak
secara fisik, seperti pembakaran, pencabutan salah satu devices
komputer atau jaringan menyebabkan lumpuhnya sistem komputer. 42
Keenam, carding atau yang disebut credit card fraud (penipuan
kartu kredit). Merupakan tindakan memanfaatkan kartu kredit orang
lain untuk berbelanja di toko-toko online guna membeli peralatan
terorisme dan pembiayaan operasional. Teroris mencari nomor-nomor
credit card orang lain melalui chanel di IRC, melalui CC generator,
meng-hack toko online dan masuk data basenya, membuat website
palsu mengenai validitas kartu kredit seperti umumnya di situs-situs
porno. Ketujuh, e-mail. Teroris dapat menggunakan e-mail untuk
menteror, mengancam, dan menipu, spamming dan menyebar virus

42
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi, 67. Lihat juga Michael Gregg, Certified Ethical Hacker Exam
Prep (United States of America: Que Publishing, 2006), 7. Lihat juga Sarah Gordon,
“ Cyberterrorism?,” Symantec Security Response ( May 2012) 1-16. Lihat juga
Gilbert Guillaume. “ Terrorism and International Law.” Cambridge University
Press on behalf of the British Institute of International and Comparative Law Vol.
53, No. 3, (Jul 2004), 537-548 http://www.jstor.org/stable/3663289 (diakses 8 Juni
2014).
54 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

ganas yang fatal, menyampaikan pesan di antara sesama anggota


kelompok dan antara kelompok.
Kedelapan, membajak media dengan menunggangi satelit dan
siaran-siaran TV Kabel untuk menyampaikan pesan-pesannya. Selain
itu, teroris dapat mencari metode-metode yang menyingkap
“penyandian” signal-signal TV Kabel yang ada dan menyadap
siarannya. Contoh kasus demikian adalah kasus “Captain Midnaight”
memanipulasi siaran HBO yang berjudul “The Falcon and the
Snowman.” Kesembilan, phreaker. Merupakan phone freaker yaitu
kelompok yang berusaha mempelajari dan menjelajah seluruh aspek
sistem telepon misalnya melalui nada-nada frekwensi tinggi (system
multi frequency). Pada perkembangannya setelah perusahaan-
perusahaan telekomunikasi di Amerika Serikat menggunakan
komputer dan mempelajarinya seperti hacker. Sebaliknya para hacker
mempelajari teknik phreaking untuk memanipulasi sistem komputer
guna menekan biaya sambungan telepon dan untuk menghindari
pelacakan. Kesepuluh, hacking. Yaitu untuk merusak sistem dilakukan
melalui tahap mencari sistem komputer (foot printing) dan
mengumpulkan informasi dan menyusup seperti mencari pintu masuk
(scanning). Setelah menyusup, penjelajahan sistem dan mencari akses
ke seluruh bagian (enumeration) pun dilakukan. Kemudian para hacker
membuat backdoor (creating backdoor) dan menghilangkan jejak.43
Bentuk atau karakter kedua cyber terrorism adalah berkarakter
untuk pemanfaatan Internet untuk keperluan organisasi dan juga
berfungsi sebagai media teror kepada pemerintah dan masyarakat.
Michael Vatism menyatakan bahwa ada tiga cara komputer dapat
dimanfaatkan oleh kaum teroris untuk melakukan aksinya. Pertama,
komputer digunakan sebagai alat (tool). Kedua, sebagai penerima atau
alat bukti. Ketiga, sebagai target. Contoh komputer dijadikan alat
(tool) adalah membuat home page sebagai sarana propaganda,
rekruitmen, mengumpulkan data (Informasi) dari sektor privat atau
data rahasia dan mengadakan hubungan dengan teroris lainnya.
Seluruh aktivitas dilakukan dengan melakukan encrypt. Contoh
demikian adalah hacking pada sistem komputer Sheffield University di
tahun 1997 oleh kelompok Elang Tamil. Kelompok ini menggunakan
id dan password beberapa staf akademik dan mengirim e-mail ke

43
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi, 67.
Cyber dan Terorisme | 55

seluruh penjuru dunia sebagai sarana propaganda dan meminta agar


mengirim dana ke Srilanka.
Komputer sebagai bukti (evidence). Contohnya antara lain
ditemukannya data-data pada komputer yang dijadikan alat bukti
adanya tindak terorisme yang telah atau sedang direncanakan. Proses
perolehan barang bukti dilakukan setelah men-decrypt dokumen
encrypt pada komputer pelaku. Dari proses ini diperoleh bukti atas
aksi kejahatan seperti antara lain kelompok Aum Shinri Kyo yang
dipimpin Shoko Ashahara pada tanggal 20 Maret 1995 yang
menyebarkan gas sarin di Tokyo dan membunuh 12 orang serta
melukai 6000 orang. Kasus terakhir adalah setelah dilakukannya
decrypt pada laptop milik pelaku kejahatan terorisme Bom Bali
dimana terbukti Internet telah dipakai untuk mengadakan konsolidasi
dan koordinasi sebagai target antara lain hacking untuk merusak
sistem, worm/virus attack, DOS attack, phreaking, dan massive
attack.44
Pemanfaatan Internet sebagai alat komunikasi digital yang
dimanfaatkan oleh kaum ekstrimis ini berdampak yang luar biasa.
Situs www.anshar.net misalnya, isinya sampai menimbulkan travel
warning bagi AS, Inggris, dan Australia yang disebut-sebut sebagai
sasaran teror, melarang warganya ke Indonesia jika memang tidak
penting sekali. Maraknya pemanfaatan Internet oleh kaum militan,
menggugah perhatian kalangan tertentu untuk mencari jejak teroris di
Internet. Biasanya, pesan teror yang muncul di Internet, mendapat
sorotan khusus dari media massa. Hal ini tentunya membuat pesan
tersebut jadi tersampaikan secara lebih luas. jika dimanfaatkan sebagai
penyebar ideologi sesat, Internet akan memudahkan pesan tersampai-
kan secara global. Namun untuk pesan teror, ada baiknya aparat mulai
memperhatikan petunjuk-petunjuk yang ada di Internet. Selain untuk
meningkatkan kewaspadaan, pesan teror tentunya bisa jadi petunjuk
bagi aksi teror yang kemungkinan muncul.45

44
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi, 68-69.
45
Gabriel Weimann, “Cyberterrorism: How Real Is the Threat?.”
http://www.usip.org/pubs/specialreports/sr119.html. (diakses 1 Desember 2013).
Lihat juga Janet J. Prichard and Laurie E. MacDonald, “Cyber Terrorism: A Study of
the Extent of Coverage in Computer Security Textbooks.” Journal of Information
Technology Education No.3, Vol. 3, (May 2004), 280-285.
56 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Cyber terrorism sebenarnya terdiri dari dua aspek yaitu cyber


space dan terrorism, sementara para pelakunya disebut dengan CT
(cyber terrorist). Para hackers dan crackers juga dapat disebut dengan
CT, karena seringkali kegiatan yang mereka lakukan di dunia maya
(Internet) dapat menteror serta menimbulkan kerugian yang besar
terhadap korban yang menjadi targetnya, mirip seperti layaknya aksi
terorisme. Keduanya mengeksploitasi dunia maya (Internet) untuk
kepentingannya masing-masing. Mungkin perbedaan tipis antara CT
dan hackers hanyalah pada motivasi dan tujuannya saja, di mana
motivasi dari para CT adalah untuk kepentingan politik kelompok
tertentu dengan tujuan memperlihatkan eksistensinya di panggung
dunia. Sementara motivasi para hackers atau crakers adalah untuk
memperlihatkan eksistensinya atau adu kepintaran untuk menunjukkan
superiotasnya di dunia maya dengan tujuan kepuasan tersendiri atau
demi uang. Secara umum kegitaan hacking adalah setiap usaha atau
kegiatan di luar izin atau sepengetahuan pemilik jaringan untuk
memasuki sebuah jaringan serta mencoba mencuri files seperti file
password dan sebagainya. Atau usaha untuk memanipulasi data,
mencuri file-file penting atau mempermalukan orang lain dengan
memalsukan user identity nya. 46
Pelakunya disebut hacker yang terdiri dari seorang atau
sekumpulan orang yang secara berkelanjutan berusaha untuk
menembus sistem pengaman kerja dari operating sistem di suatu
jaringan komputer.47 Para hacker yang sudah berpengalaman dapat
dengan segera mengetahui kelemahan sistem pengamanan (security
holes) dalam sebuah sistem jaringan komputer. Selain itu kebiasaan
hacker adalah terus mencari pengetahuan baru atau target baru dan
mereka akan saling menginformasikan satu sama lainnya. Namun pada
dasarnya para hacker sejati tidak pernah bermaksud untuk merusak

46
Rudy, “Cyber Crimes (Sudah Siapkah Kita Menghadapinya?)”
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1555-cyber-crimes.html (diakses
1 November 2013). Lihat juga Shamsuddin Abdul Jalil, “ Countering Cyber
Terrorism Effectively: Are We Ready To Rumble?,” Global Information Assurance
Certification Paper (May 2003), 1-17.
47
Hacker adalah orang yang mempelajari, menganalisis, memodifikasi atau
bahkan mengeksploitasi sistem yang terdapat di sebuah perangkat seperti perangkat
lunak komputer maupun perangkat keras komputer. Ricardo Hermawan, The Drop
Out Billionaire Menjual Ide Ala Mark Zuckerberg (Yogyakarta: Best Publisher,
2009), 17. Lihat juga Douglas Thomas, Hacker Culture (USA: University of
Minnesota Press, 2003), 5.
Cyber dan Terorisme | 57

data di dalam jaringan tersebut, mereka hanya mencoba kemampuan


untuk menaklukan suatu sistem keamanan komputer demi kepuasan
tersendiri. Sedangkan seorang atau sekumpulan orang yang memang
secara sengaja berniat untuk merusak dan menghancurkan integritas di
seluruh jaringan sistem komputer disebut cracker dan tindakannya
dinamakan cracking. Pada umumnya para cracker setelah berhasil
masuk ke dalam jaringan komputer akan langsung melakukan kegiatan
pengrusakan dan penghancuran data-data penting (destroying data)
hingga menyebabkan kekacauan bagi para user dalam menggunakan
komputernya. Kegiatan para cracker atau CT ini mudah dikenali dan
dapat segara diketahui dari dampak hasil kegiatan yang mereka
lakukan. Beberapa metode atau cara kerja yang sering digunakan para
CT dan hackers antara lain: pertama, spoofing. Yaitu sebuah bentuk
kegiatan pemalsuan di mana seorang hacker atau cyber terrorist
memalsukan (to masquerade) identitas seorang user hingga dia berhasil
secara legal logon atau login ke dalam satu jaringan komputer seolah-
olah seperti user yang asli. Kedua, scanner. Yaitu sebuah program yang
secara otomatis akan mendeteksi kelemahan (security weaknesses)
sebuah komputer di jaringan komputer lokal (local host) ataupun
jaringan komputer dengan lokasi berjauhan (remote host).48
Sehingga dengan menggunakan program ini maka seorang
hacker yang mungkin secara fisik berada di Inggris dapat dengan
mudah menemukan security weaknesses pada sebuah server di
Amerika atau dibelahan dunia lainnya termasuk di Indonesia tanpa
harus meninggalkan ruangannya. Ketiga, sniffer. Yaitu kata lain dari
network analyser yang berfungsi sebagai alat untuk memonitor
jaringan komputer. Alat ini dapat dioperasikan hampir pada seluruh
tipe protokol komunikasi data, seperti: Ethernet, TCP/IP, IPX dan
lainnya. Keempat, password cracker. Yaitu sebuah program yang dapat
membuka ekripsi sebuah password atau sebaliknya malah dapat
mematikan sistem pengamanan password itu sendiri. Kelima,
destructive devices. Yaitu sekumpulan program-program virus yang

48
Kevik D. Mitnick and William L. Simon, The Art of Intrusion: The Real
Stories Behind the Exploits of Hackers, Intruders & Deceivers (Indiana: Wiley
Publishing, Inc., 2005), 91. Lihat juga Len Hynds. “ Hacker Cracker.” Royal Society
for the Encouragement of Arts, Manufactures and Commerce Vol. 149, No. 5500,
(May 2002), 42-43 http://www.jstor.org/stable/41380327 (diakses 14 Juni 2014).
58 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

dibuat khusus untuk melakukan penghancuran data-data, di antaranya


trojan horse, worms, nukes dan lainnya.49
Cyber terrorism apabila tidak diamati secara teliti maka akan
tampak sama dengan DoS attack, hacking atau cracking sebagaimana
biasanya, namun ada beberapa perbedaan yang menonjol bila diteliti
dari ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Modal untuk menyerang relatif sagat murah, sebuah serangan yang
besar/luas namun cukup dengan hanya menggunakan komputer dan
modem yang sederhana.
2. Dapat dilakukan oleh setiap individu, tidak perlu personil/unit
yang besar.
3. Rendahnya perkiraan terhadap resiko yang akan terjadi serta
sangat sulit untuk melokalisir tersangka, bahkan kadang-kadang
tidak menyadari sedang diserang.
4. Tidak ada batasan waktu dan tempat, sangat memungkinkan
diserang kapan saja (setiap saat) dan dari manapun.
5. Kerugian akan sangat besar/mahal dan meluas apabila serangan
tersebut berhasil.
6. Motif untuk tujuan tertentu (bukan untuk tujuan keuntungan
ekonomi saja).
7. Sasaran terfokus (disengaja) pada infrastruktur kritis.50

49
Rudy, “Cyber Crimes (Sudah Siapkah Kita Menghadapinya?)”
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1555-cyber-crimes.html (diakses
1 November 2013). Lihat juga Steve Saint Claire, “ Overview and Analysis on Cyber
Terrorism,” School of Doctoral Studies (European Union) Journal (May 2011), 85-
96. Lihat juga Antonio Cassese. “ Terrorism, Politics and Law: The Achille Lauro
Affair.” American Society of International Law Vol. 85, No. 2, (Apr 1991) Article
DOI: 10.2307/2203088, 410-414 http://www.jstor.org/stable/2203088 (diakses 2 Juni
2014).
50
Sabadan Daan dan Kunarto. Kejahatan Berdimensi Baru (Jakarta: Cipta
Manunggal), 1999. Lihat juga Michael Lawless. “ Terrorism: An International
Crime.” International Journal Vol. 63, No. 1, (Winter, 2007), 139-159
http://www.jstor.org/stable/40204494 (diakses 12 Mei 2014). Lihat juga K. M.
Fierke. “ The 'War on Terrorism': A Critical Perspective.” Royal Irish Academy Vol.
16, (May 2005), 51-64 http://www.jstor.org/stable/30001934 (diakses 17 Mei 2014).
Lihat juga Renato Cruz De Castro. “ Addressing International Terrorism in
Southeast Asia: A Matter of Strategic or Functional Approach?.” Institute of
Southeast Asian Studies (ISEAS) Vol. 26, No. 2, (August 2004), 193-217
http://www.jstor.org/stable/25798685 (diakses 13 Juni 2014).
Cyber dan Terorisme | 59

Dapat disimpulkan perbedaannya adalah pada motifnya,


sasarannya serta dampak kerugian yang akan sangat besar serta fatal
apabila serangannya berhasil. Infrastruktur kritis adalah suatu institusi
yang berperan sebagai sarana bagi masyarakat luas dalam menunjang
kebutuhan hidupnya atau berfungsi melayani masyarakat luas agar
kehidupannya dapat berjalan secara normal, artinya apabila institusi
ini tidak berfungsi atau terganggu maka akan berakibat langsung pada
kehidupan masyarakat secara luas dan mereka tidak dapat
melangsungkan kehidupannya secara normal. Adapun contoh dari
infrastruktur kritis ini antara lain yaitu: jaringan listrik, pasokan gas,
air dan BBM, jaringan kominfo, keuangan, pelayanan kesehatan,
fasilitas penerbangan, kereta api, pelayanan kepolisian, kekuatan
pertahanan dan pemerintahan. CIA (Critical Infrastructure Assurance
Office) di Amerika mendefinisikan infrastruktur kritis adalah sebagai
those systems and assets-both physical and cyber-so vital to the nation
that their capacity or destruction would have a debilitating impact on
national security, national economic security and/or national public
health and safety. Mengacu pada definisi ini dapat disimpulkan bahwa
apabila salah satu atau sebagian dari infrastruktur kritis tersebut
menjadi target atau sasaran CT maka dampaknya akan sangat luas
bagi masyarakat dan kerugiannya akan sangat besar, jadi pada
tempatnya bila dalam draft cyberlaw diberikan perlakuan khusus
dalam hal perlindungan terhadap infrasktruktur kritis serta hukuman
yang lebih keras terhadap pelakunya.51
Beberapa aksi cyber terrorism yang pernah terjadi di
mancanegara sebagaimana yang sudah dijelaskan di bab satu yaitu,
Amerika serikat, pada bulan Februari 1998, yaitu terjadinya serangan
(breaks in or attack). Di Srilanka pada bulan Agustus 1997, sebuah
organisasi yang bernama the Internet Black Tigers yang berafiliasi
kepada gerakan pemberontak Macan Tamil (the Liberation Tigers of
Tamil Eelam) menyatakan bertanggung jawab atas kejahatan e-mail
(e-mail bombing, e-mail harassment, e-mail spoofing, etc) yang
meminta beberapa kedutaan serta kantor perwakilan pemerintah
Srilanka di mancanegara. Tujuan akhirnya adalah kampanye untuk
melepaskan diri dari Srilanka dalam memperjuangkan kemerdekaan

51
Satsuki Suwa. Response of The National Police Agency in Japan in Dealing
with Cyber Terrorism (Tokyo: unpublished, High-tech Crime Division NPA), 2002.
60 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

rakyat Tamil.52 Di Cina, pada bulan Juli 1998, sebuah perkumpulan


cyber terrorist atau crackers terkenal berhasil menerobos masuk ke
pusat sistem kendali satelit Cina dan berhasil mengacaukan selama
beberapa waktu. Sistem kendali sebuah satelit Cina yang sedang
mengorbit di ruang angkasa. Tujuan utama aksi ini adalah untuk
melakukan terhadap gencarnya investasi negara barat di Cina. Di
Swedia, pada bulan September 1998, pada saat kegiatan pemilihan
umum, sejumlah cyber terrorism berhasil melakukan sabotase yaitu
merubah (deface) tampil website dari partai politik berhaluan kanan
dan kiri. Di mana website links partai politik tersebut dirubah
tujuannya ke alamat situs-situs pornografi sehingga sangat merugikan
partai karena kampanye partai secara elektronik melalui Internet
menjadi terhambat.53 Ditemukan virus “I Love You” dan “Love Bug”
serta berbagai variasinya yang menyebar dengan cepat, diketahui
berasal dari Filipina. Virus-virus tersebut sejauh ini menimbulkan
kerusakan sangat besar dalam sejarah. Berdasarkan prakiraan, virus “I
Love You” dapat merasuki 10 juta komputer dalam jaringan dunia dan
menimbulkan kerugian finansial yang besar pada jaringan komputer di
Malaysia, Jerman, Belgia, Perancis, Belanda, Swedia, Hongkong,
Inggris, dan Amerika Serikat. Virus ini menyebabkan ATM-ATM di
Belgia tak berfungsi beberapa waktu, mengganggu sistem komunkiasi
internal Majelis Perwakilan Rendah (The House of Common) di
Inggris dan menghilangkan sistem surat elektronik (e-mail) pada
kongres Amerika Serikat.54

52
Mudawi Mukhtar Elmusharaf, “Cyber Terrorism: The new kind of
Terrorism”http://www.crimeresearch.org/articles/Cyber_Terrorism_new_kin_Terrori
sm (diakses 28 desember 2013). Lihat juga Mark Sherman, “ Cyber Crime and Cyber
Terrorism,” Federal Judicial Center (May 2002), 1-13. Lihat juga Tibbetts, Patrick S.
“ Terrorist Use of the Internet and Related Information Technologies,” unpublished
paper, School of Advanced Military Studies, Fort Leavenworth, Kansas, (June 2002),
20. (diakses 23 April 2014).
53
Rudy, “Cyber Crimes (Sudah Siapkah Kita Menghadapinya?)”
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1555-cyber-crimes.html (diakses
1 November 2013). Lihat juga Arthur Chaskalson. “ The Widening Gyre: Counter-
Terrorism, Human Rights and the Rule of Law.” Cambridge University Press on
behalf of Editorial Committee of the Cambridge Law Journal Vol. 67, No. 1, (Mar
2008), 69-91 http://www.jstor.org/stable/25166377 (diakses 7 Juni 2014).
54
Carolyn Gard, The Attacks on the World Trade Center:February 26, 1993,
and September 11, 2001 (New York: The Rosen Publishing Group, Inc., 2003), 5.
Lihat juga Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat:Toleransi, Terorisme, dan
Oase Perdamaian (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), 85.
Cyber dan Terorisme | 61

Di Indonesia sendiri, sekitar bulan Agustus 1997, cyber


terrorist atau hackers dari Portugal pernah merubah (defacing)
tampilan situs resmi dari Mabes ABRI (TNI), walaupun dengan segera
dapat diantisipasi. Kemudian pada bulan April 2004 situs resmi milik
KPU (Komisi Pemilihan Umum) juga berhasi di hack dengan teknik
defacing, namun dengan segera pelakunya yaitu seorang konsultan
teknologi informasi suatu perusahaan di Jakarta dapat segera
diamankan oleh pihak kepolisian. Pertengahan Tahun 2006 pemerintah
provinsi Distrik DIY dikejutkan akan adanya ancaman bom yang
ditulis pengunjung Pemrov DIY meski ancaman itu tidak terbukti dan
hanya omong kosong tetapi kejadian itu memberikan pelajaran bahwa
Internet adalah ruang terbuka bagi siapa saja. Sangat memungkinkan
di tahun ini dan masa yang akan datang ancaman dari seseorang atau
kelompok melalui jaringan Internet akan terus bertambah meski
kadang tujuan awal hanya untuk iseng. Tetapi dari keisengan itu
meningkat menjadi kenyataan jika ternyata pelaku cyber terrorism
bersinggungan dengan teroris asli yang notabene biasanya tidak paham
akan jaringan Internet dan menemukan kesamaan visi dalam
melakukan teror meski berbeda media.55 Tertangkapnya Yazir bin Baz
alias Faiz akhir April 2008 yang merupakan salah satu anak buah
Noordin M. Top beberapa waktu lalu membuktikan bahwa ketika
seseorang yang sebenarnya tidak setuju dengan teror pengeboman
tetapi sejalan dengan ideologis yang dianut membawa Faiz ikut dalam
kelompok Noordin M. Top yang ditugasi untuk menterjemahkan buku-
buku jihad arab ke dalam Indonesia serta diminta untuk membuat
website jihad yang di dalamnya akan diisi oleh artikel dan ideologis
jihad. Tujuan penerjemahan dan pembuatan website jelas untuk
propaganda. Website adalah sarana publikasi ampuh ketika sebuah
kelompok atau operasi radikal berhasil, maka biasanya dengan segera
mereka akan memposting bahwa kejadian seperti pengemboman,
penyanderaan dan sebagainya adalah atas ulah mereka dan mereka
berani bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya.

55
Rudy, “ Cyber Crimes (Sudah Siapkah Kita Menghadapinya?)”
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1555-cyber-crimes.html (diakses
1 November 2013). Lihat juga Susan W. Brenner. “ At Light Speed” : Attribution
and Response to Cybercrime/Terrorism/Warfare.” Northwestern University Vol. 97,
No. 2, (Winter, 2007), 379-475 http://www.jstor.org/stable/40042831 (diakses 11
Juni 2014).
62 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Pelaku cyber terrorism paham betul bahwa memanfaatkan


teknologi canggih digabung dengan Internet akan dengan mudah
melancarkan aksi-aksinya, ibaratnya dengan 2 hal tersebut otak teroris
cukup duduk di depan komputer dan mencari dan mengetahui hasil-
hasil capaian aksinya.56 Fakta lainnya, yaitu terkait kasus terpidana
mati Bom Bali, seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya, yaitu
Imam Samudra yang melakukan hacking, carding, melakukan
provokasi dan propaganda. Aksi carding dijumpai dengan ditemukan-
nya situs www.anshar.net yang dibuat oleh Muhammad Agung
Prabowo alias Max Fiderman alias Ahmad Kalingga dan Agung
Setiyadi alias Pak Ne alias Saiful Jihad, Mahasiwa teknik elektro UNS
yang merupakan kaki tangan pelaku Bom Bali I Iman Samudra adalah
bukti nyata bahwa telah terjadi pergerseran modus penggalangan dana
pelaku teroris dengan memanfaatkan carding dan pemesanan alat teror
melalui dunia maya di banding menunggu kiriman dari orang tua atau
merampok.57
Bentuk aksi provokasi, provoganda dan hacking diketahui
melalui pernyataan Imam Samudra sendiri yang dituangkan dalam
bukunya yang berjudul Aku Melawan Teroris. Ia menyarankan kepada
junior-juniornya untuk belajar Internet, sehingga terampil seperti
hacker. Bagi mereka, tujuan utama untuk berbagi pengetahuan mereka
mengenai hacking adalah sebagai perlawanan politik.58 Hacking yaitu
memasukkkan ke dalam sistem komputer dengan mengenalkan virus
agar mudah kena serangan ke jaringan situs Internet atau ancaman
teroristik yang dilakukan melalui komuniksi elektronik. Hacking
dengan kata lain diartikan sebagai perusakan komputer jaringan pihak

56
Imam Ardhianto, “Cyber-terrorism creates problems in the real world”
http://m.thejakartapost.com/news/2006/09/14/cyberterrorism-creates-problems-real-
world.html (diakses 21 Januari 2014). Lihat juga Gaurav, Jain. “ Cyber Terrorism: A
Clear and Present Danger to Civilized Society?.” Information Systems Education
Journal Vol. 3, No. 44, (August 2005), 12 (diakses 5 Mei 2014).
57
Antaranews, “Indonesia Pertama Kali Bongkar Kasus Cyber Terrorism”
http://www.antaranews.com/print/1158078110/indonesiapertama-kali-bongkarkasus-
cyber (diakses 10 maret 2012).
58
Imam Ardhianto, “Cyber-terrorism creates problems in the real world”
http://m.thejakartapost.com/news/2006/09/14/cyberterrorism-creates problems-real-
world.html (diakses 22 Januari 2014). Lihat juga Jonathan, Matusitz.
“Cyberterrorism: Postmodern State of Chaos.” Information Security Journal: A
Global Perspective Vol. 17, No. 4, (Oct 2008) DOI: 10.1080/19393550802397033,
10. (diakses 15 Mei 2014).
Cyber dan Terorisme | 63

lain. Hacking merupakan salah satu kegiatan yang bersifat negatif


meskipun pada awalnya hacking memiliki tujuan mulia, yaitu untuk
memperbaiki sistem keamanan yang telah dibangun dan
memperkuatya, tetapi dalam perkembangannya hacking digunakan
untuk keperluan-keperluan lain yang bersifat merugikan. Hal ini tidak
lepas dari penggunaan Internet yang semakin luas sehingga
penyalahgunaan kemampuan hacking juga mengikuti luasnya
pemanfaatan Internet.59
Aparat kepolisian termasuk tim Densus 88 hingga kini belum
bisa melacak pergerakan para teroris. Meski sejumlah gembong teroris
sudah berhasil dilumpuhkan, aksi teror masih saja terjadi.
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, di antara kasus terorisme
di Indonesia adalah, Bom Bali 2002 (disebut juga Bom Bali I) terjadi
pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002. Aksi ini merupakan
rangkaian tiga pengeboman di lokasi yang berbeda di Bali. Dua
ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan
Legian, Kuta, Bali, sedangkan yang terakhir di Konsulat Amerika
Serikat. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka. Kemudian
Bom JW Marriott, catatan kelam kembali menimpa Indonesia di tahun
2003. Sebuah bom meledak dan menghancurkan sebagian Hotel JW
Marriott di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Bom meledak sekitar
pukul 12.45 WIB dan 12.55 WIB pada Selasa, 5 Agustus 2003.
Sebanyak 12 orang tewas dan 150 orang cedera. Ledakan ini
merupakan aksi bom bunuh diri. Selanjutnya, Bom Kedubes Australia
2004, ledakan besar ini terjadi di depan Kedutaan Besar Australia,
kawasan Kuningan, Jakarta. Bom meledak pada tanggal 9 September

59
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara, 130. Lihat juga
Ricardo Hermawan, The Drop Out Billionaire Menjual Ide Ala Mark Zuckerberg, 17.
Lihat juga Douglas Thomas, Hacker Culture, 5. Lihat juga Clay Wilson, “Computer
Attack and Cyberterrorism: Vulnerabilities and Policy Issues for Congress”, CRS
Report for Congress (May 2005), 5-10. Lihat juga Jonathan I. Charney. “The Use of
Force against Terrorism and International Law.” The American Journal of
International Law Vol. 95, No. 4, (Oct 2001) Article DOI: 10.2307/2674628, 835-
839 http://www.jstor.org/stable/2674628 (diakses 25 Mei 2014). Lihat juga Evan F.
Kohlmann. “ The Real Online Terrorist Threat”. Council on Foreign Relations Vol.
85, No. 5, (Sep-Oct 2006) Article DOI: 10.2307/20032074, 115-124
http://www.jstor.org/stable/20032074 (diakses 15 Juni 2014). Lihat juga Foltz C.
Bryan, “ Cyberterrorism, Computer Crime, and Reality, ”Information Management
& Computer Security Vol. 12 No. 2, (May 2004), 154-166. DOI: 10.1108/
09685220410530799. (diakses 15 Mei 2014).
64 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

2004 silam. Aksi teror ini merupakan rentetan serangan terorisme yang
ditujukan terhadap Australia. Jumlah korban jiwa tidak begitu jelas,
versi petugas Indonesia 9 orang, sementara versi Australia 11 orang
tewas. 60
Selanjutnya bom Bali 2005 untuk yang kedua kalinya, aksi
teror di Pulau Dewata, bom terjadi pada 1 Oktober 2005. Ledakan bom
berada di RAJA’s Bar dan Restoran, Kuta Square, daerah Pantai Kuta
dan di Nyoman Cafe’Jombaran. Meski lebih kecil dari bom Bali
pertama, peristiwa ini menewaskan 22 orang dan 102 orang mengalami
luka-luka. Kemudian bom Cirebon 2011, yaitu sebuah ledakan bom
bunuh diri terjadi di Masjid Mapolresta Cirebon saat salat Jum’at pada
15 April 2011 silam. Berbeda dari aksi lainnya, bom bunuh diri ini
ditujukan untuk menyerang Polisi. Tercatat ada 25 orang mengalami
luka-luka dan menewaskan satu pelaku. Meski berhasil meminimalisir
korban jiwa, aksi terorisme di Indonesia hingga kini masih belum bisa
dicegah. Pasukan khusus anti-teror hingga kini belum bisa melacak
pergerakan para gembong teroris yang terus berpindah-pindah.
Bahkan, saat ini aksi teror sudah mulai mengincar oknum polisi. Dari
pernyataan BNPT (Ansyaad Mbai), sejak Tahun 2000 sudah 900 orang
ditangkap terkait aksi teror. 600 orang di vonis bersalah dan dipenjara
dan ada yang di eksekusi mati. Sementara data dari kepolisian sejak
tahun 2000 hingga 30 April 2013 dipaparkan 845 orang sudah
ditangkap. 83 orang meninggal dunia,11 orang meninggal dengan aksi
bom bunuh diri dan 5 orang dieksekusi mati. 6 orang divonis seumur
hidup, masih dalam proses persidangan 47 orang, proses penyidikan 10
orang dan yang sudah di vonis 618 orang. Dan beberapa kasus lainnya
yang masih terduga teroris. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan
terorisme masih terjadi sampai saat ini.61

60
RG, “Inilah 5 Kasus Terorisme yang Heboh di Indonesia”
http://ciricara.com/2012/09/10/inilah-5-kasus-terorisme (diakses 1 Februari 2014).
Lihat juga Jeffrey Kaplan. “ History and Terrorism.” The Journal of American
History Vol. 98, No. 1 (June 2011), 101-105 http://www. jstor.org/stable/41509052
(diakses 7 Juni 2014).
61
RG, “Inilah 5 Kasus Terorisme yang Heboh di Indonesia”
http://ciricara.com/2012/09/10/inilah-5-kasus-terorisme (diakses 1 Februari 2014).
Lihat juga Gregory Starrett. “ History of Religions.” The University of Chicago
Press Vol. 46, No. 3, (February 2007), 268-271 Article DOI: 10.1086/513258
http://www.jstor.org/stable/10.1086/513258 (diakses 1 Juni 2014).
Cyber dan Terorisme | 65

Usa>mah bin La>din, musuh utama Amerika dinyatakan telah


tewas di Pakistan dalam sebuah operasi intelijen AS di luar Islamabad,
ibu kota Pakistan. Presiden AS Barrack Obama mengumumkan hal
itu, Minggu (1 Mei 2011) malam waktu AS (Senin pagi WIB), dalam
sebuah pidato di televisi yang disiarkan secara langsung. Usa>mah
dituduh berada di balik serangan teroris terhadap menara kembar
World Trade Center di New York dan Pentagon pada 11 September
2001 di Amerika Serikat yang menewaskan sedikitnya 3.000 orang.
AS telah memburu gembong teroris Arab Saudi itu selama bertahun-
tahun dan perburuan itu berakhir di Pakistan. Setelah perang dingin
selesai, Amerika yang menempatkan diri sebagai polisi dunia tidak
mempunyai saingan. Dengan kebesarannya, dunia seakan terpengaruh
untuk menuruti kehendaknya. Tetapi sejak Usa>mah dengan al-Qa>’idah
menyatakan AS serta sekutunya sebagai musuh, ketenangan Amerika
telah terusik, di manapun mereka berada. Serangan demi serangan
dilakukan al-Qa>’idah. Serangan yang mengejutkan dan tak terkirakan
terjadi saat menara kebanggaan AS, WTC runtuh dalam sebuah
serangan kamikaze. Demikian juga Pentagon sebagai Markas
kebanggaan militer AS sempat diserang dengan pesawat sipil yang
berkamikaze. Selain itu beberapa obyek vital AS yang berada di luar
AS telah diserang dan di bom. Peperangan antara AS dan al-Qa>’idah
juga menggunakan Indonesia sebagai palagan tempur. Masih
beruntung pemerintah Indonesia dengan sigap langsung ikut
menangani dan menggembosi ulah Jama>’ah al-Islamiyah, jaringan al-
Qa>i’dah. Tidak bisa dibayangkan apabila pemerintah tidak cepat
mengantisipasinya dan Amerika dengan sekutunya melakukan
preemtive strike ke Indonesia. Seperti yang terjadi di Afghanistan,
Somalia, Pakistan, Irak dan Libya.
Usa>mah mendirikan al-Qa>’idah (Qa>’idat al-Jiha>d), dengan
tujuan mendirikan Pan Islamic Caliphat di seluruh dunia. Usa>mah
bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan non Muslim, membuang
pengaruh Barat dari negara Muslim. Demikian besar ketidaksukaan
Usa>mah kepada AS, di mana pada Tahun 1998 dikeluarkan pamflet
yang ditujukan kepada seluruh umat Muslim agar membunuh warga
negara AS dan sekutu mereka di mana saja. Aksi al-Qa>’idah ditandai
dengan membom hotel di Kenya, melakukan serangan di Kuwait,
meruntuhkan menara kembar WTC, menyerang/membom Kedubes AS
di Kenya dan Tanzania mereka juga menyatakan mendukung bom
66 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Bali-1. Operasi al-Qa>’idah di dunia dilakukan oleh kelompok Ekstrim


Islam Suni, al-Gamia’ al-Islamiyah, Islamic Movement, Harakat al-
Muja>hidi>n dan Jama>’ah al-Islamiyah.62 Usa>mah bin La>din pernah
mengeluarkan fatwa, bahwa “AS dan Inggris telah membagi dunia
menjadi dua wilayah, yang satu wilayah iman, di mana tidak ada
kemunafikan. Kedua, wilayah kekufuran.” Dari fatwa tersebut,
kesannya AS adalah negara sebagai pusat penyembahan berhala.
Tetapi gaungnya dinilai jauh lebih besar lagi, budaya AS sebagai
pusat penyembahan berhala, dan Usa>mah mengatakan untuk menolak
kehadiran AS di Jazirah Arab. Usa>mah juga menekankan bahwa para
pemimpin negara arab dan pemimpin Muslim dunia adalah orang
munafik. Mereka yang pro kepada AS, terus takut dan bersembunyi di
belakang AS. Oleh karena itu maka Usa>mah dan al-Qa>’idah, dalam
rancangan serangannya, selalu memaksa pemerintah untuk memilih,
bersama musuh Tuhan penyembah berhala atau bersama pemeluk
Agama yang benar (inilah doktrin hitam putih).
Al-Qa>’idah dikenal tumbuh dari gerakan keagamaan yaitu
Islam Salafiya (Salaf al-S}a>lih) yang berarti leluruh yang layak
dimuliakan. Salafi yang radikal menganggap Islam yang dipraktikkan
sebagian Muslim tercemar oleh faham pemberhalaan. Mereka ingin
melakukan reformasi. Memang tidak semua salafi melakukan
pendekatan ekstremis ala Usa>mah atau T}aliba>n. Mazhab Wahabi di
Saudi, Ikhwa>n al-Muslimi>n di Mesir dan kelompok besar organisasi
keagamaan sukarela di dunia adalah Salafi. Mereka yakin bahwa kaum
Muslim telah menyimpang dari ajaran Tuhan dan harus segera di
kembalikan dengan keadaan sejati sesuai dengan sunnah Rasul.
Dengan demikian maka para pengikut al-Qa>’idah atau yang
sudah meyakininya, merasa terikat dalam sebuah peperangan mati

62
Prayitno Ramelan, “Osama dan Pengaruhnya Terhadap Terorisme di
Indonesia“ http://ramalanintelijen.net/?p=2276 (diakses 28 Januari 2014). lihat juga
William A. Crenshaw. “Civil Aviation: Target for Terrorism.” Sage Publications,
Inc. in association with the American Academy of Political and Social Science Vol.
498, (Jul 1988), 60-69 http://www.jstor.org/stable/1045381 (diakses 6 Mei 2014).
Lihat juga Victor V. Ramraj and Others. “Global Anti-Terrorism Law and
Policy.” Cambridge University Press on behalf of the British Institute of
International and Comparative Law Vol. 56, No. 4, (Oct 2007), 962-964
http://www.jstor.org/stable/4498128 (diakses 6 Juni 2014). Lihat juga Tapan Kumar
Bose. “Global War on `Terrorism' and Democratic Rights.” India International Centre
Vol. 31, No. 4, (Spring 2005), 27-39 http://www.jstor.org/stable/23005978 (diakses 2
Juni 2014).
Cyber dan Terorisme | 67

hidup melawan kaum kafir. Mereka merasa bahwa dunia tergantung


kepada mereka. Mereka mengatakan bahwa peradaban Barat adalah
perangkat kejahatan yang menyebarkan berhala dalam bentuk
sekularisme. Mereka kemudian menelurkan gerakan politik
fundamentalisme Islam yang menekan negara agar mau menerapkan
syari’ah, karena menurut mereka syari’ah adalah perintah Allah yang
tak terbantahkan bagi kaum Muslim. Apabila penerapan tersebut gagal
maka kaum Muslim akan menyembah berhala.63
Pemahaman al-Qa>i'dah tersebut pada intinya sejalan dengan
keinginan kelompok Islam radikal yang menginginkan terciptanya
Negara Islam Indonesia (NII). Negara Indonesia adalah negara dengan
mayoritas penduduknya Muslim. Ungkapan dari beberapa tokoh yang
diduga terlibat teror juga mirip. Bahkan Abu> Bakar Baa>’shir dalam
sidang terhadap dirinya mengatakan bahwa Presiden SBY kafir, karena
sebagai pemimpin bangsa tidak bisa menerapkan syariat Islam. Dalam
konteks khusus ini peneliti mempunyai saran agar Paspampres harus
lebih hati-hati dalam mengamankan Presiden, karena penyebutan kafir
adalah penegasan sebagai target dikalangan teroris. Pengaruh fatwa
dari Usa>mah tersebut telah mengontaminasi cara berfikir dan hati
mereka-mereka yang selama ini telah terindoktrinasi agar menjadi
mujahidin, berjuang dengan jihad dan siap untuk mati syahid. Itulah
sebetulnya dasar pemikiran mereka yang terlibat teror. Jadi
masalahnya adalah masalah keyakinan yang digelincirkan oleh para
perekrut.
Oleh karena itu, maka penanganan dan penyelesaian masalah
teror di Indonesia adalah penyelesaian konflik bathiniah. Tanpa
disadari, fatwa Usa>mah Bin La>din telah menyebar ke seluruh dunia.
Usa>mah berasal dari budaya yang memperkuat rasa permusuhan, rasa
tidak percaya dan kebencian kepada Barat. Menurut Fareed Zakaria,
masalahnya bukan Usa>mah yang yakin, tapi jutaan orang di negara-
negara Islam dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam setuju.
Pemerintah dan elit politik di Indonesia harus lebih bijak dalam
membaca perkembangan terorisme di tanah air, karena dengan sistem
demokrasi yang diadopsi dari Amerika/Barat, maka terdapat sebuah

63
Prayitno Ramelan, “Osama dan Pengaruhnya Terhadap Terorisme di
Indonesia“ http://ramalanintelijen.net/?p=2276 (diakses 28 Januari 2014). Lihat juga
Nirmalangshu Mukherji. “ Teachers and War on Terrorism.” Economic and Political
Weekly Vol. 38, No. 43, (Oct 2003), 4521-4523 http://www.jstor.org/stable/4414183
(diakses 13 Juni 2014).
68 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

gap dengan mereka yang anti Amerika dan fahamnya. Inilah sebuah
akar permasalahan yang harus diselesaikan.
Sepeninggal Usa>mah, faham yang sudah bertiup ke seluruh
dunia nampaknya tidak akan padam begitu saja. Kini menjadi tugas
berat bagi pemerintah serta seluruh lapisan masyarakat Indonesia
untuk menuntaskan kasus terorisme sebelum dia membesar menjadi
kelompok bersenjata terorganisir seperti di Philipina Selatan dan
Thailand Selatan.64 Imam Samudra juga membenarkan peristiwa bom
Bali I, menurutnya hal ini merupakan ji>had fi sabililla>h (berjuang di
jalan Allah). Menurutnya pemahaman tentang jihad telah mencapai
kesepakatan antara ulama salaf al-s}a>lih terutama pendiri Mazhab Fikih
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Lebih jauh ia menguraikan
referensi jihadnya, yaitu kita>b al-Jiha>d Sabi>luna> oleh ‘Abd al-Ba>qi
Ramdhun, kita>b al-Jiha>d oleh Ibn al-Muba>rak, Fi al-Tarbiyah al-
Jiha>diyah wa al-Bina> oleh ‘Abdulla>h Azza>m. Bom Bali I menurutnya
merupakan jiha>d fi sabililla>h karena target utama pengeboman Bali I
adalah warga negara AS dan sekutunya yang bersalah atas
penyerangan terhadap umat Muslim Afghanistan pada Tahun 2001,
dengan turut disaksikan oleh seluruh dunia, Imam Samudra
menjelaskan bahwa mereka pantas untuk diserang. Ia menyamakan
kekuatan kolonial yang bersalah karena menyerang yang tidak berdaya
dan bayi yang tidak berdosa dengan mereka yang disebut Alquran
sebagai penyembah berhala (yang tidak beriman) seperti di dalam surat
al-Tawbah ayat 36.
          

 
Artinya:”…dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Dalam pendapatnya, perang harus dilaksanakan untuk
pembalasan atas apa yang telah mereka lakukan. Dalam hal ini, ayat di

64
Prayitno Ramelan, “Osama dan Pengaruhnya Terhadap Terorisme di
Indonesia“ http://ramalanintelijen.net/?p=2276 (diakses 28 Januari 2014). Lihat juga
Ruth Wedgwood. “ Al Qaeda, Terrorism, and Military Commissions.” The American
Journal of International Law Vol. 96, No. 2, (Apr 2002), Article DOI:
10.2307/2693927, 328-337 http://www.jstor.org/stable/2693927 (diakses 5 Juni
2014).
Cyber dan Terorisme | 69

atas sebagai petunjuk atas aksinya yang mengakibatkan peristiwa


pengeboman di Bali. Untuk membela aksi yang telah direncanakan, ia
menunjuk contoh-contoh aksi sebelumnya yang menarget penduduk
sipil Muslim. Yaitu, pada Tahun 1991, embargo perdagangan terhadap
Irak yang diprakarsai oleh AS melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang membawa kematian pada 600.000 bayi dan selanjutnya
angka terus bertambah sampai 1,5 juta, kemudian ratusan penduduk
sipil yang tewas akibat embargo AS terhadap Afghanistan selama
masa pemerintahan T}aliba>n (1994-2001).65
Selanjutnya serangan Israel pada penduduk sipil dengan
persetujuan Pentagon. AS membantu dengan menyediakan bantuan
keuangan dan perlengkapan militer. Kemudian setelah penyerangan
terhadap World Trade Centre (WTC) dan Pentagon, AS menunjukkan
bahwa kebrutalan dan kekejian militernya telah melebihi batas kata-
kata yang digerakkan oleh rasa permusuhan dan keinginan untuk
membalas dendam. Mengutip dari www.khurasan.com diduga korban
dari serangan AS ke Afghanistan sekitar 200.000 penduduk sipil.
Menurutnya mengapa pada peristiwa WTC 9/11 warga AS harus
menangis?. Ia melihat peristiwa pengeboman Bali I sebagai respons
dari umat Muslim yang menyadari dan memahami arti dari membela
harga diri mereka.66 Peristiwa itu ditujukan kepada AS dan sekutunya.
Jihad meski dilaksanakan walaupun hanya sebagian kecil dari umat
Muslim yang ikut berpartisipasi. Untuk memahami pengertian yang
kongkret tentang operasi bom Bali I, Imam Samudra menekankan
perlu pertama memahami tahapan dari jihad seperti yang sudah
ditetapkan dalam Islam menurut pengertian salaf al-S}a>lih. Dalam
uraiannya mengenai subjek ini, dua buku referensi diajukan dengan
judul tarbiyah jiha>diyah oleh ‘Abdulla>h Azza>m dan Tafsi>r Ibn Kathi>r
yang disediakan untuknya pada masa tahanan. Tahapan-tahapan itu
menurutnya adalah: pertama, menahan diri. Kedua, diizinkan

65
Suhash Chakravarty. “The Taliban Phenomenon.” India International Centre
Vol. 29, No. 1, (Summer 2002), 65-74 http://www.jstor.org/stable/23005797 (diakses
1 Juni 2014). Lihat juga Virginia Held. “ Terrorism and War.” The Journal of Ethics
Vol. 8, No. 1, (May 2004), 59-75 http://www.jstor.org/stable/25115781 (diakses 11
Juni 2014).
66
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal (Jakarta: Grafindo Khazanah
Ilmu, 2007), 14. Lihat juga Yuli Ismartono, Teror di Surga, TEMPO, No.06/III, 15-
21 Oktober 2002.
70 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

berperang. Ketiga, kewajiban melawan dengan perang yang terbatas.


Keempat, kewajiban memerangi seluruh kaum kafir dan musyrik.67
Menurutnya perang akan terus berlangsung sampai dua kondisi
ini terpenuhi, yaitu: pertama, tidak akan ada lagi kemungkaran di
muka bumi. Kedua, Agama Allah akan unggul di atas agama lain,
dalam pengertian bahwa hukum Islam dilaksanakan sepenuhnya yang
dipahami pada Alquran surat al-Tawbah ayat 33.68
           

  


Artinya: Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa)
petunjuk (Alquran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas
segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.
Imam Samudra mengatakan bahwa yang bertanggung jawab
dalam hal ini adalah para Ahl al-Thugu>r dan mujahidin internasional.
Di antaranya termasuk Maulawi Mullah Muhammad Umar, sang Ami>r
al-Mu’mini>n (pemimpin orang-orang beriman) dari Daulah al-
Islamiyah Afghanistan pada saat T}a>liba>n berkuasa. Juga dalam
daftarnya adalah Usa>mah bin La>din, Ayma>n al-Zhawa>hiri, Muhammad
At}if, Sulaima>n Abu Ghaith dan beberapa orang lagi yang oleh AS dan
para sekutunya dilabeli sebagai teroris. Baginya, mereka kini adalah
pengamal sebenar jihad masa kini, maka dari itu memenuhi syarat bagi
mereka untuk memahami kompleksitas yang berhubungan dengan bom
bunuh diri dan penerapannya dalam jihad. Bagi Imam Samudra operasi
bunuh diri adalah sah. Kesimpulannya dari apa yang telah ditulis oleh
Ibn Nuhas, aksi sedemikian adalah sangat dianjurkan. Imam Samudra
mengakui bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai keharusan
‘operasi istishhad‘. Namun, ia condong kepada pendapat yang
membenarkannya. Ia puas dengan dalil-dalil yang diberikan dan karena
pendapat itu didukung oleh Ahl al-Thugu>r zaman ini.69 Dukungan
67
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal, 15-26. Lihat juga Alaeldin,
Maghaireh. “Shariah Law and Cyber-Sectarian Conflict: How can Islamic Criminal
Law respond to cyber crime?.” International Journal of Cyber Criminology Vol. 2
No. 2, (July - December 2008), 337-345. (diakses 9 Juni 2014).
68
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal, 27.
69
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal, 28-30. Lihat juga Imam
Cyber dan Terorisme | 71

semacam ini juga menurut Sutarman datang dari sebuah buku


karangan Abu> Bakar Baa>’shir yang berjudul Tadhkirah, yang isinya
membolehkan atau menghalalkan melakukan kejahatan dan
melegalkan perampokan.
Buku tersebut juga menjadi salah satu penyebab maraknya aksi
perampokan terhadap bank dan toko emas oleh teroris. Melegalkan
seorang teroris melakukan aksi perampokan untuk kegiatan pencarian
dana demi mendukung aksi terorisme. menurutnya para teroris-teroris
yang beraksi selama ini di Indonesia diduga sudah terdoktrinasi dari
buku tersebut. Kemudian Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri
Boy Rafli Amar juga menjelaskan bahwa ajaran buku itu mendorong
aksi teror yaitu penghalalan pembunuhan terhadap pihak-pihak yang
melakukan perlawanan terhadap teroris, salah satunya polisi. Di buku
itu, pejabat negara dan aparat polisi dikatakan sebagai t}hagu>t (yang
dianggap musuh).70 Amidhan Shaberah dari Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mendukung langkah Polri yang akan menarik buku berjudul
Tadhkirah karangan Abu> Bakar Baa>’shir. Amidhan mengatakan, tak
ada ajaran agama mana pun yang menghalalkan perampokan untuk
tujuan dakwah. Hal serupa juga disampaikan Ma’ruf Amin (Fatwa
MUI) ia menyampaikan bahwa buku tersebut layak untuk ditarik dari
peredaran. Meskipun hal ini dibantah oleh Ketua Jama’ah Ans}a>r al-
Tauhi>d Jakarta Nanang Ainur Rofiq, ia mengatakan tuduhan Kepala
Polri Sutarman bahwa perampokan dibenarkan buat jihad dianggap
mengada-ada. Menurut Nanang, Sutarman telah menuduh secara
sepihak atas buku Tadhkirah karangan Abu> Bakar Baa>’shir. Menurut
Nanang, tuduhan itu hanya didasarkan pada pengakuan pelaku teroris
yang tak pernah diklarifikasi kepada Baa>’shir, sebagai pendiri JAT,
yang dicap sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat dan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme. Menurut Nanang, kepolisian
juga tak pernah mengklarifikasi langsung isi Tadhkirah dan Seruan

Samudera, Aku Melawan Teroris, 175-190. Lihat juga Martin, Rudner. “Hunters and
Gatherers: The Intelligence Coalition Against Islamic Terrorism.” International
Journal of Intelligence and Counter Intelligence Vol. 17, No. 2, (Aug 2010), DOI:
10.1080/08850600490274890, 17. (diakses 2 Mei 2014). Lihat juga Anwar al-
Awlaki.“44WaysofSupportingJihad,”http://www.kavkazcenter.com/eng/content/200
9/02/16/10561.shtml (diakses 5 Agustus 2014).
70
Agib Tanjung, “Polri Ingin Musnahkan Buku Tadzkirah Inspirasi Teroris”
http://www.merdeka.com/peristiwa/polri-ingin-musnahkan-buku-tadzkirah-inspirasi-
teroris.html (diakses 20 Januari 2014).
72 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Tauhid di bawah ancaman mati kepada penulisnya kemudian buku


tersebut menurutnya disalahpami oleh kapolri.71 Melihat keseluruhan
dari pandangan Imam Samudra dan yang mendukungnya, bisa
dijelaskan kalau aspek penting dari pandangan yang membentuk
pembenarannya atas kejadian pengemboman Bali I adalah keyakinan-
nya bahwa umat Islam wajib berjihad secara terus-menerus memerangi
non Muslim. Baginya, dasar dari hubungan antara Muslim dan non
Muslim adalah jihad dan perang, bukan perdamaian.
Imam Samudra memandang bahwa jihad bersenjata hanya satu-
satunya hubungan yang wujud di antara orang-orang yang beriman dan
tidak. Baginya, jihad bersenjata adalah kewajiban yang kekal sampai
berakhir dunia dan tujuannya adalah untuk melawan orang-orang yang
tidak beriman di manapun mereka berada, sesuai dengan perkataan
Nabi Muhammad SAW, “Melawan kaum musyrik sampai mereka
bersaksi tiada Tuhan selain Allah”. Jihad bersenjata wajib dilaksana-
kan dari orang-orang yang tidak beriman dan sampai mereka tunduk
pada aturan Islam. Ia menjelaskan bahwa ayat mengenai jihad dalam
Alquran diwahyukan melalui tahapan-tahapan dan Allah mewahyukan
ayat-ayat di surat al-Tawbah, khususnya ayat 5 untuk menutup
tahapan terkahir. Ia mengatakan bahwa ayat-ayat terakhir ini telah
mencabut ayat-ayat yang diwahyukan sebelumnya mengenai jihad
yang mengatakan bahwa jihad hanya boleh dilakukan bila umat
Muslim diserang.
Bisa dipahami bahwa pengertian semacam itu telah
menyumbang pada pertumbuhan pola pemikiran Menachem Begin
dalam Imam Samudra yang berpendapat, “Bila anda tidak bersama
kami, maka anda musuh kami.” Efek dari pemahaman ini adalah
timbulnya rasa kebencian, permusuhan dan ketidaksukaan terhadap
semua non Muslim bahwa mereka semua berkomplot melawan Islam
dan umat Muslim.72 Untuk mendukung pemahamannya, Imam
Samudra mengungkapkan pengalaman sejarah dari perang salib,
kolonialisme, pembantaian umat Muslim di Palestina oleh Israel dan
ketidakpedulian komunistas internasional di bawah kepemimpinan AS
dan serangan terhadap Afghanistan dan Irak oleh kekuatan koalisi.

71
TP/JO,“ MUIDukungKapolriTarikTadzkiroh”http://www.surabayapagi.com/
ndex.php?read=MUI-Dukung-Polri-Tarik Tadzkiroh;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812
982962548a3857b6e2cab59942ee0356d879ca (diakses 1 Februari 2014).
72
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal, 33-34.
Cyber dan Terorisme | 73

Pemahaman ini mengakibatkan Imam Samudra dan mereka yang


mempunyai ide yang sama sulit untuk hidup berdampingan secara
damai dengan non Muslim, juga menjelaskan sikap non-integrasi dan
akomodatif terhadap non Muslim serta anjuran kepada eksklusivisme
sosial.
Kesan pandangan ini menurut Muhammad Haniff Hasan
menganjurkan pikiran dan sikap negatif umat Muslim terhadap non
Muslim. Umat Muslim yang menerima ini akan menumbuhkan
konsepsi yang salah yakni bagaimana mereka seharusnya berhubungan
dengan non Muslim, secara emosional dan sosial. Non Muslim akan
dilihat sebagai musuh dulu sebelum terbukti sebaliknya. Jelasnya, ini
akan mewujudkan prasangka dan tidak adanya toleransi. Ini pastinya
juga akan mempengaruhi pandangan non Muslim terhadap Islam dan
umat Muslim. Bagaimanapun juga, hasilnya adalah merusak.73 Apa
yang menjadi pemikiran dan dalil yang dituangkan oleh Imam
Samudra dan lainnya mengenai terorisme dibantah oleh Muhammad
Haniff Hasan, menurutnya pandangannya sangat berbeda yang
menganjurkan ide perang tiada habisnya antara Muslim dan non
Muslim, sedangkan menurut Muhammad Haniff Hasan bahwa
kedamaian dan keharmonisan adalah landasan dari hubungan, bukan
perang. Pandangan yang mengatakan bahwa tahapan terkahir jihad
mencabut seluruh tahapan sebelumnya adalah tidak mendasar dan
tidak didukung oleh ulama dahulu yang ternama. Lalu ditegaskan
bahwa fungsi utama jihad adalah bukan untuk melawan non Muslim
karena perbedaan akidah tetapi untuk menegakkan keadilan dan
memberantas penjajahan, kemudian jihad dalam Islam hanya boleh
dilakukan terhadap mereka yang mengobarkan perang.
Pengecaman umat Islam terhadap peristiwa bom Bali I dan aksi
teroris yang serupa, juga dikecam oleh di antaranya adalah Yu>suf al-
Qarad}a>wi>, ia menjelaskan bahwa pemahaman murni para fuqaha>, ruh
peradaban Muslim dan arus utama umat Islam yang bersifat moderat,
semuanya menolak kejahatan yang begitu keji terhadap kemanusiaan.
terorisme tidak lebih dari barbarisme dan tidak bermoral. Aksi
terorisme itu menuntut para ulama Muslim yang mempunyai
pandangan yang jelas tentang Islam menjelaskan sekuat tenaga kepada
73
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal, 35. Lihat juga Lloyd Eby. “On
Terrorism.” Professors World Peace Academy Vol. 4, No. 2, (Apr-Jun 1987), 167-
172 http://www.jstor.org/stable/20751129 (diakses 5 Juni 2014).
74 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

masyarakat untuk menanamkan pemahaman tentang kebenaran.


Kebenaran hanya pada Allah, dan Dia yang menuntun ke jalan
kebenaran.74 Kemudian pendapat semacam ini juga didukung oleh Ali
Ahdash (Muslim Cultural Heritage Centre, London), Manazir Ahsan
(The Islamic Foundation Leicester), Maulana Jomshed Ali (The
Council of Mosques, Tower Hamlets), Mufti Muhammad Aslam
(Jamiat Ulama e-Britain), Khateeb Muhammad Iqbal Awan (UK
Islamic Mission, Luton), Muhammad Azim (Kashmir Forum UK),
Mufti ‘Abd al-Kader Barkatulla (Senior Imam, Finchley Mosque),
Imam Driss Boumzough (Imam, Morroccan Muslim Community of
London), ‘Abd al-Choudhury (The Concil of Mosques, Tower
Hamlets), Ahmed Dahdorh (Muslim Cultural Heritage Centre,
London), Ahmed Dubyank (Islamic Cultural Centre & London
Centeral Mosque), ‘Abd al-Shaheed el-Ashal (Muslim Association of
Britain), Muslehuddin Farradhi (Islamic Forum Europe, Rached
Ghannoushi), Maulana Moudood Hasan (Uleman Council of Da’watul
Islam), Suhaib Hasan (Imam Masjid al-Tawhi>d Leyton), Maulana
Mahmoudul Hasan (Da’wat al-Isla>m).75 Pendapat yang selaras juga
berdatangan dari Hafiz Shamsul Hoque (The Council of Mosques,
Tower Hamlets), Aboochitar Khaled (International Muslim
Committee), ‘Abd al-Kari>m Khalil (Muslim Cultural Heritage Centre,
London), Maulana Masood Alam Khan (Jamia Islamia, Birmingham),
Hokei Majouli (Muslim Welfare House Trust), Sayyid Fadhil Milani
(International College for Islamic Studies), Ahmed Syakh Mohamed
(Muslim Association of Britain), Hasan Mueenuddin (British Muslim
Forum), Maulana Farooq Mulla, (Lincoln Mosque), Dawud Noibi
(Nigerian Muslim Community & Imam, Old Kent Road Mosque),

74
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal, 242-243.
75
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal, 249-250. Lihat juga Gary R,
Bunt. “ Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic
Environments.” London and Sterling, Virginia: Pluto Press, The American Journal of
Islamic Social Sciences Vol. 21, No. 4, (May 2003), 237. (diakses 10 Juni 2014).
Lihat juga G. Haragopal and B. Jagannatham. “ Terrorism and Human Rights: Indian
Experience with Repressive Laws.” Economic and Political Weekly Vol. 44, No. 28,
(Jul 2009), 76-85 http://www.jstor.org/stable/40279262 (diakses 12 Juni 2014). Lihat
juga Lloyd Eby and Mohammed Fadhel Jamali.“ Peace Versus Terrorism [With
Rejoinder].” Professors World Peace Academy Vol. 5, No. 3, (Jul-Sep 1988), 7-14
http://www.jstor.org/stable/20751262 (diakses 8 Juni 2014).
Cyber dan Terorisme | 75

Maulana Muhammad Imdad Hussain Pirzada (Jamia al-Karam,


Nottingham), Maulana Bostan Qadri (Confederation of Sunni Mosque,
Midlands), ‘Abd al-Qayoom (Imam, East London Mosque), Maulana
Muhammad Shahid Raza (The World Islamic Mission & Imam,
Leicester Central Mosque), Maulana Sayyid Mohammad Sabzwary, al-
Asr Community & Education Centre), Maulana Isma>il Ali Shah
(Jamiat Ulama e-Britain), Maulana Muhammad Akram Khan, (UK
Islamic Mission, Luton), International Association of Muslim
Schoolars (IAMS).76
Menurut Muhammad Guntur Ramli sebagaimana yang ia kutip
dari buku karangan Lukman bin Muhammad Ba’abduh yang berjudul
“Sebuah Tinjauan Syariat”, sebagaimana bantahan terhadap buku
karya Imam Samudra “Aku Melawan Teroris”, menurut buku itu Imam
Samudra dengan berbagai macam kedustaan, kepalsuan dan syubhat-
syubhat berusaha membalik opini dari tuduhan teroris terhadap
dirinya, menjadi pahlawan dan pejuang. Dari seorang yang kejam dan
tidak punya perasaan, yang telah membunuh sekian nyawa manusia
tak berdosa, menjadi pahlawan pembela duka nestapa kaum
mustad’afi>n. Dari pembunuh keji, menjadi pembela bayi-bayi tanpa
kepala di Afghanistan dan Palestina. Dari aksi teror yang keji dan
kejam, menjadi aksi heroik dalam rangka membela Islam dan umat
Islam. Menurut Luqman dan pandangan dari Guntur Ramli, Imam
Samudra dan orang-orang yang sepaham dengannya menyakini akidah
khawa>rij, salah satu kelompok Islam radikal klasik yang ditiupkan oleh
tokoh semacam Safar al-Hawali, Salma>n al-Awdah, Usa>mah bin
Ladi>n, Ayma>n al-Zawa>hiri dan lain-lain. Tokoh-tokoh itu dianggap
ulama mumpuni yang berhasil melakukan indoktrinasi dan mencuci
otak mereka sehingga menyulap aksi terorisme sebagai jihad.77
Sungguh tidak masuk akal, jika Azahari Husin yang meraih
gelar doktor dalam kajian statistik, dari universitas sekuler, University
of Reading, di negara paling sekuler yaitu Inggris, tiba-tiba bersikeras

76
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal, 250-259.
77
M. Guntur Ramli, “Jihad Melawan Terorisme” http://islamlib.com/
?site=1&aid=112&cat=content&cid=9&title=jihad-melawan-terorisme (diakses 10
Januari 2014). Lihat juga Barak Mendelsohn. “ Bolstering the State: A Different
Perspective on the War on the Jihadi Movement.” Wiley on behalf of The
International Studies Association Vol. 11, No. 4, (Dec 2009), 663-686
http://www.jstor.org/stable/International Studies Review (diakses 12 Mei 2014).
76 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

menegakkan agama Allah dengan “berjihad” di mana-mana tanpa


doktrin dari seorang “ulama”. Tidak mungkin, para perakit bom dan
eksekutor asalnya tukang servis telepon seluler atau elektronik,
memiliki kesadaran untuk “mati di jalan Allah” tanpa jampi-jampi
magik teologis dari “ulama”, walau berasal dari seorang Noordin M.
Top sekalipun. Menurut Guntur Ramli, dalam ranah ini, terorisme
memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan: aksi dan ideologi. Drama
teror ini menampilkan dua tokoh yaitu aktor sebagai eksekutor aksi
teror dan aktor intelektual yang membangun basis ideologi teror.
Ideologi teror tersebut ditanam oleh aktor-aktor intelektual yang
sangat mahir memainkan ayat-ayat Tuhan untuk menggiring pemuda-
pemuda tak berdosa sebagai pelaku terorisme. Oleh karena itu, ulama
ibarat pisau yang memiliki peran ganda, memotong kue bolu atau
menikam untuk membunuh. Di negara manapun, ketika marak terjadi
aksi terorisme, pemerintah setempat menyerukan agar ulama-ulama
agama berperan memerangi terorisme. Di Saudi Arabia ulama-ulama
telah mengharamkan “bom bunuh diri”. Di Jordania, khatib-khatib
Jum’at diserukan mengutuk terorisme dan menyiarkan Islam yang
damai. Demikian juga di Mesir, Pakistan, dan termasuk di Indonesia.
Sebab-musabab seruan terhadap ulama itu untuk memerangi terorisme,
karena mafhu>m mukhalafah (pemahaman terbalik), tidak sedikit dari
ulama-ulama itu menjadi aktor intelektual dan mendukung terorisme.
Seorang teroris dipastikan memiliki guru dan balai pendidikan yang
membentuk jiwa, pikiran dan menunjukkan jalan terorisme itu.
Sederhananya, teroris-teroris itu adalah korban dari manusia yang
disebut ulama tidak bertanggungjawab itu. Anehnya, ulama-ulama
kharismatik itu hanya berani membakar kemarahan dan kebencian
umat, tanpa memiliki keberanian berada di garis terdepan dengan
membawa bom. Jangankan meledakkan dirinya, anak-anaknya pun
tidak diajari untuk menjadi teroris dan melakukan pembunuhan.
Mereka cukup mempengaruhi santri, tetangga, dan orang lain untuk
melakukan aksi-aksi kekerasan.78

78
M. Guntur Ramli, “Jihad Melawan Terorisme” http://islamlib.com/
?site=1&aid=112&cat=content&cid=9&title=jihad-melawan-terorisme (diakses 10
Januari 2014). Lihat juga Christopher Greenwood. “ International Law and the 'War
against Terrorism.” Wiley on behalf of the Royal Institute of International Affairs
Vol. 78, No. 2, (Apr 2002), 301-317 http://www.jstor.org/stable/3095683 (diakses 27
Mei 2014).
Cyber dan Terorisme | 77

Maka dari itu, seorang ulama memiliki peran vital terhadap


terorisme. Peran itu dimulai, bagaimana mereka meracik dan
menyuguhkan agama. Jika mereka menyuguhkan agama sebagai ajaran
kebencian dan kekerasan, maka, agama akan menjadi kekuatan
terorisme maha dahsyat. Agar tetap menarik dan laku, agama dikemas
dan dipromosikan melalui pengajian, khutbah, pengkaderan, dan
diiming-imingi janji-janji mati syahid, kenikmatan kehidupan surgawi
dan menikahi bidadari. Namun jika ulama konsisten mengemas dan
menyuguhkan agama sebagai ajaran perdamaian, kerukunan, dan anti
kekerasan, maka terorisme dan aksi-aksi kekerasan itu akan dianggap
berlawan dengan ajaran agama itu sendiri. Diakui atau tidak, sebagai
doktrin, setiap agama memiliki benih intoleran dan kekerasan.
Misalnya, ada ayat-ayat perang dalam Alquran. Namun seorang ulama,
tidak cukup hanya “membacakan,” dia harus memiliki keberanian
untuk melakukan “pembacaan” dan “pengkajian.”79
Setiap agama harus disiangi dari rumput dan gulma kekerasan,
sehingga agama menjadi lahan subur bagi perdamaian dan kerukunan
umat manusia. Jihad menurut Guntur Ramli, tidak bisa didefinisikan
sekedar berperang. Pemahaman tersebut telah melakukan “pengerdi-
lan” terhadap ajaran jihad yang agung. Menurut seorang ulama
kharismatik Syiria, Muhammad Sa’id Ramad}a>n al-Bu>thi>, dalam
bukunya al-Jiha>d fi> al-Isla>m jika jihad diidentikkan sebagai perang,
maka ajaran jihad akan kehilangan makna yang sebenarnya dan segala
macam variasinya. Alquran sendiri tidak secara definitif memaknai
jihad sebagai perang. Alquran menggunakan istilah al-Qita>l sebagai
padanan perang. Sementara jihad tetap kaya dengan multimakna dan
multibentuk. Dalam surat al-Furqa>n ayat 52 yang turun di Mekkah
disebutkan, karena itu janganlah turut orang yang kafir dan berjihadlah
melawan mereka dengan jihad yang besar. Para ahli tafsir berbeda
pendapat mengenai; “jihad besar” (jiha>d kabi>r) ini? Menurut Ibn
Abba>s, konotasi jihad dalam ayat itu adalah dengan “Alquran”,
menurut Ibn Zayd dengan “Islam” dan ada yang berpendapat dengan
pedang alias perang. Namum al-Qurthu>bi> dalam tafsirnya al-Ja>mi’ li

79
M.Guntur Ramli, “Jihad Melawan Terorisme” http://islamlib.com/
?site=1&aid=112&cat=content&cid=9&title=jihad-melawan-terorisme (diakses 10
Januari 2014). Lihat juga Walter Laqueur. “ The New Terrorism, Fanaticism and the
Arms of Mass Destruction.” The American Journal of International Law Vol. 94, No.
2, (Apr 2000) Article DOI: 10.2307/2555312, 434-438 http://www.jstor.org/
stable/2555312 (diakses 4 Juni 2014).
78 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Ahka>m Alquran menolak keras pendapat terakhir; “jihad dengan


pedang”, karena ayat ini turun di Mekkah, jauh sebelum turun perintah
perang. Sedangkan makna “jihad yang besar”, menurut al-Zamakhsyari
dalam besutannya, Tafsi>r al-Kasysya>f mencakup segala bentuk
perjuangan (ja>mi>an likulli muja>hadah).
Seorang ulama fikih klasik Syatha’ al-Dimyati dalam “kitab
kuningnya” I’a>nah al-T}a>libi>n mendefinisikan jihad sebagai aksi
menolak marabahaya dan kekacauan serta berjihad untuk kemakmuran,
kesejahteraan, sandang dan pangan. Jika mau konsisten, perang malah
diperbolehkan oleh Alquran untuk melawan “fitnah”, perangilah
mereka sampai tiada lagi (timbul) “fitnah” wa qa>tilu>hum hatta> la>
taku>na fitnah (QS. al-Baqarah 2: 193). “Fitnah” di sini menurut
mayoritas ulama tafsir bermakna segala kekacauan akibat, pengusiran,
perampasan, dan pembunuhan. Kekacauan yang menebarkan ketakutan
dan rasa tidak aman. Fitnah adalah terorisme. Jihad melawan terorisme
berarti jihad melawan kekacauan yang berakar pada “fitnah” tadi.
Sementara ulama adalah artikulator, penafsir: “lidah” agama, namun
bukan berarti seperti Si Pahit Lidah, yang kerjanya, cuma mengumbar
kebencian, dan kutukan. Karena agama bukan ancaman dan kutukan.
Tantangan terbesar bagi ulama untuk, tidak hanya dituntut
menjalankan agamanya secara benar, tapi juga menjaga agar agamanya
tidak “dibajak” menjadi amunisi untuk membunuh.80
Pengecaman tindakan pengeboman juga dilakukan oleh
Canadian Council on America-Islamic Relations, American Federation
of Muslims of Indian Origin, American Muslim Alliance, Candian
Council on American-Islamic Relations, Council of Shia Muslim
Scholars of North America, Islamic Networks Group & Affiliates,
Muslim Public Affairs Council, Muslim Student Association of the
USA & Canada, USA Halal Chamber of Commerce, Inc. & The
Islamic Center for Halal Certification, Islamic Center of America,
Islamic Sharia Advisory Institute of North America, Islamic Resource
Group, Islamic Schools League of America, Kashmiri American
Council, Minaret of Freedom Institute, Project Islamic HOPE, United

80
M. Guntur Ramli, “Jihad Melawan Terorisme”. http://islamlib.com/
?site=1&aid=112&cat=content&cid=9&title=jihad-melawan-terorisme (diakses 10
Januari 2014). Lihat juga Adnan A. Musallam. “ From Secularism to Jihad: Sayyid
Qutb and the Foundations of Radical Islamism.” Middle East Journal Vol. 60, No. 4,
(Autumn 2006), 777-788 http://www.jstor.org/stable/4330322 (diakses 10 Juni
2014).
Cyber dan Terorisme | 79

Muslims of America, Muslim Ummah of North America, Muslim


Shura Council of Southern California, Islamic Center of Northeast
Florida, Islamic Center of South Florida, Islamic Foundation of South
Florida, Islamic Movement of Florida, Islamic Society of Central
Florida, Islamic Society of Tampa Bay Area, The Council of Islamic
Organization of Greater Chicago, Islamic Center of New England,
Islamic Center of New England, Islamic Center of Maryland, Islamic
Society of Washington Area, Muslim Federation of New Jersey,
Islamic Council of Ohio, Virgina Muslim Political Action Committee,
Islamic Association of West Virgina, Islamic Center of Little Rock,
Greenway Islamic Center.81
Dukungan anti terorisme juga disampaikan oleh ulama Inggris
kelahiran Pakistan, Muh}ammad T}ahir al-Qadri seperti yang sudah
disinggung di bab sebelumnya, ia pun menyuarakan fatwa anti teror.
Qadri mengeluarkan fatwa anti teror setebal 600 halaman. hal itu
mungkin fatwa yang paling detail tentang anti terorisme. Ia
menjelaskan bahwa aksi terorisme kelompok Islam militan merupakan
pemahaman dan konsep yang keliru tentang jihad. Dijelaskan dalam
fatwanya, bahwa terorisme selamanya maupun dalam kondisi apa pun,
bertentangan dengan Islam. Qadri menyakini bahwa para teroris yang
melakukan pembunuhan tidak akan masuk syurga seperti keyakinan
mereka. Akan tetapi sebaliknya mereka akan masuk neraka.
Menurutnya para teroris merupakan pahlawan api neraka, alasannya
adalah tindakan para teroris tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga
sia-sia dan menjurus kufur (kafir). Selanjutnya banyak ulama
mengeluarkan fatwa yang mengutuk terorisme. Termasuk, pemimpin
tertinggi Iran Ayatulla>h Ali Khamenei.82

81
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad
Sesat Imam Samudra dan Kelompok Islam Radikal, 265-270. Lihat juga Michael J.
Glennon. “ Terrorism and the Limits of Law.” Woodrow Wilson International Center
for Scholars Vol. 26, No. 2, (Spring 2002), 12-19 http://www.jstor.org/stable/
40260599 (diakses 5 Juni 2014).
82
Muhammad T}ahir al-Qadri, “Fatwa Against Terrorism and Suicide
Bombings” http://minhajimages.kortechx.netdnacdn.com/downloads/Fatwa_Global
Media-Coverage_English_volume-01.pdf (diakses 21 Februari 2014). Lihat juga Ari
Wahyudi, “Teroris Bukan Mujahid dan Bukan Pula Mujtahid!” http://muslim.or.id/
manhaj/teroris-bukan-mujahid-dan-mujtahid.html (diakses 20 Februari 2014). Lihat
juga Muhammad T}ahir al-Qadri, Fatwa on Terrorism and Suicide Bombings
(London: Minhaj Al-Qur’a>n International, 2010), 239-249.
80 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Pada Tahun 2008 sekitar 6000 ulama di India juga mengeluar-


kan fatwa tersebut. Qadri termasuk di antara 170 ulama dan cendekia-
wan Islam dari berbagai macam mazhab di dunia yang menandatangani
fatwa anti terorisme. Menurut Ibn ‘Uthaymin orang yang melakukan
pengeboman dengan alasan untuk menghancurkan musuh termasuk
orang-orang yang bodoh dan melakukan penafsiran yang keliru.
Mereka tidak mendapatkan pahala dan bukan pula orang yang mati
syahid, karena mereka melakukan sesuatu yang tidak dizinkan Allah,
akan tetapi mereka melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Menurut
Muhammad bin Husain al-Jizani, bahwasanya ijtihad tidak boleh
dilakukan kecuali oleh seorang yang faqih/ahli hukum agama yang
mengetahui dalil-dali dan tata cara menarik kesimpulan hukum
darinya, sebab melakukan penelitian terhadap dalil-dalil tidak mungkin
dilakukan dengan benar kecuali oleh orang yang memang ahli di dalam
bidangnya. Sedangkan menurut Ari Wahyudi bahwasanya teroris
bukan mujahid dan bukan pula mujtahid. Pengecaman ini juga datang
dari ‘Abd al-Malik Ramad}a>ni.83 Penjelasan di atas menggam-barkan
tentang perkembangan cyber terrorism. Pada bab berikutnya peneliti
akan menjelaskan tentang cyber terrorism dalam hukum Positif.

83
Ari Wahyudi, “Teroris Bukan Mujahid dan Bukan Pula Mujtahid!”
http://muslim.or.id/manhaj/teroris-bukan-mujahid-dan-mujtahid.html (diakses 20
Februari 2014).
Cyber dan Terorisme | 81
82 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam
BAB III
CYBER TERRORISM DALAM HUKUM POSITIF

Upaya mencegah terjadinya serangan terorisme dalam berbagai


tragedi yang terus terjadi sampai saat ini, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian menjadi Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (UUPTPT).1 Terorisme yang bersifat internasional
merupakan kejahatan yang terorganisir, sehingga pemerintah Indonesia
meningkatkan kewaspadaan dalam memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Banyak hal yang menyebabkan
munculnya terorisme dan itu sangat dekat dengan kehidupan sehari-
hari masyarakat yang kurang dipahami negara. Terorisme tidak selalu
muncul atas dasar agama. Fundamentalisme atau liberalisme tak akan
efektif untuk hilangkan radikalisme.2 Pada bab ini peneliti akan
menjelaskan tentang cyber terrorism dalam hukum Positif.

A. Terorisme dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003


Terorisme, bukanlah Islam dan Islam bukanlah terorisme.
Munculnya terorisme di kalangan umat Muslim adalah kesalah-
pahaman terhadap hakekat dari ajaran agama itu sendiri. Jadi tidak
melihat keutuhan Islam secara komprehensif, namun pemahaman yang
setengah-setengah. Salah pemahaman ini kemudian berkembang
menjadi penyalagunaan agama. Terkait terorisme itu, sebetulnya
banyak faktor-faktor berawal dari non agama. Namun menggunakan
umat beragama dan menggunakan tema-tema agama.3 Pemerintah
Indonesia menyadari terhadap bahaya aksi terorisme yang telah
menjadi isu internasional dan negara lain seperti Australia dan

1
T. Nasrullah, “Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun Formil
Terhadap UU No.15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.” Jurnal
Kriminologi Indoesia Vol. 4 No. I (September 2005), 65-76.
2
Suaib Didu, Radikalisme dalam Islam Antara Argumentasi Jihad dan
Terorisme (Jakarta: Divisi Penerbitan Relawan Bangsa, 2006), 90.
3
Asep Syamsul M. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi
Kekuatan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 38-43.

83
84 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Amerika Serikat begitu fokus dalam upaya memerangi terorisme.4


Oleh karena itu perlunya akan pemahaman mengenai terorisme
menurut UUPTPT. Bagian konsiderans dalam UUPTPT menimbang
bahwa terorisme telah berdampak menghilangkan nyawa tanpa
memandang korban dan menimbulkan ketakutan bagi masyakarat
secara menyeluruh atau hilangnya kemerdekaan bagi setiap insan, serta
kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkah
pemberantasan sehingga UUPTPT mutlak diperlukan tujuannya adalah
untuk menjadikan terorisme sebagai suatu tindak pidana di Indonesia
dan terorisme dikategorikan sebagai tindak pidana khusus yang harus
diberantas sampai kepada akar-akarnya.5
Sebelum membahas lebih lanjut pengaturan tindak pidana
menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak
Pidana Terorisme, peneliti akan menerangkan serangkaian tindak
pidana secara umum. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan produk
hukum Indonesia yang isinya dibuat oleh Pemerintahan Kolonial
Belanda, sehingga KUHP yang ada saat ini tidak lain adalah hasil alih
bahasa yang dilakukan beberapa sarjana Indonesia.6 Simons
merumuskan strafbaar feit (tindak pidana), yaitu “Strafbaar feit”
adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan
pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan
dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertanggung
jawab.7

4
Gabriel Weimann, “Cyberterrorism: How Real Is the Threat?” http://www.
usip.org/pubs/specialreports/sr119.html. (diakses 1 Desember 2013). Lihat juga
David Isenberg, “Electronic Pearl Harbor? More Hype Than Threat”
http://www.cato.org/publications/commentary/electronic-pearl-harbor-more-hype-
threat (diakses 10 Februari 2014). Lihat juga Jeffrey Record, “ Bounding The Global
War On Terrorism.” Journal Strategic Studies Institute, (December 2003), 2.
5
T. Nasrullah, “ Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun Formil
Terhadap UU No.15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.” Jurnal
Kriminologi Indoesia Vol. 4 No.1, (September 2005), 65-76.
6
Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: Bumi Aksara,
2001), 10.
7
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya
(Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1989), 205.
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 85

Van Hattun berpendapat bahwa strafbaar feit adalah tindakan


yang membuat seseorang menjadi dapat dihukum. Kedua pendapat
tersebut merujuk kepada penggunaan istilah tindak pidana dalam
merumuskan strafbaar feit. Berbeda dengan Moeljanto yang
mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangannya.
Moeljanto merujuk istilah “perbuatan pidana” untuk merumuskan
strafbaar feit.8 Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat
dipahami mengenai tindak pidana, yaitu: pertama, suatu perbuatan
yang melawan hukum. Kedua, orang yang dikenai sanksi harus
mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan
itu sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan
yang disebabkan karena kelalaian. Ketiga, subjek atau pelaku yang
baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian
berpikiran waras.9
Terorisme diklasifikasikan sebagai tindak pidana, maka harus
melekat dalam terorisme yaitu unsur pertama adalah melawan hukum
dalam arti melawan hukum secara formal dan secara materil.
Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana
berpengaruh pada proses pembuktian. Misalnya dalam suatu Pasal
secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum
harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti
maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika
unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu
tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan
putusannya lepas dari segala tuntutan hukum.10
Unsur yang kedua yaitu unsur kesalahan (schuld) dipersamakan
dengan kesengajaan (opzet) atau kehendak (voornawen). Geen straf
zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan). Berarti orang yang
dihukum terbukti bersalah. Kesalahan mengandung dua pengertian,
dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (dolus/opzet) yakni berbuat
dengan hendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui
atau willen en wetens, sedangkan dalam arti luas berarti dolus dan

8
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 54.
9
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana , 54.
10
J. M Van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian
Umum (Tanpa Tempat: Bina Cipta, 1984), 102-103.
86 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

culpa.11Culpa sendiri berarti kealpaan, di mana pada diri pelaku


terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan dan unsur
yang ketiga yaitu pertangggungjawaban subjek. Sesuatu dapat
dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari
tindak pidana itu sendiri. Agar dapat dipidana, dalam diri subjek atau
pelaku pidana tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar
pembenar maupun dasar pemaaf. Kekurangan kebijaksanaan yang
diperlukan.12 Terdapat suatu istilah dalam UUPTPT yang
menunjukkan peristiwa terorisme merupakan kejahatan, yakni istilah
“tindak pidana”. Istilah tersebut telah digunakan oleh masing-masing
penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran
perumusan dari istilah strafbaar feit dalam hukum pidana sebagaimana
telah dijelaskan di atas. Istilah strafbaar feit sendiri telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang
dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak
pidana.13
Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Tindak Pidana Terorisme Bab III Pasal 6 tertulis:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau ancaman
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban
yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis
atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.”14
Dari ketentuan tersebut peneliti berpendapat bahwa kerusakan
atau kehancuran lingkungan hidup adalah tercemarnya atau rusaknya
kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan

11
Sudarto, Hukum Pidana II (Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan
Kuliah FH UNDIP, 1988), 85.
12
J. M Van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian
Umum, 102-103.
13
J. M Van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian
Umum, 102-103.
14
Ermansjah Djaja, KUHP Khusus, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2003 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 744.
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 87

kehidupan dan kesejateraan manusia serta makhluk hidup termasuk


manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya,
termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja
melepaskan atau membuat zat, energi atau komponen lain yang
berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara maupun air permukaan
yang membahayakan terhadap makhluk hidup atau barang sekalipun.
Pasal ini termasuk dalam delik materil yaitu yang ditekankan
pada akibat yang dilarang yaitu dengan hilangnya nyawa, hilangnya
harta benda atau hancurnya lingkungan hidup, adalah tercemarnya atau
rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda dan mempengaruhi
secara langsung maupun tidak langsung kesejahteraan manusia serta
makhluk lainnya. Pasal 7 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
mengatur Tentang Tindak Pidana Terorisme sebagai delik formil,
Pasal 7 menyatakan:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk
menimbulkan teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta orang lain, atau untuk
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital
yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, fasilitas
internasional dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur
hidup.”15
Maksud dari kalimat di atas adalah untuk menimbulkan teror,
merupakan kalimat yang menandakan bahwa tindakan terorisme
merupakan delik formil yaitu, suatu tindak pidana yang perumusannya
dititik beratkan kepada perbuatan korban yang dilarang, jadi tindak
pidana tersebut telah dianggap selesai dengan dipenuhinya unsur-unsur
dari tindak pidana yang dilarang, tanpa perlu membuktikan akibat
perbuatannya.
Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang No. 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur tentang
yang dilakukan terhadap fasilitas umum yaitu terhadap fasilitas
penerbangan. Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 479 (e)
sampai dengan 479 (h) KUHP, yang menyebutkan bahwa:

15
Ermansjah Djaja, KUHP Khusus, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2003, 745.
88 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

“Sebagai tindak pidana yang menghancurkan, mencelakakan,


membuat tidak dipakainya pesawat udara, yang dilakukan dengan
sengaja maupun karena kealpaan: menimbulkan kebakaran, ledakan,
16
kecelakaan, kehancuran dan sebagainya.”
Ada banyak tindakan-tindakan teroris yang sangat merugikan
masyarakat dan bahkan merugikan suatu negara misalnya serangan
teroris seperti yang sudah dijelaskan dibab sebelumnya yaitu pada
tanggal 11 September 2001 dengan cara menubrukan pesawat sipil
dengan sasaran dua gedung utama, WTC dan Pentagon di AS menjadi
tragedi kemanusiaan terbesar abad ini meski sudah lama berlalu
peristiwa itu, tetapi akan tetap terus dicatat dan diingat oleh sejarah
sebagai bagian dari kejahatan di tingkat dunia (global crime) atas
kelangsungan kehidupan kemanusiaan modern. Manusia modern yang
sering memposisikan dirinya sebagai manusia terpelajar. Ternyata
harus menerima kenyataan yang tragis tentang kebiadaban yang patut
digolongkan memasuki, berasal, dan barangkali sudah berada di
“rumah sendiri”.17
Pemerintah menerbitkan Perpu (sekarang sudah disahkan
menjadi undang-undang) guna memberantas tindak pidana terorisme
yang sejak awal telah mengundang kontroversi dari berbagai pihak dan
kalangan entah dari kalangan akademisi, praktisi, dan pakar-pakar lain
khususnya pakar hukum. Hal itu bisa dilihat dengan adanya
kekhawatiran sementara pihak bahwa perangkat hukum dalam

16
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1976 Tentang
Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakuknya Ketentuan Perundang-Undangan
Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana
Penerbangan. http://www.dpr.go.id/uu/uu1976/UU_1976_4.pdf (diakses 21 Maret
2014).
17
Hasyim Muzadi, Kejahatan Terorisme (Bandung: Refika Aditama, 2004), 5.
Lihat juga Prayitno Ramelan, “ Osama dan Pengaruhnya Terhadap Terorisme di
Indonesia“ http://ramalanintelijen.net/?p=2276 (diakses 28 Januari 2014). Lihat juga
Muhammad Haniff Hassan, Teroris Membajak Islam, Meluruskan Jihad Sesat Imam
Samudra dan Kelompok Islam Radikal (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), 14.
Lihat juga Yuli Ismartono, Teror di Surga, TEMPO, No.06/III, 15-21 Oktober 2002.
Rudy,“CyberCrimes(SudahSiapkahKitaMenghadapinya?)”http://www.lemhannas.go.
id/portal/in/daftar-artikel/1555-cyber-crimes.html (diakses 1 November 2013).
Carolyn Gard, The Attacks on the World Trade Center: February 26, 1993, and
September 11, 2001 (New York: The Rosen Publishing Group, Inc., 2003), 5. Lihat
juga Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase
Perdamaian (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), 85.
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 89

penindakan terhadap kejahatan terorisme, sekalipun diperlukan, akan


menimbulkan penyalahgunaan (abuse power) bagi pemegang
kekuasaan tertentu.18 Sementara pihak lain ada yang berpendapat
bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 yang
ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Senjata Api,
UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU
Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dan KUHP sudahlah
cukup, sehingga tidak diperlukan lagi perangkat hukum yang bersifat
khusus dalam penindakan kejahatan terorisme. Ada indikasi
kelemahan Perpu No. 1 Tahun 1 dan 2 Tahun 2002 Tentang Terorisme
dan Penanganannya, itu terjadi ketika Perpu tersebut disahkan menjadi
Undang-Undang (UU). Di samping Perpu tersebut, juga adanya
pengajuan draf amandemen atas UU yang baru disahkan itu
menunjukkan bahwa eksistensi secara yuridis normatif masih perlu
dikaji lebih lanjut.19
Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mengkualifikasikan tindak
pidana terorisme sebagai, yaitu: delik materil yang terdapat pada Pasal
6, delik formil yang terdapat pada Pasal 7 sampai dengan Pasal 12,
delik pembantuan Pasal 6 huruf g, delik penyertaan Pasal 13 dan Pasal
15, delik perencanaan terdapat dalam Pasal 14. Subjek hukum yang
dapat digolongkan menjadi pelaku kejahatan pidana terorisme menurut
Pasal 1 butir 2 dan pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Terorisme,
di dalam melakukan tindak pidana dapat perilakunya berupa manusia
atau perseorangan. Dalam rumusan pasal tersebut menyatakan bahwa
subjek pelaku dalam tindak pidana terorisme merupakan setiap orang
yang didefenisikan sebagai seseorang, beberapa orang atau korporasi
dan kelompok tersebut yang terdiri dari sipil maupun militer ataupun

18
Bambang Sukarjono dan Sarjiyati, “Kajian Yuridis Penanganan Tindak
Pidana Terorisme Berdasarkan Perpu No. 1 Tahun 2002 jo UU No. 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.” Jurnal Sosial Vol. 14, No. 1
(Maret 2013), 26-34. Lihat juga T. Nasrullah, “ Tinjauan Yuridis Aspek Hukum
Materil Maupun Formil Terhadap UU No.15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.” Jurnal Kriminologi Indoesia Vol. 4, No. 1, (September 2005),
65-76.
19
Bambang Sukarjono dan Sarjiyati, “Kajian Yuridis Penanganan Tindak
Pidana Terorisme Berdasarkan Perpu No. 1 Tahun 2002 jo UU No. 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.” Jurnal Sosial Vol. 14, No.1,
(Maret 2013), 26-34.
90 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

polisi, perseroan, yayasan dan organisasi lainnya.20 Subjek dari tindak


pidana terorisme yang tercantum dalam UUPTPT sebagaimana dalam
hukum pidana awalnya hanyalah manusia sebagai naturelijk
persoonen, namun dalam perkembangannya badan hukum atau
korporasi juga dapat menjadi subjek hukum. Sehubungan dengan itu,
ketentuan Pasal 1 angka 2 UUPTPT dinyatakan: “setiap orang adalah
orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi
yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi”.21
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 di atas, dapat dipahami
mengenai subjek dari tindak pidana terorisme yaitu tidak hanya
terbatas pada manusia sebagai pribadi, tetapi juga meliputi badan
hukum atau korporasi. Hal ini berarti, UUPTPT telah melakukan
penafsiran secara ekstensif mengenai subjek hukum. Selain itu, dalam
UUPTPT juga terdapat pengaturan mengenai konsep penyertaan. Hal
ini terlihat dalam Pasal 13 UUPTPT, sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau


kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan:
1. Memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta
kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme.
2. Menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme.
3. Menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme.”22

Pasal 13 UUPTP di atas ini, mengatur hukuman terhadap


tindak pidana dalam hal terjadi penyertaan berbentuk perbantuan
(medeplichtigheid) melakukan tindak pidana terorisme. Dalam
penyertaan lain juga terlihat dalam Pasal 14 UUPTPT yang mengatur
penyertaan penggerakan (uitlokking).23 Pasal 14 UUPTPT berbunyi:

20
Erwin Asmadi, Pembuktian Tindak Pidana Teroris (Analisa Putusan
Pengadilan pada Kasus Perampokan Bank Cimb Niaga) (Medan: Sofmedia, 2012),
40.
21
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (dikses 01 Maret 2014).
22
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (dikses 20 Maret 2014).
23
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (daikses 20 Maret 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 91

“Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang


lain untuk melakukan tindak kekerasan pidana terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau
pidana seumur hidup.”24

Hal lain terkait ketentuan pidana materil yang tidak diatur


dalam UUPTPT tetap merujuk kepada KUHP, dalam Pasal 103 KUHP
yang menyatakan ketentuan dalam KUHP berlaku juga bagi undang-
undang lain kecuali jika oleh undang-undang lain ditentukan lain.25
Perumusan tindak pidana dalam UUPTPT terbagi menjadi dua, yaitu
tindak pidana terorisme yang diatur dalam BAB III, mulai dari Pasal 6
sampai dengan Pasal 19. Sedangkan tindak pidana lain yang terkait
dengan tindak pidana terorisme yang diatur dalam BAB IV mulai dari
Pasal 20 sampai Pasal 24. Perumusan tindak pidana terorisme dalam
UUPTPT menggunakan cara pembagian baik itu pembagian dengan
cara merumuskan unsur-unsurnya saja maupun menggunakan cara
perumusan dengan menguraikan unsur-unsur dan memberikan
klasifikasi terhadap tindak pidana tersebut.26 Unsur-unsur tersebut
ialah unsur formal yaitu: pertama, perbuatan manusia, yaitu perbuatan
dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan
dilakukan oleh manusia.
Kedua, melanggar peraturan pidana. Dalam artian bahwa
sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya
yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat
menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan
pidana, maka tidak ada tindak pidana. Ketiga, diancam dengan
hukuman. Hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur hukuman yang
berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan. Keempat,
dilakukan oleh orang yang bersalah. Di mana unsur-unsur kesalahan

24
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (daikses 20 Maret 2014).
25
Erwin Asmadi, Pembuktian Tindak Pidana Teroris (Analisa Putusan
Pengadilan pada Kasus Perampokan Cimb Niaga Medan), 40.
26
Ewi Soetriadi, Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Dengan
Hukum Pidana (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Diponegoro, 2008), 93.
Lihat juga Brian M. Jenkins. “ Statements about Terrorism.” Sage Publications,
Inc. in association with the American Academy of Political and Social Science Vol.
463, (Sep 1982), 11-23 http://www.jstor.org/stable/1043608 (diakses 3 Juni 2014).
92 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang
melakukan tindak pidana serta orang tersebut berbuat sesuatu dengan
sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat
perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan
yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat
yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Kelima, pertanggung-
jawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya
tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggung-
jawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya. Unsur material
dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum yaitu harus
benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak
patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan
undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka
perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.
Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana
dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.
Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak
pidana. Unsur ini meliputi: pertama, perbuatan atau kelakuan manusia,
di mana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat
sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351
KUHP). Kedua, akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini
terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara
material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiyaan
(Pasal 351 KUHP), dan lain-lain. Ketiga, ada unsur melawan hukum.
Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh
peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat
melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas
dalam perumusan. Keempat, kesengajaan (dolus), di mana hal ini
terdapat di dalam pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP),
perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), pembunuhan (Pasal
338). Kelima, kealpaan (culpa), di mana hal ini terdapat di dalam
perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP) dan menyebabkan
kematian (Pasal 359 KUHP) dan lain-lain. Keenam, niat (voornemen),
di mana hal ini terdapat di dalam percobaan atau poging (Pasal 53
KUHP).27 Ketujuh, maksud (oogmerk), di mana hal ini terdapat dalam
27
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Indonesie (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum,
2003), 173.
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 93

pencurian (Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan


(Pasal 378 KUHP), dan lain-lain. Kedelapan, dengan rencana lebih
dahulu (met voorbedachte rade), di mana hal ini terdapat dalam
membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri
(Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342
KUHP).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku Kedua
“kejahatan” diperjelas bahwa unsur-unsur tindak pidana terkait
tentang tindak pidana terorisme adalah: unsur objektif (perbuatan)
yang dilakukan pihak teroris untuk melancarkan aksinya dengan suatu
“perbuatan” adalah dengan contoh: pertama, kejahatan terhadap
keamanan negara diatur dalam Pasal 104, Pasal 107, Pasal 107a, Pasal
107b, Pasal 107e, Pasal 107f, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 111, Pasal
123, Pasal 124 KUHP. Kedua, kejahatan yang membahayakan
keamanan umum bagi orang atau barang diatur dalam Pasal 187, Pasal
187 bis, Pasal 191, Pasal 192, Pasal 198, Pasal 200 KUHP. Ketiga,
kejahatan terhadap nyawa diatur dalam Pasal 338, Pasal 340, KUHP.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Tindak Pidana Terorisme contoh dari Pasal yang menggunakan cara
perumusan tindak pidana dengan menguraikan unsur-unsurnya saja
tanpa memberikan kualifikasi tindak pidananya adalah Pasal 6
UUPTPT.28

B. Sanksi Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor


15 Tahun 2013 Tentang Terorisme
Berawal dari ledakan bom yang terjadi di Bali tanggal 12
Oktober 2002 yang meluluhlantahkan Sari Cafe dan Paddy’s Club, dua
tempat hiburan yang terletak di jalan Legian Kuta Bali telah
menimbulkan korban ratusan jiwa melayang dan harta benda yang
nilainya ratusan juta rupiah.29 Pada dasarnya permasalahan ini bukan
permasalahan yang luar biasa dari kaca mata hukum pidana karena
hukum pidana yang ada (KUHP) dapat digunakan untuk
menanggulangi serta membawa para pelaku pemboman ke muka
pengadilan. Tetapi dibalik permasalahan itu muncul pemberian nama

28
Sholahuddin, KUHP dan KUHAP (Jakarta:Visimedia, 2007), 22. Lihat juga
Buku Ke-2 Kejahatan KUHP. http://ebookbrowsee.net/buku-ke-2-kejahatan-kuhp-
pdf-d201428603 (diakses 20 Maret 2014).
29
RG, “Inilah 5 Kasus Terorisme yang Heboh di Indonesia”
http://ciricara.com/2012/09/10/inilah-5-kasus-terorisme (diakses 1 Februari 2014).
94 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

atas perbuatan itu dengan sebutan “terorisme” sehingga menimbulkan


persoalan hukum yang ada tidak dapat digunakan untuk menuntut para
pelaku peledakan bom tersebut ke depan pengadilan, seolah-olah ada
kekosongan hukum megenai terorisme.30
Kepentingan hukum yang dibahayakan oleh tindakan terorisme
tidak hanya berupa jiwa dan harta benda, tetapi juga rasa takut
masyarakat, kebebasan pribadi, integritas nasional, kedaulatan negara,
fasilitas internasional, instalasi publik, linkungan hidup, sumber daya
alam nasional, serta sarana transportasi dan komunikasi. Terorisme
dapat terjadi kapan saja dan di mana saja serta mempunyai jaringan
yang sangat luas sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian
dan keamanan, baik nasional maupun internasional.31 Berkaitan
dengan permasalahan terorisme tersebut dibentuklah suatu Perpu
Nomor 1 Tahun 2002 yang berlakunya tidak serta merta dan tidak
secara otomatis. Sebagai pelaksana ketentuan Perpu Nomor 1 Tahun
2002, pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 pada peristiwa peledakan
bom di Bali. Namun perkembangannya, saat ini Perpu Nomor 2 Tahun
2002 ini dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 ditingkatkan
menjadi undang-undang, sedangkan Perpu Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ditingkatkan
menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 (selanjutnya disingkat
UU terorisme).32

30
Romli Atmasasmita, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif
Indonesia (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
HAM RI, 2002), 2. Lihat juga Jenny Teichman. “ How to Define Terrorism.”
Cambridge University Press on behalf of Royal Institute of Philosophy Vol. 64, No.
250, (Oct 1989), 505-517 http://www.jstor.org/stable/3751606 (diakses 23 Mei
2014). Lihat juga Jenny Hocking. “Terrorism and Counter-Terrorism:
Institutionalising Political Order.” Australian Institute of Policy and Science Vol.
58, No. 3, (Spring 1986), Article DOI: 10.2307/20635385, 297-307 http://www.
jstor.org/stable/20635385 (diakses 12 Juni 2014).
31
Suaib Didu, Radikalisme dalam Islam Antara Argumentasi Jihad dan
Terorisme, 90. Lihat juga Mathias Holmen Johnsen, “ A Case Study of Anders B.
Breivik’s Intergroup Conceptualisation”. Journal of Terrorism Research Vol. 2, No.
3, (May 2014), 1-8.
32
T. Nasrullah, “ Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun Formil
Terhadap UU No.15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.” Jurnal
Kriminologi Indoesia Vol. 4, No. 1 (September 2005), 65-76. Lihat juga Albert J.
Bergesen and Omar Lizardo. “International Terrorism and the World-System.”
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 95

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun


2003 jo Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme terdapat dalam Bab III Pasal 6 sampai dengan Pasal
19, berikut beberapa perumusan Pasal dan ketentuan pidana tersebut.
Pasal 6 yaitu:33

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau


ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya
nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan
atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas internasional, dipidana dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.34
Pasal 9 yaitu:
“Setiap orang yang secara hukum memasukkan ke Indonesia,
membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau
mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai
persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya. Menyimpan,
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluar-
kan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau
sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya
dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun.35
Pasal 11 yaitu:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja
menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan
digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau

American Sociological Association Vol. 22, No. 1, (Mar 2004), 38-52


http://www.jstor.org/stable/3648958 (diakses 3 Juni 2014).
33
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (diakses 20 Maret 2014).
34
Ermansjah Djaja, KUHP Khusus, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2003, 744.
35
Ermansjah Djaja, KUHP Khusus, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2003, 745.
96 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.” 36
Pasal 14 yaitu:
“Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang
lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup.37
Pasal 15 yaitu:
“Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau
pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku
tindak pidananya”.38
Pasal 17 yaitu:
“Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan
terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Kemudian, tindak pidana
terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja
maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkuran korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Selanjutnya dalam hal
tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus. 39
Pasal 18 yaitu:
“Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka
panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan
tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus
atau di tempat pengurus berkantor”. Kemudian,“pidana pokok yang
dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana

36
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (diakses 20 Maret 2014).
37
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (diakses 20 Maret 2014).
38
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (diakses 20 Maret 2014).
39
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (diakses 20 Maret 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 97

denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah)”.


Selanjutnya korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat
dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi
yang terlarang.
Pasal 19 yaitu:
“Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan
mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku
tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun”.40

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat diketahui bahwa


Undang-Undang Nomor 15 Tahunn 2003 jo Perpu Nomor 1 Tahun
2002, dapat digunakan untuk menaggulangi jenis tindak pidana cyber
terrorism, sebagai suatu fenomena/bentuk baru cyber crime. Hal
tersebut dapat terlihat dalam ketentuan yang ada dalam Pasal 27 yang
mengakui adanya Electronic Record sebagai alat bukti.41 Sisi lain dari
aspek/persyaratan objektif untuk mempertanggungjawabkan cyber
terrorism merupakan masalah yuridiksi, khususnya yang berkaitan
dengan masalah ruang berlakunya hukum pidana menurut tempat.
Dalam sistem hukum pidana yang berlaku saat ini, hukum pidana pada
umumnya hanya berlaku di wilayah negaranya sendiri (asas teritorial)
dan untuk warga negaranya sendiri (asas personal/nasional aktif).
Hanya untuk delik-delik tertentu dapat digunakan asas nasional pasif
dan asas universal. Asas-asas ruang berlakunya hukum pidana menurut
tempat yang konvensional/tradisional (yuridiksi fisik). Itu pun
tentunya menghadapi tantangan sehubungan dengan masalah

40
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (diakses 20 Maret 2014).
41
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (diakses 20 Maret 2014). Lihat juga
Dikdik M. Arief Mansur & Eli Satris Gultom, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi
Infromasi (Bandung: Refika Aditama, 2005),65. Lihat juga Zahri Yunos, “ Cyber
TerrorismConceptualFramework”http://www.oiccert.net/v1/slide/session%201/03%2
02012%20Zahri%20OICCERT%20Oman%20V1%20%28ZAHRI%29.pdf (diakses
20 Februari 2014).
98 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

pertanggungjawaban cyber terrorism.42 Masalah yuridiksi cyber


terrorism yang merupakan bagian dari jenis cyber crime tersebut
termasuk yang sangat serius. Barbara Etter, di dalam tulisannya
berjudul Critical Issues in High Tech Crime mengindentifikasi
beberapa masalah kunci yang terkait atau yang menyebabkan
timbulnya masalah yuridiksi ini dalam konteks internasional antara
lain: pertama, tidak adanya konsensus global mengenai jenis-jenis
CRC (Computer Related Crime), dan tindak pidana pada umumnya.
Kedua, kurangnya keahlian aparat penegak hukum dan ketidakcukupan
hukum untuk melakukan investigasi dan mengakses sistem komputer.
Ketiga, adanya sifat transnasional dan computer crime. Keempat,
ketidakharmonisan hukum acara/prosedural di berbagai Negara.
Kelima, kurang singkronisasi mekanisme penegakan hukum, bantuan
hukum, ektradisi, dan kerja sama internasional dalam melakukan
investigasi cyber crime.43
Sehubungan dengan masalah yuridiksi, UU di Australia
memberi kewenangan untuk menuntut seseorang di mana pun berada
yang menyerang komputer di wilayah Australia. Bahkan di USA, tidak
hanya dapat menuntut setiap orang asing yang menyerang komputer-
komputer di USA, tetapi juga orang Amerika yang menyerang
komputer di Negara-negara lain. Dari ketentuan demikian terlihat
bahwa komputer dipandang sebagai kepentingan nasional dan
sekaligus kepentingan internasional yang sepatutnya dilindungi,
apalagi yang berkaitan dengan penyalahgunaan Internet yang
mengarah kepada perbuatan cyber terrorism tentunya juga akan sangat
dilindungi sehingga terkesan dianut asas ubikuitas (the principle of
ubiquity) atau asas omnipresence (ada di mana-mana). Dianutnya asas
ini tentunya harus didukung oleh kemampuan suatu Negara dan
kerjasama internasional.44 Sehubungan dengan masalah yuridiksi

42
Tien S, Saefullah, Jurisdiksi sebagai Upaya Penegakan Hukum dalam
Kegiatan Cyberspace (Bandung: Elips, 2002), 96. Lihat juga Claudia Card. “
Recognizing Terrorism.” The Journal of Ethics Vol. 11, No. 1, (March 2007), 1-29
http://www.jstor.org/stable/20728493 (diakses 5 Juni 2014).
43
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian
Cyber Crime di Indonesia , 107-108. Lihat juga Jeongtae, Kim. and Others. “ An
Inquiry into International Countermeasures Against Cyberterrorism”. Proc. of the
7th International Conference on Advanced Communication Technology. Gangwon-
Do, Korea, (May 2005), 432-35. (diakses 9 Mei 2014).
44
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian
Cyber Crime di Indonesia , 108. Lihat juga Nir Kshetri. “ Diffusion and Effects of
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 99

tersebut, dalam konsep RUU KUHP 2008 akan ada ketentuan


mengenai perluasan asas berlakunya hukum pidana dan tempat
terjadinya tindak pidana yang berorientasi pada “perbuatan” dan
“akibat”, sehingga diharapkan dapat menjaring tindak pidana (cyber
terrorism yang merupakan bagian dari crime) di luar teritorial
Indonesia yang akibatnya terjadi di Indonesia. dalam Konsep RUU
KUHP 2008 antara lain ada perumusan sebagai berikut: pertama,
dalam asas wilayah atau teritorial, Pasal 3: ketentuan pidana dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang melakukan: tindak pidana di wilayah Negara Republik Indonesia,
tindak pidana dalam kapal atau pesawat udara Indonesia; atau tindak
pidana di bidang teknologi informasi yang akibatnya dirasakan atau
terjadi di wilayah Indonesia dan dalam kapal atau pesawat udara
Indonesia.45
Kedua, asas nasional pasif, Pasal 4 yaitu: ketentuan pidana
dalam peraturan perundang-udangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang melakukan
tindak pidana terhadap: warga negara Indonesia; atau kepentingan
negara Indonesia yang berhubungan dengan: keamanan negara atau
proses kehidupan ketatanegaraan, martabat presiden dan/atau wakil
presiden dan pejabat Indonesia di luar negeri, pemalsuan, dan peniruan
segel, cap negara, meterai, uang atau mata uang, kartu kredit,
perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia, keselamatan
atau keamanan pelayaran, dan penerbangan, keselamatan atau
keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara
Indonesia; keselamatan atau keamanan peralatan komunikasi
elektronik, tindak pidana jabatan atau korupsi; dan/atau tindak pidana
pencucian uang.46 Ketiga, tempat tindak pidana, dalam Pasal 10 yaitu:
tempat tindak pidana adalah tempat pembuat melakukan perbuatan
yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau tempat
terjadinya akibat yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan

Cyber-Crime in Developing Economies.” Taylor & Francis, Ltd Vol. 31, No. 7, (May
2010), 1057-1079 http://www.jstor.org/stable/27896600 (diakses 12 Juni 2014).
45
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), 280-281. Lihat juga Todd Sandler. “Terrorism and Policy:
Introduction.” The Journal of Conflict Resolution Vol. 54, No. 2, (April 2010), 203-
213 http://www.jstor.org/stable/27820982 (diakses 8 Juni 2014).
46
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 2003), 252.
100 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

atau tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat


tersebut.47
Mengenai ancaman sanksi bagi pelaku yang “ikut serta” atau
“penyertaan” dalam ketentuan Pasal 9:
“Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke
Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan
atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai
dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mem-
pergunakan atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia suatu
senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan
lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak
pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun.”48
Pasal 11:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun, setiap orang yang dengan sengaja
menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan
digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau
seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10.”
Pasal 12:
“Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, setiap orang yang disengaja menyediakan atau
mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau
patut diketahuinya sebagian atau seluruhnya untuk melakukan:
pertama, tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki,
menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir,
senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,
radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat
mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan
kerusakan harta benda. Kedua, mencuri atau merampas bahan
nuklir, senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme,

47
Tien S, Saefullah, Jurisdiksi sebagai Upaya Penegakan Hukum dalam
Kegiatan Cyberspace, 96. Lihat juga Daphne Barak-Erez. “ Terrorism Law between
the Executive and Legislative Models.” The American Journal of Comparative Law
Vol. 57, No. 4, (Fall 2009), 877-896 http://www.jstor.org/stable/25652675 (diakses 9
Juni 2014).
48
Ermansjah Djaja, KUHP Khusus, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2003, 745.
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 101

radioaktif atau komponennya. Ketiga, penggelapan atau mempero-


leh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,
radiologi, mikroorgansisme, radioaktif atau komponennya.
Keempat, meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologi,
radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya secara
paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk
intimidasi. Kelima, mengancam yaitu: menggunakakn bahan nuklir,
senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, radioaktif
atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat
atau kerusakan harta benda atau melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk
memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Keenam, mencoba
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c. Ketujuh, ikut serta dalam melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f.”49
Pasal 13:
“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau
kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan:
pertama, memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau
harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme.
Kedua, menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorimse
dipidana dengan penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun.”50

UUPTPT terdapat ketentuan yang menggariskan ancaman


minimal dan maksimal misalnya ancaman minimal 3 (tiga) tahun
sampai 15 (lima belas) tahun. Ketentuan sanksi demikian pada
perumusannya, terbuka peluang bagi terdakwa untuk menerima
putusan yang ringan misalnya diputuskan 4 (empat) atau 5 (lima)
tahun dan lain-lain. Kemudian dalam hal sanksi denda sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) UUPTPT, “pidana pokok yang
dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah)”.

49
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (diakses 20 Maret 2014). Lihat juga
50
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm (diakses 20 Maret 2014).
102 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Pidana denda paling sedikit tidak ditentukan dalam UUPTPT


sehingga dengan demikian penjatuhan sanksi denda kepada terdakwa,
kurang mencerminkan rasa keadilan kepada masyarakat sebab hal ini
tidak dapat menimbulkan efek jera kepada pelaku. Setiap jenis tindak
pidana yang berkaitan dengan terorisme seharusnya dicantumkan
sanksi denda maksimal dan minimal sehingga jelas pengaturan sanksi
denda yang dimaksud, inilah beberapa penerapan sanksi pidana
terorisme dalam UUPTPT yang masih kurang jelas sehingga, banyak
pelaku teroris atau organisasi terorisme yang merasa tidak jemu-jemu
melakukan aksinya.

C. KUHP dan di Luar KUHP Indonesia


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia disingkat
KUHP merupakan sistem induk bagi peraturan-peraturan hukum
pidana di Indonesia. meskipun KUHP ini merupakan buatan penjajah
Belanda namun untuk saat ini karena belum ada perubahan atau
penerimaan atas pembaharuan KUHP yang telah dilakukan oleh para
ahli hukum pidana Indonesia yang telah diupayakan sejak Tahun 1963
maka KUHP yang ada ini harus tetap dipergunakan demi menjaga
keberadaan hukum pidana itu sendiri dalam masyarakat Indonesia.51
Perumusan tindak pidana di dalam KUHP kebanyakan masih
bersifat konvensional dan belum secara langsung dikaitkan dengan
perkembangan cyber terrorism yang merupakan bagian dari cyber
crime.52 Di samping itu, mengandung berbagai kelemahan dan
keterbatasan dalam menghadapi perkembangan teknologi dan high
tech crime yang sangat bervariasi. Untuk menghadapi masalah
pemalsuan kartu kredit dan transfer dana elektronik saja, KUHP
mengalami kesulitan karena tidak ada ketentuan khusus mengenai
perbuatan kartu kredit palsu. Ketentuan yang ada hanya mengenai: (a)
sumpah/keterangan palsu, Bab IV Pasal 242; (b) pemalsuan mata uang
dan uang kertas Bab X Pasal 244-252; (c) pemalsuan materai dan
merek, Bab XI Pasal 253-262; (d) pemalsuan surat, Bab XII Pasal 263-

51
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2005), 153.
52
Lihat juga Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, Ketika Kejahatan Berdaulat,
(Jakarta: Peradaban, 2001), 45. Lihat juga United Nations Office on Drugs and
Crime,” United Nations Convention Against Transnational Organized Crime and
TheProtocolsThereto.”http://www.unodc.org/documents/treaties/UNTOC/Publicatio
ns/TOC%20Convention/TOCebook-e.pdf (diakses 12 Februari 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 103

276.53 Berkaitan dengan hal itu, apakah KUHP dapat digunakan dalam
menanggulangi tindak pidana cyber terrorism yang merupakan bagian
dari cyber crime, berikut identifikasi peneliti: (a) kejahatan terhadap
ketertiban umum Bab V Pasal 168 ayat 1, 2 dan 3; kejahatan terhadap
nyawa Bab XIX Pasal 340; pencurian Bab XXII Pasal 362; pemerasan
dan pengancaman Bab XXIII Pasal 368. Berkaitan dengan
permasalahan tersebut jika KUHP ingin digunakan untuk
menanggulangi tindak pidana cyber terrorism haruslah diperhatikan
terlebih dahulu batasan-batasan/ruang lingkup dan unsur-unsur/bentuk
cyber terrorism, sehingga dapat dikatakan sebagai tindak pidana cyber
terrorism. unsur-unsur tersebut antara lain: pertama, serangannya
melalui dunia maya bermotiviasi politik yang dapat mengarah pada
luka-luka dan kematian.
Kedua, menyebabkan ketakutan atau merugikan secara fisik
atas teknik serangan dari dunia maya tersebut. Ketiga serangannya
serius untuk melawan atau ditujukan ke infrastruktur informasi kritis
seperti keuangan, energi, transportasi, dan operasi pemerintah.
Keempat, serangan yang mengganggu sarana yang tidak penting,
bukan dikategorikan sebagai aksi cyber terrorism. Kelima, serangan
itu tidaklah semata-mata di pusatkan pada keuntungan moneter. Jadi
dari penjelasan di atas megenai unsur-unsur/bentuk-bentuk tindak
pidana cyber terrorism, maka peneliti berkesimpulan bahwa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, tidak dapat digunakan dalam
menanggulangi tindak pidana cyber terrorism.54
Pada perkembangannya, saat ini telah ada perundang-undangan
di Luar KUHP yang berkaitan dengan kejahatan teknologi canggih di
bidang informasi, elektronik dan telekomunikasi yaitu sebagai berikut:

53
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian
Cyber Crime di Indonesia (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), 90. Lihat juga Barda
Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan
(Bandung: Citra Aditya, 2005), 27-128. Lihat juga Anne Rathbone and Charles K.
Rowley. “Terrorism.” Springer Vol. 111, No. 1/2, (Mar 2002), 9-18
http://www.jstor.org/stable/30026269 (diakses 2 Juni 2014). Lihat juga Cam
Caldwell and Mayra Canuto-Carranco. “Organizational Terrorism and Moral
Choices-Exercising Voice When the Leader is the Problem.” Journal of Business
Ethics Vol. 97, No. 1, (November 2010), 159-171 http://www.jstor.org/stable/
40929379 (diakses 7 Juni 2014).
54
Agus Raharjo, Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan
Kejahatan Berteknologi (Bandung: PT. Citra Aditya, 2002), 174-175.
104 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

1. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik
Indonesia telah mensahkan salah satu Rancangan Undang-
undang yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya (cyber crime)
yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE). Undang-Undang
ini bertujuan untuk mengharmonisasikan antara instrumen peraturan
hukum nasional dengan instrumen-instrumen hukum internasional
yang mengatur teknologi informasi di antaranya, yaitu: The United
Nations Commissions on International Trade Law (UNCITRAL),
World Trade Organization (WTO), Uni Eropa (EU), APEC, ASEAN
dan OECD. Masing-masing organisasi mengeluarkan peraturan atau
model law yang mengisi satu sama lain dan juga instrumen hukum
internasional ini telah diikuti oleh beberapa negara, seperti: Australia
(The Cyber Crime Act 2001), Malaysia (Computer Crime Act 1997),
Amerika Serikat (Federal Legislation: Update April 2002 UNITED
STATES CODE), Kongres PBB ke VIII di Havana, Kongres ke X di
Wina, Kongres XI 2005 di Bangkok, berbicara tentang the Prevention
of Crime and the Treatment of Offender. 55
Dalam Kongres PBB ke X tersebut dinyatakan bahwa negara-
negara anggota harus berusaha melakukan harmonisasi ketentuan yang
berhubungan dengan kriminalisasi, pembuktian, dan prosedur (states
should seek harmonization of relevan provision on criminalization,
evidence and procedur) dan negara-negara Uni Eropa yang telah secara
serius mengintegrasikan regulasi yang terkait dengan pemanfaatan
teknologi informasi ke dalam instrumen hukum Positif (existing law)
nasionalnya.56 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik merupakan undang-undang yang mengatur
tentang kejahatan-kejahatan yang berbasis teknologi (cyber crime),

55
Ahmad M. Ramli, “Naskah Akademik Rancangan Peraturan
PemerintahTentangTransaksiElektronik”http://www.tu.bphn.go.id/substantif/Data/I
SI%20KEGIATAN%20TAHUN%20200 /15na%20ITE.pdf (diakses 19 Maret
2014). Lihat juga Arpana and Others. “ Preventing Cyber Crime: A Study Regarding
Awareness Of Cyber Crime In Tricity.” International Journal of Enterprise
Computing and Business Systems Vol. 2, No. 1, (January 2012), 2230-8849. (diakses
7 Juni 2014). Lihat juga Seung-Whan Choi.” Fighting Terrorism through the Rule of
Law?”. The Journal of Conflict Resolution Vol. 54, No. 6, (December 2010), 940-
966 http://www.jstor.org/stable/25780761 (diakses 12 Juni 2014).
56
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian
Cyber Crime di Indonesia, v.
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 105

sedangkan tindak pidana cyber terrorism merupakan bagian/jenis cyber


crime, berikut identifikasi peneliti:
a. Sistem Perumusan Tindak Pidana dalam UU ITE No. 11 Tahun
2008
Ketentuan pidana dalam UU ITE terdapat dalam Bab XI Pasal
45 sampai dengan Pasal 52.57 Berikut perumusan beberapa Pasal dalam
Bab XI mengenai ketentuan pidana: dalam Pasal 45 UU No. 11 Tahun
2008, yaitu:58

1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00. (satu miliar rupiah).
2) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
3) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
Pasal 52 UU No. 11 Tahun 2008, yaitu:
1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap
anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai
dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem
Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik
dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.
3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai
dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem
Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak
terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan,

57
Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2008 Tentang Internet
dan Transaksi Elektronik,Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik
(Yogyakarta: Gradien Meditama, 2008), 72-77.
58
Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2008 Tentang Internet
dan Transaksi Elektronik,Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik
(Yogyakarta:Gradien Meditama, 2008), 72.
106 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam


dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masing-masing
Pasal ditambah dua pertiga.
4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan
pidana pokok ditambah dua pertiga.59

Kualifikasi delik yang diatur dalam Undang-Undang ITE


tersebut diatur dalam Pasal 52 yang dikualifikasikan sebagai
kejahatan. Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal dalam Bab XI mengenai
ketentuan pidana dalam UU ITE, maka dapat diidentifikasikan
beberapa perbuatan yang dilarang (unsur tindak pidana) yang erat
kaitannya dengan tindak pidana cyber terrorism pada tiap-tiap
pasalnya sebagai berikut: yaitu, Pasal 30 dengan unsur tindak pidana:
mengakses, menerobos, menjebol sistem komputer atau sistem
elektronik milik orang lain secara ilegal. (Terkait dengan aksi
kejahatan cyber terrorism yang berbentuk unauthorized acces to
computer system dan service).60
Pasal 31 dengan unsur tindak pidana yaitu: melakukan
intersepsi/penyadapan secara ilegal atas informasi elektronik dan/atau
sistem elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik
tertentu milik orang lain. (terkait dengan aksi kejahatan hacking).61
Pasal 32 dengan unsur tindak pidana: melakukan transmisi merusak,
menghilangkan, memidahkan, menyembunyikan suatu informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau dokumen elektronik

59
Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2008 Tentang Internet
dan Transaksi Elektronik,Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik
(Yogyakarta:Gradien Meditama), 76-77.
60
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008
(Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2009), 31-32. Lihat juga Muladi,
Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta:
The Habibie Center, 2002), 214.
61
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008
(Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2009), 32-33. Lihat juga Jeffrey T. G. Kelsey.
“ Hacking into International Humanitarian Law: The Principles of Distinction and
Neutrality in the Age of Cyber Warfare.” The Michigan Law Review Association
Vol. 106, No. 7, (May, 2008), 1427 http://www.jstor.org/stable/40041623 (diakses 12
Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 107

milik orang lain atau milik publik. (Terkait dengan aksi kejahatan
cyber terrorism yang berbentuk cyber sabotage dan extortion).62
Pasal 33 dengan unsur tindak pidana yaitu: melakukan tindakan
apa pun secara ilegal yang berakibat terganggunya sistem elektronik
menjadi tak bisa bekerja. (Terkait dengan aksi kejahatan cyber
terrorism yang berbentuk unauthorized acces to computer system dan
service).63 Pasal 34 dengan unsur tindak pidana yaitu: memproduksi,
menjual mengadakan untuk digunakan, mengimpor, menyediakan
perangkat lunak komputer untuk tujuan kesusilaan atau eksploitasi
seksual terhadap anak, penyadapan, merusak dan menghilangkan suatu
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau dokumen
elektronikk milik orang lain atau milik publik. (Terkait dengan aksi
kejahatan cyber terrorism yang berbentuk hacking, cyber sabotage dan
extortion).64 Pasal 35 dengan unsur tindak pidana yaitu: melakukan
perubahan, penciptaan, perusakan, penghilangan, dan memanipulasi
data informasi elektronik/dokumen elektronik dengan tujuan informasi
dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang
otentik. (Terkait dengan aksi kejahatan hacking).65
Mengenai unsur sifat ‘melawan hukum’, dalam Undang-
Undang ITE tersebut disebutkan secara tegas, unsur ‘sifat melawan
hukum’ tersebut dapat dilihat pada perumusan”…..setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum sebagaimana
dalam Pasal…” seperti dirumuskan dalam Pasal 30 sampai dengan
Pasal 35 tersebut di atas, sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan
disebutkannya secara tegas unsur ‘sifat melawan hukum’ terlihat ada
kesamaan ide dasar antara UU ITE dengan KUHP yang masih
menyebutkan unsur sifat melawan hukumnya suatu perbuatan.66
Berbeda dengan Konsep KUHP baru yang sekarang tengah disusun
yang menentukan bahwa meskipun unsur ‘sifat melawan hukum’ tidak

62
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008,
33.
63
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008,
33.
64
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008,
34. Lihat juga Ali Julianto Gema, Cyber Crime, Modus Operandi dan
Penanggulangannya (Jogjakarta: LeksBang Komputer PRESSindo, 2007), 83.
65
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008,
35.
66
Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2008 Tentang Internet
dan Transaksi Elektronik,Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik, 59-61.
108 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

dicantumkan secara tegas, tetapi suatu delik harus tetap dianggap


bertentangan dengan hukum. Melihat berbagai ketentuan yang telah
dikriminalisasikan dalam Undang-Undang ITE tersebut, nampak
adanya kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang berhubungan
dengan penyalahgunaan penggunaan di bidang teknologi informasi dan
transaksi elektronik, yang berbentuk tindak pidana cyber terrorism.
Oleh karena itu, nampak bahwa perspektif Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik adalah menekankan pada aspek
penggunaan/keamanan Sistem Informasi Elektronik atau Dokumen
Elektronik, dan penyalahgunaan di bidang teknologi dan transaksi
elektronik yang dilakukan oleh para pelaku cyber terrorism.
b. Sistem Perumusan Pertanggungjawaban Pidana dalam Undang-
Undang ITE
Melihat perumusan ketentuan pidana dalam Undang-Undang
ITE sebagaimana diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 maka
dapat diidentifikasikan bahwa pelaku tindak pidana atau yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang ITE
adalah meliputi individu/orang perorang dan korporasi. Ini terbukti
dari ketentuan pasal-pasal tersebut yang di awali dengan kata ”setiap
orang…” dan “korporasi.” Masalah pertanggungjawaban pidana
berkaitan erat dengan pelaku tindak pidana. Pelaku yang dapat
dipidana adalah orang dan korporasi, yang dijelaskan dalam Pasal 1
sub 21 dan dalam ketentuan pidana UU ITE tersebut.67
UU ITE mengatur secara lanjut dan terperinci tentang
ketentuan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, karena UU
ITE tersebut membedakan pertanggungjawaban pidana terhadap
individu dan korporasi, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 52
UU ITE. 68
c. Sistem Perumusan Sanksi Pidana, Jenis-Jenis Sanksi dan Lamanya
Pidana dalam UU ITE
Sitem perumusan sanksi pidana dalam Undang-Undang ITE
adalah alternatif kumulatif. Hal ini dibisa dilihat dalam perumusannya
yang menggunakan kata ”….dan/atau”. Jenis-jenis saksi (strafsoort)
pidana dalam Udang-Undang ITE ini ada dua jenis pidana penjara dan

67
Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2008 Tentang Internet
dan Transaksi Elektronik,Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik , 72-77.
68
Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2008 Tentang Internet
dan Transaksi Elektronik,Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik , 77.
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 109

denda. Sistem perumusan lamanya pidana (straftmaat) dalam Undang-


Undang ITE ini adalah, yaitu: pertama, maksimum khusus, pidana
penjara dalam UU ITE paling lama 12 tahun. Kedua, maksimum
khusus pidana dendanya, paling sedikit sebanyak Rp. 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah), dan paling banyak Rp. 12.000.000.000,00 (dua
belas milyar rupiah).69
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat diketahui bahwa
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Eletkronik dapat digunakan untuk menanggulangi jenis
tindak pidana cyber terrorism, sebagai suatu fenomena/bentuk baru
cyber crime secara umum. Undang-undang ini menekankan pada
pengaturan keamanan penggunaan Sistem Informasi Elektronik, dan
mengarah pada penyalahgunaan Informasi Elektronik untuk tujuan
perbuatan-perbuatan cyber terrorism.

2. UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi


Telekomunikasi terdiri dari kata ‘tele’ yang berarti jarak jauh
(at a distance) dan ‘komunikasi’ yang berarti hubungan pertukaran
ataupun penyampaian informasi, yang didefinisikan oleh UU Nomor
36 Tahun 1999 sebagai setiap pemancaran, pengiriman informasi
melalui medium apapun.70 Undang-undang ini diundangkan pada
tanggal 8 September 1999 dalam Lembaran Negara RI Tahun 1999
Nomor 154, dengan Peraturan pelaksananya yaitu PP Nomor 52 Tahun
2000 Tentang Peraturan Pemerintah Tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi Indonesia dalam Lembaran Negara Nomor 107 Tahun
2000, TLN 3980. Salah satu pertimbangan dalam penyusunan undang-
undang telekomunikasi adalah bahwa pengaruh globalisasi dan
perkembangan teknologi komunikasi yang sangat pesat telah
mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan
cara pandang terhadap telekomunikasi. Peneliti mencoba untuk
69
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), 20.
70
Jhudariksawan, Pengantar Hukum Telekomunikasi (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), 14. Lihat juga Audrey Kurth Cronin. “ How Al-Qaida
Ends: The Decline and Demise of Terrorist Groups.” The MIT Press Vol. 31, No. 1,
(Summer 2006), 7-48 http://www.jstor.org/stable/4137538 (diakses 14 Juni 2014).
Lihat juga Walter Enders and Todd Sandler. “ Transnational Terrorism 1968-2000:
Thresholds, Persistence, and Forecasts.” Southern Economic Association Vol. 71,
No. 3, (Jan 2005) Article DOI: 10.2307/20062054, 467-482 http://www.jstor.org/
stable/20062054 (diakses 5 Juni 2014).
110 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

mengkaji masalah cyber terrorism ini dengan Undang-Undang


Telekomunikasi dengan pertimbangan bahwa jaringan Internet
merupakan salah satu alat atau sarana telekomunikasi yang dapat
digunakan untuk memasukan dan menerima informasi, sehingga orang
dapat saling melakukan/hubungan walaupun berada di tempat yang
berjauhan.71 Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi terdapat dalam Bab VII Pasal 47
sampai dengan Pasal 57.72 berikut beberapa perumusan pasal dalam
ketentuan pidananya, yaitu dalam Pasal 47 UU No. 36 Tahun 1999:

“Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 11 (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah)”.
Pasal 48 UU No. 36 Tahun 1999 yaitu:
“Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan / atau denda paling banyak
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
Pasal 52 UU No. 36 Tahun 1999, yaitu:
”Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan,
atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara
Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan perysaratan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling
banyak 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
Pasal 59 UU No. 36 Tahun 1999, yaitu:
“Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal
49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal
56, dan Pasal 57 adalah kejahatan”.73

71
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 20 Maret 2014).
72
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 19 Maret 2014).
73
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 19 Maret 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 111

Kualifikasi delik yang diatur dalam Undang-Undang


Telekomunikasi tersebut diatur dalam Pasal 59 yang dikualifikasikan
sebagai kejahatan. Berdasarkan ketentuan pidana dari Pasal 47 sampai
dengan Pasal 59 di atas, beberapa Pasal di antaranya dapat
diidentifikasi unsur tindak pidananya sebagai berikut yaitu: Pasal 47
dengan unsur tindak pidana: penyelenggaraan jaringan-jaringan
telekomunikasi yang tanpa izin dari menteri.
Dalam Pasal 50 dengan unsur tindak pidana: melakukan
perbuatan tanpa hak, tidak sah atau memanipulasi, akses ke jaringan
telekomunikasi dan/atau akses kejasa telekomunikasi dan/atau akses
ke jaringan ke telekomunikasi khusus. Selanjutnya Pasal 52 dengan
unsur tindak pidana: memperdagangkan, membuat, merakit,
memasukan dan/atau menggunakan perangkat komunikasi di wilayah
Indonesia tanpa memenuhi syarat teknis dan izin. Kemudian, pasal 53
dengan unsur tindak pidana: penggunaan spektrum frekwensi radio dan
orbit satelit tanpa izin pemerintah dan tidak sesuai dengan
peruntukannya dan saling mengganggu. Dalam Pasal 55 dengan unsur
tindak pidana: melakukan perbuatan yang gangguan fisik dan
elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. Selanjut-
nya Pasal 56 dengan unsur tindak pidana: melakukan penyadapan
informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dan Pasal
57 dengan unsur tindak pidana: tidak menjaga kerahasiaan informasi
yang dikirim dan/atau diterima oleh pelanggan.74
Mengenai unsur sifat ‘melawan hukum’, dalam Undang-
Undang Telekomunikasi tersebut tidak disebutkan secara tegas, namun
demikian unsur ‘sifat melawan hukum’ tersebut dapat dilihat pada
perumusan “…melanggar ketentuan sebagaimana dalam pasal….”.
Seperti dirumuskan dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 57 tersebut di
atas, sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan tidak disebutkannya
secara tegas unsur ‘sifat melawan hukum’ terlihat ada kesamaan ide
dasar antara UU Telekomunikasi dengan Konsep KUHP baru yang
sekarang tengah disusun yang menentukan bahwa meskipun unsur
‘sifat melawan hukum’ tidak dicantumkan secara tegas, tetapi suatu
delik harus tetap dianggap bertentangan dengan hukum.

74
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 20 Maret 2014).
112 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Di samping itu walaupun dengan kata ‘dengan sengaja’ tidak


dicantumkan secara tegas, namun jika dilihat dari unsur-unsur tindak
pidana yang ada, maka tindak pidana yang dilakukan didasarkan pada
unsur kesengajaan (dolus). Jika dilihat dari unsur-unsur perbuatan yang
dilarang seperti disebutkan di atas maka dapat diidentifikasikan
perbuatan yang dilarang (unsur tindak pidana) yang erat kaitannya
dengan penyalahgunaan Internet untuk tujuan cyber terrorism yaitu
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 berupa ‘setiap orang dilarang
melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi: 1)
akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau, 2) akses kejasa
telekomunikasi; dan atau, 3) akses ke jaringan telekomunikasi khusus,
(terkait dengan aksi kejahatan cyber terrorism yang berbentuk
unathorized acces to computer system and service).
Pasal 38 berupa ‘setiap orang dilarang melakukan perbuatan
yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi, (terkait dengan aksi kejahatan cyber
sabotage and extortion). Pasal 50 berupa ‘melakukan perbuatan tanpa
hak, tidak sah atau memanipulasi, akses ke jaringan telekomunikasi
dan/atau akses ke jasa telekomunikasi dan/atau akses ke jaringan ke
telekomunikasi khusus’, (terkait dengan aksi kejahatan unathorized
acces to computer system and service). Pasal 52 berupa
‘memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan dan/atau
menggunakan perangkat komunikasi di wilayah Indonesia tanpa
memenuhi syarat teknis dan izin’, (terkait dengan aksi kejatahan
carding). Melihat berbagai ketentuan yang telah dikriminalisasikan
dalam Undang-Undang Telekomunikasi tersebut, nampak adanya
kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan
penyalahgunaan pengguanaan Internet, yang berbentuk tindak pidana
cyber terrorism.75 Jika dicermati lebih lanjut, dalam UU
Telekomunikasi tersebut ada Pasal yang sebenarnya jika terjadi suatu
pelanggaran dapat dikenai pidana tetapi hal tersebut justru tidak diatur
secara lebih lanjut, yaitu pada Bagian Kelima tentang Hak dan

75
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 22 Maret 2014). Lihat juga Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi
Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, 214. Lihat juga Ali Julianto Gema,
Cyber Crime, Modus Operandi dan Penanggulangannya, 83. Lihat juga Undang-
Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi
Elektronik,Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik , 60.
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 113

Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat, yang dapat dilihat dalam


perumusannya sebagai berikut: yaitu, Pasal 21 UU No. 36 Tahun
1999:76
“Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha
penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepen-
tingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.”

Terhadap pelanggaran Pasal 21 Undang-Undang Telekomuni-


kasi tersebut di atas, hanya dikenakan sanksi administratif saja
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 45 dan 46 UU Nomor 36 Tahun
1999 Tentang Telekomunikasi.77

Pasal 45 UU No. 36 Tahun 1999:


“Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat
(2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29
ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal
34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrative.”
Pasal 46 UU No. 36 Tahun 1999: yaitu,
“Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa
pencabutan izin. Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.”78

Jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 21 tersebut di atas


nampak tidak ada sanksi pidananya, dan hanya sebatas sanksi
adminsitratif saja, yang juga tidak diatur dalam pasal-pasal yang lain.
Padahal baik terhadap kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, dan

76
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 22 Maret 2014).
77
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 22 Maret 2014). Lihat juga Jacqueline Ann Carberry. “ Terrorism: A
Global Phenomenon Mandating a Unified International Response.” Indiana Journal
of Global Legal Studies Vol. 6, No. 2, (Spring 1999), 685-719 http://www.jstor.org/
stable/20644713 (diakses 17 Juni 2014). Lihat juga Yaeli Bloch-Elkon. “ Trends:
Preventing Terrorism after the 9/11 Attacks.” Oxford University Press on behalf of
the American Association for Public Opinion Research Vol. 71, No. 1, (Spring
2007), 142-163 http://www.jstor.org/stable/4500364 (diakses 8 Juni 2014).
78
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 22 Maret 2014).
114 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

ketertiban umum sebagaimana disebut dalam Pasal 21, kesemuanya


memiliki kepentingan hukum yang juga harus senantiasa dilindungi
dengan melalui hukum pidana. Kaitannya dengan hal-hal yang
bertentangan dengan kepentingan umum keamanan, dan ketertiban
umum dapat diidentifikasikan atau menunjuk pada perbuatan cyber
terrorism. Seyogyanya jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tersebut harus
disebutkan sebagai pelanggaran atau kejahatan terhadap kepentingan
umum, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum secara tegas, serta
tersedia ancaman pidananya. Jika penyelenggara telekomunikasi dalam
menjalankan usahanya bertentangan dengan kepentingan umum,
kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum maka hendaknya
ditentukan bagaimana ancaman dan sanksi pidananya, tidak hanya
sebatas sanksi administratif saja, karena kepentingan umum,
kesusilaan, keamanan, dan ketertiban juga memiliki kepentingan
hukum yang juga harus senantiasa dilindungi dengan melalui hukum
pidana.
Cyber terrorism sebagai suatu fenomena kejahatan baru di
dunia maya atau sebagai satu fenomena/bentuk baru dari cyber crime
secara umum, yang dilakukan dengan menggunakan media Internet
sebagai salah satu sarana telekomunikasi, merupakan salah satu
perbuatan berhubungan dengan kepentingan umum, keamanan dan
ketertiban umum.79 Hal tersebut juga dapat terlihat dalam kapasitas
penyelenggara telekomunikasi, masalah telekomunikasi, alat
telekomunikasi, perangkat telekomunikasi, maupun hal-hal yang
memungkinkan dilakukannya perbuatan cyber terrorism atau
penggunaan Internet sebagai salah satu sarana telekomunikasi untuk
tujuan perbuatan cyber terrorism sebagai suatu hal yang menyangkut
kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum,
seharusnya juga merupakan tanggung jawab penyelenggara

79
Summer Olmstead and Ambareen Siraj, “Cyberterrorism: The Threat of
Virtual Warfare.” Crosstalk The Journal of Defense Software Engineering Vol. 2,
No. 3, (May 2009), 16-18. Lihat juga Wayne Allen. “Terrorism and the Epochal
Transformation of Politics.” University of Illinois Press on behalf of North American
Philosophical Publications Vol. 6, No. 2, (Apr 1992),133-154 http://www.jstor.org/
stable/40435802 (diakses 3 Juni 2014). Lihat juga Karen Lund Petersen. “Terrorism:
When Risk Meets Security.” Sage Publications, Inc Vol. 33, No. 2, (Apr-June 2008),
173-190 http://www.jstor.org/stable/40608533 (diakses 27 Mei 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 115

telekomunikasi.80 Namun demikian bagi penyelenggara telekomunikasi


yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang
bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, ketertiban umum,
dan keamanan tidak ada ancaman pidananya sama sekali, melainkan
hanya dikenakan sanksi administratif saja sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 45.
Hal ini akan terlihat janggal dan tidak proporsional jika
dibandingkan dengan ketentuan Pasal 47 yang menyebutkan bagi
mereka yang melanggar Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) hanya karena tidak
mendapatkan izin dari menteri dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Sementara pelanggaran atau kejahatan terhadap Pasal 21 yang
menyangkut kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban
umum hanya dikenai sanksi administratif saja. Apakah perlu ancaman
pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) bagi
penyelenggara telekomunikasi yang tidak memenuhi kriteria Pasal 7,
sementara bagi penyelenggara telekomunikasi yang melakukan
kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi bertentangan dengan
kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum
ternyata tidak ada ancaman pidananya sama sekali yang juga
sebenarnya di dalamnya terkandung kepentingan hukum yang
seyogyanya dilindungi dari sekedar penyelenggaraan telekomunikasi
tanpa mendapatkan izin dari menteri.81 Untuk lebih jelasnya lihat
ketentuan Pasal 47, Pasal 11 dan Pasal UU No. 36 Tahun 1999, yaitu:

“Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).”82
Pasal 11 UU Nomor 36 Tahun 1999 yaitu:

80
Jhudariksawan, Pengantar Hukum Telekomunikasi, 14.
81
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 23 Maret 2014).
82
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 24 Maret 2014).
116 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

“Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dan
Menteri.”83

Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan


memperhatikan: “tata cara yang sederhana, proses yang transparan,
adil dan tidak diskriminatif; serta penyelesaian dalam waktu yang
singkat”. Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomuni-
kasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Pasal 7 UU No. 36 Tahun 1999 yaitu:
penyelenggaraan telekomunikasi meliputi: penyelenggara jaringan
telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyelenggara
telekomunikasi khusus. Selanjutnya dalam penyelenggaraan teleko-
munikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu: melindungi
kepentingan dan keamanan negara, mengantisipasi perkembangan
teknologi dan tuntutan global, dilakukan secara profesional dan dapat
dipertanggungjawabkan serta peran serta masyarakat.84
Sisi lain peneliti juga menganggap penting kebijakan non penal
saat ini dalam mengatasi tindak pidana cyber terrorism sebagaimana
konggres PBB ke-6 Tahun 1980 di Caracas, Venezuela mengenai
“Crime Trends and Crime Prevention Strategis” terlihat bahwa upaya
non penal mempunyai kedudukan strategis, yang antara lain
dinyatakan:85 pertama, bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan
untuk mencapai kualitas hidup yang pantas bagi semua orang. Kedua,
bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada
penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
kejahatan. Ketiga, bahwa penyebab utama kejahatan dibanyak negara
ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional,

83
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 24 Maret 2014).
84
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/UU_36_1999_Telekomunikas
i.pdf (diakses 24 Maret 2014).
85
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung:
PT.Citra Aditya, 2002), 43. Lihat juga Paul R. Pillar. “Terrorism Goes Global:
Extremist Groups Extend Their Reach Worldwide.” Brookings Institution Vol. 19,
No. 4, (Fall 2001) Article DOI: 10.2307/20081003, 34-37 http://www.jstor.org/
stable/20081003 (diakses 8 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 117

standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan


(kebodohan) di antara golongan besar penduduk.86
Cyber terrorism sebagai bagian dari tindak pidana cyber crime
atau perbuatan yang menyalahgunakan teknologi Internet yang
akibatnya dapat mengakibatkan kepanikan/ketakutan, kerugian secara
fisik dan psikis terhadap individu maupun masyarakat dan menyerang
sarana infrastruktur penting suatu negara, sehingga mengakibatkan
kerugian yang besar terhadap target sasarannya, untuk penanggu-
langannya pun harus diorientasikan pada pengaturan penggunaan
teknologi Internet itu sendiri seraya menanggulangi penyakit
psikologis yang ditimbulkannya oleh provokasi ideologi yang
dilancarkan oleh para kaum terorisme dalam merekrut dan meng-
hegemoni massanya.87 Menyadari tentang pentingnya pengaturan
mengenai cyber terrorism ini sebagai salah satu bagian/jenis dari cyber
crime yang memanfaatkan teknologi Internet maka, pengaturan
mengenai Internetlah yang seharusnya dilakukan. Jika dilihat dari
sudut metode pendekatan teknologi (techno prevention) ini, untuk
menahan gencarnya penyalahgunaan pemakai Internet oleh para kaum
hacker dan cracker atau cyber terrorist, beberapa langkah yang dapat
dilakukan dalam pengamanan sistem informasi berbasis Internet antara
lain: pertama, mengatur akses (access control). Salah satu cara yang
umum digunakan untuk mengamankan informasi adalah dengan
mengatur akses ke informasi melalui mekanisme authentication dan
access control. Implementasi dari mekanisme ini antara lain dengan
menggunakan password. Di sistem UNIX dan Windows NT, untuk
masuk dan menggunakan sistem komputer, pemakai harus melalui
proses authentication dengan menuliskan user id (user identification)
dan password. Apabila keduanya valid, maka pemakai diperbolehkan

86
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , 42.
87
Dikdik M. Arief Mansur & Eli Satris Gultom, Cyber Law, Aspek Hukum
Teknologi Infromasi, 65. Lihat juga Zahri Yunos, “Cyber Terrorism
ConceptualFramework”http://www.oiccert.net/v1/slide/session%201/03%202012%2
0Zahri%20OICCERT%20Oman%20V1%20%28ZAHRI%29.pdf (diakses 20
Februari 2014). Lihat juga Prayudi, dkk. “ Antisipasi Cybercrime Menggunakan
Teknik Komputer Forensik” Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007
(SNATI 2007). Yogyakarta, 16 Juni 2007. ISSN: 1907-5022. (12 Mei 2014). Lihat
juga Roberta Senechal de la Roche.“ Toward a Scientific Theory of Terrorism.”
American Sociological Association Vol. 22, No. 1, (Mar 2004), 1-4
http://www.jstor.org/stable/3648954 (diakses 12 Juni 2014).
118 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

untuk masuk dan menggunakan sistem, tetapi apabila di antara


keduanya atau salah satunya tidak valid, maka akses akan di tolak.
Penolakan ini tercatat dalam berkas log berupa waktu dan tanggal
akses, asal hubungan (connection) berapa kali koneksi yang gagal itu.
Setelah proses authentication, pemakai diberikan akses sesuai dengan
level yang dimilikinya melalui sebuah access control. Access control
ini biasanya dilakukan dengan mengelompokkan pemakai dalam
sebuah grup, seperti grup yang berstatus pemakai biasa, tamu, dan ada
pula administrator atau disebut juga supresure yang memiliki
kemampuan lebih dari grup lainnya.
Pengelompokkan ini disesuaikan dengan kebutuhan dan
penggunaan sistem yang ada. Kedua, menutup service yang tidak
digunakan. Sering kali dalam sebuah sistem (perangkat keras dan/atau
perangkat lunak) diberikan beberapa service yang di jalankan sebagai
default, seperti pada sistem UNIX yang sering dipasang dari vendor-
nya adalah finger, telnet, ftp, smtp, pop, echo dan sebagainya. Dalam
praktik pengelolaan situs, tidak semua service itu dipakai/dibutuhkan
sehingga untuk mengamankan sistem service yang tidak diperlukan di
server (komputer) tersebut sebaiknya dimatikan. Hal ini dilakukan
karena banyak kasus terjadi yang menunjukkan abuse dari service
tersebut atau lubang keamanan dalam service tersebut. Akan tetapi,
administrator sistem tidak menyadari bahwa service tersebut di
jalankan di komputernya.88
Ketiga, memasang proteksi. Untuk lebih meningkatkan
keamanan sistem informasi, proteksi dapat ditambahkan. Proteksi ini
dapat berupa filter (secara umum) dan yang lebih spesifik adalah
firewall. Filter dapat digunakan untuk memfilter e-mail, informasi,
akses atau bahkan dalam level packet sebagai contoh, di sistem UNIX
ada paket program tcpwrapper yang dapat digunakan untuk

88
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum, 254-255. Lihat
juga Budi Raharjo, Implikasi Teknologi dan Internet Terhadap Pendidikan, Bisnis
dan Pemerintahan (Bandung: PT Insan Komunikasi/Infonesia, 2002 ), 51. Lihat juga
Agus Raharjo, Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, 252-260. Lihat juga Michael Lawless. “ Terrorism: An International
Crime.” International Journal Vol. 63, No. 1, (Winter 2007), 139-159
http://www.jstor.org/stable/40204494 (diakses 12 Mei 2014). Lihat juga Neta C.
Crawford. “ Just War Theory and the U.S. Counterterror War.” American Political
Science Association Vol. 1, No. 1, (Mar 2003), 5-25 http://www.jstor.org/stable/
3687810 (diakses 21 Mei 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 119

membatasi akses kepada service atau aplikasi tertentu. Misalnya,


service untuk telnet dapat dibatasi untuk sistem yang memiliki nomor
IP terntentu atau memiliki domain tertentu. Keempat, firewall.
Firewall merupakan sebuah perangkat yang diletakkan antara internal
dengan jaringan internal. Informasi yang keluar atau masuk harus
melalui firewall ini. tujuan utama dari firewall adalah untuk menjaga
(prevent) agar akses (ke dalam maupun ke luar) dari orang yang
berwenang (unauthorized access) tidak dapat dilakukan konfigurasi
dari firewall bergantung kepada kebijaksanaan (policy) dari organisasi
yang bersangkutan, yang dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
apa-apa yang tidak diperbolehkan secara eksplisit dianggap tidak
diperbolehkan (prohobitted), dan apa-apa yang tidak dilarang secara
eksplisit dengan diperbolehkan (permitted). Firewall bekerja dengan
mengamati paket Internet Protocol (IP) yang melewatinya.
Berdasarkan konfigurasi dari firewall maka akses dapat diatur
berdasarkan Internet Protocol (IP) andress, port dan arah informasi.
Detail dari konfigurasi bergantung kepada masing-masing firewall.
Kelima, pemantau adanya serangan. Sistem pemantau (monitoring
system) digunakan untuk mengetahui adanya tamu tidak diundang
(intruder) atau adanya serangan (attack). Nama lain sistem ini adalah
Intruder Detection System (IDS). Sistem ini dapat memberi tahu
administrator melalui e-mail maupun melalui mekanisme lain seperti
pager. Ada beberapa cara untuk memantau adanya intruder, baik yang
sifatnya aktif maupun pasif. Intruder Detection Sistem (IDS) cara
yang paling pasif misalnya dengan monitor log file. Ada beberapa
contoh dari Intruder Detection Sistem (IDS), antara lain: autobase,
yaitu mendeteksi porbing dengan memonitor log file. Kemudian,
courtney dan portsentry, yaitu mendeteksi probing (port scanning)
dengan memonitor packet yang lalu lalang. Portsentry bahkan dapat
memasukkan Internet Protocol (IP) penyerang dalam filter tcpwrapper.
Selanjutnya shadow dan SANS. Kemudian, snort yaitu mendeteksi
pola (pattern) pada paket yang lewat dan mengirimkan alert jika pola
tersebut terdeteksi. Pola-pola atau rules disimpan dalam berkas yang
disebut library yang dapat dikonfigurasi sesuai dengan kebutuhan.89

89
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum, 254-255. Lihat
juga Abraham D. Sofaer. “Terrorism and the Law.” Council on Foreign Relations
Vol. 64, No. 5, (Summer 1986) Article DOI: 10.2307/20042773, 901-922
http://www.jstor.org/stable/20042773 (diakses 5 Juni 2014). Lihat juga Jonathan M.
Winer. “ Countering Terrorist Finance: A Work, Mostly in Progress.” Sage
120 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Keenam, pemantau integritas sistem. Sistem ini di jalankan


secara berkala untuk menguji integritas sistem. Salah satu contoh
program yang umum digunakan di sistem UNIX adalah program
tripwire. Program ini dapat digunakan untuk memantau adanya
perubahan pada berkas. Pada mulanya program ini di jalankan dan
membuat database mengenai berkas-berkas atau direktori yang ingin
diamati beserta signature dari berkas, kapan dibuatnya, pemiliknya,
hasil checksum atau hash dan sebagainya. Apabila ada perubahan pada
berkas tersebut, maka keluaran dari hush function akan berbeda
dengan yang ada di database sehingga ketahuan adanya perubahan.
Ketujuh, audit: mengamati berkas log. Segala kegiatan
penggunaan sistem dapat dicatat dalam berkas yang biasanya disebut
log file atau log saja. Berkas log ini sangat berguna untuk mengamati
penyimpangan yang terjadi. Kegagalan untuk masuk ke sistem (login).
Misalnya tersimpan untuk rajin memelihara dan menganalisis berkas
log yang dimilikinya. Kedelapan, back up secara rutin. Seringa kali
masuk ke dalam sistem dan merusak sistem dengan menjebol sistem
dan masuk sebagai superesure, maka ada kemungkinan dia dapat
menghapus seluruh berkas. Untuk itu, adanya back up yang dilakukan
secara rutin merupakan sebuah hal yang esensial. Bayangkan jika yang
berhasil dihapus oleh intruder itu adalah data-data rahasia apalagi data
rahasia keamanan Negara. Kesembilan, penggunaan enkripsi untuk
meningkatkan keamanan. Salah satu mekanisme untuk meningkatkan
keamanan adalah dengan menggunakan teknologi enkripsi. Data-data
yang dikirimkan diubah sedemikian rupa sehingga tidak mudah
disadap. Banyak service di Internet yang masih menggunakan plain
text untuk authentication seperti penggunaan pasangan user id dan
password. Informasi ini dapat dilihat dengan mudah oleh program
penyadap atau penghapus (sniffer). Untuk meningkatkan keamanan
server wolrd wide web dapat digunakan enkripsi pada tingkat socket.
Dengan menggunakan enkripsi, orang tidak biasa menyadap data-data
(transaksi) yang dikirimkan dari/ke server world wide web (www).
Salah satu mekanisme yang cukup populer adalah dengan

Publications, Inc. in association with the American Academy of Political and Social
Science Vol. 618, (Jul 2008), 112-132 http://www.jstor.org/stable/40375779 (diakses
14 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 121

menggunakan Secure Socket Layer (SSL) yang mulanya dikembang-


kan oleh Netscape.90
Secara umum seluruh pengguna Internet hendaknya memahami
etika penggunaan Internet guna menghindari terjadinya penyalah-
gunaan terhadapnya. Pendekatan ini lebih dikenal dengan pendekatan
budaya/kultur dalam kebijakan penanggulangan tindak pidana cyber
terrorism yang merupakan bagian/jenis dari cybercrime yaitu
membangun/membangkitkan kepekaan warga masyarakat termasuk di
dalamnya orang tua serta aparat hukum terhadap masalah cyber
terrorism dan menyebarluaskan/mengajarkan etika penggunaan
komputer melalui media pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam
salah satu butir dalam Resolusi Konggres PBB ke-VIII di Havana
Cuba yaitu memperluas ‘rules of ethis’ dalam penggunaan komputer
dan mengajarkannya melalui kurikulum informatika.91
Selain itu juga terungkap dalam pernyataan International
Information Industry Congres Tahun 2000 yang diselenggarakan oleh
ITAC (International Technology Association of Canada), bahwa para
anggota IIIC juga berpartisi dalam membangun atau mengembangkan
kode etik dan perilaku dalam menggunakan komputer dan Internet,
dan berkampanye mengenai perlunya perilaku yang etis dan
bertanggungjawab. Untuk memberikan hasil/pencapaian upaya
penanggulangan kejahatan Internet secara internasional, maka para
pengguna komputer dan Internet seluruh dunia harus disadarkan akan
perlunya standar/norma perilaku berkualitas tinggi (terpuji) diruang
cyber.92 Etika penggunaan Internet ini dikenal dengan nama cyber
ethics, yang berisi: “setiap orang harus bertanggungjawab terhadap
perilaku sosial dan hukum tatkala menggunakan Internet, tidak
seharusnya ikut serta dalam berbagai bentuk cyber yang mengganggu,

90
Agus Raharjo, Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, 252-260. Lihat juga Baggili and Others. “Self-Reported Cyber Crime:
An Analysis on the Effects of Anonymity and Pre-Employment Integrity.”
International Journal of Cyber Criminology Vol. 3, No. 2, (July-December 2009),
550–565.
91
Mohammad Kemal Dermawan, Strategi Pencegahan Kejahatan (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1994), 10.
92
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007), 240. Lihat juga Senad Slatina. “Net Effect: Web Sites That Shape the
World.” Washingtonpost.Newsweek Interactive, LLC Vol. 2, No. 148, (May-Jun
2005), 92-93 http://www.jstor.org/stable/30048020 (diakses 16 Juni 2014).
122 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

seharusnya tidak chatting tentang satu apapun kepada orang lain yang
tidak dikenal di Internet, meng-copy atau men-download program
yang berhak cipta, games atau musik tanpa izin atau tanpa membayar
adalah perbuatan ilegal.
Sejalan dengan yang dikemukakan oleh International
Information Industry Congres Tahun 2000 yang diselenggarakan oleh
ITAC (International Technology Association of Canada), maka hal-hal
dapat diupayakan guna menanggulangi tindak pidana cyber terrorism,
yaitu: pengenalan komputer dan Internet kepada masyarakat, dan
peran serta masyarakat dalam bidang komputer dan Internet.
\Pengenalan yang dimaksud di sini adalah upaya sosialisasi komputer
dan Internet di tengah-tengah masyarakat. Upaya ini dapat ditempuh
dengan jalan sebagai berikut: pertama, pengenalan komputer dan
Internet lewat pendidikan. Penandatanganan nota kesepakatan antara
PT Indosat dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tentang
pengembangan Cyber Education (CE), di Malang Jawa Timur,
merupakan salah satu contoh dan upaya pengenalan komputer dan
Internet kepada masyarakat sejak usia dini.93
Prinsip dasar cyber education cukup sederhana, yakni
memanfaatkan teknologi multimedia Internet untuk menyalurkan
suatu materi dari satu tempat ke tempat lain. Untuk itu, tempat-
tempat yang bersangkutan harus terhubung dalam jaringan komunikasi
berbasis protocol Internet. PT Indosat, melalui anak perusahaannya
Indosat Mutli Media, menyediakan infrasturktur sekaligus menyiapkan
koneksi Internet yang menghubungkan antar lokasi dalam satu
jaringan. Depdiknas secara bertahap mengembangkan jaringan Internet
ke sekolah-sekolah di Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Pada tahap
awal, jaringan sekolah dibentuk ditujuh kota sebagai proyek
percontohan, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Yogjakarta,
Solo dan Makasar. Di setiap kota disiapkan suatu jaringan yang
disebut Wide Area Network (WAN) kota untuk menghubungkan

93
Sutarman, Cyber Crime, Modes Operandi dan Penanggulangannya
(Jogjakarta: PRESSindo, 2007), 101-102. Lihat juga Leukfeldt and Others. “ High
Volume Cyber Crime and the Organization of the Police: The results of two
empirical studies in the Netherlands.” International Journal of Cyber Criminology
Vol. 7, No. 1 (January-June 2013), 1–17 (diakses 15 Mei 2014). Lihat juga Michele
Simms, “ On Linking Business Ethics, Bioethics and Bioterrorism.” Journal of
Business Ethics Vol. 51, No. 2, (May 2004), 211-220 http://www.jstor.org/stable/
25379186 (diakses 9 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Positif | 123

sekolah satu dengan yang lainnya. Dengan dibangunnya jaringan antar


sekolah tersebut maka data pendukung, referensi, ataupun berbagai
informasi lain yang relevan dapat diperoleh dengan cepat dan mudah.
Selain itu, juga dapat dilakukan diskusi dan pengajaran jarak jauh.
Kedua, seminar teknologi informasi. Acara-acara seminar teknologi
informasi sangat membantu pengenalan teknologi komputer dan
Internet kepada masyarakat. Seminar yang dimaksudkan di sini dalam
arti luas, di mana bisa juga dalam bentuk diskusi interaktif, bedah
buku teknologi informasi, seminar dan lokakarya (SEMILOKA),
workshop dan sebagainya. Misalnya arena konferensi, workshop, dan
tutorial Internet yang disponsori oleh Direktur PT Internetindo Data
Center Indonesia. Untuk memperkaya wawasan peserta, juga bisa
mendatangkan para ahlinya yang terkait erat dengan dunia Internet
APNIC, IndoCISC, Polri, Kejaksaan, Kelompok Pengguna Linux
Indonesia (KPLI), dan sebagainya.94
Selanjutnya peran yang dimaksud di sini adalah konsep
keamanan masyarakat modern, sistem keamanan bukan lagi tanggung
jawab polisi semata, namun menjadi tanggung jawab bersama seluruh
elemen masyarakat. Dalam pandangan konsep ini, masyarakat di
samping sebagai objek juga sebagai subjek. Sebagai subjek,
masyarakat adalah pelaku aktivitas komunikasi antara yang satu
dengan yang lain, serta pengguna jasa kegiatan Internet dan media
lainnya. Sebagai objek, masyarakat dijadikan sasaran dan korban
kejahatan bagi segenap aktivitas kriminalisasi Internet. Tanggung
jawab bersama atas keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat
dalam konsep modern disebut community policing. Salah satu model
pengamanan dan penegakan hukum yang profesional di negara-negara
maju. Semua elemen masyarakat dengan kesadaran penuh terpanggil
dan bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban. Dilibatkan
masyarakat dalam strategi pencegahan kejahatan mempunyai dua
tujuan pokok, menurut Mohammad Kemal Dermawan adalah untuk:
pertama, mengeliminir faktor-faktor kriminogen yang ada dalam
masyarakat. Kedua, masyarakat potensi masyarakat dalam hal
mencegah dan mengurangi kejahatan.

94
Mohammad Kemal Dermawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, 10. Lihat
juga Jeff Victoroff. “The Mind of the Terrorist: A Review and Critique of
Psychological Approaches.” Sage Publications, Inc Vol. 49, No. 1, (Feb 2005), 3-42
http://www.jstor.org/stable/30045097 (diakses 15 Juni 2014).
124 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Munculnya kejahatan-kejahatan dengan dimensi baru yang


bercirikan modern yang merupakan dampak negatif dari perkembangan
yang sangat cepat dibidang teknologi informasi, perlu pula
ditanggulangi dengan berbagai upaya penanggulangan yang lebih
efektif\. Guna mengatasi kejahatan modern tersebut perlu adanya
kerjasama antara masyarakat dan aparat penegak hukum di samping
juga perlu dilakukan pembenahan serta pembangunan hukum pidana
yang menyeluruh baik dari segi struktur, substansi maupun budaya
hukumnya.
Cyber terrorism merupakan salah satu bentuk atau dimensi
baru dari kejahatan masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia
internasional. A. Clem, memberikan istilah cyber terrorism sebagai
cyber ruang dan terorisme, beberapa sebutan lainnya dalam berbagai
tulisan, antara lain sebagai terorisme dunia maya. Hal utama yang
patut dijelaskan bahwa kebijakan penanggulangan cyber terrorism
dengan hukum pidana termasuk bidang penal policy yang merupakan
bagian dari criminal policy (kebijakan penanggulangan kejahatan).
Dilihat dari sudut criminal policy, upaya penanggulangan
tindak pidana cyber terrorism tidak dapat dilakukan semata-mata
secara parsial dengan hukum pidana (sarana penal), tetapi harus
ditempuh pula dengan pendekatan integral/sistemik. Sebagai salah
satu bentuk dari high tech crime yang dapat melampaui batas-batas
negara bersifat transnational/transborder.
Merupakan hal yang wajar jika upaya penanggulangan cyber
terrorism juga harus ditempuh dengan pendekatan (techno prevention).
Di samping itu, diperlukan pula pendekatan budaya/kultural,
pendekatan moral/edukatif dan bahkan pendekatan global (kerja sama
internasional).95
Menurut peneliti cyber terrorism tidak saja bisa di atasi dengan
hal-hal di atas saja, namun perlu ditambahkan hukum Islam dalam
menangani permasalahannya. Peneliti akan menjelaskan di bab
berikutnya.

95
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian
Cyber Crime Di Indonesia, 90. Lihat juga Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah
Perbanding Hukum Pidana, 253-254. Lihat juga Raed S, A. Faqir. “Cyber Crimes in
Jordan: A Legal Assessment on the Effectiveness of Information System Crimes Law
No (30) of 2010.” International Journal of Cyber Criminology Vol. 7, No. 1,
(January-June 2013), 81-90. (diakses 1 Juni 2014).
BAB IV
CYBER TERRORISM DALAM HUKUM ISLAM

Islam adalah agama universal. Allah memberi rahmat kepada


umat Islam dengan diturunkannya Alquran sebagai pedoman hidup,
agar kehidupan umat manusia senantiasa selaras dengan ajarannya.
Alquran berisi kumpulan hukum syari’at yang sifatnya relevan dan
kekal. Segala macam peraturan yang bersangkutan dengan aspek
kehidupan manusia telah digariskan dalam Alquran, baik perkara
pidana maupun perdata. Nabi Muhammad SAW senantiasa menuntun
umatnya agar hidup berdampingan dan berkasih sayang, walaupun
dengan golongan yang berbeda keyakinannya. Aksi teror jelas telah
merusak citra agama. Di mana aksi ini mengedepankan permusuhan
dan penghancuran kelompok lain. Cyber terrorism yang merupakan
varian dari adanya aksi teror, hanya saja yang ditimbulkan di dunia
maya.1 Untuk itu peneliti menjadikan pembahasan terorisme sebagai
tolok ukur dan dasar pemikiran dalam mengkaji cyber terrorism
menurut hukum Islam. Karena adanya persamaan tujuan dan maksud
pelakunya. Pada Bab ini peneliti akan menjelaskan cyber terrorism
dalam hukum Islam.

A. Terorisme Menurut Islam


Kata teror berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan
kekejaman oleh seseorang atau golongan. Teroris adalah orang yang
menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya
untuk tujuan politik sedangkan terorisme adalah penggunaan
kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha untuk mencapai

1
James A. Lewis, Assesing the Risk of Cyber Terrorism, Cyber War and Other
Cyber Threats, Center for Strategic and International Studies (Washington D.C:
Center for Strategic & International Studies, 2002), 1. Lihat juga Dikdik M. Arief
Mansur & Eli Satris Gultom, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Infromasi, 65.
Lihat juga Mitko Bogdanoski and Drage Petreski, “ Cyber Terrorism-Global Security
Threat.” International Scientific Defence, Security and Peace Journal Vol. 2, No. 3,
(May 2013), 59-70. Lihat juga James A. Lewis. “ The Internet And Terrorism.”
American Society Of International Law Vol. 99, No. 3, (March-April 2005), 112-
115 http://www.jstor.org/stable/25659982 (diakses 8 Juni 2014).

125
126 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

suatu tujuan (terutama tujuan politik), praktik tindakan teror.2


Sedangkan menurut Jhon L. Esposito, terorisme adalah “terorism is
the liberate, unjustifiable and random use of violence for political ands
against protected person.” Jadi, secara bahasa teror disamakan dengan
kesewenang-wenangan, kekejaman, kebengisan, dan serupa dengan itu.
Sedangkan perbuatan teror dan penggunaan kekerasan dengan maksud
menimbulkan ketakutan guna mencapai suatu tujuan (seringkali tujuan
politik) disebut terorisme. Teroris adalah orang yang melakukan
perbuatan teror sebagaimana yang terkandung dalam pengertian
(bahasa) terorisme.3
Terorisme dengan pengertian yang sudah populer dalam
berbagai perbincangan dan tulisan di masa kini adalah sebuah
terminologi baru sebagai kata serapan di dalam kamus Islam.
Terminologi atau istilah ini tidak termasuk di dalam berbagai bentuk
kejahatan yang hukumannya diterangkan secara tekstual oleh syariat,
yaitu kejahatan pencurian, perampokan, pembegalan, perzinahan,
fitnah, keji, kejahatan minuman keras, pelacuran dan murtad. Di
samping ada pula kejahatan pembunuhan jiwa dengan sengaja dan
kejahatan terhadap berbagai anggota tubuh. Semuanya merupakan
kejahatan-kejahatan yang disyariatkan hukumannya yang dikenal
dengan hudu>d dan qis}a>s}.4 Dalam bahasa Arab istilah terorisme biasa
disamakan dengan kata al-irha>b (‫ )اﻻرھﺎب‬yang berasal dari pecahan
huruf ra-ha dan ba yang mengandung dua arti dasar; pertama menunjuk
pada ketakutan, kengerian (yadullu ‘ala> khiffati>n) yang kedua

2
Clive Walker. “ Keeping Control of Terrorists without Losing Control of
Constitutionalism.” Stanford Law Review Vol. 59, No. 5, (Mar 2007), 1395-1463
http://www.jstor.org/stable/40040361 (diakses 24 Mei 2014). Lihat juga Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1995), 1048.
3
Jhon L. Esposito, The Oxford Ensiclopedia of the Modern Islamic World
(New York: Oxford University Press, 1995), 205. Lihat juga Adjie, Terorisme, 11.
Lihat juga Randall Law, Terrorism: A History (Cambridge: Polity Press, 2009), 12.
Lihat juga Clive Walker. “ Keeping Control of Terrorists without Losing Control of
Constitutionalism.” Stanford Law Review Vol. 59, No. 5, (Mar 2007), 1395-1463
http://www.jstor.org/stable/40040361 (diakses 24 Mei 2014).
4
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Jiha>d (Kairo: Maktabah Wahbah, 2009), 721.
Lihat juga Muhammad Abu> Zahrah, Al-Jari>mah wa al-‘Uqubah fi> al-Fiqh al-Isla>mi>
(Kairo: Maktabat al-Angelo al-Mis}ri>yah, tth), 22.
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 127

mengandung arti tipis dan ringan (yadullu ‘ala> diqqati>n wa khiffati>n).


Terkait dengan judul ini tampaknya arti pertama yang relevan dengan
pembahasan. Makanya dalam bahasa Arab dikatakan ( ‫رھﺒﺖ اﻟﺸﻰء رھﺒﺎ‬
‫ )ورھﺒﺎ‬saya menakut-nakuti dengan suatu ketakutan. Dari pengertian
dasar inilah selanjutnya dipakai untuk menunjuk kata al-irha>biyyu>n
(‫)اﻻرھﺎﺑﯿﻮن‬, teroris yang dinisbatkan kepada orang-orang/kelompok
yang menempuh jalan kebengisan, kekejaman, dan menimbulkan
ketakutan kepada lawan-lawannya untuk mencapai target-target yang
diinginkan (biasanya target politik).5 Jadi, secara singkat bisa
dikatakan bahwa terorisme merupakan sebuah bentuk kekerasan
langsung atau tidak langsung, yang dikenakan pada sasaran yang tidak
sewajarnya mendapat perlakuan kekerasan itu, dan dengan aksi
tersebut dimaksudkan agar terjadi rasa takut yang luas di tengah-
tengah masyarakat. Bila seseorang meledakkan sebuah bom di masjid,
gereja, pasar, hotel, pertokoan atau dikerumunan orang maka teroris
yang meledakkan bom itu mengharapkan segera terjadi suasana
ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Semakin takut perasaan
masyarakat maka semakin berhasil gerakan terorisme. Namun kapan
sebenarnya istilah teror, teroris, dan terorisme muncul dalam
kehidupan umat manusia.
Sejauh yang dapat direkam oleh sejarah, wacana tentang aksi
teror sudah berlangsung sejak era Yunani kuno. Sejarawan Yunani,
Xenophon (430-349 SM), pernah mengulas tentang manfaat dan
efektivitas perang urat syaraf untuk menakut-nakuti musuh. Tetapi
sulit diketahui kapan aksi teror mulai dilakukan. Ada yang
berpendapat, aksi teror seusia sejarah peradaban manusia itu sendiri.
Dengan demikian, aksi-aksi teror dapat dilacak dan ditelusuri dalam
setiap kurun sejarah peradaban manusia. Tidak terkecuali pada zaman
lahirnya agama Islam di tanah Arabia yang kurang lebih empat belas
abad yang lalu.6
5
Ahmad bin Faris bin Zakariya, Maqayis al-Lughah (Beiru>t: Da>r al-
Fikr,1994), 426. Lihat juga E.W Lane, Arabic-English Lexicon (England: The
Islamic Texts Society,1984), 1168. Lihat juga Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasit}
(Beiru>t: Da>r al-Fikr, tth), 376. Lihat juga ‘Abd al-Qadir ‘Audah, Al-Tashri’ al-Jina’i>
al-Isla>mi> (Beirut: Da>r al-Kitab al-‘Arabi>, tth), 569.
6
Dikdik M. Arief Mansyur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum
Teknologi Informasi, 63. Lihat juga Joel Busher, “ Introduction: Terrorism and
Counter-terrorism in Sub-Saharan Africa”. Journal of Terrorism Research Vol. 5, No.
1, (May 2014), 1-3. Lihat juga Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Jiha>d, 723. Lihat juga
Iya>d Ali al-Durah, “Al-Irha>b al-Iliktru>ni”, Majalat al-ma’lu>ma>tiyah (May 2012).
128 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Tidak jarang pula, tindakan terorisme dilakukan kaum


fanatik/militan yang bersifat religius. Sikap militansi ini bisa timbul
dalam setiap agama tanpa terkecuali. Kelompok militan, fanatik dan
radikal bisa timbul di kalangan agama Hindu, Budha, Yahudi, Kristen,
Islam dan sebagainya. Golongan fanatik ini cendrung menegasikan
yang lain. Kalangan ini sebagai salah satu ladang subur lahirnya dan
timbulnya pelaku-pelaku terorisme, munculnya orang-orang yang
terpaksa meyakini tindak kekerasan adalah satu-satunya jalan
pembebasan bagi mereka. Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa
terorisme pada mulanya berarti tindakan kekerasan disertai dengan
sadisme yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti lawan. Akan tetapi
dalam perkembangannya lebih lanjut terjadi transformasi makna,
misalnya dalam kamus adikuasa, terorisme adalah tindakan protes
yang dilakukan oleh negara-negara atau kelompok-kelompok kecil
terhadap kepentingan-kepentingan negara-negara kuat. Dalam konteks
Islam, pengertian terorisme menjadi netral bahkan positif dalam hal-
hal tertentu ketika term terorisme disepadankan dengan term al-Irha>b
(‫ )اﻻرھﺎب‬yang merupakan musytaq (pecahan kata) dari kata kerja ra-ha-
ba, yang berarti menakutkan, mengancam, dan mengerikan.7 Yang
mengidentikkan terorisme dengan al-irha>b merujuk kepada QS.al-
Anfa>l 8: 60,
            

            

        


Artinya: dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh
7
Muhammad Abu> Zahrah, Al-Jari>mah wa al-‘Uqubah fi> al-Fiqh al-Isla>mi>, 22.
Lihat juga David T. Hill. “East Timor and the Internet: Global Political Leverage
in/on Indonesia.” Southeast Asia Program Publications at Cornell University Vol. 2,
No. 73, (Apr 2002) Article DOI: 10.2307/3351468, 25-51 http://www.jstor.org/
stable/3351468 (diakses 13 Juni 2014). Lihat juga Jenny Teichman. “How to Define
Terrorism.” Cambridge University Press on behalf of Royal Institute of Philosophy
Vol. 64, No. 250, (Oct 1989), 505-517 http://www.jstor.org/stable/3751606 (diakses
23 Mei 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 129

Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu
nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Dalam ayat ini digunakan kata turhibu>na. Menurut Muhammad
Isma>i>l Ibra>him dalam Mu’jam al-Alfaz} wa al-I’lam Alquraniyah,
memberikan penjelasan tentang kata al-Irha>b, dengan akhafahu wa
afz}a’ahu (menakut-nakuti dan mengejutkannya). Jika kata al-Irha>b
dalam bahasa Arab modern digunakan sebagai pengganti kata “teror”,
maka dapat disimpulkan, bahwa Allah memerintahkan agar kaum
Muslimin menjadi “teroris”, yakni menimbulkan rasa takut dan gentar
pada musuh-musuh Allah dan kaum Muslimin. Kesulitan
pendefenisian ini semakin bertambah, karena istilah terorisme hampir
sepenuhnya digunakan secara pejoratif untuk mengacu kepada
tindakan-tindakan kekerasan yang di jalankan kelompok atau
organisasi oposisi yang dipandang berada di luar mainstream tatanan
dan norma politik mapan. Memang amat mudah menuding kegiatan
kelompok-kelompok kecil yang aneh dan menyimpang sebagai teror
dengan mengabaikan terorisme resmi yang dipraktikkan sejumlah
rezim dan pemerintah tertentu.8
Menurut Yu>suf al-Qarad}a>wi>, irha>b (teror) sebagaimana yang
disebutkan di dalam Alquran (QS.al-Anfa>l 8: 60) tidak diragukan lagi
tentang legalitasnya, tanpa ada seorang pun yang membantah. Namun,
kata ini bukanlah yang dimaksud dengan istilah yang dikenal luas pada
masa sekarang. Sebab, teror yang disyariatkan ini maksudnya adalah
mempersiapkan kekuatan sesuai kemampuan dan memobilisasi
pasukan. Termasuk di dalamnya kekuatan prajurit-prajurit terlatih
serta kekuatan material, dengan mempersiapkan berbagai jenis
persenjataan modern dan kendaraan perang serta keahlian dalam

8
Muhammad Isma>i>l Ibra>hi>m, Mu’jam al-Alfaz} wa al-I’lam Al-Qur’a>niyah
(Kairo: Da>r al-Fikr al-Arabi, 1969), 212. Lihat juga Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-
Jiha>d, 721-724. Lihat juga Kristopher K. Robison and Others. “ Ideologies of
Violence: The Social Origins of Islamist and Leftist Transnational Terrorism.”
Oxford University Press Vol. 84, No. 4, (Jun 2006), 2009-2026 http://www.jstor.org/
stable/3844487 (diakses 14 Juni 2014). Lihat juga Sadik J. Al-Azm. “ Islam,
Terrorism and the West Today.” Brill New Series Vol. 44, No. 1, (May 2004), 114-
128 http://www.jstor.org/stable/1571337 (diakses 5 Juni 2014).
130 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

menggunakan dan mengaktifkannya, yaitu apa yang dimaksud oleh


Alquran dengan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang. Kuda di
masa sekarang adalah tank-tank, kendaraan-kendaraan lapis baja dan
berbagai jenis kendaraan tempur lainnya di darat, laut maupun udara.
Inilah kendaraan-kendaraan yang digunakan di masa sekarang dalam
berbagai medan tempur. Hukum itu berputar mengikuti ‘illat-nya ada
dan tiadanya.
Alquran yang mulia ini menjelaskan pula tentang tujuan dari
mempersiapkan kekuatan yang disanggupi, yaitu untuk “menggetarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang yang selain mereka yang
kamu tidak dapat mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa
saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan
cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiya (dirugikan)”(al-Anfa>l 8:
60). Nas} ini jelas menerangkan tentang tujuan dari persiapan tersebut
yaitu menimbulkan rasa gentar dan takut pada diri musuh Allah. Tidak
diragukan lagi inilah teror yang disyariatkan. Diharapkan dengan teror
ini musuh menjadi tidak akan berani menyerang apabila tahu yang
diserang memiliki kekuatan militer yang dapat mengalahkannya,
sehingga mereka akan berpikir seribu kali sebelum melancarkannya.
Hal yang pasti kata terorisme dengan kemutlakannya menurut
Y>u>suf al-Qarad}a>wi> merupakan kata terjemahan dari bahasa-bahasa
Barat dan dari mereka pula pengertiannya beralih kepada bahasa arab.
Sayangnya sampai hari ini mereka tidak dapat memberikan batasan
yang pasti mengenai pengertiannya agar dapat melenyapkan
kesamaran dan ketidakjelasan. Amerika sengaja membiarkan
pengertiannya mencair dan mengambang, sehingga dapat menampung
setiap apa dan siapa pun yang hendak dimasukkannya padanya.
Bahkan orang-orang yang berjuang membela tanah air mereka,
mempertahankan kesucian dan kehormatan mereka, menentang dan
mengusir para penjajah dan pencaplok negeri mereka bisa saja
dimasukkan dalam pengertian ini.9

9
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Jiha>d, 722-723. Lihat juga Muhammad Hasbi al-
Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 478-
479. Lihat juga Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
25. Lihat juga Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005),
269. Lihat juga Bettina Graf. “ Yūsuf al-Qaraḍāwī in Cyberspace.” Brill New Series
Vol. 47, No. 3-4, (May 2007), 403-421 http://www.jstor.org/stable/20140785
(diakses 3 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 131

Sebagaimana dimasukkan pula padanya orang-orang yang


menjadi donatur pada yayasan-yayasan sosial, panti-panti asuhan
anak-anak yatim dan lembaga-lembaga bantuan untuk korban perang
dan bencana alam. Sampai-sampai hampir seluruh lembaga sosial
Islam dicap sebagai teroris atau pendukung terorisme. Sehingga orang
Muslim takut untuk mengeluarkan zakatnya padahal merupakan fard}u
‘ayn dan salah satu dari rukun Islam dan mendistribusikannya kepada
para mustahiqnya, lantaran akan dituding mendanai kegiatan
terorisme.
Hal yang tidak perlu diperdebatkan lagi adalah bahwa
perlawanan warga suatu negara terhadap pasukan pendudukan
(penjajah) merupakan perkara yang disyariatkan bagi setiap warganya.
Tidak diingkari oleh syariat samawi, tidak pula oleh undang-undang
dan perjanjian internasional. Di antaranya adalah penyerangan yang
dilakukan oleh orang-orang Palestina, yang tanah airnya diduduki,
terhadap warga negara Israel atau para pemukim Israel, atau
penawanan sejumlah perwira atau tentara Zionis atau menculik dan
menyandera mereka, dengan tebusan pembebasan tawanan orang-
orang palestina, atau dengan tebusan kesediaan Zionis meninggalkan
wilayah yang diduduki dan tentaranya dari tanah air.10
Pembebasan orang-orang yang dipenjara dan para tawanan
Palestina atau pengusiran pasukan pendudukan dari tanah air adalah
tujuan yang disyariatkan. Sedang perlawanan sejumlah perwira Zionis
dan menyandera mereka juga merupakan cara yang disyariatkan. Di
antaranya pula yaitu apa yang disebut dengan plilihan untuk
melakukan amaliya>t ishtishha>diyah (operasi bom syahid) untuk
melakukan musuh dan menciptakan ketakutan di hati putra-putrinya,
maka tindakan ini merupakan tujuan yang disyariatkan dan caranya
juga disyariatkan. Pembelaan seseorang terhadap jiwanya, keluarga,
dan tanah airnya serta perlawanan yang dilakukannya terhadap
pasukan pendudukan yang merampas tanah airnya dan mengeluarkan

10
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Jiha>d, 736. Lihat juga Iya>d Ali al-Durah, “ Al-
Irha>b al-Iliktru>ni,” Majalat al-ma’lu>ma>tiyah (2012). Lihat juga Bettina Graf. “ Yūsuf
al-Qaraḍāwī in Cyberspace.” Brill New Series Vol. 47, No. 3-4, (May 2007), 403-
421 http://www.jstor.org/stable/20140785 (diakses 3 Juni 2014). Lihat juga Carlos
Pestana Barros and Isabel Proenca. “ Mixed Logit Estimation of Radical Islamic
Terrorism in Europe and North America: A Comparative Study.” Sage Publications,
Inc Vol. 49, No. 2, (Apr 2005), 298-314 http://www.jstor.org/stable/30045113
(diakses 23 Mei 2014).
132 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

darinya dengan besi serta api, tidak diragukan merupakan perkara yang
disyariatkan yang diakui oleh berbagai syariat samawi, filsafat moral,
perjanjian internasional dan undang-undang Positif. Ini telah dikenal
oleh berbagai bangsa dan umat sepanjang sejarah, bahkan itu fitrah
yang Allah ciptakan manusia padanya. Hingga jasad yang hidup akan
menyerang setiap mikroba atau benda asing yang memasukinya.
Perhatian ilahiah telah menyediakan perlindungan dari serangan benda
asing tersebut, demi untuk menjaga kehidupan manusia dan kesehatan
fisiknya. Terorisme yang tidak disyariatkan menurut al-Qarad}awi>
adalah sesuatu yang tujuan dan caranya tidak syariatkan, berarti
merupakan terorisme yang diharamkan dan munkar, yaitu seperti yang
dilakukan oleh raja-raja kartel obat bius yang melakukan berbagai
operasi dan penyerangan dengan membunuh orang-orang yang tidak
berdosa serta orang-orang yang berhak mendapatkan rasa aman untuk
melindungi perdagangan mereka dan kekayaan mereka, yang
dengannya mereka menghancurkan kesehatan umat manusia, akal
pikiran mereka, keamanan mereka, dan kehidupan mereka.
Contoh jenis ini ialah kejahatan yang dilakukan oleh geng-geng
mafia di negara-negara Eropa dan lainnya, yang melakukan penculikan
para hakim, pengacara, dan para pemimpin untuk memaksakan agar
dipenuhinya berbagai tuntutan mereka, seperti pelepasan beberapa
orang rekan mereka yang ditahan karena terlibat kriminalitas dan
sebagainya, ini merupakan hal-hal yang tidak diragukan lagi
ketidaksahannya. Jadi, mereka itu tujuan maupun caranya tidak
disyariatkan. Termasuk terorisme jenis ini ialah terorisme yang
dilakukan oleh Zionis Israel yang melatarbelakangi lahirnya
organisasi-organisasi terorisme mereka yang dikenal dengan geng
Haganah, Irgun, dan lain-lain. Yaitu organisasi yang memutuskan
untuk merampas tanah dari pemiliknya yang sah, mengeluarkan
mereka dari tanah airnya dan mengusirkan mereka ke berbagai penjuru.
Ini jelas tujuannya tidak disyariatkan melalui barometer apa pun;
moral, agama, dan undang-undang.11

11
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Jiha>d, 737. Lihat juga M. Saleh Mathar, “ Jihad
dan Terorisme Kajian Fikih Kontemporer,” Jurnal Hunafa Vol. 6. No.1, (April 2009)
117-128. Lihat juga Muzaffar Assadi. “ Fatwa, Terrorism and Jehad.” Economic and
Political Weekly Vol. 43, No. 31, (Aug 2008), 16-18 http://www.jstor.org/stable/
40277794 (diakses 9 Juni 2014). Lihat juga Max Abrahms. “ What Terrorists Really
Want: Terrorist Motives and Counterterrorism Strategy.” The MIT Press Vol. 32,
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 133

Perampasan tanah air dari pemiliknya dan pengusiran mereka adalah


kriminal. Di samping tujuan yang tidak disyariatkan, ternyata dalam
mencapainya pun mereka menggunakan cara-cara biadab, yaitu dengan
mengusir para pemilik dari tanah yang telah mereka tempati selama
puluhan abad, sebelum Islam maupun sesudahnya. Tindakan tersebut
jelas merupakan kekerasan berdarah, kekejaman tanpa batas,
intimidasi terus menerus dan teror yang tiada hentinya, sehingga
mereka melarikan diri dari tanah air mereka dalam keadaan panik dan
membiarkannya buat para perampasnya agar bisa dinikmatinya, seperi
hal pencuri yang menikmati hasil curiannya yang tidaklah sedap dan
tidak pula baik akibatnya. Itulah yang dilakukan Zionis dalam tragedi
pembantaian di Da>r Yassin.
Dalam tragedi ini mereka merobek perut wanita yang sedang
hamil dan mengeluarkan janinnya seraya mempermainkannya dengan
senjata-senjata mereka tanpa rasa belas kasihan sambil tertawa-tawa
dan menari-nari untuk memuaskan hasrat membunuh mereka terhadap
kaum Muslimin. Kemudian kekejaman diperkampungan ini sengaja
mereka sebarkan di seluruh penjuru Palestina untuk menebarkan
ketakutan kepada seluruh penduduknya, sampai-sampai tokoh Israel,
Menacem Begin pernah mengatakan, “kalau tidak karena pembantaian
di Da>r Yassin, Israel pun tidak pernah berdiri.”12
Adapun jika tujuan disyariatkan, akan tetapi caranya tidak, ini
juga termasuk terorisme yang tidak disyariatkan. Sebab, Islam tidak
mengakui prinsip tujuan menghalalkan cara. Islam tidak menerima
prinsip mencapai tujuan dengan cara-cara yang tidak bersih.
Contohnya, pembajakan pesawat terbang yang ditumpangi warga sipil

No. 4, (Spring 2008), 78-105 http://www.jstor.org/stable/30129792 (diakses 13 Juni


2014).
12
Bettina Graf. “Yūsuf al-Qaraḍāwī in Cyberspace.” Brill New Series Vol. 47,
No. 3-4, (May 2007), 403-421 http://www.jstor.org/stable/20140785 (diakses 3 Juni
2014). Lihat juga Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Jiha>d, 738. Lihat juga Barak
Mendelsohn. “Bolstering the State: A Different Perspective on the War on the Jihadi
Movement.” Wiley on behalf of The International Studies Association Vol. 11, No.
4, (Dec 2009), 663-686 http://www.jstor.org/stable/International Studies Review
(diakses 12 Mei 2014). Lihat juga Daniel Gordis, Menachem Begin: The Battle for
Israel’s Soul (New York: Knopf Doubleday Publishing Group, 2014), 9-15. Lihat
juga Harry Zvi Hurwitz, Peace in the Making: The Menachem Begin-Anwar El-
Sadat Personal Correspondence (Jerusalem, Gefen Publishing House, 2011), 52.
Lihat juga Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke
Dominasi sekular-liberal (Jakarta, Gema Insani Press, 2005), 213.
134 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

yang tidak bersalah dan tidak ada persoalan antara mereka dengan
pelaku. Mereka sama sekali tidak mengenal dan tidak tahu siapa
mereka, tetapi hanya takdir dan nasib buruklah yang mengantarkan
mereka terjebak ke dalam perangkap mereka dan menjadikan mereka
berada di bawah belas kasihan mereka. Mereka gunakan para sandera
tersebut untuk mengancam orang lain sebagai musuh mereka; bisa
dengan memenuhi berbagai tuntutan mereka atau mereka akan
meledakkan pesawat berikut para penumpangnya, atau mereka
membunuh para penumpang satu persatu supaya musuh mereka tahu
bahwa mereka serius pada apa yang mereka katakan, dan mereka tidak
akan menahan diri dari melaksanakan apa yang mereka ancamkan.
Padahal pokok syariat yang diyakini berbunyi: “(yaitu) bahwasanya
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. al-
Najm :38).13
Sejak sekitar dua puluh tahun yang lalu Yu>suf al-Qarad}a>wi>
telah menerbitkan sebuah fatwa tentang pengharaman pembajakan
pesawat, setelah peristiwa pembajakan pesawat milik maskapai
penerbangan Kuwait. Pembajakan ini dilakukan oleh beberapa orang
Palestina, dalam peristiwa itu mereka menyandera para penumpangnya
selama enam belas hari dan membunuh salah seorang dari mereka serta
melemparkan dari pintu pesawat. Kasus serupa adalah penyanderaan
orang-orang yang tak berdosa dan ancaman akan membunuh mereka
apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi. Contoh kasus ini seperti
dilakukan oleh kelompok gerilyawan Abu> Sayyaf di Filipina. Sama
halnya pula dengan tindakan menyerang dan membunuh para turis,
seperti peristiwa penembakan para turis di Mesir, pengeboman tempat-
tempat wisuda di Bali, Indonesia, dan peristiwa lain di al-Jazair.14

13
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Jiha>d, 738. Lihat juga M. Saleh Mathar, “Jihad
dan Terorisme Kajian Fikih Kontemporer,” Jurnal Hunafa Vol. 6. No.1, April 2009:
117-128. Lihat juga Gary R, Bunt. “Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas
and Cyber Islamic Environments.” London and Sterling, Virginia: Pluto Press,. The
American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 21, No. 4, (May 2003), 237
(diakses 5 Juni 2014).
14
Bettina Graf. “Yūsuf al-Qarad}āwī in Cyberspace.” Brill New Series Vol. 47,
No. 3-4, 2007, [403] of 403-421 http://www.jstor.org/stable/20140785 (diakses 3
Juni 2014). Lihat juga David T. Hill. “East Timor and the Internet: Global Political
Leverage in/on Indonesia.” Southeast Asia Program Publications at Cornell
University Vol. 2, No. 73, (Apr 2002), Article DOI: 10.2307/3351468, 25-51
http://www.jstor.org/stable/3351468 (diakses 13 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 135

Perbuatan ini semua merupakan tindakan terorisme yang tidak


dapat disyariatkan, karena cara yang digunakan tidak dibenarkan.
Sebab, didasarkan pada penyiksaan orang-orang yang tak berdosa yang
tidak terlibat sama sekali dengan dosa-dosa orang lain. Qa>’idah
shari’ah yang disepakati berbunyi “(yaitu) bahwasanya seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Ini semua apabila
diasumsikan bahwa tujuannya dibenarkan seperti yang diklaimkan oleh
para pelaku. Islam sangat serius menetapkan legalitas cara yang
digunakan sama seriusnya dengan menentukan tujuan yang hendak
dicapai.15
Terorisme secara potensial terdapat diberbagai masyarakat di
dunia, hanya aktualisasinya sangat tergantung pada kerawanan kondisi
sosial, ekonomi, politik, dan psikologis. Sebaliknya, gerakan terorisme
bisa juga muncul dilingkungan atheis dan komunis. Kaum atheis dan
komunis melancarkan teror untuk menghancurkan agama yang
dianggap sebagai kekuatan penghambat dalam mengejar cita-citanya.
Spektrum jihad dalam ajaran Islam sebetulnya sangat luas. Namun
dalam kenyataan tidak jarang orang melakukan simplikasi makna jihad
semata-mata untuk dijadikan alat pembenar bagi tindakannya yang
justru melenceng dari makna jihad itu sendiri. Dalam bahasa Arab
sendiri, kata jihad mempunyai akar kata ja-ha-da yang mengandung
arti bersungguh-sungguh, berusaha keras dan berjuang melaksanakan
atau mencapai sesuatu. Oleh karena itu, dalam masyarakat Arab lama,
sumpah, janji atau akad penting/sakral disebut dengan jahda al-ayma>n
yang berarti “harus ditegakkan dengan sungguh-sungguh.”16
Pada awal pewahyuan Alquran, istilah jihad mengisyaratkan
makna pengorbanan dan perjuangan manusia dalam hubungannya
dengan Tuhannya yang tidak selalu berarti konfrontasi fisik dengan

15
Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fiqh al-Jiha>d, 739. Lihat juga Muhammad Ibn Ali al-
Syaukani, Nail al-Aut}ar, Juz VII, (Saudi Arabia: Ida>rah al-Buhu>s al-‘Ilmiyah, tth),
249. Lihat juga Adnan A. Musallam. “ From Secularism to Jihad: Sayyid Qutb and
the Foundations of Radical Islamism.” Middle East Journal Vol. 60, No. 4, (Autumn
2006), 777-788 http://www.jstor.org/stable/4330322 (diakses 10 Juni 2014).
16
Al-Raghib al-Asfahani>, Mu’jam Mufradat al-Faz} Al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-
Kutub, 2008), 99. Lihat juga M. Saleh Mathar, “ Jihad dan Terorisme Kajian Fikih
Kontemporer,” Jurnal Hunafa Vol. 6, No.1,(April 2009), 117-128.
136 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

musuh yang jelas, walaupun alternatif ini lebih dominan dalam ayat-
ayat tentang jihad dan qita>l selanjutnya. Dalam periode Mekkah, Nabi
berjihad melalui tindakan persuasif dengan memperingatkan
masyarakat Mekkah tentang kekeliruan penyembahan berhala dan
sebaliknya menyeru mereka menyembah Allah. Sebaliknya dalam
ayat-ayat Madaniah jihad sering diekspresikan dalam pengertian
“mengerahkan segenap upaya untuk berperang dimedan tempur.”
Seperti dalam QS. al-Tawbah 9: 41 sebagai berikut,
           

    


Artinya: Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan
maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan
Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.
Pengasosiasian jihad dengan perang juga terlihat dalam sekian
hadis-hadis Nabi misalnya menyangkut keutamaan jihad:

Artinya: Sesungguhnya Abu Hurairah mengatakan bahwa aku telah


mendengar Rasulullah saw bersabda: perumpamaan orang-orang yang
berjihad di jalan Allah, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang
berjihad di jalan-Nya. Bagaikan orang-orang yang berpuasa disiang
hari dan shalat malam dimalam hari. Maka Allah berpasrah bagi para
mujahid di jalan-Nya kalau Ia (Allah) mewafatkannya maka Allah
akan memasukkannya ke Surga atau Allah akan mengembalikannya
(dari peperangan) dalam keadaan selamat dengan menyandang upeti
atau harta rampasan.17

17
Muhyiddi>n al-Nawa>wi>, S}ahi>h Muslim bi Sharah} al-Nawa>wi> (Beirut: Da>r al-
Ma’rifah, 1996), 23. Lihat juga Maghaireh, Alaeldin. “ Shariah Law and Cyber-
Sectarian Conflict: How can Islamic Criminal Law respond to cyber crime?.”
International Journal of Cyber Criminology Vol. 2, No. 2, (July-December 2008),
337–345. (diakses 7 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 137

Karena itu, jumhur ulama berpendapat, kewajiban jihad dapat


ditunaikan dalam empat bentuk; dengan hati, lidah, tangan dan
pedang. Jihad bentuk pertama berkenaan dengan perlawanan terhadap
iblis dan rayuannya kepada manusia untuk melakukan kejahatan; jihad
internal, jihad melawan hawa nafsu dipandang sangat penting,
sehingga disebut al-jiha>d al-akbar. Jihad jenis kedua dan ketiga di
jalankan terutama untuk menegakkan kebenaran dan mencegah
kemungkaran. Jihad jenis keempat sama artinya dengan perang dan
berkenaan dengan pertempuran melawan orang-orang kafir dan musuh-
musuh Islam.18 Adapun hukum jihad dalam arti perang adalah fard}u
kifa>yah, yang berarti bahwa apabila sudah terdapat satu unsur dari
(individu) kelompok kaum Muslimin yang menanganinya secara
optimum, maka unsur-unsur lainnya sudah bebas dari tuntutan. Akan
tetapi jika ternyata belum ada yang menanganinya sedangkan unsur-
unsur dari kelompok tersebut mampu dan menguasai tugas tersebut,
maka semuanya berdosa. Meskipun perang itu fard}u kifa>yah, namun
dalam situasi tertentu berperang itu dapat meningkat menjadi
fard}u‘ayn seperti: pertama, apabila berada dalam pertempuran, maka
setiap individu diharamkan mengundurkan diri. Kedua, apabila musuh
menyerang dan mengepung wilayah, maka setiap orang wajib
mempertahankannya. Ketiga, apabila komandan pasukan telah
mengumumkan seruan umum untuk berperang.19
Masalah jihad telah mendapat perhatian para fuqaha> sejak masa
paling awal dalam perumusan fikih. Kitab al-Muwat}a oleh Imam
Malik bin Anas dan kitab al-Kharaj oleh Abu> Yu>suf (Ya’ku>b bin
Ibra>hi>m al-Ans}a>ri) merupakan literatur pertama yang membahas
ketentuan fiqhiyah jihad secara rinci. Dan sejak masa-masa
pembentukan doktrin fikih ini istilah jihad secara alamiah diartikan
sebagai perang yang memperluas ranah kekuasaan dan pengaruh Islam.
Sejarawan dan ahli tafsir Islam al-T}abari>, mengemukakan bahwa
terdapat ayat-ayat Alquran yang memberikan justifikasi untuk
melakukan jihad dengan tujuan membuat dunia tahu tentang jalan
ilahi, sehingga manusia dapat mengikuti kemauan Tuhan sebagaimana

18
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, juz VI (t.tp: al-Maktabah
al-Salafiyah, t.th.), 3. Lihat juga Muzaffar Assadi. “ Fatwa, Terrorism and Jehad.”
Economic and Political Weekly Vol. 43, No. 31, (Aug 2008), 16-18 http://www.
jstor.org/stable/40277794 (diakses 9 Juni 2014).
19
Muhyiddi>n al-Nawa>wi>, S}ahi>h Muslim bi Sharah al-Nawa>wi>, 11-12.
138 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

disampaikan melalui Islam. Di sini jihad dipandang hampir sama atau


berkaitan dengan dakwah Islam.20
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, jihad lebih berkaitan
dengan politik ketimbang dakwah. Ibn Taimiyah misalnya berpanda-
ngan bahwa kekuasaan politik merupakan kebutuhan tak terelakkan
bagi kehidupan sosial. Tugas menegakkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran hanya bisa ditunaikan sepenuhnya dengan kekuasaan
politik. Bagi Ibn Taimiyah jihad begitu penting sehingga ia sampai
pada kesimpulan subtansi agama adalah s}alat dan jihad. Ibn Khaldu>n
menyatakan bahwa merupakan tugas pokok raja untuk melancarkan
jihad terhadap musuh-musuh Allah. Bahkan tugas ini merupakan
kewajiban bagi setiap Muslim untuk mewujudkan universalisme Islam.
Salah satu ciri yang menonjol dari berbagai pemikiran tentang jihad
pada abad pertengahan ini adalah bahwa, konsep-konsep yang ada
bertujuan mengungkapkan ketentuan-ketentuan syari’ah tentang hal
ini, khususnya dalam hubungannya dengan politik. Karena otoritas
syari’ah tetap dominan, tidak ada kebutuhan untuk melakukan
justifikasi dan rasionalisasi atas pemikiran jihad.21
Karenanya pemikiran jihad abad pertengahan lebih cenderung
legalistik. Sebaliknya dimasa modern, ketika kaum Muslimin
dihadapkan dengan tantangan militer, intelektual, dan kultural Barat,
pemikiran tentang jihad yang dikemukakan berbagai pemikir Muslim
modern cenderung kurang legalistik. Sebaliknya mereka memberikan
banyak justifikasi dan rasionalisasi terhadap konsep-konsep jihad.
Tegasnya, terdapat dua macam bentuk pembahasan modern tentang
jihad. Yang pertama adalah revolusioner yang berusaha membuktikan
bahwa jihad merupakan metode yang absah untuk mencapai cita-cita
Islam. Yang kedua adalah apologetik, yang bertujuan membuktikan
bahwa Islam bukanlah agama kekerasan dan perang. Demikianlah
Hasan al-Banna (terbunuh tahun 1948) pendiri al-Ikhwa>n al-Muslimu>n
misalnya, menyerang pandangan bahwa jihad lebih berarti sebagai

20
Malik bin Anas, Muwat}a Malik (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), 276-292. Lihat juga
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-T}abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n, juz
XVII (Beirut: Da>r al-Fikr, 1978), 82-84. Lihat juga Ibn Taimiyah, al-Siya>sah al-
Shari’ah (Kairo: Maktabah Ans}ar al-Sunnah, 1961), 112.
21
Ibn Taimiyah, al-Siya>sah al-Shari’ah, 112. Lihat juga Maghaireh, Alaeldin. “
Shariah Law and Cyber-Sectarian Conflict: How can Islamic Criminal Law respond
to cyber crime?.” International Journal of Cyber Criminology Vol. 2, No. 2, (July-
December 2008), 337–345. (diakses 9 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 139

perjuangan spiritual, bahwa perjuangan melawan hawa nafsu dalam


diri sendiri atau al-jiha>d al-akbar lebih utama daripada al-jiha>d al-
asghar atau perang melawan musuh-musuh Islam. Dalam buku Risalat
al-Jiha>d, al-Banna berpandangan bahwa pengertian jihad seperti di atas
sengaja disebarkan musuh-musuh Islam untuk melemahkan perjuangan
bersenjata kaum Muslimin melawan penjajahan.22
Sayyid Quthb, (dihukum mati tahun 1966), pelanjut al-Banna
berpandangan bahwa jihad adalah kelanjutan dari politik Tuhan. Jihad
adalah perjuangan politik revolusioner yang dirancang untuk melucuti
musuh-musuh Islam, sehingga memungkinkan kaum Muslimin
menerapkan ketentuan-ketentuan syari’ah yang selama ini diabaikan
atau bahkan ditindas oleh Barat dan rezim-rezim opresif di dunia
Muslim sendiri. Terakhir Abul A’la al-Maududi (wafat 1979)
berpandangan bahwa jihad adalah perjuangan yang harus dilakukan
oleh kaum Muslim untuk mewujudkan cita-cita Islam sebagai sebuah
gerakan revolusioner internasional. Jihad sebagai perjuangan politik
dan bersenjata revolusioner dilakukan tidak hanya untuk kepentingan
kelompok tertentu, tetapi terhadap semua penindas. Konsekwensinya,
penumbangan dan perampasan kekuatan politik adalah tujuan dan
sentral jihad. Menyimak pemikiran al-Banna, Sayyid Quthb, dan al-
Maududi tentang jihad, jelas bahwa diskursus kontemporer tentang
jihad semakin kompleks. Sayyid Quthb dan al-Maududi tidak hanya
bergerak pada tingkat konseptual, tetapi bahkan merumuskan program
dan kerangka praksis untuk melancarkan jihad. Organisasi-organisasi
yang mengikuti cara pandang ketiga tokoh ini bahkan membentuk
kelompok paramiliter yang bertugas melancarkan aktivitas-aktivitas
militer untuk menumbangkan musuh-musuh Islam, baik Barat maupun
kalangan Muslim sendiri.23

22
Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, 1998),
126-151. Lihat juga Adnan A. Musallam. “From Secularism to Jihad: Sayyid Qutb
and the Foundations of Radical Islamism.” Middle East Journal Vol. 60, No. 4,
(Autumn 2006), 777-788 http://www.jstor.org/stable/4330322 (diakses 10 Juni
2014). Lihat juga Anthony Richards. “The Problem With 'Radicalization': The Remit
Of 'Prevent' And The Need To Refocus On Terrorism In The UK.” Wiley on behalf
of the Royal Institute of International Affairs Vol. 87, No. 1, (January 2011), 143-
152 http://www.jstor.org/stable/20869615 (diakses 2 Juni 2014).
23
Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam, 154-170. Lihat juga Anthony
Richards. “The Problem With 'Radicalization': The Remit Of 'Prevent' And The
Need To Refocus On Terrorism In The UK.” Wiley on behalf of the Royal Institute
140 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Dalam konteks ini, kelompok-kelompok radikal semacam itu


merupakan buah dari politik resmi yang dilancarkan Barat maupun
rezim-rezim represif Muslim yang merupakan perpanjangan tangan
Barat belaka. Gerakan-gerakan radikal Muslim yang melakukan
terorisme atas nama jihad merupakan produk dari konspirasi
neokolonialisme adikuasa. Karena itu, selama konspirasi yang
bersumber dari hegemoni Barat dan sistem internasional masih
dominan, bisa diharapkan bahwa gerakan-gerakan radikal akan terus
melakukan teror. Konsep jihad yang semula berarti dakwah, ekspansi
da>r al-Isla>m, perluasan ranah kekuasaan Islam berubah menjadi senjata
sebagai medium perlawanan terhadap hegemoni terutama Barat.
Berkaitan dengan strategi penumpasan terorisme dalam
pandangan Islam, peneliti mencoba menawarkan beberapa solusi.
Setidaknya ada dua strategi/taktik yang berkaitan dengannya yakni
pertama; secara internal dalam ajaran agama itu sendiri dan yang
kedua; secara eksternal yang berkaitan dengan penciptaan iklim dan
tatanan dunia yang lebih adil dan menghargai harkat kemanusiaan.
Mengenai yang pertama, bahwa di abad modern ini ketika masyarakat
dunia semakin majemuk baik dalam keragaman etnis, budaya
kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam hal keyakinan
keagamaan, maka sudah saatnya menampilkan wajah Islam yang
ramah, beretika dan damai. Sebab pada dasarnya misi Islam yang
dibawa Nabi Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan etika
yang mulia atau membangun manusia yang bermoral.24
Agama Islam juga diarahkan sebagai rahmat bagi alam
semesta. Dari dua hal ini, Islam dapat dipahami sebagai sebuah ajaran
yang bersifat universal, untuk seluruh umat manusia. Begitu pula

of International Affairs Vol. 87, No. 1, (January 2011), 143-152 http://www.


jstor.org/stable/20869615 (diakses 2 Juni 2014).
24
Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam, 101-124. Lihat juga Carlos
Pestana Barros and Isabel Proenca. “ Mixed Logit Estimation of Radical Islamic
Terrorism in Europe and North America: A Comparative Study.” Sage Publications,
Inc Vol. 49, No. 2, (Apr 2005), 298-314 http://www.jstor.org/stable/30045113
(diakses 23 Mei 2014). Lihat juga Martin, Rudner.“ Hunters and Gatherers: The
Intelligence Coalition Against Islamic Terrorism.” International Journal of
Intelligence and Counter Intelligence Vol. 17, No. 2, (Aug 2010) DOI:
10.1080/08850600490274890, 17. (diakses 7 Juni 2014). Lihat juga Thomas M.
Franck. “ Terrorism and the Right of Self-Defense.” The American Journal of
International Law Vol. 95, No. 4, (Oct 2001) Article DOI: 10.2307/2674629, 839-
843 http://www.jstor.org/stable/2674629 (diakses 4 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 141

manusia semenjak eksisnya di muka bumi hingga mati diidealkan


untuk selalu menjaga harmonitas hidup. Hanya saja di sisi lain,
manusia juga memiliki dua karakter negatif yang dapat
membahayakan; yaitu ifs}a>d fi> al-Ard} (berkecenderungan membuat
kerusakan di muka bumi) dan safk al-dima’ (potensi konflik antar
sesama manusia). Dua karakter negatif ini sebagaimana firman Allah
ketika mendeskripsikan ungkapan protes para malaikat atas penciptaan
manusia sebagai khali>fah (mandataris Tuhan) di bumi. Kemudian
Tuhan menjawab bahwa untuk meluluhkan dua karakter negatif
manusia tersebut adalah dengan menurunkan ajaran agama. Maka
kehadiran agama tidak lain untuk mengikis sikap arogansi manusia
yang cenderung berbuat kerusakan dan memicu konflik antar sesama.25
Islam yang damai dapat dibuktikan dari peristiwa fath Makkah
(pembebasan Kota Mekkah) yang dilakukan oleh umat Islam pada
bulan Ramad}a>n. Mekkah perlu dibebaskan setelah sekitar 21 tahun
dijadikan markas orang-orang musyrik. Saat umat Islam mengalami
euforia atas keberhasilannya, ada sekelompok kecil sahabat Nabi
Muhammad SAW yang berpawai dengan meneriakkan slogan al-yaum
yaum al-malhamah, hari ini adalah hari penumpahan darah. Slogan ini
dimaksudkan sebagai upaya balas dendam mereka atas kekejaman
orang musyrik Mekkah kepada umat Islam. Gejala tidak sehat ini
dengan cepat diantisipasi oleh Nabi Muhammad SAW dengan
melarang beredarnya slogan tersebut dan menggantinya dengan, al-
yaum yaum al-marhamah, hari ini adalah hari kasih sayang. Akhirnya,
peristiwa pembebasan kota Mekkah dapat terwujud tanpa insiden
berdarah. Sejarah mencatat, ketika melaksanakan haji wada’
(perpisahan), Nabi Muhammad SAW memberikan khutbah yang
berbunyi,

.
Artinya: Sesungguhnya nyawa, harta, dan kehormatan kalian sangat
dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini
(Dhulhijah) dan negeri ini (Mekkah).26

25
QS. al-Anbiya> (21: 107). Lihat juga QS. al-Baqarah (2: 30-32).
26
Abu> ‘Abd Alla>h Muhammad bin Isma>i>l al-Bukha>ri>, Shahi>h al-Bukha>ri>, Juz I,
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1982), 43. Lihat juga Gary R, Bunt. “ Islam in the Digital Age:
142 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Khutbah Nabi Muhammad tersebut merupakan ajakan kepada


umat manusia (termasuk Islam) untuk menjunjung tinggi hak asasi
manusia serta bersikap harmonis. Nabi Muhammad SAW bahkan
menekankan bahwa barang siapa yang melanggar hak asasi manusia
berarti ia telah menginjak-injak kemuliaan hari Arafah, bulan
Dhulhijah, dan kota Mekkah. Maka tidak sangsi lagi bahwa Islam
adalah rahmat bagi semua makhluk Tuhan. Kedua, secara eksternal
yang berkaitan dengan penciptaan iklim dan tatanan dunia yang lebih
adil dan menghargai harkat kemanusiaan. Ketika tatanan dunia tidak
seimbang akan memicu lahirnya ketidakadilan dan kekerasan
struktural. Kekerasan struktural yang terdapat dalam dinamika dan
dialektika kekuatan-kekuatan global ini pada akhirnya mengejawan-
tahkan dirinya dalam proses-proses sosial, politik, dan ekonomi
negara-negara Islam.
Ini muncul, misalnya dalam bentuk represi politik, perampasan
hak-hak asasi manusia, pelenyapan hak untuk berbeda pendapat, yang
kemudian secara konstan menimbulkan situasi yang tidak stabil
(instabilitas) di negara-negara Islam yang bersangkutan. Kenyataan ini
mendorong terjadinya radikalisasi di dalam gerakan-gerakan Islam
semacam al-Ikhwa>n al-Muslimu>n, sehingga menimbulkan kelompok
al-takfi>r wa al-hijrah yang membunuh presiden Anwar Sadat di Mesir,
gerakan Fedayen Islam di Afrika Utara, berbagai organisasi rahasia di
Turki dan gerakan Ayatulla>h Khomeini di Iran yang berhasil
menumbangkan rezim tiran Syah Iran, dan semacam gerakan Mahdi
pimpinan Juhaiman Muhammad Otteibi yang menyerbu Masjid al-
Hara>m di Mekkah akhir 1979.27

E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environments”. London and Sterling,
Virginia: Pluto Press, The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 21, No.
4, (May 2003), 237 (diakses 13 Juni 2014).
27
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Pemikiran dari
Fundamentalisme, Modernisme hingga Posmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996),
188. Lihat juga Adnan A. Musallam. “ From Secularism to Jihad: Sayyid Qutb and
the Foundations of Radical Islamism.” Middle East Journal Vol. 60, No. 4,
(Autumn, 2006), 777-788 http://www.jstor.org/stable/4330322 (diakses 10 Juni
2014). Lihat juga Anthony Richards. “ The Problem With 'Radicalization': The
Remit Of 'Prevent' And The Need To Refocus On Terrorism In The UK.” Wiley on
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 143

Contoh lebih konkrit betapa dinamika kekerasan struktural


pada tingkat global sangat mempengaruhi situasi politik di kawasan-
kawasan Islam. Penciptaan negara Zionis Israel didukung oleh
superpower Barat di kawasan Palestina dan Arab yang secara
sistematis berupaya melenyapkan hak-hak sah bangsa Palestina telah
menimbulkan dinamika politik dan kekerasan yang bagaikan tak
kunjung berakhir. Munculnya gerakan-gerakan radikal di kalangan
Hamas yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan, teror, dan
sebagainya, tak bisa lain kecuali dipahami dalam kerangka struktur
global ini. Oleh karena itu, selama struktur global yang pincang itu
terus bertahan, agak sulit diharapkan lenyapnya gerakan-gerakan
radikal yang membawa-bawa semangat dan napas agama. Bahkan
gerakan-gerakan radikal yang merupakan realitas dalam masyarakat
manapun dan dapat membawa agama manapun akan terus menjadi
sesuatu kekuatan di masa datang, selama struktur yang ada tetap
merangsang terkristalisasinya gerakan-gerakan semacam itu. Tak
dapat dibantah kenyataan bahwa, di antara sebagian negara-negara
Muslim terdapat konflik, perlombaan senjata, dan bahkan peperangan.
Kenyataan ini menimbulkan kesan terdapatnya kontradiksi
dengan esensi ajaran Islam yang cinta damai itu. Sebelum terlanjur
menjatuhkan ‘vonis’ bahwa ajaran Islam tidak fungsional bagi
sementara pemeluknya, ada baiknya melihat pertentangan dan konflik
antar negara-negara Islam itu dalam kerangka global. Sebagaimana
dikemukakan di atas, ketegangan dan konflik di antara negara-negara
Muslim tertentu tidak terlepas dari suatu struktur kekerasan di muka
bumi. Gelombang ketegangan dan perlombaan persenjataan
melibatkan dinamika sangat kompleks, menyangkut berbagai aspek
yang muncul sebagai implikasi dari struktur kekerasan itu.28

behalf of the Royal Institute of International Affairs Vol. 87, No. 1, (January
2011), 143-152 http://www.jstor.org/stable/20869615 (diakses 2 Juni 2014).
28
Claude Berrebi and Esteban F. Klor. “On Terrorism and Electoral Outcomes:
Theory and Evidence from the Israeli-Palestinian Conflict.” The Journal of Conflict
Resolution Vol. 50, No. 6, (Dec 2006), 899-925 http://www.jstor.org/stable/
27638530 (diakses 5 Juni 2014). Lihat juga Lawrence A. Kuznar. “Rationality Wars
and the War on Terror: Explaining Terrorism and Social Unrest.” Wiley on behalf of
the American Anthropological Association New Series Vol. 109, No. 2, In Focus:
144 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Dari struktur itu muncul suatu dinamika berdasarkan hubungan


center (pusat) dan periferi (pinggiran). Negara-negara Muslim sebagai
“pinggiran” sangat dipengaruhi oleh dinamika militerisasi dan
persenjataan yang ditimbulkan negara-negara center. Meskipun usaha-
usaha perdamaian dan pelucutan persenjataan selalu diteriakkan, tetapi
konflik dan perang terjadi diberbagai bagian bumi. Hasilnya, himbauan
bagi penciptaan perdamaian, seolah-olah tak lebih daripada retorika
politik yang hampa. Terdapat alasan-alasan cukup kuat bagi negara-
negara maju untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan mereka
dalam berbagai lapangan kehidupan, khususnya ekonomi, politik dan
militer.29
Upaya mempertahankan hegemoni itu berkaitan dengan pola
konsumsi, gaya hidup, dan kepentingan-kepentingan ekonomi mapan
lainnya. Dalam kerangka “kekerasan struktural” yang mendunia itu,
kelihatan betapa lemahnya posisi negara-negara Islam vis a vis negara-
negara kuat pendukung struktur tersebut. Konflik dan ketegangan yang
terjadi di antara sementara negara Islam. Dalam banyak hal merupakan
imbas “hawa nafsu” yang dipancarkan negara-negara kuat. Agaknya
tak ada alternatif lain bagi negara-negara Islam kecuali merapatkan
barisan untuk sedapat mungkin membendung pengaruh kekuatan-
kekuatan eksternal. Jika tidak, negara-negara Islam hanya akan
menjadi korban kontinyu dari kekerasan struktural tersebut.
Terorisme sebagai praktik kekerasan sepenuhnya bertentangan
dengan etos kemanusiaan agama Islam. Islam mengajarkan etos
kemanusiaan yang sangat menekankan kemanusiaan universal. Islam
menganjurkan umatnya berjihad mewujudkan perdamaian, keadilan,
dan kehormatan, akan tetapi jihad itu haruslah tidak dilakukan dengan
cara-cara kekerasan atau terorisme. Setiap perjuangan jihad untuk

Children, Childhoods, and Childhood Studies (Jun 2007), 318-329 http://www.


jstor.org/stable/4496645 (diakses 13 Juni 2014).
29
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Pemikiran dari
Fundamentalisme, Modernisme hingga Posmodernisme, 188. Lihat juga Eric Rosand.
“ Security Council Resolution 1373, the Counter-Terrorism Committee, and the
Fight against Terrorism.” The American Journal of International Law Vol. 97, No.
2, (Apr 2003), Article DOI: 10.2307/3100110, 333-341 http://www.jstor.org/
stable/3100110 (diakses 3 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 145

keadilan haruslah dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah


konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia.
Islam memang menganjurkan dan memberi justifikasi kepada Muslim
untuk berjuang, berperang (al-harb), dan menggunakan kekerasan
(qita>l) terhadap para penindas, musuh-musuh Islam, dan pihak luar
yang menunjukkan sikap bermusuhan dan tidak mau hidup
berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum Muslim.30
Islam sebagai agama yang mengemban misi rahmat bagi
seluruh alam jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan demi
untuk mencapai tujuan-tujuan termasuk tujuan yang baik sekalipun.
Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak
boleh dilakukan dengan kemungkaran pula. Tidak ada alasan etik dan
moral sedikitpun yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan,
ataupun teror. Dengan demikian kalau ada tindakan-tindakan teror
yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka sudah pasti
alasannya bukan karena ajaran moral Islam, melainkan agenda lain
yang tersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut. Masyarakat
diharapkan supaya lebih giat mengembangkan cara-cara penyelesaian
masalah penumpasan terorisme tanpa kekerasan. Terkait dengan
masalah seperti itu perlulah menampilkan dan mengimplementasikan
agama dengan baik agar agama mempunyai citra yang baik. Agama
mesti dikembalikan pada posisinya sebagai spirit dan moralitas yang
akan selalu membawa panji kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, dan
keadaban. Bukan hanya itu, masyarakat Islam mesti merapatkan
barisan guna mendorong terciptanya iklim kehidupan yang lebih aman,
damai, demokratis dan egaliter.

B. Kualifikasi Cyber Terrorism


Dalam fikih jina>yah istilah terorisme atau jari>mah yang khusus
secara eksplisit membahas terorisme memang tidak ada, tetapi dalam
bahasa arab kata teror disebut irha>b dan terorisme disebut dengan al-
irha>biyah yang berarti menakuti atau mengintimidasi, di mana istilah
30
Kristopher K. Robison and Others. “Ideologies of Violence: The Social
Origins of Islamist and Leftist Transnational Terrorism.” Oxford University Press
Vol. 84, No. 4, (Jun 2006), 2009-2026 http://www.jstor.org/stable/3844487 (diakses
14 Juni 2014).
146 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

ini ditunjukan untuk setiap aksi kekerasan. Walaupun dalam fikih


jina>yah tidak dikenal bahkan tidak ada istilah teror dan terorisme,
tetapi di dalam Alquran kata irha>b ditemukan dalam surat al-Anfa>l 8:
60 sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, “dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan
itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah
niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan).” 31
Dari uraian di atas, peneliti untuk selanjutnya mendefinisikan
dan menyamakan antara jari>mah hira>bah dengan tindak pidana
terorisme berdasarkan dari dan maksud keduanya, yaitu aksi
sekelompok orang dalam sebuah negara untuk melakukan kekacauan
stabilitas nasional, pembunuhan, perampasan harta benda,
pemerkosaan, yang secara terang-terangan mengganggu dan
menentang peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.32
Dengan demikian, istilah terorisme atau al-irha>biyah dapat
diqiyaskan dengan jari>mah al-hira>bah berdasarkan persamaan‘illat
hukum yaitu titik persamaan antara sifat dan tindakan kedua jari>mah
tersebut, yaitu melakukan kekacauan dan mengganggu keamanan
secara nasional dalam sebuah negara. Oleh karena tindak pidana
terorisme dengan jari>mah hira>bah, maka penjelasan mengenai

31
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), 539. Lihat juga ‘Abd al-Qadir ‘Audah, Al-Tashri’ al-Jina’i> al-
Isla>mi>, 569. Lihat juga ‘Abd al-Wahab Khallaf, ‘Ilmu Us}u> al-Fiqh, (Kuwait: Da>r al-
Kuwaitiyah, 1968), 11. Lihat juga Sadik J. Al-Azm. “Islam, Terrorism and the West
Today.” Brill New Series Vol. 44, No. 1, (May 2004), 114-128 http://www.jstor.org/
stable/1571337 (diakses 5 Juni 2014).
32
M. Saleh Mathar, “Jihad dan Terorisme Kajian Fikih Kontemporer,” Jurnal
Hunafa Vol. 6. No.1, April 2009:117-128. Lihat juga Topo Santoso, Membumikan
Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003), 30.
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 147

terorisme tidak terpisahkan dengan jari>mah hira>bah, baik dari segi


definisi, dasar hukum maupun sanksi bagi pelakunya.33
Hira>bah adalah keluarnya kelompok bersenjata di daerah Islam
untuk mengadakan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta,
mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama,
akhlak, ketertiban, dan undang-undang. Baik kelompok tersebut orang
Islam sendiri maupun dari kafir dzimmi, atau kafir harbi. Dalam fikih
Islam, yang termasuk dalam pengertian hira>bah antara lain adalah:
jari>mah pembunuhan, sindikat penculikan anak-anak, perampokan,
pelacuran, pengacauan stabilitias keamanan negara, dan perusakan
bumi yang mengakibatkan kelaparan dan kebinasaan. Kata hira>bah
dapat ditemukan dalam Alquran surat al-Ma>idah 5:33,34

            

            

          
Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya) yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk
mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Al-Ima>m al-Qurt}u>bi> di dalam kitab tafsirnya menjelaskan
bahwa dalam ayat tersebut di atas terdapat bahasan penting: pertama,
para ulama berbeda pendapat terkait sebab turunnya ayat ini, namun
pendapat yang dipegang mayoritas ulama dan merupakan pendapat
yang dis}ahi>hkan oleh Ibn Kathi>r dalam tafsirnya ialah bahwa ayat ini
diturunkan kepada penduduk ‘Akl/‘Urainah (‘Uraniyyi>n).

33
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih
Jina>yah (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 9-10. Lihat juga Iya>d Ali al-Durah, “Al-Irha>b
al-Iliktru>ni”, Majalat al-Ma’lu>ma>tiyah (May 2012).
34
Iya>d Ali al-Durah, “Al-Irha>b al-Iliktru>ni”, Majalat al-Ma’lu>ma>tiyah (May
2012). Lihat juga Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan
Syariat dalam Wacana dan Agenda, 29-30. Lihat juga Muhammad Hasbi ash-
Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam, 478-479. Lihat juga Muhammad Abu> Zahrah,
Al-Jari>mah wa al-‘Uqubah fi> al-Fiqh al-Isla>mi>, 22.
148 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukha>ri> dan Muslim dari


hadis Abu> Qilabah dari Anas bin Malik bahwasanya delapan orang dari
penduduk ‘Akl mendatangi Rasulullah lalu mereka pun berbaiat masuk
Islam dan mereka pun merasa tidak cocok dengan udara kota Madinah
hingga mereka pun terserang penyakit, maka mereka pun mengadukan
hal tersebut kepada Rasulullah, lalu Rasulullah pun bersabda: “Maukah
kalian keluar menuju penggembala kami lalu kalian minum air seni dan
air susu untanya?, lalu mereka pun mengiyakan (tawaran Rasulullah),
lalu mereka pun pergi menuju tempat sang penggembala dan meminum
air seni dan air susu untanya.” Dan ketika mereka sehat, mereka pun
lantas membunuh si penggembala unta lalu mengusir unta-unta
gembalaannya. Berita ini pun sampai ke telinga Rasulullah lalu
Rasulullah pun mengutus sahabatnya untuk mencari jejak mereka
(delapan orang urainah) hingga mereka pun berhasil diketemukan lalu
mereka pun digiring ke hadapan Rasulullah.35
Rasulullah kemudian memerintahkan para sahabatnya untuk
memotong tangan dan kaki mereka, mencongkel mata mereka lalu
mereka pun dibiarkan terjemur di bawah teriknya matahari hingga
mereka mati. Terkait tentang mengapa mereka dibunuh dengan
dipotong tangan dan kakinya hingga dicongkel matanya oleh
Rasulullah SAW, maka Abu> Qilabah di dalam S}ahi>h Bukha>ri>
mengatakan: “sesungguhnya mereka telah mencuri, membunuh,
berbuat kekufuran, dan memerangi Allah dan RasulNya.“ Di dalam
kitab S}ahi>h Muslim, melalui jalur Sulaima>n al-Taymi dari Anas bin
Malik beliau berkata: “Adapun mereka (delapan orang dari
‘Akl/Urainah) dicongkel matanya oleh Rasulullah SAW dikarenakan
mereka telah mencongkel mata si penggembala unta.“36

35
Maghaireh, Alaeldin. “Shariah Law and Cyber-Sectarian Conflict: How can
Islamic Criminal Law respond to cyber crime?.” International Journal of Cyber
Criminology Vol. 2, No. 2, (July-December 2008), 337–345. (diakses 10 Juni 2014).
Lihat juga M. Shamsul Haque. “Government Responses to Terrorism: Critical Views
of Their Impacts on People and Public Administration.” Wiley on behalf of
the American Society for Public Administration Vol. 62, (Sep 2002), 170-180
http://www.jstor.org/stable/3110188 (diakses 5 Juni 2014).
36
al-Qurt}u>bi>, al-Ja>mi’ Li Ahka>m Al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Kutub al-Mis}riyah,
1964), 148. Lihat juga Ibn Kathi>r, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Beirut: Da>r al-Kutub
al-Ilmiyah, 1419H), 95. Lihat juga al-Bukha>ri>, S}ahi>h Bukha>ri> (Beirut: Da>r al-Tu>q al-
Naja>h, 1422H), 56. Lihat juga Muslim, S}ahi>h Muslim (Beirut: Da>r Ihya Turath al-
‘Arabi>, 1422H), 1298.
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 149

Maka seolah-olah hukuman tersebut adalah sebagai qis}a>s dari


apa yang mereka lakukan terhadap penggembala unta kepercayaan
Rasulullah SAW. Kedua, Para ulama berbeda pendapat terkait
penyematan nama “muha>rib“ atau dengan kata lain siapakah
“muha>rib“ itu sebagaimana yang disebutkan pada ayat di atas.
Menurut Imam Malik, muha>rib ialah seseorang yang menyerang orang
lain di dalam kota atau sahara dan membahayakan jiwa dan harta
orang lain tanpa didasari adanya dendam dan permusuhan. Imam al-
Syafi’i dan Abu> Thaur berpendapat bahwa hukum muha>rib itu tetap
disematkan baik itu dilakukan di dalam kota atau di rumah-rumah atau
di jalanan atau di dalam daerah perkampungan dan desa, maka
hukumnya adalah sama dan had mereka pun sama (yakni had muha>rib).
Adapun menurut S}ufya>n al-Thauri bahwa tidaklah dinamakan
seseorang itu muha>rib ketika ia melakukan perbuatan tersebut di
dalam kota. Namun, yang disebut sebagai muha>rib ialah mereka yang
melakukan perbuatan tersebut di luar kota.
Ketiga, perbedaan pendapat di antara para ulama terkait
hukuman bagi seorang muha>rib adalah: sebagian ulama berpendapat
bahwa muha>rib dihukum sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.
Apabila ia (muha>rib) hanya mengambil hartanya saja tanpa membunuh
korbannya, maka hukumannya ialah dipotong tangan dan kakinya
secara silang. Dan apabila ia mengambil harta sekaligus membunuh
korbannya, maka hukumannya ialah dipotong tangan dan kakinya
secara menyilang lalu disalib. Dan apabila ia membunuh saja tanpa
mengambil hartanya maka hukumannya ialah dibunuh. Dan apabila ia
tidak mengambil harta si korban dan tidak juga membunuhnya maka
hukumannya ialah diasingkan. Ini adalah pendapat dari Ibn Abba>s.
Kemudian pendapat Abu> Hani>fah bahwa apabila ia (muha>rib)
membunuh maka ia dibunuh. Dan apabila ia hanya mengambil harta
korbannya saja tanpa membunuhnya maka hukumannya ialah dipotong
tangan dan kakinya secara silang. Dan apabila ia mengambil harta dan
membunuh korbannya maka seorang pemimpin diberikan keleluasaan
untuk memilih, jika ia berkeinginan untuk memotong tangan dan
kakinya (maka tidak mengapa) dan apabila ia berkeinginan untuk tidak
memotongnya namun langsung membunuh dan menyalibnya (maka hal
tersebut juga tidak apa-apa). Selanjutnya menurut Imam al- Syafi’i,
apabila ia (muha>rib) mengambil harta saja maka tangan kanannya
dipotong lalu kaki kirinya juga dipotong dikarenakan
kejahatan/perilaku kriminalitas ini selain ada unsur pencurian juga ada
150 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

unsur lainnya yaitu hira>bah, dan apabila si muha>rib ini mengambil


harta serta membunuh korbannya maka hukumannya ialah ia dibunuh
dan disalib.37
Dalam riwayat yang lain dari Imam al-Syafi’i dikatakan bahwa
ia disalib selama 3 hari. Al-Ima>m Ah}mad mengatakan apabila ia
membunuh maka ia pun dibunuh dan apabila ia mengambil hartanya
saja maka hukumannya ialah dipotong kaki dan tangannya sama
seperti pendapat Imam al-Syafi’i. Menurut riwayat Ibn Jari>r ayat di
atas turun berkenaan dengan peristiwa orang-orang dari “urainah”
sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas.38 Menurut peneliti apabila
diperhatikan dari sebab nuzulnya ayat ini memang kriminal murni,
tetapi tidak berarti ayat ini dikhususkan untuk tindakan kriminal
murni saja, karena zaman sekarang pengacau keamanan tidak saja
karena motif harta benda/ekonomi ataupun kekuasaan belaka biasa
saja karena motif politik, kekecewaan terhadap penguasa yang sedang
berkuasa maupun karena dendam pribadi. Jadi pada intinya ayat ini
menjelaskan tentang ancaman bagi orang-orang tidak bertanggung
jawab dengan membuat keonaran dan kekacauan di muka bumi dengan
cara menteror, mengintimidasi, membunuh, dan mengganggu
keamanan.
Dalam praktiknya, seseorang dikatakan muha>rib (pelaku
hira>bah) jika ia berada dalam beberapa kondisi. Pertama, jika ia keluar
untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu menakut-nakuti
orang yang berjalan, tetapi ia tidak mengambil harta dan tidak
membunuh orang. Kedua, jika ia keluar untuk mengambil harta dengan
cara kekerasan lalu mengambil harta, tetapi tidak membunuh. Ketiga,
jika ia keluar untuk mengambil harta dengan cara kekerasan lalu
membunuh, tetapi tidak mengambil harta. Keempat, jika ia keluar
untuk mengambil harta dengan cara membunuh lalu mengambil harta.
Dari kualifikasi kondisi pelaku hira>bah tersebut, dapat dilihat bahwa

37
Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh Juz VI (Damaskus: Da>r
al-Fikr, 1989), 296. Lihat juga ‘Abd al-Rahma>n al-Jaziri, Al-Fiqh, A’la al-Madha>hib
al-Arba’ah, Juz V (Beirut: Da>r al-Fikr, tth), 288-292.
38
Abu> Muawiyah Askari, “ Tafsir Hukuman Bagi Para Penyamun”
http://asysyariah.com/tafsir-hukuman-bagi-para-penyamun/ (diakses 17 Mei 2014).
Lihat juga ‘Abd al-Rahma>n al-Jaziri, Al-Fiqh, A’la al-Madha>hib al-Arba’ah, Juz V,
288-292. Lihat juga Bettina Graf. “ Yūsuf al-Qaraḍāwī in Cyberspace.” Brill New
Series Vol. 47, No. 3-4, (May 2007), 403-421 http://www.jstor.org/stable/20140785
(diakses 3 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 151

kejahatan cyber terrorism berada dalam kondisi poin pertama, yaitu


dengan unsur menakut-nakuti tetapi tidak mengambil harta dan tidak
membunuh orang. Kondisi tersebut sesuai dengan modus pelaku cyber
terrorism yang menggunakan media Internet sebagai alat
kejahatannya.

C. Sanksi Tindak Pidana Cyber Terrorism


Tidaklah ditemukan definisi tentang terorisme dari kalangan
ulama terdahulu, hal tersebut disebabkan oleh penggunaan kata
terorisme dengan pengertian sekarang ini bermula dari ideologi Eropa
pada masa Revolusi Perancis 1789 sampai 1794 Masehi. Walaupun
telah diketahui pada masa Yunani, Romawi, dan abad pertama Masehi
telah tercatat beberapa kejadian terorisme. Aturan hukum mengenai
larangan tindakan terorisme Firman Allah SWT (QS. al-Ma>idah 5: 32)
Muja>hid berkata berkaitan dengan dosa, “hal ini menunjukkan
besarnya dosa membunuh jiwa tanpa alasan yang benar”. Nabi
Muhammad SAW bersabda: “sudah diketahui bahwa syari’at Islam
datang untuk menjaga lima hak asasi (al-D}aruriya>t al-Khams).” Dan
mengharamkan perbuatan aniaya terhadapnya. Lima hak asasi tersebut
adalah: agama, jiwa, harta, kehormatan, dan akal.
Forum Ulama Besar dalam pertemuan ke-32 yang
diselenggarakan di kota T}a>if, dari tanggal 12 Muharram 1409 sampai
18 Muharram 1409 H, Majelis tersebut sepakat menetapkan: pertama,
orang yang terbukti secara hukum melakukan tindakan perusakan di
muka bumi yang mengganggu keamanan dengan perbuatan yang
mengancam jiwa dan harta benda milik pribadi atau umum, seperti
menghancurkan rumah, masjid, sekolah, rumah sakit, pabrik, jembatan,
gudang senjata, air, sumber-sumber pemasukan atau bait al-ma>l,
seperti pipa-pipa minyak, meledakan pesawat terbang atau
membajakanya, dan segela tindakan sejenis hukumnya adalah
hukuman mati. Sesuai dengan makna yang ditunjukan oleh ayat-ayat
yang telah disebutkan di atas (dalam fatwa yang otentik) bahwa
perusakan seperti itu menyebabkan pertumpahan darah, dan karena
bahaya resiko yang ditimbulkan oleh orang-orang yang melakukan
tindakan perusakan itu lebih dahsyat daripada bahaya dan resiko yang
ditimbulkan seorang pembegal yang mengenal seseorang lalu
152 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

membunuh dan mengambil hartanya. Dan Allah telah menetapkan


hukum pelaku perbuatan itu dalam ayat tentang memerangi Allah.39
Kedua, sebelum eksekusi hukuman mati, sebagaimana
dinyatakan pada poin sebelumnya, wajib dilakukan pembuktian
sebagaimana mestinya oleh Mahkamah Shar’iyah, Instansi Penyidik,
dan Majelis Pengadilan Tinggi untuk menyelamatkan institusi dan
sebagai kehati-hatian dalam menyelamatkan jiwa, serta untuk
menunjukan bahwa negara ini selalu mengikuti seluruh ketentuan
proses hukum yang berlaku dalam membuktikan tindakan kriminal dan
menetapkan hukumannya. Ketiga, Majelis melihat perlunya
penyebarluasasn berita tentang hukuman ini melalui media masa.
Selama ini terdapat anggapan yang salah di dalam masyarakat yang
menyamakan jihad dengan terorisme. Bahkan, oleh kalangan yang
tidak mengerti ajaran Islam yang luhur, Islam dicap sebagai agama
teroris. Kekeliruan pemahaman ini bisa saja disebabkan oleh
kurangnya pemahaman masyarakat mengenai Islam, tetapi tidak
tertutup kemungkinan karena sebagian Muslim justru melakukan jihad
melalui aksi-aksi terorisme.40
Pengertian jihad yang sering difahami oleh masyarakat,
ditambah oleh para pihak media Barat yang sengaja ingin
mencemarkan nama baik Islam ialah jihad yang dikaitkan kepada
perang salib atau holy war yaitu berperang dengan menggunakan
senjata yang melibatkan pembunuhan dan kekerasan, sedangkan jihad
dalam pengertian lain tidak lagi dianggap jihad, dan tidak lagi menjadi
cara perjuangan umat Islam. Secara etimologi, jihad adalah kepayahan,

39
Faishal bin Qazzar al-Ja>sim, Meluruskan Pemahaman Tentang Damai dan
Jihad (Jakarta: Jam’iyah Ihya> al-Turath al-Isla>mi> Kuwait Komite Asia Tenggara,
2011), 123-124. Lihat juga Martin, Rudner. “ Hunters and Gatherers: The
Intelligence Coalition Against Islamic Terrorism.” International Journal of
Intelligence and Counter Intelligence Vol. 17, No. 2, (Aug 2010). DOI: 10.1080/
08850600490274890, 17. (diakses 2 Juni 2014).
40
Muhammad bin Husain bin Said Alu Sufran al-Qaht}aniy, Fatwa-fatwa
Ulama Terkemuka Tentang Tindak Kekerasan (Jakarta: Jam’iyah Ihya> al-Turath al-
Isla>mi> Kuwait Komite Asia Tenggara, 2011 ), 12-13. Lihat juga Arowosaiye, Yusuf
Ibrahim dan Ibrahim, Ahmad. “ Economic And Financial Crimes And Ict
Infrastructure: The Islamic Criminal Law Perspective ” 3rd International Conference
on Postgraduate Education (ICPE-3 ’08, Penang-Malaysia, 2008). (diakses 7 Juni
2014) lihat juga Robert Oakley. “ International Terrorism.” Council on Foreign
Relations Vol. 65, No. 3, (May 1986) Article DOI: 10.2307/20043083, 611-629
http://www.jstor.org/stable/20043083 (diakses 8 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 153

kesulitan, atau mencurahkan segala daya dan upaya, yaitu


mencurahkan segala upaya dan kemampuan untuk meraih suatu
perkara yang berat lagi sulit. Banyak kesamaan antara Indonesia dan
Arab Saudi, keduanya adalah negara dengan penduduk mayoritas
Muslim, dan pemerintahannya sama-sama divonis kafir oleh para
pengusung paham terorisme. Para tokoh teror Indonesia juga banyak
terpengaruh oleh para tokoh takfiri dari dunia Arab, yang banyak
ditemui di wilayah-wilayah konflik dunia. Bagaimanapun bangsa Arab
tetap paling berpengaruh dalam ilmu agama Islam, baik ilmu yang
benar ataupun yang salah. Karena itu, apa yang berhasil dipraktikkan
di Arab Saudi juga akan berhasil di Indonesia. Pemerintah Republik
Indonesia perlu belajar dari keberhasilan ini dan mentransfernya ke
bumi pertiwi agar fitnah terorisme yang merusak citra Islam segera
hilang atau paling tidak bisa ditekan secara berarti. Pemikiran harus
dilawan dengan pemikiran, bukan dengan peluru.41
Ternyata banyak sekali kekeliruan tentang masyarakat ketika
mengartikan konsep jihad yang selalu dikaitkan dengan terorisme,
sedangkan dalam agam Islam sendiri tidak mengartikan jihad dengan
suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain, pengertian teroris ini
timbul bukan dari sejarah Islam yang terdahulu melainkan bermula
dari ideologi Eropa pada masa Revolusi Perancis tahun 1789, dengan
demikian bukanlah agama Islam yang pertama kali mengenalkan
ajaran teroris tapi karena ada pengaruh dari Eropa yang mungkin ingin
mencemarkan nama baik Islam dan juga karena kurangnya pemahaman
masyarakat mengenai Islam, sedangkan Islam adalah agama yang
toleran terhadap agama lain, serta melindungi kepentingan non
Muslim. Ada beberapa ancaman hukuman bagi terorisme menurut
hukup Positif di Indonesia dan menurut syari’at Islam yang sama,
dilihat dari ancaman hukuman yang paling berat yaitu hukuman mati,
namun dasar hukumnya dilihat dari pandangan yang berbeda. Bahwa
dalam Islam kata terorisme tidak dibahas secara khusus sebagai
“terorisme.” Akan tetapi ia mengikuti bab jina>yah. Di sisi lain, karena
melihat bentuk kejahatan terorisme itu banyak (seperti pembajakan,
penculikan, pengeboman, dan lain-lain), maka perlulah dibahas dari
berbagai sisi.42
41
Dzulqarnain Muhammad Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme (Makasar:
Pustaka al-Sunnah, 2011), 53.
42
Ahmad Wardi Muchlis, Pengantar dan Asas Hukuman Pidana Islam Fikih
Jina>yah, 1-2. Lihat juga Dzulqarnain Muhammad Sunusi, Antara Jihad dan
154 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Tokoh terorisme yang terkenal di dunia dan dianggap sebagai


teroris oleh Amerika dan koalisi-koalisinya adalah Usa>mah bin La>din.
Aksi yang dilakukan termasuk mengebom dan aksi teror terhadap
militer maupun sipil dari orang Amerika dan sekutunya. Ini terbukti di
dalam Fatwa Usa>mah bin La>din yang menurut perspektifnya adalah
jihad. Bahwa hukum membunuh orang-orang Amerika dan sekutunya,
baik sipil maupun militer adalah wajib individual (fard} al-‘ayn) bagi
setiap Muslim yang mampu melakukannya di setiap negara di mana
mungkin untuk melaksanakannya, sampai al-Masjid al-Aqs}a dan al-
Masjid al-Hara>m berhasil dibebaskan dari cengkeraman mereka,
sampai tentara mereka keluar dari seluruh tanah Islam, tunduk, dan
tidak mampu lagi mengancam setiap Muslim.43
Dalam fatwa yang diberikan Usa>mah di sini, dapat dipahami
bahwa target kejahatan yang akan dilancarkan adalah orang-orang
Amerika dan sekutunya (seperti Inggris, Australia, dan lain-lain) baik
sipil maupun militer. Kenyataan ini menurut Islam pada dasarnya
adalah salah. Menurut fikih Islam, orang yang akan diperangi haruslah
bebas dari 2 kriteria: pertama, kafir yang diamankan (mustamani>n),
yang memiliki perjanjian dengan Islam, atau kafir dzimmi>. Kedua,
tidak membatas-batasi dakwah Islam, dan pemahaman tentang Islam.
Maka, ketika orang tersebut bukan kafir dzimmi> atau mustamani>n
(yaitu ia adalah kafir h}arbi>) dan menghalang-halangi dakwah Islam dan
menentangnya, maka barulah ia boleh diperangi yang dalam hal ini
disebut dengan jihad44.

Terorisme, 125. Lihat juga Abraham D. Sofaer. “ Terrorism and the Law.” Council
on Foreign Relations Vol. 64, No. 5, (Summer 1986) Article DOI: 10.2307/
20042773, 901-922 http://www.jstor.org/stable/20042773 (diakses 5 Juni 2014).
Lihat juga Joseph Robbins and Others. “ Voters versus terrorists: Analyzing the
effect of terrorist events on voter turnout.” Journal of Peace Research Vol. 50, No. 4,
(July 2013), 495-508) http://www.jstor.org/stable/23441214 (diakses 9 Juni 2014).
43
Usa>mah bin La>din, Karya Asli Fatwa dan Wawancara Usamah bin Ladin
(Jakarta: Ababil Press, 2001), 63. Lihat juga Ruth Wedgwood. “Al Qaeda,
Terrorism, and Military Commissions.” The American Journal of International Law
Vol. 96, No. 2, (Apr 2002) Article DOI: 10.2307/2693927, 328-337 http://www.jstor.
org/stable/2693927 (diakses 5 Juni 2014). Lihat juga Gilbert Guillaume. “ Terrorism
and International Law.” Cambridge University Press on behalf of the British
Institute of International and Comparative Law Vol. 53, No. 3, (Jul 2004), 537-548
http://www.jstor.org/stable/3663289 (diakses 8 Juni 2014).
44
Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr,
2004), 5855.
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 155

Walau bagaimanapun kafir h}arbi> masih harus dipilah-pilah.


Seumpama kafir h}arbi> itu adalah militer, maka ia boleh diperangi.
Jikalau kafir h}arbi> itu adalah warga sipil, maka tidak diperkenankan
untuk membunuh perempuan, anak kecil, orang gila, orang tua uzur,
orang cacat, orang buta, bisu, yang tidak mampu berperang, agamawan
(seperti rahib), atau petani; selagi mereka tidak ikut memerangi orang
Islam. Ketika mereka memerangi orang Islam, maka barulah
diperkenan membunuh mereka. Ini berdasarkan sebuah hadis45
”. “
Menurut ulama kontemporer, Muhammad Afifi al-Akiti; bahwa dapat
dipahami (mafhu>m muwa>faqah) seorang lelaki dewasa pun, selagi ia
bukan militer (atau yang menyamainya) termasuk dari pelarangan
untuk membunuh di sini. Ini disesuaikan dengan ruh-ruh syariat,
bahwa warga sipil yang tidak ikut-ikut di dalam sebuah peperangan
adalah dilarang untuk dibunuh. Sehingga, dalam hal ini, “
” pada tahun 1980 M/1401 H di Damaskus telah menetapkan
Pasal 23 sebagai berikut:46

. .
Artinya: Ketika di dalam perang, tidak diperkenankan membunuh
kanak-kanak, perempuan, orang tua, agamawan, dan selainnya dari
orang-orang yang tidak ikut di dalam peperangan. Dan tidak
(diperkenankan) memotong pohon, menjarah harta, dan tidak
(diperkenankan) merobohkan pembangunan tamadun, dan tidak boleh
disamakan dengan orang yang diperangi. Bagi yang cedera berhak
untuk mendapatkan obat, dan bagi tawanan harus diberi makan dan
dilindungi.
Lebih-lebih lagi, persepsi jihad ini bertentangan dengan dasar
paling awal di dalam Islam. Dalam Islam, jihad merupakan hak absolut
pemimpin bagi negara itu. Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi
mana-mana bagian dari rakyatnya untuk melakukan jihad tanpa ada

45
Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, 5855-5856.
46
Muhammad Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed by Censuring The
Reckless Against The Killing of Civilians (Germany: Warda Publication, 2005), 20.
Lihat juga Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, 6454-6455.
156 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

perintah dari pemimpin negara tersebut.47 Ini dinyatakan oleh Wahbah


al-Zuhayli> dan dinukil juga oleh Muhammad Afifi al-Akiti:
.
Artinya: Perintah jihad diwakilkan kepada pemimpin/presiden dan
ijtihadnya. Wajib bagi rakyat untuk mentaati perintah imam tentang
apa yang menjadi pemikirannya untuk masalah tersebut.48
Sedangkan kenyataan yang berlaku, para martir itu melakukan
apa yang mereka klaim dengan jihad pada warga negara (sipil) yang
tidak dalam keadaan perang bersama negara asal mereka. Ini adalah
kesalahan besar mereka sehingga dapat dikategorikan sebagai teroris.
Di sisi lain, teknik yang digunakan oleh para martir tersebut
kebanyakannya salah di sisi Islam. Salah satu yang selalu dipakai oleh
martir adalah praktik misi bunuh diri (martydom). Kalau dahulu,
ketika masih dalam perang dunia kedua, tentara Jepang yang setia
dengan kaisar Jepang melakukan praktik kamikaze yaitu dengan
menaiki pesawat terbang yang membawa bom besar, lalu pesawat
tersebut dijatuhkan ke kapal perang Amerika beserta dengan pilotnya
sekalian. Kematian ini membawa bangga tersendiri bagi para martir
Jepang tersebut. Sedangkan di dunia modern ini, misi bunuh diri
adalah dengan cara membajak pesawat, bom bunuh diri, dan lain-lain.
Praktik seperti ini adalah salah besar. Dalam Islam, segala jenis
bunuh diri diharamkan dan ia termasuk dosa besar. 49 Ini berdasarkan
surat al-Nisa> 4: 29-30,

47
Suheil Laher, Indiscriminate Killing, dalam The State We Are In-Identity,
Terror and The Law of Jihad (Bristol: Amal Press, 2006), 53. Lihat juga Barak
Mendelsohn. “Bolstering the State: A Different Perspective on the War on the Jihadi
Movement.” Wiley on behalf of The International Studies Association Vol. 11, No.
4, (Dec 2009) 663-686 http://www.jstor.org/stable/International Studies Review
(diakses 12 Mei 2014).
48
Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, 5852. Lihat juga
Muhammad Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed by Censuring The Reckless
Against The Killing of Civilians, 21.
49
Ah}mad bin Muh}ammad Ibn Hajar, al-Zawa>jir (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, t.t.),
95. Lihat juga ‘Abd al-Azi>z Ami>r, al-Ta’zi>r fi> al-Shari’at al-Islami>yah (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1969), 52.
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 157

          

               

             
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian
dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan
memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah.
Muhammad Afifi al-Akiti telah menulis perincian metode-
metode penyerangan bunuh diri yang diharamkan. Secara ringkasnya,
semua metode yang dipakai oleh para martir di zaman sekarang adalah
termasuk praktik bunuh diri yang diharamkan. Ini mengecualikan
sebuah misi yang dapat berakibat mati karena dibunuh musuh, yang
mana secara dasarnya bukan dengan sengaja membunuh diri sendiri.
Sepeti contoh, seorang mujahid yang masuk di barisan perang musuh
dengan membunuh general musuh, lalu dia dibunuh oleh pasukan yang
lain. Secara mendasar, walaupun ini seperti praktik membunuh diri,
akan tetapi ini tidak termasuk dalam kategori membunuh diri yang
diharamkan karena secara realnya ia tetap saja dibunuh oleh orang lain
dan dalam aksinya masih memungkinkan ia tidak sampai dibunuh
musuh dan hanya ditangkap.50
Kejahatan terorisme dengan berbagai modusnya telah
menimbulkan rasa tidak nyaman dan membawa dampak kerugian harta
dan jiwa. Oleh karenanya, terorisme masuk dalam kategori tindak
pindana hira>bah yang dimasukkan dalam kategori hukum hudu>d.
legislasi hukum ini bertujuan untuk menjadi manifestasi perlindungan
hak hidup, hak milik sumber daya kehidupan, dan hak keturunan.
Dengan demikian, teori maslahat memiliki koneksi substantif dengan
nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam perspektif hukum pidana Islam,
bentuk-bentuk pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dapat dipandang telah mengandung maslahat. Secara
50
Muhammad Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed by Censuring The
Reckless Against The Killing of Civilians, 24.
158 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

teoritis, diakui bahwa penentuan bentuk pidana terhadap suatu macam


tindak pidana terorisme telah mempertimbangkan aspek rasionalitas,
yang antara lain berupa tujuan pemindanaan, efektivitas pidana, dan
social cost analysis.51
Dalam hal ini, hukuman mati bisa ditemukan dalam tiga bentuk
pemindanaan hukum Islam, yaitu qis}a>s}, had (hudu>d) dan ta’zi>r. Dalam
masalah qis}a>s}, ancaman hukuman mati ditunjukan bagi pelaku
pembunuhan yang disengaja atau direncanakan, di mana pelaku
pembunuhan yang disengaja juga harus menanggung balasan hukum
yang sepadan yang ia perbuat. Dalam masalah hudu>d, ancaman
hukuman mati ditunjukan bagi pelaku zina muhsha>n, hira>bah, al-
bagyu>, dan riddah. Sedangkan dalam masalah ta’zi>r, ancaman
hukuman mati ditunjukan bagi pelaku kejahatan di luar qis}a>s} dan
hudu>d yang oleh negara (penguasa) dianggap sangat berbahaya bagi
kelangsungan hidup dan kemaslahatan masyarakat.
Hukuman mati yang diberlakukan untuk kasus-kasus tertentu,
semisal narkoba, terorisme dan korupsi, termasuk kategori hukuman
ta’zi>r yang disebut dengan al-Qatl al-Siya>si>, yaitu hukuman mati yang
tidak diatur oleh Alquran dan al-Sunnah, tapi diserahkan kepada
penguasa atau negara, baik pelaksanaan ataupun tata cara eksekusinya.
Hukuman maksimal (mati) tersebut boleh diberlakukan oleh suatu
negara jika dipandang sebagai upaya efektif menjaga ketertiban dan
kemaslahatan masyarakat. Dalam hal tujuan pemindanaan, dapat
dikatakan bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah
mempertimbangkan: pertama, tujuan prevensi, yakni mencegah
dilakukannya tindak pidana. Kedua, tujuan resosialisasi dan
rehabilitasi, yakni memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Ketiga,
tujuan reformasi sosial, yakni menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat. Dalam hal efektivitas pidana, pidana
penjara dan pidana denda hingga kini masih diterapkan dalam berbagai

51
Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum
(Bandung: Refika Aditama, 2004), 21. Lihat juga A. G. Noorani. “ Terrorism and
Law of Evidence.” Economic and Political Weekly Vol. 22, No. 22, (May 1987),
828-829 http://www.jstor.org/stable/4377030 (diakses 10 Juni 2014). Lihat juga
‘Abd al-Wahab Khallaf, ‘Ilmu Us}u> al-Fiqh, 11.
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 159

sistem hukum pidana yang berlaku di segenap penjuru dunia, yang


berarti pidana penjara diakui efektivitasnya.52
Teori pemindanaan dalam hukum Islam tidak jauh berbeda
dengan teori pemindanaan secara umum, yaitu gabungan antara
pembalasan (absolute), teori pencegahan (preventif), serta hakikat dari
suatu aturan tertentu (asra>r al-tashri’) dalam hukum pidana Islam.
Oleh karena itu penting diketahui untuk dibahas bahwa tujuan pokok
pidana Islam adalah sebagai pencegahan dan pelarangan (al-raddu wa
al-zajru) serta perbaikan dan pemaksaan (al-ishla>l wa al-tahdhi>b).
Sebagai pencegahan, pemindanaan dimaksudkan untuk mencegah atau
menghalangi pelaku tindak pidana dari kemungkinan melakukan
tindakan serupa, sekaligus menghalangi orang lain dari kemungkinan
melakukan tindakan yang sama. Sedangkan sebagai perbaikan dan
pemaksaan, pemindanaan dimaksudkan untuk memberikan pelajaran
dengan cara paksa supaya pelaku bersedia mengubah tindakannya yang
buruk kepada perbuatan yang baik dan benar. Hal ini terutama terkait
dengan hukum pidana khusus sebagaimana tindak pidana terorisme.53
UU Terorisme dalam perspektif hukum Islam dan HAM, pada
dasarnya ingin mewujudkan dan memelihara kemaslahatan manusia
yang terangkum dalam lima unsur pokok dari al-maqa>sid al-shari’>at al-
khams. Kelima unsur tersebut adalah perlindungan agama (hifz} al-di>n),
akal (hifz} al-‘aql), jiwa (hifz} al-nafs), keturunan (hifz} al-nasl), dan
harta (hifz} al-ma>l).54 Dalam pandangan Abul A’la al-Maududi, dalam
syariat Islam proteksi dan promosi hak hidup dan hak atas kepemilikan
sumber daya kehidupan diwujudkan dalam bentuk legislasi hukum
hira>bah. Pidana hira>bah kemungkinan wujudnya ada 4 tipe, yaitu
pertama, melakukan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
52
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, 25. Lihat juga Topo Santoso,
Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda,
31-33. Lihat juga ‘Abd al-Rahma>n al-Jaziri, Al-Fiqh, A’la al-Madha>hib al-Arba’ah,
Juz V (Beirut: Da>r al-Fikr, tth), 288-292. Lihat juga ‘Abd al-Qadir ‘Awdah, Al-
Tashri’ al-Jina’i> al-Isla>mi>, 569. Lihat juga ‘Abd al-Azi>z Ami>r, Al-Ta’zi>r fi> al-
Shari’at al-Islami>yah, 52.
53
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Undangan
Pidana Khusus di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama
RI, 2010), 200. Lihat juga U C JHA. “ Terrorism and Human Rights Laws: A
Comment.” Economic and Political Weekly Vol. 44, No. 37, (September 2009), 70-
71 http://www.jstor.org/stable/25663548 (diakses 7 Juni 2014).
54
Mashood A. Baderin, International Human Right and Islamic Law (New
York: Oxford University Press, 2003), 42.
160 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

hanya pada korban. Kedua, melakukan tindakan dengan kekerasan atau


ancaman kekerasan yang menimbulkan teror korban. Ketiga,
terampasnya harta. Keempat, hilangnya nyawa sekaligus kehancuran
sarana, prasarana, dan lingkungan.55
Dalam karakter terakhir tersebut, pidana yang dikenakan
adalah pidana mati. Hal demikian sangat jelas bersesuaian dengan UU
Terorisme Pasal 6, yang menyebutkan bahwa dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa, dan harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital
yang strategis atau lingkungan. Kendati demikian mati telah menjadi
perdebatan serius di kalangan masyarakat dunia termasuk di Indonesia,
namun hukuman ini masih mendapatkan posisi dalam hukum nasional.
Perdebatan tersebut telah meluas dari kalangan ahli hukum,
kriminolog, tokoh agama, dan aktivis HAM. Bahkan perdebatan
wacana hukuman mati akan semakin mengemuka secara sporadik di
setiap peringantan hari Anti Hukuman Mati di bulan Oktober dan
peringatan HAM sedunia dan di bulan Desember.56
Di tengah tarik-menariknya seputar perlu dipertahankan atau
dihapusnya hukuman mati dalam ranah pengadilan, hukuman mati
telah merenggut beberapa nyawa pelaku tindak pidana teroris di
Indonesia. Secara yurids formal, penjatuhan vonis hukuman mati di
Indonesia tetap akan eksis dan dibenarkan sepanjang aturan-aturan
yang mengaturnya masih diberlakukan. Beberapa aturan hukuman mati
tersebut terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
55
Abul A’la al-Maududi, Human Right in Islam (New Delhi: Markazi
Maktaba Islami, 1998), 21.
56
Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam,
HAM, dan Demokratisasi Hukum (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama RI, 2010), 389-397. Lihat juga Adjie, Terorisme (Jakarta: Surya Multi
Grafika, 2005), 11. Lihat juga Suaib Didu, Radikalisme dalam Islam Antara
Argumentasi Jihad dan Terorisme (Jakarta: Divisi Penerbitan Relawan Bangsa,
2006), 90. Lihat juga Robi Chakravorti. “ Terrorism: Past, Present and Future.”
Economic and Political Weekly Vol. 29, No. 36, (Sep 1994), 2340-2343
http://www.jstor.org/stable/4401715 (diakses 9 Mei 2014). Lihat juga Jeffrey D.
Simon. “ Misunderstanding Terrorism.” Washingtonpost.Newsweek Interactive,
LLC Vol. 2, No. 67, (Summer, 1987) Article DOI: 10.2307/1148933, 104-120
http://www.jstor.org/stable/1148933 (diakses 8 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 161

(KUHP), UU Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, UU Nomor


15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, termasuk dalam draf RUU Intelijen Negara, dan RUU
Rahasia Negara.57
Dengan demikian, hukuman mati semakin ekstra permanen
dalam tata peraturan perundang-undangan di Indonesia, terlebih yang
mendukung hukuman mati tersebut merupakan kelompok dominan
yang menguasai wacana politik dan hukum sekaligus berdalih pada
hukum Islam yang mengatur tentang hukuman mati. Pada sisi yang
lain, gugatan terhadap hukuman mati semakin kencang karena
mendasarkan argumentasinya pada perspektif HAM yang menyatakan
hak atas hidup bersifat absolut tidak boleh dicabut oleh siapapun.
Terlebih hukuman mati yang semula mendasarkan pada filosofi teori
deterrent effect, yaitu penghukuman sebagai bentuk pembalasan dan
pemberi rasa takut, justru tidak berjalan efektif karena semakin tidak
takutnya masyarakat untuk melakukan tindak kriminal, korupsi,
terorisme, penyalahgunaan narkoba, dan pembunuhan berencana.
Adanya gugatan terhadap penerapan hukuman mati pada dasarnya
didasarkan pada pemikiran berikut: pertama, hukuman mati dianggap
tidak mampu memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat modern
karena menyerahkan keputusan hidup mati seseorang ke tangan hakim
yang sangat mungkin terjadi kesalahan. Kedua, hukuman mati dalam
konteks negara modern dianggap tidak efektif sebagai salah satu upaya
pencegahan tindak kriminal. Ketiga, hukuman mati dianggap
melanggar nilai-nilai HAM sekaligus menutup kesempatan untuk
memperbaiki diri.58
Dalam persepktif HAM, jika kekerasan dibalas dengan
kekerasan, maka hasilnya adalah kejahatan terus menerus. Berbeda
jika, kekerasan dibalas dengan saling memaafkan dan upaya cinta

57
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Undangan
Pidana Khusus di Indonesia, 232-233.
58
Conor Gearty. “11 September 2001, Counter-Terrorism, and the Human
Rights Act.” Journal of Law and society Vol. 32, No. 1, March 2005 ISSN: 0263-
323X, pp. 18-33, 18 of 18-33 http://www.jstor.org/stable/3557214 (diakses 7 Juni
2014). Lihat juga A. G. Noorani, “Media and Terrorism.” Economic and Political
Weekly Vol. 27, No. 26, (Jun 1992), 1301-1302 http://www.jstor.org/stable/4398535
(diakses 17 Mei 2014).
162 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

kasih. Jika konstitusi negara telah mengakui bahwa hak untuk hidup
tidak dapat dikurangi atas alasan apapun, maka penghapusan hukuman
mati adalah sebuah kewajiban konstitusional. Selama ini, banyak
tuduhan terhadap konsep hukuman mati, utamanya yang diatur dalam
hukum Islam, yang seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang
kejam, tidak manusiawi dan sadis. Kesan mengerikan di balik
hukuman mati tersebut adalah kesan populer yang menyelimuti
penerapan hukum pidana Islam di masyarakat modern ini. Adanya
kritik tersebut juga dikarenakan tidak disadarinya alasan keagamaan
(spiritual) dari adanya hukuman mati, yaitu hukuman bukanlah
dijatuhkan secara kejam oleh seseorang orang lain, tetapi semata-mata
demi melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
doktrin hukum agam (Islam) yang terlingkup dalam maqa>s}id al-
shari>’ah.59
Pakar tafsir Alquran M. Quraish Shihab mengatakan, para
tokoh Islam melakukan pertemuan untuk mempersempit ruang gerak
teroris di Indonesia. Pertemuannya melibatkan berbagai tokoh dan
pimpinan pesantren. Ini untuk menghindari pemanfaatan pesantren
oleh kelompok teroris. Quraish mengatakan, akar Islam di Indonesia
sendiri bersifat damai. Ini bisa dilihat dari berkembangnya organisasi
kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, Nahdlaltul Ulama, dan
mayoritas pesantren di Indonesia. sifat pergerakannya juga transparan.
Kelompok teroris bersifat tertutup dan memiliki pemahaman yang
kaku. Tindakan teror ini juga terbawa oleh beberapa alumni perang di
Afghanistan yang dulu dibantu Amerika Serikat. Karena berbagai
tekanan ideologi dan ekonomi. Para alumni perang ini lalu memperluas
medan pertempuran. “mereka seperti Rambo yang pulang dari
Vietnam.” Masih menurut M. Quraish Shihab, izin memerangi kaum
kafir bukan karena kekufuran atau keengganan mereka memeluk Islam,
tapi karena penganiayaan yang mereka lakukan terhadap “hak asasi
manusia untuk memeluk agama yang dipercayainya.”60

59
‘Abd al-Rahma>n al-Jaziri, Al-Fiqh, A’la al-Madha>hib al-Arba’ah, Juz V,
288-292. Lihat juga ‘Abd al-Wahab Khallaf, ‘Ilmu Us}u>l al-Fiqh, 11. Lihat juga Sayid
Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II (Beirut: Da>r al-Fikr, 1980), 427. Lihat juga
Muhammad al-Khudari Beyk, Us}u>l al-Fiqh, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), 94.
60
Quraish Shiha>b, Wawasan Al-Qur’a>n (Bandung: Mizan, 1996), 517. Lihat
juga Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 269.
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 163

Menurut Abu> Bakar Baa>shir pengeboman di Indonesia


umumnya merupakan rentetan dari salah satu usaha Amerika
memerangi Islam. Dalam usaha yang pertama, dengan adanya
pengeboman itu, Amerika ingin membuktikan bahwa betul-betul di
Indonesia itu ada teror. Kedua, Amerika ingin membentukan satu
opini bahwa teroris-teroris yang menggerakkan teror di Indonesia ini
adalah orang Islam. Mengenai hal itu, menurut Abu> Bakar Baa>shir
kembali hanya berpedoman kepada sistem apa yang diterangkan
syariat, selama orang kafir itu tidak memerangi Islam dilarang untuk
menyerang dan membunuhnya. Tentang masalah Bali, apakah orang-
orang kafir, baik itu orang Amerika atau Australia yang sedang berada
di tempat itu orang-orang yang memerangi Islam atau tidak,
menurutnya mereka hanyalah turis biasa, jadi pendapatnya tidak
seyogyanya mereka harus dibunuh, tapi sebaiknya didatangi untuk
kemudian dinasehati, didakwahi untuk tidak berbuat maksiat semacam
itu. Pada dasarnya ia mengajarkan Islam menurut keterangan syariat
yang ada dalam Alquran dan al-Sunnah. Perlu diketahui bahwa Islam
itu memerintahkan hidup berdamai kepada semua umat manusia baik
yang Muslim maupun yang kafir. Manusia diperintahkan hidup
berdamai berbuat baik dan berbuat adil. Pada dasarnya Islam itu
menyerukan perdamaian, tetapi apabila Islam diperangi dan diganggu
syariatnya, maka Allah SWT memerintahkan untuk tidak boleh
berbuat damai kepada mereka, tetapi harus membela diri memerangi
mereka.61
Menurut Wahbah al-Zuhayli> menjelaskan bahwa apabila jelas
jika tindakan pengorbanan diri atau bom syahid ini dilakukan dalam
pertempuran melawan musuh seperti orang-orang Yahudi, kuat dugaan
bahwa musuh akan membunuh atau menyiksa, dan dengan seizin

61
Dedi Junaedi, Konspirasi Di Balik Bom Bali Skenario Membungkam
Gerakan Islam (Jakarta: Bina Wawasan Press, 2003), 116. Lihat juga Clive Walker. “
The Bombs in Omagh and Their Aftermath: The Criminal Justice (Terrorism and
Conspiracy) Act 1998.” Wiley on behalf of the Modern Law Review Vol. 62, No. 6,
(Nov 1999), 879-902 http://www.jstor.org/stable/1097161 (diakses 21 Mei 2014).
Lihat juga Gregory D. Miller. “ Teaching about Terrorism: Lessons Learned at
SWOTT.” American Political Science Association Vol. 42, No. 4, (October 2009),
773-779 http://www.jstor.org/stable/40646686 (diakses 8 Juni 2014).
164 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

pemerintahan yang sah, serta diyakini aksi ini akan menggetarkan


musuh, membuat musuh takut, atau merupakan perlawanan atas
intimidasi yang dilakukan musuh, maka aksi bom syahid ini adalah
boleh. Sebab, aksi bom syahid telah menjadi suatu kebutuhan yang
sangat penting pada saat ini. selain itu, aksi perlawanan frontal yang
langsung berhadapan dengan musuh, tidak selalu bisa merealisasikan
tujuan. Bahkan, sesungguhnya aksi-aksi kepahlawanan yang heroik
dalam melawan agresi musuh semacam ini dapat mewujudkan
perubahan yang sangat krusial.62
Sekurang-kurangnya ada dua hal yang melatar belakangi
lahirnya fatwa MUI tentang terorisme, yaitu: pertama, telah terjadi
tindakan terorisme dengan berbagai bentuknya di beberapa negara,
termasuk Indonesia. tindakan tersebut telah menimbulkan kerugian
harta dan jiwa serta rasa tidak aman di kalangan masyarakat, seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kedua, bahwa terhadap tindakan
terorisme terjadi beberapa persepsi, sebagian menganggapnya sebagai
ajaran agama Islam, karena itu ajaran agama Islam dan umat Islam
harus diwaspadai, sedang sebagian yang lain menganggapnya sebagai
jihad yang harus dilaksanakan, walaupun harus dengan menanggung
resiko terhadap harta dan jiwa sendiri maupun orang lain.63
Berdasarkan pertimbangan kedua hal tersebut, maka Majelis
Ulama Indonesia (MUI) memandang perlu menetapkan fatwa tentang
terorisme untuk dijadikan pedoman. Terorisme makin populer ketika
gedung World Trade Center (WTC) New York yang merupakan
62
Nawaf Hail Takruri, al-Amaliyat al-Ishtishadiyah fi al-Mi>za>n al-Fiqh,
(Damaskus: Maktabah al-Asad, 1997), 102. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh
al-Isla>mi> wa Adillatuh Juz VI (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1989), 296. Lihat juga Ibn
Taimiyah, al-Siya>sah al-Shari’ah, 112.
63
MUI, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 3 Tahun 2004 Tentang
Terorisme” http://id.scribd.com/doc/18799174/Fatwa-MUI-tentang-Terorisme (diak-
ses 12 Mei 2014). Lihat juga Gary R, Bunt. “Islam in the Digital Age: E-Jihad,
Online Fatwas and Cyber Islamic Environments.” London and Sterling, Virginia:
Pluto Press, The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 21, No.4, (May
2003), 237. (diakses 10 Juni 2014). Lihat juga Ruth Wedgwood. “Al Qaeda,
Terrorism, and Military Commissions.” The American Journal of International Law
Vol. 96, No. 2, (Apr 2002) Article DOI: 10.2307/2693927, 328-337 http://www.
jstor.org/stable/2693927 (diakses 5 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 165

simbol kapitalisme dan liberalisme dunia runtuh. Peristiwa yang bagi


bangsa Amerika merupakan peristiwa memalukan (the day of infamy)
yang kedua setelah pengeboman Jepang atas pearl harbour. Peristiwa
WTC mendorong Amerika memerangi apa yang disebutnya sebagai
‘teroris’ yang bagi peneliti, pelakunya sendiri masih misterius hingga
saat ini. meskipun Amerika meyakini bahwa kelompok al-Qa>’idah
berada dibalik serangan itu. Untuk memerangi al-Qa>’idah dan
jaringannya ini, Amerika mengalokasikan dana 40 Milyar dollar AS
lebih. Peristiwa WTC ini menyedot perhatian dunia yang amat luar
biasa hingga melibatkan ratusan negara terlibat dalam misi pengejaran
kaum teroris yang dikejar Amerika, tak terkecuali pemerintah
Indonesia. Tindakan berbagai teror seperti yang terjadi di Indonesia
ini, menjadi malapetaka yang menimpa umat Islam di berbagai daerah
di Indonesia. Beragam bentuk dan peristiwa yang menuduh dan
mencurigai umat Islam sebagai pelaku peledakan terus menerus
terdengar dan disaksikan. Bahkan berbagai tudingan datang dari
negara-negara lain (AS, Inggris, Australia) yang menyebutkan
Indonesia adalah negara sarangnya teroris. Tudingan tersebut dilandasi
mengingat banyaknya aksi teror yang terjadi di Indonesia, sebagai
yang telah peneliti jelaskan sebelumnya.64
Pada bagian dictum (putusan) fatwa MUI No. 3 Tahun 2004
tentang terorisme mendefinisikan bahwa terorisme adalah tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan
ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap
keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan
masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang di
organisasikan dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan
digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang

64
Carolyn Gard, The Attacks on the World Trade Center: February 26, 1993,
and September 11, 2001 (New York: The Rosen Publishing Group, Inc., 2003), 5.
Lihat juga Zuhairi Misrawi, “Islam dan Terorisme” http://islamlib.com/id/artikel/
islam-dan-terorisme (diakses tanggal 1 maret 2012). Lihat juga Conor Gearty. “11
September 2001, Counter-Terrorism, and the Human Rights Act.” Journal of Law
and society Vol. 32, No. 1, (March 2005), 18-33 http://www.jstor.org/stable/3557214
(diakses 7 Juni 2014). Lihat juga Mark Long. “Ribat, al-Qa’ida, and the Challenge
for US Foreign Policy.” Middle East Journal Vol. 63, No. 1, (Winter, 2009), 31-47
http://www.jstor.org/stable/25482602 (diakses 1 Juni 2014).
166 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

tidak membedakan-bedakan sasarannya (indiskriminatif). Dari definisi


yang diberikan oleh MUI tersebut, setidaknya ada tiga unsur atau sifat
yang terdapat pada tindakan terorisme, yaitu: pertama, bersifat
merusak (ifsad) dan anarkis. Kedua, tujuannya untuk menciptakan rasa
takut dan/atau menghancurkan pihak lain. Ketiga, dilakukan tanpa
aturan dan sasaran tanpa batas.65
Berdasarkan ketiga unsur di atas, peneliti akan melakukan
tinjauan hukum Islam terhadap terorisme yang disebutkan dalam fatwa
MUI tersebut. Dalam fikih jina>yah, sesungguhnya tidak ada istilah
terorisme. Tidak akan ditemukan, karena masalah terorisme adalah
masalah kontemporer yang tidak muncul pada abad lampau. Begitu
juga di dalam Alquran, tidak akan ditemukan masalah ini, maka
terorisme atau al-Irha>biyah dalam arti lain juga berarti intimidasi atau
ancaman, yang dalam bahasa arab yaitu ‫ اﻻرھﺎب‬atau ‫ رھﺒﮫ‬yang berarti
menakuti dan mengintimidasi, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya. 66 Hal ini bila dikaitkan dengan jari>mah-jari>mah yang ada
dalam fikih jina>yah termasuk dalam jari>mah hira>bah, yang artinya
adalah keluarnya sekelompok bersenjata di daerah Islam dan
melakukan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, merusak,
kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlaq, dan
ketertiban umum, baik dari kalangan Muslim, maupun kafir (dzimmi
maupun h}arbi>).67
Dari keterangan di atas, peneliti mendefinisikan dan
mengqiyaskan antara jari>mah hira>bah dengan tindakan terorisme
berdasarkan kesamaan definisi dan maksud keduanya yaitu aksi
sekelompok orang dalam negara Islam untuk melakukan kekacauan,
gangguan keamanan, pembunuhan, pertumpahan darah, perampasan
harta, merusak citra agama, akhlak, ketertiban, dan undang-undang.
Dengan cara qiyas berarti telah mengembalikan ketentuan hukum
sesuatu kepada sumbernya yaitu Alquran dan al-Hadis, tetapi ada yang

65
MUI, “ Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 3 Tahun 2004 Tentang
Terorisme” http://id.scribd.com/doc/18799174/Fatwa-MUI-tentang-Terorisme (diak-
ses 12 Mei 2014).
66
Ahmad Warsan Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 539.
67
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Bandung: al-Ma’arif, t.th), 186. Lihat juga
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam) (Yogyakarta: Fakultas Hukum UI, 1991), 51.
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 167

tersirat dan bersifat implisit-analogik.68 Maka dengan pendekatan


analogis antara terorisme atau al-Irha>biyyah dengan hira>bah, akan
menemukan persamaan antara sebab dan sifat kedua tindak pidana
tersebut. Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda :
(‫)ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬
Artinya: Barangsiapa membawa senjata untuk mengacau, maka
bukanlah termasuk golongan kami (Muttafaqun ‘Alayh).69
Para fuqaha> mendefinisikan al-muha>rib (pelaku hira>bah) dengan :

Artinya: Orang yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan


menakut-nakuti mereka (menimbulkan rasa takut di kalangan
masyarakat).
Menurut ‘Abd al-Qadir ‘Awdah dalam kitabnya al-Tashri’ al-
Jina’i> al-Isla>mi>, bahwa jari>mah hira>bah dapat berbentuk tindakan-
tindakan sebagai berikut: pertama, suatu aksi kekerasan untuk
mengacau masyarakat atau mengganggu keamanan, sekalipun tidak
mengambil harta atau tidak melakukan pembunuhan. Kedua, suatu
aksi untuk melakukan kekerasan sehingga menghancurkan harta benda
tetapi tidak melakukan pembunuhan. Ketiga, suatu aksi kekerasan
yang berakibat hancurnya harta benda dan nyawa. Selanjutnya
menurut beliau, unsur utama dalam jari>mah hira>bah adalah aksi
kekerasan yang mengganggu keamanan masyarakat, baik
menggunakan senjata atau tidak, baik dilakukan di desa atau di kota,
atau di jalan umum dan fasilitas masyarakat.70 Dalam hal tempat
dilakukannya hira>bah terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha>.
Menurut Imam Malik, melakukan hira>bah di dalam atau di luar kota,
dalam hal ini Imam Syafi’i mensyaratkan adanya kekuatan, meski ia
tidak mensyaratkan jumlah dan besarnya kekuatan (syaukah) itu.

68
Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), 96. Lihat juga Muhammad Abed al-Jabiry, Al-
‘Aql al-Akhlaqi-‘Arabi>: Dirasat al-Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Qiya>m fi> al-
Saqafah al-‘Arabiyah (Maroko: Da>r al-Nasyr al-Magribiyah, 2001), 47.
69
Muhammad Ibn Isma>il al-Makhalani, Subu al-Sala>m (Kairo: Da>r al-Sala>m,
t.th), 257.
70
‘Abd al-Qadir ‘Awdah, Al-Tashri’ al-Jina’i> al-Islami> (Beirut: Libanon,
2000), 138. Lihat juga ‘Abd al-Qadir ‘Awdah, Al-Tashri’ al-Jina’i> al-Isla>mi>, 569.
168 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan untuk dapat mengalahkan,


karena itu ia tidak mensyarahkan bahwa hira>bah itu dilakukan di
tempat yang jauh dari keramaian. Menurut Imam Abu> Hani>fah,
hira>bah tidak terdapat di dalam kota.71 Adapun dalil dari jari>mah
hira>bah ini tersebut dalam QS. al-Ma>idah, ayat 33.
Imam Jalalayn, menafsirkan surat al-Ma>idah 5: 33 sebagai
perbuatan maksiat, pencurian, perampokan dan pembunuhan terhadap
para Nabi dan umat Islam.72 Surat al-Ma>idah 5: 33 yang secara
spesifik membicarakan hukuman bagi orang yang berbuat kerusakan di
muka bumi (yang ditafsirkan oleh ulama sebagai perampokan, qat’u al-
T}ari>q) merespons perampokan yang dilakukan oleh suku ‘Ukail dan
suku ‘Urainah. Ayat ini turun mengkritik tindakan kaum Muslim yang
keterlaluan menghukum kedua suku tersebut.73 Imam Al-Bukha>ri> dan
Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa ada delapan orang
suku ‘Ukail yang datang kepada Rasulullah SAW, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Dapat dipahami dari keterangan tersebut,
bahwa tindak terorisme tidak dibenarkan dalam Islam, ia disamakan
dengan perbuatan memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membunuh
seluruh umat manusia.74
Dalam fatwa MUI jihad didefinisikan sebagai berikut: pertama,
jihad adalah segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan
untuk menanggung kesulitan di dalam merangi dan menahan agresi
musuh dalam segala bentuknya. Kedua, segala upaya yang sungguh-
sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meniggikan agama
Allah. Dari kedua definisi tersebut, dapat diketahui bahwa jihad
memiliki beberapa sifat mendasar antara lain: yaitu pertama,
melakukan perbaikan (is}la>h) sekalipun dengan cara peperangan.
Kedua, tujuannya menegakkan agama Allah dan membela hak-hak

71
Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 603.
72
Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman
Ibn Abi Bakr al-Suyu>t}i, Tafsi>r Jalalayn, Juz 1 (Surabaya: Da>r al-‘Abidi>n, t.th), 100.
73
Quraish Shiha>b, Tafsi>r al-Misbah Vol.3 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 78.
74
Muhammad Ali al-S}abu>ni>, Mukhtasar Tafsi>r Ibn Kathi>r (Beirut: Da>r Al-
Qur’a>n al-Kari>m, 1402 H), 509.
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 169

pihak yang terzalimi. Ketiga, dilakukan dengan mengikuti aturan yang


ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang jelas.75
Berdasarkan ketiga sifat di atas, dapatlah dipahami bahwa
dilakukannya jihad dengan cara melakukan perbaikan, dan bertujuan
menegakkan agama Allah dan membela hak-hak pihak yang terzalimi,
dan dilakukan berdasarkan aturan yang telah ditentukan oleh syar’i.
bila merujuk kepada hadis-hadis Rasulullah SAW, jihad tidak hanya
dimaknai dengan makna tunggal, yaitu perang. Akan tetapi, jihad
memiliki pengertian umum mencakup seluruh jenis ibadah dan amal
shalih, di antaranya: haji mabrur, menyampaikan kebenaran kepada
penguasa yang zalim, berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu dan
mengembangkan pendidikan, dan membantu fakir miskin.76
Memang, jihad dalam pengertian yang khusus dapat dimaknai
sebagai perang. Sebagaimana segenap kekuatan dalam perang fi>
sabi>lilla>h baik secara langsung maupun dalam bentuk pemberian
bantuan keuangan, pendapat, atau penyediaan logistik, dan lain-lain
untuk memenangkan peperangan. Akan tetapi, berjihad dalam arti
berperang haruslah memenuhi aturan-aturan yang telah ditentukan
oleh syar’i, yaitu: pertama, hendaknya berijihad semata-mata
mengharapkan keridhaan Allah SWT, dan kaum Muslimin memiliki
senjata, kekuatan, dan pertahanan. Kedua, berjihad dalam satu
komando di bawah bendera kaum Muslimin. Seorang Imam/pemimpin
mengumandangkan seruan untuk berjihad. Ketiga, hendaknya sebelum
diperangi, maka telah diserukan dakwah terlebih dulu kepada musuh
untuk masuk Islam. Keempat, hendaknya benar-benar yakin bahwa
dalam berjihad ini tidak menimbulkan kemudharatan lebih besar bagi
Islam dan Muslimin.77
Jika telah terpenuhinya syarat dan faktor tersebut, maka
barulah diperbolehkan berjihad atau berperang, dan kalau ada satu atau

75
MUI, “ Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 3 Tahun 2004 Tentang
Terorisme” http://id.scribd.com/doc/18799174/Fatwa-MUI-tentang-Terorisme (diak-
ses 12 Mei 2014). Lihat juga David T. Hill. “ East Timor and the Internet: Global
Political Leverage in/on Indonesia.” Southeast Asia Program Publications at Cornell
University Vol. 2, No. 73, (Apr 2002) Article DOI: 10.2307/3351468, 25-51
http://www.jstor.org/stable/3351468 (diakses 13 Juni 2014).
76
Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma>i>l al-Bukha>ri>, S}ahi>h al-Bukha>ri>, Juz 1
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), 73.
77
Ibn Abidi>n, Hasyiah Rad al-Mukhtar (Beirut: Da>r al-Fikr, 1992), 119.
170 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

bahkan semua tidak terpenuhi maka tidak diperkenankan untuk


berjihad atau berperang. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh
Sunnah, beliau menjelaskan bahwa berjihad (berperang) sama sekali
tidak dikenal dalam ajaran Islam, kecuali pada dua keadaan: pertama,
mempertahankan diri, nama baik, harta, dan tanah air ketika diserang
musuh. Kedua, dalam keadaan mempertahankan dakwah di jalan
Allah. Dari pemaparan di atas, dapatlah dipahami bahwa jihad dengan
makna perang memiliki aturan-aturan yang sangat ketat untuk
melakukannya, sebagaiman para ulama telah sangat hati-hati
melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan perang ini.78
Jihad pun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak bisa
didefinisikan hanya sekedar berperang. Pemahaman tersebut telah
melakukan “pengerdilan” terhadap ajaran jihad yang agung. Menurut
Muhammad Sa’id Ramd}a>n al-Bu>t}i> (al-Jiha>d fi> al-Isla>m), jika jihad
diidentikan sebagai perang saja, maka ajaran jihad akan kehilangan
makna yang sebenarnya dan segala macam variasinya. Alquran sendiri
tidak secara definitif memaknai jihad sebagai perang. Alquran
menggunakan istilah al-Qita>l sebagai padanan perang. sementara jihad
tetap kaya dengan multi makna dan multi bentuk.79 Dalam QS.al-
Furqa>n 25: 52 yang turun di Mekkah, Allah SWT berfirman:
       
Artinya: Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan
berjihadlah terhadap mereka dengan Alquran dengan Jihad yang besar.
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai; ‘jihad besar’ (jiha>d
kabi>r) ini. menurut Ibn Abba>s, konotasi jihad dalam ayat itu adalah
dengan Alquran, menurut Ibn Zaid dengan ‘Islam’, dan ada yang
berpendapat dengan pedang alias perang. Namun al-Qurt}u>bi> dalam
tasirnya al-Ja>mi’ li ahka>m Alquran menolak keras pendapat terakhir.

78
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 40.
79
Muhammad Said Ramad}a>n al-Bu>t}i>, al-Jiha>d fi> al-Isla>m (Beirut: Da>r al-Fikr,
1993), 246. Lihat juga Gary R, Bunt. “ Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online
Fatwas and Cyber Islamic Environments.” London and Sterling, Virginia: Pluto
Press, The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 21, No. 4, (May 2003),
237. (diakses 10 Juni 2014). Lihat juga Muzaffar Assadi. “ Fatwa, Terrorism and
Jehad.” Economic and Political Weekly Vol. 43, No. 31, (Aug 2008), 16-18
http://www.jstor.org/stable/40277794 (diakses 9 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 171

‘Jihad dengan pedang’, karena ayat ini turun di Mekkah, jauh sebelum
turun perintah perang.80
Shat}a’al-Dimyati dalam kitabnya I’anah al-T}alibi>n mendefi-
nisikan jihad sebagai aksi menolak marabahaya dan kekacauan serta
berjihad untuk kemakmuran dan kesejahteraan sandang dan pangan.81
Namun, ada sebagian orang yang menurut peneliti kurang tepat dalam
memaknai kata jihad. Salah satu contoh dari terorisme yang ‘berbaju’
agama adalah apa yang dilakukan oleh Imam Samudra, dan lainnya
dalam aksi bom di Bali. Imam Samudra dalam bukunya “Aku Melawan
Teroris” dengan bangga dan tanpa dosa mengakui perbuatan biadabnya
di Bali, dan menganggap perbuatan tersebut adalah jihad fi> sabi>lilla>h.
Imam Samudra secara jelas dan rinci mengakui bahwa yang mereka
lakukan adalah melawan musuh-musuh Islam yang ada di Bali, padahal
korban dari perbuatan mereka, justru banyak yang menimpa kaum
Muslim. Mereka menjadikan penderitaan Muslim Palestina sebagai
dasar dari tindakan mereka dalam perbuatan mereka di Bali adalah
upaya balas dendam atas perbuatan orang non Muslim di Palestina.
Pola berfikir ala Imam Samudra ini adalah suatu kebodohan, dan
emosional sesaat. Imam Samudra dan lainnya dalam beberapa kasus
pemboman, dengan dalih berpijak pada dalil Alquran. Ayat-ayat
Alquran yang mereka gunakan untuk membenarkan tindakannya
adalah QS. al-Tawbah 9: 29 sebagai berikut:
            

          

     


Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan
apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan al-Kita>b kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

80
Muh}ammad Ibn Ah}mad al-Qurtu>bi>, al-Ja>mi’ Li Ahka>m Al-Qur’a>n, Juz 1
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1952), 58.
81
Muh}ammad Shatha’ al-Dimyati, I’anah al-T>}alibi>n, Juz IV (Beirut: Da>r al-
Ihya> al-Kutub al-Arabiyah), 180.
172 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Berdasarkan ayat-ayat di atas, Imam Samudra berkeyakinan


bahwa mereka diwajibkan berperang melawan orang-orang kafir di
mana pun mereka berada. Kewajiban berperang dengan orang-orang
non Muslim dilakukan sampai dua tujuan, yakni tidak ada
kemungkaran di muka bumi dan terlaksananya hukum Islam secara
sempurna. Imam Samudra tidak menyadari bahwa ayat-ayat yang
mereka kutip sebagai pembenaran atas tindakan mereka di Bali adalah
ayat-ayat yang penuh muatan kondisi lokal saat ayat itu turun dan ayat
itu bukanlah pesan universal Alquran sehingga penerapan ayat-ayat
tersebut harus disesuaikan dengan kondisi masa sekarang. Ayat-ayat di
atas dalam kitab tafsi>r Ibn Kathi>r disebut dengan ayat-ayat saif (ayat-
ayat yang memerintahkan perang) turun di kala kaum Muslim sedang
ditindas oleh kaum Quraisy dan sekutu-sekutunya, dan jalan keluar
satu-satunya dari masalah tersebut adalah dengan perang.82
Menurut M. Quraish Shihab, perintah membunuh orang-orang
musyrik (QS.al-Tawbah 9: 5) adalah mereka yang menganggu dan
menganiaya kaum Muslim, tidak berlaku bagi mereka yang tidak
mengganggu kaum Muslim.83 Perintah untuk memerangi Ahl al-Kita>b
(QS.al-Tawbah 9: 29) bukan karena perbedaan keyakinan keberagaman
(bukan karena mereka tidak masuk Islam), tapi disebabkan ahl al-
Kita>b pada waktu itu berjuang bahu-membahu dengan bangsa romawi
memerangi kaum Muslim. Sedang perintah untuk memerangi kaum
munafik (QS.al-Tawbah 9: 73) disebabkan mereka adalah duri dalam
daging, mereka senantiasa membantu menghancurkan kaum Muslim
dari dalam dan membantu musuh-musuh Islam. Inilah alasan Allah
SWT memerintah Nabi Muhammad SAW untuk memerangi kaum
Muslim.84
Jelaslah, bahwa pemahaman yang keliru terhadap Alquran
secara keseluruhan, adalah penyebab lahirnya sikap radikal yang
bermuara pada aksi-aksi terorisme. Janganlah hanya melihat suatu
kelompok dengan pakaian yang mereka gunakan, yang terkesan islami
dan sakral, jika perbuatannya tidak bermanfaat dan menebaran

82
Abu> al-Fida Isma>i>l Ibn Kathi>r, Tafsi>r Ibn Kathi>r (Kuala Lumpur: Victorie
Agencie, 1998), 96. Lihat juga Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Solo: KDT,
2004), 89-95. Lihat juga Sadik J. Al-Azm. “Islam, Terrorism and the West Today.”
Brill New Series Vol. 44, No. 1, (May 2004), 114-128 http://www.jstor.org/
stable/1571337 (diakses 5 Juni 2014).
83
Quraish Shiha>b, Tafsi>r al-Misbah Vol.5 , 503.
84
Quraish Shiha>b, Tafsi>r al-Misbah Vol.5 , 542.
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 173

kebencian dan permusuhan. Namun demikian, peristiwa ini hendaklah


dijadikan pelajaran untuk pemerintah yang telah lalai dalam
menengakkan amar ma’ru>f nahi> munkar di negeri ini sehingga
bermunculanlah gerakan-gerakan massa yang merasa tidak puas
dengan sikap pemerintah dalam menegakkan amar ma’ru>f nahi> munkar
ini. beberapa alasan penting dari responden berkaitan dengan
persetujuannya dalam penggunaan cara-cara kekerasan, sebagai
berikut: pertama, jika cara-cara konstitusional dan cara-cara ekstra
konstitusional yang demokratis, seperti unjuk rasa, demonstrasi, dan
semacamnya tidak lagi efektif sebagai sarana perjuangan umat. Kedua,
jika pemerintah dan lembaga terkait tidak lagi mampu menjamin
penegakan hukum atas pelanggaran undang-undang. Ketiga, jika pihak
yang melakukan maksiat tidak menghindahkan peringatan yang
disampaikan oleh tokoh masyarakat, para ulama, dan sebagainya.85
Perlu diingat kembali, bahwa Kemerdekaan Negara Republik
Indonesia dapat diraih bukan hanya karena usaha para pejuang
kemerdekaan semata. Akan tetapi karena adanya pertolongan dari
Allah SWT kepada bangsa ini, sehingga para pendiri bangsa ini secara
sangat sadar dan jujur, menyatakan pada bunyi Pembukaan UUD 1945
alinea ke-3 “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya”. Sebagai bangsa yang telah diberikan kemerdekaan
oleh Allah SWT, tentunya masyarakat mempunyai suatu kewajiban
untuk mensyukuri nikmat Allah SWT ini, dengan cara menjalankan
hukum-hukum yang telah disyariatkan oleh Allah SWT yang tersebut
di dalam Alquran dan al-Hadis. Untuk itu, dalam hal ini yang
berwenang dan memiliki kekuasaan untuk melaksanakan hukum-
hukum tersebut adalah pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia
mempunyai kewajiban menegakkan hukum-hukum Allah SWT atau
paling minimal sekali menegakkan secara konsisten hukum-hukum
negara yang telah ada. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk
melakukan amar ma’ru>f nahi> munkar terhadap negara yang
dipimpinnya. Namun, pada kenyataannya tidaklah demikian.

85
Muhammad Asfar, Islam Lunak-Islam Radikal (Surabaya: JP Press, 2003),
225. Lihat juga Anthony Richards. “ The Problem With 'Radicalization': The Remit
Of 'Prevent' And The Need To Refocus On Terrorism In The UK.” Wiley on behalf
of the Royal Institute of International Affairs Vol. 87, No. 1, (January 2011), 143-
152 http://www.jstor.org/stable/20869615 (diakses 2 Juni 2014).
174 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Pemerintah tampaknya tidak mampu (menutup mata) terhadap


kegiatan-kegiatan maksiat yang ada di Indonesia. Ini dapat dilihat dari
menjamurnya diskotik-diskotik, tempat karaoke malam, dan lain-lain
yang dapat dipastikan di tempat itu merupakan tempat orang
melakukan maksiat. Sebut saja misalnya Sari Club dan Paddy’s Cafe
di Legian, Raja’s Bar di daerah Pantai Kuta yang telah menjadi target
pengebomannya Imam Samudra Cs.86
Tempat-tempat tersebut merupakan tempat yang biasa dipadati
para turis asing untuk mencari hiburan dengan melakukan berbagai
maksiat di dalamnya seperti minum bir, berjoget tanpa busana,
pergaulana bebas, dan berbagai kegiatan maksiat lainnya. Inilah salah
satu sebab Imam Samudra memilih tempat-tempat tersebut sebagai
lokasi target pengebomannya. Seharusnya pemerintah Indonesia
mencegah dan tidak memberikan izin berdirinya tempat-tempat
maksiat seperti itu, sehingga umat Islam yang berkomitmen untuk ber-
amar ma’ru>f nahi> munkar akan merasa terwakili dengan sikap
pemerintah tersebut. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya.
Pemerintah bersikap apatis terhadap kegiatan maksiat yang terjadi di
negara ini. bahkan terkesan melegalkan kegiatan tersebut. Inilah yang
melatar belakangi munculnya gerakan-gerakan massa atau ormas-
ormas Islam yang anti terhadap kemaksiatan, karena merasa tidak puas
dengan sikap pemerintah dalam menegakkan amar ma’ru>f nahi> munkar
ini.87 Oleh karena itu, peneliti menilai bahwa apa yang dilakukan oleh
Imam Samudra atau ormas-ormas Islam yang melakukan kekerasan
terhadap kemaksiatan tidaklah dapat disalahkan sepenuhnya,
melainkan juga kesalahan pihak pemerintah yang tidak mampu
memberantas kemaksiatan di negeri ini, dan belum mampu
menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 sebagai
landasan negara Indonesia. Pada bagian dictum (putusan) fatwa MUI
No. 3 Tahun 2004 Tentang Terorisme menyebutkan bahwa hukum
86
RG, “ Inilah 5 Kasus Terorisme yang Heboh di Indonesia”
http://ciricara.com/2012/09/10/inilah-5-kasus-terorisme (diakses 1 Februari 2014).
Lihat juga Walter Laqueur. “ The New Terrorism, Fanaticism and the Arms of Mass
Destruction.” The American Journal of International Law Vol. 94, No. 2, (Apr 2000)
Article DOI: 10.2307/2555312, 434-438 http://www.jstor.org/stable/2555312
(diakses 4 Juni 2014).
87
Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, 93-95. Lihat juga Adnan A.
Musallam. “ From Secularism to Jihad: Sayyid Qutb and the Foundations of Radical
Islamism.” Middle East Journal Vol. 60, No. 4, (Autumn, 2006), 777-788
http://www.jstor.org/stable/4330322 (diakses 10 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 175

melakukan teror adalah haram. Baik dilakukan oleh perorangan,


kelompok, maupun negara. Dalilnya adalah: Firman Allah SWT dalam
QS. al-Ma>idah 5: 32,
              

          

            

  


Artinya: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh
manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka
Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.

Hadis Nabi SAW:

Artinya: Tidak halal bagi seorang Muslim menakut-nakuti orang


Muslim lainnya. (HR. Abu Dawu>d).88

Artinya: Barangsiapa mengacungkan senjata kepada saudaranya


(Muslim), maka malaikat akan melaknatnya sehingga ia berhenti. (HR.
Muslim).89
Sebagaimana telah peneliti paparkan pada bagian sebelumnya,
bahwasanya peneliti mendefinisikan dan mengqiyaskan antara jari>mah
hira>bah dengan tindak terorisme berdasarkan kesamaan definisi dan
maksud keduanya. Oleh karena itu, yang dibahas adalah jari>mah

88
Abu> Da>ud Sulaima>n Ibn al-Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abi Da>wu>d, Juz 4
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), 330.
89
Abu> al-Husayn Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, S}ahi>h
Muslim, Juz 16 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1995), 132.
176 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

hira>bah menurut fikih Islam, sehingga akan teranglah penjelasan


mengenai hukum terorisme dalam pandangan hukum Islam. Hira>bah
berasal dari kata ‘h}arb’ (peperangan). Hira>bah adalah sekelompok
teroris (t}aifah al-Irha>biyah) dari kalangan Muslim, murtad, atau ahl al-
dzimah, yang dengan sengaja mempersenjatai dirinya dengan senjata
dan bertujuan melakukan perampokan, pembunuhan, teror, dan
menyebarkan keresahan di tengah-tengah masyarakat, dan biasanya
mereka berada di luar kota, desa terpencil, gunung, gurun, padang
pasir, dan melakukan teror di kereta api, pesawat terbang, jalan-jalan
di luar kota, atau di tempat-tempat yang tidak memungkinkan
datangnya bantuan maupun perlindungan.
Hira>bah merupakan salah satu bentuk jari>mah hudu>d, yaitu
tindak pidana yang jenis, jumlah dan hukumannya ditentukan oleh
syariat. Hira>bah disebut juga oleh ahli fikih sebagai qath’u al-T}ari>q
(menyamun) atau al-Sariqah al-Kubra (pencurian besar). Ulama fikih
menyebut hira>bah sebagai al-Sariqah al-Kubra, karena hira>bah itu
merupakan upaya mendapatkan harta dalam jumlah besar dengan
akibat yang dapat menyebabkan kematian dan terganggunya keamanan
dan ketertiban. Para ulama memang mempersyaratkan hira>bah dengan
tindakan-tindakan kekerasan untuk merampas harta, mengganggu
keamanan dan mengancam nyawa manusia akan tetapi kekerasan dan
gangguan keamanan yang dimaksud tidak dijelaskan lebih detail. Para
ulama sepakat bahwa tindakan hira>bah termasuk dosa besar yang layak
dikenai sanksi had. Dalilnya adalah firman Allah SWT QS. Al-Ma>idah
5: 33. Ini berarti bahwa jari>mah hira>bah disamakan dengan perbuatan
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membunuh seluruh umat
manusia, yang hukum dasarnya jelas haram, karena bertolak belakang
sekali dengan maqa>sid al-Shari>’ah, yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada umat Islam khususnya dan kepada umat manusia umumnya
adalah untuk memelihara agama (hifz} al-di>n), memelihara nyawa (hifz}
al-nafs), memelihara akal (hifz} al-‘aql), memelihara keturunan (hifz} al-
naql), dan memelihara harta (hifz} al-ma>l).90

90
Abul A’la al-Maududi, Human Right in Islam, 21. Lihat juga Topo Santoso,
Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda,
29. Lihat juga Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh, 269. Lihat juga Adnan A.
Musallam. “ From Secularism to Jihad: Sayyid Qutb and the Foundations of Radical
Islamism.” Middle East Journal Vol. 60, No. 4, (Autumn, 2006), 777-788
http://www.jstor.org/stable/4330322 (diakses 10 Juni 2014).
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 177

Dengan demikian dapatlah dipahami, bahwa melakukan


jari>mah hira>bah ataupun terorisme adalah haram hukumnya, karena
dengan melakukannya telah sangat bertentangan dengan nas}-nas}
Alquran dan hadis-hadis Nabi SAW, serta merusak kelima tujuan dasar
(maqa>s}id al-Shari>’ah) ditegakkannya syariat Allah di muka bumi.
Sanksi terorisme dalam Fatwa MUI No. 3 Tahun 2004 Tentang
Terorisme, tidak disebutkan jenis sanksi/hukuman apa yang harus
dijatuhkan kepada para pelaku terorisme. Hal ini dikarenakan MUI
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan peradilan dan eksekusi
terhadap para pelaku terorisme. MUI hanya berwenang menetapkan
fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum, dan
masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian umat
Islam Indonesia. Alasan lain adalah karena di Indonesia,
sanksi/hukuman bagi para pelaku terorisme telah diatur tersendiri
secara mendetail di dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
Tentang Anti Terorisme.91
Oleh sebab itu, dalam fatwa MUI tentang terorisme, tidak
menyebutkan jenis hukuman bagi para pelaku terorisme. Walaupun
demikian, peneliti menguraikan jenis hukuman apa yang harus
dijatuhkan kepada para pelaku terorisme, dalam pandangan hukum
Islam. Hukum hira>bah dan tata cara menjatuhkannya telah disebut di
dalam Al-Qur’a>n al-Kari>m. Allah SWT berfirman dalam QS. al-
Ma>idah 5: 33. Atas dasar itu, dapat diketahui hukuman bagi orang
yang melakukan tindak hira>bah adalah: pertama, dibunuh, kedua
disalib, ketiga dipotong tangan dan kakinya bersilangan, dan keempat
dibuang dari negeri tempat kediamannya. (deportasi).92

91
T. Nasrullah, “Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun Formil
Terhadap UU No.15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.” Jurnal
Kriminologi Indoesia Vol. 4, No. 1, (September 2005), 65-76. Lihat juga David T.
Hill. “ East Timor and the Internet: Global Political Leverage in/on Indonesia”.
Southeast Asia Program Publications at Cornell University Vol. 2, No. 73, (Apr
2002) Article DOI: 10.2307/3351468, 25-51 http://www.jstor.org/stable/3351468
(diakses 13 Juni 2014). Lihat juga Beverly Gage. “Terrorism and the American
Experience:A State of the Field.” The Journal of American History Vol. 98, No. 1
(June 2011), 73-94 http://www.jstor.org/stable/41509050 (diakses 25 Mei 2014).
92
Yu>suf al-Qarad}a>wi, Fiqh al-Jiha>d, 728. Lihat juga Bettina Graf. “Yūsuf al-
Qarad}āwī in Cyberspace.” Brill New Series Vol. 47, No. 3-4, (May 2007), 403-421
http://www.jstor.org/stable/20140785 (diakses 3 Juni 2014).
178 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Dalam menentukan pengertian lafaz} au (atau) pada ayat di atas,


apakah bermakna takhyi>r (pilihan) atau tanwi’ (perincian), maka para
ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan bawah au
pada ayat tersebut adalah takhyi>r, didasarkan pada argumentasi bahwa
secara bahasa huruf au (pada ayat tersebut) berfaedah pada takhyi>r,
sebab mereka tidak menjumpai nas}-nas} lain yang merincinya. Ini
adalah pendapat Abu> al-T}haur, Imam Malik, Said bin Musayab, ‘Umar
bin ‘Abd ‘al-Azi>z, Muja>hid, al-Dhahak, dan al-Nakha’i. Berdasarkan
penafsiran ini, seorang hakim bisa memilih salah satu sanksi, dari
empat sanksi itu bagi muha>ribi>n, sedangkan pendapat kedua
menyatakan bahwa lafaz} au pada ayat tersebut berfaedah kepada
tanwi’ al-Hukm (perincian hukum). Mereka mengetengahkan riwayat
dari Ibn ‘Abbas yang terdapat dalam musnad Imam Syafi’i mengenai
muha>ribi>n (para pembegal), “jika mereka membunuh dan merampas
harta benda, maka dibunuh dan disalib, jika mereka membunuh namun
tidak merampas harta, mereka dibunuh dan tidak disalib, jika mereka
merampas harta namun tidak membunuh, maka, tangan dan kakinya
dipotong bersilangan, jika mereka melakukan teror dan tidak
merampas harta dibuang dari negerinya. Pendapat ini dipegang oleh
Imam Syafi’i, Abu> Hani>fah, dan Imam Ah}mad dalam satu riwayat.
Pendapat yang rajah (kuat) adalah pendapat yang kedua.93
Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman untuk hira>bah.
Menurut Imam Abu> Hani>fah, Iman Syafi’i, Imam Ah}mad, dan Syi’ah
Zaidiyah, hukuman untuk muha>ribi>n itu berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan jenis perbuatan yang dilakukannya. Berdasarkan bentuknya,
hukuman jari>mah hira>bah terbagi menjadi empat, yaitu: pertama,
hukuman menakut-nakuti. Hukuman untuk jenis hira>bah ini, adalah
pengasingan (al-nafyu). Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu>
Hani>fah dan Imam Ahmad. Adapun menurut Imam Syafi’i dan Syi’ah
Zaidiyah, hukumannya adalah ta’zi>r atau pengasingan, karena dua
jenis hukuman ini dianggap sama. Ulama fikih berbeda pendapat
dalam memahami hukuman pembuangan (al-nafyu) dalam ayat
tersebut. Menurut mazhab Hanafi, al-nafyu itu berarti memenjarakan
pelaku hira>bah, karena apabila hukuman pembuangan diartikan secara

93
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), 51. Lihat juga Topo Santoso,
Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda,
29. Lihat juga Muhammad Abu> Zahrah, Al-Jari>mah wa al-‘Uqubah fi> al-Fiqh al-
Isla>mi>, 22.
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 179

harfiah, yaitu dibuang dari tempat asalnya ke negeri lain, maka


dikhawatirkan di tempat pembuangan itu ia akan melakukan hira>bah
lagi, atau ia lari ke wilayah non Islam dan bisa jadi ia murtad dari
Islam. Ulama mazhab Maliki mengartikan al-nafyu itu dengan artian
harfiahnya, yaitu membuang pelaku ke negeri lain, tetapi di negeri itu
ia dipenjarakan sampai ia taubat. Ulama mazhab Syafi’i mengartikan
al-nafyu dengan memenjarakan pelaku sampai ia taubat di negerinya
sendiri. Adapun ulama mazhab Hambali mengatakan al-nafyu itu
adalah membuangnya ke negeri lain dan tidak boleh kembali ke negeri
asalnya.94
Kedua, hukuman mengambil harta tanpa membunuh. Menurut
Imam Abu> Hani>fah, Imam Syafi’i, Imam Ah}mad, dan Syi’ah Zaidiyah,
hukumannya adalah potong tangan dan kakinya dengan bersilang,
yaitu dipotong tangan kanan dan kaki kirinya. Sedangkan Imam Malik
berpendapat bahwa sesuai dengan penafsiran huruf au dalam surat al-
Ma>idah ayat 33, hukuman untuk muha>ribi>n yang mengambil harta ini
diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman yang terdapat
dalam surat al-Ma>idah ayat 33, asal jangan pengasingan.
Ketiga, hukuman membunuh tanpa mengambil harta. Apabila
muha>ribi>n hanya membunuh korban tanpa mengambil hartanya,
menurut Imam Syafi’i, Imam Ah}mad, Syi’ah Zaidiyah di samping
hukuman mati pelaku juga harus disalib. Sedangkan menurut Imam
Abu> Hani>fah, pelaku hanya dijatuhi hukuman mati tanpa disalib.95
Keempat, hukuman membunuh dan mengambil harta. Apabila pelaku
hira>bah membunuh korban dan mengambil hartanya, menurut Imam
Syafi’i, Imam Ah}mad, Syi’ah Zaidiyah, Imam Abu> Yu>suf, dan Imam
Muhammad dari Kelompok Hanafiyah, hukumannya adalah dibunuh
(hukuman mati) dan disalib, tanpa dipotong tangan dan kakinya.
Sedangkan Imam Abu> Hani>fah berpendapat bahwa dalam kasus ini,
hakim diperbolehkan untuk memilih salah satu dari tiga alternatif
hukuman: pertama, potong tangan dan kaki, kemudian dibunuh atau

94
‘Abd al-Qadir, al-Tashri’ al-Jina’i> al-Isla>mi>, 648. Lihat juga ‘Abd al-Qadir
‘Audah, Al-Tashri’ al-Jina’i> al-Isla>mi>, 569. Lihat juga ‘Abd al-Rahma>n al-Jaziri, al-
Fiqh, A’la al-Madha>hib al-Arba’ah, Juz V, 288-292.
95
‘Abd al-Qadir, al-Tashri’ al-Jina’i> al-Islami>, 652. Lihat juga ‘Abd al-Azi>z
Ami>r, Al-Ta’zi>r fi> al-Shari’at al-Islami>yah, 52. Lihat juga Gary R, Bunt. “ Islam in
the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environments”. London
and Sterling, Virginia: Pluto Press, The American Journal of Islamic Social Sciences
Vol. 21, No. 4, (May 2003), 237. (diakses 10 Juni 2014).
180 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

disalib. Kedua, dibunuh tanpa disalib dan dipotong tangan dan kaki.
Ketiga, disalib kemudian dibunuh.96
Dengan mengqiyaskan atau menganalogikan terorisme dengan
hira>bah, maka hukuman bagi pelaku terorisme dapat pula diklasifi-
kasikan menjadi empat. Pertama, hukuman ta’zi>r dengan cara
dipenjarakan atau diasingkan sampai ia bertaubat, apabila terorisme
dilakukan hanya untuk menakut-nakuti, atau meneror, tanpa adanya
korban nyawa dan harta benda. Kedua, hukuman potong tangan dan
kaki secara silang, apabila tindakan terorisme ini hanya
mengakibatkan jatuhnya korban harta benda atau kerugian materil
lainnya. Ketiga, hukuman mati dengan cara ditembak atau lainnya,
apabila tindakan terorisme ini mengakibatkan jatuhnya korban nyawa
tanpa disertai dengan korban harta benda. Keempat, disalib dan
dihukum mati atau ditembak mati, apabila tindakan terorisme ini
mengakibatkan jatuhnya korban nyawa, harta, dan benda, serta bisa
juga terganggunya stabilitas negara dan citra bangsa.
Cyber terrorism hanya bersifat menakut-nakuti orang,
membuat ketegangan, dan mengganggu keamanan, berikut adalah
penjelasan mengenai sanksi dari kejahatan tersebut. Jika muha>rib
(perampok/pengganggu keamanan) hanya menakuti orang di jalan dan
tidak mengambil harta, hukumannya adalah diasingkan. Pendapat
Imam Abu> Hani>fah dan Ah}mad bin Hanbal ini didasarkan atas firman
Allah SWT. Imam Syafi’i dan Ulama Syi’ah Zaidiyah menyatakan
bahwa hukumannya adalah ta’zi>r atau diasingkan. Mereka menyama-
kan ta’zir dengan mengasingkan karena macam dan waktunya tidak
terbatas. Mereka memperlama masa pembuangan sampai taubat si
muha>rib terlihat. Imam Malik berpendapat bahwa penguasa berhak
memilih antara menghukum mati muha>rib menyalibkan, memotong
tangan, atau mengasingkan.97

96
Ahmad Wardi Muchlis, Hukuman Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika,
2006). 100-105. Lihat juga ‘Abd al-Qadir ‘Awdah, Al-Tashri’ al-Jina’i> al-Isla>mi>,
569. Lihat juga Maghaireh, Alaeldin. “ Shariah Law and Cyber-Sectarian Conflict:
How can Islamic Criminal Law respond to cyber crime?.” International Journal of
Cyber Criminology Vol. 2, No. 2, (July-December 2008), 337–345. (diakses 9 Juni
2014).
97
Yu>suf al-Qarad}a>wi, Fiqh al-Jiha>d, 728. Lihat juga Muhammad Hasbi ash-
Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam, 478-479. Lihat juga ‘Abd al-Wahab Khallaf,
‘Ilmu Us}u> al-Fiqh, 11. Lihat juga Gary R, Bunt. “ Islam in the Digital Age: E-Jihad,
Online Fatwas and Cyber Islamic Environments.” London and Sterling, Virginia:
Cyber Terrorism dalam Hukum Islam | 181

Perintah memilih ini berdasarkan ijtihad dan kesungguhan


untuk mencapai maslahat umum. Jika muha>rib termasuk orang yang
memiliki pemikiran dan wawasan, ijtihad diarahkan untuk menghukum
mati atau menyalibkan karena hukuman potong tangan tidak bisa
menghilangkan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pelaku. Jika
pelaku adalah orang yang tidak mempunyai pemikiran tetapi
mempunyai kekuatan, ia harus dijatuhi hukuman potong tangan dan
kaki bersilang. Jika pelaku tidak mempunyai dua sifat tersebut, ia
hanya dijatuhi hukuman ringan dan hukuman yang sudah ada, yaitu
diasingkan, dan ta’zi>r.
Sebagian ulama berpendapat bahwa maksud mengasingkan
adalah dihilangkan dari muka bumi dengan dibunuh atau disalib.
Sebagian mengatakan bahwa mengasingkan adalah mengusir dari
negara Islam. Menurut definisi ini, mengasingkan berarti membuang.
Di masa sekarang mengasingkan hampir sama dengan mencabut
kewarganegaraan walaupun orang yang dibuang masih bisa kembali ke
negaranya jika ia jelas-jelas bertaubat.98 Definisi mengasingkan
menurut sebagian ulama Malikiyah adalah memenjarakan. Sebagian
ulama lainnya menyatakan bahwa memenjarakan pelaku di tempat lain
yang bukan tempat terjadinya hira>bah, yaitu tempat pelarian mereka
dari iman (penguasa/kepala negara) untuk menghindari hukuman
hudu>d. Jika mereka tertangkap, mereka dibuang ke tempat lain. Ulama
Hanafiah menyakini pendapat pertama. Menurut mereka,
mengasingkan adalah memenjarakan. Pendapat yang kuat dalam
mazhab Syafi’i menyatakan bahwa mengasingkan adalah menahan,
sedangkan menahan bisa dilakukan di tempat pelaku, tetapi lebih
utama di tempat lain. Imam Ah}mad bin Hanbal berpendapat bahwa
mengasingkan adalah mengusir muha>rib dari kota. Ia tidak
diperkenankan kembali ke daerahnya sampai ia jelas-jelas bertaubat.99

Pluto Press, The American Journal of Islamic Social Sciences Vol. 21, No. 4, (May
2003), 237. (diakes 10 Juni 2014).
98
Djazuli, Fiqh Jina>yah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam
(Jakarta: Rajawali Press, 1996), 87. Lihat juga Abu Muawiyah Askari, “ Tafsir
Hukuman Bagi Para Penyamun” http://asysyariah.com/tafsir-hukuman-bagi-para-
penyamun/ (diakses 17 Mei 2014). Lihat juga Muhammad Abu> Zahrah, al-Jari>mah
wa al-‘Uqubah fi> al-Fiqh al-Isla>mi>, 22.
99
‘Abd al-Rahma>n al-Jaziri, Al-Fiqh, A’la al-Madha>hib al-Arba’ah, Juz V,
288-292. Lihat juga Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, 25. Lihat juga Topo
Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan
Agenda, 29. Lihat juga Ibn Taimiyah, al-Siya>sah al-Shari’ah, 112. Lihat juga Ibn al-
182 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Menurut Imam Abu> Hani>fah, al-Syafi’i dan Malik, lamanya


masa pengasingan tidak tertentu. Muha>rib akan terus di tahan sampai
ia terlihat bertaubat dan sikapnya menjadi baik, barulah ia dibebaskan.
Ini adalah pendapat yang kuat dalam mazhab Hanbali. Walaupun
demikian sebagian ulama berpendapat bahwa lama masa pembuangan
adalah satu tahun, dianalogikan dengan hukuman pengasingan atas
tindak pidana zina. Perbedaan pendapat di antara fuqaha> bermula dari
perbedaan menafsirkan makna mengasingkan. Para fuqaha> yang
mengatakan bahwa mengasingkan adalah penjara menafsirkannya
sebagai menghilangkan dari muka bumi. Menurut mereka tidak
mungkin mengeluarkan pelaku dari muka bumi ini secara keseluruhan,
jadi yang harus ditempuh adalah melakukan apa yang bisa dilakukan
semaksimal mungkin. hal yang paling maksimal adalah memenjara-
kan.100
Alquran mengharuskan mengasingkan dan menjauhkan pelaku
dari seluruh muka bumi semampunya. Tujuannya adalah agar tidak
ditetapkan pelaku pada suatu tempat di muka bumi selama mampu
menafikan pelaku dari tempat tersebut. Para ulama yang menyatakan
bahwa lama masa pengasingan tidak terbatas beralasan bahwa nas}
tidak membatasinya dan mengasingkan adalah hukuman bagi muha>rib.
Jika ia muha>rib, ia harus dijatuhi hukuman muha>rib. Pengasingan tetap
wajib atasnya selama ia belum meninggalkan perbuatan hira>bah
dengan cara bertaubat. Jika ia meninggalkan perbuatan tersebut,
hukuman hira>bah gugur darinya. Demikianlah hukuman bagi pelaku
cyber terrorism dalam hukum Islam.

Qayim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’i>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1955), 99. Lihat juga
Muhammad Ibn Ali al-Syaukani, Nail al-Aut}ar, Juz VII, 249.
100
Djazuli, Fiqh Jina>yah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, 89-
90. Lihat juga Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, 25. Lihat juga ‘Abd al-Azi>z
Ami>r, al-Ta’zi>r fi> al-Shari’at al-Islami>yah), 52. Lihat juga ‘Abd al-Wahab Khallaf,
‘Ilmu Us}u> al-Fiqh, 11. Lihat juga Muhammad Ibn Isma>>i>l al-Kahlani, Subu al-Sala>m,
Juz III (Kairo: Maktabat Must}afa al-Baby al-Halaby, 1960, 265. Lihat juga Abu> al-
Hasan Ali Ibn Muhammad al-Mawardi, al-ahka>m al-Sult}}a>niyah (Kairo: Maktabah
Must}afa al-Baby al-Halabi>, 1973), 219.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan penelitian ini membuktikan bahwa meluasnya
jaringan terorisme internasional tidak terlepas dari perkembangan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan miskonsepsi hukum
Islam. Teroris memanfaatkan teknologi Internet untuk melakukan
berbagai aksinya menghancurkan mental musuhnya. Bentuk dari cyber
terrorism tersebut adalah pengendalian dan pengelolaan jaringan
terorisme melalui Internet ke seluruh dunia dengan landasan Islam
yang non-syar’i. Motivasi dari aksi cyber terrorism adalah untuk
kepentingan individu atau kelompok tertentu dengan tujuan
melumpuhkan infrastruktur secara internasional, menekan, dan
mengintimidasi kegiatan pemerintah serta masyarakat sipil dalam
rangka menunjukkan eksistensinya di panggung dunia, bukan atas
dasar nilai-nilai Islam yang luhur untuk tegaknya masyarakat madani.
Oleh sebab itu, cyber terrorism haram dilakukan karena mengganggu
eksistensi negara.
Islam mewajibkan kepada para pemeluknya untuk berjihad
semata-mata karena Allah SWT dan Rasulnya, baik berjihad dengan
harta mereka, jiwa, ucapan, dan lain-lain yang memiliki nilai ibadah di
sisi Allah dan membela hak-hak pihak yang terzalimi, dan dilakukan
berdasarkan aturan yang telah ditentukan oleh syar’i. Jihad dengan
peperangan hanya dapat dilakukan sebagai tindakan preventif untuk
membela diri dari keganasan musuh dan membela dakwah di jalan
Allah SWT. Berbagai aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, dari
segi empiris memiliki benang merah dengan jihad, meskipun secara
normatif tidak memiliki keterkaitan dan dilakukan dengan cara yang
tidak benar.
Aksi terorisme itu dilakukan menurut pandangan subjektif si
pelaku, sifatnya merusak dan menciptakan rasa takut di dalam
masyarakat. Sementara jihad dilakukan dengan aturan-aturan dan
batasan yang telah ditentukan oleh syar’i, dan bertujuan semata-mata
menegakkan agama Allah SWT dan membela hak-hak yang terzalimi.
Majelis Ulama dan organisasi Islam, baik yang berasal dari Indonesia
maupun yang berasal dari luar Indonesia, mengutuk keras tindakan
terorisme dalam berbagai bentuknya. Mereka itu sangat keberatan
apabila aksi terorisme dikait-kaitkan dengan suatu agama, termasuk

183
184 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

agama Islam. Mereka menjelaskan bahwa agama Islam tidak


mengajarkan kepada pemeluknya untuk melakukan tindakan teror
kepada sesama manusia, apalagi sampai adanya korban jiwa. Islam
adalah agama rahmat yang menebarkan kasih sayang kepada seluruh
alam.
Ajaran jihad di dalam Islam adalah ajaran yang suci, dan
memiliki makna yang luas. Jihad dalam arti peperangan hanya bisa
dilakukan di daerah perang, di mana umat Islam ditindas dan dirampas
hartanya. Jihad dalam pengertian ini juga dilakukan langsung kepada
musuh yang jelas, bukan kepada orang-orang tidak berdosa, apalagi
memakan korban sesama Muslim. Majelis Ulama memberikan fatwa
tentang terorisme, bahwa melakukan tindakan teror atau aksi teror
adalah haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun
negara. Sedangkan hukum melakukan jihad adalah wajib. Tindak
pidana terorisme dalam pandangan hukum Islam telah memenuhi unsur
jari>mah hira>bah berdasarkan kesamaan definisi dan maksud keduanya,
yaitu aksi sekelompok orang dalam negara Islam untuk melakukan
kekacauan, gangguan keamanan, pembunuhan, perampasan harta, dan
merusak citra agama.
Tindak pidana atau jina>yah menurut hukum Islam berarti
perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara’, atau yang
diharamkan. Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai
konsekuensi yang membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan
harta. Hukum Islam membagi tindak pidana menjadi dua yaitu:
pertama, tindak pidana yang menyentuh eksistensi dan kemaslahatan
masyarakat, meliputi tindak pidana hudu>d dan qis}a>s}-diyat, dan yang
kedua, tindak pidana ta’zi>r, meliputi seluruh tindak pidana yang tidak
termasuk dalam kategori tindak pidana jenis pertama. Dalam hukum
Islam, tujuan dijatuhkannya hukuman adalah untuk memperbaiki
keadaan umat manusia, menjaga dari kerusakan, menyelamatkan dari
kebodohan, memberikan petunjuk dari kesesatan, mencegah dari
kemaksiatan serta merangsang untuk berlaku taat.
Secara umum, tindak pidana cyber terrorism adalah kejahatan
yang memanfaatkan teknologi informasi. Media yang dipakai dalam
kejahatan ini adalah media Internet sebagai alat untuk berkoordinasi
dengan pelaku cyber lainnya dan sekaligus media untuk melakukan
serangan-serangan aksi teror. Sehingga dampak yang ditimbulkan
tentu saja bukan berupa kerusakan fisik seperti terorisme
konvensional, tetapi bentuk kerusakannya berupa kerusakan data-data
Penutup | 185

penting yang terhubung dengan Internet, pencurian informasi oleh para


hacker, dan rusaknya program komputer akibat serangan virus. Hal
demikian dapat dialami oleh masyarakat sipil yang memakai Internet
sebagai media komunikasi, dapat juga dialami oleh kalangan bisnis
asing atau lokal, dan lembaga pemerintahan. hal ini tentunya
merupakan ancaman serius, sehingga diharapkan ada suatu perangkat
hukum yang dapat mengatasi kejahatan cyber terrorism. Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Terorisme dan
Undang-Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik merupakan prangkat hukum yang memadai saat
ini untuk memberantas aksi cyber terrorism. Dalam undang-undang ini
disebutkan pula unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana cyber
terrorism beserta pembuktian secara elektronik sebagai alat bukti yang
sah dalam menangani aksi ini.
Oleh karena pelaku cyber terrorism hanya bersifat menakut-
nakuti orang, membuat ketegangan, dan mengganggu keamanan, maka
hukum Islam mengualifikasikan tindak pidana cyber terrorism ke
dalam kategori hira>bah. Namun atas unsur tersebut para muha>rib
hanya diberi hukuman pengasingan, karena muha>rib tidak membunuh
orang. Pendapat Imam Abu> Hani>fah dan Ah}mad bin Hanbal di
dasarkan atas firman Allah SWT QS. al-Ma>idah 5: 33. Menurut Imam
Syafi’i hukumannya adalah ta’zi>r atau diasingkan, sedangkan Imam
Malik berpendapat bahwa penguasa berhak memilih antara
menghukum mati muha>rib, menyalibkan, memotong tangan, atau
mengasingkan. Menurut Imam tersebut, lamanya masa pengasingan
tidak ditentukan. Muha>rib akan terus ditahan sampai ia terlihat
bertaubat dan sikapnya menjadi baik, barulah ia dibebaskan. Namun
sebagian ulama berpendapat bahwa lamanya masa pengasingan adalah
satu tahun, dianalogikan dengan hukuman pengasingan atas tindak
pidana zina.
Penelitian ini berbeda dari pendapat Anwar al-Awlaki (2010),
Iama T}a>riq Muh}ammad al-Suwayda>n (2012), Menachem Begin (1995),
Maximilien Robespierre (2001) mengklaim bahwasanya bahaya arus
globalisasi saat ini telah menyebabkan kerusakan yang luar biasa dan
menyebar ke semua aspek kehidupan serta terjadi frustasi massal
seperti banyaknya pengangguran, sehingga tindakan cyber terrorism
dipandang sebagai pembenaran dengan motivasi penyelamatan negara.
Sebaliknya, penelitian ini mendukung pendapat ‘Abd al-Azi>z bin Ba>z
(2007), Yu>suf al-Qarad}a>wi> (2009), M. Quraish Shihab (2007), Juhaya
186 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

S. Praja (2003), Muh}ammad T}ahir al-Qadri (2010), James A. Lewis


(2003), dan Clive Walker (2011) yang menyimpulkan bahwa cyber
terrorism dapat membahayakan orang lain, terdapat unsur ancaman,
pemerasan, fitnah, pengeboman, perusakan, intimidasi, dan melampaui
batas terhadap orang yang tidak bersalah, serta dapat menyebabkan
kehilangan nyawa terhadap orang yang tidak berdosa sehingga haram
dilakukan. Hasil temuan ini menghasilkan qa>’idah fiqhiyah (teori
hukum) yaitu: mubararun lishay’in ma> huwa khat}a>un hukmuhu>
hura>mun wa laysa s}ah}i>h}an, pembenaran terhadap sesuatu yang salah
adalah haram dan tidak benar.

B. Saran
Dalam kajian ini ada beberapa hal yang peneliti sarankan agar
kajian-kajian tentang kitab suci Alquran dan upaya penafsirannya terus
mengalami perkembangan dan menjadi rujukan bagi segala bentuk
persoalan umat Muslim demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
1. Hendaklah dalam memahami ajaran Islam tidak setengah-setengah
memahaminya, sehingga tidak menghilangkan makna yang
sesungguhnya yang ingin dicapai oleh Islam. Apabila kemudian
terdapat kesulitan dalam memahami sesuatu dalam urusan agama,
hendaklah bertanya kepada orang-orang yang berkompeten (alim
ulama) dalam masalah itu.
2. Terjadinya aksi terorisme di Indonesia, salah satu sebabnya dilatar
belakangi oleh pemahaman yang keliru oleh sebagian orang
terhadap ajaran jihad. Di sinilah peran penting semua pihak
terutama para alim ulama untuk berjihad meluruskan kembali
makna jihad yang sebenarnya, dan membentengi masyarakat
khususnya umat Islam dari pemahaman jihad yang keliru dan
paham-paham yang menyimpanng dari ajaran Islam.
3. Hendaknya pemerintah Indonesia harus tanggap terhadap setiap
pelanggaran norma-norma hukum di negeri ini, lalu segera
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memihak dan dirasa adil
untuk masyarakat. Karena tidak tertutup kemungkinan akan terus
aksi teror yang lebih berbahaya lagi apabila setiap pelanggaran
yang terjadi tidak mendapat respons dari pemerintah untuk
menghukumnya, dan masih ada pihak-pihak yang merasa di zalimi
dengan kebijakan yang tidak memihak tersebut.
4. Pemerintah seharusnya membuat suatu badan intelijen khusus di
bidang cyber, sehingga pelacakan dan pendeteksian gejala cyber
Penutup | 187

terrorism dapat diketahui lebih dini, dan tidak sampai


menimbulkan efek yang fatal.
5. Rehabilitasi peraturan perundang-undangan dibidang teknologi
informasi khsususnya bidang cyber tentunya akan mempercepat
ruang gerak pelaku cyber crime, sehingga dapat meminimalisasi
angka kejahatan cyber crime.
6. Sistem pertahanan suatu negara harus lebih diperkuat dari segala
aspek, sehinga indikasi teror dari arah dan cara apapun dapat
diantisipasi.
7. Pengawasan dan pemantauan provider Internet yang kian
menjamur keberadaannnya di masyarakat juga harus lebih di
perketat guna pencegahan aksi cyber crime.
8. Penegakan hukum cyber terrorism tidak cukup hanya melalui
sarana penal (KUHP), non-penal (di luar KUHP), kerja sama antar
negara, penegak hukum yang menguasai teknologi informasi akan
tetapi perlu di tambah dengan penerapan hukuman pidana Islam
yang dapat membuat efek jera para pelaku cyber terrorism.
188 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
A. Baderin, Mashood. International Human Right and Islamic Law.
New York: Oxford University Press, 2003.
Abas, Nasir. Melawan Pemikiran Aksi Bom Imam Samudra &
Noordin. M.Top. Jakarta: Grafindo, 2007.
Abdullah, Sulaiman. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum
Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
‘Abidi>n, Ibn. Hasyiah Rad al-Mukhtar. Beirut: Da>r al-Fikr, 1992.
Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit,
2005.
Achmad, Amrullah. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional: Mengenang 65 Th, Bustanul Arifin. Jakarta: Gema
Insani Press, 1996.
Adjie. Terorisme. Jakarta: Surya Multi Grafika, 2005.
Adi Soempeno, Femi. Indonesia Memilih. Yogyakarta: Gangpress
Grup, 2009.
Afadlal. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005.
Afifi al-Akiti, Muhammad. Defending The Transgressed by Censuring
The Reckless Against The Killing of Civilians. Germany:
Warda Publication, 2005.
Ahmad al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad Ibn dan Jalaluddin
Abdurrahman Ibn Abi Bakr al-Suyu>t}i, Tafsi>r Jalalayn, Juz 1
Surabaya: Da>r al-Abidi>n, t.th.
Ali, M. Daut. Hukum Islam. Jakarta: Radjawali Press, 2004.
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika,2007.
A’la al-Maududi, Abul. Human Right in Islam. New Delhi: Markazi
Maktaba Islami, 1998.
Amal, Taufik Adnan dan Panggabean, Samsu Rizal. Politk Syariat
Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2004.

189
190 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Atmasasmita, Romli. Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif


Indonesia. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002.
Anis, Ibra>hi>m. al-Mu’jam al-Wasit}. Beirut: Da>r al-Fikr, tth.
Anwar, Yesmil & Adang. Pembahruan Hukum Pidana: Reformasi
Hukum. Jakarta: Grasindo, 2008.
Anas, Malik bin. Muwat}a Malik. Beirut: Da>r al-Fikr, 1989.
al-Ans}a>ri>, Zakaria>. Asma al-Matha>lib Sharh} Raud}ah al-Tha>lib. Kairo:
al-Mathba’ah Maimu>nah, 1313 H.
al-Asfahaniy, al-Raghib. Mu’jam Mufradat al-Faz} Al-Qur’a>n Beirut:
Da>r al-Kutub, 2008.
al-Awlaki, Anwar. 44 Ways of Support Jihad. Washington D.C:
Minbar Tawhi>d wa al-Jiha>d, 2010.
Arif, Eddy Budiana. Hukum Islam di Indonesia. Bandung: Remadja
Rosdakarya, 1991.
Asfar, Muhammad. Islam Lunak-Islam Radikal. Surabaya: JP Press,
2003.
Asmadi, Erwin. Pembuktian Tindak Pidana Teroris (Analisa Putusan
Pengadilan pada Kasus Perampokan Bank Cimb Niaga).
Medan: Sofmedia, 2012.
Asmawi. Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-
Undangan Pidana Khusus di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Pemikiran dari
Fundamentalisme, Modernisme hingga Posmodernisme Jakarta:
Paramadina, 1996.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Perkembangan Pembangunan
Hukum Nasional tentang Hukum Teknologi dan Informasi.
Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman RI, 1995/1996.
al-Bada>yanah, Dzia>b Mu>sa. Al-Tanmiyah al-bashariyah wa al-irha>b fi>
al-Wat}an al-Arabi>. Riya>d}: Ja>mi’ah Na>yif al-Arabiyah li al-
Ulu>m al-Amniyah, 1431 H.
Baskara, Nando. Gerilyawan-Gerilyawan Militan Islam, Dari Al-
Qaedah. Hizbullah, Hingga Hamas, Yogyakarta: Narasi, 2009.
Daftar Pustaka | 191

Baugh, Kenneth. The Methodology of Herbert Blumer: Critical


Interpretation and Repair. New York: Cambridge University
Press, 1990.
bin La>din, Usa>mah. Karya Asli Fatwa dan Wawancara Usamah bin
Ladin. Jakarta: Ababil Press, 2001.
Buana Ismail, Riza. Metode Penelitian Kualitatif. Medan: USU Press,
2009.
al-Bukha>ri>, S}ahi>h Bukha>ri>. Beirut: Da>r al-Tu>q al-Naja>h, 1422H.
al-Bu>t}i>, Muh}ammad Said Ramad}a>n. al-Jiha>d fi> al-Isla>m. Beirut: Da>r al-
Fikr, 1993.
Bojic, Paul. Cyberstalking: Harassment In The Internet Age And How
To Protect Your Family. USA: Greenwood Publishing, 2004.
Brown, Marty. Webmaster. NY: The Rosen Publishing Group, 2003.
Burn, Vincent. Terrorism: A Documentary and Reference Guide.
USA: Greenwood Publishing Group, 2005.
Casey, Eoghan. Handbook Of Computer Crime Investigation: Forensic
Tools And Technology. London: Academic Press, 2002.
Ching, Jacqueline. Cyberterrorism. New York: The Rosen Publishing
Group Inc, 2010.
Clough, Chan. Principles Of Cybercrime. UK: Cambridge University
Press, 2006.
Clough Peter, and Cathy Nutbrown. A Student’s Guide to
Methodology. London: SAGE Publications Company, 2006.
Council of Europe. Cyberterrosim: The Use of the Internet for
Terrorist Purpose. Strasbourg: Council of Europe, 2007.
________. “Opinion 4/2001 On the Council of Europe’s Draft
Convention on Cyber-crime,” adopted on 22 March 2001,
5001/01/EN/Final WP 41, 2.
Colaric, M. Andrew. Cyber Terrorism: Political and Economic
Implications. USA: Idea Grup Inc, 2006.
D. Gibbs and K, Krause. Language and Culture Of The Internet.
Melbourne: James Nicholas Pub, 2000.
D. Mitnick Kevik, and William L.Simon, The Art of Intrusion: The
Real Stories Behind the Exploits of Hackers, Intruders &
Deceivers. Indiana: Wiley Publishing, Inc., 2005.
192 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Daan, Sabadan dan Kunarto. Kejahatan Berdimensi Baru. Jakarta:


Cipta Manunggal, 1999.
Departemen Agama. Terjemahan Al-Quran. Departemen Agama RI,
Jakarta, 1996.
Dermawan, Mohammad Kemal. Strategi Pencegahan Kejahatan,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.
Djazuli, Fiqh Jina>yah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam
Jakarta: Rajawali Press, 1996.
al-Dimyati, Muh}ammad Shata}’. I’anah al-T>}alibi>n, Juz IV. Jakarta: Da>r
al-Ihya> al-Kutub al-Arabiyah t.th.
Didu, Suaib. Radikalisme dalam Islam Antara Argumentasi Jihad dan
Terorisme. Jakarta: Divisi Penerbitan Relawan Bangsa, 2006.
Djaja, Ermansjah. KUHP Khusus, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2003. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Dokumen United Nations A/CONF.203/14. Eleventh United Nations
Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, Bangkok,
18-25 April 2005, Background paper, Workshop 6:Measures to
Combat Computer related Crime.
Dzajuzli, Fiqh Jina>yah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam
Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Effendi, Marwan. Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif
Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Faisal, Sanafiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali
Press, 1999.
Faris bin Zakariya, Ahmad bin. Maqayis al-Lughah. Beirut: Da>r al-
Fikr,1994.
Gard, Carolyn. The Attacks on the World Trade Center: February 26,
1993, and September 11, 2001. New York: The Rosen
Publishing Group, Inc., 2003.
Gema, Ali Julianto. Cyber Crime, Modus Operandi dan
Penanggulangannya. Jogjakarta: LeksBang Komputer
PRESSindo, 2007.
Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo, 2000.
Goddard Wayne, and Stuart Melville. Research Methodology: an
Introduction. Ladsdowne: Juta & Co. Ltd, 2007.
Daftar Pustaka | 193

Goldsmith, Jack and Others.Who Controls the Internet, New York:


Oxford University Press, Inc, 2006.
Gordis, Daniel. Menachem Begin: The Battle for Israel’s Soul. New
York: Knopf Doubleday Publishing Group, 2014.
Gregg, Michael. Certified Ethical Hacker Exam Prep. United States of
America: Que Publishing, 2006.
Haniff Hassan, Muhammad. Teroris Membajak Islam, Meluruskan
Jihad Sesat Imam Samudradan Kelompok Islam Radikal.
Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.
Hadhiri, Choiruddin S.P. Klasifikasi Kandungan Al Quran Lux 1.
Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Hakim, Rahmad. Hukum Pidana Islam. Bandung: CV, Pustaka Setia,
2000.
Hamzah, Andi. Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Jakarta:
Sinar Grafika, 1990.
Hamzah, Muchotob M. Imam Aziz. Tafsir Maudhu’i al-Muntaha,
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Hail Takruri, Nawaf. al-Amaliyat al-Ishtishadiyah fi> al-Mi>za>n al-Fiqh,
Damaskus: Maktabah al-Asad, 1997.
Hajar al-Asqalani, Ah}mad bin Ali bin. Fath al-Ba>ri, juz VI. t.tp: al-
Maktabah al-Salafiyah, t.th.
Hasan Fuad, dan Koentjaraningrat. Beberapa Azas Metodologi Ilmiah,
dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian
Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Harahap, Syahrin. Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam. Jakarta:
Prenada, 2011.
Hermawan, Ricardo. the Drop Out Billionaire Menjual Ide Ala Mark
Zuckerberg. Yogyakarta: Best Publisher, 2009.
Hidayatullah, Syarif dan Zulfikar S Dharmawan. Islam Virtual:
Keberadaan Dunia Islam Di Internet. Jakarta: Penerbit MIFTA,
2004.
Huijbers, Theo. Filsafat hukum dalam lintasan sejarah. Yogyakarta:
Kanisius, 2010.
Hurwitz, Harry Zvi. Peace in the Making: The Menachem Begin-
Anwar El-Sadat Personal Correspondence. Jerusalem: Gefen
Publishing House, 2011.
194 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke


Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Ibra>hi>m, Muh}ammad Isma>i>l. Mu’jam al-Alfaz} wa al-I’lam Al-
Qur’a>niyah. Kairo: Da>r al-Fikr al-Arabiy, 1969.
Ibn Kathi>r, Abu> al-Fida Isma>il. Tafsi>r Ibn Kathi>r. Kuala Lumpur:
Victorie Agencie, 1998.
Ibn al-Asy’ats al-Sajastani, Abu> Da>wu>d Sulaima>n, Sunan Abi Da>wu>d,
Juz 4. Beirut: Da>r al-Fikr, 1994.
Ibn al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Abu> al-Husayn Muslim. S}ahi>h
Muslim, Juz 16. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.
Imron, Ali. Autobiography of Ali Imron, A Terrorist of 2002 Bali
Bombing. Jakarta: Republika, 2007.
Isma>il al-Bukha>ri>, Abu> Abdullah Muhammad bin. S}ahi>h al-Bukha>ri>,
Juz I. Beirut: Da>r al-Fikr, 1982.
Muh}ammad Ibn Isma>i>l al-Makhalani, Subul al-Sala>m. Kairo: Da>r al-
Sala>m, t.th.
Jalil Salam, Abdul. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif
Islam, HAM, dan Demokratisasi Hukum. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.
Janczewski Lech, and Andrew M. Colarik. Cyber Warfare and Cyber
Terrorism. USA: Idea Group Inc, 2008.
Jari>r al-T}abari>, Abu Ja’far Muh}ammad bin. Jami al-Baya>n fi Tafsi>r Al-
Qur’a>n, juz XVII. Beirut: Da>r al-Fikr, 1978.
J.A, Denny. Melewati Perubahan: Sebuah Catatan Atas Transisi
Demokrasi Indonesia . Yogyakarta: Lkis, 2006.
________. Membangun Demokrasi Sehari-hari. Yogyakarta: Lkis,
2006.
J. Moleong, lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda,
2006.
Junaedi, Dedi. Konspirasi Di Balik Bom Bali Skenario Membungkam
Gerakan Islam. Jakarta: Bina Wawasan Press, 2003.
Jody R, Westby, American Bar Association, Privacy & Computer
Crime Committee International Guide To Combating
Cybercrime, USA: ABA Publishing, 2003.
Daftar Pustaka | 195

Jonker, Jan. The Essence of Research Methodology. New York:


Springer, 2010.
Jhudariksawan. Pengantar Hukum Telekomunikasi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005.
Ka’bah, Rifyal. Hukum Islam Di Jakarta. Jakarta: Universitas Yasri
Jakarta, 1999.
Kementerian Komunikasi dan Informasi RI. RUU Informasi dan
Transaksi Elektronik Sebagai Infrastruktur Fundamental
Pengembangan Sisfonas, Jakarta, 2005.
Klotz, Robert J.The Politics of Internet Communication. USA:
Rowman & Littlefield Publisher, 2004.
Krisna Sumarg, Setya. The Untold Stories: Noordin Top & Co.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Kumar, Anupa P. Cyber Law. India: YFI Bangalore, 2009.
Kumpulan, Ulama Saudi. Mauqif Al-sunnah Wa al-Kita>b Min al-
‘Anaf Wa al-Irha>b, Saudi: Maktabah Shoha>bah, 2007.
Kumpulan, Ulama India. Al-Irha>b wa al-Sala>m, Beirut: Da>r al-Kutub
al-ilmiyah, 2007.
Kothari. Research Methodology: Methods and Techniques. New
Delhi: New Age International, 2004.
L. Esposito, Jhon. The Oxford Ensiclopedia of the Modern Islamic
World. New York: Oxford University Press, 1995.
Lane. E.W, Arabic-English Lexicon. The Islamic Texts Society:
England, 1984.
Laher, Suheil. Indiscriminate Killing, dalam The State We Are In-
Identity, Terror and The Law of Jihad. Bristol: Amal Press,
2006.
Lewis, James A. Cyber Security: Turning National Solutions Into
International Cooperation. Washington, D.C: CSIS, 2003.
________, Assesing the Risk of Cyber Terrorism, Cyber War and
Other Cyber Threats, Center for Strategic and International
Studie. Washington D.C: Center for Strategic & International
Studies, 2002.
Lopa, Baharuddin. Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di
Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
196 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Mahayana, Dimitri. Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa


Masyarakat Menuju Era Global. Bandung: Rosda, 2000.
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam). Yogyakarta: Fakultas Hukum
UI, 1991.
al-Masudi, Gufron. Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Rajagrafindo,
1998.
al-Mahfuz}, Abdullah bin al-Syakh. al-Irha>b al-Taskhisu wa al-Hulu>l.
Riya>d}: al-U’bayka>n, 2007.
Maksum, Muhammad Syukron. Suramnya Surga Indahnya Neraka,
Yogyakarta: Mutiara Media, 2010.
Martin, Eddie. Computer Jargon Dictionary and Thesaurus. United
Kingdom: Specialist Computing, 2006.
Machmud Hendropriyono, Abdullah. Terorisme: Fundamentalis
Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2009.
M. Arief Mansur, Dikdik. dan Elisatris Gultom. Cyber Law: Aspek
Hukum Teknologi Informasi. Bandung: Refika Adimata, 2005.
M. Romli, Asep Syamsul. Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi
Kekuatan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda
Karya, 2002.
Medpress, Tim. Petualangan Teror Dr. Azahari. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
Misrawi, Zuhairi. Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme,
dan Oase Perdamaian. Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara,
2010.
Mohd, Said Ishak. Hudud dalam fiqh Islam. Kuala Lumpur: University
Teknologi Malaysia, 2003.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Raje
Sarasin, 2000.
Muslim, S}ahi>h Muslim. Beirut: Da>r Ihya> Turath al-‘Arabi>, 1422H.
Muzadi, Hasyim. Kejahatan Terorisme. Bandung: Refika Aditama,
2004.
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di
Indonesia. Jakarta: The Habibie Center, 2002.
Daftar Pustaka | 197

Muhammad, Abi Bakar al-Razi. Mukta>r al-S}ih}ah. Beirut: Da>r al-Kitab


al-Arabi, 1979.
Muh{ammad Ibn Hajar, Ah}mad bin. al-Zawa>jir. Beirut: Da>r al-
Ma’rifah, t.th.
Muhammad Sunusi, Dzulqarnain. Antara Jihad dan Terorisme
Makasar: Pustaka al-Sunnah, 2011.
Muhammad, Muhammad Abu> Syuhbah. al-H}udu>d fi al-Isla>m. Qahirah:
al-Haiah al-A>mmah li Syu’u>n al-Mathabi al-Ami>rah, 1974.
Muhammad al-Awdah, Fauzi, Mawqif ahli al-Sunnah min al-Irha>b.
Riya>d}: Maktabah al-Tawbah, 1426 H.
Munajat, Makhrus. Dekontruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2005.
Munajat, Makhrus. Pemikiran Hukum Pidana Islam. Yogyakarta:
Cakrawala, 2006.
Moeljanto. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi
Aksara, 2001.
________. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Nasibitt, John and Others. High Tech, High Touch, Pencarian Makna
di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi. Bandung: Mizan,
2001.
Nata, Abubudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Wali Pers,
2001.
al-Nawa>wi>, Muhyiddi>n. S}ahi>h Muslim bi Sharh al-Nawa>wi>. Beirut:
Da>r al-Ma’rifah, 1996.
Nawawi Arief, Barda. Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan
Kajian Cybercrime di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006.
________. Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan. Bandung: Citra Aditya, 2005.
________. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003.
________. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2005.
________. Sari Kuliah Perbandingan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002.
198 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

________. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:


PT.Citra Aditya, 2002.
________. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
Nurdi, Herry. Perjalanan Meminang Bidadari. Jakarta: PT Lingkar
Pena Kreativa, 2011.
Odom, Wendell. Computer Networking First-Step. Indianapolis: Cisco
Press, 2004.
Qayyim al-Jauziyah, Ibn. I’lam al-muwaqqi’i>n ‘an rabbil ‘a>lami>n,
Saudi:Da>r Ibn al-Jauzy, 1423 H.
Qazzar al-Ja>sim, Faishal bin. Meluruskan Pemahaman Tentang Damai
dan Jihad. Jakarta: Jam’iyyah Ihya al-Turath al-Isla>miy Kuwait
Komite Asia Tenggara, 2011.
al-Qadir, Abd. al-Tashri’ al-Jina>’i al-Islami>. Beirut: Libanon, 2000.
al-Qadri, Muh}ammad T}ahir. Fatwa on Terrorism and Suicide
Bombings (London: Minhaj al-Qur’a>n International, 2010.
al-Qarad}a>wi>, Yu>suf. Fiqh al-Jiha>d. Kairo: Maktabah Wahbah, 2009.
al-Qurt}u>bi>, Al-Jami’ Li Ahka>m Al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Kutub al-
Mis}riyyah, 1964.
Oksidelfa Yanto, Yustina. Mafia Hukum: Membongkar Konspirasi
Dan Manipulasi Hukum Di Indonesia. Depok: Raih Asa Sukses,
2010.
Peter, Stephenson. Investigating Computer-Related Crime: A
Handbook For Corporate Investigators. London New York
Washington DC: CRC Press, 2000.
Penyusun, Tim. Pedoman Penulisan. SPS UIN: Jakarta, 2011.
Pramod K, Nayar. An Introduction to New Media and Cybercultures.
United Kingdom: Wiley Blackwell Publishing, 2010.
Pranowo, M. Bambang.Orang Jawa Jadi Teroris. Jakarta: Pustaka
Alvaget, 2011.
Prakoso, Djoko dan Nurwachid. Studi Tentang Pendapat-Pendapat
Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983.
Daftar Pustaka | 199

Praja, Juhaya S. Islam Globalisasi dan Kontra Terorisme (Islam Pasca


Tragedi 911). Bandung: Kaki Langit, 2003.
Phil. Meniti Kalam Kerukunan: Beberapa Istilah Kunci Dalam Islam
dan Kristen, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010.
Raharjo, Agus. Cybercrime, Pemahaman Dan Upaya Pencegahan
Kejahatan Berteknologi. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Rahmena, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan,
1998.
al-Rafi’iy, Must}hafa. Ah}ka>m al-Jara>im fi> al-Isla>m, al-Qis}as wa al-
Hudu>d wa at-Ta’zi>r. Kairo: al-Da>r al-Afriqiyah al-‘Arabiyah,
1996.
Raharjo, Budi. Implikasi Teknologi dan Internet Terhadap Pendidikan,
Bisnis dan Pemerintahan. Bandung: PT Insan
Komunikasi/Infonesia, 2002.
Ramelan Prayitno, dan Pepih Nugraha. Intelijen Bertawaf. Jakarta:
Grasindo, 2009.
Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan
Keunggulannya. Jakarta: Grasindo, 2010.
Randall, Law. Terrorism:A History. Cambridge: Polity Press, 2009.
Reyes, Anthony dan Kevin O'Shea. Cyber Crime Investigations:
Bridging The Gaps Between Security Professionals, Law
Enforcement, And Prosecutors. Rockland: Syngress Publishing,
2007.
Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal
Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda
dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesie. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Umum, 2003.
Rindjin, Ketut. Etika Bisnis dan Implementasinya. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Ridho, Abu. Terorisme. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2003.
Robert J, Klotz. The Politics Of Internet Communication. USA:
Rowman & Littlefield Publisher , 2004.
Roderic G, Broadhurst, and Peter N, Grabosky, Cyber-Crime: The
Challenge In Asia, Hongkong: Hongkong University Press,
2008.
200 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Roderic G, Broadhurst, and Peter N. Grabosky. Draft Convention on


Cyber Crime, Cyber-Crime: The Challenge In Asia. Hongkong:
Hongkong University Press, 2008.
Robespierre, Maximilien. Revolutions (London, England) Revolutions
Series. Michigan: Verso, 2007.
Ronny R, Nitibaskara. Problem Yuridis Cybercrime, Bandung:
Yayasan Cipta Bangsa, 29 Juli 2000.
________. Ketika Kejahatan Berdaulat. Jakarta: Peradaban, 2001.
Rohimin. Jihad:Makna dan Hikmah. Jakarta: Erlangga, 2006.
Rusyd, Ibn. Bida>yah al-Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Samudera, Imam. Aku Melawan Teroris . Solo: KDT, 2004.
al-S}abu>ni>, Muh}ammad Ali. Mukhtasar Tafsi>r Ibn Kathi>r. Beirut: Da>r
Al-Qur’a>n al-Kari>m, 1402 H.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunah. Bandung: PT. AlmAif, 1987.
Sai>d Isha>q, Mohd. H}udu>d dalam Fiqh Islam. Kuala Lumpur: UTM,
2000.
Said Alu Sufran al-Qaht}ani>, Muhammad bin Husain bin. Fatwa-fatwa
Ulama Terkemuka Tentang Tindak Kekerasan. Jakarta:
Jam’iyyah Ihya> al-Turath al-Isla>mi> Kuwait Komite Asia
Tenggara, 2011.
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam. Bandung: As-
Syamil, 2000.
________.Membumikan Hukum Pidana Islam:Penegakan Syariat
dalam Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Saefullah, Tien S. Jurisdiksi sebagai Upaya Penegakan Hukum dalam
Kegiatan Cyberspace. Bandung: Elips, 2002.
Schell, Bernadette Hlubik and Clemens Martin. Cybercrime:A
Reference Handbook. Santa Barbara: ABC-CLIO inc, 2004.
Scheuer, Michael. Osama Bin Laden. New York: Oxford University
Press, 2011.
Schulte Nordholt Henk, dan lain-lain. Perspektif Baru Penulisan
Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Shihab, M. Quraish.Wawasan Al-Qur’a>n. Bandung: Mizan, 1996.
________Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur’a>n. Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2007.
Daftar Pustaka | 201

Sihbudi, M. Riza. Bara Timur Tengah. Bandung: Mizan, 1991.


Sitompul, Asril. Hukum Internet, Pengenalan Mengenai Masalah
Hukum Cyberspace. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
al-Shiddieqy, Muh, Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam.
Semarang: Pustaka Rezki Putra, 1997.
________. Hukum-Hukum Fiqh Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001.
Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1989.
Smith, Marcia S. Internet: An Overview Of Key Technology Policy
Issues Affecting Its Use And Growth. New York: Nova Science
Publisher, 2002.
Soble, Alan. Sex from Plato to Paglia: a philosophical encyclopedia.
Vol. 1, USA:Greenwood Press, 2006.
Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif,
cetakan keempat, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1995.
Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga,
Jakarta: Universitas Indonesia 1986.
Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bogor: Pelita, 1988.
Soetriadi, Ewi. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme
Dengan Hukum Pidana. Semarang: Program Magister Ilmu
Hukum Diponegoro, 2008.
Stephenson, Peter. Investigating Computer-Related Crime: A
Hanbook for Corporate Investigators. New York Washington
D.C: CRC Press, 2000.
al-Suwayda>n, Iama Ta>riq Muh}ammad. Falasti>n, al-Ta>ri>kh al-Mus}awar.
Kuwait: Al-Ibda>’ al-Fikri>, 2004.
Supriyanto. Teknologi Informasi dan Komunikasi, Bogor: Yudistira,
2007.
Sutarman, Cyber Crime. Modes Operandi dan Penanggulangannya.
Jogjakarta: PRESSindo, 2007.
Suwa, Satsuki. Response Of The National Police Agency in Japan in
Dealing with Cyber Terrorris. High-tech Crime Division NPA,
Tokyo: Japan unpublished, 2002.
202 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Sudikno, Martokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar


Yogyakarta: Cet ke 3 Leberti, 2002.
Sugono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif. Bandung:
Alfabeta, 2008.
Sudarto, Hukum Pidana II. Semarang: Badan Penyediaan Bahan-Bahan
Kuliah FH UNDIP, 1988.
________, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru, 1983.
Swetman, Yonah Alexander Michael S. Cyber Terrorism and
Information Warfare:Threats and Responses. USA:
Transnational Publishers Inc, 2001.
Syahnarki, Kiki. Aku Hanya Tentara. Jakarta: Buku Kompas, 2008.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005.
Taimiyyah, Ibn. Al-Ikhtiyara>t al-Fiqhiyah. Saudi: al-Sunnah al
muhammadiyyah, 1950.
Tavani, Herman T. Ethics and Technology: controversies, Questions,
and Strategies for Ethical Computing. USA:John Wiley &
Sons, Inc, 2007.
Taylor, Maxwell and Quayle Ethel. Child Pornography: An Internet
Crime, New York: Brunner-Routledge, 2007.
Taylor, Robert W dan Tory J, Caeti. Digital Crime And Digital
Terrorism. Pearson: Prentice Hall, 2006.
Thomas, Douglas. Hacker Culture. USA: University of Minnesota
Press, 2003.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2008 Tentang
Internet dan Transaksi Elektronik,Undang-Undang Internet dan
Transaksi Elektronik.Yogyakarta: Gradien Meditama, 2008.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun
2008. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2009.
Van Bemmelen, J. M. Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material
Bagian Umum. Tanpa Tempat: Bina Cipta, 1984.
Daftar Pustaka | 203

Wall, David. Cybercrime: The Transformation Of Crime In The


Information Age. Cambridge: Polity Press, 2007.
Warson Munawwir, Ahmad. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997.
Warsan Munawwir, Ahmad. al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia
Surabaya:Pustaka Progresif, 1997.
Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam
Fiqih Jina>yah. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. Kejahatan Mayantara. Bandung:
PT.Refika Aditama, 2005.
________. Cyber Crime, Modus Operandi dan Penanggulangannya.
Jogjakarta: LeksBang Komputer PRESSindo, 2007.
Wahid, Abdul. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan
Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2004.
Walker, Clive. Terrorism and Law. New York: Oxford University
Press, 2011.
Whittaker, Jason. The Cyberspace Handbook p.4. London: Rroutledge,
2004.
al-Wisnubroto. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta: Universitas Atmajaya,
1999.
al-Zuhai>li>, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh. Damaskus: Da>r al-
Fikr, 2004.

Jurnal :
Abdul Jalil, Shamsuddin. “ Countering Cyber Terrorism Effectively:
Are We Ready To Rumble?,” Global Information Assurance
Certification Paper (May 2003) 1-17.
Abrahms Max. “What Terrorists Really Want: Terrorist Motives and
Counterterrorism Strategy.” The MIT Press Vol. 32, No. 4,
(Spring 2008), 78-105 http://www.jstor.org/stable/30129792
(diakses 13 Juni 2014).
A. Faqir, Raed S. “ Cyber Crimes in Jordan: A Legal Assessment on
the Effectiveness of Information System Crimes Law No (30)
of 2010.” International Journal of Cyber Criminology Vol. 7,
No. 1, (January-June 2013), 81-90. (diakses 1 Juni 2014).
204 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Alexander Yonah; Alan O’Day. “ The Prevention of Terrorism in


British Law by Clive Walker; Ireland's Terrorist Dilemma.”
Cambridge University Press on behalf of the British Institute of
International and Comparative Law Vol. 36, No. 4, (Oct 1987),
947-949 http://www.jstor.org/stable/760374 (diakses 13 Juni
2014).
Allen Wayne. “ Terrorism and the Epochal Transformation of
Politics.” University of Illinois Press on behalf of North
American Philosophical Publications Vol. 6, No. 2, (Apr 1992),
133-154 http://www.jstor.org/stable/40435802 (diakses 3 Juni
2014).
Arowosaiye, Yusuf Ibrahim dan Ibrahim, Ahmad. “ Economic And
Financial Crimes And Ict Infrastructure: The Islamic Criminal
Law Perspective ” 3rd International Conference on
Postgraduate Education (ICPE-3 ’08, Penang-Malaysia, 2008).
(diakses 8 Juni 2014).
Arpana and Others. “ Preventing Cyber Crime: A Study Regarding
Awareness Of Cyber Crime In Tricity.”International Journal of
Enterprise Computing and Business Systems Vol. 2, No. 1,
(January 2012), 2230-8849. (diakses 7 Juni 2014).
Assadi Muzaffar. “ Fatwa, Terrorism and Jehad.” Economic and
Political Weekly Vol. 43, No. 31, (Aug 2008), 16-18
http://www.jstor.org/stable/40277794 (diakses 9 Juni 2014).
al-Azm Sadik J. “Islam, Terrorism and the West Today.” Brill New
Series Vol. 44, No. 1, (May 2004), 114-128
http://www.jstor.org/stable/1571337 (diakses 5 Juni 2014).
Barak-Erez Daphne. “ Terrorism Law between the Executive and
Legislative Models.” The American Journal of Comparative
Law Vol. 57, No. 4, (Fall 2009), 877-896
http://www.jstor.org/stable/25652675 (diakses 9 Juni 2014).
Barros Carlos Pestana and Isabel Proenca. “ Mixed Logit Estimation
of Radical Islamic Terrorism in Europe and North America: A
Comparative Study.” Sage Publications, Inc Vol. 49, No. 2,
(Apr 2005), 298-314 http://www.jstor.org/stable/30045113
(diakses 23 Mei 2014).
Baggili and Others. “ Self-Reported Cyber Crime: An Analysis on the
Effects of Anonymity and Pre-Employment Integrity.”
Daftar Pustaka | 205

International Journal of Cyber Criminology Vol. 3, No. 2,


(July- December 2009), 550-565. (diakses 3 Juni 2014).
Bergesen Albert J. and Omar Lizardo. “ International Terrorism and
the World-System.” American Sociological Association Vol.
22, No. 1, (Mar 2004), 38-52
http://www.jstor.org/stable/3648958 (diakses 3 Juni 2014).
Berrebi Claude and Esteban F. Klor. “ On Terrorism and Electoral
Outcomes: Theory and Evidence from the Israeli-Palestinian
Conflict.” The Journal of Conflict Resolution Vol. 50, No. 6,
(Dec 2006), 899-925 http://www.jstor.org/stable/27638530
(diakses 5 Juni 2014).
Bloch-Elkon Yaeli. “ Trends: Preventing Terrorism after the 9/11
Attacks.” Oxford University Press on behalf of the American
Association for Public Opinion Research Vol. 71, No. 1,
(Spring 2007), 142-163 http://www.jstor.org/stable/4500364
(diakses 8 Juni 2014).
Brenner Susan W. “ At Light Speed” : Attribution and Response to
Cybercrime/Terrorism/Warfare.” Northwestern University Vol.
97, No. 2, (Winter 2007), 379-475
http://www.jstor.org/stable/40042831 (diakses 11 Juni 2014).
Boateng, Richard and Others. “ Sakawa-Cybercrime and Criminality
in Ghana.”Journal of Information Technology Impact Vol. 11,
No.2, (May 2011), 85-88.
Bogdanoski Mitko, and Petreski, Drage. “ Cyber Terrorism-Global
Security Threat,” International Scientific Defence, Security
and Peace Journal ( May 2013), 59-70.
Bose Tapan Kumar. “ Global War on `Terrorism' and Democratic
Rights.” India International Centre Vol. 31, No. 4, (Spring
2005), 27-39 http://www.jstor.org/stable/23005978 (diakses 2
Juni 2014).
Bunt, Gary R. “ Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas and
Cyber Islamic Environments”. London and Sterling, Virginia:
Pluto Press, The American Journal of Islamic Social Sciences
Vol. 21, No. 4, (May 2003), 237 (diakses 10 Juni 2014).
Busher, Joel. “ Introduction:Terrorism and Counter-terrorism in Sub-
Saharan Africa.” Journal of Terrorism Research Vol. 5, No. 1,
(May 2014), 1-3.
206 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

C. Bryan Foltz, “ Cyberterrorism, Computer Crime, and Reality,”


Information Management & Computer Security Vol. 12 No. 2,
(May 2004) 154-166 DOI: 10.1108/09685220410530799.
(diakses 15 Mei 2014).
Caldwell Cam and Mayra Canuto-Carranco. “ Organizational
Terrorism and Moral Choices-Exercising Voice When the
Leader is the Problem.” Journal of Business Ethics Vol. 97, No.
1, (November 2010), 159-171
http://www.jstor.org/stable/40929379 (diakses 7 Juni 2014).
Card Claudia. “ Recognizing Terrorism.” The Journal of Ethics Vol.
11, No. 1, (March 2007), 1-29
http://www.jstor.org/stable/20728493 (diakses 5 Juni 2014).
Carberry Jacqueline Ann. “ Terrorism: A Global Phenomenon
Mandating a Unified International Response.” Indiana Journal
of Global Legal Studies Vol. 6, No. 2, (Spring, 1999), 685-719
http://www.jstor.org/stable/20644713 (diakses 17 Juni 2014).
Cassese Antonio. “ Terrorism, Politics and Law: The Achille Lauro
Affair.” American Society of International Law Vol. 85, No. 2,
(Apr 1991) Article DOI: 10.2307/2203088, 410-414
http://www.jstor.org/stable/2203088 (diakses 2 Juni 2014).
Castro Renato Cruz De. “ Addressing International Terrorism in
Southeast Asia: A Matter of Strategic or Functional
Approach?.” Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS)
Vol. 26, No. 2, (August 2004), 193-217
http://www.jstor.org/stable/25798685 (diakses 13 Juni 2014).
Charney Jonathan I. “The Use of Force against Terrorism and
International Law.” The American Journal of International Law
Vol. 95, No. 4, (Oct 2001) Article DOI: 10.2307/2674628, 835-
839 http://www.jstor.org/stable/2674628 (diakses 25 Mei
2014).
Chaskalson Arthur. “ The Widening Gyre: Counter-Terrorism, Human
Rights and the Rule of Law.”Cambridge University Press on
behalf of Editorial Committee of the Cambridge Law Journal
Vol. 67, No. 1, (Mar 2008), 69-91
http://www.jstor.org/stable/25166377 (diakses 7 Juni 2014).
Daftar Pustaka | 207

Chakravarty Suhash. “ The Taliban Phenomenon.” India International


Centre Vol. 29, No. 1, (Summer 2002), 65-74
http://www.jstor.org/stable/23005797 (diakses 1 Juni 2014).
Chakravorti Robi. “ Terrorism:Past, Present and Future.” Economic
and Political Weekly Vol. 29, No. 36, (Sep 1994), 2340-2343
http://www.jstor.org/stable/4401715 (diakses 9 Mei 2014).
Choi Seung-Whan. “ Fighting Terrorism through the Rule of Law?.”
The Journal of Conflict Resolution Vol. 54, No. 6, (December
2010), 940-966 http://www.jstor.org/stable/25780761 (diakses
12 Juni 2014).
Ciardhuain, Seamus O. “ An Extended Model of Cybercrime
Investigations.” International Journal of Digital Evidence Vol.
3, No. 1, (Summer 2004), 1-4.
Claire, Steve Saint. “ Overview and Analysis on Cyber Terrorism,”
School of Doctoral Studies (European Union) Journal (May
2011), 85-96.
Crawford Neta C. “ Just War Theory and the U.S. Counterterror War.”
American Political Science Association Vol. 1, No. 1, (Mar
2003), 5-25 http://www.jstor.org/stable/3687810 (diakses 21
Mei 2014).
Crenshaw William A. “ Civil Aviation:Target for Terrorism.” Sage
Publications, Inc. in association with the American Academy
of Political and Social Science Vol. 498, (Jul 1988), 60-69
http://www.jstor.org/stable/1045381 (diakses 6 Mei 2014).
Cronin Audrey Kurth. “ How Al-Qaida Ends: The Decline and Demise
of Terrorist Groups.” The MIT Press Vol. 31, No. 1, (Summer
2006), 7-48 http://www.jstor.org/stable/4137538 (diakses 14
Juni 2014).
Dalyan, Sener “ Combating the Financing of Terrorism: Rethinking
Strategis for Success.” Defence Againts Terrorism Review Vol.
1, No. 1, (Spring 2008), 137-153.
Deutch John. “ Terrorism”. Washingtonpost. Newsweek Interactive,
LLC No. 108, (Autumn 1997) Article DOI: 10.2307/1149086,
10-22 http://www.jstor.org/stable/1149086 (diakses 9 Juni
2014).
al-Durah, Iya>d Ali. “ Al-Irha>b al-Iliktru>ni,” Majalat al-ma’lu>ma>tiyah
(May 2012).
208 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Ekawati Ismail, Dian. “ Cybercrime Di Indonesia.” Inovasi Vol. 6, No.


3, (September 2009), 242-244.
Eby Lloyd. “ On Terrorism.” Professors World Peace Academy Vol. 4,
No. 2, (Apr-Jun 1987), 167-172
http://www.jstor.org/stable/20751129 (diakses 5 Juni 2014).
Eby Lloyd and Mohammed Fadhel Jamali. “ Peace Versus Terrorism
[With Rejoinder].” Professors World Peace Academy Vol. 5,
No. 3, (Jul-Sep 1988), 7-14
http://www.jstor.org/stable/20751262 (diakses 8 Juni 2014).
Enders Walter and Todd Sandler. “ Transnational Terrorism 1968-
2000: Thresholds, Persistence, and Forecasts.” Southern
Economic Association Vol. 71, No. 3, (Jan 2005) Article DOI:
10.2307/20062054, 467-482
http://www.jstor.org/stable/20062054 (diakses 5 Juni 2014).
Fierke K. M. “ The 'War on Terrorism': A Critical Perspective.” Royal
Irish Academy Vol. 16, (May 2005), 51-64
http://www.jstor.org/stable/30001934 (diakses 17 Mei 2014).
Franck Thomas M. “ Terrorism and the Right of Self-Defense.” The
American Journal of International Law Vol. 95, No. 4, (Oct
2001) Article DOI: 10.2307/2674629, 839-843
http://www.jstor.org/stable/2674629 (diakses 4 Juni 2014).
Gage Beverly. “ Terrorism and the American Experience: A State of
the Field.” The Journal of American History Vol. 98, No. 1
(June 2011), 73-94 http://www.jstor.org/stable/41509050
(diakses 25 Mei 2014).
Gearty Conor. “ 11 September 2001, Counter-Terrorism, and the
Human Rights Act.” Journal of Law and society Vol. 32, No. 1,
(March 2005), 18-33 http://www.jstor.org/stable/3557214
(diakses 7 Juni 2014).
Gibbs Jack P. “ Conceptualization of Terrorism.” American
Sociological Association Vol. 54, No. 3, (Jun1989), 329-340
http://www.jstor.org/stable/2095609 (diakses 14 Juni 2014).
Glennon Michael J. “ Terrorism and the Limits of Law.” Woodrow
Wilson International Center for Scholars Vol. 26, No. 2,
(Spring 2002), 12-19 http://www.jstor.org/stable/40260599
(diakses 5 Juni 2014).
Daftar Pustaka | 209

Gordon, Sarah. “ Cyberterrorism?,” Symantec Security Response (May


2012) 1-16.
Graf Bettina. “ Yūsuf al-Qaraḍāwī in Cyberspace.” Brill New Series
Vol. 47, No. 3-4, (May 2007), 403-421
http://www.jstor.org/stable/20140785 (diakses 3 Juni 2014).
Greenwood Christopher. “ International Law and the War against
Terrorism.”Wiley on behalf of the Royal Institute of
International Affairs Vol. 78, No. 2, (Apr 2002), 301-317
http://www.jstor.org/stable/3095683 (diakses 27 Mei 2014).
Guillaume Gilbert. “ Terrorism and International Law.” Cambridge
University Press on behalf of the British Institute of
International and Comparative Law Vol. 53, No. 3, (Jul 2004),
537-548 http://www.jstor.org/stable/3663289 (diakses 8 Juni
2014).
Gupta Sanjay. “ The Changing Dimensions Of International Terrorism
And The Role Of The United States: A Comprehensive And
Multilateral Approach To Combat Global Terrorism.” The
Indian Journal of Political Science Vol. 65, No. 4, (Oct-Dec
2004), 556-587 http://www.jstor.org/stable/41856077 (diakses
10 Juni 2014).
Halberstam Malvina. “ Maritime Terrorism and International Law. by
Natalino Ronzitti.” American Society of International Law
Vol. 86, No. 4, (Oct 1992) Article DOI: 10.2307/2203807, 854-
856 http://www.jstor.org/stable/2203807(diakses 3 Juni 2014).
Haragopal G. and B. Jagannatham. “ Terrorism and Human Rights:
Indian Experience with Repressive Laws.” Economic and
Political Weekly Vol. 44, No. 28, (Jul 2009), 76-85
http://www.jstor.org/stable/40279262 (diakses 12 Juni 2014).
Harb Mona and Reinoud Leenders. “ Know Thy Enemy: Hizbullah,
'Terrorism' and the Politics of Perception.” Taylor & Francis,
Ltd Vol. 26, No. 1, (May 2005), 173-197
http://www.jstor.org/stable/3993770 (25 Mei 2014).
Haque M. Shamsul. “ Government Responses to Terrorism: Critical
Views of Their Impacts on People and Public Administration.”
Wiley on behalf of the American Society for Public
Administration Vol. 62, (Sep 2002), 170-180
http://www.jstor.org/stable/3110188 (diakses 5 Juni 2014).
210 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Held Virginia. “ Terrorism and War.” The Journal of Ethics Vol. 8, No.
1, (May 2004), 59-75 http://www.jstor.org/stable/25115781
(diakses 11 Juni 2014).
Herbane Brahim. “ Risk Management on the Internet.” Palgrave
Macmillan Journals Vol. 5, No. 2, (May 2003), 61-62
http://www.jstor.org/stable/3867819> (diakses 21 Mei 2014).
Hill David T. “ East Timor and the Internet: Global Political Leverage
in/on Indonesia.” Southeast Asia Program Publications at
Cornell University, Vol. 2, No. 73, (Apr 2002) Article DOI:
10.2307/3351468, 25-51 http://www.jstor.org/stable/3351468
(diakses 13 Juni 2014).
Hocking Jenny. “ Terrorism and Counter-Terrorism: Institutionalising
Political Order.” Australian Institute of Policy and Science
Vol. 58, No. 3, (Spring 1986) Article DOI: 10.2307/20635385,
297-307 http://www.jstor.org/stable/20635385 (diakses 12 Juni
2014).
Hynds Len. “ Hacker Cracker.” Royal Society for the Encouragement
of Arts, Manufactures and Commerce Vol. 149, No. 5500,
(May 2002), 42-43 http://www.jstor.org/stable/41380327
(diakses 14 Juni 2014).
Ismartono,Yuli. Teror di Surga, TEMPO, No.06/III, 15-21 Oktober
2002.
J. Magee. The Law Regulation Unsolicited Commercial Email: An
International Perspective, Santa Clara, Santa Clara Computer
And High Technology Law Journal 333, 336-8, 2003.
J. Prichard, Janet and Laurie E. MacDonald. “ Cyber Terrorism: A
Study of the Extent of Coverage in Computer Security
Textbooks.” Journal of Information Technology Education Vol.
3, No. 3, (May 2004), 280-285.
Jain, Gaurav. “ Cyber Terrorism: A Clear and Present Danger to
Civilized Society?.” Information Systems Education Journal
Vol. 3, No. 44, (August 2005), 12. (diakses 5 Mei 2014).
Jenkins Brian M. “ Statements about Terrorism.” Sage Publications,
Inc. in association with the American Academy of Political and
Social Science Vol. 463, (Sep 1982), 11-23
http://www.jstor.org/stable/1043608 (diakses 3 Juni 2014).
Daftar Pustaka | 211

JHA U C. “ Terrorism and Human Rights Laws: A Comment.”


Economic and Political Weekly Vol. 44, No. 37, (September
2009), 70-71 http://www.jstor.org/stable/25663548 (diakses 7
Juni 2014).
Johnsen, Mathias Holmen. “ A Case Study of Anders B. Breivik’s
Intergroup Conceptualisation.” Journal of Terrorism Research
Vol. 2, No.3, (May 2014), 1-8.
Jeffrey Record, “ Bounding The Global War On Terrorism.” Journal
Strategic Studies Institute, December 2003, 2.
Kaplan Jeffrey. “ History and Terrorism.” The Journal of American
History Vol. 98, No. 1 (June 2011), 101-105
http://www.jstor.org/stable/41509052 (diakses 7 Juni 2014).
Krieken Peter J. van. “ Terrorism and the International Legal Order:
With Special Reference to the UN, the EU and Cross-Border
Aspects.” Cambridge University Press on behalf of the British
Institute of International and Comparative Law Vol. 56, No. 3,
(Jul 2007), 732-733 http://www.jstor.org/stable/4498105
(diakses 21 Mei 2014).
Kydd Andrew H. and Barbara F. Walter. “ The Strategies of
Terrorism.” The MIT Press Vol. 31, No. 1, (Summer 2006), 49-
80 http://www.jstor.org/stable/4137539 (diakses 4 Juni 2014).
K. Peretti. “ Data Breaches: What The Underground World Of
Carding” Reveals, London: Santa Clara Computer and High
Technology Journal Vol. 2, No. 3, (May 2008), 375-377.
Kelsey Jeffrey T. G. “ Hacking into International Humanitarian Law:
The Principles of Distinction and Neutrality in the Age of
Cyber Warfare.” The Michigan Law Review Association Vol.
106, No. 7, (May 2008), 1427-145
http://www.jstor.org/stable/40041623 (diakses 12 Juni 2014).
Kim, Jeongtae and Others. “ An Inquiry into International
Countermeasures Against Cyberterrorism.” Proc. of the 7th
International Conference on Advanced Communication
Technology. Gangwon-Do, Korea, (May 2005), 432-35.
(diakses 9 Mei 2014).
Kohlmann Evan F. “ The Real Online Terrorist Threat.” Council on
Foreign Relations Vol. 85, No. 5, (Sep-Oct 2006) Article DOI:
212 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

10.2307/20032074,115-124
http://www.jstor.org/stable/20032074 (diakses 15 Juni 2014).
Krueger Alan B. and Jitka Maleckova. “ Education, Poverty and
Terrorism: Is There a Causal Connection?.” American
Economic Association Vol. 17, No. 4, (Autumn 2003), 119-144
http://www.jstor.org/stable/3216934 (diakses 8 Juni 2014).
Kshetri Nir. “ Diffusion and Effects of Cyber-Crime in Developing
Economies.” Taylor & Francis, Ltd Vol. 31, No. 7, (May 2010),
1057-1079 http://www.jstor.org/stable/27896600 (diakses 12
Juni 2014).
Kuznar Lawrence A. “ Rationality Wars and the War on Terror:
Explaining Terrorism and Social Unrest.” Wiley on behalf of
the American Anthropological Association New Series Vol.
109, No. 2, In Focus: Children, Childhoods, and Childhood
Studies (Jun 2007) , 318-329
http://www.jstor.org/stable/4496645 (diakses 13 Juni 2014).
Laqueur Walter. “ Postmodern Terrorism.” Council on Foreign
Relations Vol. 75, No. 5, (Sep-Oct 1996) Article DOI:
10.2307/20047741,24-36 http://www.jstor.org/stable/20047741
(diakses 11 Juni 2014).
________. “ The New Terrorism, Fanaticism and the Arms of Mass
Destruction.” The American Journal of International Law Vol.
94, No. 2, (Apr 2000) Article DOI: 10.2307/2555312, 434-438
http://www.jstor.org/stable/2555312 (diakses 4 Juni 2014).
Lawless Michael. “ Terrorism: An International Crime.” International
Journal Vol. 63, No. 1, (Winter 2007), 139-159
http://www.jstor.org/stable/40204494 (diakses 12 Mei 2014).
Leukfeldt and Others. “ High Volume Cyber Crime and the
Organization of the Police: The results of two empirical studies
in the Netherlands.” International Journal of Cyber
Criminology Vol. 7, No. 1, (January-June 2013), 1–17. (diakses
15 Mei 2014).
Lewis James A. “ The Internet And Terrorism.” American Society Of
International Law Vol. 99, No. 3, (March-April 2005), 112-115
http://www.jstor.org/stable/25659982 (diakses 8 Juni 2014).
Long Mark. “ Ribat, al-Qa’ida, and the Challenge for US Foreign
Policy.” Middle East Journal Vol. 63, No. 1, (Winter 2009),
Daftar Pustaka | 213

31-47 http://www.jstor.org/stable/25482602 (diakses 1 Juni


2014).
Maghaireh, Alaeldin. “ Shariah Law and Cyber-Sectarian Conflict:
How can Islamic Criminal Law respond to cyber crime?.”
International Journal of Cyber Criminology Vol. 2, No. 2 (July-
December 2008), 337–345. (diakses 9 Juni 2014).
Mathar, M. Saleh. “ Jihad dan Terorisme Kajian Fikih Kontemporer,”
Jurnal Hunafa Vol. 6. No.1, (April 2009),117-128.
Matusitz, Jonathan. “ Cyberterrorism: Postmodern State of Chaos.”
Information Security Journal: A Global Perspective Vol.
17, No. 4, (Oct 2008) DOI: 10.1080/19393550802397033, 10
(15 Mei 2014).
________.“ Cyberterrorism: How Can American Foreign Policy Be
Strengthened in the Information Age?.” American Foreign
Policy Interests: The Journal of the National Committee on
American Foreign Policy Vol. 27, No. 2, (Aug 2006) DOI:
10.1080/10803920590935376, 7. (diakses 15 Mei 2014).
Mendelsohn Barak. “ Bolstering the State: A Different Perspective on
the War on the Jihadi Movement.” Wiley on behalf of The
International Studies Association Vol. 11, No. 4, (Dec 2009),
663-686 http://www.jstor.org/stable/InternationalStudies
Review (diakses 12 Mei 2014).
Miller Gregory D.“ Teaching about Terrorism: Lessons Learned at
SWOTT.” American Political Science Association Vol. 42, No.
4, (October 2009), 773-779
http://www.jstor.org/stable/40646686 (diakses 8 Juni 2014).
Musallam Adnan A. “ From Secularism to Jihad: Sayyid Qutb and the
Foundations of Radical Islamism.” Middle East Journal Vol.
60, No. 4, (Autumn 2006), 777-788
http://www.jstor.org/stable/4330322 (diakses 10 Juni 2014).
Mukherji Nirmalangshu. “ Teachers and War on Terrorism.”
Economic and Political Weekly Vol. 38, No. 43, (Oct 2003),
4521-4523 http://www.jstor.org/stable/4414183 (diakses 13
Juni 2014).
Moira Fran. “ FBI Terrorism And The Ohio 5.” off our backs, inc Vol.
15, No. 4, (April 1985), 5 http://www.jstor.org/stable/25775392
(diakses 18 Mei 2014).
214 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

N. Schmitt, Michael. “ International Law in Cyberspace: The Koh


Speech and Tallinn Manual Juxtaposed.” Harvard International
Law Journal Online Vol. 54, No. 3, (May 2012), 14-21.
Nasrullah, T. “ Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun
Formil Terhadap UU No.15/2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.” Jurnal Kriminologi Indoesia Vol. 4
No. 1, (September 2005), 65-76.
Noorani A. G. “ Terrorism and Law of Evidence.” Economic and
Political Weekly Vol. 22, No. 22, (May 1987), 828-829
http://www.jstor.org/stable/4377030 (diakses 10 Juni 2014).
________ .“ Media and Terrorism.” Economic and Political Weekly
Vol. 27, No. 26, (Jun 1992), 1301-1302
http://www.jstor.org/stable/4398535 (diakses 17 Mei 2014).
Oakley Robert. “ International Terrorism.” Council on Foreign
Relations Vol. 65, No. 3, (May 1986) Article DOI:
10.2307/20043083,611-629
http://www.jstor.org/stable/20043083 (diakses 8 Juni 2014).
Olmstead Summer, and Siraj Ambareen. “ Cyberterrorism: The Threat
of Virtual Warfare.”Crosstalk The Journal of Defense Software
Engineering November/December Vol. 2, No. 3, (May 2009),
16-18.
Osofsky Hari M. “ Scales of Law: Rethinking Climate Change,
Terrorism, and the Global Financial Crisis.” American Society
of International Law Vol. 103, No. 2, (March 2009), 235-237
http://www.jstor.org/stable/10.5305/procannmeetasil.103.1.025
(diakses 4 Juni 2014).
Patrick S. Tibbetts, “ Terrorist Use of the Internet and Related
Information Technologies,” unpublished paper, School of
Advanced Military Studies, Fort Leavenworth, Kansas, (June
2002), 20. (diakses 23 April 2014).
Petersen Karen Lund. “ Terrorism: When Risk Meets Security.” Sage
Publications, Inc Vol. 33, No. 2, (Apr-June 2008), 173-190
http://www.jstor.org/stable/40608533 (diakses 27 Mei 2014).
Pillar Paul R. “ Terrorism Goes Global: Extremist Groups Extend
Their Reach Worldwide.” Brookings Institution Vol. 19, No.
4, (Fall 2001) Press Article DOI: 10.2307/20081003, 34-37
http://www.jstor.org/stable/20081003 (diakses 8 Juni 2014).
Daftar Pustaka | 215

Poetranto, Tri. Terorisme Bagaimana Mengatasinya?. Puslitbang


Strahan Balitbang Dephan, STT No. 2289 Vol. 9 No. 17 Tahun
2006. (diakses 7 April 2014).
Prayudi, dkk. “ Antisipasi Cybercrime Menggunakan Teknik
Komputer Forensik” Seminar Nasional Aplikasi Teknologi
Informasi 2007 (SNATI 2007). Yogyakarta, 16 Juni 2007.
ISSN: 1907-5022. (12 Mei 2014).
Ramraj Victor V. and Others. “ Global Anti-Terrorism Law and
Policy.” Cambridge University Press on behalf of the British
Institute of International and Comparative Law Vol. 56, No. 4,
(Oct 2007), 962-964 http://www.jstor.org/stable/4498128
(diakses 6 Juni 2014).
Ramsay, Gilbert. “ Jihadi Culture on the World Wide Web (New York:
Bloomsbury, 2013),” Journal of Terrorism Research (May
2014), 59-60.
Rathbone Anne and Charles K. Rowley. “ Terrorism.” Springer Vol.
111, No. 1/2, (Mar 2002), 9-18
http://www.jstor.org/stable/30026269 (diakses 2 Juni 2014).
Reinhard, Golose Petrus, “ Perkembangan Cyber Crime dan Upaya
Penanggulangannya di Indonesia Oleh Polri,” Jakarta: Buliten
Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol. 4 No. 2, (Agustus
2006), 29-30.
Richards Anthony. “ The Problem With 'Radicalization': The Remit Of
'Prevent' And The Need To Refocus On Terrorism In The UK.”
Wiley on behalf of the Royal Institute of International Affairs
Vol. 87, No. 1, (January 2011) , 143-152
http://www.jstor.org/stable/20869615 (diakses 2 Juni 2014).
Robison Kristopher K. and Others. “ Ideologies of Violence: The
Social Origins of Islamist and Leftist Transnational
Terrorism.” Oxford University Press Vol. 84, No. 4, (Jun
2006), 2009-2026 http://www.jstor.org/stable/3844487 (diakses
14 Juni 2014).
Robbins Joseph and Others. “ Voters versus terrorists: Analyzing the
effect of terrorist events on voter turnout.” Journal of Peace
Research Vol. 50, No. 4, (July 2013), 495-508
http://www.jstor.org/stable/23441214 (diakses 9 Juni 2014).
216 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Roche Roberta Senechal de la. “ Toward a Scientific Theory of


Terrorism.” American Sociological Association Vol. 22, No. 1,
(Mar 2004), 1-4 http://www.jstor.org/stable/3648954 (diakses
12 Juni 2014).
Rosand Eric. “ Security Council Resolution 1373, the Counter-
Terrorism Committee, and the Fight against Terrorism.” The
American Journal of International Law Vol. 97, No. 2, (Apr
2003) Article DOI: 10.2307/3100110, 333-341
http://www.jstor.org/stable/3100110 (diakses 3 Juni 2014).
Rudner, Martin. “ Hunters and Gatherers: The Intelligence Coalition
Against Islamic Terrorism.” International Journal of
Intelligence and CounterIntelligence Vol. 17, No. 2, (Aug
2010) DOI: 10.1080/08850600490274890, 17 (diakses 2 Mei
2014).
Sandler Todd. “ Terrorism and Policy: Introduction.” The Journal of
Conflict Resolution Vol. 54, No. 2, (April 2010), 203-213
http://www.jstor.org/stable/27820982 (diakses 8 Juni 2014).
Santifort Charlinda and Others. “ Terrorist attack and target diversity:
Changepoints and their drivers.” Journal of Peace Research
Vol. 50, No. 1 (January 2013), 75-90
http://www.jstor.org/stable/23441158 (6 Juni 2014).
Satapathy C. “ Impact of Cyber Vandalism on the Internet.” Economic
and Political Weekly Vol. 35, No. 13, (Mar 2000), 1059-1061
http://www.jstor.org/stable/4409073 (diakses 6 Juni 2014).
Schjolberg, Judge Stenin and Amanda M, Hubbard, “ Harmonizing
National Legal Approaches on Cybercrime,” ITU, Geneva:
WSIS Thematic Meeting on Cyber-security, (June-July 2005),
Document: CYB/04, 10 June 2005.
Sherman, Mark. “ Cyber Crime and Cyber Terrorism,” Federal Judicial
Center ( May 2002) 1-13.
Shun-Yung Kevin Wang And Wilson Huang. “ The Evolutional View
Of The Types Of Identity Thefts And Online Frauds In The Era
Of The Internet.” Internet Journal of Criminology Vol. 2, No.
3, (May 2011), 2045-6743. (diakses 1 Mei 2014).
Simms Michele. “ On Linking Business Ethics, Bioethics and
Bioterrorism.” Journal of Business Ethics Vol. 51, No. 2, (May
Daftar Pustaka | 217

2004) 211-220 http://www.jstor.org/stable/25379186 (diakses 9


Juni 2014).
Simon Jeffrey D. “ Misunderstanding Terrorism.”
Washingtonpost.Newsweek Interactive, LLC Vol. 2, No. 67,
(Summer 1987) Article DOI: 10.2307/1148933, 104-120
http://www.jstor.org/stable/1148933 (diakses 8 Juni 2014).
Slatina Senad. “ Net Effect: Web Sites That Shape the World”.
Washingtonpost.Newsweek Interactive, LLC Vol. 2, No. 148,
(May-Jun 2005), 92-93 http://www.jstor.org/stable/30048020
(diakses 16 Juni 2014).
Sofaer Abraham D. “ Terrorism and the Law.” Council on Foreign
Relations Vol. 64, No. 5, (Summer 1986) Article DOI:
10.2307/20042773,901-922
http://www.jstor.org/stable/20042773 (diakses 5 Juni 2014).
Starrett Gregory. “ History of Religions.” The University of Chicago
Press Vol. 46, No. 3, (February 2007) Article
DOI:10.1086/513258,268-271
http://www.jstor.org/stable/10.1086/513258 (diakses 1 Juni
2014).
Sukarjono, Bambang dan Sarjiyati. “ Kajian Yuridis Penanganan
Tindak Pidana Terorisme Berdasarkan Perpu No. 1 Tahun 2002
jo UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.” Jurnal Sosial Vol. 14 No. 1, (Maret 2013),
26-34.
Tafoya, William L. “ Cyber Terror,” FBI Law Enforcement Bulletin
(May 2011), 1-15.
Tadros Victor. “ Justice and Terrorism.” New Criminal Law Review:
An International and Interdisciplinary Journal Vol. 10, No. 4
(Fall 2007) Article DOI: 10.1525/nclr.2007.10.4.658, 658-689
http://www.jstor.org/stable/10.1525/nclr.2007.10.4.658
(diakses 10 Juni 2014).
Teichman Jenny. “ How to Define Terrorism.” Cambridge University
Press on behalf of Royal Institute of Philosophy Vol. 64, No.
250, (Oct 1989), 505-517 http://www.jstor.org/stable/3751606
(diakses 23 Mei 2014).
The Cybercrime Convention Committee (T-CY), Co-Operation
Between Law Enforcement and the Private Sector, Examples
218 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

of How the Private Sector has Blocked Child Pornographic


Sites, Strasbourg, 20 February 2006.
Victoroff Jeff. “ The Mind of the Terrorist:A Review and Critique of
Psychological Approaches.” Sage Publications, Inc Vol. 49,
No. 1, (Feb 2005), 3-42 http://www.jstor.org/stable/30045097
(diakses 15 Juni 2014).
Walker Clive. “ The Prevention of Terrorism in British Law.”
Cambridge University Press on behalf of Editorial Committee
of the Cambridge Law Journal Vol. 46, No. 2, (Jul 1987), 349-
350 http://www.jstor.org/stable/4507040 (diakses 9 Mei 2014).
________. “ The Treatment of Foreign Terror Suspects.” Wiley on
behalf of the Modern Law Review Vol. 70, No. 3, (May 2007),
427-457 http://www.jstor.org/stable/4543144 (diakses 14 Juni
2014).
________. “ The Bombs in Omagh and Their Aftermath: The Criminal
Justice (Terrorism and Conspiracy) Act 1998.” Wiley on behalf
of the Modern Law Review Vol. 62, No. 6, (Nov 1999), 879-
902 http://www.jstor.org/stable/1097161 (diakses 21 Mei
2014).
________.“ Keeping Control of Terrorists without Losing Control of
Constitutionalism.” Stanford Law Review Vol. 59, No. 5, (Mar
2007), 1395-1463 http://www.jstor.org/stable/40040361
(diakses 24 Mei 2014).
Walker Clive and Dave Whyte. “ Contracting out War?: Private
Military Companies, Law and Regulation in the United
Kingdom.” Cambridge University Press on behalf of the British
Institute of International and Comparative Law Vol. 54, No. 3,
(Jul 2005), 651-689 http://www.jstor.org/stable/3663453
(diakses 28 Mei 2014).
Walker Clive and Russell Stockdale. “ Forensic Evidence and Terrorist
Trials in the United Kingdom.” Cambridge University Press on
behalf of Editorial Committee of the Cambridge Law Journal
Vol. 54, No. 1, (Mar 1995), 69-99
http://www.jstor.org/stable/4508036 (diakses 21 Mei 2014).
Waugh William L, Jr. and Richard T. Sylves. “ Organizing the War on
Terrorism.” Wiley on behalf of the American Society for Public
Daftar Pustaka | 219

Administration Vol. 62, (Sep 2002), 145-153 Stable URL:


http://www.jstor.org/stable/3110185 (diakses 17 Mei 2014).
Wedgwood Ruth. “ Al Qaeda, Terrorism, and Military Commissions.”
The American Journal of International Law Vol. 96, No. 2,
(Apr 2002) Article DOI: 10.2307/2693927, 328-337
http://www.jstor.org/stable/2693927 (diakses 5 Juni 2014).
Weimann Gabriel. “ Terror on the Internet:The New Arena, the New
Challenges.” The Academy of Political Science Vol. 122, No.
1, (Spring 2007), 164-165.
http://www.jstor.org/stable/20202826 (diakses 9 Juni 2014).
Wilson, Clay. “ Computer Attack and Cyberterrorism:Vulnerabilities
and Policy Issues for Congress,” CRS Report for Congress
(May 2005), 5-10.
Winer Jonathan M. “ Countering Terrorist Finance: A Work, Mostly in
Progress.” Sage Publications, Inc. in association with
the American Academy of Political and Social Science Vol.
618, (Jul 2008), 112-132 http://www.jstor.org/stable/40375779
(diakses 14 Juni 2014).
Website:
Ahmed, Irfan. “ Media-Pakistan:Cybercrime Law Infringes on Right-
Activists,” http://www.ipsnews.net/2008/01/media-pakistan
(diakses 3 Januari 2014).
Al-Awlaki, Anwar. “ 44 Ways of Supporting Jihad,”
http://www.kavkazcenter.com/eng/content/2009/02/16/10561.s
html (diakses 5 Agustus 2014).
Ardhianto, Imam. “ Cyber-terrorism creates problems in the real
world,”http://m.thejakartapost.com/news/2006/09/14/cyberterr
orism-creates-problems-real-world.html (diakses 21 Januari
2014).
Aziz, Abdul. “ Aku Melawan Teroris,”
http://www.scribd.com/doc/7947911/Imam-Samudra-Aku-
Melawan-Teroris (diakses tanggal 10 maret 2012).
Ba>z,’Abd al-Azi>z Bin. ” Fatwa Ulama Tentang Usamah bin Laden”
http://www.darussalaf.or.id/fatwa-ulama-tanya-jawab/fatwa-
ulama-tentang-usamah-bin-laden/ (diakses 5 Agustus 2014).
Berita Terbaru. “ FPI Sebut Osama bin Laden Mati Sahid,”
http://www.berita-terbaru.com/berita-nasional/fpi-sebut-
220 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

osama-bin-laden-mati-sahid.html (diakses tanggal 10 maret


2012).
Convention Committee on Cybercrime, “ Convention on Cybercrime,”
http://conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/Html/185.htm.
(diakses 20 Februari 2014).
Dewidya.“ Teroris Asia Tenggara Fasih Ber-Internet,”
http://inet.detik.com/read/2006/05/23/100509/600625/328/
(diakses 1 November 2013).
DW. “ Ulama Inggris Keluarkan Fatwa Menentang Terorisme dan
Bom Bunuh Diri,”http://www.republika.co.id/berita/dunia-
islam/fatwa (diakses tanggal 5 maret 2012).
Eramuslim. “ Syaikh Al-Awlaki: 44 Cara Mendukung Jihad (Bagian
2),”http://www.eramuslim.com/nasihat-ulama/syaikh-al-
awlaki-44-cara-mendukung-jihadbagian-2.htm (diakses tanggal
7 maret 2012).
________.“ Dewan Ulama Saudi Mengeluarkan Fatwa Baru
Mendefinisikan IstilahTerorisme,”
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/dewan-ulama-saudi-
keluarkan-fatwa (diakses tanggal 9 maret 2012).
Electronic Civil Defence. http://ntrg.cs.tcd.ie/undergrad/
4ba2.02/infowar/ecd.html (diakses 23 Desember 2013).
Federal Bureau of Investigation (FBI). “ Citation Adam Savino,
Cyberterrorism,” http://www.cybercrime.net/Terrorism
(diakses 1 januari 2014).
Golose, Petrus Reinhard. “ Polisi Indonesia Menangkap 2 Orang
Diduga Menggunakan Internet Mendukung Teroris,”
http://www.4law.co.il/indo1.htm (diakses 2 November 2013).
Hafidz, Jawade. “ Cyber Terrorism,”
http://jawade.blog.unissula.ac.id/2011/10/06/cyber (diakses
tanggal 11 maret 2012).
Hasan, Noorhaidi and others. “ Counter-Terrorism Strategies in
Indonesia, Algeria and Saudi Arabia,”
https://www.wodc.nl/images/1806-volledigetekst_tcm44-
435986.pdf (diakses 1 Februari 2014).
Isenberg, David. “ Electronic Pearl Harbor? More Hype Than Threat,”
http://www.cato.org/publications/commentary/electronic-pearl-
Daftar Pustaka | 221

harbor-more-hype-threat (diakses 10 Februari 2014).


K Yusuf, Deni. “ Teroris Layak Dihukum Mati,”
http://www.knowledge-leader.net/2010/06/teroris-layak-
dihukum-mati/ (diakses 20 Februari 2014).
Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. “ Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
PidanaTerorisme,”http://www.setneg.go.id//index.php?option=
com_perundangan&id=1548&task=detail&catid=2&Itemid=42
&tahun=0 (diakses tanggal 1 November 2013).
Kompas. ” Cyber Crime Indonesia Tertinggi di Dunia,”
http://nasional.kompas.com/read/2009/03/25/18505497/Cyber.
Crime..Indonesia.Tertinggi.di.Dunia (diakses tanggal 1 februari
2012).
________.“BomdiMasjidBukanPertamaKali,”http://nasional.kompas.c
om/read/2011/04/15/19144273/Bom.di.Masjid.Bukan.Pertama.
Kali (diakses tanggal 3 maret 2012).
Kontras. “ Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang,”
http://www.kontras.org/uu_ri_ham/UU%20Nomor%2015%20T
ahun%202003%20tentang%20Anti%20Terorisme (diakses
tanggal 7 maret 2012).
Lipi. “ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008
Informasi dan Transaksi Elektronik,”
http://www.lipi.go.id/intra/informasi/1250035982.pdf (diakses
tanggal 7 maret 2012).
MUI. “ Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 3 Tahun 2004 Tentang
Terorisme”http://id.scribd.com/doc/18799174/Fatwa-MUI-
tentang-Terorisme (diakses 12 Mei 2014).
Muawiyah Askari, Abu. “ Tafsir “Hukuman Bagi Para Penyamun”
http://asysyariah.com/tafsir-hukuman-bagi-para-penyamun/
(diakses 17 Mei 2014).
Misrawi, Zuhairi. “ Islam dan Terorisme,”
http://islamlib.com/id/artikel/islam-dan-terorisme(diakses
tanggal 1 maret 2012).
222 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Metrotvnews.“TalibanSerukanDukunganuntukBinLaden,”http://metro
tvnews.com/read/newsvideo/2011/05/03/127457/Taliban-
Serukan-Dukungan-Untuk-bin-Laden (diakses tanggal 13 maret
2012).
Muhammad Sunusi, Dzulqarnain. “ Fatwa-Fatwa Seputar Peristiwa 11
September2001,”http://jihadbukankenistaan.com/terorisme
(diakses tanggal 8 maret 2012).
Mukhtar Elmusharaf, Mudawi. “ Cyber Terrorism: The new kind
ofTerrorism,”http://www.crimeresearch.org/articles/Cyber_Ter
rorism_new_kin_Terrorism (diakses 28 desember 2013).
Museum, Polri. “ Bom Bali I dan II,”
http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_bom (diakses
tanggal 4 maret 2012).
________.“ Bom Hotel Marriot,”
http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_bom (diakses
tanggal 7 maret 2012).
________.“ Bom Natal Tahun 2000,”
http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_bom (diakses
tanggal 4 maret 2012).
________.“BomdiGedungBursaEfekJakarta,”
http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_bom (diakses
tanggal 5 maret 2012).
My Pesonal Library Online, “ Cyber Crime,”
http://dhani.singcat.com/internet. (diakses tanggal 27 desember
2013).
Nurbani. “ Jihad VS Terorisme,”
http://nurbanie.blogspot.com/2010/03/terorisme (diakses
tanggal 10 maret 2012).
Nasrullah, T. “ Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun
Formil Terhadap UU No. 15/2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme,”
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1241/1146
(diakses 2 November 2013).
Priyambodo. “ Indonesia Pertama Kali Bongkar Kasus Cyber
Terrorism,”http://www.antaranews.com/print/1158078110/indo
nesia (diakses tanggal 10 maret 2012).
Daftar Pustaka | 223

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/perpu_1_02.htm.
(dikses 01 Maret 2014).
Qomar. “ Menyikapi Aksi-Aksi Teroris Khawarij,”
http://asysyariah.com/menyikapi-aksi-aksi-teroris
khawarij.html (diakses 10 maret 2012).
RG, “ Inilah 5 Kasus Terorisme yang Heboh di Indonesia,”
http://ciricara.com/2012/09/10/inilah-5-kasus-terorisme
(diakses 1 Februari 2014).
Ramli, M. Guntur. “ Jihad Melawan Terorisme,”
http://islamlib.com/?site=1&aid=112&cat=content&cid=9&titl
e=jihad (diakses 10 Januari 2014).
Ramli, Ahmad M. “ Naskah Akademik Rancangan Peraturan
PemerintahTentangTransaksiElektronik,”http://www.tu.bphn.g
o.id/substantif/Data/ISI%20KEGIATAN%20TAHUN%20200
/15na%20ITE.pdf (diakses 19 Maret 2014).
Ramelan, Prayitno. “ Osama dan Pengaruhnya Terhadap Terorisme di
Indonesia,” http://ramalanintelijen.net/?p=2276 (diakses 28
Januari 2014).
Republika, “ MUI: Terorisme Itu Hukumnya Haram,”
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa (diakses
tanggal 8 maret 2012).
Ritonga, Ucok. “ APJII Ingatkan Bahaya Cyberterorism,”
http://www.tempo.co/read/news/2003/03/25/0567383/APJII-
Ingatkan-Bahaya-Cyberterorism (diakses 5 Februari 2014).
Rudy. “ Cyber Crimes (Sudah Siapkah Kita Menghadapinya?),”
http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1555-
cyber-crimes.html (diakses 1 November 2013).
Santosa, Teguh. “ Dunia Maya Tantangan Serius Pemberantasan
Terorisme,”http://www.blogatwordpress.com/<teguhsantosa>.ht
m (diakses tanggal 11 maret 2012).
Suryadhi, Ardhi. “ Sebarkan Ideologi Osama, Teroris Cyber
Dibui,”http://hot.detik.com/read/2007/07/06/113759/801904/39
8/sebarkan-ideologi-osama-teroris-cyber-dibui (diakses 1
November 2013).
224 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Sholahudin. “ Sejarah Paham dan Gerakan Jihad di Indonesia,”


http://cdn.salihara.org/media/documents/2011/05/14/s/e/sejarah
_faham_dan_gerakan_jihad (diakses tanggal 4 maret 2012).
_________.http://cdn.salihara.org/media/documents/2011/05/1
4/s/e/sejarah_faham dan_gerakan_jihad (diakses tanggal 2
maret 2012).
Sholahuddin, KUHP dan KUHAP. Jakarta:Visimedia, 2007.
Skalanews.“ Imam Kuwait: Jihad Cyber Efektif,”
http://skalanews.com/baca/news/3/0/103837/internasional/ima
m-kuwait(diakses tanggal 12 maret 2012).
Syariah, Online. “ Fatwa MUI Tentang Terorisme,”
http://www.syariahonline.com/v2/fatwa
Tanjung, Agib. “ Polri Ingin Musnahkan Buku Tadzkirah
InspirasiTeroris,”http://www.merdeka.com/peristiwa/polri-
ingin-musnahkan-buku-tadzkirah-inspirasi-teroris.html (diakses
20 Januari 2014).
TP/JO,“ MUI Dukung Kapolri Tarik Tadzkiroh,”
http://www.surabayapagi.com/index.php?read=MUI
DukungPolri-Tarik\
Tadzkiroh;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962548a3857b6e2
cab59942ee0356d879ca (diakses 1 Februari 2014).
T}ahir al-Qadri, Muh}ammad. “ Fatwa Against Terrorism and
SuicideBombings,”http://minhajimages.kortechx.netdnacdn.co
m/downloads/Fatwa_Global-Media Coverage_English_volume-
01.pdf (diakses 21 Februari 2014).
Ulama, Sunnah. “ Usamah bin Ladin Mujahid di Jalan Syaithan,”
http://ulamasunnah.wordpress.com/2011/05/19/usamah-bin-
ladin-mujahid-di-jalan-syaithan/ (diakses tanggal 1 maret
2012).
United Nations Office on Drugs and Crime,”United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime and
TheProtocolsThereto,”http://www.unodc.org/documents/treatie
s/UNTOC/Publications/TOC%20Convention/TOCebook-e.pdf
(diakses 12 Februari 2014).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1976 Tentang
Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan
Daftar Pustaka | 225

Berlakuknya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana,


Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap
Sarana/Prasarana Penerbangan.
http://www.dpr.go.id/uu/uu1976/UU_1976_4.pdf (diakses 21
Maret 2014).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999
TentangTelekomunikasi.http://www.mastel.or.id/files/regulasi/
UU_36_1999_Telekomunikasi.pdf (diakses 20 Maret 2014).
Voice of Islam. “Jihad Akan Selalu Ada Hingga Kiamat,”
http://www.voaislam.com/news/indonesiana/2011/09/29/16235/
forum-komunikasi-eks-afghan-jihad (diakses tanggal 3 maret
2012).
________. “Forum Komunikasi Eks Afghan Jihad Akan Selalu Ada
Hingga Kiamat,” http://www.voa
islam.com/news/indonesiana/2011/09/29/16235/forum-
komunikasi-eks-afghan-jihad (diakses tanggal 3 maret 2012).
_________. ”Orang Kaya Berduit Juga Bisa Jadi Teroris,”
http://nasional.vivanews.com/news/read/237559--orang-kaya-
berduit-juga-bisa-jadi-teroris- (diakses 10maret 2012).
Wahyudi, Ari. “ Teroris Bukan Mujahid dan Bukan Pula
Mujtahid!,”http://muslim.or.id/manhaj/teroris-bukan-mujahid-
dan-mujtahid.html (diakses 20 Februari 2014).
Weimann, Gabriel. “Cyberterrorism: How Real Is the Threat?,”
http://www.usip.org/pubs/specialreports/sr119.html. (diakses 1
Desember 2013).
________.“ How Modern Terrorism,”
http://www.usip.org/pubs/specialreports/sr116.pdf (diakses 24
Desember 2013).
Yurio Kristo, Fino. “ Hukuman Mati Ancam Teroris Cyber,”
http://inet.detik.com/read/2008/11/07/104617/1032862/399/huk
uman-mati-ancam-teroris-cyber (diakses 1 November 2013).
Yunos, Zahri. “ Cyber Terrorism Conceptual Framework,”
http://www.oiccert.net/v1/slide/session%201/03%202012%20Z
ahri%20OICCERT%20Oman%20V1%20%28ZAHRI%29.pdf
(diakses 20 Februari 2014).
Zhang.http://www.slais.ubc.ca/course/libr500/0405wt1/www/X_Zhang
/5ways.htm (diakses 3 Desember 2013).
226 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam
GLOSARIUM
(KETERANGAN ISTILAH DAN REFERENSINYA)

Teror
Teror merupakan bentuk-bentuk kegiatan dalam rangka pelaksanaan
terorisme melalui penggunanaan/cara ancaman, pemerasan, agitasi,
fitnah, pengeboman, penghancuran/perusakan, penculikan, intimidasi,
perkosaan dan pembunuhan. Teror juga suatu usaha untuk
menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau
golongan.

Referensi:
Terorisme, Adjie, Surya Multi Grafika, 2005.
Radikalisme dalam Islam Antara Argumentasi Jihad dan Terorisme,
Suaib Didu, Divisi Penerbitan Relawan Bangsa, 2006.
Political Terrorism:A Research Guide to Concepts, Theories, Data
Bases and Literature, Schmid, Transaction, 1983.
Inside Terrorism, Hoffman Bruce, Columbia University Press and
Laqueur, 1999.
Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan
Keamanan Nasional, Sukawarsini Djelantik, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010.

Terorisme
Terorisme suatu mazhab/aliran kepercayaan melalui pemaksaan
kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara melakukan
tindakan ilegal yang menjurus ke arah kekerasan, kebrutalan bahkan
pembunuhan. mendifinisikan terorisme sebagai:sebuah aksi militer
atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau
membuat kehancuran ekonomi atau material.

Referensi:
Terorisme, Adjie, Surya Multi Grafika, 2005.
Terrorism:A History, Randall Law, Polity Press, 2009.

227
228 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Bara Timur Tengah, M.Riza Sihbudi, Mizan, 1991.


Terrorism and Law, Clive Walker, Oxford University Press, 2011.
Terrorism and the Media, From Iran Hostage Crisis to Oklahoma City
Bombing, Brigitte Nacos, Columbia University Press, 1994.
Teroris
Teroris merupakan pelaku bentuk-bentuk terorisme, baik oleh
individu, golongan ataupun kelompok dengan cara tindak kekerasan
sampai dengan pembunuhan, disertai berbagai penggunaan senjata,
mulai dari sistem konvensional hingga modern.

Referensi:
Terorisme, Adjie, Surya Multi Grafika, 2005.
Pandangan Muslim Moderat:Toleransi, Terorisme, dan Oase
Perdamaian, Zuhairi Misrawi, PT. Kompas Media Nusantara, 2010.
Radikalisme dalam Islam Antara Argumentasi Jihad dan Terorisme,
Suaib Didu, Divisi Penerbitan Relawan Bangsa, 2006.
Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Abdullah Machmud
Hendropriyono, PT Kompas Media Nusantara, 2009.

Cyber Crime
Cyber Crime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer
untuk tujuan kriminal atau kriminal berteknologi tinggi dengan
menyalahgunakan kemudahan teknologi digital.

Referensi:
Kejahatan Mayantara, Abdul Wahid, PT.Refika Aditama, 2005.
Investigating Computer-Related Crime:A Hanbook for Corporate
Investigators, Peter Stephenson, CRC Press, 2000.
Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cyber di Indonesia,
Barda Nawawi Arief, Rajawali Press, 2005.
Cyber Crime, Modus Operandi dan Penanggulangannya, Abdul Wahid
dan Mohammad Labib, LeksBang Komputer PRESSindo, 2007.
Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, Agus Raharjo, Citra Aditya Bakti 2002.
Glosarium | 229

Cyber Terrorism
Suatu aksi kejahatan terorisme yang menggunakan sarana teknologi
dan informasi, tujuannya melumpuhkan infrastruktur secara nasional,
seperti energi, transportasi, untuk menekan atau mengintimidasi
kegiatan-kegiatan pemerintah atau masyarakat sipil. Cyber terrorism
kadang juga disebut dengan cyber sabotage and exortion. Kejahatan ini
dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran
terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer
yang terhubung ke internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan
menyusupkan suatu virus komputer atau program komputer tertentu
sehingga data, program komputer tidak dapat digunakan, tidak
berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana
dikehendaki oleh pelaku. Cyber terrorism merupakan penyerangan
dengan menggunakan komputer atau mengancam, mengintimidasi atau
memaksa pemerintahan atau masyarakat, dengan tujuan untuk
mencapai target politik, agama atau ideologi. Sarana itu cukup untuk
menimbulkan rasa takut yang berasal dari tindakan psikis teroris.
Kerusakan infrastruktur seperti tenaga listrik atau pelayanan keadaan
darurat yang dapat disebabkan oleh tindakkan terorisme mayantara.

Referensi:
Assesing the Risk of Cyber Terrorism, Cyber War and Other Cyber
Threats, Center for Strategic and International Studies, James A.
Lewis, Center for Strategic & International Studies, 2002.
Cyber Crime, Modus Operandi dan Penanggulangannya, Abdul Wahid
dan Mohammad Labib, LeksBang Komputer PRESSindo, 2007.
Cyber Terrorism:Political and Economic Implications, Andrew M.
Colaric, Idea Grup Inc, 2006.
Cyber Warfare and Cyber Terrorism, Lech Janczewski dan Andrew M.
Colarik, Idea Group Inc, 2008.
Cyberterrosim:The Use of the Internet for Terrorist Purpose, Council
of Europe, Council of Europe, 2007.
Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Infromasi, Dikdik M. Arief
Mansur & Elisatris Gultom, PT.Refika Aditama, 2005.
230 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Cyber Space
Cyber Space adalah sebuah ruang imajiner atau ruang maya yang
bersifat artificial, di mana setiap orang melakukan apa saja yang biasa
dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara-cara yang
baru. Cyber space merupakan tempat berada ketika mengarungi dunia
informasi global interaktif yang bernama Internet.

Referensi:
Kejahatan Mayantara, Abdul Wahid, PT.Refika Aditama, 2005.
Cyber Crime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, Agus Raharjo, Citra Aditya Bakti 2002.
Hukum Internet, Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyber
space, Asril Sitompul, Citra Aditya Bhakti, 2004.

Hacker
Hacker adalah orang yang mempelajari, menganalisa, memodifikasi
atau bahkan mengeksploitasi sistem yang terdapat di sebuah
perangkat seperti perangkat lunak komputer maupun perangkat keras
komputer.

Referensi:
The Drop Out Billionaire Menjual Ide Ala Mark Zuckerberg, Ricardo
Hermawan, Best Publisher, 2009.
Hacker Culture, Douglas Thomas, University of Minnesota Press,
2003.
The Art of Intrusion: The Real Stories Behind the Exploits of Hackers,
Intruders & Deceivers, Kevik D. Mitnick and William L.Simon, Wiley
Publishing, Inc., 2005.

Cracker
Seorang atau sekumpulan orang yang memang secara sengaja berniat
untuk merusak dan menghancurkan integritas di seluruh jaringan
sistem komputer dan tindakannya dinamakan cracking. Pada umumnya
para cracker setelah berhasil masuk ke dalam jaringan komputer akan
langsung melakukan kegiatan pengrusakan dan penghancuran data-
Glosarium | 231

data penting (destroying data) hingga menyebabkan kekacauan bagi


para user dalam menggunakan komputernya. Kegiatan para cracker ini
mudah dikenali dan dapat segara diketahui dari dampak hasil kegiatan
yang mereka lakukan.

Referensi:
Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Infromasi, Dikdik M. Arief
Mansur & Elisatris Gultom, PT.Refika Aditama, 2005.
Sari Kuliah Perbandingan Hukum, Barda Nawawi Arief, Raja Grafindo
Persada, 2002.
Implikasi Teknologi dan Internet Terhadap Pendidikan, Bisnis dan
Pemerintahan, Budi Raharjo, PT Insan Komunikasi/Infonesia, 2002.

World Wide Web


World Wide Web merupakan sarana Internet yang berfungsi sebagai
sarana untuk transfer file, data dan software di Internet. WWW ini
didesain untuk memudahkan pengguna dalam melakukan transfer file
dan juga ia memperkaya tampilan isi (content) Internet. Dengan
WWW seseorang dapat secara mudah masuk dan terhubung ke
Internet.

Referensi:
Hukum Internet, Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyber
Space, Asril Sitompul, Citra Aditya Bhakti, 2004.
Who Controls the Internet, Jack Goldsmith and Others, Oxford
University Press, Inc, 2006.

al-Hira>bah
Para ulama fikih mendefinisikan al-hira>bah dengan tindakan yang
dilakukan seseorang atau sekumpulan orang untuk merampas harta
milik orang lain secara terang-terangan dengan cara kekerasan, baik
dengan cara pembunuhan atau menakut-nakutkan pemilik harta dan
dilakukan pada suatu tempat yang mangsanya tidak boleh meminta
pertolongan daripada orang lain. Ulama Hanafiyah mensyaratkan
bahwa tindakan itu dilakukan di dalam negara Islam dan di luar
perkampungan penduduk. Akan tetapi, ulama Malikiyah menyatakan
232 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

bahwa tindak jina>yah al-hira>bah tidak harus dilakukan di luar


perkampungan penduduk, bahkan di dalam perkampungan penduduk
pun boleh terjadi. Jumhur ulama lebih sesuai dengan keadaan sekarang.
Ini karena perampokan banyak dilakukan di kota-kota.

Referensi:
Asma al-Matha>lib Syarh} Raud}ah al-Tha>lib, Zakaria> al-Ans}a>ri>, al-
Mathba’ah Maimu>nah, 1313 H.
Hudu>d dalam Fikih Islam, Mohd Sai>d Isha>q, UTM, 2000.
Kumpulan Ulama India, Al-Irha>b wa al-Sala>m, Da>r al-Kutub al-
Ilmiyah, 2007.

al-Irha>b
Kata al-irha>b (‫ )اﻻرھﺎب‬yang berasal dari pecahan huruf ra-ha dan ba
yang mengandung dua arti dasar; pertama menunjuk pada ketakutan,
kengerian (yadullu ‘ala> khiffati>n) yang kedua mengandung arti tipis
dan ringan (yadullu ‘ala> diqqati>n wa khiffati>n). Dalam bahasa Arab
dikatakan (‫ )رھﺒﺖ اﻟﺸﻰء رھﺒﺎ ورھﺒﺎ‬saya menakut-nakuti dengan suatu
ketakutan. Dari pengertian dasar inilah selanjutnya dipakai untuk
menunjuk kata al-irha>biyyu>n (‫)اﻻرھﺎﺑﯿﻮن‬, teroris yang dinisbatkan
kepada orang-orang/kelompok yang menempuh jalan kebengisan,
kekejaman dan menimbulkan ketakutan kepada lawan-lawannya untuk
mencapai target-target yang diinginkan (biasanya target politik). Jadi,
secara singkat bisa dikatakan bahwa terorisme merupakan sebuah
bentuk kekerasan langsung atau tidak langsung, yang dikenakan pada
sasaran yang tidak sewajarnya mendapat perlakuan kekerasan itu, dan
dengan aksi tersebut dimaksudkan agar terjadi rasa takut yang luas di
tengah-tengah masyarakat. Bila seseorang meledakkan sebuah bom di
masjid, gereja, pasar, hotel, pertokoan atau dikerumunan orang maka
teroris yang meledakkan bom itu mengharapkan segera terjadi suasana
ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Semakin takut perasaan
masyarakat maka semakin berhasil gerakan terorisme.

Referensi:
Maqayis al-Lughah, Ahmad bin Faris bin Zakariya, Da>r al-Fikr,1994.
Arabic-English Lexicon, E.W Lane, The Islamic Texts Society, 1984.
Al-Mu’jam al-Wasit}, Ibrahim Anis, Da>r al-Fikr, tth.
Glosarium | 233

Fiqh al-Jiha>d, Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Maktabah Wahbah, 2009.


The Oxford Ensiclopedia of the Modern Islamic World, Jhon L.
Esposito, Oxford University Press, 1995.
Mu’jam al-Alfaz} wa al-I’lam Al-Qur’a>niyah, Muhammad Ismail
Ibrahim, Da>r al-Fikr al-Arabi, 1969.
234 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam
INDEX

Ali Juliano Gema, 3


’ al-Irha>b, 17, 24, 44, 47, 128,
’Abd Alla>h Azza>m, 14 129, 195, 196, 197, 232
’Abd Alla>h Sungkar, 14 al-Ma>idah, 18, 21, 32, 147, 151,
168, 175, 177, 179, 185
A al-Qa>’idah, 11, 65, 165
al-Qita>l, 170
A. Clem, 124
al-Qur’a>n, 16, 18, 21, 24, 31,
Abdul Wahid, 3, 25, 30, 35, 36,
32, 68, 70, 72, 77, 78, 125,
37, 38, 40, 45, 63, 158, 228,
129, 135, 137, 138, 146, 147,
229, 230
148, 162, 163, 166, 168, 170,
Abdullah Ahmad Badawi, 5
171, 172, 173, 177, 190, 194,
Abu Righal, 13
198, 200
Adjie, 1, 6, 126, 160, 189, 227,
al-Sunnah, 16, 18, 24, 153, 158,
228
163, 197, 202
Afghanistan, 4, 65, 68, 69, 70,
al-Tawbah, 68, 70, 136, 171,
72, 75, 162
172
Agung Setyadi, 6
al-Wisnubroto, 203
Agus Raharjo, 3, 35, 36, 37, 38,
Ambareen Siraj, 4, 43, 114
39, 40, 103, 118, 121, 228,
Amerika, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12,
230
13, 16, 18, 19, 24, 28, 48, 54,
Ahmad M. Ramli, 29, 104
57, 59, 63, 65, 67, 71, 84, 98,
Ahmad Sabri Lubis, 11
104, 130, 154, 156, 162, 163,
Ahmad Wardi Muslich, 32, 147
165
Ahmad Warson Munawwir, 31,
Andrew M. Colaric, 3, 229
146
Anwar al-Awlaki, 14, 15, 71
al sunnah, 197
Arab Saudi, 12, 16, 65, 153
al-Anfa>l, 31, 128, 129, 130, 146
Ardhi Suryadhi, 5
al-Baqarah, 78, 141
Ari Wahyudi, 79, 80
al-Furqa>n, 77, 170
Asep Syamsul M. Romli, 15,
al-Hadis, 166, 173
83
Ali Gufron, 11
Austria, 28
Ali Imron, 6, 11, 194
Ayma>n al-Zhawa>hiri, 14, 70

235
236 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Azhari, 14 Council of Europe, 3, 24, 37,


Azyumardi Azra, 142, 144 42, 191, 229
cracker, 49, 57, 117, 230
B Cracker, 230
Bali, 2, 5, 6, 10, 62, 63, 64, 66, crackers, 7, 56, 60
68, 69, 72, 73, 93, 94, 134, Culpa, 86
163, 171, 172, 194, 222 cyber, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11,
Barak Mendelsohn, 9, 75, 133, 15, 17, 20, 22, 23, 24, 25, 26,
156 27, 28, 29, 30, 31, 33, 35, 37,
Barat, 7, 8, 15, 18, 65, 67, 83, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 48, 49,
130, 133, 138, 139, 140, 143, 50, 51, 52, 54, 56, 57, 58, 59,
152, 194, 196 60, 61, 62, 70, 80, 83, 88, 97,
Barda Nawawi Arief, 3, 25, 28, 98, 102, 103, 104, 106, 107,
40, 98, 99, 102, 103, 104, 108, 109, 110, 112, 114, 116,
116, 117, 118, 119, 121, 124, 117, 121, 122, 124, 125, 136,
228, 231 138, 148, 151, 180, 182, 184,
Belanda, 7, 60, 84, 92, 102, 199 186, 187, 213, 220, 223, 225,
Belgia, 7, 60 229
bom, 2, 6, 10, 16, 19, 61, 63, Cyber, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 15,
64, 65, 68, 69, 70, 73, 76, 93, 22, 23, 24, 25, 28, 29, 33, 35,
94, 127, 131, 156, 163, 171, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43,
222, 232 44, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 52,
Bombing, 6, 194, 228 53, 54, 55, 56, 58, 59, 60, 61,
62, 97, 98, 103, 104, 107,
C 112, 114, 117, 118, 121, 122,
124, 125, 127, 145, 151, 180,
California, 49, 79
191, 192, 194, 195, 196, 199,
Caracas, 116
200, 201, 202, 203, 205, 207,
Carding, 211
210, 215, 216, 217, 219, 220,
Carolyn Gard, 7, 60, 88, 165
221, 222, 223, 224, 225, 228,
Cina, 7, 49, 60
229, 230, 231
Clive Walker, 1, 24, 37, 38, 39,
cyber attack, 6
42, 51, 126, 163, 204, 228
Cyber Crime, 3, 35, 37, 60
Computer Crime, 104, 191, 194
Cyber Space, 38
Index | 237

Cyber Terrorism, 3, 24, 56, 58, F


60, 117, 125, 194, 216, 229
F. Budi Hardiman, 46
Cyber Warfare, 3
Fahd bin ’Abd al-Azi>z, 13
D fatwa, 13, 14, 16, 17, 24, 66,
67, 79, 134, 151, 152, 154,
David T. Hill, 13, 128, 134, 164, 165, 166, 168, 174, 177,
169, 177 184, 200, 219, 220, 223, 224
defacing, 9, 61 Filipina, 7, 27, 60, 134
Deni K Yusuf, 20 Fino Yurio Kristo, 4
Denny J.A, 6 fiqih, 20, 24, 31, 32, 78, 137,
Dewidya, 5, 220 145, 147, 154, 166, 176, 178,
Dian Ekawati Ismail, 3 231
Dikdik M. Arief Mansur, 25, Fiqih, 18, 20, 32, 68, 147, 166,
29, 48, 51, 97, 117, 125, 229, 170, 200, 203, 232
231 Fundamentalisme, 83, 142,
Dorothy E. Denning, 29, 51 144, 190
Douglas Thomas, 5, 56, 63, 230
Dunia Maya, 223 G
Dzulqarnain Muhammad
Gabriel Weimann, 48, 50, 55,
Sunusi, 153
84
E Gilbert Ramsay, 5, 49, 50
Golongan, 128
Electronic Pearl Harbor, 48, 84,
220 H
Elektronik, 22, 23, 28, 29, 104,
hack, 9, 61
105, 106, 107, 108, 109, 112,
hacker, 5, 15, 56, 57, 62, 117,
185, 195, 202, 221
185
Elisatris Gultom, 25, 41, 44,
Hacking, 62
45, 46, 49, 53, 54, 55, 127,
hadis, 18, 136, 148, 155, 169,
196, 229, 231
177
e-mail, 7, 15, 37, 60, 118
Hambali, 14, 68, 179
Hammud Uqala’ al-Syu’aibi,
14
238 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Hanafi, 68, 178 I


Hari M. Osofsky, 11
Iama Ta>riq Muhammad al-
Harun Yahya, 18
Suwayda>n, 15
Hasan at-Turabi, 15
Ibn ‘Uthaymin, 80
Hasyim Muzadi, 88
Ibn Taimiyah, 138, 164, 181
Hegemoni, 133, 194
Ibrahim Jawad, 14
Hendropriyono, 1, 14, 25, 196,
Igor Primoratz, 46
228
Imam Khomeini, 15
Henk Schulte, 14
Imam Samudra, 5, 11, 12, 13,
Hira>bah, 32, 147, 176, 231
14, 62, 68, 69, 70, 72, 73, 74,
Hongkong, 7, 60, 199, 200
75, 79, 88, 171, 172, 174, 189
Howard Rheingold, 3, 38
Imam Syafi'i, 167, 178, 179,
Hudu>d, 199, 232
180, 185
Hukum, 2, 21, 22, 23, 25, 28,
indonesia, 6, 222
29, 32, 33, 36, 40, 41, 44, 45,
Informasi, 22, 23, 25, 28, 36,
46, 48, 49, 51, 53, 54, 55, 83,
41, 44, 45, 46, 49, 53, 54, 55,
84, 85, 86, 88, 89, 91, 92, 93,
104, 106, 107, 108, 109, 117,
94, 97, 98, 99, 100, 102, 103,
119, 120, 127, 185, 190, 195,
106, 109, 112, 115, 116, 117,
196, 201, 202, 215, 221
118, 119, 121, 124, 125, 127,
Inggris, 3, 4, 7, 16, 24, 40, 55,
130, 146, 147, 158, 159, 160,
57, 60, 66, 75, 79, 154, 165,
166, 167, 176, 177, 178,
220
180, 181, 182, 184, 189, 190,
internet, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 14, 24,
192, 193, 194, 195, 196, 197,
25, 27, 30, 33, 35, 36, 37, 39,
198, 199, 200, 201, 202, 203,
41, 42, 43, 48, 49, 50, 52, 53,
214, 215, 222, 224, 229, 230,
54, 56, 60, 61, 62, 98, 110,
231
112, 114, 117, 119, 120, 121,
Hukuman, 4, 150, 153, 158,
122, 123, 151, 184, 187, 222,
160, 178, 180, 181, 194, 221,
229, 230, 231
225
Internet, 2, 3, 5, 6, 24, 35, 36,
Husain al-Habsi, 14
39, 50, 51, 59, 105, 107, 108,
112, 118, 119, 191, 193, 195,
Index | 239

199, 201, 202, 220, 229, 230, Jepang, 5, 40, 156, 165
231 Jerman, 7, 60
Irak, 9, 10, 12, 65, 69, 72 jihad, 5, 10, 11, 12, 14, 15, 17,
Islam, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 18, 19, 20, 24, 61, 67, 68, 69,
16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 70, 71, 72, 73, 75, 76, 77, 78,
24, 26, 27, 32, 33, 45, 66, 67, 79, 135, 136, 137, 138, 139,
69, 70, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 140, 144, 152, 153, 154, 155,
79, 80, 83, 88, 94, 124, 125, 156, 164, 168, 169, 170, 171,
126, 127, 128, 129, 130, 131, 183, 184, 186, 220, 223, 224,
133, 134, 135, 137, 138, 139, 225
140, 141, 142, 143, 144, 145, Jihad, 8, 9, 11, 12, 14, 15, 18,
146, 147, 148, 151, 152, 153, 19, 21, 32, 62, 69, 70, 72, 73,
154, 155, 156, 157, 158, 159, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 83, 88,
160, 161, 162, 163, 164, 165, 94, 132, 134, 135, 137, 139,
166, 167, 168, 169, 170, 171, 146, 152, 153, 156, 160, 170,
172, 173, 174, 176, 177, 178, 171, 184, 192, 193, 195, 197,
179, 180, 181, 182, 183, 184, 198, 200, 213, 220, 222, 223,
185, 186, 187, 189, 190, 192, 224, 225, 227, 228
193, 194, 195, 196, 197, 199, Jina>yah, 32, 147, 153, 181, 182,
200, 201, 203, 204, 205, 221, 192, 203
225, 227, 228, 231, 232, 245 John Perry Barlow, 38, 39
Israel, 9, 12, 15, 49, 69, 72, Joseph Stalin, 8
131, 132, 133, 143, 193 Juhaya S. Praja, 8, 18, 45
ITE, 23, 28, 104, 105, 107, 108,
185 K
Iya>d Ali al-Durah, 32, 127, 131, Ketut Rindjin, 7
147 Knet Lyne Oot, 1, 44
Koentjaraningrat, 193
J
komputer, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 27,
Jalaluddin Rahmat, 128 29, 30, 31, 35, 36, 38, 40, 41,
James A. Lewis, 2, 35, 51, 125, 48, 50, 51, 52, 56, 57, 58, 60,
229 62, 98, 106, 117, 118, 121,
Jari>mah, 126, 128, 147, 178, 122, 123, 185, 228, 229, 230
181
240 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

Komunikasi, 11, 36, 118, 195, Malaysia, 4, 5, 7, 28, 60, 104,


199, 201, 225, 231, 245 152, 196, 204
kriminal, 3, 32, 35, 40, 46, 133, Maliki, 68, 179
150, 152, 161, 228 Manila, 27, 44
Kualifikasi, 106, 111, 145 Mao Tse Tung, 8
KUHP, 23, 26, 40, 41, 84, 86, Marwan Effendi, 21
87, 89, 91, 92, 93, 99, 100, Mathias Holmen Johnsen, 4,
102, 103, 107, 111, 161, 187, 44, 94
192, 224 Maulani Mullah Umar, 14
kuwait, 224 Max Fiderman, 6, 62
Maximiline Robespierre, 8
L mayantara, 26, 29, 40, 48, 51,
LAN, 35 229
Law, 1, 22, 24, 25, 29, 38, 40, Mayantara, 3, 25, 28, 30, 35,
41, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50, 36, 37, 38, 40, 45, 63, 98,
51, 52, 53, 54, 55, 97, 104, 103, 104, 124, 197, 203, 228,
117, 125, 126, 127, 156, 159, 230
189, 195, 196, 199, 203, 210, Media, 8, 14, 36, 52, 60, 79, 88,
214, 217, 219, 227, 228, 229, 121, 122, 161, 184, 196, 198,
231 214, 219, 224, 227, 228
Lech Janczewski, 3, 24, 229 Mekkah, 77, 136, 141, 142,
London, 4, 9, 41, 74, 79, 134, 170, 171
142, 164, 170, 179, 180, 191, Menachem Begin, 133, 193
198, 200, 203, 205, 211 Michael Vatism, 54
Moeljanto, 84, 85, 197
M Mohammad Agung Prabowo, 6
Mohammad Kemal Dermawan,
M. Bambang Pranowo, 11
121, 123
M. Saleh Mathar, 32, 132, 134,
Mohammad Labib, 3, 30, 35,
135, 146
36, 37, 38, 40, 45, 63, 203,
M.Riza Sihbudi, 44, 228
228, 229
Majelis Ulama Indonesia, 16,
Mohd Sai>d Isha>q, 20, 232
71, 164, 166, 169, 221
Muchlas, 14
Makbul Padmanagara, 6
Muha>rib, 182, 185
Index | 241

Muhammad Abu> Zahrah, 126, P


128, 147, 178, 181
pakistan, 52, 219
Muhammad Haniff Hasan, 73
Pasal, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 92,
Muhammad Hasbi al-
93, 95, 99, 100, 102, 105,
Shiddieqy, 130
106, 107, 108, 110, 111, 112,
Muhammad Isma>i>l Ibra>hi>m,
113, 115, 116, 155, 160, 199,
129
224
Muhammad Ismail Ibrahim,
PBB, 12, 28, 43, 69, 104, 116,
233
121
Muladi, 40, 106, 112, 196
penal, 33, 116, 124, 187
Muqbil bin Ha>diy al-Wa>di, 17
Pentagon, 6, 7, 65, 69, 88
Mustafa Kamal Ata-Turk, 12,
Pepih Nugraha, 14, 199
13
Perancis, 60, 151, 153
Muzaffar Assadi, 132, 137, 170
Personal Computer, 35
N Peter Stephenson, 3, 35, 37,
228
Negara, 2, 21, 27, 67, 83, 98, Petrus Reinhard Golose, 5
99, 109, 120, 144, 161, 173, Prayitno Ramelan, 14, 66, 67,
221 68, 88
New York, 1, 3, 5, 7, 9, 10, 11, Prevention of Electronic
35, 36, 39, 49, 50, 60, 65, 88, Crimes Ordinance, 4
126, 159, 164, 165, 189, 191, Priyambodo, 6, 222
192, 193, 195, 198, 200, 201, provoganda, 62
202, 203, 215 provokasi, 6, 62, 117
non penal, 116 Puetro Rican, 9
Noordin M. Top, 6 Puetro Rico, 9
Noordin Top, 6, 14, 18, 19, 195
Nurbani, 19, 222 Q

O Qaddafi,, 15
Qiyas, 167, 189
online, 4, 30, 36, 38 Qomar, 19, 223
Online, 16, 36, 38, 40, 214, Quraish Shiha>b, 19, 162, 168,
222, 224 172
242 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

R Sulayma>n Abu Ghaith, 14


Summer Olmstead, 4, 43, 114
Rabbi Meir D. Kahane, 9
Swedia, 7, 60
radikal, 15, 19, 20, 61, 66, 67,
Syari'ah, 245
75, 128, 140, 143, 172
Radikalisme, 8, 9, 15, 18, 83, T
94, 160, 189, 192, 227, 228
Ricardo Hermawan, 5, 56, 63, T. Nasrullah, 2, 29, 83, 84, 89,
230 94, 177
Richard Boateng, 35, 37 T. P. Thornton, 45
Rohimin, 21, 200 T}a>liba>n, 12, 70
Rudy, 7, 10, 56, 58, 60, 61, 88, Ta’zi>r, 156, 159, 179, 182, 199
223 teknologi, 2, 3, 5, 9, 22, 25, 27,
Rusia, 5 28, 30, 33, 35, 36, 37, 39, 40,
41, 42, 43, 48, 52, 61, 62, 99,
S 102, 103, 104, 108, 109, 116,
117, 120, 122, 123, 124, 184,
S}a>lih al-Luhayda>n, 17
187, 228, 229, 244
Safar al-Hawali, 13, 75
Teknologi, 22, 25, 29, 35, 36,
Sanjay Gupta, 8
37, 41, 44, 45, 46, 48, 49, 51,
Sanksi, 93, 108, 151, 177
53, 54, 55, 97, 117, 118, 125,
Sarah Gordon, 53
127, 190, 196, 197, 199, 201,
Seamus O. Ciardhuain, 3
229, 231
Semarang, 5, 86, 91, 130, 201,
Telekomunikasi, 109, 110, 111,
202
112, 113, 115, 116, 195, 225
Setya Krisna Sumargo, 6, 19
teror,, 8, 49, 52, 87, 125, 127
Shat}a’al-Dimyati, 171
terorisme, 1, 2, 3, 4, 6, 8, 10,
Sholahudin, 12, 14, 224
12, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 24,
Simons, 84
25, 26, 28, 29, 31, 41, 44, 45,
Situs, 55
46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 56,
Srilanka, 6, 59
63, 64, 67, 68, 71, 73, 75, 76,
Strafbaar feit, 84
77, 78, 79, 83, 85, 86, 87, 88,
Suaib Didu, 8, 9, 15, 18, 83, 94,
89, 91, 93, 94, 100, 102, 117,
160, 227, 228
124, 125, 126, 128, 129, 130,
Sudarto, 31, 86, 202
132, 133, 135, 140, 144, 145,
Index | 243

146, 151, 152, 153, 154, 157, 218, 219, 220, 222, 224, 225,
158, 159, 161, 164, 165, 166, 227, 228, 229
168, 171, 172, 174, 175, 177, Terrorism and Law, 1
180, 183, 184, 186, 221, 222, terrorist, 6, 7, 9, 56, 57, 60, 61,
223, 227, 228, 229, 232 117, 154, 215
Terorisme, 1, 2, 6, 7, 8, 9, 10, Timur Tengah, 1, 8, 44, 201,
14, 15, 16, 18, 21, 22, 23, 25, 228
28, 29, 32, 44, 47, 60, 64, 66, tindak pidana, 2, 23, 24, 26, 27,
67, 68, 71, 75, 76, 77, 78, 83, 28, 29, 31, 40, 84, 85, 86, 87,
84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 88, 89, 91, 92, 93, 97, 99,
93, 94, 95, 97, 125, 126, 132, 100, 102, 103, 105, 106, 108,
134, 135, 144, 146, 153, 154, 109, 111, 112, 116, 121, 122,
157, 158, 159, 160, 161, 164, 124, 146, 158, 159, 160, 167,
165, 166, 169, 174, 177, 185, 176, 182, 184
189, 190, 192, 196, 197, 199, Tindak Pidana, 2, 3, 22, 23, 25,
201, 203, 213, 214, 217, 220, 28, 29, 83, 84, 86, 87, 89, 90,
221, 222, 223, 224, 227, 228 91, 93, 94, 95, 97, 98, 99,
Terrorism, 1, 2, 4, 5, 6, 8, 11, 103, 104, 105, 124, 151, 157,
18, 24, 37, 38, 41, 42, 44, 45, 158, 161, 177, 190, 197, 201,
46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 55, 214, 217, 221, 222, 223, 228
58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, Topo Santoso, 32, 146, 147,
67, 68, 69, 71, 73, 74, 76, 77, 159, 176, 178, 181
79, 84, 91, 94, 98, 99, 100, Transnational, 44, 102, 109,
103, 104, 109, 113, 114, 116, 129, 145, 202, 208, 215, 224
117, 118, 119, 125, 126, 127,
128, 129, 131, 132, 137, 139, U
140, 142, 143, 144, 145, 146, undang-undang, 2, 11, 22, 28,
148, 151, 152, 154, 158, 159, 32, 84, 88, 91, 92, 94, 104,
160, 161, 163, 164, 165, 170, 109, 131, 132, 147, 166, 173,
172, 173, 174, 177, 191, 195, 185
198, 199, 202, 203, 204, 205, Undang-Undang, 2, 22, 23, 28,
206, 207, 208, 209, 210, 211, 29, 83, 84, 86, 87, 88, 89, 90,
212, 213, 214, 215, 216, 217, 93, 95, 97, 100, 102, 103,
104, 105, 106, 107, 108, 109,
244 | Cyber Terrorism dalam Tinjauan Hukum Islam

110, 111, 112, 113, 115, 116, Weimann, 50, 219, 225
160, 177, 192, 197, 202, 221, Wina, 28, 104
223, 224, 225 WTC, 7, 10, 65, 69, 88, 164
Usamah bin Ladin, 17, 154, WWW, 36, 231
191, 224
UUPTPT, 83, 84, 86, 90, 91, X
93, 102 Xenophone, 45
XI, 43, 102, 104, 105
V
Van Hattun, 85 Y
Venezuela, 116 Yahudi, 9, 12, 14, 18, 128, 163,
Vincent Burn, 11 196, 228
Virtual, 4, 43, 114, 193, 214 Yu>suf al-Qarad}a>wi, 18, 33, 73,
Virus, 7, 53, 60 126, 127, 129, 130, 131, 132,
Vladimir Lenin, 8 133, 134, 135, 177, 180, 185,
Volodymyr Golubev, 40 233

W Z
Wahbah al-Zuhayli, 156, 163 Zakaria> al-Ans}a>ri, 20, 232
WAN, 35, 122 Zamakhsyari, 78
warfare, 9, 10, 24, 49 Zhang, 49, 225
Web, 5, 36, 49, 50, 121, 215, Zuhairi Misrawi, 8, 10, 16, 21,
217, 231 60, 88, 165, 228
Website, 61, 219
TENTANG PENULIS

Sayid Qutub, lahir di Jakarta, 22 Mei 1985, anak


ke dua belas dari dua belas bersaudara dari
pasangan Almarhum H. Muhammad Toha dan
Ibu Hj. Maimunah. Suami dari istri tersayang
Dwi Nurmelly Handayani, S.Kom, M.TI dari
pasangan H. Hadi Soeseno dan Ibu Hj. Saodah
Anggraeni. Saat ini telah dikaruniai 2 orang
putra yang diberi nama Tsabit Qais El Fawaz
dan Uwais Qarni El Fawaz. Menyelesaikan
Pendidikan Sekolah Dasar di MI Al-Hikmah
Jakarta pada tahun 1997, MTs Al-Hikmah Jakarta pada tahun 2000,
MA Al-Hikmah Jakarta pada tahun 2003. Sempat kuliah di S1
Fakultas Dira>sat al-Isla>miyah (FDI) Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2003.
Penulis melanjutkan S1 di Fakultas Us}hu>l al-Di>n Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2004-2009,
selanjutnya pada saat bersamaan melanjutkan S1 di Fakultas Ilmu
Komputer Bina Nusantara University Jakarta 2004-2008 dan Sekolah
Pascasarjana di Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta (Strata 2)
2008-2010. Pada saat bersamaan juga melaksanakan Sekolah
Pascasarjana di Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA) Jakarta
Program Magister Pendidikan (Strata 2) 2011-2013, Sekolah
Pascasarjana di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia
(STIAMI) Program Magister Ilmu Administrasi (Strata 2) 2011-2013,
Sekolah Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor
Program Doktor Konsentrasi Pendidikan Islam (Strata 3) 2011-2013,
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Program Doktor Konsentrasi Syari’ah (Strata 3)
2010-2014.
Aktivitas sebagai Dosen Bina Nusantara University Jakarta,
Dosen di STIDDI Al-Hikmah Jakarta, Direktur Utama PT. Berkah
Mulia Pangan, Direktur Pendidikan TKIT-SDIT Alquran El Fawaz,
Sekretaris Jenderal Yayasan Al-Wafi Setia Islami, Pengasuh Rumah
Alquran El Fawaz, dan sebagai Trainer, Motivator kompetensi di
bidang Syari’ah, Pendidikan, Alquran, Komputer, Komunikasi, dan
Training For Success.

245

Anda mungkin juga menyukai