ISBN : 978-602-1552-01-8
Penerbit:
PKBM ‚Ngudi Ilmu‛
Alamat:
Jl. Kyai Sampir No. 05
Kalirejo Salaman Magelang 56162
HP. 08574685441
Email :ilmungudi@gmail.com
Printed by:
Irama2IIVHW
Gd. Hijau, Jl. Kertamukti Dpn Kampus II
UIN Syarif Hidayatullah Ciputat
Tanggerang. HP. 081280481098
Email: irama2fotocopy@yahoo.co.id
KATA PENGANTAR
Fatima
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
B = Z = F =
T = S = Q =
Th = Sh = K =
J = Ṣ = L =
Ḥ = Ḍ = M =
Kh = Ṭ = N =
D = Ẓ = H =
Dh = ‘ = W =
R = Gh = Y =
Short :a=´ ; i =; u=
Contoh :
: Ḥusayn : Ḥawla
: Fāṭimah : Rabbanā
: Al-Shams : Al-Nisā’
: Al-Madīnah al-Munawwarah
Trasliterasi ini tidak berlaku pada kata-kata yang telah diserap ke dalam
bahasa Indonesia seperti kata hadis, zakat, wakaf, nash, dan lain
sebagainya.
Fatima
SINGKATAN-SINGKATAN
vi
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................7
C. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................9
E. PenelitianTerdahulu yang Relevan ............................................9
F. Metodologi Penelitian ................................................................14
G. Sistematika Penulisan ................................................................15
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................201
B. Saran-Saran ................................................................................201
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedudukan wanita dalam hukum keluarga yang terdapat dalam
kitab-kitab fikih pada masa klasik dan pertengahan mencerminkan
kelemahan terhadap pria. Hal ini terjadi karena sebagian pemahaman
para penulis dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Sebagian lainnya karena
para penulis hidup dalam struktur budaya masyarakat patriarki 1 yang
pada akhirnya produk hukum yang tertera dalam fikih-fikih tersebut
cenderung mendiskriminasikan wanita, baik itu dalam bidang
perkawinan, perceraian, dan waris. Islam yang berpedoman pada al-
Qur’an dan sunnah memberikan perhatian yang besar dan kedudukan
yang terhormat terhadap wanita, baik sebagai anak, istri, ibu, anggota
kelurga dan anggota masyarakat.2 Islam secara bertahap mengembalikan
hak-hak wanita sebagai manusia merdeka. Hak menentukan keyakinan,
hak berkarya, hak memiliki harta serta hak memperoleh warisan dalam
keluarga.3
Tuntutan zaman modern untuk meningkatkan status wanita
dalam hukum keluarga telah memberikan kesadaran umat Islam
diberbagai negara Muslim untuk melakukan reformasi hukum keluarga
(perkawinan, perceraiaan dan warisan)4 yang baru terlaksana pada abad
ke-20 M. Tujuan usaha reformasi hukum keluarga berbeda antara satu
negara dengan negara lain yang secara umum dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok yaitu pertama, negara yang bertujuan untuk
unifikasi hukum keluarga. Kedua, untuk pengangkat status wanita.
1
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin, eds. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), 204.
2
Huzaimah Tahido Yanggo, ‚Konsep Wanita Menurut al-Qura>n, Sunnah dan
Fikih‛ dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tektual dan Kontektual (Jakarta:
INIS, 1993), 19. Lihat ‘Abdulla>h bin Wakil Al-Shaykh, Al-Mar’ah Qa>’id al-‘Adl
(Beirut: Ma’had al-‘Ulu>m al-Isla>miyyah wal al-‘Ara>biyah, 19993), 10.
3
Noel J Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: University Press,
2004), 17. Lihat Rachel M. Scott, ‚A Contextual Approach to Women’s Rights in the
Quran‛, diakses pada 31 Desember 2012, melalui
www.rc.vt.edu/pubs/Scott_Muslim_World.pdf.
4
Majid Khadduri, ‚Marriage in Islamic Law: The Modernists Viewpoints,‛
American Journal of Comparative Law, No. 26 (1978), 214, Norman Anderson, Law
Reform in The Muslim World (London: The Athlone Press, 1976), 2.
Fatima
5
Atho Mudzhar dan Kharuddin Nasution, eds. Hukum Keluarga di dunia
Muslim: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kita>b -Kita>b Fikih,
10-11. lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia
(Jakarta: INIS, 2002), 1-2.
6
Selanjutnya ditulis dengan UU No.1 Tahun 1974.
7
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), 182.
8
Penulisan selanjutnya disingkat dengan KHI.
2
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
No. 32 Tahun 1954, UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan
PP No. 28 Tahun 1977.9 Menurut Yahya Harahap secara umum
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI merupakan penegasan
ulang tentang hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974.
Penegasan ulang tersebut langsung dibarengi dengan penjabaran lanjut
atas ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975.10
Lahirnya undang-undang perkawinan tersebut merupakan
tuntutan pokok yang telah lama diperjuangkan, terutama oleh
pergerakan wanita Indonesia, sebagian besar telah terpenuhi, karena
undang-undang perkawinan tersebut mempunyai ciri khas, yaitu
berkenaan dengan asas, tujuan, dan sifatnya untuk mengangkat harkat
dan derajat serta kedudukan kaum wanita Indonesia.11 Sebelum ada
undang-undang perkawinan ini, nasib wanita dan anak sering diabaikan
oleh suami atau ayahnya. Laki-laki menggunakan hak cerai dengan
semena-mena, akibatnya wanita dan anaklah yang paling menderita,
akibat perceraian seperti itu, di samping merupakan suatu pukulan batin
bagi perempuan juga memberatkan beban hidupnya, ia harus mencari
nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya karena bekas suaminya
meninggalkannya begitu saja.12
Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 telah mensejajarkan wanita dan
pria dalam perkawinan sebagaimana dalam ketentuan hukum Islam,
bahwa wanita adalah mitra pria dan pria adalah mitra wanita.13 Menurut
9
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, 182-18.
10
Maksud penjabaran lanjut tersebut bertujuan membawa ketentuan-ketentuan
UU No. 1 Tahun 1974 ke ruang lingkup yang bernafas syari’ah Islam. Ketentuan pokok
yang bersifat umum dalam UU No. 1 Tahun 1974 dirumuskan menjadi ketentuan yang
bersifat khusus sesuai dengan ajaran Islam dan berlaku khusus bagi ummat Islam. Lihat
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007), 37.
11
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah,
Hambatan, dan Prospeknya (Jakarta: Rajawali Press, 1996),117-118.
12
Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 39.
13
Lihat Q.S. al-H{ujura>t/43:13. Menurut Muhammad Daud Ali, kejadian
wanita dan pria relatif berlainan dan fungsi masing-masing dalam keluarga dan
masyarakat berbeda, hak dan kewajiban wanita dibandingkan dengan pria dalam hal
tertentu sama, dalam beberapa hal yang lain berbeda. Perbedaan hak dan kewajiban
yang merupakan konsekuensi kodrat dan fungsi antara pria dan wanita itu tidak boleh
dijadikan dasar untuk mengadakan diskriminasi antara pria dengan wanita. lihat
3
Fatima
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo
Prsada, 2005), 36.
14
Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law of 1974 an
Institutionalization Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim and Azyumardi
Azra, eds. Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore: ISEAS, 2003), 85.
15
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, 165.
16
Kowani, Upaya Penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
makalah ini disampaikan pada diskusi panel, ‚Meninjau UU Perkawinan dalam
Perspektif HAM dan Syari’ah Islam, yang diselenggarakan oleh PUSKUM HAM
Jakarta, tanggal 16 November 2000 di Jakarta.
4
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
17
Musdah Mulia, Islam Hak Asasi Manusia (Jakarta: Naufan Pustaka, 2010),
148-149. lihat Budie Santi ‚Mengapa UU Perkawinan Perlu di Amandemen?,‛
Yayasan Jurnal Wanita, diakses pada tanggal 15 Juni 2012 melalui
http://arsip.jurnalwanita.com
18
Surah penolakan MUI terhadap usulan Menteri Pemberdayaan Wanita RI
tentang Penyempurnaan undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, No.
B.120/MUI/V/2003 tanggal 5 Rabiul Awal 1424 H/7 Mei 2003 M.
19
Taher Azhary, UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaannya, Suatu Analisis dalam Perspektif Hukum Islam, makalah yang
disampaikan pada acara seminar tentang usul amandemen UU Perkawinan yang di
selenggarakan oleh MUI, 2000 di Jakarta, 4-5.
20
Kenyataan ini mencerminkan munculnya kesadaran baru di kalangan wanita
Muslim untuk mengambil tindakan hukum jika suami mereka melalaikan tugasnya
dalam perkawinan mereka. Lihat Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law
of 1974 an Institutionalization Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim
and Azyumardi Azra,eds. Shari’a and Politics in Modern Indonesia, 88-90.
5
Fatima
Tabel: 1.1
Data yang Diterima Mahkamah Agung
dari Tahun 2000 s/d 2009
21
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, 233.
6
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
22
Muhibin,‚Ijtihad Hakim Agama dalam Persepektif Undang-Undang,‚ 3
Desember 2010, di akses melalui http://www.walisongo.com
23
Lihat M. Daud Ali, ‚Hukum Keluarga dan Masyarakat Islam Kontemporer ‛
dalam PP- Ikaha, laporan seminar sehari Pengadilan Agama Sebagai Peradilan
7
Fatima
Keluarga Islam Modern (Jakarta: PP-Ikaha, 1993), 1. lihat pula M. Tahir Azhary,
‚Hukum Keluarga dan Kewarisan Islam dalam Masyarakat Modern Indonesia‛, dalam
laporan Seminar Sehari, 29. lihat M. Tahir Azhary, Negara Hukum (Jakarta:Bulan
Bintang, 1992), 145.
8
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
9
Fatima
24
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Clarendon
University Press, 1964), 161-166. Lihat John L. Esposito, Women in Muslim Family
Law (Suracuse: Syracuse University Press, 1982), 20.
25
Abdulla>hi Ah}med al-Na’i>m, Toward an Islamic Refomation: Civil Liberties,
Human Rights and International Law (New York: Syracuse University Press, 1996),
152-153.
26
Ruben Levy, The Social Structural of Islam (Cambridge: Cambridge
University Press, 1969), 91.
10
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
27
Riffat Hasan dikutip dari kutipan Ghada Karm, ‚Wanita, Islam dan
Patriarkalisme‛, dalam Mai Yamani, Feminisme dan Islam: Perspektif Hukum dan
Sastra (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2000), 125.
28
Menurutnya cara mengubah budaya patriarki pertama, membangun
kesadaran bersama di masyarakat akan pentingnya penghargaan dan penghormatan
terhadap manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, menghukumi sosial budaya
kesetaraan sejak dirumah tangga melalui pola-pola pengasuhan anak yang demokratis.
Sedangkan di masyarakat melalui metode pembelajaran yang demokratis pada
lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Ketiga, melakukan
dekontruksi terhadap ajaran dan interpretasi agama yang bias gender dan nilai-nilai
patriarki. Keempat, merevisi semua peraturan dan perundang-undangan termasuk
undang-undang perkawinan. Lihat Musdah Mulia, Islam Hak Asasi Manusia (Jakarta:
Naufan Pustaka, 2010), 146-149.
29
Muh}ammad Bultaji, Maka>nah al-Mar’a>h fi> al-Qur’a>n al-Kari>m wa al-Sunnah
al–S{ah}i>h}ah (al-Q{}a>{hira>h: Da>r al-Sala>m, 1420 H/ 2000), 57.
30
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Gravindo
Persada, 2006).
31
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007), 270.
11
Fatima
32
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2010), 69.
33
Marzuki, ‚Status Wanita dalam Hukum Perdata Indonesia di Tinjau dari
Segi Hukum Islam‛, Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007.
34
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap
Perundang-undangan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002).
35
Mesraini, ‚Hak-hak perempuan pascacerai di Asia Tenggara: Studi
Perundang-undangan di Indonesia dan Malaysia,‚ disertasi Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
12
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
36
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011).
37
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Islam dalam Hukum
Nasional (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).
13
Fatima
38
Edi Riadi, Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia mengenai Hukum
Perdata Islam: Sudi tentang Pergeseran Hukum Perkwinan dan Kewarisan Islam tahun
1991- 2007 (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
39
Muchith A. Karim, ed. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat
Islam Indonesia (Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat 2010).
40
Salah satu perbedaan penelitian kualitataif dengan kuantitatif adalah, dalam
penelitian kualitatif jumlah subyek penelitiannya kecil sehingga tidak membutuhkan
pemilihan sampel secara random (acak). Lihat Lexy J. Moleong, Metode Penelitian
Kualitatif (Bandung:Rosda, 2006), 36.
41
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 118. Lihat juga Soerjono Soekanto, Metode Penelitian
Hukum Normatif (Jakarta: Universitas Indonesia, 1987), 51.
14
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
15
Fatima
16
BAB II
WANITA DAN HUKUM
4
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 83.
5
Di antaranya dua surah yang terkenal yaitu al-Nisa>’ al-Kubra> (surah al-
Nisa>’), sedangkan yang lainnya surah al-Nisa>’ al-S{ughra> (surah al-T{alaq). selain itu
masalah wanita juga ditampilkan dalam surah al-Baqarah, al-Ma>’idah, al-Nu>r, al-
ah}za>b, al-Muja>dalah, al-Mumtah}anah, dan al-Tah}ri>m.
6
Di sejumlah negara, wanita dibatasi haknya atas kepemilikan tanah,
mengelola, properti, bisnis, bahkan dalam melakukan perjalanan pun harus dengan
persetujuan suami. Kawasan Afrika misalnya, sebagian besar wanita memperoleh hak
atas tanah melalui suami mereka atas dasar perkawinan, hak-hak tersebut sering hilang
saat terjadi perceraian atau kematian sang suami. Di Asia Selatan yang mayoritas
Muslim, rata-rata jumlah jam yang digunakan wanita bersekolah hanya separoh dari
yang digunakan pria. Di negara berkembang, termasuk negara-negara Muslim,
wirausaha yang dikelola oleh wanita cenderung kekurangan modal, kurang memiliki
akses terhadap mesin, pupuk, informasi tambahan dan kredit disbanding wirausaha
yang dikelola kaum pria. Lihat Sukron Kamil dkk, Shari’ah Islam dan HAM (Ciputat:
CSRC, 2007), 38.
7
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 269-270.
8
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 83.
18
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
9
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 270.
10
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 84.
11
Lihat QS. al-Baqarah: 228.
12
Teks ayat tersebut adalah:
13
Husein Muhammad, Fikih Wanita (Yogyakarta: LKis, 2001), 25. Lihat
Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Wanita, trans. Believing Women in Islam
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2005), 240.
19
Fatima
14
Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Wanita, 16.
15
DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahan (Jakarta: Bumi Restu, 1967),
16
Husein Muhammad, Fikih Wanita, 24.
17
Muh}ammad Rashi>d Rid}a> , Tafsi>r al-Mana>r, Jil. IV (Kairo: Da>r al-Mana>r,
11367 H), 330.
18
Redaksi ayat tersebut adalah;
…..
20
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
20
Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d bin ‘Umar Al-Zamakhshari>, al-Kashshaf ‘an H}aqa>’iq
al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi U>ju>h al-Ta’wi>l, Juz. I (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Ara>bi>,
t.th), 523.
21
‘Ima>d al-Di>n Isma>’i>l bin Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m, Juz I (Surabaya:
Shirkat an-Nu>r Asiya>, t.th), 491.
22
Fahr al-Di>n al-Razi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r, Juz X (Teheren: Dar> al-Kutub al-
‘llmiyah, t.th), 88.
23
Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, al-Mana>r, Juz V (Bai>ru>t: Dar> al-Ma’ri>fah, 1392
H/1973 M), 67-68.
24
Husein Muhammad, Fikih Wanita, 11.
21
Fatima
25
Muhammad H}usain T{aba’t}aba’i>,Tafsi>r al-Mi>za>n, Juz IV (Beirut: Muassasah
al-‘Alam li al-Mat}bua>t, 1411 H/1911 M), 351.
26
Al-Kha>tib al-Syirbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, Juz IV (Beirut: Dar> al-Ih}ya>’ al-
Thura>th al-‘Arabi>, t.th), 375. Lihat Ibn Rush, Bida>yah al-Mujtahid, Juz II (Mesir:
Must}afa> Ba>b al-Halabi> li al-Nas}r, 1960),449. Lihat juga, Abu> al-H{asan al- Mawardi>, al-
Ah}ka>m al-Sult}aniyyah wa al-Wila>yat al-Di>niyyah (t.tp: Da>r al-Fikr, 1960), 65.
27
Jawad Mughniyah, Tafsi>r Al-Kashi>f, Juz II (Beirut: Da>r al-Ilmi li al-
Malayi>n, 1968), 314.
28
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 274.
22
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
29
Kelebihan pria dalam memberi nafkah dan kekuatan dalam memberikan
perlindungan telah memberikan kemudahan bagi wanita dalam menjalankan fungsi
fitrahnya, hamil, melahirkan, mengasuh anak, dengan itu wanita bisa tenteram dan
tercukupi segala kebutuhannya. Hikmah lain berupa isyarat bahwa kelebihan itu hanya
berlaku secara general, tidak memiliki kelebihan dari suaminya, baik dalam segi ilmu
pengetahuan maupun profesinya, kekuatan fisik maupun kemampuan bekerja. Lihat
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita kontemporer, 98.
30
Menurutnya Islam mengatur kesamaan prinsip antara lak-laki dan wanita
sekurang-kurangnya dalan dua belas hal yang meliputi badang kemanusiaan, sosial
maupun hak milik. Kedua belas prinsip itu adalah: 1)pria dan wanita sama dari segi
kemanusiaannya, 2) Islam menghilangkan kutukan yang diberikan oleh ahli agama
sebelum Islam kepada wanita. Islam menetapkan bahwa hukuman yang dikenakan
kepada Adam keluar dari surga tidak berasal dari Hawa semata, tetapi dari mereka
berdua, 3) wanita mempunyai kecakapan untuk beragama dan untuk masuk surga jika
ia berbuat baik dan akan di siksa jika ia berbuat jahat, sama seperti pria, 4) Islam
mengikis rasa pesimis dan sedih pada waktu lahirnya banyi wanita, seperti tradisi
bangsa Arab sebelum Islam, 5) Islam mengharamkan pengkuburan anak wanita dalam
keadaan hidup-hidup dan mengancam dengan keras kepada pelakunya, 6) Islam
memerintahkan agar menghormati wanita sebagai puteri, istri atau ibu, 7) Islam
menganjurkan agar wanita diberi pelajaran sebagaimana pria, 8) Islam memberikan hak
bagi wanita dalam harta warisan baik sebagai ibu, istri atau putrid, baik yang sudah
dewasa aatau masih kecil bahkan yang masih ada dalam kandungan, 9) Islam mengatur
hak-hak suami dan menjadikan harta wanita sama dengan harta pria, kedudukan pria
sebagai pemimpin keluarga tidak boleh diktator dan z}alim, 10) Islam mengatur
masalah talak, mencegah sifat semena-mena, 11) Islam membatasi poligami dan
menetapkan istri hanya empat saja, 12) Sebelum dewasa, wanita ditetapkan harus
berada dalam pemeliharaan walinya, dan kekuasaan wali itu berupa kekuasaan
pemelihara, mendidik serta memperhatikan segala keperluannya dan mengembangkan
harta miliknya. setelah anak dewasa Islam menetapkan bahwa ia mempunyai hak yang
penuh dan memiliki kecakapan yang sempurna untuk mempergunakan hartanya seperti
pria. Lihat Must}afa> al-Siba>’i>, Al-Mar’a>t bayn al-Fikih wa al-Qa>nu>n (Beirut: al-Maktab
al-Isla>mi>, 1984), 38-48.
23
Fatima
31
Abu> al-Qa>sim al-Zamakhshari> di artikan (bencilah,
paksalah). Lihat Abu> al-Qa>sim al-Zamakhshari>, al-Kashsha>f (Beirut: Dar> al-Fikr, t.th),
524-525. Lihat M. Hisham Kabbani and Homayra Ziad, The Prohibition of Domestic
Violence in Islam, (Washington: Worde, 2011), 12.
32
Ayat yang dimaksud adalah:
…
…
33
Al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, Jil. II (Beirut: Dar> al-Sabab,
1372), 391. Bahkan pemikir kontemporerpun masih ada yang berpandangan sama
dengan ulama terdahulu, karena secara psikologis wanita tidak secekatan pria. Lihat
Sayyid Qut}b, Fi> Zi}la>l al-Qur’a>n, Cet. ke 4 (Beirut: Dar> al-‘Ara>biyah, t.th), 89-90.
34
Al-Bayd}a>wi>, Tafsi>r al-Bayd}a>wi>, Jil.I (al-Qa>hirah: Da>r al-Mis}riyyah, t.th),
579.
24
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
35
Mahmu>d Shalt}u>t, al-Isla>m wa ‘Aqi>dah al-Shari>’ah, Cet. III ((Beirut: Dar> al-
Qalam,t.th), 249.
36
Maulvi Mumtaz ‘Ali> Khan, ‚Hak-Hak Wanita dalam Islam‛ dalam Asghar
Ali Engineer, Pembebasan Wanita (Yogyakarta: LKiS, 1999), 226-227.
37
Ayat tersebut adalah;
25
Fatima
26
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
42
Nasarudin Umar, ‚Demaskulinisasi Epistemologi Keagamaan; Mengkaji
Hadith Secara Kritis‛, dalam Ahmad Fudaili, Wanita di Lembaran Suci: Kritik
Terhadap Hadith-Hadith Sahih (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), 9.
43
Tulang rusuk yang bengkok harus difahami dalam pengertian majazi
(kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi
wanita dengan bijaksana. Ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak
sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki
untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat
bawaan wanita. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya
meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-
Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 271. Riffat Hassan
berani mengajak kaum wanita Muslim menentang otentisitas hadis yang mereka secara
ontologism inferior, subordinatif dan bengkok. lihat Fatima Mernissi dan Riffat
Hassan, Setara di Hadapan Allah (Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa, 1996), 66.
27
Fatima
44
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 272. Menurut Fatima Umar Nasif, hak-hak wanita
terbagi menjadi empat bagian, yaitu:1) hak keagamaan, 2) hak sosial, 3) hak politik,
4) hak ekonomi. Lihat Fatima Umar Nasif, Women in Islam: A Discourse in Rights and
Obligations, Alih bahasa oleh Burhan Wirasubrata dan Kundan D. Nuryakin,
Menggugat Sejarah Wanita: Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tuntunan Islam
(Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), 64-212.
45
Ayat tersebut adalah;
28
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
46
M. Atho Mudzhar dkk, eds. Wanita dalam Masyarakat Indonesia, 47.
47
Terkait masalah tersebut banyak pendapat yang berkembang, ada yang
mengatan harus ditemani beberapa wanita, ada yang berpendap satu wanita saja
asalkan beragama Islam, merdeka dan dapat dipercaya. Ibn Taimiyah menfatwakan
bahwa boleh wanita bepergian tanpa ditemani muhrimnya, asalkan terjamin
keamanannya dalam perjalanan. Lihat Hamid al-Husaini, Fatwa-Fatwa Muta’hir
(Jakarta: Yayasan al-Hamidi, 1996), 445-4450.
29
Fatima
48
Seruan al-Qur’an memerintahkan amal ma’ru>f nahi> munkar sebagaimana
tertera dalam QS. al-Tawbah (9): 71. QS. al-‘As}r (103): 1-3. Ali Imra>n (3); 104.
49
Murteza Mutahhari, The Rights of Women in Islam, trans. M. Hashem
‚Wanita dan Hak-Haknya dalam Islam‛, (Bandung: Pustaka, 1985), 123.
50
Lihat QS. al-‘Alaq (96): 1-5, al-Zumar (39): 9 dan al-Muja>dalat (58): 11.
51
Sebagaimana hadis nabi yang diriwayatkan dari Anas r.a. Rasu>lulla>h Saw.
bersabda;
Hadis ini diriwayatkan oleh al-T>}abra>ni> dalam al-S}aghir dan oleh al-Kha>t}ib
dalam al-Ta>rikh dari al-H{usayn Ibn ‘Ali>. Al- T>}abra>ni juga meriwayatkan dari Ibn
‘Abbas dan Tamam dari Ibn Umar, dalam al-Kabi>r. al-T>}abra>ni meriwayatkannya dari
Ibn Masud. Lihat al-Suyu>t}i>, Al-Ja>mi’ al-S}aghi>r, Juz II (Beirut: Dar> al-Fikr li al-
T}iba>’ah wa al-Nas}r wa al-Tawzi>’, t.th), 131.
52
Fatima Umar Nasif, Women in Islam, 102.
30
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
53
Adalah wanita yang sagat luas ilmu pengetahuannya, ia dikenal sebagai
kritikus dan banyak menghafal dan meriwayatkan hadith. Sayyidah Sakinah adalah
putri al-H{usayn bin ‘Ali> bin Abi> T{a>lib. Sedangkan al-Shaikhah Suhrah adalah salah
seorang guru Imam Shafi’i. Lihat Jama>luddi>n Muh}ammad Mah}mu>d, H}uqu>q al-Mar’a>h
fi al-Mujtama’ al-Isla>m (Kairo: al-Hay’ati al-Mis}riya>t al-Amat, 1986),77. Ima>m Abu>
H}ayyan tiga nama wanita yang menjadi guru-guru tokoh madhhab yaitu, Mu’nisat al-
‘Ayyubiyah (putri al-Ma>lik al-‘A<dil, saudara S}alahuddi>n al-‘Ayyubi>), Sha>mit al-
Taymiyyah dan Zainab putri dari sejarawan ‘Abd al-Lat}i>f al-Baghda>di>. Lihat ‘Abd al-
Wa>h}id Wa>fi>, al-Musawat fi> al-Isla>m (Kairo: Dar> al-Ma’a>ri>f, 1965), 47.
31
Fatima
54
Ada dua ayat yang memerintahkan kaum muslim untuk melakukan
musyawarah yaitu QS. al-Shu>ra (42): 38 dan Ali ‘Imra>n (30; 159.
55
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 274.
56
Bunyi ayat tersebut adalah;
57
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 273.
58
Peran poltik dalam arti amar ma’ru>f dan nahi> munkar, memang pria dan
wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama, akan tetapi dalam arti politik praktis
yang di dalamnya diperlukan pengambilan keputusan yang mengikat menyangkut
masyarakat luas, seperti pengambilan keputusan dalam peradilan (menjadi hakim),
dalam lembaga legislatif dan eksekutif atau kekuasaan publik. Tugas-tugas ini menurut
kebanyakan ulama tidak dapat diperlakukan secara sama. Misalnya fatwa yang
dikeluarkan oleh Universitas al-Azhar tahun 1952 menyebutkan bahwa syari’at Islam
melarang kaum wanita menduduki jabatan kekuasaan-kekuasaan publik. Lihat Lajnah
Fatwa bi al-Azhar, ‚H{ukm al-Shari>’ah al-Isla>miyah fi Ishtira>k al-Mar’ah fi al-Intikha>b
li al-Barla>man‛, dalam al-Harakah al-Nisa>’iyah wa S{ila>tuha bi al-Isti’mar, 101. Lihat
juga Husein Muhammad, Fikih Wanita, 141.
32
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
59
Amin al-Khuli>, al-Mar’at bayna al-baya>t wa al-Muitama: dalam al-Mar’at
al-Muslimah fi al-Ashr al-Muashir (t.tp, Baqhdad, t.th),13.
60
Tujuan utama berpolitik dalam Islam adalah menegakkan kalimat Allah
atau memenangkan Islam. Aktifitas politik yang dilakukan wanita pada masa Nabi
saw. sebagaimana yang diceritakan hadis Nabi saw. di antaranya adalah 1) Ikut
berhijrah ke Habasah bersama Nabi saw. dan kaum pria, 2) ikut berhijrah ke Madinah.
3) Berbai’at dengan Nabi saw. seperti yang ditegaskan dalam al-Qur’an surah al-
Mumtah}anah (60) ; 12. 4). Ikut peduli terhadap masa depan politik negara. 5) Ikut
menghadapi kezaliman salah seorang penguasa. Lihat ‘Abd al-H{ali>m Abu> Shu>qqat,
Tah}ri>r al-Mara>t fi> ‘As}r al-Risa>lat, alih bahasa oleh charul halaim dengan judul ‚
Kebebasan Wanita‛ (Jakarta: Gema Insa>ni Press, 1997), 63-68. M. Quraish Shihab,
Membumikan Al-Qur’an, 274-275. Untuk mengetahui secara panjangg lebar mengenai
peran politik wanita dalam sejarah Islam baca Ziya>dat Asma>’ Muh}ammad Ah}mad,
Dawr al-Mar’at al-Siya>si> fi ’Ahd al-Nabi> al-Khulafa’ al-Ra>shi>di>n, Alih bahasa oleh
Kathur Suhardi dengan judul ‚ Peran Politik Wanita Sejarah Islam‛ (Jakarta: Pustaka
al- Kauthar, 2001). Mengenai peran politik wanita pada zaman Nabi dijelaskan oleh
Ibn Sa’ad, The Women of Madina, Alih bahasa Eva Y. Nukman Purnama Madina
(Bandung: al-Bayan, 1997).
61
Su’a>d Ibra>hi>m S}a>lih} Kedudukan Wanita dalam Islam, dalam M. Atho
Mudzhar dkk, eds. Wanita dalam Masyarakat Indonesia (Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press, 2001), 47-48.
62
Fatima Umar Nasif, Women in Islam, 193.
33
Fatima
63
Haifal A. Jawad, The Right of Women in Islam: An Authentic Approach,
trans. Anni Hidayatun Noor dkk, dengan judul ‚Otentisitas Hak-hak Wanita;
Perspektif Islam atas Kesetaraan Gender‛ (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), 16-
27.
64
Sedangkan menurut hukum Islam klasik seperti yang telah ditafsirkan
ulama yang telah dijelaskan di muka, wanita tidak dapat menjadi saksi dalam perkara
pidana berat. Mereka dapat menjadi saksi dalam hukum perdata, tetapi hanya
mempunyai bobot separoh dari pria, dua wanita sama dengan satu pria. Lihat Munawir
Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), 73.
65
Resolusi tersebut diakomodasi pemerintah Indonesia dengan dibentuknya
wadah perjuangan bernama Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (SK
Menteri Negara Kesra No. 34/KPTS/Ksra/ 1968. Murfitriati dan Asep Sopari, Isu
Global Gender (Jakarta: BKKBN, 2009), 9-12.
34
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
abad 18, disusul dengan demonstrasi wanita dari industri dan garmen di
jalan-jalan di New York pada tanggal 8 maret 1957 yang menuntut hak
kerja dan kondisi kerja yang lebih manusiawi. Selanjutnya kongres 1
Asosiasi Pekerja Internasional tahun 1966 mengeluarkan resolusi
tentang profesional wanita yang secara terbuka telah menentang tradisi
bahwa tempat wanita di rumah. Selanjutnya pada tahun 1899, di Den
Haag, konfrensi wanita menentang perang yang merupakan titik awal
gerakan yang berlanjut pada abad ke-20. 66
Isu hak Asasi manusia (selanjutnya disingkat dengan HAM )
merupakan isu internasional atau isu global.67 Jauh sebelum berdirinya
PBB perjuangan terhadap HAM sudah dimulai. Di Inggris muncul
gerakan yang disebut Magna Charta (1215).68 Disusul gerakan Petition
of Right (1627). Di Amerika lahir Declaration of Right (1776).69 Pada
tahun pertama setelah berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1935,
wakil-wakil di Liga Bangsa-Bangsa mulai membahas mengenai
kedudukan wanita dan mempertimbangkannya dari aspek-aspek sipil
dan politik.
Berakhirnya perang dunia II, berdirilah PBB dengan
ditandatanganinya Piagam PBB di San Frensisco pada tahun 1945.
66
Pada tahun 1910, atas desakan Clara Zetkin (anggota internasional Ladies
Garment Workers union, the Second International Conference of Socialist Women)
memproklamirkan hari wanita internasional 8 Maret. Pada tahun 1911 tanggal 8 maret
diperingati hari wanita internasional untuk pertama kalinya di Austria, Denmark,
Jerman, dan Swiss. Di samping itu, mereka menuntut hak pilih dan hak-hak untuk
bekerja, hak untuk mengikuti pelatihan kejuruan, dan penghapusan diskriminasi dalam
dunia kerja. Tahun 1914, Hari Wanita Internasional diperingati dengan gerakan
perdamaian untuk memprotes perang yang mulai berkecamuk di Eropa. Sejak itu
makna pristiwa 8 maret terus berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Mereka
mulai mengkoordinasi upaya dan menelaah kemajuan perjuangan mereka untuk
persamaan hak, kemajuan sosial ekonomi ,dan perwujudan hak-hak mereka secara
penuh.
67
Masalah isu nasional dapat menjadi isu global dapat dilihat dalam Gabin
Boysd dan Chales Pentland, eds. Issues in Global Politics (New York: The Free Press,
1981), 5-6.
68
Patut dikemukakan di sini bahwa jauh sebelum Magna Charta, sebenarnya di
dunia Islam ada suatu piagam tentang HAM yang dikenal dengan ‚Piagam Madinah‛
di Madinah pada tahun 622, yang memberikan jaminan perlindungan HAM bagi
penduduk Madinah yang terdiri atas berbagai suku dan agama. Nurouzzaman Shiddiqie
telah membuat ringkasan Piagam Madinah. Baca selengkapnya Rozi Abdullah dan
Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2001), 1.
69
Muhammad Koderi, Bolehkan Wanita Menjadi Imam Negara (Jakarta:
Gema Insanii Press), 25.
35
Fatima
70
Achie Sudiarti Luhulima,‛Hak Wanita dalam Konstitusi Indonesia‛ dalam
Wanita dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 84.
71
Muhammad Koderi, Bolehkan Wanita Menjadi Imam Negara, 26.
72
Secara umum DUHAM mengandung empat hak pokok. 1) Hak individual
atau hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang . 2) hak kolektif atau hak masyarakat
yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain misalnya hak akan perdamaian, hak
akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup ynag bersih. 3) hak sipil dan hak
politik. 4) hak ekonomi, sosial, dan budaya. Lihat Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi
Manusia (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), 218-219.
73
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, 98.
36
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
37
Fatima
76
Omas Ihromi dkk, Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, 120.
77
Deklarasi Wina juga menyatakan bahwa kejahatan atau kekerasan
berdasarkan jenis kelamin, dan semua bentuk pelanggaran dan pelecehan seksual,
termasuk yang terjadi karena prasangka budaya dan perdakangan internasional, tidak
sesuai dengan martabat dan harga diri seorang manusia, dan harus dihapuskan. Hak
asasi manusia dari wanita harus merupakan bagian integral dari kegiatan hak asasi
manusia PBB, termasuk pemajuan semua instrument hak asasi manusia yang terkait
dengan wanita. Lihat Tapi Omas Ihromi dkk,Penghapusan Diskriminasi terhadap
Wanita, ,40.
38
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
39
Fatima
40
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
86
Saparinah Sadli dkk, Pendidikan Hak Asasi Manusia (Jakarta: KOMNAS
HAM, 2002), 170.
87
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi Dan Liberasi,
Cet. ke-2 (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000), 174-175. Lihat Juga Amir Mualim
dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2001), 7.
41
Fatima
42
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
aliran, yaitu antara aliran Syi’ah dan Sunni, seperti di Iran dan Irak
yang penduduknya mengikuti kedua aliran tersebut. 3) kelompok yang
berusaha memadukan antar mazhab dalam sunni, karena di dalamnya
ada pengikut mazhab-mazhab yang bersangkutan. 4) unifikasi dalam
mazhab tertentu, misalnya dikalangan pengikut mazhab Syafi’I, Hanafi,
atau Maliki. Bukan berarti format pembaharuan diambil dari satu
mazhab yang dianutnya saja. Boleh jadi formatnya diambil dari mazhab
lain. Misalnya, Indonesia yang penduduk muslimnya mayoritas
bermazhab Syafi’i, bukan berari format hukum keluarganya sepenuhnya
sesuai dengan pandangan Imam Syafi’i, boleh jadi pada bagian-bagian
tertentu mengambil dari mazhab Hanafi, Maliki, dan lainnya.90 Tujuan
pembahauan kedua adalah untuk mengangkat status wanita. Ketiga
untuk merespon terhadap perkembangan dan tututan zaman.91
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam undang-undang keluarga
di negara Muslim, menurut Tahir Mahmood ada tiga belas unsur, yaitu;
batasan umur minimal boleh kawin, pembatasan peran wali dalam
perkawinan, keharusan pencatatan perkawinan, masalah keuangan
perkawinan (mas kawin dan biaya perkawinan)kemampuan ekonomi
dalam perkawinan, pembatasan kebolehan poligami dan hak-hak istri
dalam poligami, nafkah istri dan keluarga serta tempat tinggal, masalah
talak dan cerai di muka pengadilan, hak-hak wanita yang dicerai
suaminya, masa kehamilan dan implikasinya, hak dan Tanggungjawab
pemeliharaan anak setelah perceraian, hak waris bagian laki-laki dan
wanita termasuk bagian anak dari anak yang lebih dulu meninggal,
masalah wasiat bagi ahli waris, dan masalah pengelolaan wakaf.92
Adapun sifat dan metode reformasi yang digunakan negara-
negara muslim dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam
dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua):
a. Intra-doctrinal reform, yaitu reformasi hukum keluarga Islam yang
dilakukan dengan menggabungkan pendapat dari beberapa mazhab
90
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution (ed), Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab
Fikih, 2-3.
91
Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, 44-45.
92
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History Text and
Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), 270. Lihat
M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, ed. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih,
208-209. Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, 45-46.
43
Fatima
93
M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, ed. Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab
Fikih, 207-208. Redaksi hampir sama dikemukakan oleh Khoiruddin Nasution bahwa
maksud Intra-doctrinal reform, adalah tetap merujuk pada konsep fikih konvensional
dengan cara talfi>q (memilih salah satu pendapat ulama fikih) atau tawfi>q
(mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama). Extra-doctrinal reform, pada
prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fikih konvensional, tetapi dengan
melakukan reinterpretasi terhadap nash. Lihat Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga
(Perdata) Islam Indonesia, 47.
94
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Mohammad, Cet. ke-4 (Bandung:
Pustaka, 2000), 108.
95
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim, Cet. ke-1 (Yogyakarta: Acamedia
dan Tazzafa, 2009), 166.
44
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
96
Isroqunnajah, Hukum Keluarga Islam Di Republik Turki, dalam Atho
Mudzhar dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, 39-
40.
45
Fatima
wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912. Materi
yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah
ketentuan-ketentuan tentang pertunangan (terutama masalah ta’lik
talak), batas usia minimal untuk kawin, larangan menikah, poligami,
pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-
lain.97
Hukum keluarga di Turki telah mengalami beberapa kali
perubahan. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 (The Ottoman
Law of Family Rights) diperbarui dengan Hukum Perdata Turki Tahun
1926 (Turkish Civil Code, 1926), kemudian diamandemen dua kali,
tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992.
3. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Mesir
Kodifikasi hukum Islam yang sesungguhnya baru terlaksana pada
tahun 1293 H/1876 M oleh Kerajaan Turki Usmani (Ottoman) dengan
menerbitkan kitab yang berjudul Majallat al-Ah}ka>m al-‘Ad}liyyah yang
diberlakukan di seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani ketika itu
sampai dasawarsa ketiga abad ke-20. Kodifikasi hukum yang dihimpun
ulama fikih di zaman Turki Usmani ini hanya mencakup bidang
muamalah dan hanya bersumber dari Mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah,
yang tidak tunduk sepenuhnya kepada kerajaan Turki Usmani, tidak
menerima kodifikasi hukum fikih tersebut karena mayoritas umat Islam
di kedua tempat itu bermazhab Syafi'i.
Setelah perang dunia ke-2, lahirlah kodifikasi hukum di berbagai
negara Arab, diawali oleh Mesir pada tahun 1875. Kodifikasi Mesir ini
merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat (Eropa).
Setelah itu, pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar
hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir bidang perdata yang
diambil secara murni dari hukum Islam (fikih). Lebih lanjut, kodifikasi
di Mesir mengalami beberapa kali perubahan, antara lain pada tahun
1920, 1929, dan 1952.
Kajian tersendiri terhadap masalah hukum keluarga baru dimulai
sekitar paruh kedua abad ke-19. Sebelumnya hukum perseorangan dan
keluarga itu tersebar dalam berbagai bab dalam kita fikih. Orang yang
pertama memisahkannya dalam suatu kajian tersendiri adalah
Muhammad Qudri Pasya, ahli hukum Islam di Mesir. Dialah orang
pertama yang mengkodifikasikan al-Ah}wa>l al-Shakhs}iyyah dalam suatu
97
Ahsan Dawi, ‚Pembaruan Hukum Keluarga di Turki (Studi Atas Perundang-
Undangan Perkawinan‛, diakses pada tanggal 10 Oktober 2012 melalui
www.badilag.net/.../Pembaruan%20Hukum%20Keluarga%20Di%20 Turki.pdf.
46
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
98
Husni Syams, ‚Urgensi Kodifikasi Hukum Keluarga‛, diakses pada tanggal
14 Oktober 2012 melalui http://www.husnisyams.co.cc/2010/02/kodifikasi-hukum-
keluarga-pada-masa.html.
99
Pokja Pengarusutamaan ‚Gender Departemen Agama RI, Menuju Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Indonesia Yang Adil Gender‛, diakses pada tanggal 14 Oktober
2012 melalui http://www.fahmina.or.id/pemikiran-fahmina/fikih-perempuan/703-
menuju-kompilasi-hukum-islam-khi-indonesia-yang-adil-gender.html.
100
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata, hlm. 168. Lihat juga Atho Mudzhar,
Hukum Keluarga, 13. Keterangan serupa juga dapat dibaca pada Ahmad Tholabi
Kharlie, ‚Legislasi Hukum Islam di Dunia Muslim Moderen‛, diakses pada tanggal 10
Oktober 2012 melalui http://jurnalalrisalah.com/index.php?option=com.
47
Fatima
101
Husni Syams, ‚Urgensi Kodifikasi Hukum Keluarga‛, diakses pada tanggal
14 Oktober 2012 melalui http://www.husnisyams.co.cc/2010/02/kodifikasi-hukum-
keluarga-pada-masa.html
102
Khoiruddin Nasution, Sejarah singkat Pembaruan Hukum Keluarga
Muslim, dalam Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, eds. Hukum Keluarga Di
Dunia Islam Modern, 10-19.
48
BAB III
PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM
DI INDONESIA
Pada bab ini akan menjelaskan mengenai pembaharuan hukum
keluarga Islam di Indonesia, yang bertujuan untuk mengatahui sejarah
lahirnya Undang-Undang Perkawinan dan KHI, subtansi hukum materiil
Undang-Undang Perkawinan dan KHI dalam melindungi hak-hak wanita
serta respon mayarakat terhadap kedua peraturan tersebut.
A. Sejarah Singkat Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Pengaturan perkawinan di Indonesia tidak dapat lepas dari
keterlibatan tiga pihak yang berkepentingan, yaitu kepentingan agama,
kepentingan negara, dan kepentingan perempuan. Agama dan negara
merupakan institusi yang memiliki kepentingan untuk mengadakan
pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang
signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial
terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai
yang ada dalam agama. Sementara itu, negara sebagai institusi modern
pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan
tertib warganya, meskipun kepentingan negara ini tidak selalu sama dari
pemerintahan satu ke pemerintahan yang lain.1
Pada masa awal penjajahan Belanda, hukum perkawinan yang
berlaku adalah hukum perkawinan Islam yang berasal dari kitab-kitab
fikih. Kemudian Belanda menerjemahkan ke dalam bahasa Belanda.2
Compendium Freijer adalah kitab hukum yang berisi aturan-aturan
hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam untuk
daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa). Pada abad
ke-19 Compendium Freijer secara berangsur-angsur dicabut. Dengan
dicabutnya Compendium Freijer, secara tekstual hukum perkawinan
yang berlaku adalah hukum adat.3
1
Sarafina Shinta Dewi, ‚Pembentukan Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan,‛ artikel diakses pada 21 Februari 2013 melalui
http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/386-
pembentukan-Undang-undang-nomor-1-tahun-1974-tentang-perkawinan.
2
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), 79.
3
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, 80.
Fatima
4
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992),77.
5
Hal ini terlihat adanya penghapusan praktik poligami.
6
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional,81-82.
7
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat (Jakarta:
INIS, 1998), 37.
8
Harso Sasroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 9. lihat juga A.Basiq Djalil, Peradilan Agama di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 85-86.
9
Istilah hukum keluarga dalam Undang-undangIndonesia di sebut hukum
perkawinan.
10
Sangat disayangkan dalam tulisan ini tidak dijelaskan sebab-sebab serta
alasan mengapa UU NO. 22 Tahun 1946 ini hanya berlaku di Jawa dan Madura serta
50
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
tidak bisa diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Keberadaan UU No. 22/1946
dan UU No. 32/1954 ini adalah sebagai kelanjutan dari Stbl No. 198 Tahun 1895 dan
sebagai pengganti dari Huwelijks Orgonantie Stbl No. 348 Tahun 1929 jo. Stbl No.
467 Tahun 1931 dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl No. 98 Tahun 1933. A.
Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, dalam Amrullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, 57. Lihat Chairuddin
Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap PerUndang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002), 42.
Lihat Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia
(Jakarata: Bulan Bintang, 1978), 21 dan Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan
(Bandung: Vorkink Van Hoeve, t.th), 50.
11
Lahirnya UU No. 22/1946 tentang Nikah Talak Dan Rujuk ternyata tidak
memberi pengaruh yang signifikan bagi umat Islam, Hal ini terbukti dengan
meningkatnya angka perceraian pada setiap tahunnya. TB Hamzah dari Fraksi ABRI
memaparkan data perkawianan pada tahun 1970 yang berasal dari Departemen Agama
(Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama), dari 859.061 perkawinan, yang
melakukan perceraian sebanyak 298.290. hanya 11294 yang melakukan rujuk. Hampir
dipastikan bahwa dari sekian rakyat Indonesia yang melakukan perkawinan, lebih dari
30% harus berakhir denagan perceraian dan hanya 3% yang rujuk. Lihat Pandangan
Umum Fraksi Abri, Risalah Sidang Pleno tanggal 17 September 1973. Lihat
Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law of 1974 an Institutionalization
Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim and Azyumardi Azra, eds. Syari’ah and
Politic in Modern Indonesia, 81.
12
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat DEPAG RI, 2008), 188.
13
Bab-bab tersebut meliputi, I. Dasal- dasar Perkawinan, II. Syarat-syarat
Perkawinan, III. Pertunangan, IV.. Tatacara Perkawinan, V. Batalnya Perkawinan, VI.
51
Fatima
Perjanjian Perkawinan, VII. Hak dan Kewajiban suami –istri, VIII. Harta Benda dalam
Perkawinan, IX. Putusnya Perkawinan dan Akibatnya, X. Kedudukan Anak, XI. Hak
dan Kewajiban antara Anak dan Orang Tua, XII. Perwalian, XIII. Ketentuan-ketentuan
lain, XIV. Ketentuan Peralihan, XV. Keterangan Penutup. Lihat K.Wantjik Saleh,
Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Balai Aksara, 1987), 2 dan 27.
14
Mengenai perdebatan politik dalam bembentukan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan LihatAmak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan
(Bandung:Bulan Bintang, t.th), 7. Ali Munhanif dan Mukti Ali, Modernisassi Politik
Keagamaan Orde Baru,dalam Azzumardi Azra dan Saiful Umam (ed), Menteri-menteri
Agama RI, Biografi Sosial-politik, (Jakarta: INIS-PPIM-Depag RI, 1998), 257. Abdul
Halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia, Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam
Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 257.
15
Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dicatatkan
di hadapan pencatatan perkawinan. Pasal 3 (2) yang menyatakan bahwa pengadilan
memberi izin kepada suami yang beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 7 (1) perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah berumur 21 tahun dan pihak wanita berumur 18 tahun. Pasal 8 poin ‛c‛ tentang
larangan perkawinan berhubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat atau
anak-anak dari orang tua angkat. Pasal 10 (2) yang menyatakan bahwa apabila suami
dan isteri yang dicerai kawin lagi dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua
kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi. Pasal 11 (2)
yang menyatakan bahwa perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negeri asal,
tempat asal, agama/kepercayaan, dan keturunan, tidak menjadi penghalang
perkawinan. Pasal 12 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa bagi janda jangka
waktu tunggu 306 hari, kecuali jika mengandung waktu tunggu 40 hari setelah
melahirkan. Jangka waktu tersebut tidak ada persyaratan apapun. Pasal 13 (2) bila
pertunangan itu mengakibatkan kehamilan, maka pihak pria harus menikahi wanita itu,
jika disetujui oleh wanita itu. Pasal 37 (1) harta benda yang diperoleh dalam
perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 39, bila perkawinan putus karena perceraian,
harta benda milik bersama dibagi sama antara suami-isteri. Pasal 46 poin ‛c‛
pengadilan dapat mewajibkan bekas suami menurut kemampuannya memberi biaya
penghidupan kepada bekas isterinya selama ia masih hidup dan belum bersuami lagi.
Pasal 49 ayat (1), (2) dan (3) yang menyatan bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya,
anak tersebut dapat bernasab kapada ayahnya dengan melakukan perkawinan dengan
ibunya. Pasal 62 tentang pangangkatan anak terutama pon 1, 8,dan 9. suami istri dapat
mengangkat seorang anak atau lebih, anak yang diangkat mempunyai kedudukan yang
hukum yang sama seperti anak sah. Dengan pengangkatan tersebut putuslah hubungan
anak angkat dengan keluarganya. Lihat Risalah resmi Dewan Perwakilan Rakyat,
secretariat DPR RI. Lihat Amak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan, (Bandung:
Bulan Bintang), 30-34. lihat juga Arsekal Salim dan Azyumardi Azra, eds. Shari’a in
Modern Indonesia, 83.
52
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
16
Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 229-248.
17
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum perkawinan Di Dunia
Islam (Bandung: Pustaka A-Fikriis, 2009), 34. Lihat juga Abdul Manan, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesi, 6.
18
Pada tahun 1983 lahir pula PP (peraturan pemerintah) No. 10 yang mengatur
tentang 1zin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kemudian
pada tahun 1989 lahir UU No. 7 Tentang Peradilan Agama. Baca Dedi Supradi dan
Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam (Bandung, Pustaka Al-
Fikriis, 2009), 34.
19
Mark Carmark, ‚Hukum Islam dalam Politik Hukum OrdeBaru‛ dalam
Sudirman Tebba, ed. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Kasus
hukum Keluarga dan Pengkodefikasiannya (Bandung: Mizan, 1993), 28. Lihat Pula M.
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000),
176.
53
Fatima
20
Dampak sosial setelah berlakunya UU tersebut baca selengkapnya
Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law of 1974 an Institutionalization
Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim and Azyumardi Azra,eds. Shari’a and
Politics in Modern Indonesia, 88-90.
21
13 kitab tersebut adalah Al-Bayju>ri>, Fath} al-Mu’în> dengan syarahnya,
Sharqawi> ’ala> al-Tah}ri>rî, Qulyu>bi>/Muhallî, Fath} al- Wahhâb dengan syarahnya,
Tuh}fah, Targhîb al Mushtaq, Qawa>ni>n al- Shar’iyah Li Sayyid ’Uthma>n bin Yahya,
Qawa>ni>n al Shar’iyah Li Sayyid Sadaqah Dakhlan, Shamsuri> fi al- Fara>’id, Bughyah al
Mustarshidi>n, Al-Fiqh ‘ala> Madha>hib al-’Arba’ah, Mughni> al-Muhta>j, lihat
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakata: Akademika Pressindo,
2004), 21-23.
22
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 19.
23
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama diIndonesia (Jakarta: Kencana, 2006),
109-110.
54
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
24
Ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah
Agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama.
25
Landasan atau dasar hukum pertama keberadaan KHI di Indonesia adalah
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 adalah Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu kekuasaan pemerintahan negara.
26
Dalam diktum keputusan Menteri tersebut disebutkan sebagai berikut. 1.
Seluruh Instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. 1.Seluruh
lingkungan instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam menyelesaikan masalah di
bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan sedapat mungkin menerapkan
Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lainnya.
Direktur Jendral Pembinaan, 2. Kelembagaan Agama Islam dan Direktur Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji mengkoordinasikan tentang pelaksanaan Keputusan
Menteri Agama ini dalam bidang tugasnya masing-masing. 3.Keputusan ini berlaku
sejak ditetapkan. Sedangkan landasan Hukum yang ketiga yaitu Surah Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jendral Pembinaan
Kelembagaan Islam tanggal 25 Juli 1991 No. 3694/EV/Hk. 003/AZ/91, yang ditujukan
kepada ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. lihat M. Daud Ali, Hukum Islam:
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), 60-66.
55
Fatima
27
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Islam dalam Hukum
Nasional, 113.
28
Sistematika kompilasi mengenai hukum perkawinan ini adalah sebagai
berikut: Bab I. Ketentuan Umum (Pasal 1). Bab II , Dasal-Dasar Perkawinan (Pasaal
2-10). Bab III. Peminangan (Pasal 11-13). Bab IV, Rukun dan Syarat Perkawinan
(Pasal 14-29). Bab V. Mahar (Pasal 30-38). Bab VI. Larangan Kawin (39-44). Bab
VII, Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52). Bab VIII, Kawin Hamil (Pasal 53-54). Bab
IX, Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59).Bab X. Pencegahan Perkawinan
(Pasal 60-69). Bab XI. Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76). Bab XII. Hak dan
Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-84). Bab XIII. Harta Kekayaan dalam Perkawinan
(Pasal 85-97). Bab XIV. Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106). Bab XV. Perwalian(Pasal
107112). Bab XVI. Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148). Bab XVII. Akibat Putusnya
Perkawinan (Pasal 149-162). Bab XVIII. Rujuk (Pasal 163-169). Bab XIX. Masa
Berkabung (Pasal 170). Buku II tentang hukum kewarisan adalah, Bab I. Ketentuan
Umum (Pasal 171). Bab II. Ahli Waris (Pasal 172-175). Bab III. Besarnya Bahagian
(Pasal 176-191). Bab IV. Aul dan Rad (Pasal192-193). Bab V. Wasiat (Pasal 194-209).
Bab VI. Hibah (Pasal 210-214). Buku ke tiga hukum perwakafan yang sisnya adalah;
Bab I. Ketentuan Umum (Pasal 215). Bab II. Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat
Wakaf (Pasal 216-222). Bab III. Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf
56
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
(Pasal 223-224). Bab IV. Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf
(Pasal 225-227). Bab V. Ketentuan Peralihan (Pasal 228). Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, (Jakata: Akademika Pressindo, 2004), 65-66.
57
Fatima
wanita wajib dilakukan laki dan wanita tidak mutlak
dilakukan
6. Tidak dikenal ada perjanjian harta Dikenal ada perjanjian harta
bawaan yang tidak termasuk waris bawaan yang tidak termasuk
waris
7. Tidak dikenal adanya pembatasan Wasiat hanya boleh
harta wasiat dilaksanakan maksimum 1/3
harta.
III Wakaf dan Sadaqah Wakaf dan Sadaqah
1. Tidak dibenarkan mengalihkan Harta wakaf dapat dialihkan
fungsi harta wakaf fungsinya kepada yang lebih
bermanfaat.
2. Tidak dibenarkan mengganti dengan Harta wakaf dapat diganti
harta lain dengan harta lain untuk
kepentingan umum
3. Tidak dikenal pendaftaran wakaf, Dikenal pendaftaran wakaf
cukup ijab Kabul saja pada PPAIW.
4. Tidak dikenal wakaf produktif Dikenal wakaf produktif.
5. Tidak ada pengaturan tentang Ada pengaturan tentang
pengolahan harta yang berasal dari pengolahan harta yang
sadaqah berasal dari sadaqah
Sumber: Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006), 295.
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai fikih dalam bentuk
peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif merupakan
konsekwensi negara Indonesia mengikuti sistem hukum Romawi
(Romawi Law System). Peraturan perundang-undangan yang telah
dijadikan hukum positif oleh negara merupakan sumber hukum bagi
hakim dalam memutuskan perkara dan hakim tidak boleh menyimpang
dari ketentuan ini. Jika hakim menganggap dalam peraturan hukum itu
tidak jelas, ia diharuskan melakukan penafsiran terhadap pasal-pasal
yang berbeda jika itu ada ia dapat tempatkan dalam peristiwa yang
kongkrit. Apabila kasus yang dihadapi belum ada hukumnya, ia wajib
menciptakan hukum baru yaitu ijtihad dengan menggali hukum yang
hidup dimasyarakat.29
C. Respon Masyarakat terhadap UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Subtansi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI
merupakan peraturan perundang-undangan yang Islami, karena
kandungannya bersumber dari al-Qur’an, hadis, dan hasil ijtihad para
ulama dan cendekiawan muslim Indonesia. Pro dan kontra usulan
amandemen UUP sering kali disuarakan oleh beberapa kalangan, di
antaranya KOMNAS (Komisi Nasional) Perempuan dan Plan Indonesia
29
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, 296.
58
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
30
KOMNAS Perempuan, ‚UU Perkawinan Tak Melindungi Perempuan‛,
artikel diakses pada tanggal 21 Februari 2013 melalui
http://www.komnasperempuan.or.id/2011/09/kompal-female-uu-perkawinan-tak-
melindungi-perempuan/.
31
Ratna Bantara Munti, ‚Upaya Advokasi Amandemen UU Perkawinan oleh
Masyarakat Sipil,‛ artikel diakses pada tanggal 21 Februari 2013 melalui
www.komnasperempuan.or.id.
32
Herni Sri Nurbayanti, ‚Mendorong Lahirnya Undang-Undang Pro-
Perempuan,‛ artikel diakses pada 21 Februari 2013 melalui
http://nurbayanti.blogspot.com/2007/12/mendorong-lahirnya-undang-undang-pro.html
33
Tia Ludiana, ‚Peraturan Poligami dalam Undang-undang No. 1 Tahum 1974
tentang Perkawinan,‛ (Universitas Pasundan Bandung: Fakultas Hukum, 2010), 3-4.
59
Fatima
34
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional,175-176.
35
Terutama Pasal 2, 15, 19, 25, 30, 40, 45, 55, 79, 80, 84, 153, dan 170. Lihat
selengkapnya pendapat Musdah Mulia dalam Mukhlisin, ‚Perlunya Menyelaraskan
KHI dengan CEDAW‛ artikel dikases pada 21 Februari 2013 melalui http://icrp-
online.org/012012/post-1318.html.
36
Draf tersebut berusaha menawarkan perubahan dan pembaharuan terutama
dalam bidang perkawinan dan waris. Khusus dalam seluruh Pasal yang masuk kategori
bias gender dan tidak memberi perlindungan memadai terhadap hak-hak perempuan
dan anak-anak harus dihapuskan lewat kacamata pluralisme agama. Di antara isi draft
60
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
CLD-KHI itu adalah: pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya
sendiri, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab kabul
bukan rukun nikah, dan anak kecil bebas memilih agamanya sendiri. Perlu diketahui
tim ini mendulang bantuan dari Asia Foundation dalam menggagas CLD-KHI tersebut.
Lihat Muhammad Abu Dzar ‚Sejarah Munculnya KHI‛ , diakses pada 28 Juli 20121
melalui http://id.shvoong.com/social-sciences/1964550-sejarah-munculnya-cld-khi/
61
BAB IV
WANITA SEBAGAI ANAK DAN IBU
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DAN PRAKTIK DI PENGADILAN AGAMA
Bab ini akan menjelaskan dan menganalisa tentang status wanita
sebagai anak dan ibu dalam peraturan perundang-undangan dan praktik
di Pengadilan Agama. Isu-isu yang relevan dengan kedudukan wanita
sebagai anak dan ibu yang akan dipaparkan adalah batasan usia
minimum perkawinan, ketentuan dispensasi nikah, kedudukan wali dan
persetujuan pempelai wanita dalam perkawinan, h}ad}a>nah dan
problematika penyelesaiannya, dan hak waris anak.
A. Batasan Usia Perkawinan dan Ketentuan Dispensasi Nikah
Hal yang menarik dari UU No. 1 Tahun 1974 antara lain adalah
adanya pembatasan usia minimal calon mempelai, baik laki-laki maupun
perempuan yang pada awalnya termasuk salah satu dari sebelas poin
yang ditolak oleh Fraksi Persatuan Pembangunan karena dianggap tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dirasa unik karena dalam Islam, tidak
dikenal adanya batas minimal bagi mereka yang ingin melangsungkan
pernikahan. Hal ini yang menurut penulis layak untuk ditelusuri,
bagaimana sebenarnya konsep fikih dalam mengatur batasan seseorang
dikatakan sudak layak untuk melakukan pernikahan.
Jika dilacak dengan menggunakan kata kunci nikah, maka dalam
al-Qur’an akan ditemukan ayat yang berkaitan dengan pernikahan
sebanyak 23 ayat. Tetapi tidak satupun ayat yang menyebutkan secara
jelas tentang batas usia pernikahan, jika diteliti lebih lanjut, ayat yang
berkaitan dengan kelayakan seseorang untuk menikah ada dua ayat
dalam al-Qur’an yaitu surah al-Nisa>’ Ayat 61 dan surah al-Nu>r Ayat 32.2
Fikih klasik sebenarnya tidak melarang pernikahan di bawah
umur. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama dari empat mazhab.
Ibn al-Mundzir sebagaimana yang dikutip Wahbah al-Zuhayli>
1
Redaksi ayat tersebut adalah;
…
2
Teks ayat tersebut adalah;
…
Fatima
3
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Vol. IX (Damaskus: Da>r
al-Fikr, 2004), 6682.
4
Dedi Supriyadi dan Mustofa yang berjudul Perbandingan Hukum Perkawinan
di Dunia Islam (Bandung: Pustaka Al-Fikris, 2009), 26-27.
5
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Vol. IX, 6682.
64
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
6
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Padang:
Angkasa Raya, 1990), 114.
7
Departemen Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Pernikahan (Jakarta: Proyek Penyuluhan Hukum Agama, 1995), 5-6
8
Pasal 15 ayat (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
pernikahan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16
tahun. Lihat Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet. ke-2 (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1995), 117. Hanya saja dalam kompilasi ini tidak disebutkan kemungkinan
dispensasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974.
9
Rahmat Djatnika, ‛Sosialisasi Hukum Islam‛ Dalam Abdurrahman Wahid,
ed. Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung, Rosda Karya, 1991), 254.
10
Redaksi ayat tersebut adalah;
65
Fatima
Makna dari ayat tersebut tidak lain bentuk reformasi atas ketentuan ayat
yang disesuaikan dengan tuntutan kehidupan sekarang tanpa
mengurangi prinsip dan tujuan shar’i>nya.11
Ketentuan masa mengenai pembatasan usia pernikahan ini
menjadi penting karena beberapa hal yang melatarbelakanginya, terkait
dengan hak-hak perempuan dan anak itu sendiri. Dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa rata-rata usia ideal pernikahan
untuk perempuan berkisar 19 tahun, dan untuk laki-laki 23 tahun.12 Hal
ini yang menjadi pertimbangan bukan semata-mata bersifat biologis,
tetapi lebih kepada psikologis dan sosial. Kematangan usia ini
merupakan akumulasi dari kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental atau
jiwa, agama, dan budaya.
Aspek lain adalah kehamilan yang memiliki keterkaitan erat
dengan kondisi sosial-ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Kemungkinan seorang ibu meninggal atau anaknya meninggal atau
menderita penyakit bertambah besar bila ibu melahirkan terlalu awal
atau terlalu lambat. Perempuan yang secara fisik belum matang akan
menghadapi bahaya yang lebih besar ketika melahirkan dan besar
kemungkinan akan melahirkan anak yang lemah dibandingkan dengan
perempuan yang berumur dua puluh atau relatif dewasa.13
Melihat fenomena di atas, tidak salah bila beberapa negara
Muslim memberlakukan batasan usia pernikahan,14 sebagaimana catatan
Tahir Mahmood yang dikutip Amin Suma dan beberapa para peneliti
lainnya yang menyebutkan batasan usia pernikah bagi calon mempelai
pria dan wanita di beberapa negara Muslim dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
11
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), 78.
12
Siti Musdah Mulia, ‛Menuju Hukum Pernikahan yang Adil:
Memberdayakan Perempuan Indonesia‛, dalam Sulistyo Irianto, Perempuan dan
Hukum (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 158.
13
Erick Eckholm dan Kathleen Newland, Perempuan, Kesehatan Keluarga dan
Keluar Berencana. Penerjemah Masri Maris dan Ny. Sukanto (Jakarta: YOI dan Sinar
Harapan, 1984), 15.
14
Secara medis, anak perempuan usia di bawah 16 tahun masih dianggap
belum matang secara seksual karena organ reproduksinya belum mengalami menstruasi
sehingga tidak dianjurkan untuk menikah . hal ini diasampai oleh Ketua Satgas
Perlindungan Anak (IDAI), Rahmat Santika, pada suatu seminar yang diselenggarakan
di jakarat. Lihat IDAI Serukan Pernikahan Dini Dihentikan, Kapan lagi. Com.
http://www.kapanlagi.com/h/0000259579.html.
66
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Tabel 4.1.
Perbandingan Usia Minimum Pernikahan di Negara Muslim15
No Negara Minimal Usia Nikah
Pria Wanita
1 Aljazair 21 18
2 Bangladesh 21 18
3 Mesir 18 16
4 Indonesia 19 16
5 Irak 18 18
6 Jordania 16 15
7 Libanon 18 17
8 Libya 18 16
9 Malaysia 18 16
10 Maroko 18 18
11 Yaman Utara 15 15
12 Yaman Selatan 18 16
13 Pakistan 18 16
14 Somalia 18 18
15 Syria 18 17
16 Tunisia 19 17
17 Turki 17 15
18 Israel 20 19
19 Cyprus 18 17
Tabel di atas menunjukkan bahwa usia pernikahan yang dianut
oleh dunia Islam dan negara-negara yang berpenduduk Muslim rata-rata
berkisar antara 15 sampai 21 tahun, kecuali Irak, Somalia, dan Maroko
yang tidak membeda-bedakan antara usia laki-laki dan perempuan yaitu
sama-sama 18 tahun. Umumnya negara muslim membedakan antara usia
laki-laki dan perempuan. Untuk kaum laki-laki antara 16 sampai 21
tahun, sementara untuk perempuan antara 15-18 tahun. Jadi, usia
pernikahan bagi perempuan pada umumnya lebih muda 1-6 tahun lebih
dibanding dengan rata-rata usia pernikahan bagi kaum laki-laki.
Perbedaan usia ini terjadi karena secara eksplisit tidak dijelaskan dalam
al-Qur’an maupun hadis.16 Penerapan usia pernikahan di berbagai negara
bervariasi, hal ini menunjukkan bahwa perbedaan penerapan usia
15
Sumber: M. Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta:
Raja Grafindo Persada),184. Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum
Pernikahan di Dunia Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 38-39.
16
M. Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 184-185.
67
Fatima
17
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Pernikahan di Dunia
Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 41.
18
Dispensasi usia pernikahan adalah pengurangan terhadap standar normatif
yang diatur oleh Undang- Undang mengenai batas minimal usia pernikahan bagi
seseorang yang akan melangsungkan pernikahan.
19
Negara Irak misalnya, bagi yang melanggar batas usia minimum nikah
dikenakan sanksi berupa pembatalan pernikahan itu sendiri dan pelakunya dikenakan
hukuman penjara. Lihat Iskandar Ritonga, ‚Hak-hak Wanita dalam Hukum
Kekeluargaan Islam di Indonesia: Implementasinya dalam Putusan-putusan Peradilan
Agama DKI Jakarta, 1990-1995‛ (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002),
114.
20
Sumber: Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Pernikahan di
Dunia Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 40.
68
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
21
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Pernikahan di Dunia
Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 41.
22
Lihat Departemen Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
pernikahan (Jakarta: Proyek Penyuluhan Hukum Agama, 1995), 5-6
23
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet. ke-2 (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1995), 117. Hanya saja dalam kompilasi ini tidak disebutkan kemungkinan
dispensasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974.
69
Fatima
24
Baca selengkapnya Masri Singarimbun, Penduduk dan Perubahan, Cet. ke-1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 3-72.
25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai
HKI, 70. lihat Lili Rasjidi, Hukum Penikahan dan Perceraian di Malaysia dan
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), 111.
26
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai
HKI, 70.
70
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
71
Fatima
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
pihak wanita. Dalam hal ini, UUP tidak konsisten. Di satu sisi, pasal 6
Ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan pernikahan seorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat
izin dari kedua orang tua, di sisi lain Pasal 7 (1) menyebutkan
pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun. Rupanya titik perbedaannya adalah jika kurang dari 21
tahun, yang diperlukan adalah izin orang tua, dan jika kurang dari 19
atau 16, perlu izin pengadilan. Ini dikuatkan oleh pasal 15 ayat (2)
KHI.30
Pengaturan usia dewasa lazimnya disimpulkan atau dikaitkan
dengan Pasal 47 dan Pasal 50 UU No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.31 Mengenai Pasal 47 UUP, Hazairin berpendapat bahwa,
pasal tersebut membingungkan. Pasal ini menentukan seseorang telah
menjadi dewasa pada usia 18 tahun, tetapi sekaligus menentukan
kembali menjadi tidak dewasa kalau anak tersebut belum menikah. Pasal
47 UU Pernikahan tidak dapat dibaca seperti pasal 330 KUHPerdata,
karena usia dewasa dalam KUHPerdata, ditentukan mereka yang sudah
berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah. Apabila
pernikahan mereka putus sebelum berusia 21 (dua puluh satu) tahun,
maka mereka tidak kembali pada usia belum dewasa.32
Sementara menurut Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa, seseorang yang belum berusia
18 tahun masih termasuk anak. Pasal 26 ayat 1 huruf (c) UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara jelas juga menyebutkan
bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah
terjadinya perkawinan di usia anak-anak. masih terdapat pintu keluar
bagi penyimpangan terhadap ketentuan tersebut, seperti disebutkan
dalam Pasal 7 Ayat (2) yang memungkinkan pernikahan di bawah umur
minimal pernikahan dengan mengajukan permohonan dispensasi
nikah33kepada Pengadilan.
30
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, 78.
31
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Pernikahan Berserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, Cet. ke-2
(CV.Gitamaya Jaya, 2003), 26.
32
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Pernikahan Berserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya,113.
33
Dispensasi usia pernikahan adalah pengurangan terhadap standar normatif
yang diatur oleh Undang- Undang mengenai batas minimal usia pernikahan bagi
72
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
73
Fatima
74
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
36
Dokumen Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor
19/Pdt.P/2010/PAJP.
75
Fatima
37
Dokumen Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor
33/Pdt.P/2012/PAJB.
38
Inilah bedanya antara legal justice dengan moral justice. Maksud legal
justice disini karena belum mencapai syarat usia minimal nikah, moral justice kerena
alasan hamil di luar nikah. Moral justice ini di luar wewenang hakim. Hakim terikat
dengan hukum acara, hakim tidak boleh memutus melebihi dari tuntutan. Sepanjang
syarat (legal Justice) sudah terpenuhi hakim sudah dapat memberi izin dispensasi
nikah. Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, di ruang
Hakim, pada tanggal 18 Juli 2012.
76
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
39
Iin Wahyuni, ‚Dasar dan Pertimbangan Hakim Mengabulkan Dispensasi
Usia Pernikahan: Studi di Pengadilan Agama Kota Malang (Malang: Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, 2009), 64-65.
77
Fatima
78
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
43
Lihat Agus Sudarmanto,‛Peradilan Agama‛ diakses pada 25 Agustus 2012
melalui http://materifakultashukum.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-
en-us-x-none.html.
44
Putusan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis
dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan (Kontentius)). Sedangkan Penetapan adalah Pernyataan
Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang
terbuka untuk umum,sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
Lihat Pasal 60 UUPA (Undang-undang Peradilan Agama).
45
Asas yang melekat pada putusan penetapan adalah pertama, asas ‚kebenaran
sepihak‛, yakni kebenaran yang bernilai pada diri pemohon tidak menjangkau orang
lain. Kedua, kekuatan mengikat penetapan hanya berlaku pada diri pemohon saja, sama
sekali tidak mengikat orang lain. Ketiga, tidak mempunyai kekuatan pembuktian.
Keempat, tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Putusan penetapan dapat
dimintakan eksekusi kepada Pengadilan. M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan
dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, 305-306.
46
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
UU No. 7 Tahun 1989, 306.
79
Fatima
47
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
UU No. 7 Tahun 1989, 313.
48
A. Mukti Atrto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 224.
80
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
49
Sudirman, ‚Pembatasan Usia Minimal Pernikahan: Upaya Meningkatkan
Martabat Perempuan‛, (Malang: Fakultas Syariah UIN Malang), 12.
81
Fatima
82
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
50
Muhamad Isna Wahyudi, ‛Menekan Tingkat Pernikahan Anak‛, diakses
pada 1 Juli 2012 melalui http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-
id,37162-lang,id-c,kolomt,Menekan+Tingkat+Pernikahan+Anak-.phpx.
51
Wali dalam pernikahan adalah seseorang yang bertindak atas nama
mempelai wanita dalam suatu akad nikah. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 69.
52
Mazhab Hanafiyah berpandangan bahwa, status wali hanyalah syarat bukan
rukun pernikahan. Atas hal ini ulama Hanafiyah meringkas rukun nikah menjadi ijab
dan kabul. Status wali menjadi sahnya pernikahan khusus pernikahan anak kecil, orang
gila. Sedangkan orang dewasa yang sudah baligh baik janda maupun gadis tidak perlu
kekuasaan wali. Argumentasi mazhab Hanafiyah didasarkan kepada pandangan bahwa
akad nikah sama dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup dengan ijab
dan kabul. Hanafiyah perpandangan bahwa al-Qur’an maupun hadis yang dijadikan
hujjah terhadap status wali sebagai rukun nikah, tidak memberikan syarat bahwa wali
sebagai rukun nikah. Dasar dibolehkannya pernikaha tanpa wali adalah surah al-
Baqarah ayat 230, 232 dan 240. Bahwa akad dalam ayat-ayat ini didasarkan kepada
wanita (hunna), yang berarti akad tersebut menjadi hak atau kekuasaan merka para
wanita. Demikian juga khit}a>b al-Baqarah ayat 232, adalah kepada para suami, kalau
iddah mantan istrinya sudah habis, mantan suami tidak berhak mencegah mantan
istrinya untuk menikah lagi. Ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan wali, sebab
yang dilarang mempersulit adalah suami. Dasar hadis yang digunakan Imam Abu>
Hani>fah adalah hadis yang menyatakan, ‚ ‛
83
Fatima
Dalam pandangan Mazhab Hanafiyah, kedua hadis tersebut d}a‘i>f , karena status perawi
yaitu al-Juhri ketika ditanya masalah itu, ia menjawab tidak tahu. Selain itu hadis
tersebut dikhususkan kepada wali terhadap anak kecil yang tidak tahu dalam
bermuamalah. Makna , adalah ‚janganlah seorang wanita yang dewasa
mengawinkan wanita yang kecil ketika ada wali, dan janganlah wanita yang belum
dewasa menikahkan wanita yang sudah dewasa.‛Sedangkan makna hadis
, adalah ‚janganlah wanita yang belum dewasa menikahkan dirinya sendiri tanpa
ada wali,‛ Makna disini adalah ‚wanita yang belum dewasa‛. Hal itu sudah
maklum wanita yang belum dewasa tidak mampu bertindak sendiri, berbeda dengan
wanita yang sudah dewasa, ia mampu bertindak sendiri tanpa adanya wali. Lihat ‘Abd
al-Rah}ma>n al-Jazayri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-‘Arba’ah, Jilid V, (Beirut: Da>r al-
Fikr, 1990), 46. Lihat juga Ibn Rush, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}it, Juz
II (Beirut: Da> al-Fikr, t.th), 7.
53
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum
Pernikahan I), Cet. I (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2004), 75. Adapun dasar
penetapan harus adanya persetujuan gadis dalam pernikahan, menurut Abu Hanifah
adalah kasus di masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak pernikahan seorang
gadis yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak menyetujui, yakni kasus
yang terjadi pada al-Khansa’. dalam kasus ini, al-Khansa> menemui dan melaporkan
kasus yang menimpa dirinya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya
yang tidak ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya ‚apakah kamu diminta izin
(persetujuan)?‛ al-Khansa>’ menjawab ‚ saya tidak senang dengan pilihan bapak‛. Nabi
lalu menetapkan pernikahannya sebagai pernikahan yang tidak sah, seraya
bersabda/berpesan ‚nikahlah dengan orang yang kamu senangi‛ al-Khansa’
berkomentar, ‚bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita
mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya untuk
menikahkan anak wanitanya dan nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa,
‚nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda‛, seperti dicatat
sebelumnya. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 171. Lihat
Muh Akbar Ilyas, ‚Kebebasan Wanita dalam Memilih pasangan‛, diakses pada tanggal
84
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
85
Fatima
kesulitan tersebut, hakim boleh menjadi wali bagi mereka yang tidak
mempunyai wali nasab, atau sebagai ganti wali nasab yang mempersuit
pernikahan.57
Dalam kaitan persetujuan dan kebebasan wanita dalam memilih
pasangan (calon suami), Ima>m Ma>lik membedakan antara janda dengan
gadis. Untuk janda yang sudah dewasa harus ada persetujuan dengan
tegas sebelum akad nikah dilangsungkan. Adapun gadis dan janda yang
belum dewasa ada perbedaan antara bapak sebagai wali dengan wali di
luar bapak. Bapak sebagai wali menurut beliau berhak memaksa anak
gadisnya dan janda yang belum dewasa (hak ijba>r) untuk menikah,
sedangkan wali selain bapak tidak mempunyai hak ijba>r. Dengan kata
lain, seorang bapak boleh menikahkan anak gadis dan janda yang belum
dewasa walaupun tanpa persetujuan keduanya. Otoritas yang dimiliki
bapak itu lanjut Ima>m Ma>lik karena memang syarak mengkhususkan
demikian, atau karena kasih sayang seperti yang dimiliki seorang bapak
tidak akan dimiliki oleh wali yang lain.
Menurut Ima>m al-Sha>fi’i>, kehadiran wali menjadi salah satu
rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali dalam pernikahan tidak
sah. Bersamaan dengan ini, Ima>m al-Sha>fi’i> juga berpendapat bahwa,
wali dilarang mempersulit pernikahan wanita yang ada di bawah
perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu.58
Ima>m al-Sha>fi’i> membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan
wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yaitu: pertama, gadis
yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda. Untuk gadis
57
Dasar penetapannya menurut Malik adalah hadis larangan mempersuli dan
jangan mau dipersulit yaitu,
58
Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah surah al-Baqarah ayat 232 yang
berbunyi,
…
…
Ayat di atas diturunkan kepada Mu’qil Ibn Yasar ketika menolak menikahkan
saudara perempuannya yang ditalak raj’I oleh suaminya. Menurut imam syafi’i, ayat
tersebut menunjukkan status wali sebagai hal yang wajib dalam pernikahan. Sedangkan
dasar hadis yang dijadikan hujjah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Hiban yang
berbunyi,
86
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
yang belum dewasa, batasan umurnya adalah belum lima belas tahun
(15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam hal ini menurut beliau
boleh menikahkan anak gadis walaupun tanpa seizinnya, dengan syarat
pernikahan itu menguntungkan bagi anak gadis tersebut. Pandangan
beliau ini didasarkan pada tindakan Abu> Bakr yang menikahkan ‘Aisyah
kepada Nabi saw., dan umur ‘Aisyah ketika itu baru sekitar tujuh tahun.
Adapun pernikahan gadis dewasa, ada hak berimbang antara
bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada mafhu>m
mukha>lafah hadis yang menyatakan ‚janda lebih berhak terhadap
dirinya‛. Menurut Ima>m al-Sha>fi’i>, mafhu>m mukha>lafah hadis ini bapak
lebih berhak menentukan urusan pernikahan anak gadisnya,59 meskipun
dianjurkan musyawarah antara bapak dengan anak gadis tersebut. Dari
penjelasan Ima>m al-Sha>fi’i>, akhirnya bisa dilihat bahwa dalam kasus
gadis dewasa pun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak gadis.
Kesimpulan ini didukung oleh ungkapan al-Sha>fi‘i> sendiri yang
menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan (
tetapi hanya sekedar pilihan ( .60
Adapun pernikahan seorang janda menurut beliau harus ada
persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan
pada kasus pernikahan Khansa>’ yang ditolak Nabi saw. karena ia
dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak disenangi,
ditambah lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih dahulu. Dengan
demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan seorang janda lebih
berhak terhadap dirinya dari walinya. Ketetapan ini diperkuat hadis
lain.61 Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya ( ) berarti
59
Hal ini didukung pernyataan ulama Syafi‘iyyah bahwa apabila bapak
sebagai wali tidak perlu lagi meminta izin kepada anak gadisnya apabila telah
memenuhi ketujuh syarat berikut. Pertama, antara bapak dengan anak tidak ada
permusuhan. Kedua, antara si anak gadis dengan calon suaminya tidak ada
permusuhan. Ketiga, calon suaminya sekufu’. Keempat, calon suami sanggup
memberikan mahar. Kelima, mahar yang sesuai. Keenam, mahar merupakan mata uang
setempat, ketujuh mahar dibayar kontan, lihat ‘Abd al-Rah}ma>n al-Jaziri>, al-Fiqh ‘ala
al-Madha>hib al-‘Arba‘ah, Juz IV (Beirut: Da>r al-Afkar, t.th.), 35.
60
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum
Pernikahan I), 84.
61
Hadis yag dimaksud adalah,
87
Fatima
62
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum
Pernikahan I), 85.
63
). Lihat Wahbah al-Zuhaylî, al-
Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Vol. 9, 6572. Hadis ini menurut Ibn Quda>mah berdasarkan
laporan dari Ah}mad dan Yah}ya> termasuk hadis sahih. Konsekuensinya harus
dipengangi. Lihat Muwaffaq al-Di>n Abi> Muh}ammad ‘Abdulla>h bin Ah}mad bin
Quda>mah, al-Mughni> wa al-Sharh{ al-Kabi>r, edisi ke-1, juz VII, (Beirut: Da>r al-Fikr,
1401/1984), 338. Selanjutnya ditulis Ibn Quda>mah.
64
Hadis tersebut adalah sebagai berikut.
65
Dasar pengambilan dalil dari mazhab Hanbali adalah al-Qur’an surah al-Nu>r
ayat 32 yang berbunyi,
…
Serta surah al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi,
…
…
Dasar hukum selanjutnya adalah hadis yang diriwayatkan al-Juhri sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya , dan juga hadis berikut ini,
88
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Berdasarkan landasan tersebut, madhab Hanbali menetapkan bahwa wali menjadi salah
satu rukun nikah. Pernikahan tanpa wali tidak sah baik kepada orang yang sudah
dewasa atau belum dewasa. Lihat M. ‘Ali> al-Sayis dan Mah}mu>d Shalt}u>t}, Perbandingan
Madhab dalam Masalah Fiqh,Trans, Ismuha, Cet. ke VI (Jakarta: Bulan Bintang), 126-
127. Lihat pula Dedi Supriadi dan Mustafa, Perbandingan Hukum Perkwinan di Dunia
Islam,17-19
66
Ibn Quda>mah, al-Mugni>, VII, 368.
67
Kasus Ma’qal ini adalah kasus yang menjadi seba turunnya surah al-Baqarah
Ayat 232, (larangan bagi wali mempersulit pernikahan yang ingin kembali kepada
bekas istrinya, tetapi walinya yakni saudara si wanita sama sekali menolak).
68
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara,181.
89
Fatima
69
Ibn Quda>mah, al-Mughni>, VII, 387.
70
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara,182-183.
90
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
71
‚Wali Pernikahan Menurut Imam Mazhab‛, diakses pada tanggal16 Juli
2012 melalui http://awangjunior.blogspot.com/2011/11/wali-pernikahan-menurut-
imam-mazhab.html
72
Hoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 193. Lihat juga Tahir
Mahmood, Personal Law, 78-79.
73
Tahir Mahmood, Personal Law, 144. Lihat juga Hoiruddin Nasution,Status
Wanita di Asia Tenggara, 194
91
Fatima
74
UU Cyprus Tahun 1951 Ayat (3). Lihat Tahir Mahmood , Family Law
Reform, 29
75
UU Somalia Tahun 1975 Pasal 16 dan 17. Lihat Tahir Mahmood, Personal
Law, 258. Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara,195.
76
UU Lebanon Tahun 19 62 Pasal 8. Hoiruddin Nasution, Status Wanita di
Asia Tenggara, 192.
77
UU Druze Lebanon No. 24 Tahun 1948 Pasal 6. Khoiruddin Nasution,
Status Wanita di Asia Tenggara, 192-193.
78
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 194.
79
UU Irak No.188 Tahun 1959, Pasal 9 ayat (1), (2) dan (3). Lihat Hoiruddin
Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 195
92
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
80
Tahir Mahmood, Personal Law, 120.
81
UU Aljazair Pasal 11
82
Bapak boleh menolak pernikahan anak gadisnya, jika penolakan tersebut
untuk kepentingan anaknya. Lihat UU Aljazair Pasal 12
83
Hoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 195-196.
84
UU Libya No. 10 Tahun 1984 Pasal 8.
85
Seorang wali harus memenuhi tiga syarat yaitu dewasa, muslim dan waras.
Jika tidak memenuhi syarat tersebut , maka digantikan dengan wali ain sesuai dengan
urutan madhab Maliki. Lihat tahir Mahmood, Family Law Reform, 72.
86
Persetujuan gadis yang sudah dewasa dan janda dinyatakan dengan secara
tegas. Sedangkan persetujuan gadis yang belum cukup umur cukup dengan diamnya.
Persetujuan ini penting untuk menentukan menentukan pilihan dan jumlah mahar. lihat
Tahir mahmood, Personal Law. 137.
87
UU Republik Yaman No. 20 Tahun 1992 Pasal 23. Lihat Khoiruddin
Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 197.
88
Beberapa UU negara bagian Malaysia, seperti UU untuk orang Islam
Selangor 1952, UU Islam Trengganu 1955, UU Agama Islam Pahang 1956, UU untuk
Orang Islam Malaka 1959, UU untuk Orang Islam Pulau Pinang 1959, UU Untuk
Orang Islam Negeri Sembilan 1960, UU untuk Orang Kedah 1962, UU untuk Orang
Perlis 1964, UU untuk Orang Perak 1964, UU Mahkamah Shari>’ah dan Sebab-sebab
Hal Ihwal Suami-Isteri Kelantan 1966 dan Majelis Adat dan Melayu kelantan 1966 dan
UU Islam Johor 1978, pada intinya mensyaratkan wali dalam pernikahan serta adanya
hak Hakim untuk mengganti status wali nasab dalam kasus tertentu, begitu juga
tentang persetujuan perempuan dalam menetukan pilihan jodohnya, lihat Status
93
Fatima
94
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil, dan baligh.93
(2) Wali nikah terdiri dari:
a. Wali nasab94
b. Wali hakim.
Umumnya yang menjadi wali nikah adalah orang tua kandung.
Jika memang orang tua berhalangan, bisa diwakilkan oleh kakek,
93
Pasal 20 angka (1) ini telah ditetapkan di dalam fikih, lebih-lebih lagi di
dalam mazhab Syafi’i. Menurut Imam al-Bâjûrî, syarat yang harus dipenuhi bagi
seorang wali adalah 1. Islam, 2. Baligh, 3. Berakal, 4. Merdeka, 5. Lelaki, 6. Adil (tidak
fasik). Dari uraian Imam al-Bâjûrî ini ada dua yang tidak dicantumkan KHI; yaitu
merdeka dan adil. Merdeka tidak dicantumkan karena memandang status merdeka
sudah pasti wujud dan tidak perlu diqayyidkan karena memandang sekarang sudah
tidak ada perhambaan. Sedangakan status adil tidak dicantumkan karena berpegangan
pada pendapat kedua di dalam mazhab Syafi’i, bahwa wali fasik tetap dapat menjadi
wali nikah. Jala>l al-Di>n al-Mah}alli>, H}a>shiyah al-Mah}alli> ‘ala> Minh}a>j al-T}a>libi>n, vol. 3,
(Semarang: Thaha> Putra, t.th.), 227.
94
Sebagaimana Bunyi pasal 21 KHI yang menyatakan, (1) Wali nasab terdiri
dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai
wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat
paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki
mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
dan keturunan laki-laki mereka. (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat
beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak
menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita. (3) Ababila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling
berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. (4) Apabila
dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung
atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah,
dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pada dasarnya, Pasal 21 ini semuanya menetapi ketentuan yang terdapat di
dalam fikih mazhab Syafi’i. Hanya saja, sistematika KHI menggunakan pembagian
kelompok agar mudah untuk difahami. Sedangkan sistematika yang biasa digunakan
fikih mazhab Syafi’i yang klasik adalah langsung memberikan urutan wali (
). Perlu untuk dicermati, KHI tetap konsisten menetapi ketentuan fikih Syafi’i di
sini, karena pada angka (2), (3), dan (4) sudah ada klausul tertib sesuai urutan seperti
dalam fikih Syafi’i sendiri. Lihat al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-`Arba’ah, 827;
`Ibra>hi>m al-Ba>ju>ri>, H}a>shiyah al-Ba>ju>ri ‘ala> Ibn Qa>sim al-Ghazzi>, Vol. 2 (Surabaya:
Hidâyah, t.th.), 105. Muh}ammad al-Shirbi>ni> al-H}a>t}ib, al-Iqna>’ vol. 2, (Surabaya: al-
Hidâyah, t.th.), 125
95
Fatima
96
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
99
Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Fokusmedia, 2005), 13.
100
Lihat Peraturan Menteri Agama RI No. 2/1987 Pasal 6 Ayat (2), Pasal 23
Ayat (2) KHI.
97
Fatima
Tabel: 4.4.
Perkara Permohonan Wali ‘ad}al yang diterima dan diputus
Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011
No Pengadilan Agama DKI Jakarta Perkara Di Perkara Diputus
terima
1 Jakarta Utara 4 3
2 Jakarta Selatan 21 13
3 Jakarta Timur 14 8
4 Jakarta Pusat 6 2
5 Jakarta Barat 14 12
Jumlah 59 34
Sumber: Pribadi Dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-
101
2011.
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari tahun 2010 sampai 2011
permohonan wali ‘ad}al yang diajukan ke PA di seluruh DKI Jakarta
mencapai 59 kasus, 34 kasus sudah kabulkan, sedangkan sisanya dalam
proses persidangan. Dari keseluruhan permohonan wali ‘ad}al yang
diajukan ke PA hampir 99% dikabulkan,102 dan inti dari masing-masing
putusan tersebut tidak ada perbedaan yang begitu mencolok. Hal ini
dapat dilihat pada putusal-putusan di bawah ini.
- Deskripsi Duduk Perkara dan Amar Penetapan Wali ‘ad}al
Putusan pertama, kasus yang dialami Alya binti Suhendri103,
umur 24 tahun (selanjutnya disebut Pemohon), telah mengajukan surat
permohonan wali ‘ad}al ke Pengadilan Agama dengan register perkara
No. 91/Pdt.P/2011/PA.JB.
101
Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta
Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛,(Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat
pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach
Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. Lihat Ujang Mukhlis,
‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan
Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30
Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).
Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat
Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011.
102
Wawancara dengan M. Rizal (hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat), di
ruang hakim. tanggal 18 Juli 2012.
103
Identitas disembunyikan
98
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
104
Lihat Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat tentang Putusan Penetapan
wali ‘ad}al No. 91/Pdt.P/2011/PA.JB.
99
Fatima
105
Lihat Arsip Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang Putusan Penetapan
wali ‘ad}al No. 68/Pdt.P/2010/PAJP.
100
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
demikian erat dan sulit untuk dipisahkan karena sudah kenal lama dan
mulai dekat sejak tahun 2006. Calon suami Pemohon sudah pernah
melamar Pemohon melalui orang tua Pemohon sebanyak 2 (dua) kali,
namun lamaran tersebut tidak diterima sama sekali oleh orang tua
Pemohon dengan alasan perbedaan status pendidikan dan pekerjaan
antara calon suami Pemohon dengan Pemohon. Pemohon berpendapat
penolakan ayah kandung Pemohon tersebut tidak berdasar dan mengada-
ngada dan tidak mendukung kebahagiaan Pemohon sebagai anak
kandungnya, oleh karena itu Pemohon tetap bertekad untuk
melangsungkan pernikahan dengan calon suami Pemohon dengan alasan
keduanya sama-sama dewasa dan siap mengarungi rumah tangga.
Pemohon sangat khawatir apabila antara Pemohon dengan calon suami
Pemohon tidak segera melangsungkan pernikahan akan terjadi hal-hal
yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
Dalam proses persidangan ayah kandung Pemohon tidak
menghadiri persidangan, walaupun telah dipanggil secara resmi dan
patut berdasarkan Relaas Nomor 12/Pdt.P/2012/PAJB yang dibacakan
dipersidangan. Kemudian dibacakan surah permohonan Pemohon, yang
isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon. Berdasarkan bukti-bukti dan
saksi-saksi yang dihadirkan dipersidangan menunjukkan bahwa memang
benar ayah kandung Pemohon menolak menikahkan Pemohon dengan
calon suaminya dengan alasan perbedaan status pendidikan dan
pekerjaan.
Setelah Majelis Hakim meneliti secara seksama dalil-dalil yang
diajukan Pemohon, bukti-bukti dipersidangan serta mendengar kedua
saksi yang telah memenuhi syarat formil kesaksian yaitu disampaikan di
bawah sumpah di muka persidangan, secara substansial kesaksian ke dua
saksi tersebut saling mendukung satu sama lain dan bersesuaian
sehingga kesaksian tersebut dapat diterima dan dijadikan dasar dalam
mempertimbangkan dalil Pemohon. Berdasarkan hal tesebut Majelis
hakim menetapkan;
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menetapkan ‘‘ad}alnya wali pemohon
3. Menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama di tempat wilayah
Pemohon
4. Membebankan Pemohon untuk membayar biaya perkara.106
106
Lihat Arsip Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang Putusan Penetapan
wali ‘ad}al No. 12/Pdt.P/2012/PA JB.
101
Fatima
102
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
110
A. Mukti Atrto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 238.
111
R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan (Bandung: Karya Nusantara,1979),
119.
103
Fatima
112
A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 161.
113
A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 164.
114
Wawancara dengan M. Rizal (hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat), di
ruang hakim. tanggal 18 Juli 2012.
104
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
kerap kali menjadi faktor penyebab orang tua enggan menjadi wali
sebagaimana perkara No. 12/Pdt.P/2012/PA JB.
Pada umumnya orang tua memerhatikan dengan seksama
mengenai status calon menantunya, yang menjadi pertimbangan, apakah
jejaka atau duda. Jika duda pun, masih dipertimbangkan, duda cerai atau
duda mati. Yang kerap menjadi masalah jika calon suami anak tersebut
akan menikah dengan duda cerai. Umumnya orang tua masih sulit
menerima jika calon menantunya adalah duda cerai, apalagi jika anaknya
masih gadis. Kecurigaan-kecurigaan dan kekhawatiran pasti muncul.
Apa penyebab perceraian, bagaimana jika kelak anaknya juga menjadi
korban perceraian dan lain sebagainya. Sikap ini terkadang orang tua
tidak bisa luluh, walaupun anak gadisnya telah berusaha meyakinkan
bapaknya bahwa calon suaminya adalah yang terbaik. Dan jika hati
bapak tidak bisa luluh, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan
adalah mengajuan permohonan wali ‘ad}al ke PA sebagaimana
permohonan No.68/Pdt.P/2010/PAJP.
Dari uraian di atas, jelas bahwa wali pemohon tidak
menggunakan haknya, dan berarti wali pemohon harus dinyatakan ‘ad}al,
hal ini dikuatkan juga dengan ketidakhadiran wali dalam persidangan
sebagaimana perkara No. 12/Pdt.P/2012/PAJB, dan perkara
No.68/Pdt.P/2010/PAJP. Dalam hal ini wali tersebut dinyatakan zalim,
karena penolakannya tersebut tanpa alasan yang bisa diterima syarak
berbeda halnya jika penolakan wali dikarenakan suatu alasan yang dapat
diterima syarak, maka penolakan seorang wali itu tidak menjadikannya
sebagai wali‘ad}al.
Dalam hal ini hakim memutus perkara tersebut dengan seadil-
adilnya, sebagaimana setiap putusan atau penetapan hakim harus
bernilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Secara umum
hakim telah tepat dalam memutuskan perkara wali ‘ad}al, hal ini terlihat
dari dasar dan pertimbangan hakim dengan merujuk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dilengkapi dengan pendapat para
ulama yang tertera dalam kitab-kitab fikih.
C. H{ad}an> ah dan Problematika Penyeselesaiannya
Orang tua adalah orang yang pertama yang bertangungjawab
untuk membayarkan hak-hak anak turunan mereka. Namun tidak jarang
tugas seperti itu menjadi terputus, baik atas kehendak suami istri
maupun di luar kehendak mereka. Suatu perceraian, khusus pada cerai
hidup, meskipun barangkali dengan perceraian tersebut bisa melegakan
hati kedua belah pihak, tetapi sudah pasti merupakan pengalaman pahit
105
Fatima
bagi sang anak. Dalam hukum Islam, segala kemungkinan negatif secara
teoritis telah diantisipasi, dengan menetapkan aturan-aturan mengenai
h}ad}a>nah.115
Para ulama sepakat bahwasanya hukum h}ad}a>nah, mendidik dan
merawat anak wajib.116 Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah
h}ad}a>nah menjadi hak orang tua atau hak anak. Ulama mazhab Hanafi>
berpendapat bahwa hak h}ad}a>nah itu menjadi hak pengasuh baik pria
maupun wanita, akan tetapi lebih diutamakan kepada pihak wanita.
Menurut jumhur ulama, h}ad}a>nah itu menjadi hak bersama antara orang
tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah al-Zuhayli>, hak h}ad}a>nah adalah
hak berserikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran, maka
yang didahulukan adalah hak atau kepentingan anak.117 Misalnya jika
terjadi perceraian antara suami istri sedangkan mereka mempunyai anak
di bawah umur, maka hak h}ad}a>nah ada di pihak ibu118selama tidak ada
suatu hal yang dapat mencegahnya.119 Perlu dicatat, keunggulan ibu ini
tidak diberlakukan untuk selamanya. Ini berlaku untuk anak-anak yang
115
Secara etimologi had}anah adalah masdar dari kata ‚h}ad}ana wa h}ud}a>nah‛,
yang artinya asuhan atau pemeliharaan. Sedangkan secara terminologi adalah
pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya, pendidikannya
serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang
membahayakannya. Lihat ‘Abd al-Rah}ma>n Al-Jazi>ri, al-Fiqh ‘ala> Madha>hib al-
Arba’ah Qiwam al-Ah}wa>l al-Shakhs}iyah, Juz. IV (Beirut : Dar> al- Fikr, 1990), 594.
Lihat juga Al-S{an’a>ni>, Subul al-Sala>m, Juz III (Kairo: Da>r Ah}ya>’ al-Tura>th al-‘Ara>bi>,
1379H/ 1960 M, 227.
116
Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal misalnya masalah
ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Dalam
konsep Islam, tanggung jawab ekonomi berada dipundak suami sebagai kepala tangga.
Meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa isteri dapat membantu
suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting
adalah kerja sama dan saling tolong-menolong antara suami-isteri dalam memelihara
anak, dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum
Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2003), 235.
117
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 293.
118
Menurut Muhammad Baqir al-Habsyi, alasan ibu lebih berhak dari pada
ayah adalah karena ibu memiliki kemampuan untuk mendidik dan memperhatikan
keperluan anak dalam usianya yang masih kecil, dan juga lebih sabar dan teliti dari
pada ayah. Di samping itu pada umumnya ibu memiliki waktu yang lebih lapang untuk
melaksanakan tugasnya tersebut dibanding dengan ayah yang memiliki banyak
kesibukan mencari nafkah. Lihat Muh}ammad Baqir al-Habshi>, Fiqh Praktis Menurut
al-Qura>n, Sunnah dan Pendapat Para Ulama (Bandung: Mizan, 2002), 237.
119
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III, (Dar> al-Fath} al-‘Ara>bi>, 1418 H/1998
M), 107. Lihat Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1418H/1997), 7298.
106
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
120
Mumayyiz diperkirakan berumur sekitar 7atau 8 tahun. Pada masa
mumayyiz seorang anak telah mampu hidup mandiri yang ditandai dengan kemampuan
membedakan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan dirinya, dan telah
mampu makan, minum dan berpakaian sendiri. Lihat Satria Effendi M. Zain,
Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana,2004), 222.
121
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 117.
122
Alasan mereka adalah sabda Nabi yang memerintahkan seorang anak shalat
apabila sudah mencapai usia 7 tahun. Lihat Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum
Pengangkatan Anak Perspektif Islam, 126. Baca Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m
wa Adillatuh, Juz X, 7322.
123
Pengikut mazhab Hanafi generasi terakhir menetapkan masa berakhir
h}ad}a>nah 19 (Sembilan belas) tahun untuk anak pria dan 11 (sebelas) tahun bagi anak
wanita. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian fiqh Lengkap (Jakarta:
Rajawali Press, 2009), 224.
124
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III, 114.
125
Redaksi riwayat tersebut adalah;
107
Fatima
126
Redaksi hadis tersebut adalah;
Berdasarkan hadis tersebut, ibu lebih berhak dari pada ayah selama ia tidak
menikah dengan laki-laki lain. Apabila ibunya menikah, peraktis hak h}ad}a>nah beralih
kepada ayahnya. Alasan yang dapat dikemukakan adalah apabila ibu tersebut menikah,
maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru,
mengalahkan atau mengorbankan anak kandungnya sendiri. Lihat Abu> Da>wu>d, Sunan
Abi> Da>wu>d, Kita>b al-T}ala>q, Ba>b Man Ah}aqqu bi al-Wa>lad, Juz II (Beirut: Da>r al-
Maktabah al-‘A<lamiyah, 1996), 707-708.
127
Fukaha Hanafiyah juga menetapkan bahwa setelah anak itu mumayyiz
sampai usia baligh, kewajiban h}ad}a>nah berpindah kepada kerabat laki-laki, dengan
pertimbangan bahwa kerabat laki-laki lebih layak untuk membimbing anak pada masa
itu. Alasan lainnya adalah ketidaklayakan anak itu sendiri untuk diberi hak
menentukan pilihan, karena anak pada umur itu akan lebih cenderung memilih tempat
di mana ia akan lebih bebas untuk berbuat sesuatu kendatipun belum tentu
menguntungkan dirinya. Oleh sebab itu masalah ini tidak layak untuk diserahkan pada
pilihan anak itu sendiri. Ketetapan fukaha Hanafiyah tersebut berlaku untuk anak laki-
laki. Sedangkan untuk anak wanita menurut Abu> Hani>fah hak pemeliharannya tetap
ditangan ibu sampai anak menikah. Lihat, Satria Effendi M. Zain, Problematika
Hukum Keluarga Islam Kontemporer, 223. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jil. III, 118.
Lihat Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7322-7324.
128
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7323.
108
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
109
Fatima
131
Huzaemah tahido Yanggo, Fiqh Anak, 113.
132
Zakariyah Ahmad Al- Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, trans.
Chadidja Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 63.
133
Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7323.
134
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqh Anak, 115.
135
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqh Anak, 109.
110
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
111
Fatima
112
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
142
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Islam (Bandung:Pustaka al-Fikriis, 2009), 118-119.
143
Berdasarkan hukum yang berlaku, usia kedewasaan seorang anak berbeda
antara Undang-undang yang satu dengan Undang-undang lainnya misanya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 330 ayat (1) batas usia dewasa
dengan telah dewasa adalah usia 21 tahun, atau di bawah 21 dan telah menikah. Dalam
Undang-undang Nomor 3 tahun 1977 tentang Peradilan Anak, Pasal 4 ayat (1)
menjelaskan bahwa anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah
sekurang-kurangnya 8 tahun, tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah
113
Fatima
114
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
ayahnya,145 meskipun bisa jadi ibunya lebih mampu. Dalam hal ini KHI
tidak menjelaskan tentang status ibunya.
Perlu difahami bahwa pemeliharaan anak sebagaimana Pasal 105
poin (a) KHI tidak serta merta berada di pihak ibunya. Adakalanya
hakim memutuskan berlainan dengan ketentuan tersebut. Hal ini bisa
saja terjadi tatkala hakim melihat dan mempunyai pertibangan lain
bahwa ayahnya lebih tepat dari pada ibunya.146 Misalnya dalam kasus
(Alm) Aji Masa’id dan Reza. Seharusnya menurut ketentuan, Reza
memiliki hak mengasuh anaknya, karena anaknya masih di bawah umur
pada waktu itu. Akan tetapi hakim berpandangan lain sehingga Aji
Masa’id menjadi hak asuh bagi kedua putrinya.
Begitu pula kasus Tamara Blezyinki dengan Teuku Rafly Pasya
dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 349K/AG/2006 tanggal 3
Januari 2007 mengenai kasus perceraian, di mana salah satu amar
putusannya menetapkan pengasuhan anak bernama Rassya Isslamay
Pasya berada dalam pengasuhan ayahnya. Hal tersebut memberikan
corak hukum tersendiri dalam memberikan pertimbangan hukum
pengasuhan anak di luar dari yang telah ditetapkan KHI.147 Beberapa
permasalahan yang muncul di luar jangkauan Pasal di atas adalah
pertama, pengasuhan anak ketika orang tuanya bercerai yang disebabkan
pihak istri kembali ke agamanya semula (murtad). Kedua, kemungkinan
adanya penyimpangan terhadap ketentuan tertulis tentang pengasuhan
anak. Melihat kejadian tersebut pendidikan dan kesejahteraan anak
145
Ketentuan ini didasarkan kepada QS. al-Baqarah ayat 233 yaitu:
146
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Islam, 121-122.
147
Sugiri Permana, ‚Paradigma Baru dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh
Anak Pada Peradilan Agama‛, 3. Di akses melalui
http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/ pada tanggal 10 juni 2012.
115
Fatima
harus diutamakan, cara yang baik dan paling sesuai dengan keadaan
anak harus diutamakan.148
Perlu dicermati pula Pasal 105 poin (a) dalam masalah mumayyiz
atau belum mumayyiz adalah bukan terfokus pada titik sentral usia
seseorang, tetapi titik sentralnya adalah terkait dengan kecerdasan anak
itu sendiri. Boleh jadi amatan para perumus KHI, anak-anak di
Indonesia baru dapat membedakan atau sudah mampu mengeluarkan
pendapatnya setelah usia 12 tahun.
Hak memilih dalam h}ad}a>nah jika dikaitkan dengan tingkat
kecerdasan seorang anak, maka sengketa hak asuh anak dapat dengan
mudah diselesaikan dengan meminta pendapat anak tersebut meskipun
belum mencapai usia 12 tahun, dengan terlebih dahulu meminta
pendapat psikolog untuk menditeksi kecerdasan anak tersebut. Jadi
angka 12 tahun sebenarnya bukan angka yang paten.
Pada praktiknya anak yang umur 9 atau 10 tahun hakim
memerintahkan kepada pihak yang berperkara untuk menghadirkan anak
mereka untuk didengar pendapatnya. Mumayyiznya seorang anak tidak
ditentukan dengan umur, karena anak di Indonesia di bawah umur 12
tahun sudah dapat dikatakan mumayyiz, bahkan tak jarang baik hakim
maupun pihak yang berperkara mendatangkan sendiri seorang ahli
psikolog baik untuk menentukan apakah anak tersebut dengan
kecerdasannya sudah dianggap mumayyiz atau tidak.149 Hal ini sesuai
dengan pasal 10 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
menyatakan, ‚Setiap anak berhak mengatakan dan didengar
148
Ibn Qayyim menerangkan, bahwa Ibn Taymiyyah memberi contoh, ada
sepasang ibu dan ayah yang telah bercerai merebutkan hak asuhnya di muka hakim,
kemudian hakim memerintahkan anak tersebut untuk memilih ayah atau ibunya. Anak
tersebut memilih ayahnya, tetapi ibunya kurang puas dan memohon kepada hakim
untuk menanyakan kepada anaknya alasan memilih ayahnya. Hakim kemudian
menayakan kepada anak tersebut, anak tersebut menjawab, bahwa ibunya setiap hari
menyuruhnya untuh pergi mengaji, menulis, sedangkan gurunya sangat keras, ia sering
dipaksa belajar bahkan sering pula dipukul. Sedangkan ayahnya sangat sayang
kepadanya, beliau membiarkan anak tersebut bermain sesuka hati. Setelah mendengar
keterangan anak tersebut, maka hakim memutuskan bahwa anak tersebut berada dalam
pengasuhan ibunya. Hal ini menunjukkan bahwa hakim dapat melihat hal ihwal anak
tersebut, kemudian menetapkan keputusan yang terbaik untuk anak tersebut. Lihat
Zakariyah Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, 62-64.
149
Wawancara pribadi dengan Tamah (hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan), pada tanggal 23 Mei 2012.
116
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Sumber: Pribadi dari Laporan Tahunan Peradilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-
151
2011.
150
Hal ini sesuai bunyi Pasal 59 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi; (1).Setiap anak berhak untuk tidak
dipisahan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anaknya sendiri,
kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa
pemisahan itu demi kepentingan terbaik bagi anak. (2). Dalam keadaan sebagaimana
yang dimaksud ayat (1) hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan
pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.
Penjelasan selanjutnya lihat Saprudin, ‚Khadanah dan Problematika Penyelesaiannya‛,
6. diakses pada tanggal 10 juni 2012 melalui http://www.badilag.net/artikel/
151
Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta
Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat
pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach
117
Fatima
Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. LIihat Ujang Mukhlis,
‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan
Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30
Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).
Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat
Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011.
152
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. 1, (Medan: Zahir
Trading, 1975), 161.
118
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
153
Dokementasi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor
1784/Pdt.G/2011/PAJS.
119
Fatima
154
Dokumentasi Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT.
120
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
putusan yang paling tepat dan memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah
pihak, karena apabila perkawinan tersebut tidak diceraikan, maka
perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat makin
berkelanjutan yang mengakibatkan semakin berat beban penderitaan
lahir dan batin kedua belah pihak.
Dalam hal pemeliharaan hak asuh anak yang belum mumayyiz,
hakim meggunakan pasal 105 huruf (a) KHI dan Pasal 2 huruf (b) UU
No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak155sebagai dasar
penetapan hak pemeliharan anak di bawah kekuasaan Penggugat demi
kepentingan yang terbaik untuk anak.156
Pelaksanaan hak asuh anak, baik oleh ibu ataupun ayahnya, harus
disertai oleh jaminan keselamatan jasmani dan rohani seorang anak
meskipun biaya kehidupan anak telah tercukupi. Apabila pemegang hak
asuh anak, baik ayah maupun ibunya, ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, maka kerabat yang bersangkutan
dapat meminta kepada Pengadilan Agama untuk memindahkan hak asuh
anak tersebut kepada kerabat lain yang mempunyai hak asuh.157
Sebagaimana kasus Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT seharusnya
hak asuh anak diberikan pada ibunya sesuai pasal 105 huruf (a) KHI.
Bedasarkan bukti-bukti di persidangan menunjukkan bahwa Tergugat
selaku ibu kandungnya tidak layak untuk untuk menerima hak asuh
dikarenakan Tergugat tidak memberikan perhatian dan kasih sayang
terhadap anak-anaknya, belum lagi tindakan asusila Tergugat yang
sering kali memberikan contoh yang tidak baik kepada anaknya hal ini
tentunya akan mempengaruhi perkembangan jiwa seorang anak.
Masalah h}ad}a>nah tergantung fakta-fakta dipersidangan, tidak
hanya mendengarkan keinginan orang tuannya, akan tetapi pendapat
anak harus didengar dalam persidangan. Dari hasil wawancara penulis
dengan beberapa hakim Pengadilan Agama DKI Jakarta diantanya Rizal,
salah seorang hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Menuturkan
155
Pasal 2 Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: (a) non diskriminasi, (b)
kepentingan yang terbaik bagi anak (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap pendapat anak.
156
Dokumentasi Putusan Nomor 1784/Pdt.G/2009/ PAJS.
157
Dadang Sukandar, ‚Hak Asuh Anak Ketika Orang Tuanya Bercerai‛,
diakses pada tanggal 2 September 2012 melalui
http://hukum.kompasiana.com/2012/04/13/hak-asuh-anak-ketika-orang-tuanya-
bercerai/
121
Fatima
122
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
161
Dalam KHI dinyatakan bahwa ‚hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggakan (tirkah) pewaris,
dengan menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing. Menurut Muhammad Amin Suma dalam bukunya Hukum Keluarga
Islam di Dunia Islam merumuskan, hukum waris adalah hukum yang mengatur
peralihan pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris,
mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksakan. Lihat KHI
bab II Pasal 171 (a). Lihat Muhammad Amin suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005), 108.
162
Abu Yazid, ed. Fiqh Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana
Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 312.
163
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), 356.
164
Berdasarkan su>rah an-Nisa>’ tersebut, bagian yang didapat oleh laki-laki dan
wanita terdapat dua bentuk pertama, laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau
dua kali lipat dibandingkan dengan wanita dalam kasus yang sama yaitu anak laki-laki
dan anak wanita, saudara laki-laki dan wanita. Sedangkan duda mendapat dua kali
bagian yang diperoleh oleh janda yaitu ½ banding ¼ bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan ¼ banding 1/8 bila pewaris meninggalkan anak.laki-laki Kedua, mendapat
jumlah yang sama dengan wanita, seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat 1/6 dalam
keadaan pewaris meninggalkan anak kandung. Begitu pula saudara laki-laki dan wanita
sama-sama mendapat 1/6 dalam kasus pewaris adalah seseorang yang tidak memiliki
ahli waris langsung.
123
Fatima
124
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
172
Departemen Agama, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jil. II (Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia, 1991), 129.
173
Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-laki dalam
Penafsiran (Yogyakarta: LKis, 2002), 204.
174
Fakhruddi>n Al-Ra>zi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r wa al-Mafa>tih} al-Gha’i>b, 214.
175
Shiha>buddi>n Mah{mu>d al-‘Alu>si>, Ru>h al-Ma’a>ni> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-
‘Az{i>m, Jil. 2 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422H/2001 M), 426-427.
176
Muh}ammad Rashi>d Rid{a>, Tafsi>r al-Mana>r, Jil. IV (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th),
406. Lihat juga., Ibn Jari>r Al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n (al-Qa>hirah:
125
Fatima
al-Halabi>, 1954, 495-496. Bandingkan dengan pendapat Muhammad Ali> al-S}abu>ni, al-
Mawa>ri>th fi al-Shari>’ah al-Isla>miyah fi> D}aw’ al-Kita>b wa al-Sunnah (Makkah: Alam
al-Kutub, 1305 H/1985 M), 17.
177
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia (Jakarta:Sinar
Grafika, 2008), 57-58.
178
Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Hukum dengan
Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 75.
179
Amir Syarifuddin, Kewarisan Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2004), 24-
26.
126
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
180
Muh}ammad Rashi>d Rid{a>, Tafsi>r al-Mana>r, 333.
181
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Toward an Islamic Reformation (New York:
Syracuse University Press, 1999), 176. Lihat Abdullahi Ahmed an-Na’im‚, Shari>’ah
dan Isu-isu HAM‛ dalam Charles Huzman, ed. Wacana Islam Liberal: Pemikiran
Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003), 387-388.
Bandingkan Supadi ‚Pandangan Abdullahi Ahmed an-Na’im, tentang Shari’ah dan
Penegakan HAM‛, dalam Ahkam Jurnal Ilmu Shari’ah, Vol. XI, Nomor 2 (Jakarta:
Fakultas Shari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), 230.
182
Pendapat fenomenal lainnya adalah pendapat Hazairin. Pendapat kedua
tokoh ini mempunyai kontribusi besar dalam sejarah hukum kewarisan Indonesia.
Perbedaannya adalah ijtihad Hazairin mengarah kepada persoalan bilateral sebagai
pengganti patrilinial dimana keutamaan garis keturunan adalah ibu dan pabak tanpa
menggugat perbandingan bagian antara pria dan wanita 2:1. Sedangkan Munawair
Sjadzali memfokuskannya pada perhatian kepada konsep ‚egalitarianisme‛ sebagai
konsep yang rasional dalam kehidupan sosial dengan ditandai bagian porsi 1:1 antara
pria dan wanita. Dengan kata lain Hazairin menggugat pola penafsiran teks-teks suci
selama ini terhadap hukum waris yang sebenarya bilateral menjadi patrilinial melewati
konteks kesejarahannya, maka Munawair Sjadzali menggugat konteks keadilan lama
ketika berhadapan dengan konsekunsi-konsekuensi baru zaman dalam hidupnya sosial
yang dianggapnya berbeda. Lihat A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum
Waris Islam Transformatif (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), 5-6.
183
Bendapat Munawir Sjadzali ini didasarkan pada prilaku Umar bin Khat{ab
yang ditentang oleh beberapa sahabat diantaranya Bilal. Dalam sejarah Islam menurut
Munawir, Umar tidak membagikan harta rampasan perang berupa tanah kepada
prajurit Islam dan tidak memberikan zakat kepada muallaf (yang baru masuk Islam).
Argumennya adalah karena subtansi ajaran Islam dan situasi yang berubah yang
127
Fatima
hendak meningkatkan hak dan derajat wanita dengan cara wanita berhak
mendapatkan warisan meskipun hanya setengah. Kenapa tidak sekaligus
saja wanita diberi bagian yang sama dengan pria, memang tidak jelas,
tetapi ajaran Islam memang sering diberlakukan secara bertahap seperti
pengharaman minum khamr. Kehidupan modern sekarang ini telah
memberikan kewajiban yang lebih besar kepada wanita di banding pada
masa lalu, sehingga wanita kini dapat memberikan peran yang sama
dengan pria dalam mayarakat, maka logis saja kalau hak-haknya dalam
warisan juga ditingkatkan agar sama dengan pria.184
Sebenarnya inti dari QS. al-Nisa>’ Ayat 11, adalah ditegakkannya
keadilan terhadap wanita dalam hal waris.185 Upaya Islam untuk
meningkatkan hak waris wanita seyogyanya tidak berhenti, karena
situasi saat ini memberikan kewajiban atau peran kepada wanita lebih
besar dibandingkan dengan masa Islam lahir. Dengan demikian sangat
logis jika hak waris wanita ditingkatkan menjadi sama dengan bagian
pria yaitu 1:1.186
Berbeda dengan pendapat ahli hukum Indonesia lainnya, Amin
Suma memberi komentar panjang lebar mengenai hal ini. Menurutnya,
dalam praktik masyarakat, banyak kaum wanita yang menjadi tulang
punggung ekonomi sebuah keluarga. Ini merupakan kenyataan sosiologis
yang terjadi, bukan karena tuntunan, apalagi tuntutan hukum Islam,
tetapi lebih karena kerelaan wanita itu sendiri dalam rangka kerja sama,
yang sama sekali tidak di larang dalam hukum Islam. Hanya saja
partisipasi aktif kaum wanita dalam menyejahterakan ekonomi rumah
menghendakinya. yaitu dalam kasus yang pertama sesuai dengan prinsip keadilan
ekonomi dalam al-Qur’a>n, untuk kasus yang kedua karena saat itu posisi Islam sudah
kuat tisak seperti masa Nabi. Lihat Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam,
dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 1-11. M.
Wahyuni Nafis, dkk. Kontektualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Munawir Sjadzali
(Jakarta: Paramadina, 1995), 93-95. Sukron Kamil dkk.Shari>’ah Isam dan HAM:
Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non
Muslim (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hadayatullah Jakarta, 2007), 58-59.
184
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1998), 160.
185
M. Atho Mudzhar dengan mengutip pendapat Ali> al-S{a>bu>ni> menyatakan,
sebelum Islam datang, wanita tidak mendapatkan warisan, untuk meningkatkan harkat
dan martabat wanita, Islam datang dengan memberikan hak waris, meski hanya
setengah dari hak waris pria. Lihat Sukron Kamil dkk. Shari’ah Islam dan HAM:
Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non
Muslim, 59.
186
M. Wahyuni Nafis, dkk. Kontektualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Munawir
Sjadzal, 96, 311-315.
128
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
187
Muhammad Amin suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 124-125.
Bandingkan dengan pendapat A. Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, 373-374.
188
Abu Yazid, ed. Fiqh Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana
Hukum Islam Kontemporer, 313.
189
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif, 267.
190
Bukan berarti tidak ada Negara yang tidak menyamakan pembagian pria
dan wanita. Di Turki aturan 1:1 antara pria wanita diberlakukan sejak tahun1926. di
Somalia diberlakukan sejak tahun 1974, bahkan diatur lebih jauh yakni istri maupun
suami mendapat setengah harta jika tidak ada anak. Kemudian anak baik pria maupun
wanita jika sendirian dapat menghabiskan harta, demikan juga bapak, ibu saudara jika
menjadi ahli waris tunggal dapat menghabiskan harta. Lihat M. Atho Mudzhar,
Membaca Gelombang Ijtihad, 162.
129
Fatima
seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak
perempuan bersama dengan anak laki-laki adalah dua banding satu
dengan anak perempuan.‛
Pada Pasal 229 yang merupakan ketentuan penutup menyatakan,
dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, hakim
wajib memerhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa
keadilan. Hal ini sering dilakukan pengadilan Indonesia dengan tidak
melaksanakan pembagian waris berdasarkan prinsip 2:1 untuk anak pria
dan anak wanita,191 karena formula pembagian waris 2:1 tidak bersifat
mutlak. Pembagian bisa berubah menjadi 1:1 (satu banding satau/sama
rata) dengan melihat kasus yang bersifat situasional untuk
mencerminkan keadilan. Jika kondisi masyarakat telah berubah seperti
banyak perempuan yang telah bekerja, bahkan laki-laki atau suaminya
tidak bekerja, maka pembagian waris cenderung 1:1 untuk anak pria dan
wanita. Meskipun ayat mengenai bagian waris anak pria dan wanita
bersifat s{ari>h akan tetapi dimungkinkan untuk melakukan ijtihad
terhadap ketentuan tersebut demi terpenuhinya rasa keadilan.192
Pembagian rata antara anak pria dan wanita didasarkan pada dua
argumentasi. Pertama, data empirik menunjukkan bahwa dalam praktik
umat Islam sendiri banyak menyimpang ketetentuan pembagian warisan
yang tertera dalam al-Qur’an dan ilmu fara>‘id} yaitu dengan jalan
menghibahkan harta waris sebelum seseorang meninggal dunia dengan
pembagian sama rata. Penyimpangan ini justru terjadi di daerah yang
tergolong kuat Islamnya seperti Kalimantan, Sulawesi Selatan, Aceh,
dan lainya. Data ini didasarkan atas laporan para hakim Pengadilan
Agama bahwa banyak orang Islam yang enggan untuk melaksanakan
ketentuan Pengadilan Agama tentang fara>‘id} tetapi justru mereka lari ke
Pengadilan Negeri. Kedua, kenyataan sosial menunjukkan bahwa,
dinamika sosial yang begitu cepat sebagai akibat kemajuan teknologi
dan terbukanya akses pendidikan yang sama rata antara peria dan
wanita, lambat laun tapi pasti telah melahirkan pola relasi antara pria
191
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Tahun Bustanul Arifin (Jakarta: Gema Insani, 1996), 225.
192
Ahsan Dawi, ‚Paradigma Hakim Terhadap Bagian Waris Anak Laki-laki
dan Perempuan‛ (Jurnal Hukum), 12.
130
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
dan wanita yang sederajat dengan bobot dan beban sosial yang relatif
sama.193
Ketentuan pembagian harta warisan antara anak pria dan wanita
sebagaimana yang telah ditetapkan al-Qur’an tidak mengalami
pergeseran dalam KHI yaitu tetap berpegang 2:1.194 Namun tidak
menutup kemungkinan para ahli waris melakukan perdamaian
sebagaimana pasal 183 menyatakan bahwa, ‚para ahli pewaris dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta waris setelah
masing-masing menyadari bagiannya.‛.195 Cara ini dimungkinkan,
karena ada kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat yang biasanya
menyelesaikan dengan cara menghindari pembagian harta warisan
dengan cara hukum Islam. Sebagian orang Islam membagi-bagi hartanya
kepada calon ahli warisnya dengan cara hibah ketika ia masih hidup.
Secara metodologis, kebiasaan tersebut dalam ushul fikih di
sebut al-‘urf atau adat. Hal ini relevan dengan kaidah al-‘a>dah al-
muh{akkamah (adat kebiasaan itu dapat dijadikan hukum). Tujuan
pembagian secara damai setelah ahli waris mengetahui bagian masing-
masing sebagaimana Pasal 183 adalah pertama, secara normatif tidak
bertentangan dengan hukum Islam karena perdamaian itu terjadi setelah
pembagian dilaksanakan sesuai hukum Islam (fara>’id}). Kedua, dikaitkan
dengan prinsip keadilan, perdamaian itu terjadi sebagai manifestasi
perasaan keadilan yang langsung dirasakan oleh pihak-pihak yang
berdamai. Ketiga, perdamaian merupakan sarana yang efektif untuk
meredam konflik keluarga yang dipicu oleh pembagian pendapatan yang
berbeda atau kurang memenuhi rasa keadilan di antara mereka.196
Dengan demikian formula 1:1 tidak berlaku umum. Artinya
tidak keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan al-Qur’an. Ketentuan-
ketentuan ini hanya diperuntukkan untuk menyelesaikan kasus-kasus
tertentu saja. Itupun setelah para ahli waris sepakat membagi sama rata
193
Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam
Hukum Keluarga Islam (Yogyakarta: PSG STAIN Ponorogo dan Unggun Religi,
2005), 200.
194
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta: Literata,
2010), 16.
195
Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, 68.
196
Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam
Hukum Islam, 117-118.
131
Fatima
132
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
yang diuraikan dalam tulisan di atas. Imam al-Ramli menerangkan sebagai berikut: (a)
Cucu pria dari anak pria dapat mengganti ayahnya, sedangkan cucu dari anak wanita
idak dapat warisan. (b) Cucu tersebut baru dapat menggantikan orang tuanya apabila si
pewaris tidak meninggalkan anak pria yang masih hidup. (c) Hak yang diperoleh
pengganti belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan tetapi mungkin
berkurang. Lihat Menurut Muchith A. Karim, Pelaksanaan hukum waris di Kalangan
Umat Islam Indonesia,102. Baca. Al-Ramly, Nihayah al-Muh{taj ila> Sharah{ al-Minhaj,
Jil. VI (Mesir: Must{afa> al-Babi> al-Halabi>, t.th.), 17-18. Bandingkan dengan Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia (Bandung: sumur, 1976), 43.
201
Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi Hukum Islam dalam sistem Hukum
Nasional, 70.
202
Hazairin menyatakan bahwa fiqh Syafi’i menempatkan keberadaan ahli
waris pengganti lebih banyak diposisikan sebagai dhawi>l al-arh{am. Yaitu kerabat yang
memiliki hubungan darah, tetap karena posisinya yang tidak ditentukan untuk
menerima bagian, maka ia tidak berhak menerimanya. Lebih-lebih kalau ahli waris
yang menghubungkannya yang telah meninggal itu adalah garis wanita, jadilah ia
dhawi>l al-arh{am. Lihat. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, 416.
203
Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam
Hukum Islam, 118.
204
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 50.
133
Fatima
205
Secara rinci bunyi Pasal 209 menyebutkan sebagai berikut; (1) Harta
peninggalan anak angkat di bagi berdasarkan Pasal-Pasal 176 sampai dengan 193
tersebut, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2)
Trehadapa anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.Lihat Intruksi Presiden Nomor1
Tahun 1991 tentang Kompiasi Hukum Islam Buku II Hukum Kewarisan. Lihat pula
Hmpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Kompilasi Hukum Islam (Bandung:
Fokusmedia, 2005), 66.
206
Makna dari Wasiat Wa>jibah adalah seseorang dianggap menurut hukum
telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata. Anggapan hukum itu
lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat, maka
ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat itu dianggap ada dengan sendirinya. tindakan
yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau
memberikan putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal yang diberikan
kepada orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu. Lihat Cik Hasan Bisri, ed.
Kompilasi Hkum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, 71. Lihat pula Fatchurrahman,
Ilmu Waris, (bandung: al- Ma’arif, 1981), 63.
207
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Tahun Bustanul Arifin (Jakarta: Gema Insani, 1996), 224. Bandingkan,
Muchith A. Karim, ed. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat Islam Indonesia
(Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010), 127-128.
134
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
208
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, 64. Muh}ammad Kamal
Hamidi>, Al-Mawa>ri>th wa al-Hibah wa al-Wasiyyah (Iskandariyah: Da>r al- Mat}bu>’ah al-
Jami>’ah, t.th), 244-245.
209
Wasiat wajibah dalam The Syirian Code of Personal Status 1953 (Qa>nu>n al-
Ah}wa>l al-Shakhs{iyyah al-Su>ri>) Pasal 256 menyatakan bahwa wasiat wajibah
diberikan hanya kepada cucu dari anak laki-laki sampai ke bawah, dan tidak diberikan
kepada cucu dari anak wanita. Lihat Al-Ahka>m al-Shar’iyyah fi> al-ah{wa>l al-
Shakhs{iyyah, Mulh{aq Qawa>ni>n al-Ah{wa>l al-Shakhs{iyyah al-‘Ara>biyyah, 1832.
Muh}ammad Kamal Hamidi>, Al-Mawa>ri>th wa al-Hibbah wa al-Was{iyyah (Iskandariyah:
Dar> al-Mat{bu>’ah al-Jami>’ah, t.th), 245.
210
Undang-undang Personal Status Maroko Tahun 1958 dalam Pasal 266-269
menetapkan bahwa wasiat wajibah hanya berlaku melalui keturunan langsung anak pria
meninggal lebih dahulu dari pewarisnya, bagi keturunan langsung melalui anak wanita
yang meninggal terlebih dahulu dari pewarisnya tidak berlaku wasiat wjibah. Lihat
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi: Akademic of Law
and Religion, 1987), 148-150.
211
Ketentuan ini tertera dalam Pasal 191-192 Code of Personal Status 1956-
1981. Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, 163
212
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad,164.
135
Fatima
213
Muchith A. Karim, ed. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
Indonesia, 131-132. Lihat, Ridwan, Menbongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan
Gender dalam Hukum Keluarga Islam (Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto dan
Unggun Religi, 2005), 119.
214
M. Yahya Harahap, ‚Materi Kompilasi Hukum Islam‛ dalam Mahfud MD
dkk. ed. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta:UII
Press, 1993), 93.
215
Abdullah Kelip, ‚Beberapa Catatan Efektifitas KHI‛ dalam Mahfud MD
dkk, eds. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia, 138.
136
BAB V
WANITA SEBAGAI ISTRI DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DAN PRAKTIK
HUKUM DI PENGADILAN AGAMA
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai wanita dalam statusnya
sebagai istri baik dalam peraturan perundang-undangan maupun hasil
putusan Pengadilan Agama. Tujuannya adalah untuk mengetahui hak-
hak istri yang telah terakomodir dalam hukum keluarga dan hasil
putusan Pengadilan Agama telah melindungi hak wanita atau tidak. Isu
yang akan di bahas dan menjadi perhatian penulis adalah terkait masalah
poligami, gugat cerai, dan masalah harta bersama.
A. Poligami: Putusan yang Tak Ternegosiasikan
Poligami termasuk persoalan yang masih kontroversi,
mengundang berbagai persepsi pro dan kontra. Golongan anti poligami
melontarkan sejumlah tudingan yang mengidentikkan poligami dengan
sesuatu yang negatif. Persepsi mereka1 poligami itu melanggar HAM.
Poligami merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum wanita,
karena dianggap sebagai mediaum untuk memuaskan gejolak birahi
semata. Laki-laki yang melakukan poligami berarti ia melakukan
tindakan kekerasan atau bahkan penindasan atas hak-hak wanita secara
utuh. 2
Mereka yang pro poligami menanggapi bahwa poligami
merupakan bentuk perkawinan yang sah dan telah dipraktikkan berabad-
abad yang lalu oleh semua bangsa di dunia. Dalam banyak hal, poligami
justru mengangkat martabat kaum perempuan, melindungi moral agar
tidak terkontaminasi oleh perbuatan keji dan maksiat yang di larang
oleh Allah SWT., seperti maraknya tempat-tempat pelacuran yang justru
merendahkan martabat perempuan dan mengiring mereka menjadi budak
pemuas nafsu hidung belang. Poligami mengandung unsur
penyelamatan, ikhtiar perlindungan serta penghargaan terhadap
eksistensi dan martabat kaum wanita.3
1
Eka Kurnia, Poligami Siapa Takut: Perdebatan Seputar Poligami (Jakarta:
QultumMedia, 2006), 3. Lihat juga Miftah Faridl, Poligami (Bandung: Pustaka,
2007), 7.
2
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004), 43.
3
Arij binti Abdur Rahman al-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri –Etika
Berpoligami (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), 36.
Fatima
138
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
5
Abdul Rahman Ghozali, Fikih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), 130-131.
Lihat pula; Masyfuk Zuhdi, Masa’il Fikhiyah (Jakarta: Gita Karya, 1988), 12.
6
Miftah Faridl, Poligami: Catatan Pengalaman dan Interpretasi Ajaran
(Bandung: Pustaka, 2007), 35.
7
Anwar Hafidzi,‛ Konsep Humanisme dan Maslahat dalam Pemikiran
Muhammad Shahrur: Studi atas Buku Nahwa> Us}ul Jadi>dah‛, (Jakarta: Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), 165.
139
Fatima
140
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
12
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, 21. Penulis
tidak berhasil mengakses teks UU dimaksud. Dalam bukunya ini, Tahir Mahmood
hanya membuat catatan, tidak memuat teks UU tersebut. Dalam proposisinya tersebut,
Tahir Mahmood merujuk kepada Pasal-Pasal 93 dan 112 Turkish Code of Personal
Status 1926.
13
Dedi Supriadi dan Mustofa, perbandingan Hukum perkawinan di Dunia
Islam, 110.
14
M. Atho Mudzhar dan Kharuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern, 89.
141
Fatima
15
Redaksi ayat tersebut adalah;
16
Ayat tersebut berbunyi;
17
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, 170.
142
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
143
Fatima
144
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
145
Fatima
146
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
147
Fatima
19
Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat pula
Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara tentang
Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach Jufri dan
Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. LIihat Ujang Mukhlis, ‚Laporan Perkara
yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember
Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang
Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30 Desember, 2010). Lihat
Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang Perkara yang
diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011). Lihat Arsip ‚Data
Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat Arsip ‚Data
Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011.
148
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
20
Doumentasi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor
817/Pdt.G/2011/PAJT.
149
Fatima
P.3 (surah pernyataan belaku adil). P.4 (surah pernyatan persetujuan istri
pertama yaitu Pemohon). P.5 (surah pernyataan calon istri kedua
Pemohon). P.6 (surah pernyataan penghasilan Pemohon) dan bukti surah
lainnya. Selain bukti tertulis, Pemohon juga menghadirkan saksi-saksi di
muka persidangan yang membenarkan dalil-dalil yang diajukan
Pemohon.
Kasus kedua, Pemohon berdasarkan surat permohonannya pada
tanggal 23 Desember 2010 telah mengajukan permohonan izin poligami
yang didaftarkan pada Pengadilan Agama Jakarta Utara. Dalam
positanya pemohon menjelaskan bahwa antara Pemohon dan Termohon
telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 04 Desember 2010.
Setelah menikah Pemohon dan Termohon betempat tinggal di rumah
orang tua Pemohon. Selama pernikahan antara Pemohon dan Termohon
hidup rukun sebagaimana layaknya suami-istri, namun belum dikaruniai
keturunan. Oleh karena itu Pemohon hendak menikah lagi (poligami)
dikarenakan Pemohon telah terlanjur menghamili calon istri keduanya
dan bermaksud mempetanggungjawabkan perbuatan Pemohon dengan
cara melakukan poligami.
Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan kesanggupannya
memenuhi kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anaknya, karena
Pemohon bekerja sebagai Karyawan Swasta yang berpenghasilan setiap
bulannya sebesar Rp. 3.900.000, (tiga juta Sembilan ratus ribu rupiah)
dan sanggup berbuat adil terhadap istri-istri Pemohon. Majelis hakim
telah berusaha memberikan nasehat yang cukup kepada Pemohon agar
membatalkan kehendaknya berpoligami, akan tetapi usaha tersebut tidak
berhasil, Pemohon tetap ingin melanjutkan niatnya untuk berpoligami.
Atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah menyatakan
secara lisan di persidangan bahwa ia tidak keberatan dengan
permohonan Pemohon tersebut. Untuk melengkapi permohonannya,
Pemohon mengajukan alat-alat bukti berupa; surat pernyataan berlaku
adil, surat pernyataan bersedia dimadu, dan surat pernyataan
penghasilan. 21
Kasus ketiga, Permohonan izin poligami disampaikan Pemohon
(umur 36 tahun) pada tanggal 19 Juli 2004 yang terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan register nomor
perkara 851/Pdt.G/2004/PAJS. Pada pokok permohonannya, Pemohon
mengemukakan bahwa, antara Pemohon dan Termohon (umur 30 tahun)
21
Dokumentasi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan Nomor
disembunyikan.
150
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
151
Fatima
22
A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, 202-203.
23
Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Tanggal 18 Juli 2012.
24
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Pedoman Beracara Pada
Pengadilan Agama (Jakarta: t.p, 1980),1.
25
Fahad Asadulloh, ‚Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan
Izin Poligami (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri Tahun 2009-
2010)‛, diakses pada 16 November 2012 Melalui
http://banjirembun.blogspot.com/2012/06/skripsi-bab-i-pertimbangan-hakim-
dalam.html.
152
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut
hukum pembuktian yang berlaku. Di dalam pembuktian, para pihak
memberikan dasar-dasar kepada Hakim yang memeriksa perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa dalam perkara yang
diajukan. Proses pembuktian di atas dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan
itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar
dan adil. Karena hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum
nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar
terjadi, yaitu dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya
hubungan hukum antara para pihak.26
Dari kasus-kasus permohonan poligami yang diterima dan
dikabulkan oleh Pengadilan Agama DKI Jakarta ada beberapa alasan
yang melatarbelakangi para pihak mengajukan permohonan izin
poligami. Ada kalanya mereka mengajukan permohonan poligami
tersebut karena istri mengalami cacat badan, dan ada pula yang
beralasan istri tidak bisa melahirkan keturunan dan berbagai alasan yang
memang sesuai dengan apa yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan
KHI Pasal 57 tentang poligami.
Namun demikian, ada beberapa kasus yang terjadi di Pengadilan
Agama DKI yang tidak sesuai dengan alasan-alasan yang terdapat dalam
Undang-Undang. Seperti contoh kasus dengan register nomor perkara
851/Pdt.G/2004/PAJS. Alasan Pemohon mengajukan izin poligami pada
kasus ini adalah untuk menjalankan shari’at agama. Seolah-olah ayat
poligami difahami sebagai anjuran bukan sebagai pintu darurat
sebagaimana pendapat Quraish Shihab yang menyatakan bahwa,
poligami ibarat pintu pintu darurat dalam pesawat udara, yang tidak
dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat dan setelah diizinkan oleh
pilot. Yang membukanya pun haruslah mampu, karena itu tidak
diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali orang-orang
tertentu.27 Pintu darurat seharusnya ada untuk menyelamatkan seluruh
penumpang tanpa pengecualian. Sementara poligami terkadang hanya
menyelamatkan suami atau ayah saja, sedangkan istri dan anak-anak
justru kerap menjadi korban. Sebagaimana kasus di atas, saat Pemohon
mengajukan permohonan izin poligami, Termohon dalam kondisi hamil
26
A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet. VII,
139.
27
Quraish Shihab, ‚Poligami dan Kawin Sirri Menurut Islam‛, diakses pada
18 November 2012 melalui http://nambas.wordpress.com/2010/03/03/quraish-shihab-
poligami-dan-kawin-sirri-menurut-islam/
153
Fatima
28
Yodha Haryadi, ‚Suami Bisa Ngidam‛, di akses pada 19 November melalui
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/11/16/suami-bisa-ngidam-503647.html.
29
Pasal 25 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
154
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
30
Wawancara dengan Eko Budiono, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara,
Tanggal 19 Juni, 2012, di Ruang Hakim.
31
Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Tanggal 18 Juli 2012.
155
Fatima
dalam kondisi ada wanita lain yang hamil karena perbuatan suaminya,
Termohon tidak punya pilihan kecuali mengizinkan Pemohon menikah
lagi.
Melihat fakta-fakta dipersidangan, Majelis hakim berpendapat
bahwa permohonan Pemohon untuk berpoligami telah dapat memenuhi
syarat sebagimana diatur dalam Pasal (5) Ayat (1) huruf (b) UU No.1
Tahun 1974 dan juga sejalan dengan Pasal 58 Ayat (1) huruf (b) KHI
serta ketentuan Pasal 41 huruf (b), (c) dan (d) PP No. 9 Tahun 1975.
Faktor lain yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan tersebut adalah dikarenakan calon istri ke dua Pemohon
telah hamil. Hal tersbut selalu menjadi dalil yang menguatkan hakim
dalam memberikan pertimbangan mengabulkan permohonan poligami.
Jika tidak dikabulkan maka semakin memperbesar peluang Pemohon
untuk berbuat madarat misalnya, penelantaran tanggung jawab yang
dilakukan Pemohon terhadap calon istri keduanya yang sedang
mengandung darah dagingnya karena tidak mempunyai hubungan
hukum.32 Oleh karena itu untuk menekan dampak negatif yang akan
ditimbulkan sesuai kaidah , maka hakim
mengabulkan permohonan tersebut.
Terakhir kasus yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Timur
dengan register perkara nomor 81/Pdt.G/2011/PAJT. Alasan izin
poligami yang diajukan Pemohon adalah dikarenakan Termohon sebagai
istri kurang dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dalam hal
nafkah batin. Jika tidak melakukan poligami, Pemohon sangat khawatir
akan melakukan perbebuatan yang dilarang oleh norma agama. Pada
kasus ini hakim mengabulkan permohonan izin poligami tersebut.
Padahal bila ditelusuri secara seksama penulis tidak menemukan alasan
yang serius yang patut untuk dikabulakannya izin poligami tersebut.
Karena pada kenyataannya kehidupan rumah tangga Pemohon dan
Termohon berjalan harmonis dan telah dikarunia seorang anak laki-laki.
Dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan kasus ini
adalah pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 40, 41, 42 dan 43 PP
No. 9 Tahun 1975 telah mengatur dan menetapkan alasal-alasan serta
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang akan beristri
lebih dari seorang. Dasar yang digunakan hakim dalam mengabulkan
32
Mochamad Anwar Khadafi, ‚Dasar Pertimbanagan Hakim Mengabulkan Izin
Poligami Bagi Suami Yang Berpenghasilan Tidak Tetap‛, (Malang: Tesis Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2012), 61-62. Di akses pada 16 November 2012
melalui http://libUin-Malang-ac.id
156
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
33
Wawancara dengan Tamah, Hakim Pengadilan Agama Jakata Selatan, pada
tanggal 23 Mei, 2012, Di Ruang Mediasi 1.
34
Syafiq Hasyim, Poligami dan Keadilan Kualitatif (Jakarta: P3M, 1999), 33.
157
Fatima
35
Divisi Litbang RAWCC, ‚Grafik Solusi yang dipilih klien kasus KTI Bulan
Januari-Desember 2000‛, di Rifka Annisa WCC Yogyakarta, 24.
36
www.repository.USU.Ac.Id/bitstream/123456789/16195/5/chpter/.201.pdf.
Diakses pada 15 November 2012.
158
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Tabel: 5.4.
Dampak Poligami Terhadap Istri Pertama
No. Jenis Dampak Jumlah
1. Tidak Memberi Nafkah
37
2. Tekanan Psikis 21
3. Penganiayaan Fisik 7
4. Diceraikan Suami 6
5. Ditelantarkan Suami 23
6. Pisah Ranjang 11
7. Mendapat Teror dari Istri Kedua 2
Jumlah 107
Sumber: LBH APIK Jakarta Tahun 2003-2005
Menurut data dari LBH-APIK tersebut banyak sekali akibat atau
dampak dari praktik poligami yang dilakukan oleh seorang suami
terhadap istri pertama, yaitu mulai dari tidak memberikan nafkah,
tekanan psikis, penganiayaan fisik, ditelantarkan suami, pisah ranjang,
dan mendapat teror dari istri kedua. dan diceraikan suami. Badan
Pengadilan Agama (Badilag) mencatat bahwa sepanjang tahun 2005
perceraian yang disebabkan poligami berjumlah 879 dari seluruh perkara
perceraian di Indonesia. Pengadilan Tinggi Agama Bandung merupakan
Pengadilan Tinggi Agama yang paling sering menangani perceraian
yang disebabkan poligami. Kasus perceraian akibat poligami yang
terjadi di Bandung pada tahun berjumlah 324 perkara. Sedangkan
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya menempati urutan kedua dengan
jumlah kasus sebanyak 162 perkara dan Pengadilan Tinggi Agama
Semarang menempati urutan ketiga dengan jumlah 104 kasus. 37 Oleh
sebab itu poligami hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu suami,
sedangkan istri merupakan pihak yang sangat dirugikan dalam masalah
ini.
Ada fakta menarik seputar jumlah perkara yang masuk di PA
DKI Jakarta. Tahun ini data per 30 Oktober 2012 PA Jakarta Timur
meraih rating tertinggi menyalip PA Jakara Selatan yang pada tahun lalu
menempati urutan pertama dengan jumlah perkara 3125. Sedangkan PA
Jakarta Timur diurutan ke dua dengan total perkara 2955.
Pada tahun ini, PA Jakarta Timur diprediksi menempati urutan
tertinggi dalam jumlah penerimaan perkara di bandingkan PA Jakarta
37
Laporan Tahunan LBH APIK Jakarta Tahun 2005.
159
Fatima
38
Handika, ‚Laporan Perkara per Oktober 2012 PA di Jakarta‛, di akses
pada 28 November 2012 melalui
http://pajakartatimur.go.id/?option=com_content&view=article&id=288:1
234.
39
Rekap perkara diterima dan diputus diakses pa da 28 November
2012 melalui www.infoperkara.badilag.n et.
40
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta:
RajaGrafindo Persada,), 102-103. Lihat Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan
Perceraian di Malaysia dan Indonesia (Bandung: Alumni, 1982), 291. Lihat pula,
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 216-
217.
160
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
41
Lihat Pasal 113 KHI. Sementara putusnya perkawinan karena putusan
pengadilan tidak ada penjelasan yang tegas. Namun dari penjelasan perundang-
undangan yang ada sejumlah sebab terjadinya perceraian yaitu; talak, gugat cerai,
khuluk, shiqaq, fasakh, taklik talak dan li’a>n. Lihat Khoiruddin Nasution, Status
Wanita di Asia Tengggara: Setudi terhadap Perundang-undangan perkawinan Muslim
Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, 222.
42
Pasal 114 KHI.
43
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama:
UU Nomor7 Tahun 1989 (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 46. Bandingkan dengan
pendapat Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2006), 19.
44
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap,
Cet. IVX (Surabaya: Pusaka Progressif, 1997), 361.
45
Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1994). 95.
161
Fatima
46
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fikih al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X (Beirut: Da>r al-
Fikr, 1418H/1997), 7007-7008. Lihat Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan dalam
Shari>’at Isla>m (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 106-107.
47
Redaksi ayat tersebut adalah;
…
..
48
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tengggara: Setudi terhadap
Perundang-undangan perkawinan muslim kontemporer di indonesia dan malaysia, 203.
49
Pasal 1 huruf (i). Lihat pula Judith E Tucker, Women, Family and Gender in
Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 96.
50
Pasal 161 KHI
162
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
51
Pasal 119 menyatakan 1. Talak Ba`in Shughra adalah talak yang tidak boleh
dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. 2.
Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: a. talak yang terjadi
qabla al dukhul, b. talak dengan tebusan atau khuluk, c. talak yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama.
52
Pasal 124.
53
Wawancara dengan IbuTamah (hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan),
tanggal 23 Mei 2012.
54
Redaksi Pasal tersebut ‚Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian
sesuai ketentuan Pasal 116‛.
55
Redaksi Pasal tersebut ‚seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian
dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
56
Andi Eko Winantio, ‚Cerai Gugat Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
Studi kasus di Pengadilan Agama Surakarta‛ (Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2009),
163
Fatima
adalah istri tidak ada hak mendapat nafkah iddah karena termasuk talak
ba’in sughra.57 Sedangkan gugat cerai, istri seyogyanya mendapat
nafkah iddah karena tidak adil rasanya hanya gara-gara istri yang
menggugat cerai lalu istri pula yang harus menanggung resiko dengan
hilangnya hak nafkah istri.
Dalam hal tata cara perceraian yang berhubungan dengan
gugatan dilakukan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 sampai 36
PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Pasal 132-146 KHI dan Pasal 73-86 UU No.
7 Tahun 1989 jo UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, tata
cara dalam peraturan tersebut tersebut adalah pertama, istri atau kuasa
hukumnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat
tinggal penggugat, kecuali istri nushu>z.58 Kedua, pemeriksaan meliputi
pemanggilan penggugat maupun tergugat atau kuasa hukumnya,59dan
usaha mendamaikan kedua belah pihak.60 Pemeriksaan gugatan
dilakukan dengan sidang tertutup.61 Ketiga, dalam hal dikabulkannya
gugat cerai oleh pengadilan, maka perceraian terjadi, terhitung sejak
jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai hukum
57
Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi’i akibat cerai karena khuluk, istri
hanya berhak memperoleh tempat tinggal sampai masa iddah berakhir. Apabila istri
dalam keadaan mengandung, berhak juga atas tempat tinggal dan nafkah, sebagaimana
disebutkan dalam QS. Al-T{ala>q Ayat 6. Lihat keternagan selengkapanya Muhamad
Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Pendapat Para
Ulama (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), 225.
58
Pasal 132 (1) KHI dan Pasal 73 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
jo.Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan ‚Gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.‛ Pasal 20 PP Nomor 9
tahun 1975 Menyatakan ‚gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau
kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat.‛
59
Pasal 26 PP Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal 142 (1) KHI.
60
Pasal 31 (1) PP Nomor 9 tahun 1975, Pasal 143 (1) KHI dan Pasal 82 (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
61
Pasal 33 PP Nomor 9 tahun 1975, 145 KHI dan Pasal 79 (2) Undang-undang
Nomor 7 tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan ke
dua atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
164
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
165
Fatima
65
Bandingkan dengan M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Ind. Hill-
Co, 1990), 107.
166
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
66
Syarat untuk putusnya hubungan /perkawinan dengan taklik talak adalah:
(1). Terjadinya sesuatu yang diperjanjikan yaitu misalnya meninggalkan terus-menerus
istrinya selama 6 (enam) bulan tanpa memberi kabar dan tidak mengirim nafkah baik
lahir maupun bathin. (2). Sang istri tidak ridha (tidak rela) atas kejadian atau pristiwa
tersebut. (3). Istri datang kepada pejabat yang sah. (4). Istri membayar iwad sebagai
penegasan tidak senangnyaterhadap siap suaminya dengan terjadinya pristiwa itu.
Lihat M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 dari Segi hukum Perkawinan Isalam, 105.
67
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
UU No 7 Tahun 1989, 46.
167
Fatima
68
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2000), 71.
69
Dari ketentuan dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, dapat dijabarkan bahwa antara suami istri terjadi, 1. perselisihan dan
pertengkaran, 2. tidak ada harapan akan hidup rukun bagi rumah tangganya.
70
Wawancara dengan Huzaimah Tahido Yanggo, di Ruang Direktur Institut
Ilmu Qur’a>n (IIQ), pada 01 Mei 2009.
168
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
No. MSY. PROP / PTA CERAI TALAK CERAI GUGAT PERKARA LAIN JUMLAH PERSENTASE
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1,167 2,766 2,224 6,157 1,69%
2 Medan 2,264 5,943 791 8,998 2,48%
3 Ambon 1,912 3,841 3,140 8,893 2,45%
4 Pekanbaru 2,641 6,103 1,034 9,778 2,69%
5 Jambi 853 2,323 254 3,430 0,94%
6 Palembang 1,630 4,021 904 6,555 1,80%
7 Bangka Belitung 630 1,612 130 2,372 0,65%
8 Bengkulu 677 1,282 105 2,064 0,57%
9 Bandar Lampung 1,343 3,400 516 5,259 1,45%
10 Jakarta 2,746 6,460 1,244 10,450 2,88%
11 Banten 1,882 4,423 2,534 8,839 2,43%
12 Bandung 17,818 39,847 9,779 67,444 18,56%
13 Semarang 21,438 45,671 4,151 71,260 19,61%
14 Yogyakarta 1,589 3,354 889 5,832 1,60%
15 Surabaya 29,358 53,618 10,557 93,533 25,73%
16 Pontianak 902 2,718 544 4,164 1,15%
17 Palangkaraya 504 1,423 252 2,179 0,60%
18 Banjarmasin 1,532 4,750 1,547 7,829 2,15%
19 Samarinda 1,874 4,440 2,384 8,698 2,39%
20 Manado 271 772 47 1,090 0,30%
21 Gorontalo 268 758 172 1,198 0,33%
22 Palu 636 1,457 349 2,442 0,67%
23 Kendari 459 1,083 119 1,661 0,46%
24 Makassar 2,661 7,666 2,138 12,465 3,43%
25 Mataram 1,594 3,996 2,371 7,961 2,19%
26 Kupang 118 173 135 426 0,12%
27 Ambon 117 237 93 447 0,12%
28 Maluku Utara 271 378 50 699 0,19%
29 Jayapura 444 853 50 1,347 0,37%
99,599 215,368 48,503 363,470
Jumlah
314,967
71
Bani Kiber, ‚Inilah Penyebab Perceraian Tertinggi Di Indonesia‛. di akses
pada tanggal 16 Juni 2012 melalui http://edukasi.kompasiana.com. Lihat
‚Kemenangan Hakiki‛, di akses melalui http://hizbut-
tahrir.or.id/2011/09/04/kemenangan-hakiki/.
169
Fatima
CERAI PERKARA
NO MSY.PROP/PTA CERAI TALAK JUMLAH
GUGAT LAIN
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1,011 2,408 2,255 5,674
2 Medan 1,855 4,829 1,383 8,067
3 Padang 1,608 3,376 3,416 8,400
4 Pekanbaru 2,245 5,326 1,394 8,965
5 Jambi 693 2,037 368 3,098
6 Palembang 1,484 3,729 752 5,965
7 Bangka Belitung 517 1,328 242 2,087
8 Bengkulu 574 1,122 190 1,886
9 Bandar Lampung 1,104 2,924 745 4,773
11 Banten 1,456 3,615 2,781 7,852
12 Bandung 15,673 36,005 10,856 62,534
13 Semarang 18,188 40,382 6,352 64,922
14 Yogyakarta 1,351 2,998 949 5,298
15 Surabaya 25,908 48,869 11,944 86,721
16 Pontianak 716 2,272 675 3,663
17 Palangkaraya 395 1,145 425 1,965
18 Banjarmasin 1,324 4,391 1,606 7,321
19 Samarinda 1,586 3,730 2,611 7,927
20 Manado 225 640 110 975
21 Gorontalo 209 618 214 1,041
22 Palu 570 1,344 437 2,351
23 Kendari 350 903 255 1,508
24 Makassar 2,310 6,811 2,665 11,786
25 Mataram 1,279 3,294 2,417 6,990
26 Kupang 101 150 144 395
27 Ambon 91 200 138 429
28 Maluku Utara 219 307 72 598
29 Jayapura 377 725 142 1,244
Jumlah 85,750 190,940 57154 333,844
276,690
72
Rosmadi ‚Informasi Perkara Peradilan Agama Tahun 2011,‛ Kamis 08
Maret 2012. diakses pada tanggal 17 Juni 2012 melalui
http://www.badilaq.net/statistik-perkara/10119-informasi-perkara-peradilan-agama-
tahun-2011.html.
170
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
TABEL
TABEL5.7.
3.3
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DIPUTUS
PADA LINGKUNGAN YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH / PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2011
CERAI
NO MSY.PROP/PTA CERAI GUGAT PERKARA LAIN
TALAK
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 17,82% 42,44% 39,74%
2 Medan 22,99 59,86% 17,14%
3 Padang 19,14% 40,19% 40,67%
4 Pekanbaru 25,04% 59,41% 15,55%
5 Jambi 22,37% 65,75% 11,88%
6 Palembang 24,88% 62,51% 12,61%
7 Bangka Belitung 24,77% 63,63% 11,60%
8 Bengkulu 30,43% 59,49% 10,07%
9 Bandar Lampung 23,13% 61,26% 15,61%
10 Jakarta 24,77% 58,05% 17,18%
11 Banten 18,54% 46,04% 35,42%
12 Bandung 25,06% 57,58% 17,36%
13 Semarang 28,02% 62,20% 9,78%
14 Yogyakarta 25,50% 56,59% 17,91%
15 Surabaya 29,88% 56,35% 13,77%
16 Pontianak 19,55% 62,03% 18,43%
17 Palangkaraya 20,10% 58,27% 21,63%
18 Banjarmasin 18,08% 59,98% 21,94%
19 Samarinda 20,01% 47,05% 32,94%
20 Manado 23,08% 65,64% 11,28%
21 Gorontalo 20,08% 59,37% 20,56%
22 Palu 24,25% 57,17% 18,59%
23 Kendari 23,21% 59,88% 16,91%
24 Makassar 19,60% 57,79% 22,61%
25 Mataram 18,30% 47,12% 34,58%
26 Kupang 25,57% 37,97% 34,46%
27 Ambon 21,21% 46,62% 32,17%
28 Maluku Utara 36,62% 51,34% 12,04%
29 Jayapura 30,31% 58,28% 11,41%
25,69% 57,19% 17,12%
Jumlah
100%
Pada tabel sebelumnya (tabel 5.5) menunjukkan bahwa jumlah
perceraian yang diterima Pengadilan Tinggi Agama pada tahun 2011
mencapai jumlah 314,967. Dengan rincian 99, 599 perkara cerai talak
dan 215, 368 kasus gugat cerai. Berdasarkan tabel sebelumnya pula
(tabel 4.5), perkara perceraian yang diputus pada tahun 2011 mencapai
jumlah 276,690. Dengan rincian 85,750, untuk kasus cerai talak dan
171
Fatima
73
Rosmadi ‚Informasi Perkara Peradilan Agama Tahun 2011,‛ Kamis 08
Maret 2012. diakses pada tanggal 17 Juni 2012 melalui
http://www.badilaq.net/statistik-perkara/10119-informasi-perkara-peradilan-agama-
tahun-2011.html
74
Wawancara dengan Sarmoto, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada
tanggal 05 Juni, 2012. Menurut Eka Juliana, banyaknya cerai gugat dalam perceraiaan
adalah karena pertama, bahwa semakain tinggi tingkat pendidikan perempuan
membuat perempuan semakin maju dan semakin tahu tentang hak-haknya termasuk
dalam keluarga, sehingga ketika terjadi pengabaian terhadap hak-hak tersebut atau
bahkan perempuan tidak mendapatkan haknya contoh hak sebagai seorang istri maka
perempuan tidak lagi bisa ‚menerima‛ terhadap apa yang sering di ungkapkan sebagai
‚nasib‛. Kedua, Kehidupan modern bukan hanya menuntut, tetapi mau tidak mau
terbawa pada arus modernisasi termasuk semakin tinggi nilai kebutuhan material
yang mendorong para istri untuk menuntut pemenuhannya terhadap suami. Jika
kebutuhan material tersebut tidak mampu dipenuhi oleh suami, karena suami tidak
mampu secara ekonomi, apalagi suami tidak bertangung jawab terhadap pemenuhan
tersebut, maka kondisi sosial menuntut perempuan harus berpikir ulang tentang
hakekat perkawinannya, yang pada akhirnya harus menentukan pilihan untuk
meneruskan atau memutuskan ikatan perkawinannya; Ketiga, Gerakan kesetaraan
gender bagi perempuan Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai agama,
kebudayaan dan norma sosial bukan untuk ‚melawan‛ laki-laki, tetapi untuk
menciptakan pengetahuan baru, kesadaran baru sebagai jalan keluar dari
keterkungkungan dan hegemoni ideologi patriarkhi, menuju kehidupan yang lebih
egaliter, adil, dengan syarat penghormataan terhadap harkat dan martabat manusia,
bahwa tidak ada satu jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan yang boleh
menindas kemanusiaan setiap individu. Lihat Eka Julaiha,‛Talak dan Problematikanya
di Masyarakat (Jakarta: Rahima, 2012) Suplemen Swara Rahima Edisi 38, Mei 2012.
172
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
TABEL 5.8.
TABEL 3.4
REKAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN
PADA MAHKAMAH SYARIAH PENGADILAN AGAMA
YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA
TAHUN 2011
Mahkamah Syariah
Menyakiti Jasmani
No Propinsi Pengadilan
Menyakiti Mental
Tinggi Agama
Cacat Biologis
Krisis Akhlak
Kawin Paksa
Keterangan
Di Hukum
Lain-Lain
Cemburu
Ekonomi
Jumlah
Politis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Mahkamah Syariah
40 69 58 5 160 1,318 8 64 11 12 28 0 135 1,510 0 3,418
1 Aceh
2 Medan 47 130 182 3 796 1,971 52 109 27 16 28 0 435 2,548 17 6,361
3 Padang 47 101 144 11 501 1,904 1 46 3 1 13 0 4 1,753 0 4,749
4 Pekanbaru 5 213 316 5 920 2,593 5 128 45 9 13 1 794 2,725 3 7,775
5 Jambi 0 45 64 1 280 1,451 0 38 0 1 5 0 62 738 48 2,733
6 Palembang 37 231 178 10 623 1,320 0 137 8 37 14 3 310 2,197 0 5,105
7 Bangka Belitung 0 83 112 0 250 618 0 0 0 1 0 0 153 625 0 1,842
8 Bengkulu 1 5 5 2 40 444 1 9 3 3 5 1 59 986 0 1,564
9 Bandar Lampung 11 120 157 3 1,041 588 2 38 5 3 11 9 326 1,552 11 3,877
10 Jakarta 249 67 407 6 1,503 1,881 12 400 3 2 6 0 1,000 2,258 0 7,794
11 Banten 77 135 188 15 1,042 1,121 41 39 0 17 2 0 581 1,542 0 4,800
12 Bandung 164 426 820 110 23,913 7,971 10 137 4 13 43 49 2,463 1,476 35 50,919
13 Semarang 51 1,078 1,373 508 11,939 24,379 115 6 204 35 99 6 2,577 15,645 7 58,022
14 Yogyakarta 0 81 45 7 453 1,409 0 84 9 6 10 1 364 1,715 22 4,206
15 Surabaya 116 2,568 3,921 909 14,735 16,478 170 690 108 58 255 568 7,533 24,539 299 72,947
16 Pontianak 5 44 51 1 248 626 0 5 1 1 6 0 218 1,742 1 2,949
17 Palangkaraya 0 23 147 0 215 1,226 0 27 0 6 4 0 348 1,101 0 3,097
18 Banjarmasin 49 351 57 20 531 1,785 5 46 54 5 18 9 468 2,172 18 5,588
19 Samarinda 78 108 217 69 676 1,057 7 159 86 21 29 0 744 1,824 30 5,105
20 Manado 1 62 18 0 5 170 0 17 1 1 0 0 64 432 16 787
21 Gorontalo 1 48 29 2 23 149 0 4 1 0 0 0 104 434 0 795
22 Palu 0 152 59 8 139 478 0 95 0 0 15 0 157 839 0 1,942
23 Kendari 16 165 148 2 135 181 0 9 35 5 7 0 58 475 0 1,236
24 Makassar 213 690 674 78 1,049 1,946 41 388 59 13 101 3 646 2,747 84 8,732
25 Mataram 76 284 357 23 845 1,021 4 97 29 9 12 0 482 1,106 38 4,383
26 Kupang 0 3 2 0 12 34 0 4 0 0 3 0 25 164 0 247
27 Ambon 2 28 9 1 10 63 1 13 3 0 0 0 41 99 1 271
28 Maluku Utara 3 23 24 1 12 114 0 7 0 0 1 0 69 205 0 459
29 Jayapura 0 14 7 1 26 233 0 11 1 0 2 1 123 658 14 1,091
1,289 7,347 9,769 1,801 62,122 74,529 2,807 700 651 20,563 89,092
Jumlah 18,405 138,452 475 3,507 275 730 110,306 644 272,794
173
Fatima
dengan jumlah kasus 9,769. Krisis akhlak juga sering menjadi peyebab
terjadinya perceraian dengan jumlah 7,347 kasus. Pemicu selanjutnya
adalah kekerasan dalam rumah tangga yaitu menyakiti jasmani dengan
jumlah mencapai 2,807 kasus. Faktor lainnya adalah dikarenakan dalam
sejarah perkawinan para pihak dipaksa oleh orang tua untuk menikah
(kawin paksa) mencapai 1,801 kasus. Pemicu selanjutnya adalah
poligami tidak sehat, artinya suami melakukan poligami tidak sesuai
dengan aturan, perceraian modus ini mencapai angka 1,289. Kemudian
cacat biologis yang menyebabkan tidak bisa melaksanakan kewajiban
berjumlah 730, KDRT secara mental mencapai 700 kasus. Faktor
terakhir adalah politisi, faktor kini cukup berperan terjadinya perceraian
dengan jumlah kasus mencapai 651.
Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menyatakan, sekitar
2.000.000 (dua juta) pasangan menikah setiap tahunnya, sekitar 200.000
(dua ratus ribu) pasangan bercerai setiap tahunnya. Angka perceraian 10
% dari angka pernikahan ini. Itu berarti terdapat 1 perceraian setiap 10
pernikahan. Uniknya, hampir 70 % justru istri yang menceraikan suami
(gugat cerai) dan hanya 30 persen suami yang menceraikan. Hal ini
karena perempuan semakin pintar, semakin mapan, dilindungi oleh
berbagai Undang-undang dan semakin sadar akan perlunya menyuarakan
kesetaraan gender dan hak-haknya. Nasaruddin juga mengungkapakan,
bahwa untuk mengatasi berbagai kasus rumah tangga ini Kementerian
Agama telah mengadakan kursus pranikah, sehingga setiap pasangan
yang menikah harus memiliki sertifikat.75
Catatan Kanwil Depag DKI Jakarta, untuk periode Januari–
Maret 2009, di Jakarta Utara terdapat 1.727 pasangan menikah, di
Jakarta Pusat terdapat 1.621 pasangan menikah, di Jakarta Selatan
terdapat 3.302 pasangan menikah, di Jakarta Barat terdapat 2.514
pasangan menikah, di Jakarta Timur terdapat 3925 pasangan menikah, di
Kepulauan Seribu terdapat 27 pasangan menikah. Jumlah keseluruhan
dalam kurun waktu tiga bulan sejak tahun 2009 sudah mencapai 13.116
75
Kementrian Agama, ‚Angka Perceraian di Indonesia Sangat Tinggi‛ diakses
pada tanggal 16 Juni 2012 melalui www.eksposnews.com.
Angka Perceraian di Indonesia Sangat Tinggi‛
http://forums.klikajadeh.net/showthread.php/7274-tingginya-angka-perceraian-
diindonesia. Diakses pada tanggal 16 Juni 2012.
174
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
76
Jacksond, ‛Kasus Perceraian di Jakarta Masih Tinggi‛, diakses pada tanggal
16 Juni 2012 melalui http://www.beritajakarta.com./berita_detail.asp?nnewsid=33470 .
77
Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat pula
Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara tentang
Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach Jufri dan
Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. LIihat Ujang Mukhlis, ‚Laporan Perkara
yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember
Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang
Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30 Desember, 2010). Lihat
Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang Perkara yang
diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011). Lihat Arsip ‚Data
175
Fatima
Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat Arsip ‚Data
Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011.
78
Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta
Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat
pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach
Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. Lihat Ujang Mukhlis,
176
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan
Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30
Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).
Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat
Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id. Di akses pada tanggal 2 Agustus 2011.
79
Wakhidun dkk, ‚Laporan Akhir Tahunan 2010 Pengadilan Agama Jakarta
Timur‛, di akses pada 27 November 2012 melalui
http://pajakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=239&Ite
mid=230.
177
Fatima
80
Zulkarnain dkk, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Jakarta Timur‛
di akses pada 27 November 2012 melalui http://pa-
jakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=239&Itemid=23
0.
178
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
81
Dokumentasi Salinan Putusan Nomor 493/Pdt.G/2009/PAJU.
82
Dokumentasi Salinan Putusan Nomor 1757/Pdt.G/2009/PAJT.
179
Fatima
83
Bunyi Pasal tersebut adalah, ‚Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat
(2) gugur apabila istri nushu>z.
84
Redaksi Pasal tersebut adalah, ‚Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak
mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat
(1) kecuali dengan alasan yang sah.
85
Yaitu, ‚selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya
tersebut pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya.‛
180
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
86
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan administrasi Peradilan Agama, Buku II
Edisi Revisi 2010 (Jakarta: MA RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,
2010),152.
87
Pedoman Pelaksanaan Tugan dan administrasi Peradilan Agama, 154.
88
Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Tanggal 18 Juli 2012.
181
Fatima
89
Pedoman Pelaksanaan Tugan dan administrasi Peradilan Agama, Buku II
Edisi Revisi 2010 (Jakarta: MA RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010),
154.
90
Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Tanggal 18 Juli 2012.
91
Percekcokan beragam bentuknya. Ada yang seni dan irama dalam rumah
tangga yang tidak mengurangi keharmonisan, ada pula yang menjurus kepada kemelut
yang berkepanjangan yang bisa mengancam eksistensi lembaga perkakwinan. Bila hal
ini terjadi menurutnya ada tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama , antara suami
istri sepakat untuk tidak berpisah meskipun keduanya telah berlainan arah. Hal ini
mungkin terjadi dengan berbagai pertimbangan. Misalnya, pertimbangan kekeluargaan,
disebabkan suami istri dipertemukan antara kerabat dekat, atau karena sudah
mempunyai keturunan yang bila mereka bercerai akan mengakibatkan anak-anak
mereka terlantar dan menderita. Kedua, karena berbagai pertimbangan seperti anak
ada, mereka sepakat untuk tidak berpisah, tetapi mereka berpisah rumah, dan
adakalanya suami disamping berpisah rumah dengan istrinya juga tidak memenuhi
nafkah istrinya. Jalan ini mereka lalui dengan berbagai motivasi. Ada yang disebabskan
suami beristri lagi sehingga ia melupakan istri yang pertama yang bila dilihat dari segi
umur memang sudah tidak menggairahkan lagi. Ketiga, alternatif lain adalah memilih
jalan perceraian. Lihat Satria Effendi M. Zain,‛Analisis Yurisprudensi; Analisis Fikih‛,
dalam Mimbar Hukum, Nomor 33 Th. VIII, 1997, 115-116.
182
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
92
A.Mukri Ato, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 214.
93
Wawancara dengan Sarmoto, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, pada
tanaggal 5 Juni 2012.
183
Fatima
94
Hamami, ‚Pelanggaran Hukum keluarga: Suatu Kajin Penerapan Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Amar Putusan Pengadilan‛, diakses
pada Tanggal 9 Desember 2012 melalui www.pa-kediri.go.id.
95
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Acara peradilan Agama, 218.
184
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
185
Fatima
100
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2004), 230.
101
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 109.
Lihat pula T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan hukum perkawinan
Islam (Medan, Mustika, 1977), 119.
102
Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Cpiutat, Logos Wacana Ilmu, 1999), 62.
103
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 111.
104
Masrokhin Sadja, ‚Harta Bersama‛, diakses pada tanggal 17 Juni 2012
melalui http://masrokhisadja.blogspot.com.
186
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
105
Surah al-Nisa>’ Ayat 19, 21,dan 34. Surah al-Baqarah Ayat 228.
187
Fatima
106
Seperti dalam al-Qur’a>n surah IV:21
107
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
2004).
108
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 112.
188
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
189
Fatima
190
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
112
Abd. Rasyid As’ad, ‚Gono – Gini dalam Perspektif Hukum Islam‛, 6.
113
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 106-107.
Bandingkan dengan pendapat Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat
Perceraian, 12-15, dan juga pendapat Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam,
228
114
Pasal 95 KHI.
115
Rocy Marbun, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum (Jakarta: atransmedia
Pustaka, 2011), 187.
191
Fatima
116
Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
128-129 KUHPerdata, Pasal 96 dan Pasal 97 KHI. Ketentuan Pasal 97 KHI ini
bukanlah ketentuan yang sifatnya wajib secara shar’i>, sebab tidak ada nash dalam al-
Qur`’a>n dan al-Hadith yang menerangkan bahwa pembagiannya harus seperti itu, yakni
suami dan isteri masing-masing mendapatkan setengah (50 %). Karena itu, kita dapat
memahami mengapa di Filipina, dalam peraturan yang diberlakukan pemerintah untuk
orang Islam (Code of Moslem Personel Laws of the Philippines ), tidak ada aturan
mengenai harta bersama dalam perkawinan. Demikian pula, dalam putusan-putusan
pengadilan Malaysia, soal harta bersama ini masih menjadi masalah yang belum
selesai. Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah,
Hambatan, dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 122.
117
Ahmad Zain an-Najah , ‛Harta Gono- Gini dalam Islam‛ Senin, 29 Jumadil
Akhir 1433 H/21 Mei 2012. Diakses pada tanggal 09 juni 2012 melalui
http://muslimahzone.com/harta-gono-gini-dalam-islam.
192
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
salah satu pihak mendapatkan bagian yang lebih banyak, jika yang
demikian tersebut menurut pertimbangan hakim sudah mencerminkan
rasa keadilan.
Berdasarkan temuan penulis di PA DKI Jakarta dalam kasus
sengketa harta bersama dari tahun 2010-2011 menunjukkan bahwa, PA
Jakarta Timur menenmpati urutan pertama dengan jumlah 48 kasus.
Dengan rincian, perkara yang masuk tahun 2010 sebanyak 14 perkara.
Satu (1) kasus telah dicabut, yang diputus berjumlah 8 kasus. Tahun
2011 yang diterima berjumlah 27 kasus, yang diputus 19 kasus. Dari
tahun 2010-2011 yang telah diputus berjumlah 27 kasus.118 Peringkat
kedua, PA Jakarta Selatan dengan jumlah 30 kasus, yang telah berhasil
diputus sebanyak 20 kasus. Kemudian, PA Jakarta Pusat menempati
urutan ketiga dengan jumlah 14 kasus dan semuanya telah berhasil
diselesaikan. Selanjutnya, PA Jakarta Utara dengan total 13 kasus, yang
berhasil diputus berjumlah 10 kasus. Terakhir Jakarta Barat dengan
jumlah 9 kasus, 7 kasus telah diselesaikan. Sisanya dalam peruses
persidangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel: 5.11.
Perkara Permohonan Harta bersama yang diterima dan diputus
Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011
No. Pengadilan Agama Perkara Perkara
DKI Jakarta Diterima Diputus
1. Jakarta Utara 13 10
2. Jakarta Selatan 30 20
3. Jakarta Timur 48 27
4. Jakarta Pusat 14 14
5. Jakarta Barat 9 7
Jumlah 115 68
Sumber: Pribadi Dari Laporan Tahunan Peradilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-
119
2011.
118
Diakses pada 27 November 2012 melalui http://infoperkara.badilag.net/.
119
Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta
Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat
pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach
Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. Lihat Ujang Mukhlis,
‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan
Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30
Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
193
Fatima
tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).
Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat
Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id. Di akses pada tanggal 2 Agustus 2011.
194
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
195
Fatima
120
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi
Pengadilan‛, Buku II (Jakarta, Mahkamah Agung RI Dietorat Jenderal Badan Peradilan
Agama, 2002), 118.
121
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradnya
Paramita 2005), 29.
122
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2001),
104.
123
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), 27.
124
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata (Bandung: Mandar Maju,
1989), 49.
196
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
bersama baru dapat timbul jika didahului gugat cerai. Itu sebabnya
gugatan yang lain itu pada prinsipnya assessor atau bergantung kepada
gugat cerai. Oleh karena itu untuk menghindari agar gugatan tidak
obscur libel, formulasi gugat secara sistematis harus dimulai urutannya
dengan gugat cerai baru menyusul gugatan lainnya. Misalnya Pemohon
atau Penggugat menghendaki agar permohanan atau gugatan sekaligus
meliputi penyelesaian pemeliharaan anak, nafkah dan harta bersama.
sebagaimana kasus di atas. Formula gugatan atau permohonan yang
dianggap memenuhi tata tertib beracara adalah, dimulai dari dalail
gugatan. Menyusul kemudian gugat dan alasan pengusaan anak,
dilanjutkan dengan gugat dan alasan nafkah dan terakhir baru gugat dan
alasan pembagian hata bersama.
Dengan demikian tidak boleh gugat didahului oleh penguasaan
anak, hak nafkah dan harta bersama. Jika hakim menemukan gugatan
yang menyalahi tata tertib beracara tersebut, maka hakim dapat
memberi nasehat agar diperbaiki urutannya, karena jika tidak diperbaiki,
maka gugatan tidak dapat diterima. Demikian juga petitum cerai harus
dimulai dari meminta putusnya perceraian, kemudian memberi izin
kepada Pemohon (suami) untuk mengucapkan ikrar talak di sidang
pengadilan. Selanjutnya baru menyusul petitum tentang penguasaan
anak, nafkah dan pembagian harta bersama.125
Secara Posedural, bunyi amar putusan kasus di atas telah sesuai
dengan hukum beracara. Dasar hukum dan pertimbangan Majelis hakim
Pengadilan Agama Jakarta selatan dalam memutuskan kasus di atas
adalah, bahwa kasus tersebut bertentangan dengan pasal 33 UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan jo Pasal 77 Ayat (2) KHI yang
menyatakan bahwa, antara suami istri harus saling cinta mencintai,
hormat menghormati, setia memberi bantuan lahir dan batin yang satu
dengan yang lainnya. Selain itu tujuan perkawinan sebagaimana bunyi
surah al-Ru>m Ayat 21126 tidak terwujud. Menurut Majelis hakim, alasan
gugatan Penggugat telah memenuhi kualifikasi yuridis sesuai dengan
ketentuan pasal 39 ayat (1)127 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf
125
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Acara peradilan Agama, 218-219.
126
Redaksi ayat tersebut adalah;
127
Pasal tersebut menyatakan bahwa, Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
197
Fatima
(f)128 PP No. 9 Tahun 1975 dan pasal 119 huruf (c) KHI.129 Berdasarkan
ketentuan pasal 41 huruf (a) UU No. 1 tahun 1974, apabila terjadi
perselisihan tentang pengasuhan anak, maka Pengadilan yang
memutuskan. Sesuai dengan tanggal kelahiran anak tersebut belum
mencapai usia 12 tahun, maka hak asuhnya ada di pihak ibu.
Gugatan mengenai harta bersama, hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan memutuskan dengan menyatakan bagian istri 65% dan
suami 35%. Adapun pertimbangan hakim adalah seharusnya suami yang
bertanggungjawab mencukupi kebutuhan rumah tangga justru tidak
mempunyai andil, akan tetapi sebaliknya semua kebutuhan keluarga
dicukupi oleh istri. Dalam kasus seperti ini hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan bahkan semua hakim Pengadilan Agama DKI Jakarta
dalam kasus serupa sering kali melakukan ijtihad dengan
mengesampingkan Pasal 97 KHI yang pembagian antara suami istri
masing-masing mendapat seperdua, dengan pertimbangan bahwa tidak
adil rasanya memberikan bagian separuh kapada istri sebagai tulang
punggung keluarga, sedangkan suaminya pengangguran.130 Dalam kasus-
kasus seperti ini seyogyanya hakim berhati-hati dalam memeriksa kasus-
kasus tersebut, hal ini dilakukan agar memenuhi rasa keadilan,
kewajaran dan kepatutan.131
Berdasarkan ketentuan pasal 37 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo Pasal 97 KHI yang menyebutkan bahwa janda atau duda
cerai hidup masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sebagaimana kasus yang telah diputus di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat dengan Nomor 686/Pdt.G/2010/PAJP. Dalam putusan tersebut
Majelis hakim memutuskan bagian Penggugat (istri) dan Tergugat
(suami) masing-masing seperdua.
Bagian seperdua ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa
dalam suatu perkawinan itu baik pihak istri maupun suami mempunyai
128
Bunyi Pasal tersebut menyebutkan bahwa, perceraian dapat terjadi dengan
alasan antara suami isti terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup ukun kembali dalam rumah tangga.
129
Pasal tersebut menyatakan bahwa, termasuk katagori talak ba’in sughra
adalah talak yang dijatuhkan Pengadilan Agama.
130
Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Tanggal 18 Juli 2012.
131
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2006), 129.
198
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
199
Fatima
134
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 129.
200
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya. Menjawab dari rumusan permasalahan mengenai bentuk
dan tingkat perlindungan hukum terhadap wanita dalam peraturan
perundang-undangan dan praktik penegak hukum di Indonesia, penulis
memberikan kesimpulan:
1. Hukum keluarga Islam di Indonesia yang terdapat dalam UU
No.1/1974 dan KHI telah berupaya memberikan perlindungan
terhadap hak-hak wanita dan anak dalam kehidupan keluarga. Hal ini
dapat dilihat dari adanya peraturan mengenai batasan usia
perkawinan, adanya peraturan mengenai dispensasi kawin, peraturan
mengenai wali ‘ad{al, poligami diperketat, hak cerai gugat, asas
mempersulit perceraian dan pembagian harta bersama.
2. Berdasarkan hasil putusan-putusan Pengadilan Agama, ditemukan
beberapa kasus yang tidak memberikan perlindungan terhadap hak-
hak wanita. Hal ini terbukti mayoritas putusan hakim Pengadilan
Agama menggugurkan hak nafkah ‘iddah dalam kasus cerai gugat,
karena istri dianggap melawan dan durhaka terhadap suami. Pada
kasus hak nafkah anak pasca perceraian, dari 38 putusan tidak
ditemukan dalam amar putusan yang menjamin terpenuhinya hak
nafkah anak. Selanjutnya dalam kasus poligami, dari 45 putusan ada
3 alasan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yaitu alasan karena menjalankan syari’at agama, kurang terpenuhinya
nafkah batin dan calon istri kedua telah hamil di luar nikah.
3. Kedudukan wanita sebagai ibu telah terlindungi, namun kedudukan
wanita sebagai istri dan anak masih tidak terlindungi. Terbukti tidak
ditemukan dalam hukum materiil yang secara eksplisit mengatur
tentang akibat hukum pasca cerai gugat dan tidak ada pula peraturan
mengenai jaminan terpenuhinya hak nafkah anak pasca perceraian.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, ada
beberapa saran yang perlu dikemukakan yaitu,
1. Kepada pengkaji hukum keluarga Islam, agar meneliti lebih lanjut
beberapa hasil putusan Pengadilah Agama dengan melakukan
perbandingan pada wilayah tertentu seperti perbandingan hasil
Fatima
202
DAFTAR PUSTAKA
204
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
205
Fatima
206
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
207
Fatima
208
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
209
Fatima
210
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
211
Fatima
212
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
213
Fatima
WEBSITE
214
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Nafisah, Durotun. ‚Jurnal Studi Gender & anak Politisasi Relasi suami-
Istri: Telaah KHI perspektif Gender‛. Diakses pada tanggal 15
Juni 2012 melalui http://www.google.co.id/.
Permana, Sugiri. ‚Paradigma Baru dalam Penyelesaian Sengketa Hak
AsuH Anak Pada Peradilan Agama‛, 3. Di akses melalui
http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/ pada tanggal 10 juni
2012.
Quraish, Shihab. ‚Poligami dan Kawin Sirri Menurut Islam‛, di akses
pada 18 November 2012 melalui
http://nambas.wordpress.com/2010/03/03/quraish-shihab-
poligami-dal-kawin-sirri-menurut-islam/
Rosmadi. ‚Informasi Perkara Peradilan Agama Tahun 2011,‛ Kamis 08
Maret 2012. diakses pada tanggal 17 Juni 2012 melalui
http://www.badilaq.net/statistik-perkara/10119-informasi-
perkara-peradilal-agama-tahun-2011.html
215
Fatima
http://ebookbrowse.com/zmh-final-gender-justice-doc-
d23027170.
PUTUSAN
216
GLOSSARIUM
218
INDEKS
‘ H
Joseph Schacht.........................................10
Fatima
K N
KHI .. 2, 5, 6, 7, 8, 12, 13, 15, 16, 48, 51, 57, New York ............ 10, 35, 36, 131, 210, 212
58, 61, 62, 63, 67, 72, 74, 75, 83, 98, 99,
100, 101, 107, 115, 116, 117, 118, 119,
120, 123, 124, 125, 126, 127, 135, 136, P
137, 140, 141, 149, 160, 161, 163, 168,
169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, Pasal . 4, 8, 48, 49, 54, 58, 62, 67, 72, 75, 82,
180, 188, 190, 191, 192, 197, 198, 199, 83, 96, 98, 100, 101, 105, 114, 116, 117,
200, 206, 207, 208, 207, 213, 214, 221 118, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 138,
Khoiruddin Nasution ...2, 12, 43, 44, 45, 46, 147, 148, 149, 150, 151, 160, 161, 163,
48, 49, 87, 90, 91, 93, 94, 168, 170 164, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 175,
Khuluk ................................... 168, 169, 171 190, 191, 192, 197, 198, 200, 204, 206,
Kuwait ..................................... 49, 115, 139 207, 217, 221
Pengadilan Agama .. 2, 6, 7, 8, 9, 14, 15, 16,
53, 58, 59, 62, 65, 76, 77, 78, 79, 80, 81,
L 83, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106,
107, 108, 116, 117, 120, 121, 123, 124,
Lebanon ................................. 71, 72, 95, 96 125, 126, 127, 135, 136, 143, 148, 149,
Libya ........................................... 49, 69, 96 150, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 159,
160, 162, 163, 164, 166, 168, 170, 171,
172, 173, 174, 175, 176, 180, 183, 184,
M 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 193,
194, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207,
M. Idris Ramulyo .......................... 174, 196 208, 207, 208, 212, 220, 222, 224
M. Quraish Shihab.....11, 17, 18, 19, 23, 27, Peradilan Agama2, 3, 4, 6, 8, 11, 52, 55, 56,
28, 32, 33, 128 57, 62, 63, 70, 74, 82, 83, 105, 106, 115,
Mahmu>d Shalt}u>t} ...................................... 25 116, 119, 121, 122, 124, 127, 136, 138,
Malaysia ...... 2, 12, 53, 69, 73, 97, 168, 200, 140, 141, 159, 168, 172, 175, 178, 180,
216, 220 189, 190, 193, 199, 202, 204, 205, 208,
Maroko 43, 49, 69, 70, 71, 72, 96, 139, 140, 210, 212, 213, 214, 215, 220, 221, 229
148
Mas}lah}ah Mursalah ............................... 223
Mesir . 10, 22, 42, 43, 47, 48, 49, 69, 71, 72, R
114, 137, 139, 148, 217
Muchith A. Karim .. 14, 136, 137, 139, 140, Rashi>d Rid}a..............................................21
215 Rashi>d Rid}a>........................................ 20, 21
Muhammad Abduh .......................... 21, 147 Riffat Hassan ................................... 27, 215
Muhammad Bultaji.................................. 11 Ruben Levy..............................................10
Muhammad T>}ahir bin ‘Ashu>r .................. 21
Musdah Mulia ... 4, 5, 11, 37, 38, 40, 41, 62,
63, 68, 143 S
220
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Shafi’i .............................. 31, 169, 170, 220
W
Sudan ............................... 43, 49, 71, 72, 96
221
TENTANG PENULIS