Anda di halaman 1dari 233

FATIMA

Wanita dalam Hukum Keluarga Islam


di Indonesia:
Studi atas Kedudukan Wanita sebagai Ibu, Istri, dan Anak

Penerbit PKBM ‚Ngudi Ilmu‛


Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia:
Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri, dan Anak
Fatima
©PKBM ‚Ngudi Ilmu‛ 2013

viii + 238 halaman : 16,5 x 24 cm

ISBN : 978-602-1552-01-8

Pemeriksa Aksara : Maskur Rosyid


RancangSampul : Muhim Agung Pribadi
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
All right reserved
Cetakan I : Mei 2013

Penerbit:
PKBM ‚Ngudi Ilmu‛
Alamat:
Jl. Kyai Sampir No. 05
Kalirejo Salaman Magelang 56162
HP. 08574685441
Email :ilmungudi@gmail.com

Printed by:
Irama2IIVHW
Gd. Hijau, Jl. Kertamukti Dpn Kampus II
UIN Syarif Hidayatullah Ciputat
Tanggerang. HP. 081280481098
Email: irama2fotocopy@yahoo.co.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena


berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, mahkluk yang lemah ini masih
diberi kesempatan untuk menghirup udara segar dan menatap indah
ciptaan-Nya dan atas pertolongan-Nya tesis ini dapat terselesaikan.
Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi akhir zaman
yaitu Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari
zaman Jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan keberkahan serta suri
tauladan sepanjang masa. Karena atas ketauladanannya penulis dapat
melewati masa-masa tersulit dalam penulisan tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa diri ini memiliki
kekurangan, sehingga penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
berbagai pihak yang telah memberikan dukungan, motifasi, bimbingan
dan arahan selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan
tesis ini.
Oleh karena itu dalam tulisan ini, penulis ingin mengucapkan
rasa terimakasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada Prof.
Dr. Kamaruddin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku
Direktur Sekolah Pascasarjana yang telah memberi izin dan kesempatan
kepada penulis untuk belajar dan menimba ilmu di SPs UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Prof. Suwito, MA, Prof. Dr. Amany Lubis, MA,
Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Deputi Sekolah Pascasarjana UIN.
Pembimbing Dr. Euis Nurlaelawati, MA yang telah dengan sabar
memberikan arahan, bimbingan, dan masukan terhadap penulisan tesis
ini. Penulis tidak bisa membalas budi baiknya dan hanya mendoakan
agar senantiasa mendapat keberkahan hidup, kesehatan, umur yang
panjang, rezeki yang cukup, dan dicintai mahasiswanya.
Dosen-dosen lain yang tak kalah menginspirasi penulis: Prof. Dr.
H. Muhammad Atho Muzhar, MSPD, Prof. Dr. Quraish Shihab, MA.,
Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA., Dr. Asep Saepudin Jahar,
MA., Dr. Fuad Jabali, MA., Dr. JM Muslimin., Prof. Dr. M. Amin Suma,
SH,MA,MM., Prof. Dr. Abudin Nata, MA., Prof. Dr. Ahmad Thib Raya,
MA. Juga kepada seluruh karyawan, staf dan pustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dan melayani segala
keperluan studi penulis, semoga Allah melimpahkan nikmat dan
keberkahan-Nya.
Suami tercinta Rohim bin Teguh dan ananda terkasih Kaffa
Albar Assyaraf dan tak lupa juga Reflianti sekeluarga yang selalu
Fatima
mendukung baik moril dan materiil dalam menyelesaikan tesis ini.
Orang tua tercinta Ayahanda alm H. Achmad Ibunda Hj. Qomariah,
Alm. H. Muzammil, Alm. H. Amin, Alm. Hj Solehah binti Jaru serta
nenek tersayang Alm. Hj. Aminah yang semasa hidupnya telah
mendidik, membimbing dan mendoakan demi keberhasilan penulis.
Kakak tersayang Hj.Halimah sekeluarga dan Hj. Masnu’ah sekeluarga
yang senantiasa memberikan semangat dan inspirasi penulis dalam
menyelesaikan tesis ini patut memperoleh ucapan terima kasih yang
tulus.
Kepada segenap para hakim DKI Jakarta yang telah senang hati
meluangkan waktunya untuk membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Teman-teman satu angkatan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta konsentrasi syariah dan seluruh teman-teman dari
berbagai konsentrasi yang penulis kenal yang telah membantu serta
bertukar fikir baik selama belajar hingga penyusunan tesis ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan dan
sumbangsihnya mendapatkan ridha dari Allah SWT.
Akhirnya, semoga karya yang sederhana ini dapat menambah
khazanah keilmuan, dan penulis mengharap sumbang saran, kritik dan
masukan yang positif untuk kesempurnaan dan kemanfaatan tulisan ini.

Jakarta, 15 Februari 2013

Fatima

iv
PEDOMAN TRANSLITERASI

B = Z = F =

T = S = Q =

Th = Sh = K =

J = Ṣ = L =

Ḥ = Ḍ = M =

Kh = Ṭ = N =

D = Ẓ = H =

Dh = ‘ = W =

R = Gh = Y =

Short :a=´ ; i =; u=

Long :ā= ;ū= ;ū=


Diphthong : ay = ; aw =

Ta’ Marbuṭah : apabila waqaf menjadi “h”


Shaddah : ditulis dobel

Contoh :
: Ḥusayn : Ḥawla

: Fāṭimah : Rabbanā

: Al-Shams : Al-Nisā’

: Al-Madīnah al-Munawwarah

Trasliterasi ini tidak berlaku pada kata-kata yang telah diserap ke dalam
bahasa Indonesia seperti kata hadis, zakat, wakaf, nash, dan lain
sebagainya.
Fatima
SINGKATAN-SINGKATAN

1. Singkatan dalam Transliterasi


Cet. : Cetakan
Dkk. : dan Kawan-kawan
ed. : Editor
H : Tahun Hijriyah
M : Tahun Masehi
Saw : Sallala>hu ‘alayhi Wasallam
SWT : Subhanalla>huwaTa’ala>
t.th. :Tanpa tahun
t.tp. :Tanpa tempat penerbit
tp. : Tanpa penerbit
Vol. : Volume

II. Singkatan Kata


BW : BurgerlijkWetboek
CEDAW :Committe on the Elimination of Discrimination against
Women
CLD-KHI : Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
HAM : Hak Asasi Manusia
MUI : Majelis Ulama Indonesia
UUD : Undang-Undang Dasar
MA : Mahkamah Agung
INPRES : Intruksi Presiden
RI : Republik Indonesia
KOWANI : Kongres Wanita Indonesia
PPN : Pegawai Pencatat Nikah
KUA : Kantor Urusan Agama

vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................iii


PEDOMAN TRANSLITERASI..................................................................v
SINGKATAN-SINGKATAN .....................................................................vi
DAFTAR ISI................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................7
C. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................9
E. PenelitianTerdahulu yang Relevan ............................................9
F. Metodologi Penelitian ................................................................14
G. Sistematika Penulisan ................................................................15

BAB II WANITA DAN HUKUM


A. Kedudukan Wanita dalam Perspektif Hukum Islam .................17
B. Wanita dalam Hukum Internasional ..........................................34
C. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim .........41

BAB III PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI


INDONESIA
A. Sejarah Singkat Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974
dan KHI ......................................................................................49
B. Subtansi Hukum Materiil UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI .......56
C. Respon Masyarakat terhadap UU No. 1 Tahun 1974
dan KHI ......................................................................................58

BAB IV WANITA SEBAGAI ANAK DAN IBU DALAM


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN
PRAKTIK DI PENGADILAN AGAMA
A. Batasan Usia Minimum Perkawinan dan Ketentuan tentang
Dispensasi Nikah ........................................................................63
B. Status Wali dan Persetujuan Mempelai Wanita dalam
Perkawinan .................................................................................83
C. H}ad}an> ah dan Problematika Penyelesaiannya .............................105
D. Hak Waris Anak: Antara Kodifikasi dan Reformasi .................123
Fatima
BAB V WANITA SEBAGAI ISTRI DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERAKTEK HUKUM
DI PENGADILAN AGAMA
A. Poligami: Putusan yang tidak Ternegosiasikan ........................137
B. Cerai Gugat dan Khuluk: Reformasi Hukum yang Belum
Final ............................................................................................160
C. Pembagian Harta Bersama dalam Masalah Pencari Nafkah ......185

BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................201
B. Saran-Saran ................................................................................201

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................203


GLOSARIUM .............................................................................................217
INDEKS ......................................................................................................219
TENTANG PENULIS ................................................................................223

viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedudukan wanita dalam hukum keluarga yang terdapat dalam
kitab-kitab fikih pada masa klasik dan pertengahan mencerminkan
kelemahan terhadap pria. Hal ini terjadi karena sebagian pemahaman
para penulis dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Sebagian lainnya karena
para penulis hidup dalam struktur budaya masyarakat patriarki 1 yang
pada akhirnya produk hukum yang tertera dalam fikih-fikih tersebut
cenderung mendiskriminasikan wanita, baik itu dalam bidang
perkawinan, perceraian, dan waris. Islam yang berpedoman pada al-
Qur’an dan sunnah memberikan perhatian yang besar dan kedudukan
yang terhormat terhadap wanita, baik sebagai anak, istri, ibu, anggota
kelurga dan anggota masyarakat.2 Islam secara bertahap mengembalikan
hak-hak wanita sebagai manusia merdeka. Hak menentukan keyakinan,
hak berkarya, hak memiliki harta serta hak memperoleh warisan dalam
keluarga.3
Tuntutan zaman modern untuk meningkatkan status wanita
dalam hukum keluarga telah memberikan kesadaran umat Islam
diberbagai negara Muslim untuk melakukan reformasi hukum keluarga
(perkawinan, perceraiaan dan warisan)4 yang baru terlaksana pada abad
ke-20 M. Tujuan usaha reformasi hukum keluarga berbeda antara satu
negara dengan negara lain yang secara umum dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok yaitu pertama, negara yang bertujuan untuk
unifikasi hukum keluarga. Kedua, untuk pengangkat status wanita.

1
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin, eds. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), 204.
2
Huzaimah Tahido Yanggo, ‚Konsep Wanita Menurut al-Qura>n, Sunnah dan
Fikih‛ dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tektual dan Kontektual (Jakarta:
INIS, 1993), 19. Lihat ‘Abdulla>h bin Wakil Al-Shaykh, Al-Mar’ah Qa>’id al-‘Adl
(Beirut: Ma’had al-‘Ulu>m al-Isla>miyyah wal al-‘Ara>biyah, 19993), 10.
3
Noel J Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: University Press,
2004), 17. Lihat Rachel M. Scott, ‚A Contextual Approach to Women’s Rights in the
Quran‛, diakses pada 31 Desember 2012, melalui
www.rc.vt.edu/pubs/Scott_Muslim_World.pdf.
4
Majid Khadduri, ‚Marriage in Islamic Law: The Modernists Viewpoints,‛
American Journal of Comparative Law, No. 26 (1978), 214, Norman Anderson, Law
Reform in The Muslim World (London: The Athlone Press, 1976), 2.
Fatima

Ketiga, untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena


konsep fikih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.5
Di Indonesia usaha reformasi hukum keluarga telah menuai hasil,
hal ini terbukti dengan terbentuknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.6 Undang-undang ini merupakan hukum perkawinan
Islam yang sudah menjadi bagian dari hukum nasional, dan diberlakukan
bagi segenap warga negara Indonesia. Setelah Undang-undang tersebut
disahkan, maka hukum fikih Islam telah memasuki fase baru yang
disebut fase taqni>n (fase pengundangan).7
UU No.1 Tahun 1974 telah disahkan, tetapi pelaksanaannya
melalui putusan Pengadilan Agama masih harus dikukuhkan oleh
Pengadilan Negeri, dengan terbentuknya UU No. 7 Tahun 1989 jo UU
No. 3 Tahun 2006 jo UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama,
putusannya disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Pada faktanya,
implementasi hukum Islam di Indonesia masih bermasalah, karena tidak
ada keseragaman para hakim Peradilan Agama dalam menetapkan
hukum terhadap persoalan-persoalan hukum perkawinan yang mereka
hadapi sering terjadi perbedaan putusan antara satu Peradilan Agama
dengan Peradilan Agama yang lainya, dan dapat mengurangi wibawa
Peradilan Agama. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya kitab materi
hukum Islam yang sama. Dari realitas ini, keinginan untuk menyusun
‚Kitab Hukum Islam‛ dalam bentuk kompilasi ini bukan saja didasarkan
pada kebutuhan adanya keseragaman referensi keputusan hukum di
Peradilan Agama Indonesia, tetapi juga didasarkan pada keharusan
terpenuhinya perangkat-perangkat peradilan yaitu kitab Materi Hukum
Islam yang digunakan di lembaga peradilan tersebut. Itulah yang
mendorong pembentukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)8 dengan
berdasarkan Perundang-undangan seperti UU No. 22 Tahun 1946, UU

5
Atho Mudzhar dan Kharuddin Nasution, eds. Hukum Keluarga di dunia
Muslim: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kita>b -Kita>b Fikih,
10-11. lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia
(Jakarta: INIS, 2002), 1-2.
6
Selanjutnya ditulis dengan UU No.1 Tahun 1974.
7
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), 182.
8
Penulisan selanjutnya disingkat dengan KHI.

2
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

No. 32 Tahun 1954, UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan
PP No. 28 Tahun 1977.9 Menurut Yahya Harahap secara umum
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI merupakan penegasan
ulang tentang hal-hal yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974.
Penegasan ulang tersebut langsung dibarengi dengan penjabaran lanjut
atas ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975.10
Lahirnya undang-undang perkawinan tersebut merupakan
tuntutan pokok yang telah lama diperjuangkan, terutama oleh
pergerakan wanita Indonesia, sebagian besar telah terpenuhi, karena
undang-undang perkawinan tersebut mempunyai ciri khas, yaitu
berkenaan dengan asas, tujuan, dan sifatnya untuk mengangkat harkat
dan derajat serta kedudukan kaum wanita Indonesia.11 Sebelum ada
undang-undang perkawinan ini, nasib wanita dan anak sering diabaikan
oleh suami atau ayahnya. Laki-laki menggunakan hak cerai dengan
semena-mena, akibatnya wanita dan anaklah yang paling menderita,
akibat perceraian seperti itu, di samping merupakan suatu pukulan batin
bagi perempuan juga memberatkan beban hidupnya, ia harus mencari
nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya karena bekas suaminya
meninggalkannya begitu saja.12
Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 telah mensejajarkan wanita dan
pria dalam perkawinan sebagaimana dalam ketentuan hukum Islam,
bahwa wanita adalah mitra pria dan pria adalah mitra wanita.13 Menurut

9
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, 182-18.
10
Maksud penjabaran lanjut tersebut bertujuan membawa ketentuan-ketentuan
UU No. 1 Tahun 1974 ke ruang lingkup yang bernafas syari’ah Islam. Ketentuan pokok
yang bersifat umum dalam UU No. 1 Tahun 1974 dirumuskan menjadi ketentuan yang
bersifat khusus sesuai dengan ajaran Islam dan berlaku khusus bagi ummat Islam. Lihat
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007), 37.
11
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah,
Hambatan, dan Prospeknya (Jakarta: Rajawali Press, 1996),117-118.
12
Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 39.
13
Lihat Q.S. al-H{ujura>t/43:13. Menurut Muhammad Daud Ali, kejadian
wanita dan pria relatif berlainan dan fungsi masing-masing dalam keluarga dan
masyarakat berbeda, hak dan kewajiban wanita dibandingkan dengan pria dalam hal
tertentu sama, dalam beberapa hal yang lain berbeda. Perbedaan hak dan kewajiban
yang merupakan konsekuensi kodrat dan fungsi antara pria dan wanita itu tidak boleh
dijadikan dasar untuk mengadakan diskriminasi antara pria dengan wanita. lihat

3
Fatima

Azyumardi Azra, UU No. 1 Tahun 1974 merupakan bagian dari


kodifikasi hukum perkawinan Islam. Semua pasal-pasalnya sejalan
dengan shari’ah. Penyebaran dan implementasi dari undang-undang
tersebut merupakan sebuah pelembagaan shari’ah di Indonesia.14
Pada praktiknya, sebagian umat Islam ada yang memperjuangkan
undang-undang perkawinan agar sesuai dengan hukum Islam dan
sebagian ada yang mengingkari undang-undang ini sebagai bagian dari
internal hukum Islam. Hal ini terbukti dari sebagian umat Islam yang
masih berpegang pada doktrin fikih seperti dalam masalah poligami,
pencatatan perkawinan, dan perceraian, sehingga masih banyak
masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah tangan, poligami, dan
perceraian secara liar. Semua itu dianggap sebagai tindakan yang wajar
karena fikih membolehkan, walaupun hal tersebut bertentangan dengan
undang-undang perkawinan. Sebagian masyarakat yang lain
menganggap bahwa undang-undang perkawinan tersebut diskriminasi
antara laki-laki dan wanita (bias gender) serta melanggar HAM.15
Atas dasar tersebut, munculah usaha masyarakat untuk
mengamandemen UU No.1 Tahun 1974. Usaha tersebut menuai pro dan
kontra di berbagai media massa. KOWANI (Kongres Wanita Indonesia)
misalnya, sebagai federasi dari 77 organisasi wanita ditingkat nasional
mengajukan usulan penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1974 dengan
alasan antara lain bahwa undang-undang perkawinan tersebut sangat
diskriminatif terhadap wanita dan kurang adanya kesetaraan gender.16
Aktifis wanita Musdah Mulia berpendapat bahwa, undang-undang
perkawinan di Indonesia harus diamandemen agar lebih berpihak kepada
wanita. Banyak agenda yang harus diperjuangkan menyangkut
persoalan-persoalan perlindungan wanita. Amandemen tersebut harus
dilakukan dengan kajian yang menyeluruh dan terdapat konsistensi antar

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo
Prsada, 2005), 36.
14
Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law of 1974 an
Institutionalization Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim and Azyumardi
Azra, eds. Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore: ISEAS, 2003), 85.
15
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, 165.
16
Kowani, Upaya Penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
makalah ini disampaikan pada diskusi panel, ‚Meninjau UU Perkawinan dalam
Perspektif HAM dan Syari’ah Islam, yang diselenggarakan oleh PUSKUM HAM
Jakarta, tanggal 16 November 2000 di Jakarta.

4
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

pasalnya. Selain itu, harus ada kesamaan persepsi dalam kelompok


wanita agar pembahasan bisa lebih fokus.17
Berbeda dengan pendapat di atas, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) menolak usulan perubahan undang-undang tersebut. Penolakan
tersebut dilakukan karena seandainya undang-undang tersebut direvisi,
akan menimbulkan mudarat yang lebih besar karena dikhawatirkan akan
mengubah pasal-pasal yang sudah menjadi konsensus Nasional. Lebih
lanjut MUI menegaskan bahwa kasus-kasus yang terjadi dalam
perkawinan seperti pernikahan sirri ataupun perkawinan di bawah
tangan adalah kesalahan oknum petugas, bukan karena undang-
undangnya. Untuk itu diperlukan adanya upaya penyadaran masyarakat
dan penegakan hukum bagi aparat pelaksananya.18
Senada dengan pendapat MUI, Azyumardi Azra dan Taher
Azhary menyatakan bahwa, undang-undang perkawinan sangat sesuai
dengan hukum agama dan dasar negara, Pancasila serta UUD 1945, oleh
sebab itu wajib dipertahankan karena undang-undang tersebut sangat
bermanfaat untuk mengatur dan menertibkan masalah perceraian di
Indonesia.19 Hal ini terbukti dengan adanya UU No. 1 Tahun 1974 dan
KHI mempunyai dampak signifikan, yaitu menekan praktik perkawinan
usia dini, perceraian diprakarsai oleh istri (gugat cerai) terus
meningkat.20 Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Abdul Wahab
Abd. Muhaimin yang menyebutkan, pada tahun 2000-2009 angka cerai
gugat dari seluruh daerah di Indonesia setiap tahunnya semakin
meningkat dengan perbandingan yang sangat signifikan sebagaimana
tabel di bawah ini.

17
Musdah Mulia, Islam Hak Asasi Manusia (Jakarta: Naufan Pustaka, 2010),
148-149. lihat Budie Santi ‚Mengapa UU Perkawinan Perlu di Amandemen?,‛
Yayasan Jurnal Wanita, diakses pada tanggal 15 Juni 2012 melalui
http://arsip.jurnalwanita.com
18
Surah penolakan MUI terhadap usulan Menteri Pemberdayaan Wanita RI
tentang Penyempurnaan undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, No.
B.120/MUI/V/2003 tanggal 5 Rabiul Awal 1424 H/7 Mei 2003 M.
19
Taher Azhary, UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaannya, Suatu Analisis dalam Perspektif Hukum Islam, makalah yang
disampaikan pada acara seminar tentang usul amandemen UU Perkawinan yang di
selenggarakan oleh MUI, 2000 di Jakarta, 4-5.
20
Kenyataan ini mencerminkan munculnya kesadaran baru di kalangan wanita
Muslim untuk mengambil tindakan hukum jika suami mereka melalaikan tugasnya
dalam perkawinan mereka. Lihat Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law
of 1974 an Institutionalization Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim
and Azyumardi Azra,eds. Shari’a and Politics in Modern Indonesia, 88-90.

5
Fatima

Tabel: 1.1
Data yang Diterima Mahkamah Agung
dari Tahun 2000 s/d 2009

Nomor Tahun Cerai Talak Cerai Gugat Perkara Lain Jumlah


1 2000 71.121 90.551 8.176 169.848
2 2001 69.767 93.166 8.402 171.335
3 2002 64.165 94.475 7.848 166.488
4 2003 58.225 88.968 7.331 154.524
5 2004 59.930 97.472 7.864 165.266
6 2005 62.437 103.383 9.313 175.133
7 2006 62.602 104.965 13.510 181.077
8 2007 72.759 124.079 20.246 217.084
9 2008 77.773 143.747 23.503 245.023
10 2009 86.592 171.477 26.680 284.749
Jumlah 685.371 1112.583 132.873 1930.527
Sumber: 1. Laporan Tahun Direktorat Peradilan Agama Depag RI Tahun 2000-2005.
2. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,Mahkamah
21
Agung RI, Tahun 2006-2009.

Tabel di atas menunjukkan bahwa hasil laporan yang diterima


oleh Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI dan Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Pengadilan
Tinggi di seluruh Indonesia dari tahun 2000 s/d 2009 kasus perceraiaan
mencapai angka yang signifikan dengan jumlah 1930.527. Dari jumlah
angka tersebut cerai gugat paling tinggi yaitu 1.112.583, sedangkan
cerai talak hanya 685.371 yang paling rendah adalah perceraiaan karena
perkara lain, seperti karena fasakh, suami mafqud, murtad, dan lain-lain
hanya 132.837.
Perceraian karena cerai gugat dari istri semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Hal ini merupakan dampak dari adanya UU No. 1 Tahun
1974 dan KHI. Dalam kedua peraturan tersebut dicantumkan hak dan
kewajiban istri terhadap suami. Peraturan mengenai prosedur dan tata
cara mengajukan cerai ke Pengadilan Agama membuat para istri yang
merasa dizalimi oleh suami, baik karena tidak diberi nafkah atau
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan mudah mengajukan
gugat cerai ke Pengadilan.
Berdasarkan fakta tersebut, penulis tertarik untuk merekontruksi
upaya perlindungan terhadap wanita dalam hukum keluarga yang
terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI. Hukum dan perundang-

21
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, 233.

6
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

undangan hanyalah barang mati. Ia akan menjadi hidup apabila berada


dalam tangan hakim yang bijak, cerdas, jujur, dan bermoral tinggi.
Hakim harus mampu menerjemahkan bahasa hukum dan sekaligus dapat
menerapkannya sesuai dengan rasa keadilan kepada para pihak yang
berperkara di Pengadilan Agama. Menurunnya kecerdasan dan
kemampuan para hakim terutama dalam memahami al-Qur’an dan hadis
yang sudah tercermin dalam undang-undang perkawinan, maka semakin
menurun pula kwalitas putusan mereka. Atas dasar inilah kemudian
banyak keluhan yang datang dari masyarakat yang tidak puas atas
kemampuan putusan hakim.22 Terkait dengan hal apakah hakim sebagai
penegak hukum sudah melakukan fungsinya secara profesional sesuai
dengan aturan hukum keluarga atau tidak.
Penelitian ini menjadi penting, mengingat kedua produk hukum
yaitu UU No.1 Tahun 1974 dan KHI telah mengalami rentang waktu
lebih dari seperempat abad. Sudah barang tentu kehadiran kedua produk
hukum tersebut banyak menuai pro dan kontra, apakah kedua produk
hukum tersebut perlu untuk direvisi atau tidak. Apakah undang-undang
tersebut sudah memberikan perlindungan terhadap wanita sesuai dengan
tujuannya, hak apa saja yang diatur dalam Undang-undang UU No.1
Tahun 1974 dan KHI? Apakah hak wanita ketika ia didudukkan atau
diposisikan baik sebagai anak, istri dan ibu dalam hukum keluarga sudah
terealisasi dengan baik di dalam putusan Pengadilan Agama. Untuk
mengetahui dengan baik dan mendalam tentang hal ini perlu dilakukan
penelitian secara empiris. Karena itu penelitian dengan judul ‚Wanita
dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan
Wanita sebagai Ibu, Istri dan Anak‛ laik untuk diangkat.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, tampak bahwa Indonesia juga
melakukan reformasi hukum keluarga sebagaimana negara-negara
Muslim lainnya. Tidak berlebihan jika dikatakan betapa pentingnya
studi tentang hukum perkawinan di Indonesia, sesuai pendapat M. Daud
Ali dan M. Tahir Azhari yang menyatakan bahwa, hukum keluarga
menarik untuk dikaji, orang yang ingin menjadi ahli hukum Islam tidak
mungkin mengabaikan hukum keluarga yang dapat dikatakan sebagai
titik sentral dalam hukum Islam.23

22
Muhibin,‚Ijtihad Hakim Agama dalam Persepektif Undang-Undang,‚ 3
Desember 2010, di akses melalui http://www.walisongo.com
23
Lihat M. Daud Ali, ‚Hukum Keluarga dan Masyarakat Islam Kontemporer ‛
dalam PP- Ikaha, laporan seminar sehari Pengadilan Agama Sebagai Peradilan

7
Fatima

Terkait dengan pendapat di atas masalah hukum keluarga sangat


kompleks, terlebih jika dikaitkan dengan peran hakim dalam putusan
Pengadilan Agama, maka berdasarkan latar belakang masalah yang telah
diuraikan di atas dapat diidentifikasikan sebagai berikut.
1. Apakah UU No.1 Tahun 1974 dan KHI sudah memberikan
perlindungan terhadap wanita?
2. Pasal mana saja yang menjelaskan tentang hak-hak wanita?
3. Pasal mana saja yang menjadi pro dan kontra UU No.1 Tahun 1974
dan KHI?
4. Perlukah UU No.1 Tahun 1974 dan KHI direvisi?
5. Adakah putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
sesuai atau menyimpang dari hak-hak wanita dalam kedudukannya
sebagai anak, istri dan ibu, yang telah di atur dalam UU No.1 Tahun
1974 dan KHI?
6. Adakah perbedaan putusan antara satu Pengadilan Agama dengan
Pengadilan Agama lain dalam kasus yang sama?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, jika
dirinci secara normatif betapa luasnya hak-hak wanita dalam hukum
keluarga (UU No.1 Tahun 1974 dan KHI), yaitu dalam masalah hukum
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Penelitian ini dibatasi pada
hukum wanita baik posisinya sebagai anak, istri, maupun ibu dalam
hukum keluarga Islam saja.
Materi hukum yang menjadi wewenang Peradilan Agama sangat
luas sebagaimana Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 Jo. UU No. 50 Tahun
2009 Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi shari’ah. Obyek dalam penelitian ini adalah masalah hukum
perkawinan, perceraian, dan bagian waris anak saja.
Berdasarkan realita, begitu panjangnya rentang waktu sejarah
perjalanan Pengadilan Agama di Indonesia berikut banyaknya putusan-
putusan yang dihasilkannya maka penelitian ini mengambil rentang
waktu dua tahun yaitu dari tahun 2010-2011, dengan pertimbangan

Keluarga Islam Modern (Jakarta: PP-Ikaha, 1993), 1. lihat pula M. Tahir Azhary,
‚Hukum Keluarga dan Kewarisan Islam dalam Masyarakat Modern Indonesia‛, dalam
laporan Seminar Sehari, 29. lihat M. Tahir Azhary, Negara Hukum (Jakarta:Bulan
Bintang, 1992), 145.

8
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

banyaknya kasus yang diputus Pengadilan Agama sudah dapat mewakili


dan menjawab pesoalan yang dikaji. Meskipun diadakan pembatasan
waktu, tidak menutup kemungkinan mengkaji pula putusan yang relevan
dengan kajian ini. Putusan–putusan tersebut dibatasi hanya putusan
dalam kasus batasan usia perkawinan (putusan dispensasi nikah),
pesetujuan mempelai wanita (putusan wali ‘ad}al), had}a>nah, warisan
anak wanita, poligami, gugat cerai, dan harta bersama di wilayah
Pengadilan Agama DKI Jakarta saja yaitu Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pengadilan Agama Jakarta
Barat, Pengadilan Agama Jakarta Utara, dan Pengadilan Agama Jakarta
Timur.
Setelah menguraikan batasan yang menjadi obyek dalam
penelitian ini, perumusan yang menjadi kajian dalam penelitian ini
adalah bagaimana bentuk dan tingkat perlindungan hukum terhadap
wanita dalam peraturan perundang-undangan dan praktik penegak
hukum di Indonesia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan menjelaskan gambaran yang sebenarnya
tentang kedudukan serta hak-hak fundamental wanita dalam keluarga
yang berhak mereka nikmati yang terdapat dalam hukum keluarga Islam
di Indonesia. Tujuan berikutnya adalah untuk mengetahui apakah
putusan-putusan hakim Pengadilan Agama menciptakan keadilan dan
perlindungan hukum terhadap wanita atau sebaliknya.
Signifikansi penelitian ini adalah berguna untuk memberikan
informasi kepada masyarakat umum tentang hak-hak wanita dalam
hukum keluarga. Penelitian ini sangat penting terutama untuk wanita
dalam memahami hak-haknya dalam perkawinan, sehingga wanita dapat
menuntut haknya jika hak tersebut tidak terpenuhi. Melalui putusan-
putusan Pengadilan Agama tersebut dapat dipantau apakah hak-hak
yang diberikan kepada wanita sudah benar-benar terpenuhi atau tidak.
Lebih jauh, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
literatur tentang kajian kewanitaan dalam hukum keluarga.
E. PenelitianTerdahulu yang Relevan
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya
ilmiah yang telah dilakukan dan berkaitan dengan penelitian ini.
Penelitian tersebut terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
menyatakan, bahwa hukum keluarga menimbulkan diskriminasi
terhadap wanita. Kelompok kedua menyatakan, bahwa hukum keluarga
melindungi hak-hak wanita.

9
Fatima

Pendukung pertama, Joseph Schacht dan John L. Espito, dalam


Women in Muslim Family Law yang menyatakan hukum perdata Islam
menghadirkan sumber diskriminasi terhadap wanita. Hal ini dibuktikan
di dalam hukum keluarga Islam seorang laki-laki muslim dapat
mengawini sampai empat wanita dan menceraikannya sekehendak hati
tanpa perlu ada alasan pembenaran. Sebaliknya wanita muslimah hanya
dibatasi dengan satu suami dan dapat bercerai hanya melalui proses
pengadilan yang sangat ketat.24
Selanjutnya, Abdu>lla>hi Ah}med al-Na’i>m dalam penelitiannya
Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and
International Law menyatakan bahwa bentuk diskriminasi terhadap
muslimah dalam hukum keluarga Islam adalah hak suami untuk
memberikan perlindungan dan control terhadap istrinya, termasuk
menghukumnya dengan berbagai cara di antaranya ‚memukul ringan‛
jika ia dianggap tidak patuh (nushu>z). Adanya izin bagi suami untuk
mendisiplinkan istrinya dengan pukulan ringan ini bertentangan dengan
martabat manusia. Mau tidak mau wanita menjadi korban penghinaan
tersebut. Lebih lanjut al-Na’i>m menyatakan bahwa larangan shari’ah
kepada wanita muslimah untuk kawin dengan laki-laki nonmuslim,
sementara laki-laki muslim diizinkan kawin dengan wanita kita>biyah, ini
merupakan diskriminasi berdasarkan gender dan agama. Begitu juga
dalam hukum mi>ra>th (warisan), secara umum wanita memperoleh
separuh bagian dari seorang laki-laki meskipun keduanya memiliki
hubungan darah yang sama dengan pihak yang meninggal.25
Ruben Levy dalam bukunya yang berjudul The Social Structure
of Islam menyatakan bahwa, penghapusan diskriminasi dalam bidang
pernikahan diragukan.26 Pendapat yang sama dikemukan Riffat Hasan,
beliau menyatakan bahwa hukum keluarga di beberapa negara Islam
seperti Tunisia, Mesir, dan Syiria misalnya, telah dilakukan perubahan,
namun menyentuh pinggiran masalah, tidak banyak membawa
perubahan yang berarti bagi prinsip-prinsip yang mendasari hukum

24
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Clarendon
University Press, 1964), 161-166. Lihat John L. Esposito, Women in Muslim Family
Law (Suracuse: Syracuse University Press, 1982), 20.
25
Abdulla>hi Ah}med al-Na’i>m, Toward an Islamic Refomation: Civil Liberties,
Human Rights and International Law (New York: Syracuse University Press, 1996),
152-153.
26
Ruben Levy, The Social Structural of Islam (Cambridge: Cambridge
University Press, 1969), 91.

10
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

tersebut.27 Musdah Mulia dalam Islam Hak Asasi Manusia menyatakan


bahwa, hukum keluarga di Indonesia masih mendiskriminasikan wanita,
karena masyarakat Indonesia masih kental dengan budaya patriarki.28
Pendukung kelompok kedua menyatakan, bahwa hukum keluarga
Islam telah melindungi hak wanita. Pendapat tersebut di antaranya
dikemukakan oleh Muh}ammad Bultaji dalam Maka>nah al-Mar’a>h fi> al-
Qur’an al-Kari>m wa al-Sunnah al–S{ah}i>h}ah, mengatakan bahwa, shari’ah
Islam tidak menyamakan secara mutlak antara laki-laki di satu pihak
dan wanita di pihak lain, seperti yang banyak disuarakan belakangan ini
untuk menghilangkan (menghapuskan) sama sekali perbedaan antara
kaum wanita dan kaum laki-laki.29
Merujuk kepada bagaimana para hakim menyelesaikan
permasalahn hukum keluarga yang melibatkan wanita, Abdul Manan
dalam bukunya Reformasi Hukum Islam di Indonesia menegaskan,
metode ijtihad mas}lah}ah mendominasi putusan hakim Peradilan Agama
dalam reformasi hukum Islam di Indonesia. Hal ini dilakukan demi
melindungi hak-hak wanita.30
Quraish Shihab, dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al-
Qur’an, menjelaskan bahwa salah satu faktor anggapan bahwa Islam
mengaburkan dan memerosotkan kedudukan wanita adalah kedangkalan
pengetahuan agama, sehingga tidak jarang agama Islam diatasnamakan
untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan.31

27
Riffat Hasan dikutip dari kutipan Ghada Karm, ‚Wanita, Islam dan
Patriarkalisme‛, dalam Mai Yamani, Feminisme dan Islam: Perspektif Hukum dan
Sastra (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2000), 125.
28
Menurutnya cara mengubah budaya patriarki pertama, membangun
kesadaran bersama di masyarakat akan pentingnya penghargaan dan penghormatan
terhadap manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, menghukumi sosial budaya
kesetaraan sejak dirumah tangga melalui pola-pola pengasuhan anak yang demokratis.
Sedangkan di masyarakat melalui metode pembelajaran yang demokratis pada
lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Ketiga, melakukan
dekontruksi terhadap ajaran dan interpretasi agama yang bias gender dan nilai-nilai
patriarki. Keempat, merevisi semua peraturan dan perundang-undangan termasuk
undang-undang perkawinan. Lihat Musdah Mulia, Islam Hak Asasi Manusia (Jakarta:
Naufan Pustaka, 2010), 146-149.
29
Muh}ammad Bultaji, Maka>nah al-Mar’a>h fi> al-Qur’a>n al-Kari>m wa al-Sunnah
al–S{ah}i>h}ah (al-Q{}a>{hira>h: Da>r al-Sala>m, 1420 H/ 2000), 57.
30
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Gravindo
Persada, 2006).
31
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007), 270.

11
Fatima

Huzaimah Tahido Yanggo dalam Fikih Wanita Kontemporer


menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita baik
sebagai individu, anggota keluarga maupun anggota mayarakat.32
Marzuki dalam penelitannya ‚Status Wanita dalam Hukum Perdata
Indonesia di Tinjau dari Segi Hukum Islam: Kajian Analisis tentang Hak
dan Kewajiban Wanita‛. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa hukum
perdata Indonesia (KUH Perdata) memberikan status yang sama
terhadap wanita dan pria. Hal ini terlihat jelas dalam kesamaan dan
keseimbangan hak dan kewajiban yang diberikan kepada pria dan wanita
dalam berbagai hukum, baik itu hukum perorangan, hukum keluarga,
hukum benda, hukum warisan, dan hukum perikatan.33
Khoiruddin Nasution dalam bukunya dengan judul, Status
Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan di
Indonesia dan Malaysia menegaskan bahwa aplikasi perundang-
undangan di Indonesia dan Malaysia di lapangan tidak maksimal
dikarenakan isi perundang-undangan tersebut tidak sejalan dengan
norrma yuridis, filosofis, dan sosiologis yang berlaku di kalangan
mayoritas masyarakat kedua Negara tersebut.34
Mesraini meneliti tentang ‚Hak-hak perempuan pascacerai di
Asia Tenggara: Studi Perundang-undangan di Indonesia dan Malaysia‛.
Studi ini menghasilkan temuan bahwa hak-hak perempuan pascacerai
mendapatkan legitimasi yang cukup kuat, baik dalam hukum keluarga di
Indonesia maupun Malaysia, bila dibandingkan dengan pendapat imam
mazhab, kedua hukum keluarga tersebut lebih akomodatif terhadap hak-
hak perempuan. Hak tersebut meliputi hak mut’ah, nafkah, penolakan
untuk rujuk, hak h}ad}a>nah, dan hak harta bersama.35
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, dalam bukunya yang berjudul
Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Studi tentang UU
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI Buku I tentang
Perkawinan, menjelaskan bahwa fikih munakahat dapat diterima

32
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2010), 69.
33
Marzuki, ‚Status Wanita dalam Hukum Perdata Indonesia di Tinjau dari
Segi Hukum Islam‛, Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007.
34
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap
Perundang-undangan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002).
35
Mesraini, ‚Hak-hak perempuan pascacerai di Asia Tenggara: Studi
Perundang-undangan di Indonesia dan Malaysia,‚ disertasi Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

12
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

menjadi hukum nasional karena sesuai dengan keyakinan umat Islam


dan budaya Indonesia yang secara yuridis formal dan secara normatif
telah menjadi hukum yang hidup di masyarakat. Lebih lanjut Muhaimin
menjelaskan bahwa semua materi UU No. 1 tahun 1974 KHI adalah
materi dan prinsip fikih muna>kahat, maka jelas bahwa hukum
perkawinan Islam telah diadopsi dalam sistem hukum nasional.36
Yayan Sopyan dalam penelitiannya yang berjudul Islam-Negara:
Transformasi Hukum Islam dalam Hukum Nasional, menyatakan
bahwa, secara teoritis isi kandungan Undang-undang perkawinan sesuai
dengan tujuan shari’ah. Namun sayang setelah Undang-undang
perkawinan lahir dan berlaku bagi semua warga negara Indonesia,
sebagian umat Islam tidak konsisten dengan apa yang diinginkannya.
Sebagian umat Islam masih banyak yang bersifat ambigu. Di satu pihak
memeperjuangkan Undang-undang agar sesuai dengan hukum Islam, di
lain pihak masih mengingkari bahwa undang-undang perkawinan itu
merupakan bagian integral dari hukum perkawinan Islam. Dari beberapa
kasus masih banyak ummat Islam yang berpegagng pada doktrin fikih
ketimbang Undang-undang perkawinan seperti dalam kasus pencatatan
perkawinan, poligami dan perceraian.37
Edi Riadi dalam peneliannya yang berjudul Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Mengenai Hukum Perdata Islam: Sudi
tentang Pergeseran Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam Tahun
1991-2007 menunjukkan bahwa putusan-putusan Mahkamah Agung
dalam hukum perdata Islam telah mengalami pergeseran dari kerangka
hukum Islam tradisional ke kerangka hukum positif. Pergeseran tersebut
ditandai oleh kuatnya paradigma legisme baik pada level penerapan
hukum (rechtshandhaving) atupun penemuan hukum (rechtsvinding).
Pada level penerapan hukum, frekuensi penggunaan dasar hukum yang
paling tinggi dalam perkara perkawinan adalah peraturan perundang-
undangan, disusul KHI, kaul ulama, al-Qur’an, hadis, kaidah fikih, dan
yurisprudensi. Sedangkan dalam perkara kewarisan, frekuensi
penggunaan dasar hukum yang paling tinggi adalah KHI, disusul al-
Qur’an, hadis, peraturan perundang-undangan, kaul ulama, dan
yurisprudensi. Dalam bidang kewarisan tidak ada putusan yang
menerapkan kaidah fikih. Dalam kedua bidang hukum ini, ketentuan

36
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011).
37
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Islam dalam Hukum
Nasional (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

13
Fatima

legal formal peraturan perundang-undangan dan KHI menempati posisi


dominan dalam praktik penerapan hukum.38
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Muchith A. Karim dalam
Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat Islam Indonesia,
menyatakan bahwa penyelesaian masalah kewarisan yang ada di
Yogyakarta selama ini diselesaikan secara mufakat. Jarang yang
menggunakan lembaga Pengadilan Agama. Masyarakat pada umumnya
masih merasa malu dan merasa tidak terhormat jika pembagian harta
warisan masuk ke pengadilan, sebab terkesan berebut harta warisan.39
Melihat sejumlah studi yang telah membahas tentang wanita
dalam hukum keluarga, terlihat dari beberapa penelitian tersebut, ada
yang meneliti secara norrmatif dan ada pula secara kelembagaan.
Berbeda dengan penelitian penulis yang memadupadankan antara hukum
norrmatif dengan realitas putusan Pengadilan Agama.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif40 yang akan
dilakukan melalui pendekatan norrmatif yaitu suatu penelitian yang
menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku maupun hukum
yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan,41guna
mengetahui apa yang dihasilkan dalam putusan telah melindungi hak
wanita atau justru mendiskriminasikannya.
Indikator hak wanita terlindungi atau tidak, diskriminasi atau
tidak adalah CEDAW (Committee on Elimination of Discrimination
Against Women) yang telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita, kemudian UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dan peraturan lainnya.

38
Edi Riadi, Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia mengenai Hukum
Perdata Islam: Sudi tentang Pergeseran Hukum Perkwinan dan Kewarisan Islam tahun
1991- 2007 (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
39
Muchith A. Karim, ed. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat
Islam Indonesia (Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat 2010).
40
Salah satu perbedaan penelitian kualitataif dengan kuantitatif adalah, dalam
penelitian kualitatif jumlah subyek penelitiannya kecil sehingga tidak membutuhkan
pemilihan sampel secara random (acak). Lihat Lexy J. Moleong, Metode Penelitian
Kualitatif (Bandung:Rosda, 2006), 36.
41
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 118. Lihat juga Soerjono Soekanto, Metode Penelitian
Hukum Normatif (Jakarta: Universitas Indonesia, 1987), 51.

14
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Metode pengumpulan data yang akan dilakukan adalah


penulusuran kepustakaan (library research) dan lapangan (field research).
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mengoleksi dan menganalisa
buku-buku, kitab-kitab fikih, jurnal-jurnal, peraturan perundang-
undangan di Indonesia (UU No. 1 Tahun 1974 berikut aturan
pelaksanaannya, KHI, dan aturan lainnya), dan beberapa putusan hakim
Pengadilan Agama. Selain melakukan studi kepustakaan penulis akan
melakukan observasi di Pengadilan Agama di Jakarta untuk melakukan
wawancara (interview) dengan beberapa hakim Pengadilan Agama.
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
peraturan hukum keluarga Islam di Indonesia, putusan-putusan
Pengadilan Agama dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan model
bebas terpimpin yaitu wawancara dengan daftar pertanyaan terlebih
dahulu yang dipakai sebagai pedoman, tetapi variasi pertanyaan
disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan, dengan
tujuan untuk memudahkan memperoleh data secara mendalam. Data
sekunder penelitia ini adalah buku-buku, kitab-kitab fikih, jurnal-jurnal,
dan karya-karya lain yang berkaitan dengan kajian ini.
Metode analisis data yang gunakan dalam penelitian ini adalah
content analysis42 dan komparasi, yaitu dengan membandingkan
pendapat para ulama ahli fikih dengan peraturan perundang-undangan,
selanjutnya membandingkan peraturan perundang-undangan dengan
hasil putusan Pengadilan Agama.
G. Sistematika Penulisan
Kajian ini dibagi ke dalam enam bab dengan rincian sebagai
berikut.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang menguraikan latar
belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, penelitian
terdahulu yang relevan dan sistematika penulisan. Unsur-unsur ini
dikemukakan lebih dahulu untuk mengetahui secara persis signifikansi
penelitian, pendekatan, teori apa yang digunakan dalam penelitian ini,
dan pokok yang menjadi masalahnya.
Bab kedua, menjelaskan tentang kerangka teori yang membahas
tentang kaitannya wanita dan hukum. Pada bab ini akan dibahas
mengenai kedudukan wanita dalam persepektif hukum Islam, wanita
dalam hukum Internasional dan kodifikasi hukum keluarga Islam di
42
Bruce A. Chadwick dkk, Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Hukum
(Semarang: IKIP Press, 1991), 270.

15
Fatima

negara muslim. Tujuan penulisan bab ini untuk menjelaskan beberapa


teori terkait dengan wanita dan hukum keluarga Islam yang akan
dijadikan bahan analisis.
Bab ketiga, menjelaskan tentang pembaharuan hukum keluarga
Islam di Indonesia. Bagian ini akan dijelaskan mengenai akar sejarah
lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, serta subtansi hukum yang
terdapat dalam kedua peraturan tersebut. Terakhir respon masyarakat
setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.
Bab keempat, menjelaskan tentang wanita sebagai anak dan ibu
dalam peraturan perundang-undangan dan praktik di Pengadilan Agama.
Pembahasan pada bab ini meliputi urgensi batasan usia minimum kawin
dan ketentuan tentang dispensasi nikah, status wali, dan persetujuan
mempelai wanita dalam perkawinan, h}ad}a>nah, dan problematika
penyelesaiannya dan hak waris anak. Tujuan penulisan pada bab ini
adalah pertama, untuk melihat bentuk perlindungan hukum keluarga di
Indonesia terhadap wanita ketika berada pada level anak dan ibu. Kedua,
untuk mengetahui dasar hukum putusan hakim Pengadilan Agama dalam
menciptakan keadilan. Apakah hakim sebagai penegak hukum selalu
menjadi corong undang-undang atau menciptakan terobosan hukum
demi melindungi hak wanita.
Bab kelima, menjelaskan tentang wanita sebagai istri dalam
peraturan perundang-undangan dan praktik di Pengadilan Agama.
Pembahasan pada bab ini meliputi, poligami, cerai gugat dan khuluk,
serta pembagian harta bersama dalam masalah pencari nafkah. Tujuan
penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah hak wanita dalam hukum
keluarga Islam dan implementasinya dalam hasil putusan Pengadilan
Agama sudah memberikan perlindungan dan keadilan terhadap wanita
ketika menjadi istri atau tidak.
Bab keenam, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan
hasil penelitian dan saran.

16
BAB II
WANITA DAN HUKUM

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai wanita dan hukum,


dengan memaparkan berbagai teori terkait dengan kedudukan wanita
dalam perspektif hukum Islam dan dalam perundang-undangan di
beberapa negara Muslim. Pada bab ini status hukum wanita dalam
hukum internasional juga akan dipaparkan guna mengetahui sejauh
mana wanita memperoleh perhatian dan perlindungan dalam
memperoleh hak-haknya.
A. Kedudukan Wanita dalam Perspektif Hukum Islam
Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran
Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara pria dan wanita
maupun antar bangsa, suku, dan keturunan. Sebelum agama Islam
datang, kaum pria menempati posisi sentral dalam keluarga dan
mayarakat. Mereka bertanggungjawab secara keseluruhan dalam
persoalan-persoalan kehidupan keluarga, sehingga kaum wanita secara
umum mengekor kaum pria.1
Ketika risalah Islam hadir pada 15 abad silam, ajarannya secara
subtansial telah menghapuskan diskriminasi antara pria dan wanita.
Kedudukan wanita dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana
diduga atau dipraktikkan sementara masyarakat.2 Ajaran Islam pada
hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan
terhormat kepada wanita. Islam memandang wanita mempunyai
kedudukan yang sama dengan pria3 kalaupun ada perbedaan itu adalah
1
Secara singkat dapat dikatakan bahwa posisi wanita pada masa pra Islam
adalah pertama, dari sisi kemanusiaan, wanita tidak memiliki tempat terhormat di
hadapan pria karena tidak adanya pengakuan atau sikap pria terhadap peran wanita
dalam mengatur masyarakat. Kedua, dalam lingkungan keluarga, adanya ketiksetaraan
antara suami-istri. Ketiga, mengesampingkan kepribadian atau kompetensi wanita
dalam memperoleh penghidupan, sehingga wanita tidak memiliki hak dalam persoalan
warisan dan kepemilikan harta. Lihat Suad Ibrahim Salih, ‚Kedudukan Wanita dalam
Islam‛ dalam M. Atho Mudzhar dkk, eds. Wanita dalam Masyarakat Indonesia
(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001), 38-39.
2
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007), 269.
3
Yousuf Ali, ‚A Contextual Approach to the Views of Muslim Feminist
Interpretation of the Qur’an Regarding Women and Their Rights‛, International
Journal of Arts and Sciences, 2010,
http://www.openaccesslibrary.org/images/HAR138_Md._Yousuf_Ali.pdf. Diakses
pada 31 Desember 2012.
Fatima

akibat fungsi dan tugas agama yang dibebankan kepada masing-masing


jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang
satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain, melainkan mereka saling
melengkapi dan membantu.4
Al-Qur’an menampilkan berbagai masalah berkaitan dengan
wanita lebih dari 10 surah.5 Pengangkatan tema-tema berkaitan dengan
wanita dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa al-Qur’an memberikan
perhatian khusus terhadap wanita yang pada saat al-Qur’an diturunkan,
kedudukan wanita sangat rendah di hadapan kaum pria. Islam
mengangkat derajat wanita setara dengan pria, satu kedudukan yang
tidak pernah dimiliki oleh wanita lain dalam agama Samawi.6
Menurut Mah}mu>d Shalt}u>t sebagimana yang dikutip M. Quraish
Shihab menyatakan bahwa, tabiat kemanusiaan antara lelaki dan wanita
hampir dapat dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada
wanita sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka
berdua dianugerahi Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk
memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini
dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun
khusus.7
Argumen di atas tidak menutup anggapan bahwa Islam telah
memperkosa hak wanita, menurunkan derajatnya, dan menjadikannya
sebagai mainan kaum laki-laki, di mana mereka boleh bertindak semena-
mena terhadap wanita kapanpun, di manapun.8 Kedangkalan

4
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 83.
5
Di antaranya dua surah yang terkenal yaitu al-Nisa>’ al-Kubra> (surah al-
Nisa>’), sedangkan yang lainnya surah al-Nisa>’ al-S{ughra> (surah al-T{alaq). selain itu
masalah wanita juga ditampilkan dalam surah al-Baqarah, al-Ma>’idah, al-Nu>r, al-
ah}za>b, al-Muja>dalah, al-Mumtah}anah, dan al-Tah}ri>m.
6
Di sejumlah negara, wanita dibatasi haknya atas kepemilikan tanah,
mengelola, properti, bisnis, bahkan dalam melakukan perjalanan pun harus dengan
persetujuan suami. Kawasan Afrika misalnya, sebagian besar wanita memperoleh hak
atas tanah melalui suami mereka atas dasar perkawinan, hak-hak tersebut sering hilang
saat terjadi perceraian atau kematian sang suami. Di Asia Selatan yang mayoritas
Muslim, rata-rata jumlah jam yang digunakan wanita bersekolah hanya separoh dari
yang digunakan pria. Di negara berkembang, termasuk negara-negara Muslim,
wirausaha yang dikelola oleh wanita cenderung kekurangan modal, kurang memiliki
akses terhadap mesin, pupuk, informasi tambahan dan kredit disbanding wirausaha
yang dikelola kaum pria. Lihat Sukron Kamil dkk, Shari’ah Islam dan HAM (Ciputat:
CSRC, 2007), 38.
7
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 269-270.
8
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 83.

18
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

pengetahuan dan pemahaman agama salah satu sebab anggapan


pemerosotan kedudukan wanita.9 Huzaimah Tahido Yanggo menyatakan
bahwa al-Qur’an sebagai konsepsi dasar ajaran Islam secara verbal telah
menjelaskan posisi wanita sejajar dengan pria. Untuk itu kalau ada
pemahaman miring terhadap kedudukan wanita dalam Islam, maka
sebenarnya hanya hasutan orang-orang nonmuslim atau kaum
orientalis,10 karena al-Qur’an sendiri secara tegas memosisikan wanita
dan pria secara seimbang.11
Pemahaman mengenai prinsip-prinsip yang sudah digariskan al-
Qur’an terkadang dipraktikan berbeda oleh sebagian umat Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Harus disadari bahwa sebenarnya al-Qur’an
menyuarakan persamaan dan keadilan, namun sering difahami
sebaliknya. Hal ini disebabkan perbedaan pendapat di kalangan pemikir
Islam dalam memahami penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Berikut
ini penjelasan mengenai perbedaan penafsiran ulama.

1. Interpretasi Ulama Tentang Kedudukan Wanita dalam Al-Qur’an


Ada beberapa ayat al-Qur’an yang seringkali ditunjuk
mengindikasikan bahwa Islam memandang wanita lebih rendah dari pria.
Di antaranya surah al-Nisa>’ Ayat (1)12 yang mengungkap penciptaan
manusia, berawal dari penciptaan diri yang satu (nafs wa>h}idah),
kemudian penciptaan pasangan yang sejenis dengannya, dari kedua
pasangan tersebut tercipta pria dan wanita dalam jumlah yang banyak.13
Ayat tersebut menjelaskan tidak adanya perbedaan penciptaan antara
pria dan wanita, karena keduanya berasal dari jenis yang sama,
Menurut Asma Barlas, al-Qur’an mengakui perbedaan biologis
antar pria dan wanita, namun perbedaan jasad tersebut tidak
menyebabkan mereka berbeda dalam tataran etika dan moral. Pria dan
wanita mempunyai kesetaraan bahkan pada tingkat ontologis, di mana

9
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 270.
10
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 84.
11
Lihat QS. al-Baqarah: 228.
12
Teks ayat tersebut adalah:

13
Husein Muhammad, Fikih Wanita (Yogyakarta: LKis, 2001), 25. Lihat
Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Wanita, trans. Believing Women in Islam
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2005), 240.

19
Fatima

pria dan wanita diciptakan dari nafs.14 Jumhu>r mufassiri>n bahkan


Departemen Agama Republik Indonesia menafsirkan bahwa kalimat

adalah ‚dari seorang diri‛ yaitu Adam. Kalimat


diartikan ‚dari padanya adalah bagian dari tubuh (tulang rusuk)
Adam‛.15 ditafsirkan sebagai ‚istrinya‛ yaitu Siti Hawa,
tercipta dari tulang rusuk Adam. Penafsiran tentang penciptaan Hawa
seperti ini memberi kesan bahwa Islam memandang wanita lebih rendah
dari pada pria.
Pemahaman mufassi>r semacam ini harus dibaca dan ditafsirkan
kembali, karena dalam al-Qur’an tidak ditemukan satupun ayat yang
secara eksplisit menyatakan hal demikian. Keyakinan ini sebenarnya
adalah warisan tradisi dari bangsa-bangsa sebelumnya (kaum Yahudi
dan Nasrani) yang menjalar ke kaum Muslim.16 Muhammad Rashi>d Rid}a>
dalam Tafsi>r al-Mana>r menyatakan, ‚Seandainya tidak tercantum kisah
kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian lama (Kejadian II; 21)
dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya
pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak
seorang muslim.‛17
Ayat lain yang biasanya dijadikan dasar bagi supremasi pria atas
wanita adalah surah al-Nisa>’ Ayat (34)18 yang menyatakan bahwa pria
adalah pemimpin kaum wanita. Para ahli tafsi>r menyatakan bahwa
qawwa>m berarti pemimpin, penanggungjawab, pengatur, pendidik,
dan sebagainya.19 Katagori-katagori seperti ini sebenarnya tidak menjadi
persoalan yang serius sepanjang ditempatkan secara adil dan tidak
didasari oleh pandangan yang diskriminatif. Akan tetapi secara umum
para ahli tafsir berpendapat bahwa superioritas pria ini adalah mutlak.
Superioritas ini adalah ciptaan Tuhan, sehingga tidak akan pernah
berubah, sebagaimana yang diungkapkan Al-Zamah}shari>, seorang

14
Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Wanita, 16.
15
DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahan (Jakarta: Bumi Restu, 1967),
16
Husein Muhammad, Fikih Wanita, 24.
17
Muh}ammad Rashi>d Rid}a> , Tafsi>r al-Mana>r, Jil. IV (Kairo: Da>r al-Mana>r,
11367 H), 330.
18
Redaksi ayat tersebut adalah;
…..

20
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

pemikir liberal, beliau menyatakan bahwa pria memang lebih unggul


dari pada wanita. Keunggulan itu meliputi akal, ketegasan, semangat,
keperkasaan, dan keberanian atau ketangkasan. Oleh karena itu
kenabian, keulamaan, kepemimpinan, dan jihad hanya diberikan kepada
pria.20
Supremasi pria atas wanita juga dinyatakan oleh Ibn Kathi>r,
pemikir Islam terkemuka, beliau menyatakan bahwa pria sebagai
pemimipin wanita, pendidiknya, dan hakimnya, karena secara inheren
pria lebih utama dan lebih baik dibandingkan dengan wanita. Pernyataan
tersebut dibuktikan dengan kenabian yang merupakan gelar tertinggi
hanya diberikan kepada pria.21
Pendapat yang sama dikemukan oleh Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>,
seorang pemikir besar Sunni, ia memercayai superioritas pria atas
wanita dengan alasan bahwa ilmu pengetahuan (al-’Ilm) pria lebih luas
dan kemampuan (al-qudrah) pria untuk melakukan kerja keras lebih
prima dibandingkan dengan wanita. Ini semua merupakan sifat yang
tidak dapat dipungkiri.22
Pemikir Islam kontemporer seperti Muh}ammad Rashi>d Rid}a> dan
Muhammad Abduh berpendapat bahwa Allah telah memberikan pria
kekuatan yang tidak dimiliki oleh wanita. Hal ini dibuktikan dengan
dibebankannya nafkah kepada pria.23 Muh}ammad T>}a>hir bin ‘A<shu>r
sebagaimana yang dikutip Husein Muhammad ternyata tidak jauh
berbeda dengan ulama sebelumnya. Menurutnya, pria pemimpin wanita
dengan beberapa alasan di antaranya, pria berfungsi memberikan
perlindungan dan pengamanan (qiya>m al-h}ifz} wa al-difa’), berusaha dan
menghasilkan uang (qiya>m al-ih}tisa>b wa al-inta>j al-ma>li>). Kelebihan
atau keunggulan ini bersifat instingtif, di mana wanita sendiri memang
membutuhkan perlindungan dan pengamanan pria agar tetap bisa
eksis.24

20
Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d bin ‘Umar Al-Zamakhshari>, al-Kashshaf ‘an H}aqa>’iq
al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi U>ju>h al-Ta’wi>l, Juz. I (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Ara>bi>,
t.th), 523.
21
‘Ima>d al-Di>n Isma>’i>l bin Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m, Juz I (Surabaya:
Shirkat an-Nu>r Asiya>, t.th), 491.
22
Fahr al-Di>n al-Razi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r, Juz X (Teheren: Dar> al-Kutub al-
‘llmiyah, t.th), 88.
23
Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, al-Mana>r, Juz V (Bai>ru>t: Dar> al-Ma’ri>fah, 1392
H/1973 M), 67-68.
24
Husein Muhammad, Fikih Wanita, 11.

21
Fatima

T{aba’t}aba’i> seorang pemikir kontemporer beraliran Shi>’ah


moderat, mengakui superioritas pria atas wanita. Menurutnya, sifat pria
lebih unggul dari pada wanita baik dari segi keberaniaan, kekuatan, dan
kemampuan dalam mengatasi masalah. Sedangkan wanita lebih sensitif
dan emosional, karena ia lembut dan halus.25
Tokoh-tokoh utama yang pikirannya menjadi panutan kaum
muslimin di seluruh dunia, seperti Ima>m Ma>lik, Ima>m al-Sha>fi’i>, Ah}mad
bin H{anbal, dan al-Mawardi>, ketika membicarakan persoalan kekuasaan
kehakiman sebuah kekuasaan dalam wilayah publik, mereka
menyaratkan jenis kelamin pria untuk jabatan ini. Menurut mereka
kekuasaan kehakiman memerlukan kecerdasan pikiran yang prima
(kama>l al-ra’y wa tama>m al-‘aql wa al-fat}a>nah). Menurut mereka
kriteria ini hanya dimiliki oleh pria. Sementara tingkat kecerdasan dan
intelektualitas wanita, menurut mereka berada di bawah kecerdasan pria
(naqis}at al-‘aql, qali>lat al-ra’y).26
Barbeda dengan pendapat di atas, Jawad Mughniyah dalam
Tafsi>r al-Kashi>f, berpendapat bahwa maksud dari al-Qur’an surah al-
Nisa>’ Ayat 34 tersebut bukanlah menciptakan perbedaan yang
menganggap wanita lebih rendah dari pria, tetapi keduanya adalah sama.
Ayat tersebut hanyalah ditujukan kepada pria sebagai suami dan wanita
sebagai istri. Keduanya adalah rukun kehidupan, tidak satu pun bisa
hidup tanpa yang lain, keduanya saling melengkapi. Ayat ini hanya
ditujukan untuk kepemimpinan suami dalam rumah tangga, memimpin
istrinya, bukan untuk menjadi penguasa atau diktator.27 Kepemimpinan
ini pun menurut Quraish Shihab tidak mencabut hak istri dalam berbagai
segi, termasuk dalam hak kepemilikan harta pribadi dan pengelolaannya,
meskipun tanpa persetujuan suami.28
Menurut Huzaimah Tahido Yanggo, tanggung jawab suami
sebagi pemimpin atau kepala rumah tangga adalah dalam hal menjaga,
membela, bertindak sebagai wali, memberi nafkah, dan sebagainya,

25
Muhammad H}usain T{aba’t}aba’i>,Tafsi>r al-Mi>za>n, Juz IV (Beirut: Muassasah
al-‘Alam li al-Mat}bua>t, 1411 H/1911 M), 351.
26
Al-Kha>tib al-Syirbi>ni>, Mughni> al-Muh}ta>j, Juz IV (Beirut: Dar> al-Ih}ya>’ al-
Thura>th al-‘Arabi>, t.th), 375. Lihat Ibn Rush, Bida>yah al-Mujtahid, Juz II (Mesir:
Must}afa> Ba>b al-Halabi> li al-Nas}r, 1960),449. Lihat juga, Abu> al-H{asan al- Mawardi>, al-
Ah}ka>m al-Sult}aniyyah wa al-Wila>yat al-Di>niyyah (t.tp: Da>r al-Fikr, 1960), 65.
27
Jawad Mughniyah, Tafsi>r Al-Kashi>f, Juz II (Beirut: Da>r al-Ilmi li al-
Malayi>n, 1968), 314.
28
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 274.

22
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

sedangkan wanita mendapat jaminan keamanan dan nafkah. Itulah


sebabnya pria mendapat warisan lebih banyak dari wanita dan diberi
kelebihan fisik dari pada wanita. Jadi kelebihan pria atas wanita
sebenarnya hanya pada kelebihan fungsional, bukan kepada derajat atau
setatusnya sebagai manusia.29 Lebih tegas Mus}t}afa> al-S{iba>’i>
berpendapat bahwa kedudukan wanita dalam Islam sama tingginya
dengan kedudukan pria.30
Masih pada ayat yang sama yaitu al-Nisa>’ Ayat 34, persoalan
lain pada ayat berikutnya yang mengatakan bahwa istri yang
dikhawatirkan berbuat durhaka (nushu>z), suami hendaknya memberi
peringatan kepada istri, kalau tidak mempan, hendaknya pisah tempat

29
Kelebihan pria dalam memberi nafkah dan kekuatan dalam memberikan
perlindungan telah memberikan kemudahan bagi wanita dalam menjalankan fungsi
fitrahnya, hamil, melahirkan, mengasuh anak, dengan itu wanita bisa tenteram dan
tercukupi segala kebutuhannya. Hikmah lain berupa isyarat bahwa kelebihan itu hanya
berlaku secara general, tidak memiliki kelebihan dari suaminya, baik dalam segi ilmu
pengetahuan maupun profesinya, kekuatan fisik maupun kemampuan bekerja. Lihat
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita kontemporer, 98.
30
Menurutnya Islam mengatur kesamaan prinsip antara lak-laki dan wanita
sekurang-kurangnya dalan dua belas hal yang meliputi badang kemanusiaan, sosial
maupun hak milik. Kedua belas prinsip itu adalah: 1)pria dan wanita sama dari segi
kemanusiaannya, 2) Islam menghilangkan kutukan yang diberikan oleh ahli agama
sebelum Islam kepada wanita. Islam menetapkan bahwa hukuman yang dikenakan
kepada Adam keluar dari surga tidak berasal dari Hawa semata, tetapi dari mereka
berdua, 3) wanita mempunyai kecakapan untuk beragama dan untuk masuk surga jika
ia berbuat baik dan akan di siksa jika ia berbuat jahat, sama seperti pria, 4) Islam
mengikis rasa pesimis dan sedih pada waktu lahirnya banyi wanita, seperti tradisi
bangsa Arab sebelum Islam, 5) Islam mengharamkan pengkuburan anak wanita dalam
keadaan hidup-hidup dan mengancam dengan keras kepada pelakunya, 6) Islam
memerintahkan agar menghormati wanita sebagai puteri, istri atau ibu, 7) Islam
menganjurkan agar wanita diberi pelajaran sebagaimana pria, 8) Islam memberikan hak
bagi wanita dalam harta warisan baik sebagai ibu, istri atau putrid, baik yang sudah
dewasa aatau masih kecil bahkan yang masih ada dalam kandungan, 9) Islam mengatur
hak-hak suami dan menjadikan harta wanita sama dengan harta pria, kedudukan pria
sebagai pemimpin keluarga tidak boleh diktator dan z}alim, 10) Islam mengatur
masalah talak, mencegah sifat semena-mena, 11) Islam membatasi poligami dan
menetapkan istri hanya empat saja, 12) Sebelum dewasa, wanita ditetapkan harus
berada dalam pemeliharaan walinya, dan kekuasaan wali itu berupa kekuasaan
pemelihara, mendidik serta memperhatikan segala keperluannya dan mengembangkan
harta miliknya. setelah anak dewasa Islam menetapkan bahwa ia mempunyai hak yang
penuh dan memiliki kecakapan yang sempurna untuk mempergunakan hartanya seperti
pria. Lihat Must}afa> al-Siba>’i>, Al-Mar’a>t bayn al-Fikih wa al-Qa>nu>n (Beirut: al-Maktab
al-Isla>mi>, 1984), 38-48.

23
Fatima

tidur, kalau tidak mempan juga hendaknya di pukul ( ). Anjuran


al-Qur’an memukul istri ini memberi kesan bahwa pria lebih tinggi dari
pada wanita. Kata adalah fi‘l ‘amar (kata perintah), fi‘l ma>d}i>
dan masdarnya (d}arba>n). Dalam al-Qur’an, Allah
menggunakan kata dan sebanyak 59 kali. Dalam banyak
tempat kata diartikan dengan ‚membuat contoh‛, dalam ayat lain

diartikan dengan‛ bepergian‛, jadi kata tidak selalu diartikan


memukul. Jadi kata dalam ayat di atas lebih baik diartikan
dengan ‚usirlah‛ ketimbang ‚pukullah‛.31 Hal ini diperkuat oleh
larangan Nabi saw. untuk memukul wanita.
Ayat lain lagi yang juga dianggap tidak memandang wanita
sejajar dengan pria adalah dalam soal persaksian, sebagaimana tertera
dalam surah al-Baqarah Ayat 282.32 Dikatakan bahwa kesaksian seorang
pria dihitung sama dengan dua orang wanita. Pendapat ini dikemukan
oleh al-Jawzi>, bahkan Ibn ‘At}iyah menginterpretasikan, jika kedua saksi
pria tidak didapatkan, maka kesaksian dua orang wanita tidak
diperbolehkan, kecuali disertai dengan satu orang pria.33 Dengan alasan
bahwa daya ingat wanita lebih lemah dari pada pria.34
Pandangan di atas telah direformasi oleh pemikir Islam lainnya,
di antaranya Mah}mu>d Shalt}u>t} dengan mengutib Muhammad ‘Abduh, ia
mengatakan, ‚Tidak semestinya wanita menyibukkan diri berbagai

31
Abu> al-Qa>sim al-Zamakhshari> di artikan (bencilah,
paksalah). Lihat Abu> al-Qa>sim al-Zamakhshari>, al-Kashsha>f (Beirut: Dar> al-Fikr, t.th),
524-525. Lihat M. Hisham Kabbani and Homayra Ziad, The Prohibition of Domestic
Violence in Islam, (Washington: Worde, 2011), 12.
32
Ayat yang dimaksud adalah:


33
Al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, Jil. II (Beirut: Dar> al-Sabab,
1372), 391. Bahkan pemikir kontemporerpun masih ada yang berpandangan sama
dengan ulama terdahulu, karena secara psikologis wanita tidak secekatan pria. Lihat
Sayyid Qut}b, Fi> Zi}la>l al-Qur’a>n, Cet. ke 4 (Beirut: Dar> al-‘Ara>biyah, t.th), 89-90.
34
Al-Bayd}a>wi>, Tafsi>r al-Bayd}a>wi>, Jil.I (al-Qa>hirah: Da>r al-Mis}riyyah, t.th),
579.

24
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

urusan yang menyangkut masalah keuangan dan harta kekayaan lainnya,


karena daya ingat wanita dalam urusan-urusan seperti ini cenderung
lemah. Tidak demikian halnya dalam urusan rumah tangga yang
memang sudah menjadi kesibukannya, dalam masalah ini wanita lebih
kuat daya ingatnya dari pada pria.‛35 Sudah merupakan tabiat manusia
bahwa dalam masalah-masalah yang terkait dengan pekerjaan dan
aktivitasnya atau profesinya, daya ingatnya cenderung menjadi kuat.
Dengan demikian kesaksian wanita mempunyai kekuatan yang
sama dengan pria. Hal itu bukan karena wanita mempunyai akal yang
lemah, akan tetapi masalah saksi ini harus dihubungkan dengan konteks
di mana pada masa itu wanita memang tidak banyak terlibat dengan
urusan mu’a>malah. Al-Qur’an secara jelas menunjukkan bahwa dalam
masalah keuangan, kesaksian wanita harus ditopang oleh wanita lain
hanya karena kurangnya pengalaman dan keahlian.36 Apabila wanita
dalam kesehariannya terlibat dalam perniagaan, maka wanita juga
mempunyai nilai kekuatan hukum yang sama dengan pria.
Ayat lain yang sering dijadikan supremasi pria atas wanita
adalah dalam hal warisan. Surah al-Nisa>’ Ayat 11 menyatakan bahwa
anak pria dalam pembagian warisan dua kali lipat dari pembagian
wanita.37 Pada hakikatnya pembagian hukum waris wanita yang
setengah dibandingkan pria dalam Islam tidak ditetapkan berdasarkan
anggapan bahwa kemanusiaan wanita kurang dari kemanusiaan pria,
tetapi didasarkan pada pembawaan dan tabiat wanita dalam kehidupan
kerjanya, di antaranya sebagai berikut.
a. Bahwa pria menanggung nafkah keluarga
b. Pria harus memberi mahar kepada wanita sebagai bukti
keinginannya mengawini wanita tersebut, dan sebagai kewajiban
yang harus dipenuhi.
c. Wanita memikul kewajiban mengurus rumah tangga.
Berdasarkan hal di atas, tampak keseimbangan hak antara pria
dan wanita, bahkan dalam pandangan Islam wanita memperoleh bagian

35
Mahmu>d Shalt}u>t, al-Isla>m wa ‘Aqi>dah al-Shari>’ah, Cet. III ((Beirut: Dar> al-
Qalam,t.th), 249.
36
Maulvi Mumtaz ‘Ali> Khan, ‚Hak-Hak Wanita dalam Islam‛ dalam Asghar
Ali Engineer, Pembebasan Wanita (Yogyakarta: LKiS, 1999), 226-227.
37
Ayat tersebut adalah;

25
Fatima

yang lebih baik, karena pria diwajibkan membayar sesuatu yang


dibutuhkan, sedangkan wanita tidak diharuskan membayar sesuatupun.38
Semua superioritas di atas dewasa ini tidak lagi dapat
dipertahankan sebagai sesuatu yang berlaku umum dan mutlak. Artinya
tidak setiap pria pasti lebih berkualitas dibanding wanita. Hal ini bukan
saja dipandang sebagai bentuk diskriminasi yang tidak sejalan dengan
dasar-dasar prikemanusiaan universal, melainkan juga fakta-fakta sosial
sendiri telah membantahnya. Zaman sudah berubah, makin banyak
wanita yang memiliki potensi dan bisa melakukan peran-peran yang
selama ini dipandang hanya dan harus menjadi milik pria. Banyak
wanita diberbagai ruang kehidupan mampu tampil dalam peran
kepemimpinan domestik maupun publik, dalam bidang politik, ekonomi,
maupun sosial.39 Oleh karena itu, karakteristik yang menjadi dasar
argumen bagi superioritas pria bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku
sepanjang masa. Pemahaman teks-teks al-Qur’an yang menunjukkan
subordinasi wanita dan superioritas pria dikarenakan adanya bias gender
dalam pemahaman atau penafsiran teks-teks al-Qur’an.
Menurut Nasarudin Umar, pemahaman bias gender dalam
penafsiran teks-teks al-Qur’an dikarenakan beberapa sebab di antaranya,
pembakuan tanda huruf, tanda baca dan qira>’at, pengertian kosa kata
(mufrada>t), penetapan rujukan kata ganti (d}ami>r), penetapan batas
pengecualian (istithna’), penetapan arti huruf ‘at}af, bisa dalam struktur
bahasa, bisa dalam kamus bahasa Arab, bisa dalam metode tafsir,
pengaruh riwayat isra>’illiya>t, dan bisa dalam pembukuan dan
pembakuan kitab-kitab fikih.40 Sudah lebih 15 abad, al-Qur’an
ditafsirkan oleh pria muslim, belum ada wanita yang menulis kitab-kitab
tafsir yang mu’tabar.41 Oleh sebab itu, dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an tidak mustahil terjadi bias gender sebagaimana yang telah
diuraikan di atas.
Tidak berhenti sampai di situ saja, untuk memposisikan wanita
dalam posisi yang sebenarnya sebagaimana yang dijelaskan dalam al-
Qur’an, maka perlu juga dilakukan kajian ulang terhadap hadis-hadis
yang misoginis, yaitu hadis-hadis yang isinya merendahkan wanita,
sehingga memperlihatkan adanya ketimpangan gender antara pria dan
wanita. Cara yang bisa ditempuh menurut Nasarudin Umar misalnya
38
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 85.
39
Husein Muhammad, Fikih Wanita, 21.
40
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an
(Jakarta: Paramadina, 1999), 268-299.
41
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Wanita Kontemporer, 86.

26
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

dengan melakukan demaskulinisasi epistemologi. Cara ini diarahkan


pada dekonstruksi epistemologi yang menempatkan wanita pada objek
studi, tanpa ada perhatian yang serius untuk menjadikannya sebagai
subyek yang setara dengan pria. Jadi demaskulinisasi epistemologi
menurutnya bukan berarti feminisasi epistemologi.42
Kritik terhadap hadis-hadis yang misoginis hendaknya dilakukan
terhadap sanad dan matannya. Jika ditelusuri hadis-hadis yang misoginis
tersebut ternyata sebagian adalah hadis-hadis s}ah}i>h}. Sebagai contoh
adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari>, yang isinya bahwa
kebanyakan wanita adalah penghuni neraka, kemudian hadis-hadis
lainnya juga diriwatkan al-Bukhari> yang menegaskan bahwa akal dan
agama wanita separuh akal dan agama lak-laki, hadis tentang penciptaan
wanita dari tulang rusuk pria yang bengkok,43 dan juga hadis yang
diriwayatkan al-Bukha>ri> tentang ketidakberhasilan suatu negara yang
dipimpin seorang wanita. Terhadap hadis-hadis s}ah}i>h} tersebut yang
harus dilakukan adalah mengkritisnya melalui jalur matan, yaitu dengan
mengkaji ulang makna yang tekandung di balik bunyi teks hadis
tersebut, dan menyesuaikannya dengan konteks yang terjadi di saat teks
itu muncul. Artinya untuk mendapatkan makna yang lebih tepat dari
hadis-hadis tersebut perlu diperhatikan asba>b al-wuru>dnya, sehingga
dapat diungkap mengapa Nabi saw. bersabda demikian.
Dengan demikian hadis-hadis yang memiliki makna bertentangan
dengan al-Qur’an seperti hadis-hadis misoginis harus dipahami ulang
(reinterpretasi) sehingga pemahamannya tidak bertentangan dengan
ketentuan yang ada dalam al-Qur’an. Pada hakikatnya, hadis-hadis Nabi
memiliki semangat yang sama dengan al-Qur’an yang menempatkan
wanita seimbang dan setara dengan pria. Kalau selama ini terkesan

42
Nasarudin Umar, ‚Demaskulinisasi Epistemologi Keagamaan; Mengkaji
Hadith Secara Kritis‛, dalam Ahmad Fudaili, Wanita di Lembaran Suci: Kritik
Terhadap Hadith-Hadith Sahih (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), 9.
43
Tulang rusuk yang bengkok harus difahami dalam pengertian majazi
(kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi
wanita dengan bijaksana. Ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak
sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki
untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat
bawaan wanita. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya
meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-
Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 271. Riffat Hassan
berani mengajak kaum wanita Muslim menentang otentisitas hadis yang mereka secara
ontologism inferior, subordinatif dan bengkok. lihat Fatima Mernissi dan Riffat
Hassan, Setara di Hadapan Allah (Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa, 1996), 66.

27
Fatima

diskriminatif adalah karena hadis-hadis tersebut difahami secara


harfiyah yang didukung oleh budaya dan tradisi patriarki. Hadis-hadis
harus difahami secara majazi> (metaforis) dan harus ditafsirkan secara
kontekstual, sehingga benar-benar melahirkan makna yang lebih adil dan
menjunjung persamaan di antara kedua jenis manusia.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Islam sebenarnya sama
sekali tidak menempatkan kedudukan wanita di bawah kedudukan pria.
Islam benar-benar menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan gender.
Kalaulah selama ini kita memahami adanya ketidakadilan dalam Islam
ketika memposisikan pria dan wanita dalam hukum adalah karena
pemahaman fikih dari pada tokoh muslim. Padahal pria dan wanita
sama-sama manusia yang mendapatkan hak dan kewajiban yang setara
dalam Islam. Berikut di bawah ini akan dijelaskan hak dan kewajiban
wanita dalam Islam.
2. Hak-Hak Wanita dalam Islam
Al-Qur’an berbicara tentang wanita dalam berbagai sisi
kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang keistimewaan tokoh-tokoh
wanita dalam sejarah, ada pula yang berbicara tentang hak dan
kewajiban wanita.44 Secara umum surah al-Nisa>’ Ayat 32 menjelaskan
tentang hak-hak wanita.45 Hak-hak wanita tersebut antara lain:
a. Hak Keagamaan
Islam memberikan hak kepada wanita untuk beribadah dan
menunaikan kewajiban agamanya. Persamaan antara wanita dan pria
dalam kompetensi beragama memiliki konsekuensi kebebasn penuh dan
tanggung jawab secara personal di hadapan Allah. Hal ini dapat dilihat
pada surah Ali ‘Imra>n Ayat 195 dan al-Mumtah}anah Ayat 60, yang
berisi tentang permintaan bai’at wanita dalam Islam yang hal tersebut
tidak dilakukan oleh pria. Perbuatan ini menjadi suri tauladan bagi pria.

44
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 272. Menurut Fatima Umar Nasif, hak-hak wanita
terbagi menjadi empat bagian, yaitu:1) hak keagamaan, 2) hak sosial, 3) hak politik,
4) hak ekonomi. Lihat Fatima Umar Nasif, Women in Islam: A Discourse in Rights and
Obligations, Alih bahasa oleh Burhan Wirasubrata dan Kundan D. Nuryakin,
Menggugat Sejarah Wanita: Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai Tuntunan Islam
(Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), 64-212.
45
Ayat tersebut adalah;

28
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Hal ini menunjukkan legitimasi personalitas dan eksistensi wanita serta


pengakuan terhadap kompetensi beragama mereka.46
Kewajiban agama yang diberikan kepada wanita dan pria secara
sama juga ditunjukkan ayat-ayat al-Qur’an kepada yang diturunkan
kepada manusia. Hal ini terlihat dari gaya seruan al-Qur’an yang
berulang-ulang menyebut seruan seperti ini ditujukan kepada
semua manusia, pria, wanita, miskin atau kaya, kulit hitam atau kulit
putih, dan apapun status sosialnya. Al-Qur’an diturunkan untuk semua
manusia dan berlaku sepanjang zaman, sehingga peringatan dan janji
Allah berlaku sama, baik pria maupun wanita.
Dalam masalah ibadah salat misalnya, Allah memerintahkan
kepada setiap muslim tanpa merinci jenis kelaminnya. Hal ini dapat di
lihat dari ayat yang memerintahkan salat, seperti QS. al-Baqarah Ayat
110 dan QS. al-Nisa>’ Ayat 103. Islam mempertimbangkan kondisi
jasmani wanita, sehingga ketika mengalami menstruasi atau nifas, ia
dilarang melakukan salat. Dalam puasa juga wanita mendapatan
perlakuan khusus. Dalam keadaan menstruasi wanita dilarang berpuasa,
namun secepat mungkin harus menggantinya ketika suci. Dalam
ketentuan zakat dan haji tidak ada ketentuan pokok antara pria dan
wanita, hanya saja wanita harus ditemani mahramnya dalam ibadah haji.
Ketentuan ini tidak terbatas dalam pergi haji, tetapi semua jenis
bepergian yang dilakukan seorang wanita. Ketentuan ini untuk lebih
menjaga nama baik wanita, menjaga wanita kehormatannya, dan
menjaganya dari kemungkinan adanya pria yang yang berbuat jahat
kepadanya.47 Kondisi jasmani wanita yang berbeda dengan pria
mendapat perhatian khusus dari Allah, sehingga wanita tidak berat
dalam menjalankan agamanya.
Seruan untuk berdakwah merupakan hak keagamaan wanita
selanjutnya. Allah memerintahkan wanita dan pria untuk menyeru

46
M. Atho Mudzhar dkk, eds. Wanita dalam Masyarakat Indonesia, 47.
47
Terkait masalah tersebut banyak pendapat yang berkembang, ada yang
mengatan harus ditemani beberapa wanita, ada yang berpendap satu wanita saja
asalkan beragama Islam, merdeka dan dapat dipercaya. Ibn Taimiyah menfatwakan
bahwa boleh wanita bepergian tanpa ditemani muhrimnya, asalkan terjamin
keamanannya dalam perjalanan. Lihat Hamid al-Husaini, Fatwa-Fatwa Muta’hir
(Jakarta: Yayasan al-Hamidi, 1996), 445-4450.

29
Fatima

kapada kebaikan.48 Wanita juga dianjurkan berdakwah sesuai dengan


kemampuan yang dimilikinya dan tidak menyalahi fitrahnya.
b. Hak Sosial
Hak sosial yang dimaksud meliputi hak keluarga maupun
nonkeluarga. Pada bagian ini tidak dijelaskan secara rinci hak wanita
dalam keluarga (hak wanita sebagai istri dan sebagai seorang ibu, karena
akan dijelasakan secara terperinci pada bab tersendiri). Sehubungan
dengan hak sosial nonkeluarga yaitu hak-hak kemasyarakatan umum di
luar lingkungan keluarga. Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh manfaat dari bakat-bakat bawaannya, setiap orang
mempunyai hak untuk berkerja dan mengambil bagian dalam
perlombaan hidup, setiap orang berhak untuk menawarkan dirinya untuk
suatu pekerjaan atau jabatan, serta setiap orang berhak untuk
menunjukkan prestasi akademis pribadi dan nilai peraktisnya.49
Islam memberikan hak terhadap wanita untuk memilih pasangan
hidup, karena itu setiap wanita diberi hak untuk menolak atau menerima
lamaran. Hak lain yang diperoleh dari wanita adalah hak memperoleh
pendidikan. Islam mewajibkan setiap muslim baik pria maupun wanita
untuk menuntut ilmu. Terlalu banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi
saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar.50 Wahyu pertama dari al-
Qur’an adalah perintah membaca atau belajar. Pria maupun wanita
diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin. Mereka semua
dituntut untuk belajar.51 Pendidikan wanita sangatlah vital bagi
masyarakat muslim, karena wanitalah yang melahirkan pria, dan
wanitalah sekolah dasar bagi anak-anak. Dari wanita mereka belajar
tentang pondasi kemanusiaan dan basis moral.52

48
Seruan al-Qur’an memerintahkan amal ma’ru>f nahi> munkar sebagaimana
tertera dalam QS. al-Tawbah (9): 71. QS. al-‘As}r (103): 1-3. Ali Imra>n (3); 104.
49
Murteza Mutahhari, The Rights of Women in Islam, trans. M. Hashem
‚Wanita dan Hak-Haknya dalam Islam‛, (Bandung: Pustaka, 1985), 123.
50
Lihat QS. al-‘Alaq (96): 1-5, al-Zumar (39): 9 dan al-Muja>dalat (58): 11.
51
Sebagaimana hadis nabi yang diriwayatkan dari Anas r.a. Rasu>lulla>h Saw.
bersabda;

Hadis ini diriwayatkan oleh al-T>}abra>ni> dalam al-S}aghir dan oleh al-Kha>t}ib
dalam al-Ta>rikh dari al-H{usayn Ibn ‘Ali>. Al- T>}abra>ni juga meriwayatkan dari Ibn
‘Abbas dan Tamam dari Ibn Umar, dalam al-Kabi>r. al-T>}abra>ni meriwayatkannya dari
Ibn Masud. Lihat al-Suyu>t}i>, Al-Ja>mi’ al-S}aghi>r, Juz II (Beirut: Dar> al-Fikr li al-
T}iba>’ah wa al-Nas}r wa al-Tawzi>’, t.th), 131.
52
Fatima Umar Nasif, Women in Islam, 102.

30
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Para wanita di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban


menuntut ilmu, sehingga mereka memohon agar beliau bersedia
menyediakan waktunya untuk mengajari ilmu pegetahuan. Pada masa
Nabi saw. banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan yang banyak dijadikan rujukan tokoh
pria, di antaranya ‘Aisyah,53 Kha>dijah, H}afs}ah, Ummu Salamah,
Sayyidah Sakinah, al-Shaikhah Suhrah, dan banyak lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum wanita mulai dihalang-
halangi untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sehingga mereka dalam
kebodohan. Akibatnya mereka hanya mampu menangani tugas-tugas di
seputar rumah tangga belaka dan tidak pernah dilibatkan dalam
masalah-masalah publik. Baru akhir-akhir ini saja wanita kembali
diberikan kebebasan dan hak untuk menuntut ilmu.
Islam adalah agama yang menghargai pekerjaan, karena itu Islam
menganjurkan setiap muslim melakukan pekerjaan yang halal. Islam
tidak melarang wanita untuk melakukan usaha sendiri, seperti berdagang
dan lainnya. Seandainya perlu dan bermanfaat, serta memiliki
kemampuan, mereka dianjurkan pergi ke luar rumah untuk melayani
kebutuhan kaumnya.
Islam memberikan jaminan yang seimbang antara pria dan
wanita. Jaminan sosial ini tidak selamanya antara semua pria dan wanita
seperti yang diberikan oleh bangsa wanita. Islam masih memberikan
batasan-batasan tertentu kepada wanita untuk menjaga fitrah agamanya
dan fitrah dirinya sebagai wanita.
c. Hak Politik
Islam mengakui pentingnya kaum wanita dalam kehidupan
masyarakat dan pengaruhnya dalam kehidupan politik. oleh karena itu,
kaum wanita telah diberikan hak-hak politik yang mencerminkan status
mereka yang bermartabat, terhormat, dan mulia dalam pandangan Islam.
Di antara hak-hak politik wanita yang diberikan Islam adalah hak
untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Hak ini dapat difahami

53
Adalah wanita yang sagat luas ilmu pengetahuannya, ia dikenal sebagai
kritikus dan banyak menghafal dan meriwayatkan hadith. Sayyidah Sakinah adalah
putri al-H{usayn bin ‘Ali> bin Abi> T{a>lib. Sedangkan al-Shaikhah Suhrah adalah salah
seorang guru Imam Shafi’i. Lihat Jama>luddi>n Muh}ammad Mah}mu>d, H}uqu>q al-Mar’a>h
fi al-Mujtama’ al-Isla>m (Kairo: al-Hay’ati al-Mis}riya>t al-Amat, 1986),77. Ima>m Abu>
H}ayyan tiga nama wanita yang menjadi guru-guru tokoh madhhab yaitu, Mu’nisat al-
‘Ayyubiyah (putri al-Ma>lik al-‘A<dil, saudara S}alahuddi>n al-‘Ayyubi>), Sha>mit al-
Taymiyyah dan Zainab putri dari sejarawan ‘Abd al-Lat}i>f al-Baghda>di>. Lihat ‘Abd al-
Wa>h}id Wa>fi>, al-Musawat fi> al-Isla>m (Kairo: Dar> al-Ma’a>ri>f, 1965), 47.

31
Fatima

dari al-Qur’an yang memerintahkan kepada kaum muslim untuk


bermusyawarah dalam memecahkan segala urusan mereka.54 Kata shu>ra>
(musawarah), salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan
bersama menurut al-Qur’an, termasuk kehidupan politik. Artinya setiap
warga masyarakat dalam kehidupan bersama dituntut untuk senantiasa
mengadakan musyawarah. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap
pria maupun wanita mempunyai hak berpolitik, karena tidak ditemukan
satu ketentuan agama manapun yang melarang keterlibatan wanita
dalam kehidupan bermasyarakat termasuk dalam bidang politik.55
Ayat lain yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam
dalam kaitannya dengan hak politik wanita adalah surah al-Tawbah
Ayat 71.56 Secara umum ayat tersebut difahami sebagai gambaran
tentang kewajiban melakukan kerja sama antar pria dan wanita dalam
berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan menyuruh
mengerjakan yang ma’ru>f dan mencegah yang munkar.57 Amar ma‘ru>f
dan nahi> munkar58 bagi wanita adalah diberikan hak untuk memberikan
nasihat kebenaran kepada orang lain, termasuk memberikan kritik
kepada penguasa.
Dengan demikian pria dan wanita muslimah hendaknya mampu
mengikuti perkembanga masyarakat agar masing-masing mereka mampu
melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang

54
Ada dua ayat yang memerintahkan kaum muslim untuk melakukan
musyawarah yaitu QS. al-Shu>ra (42): 38 dan Ali ‘Imra>n (30; 159.
55
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 274.
56
Bunyi ayat tersebut adalah;

57
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, 273.
58
Peran poltik dalam arti amar ma’ru>f dan nahi> munkar, memang pria dan
wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama, akan tetapi dalam arti politik praktis
yang di dalamnya diperlukan pengambilan keputusan yang mengikat menyangkut
masyarakat luas, seperti pengambilan keputusan dalam peradilan (menjadi hakim),
dalam lembaga legislatif dan eksekutif atau kekuasaan publik. Tugas-tugas ini menurut
kebanyakan ulama tidak dapat diperlakukan secara sama. Misalnya fatwa yang
dikeluarkan oleh Universitas al-Azhar tahun 1952 menyebutkan bahwa syari’at Islam
melarang kaum wanita menduduki jabatan kekuasaan-kekuasaan publik. Lihat Lajnah
Fatwa bi al-Azhar, ‚H{ukm al-Shari>’ah al-Isla>miyah fi Ishtira>k al-Mar’ah fi al-Intikha>b
li al-Barla>man‛, dalam al-Harakah al-Nisa>’iyah wa S{ila>tuha bi al-Isti’mar, 101. Lihat
juga Husein Muhammad, Fikih Wanita, 141.

32
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

kehidupan.59 Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak kaum


wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hanik
misalnya, dibenarkan oleh Nabi saw. ketika memberi jaminan keamanan
kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah
satu aspek dalam bidang politik). Bahkan istri Nabi saw. sendiri yaitu
‘A<isyah memimpin langsung peperanggan melawan ‘Ali> Ibn Abi> T}al> ib
yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Keterlibatan ‘A>isyah
bersama sekian banyak sahabat Nabi saw. dan kepemimpinan ‘Aisyah
dalam perang unta menunjukkan kebolehan wanita dalam berpolitik.60
d. Hak Ekonomi
Hak ekonomi yang dimaksud di sini adalah hak wanita dalam
aktifitas ekonomi seperti dalam persoalan kepemilikan, hibah, wasiat,
jual beli, upah, dan sebagainya. Islam mengakui persamaan hak wanita
dalam mencari nafkah sebagimana laki-laki, sehingga mempunyai
konsekuensi terhadap kepemilikan kebebasan untuk membelanjakan
harta. Pengakuan hak wanita dalam bidang ekonomi misalnya, hak
kepemilikan dalam masalah waris dan mahar yang pada masa jahiliyah
tidak pernah terjadi.61 Wanita juga berhak untuk berdagang, tawar
menawar, memberikan jaminan, memberikan sedekah, memberikan
jaminan, membuat perjanjian, dan lain sebagainya.62

59
Amin al-Khuli>, al-Mar’at bayna al-baya>t wa al-Muitama: dalam al-Mar’at
al-Muslimah fi al-Ashr al-Muashir (t.tp, Baqhdad, t.th),13.
60
Tujuan utama berpolitik dalam Islam adalah menegakkan kalimat Allah
atau memenangkan Islam. Aktifitas politik yang dilakukan wanita pada masa Nabi
saw. sebagaimana yang diceritakan hadis Nabi saw. di antaranya adalah 1) Ikut
berhijrah ke Habasah bersama Nabi saw. dan kaum pria, 2) ikut berhijrah ke Madinah.
3) Berbai’at dengan Nabi saw. seperti yang ditegaskan dalam al-Qur’an surah al-
Mumtah}anah (60) ; 12. 4). Ikut peduli terhadap masa depan politik negara. 5) Ikut
menghadapi kezaliman salah seorang penguasa. Lihat ‘Abd al-H{ali>m Abu> Shu>qqat,
Tah}ri>r al-Mara>t fi> ‘As}r al-Risa>lat, alih bahasa oleh charul halaim dengan judul ‚
Kebebasan Wanita‛ (Jakarta: Gema Insa>ni Press, 1997), 63-68. M. Quraish Shihab,
Membumikan Al-Qur’an, 274-275. Untuk mengetahui secara panjangg lebar mengenai
peran politik wanita dalam sejarah Islam baca Ziya>dat Asma>’ Muh}ammad Ah}mad,
Dawr al-Mar’at al-Siya>si> fi ’Ahd al-Nabi> al-Khulafa’ al-Ra>shi>di>n, Alih bahasa oleh
Kathur Suhardi dengan judul ‚ Peran Politik Wanita Sejarah Islam‛ (Jakarta: Pustaka
al- Kauthar, 2001). Mengenai peran politik wanita pada zaman Nabi dijelaskan oleh
Ibn Sa’ad, The Women of Madina, Alih bahasa Eva Y. Nukman Purnama Madina
(Bandung: al-Bayan, 1997).
61
Su’a>d Ibra>hi>m S}a>lih} Kedudukan Wanita dalam Islam, dalam M. Atho
Mudzhar dkk, eds. Wanita dalam Masyarakat Indonesia (Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press, 2001), 47-48.
62
Fatima Umar Nasif, Women in Islam, 193.

33
Fatima

Berdasarkan penjelasan di atas, hak-hak wanita dalam Islam


meliputi, hak beribadah (hak keagamaan), hak untuk menikah dengan
pria pilihannya sendiri dan hak untuk mengakhiri perkawinan, hak untuk
memperoleh pendidikan, hak untuk menggunakan identitasnya sendiri,
hak untuk memperoleh kenikmatan sosial, hak mendapatkan warisan
atau mewarisi, hak untuk memilih dan dipilih dalam politik, hak
berpartisipasi dalam persolan publik, dan hak untuk dihormati.63
Demikian juga wanita Indonesia mempunyai kedudukan setara
dengan pria misalnya hak politik yang sama, sampai jabatan kepala
negara pun terbuka untuk wanita. Di muka hukum juga sama
kedudukannya dengan pria. Wanita dapat menjadi saksi dalam semua
perkara, perdata maupun pidana dengan bobot yang sama dengan pria,
satu wanita sama dengan satu pria.64

B. Wanita dalam Hukum Internasional


Manusia mendambakan perlakuan yang adil dari sesamanya serta
membebaskan dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan oleh
siapapun, di manapun, dan kondisi apapun. Tuntutan kaum wanita untuk
memperjuangkan persamaan hak (emansipasi) peran, dan fungsi dalam
berbagai aspek kehidupan dilakukan secara gencar, baik secara fisik
maupun nonfisik. Pada 12 Juli 1963 muncul gerakan global yang
dipelopori gerakan kaum wanita. Gerakan ini berhasil mendeklarasikan
suatu resolusi melalui Badan Ekonomi dan Sosial PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) ECOSOC (Economic and Social Council) Nomor 861 F
(XXVI).65
Perjuangan wanita untuk memajukan diri sebagai mitra sejajar
pria secara nyata berawal pada zaman revolusi Perancis menjelang akhir

63
Haifal A. Jawad, The Right of Women in Islam: An Authentic Approach,
trans. Anni Hidayatun Noor dkk, dengan judul ‚Otentisitas Hak-hak Wanita;
Perspektif Islam atas Kesetaraan Gender‛ (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), 16-
27.
64
Sedangkan menurut hukum Islam klasik seperti yang telah ditafsirkan
ulama yang telah dijelaskan di muka, wanita tidak dapat menjadi saksi dalam perkara
pidana berat. Mereka dapat menjadi saksi dalam hukum perdata, tetapi hanya
mempunyai bobot separoh dari pria, dua wanita sama dengan satu pria. Lihat Munawir
Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), 73.
65
Resolusi tersebut diakomodasi pemerintah Indonesia dengan dibentuknya
wadah perjuangan bernama Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (SK
Menteri Negara Kesra No. 34/KPTS/Ksra/ 1968. Murfitriati dan Asep Sopari, Isu
Global Gender (Jakarta: BKKBN, 2009), 9-12.

34
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

abad 18, disusul dengan demonstrasi wanita dari industri dan garmen di
jalan-jalan di New York pada tanggal 8 maret 1957 yang menuntut hak
kerja dan kondisi kerja yang lebih manusiawi. Selanjutnya kongres 1
Asosiasi Pekerja Internasional tahun 1966 mengeluarkan resolusi
tentang profesional wanita yang secara terbuka telah menentang tradisi
bahwa tempat wanita di rumah. Selanjutnya pada tahun 1899, di Den
Haag, konfrensi wanita menentang perang yang merupakan titik awal
gerakan yang berlanjut pada abad ke-20. 66
Isu hak Asasi manusia (selanjutnya disingkat dengan HAM )
merupakan isu internasional atau isu global.67 Jauh sebelum berdirinya
PBB perjuangan terhadap HAM sudah dimulai. Di Inggris muncul
gerakan yang disebut Magna Charta (1215).68 Disusul gerakan Petition
of Right (1627). Di Amerika lahir Declaration of Right (1776).69 Pada
tahun pertama setelah berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1935,
wakil-wakil di Liga Bangsa-Bangsa mulai membahas mengenai
kedudukan wanita dan mempertimbangkannya dari aspek-aspek sipil
dan politik.
Berakhirnya perang dunia II, berdirilah PBB dengan
ditandatanganinya Piagam PBB di San Frensisco pada tahun 1945.
66
Pada tahun 1910, atas desakan Clara Zetkin (anggota internasional Ladies
Garment Workers union, the Second International Conference of Socialist Women)
memproklamirkan hari wanita internasional 8 Maret. Pada tahun 1911 tanggal 8 maret
diperingati hari wanita internasional untuk pertama kalinya di Austria, Denmark,
Jerman, dan Swiss. Di samping itu, mereka menuntut hak pilih dan hak-hak untuk
bekerja, hak untuk mengikuti pelatihan kejuruan, dan penghapusan diskriminasi dalam
dunia kerja. Tahun 1914, Hari Wanita Internasional diperingati dengan gerakan
perdamaian untuk memprotes perang yang mulai berkecamuk di Eropa. Sejak itu
makna pristiwa 8 maret terus berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Mereka
mulai mengkoordinasi upaya dan menelaah kemajuan perjuangan mereka untuk
persamaan hak, kemajuan sosial ekonomi ,dan perwujudan hak-hak mereka secara
penuh.
67
Masalah isu nasional dapat menjadi isu global dapat dilihat dalam Gabin
Boysd dan Chales Pentland, eds. Issues in Global Politics (New York: The Free Press,
1981), 5-6.
68
Patut dikemukakan di sini bahwa jauh sebelum Magna Charta, sebenarnya di
dunia Islam ada suatu piagam tentang HAM yang dikenal dengan ‚Piagam Madinah‛
di Madinah pada tahun 622, yang memberikan jaminan perlindungan HAM bagi
penduduk Madinah yang terdiri atas berbagai suku dan agama. Nurouzzaman Shiddiqie
telah membuat ringkasan Piagam Madinah. Baca selengkapnya Rozi Abdullah dan
Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2001), 1.
69
Muhammad Koderi, Bolehkan Wanita Menjadi Imam Negara (Jakarta:
Gema Insanii Press), 25.

35
Fatima

Piagam PBB merupakan instrument internasional pertama yang


menyebutkan persamaan antara hak-hak pria dan wanita.70 Kesadaran
akan ketidakadilan yang dialami wanita telah diakomodir oleh PBB.
Setelah berdirinya PBB, masalah HAM dibicarakan dalam sidang umum
PBB di Perancis 10 Desember 1946 yang kemudian diberi nama
Universal Declaration of Human Right atau pernyataan hak-hak asasi
manusia.71
Pada dasarnya menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(selanjutnya disingkat dengan DUHAM) yang diproklamirkan PBB pada
1948,72 setiap orang tanpa terkecuali berhak atas hak-hak asasi dan
kebebasannya. Artinya, secara normatif DUHAM tidak membeda-
bedakan manusia, termasuk tidak membedakan antara pria dan wanita.73
Meskipun DUHAM sudah meliputi persamaan hak antara pria dan
wanita, namun sejak awal berdirinya PBB, disadari oleh masyarakat
dunia bahwa hak wanita memerlukan pengaturan khusus. Sikap ini
didasarkan atas kenyataan bahwa di seluruh dunia masih ditemui sikap
yang menganggap wanita lebih rendah kedudukan dan nilainya dari pada
pria. Sumbangan wanita bagi kehidupan keluarga, masyarakat, maupun
di dunia kerja bagi pertumbuhan ekonomi, masih sangat kurang diakui
dan dihargai. Hal ini mnyebabkan wanita pada umumnya kurang atau
sama sekali tidak berperan dalam proses pengangambilan keputusan
dalam keluarga maupun masyarakat. Akses pada pendidikan lebih
kurang dari pria, sehingga pilihan lapangan pekerjaan bagi wanita sangat
terbatas dan pendapatan wanita sering lebih rendah dari pada pria untuk
pekerjaan yang sama atau sama nilainya. Sangat banyak dan jauh lebih
banyak jumlah wanita miskin, wanita sering menjadi korban kekerasan.
Setelah DUHAM, lahir berbagai instrument HAM internasional
mengenai aspek-aspek khusus tentang wanita dalam kehidupan
berkeluarga dan bermasyarakat, muncul sejumlah konvensi mengenai

70
Achie Sudiarti Luhulima,‛Hak Wanita dalam Konstitusi Indonesia‛ dalam
Wanita dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 84.
71
Muhammad Koderi, Bolehkan Wanita Menjadi Imam Negara, 26.
72
Secara umum DUHAM mengandung empat hak pokok. 1) Hak individual
atau hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang . 2) hak kolektif atau hak masyarakat
yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain misalnya hak akan perdamaian, hak
akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup ynag bersih. 3) hak sipil dan hak
politik. 4) hak ekonomi, sosial, dan budaya. Lihat Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi
Manusia (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), 218-219.
73
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, 98.

36
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

penghapusan diskriminasi terhadap wanita, yaitu konvensi tentang


pengupahan yang sama bagi pria dan wanita untuk pekerjaan yang sama
nilainya (1951), Konvensi Hak Politik Wanita (1953), Konvensi Anti
Diskriminasi dalam Pendidikan (1960), International Covenant on Civil
and Political Rights (Konvensi Hak Sipil dan Politik) tahun 1966,
International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights
(Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) tahun 1966, Convention
on the Elimination of all Froms of Discrimination Against Women
(Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita)
tahun 1979, disebut juga sebagai konvensi CEDAW.74
Konvensi CEDAW secara khusus menyebutkan perlindungan
hak-hak wanita dalam beberapa pasal, misalnya pasal 16 secara khusus
membahas tentang hak-hak wanita dalam perkawinan. Hak-hak yang
dimaksud adalah 1) hak yang sama memasuki perkawinan, 2) hak dan
kebebasan yang sama untuk memilih pasangan hidup dengan persetujuan
penuh, 3) hak dan tanggung jawab yang sama dengan pria selama
perkawinan dan perceraian, 4) hak dan tanggung jawab yang sama
sebagai orang tua tanpa memandang status perkawinannya dalam hal
yang berhubungan dengan anak, untuk semua kasus, kepentingan anak
diatas segalanya, 5) dan tanggung jawab yang sama mengenai
perwalian, perwakilan, dan adopsi anak, 6) hak pribadi yang sama bagi
suami-istri termasuk untuk memilih nama keluarga, profesi, dan
pekerjaan, 7) hak yang sama bagi suami-istri mengenai kepemilikan,
perolehan managemen, administrasi, dan pembagian harta kekayaan.75
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita diterima oleh negara-negara anggota PBB berdasarkan
pertimbangan hukum, bahwa diskriminasi terhadap wanita merupakan
pelanggaran terhadap asas-asas persamaan hak dan rasa hormat terhadap
manusia. Di samping itu diskriminasi juga dianggap sebagai
74
CEDAW sebenarnya singkatan dari Committee on Elimination of
Discrimination Against Women. Suatu Komite PBB yang bertugas memantau
implementasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita di
Negara-negara peserta (negara yang meratifikasi konvensi) dan mengawasi kepatuhan
negara-negara tersebut dalam melaksanakan konvensi wanita. Komite tersebut
beranggotakan para ahli yang dipilih oleh Negara peserta. Lihat Achie Sudiarti
Luhulima,‛ Hak Wanita dalam Konstitusi Indonesia,‛ 84. Baca pula Achie Sudiarti
Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Wanita: UU No. 7 Tahun 1984 Pengesahan
Konvensi Mengenai penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 43. Lihat Tapi Omas Ihromi dkk,
Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, (Bandung: Alumni, 2006), 124.
75
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, 113.

37
Fatima

penghambat bagi keikutsertaan wanita yang didasarkan pada persamaan


derajat dengan pria baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi,
maupun budaya negara mereka. Di sisi lain, diskriminasi juga dapat
menghambat tercapainya kemakmuran masyarakat dan keluarga, serta
mempersulit berkembangnya potensi kaum wanita dalam pengabdiannya
pada masyarakat.76
Terakhir, dalam konferensi HAM PBB di Wina tahun 1993
dinyatakan bahwa hak asasi wanita adalah hak asasi manusia (Women’s
Rights are Human Rights) yang tidak dapat dicabut, integral, dan tidak
dapat dipisahkan. Deklarasi dan program aksi konferensi ini menegaskan
3 butir penting: 1) Menegaskan bahwa Hak Asasi Wanita dan Anak
Wanita adalah bagian yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia
secara menyeluruh. 2) Penegasan akan perlunya partisipasi penuh dan
setara bagi wanita dalam seluruh aspek kehidupan, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya pada tingkat nasional, regional, dan Internasional,
serta penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin
merupakan tujuan utama masyarakat sedunia. 3) penegasan bahwa
kekerasan berbasis gender dengan segala bentuknya tidak sesuai dengan
martabat dan harga diri manusia dan karenanya harus dihapuska.77
Perlu ditegaskan di sini, bahwa negara-negara muslim juga ikut
serta menjadi anggota PBB. Kaum muslim kadang-kadang menuduh
bahwa norma hak-hak internasional diwarnai oleh prasangka Barat atau
Yahudi –Kristen, sehingga mereka tidak menerimanya. Konflik berpusat
diseputar hak sipil dan hak politik. Prinsip kemerdekaan beragama
khususnya hak untuk masuk agama nonIslam dan persamaan hak total
tanpa membedakan jenis kelamin atau agamanya tampaknya menjadi
problem tersendiri. Piagam Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebuah
organisasi internasional yang berdiri pada tahun 1973 yang
beranggotakan seluruh negara muslim menyebutkan dalam

76
Omas Ihromi dkk, Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, 120.
77
Deklarasi Wina juga menyatakan bahwa kejahatan atau kekerasan
berdasarkan jenis kelamin, dan semua bentuk pelanggaran dan pelecehan seksual,
termasuk yang terjadi karena prasangka budaya dan perdakangan internasional, tidak
sesuai dengan martabat dan harga diri seorang manusia, dan harus dihapuskan. Hak
asasi manusia dari wanita harus merupakan bagian integral dari kegiatan hak asasi
manusia PBB, termasuk pemajuan semua instrument hak asasi manusia yang terkait
dengan wanita. Lihat Tapi Omas Ihromi dkk,Penghapusan Diskriminasi terhadap
Wanita, ,40.

38
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

mukaddimahnya bahwa para anggotanya menegaskan kembali


komitmen mereka kepada Piagam PBB dan HAM.78
Pada tahun 1990 OKI mengeluarkan Deklarasi Kairo tentang
Hak Asasi Manusia dalam Islam. Deklarasi ini berisi antara lain
persamaan hak untuk hidup, persamaan hak pria dan wanita, persamaan
di depan hukum, hak berpendapat, berpolitik, dan ditegaskan pula bahwa
semua orang adalah sama dipandang dari martabat dan kewajiban
dasarnya sebagai manusia. Mereka tidak boleh didiskriminasikan atas
dasar ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, kepercayaan agama,
ideologi politik, ataupun status sosialnya. Ia merupakan deklarasi di
tingkat regional yang secara khusus ditujukan untuk negara-negara
anggota OKI. Dengan statusnya yang demikian, deklarasi ini semakin
melengkapi Deklarasi Umum HAM.
Selain Deklarasi Kairo, terdapat pula Konferensi Internasional
tentang Kependudukan dan Pembangunan Kairo pada tahun 1994. Ia
memuat konsep hak reproduksi wanita secara mendalam. Melalui
konferensi ini masyarakat untuk pertama kalinya mengakui bahwa
pemberdayaan wanita merupakan bagian integral dari pembangunan.
Program Aksi Kairo melahirkan sejumlah kesepakatan internasional
untuk memajukan kesetaraan dan keadilan gender (gender equalty and
equity) dalam seluruh bidang pembangunan.79
Kemudian tahun 1995, lahir Deklarasi Beijing yang dalam
landasan aksinya sangat mengedepankan prinsip kebersamaan dalam
kekuasaan dan tanggung jawab antara wanita dan lelaki, baik dalam
rumah tangga, di tempat kerja, maupun di lingkungan masyarakat
nasional dan internasional yang lebih luas. Pada deklarasi ini persamaan
wanita dan lelaki juga dinyatakan sebagai masalah hak asasi, syarat dari
keadilan sosial dan persamaan pembangunan dan perdamaian.80
Pada tahun 2000 dicapai konsensus 198 negara anggota PBB
mengenai Deklarasi Millenium (Millenium Declaration).81 Deklarasi ini
78
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern (Jakarta: Mizan,
t.th), 140.
79
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia,107.
80
RAHIMA, ‚Agama, Wanita dan Hak Asasi Manusia,‛ diakses pada 28, 2012
http://www.rahima.or.id/.
81
Mereka sepeakat untuk melaksanakan tujuan pembangunan millennium
(Millenium Development Goals-MDGs) dan menetapkan target keberhasilannya pada
tahun 2015. ada 8 komitmen kunci yang ditetapkan dan disepakati dalam MDGs, yaitu:
1) Menghapus kemiskinan yang ekstrem dan kelaparan. 2) Mencapai pendidikan dasar
universal. 3) Mendorong tercapainya kesetaraan, keadilan gender dan pemberdayaan
wanita. 4) Menurunkan angka kematian anak balita. 5) Memperbaiki kesehatan ibu. 6)

39
Fatima

secara khusus menegaskan bahwa kemajuan hak wanita mencapai


kesetaraan dan keadilan gender diakui sebagai hal yang mutlak
dilakukan untuk kemajuan pembangunan. Deklarasi ini menyatakan
secara tegas bahwa hal itu diperlukan untuk memerangi segala bentuk
kekerasan terhadap wanita dan untuk mengimplementasikan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap wanita.82
Indonesia yang ikut meratifikasi Deklarasi HAM tidak ada
alasan untuk tidak melaksanakan isi deklarasi dan program aksi tersebut,
karena penegasan HAM wanita yang tercantum dalam Deklarasi Wina
sejalan dengan ideologi Pancasila, khususnya sila ke-2. Adapun landasan
konstitusionalnya adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 yang
menjamin persamaan kedudukan dan hak bagi warga negara pria dan
wanita baik di depan hukum pemerintahan maupun atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu, secara hukum,
perundang-undangan nasional mengakui hal tersebut dalam Undang-
Undang No. 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi Hak Politik
Wanita Tahun 1953, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,83 yang
dilengkapi dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.84
Indonesia juga meratifikasi dua kovenan internasional pada bulan
Oktober 2005 dengan UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan
Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
(International Covenant on Economic and Social Rights), dan UU No.
12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights).85

Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya. 7) Memastikan kelestarian


lingkungan. 8) Membangun kemitraan global untuk pembangunan. Lihat Achie
Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Wanita: UU No. 7 Tahun 1984
Pengesahan konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita, 43.
82
Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Wanita: UU No. 7 Tahun
1984 Pengesahan konvensi Mengenai penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita, 44.
83
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, 204.
84
Muladi, Hak Asasi Manusia (Bandung: Refika Aditama, 2005), 51.
85
Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Wanita: UU No. 7 Tahun
1984 Pengesahan Konvensi Mengenai penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita, 39-40.

40
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Konferensi HAM di Wina telah mengantarkan perjuangan wanita ke


arah tahapan baru dalam memperjuangkan hak asasi wanita sebagai hak
asasi manusia. Tantangan berikutnya bagi para pemerhati wanita adalah
bagaimana agar apa yang telah tercapai di Wina berdampak nyata dalam
kehidupan wanita di seluruh dunia. Hal ini bukan hanya tantangan bagi
pemerintah, khususnya di Indonesia melainkan tanggung jawab bersama
antara pemerintah dan masyarakat baik pria maupun wanita.86

C. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara Muslim


Dalam bab ini hanya akan dibahas sebagian kecil saja dari
beberapa negara muslim yang telah melakukan pembaharuan hukum
keluarga Islam. Negara-negara yang akan dibahas adalah Turki dan
Mesir. Turki dan Mesir dianggap sebagai pelopor dalam pembaharuan
hukum keluarga Islam di dunia, karena memang dua negara tersebut
yang telah melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam pertama kali.
Sebelumnya akan dijelaskan mengenai tujuan dan metode reformasi
hukum keluarga di dunia muslim, berikut penjelasannya
1. Tujuan dan Metode Reformasi Hukum Keluarga
Fenomena penting yang muncul di dunia muslim sejak awal abad
ke-20 adalah adanya semangat dan upaya untuk mereformasi hukum
keluarga di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Secara
garis besar sistem hukum keluarga yang berlaku di dunia Islam atau
yang mayoritas penduduknya muslim bisa dibagi menjadi 3 (tiga)
bagian,87 yaitu:
a. Negara Muslim yang masih memberlakukan fikih konvensional
sebagai hukum asasi (pokok) dan berusaha untuk menerapkanya
dalam segala aspek hubungan kemanusiaan secara utuh. Di sini,
hukum Islam dipahami secara tekstual-literal sebagaimana yang
tercantum dalam teks-teks agama. Contoh hukum keluarga yang
diberlakukan adalah otoritas talak hanya dimiliki oleh kaum lelaki,
pemberlakuan poligami dan lain-lain. Di antara negara yang
mempertahankan model ini adalah Arab Saudi dan wilayah utara
Nigeria.

86
Saparinah Sadli dkk, Pendidikan Hak Asasi Manusia (Jakarta: KOMNAS
HAM, 2002), 170.
87
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi Dan Liberasi,
Cet. ke-2 (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000), 174-175. Lihat Juga Amir Mualim
dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2001), 7.

41
Fatima

b. Negara Muslim yang meninggalkan fikih konvensional dan


menggantinya dengan hukum Sipil Eropa. Negara muslim yang
setidak-tidaknya secara resmi telah sama sekali berubah menjadi
sekuler adalah Turki. Pada tahun 1926 hukum Swiss ditetapkan
sebagai pengganti hukum Islam, termasuk mengenai hukum
keluarganya, monogami diterapkan sebagai pengganti poligami, dan
perceraian berdasarkan atas ketetapan hakim berdasarkan alasan-
alasan tertentu, yang sama bagi suami atau istri yang berperkara
diterapkan sebagai pengganti talak yang dijatuhkan secara sepihak
oleh suami atau yang dijatuhkan atas kesepakatan kedua suami-istri
yang bersangkutan.
c. Negara Muslim yang berusaha memberlakukan hukum keluarga
Islam tetapi setelah mengadakan pembahauan sana-sini sesuai
dengan kemaslahatan masyarakat yang besangkutan, seperti negara
Mesir, Sudan, dan Yordania, dan Indonesia juga masuk kategori
ini.88
Dari ketiga corak aplikasi hukum Islam di dunia Muslim di atas
menunjukkan bahwa perbedaan sistem dan bentuk pembaharuan hukum
Islam bukan hanya disebabkan oleh sistem politik yang dianut,
melainkan juga oleh faktor perbedaan sejarah, sosiologi, dan kultur
masing-masing negara.
Dilihat dari segi bentuk pembaharuannya, negara-negara muslim
menjadi tiga yaitu: pertama, umumnya (mayoritas) negara melakukan
pembaharuan dalam bentuk undang-undang. Kedua, ada negara yang
usaha pembaharuannya lahir dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim
(manshu>rah al-Qa>d}i al-Qud}a), seperti yang dilakukan Sudan. Ketiga, ada
beberapa negara yang melakukan pembaharuan dengan berdasar pada
dekrit presiden atau raja, seperti: Yaman Selatan, Syria, dan Maroko.89
Adapun tujuan pembaharuan hukum keluarga Islam kontemporer
secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: pertama,
untuk menciptakan unifikasi hukum. Unifikasi ini dikelompokkan
menjadi empat kelompok. 1) unifikasi hukum yang berlaku untuk
seluruh warga negara tanpa memandang agama, misalnya kasus yang
berlaku di Tunisia. 2) unifikasi yang bertujuan untuk menyatukan dua
88
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005), 162-165. lihat M. Atho Mudzhar dan Khairuddin
Nasution, eds. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan
Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, 204-205.
89
Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Cet. ke-1
(Yogyakarta: Tazzafa dan Accamedia, 2007), 43.

42
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

aliran, yaitu antara aliran Syi’ah dan Sunni, seperti di Iran dan Irak
yang penduduknya mengikuti kedua aliran tersebut. 3) kelompok yang
berusaha memadukan antar mazhab dalam sunni, karena di dalamnya
ada pengikut mazhab-mazhab yang bersangkutan. 4) unifikasi dalam
mazhab tertentu, misalnya dikalangan pengikut mazhab Syafi’I, Hanafi,
atau Maliki. Bukan berarti format pembaharuan diambil dari satu
mazhab yang dianutnya saja. Boleh jadi formatnya diambil dari mazhab
lain. Misalnya, Indonesia yang penduduk muslimnya mayoritas
bermazhab Syafi’i, bukan berari format hukum keluarganya sepenuhnya
sesuai dengan pandangan Imam Syafi’i, boleh jadi pada bagian-bagian
tertentu mengambil dari mazhab Hanafi, Maliki, dan lainnya.90 Tujuan
pembahauan kedua adalah untuk mengangkat status wanita. Ketiga
untuk merespon terhadap perkembangan dan tututan zaman.91
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam undang-undang keluarga
di negara Muslim, menurut Tahir Mahmood ada tiga belas unsur, yaitu;
batasan umur minimal boleh kawin, pembatasan peran wali dalam
perkawinan, keharusan pencatatan perkawinan, masalah keuangan
perkawinan (mas kawin dan biaya perkawinan)kemampuan ekonomi
dalam perkawinan, pembatasan kebolehan poligami dan hak-hak istri
dalam poligami, nafkah istri dan keluarga serta tempat tinggal, masalah
talak dan cerai di muka pengadilan, hak-hak wanita yang dicerai
suaminya, masa kehamilan dan implikasinya, hak dan Tanggungjawab
pemeliharaan anak setelah perceraian, hak waris bagian laki-laki dan
wanita termasuk bagian anak dari anak yang lebih dulu meninggal,
masalah wasiat bagi ahli waris, dan masalah pengelolaan wakaf.92
Adapun sifat dan metode reformasi yang digunakan negara-
negara muslim dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam
dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua):
a. Intra-doctrinal reform, yaitu reformasi hukum keluarga Islam yang
dilakukan dengan menggabungkan pendapat dari beberapa mazhab

90
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution (ed), Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab
Fikih, 2-3.
91
Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, 44-45.
92
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History Text and
Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), 270. Lihat
M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, ed. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih,
208-209. Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, 45-46.

43
Fatima

atau mengambil pendapat lain selain dari mazhab utama yang


dianut.
b. Extra-doctrinal reform, yaitu pembaruan hukum dengan cara
memberikan penafsiran yang sama sekali baru terhadap nash yang
ada.93
2. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Turki
Penerapan hukum Islam dalam terma kenegaraan secara serius dan
sistematis dimulai pada masa ‘Umar bin Abdul Aziz. Negara pada saat
itu merupakan lembaga eksekutif yang menerapkan hukum Islam
sebagaimana dirumuskan oleh otorita hukum setempat di masing-
masing daerah. Kumpulan hukum (fikih) yang mengatur hal-hal pokok
dilaksanakan secara seragam, namun berkaitan dengan hal-hal yang
detail banyak terjadi perbedaan karena praktik-praktik setempat dan
variasi-variasi yang berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama.94
Pembaruan hukum keluarga dalam format perundang-undangan
hukum keluarga dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya The
Ottoman Law of Family Rights (Undang-Undang tentang Hak-Hak
Keluarga) oleh Pemerintah Turki. Pembaruan hukum keluarga di Turki
merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam
dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum
keluarga di negara-negara lain.
Pembaruan hukum keluarga Turki telah dimulai pada tahun
1876. Pada tahun tersebut Turki telah mempersiapkan sebuah undang-
undang civil yang didasarkan pada mazhab Hanafi, yaitu yang disebut
dengan Majallat al-Ah}ka>m al-‘Ad}liyyah, tetapi di dalamnya belum ada
aturan perkawinan dan warisan.95

93
M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, ed. Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab
Fikih, 207-208. Redaksi hampir sama dikemukakan oleh Khoiruddin Nasution bahwa
maksud Intra-doctrinal reform, adalah tetap merujuk pada konsep fikih konvensional
dengan cara talfi>q (memilih salah satu pendapat ulama fikih) atau tawfi>q
(mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama). Extra-doctrinal reform, pada
prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fikih konvensional, tetapi dengan
melakukan reinterpretasi terhadap nash. Lihat Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga
(Perdata) Islam Indonesia, 47.
94
Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Mohammad, Cet. ke-4 (Bandung:
Pustaka, 2000), 108.
95
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim, Cet. ke-1 (Yogyakarta: Acamedia
dan Tazzafa, 2009), 166.

44
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Pada tahun 1915, kerajaan mengeluarkan dua dekrit yang


mereformasi hukum matrimonial (yang berhubungan dengan
perkawinan) dalam mazhab Hanafi yang secara lokal terkait dengan hak-
hak perempuan terhadap perceraian. Dalam dekrit tersebut digunakan
prinsip takhayyur (eklektik) dengan mengambil sumber dari mazhab
Hanbali dan Hanafi. Dinyatakan dalam dua dekrit tersebut bahwa
perempuan diperbolehkan mengupayakan perceraian atas dasar
ditinggalkan suami atau karena penyakit yang dideritanya.
Dua tahun kemudian, imperium mengeluarkan undang-undang
tentang hukum matrimonial. UU tersebut terdiri dari 156 pasal yang
berisi tentang hak-hak dalam keluarga (termasuk pasal mengenai waris).
UU inilah yang kemudian diberi nama Qanu>n Qara>r al-H{uqu>q al-‘A’ilah
al-‘Uthma>niyyah (the Ottoman Law of Family Rights) Tahun 1917.
Penetapan UU ini didorong semangat takhayyur, proses legilslasi yang
mulai menjadi ternd pada era itu dan kemudian diperkenalkan ke seluruh
dunia muslim sebagai cita-cita umum kodifikasi dan reformasi hukum
keluarga.96
Beberapa tahun setelah pencabutan hukum tentang hak-hak
keluarga tahun 1917, situasi politik di Turki memberikan sedikit ruang
untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca konferensi Perdamaian
Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi hukum
untuk mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi tersebut berusaha
menempatkan hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 Majallat al-
Ah}ka>m al-‘Ad}liyyah tahun 1876 dan hukum tradisional yang tidak
tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh. Namun perbedaan
pendapat yang tajam di kalangan modernis dan tradisional, seperti
pengambilan materi dari mazhab yang berbeda dalam hukum Islam,
yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar menjadikan komite
hukum kacau dan dibubarkan.
Guna mengisi kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum
tersebut, Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss tahun
1912 (The Civil Code of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan
yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam hukum
perdata Turki tahun 1926 (The Turkish Civil Code of 1926). Dalam
beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat
menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan

96
Isroqunnajah, Hukum Keluarga Islam Di Republik Turki, dalam Atho
Mudzhar dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, 39-
40.

45
Fatima

wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912. Materi
yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah
ketentuan-ketentuan tentang pertunangan (terutama masalah ta’lik
talak), batas usia minimal untuk kawin, larangan menikah, poligami,
pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-
lain.97
Hukum keluarga di Turki telah mengalami beberapa kali
perubahan. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 (The Ottoman
Law of Family Rights) diperbarui dengan Hukum Perdata Turki Tahun
1926 (Turkish Civil Code, 1926), kemudian diamandemen dua kali,
tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992.
3. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Mesir
Kodifikasi hukum Islam yang sesungguhnya baru terlaksana pada
tahun 1293 H/1876 M oleh Kerajaan Turki Usmani (Ottoman) dengan
menerbitkan kitab yang berjudul Majallat al-Ah}ka>m al-‘Ad}liyyah yang
diberlakukan di seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani ketika itu
sampai dasawarsa ketiga abad ke-20. Kodifikasi hukum yang dihimpun
ulama fikih di zaman Turki Usmani ini hanya mencakup bidang
muamalah dan hanya bersumber dari Mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah,
yang tidak tunduk sepenuhnya kepada kerajaan Turki Usmani, tidak
menerima kodifikasi hukum fikih tersebut karena mayoritas umat Islam
di kedua tempat itu bermazhab Syafi'i.
Setelah perang dunia ke-2, lahirlah kodifikasi hukum di berbagai
negara Arab, diawali oleh Mesir pada tahun 1875. Kodifikasi Mesir ini
merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat (Eropa).
Setelah itu, pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar
hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir bidang perdata yang
diambil secara murni dari hukum Islam (fikih). Lebih lanjut, kodifikasi
di Mesir mengalami beberapa kali perubahan, antara lain pada tahun
1920, 1929, dan 1952.
Kajian tersendiri terhadap masalah hukum keluarga baru dimulai
sekitar paruh kedua abad ke-19. Sebelumnya hukum perseorangan dan
keluarga itu tersebar dalam berbagai bab dalam kita fikih. Orang yang
pertama memisahkannya dalam suatu kajian tersendiri adalah
Muhammad Qudri Pasya, ahli hukum Islam di Mesir. Dialah orang
pertama yang mengkodifikasikan al-Ah}wa>l al-Shakhs}iyyah dalam suatu

97
Ahsan Dawi, ‚Pembaruan Hukum Keluarga di Turki (Studi Atas Perundang-
Undangan Perkawinan‛, diakses pada tanggal 10 Oktober 2012 melalui
www.badilag.net/.../Pembaruan%20Hukum%20Keluarga%20Di%20 Turki.pdf.

46
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

buku yang berjudul al-Ahka>m al-Shar'iyyah fi> al-Ah}wa>l al-Shakhs}iyyah


(hukum syari'at atau agama dalam hal keluarga).98
Secara historis, pembaruan hukum keluarga di Mesir dimulai
sekitar tahun 1920. Pada tahun ini, seri pertama rancangan Undang-
undang Hukum Keluarga resmi diundangkan. Pada tahun 1929 dilakukan
amandemen kedua terhadap beberapa pasal pada undang-undang
sebelumnya. Setelah itu, tercatat dua kali amandemen terhadap hukum
keluarga Mesir yaitu pada tahun 1979 dan 1985. Reformasi hukum
keluarga Mesir antara lain terkait dengan masalah poligami, wasiat
wajibah, warisan, dan pengasuhan anak.99
Hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan di
Mesir antara lain dapat dilihat dalam: (1) Perundang-undangan tentang
Status Personal dan Pemeliharaan (The Laws on Maintenance and
Personal Status) yang mengalami perubahal-perubahan dalam rentang
tahun 1920-1929, (2) Undang-undang tentang Pemeliharaan, Wasiat,
dan Wakaf (The Laws on In-heritance, Wills, and Endowment) dalam
rentang tahun 1943-1952, (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan
Undang-undang tentang Peradilan (Civil Codes and Laws on Courts)
dalam rentang 1931-1955, (4) Pembentukan Lembaga Pengawas hukum
personal (Executory Legislation Relating to Personal Law) dalam
rentang 1955-1976, (5) Amandemen Hukum Status Personal (Personal
Status [Amandment] Law) tahun 1985.100
Kodifikasi hukum keluarga itu meliputi hukum perkawinan,
perceraian, wasiat, ahliyyah (kecakapan bertindak hukum), harta
warisan, dan hibah. Meskipun belum dinyatakan resmi berlaku oleh
pemerintah, kodifikasi tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan
oleh para hakim dalam memutuskan berbagai masalah pribadi dan
keluarga di pengadilan. Dalam perkembangan selanjutnya, kodifikasi itu
dijadikan pedoman dan diterapkan pada Mahkamah Shar'iyyah Mesir.

98
Husni Syams, ‚Urgensi Kodifikasi Hukum Keluarga‛, diakses pada tanggal
14 Oktober 2012 melalui http://www.husnisyams.co.cc/2010/02/kodifikasi-hukum-
keluarga-pada-masa.html.
99
Pokja Pengarusutamaan ‚Gender Departemen Agama RI, Menuju Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Indonesia Yang Adil Gender‛, diakses pada tanggal 14 Oktober
2012 melalui http://www.fahmina.or.id/pemikiran-fahmina/fikih-perempuan/703-
menuju-kompilasi-hukum-islam-khi-indonesia-yang-adil-gender.html.
100
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata, hlm. 168. Lihat juga Atho Mudzhar,
Hukum Keluarga, 13. Keterangan serupa juga dapat dibaca pada Ahmad Tholabi
Kharlie, ‚Legislasi Hukum Islam di Dunia Muslim Moderen‛, diakses pada tanggal 10
Oktober 2012 melalui http://jurnalalrisalah.com/index.php?option=com.

47
Fatima

Pasal 13 Kitab Undang-undang Acara Peradilan Mesir menyebutkan


bahwa al-Ah}wa>l al-Shakhs}iyyah menyangkut masalah-masalah yang
berhubungan dengan pribadi, ahliyyah, dan keluarga (seperti perkawinan
dan akibat hukumnya, pengampuan, orang mafqud, dan harta
warisan).101
Setelah Mesir melakukan pembaruan hukum keluarga berikutnya
muncul berbagai kodifikasi hukum di beberapa negara Muslim lainnya,
seperti Irak (tahun 1951 dan 1959 dan diubah tahun 1963 dan 1978),
Yordania (tahun 1951 dan diubah pada tahun 1976), Libanon (tahun
1917 dan 1934), Suriah (tahun 1949, 1953 dan 1975), Libya (tahun
1953), Maroko (tahun 1913 dan 1957), Tunisia (tahun 1906, 1913, dan
1958), Sudan (tahun 1967), Kuwait (tahun 1983, Uni Emirat Arab
(tahun 1979, 1980, 1984, 1985, dan 1986), dan Indonesia (tahun1954,
1974, 1975, 1991, dan 2006).102

101
Husni Syams, ‚Urgensi Kodifikasi Hukum Keluarga‛, diakses pada tanggal
14 Oktober 2012 melalui http://www.husnisyams.co.cc/2010/02/kodifikasi-hukum-
keluarga-pada-masa.html
102
Khoiruddin Nasution, Sejarah singkat Pembaruan Hukum Keluarga
Muslim, dalam Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, eds. Hukum Keluarga Di
Dunia Islam Modern, 10-19.

48
BAB III
PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM
DI INDONESIA
Pada bab ini akan menjelaskan mengenai pembaharuan hukum
keluarga Islam di Indonesia, yang bertujuan untuk mengatahui sejarah
lahirnya Undang-Undang Perkawinan dan KHI, subtansi hukum materiil
Undang-Undang Perkawinan dan KHI dalam melindungi hak-hak wanita
serta respon mayarakat terhadap kedua peraturan tersebut.
A. Sejarah Singkat Pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Pengaturan perkawinan di Indonesia tidak dapat lepas dari
keterlibatan tiga pihak yang berkepentingan, yaitu kepentingan agama,
kepentingan negara, dan kepentingan perempuan. Agama dan negara
merupakan institusi yang memiliki kepentingan untuk mengadakan
pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang
signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial
terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai
yang ada dalam agama. Sementara itu, negara sebagai institusi modern
pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan
tertib warganya, meskipun kepentingan negara ini tidak selalu sama dari
pemerintahan satu ke pemerintahan yang lain.1
Pada masa awal penjajahan Belanda, hukum perkawinan yang
berlaku adalah hukum perkawinan Islam yang berasal dari kitab-kitab
fikih. Kemudian Belanda menerjemahkan ke dalam bahasa Belanda.2
Compendium Freijer adalah kitab hukum yang berisi aturan-aturan
hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam untuk
daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa). Pada abad
ke-19 Compendium Freijer secara berangsur-angsur dicabut. Dengan
dicabutnya Compendium Freijer, secara tekstual hukum perkawinan
yang berlaku adalah hukum adat.3

1
Sarafina Shinta Dewi, ‚Pembentukan Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan,‛ artikel diakses pada 21 Februari 2013 melalui
http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/386-
pembentukan-Undang-undang-nomor-1-tahun-1974-tentang-perkawinan.
2
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), 79.
3
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, 80.
Fatima

Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda


menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat dengan
pokok-pokok yang isinya menyatakan, bahwa perkawinan berdasarkan
asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak
meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang
diputuskan oleh hakim.4 Menurut rencana, rancangan ordonansi tersebut
hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama
Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan
ordonansi tersebut ditolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi
mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.5 Aksi
penolakan ini merupakan peristiwa pertama umat Islam berhasil
menghentikan campur tangan pemerintah Belanda.6
Sebelum Indonesia merdeka sudah ada keinginan umat Islam
membuat hukum dan peraturan perundang-undangan yang berciri khas
ke-Indonesiaan dalam hal perkawinan yang menjadi patokan bagi
pelaksanaan akad nikah.7 Tuntutan akan hadirnya undang-undang
perkawinan sudah dikumandangkan sejak Kongres Wanita Pertama
tahun 1928 yang kemudian dikedepankan dalam kesempatan-
kesempatan lainnya berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dalam
perkawinan. Topik yang menjadi pusat pergerakan wanita pada masa itu
adalah mengenai perkawinan paksa, poligami, talak sewenang-wenang,
dan lain-lainnya.8
Setelah Indonesia merdeka, usaha pembuat hukum perkawinan9
dilakukan, yaitu pada tahun 1946 lahir UU No. 22/1946 tentang Nikah
Talak dan Rujuk (NTR). Undang-undang ini hanya berlaku untuk Jawa
dan Madura. Pada tahun 1954 lahir UU No. 32 Tahun 1954 yang berlaku
untuk seluruh wilayah Indonesia.10 Undang-undang ini belum mengatur

4
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992),77.
5
Hal ini terlihat adanya penghapusan praktik poligami.
6
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional,81-82.
7
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat (Jakarta:
INIS, 1998), 37.
8
Harso Sasroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 9. lihat juga A.Basiq Djalil, Peradilan Agama di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 85-86.
9
Istilah hukum keluarga dalam Undang-undangIndonesia di sebut hukum
perkawinan.
10
Sangat disayangkan dalam tulisan ini tidak dijelaskan sebab-sebab serta
alasan mengapa UU NO. 22 Tahun 1946 ini hanya berlaku di Jawa dan Madura serta

50
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

tentang materi hukum perkawinan sesuai umat Islam, tetapi baru


mengatur tentang pencatatannya saja.11
Pada masa Orde Lama, usaha unifikasi dalam bidang hukum
perkawinan terus mengalami hambatan hingga pada masa Orde Baru.
Desakan dari berbagai kalangan terjadi, terutama umat Islam dan
organisasi wanita antara lain Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI)
dalam simposiumnya tanggal 29 Januari 1972, Badan musyawarah
organisasi-organisasi Islam wanita Indonesia dalam keputusannya
tanggal 22 Februari 1972 dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
khususnya lagi dari Ibu Tien Soeharto yang menginginkan posisi wanita
di lindungi oleh hukum, sehingga harkat, dan martabat wanit terjaga.12
Setelah bekerja keras, sebagai respon positif terhadap tuntutan
masyarakat, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, pada
tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/1973, pemerintah
menyampaikan RUU perkawinan yang baru ke DPR yang terdiri dari 15
bab dan 73 pasal.13 RUU ini ternyata menuai pro dan kontra terutama

tidak bisa diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Keberadaan UU No. 22/1946
dan UU No. 32/1954 ini adalah sebagai kelanjutan dari Stbl No. 198 Tahun 1895 dan
sebagai pengganti dari Huwelijks Orgonantie Stbl No. 348 Tahun 1929 jo. Stbl No.
467 Tahun 1931 dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl No. 98 Tahun 1933. A.
Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, dalam Amrullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, 57. Lihat Chairuddin
Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap PerUndang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002), 42.
Lihat Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia
(Jakarata: Bulan Bintang, 1978), 21 dan Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan
(Bandung: Vorkink Van Hoeve, t.th), 50.
11
Lahirnya UU No. 22/1946 tentang Nikah Talak Dan Rujuk ternyata tidak
memberi pengaruh yang signifikan bagi umat Islam, Hal ini terbukti dengan
meningkatnya angka perceraian pada setiap tahunnya. TB Hamzah dari Fraksi ABRI
memaparkan data perkawianan pada tahun 1970 yang berasal dari Departemen Agama
(Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama), dari 859.061 perkawinan, yang
melakukan perceraian sebanyak 298.290. hanya 11294 yang melakukan rujuk. Hampir
dipastikan bahwa dari sekian rakyat Indonesia yang melakukan perkawinan, lebih dari
30% harus berakhir denagan perceraian dan hanya 3% yang rujuk. Lihat Pandangan
Umum Fraksi Abri, Risalah Sidang Pleno tanggal 17 September 1973. Lihat
Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law of 1974 an Institutionalization
Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim and Azyumardi Azra, eds. Syari’ah and
Politic in Modern Indonesia, 81.
12
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat DEPAG RI, 2008), 188.
13
Bab-bab tersebut meliputi, I. Dasal- dasar Perkawinan, II. Syarat-syarat
Perkawinan, III. Pertunangan, IV.. Tatacara Perkawinan, V. Batalnya Perkawinan, VI.

51
Fatima

saat pembahasan di DPR.14 Sejumlah respon negatif muncul baik dari


perorangan maupun organisasi. Umat Islam (baik ormas Islam, tokoh
ulama, maupun umat Islam) beranggapan bahwa ada beberapa pasal
dalam RUU tersebut yang bertentangan dengan hukum Islam.15

Perjanjian Perkawinan, VII. Hak dan Kewajiban suami –istri, VIII. Harta Benda dalam
Perkawinan, IX. Putusnya Perkawinan dan Akibatnya, X. Kedudukan Anak, XI. Hak
dan Kewajiban antara Anak dan Orang Tua, XII. Perwalian, XIII. Ketentuan-ketentuan
lain, XIV. Ketentuan Peralihan, XV. Keterangan Penutup. Lihat K.Wantjik Saleh,
Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Balai Aksara, 1987), 2 dan 27.
14
Mengenai perdebatan politik dalam bembentukan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan LihatAmak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan
(Bandung:Bulan Bintang, t.th), 7. Ali Munhanif dan Mukti Ali, Modernisassi Politik
Keagamaan Orde Baru,dalam Azzumardi Azra dan Saiful Umam (ed), Menteri-menteri
Agama RI, Biografi Sosial-politik, (Jakarta: INIS-PPIM-Depag RI, 1998), 257. Abdul
Halim, Politik Hukum Islam Di Indonesia, Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam
Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 257.
15
Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dicatatkan
di hadapan pencatatan perkawinan. Pasal 3 (2) yang menyatakan bahwa pengadilan
memberi izin kepada suami yang beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 7 (1) perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah berumur 21 tahun dan pihak wanita berumur 18 tahun. Pasal 8 poin ‛c‛ tentang
larangan perkawinan berhubungan sebagai anak angkat dan orang tua angkat atau
anak-anak dari orang tua angkat. Pasal 10 (2) yang menyatakan bahwa apabila suami
dan isteri yang dicerai kawin lagi dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua
kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi. Pasal 11 (2)
yang menyatakan bahwa perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negeri asal,
tempat asal, agama/kepercayaan, dan keturunan, tidak menjadi penghalang
perkawinan. Pasal 12 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa bagi janda jangka
waktu tunggu 306 hari, kecuali jika mengandung waktu tunggu 40 hari setelah
melahirkan. Jangka waktu tersebut tidak ada persyaratan apapun. Pasal 13 (2) bila
pertunangan itu mengakibatkan kehamilan, maka pihak pria harus menikahi wanita itu,
jika disetujui oleh wanita itu. Pasal 37 (1) harta benda yang diperoleh dalam
perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 39, bila perkawinan putus karena perceraian,
harta benda milik bersama dibagi sama antara suami-isteri. Pasal 46 poin ‛c‛
pengadilan dapat mewajibkan bekas suami menurut kemampuannya memberi biaya
penghidupan kepada bekas isterinya selama ia masih hidup dan belum bersuami lagi.
Pasal 49 ayat (1), (2) dan (3) yang menyatan bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya,
anak tersebut dapat bernasab kapada ayahnya dengan melakukan perkawinan dengan
ibunya. Pasal 62 tentang pangangkatan anak terutama pon 1, 8,dan 9. suami istri dapat
mengangkat seorang anak atau lebih, anak yang diangkat mempunyai kedudukan yang
hukum yang sama seperti anak sah. Dengan pengangkatan tersebut putuslah hubungan
anak angkat dengan keluarganya. Lihat Risalah resmi Dewan Perwakilan Rakyat,
secretariat DPR RI. Lihat Amak FZ, Proses Pembentukan UU Perkawinan, (Bandung:
Bulan Bintang), 30-34. lihat juga Arsekal Salim dan Azyumardi Azra, eds. Shari’a in
Modern Indonesia, 83.

52
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Akhirnya Soeharto memberi perintah untuk mengakomodir


keinginan umat Islam dengan merubah RUU perkawinan yang menjadi
polemik dengan RUU baru sesuai dengan keinginan umat Islam dan
menghapus pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Setelah
mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang masuk dalam
panitia kerja, maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh
pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 itu diteruskan ke Sidang
Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi UU. Hasil akhir yang
disahkan DPR terdiri atas 14 bab yang dibagi dalam 67 pasal. Bab-bab
tersebut meliputi, I. Dasar- dasar Perkawinan, II. Syarat-syarat
Perkawinan, III. Pencegahan perkawinan, IV. Batalnya Perkawinan, V.
Perjanjian Perkawinan, VI. Hak dan Kewajiban suami–istri, VII. Harta
Benda dalam Perkawinan,VIII. Putusnya Perkawinan dan Akibatnya, IX.
Kedudukan Anak, X. Hak dan Kewajiban antara Anak dan Orang Tua,
XI. Perwalian, XII. Ketentuan-ketentuan lain,. XIII. Ketentuan
Peralihan, XIV. Ketentuan Penutup.16
Pada tanggal 2 Januari 1974 disahkanlah Undang-undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP) yang berlaku efektif pada 1
Oktober 1975. Disusul dengan dikeluarkan PP No.9 tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Peraturan Undang-undang No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.17 Dengan demikian Hukum keluarga Indonesia
baru diperbarui pada tahun 1974, setelah disahkannya Undang-undang
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga
Negara Indonesia.18
Bila dibandingkan dengan Negara Muslim lainnya, hukum
keluarga Islam Indonesia termasuk deretan kelompok terakhir.19
Meskipun terbilang terlambat dibandingkan dengan Negara Islam

16
Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 229-248.
17
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum perkawinan Di Dunia
Islam (Bandung: Pustaka A-Fikriis, 2009), 34. Lihat juga Abdul Manan, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesi, 6.
18
Pada tahun 1983 lahir pula PP (peraturan pemerintah) No. 10 yang mengatur
tentang 1zin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kemudian
pada tahun 1989 lahir UU No. 7 Tentang Peradilan Agama. Baca Dedi Supradi dan
Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam (Bandung, Pustaka Al-
Fikriis, 2009), 34.
19
Mark Carmark, ‚Hukum Islam dalam Politik Hukum OrdeBaru‛ dalam
Sudirman Tebba, ed. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Kasus
hukum Keluarga dan Pengkodefikasiannya (Bandung: Mizan, 1993), 28. Lihat Pula M.
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000),
176.

53
Fatima

lainnya, namun keberhasilan hukum keluarga Indonesia sangat


menakjubkan. Terbukti selama beberapa waktu hampir dua tahun
setelah pelaksanaan undang-undang baru tersebut diundangkan dapat
disimpulkan bahwa, undang-undang ini telah berhasil secara dramatis
mempengaruhi masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan
menurunnya angka perceraian di kalangan umat Islam hampir 70%.20
Lahirnya UUP tidak berarti semua persoalan yang berkaitan
dengan implementasi hukum Islam di Indonesia menjadi selesai.
Persoalan krusial yang dihadapi adalah berkaitan dengan tidak adanya
keseragaman hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap
persoalan-pesoalan yang mereka hadapi.
Materi hukum yang menjadi wewenang Peradilan Agama masih
beraneka ragam. Secara material telah ditetapkan 13 kitab yang menjadi
rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab
Syafi’i.21 Namun tetap saja putusan-putusan Peradilan Agama sangat
berdisparitas antara putusan yang satu dengan yang lain dalam kasus
yang sama. Para hakim yang berlatarbelakang pada suatu mazhab
tertentu, menurut pengamatan selalu bersikap otoriter dan doktrinir
secara deskriptif.22 Di samping itu, kadang-kadang masih ada saja
kerancuan dalam pemahami fikih yang dipandang sebagai hukum yang
harus diberlakukan, bukan sebagai pendapat (doktrin, fatwa) ulama yang
dijadikan bahan pertimbangan dalam penetapan hukum.
Pada saat itulah dirasakan perlunya keseragaman pemahaman
dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam yang harus dijadikan
pegangan atau rujukan para hakim di lingkungan Peradilan Agama untuk
menjamin akan adanya kesatuan dan kepastian hukum.23 Keinginan

20
Dampak sosial setelah berlakunya UU tersebut baca selengkapnya
Azyumardi Azra, ‚The Indonesian Marriage Law of 1974 an Institutionalization
Syari’ah for Social Changes‛ in Arsekal Salim and Azyumardi Azra,eds. Shari’a and
Politics in Modern Indonesia, 88-90.
21
13 kitab tersebut adalah Al-Bayju>ri>, Fath} al-Mu’în> dengan syarahnya,
Sharqawi> ’ala> al-Tah}ri>rî, Qulyu>bi>/Muhallî, Fath} al- Wahhâb dengan syarahnya,
Tuh}fah, Targhîb al Mushtaq, Qawa>ni>n al- Shar’iyah Li Sayyid ’Uthma>n bin Yahya,
Qawa>ni>n al Shar’iyah Li Sayyid Sadaqah Dakhlan, Shamsuri> fi al- Fara>’id, Bughyah al
Mustarshidi>n, Al-Fiqh ‘ala> Madha>hib al-’Arba’ah, Mughni> al-Muhta>j, lihat
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakata: Akademika Pressindo,
2004), 21-23.
22
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 19.
23
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama diIndonesia (Jakarta: Kencana, 2006),
109-110.

54
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

untuk menyeragamkan hukum Islam itu, menimbulkan gagasan


terwujudnya KHI.24 Kebutuhan di atas saat ini telah terpenuhi, setelah
berhasil para pakar hukum Islam yang dimotori oleh Bustanul Arifin,
menyusun dan menyepakati KHI tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991
keluarlah Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 yang memuat Instruksi
kepada Menteri Agama RI untuk meyebarluaskan KHI sebagaimana
telah diterima para ulama Indonesia pada lokakarya tahun 1998. Untuk
melaksanakan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tersebut, pada
tanggal 22 Juli 1991,25 Menteri Agama RI mengeluarkan keputusan
Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 untuk menyerukan kepada
seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya
yang terkait agar menyebarluaskan KHI dan sedapat mungkin
menerapkannya di samping perundang-undangan lainnya.26 Hal itu
menunjukkan bahwa KHI telah memperoleh kekuatan dan bentuk
yuridis untuk digunakan dalam praktik di Pengadilan Agama.

24
Ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah
Agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama.
25
Landasan atau dasar hukum pertama keberadaan KHI di Indonesia adalah
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 adalah Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu kekuasaan pemerintahan negara.
26
Dalam diktum keputusan Menteri tersebut disebutkan sebagai berikut. 1.
Seluruh Instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. 1.Seluruh
lingkungan instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam menyelesaikan masalah di
bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan sedapat mungkin menerapkan
Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lainnya.
Direktur Jendral Pembinaan, 2. Kelembagaan Agama Islam dan Direktur Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji mengkoordinasikan tentang pelaksanaan Keputusan
Menteri Agama ini dalam bidang tugasnya masing-masing. 3.Keputusan ini berlaku
sejak ditetapkan. Sedangkan landasan Hukum yang ketiga yaitu Surah Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jendral Pembinaan
Kelembagaan Islam tanggal 25 Juli 1991 No. 3694/EV/Hk. 003/AZ/91, yang ditujukan
kepada ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. lihat M. Daud Ali, Hukum Islam:
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. IV (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), 60-66.

55
Fatima

B. Subtansi Hukum Materiil UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI


Kedudukan wanita dalam UUP mendapat perhatian yang serius.
Hampir semua yang diperjuangkan organisasi wanita diakomodir.27 Hal
ini terlihat adanya peraturan mengenai pencatatan perkawinan (Pasal 2
Ayat 2), persetujuan kedua calon mempelai dalam perkawinan (Pasal 6
Ayat 1), kedudukan yang sama dalam menentukan jodohnya, wanita
dapat menentukan isi perjanjian perkawinan (Pasal 29), istri dapat
mengajukan pembatalan perkawinan (Pasal 23 huruf b), suami atau
bapak tetap bertanggungjawab atas semua pemeliharaan anak sekalipun
terjadi perceraian (Pasal 41 hurub b), pengadilan dapat mewajibkan
bekas mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau
menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 huruf c), suami
tidak boleh melakukan poligami sebelum mendapat izin dari istri atau
istri-istrinya (Pasal 5), dan mengenai harta bersama pasca perceraian
(Pasal 35-37). UUP memberikan hak yang sama dan seimbang antara
suami istri dalam kehidupan rimah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat. Semua peraturan tersebut merupakan perlindungan
hukum yang paling terdepan bagi terjaminnya hak-hak wanita dan anak.
Berbeda dengan UUP yang hanya membahas tentang
perkawinan, hukum materiil KHI dibagi ke dalam tiga buku, memuat
229 pasal. Buku I berisi tentang ‛Perkawinan‛ (170 pasal). Buku II
berisi tentang ‛Kewarisan‛ ( 44 pasal). Buku III berisi tentang
‛perwakafan‛ (14 pasal), ditambah pasal tentang ‛ketentuan penutup‛.28

27
Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Islam dalam Hukum
Nasional, 113.
28
Sistematika kompilasi mengenai hukum perkawinan ini adalah sebagai
berikut: Bab I. Ketentuan Umum (Pasal 1). Bab II , Dasal-Dasar Perkawinan (Pasaal
2-10). Bab III. Peminangan (Pasal 11-13). Bab IV, Rukun dan Syarat Perkawinan
(Pasal 14-29). Bab V. Mahar (Pasal 30-38). Bab VI. Larangan Kawin (39-44). Bab
VII, Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52). Bab VIII, Kawin Hamil (Pasal 53-54). Bab
IX, Beristeri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59).Bab X. Pencegahan Perkawinan
(Pasal 60-69). Bab XI. Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76). Bab XII. Hak dan
Kewajiban Suami Isteri (Pasal 77-84). Bab XIII. Harta Kekayaan dalam Perkawinan
(Pasal 85-97). Bab XIV. Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106). Bab XV. Perwalian(Pasal
107112). Bab XVI. Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148). Bab XVII. Akibat Putusnya
Perkawinan (Pasal 149-162). Bab XVIII. Rujuk (Pasal 163-169). Bab XIX. Masa
Berkabung (Pasal 170). Buku II tentang hukum kewarisan adalah, Bab I. Ketentuan
Umum (Pasal 171). Bab II. Ahli Waris (Pasal 172-175). Bab III. Besarnya Bahagian
(Pasal 176-191). Bab IV. Aul dan Rad (Pasal192-193). Bab V. Wasiat (Pasal 194-209).
Bab VI. Hibah (Pasal 210-214). Buku ke tiga hukum perwakafan yang sisnya adalah;
Bab I. Ketentuan Umum (Pasal 215). Bab II. Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat
Wakaf (Pasal 216-222). Bab III. Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf

56
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Salah satu dasar hukum pembentukan KHI adalah kitab-kitab fikih,


namun tidak sedikit aturan dalam KHI yang beranjak dari ketentuan
dalam kitab-kitab fikih tersebut. Adapun nilai-nilai fikih yang telah
diperbaharui dan dijadikan peraturan perundang-undangan hukum positif
dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.2.
Perbedaan Hukum Keluarga dalam Fikih Klasik
dan Hukum Positif
No. Fikih Klasik Hukum Positif
1. Nikah tidak perlu dicatat. Nikah perlu dicatat.
2. Cerai tidak perlu di muka sidang Cerai perlu di muka sidang
Pengadilan. Pengadilan.
3. Poligami tidak perlu izin Pengadilan Poligami perlu izin
Agama. Pengadilan Agama.
4. Tidak ada pembatasan umur kawin Ada pembatasan umur kawin
bagi pria dan wanita. bagi pria dan wanita.
5. Talak tiga jatuh sekaligus dihitung Talak tiga jatuh sekaligus
tiga kali. dihitung satu talak saja.
6. Harta bersama dalam perkawinan Harta bersama harus dibagi
tidak diatur. dua jika terjadi perceraian.
7. Tidak ada ketentuan pasti tentang Ada ketentuan pasti tentang
nikah wanita hamil. nikah wanita hamil.
8. Tidak ada pengaturan tentang wali Wali ‘ad}al diatur secara
‘ad}al. cermat dan ditentukan oleh
Pengadilan.
9. Tidak diatur secara terperinci Diatur secara terperinci
tentang itsbât nikah. tentang itsbât nikah.
10. Murtad, ikatan pernikahan putus. Ditetapkan oleh Pengadilan
Agama.
11. Pria Muslim boleh kawin dengan Kawin beda Agama dilarang.
wanita kitabiyah.
12. Tidak ada pengaturan tentang Penunjukkan wali hakim
penunjukkan wali hakim. diatur secara lengkap.
II Kewarisan Kewarisan
1. Tidak dikenal wasiat wajibah Dikenal wasiat wajibah
dalam pembagian waris.
2. Tidak dikenal ahli waris pengganti Dikenal ahli waris pengganti.
3. Tidak ada waris untuk anak angkat Dimungkinkan pemberian
waris untuk anak angkat
dengan wasia wajibah.
4. Tidak dikenal ahli waris beda agama Dimungkinkan pembagian
waris untuk ahli waris beda
agama dengan wasiat
wajibah.
5. Pembagian 2:1 untuk laki-laki dan Pembagian 2:1 untuk laki-

(Pasal 223-224). Bab IV. Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf
(Pasal 225-227). Bab V. Ketentuan Peralihan (Pasal 228). Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, (Jakata: Akademika Pressindo, 2004), 65-66.

57
Fatima
wanita wajib dilakukan laki dan wanita tidak mutlak
dilakukan
6. Tidak dikenal ada perjanjian harta Dikenal ada perjanjian harta
bawaan yang tidak termasuk waris bawaan yang tidak termasuk
waris
7. Tidak dikenal adanya pembatasan Wasiat hanya boleh
harta wasiat dilaksanakan maksimum 1/3
harta.
III Wakaf dan Sadaqah Wakaf dan Sadaqah
1. Tidak dibenarkan mengalihkan Harta wakaf dapat dialihkan
fungsi harta wakaf fungsinya kepada yang lebih
bermanfaat.
2. Tidak dibenarkan mengganti dengan Harta wakaf dapat diganti
harta lain dengan harta lain untuk
kepentingan umum
3. Tidak dikenal pendaftaran wakaf, Dikenal pendaftaran wakaf
cukup ijab Kabul saja pada PPAIW.
4. Tidak dikenal wakaf produktif Dikenal wakaf produktif.
5. Tidak ada pengaturan tentang Ada pengaturan tentang
pengolahan harta yang berasal dari pengolahan harta yang
sadaqah berasal dari sadaqah
Sumber: Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006), 295.
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai fikih dalam bentuk
peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif merupakan
konsekwensi negara Indonesia mengikuti sistem hukum Romawi
(Romawi Law System). Peraturan perundang-undangan yang telah
dijadikan hukum positif oleh negara merupakan sumber hukum bagi
hakim dalam memutuskan perkara dan hakim tidak boleh menyimpang
dari ketentuan ini. Jika hakim menganggap dalam peraturan hukum itu
tidak jelas, ia diharuskan melakukan penafsiran terhadap pasal-pasal
yang berbeda jika itu ada ia dapat tempatkan dalam peristiwa yang
kongkrit. Apabila kasus yang dihadapi belum ada hukumnya, ia wajib
menciptakan hukum baru yaitu ijtihad dengan menggali hukum yang
hidup dimasyarakat.29
C. Respon Masyarakat terhadap UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Subtansi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI
merupakan peraturan perundang-undangan yang Islami, karena
kandungannya bersumber dari al-Qur’an, hadis, dan hasil ijtihad para
ulama dan cendekiawan muslim Indonesia. Pro dan kontra usulan
amandemen UUP sering kali disuarakan oleh beberapa kalangan, di
antaranya KOMNAS (Komisi Nasional) Perempuan dan Plan Indonesia
29
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, 296.

58
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

(organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan


pemberdayaan anak) menyoroti pentingnya menguji kembali UUP No. 1
Tahun 1974. Fokus utama Plan adalah pada usia, hak, dan perlindungan
anak.30 Aktivis pembela hak-hak perempuan Nursjahbani Katjasungkana
dan Direktur LBH APIK Ratna Bantara Munti, menyatakan salah satu
alasan usulan amandemen UUP adalah adanya aturan pernikahan di
bawah umur yaitu usia nikah 16 tahun bagi wanita, hal ini bertentangan
dengan semangat Undang-undang Perlindungan Anak.31
Usulan amandemen UUP juga disampaikan KOWANI dan
Aliansi Pelangi Antar Bangsa dalam forum Rapat Dengar Pendapat
Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi DPR. Salah satu alasan usulan
amandemen tersebut adalah adanya hak istimewa suami untuk menikahi
lebih dari satu perempuan, alasan-alasan yang mendasarinya justru
merupakan bentuk penelantaran terhadap istri (yang sakit berat atau
tidak mampu memberikan keturunan). Ini juga menjadi salah satu
penyebab munculnya kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dan
anak-anak.32
Pendapat berbeda disampaikan MUI yang secara tegas menolak
adanya amandemen UUP. MUI menganggap UUP yang telah ada tidak
perlu direvisi baik pasal maupun ayatnya. Menurut MUI alasan mereka
yang menghendaki amandemenn adalah bahwa UUP telah
mendiskriminasikan wanita, padahal sama sekali tidak demikian. UUP
sejatinya telah mengakomodir kebutuhan konstitusi Negara Indonesia
yang mayoritas beragama Islam.33
Menurut M. Tahir Azahari sebagaimana dikutip Abdul Wahab,
menyatakan bahwa struktur dan subtansi UUP didasarkan pada landasan
dasar filsafat negara yaitu pancasila (sila pertama). Oleh karena itu UUP
telah meletakkan suatu ketentuan yang sangat fundamental dengan

30
KOMNAS Perempuan, ‚UU Perkawinan Tak Melindungi Perempuan‛,
artikel diakses pada tanggal 21 Februari 2013 melalui
http://www.komnasperempuan.or.id/2011/09/kompal-female-uu-perkawinan-tak-
melindungi-perempuan/.
31
Ratna Bantara Munti, ‚Upaya Advokasi Amandemen UU Perkawinan oleh
Masyarakat Sipil,‛ artikel diakses pada tanggal 21 Februari 2013 melalui
www.komnasperempuan.or.id.
32
Herni Sri Nurbayanti, ‚Mendorong Lahirnya Undang-Undang Pro-
Perempuan,‛ artikel diakses pada 21 Februari 2013 melalui
http://nurbayanti.blogspot.com/2007/12/mendorong-lahirnya-undang-undang-pro.html
33
Tia Ludiana, ‚Peraturan Poligami dalam Undang-undang No. 1 Tahum 1974
tentang Perkawinan,‛ (Universitas Pasundan Bandung: Fakultas Hukum, 2010), 3-4.

59
Fatima

pengakuan terhadap eksistensi hukum agama khususnya dalam bidang


perkawinan. Ketentuan tersebut dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (1)
yang menyatakan ‚perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu‛. Artinya
sahnya suatu perkawinan didasarkan kepada hukum agama para
mempelai yaitu bagi yang beragama Islam harus melakukan perkawinan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan Islam. Bagi
mereka yang beragama lain menurut ketentuan agama mereka masing-
masing.34
Pengaturan dalam UUP memang masih bersifat umum karena
berlaku untuk semua warga Negara, sedangkan penyelesaian sengketa
perkawinan bagi orang yang beragama Islam memerlukan aturan khusus.
Untuk melengkapi kekurangan hukum materiil tersebut Badan Peradilan
Agama berpedoman pada KHI sebagai kebijakan sementara untuk
mengisi kekosongan hukum sambil menunggu berlakunya hukum
meteriil berdasarkan undang-undang.
Pada kenyataannya, hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama menjadikan KHI sebagai landasan hukum dalam
keputusannya. Oleh karena itu, pemerintah berinisiatif menaikkan status
produk hukum ini dari INPRES menjadi undang-undang untuk
menjadikan KHI sebagai hukum positif. Melihat perkembangan ini,
sekelompok yang menganggap dirinya pembaharu dan reformis yang
dipimpin Siti Musdah Mulia membuat naskah tandingan yang disebut
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI). Adanya CLD
KHI ini merupakan bentuk protes kaum reformis yang menganggap
bahwa KHI mengandung unsur-unsur diskriminatif terhadap
perempuan.35 Adanya CLD KHI ini menjadi kontroversi di kalangan
pakar ulama Islam yang berkeberatan dan bahkan ada yang menolak
gagasan CLD KHI tersebut karena dianggap menyimpang dari ajaran
hukum Islam.36

34
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional,175-176.
35
Terutama Pasal 2, 15, 19, 25, 30, 40, 45, 55, 79, 80, 84, 153, dan 170. Lihat
selengkapnya pendapat Musdah Mulia dalam Mukhlisin, ‚Perlunya Menyelaraskan
KHI dengan CEDAW‛ artikel dikases pada 21 Februari 2013 melalui http://icrp-
online.org/012012/post-1318.html.
36
Draf tersebut berusaha menawarkan perubahan dan pembaharuan terutama
dalam bidang perkawinan dan waris. Khusus dalam seluruh Pasal yang masuk kategori
bias gender dan tidak memberi perlindungan memadai terhadap hak-hak perempuan
dan anak-anak harus dihapuskan lewat kacamata pluralisme agama. Di antara isi draft

60
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Itulah beberapa pendapat pro dan kontra terhadap Undang-


Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Dalam praktik
selama lebih dari seperempat abad, UUP tersebut telah berperan sangat
penting dalam kehidupan sosial di Indonesia. Artinya kebutuhan hukum
masyarakat Indonesia telah terpenuhi, dengan demikian UUP beserta
perangkat peraturan pelaksaannya wajib dipertahankan. Alasannya,
pertama, UUP tersebut merupakan hukum positif yang hidup di
masyarakat. Kedua, UUP tersebut sesuai dengan hukum agama dan
dasar negara Pancasila serta UUD 1945. Ketiga, UUP tersebut
mengandung asas keadilan terhadap wanita dan sesuai dengan
kebutuhan hukum bangsa Indonesia.
Jalan keluar untuk menakomodir pendapat yang mengusulkan
UUP diamandemen atau direvisi adalah dengan meningkatkan KHI
menjadi undang-undang. Berdasarkan UU No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, INPRES tidak tercantum
dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu perlu
segera disahkan RUU HMPA (Rancangan Undang-Undang Hukum
Matriil Peradilan Agama) menjadi undang-undang untuk melengkapi
ketentuan yang telah ada dalam UUP.

CLD-KHI itu adalah: pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya
sendiri, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab kabul
bukan rukun nikah, dan anak kecil bebas memilih agamanya sendiri. Perlu diketahui
tim ini mendulang bantuan dari Asia Foundation dalam menggagas CLD-KHI tersebut.
Lihat Muhammad Abu Dzar ‚Sejarah Munculnya KHI‛ , diakses pada 28 Juli 20121
melalui http://id.shvoong.com/social-sciences/1964550-sejarah-munculnya-cld-khi/

61
BAB IV
WANITA SEBAGAI ANAK DAN IBU
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DAN PRAKTIK DI PENGADILAN AGAMA
Bab ini akan menjelaskan dan menganalisa tentang status wanita
sebagai anak dan ibu dalam peraturan perundang-undangan dan praktik
di Pengadilan Agama. Isu-isu yang relevan dengan kedudukan wanita
sebagai anak dan ibu yang akan dipaparkan adalah batasan usia
minimum perkawinan, ketentuan dispensasi nikah, kedudukan wali dan
persetujuan pempelai wanita dalam perkawinan, h}ad}a>nah dan
problematika penyelesaiannya, dan hak waris anak.
A. Batasan Usia Perkawinan dan Ketentuan Dispensasi Nikah
Hal yang menarik dari UU No. 1 Tahun 1974 antara lain adalah
adanya pembatasan usia minimal calon mempelai, baik laki-laki maupun
perempuan yang pada awalnya termasuk salah satu dari sebelas poin
yang ditolak oleh Fraksi Persatuan Pembangunan karena dianggap tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dirasa unik karena dalam Islam, tidak
dikenal adanya batas minimal bagi mereka yang ingin melangsungkan
pernikahan. Hal ini yang menurut penulis layak untuk ditelusuri,
bagaimana sebenarnya konsep fikih dalam mengatur batasan seseorang
dikatakan sudak layak untuk melakukan pernikahan.
Jika dilacak dengan menggunakan kata kunci nikah, maka dalam
al-Qur’an akan ditemukan ayat yang berkaitan dengan pernikahan
sebanyak 23 ayat. Tetapi tidak satupun ayat yang menyebutkan secara
jelas tentang batas usia pernikahan, jika diteliti lebih lanjut, ayat yang
berkaitan dengan kelayakan seseorang untuk menikah ada dua ayat
dalam al-Qur’an yaitu surah al-Nisa>’ Ayat 61 dan surah al-Nu>r Ayat 32.2
Fikih klasik sebenarnya tidak melarang pernikahan di bawah
umur. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama dari empat mazhab.
Ibn al-Mundzir sebagaimana yang dikutip Wahbah al-Zuhayli>
1
Redaksi ayat tersebut adalah;


2
Teks ayat tersebut adalah;


Fatima

menganggap bolehnya pernikahan di bawah umur sebagai ijmak kalau


memang sekufu.3 Dalil yang dipakai mayoritas ulama ini salah satunya
adalah pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan ‘Aisyah sewaktu
masih berumur 6 tahun. Atas dasar hadis tersebut, dalam kitab fikih
klasik sering menyebut bahwa menikah dapat terjadi atas pemaksaan
yang dilakukan oleh wali mujbir. Wali ini berhak memaksa anak
perempuan untuk menikah walaupun anak itu tidak berkehendak, karena
wali mujbir dianggap lebih mengetahui kemaslahatan bagi anaknya.
Berkaitan dengan kebolehan melangsungkan pernikahan, Dedi
Supriyadi dan Mustofa dalam bukunya yang berjudul Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Islam dijelaskan bahwa ulama mazhab
tidak menentukan batasan minimum diperbolehkanya melakukan
pernikahan, hanya saja ulama mazhab sepakat bahwa baligh merupakan
salah satu syarat pernikahan. Namun dalam hal ini ulama mazhab
berbeda pendapat dalam menentukan batas usia minimum baligh. Ima>m
Ma>lik misalnya menetapkan maksimum usia baligh adalah 17 tahun baik
laki-laki maupun perempuan. Ima>m al-Sya>fi’i> dan H{anbali> menetapkan
usia 15 tahun. Ima>m H{a>nafi> membedakan antara pria dan wanita yaitu
bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 17 tahun. Pendapat Hanafi
dalam hal usia baligh di atas adalah batas maksimal, sedangkan usia
minimalnya adalah 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk anak
perempuan. Sebab pada usia tersebut, seorang anak laki-laki dapat
mimpi mengeluarkan sperma, menghamili atau mengeluarkan mani (di
luar mimpi), sedang pada anak perempuan dapat hamil (haid).4
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak kecil baik pria
atau wanita tidak dibenarkan menikah sehingga mereka baligh. Hal ini
didasarkan firman Allah SWT ‚ ‛. Seumpama
diperbolehkan menikahkan mereka sebelum baligh maka ayat ini tidak
memiliki faidah, karena mereka tidak ada kebutuhan untuk melakukan
pernikahan.5
Dalam pandangan ahli hukum Islam kontemporer di antaranya
Amir Syarifuddin, berpendapat bahwa surah al-Nisa>’ Ayat 6 merupakan
ketentuan yang mengatur dan menetapkan batas usia pernikahan.

3
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Vol. IX (Damaskus: Da>r
al-Fikr, 2004), 6682.
4
Dedi Supriyadi dan Mustofa yang berjudul Perbandingan Hukum Perkawinan
di Dunia Islam (Bandung: Pustaka Al-Fikris, 2009), 26-27.
5
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Vol. IX, 6682.

64
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Kalimat diartikan dengan dewasa. Selama ini


pemahamannya hanya dalam konteks batas waktu untuk memberikan
harta anak yatim yang sebelumnya dikuasai oleh wali, padahal kata-kata
ini dapat dinyatakan untuk menentukan batas waktu kepantasan
melakukan pernikahan.6
Aturan mengenai batasan usia pernikahan merupakan salah satu
bukti tujuan pembaharuan hukum keluarga dalam mengangkat status
dan kehormatan wanita. Banyaknya kasus pernikahan dini yang
berujung perceraian, cukup memberikan aspirasi atas urgensitas
pembatasan usia pernikahan sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 UU
No. 1 Tahun 1974 ayat (1)7 jo Pasal 15 ayat (1) KHI.8 Sebenarnya apa
dasar penetapan peraturan perundang-undangan hingga menetapkan usia
19 bagi pria dan 16 tahun bagi wanita? Bagaimana efek pembatasan usia
minimal pernikahan, khusunya bagi wanita?.
Menurut Rahmat Djatnika, langkah penentuan usia pernikahnan
didasarkan pada metode mas{lah}ah, namun demikian karena hasil ijtihad
maka tentu kebenarannya relatif dan tidak kaku. Artinya karena kondisi
tertentu, calon mempelai yang masih di bawah usia 21 tahun dapat
meminta dispensasi pada pengadilan.9 Ahmad Rafiq menyatakan bahwa
meskipun penentuan batas umur sifatnya ijtiha>diyah, namun dalam hal
ini surah al-Nisa>’ Ayat 910 menurut beliau dapat dijadikan sebagai suatu
bentuk amanat untuk tidak meninggalkan suatu generasi yang akan
datang dalam keadaan lemah dan dikhawatirkan kesejahteraannya.

6
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Padang:
Angkasa Raya, 1990), 114.
7
Departemen Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Pernikahan (Jakarta: Proyek Penyuluhan Hukum Agama, 1995), 5-6
8
Pasal 15 ayat (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
pernikahan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16
tahun. Lihat Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet. ke-2 (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1995), 117. Hanya saja dalam kompilasi ini tidak disebutkan kemungkinan
dispensasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974.
9
Rahmat Djatnika, ‛Sosialisasi Hukum Islam‛ Dalam Abdurrahman Wahid,
ed. Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung, Rosda Karya, 1991), 254.
10
Redaksi ayat tersebut adalah;

65
Fatima

Makna dari ayat tersebut tidak lain bentuk reformasi atas ketentuan ayat
yang disesuaikan dengan tuntutan kehidupan sekarang tanpa
mengurangi prinsip dan tujuan shar’i>nya.11
Ketentuan masa mengenai pembatasan usia pernikahan ini
menjadi penting karena beberapa hal yang melatarbelakanginya, terkait
dengan hak-hak perempuan dan anak itu sendiri. Dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa rata-rata usia ideal pernikahan
untuk perempuan berkisar 19 tahun, dan untuk laki-laki 23 tahun.12 Hal
ini yang menjadi pertimbangan bukan semata-mata bersifat biologis,
tetapi lebih kepada psikologis dan sosial. Kematangan usia ini
merupakan akumulasi dari kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental atau
jiwa, agama, dan budaya.
Aspek lain adalah kehamilan yang memiliki keterkaitan erat
dengan kondisi sosial-ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Kemungkinan seorang ibu meninggal atau anaknya meninggal atau
menderita penyakit bertambah besar bila ibu melahirkan terlalu awal
atau terlalu lambat. Perempuan yang secara fisik belum matang akan
menghadapi bahaya yang lebih besar ketika melahirkan dan besar
kemungkinan akan melahirkan anak yang lemah dibandingkan dengan
perempuan yang berumur dua puluh atau relatif dewasa.13
Melihat fenomena di atas, tidak salah bila beberapa negara
Muslim memberlakukan batasan usia pernikahan,14 sebagaimana catatan
Tahir Mahmood yang dikutip Amin Suma dan beberapa para peneliti
lainnya yang menyebutkan batasan usia pernikah bagi calon mempelai
pria dan wanita di beberapa negara Muslim dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

11
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), 78.
12
Siti Musdah Mulia, ‛Menuju Hukum Pernikahan yang Adil:
Memberdayakan Perempuan Indonesia‛, dalam Sulistyo Irianto, Perempuan dan
Hukum (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 158.
13
Erick Eckholm dan Kathleen Newland, Perempuan, Kesehatan Keluarga dan
Keluar Berencana. Penerjemah Masri Maris dan Ny. Sukanto (Jakarta: YOI dan Sinar
Harapan, 1984), 15.
14
Secara medis, anak perempuan usia di bawah 16 tahun masih dianggap
belum matang secara seksual karena organ reproduksinya belum mengalami menstruasi
sehingga tidak dianjurkan untuk menikah . hal ini diasampai oleh Ketua Satgas
Perlindungan Anak (IDAI), Rahmat Santika, pada suatu seminar yang diselenggarakan
di jakarat. Lihat IDAI Serukan Pernikahan Dini Dihentikan, Kapan lagi. Com.
http://www.kapanlagi.com/h/0000259579.html.

66
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Tabel 4.1.
Perbandingan Usia Minimum Pernikahan di Negara Muslim15
No Negara Minimal Usia Nikah
Pria Wanita
1 Aljazair 21 18
2 Bangladesh 21 18
3 Mesir 18 16
4 Indonesia 19 16
5 Irak 18 18
6 Jordania 16 15
7 Libanon 18 17
8 Libya 18 16
9 Malaysia 18 16
10 Maroko 18 18
11 Yaman Utara 15 15
12 Yaman Selatan 18 16
13 Pakistan 18 16
14 Somalia 18 18
15 Syria 18 17
16 Tunisia 19 17
17 Turki 17 15
18 Israel 20 19
19 Cyprus 18 17
Tabel di atas menunjukkan bahwa usia pernikahan yang dianut
oleh dunia Islam dan negara-negara yang berpenduduk Muslim rata-rata
berkisar antara 15 sampai 21 tahun, kecuali Irak, Somalia, dan Maroko
yang tidak membeda-bedakan antara usia laki-laki dan perempuan yaitu
sama-sama 18 tahun. Umumnya negara muslim membedakan antara usia
laki-laki dan perempuan. Untuk kaum laki-laki antara 16 sampai 21
tahun, sementara untuk perempuan antara 15-18 tahun. Jadi, usia
pernikahan bagi perempuan pada umumnya lebih muda 1-6 tahun lebih
dibanding dengan rata-rata usia pernikahan bagi kaum laki-laki.
Perbedaan usia ini terjadi karena secara eksplisit tidak dijelaskan dalam
al-Qur’an maupun hadis.16 Penerapan usia pernikahan di berbagai negara
bervariasi, hal ini menunjukkan bahwa perbedaan penerapan usia

15
Sumber: M. Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta:
Raja Grafindo Persada),184. Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum
Pernikahan di Dunia Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 38-39.
16
M. Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 184-185.

67
Fatima

pernikahan diberbagai negara tersebut tergantung pada mazhab fikih


yang dianut atau dijadikan pedoman di suatu negara.17
Terlepas adanya aturan mengenai batasan usia minimum
pernikahan, tidak menutup kemungkinan dengan alasan tertentu kedua
calon mempelai tidak mematuhi standar usia yang telah ditentukan yang
dalam istilah hukum Indonesia disebut dengan dispensasi nikah.18 Di
beberapa negara Muslim ada aturan mengenai dispensasi pernikahan,
dan sebagian negara lainnya tidak diatur.19 lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.2.
Dispensasi Usia Pernikahan di Negara Muslim20
Negara Batasan Usia Pengurangan Syarat Pengurangan Pernikahan
Pernikahan Usia Menurut Pengadilan
Normal Pernikahan
(Tidak
Normal)
LK PR LK PR
Turki 17 15 15 14 Alasan baik
Cyprus 18 15 17 14 Alasan baik
Lebanon 18 12 17 9 Cukup dewasa
Mesir 18 16 - - -
Sudan - - - 10 Takut berperilaku amoral
Jordania 18 17 15 15 Dewasa
Syria 18 17 15 13 Remaja dan dewasa
Tunisia 20 17 - - -
Maroko 18 18 - - -
Irak 18 18 16 16 Puberitas dan sehat
Iran 18 15 - - -
India 18 14 - - -
Ceylon 18 12 - - -
Pakistan 18 16 - - -

17
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Pernikahan di Dunia
Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 41.
18
Dispensasi usia pernikahan adalah pengurangan terhadap standar normatif
yang diatur oleh Undang- Undang mengenai batas minimal usia pernikahan bagi
seseorang yang akan melangsungkan pernikahan.
19
Negara Irak misalnya, bagi yang melanggar batas usia minimum nikah
dikenakan sanksi berupa pembatalan pernikahan itu sendiri dan pelakunya dikenakan
hukuman penjara. Lihat Iskandar Ritonga, ‚Hak-hak Wanita dalam Hukum
Kekeluargaan Islam di Indonesia: Implementasinya dalam Putusan-putusan Peradilan
Agama DKI Jakarta, 1990-1995‛ (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002),
114.
20
Sumber: Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Pernikahan di
Dunia Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 40.

68
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Tabel di atas menunjukan bahwa, tujuan negara yang


memberlakukan batas usia tidak normal sebagaimana yang telah
ditentukan. Negara tersebut adalah Turki, Cyprus, Lebanon, Sudan,
Jordania, Syria, dan Irak. Kebolehan pernikahan tersebut setelah
memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan pengadilan.
Secara umum, pengurangan usia pernikahan ini berkisar antara satu
sampai dua tahun dari batas usia normal pernikahan. Misalnya, Turki,
batas usia pernikahan bagi laki-laki adalah 17 tahun dan perempuan 15
tahun. Pengurangan usia pernikahan menjadi 15 tahun bagi laki-laki dan
14 tahun perempuan. Begitu juga Cyprus, Jordania, dan Irak yang
masing-masing pengurangan usia pernikahan adalah dua tahun dari batas
usia normal dalam pernikahan.
Dua negara yang sangat mencolok dalam memberikan toleransi
pengurangan usia pernikahan, yaitu Lebanon dan Sudan. Bagi Lebanon,
pengurangan usia pernikahan yang drastis sampai pada tiga tahun bagi
perempuan dari batas usia pernikahan normal. Bagi perempuan yang
berusia 9 tahun, diperbolehkan menikah karena alasan dewasa dan
remaja. Begitu juga di negara Sudan, perempuan yang berusia sepuluh
tahun, diperbolehkan menikah dengan alasan khawatir berperilaku
asusila.
Sementara itu terdapat 7 negara yang tidak memperlakukan
batas usia pernikahan di bawah standar yang sudah disepakati yaitu
Mesir, Tunisia, Maroko, Iran, India, Ceylon, dan Pakistan. Di negara-
negara tersebut pernikahan terjadi bagi mereka yang telah memenuhi
usia batas usia pernikahan yang telah disepakati, dan tidak diizinkan
menikah di bawah usia normal.21
Tidak jauh berbeda dengan hukum keluarga Islam lainnya,
hukum keluarga di Indonesia mempunyai latar belakang yang sama
dengan negara lainnya. Banyaknya kasus pernikahan dini yang berakhir
dengan tragis cukup memberikan aspirasi atas urgensitas pembatasan
usia pernikahan. Ketentuan batas umur dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun
1974 ayat (1)22 seperti juga disebut dalam KHI pasal 15 ayat
(1)23menyebutkan pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

21
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Pernikahan di Dunia
Islam (Bandung, Pustaka al-Fikriis, 2009), 41.
22
Lihat Departemen Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
pernikahan (Jakarta: Proyek Penyuluhan Hukum Agama, 1995), 5-6
23
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet. ke-2 (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1995), 117. Hanya saja dalam kompilasi ini tidak disebutkan kemungkinan
dispensasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974.

69
Fatima

mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah


mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga pernikahan. Ini
sejalan dengan prinsip yang diletakkan UUP bahwa calon suami istri
harus sudah matang jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan
pernikahan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
pernikahan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Di
samping itu, pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan.24
Batasan umur yang ditetapkan oleh undang-undang pernikahan
masih lebih tinggi dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam
odonansi pernikahan Kristen maupun kitab undang-undang hukum
perdata. Pembuat rancangan undang-undang pernikahan mungkin
menganggap umur 19 tahun dan 16 tahun bagi seseoang lebih matang
fisiknya dan kejiwaannya dari pada 18 tahun bagi pria dan 15 tahun
bagi wanita seperti yang ditetapkan oleh hukum perdata.25
Dicantumkannya secara eksplisit batasan umur pernikahan
menunjukkan apa yang disebut dengan exepressip verbis atau langkah
penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai dalam
masyarakat Indonesia. Di dalam mayarakat adat Jawa misalnya, sering
kali dijumpai pernikahan anak wanita yang masih muda usianya. Anak
wanita Jawa dan Aceh sering kali dinikahkan meskipun umurnya masih
kurang dari 15 tahun, walaupun mereka belum diperkenankan hidup
bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut nikah
gantung. Dengan adanya batasan usia pernikahan ini, maka kekaburan
terhadap penafsiran batas usia baik yang terdapat di dalam adat maupun
hukum Islam sendiri dapat dihindari.26 Menurut Hilman Hadikusuma,
usia pernikahan perlu dibatasi dengan tujuan untuk mencegah

24
Baca selengkapnya Masri Singarimbun, Penduduk dan Perubahan, Cet. ke-1
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 3-72.
25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai
HKI, 70. lihat Lili Rasjidi, Hukum Penikahan dan Perceraian di Malaysia dan
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), 111.
26
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai
HKI, 70.

70
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

pernikahan dan perceraian dini, serta melahirkan keturunan yang baik


dan sehat dan tidak mempercepat pertambahan penduduk.27
Batas umur terendah untuk melangsungkan pernikahan di
Indonesia cukup tinggi untuk pria dan cukup rendah untuk wanita.
Dalam tingkat pelaksanaanya, usia minimum nikah bagi wanita yang
sudah rendah masih belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Hal ini terjadi
karena dalam kitab-kitab hukum keluarga lama disebutkan bahwa pria
dapat melangsungkan pernikahan kalau sudah baligh. Menurut Daud Ali
sebagaimana yang dikutip Iskandar Ritonga menyatakan, penetapan
batas usia minimum untuk dapat melangsungkan pernikahan di atas
hanya akan efektif jika pencatatan kelahiran secara tertib sudah
dilaksanakan di negara yang bersangkutan. Jika belum terlaksana maka
manipulasi umur akan sering terjadi, seperti di daerah-daerah
pedesaan.28
Ternyata batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk
melangsungkan pernikahan mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi.
Sehubungan dengan itu, maka undang-undang Perkawinan menentukan
batas umur pernikahan baik bagi pria maupun wanita.29Masalah
penentuan umur dalam UU Pernikahan maupun dalam KHI memang
bersifat ijtiha>diyyah, disinilah pengaruh sosial muncul sebagai usaha
pembaharuan pemikiran fikih masa lalu.
Banyak kasus yang menunjukkan bahwa angka perceraian yang
tinggi cenderung didominasi oleh akibat pernikahan dini. Secara
metodologis, langkah penentuan usia nikah didasarkan kepada metode
mas}lah}ah mursalah} yang berlandaskan fakta sosial. Ketentuan tersebut
sifatnya ijtiha>diyah yang kebenarannya relatif tidak bersifat kaku.
Artinya, apabila karena sesuatu hal pernikahan dari mereka yang usianya
di bawah ketentuan, Undang-undang tetap memberikan jalan keluar
sebagaimana pasal 7 ayat (2) menegaskan, ‚Dalam hal penyimpangan
terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan
27
Hilman Hadikusuma, Hukum Pernikahan Indonesia Menurut Menurut
Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama (Bandung: Bandar maju, 2007), 48.
28
Iskandar Ritonga, ‚Hak-hak Wanita dalam Hukum Kekeluargaan Islam di
Indonesia: Implementasinya dalam Putusan-putusan Peradilan Agama DKI Jakarta,
1990-1995‛ (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), 114.
29
Keterangan ini sangat jelas sebagai landasan mengapa ditentukan batas
minimal usia pernikahan, dapat dicermati dalam Penjelasan Umum UU Pernikahan
nomor 4 poin (d) dalam Soemiyati, Hukum Pernikahan Islam dan Undang-undang
Pernikahan, Cet. ke-2 (Yogyakarta: Liberty, 1986), 161, atau juga Arso Sosroatmodjo
dan Wasit Aulawi, Hukum Pernikahan di Indonesia, Cet. ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), 102-103.

71
Fatima

atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
pihak wanita. Dalam hal ini, UUP tidak konsisten. Di satu sisi, pasal 6
Ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan pernikahan seorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat
izin dari kedua orang tua, di sisi lain Pasal 7 (1) menyebutkan
pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun. Rupanya titik perbedaannya adalah jika kurang dari 21
tahun, yang diperlukan adalah izin orang tua, dan jika kurang dari 19
atau 16, perlu izin pengadilan. Ini dikuatkan oleh pasal 15 ayat (2)
KHI.30
Pengaturan usia dewasa lazimnya disimpulkan atau dikaitkan
dengan Pasal 47 dan Pasal 50 UU No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.31 Mengenai Pasal 47 UUP, Hazairin berpendapat bahwa,
pasal tersebut membingungkan. Pasal ini menentukan seseorang telah
menjadi dewasa pada usia 18 tahun, tetapi sekaligus menentukan
kembali menjadi tidak dewasa kalau anak tersebut belum menikah. Pasal
47 UU Pernikahan tidak dapat dibaca seperti pasal 330 KUHPerdata,
karena usia dewasa dalam KUHPerdata, ditentukan mereka yang sudah
berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah. Apabila
pernikahan mereka putus sebelum berusia 21 (dua puluh satu) tahun,
maka mereka tidak kembali pada usia belum dewasa.32
Sementara menurut Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa, seseorang yang belum berusia
18 tahun masih termasuk anak. Pasal 26 ayat 1 huruf (c) UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara jelas juga menyebutkan
bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah
terjadinya perkawinan di usia anak-anak. masih terdapat pintu keluar
bagi penyimpangan terhadap ketentuan tersebut, seperti disebutkan
dalam Pasal 7 Ayat (2) yang memungkinkan pernikahan di bawah umur
minimal pernikahan dengan mengajukan permohonan dispensasi
nikah33kepada Pengadilan.

30
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, 78.
31
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Pernikahan Berserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, Cet. ke-2
(CV.Gitamaya Jaya, 2003), 26.
32
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Pernikahan Berserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya,113.
33
Dispensasi usia pernikahan adalah pengurangan terhadap standar normatif
yang diatur oleh Undang- Undang mengenai batas minimal usia pernikahan bagi

72
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Tingginya tingkat pernikahan anak tidak dapat dilepaskan dari


hukum pernikahan yang longgar bagi pernikahan anak. Pasal 7 Ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan mengatur bahwa pernikahan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Dari data yang diperoleh penulis, untuk wilayah DKI Jakarta saja
dalam kurun waktu dua tahun yaitu dari tahun 2010 sampai 2011
permohonan dispensasi nikah yang diterima di Pengadilan Agama DKI
Jakarta sudah mencapai 41 kasus, dengan rincian sebagaimana tabel di
bawah ini.
Tabel: 4.3.
Perkara Permohonan Dispensasi Nikah yang diterima dan diputus Pengadilan
Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011
No Pengadilan Agama Perkara Perkara
DKI Jakarta Diterima Diputus
1 Jakarta Utara 3 3
2 Jakarta Selatan 15 11
3 Jakarta Timur 12 11
4 Jakarta Pusat 2 2
5 Jakarta Barat 9 9
Jumlah 41 36
Sumber: Pribadi Dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-
34
2011.
Berdasarkan tabel di atas, dalam kurun waktu 2010 sampai 2011,
permohonan dispensasi nikah yang diterima di Pengadilan Agama DKI

seseorang yang akan melangsungkan pernikahan sebagaimana diatur dalam Pasal 7


ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974.
34
Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta
Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat
pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach
Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. Lihat Ujang Mukhlis,
‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan
Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30
Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).
Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat
Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id. Di akses pada tanggal 2 Agustus 2011.

73
Fatima

Jakarta mencapai 41 kasus dan 36 kasus sudah diputus. Sebenarnya


untuk Pengadilan Agama Jakarta Barat data yang diterima tahun 2010
berjumlah 2 kasus, namun yang diputus 4 kasus karena 2 kasusnya sisa
tahun sebelumnya. Sedangkan tahun 2011 perkara yang diterima
berjumlah 7 kasus yang diputus 5 kasus, sisanya dalam proses
persidangan.
Putusan-putusan tersebut perlu dianalisis lebih lanjut apakah
yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan dispensasi nikah. Apakah dari sekian banyak putusan
dispensasi nikah yang telah diputus sudah memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan peraturan perundang-undangan, atau hakim dengan
kewenangannya melakukan terobosan hukum (ijtihad) guna tercapainya
prinsip keadilan. Untuk mengetahui dasar dan petimbangan hakim
dalam memutus pemohonan dispensasi nikah, terlebih dahulu harus
dijelaskan kronologis alasan pengajuan dispenasi nikah. Berikut hasil
temuan penulis terkait putusan penetapan permohonan dispensasi nikah.

- Deskripsi Duduk Perkara dan Amar Penetapan Dispensasi Nikah


Dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, ternyata
pengajuan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama DKI
Jakarta disebabkan oleh dua faktor, yaitu karena calon mempelai wanita
telah hamil terlebih dahulu, dan adanya kekhawatiran dari orang tua
akan terjadi hal-hal yang dilarang dalam agama.35 Sebagaimana
permohonan yang disampaikan Ahmad Faisal (selanjutnya disebut
35
Di daerah lain, ada beberapa faktor lain yang menjadi sebab diajukannya
dispensasi usia pernikahan. Sebab- sebab tersebut antara lain, karena adat istiadat
masyarakat sekitar yang terbiasa menikahkan anaknya di usia muda, bahkan usia anak-
anak asalkan dianggap sudah pantas untuk menikah. Hal ini biasa terjadi di Madura.
Selanjutnya, karena alasan ekonomi. Kondisi ekonomi masyarakat yang lemah,
menyebabkan orang tua tidak bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih
tinggi dan memilih menikahkan anaknya agar beban hidupnya berkurang. Dan yang
terakhir, karena tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sehasingga mereka tidak
memiliki keinginan dan motivasi untuk memfasilitasi anak- anaknya agar lebih maju.
Bagi mereka yang memiliki anak perempuan, sering berfikiran untuk apa sekolah
tinggi-tinggi apabila pada akhirnya kembali ke dapur juga. Pemikiran semacam ini
memang masih cukup melekat pada masyarakat pedesaan yang kegiatan utamanya
adalah bertani. Mereka tidak terbiasa melihat perempuan bekerja di luar rumah
sehingga perempuan selalu ditempatkan di dapur. Itulah beberapa faktor lain yang
menjadi penyebab diajukannya dispensasi usia pernikahan. Lihat IIn Wahyuni, ‚Dasar
dan Pertimbangan Hakim Mengabulkan Dispensasi Usia Pernikahan (Studi di
Pengadilan Agama Kota Malang‛ (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
2009), 71.

74
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

pemohon) pada tanggal 15 Maret 2010 yang terdaftar di Kepaniteraan


Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan register perkara Nomor
19/Pdt.P/2010/PAJP. Pemohon hendak menikahkan anak kandungnya
yang pada saat perkara ini diajukan umur anak laki-lakinya tesebut
berumur 18 tahun 6 bulan. Sedangkan calon istrinya berumur 19 tahun.
Dalam positanya, Pemohon menjelaskan bahwa syarat-syarat
untuk melaksanakan pernikahan tersebut baik menurut ketentuan hukum
Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku telah
terpenuhi kecuali syarat usia bagi anak para Pemohon belum mencapai
umur 19 tahun. Pernikahan tersebut sangat mendesak untuk
dilangsungkan karena keduanya telah bertunangan sejak kurang lebih 2
tahun yang lalu dan hubungan mereka telah sedemikian eratnya,
sehingga Pemohon sangat khawatir akan terjadi perbuatan yang dilarang
oleh ketentuan hukum Islam apabila tidak segera dinikahkan. Untuk
menguatkan dalil-dalil permohonannya tersebut Pemohon telah
mengajukan alat-alat bukti tertulis dan menghadirkan 2 orang saksi di
muka persidangan. Berdasarkan fakta tersebut majelis hakim
berpendapat bahwa permohonan Pemohon patut untuk dikabulkan.36
Kasus Selanjutnya adalah permohonan disampaikan oleh Fadli,
umur 43 tahun yang telah mengajukan permohonan dispensasi nikah ke
Pengadilan Agama Jakarta Barat pada tanggal 08 Mei 2012 dengan
register perkara nomor 33/Pdt.P/2012/PAJB. Dalam positanya dijelaskan
bahwa pemohon hendak menikahkan anaknya yang masih berumur 18
tahun. Sedangkan calon istrinya berumur 17 tahun. Alasan permohonan
tersebut karena keduanya telah menjalin hubungan yang yang
sedemikian eratnya dan mengantisipasi kesulitan-kesulitan administrasi
yang mungkin timbul dikemudian hari. Pemohon dan keluarga calon istri
telah mengurus adminitrasi dan pendaftaran anak pemohon dengan calon
istrinya, ke istansi terkait, namun pihak Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat belum dapat menyelenggarakan pencatatan
pernikahan keduanya denagan alasan calon suami belum mencapai usia
minimum pernikahan yaitu 19 tahun. Pemohon dengan colon besannya
telah bermusyawarah dan sepakat untuk memberikan izin keduanya
untuk menikah.
Untuk mengukuhkan dalil-dalil yang telah diajukan, Pemohon
menyerahkan alat bukti berupa surah asli yang dikeluarkan KUA
setempat yang menyatakan belum terpenuhinya persyaratan untuk

36
Dokumen Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor
19/Pdt.P/2010/PAJP.

75
Fatima

melaksanakan pernikahan anak kandung pemohon karena belum


mencapai umur 19 tahun. Selain bukti berupa surah, pemohon juga
menghadirkan dua orang saksi yang membenarkan dalil-dalil yang
dikemukakan pemohon. Berdasarkan fakta tersebut, majlis hakim dalam
pertimbangannya berpendapat bahwa permohonan Pemohon patut untuk
dikabulkan.37
Dalam kasus pengajuan dispensasi nikah yang disebabkan calon
mempelai telah hamil di luar nikah, hampir seluruh penetapan dispensasi
nikah yang dikeluarkan Pengadilan Agama DKI Jakarta dalam positanya
sering kali bahkan dapat dikatakan mayoritas pemohon tidak
menyantumkan alasan bahwa calon mempelai wanita telah hamil di luar
nikah. Padahal pada umumnya permohonan dispensasi nikah ke
Pengadilan Agama dikarenakan calon mempelai wanita telah hamil di
luar nikah.38
Lain halnya dengan penetapan yang dikeluarkan Pengadilan
Agama Malang yang dalam positanya Pemohon menyebutkan secara
jelas bahwa alasan pengajuan dispensasi nikah tersebut karena hamil di
luar nikah sepeti kasus Nomor: 42/Pdt.P/2009/PA.Mlg. Dalam kasus ini,
pemohon merupakan orang tua dari seorang anak perempuan yang masih
berusia 14 tahun 5 bulan. Pemohon telah datang atau melapor ke kantor
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPN KUA) di tempat
dia tinggal untuk mencatatkan pernikahan anaknya, namun ditolak
dengan alasan belum cukup umur. Anak pemohon mencintai seorang
laki-laki yang berusia 21 tahun 4 bulan dan telah berpacaran selama 8
bulan. Selama berpacaran, hubungan mereka sudah sangat intim dan
pernah melakukan hubungan suami istri yang mengakibatkan si
perempuan hamil 7 bulan. Sebagai orang tua, pemohon sudah
mengingatkan anaknya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun, upaya orang tua ini tidak berhasil. Sehingga, pemohon
menghendaki agar anaknya tersebut segera dinikahkan dengan pacarnya
demi kebaikan mereka berdua kelak. Untuk mengawinkan anaknya,

37
Dokumen Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor
33/Pdt.P/2012/PAJB.
38
Inilah bedanya antara legal justice dengan moral justice. Maksud legal
justice disini karena belum mencapai syarat usia minimal nikah, moral justice kerena
alasan hamil di luar nikah. Moral justice ini di luar wewenang hakim. Hakim terikat
dengan hukum acara, hakim tidak boleh memutus melebihi dari tuntutan. Sepanjang
syarat (legal Justice) sudah terpenuhi hakim sudah dapat memberi izin dispensasi
nikah. Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, di ruang
Hakim, pada tanggal 18 Juli 2012.

76
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

pemohon terhambat usia anak pemohon yang masih belum mencapai


usia nikah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan alasan tersebut, maka pemohon mengajukan permohonan
dispensasi nikah ke Pengadilan Agama Kota Malang.
Dalam kasus di atas, orang tua dari anak perempuan yang
memiliki inisiatif untuk mengajukan permohonan dispensasi usia
pernikahan. Alasan permohonan dispensasi usia pernikahan adalah
karena anak perempuannya telah hamil dari hasil hubungan seksual
dengan pacarnya yang dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan. Usia
kehamilan anaknya yang sudah cukup besar, tidak mungkin lagi
ditutupi oleh orang tuanya. Hal ini pun telah menjadi perbincangan di
lingkungan tempat tinggalnya. Kondisi semacam ini menimbulkan aib
bagi keluarga, sehingga harus segera diperbaiki. Satu-satunya cara
adalah dengan menikahkan si anak dengan pacarnya.39
Kekhawatiran orang tua dalam hal ini dikarenakan hubungan
percintaan anaknya sudah sangat intim. Bisa dikatakan, bahwa si anak
sudah tidak dapat dipisahkan lagi dengan pacarnya. Mereka selalu
berdua kesana kemari. Hubungan anak- anak mereka yang sudah terlalu
dekat, membuat orang tua merasa khawatir akan terjadi hal- hal yang
tidak diinginkan, misalnya si perempuan hamil terlebih dahulu. Orang
tua lebih memilih jalan aman dengan cara menikahkan mereka sebelum
hal yang dikhawatirkan itu terjadi. Seperti terjadi dalam kasus Nomor:
16/Pdt.P/2009/PA.Mlg. Dalam kasus ini, pemohon adalah orang tua dari
anak laki-laki yang berusia 18 tahun. Pemohon berencana akan
menikahkan anak laki- lakinya ini, sehingga dia datang ke kantor
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPN KUA) untuk
mencatatkan pernikahan anaknya. Namun, keinginan pemohon ini
ditolak dengan alasan anaknya belum cukup umur. Anak laki-lakinya ini
memiliki pacar berusia 26 tahun. Mereka sudah berpacaran selama 1
tahun. Hubungan keduanya sudah sangat intim dan telah tinggal satu
rumah selama 2 bulan. Bahkan, mereka telah melakukan hubungan
suami istri selama tinggal dalam satu rumah. Pemohon takut akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sehingga pemohon menginginkan
anaknya segera menikah dengan calon istrinya demi kebaikan mereka
berdua kelak. Keinginan pemohon untuk segera menikahkan anaknya

39
Iin Wahyuni, ‚Dasar dan Pertimbangan Hakim Mengabulkan Dispensasi
Usia Pernikahan: Studi di Pengadilan Agama Kota Malang (Malang: Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, 2009), 64-65.

77
Fatima

terhambat menyangkut usia anak Pemohon yang masih belum mencapai


usia nikah sesuai ketentuan peraturan perudang- undangan yang berlaku.
Berdasarkan alasan tersebut maka pemohon mengajukan
permohonan dispensasi usia pernikahana ke Pengadilan Agama Kota
Malang. Kondisi semacam ini di dalam masyarakat biasa disebut dengan
istilah ‛kumpul kebo‛. Permohonan dispensasi pernikahan dalam kasus
di atas, diajukan oleh orang tua anak laki- laki yang belum cukup umur
untuk menikah karena orang tua khawatir akan terjadi kehamilan
sebelum pernikahan. Selain itu,orang tua sudah tidak bisa menghentikan
anaknya untuk tidak tinggal satu rumah lagi dan melakukan hubungan
suami istri. Sehingga, untuk menghindari dampak lanjutan yang lebih
buruk maka orang tua mengajukan permohonan dispensasi usia
pernikahan ke Pengadilan Agama Kota Malang agar anaknya yang
masih berusia 18 tahun bisa mengawini pacarnya.40
Pada umumnya Pengadilan Agama dalam kasus permohonan
dispensasi nikah dalam amar putusannya memutuskan dengan
menetapkan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
2. Memberi dispensasi nikah kepada pihak yang besangkutan
3. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon.
Dalam kasus dispensasi nikah, 99% majelis hakim mengabulkan
permohonannya41 dengan dasar dan pertimbangan-pertimbangan yang
akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

- Dasar dan Pertimbangan Hakim dalam Putusan Penetapan


Permohonan Dispensasi Nikah
Bentuk perkara di Pengadilan Agama ada dua macam yaitu perkara
gugatan (kontentius) dan perkara permohonan (valuntair).42 Perbedaan
antara permohonan dan gugatan adalah pertama, dalam permohonan
hanya ada satu pihak saja sedangkan dalam gugatan terdapat dua pihak
yang bersengketa. Kedua, dalam permohonan tidak terdapat sengketa
40
Iin Wahyuni, ‚Dasar dan Pertimbangan Hakim Mengabulkan Dispensasi
Usia Pernikahan (Studi di Pengadilan Agama Kota Malang‛ (Malang: Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, 2009), 68-69.
41
Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, di
ruang Hakim, pada tanggal 18 Juli 2012.
42
Permohonan adalah suatu perkara yang tidak ada pihak-pihak lain yang
saling bersengketa. Sedangkan gugatan adalah suatu perkara yang terdapat sengketa
antara dua belah pihak. Lihat A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan
Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 39.

78
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

sedangkan perkara gugatan terdapat sengketa antara kedua belah pihak.


Ketiga dalam permohonan hakim hanya menjalankan fungsi executive
power atau administratif saja sehingga permohonan disebut jurisdictio
voluntaria atau peradilan yang bukan sebenarnya. Sedangkan dalam
gugatan hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus
pihak yang benar dan yang tidak benar. Gugatan disebut juga jurisdictio
contentieus atau peradilan yang sesungguhnya.43
Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Ayat (2), Pasal 59 Ayat (2),
Pasal 60, 61, 62, 63 dan 64 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 3 Tahun 2006
dan telah diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009. Produk putusan
Peradilan Agama terdiri dari ‚putusan‛44 dan ‚penetapan‛.45 Perkara
gugatan melahirkan putusan hakim yang berbentuk ‚putusan‛,
sedangkan permohonan melahirkan putusan yang berbentuk
‚penetapan‛. Permohonan dispensasi nikah merupakan gugat yang
bersifat voluntair. Gugat permohonan disederajatkan ekuivalensinya
dengan penetapan. Dengan kata lain, UU menilai putusan yang sesuai
dengan gugat permohonan adalah penetapan, yang lazim juga disebut
beschikking dalam arti luas.46
Dalam memutuskan sebuah perkara, hakim harus memiliki dasar
yang kuat agar keputusannya dapat dipertanggungjawabkan. Hakim
wajib mencantumkan dasar pertimbangan yang cukup dan matang dalam
setiap keputusan.

43
Lihat Agus Sudarmanto,‛Peradilan Agama‛ diakses pada 25 Agustus 2012
melalui http://materifakultashukum.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-
en-us-x-none.html.
44
Putusan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis
dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan (Kontentius)). Sedangkan Penetapan adalah Pernyataan
Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang
terbuka untuk umum,sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
Lihat Pasal 60 UUPA (Undang-undang Peradilan Agama).
45
Asas yang melekat pada putusan penetapan adalah pertama, asas ‚kebenaran
sepihak‛, yakni kebenaran yang bernilai pada diri pemohon tidak menjangkau orang
lain. Kedua, kekuatan mengikat penetapan hanya berlaku pada diri pemohon saja, sama
sekali tidak mengikat orang lain. Ketiga, tidak mempunyai kekuatan pembuktian.
Keempat, tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Putusan penetapan dapat
dimintakan eksekusi kepada Pengadilan. M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan
dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, 305-306.
46
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
UU No. 7 Tahun 1989, 306.

79
Fatima

Demikian secara singkat makna kewajiban tersebut, yaitu


putusan harus jelas dan cukup motivasi pertimbangannya. Dalam
pengertian luas, bukan hanya sekedar meliputi motivasi pertimbangan
tentang alasan-alasan dan dasar-dasar hukum serta pasal-pasal peraturan
yang bersangkutan, tetapi juga meliputi sistematika, argumentasi, dan
kesimpulan yang terang dan mudah dimengerti orang yang
membacanya.47
Dasar yang digunakan hakim dalam mengabulkan dispensai
nikah adalah ketentuan Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974
jo. Pasal 15 Ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa pernikahan hanya
diizinkan jika pihak pria belum mencapai umur 19 tahun dan wanita
belum mencapai 16 tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ketentuan
Ayat (1) mengenai batas usia minimal untuk menikah, dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak laki- laki maupun pihak perempuan. Pasal 7
Ayat (2) ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk mengabulkan
permohonan dispensasi usia pernikahan karena Pengadilan Agama
merupakan lembaga yang berwenang menangani permohonan usia
pernikahan. Dalam setiap penetapan hakim untuk kasus permohonan
dispensasi usia pernikahan, selalu dicantumkan Pasal 7 Ayat (1) dan (2)
UU Pernikahan jo. Pasal 15 ayat (1) merupakan legitimasi bagi hakim
yang diatur dalam Undang- Undang.
Perkara Permohonan dispensasi nikah ini termasuk dalam bidang
pernikahan maka berdasarkan pasal 89 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, yang telah diubah dan ditambah dengan UU
No. 3 Tahun 2006 dan telah diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009
pula biaya perkara dibebankan kepada Pemohon atau Penggugat. Inilah
bedanya dengan hukum acara perdata pada umumnya, khusus pada
bidang pernikahan dan perceraian biaya perkara dibebankan kepada
Pemohon atau Penggugat selaku pencari keadilan48
Berdasarkan temuan penulis dari hasil wawancara hakim PA DKI
Jakarta menjelaskan bhawa, mayoritas alasan permohonan dispensasi
nikah dikarenakan telah terjadi kehamilan di luar pernikahan. Menurut
penulis putusan Majelis Hakim mengabulkan permohonan dispensasi
usia pernikahan sangatlah tepat guna untuk menghindari keburukan
yang akan terjadi dimasa yang akan datang, sebagaimana kaidah yang

47
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
UU No. 7 Tahun 1989, 313.
48
A. Mukti Atrto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 224.

80
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

mengatakan (menghindari kerusakan


harus didahulukan daripada mempertahankan kebaikan). Hal ini
dikarenakan pernikahan adalah sesuatu yang sangat mendesak dan harus
segera dilakukan agar status kedua calon mempelai jelas dan status anak
yang akan dilahirkan nanti juga jelas. Apabila permohonan dispensasi
usia pernikahan tidak dikabulkan dalam kondisi yang sangat memaksa
maka akan terjadi kerugian yang angat besar yang akan dialami oleh
calon mempelai perempuan dan anak yang ada di dalam kandungannya.
Anak dalam kandungan perempuan tersebut bisa jadi tidak akan
mempunyai ayah yang sah saat dia dilahirkan nanti. Hal ini memiliki
dampak lanjutan yang cukup panjang seperti, dalam hal pengurusan akte
kelahiran dan dokumen-dokumen lain yang akan digunakan untuk
mendukung masa depan calon anak tersebut. Selain itu, adanya
hukuman dari masyarakat berupa gunjingan dan mungkin saja
pengasingan dari lingkungan sekitarnya karena dianggap sebagai ‛anak
haram‛, serta dampak- dampak lain yang akan sangat merugikan masa
depan calon anak tersebut.
Adanya dispensasi bagi calon mempelai yang kurang dari
sembilan belas bagi pria dan enam belas tahun bagi wanita, boleh jadi
didasarkan kepada hadis Nabi saw. ketika menikahi ‘Aisyah. Kendati
pun kebolehan tersebut harus dilampiri izin dari pejabat untuk itu. Ini
menunjukkan bahwa penanaman konsep pembaharuan hukum Islam
yang memang bersifat ijtih}a>diyah, diperlukan waktu dan usaha terus-
menerus. Ini dimaksudkan, pendekatan konsep mas}lah}ah mursalah}
dalam Hukum Islam di Indonesia, memerlukan waktu agar masyarakat
sebagai subyek hukum dapat menerimanya dan menjalankannya dengan
suka rela tanpa ada unsur pemaksaan.49
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana agar hukum dapat
berfungsi secara efektif untuk melindungi anak-anak dari pernikahan
dini? Menurut penulis, setidaknya terdapat tiga langkah yang harus
dilakukan. Pertama, terkait dengan sosialisasi hukum, meskipun
diundangkankannya hukum keluaga di Indonesia kurang lebih tiga puluh
tahun, namun masih banyak masyarakat Indonesia khususnya di daerah
pedesaan yang masih tidak faham adanya eksistensi hukum keluarga
Islam itu sendiri, sehingga praktik pernikahan di bawah tangan,
pernikahan dini kerap terjadi. Di sinilah dibutuhkan peran pemerintah

49
Sudirman, ‚Pembatasan Usia Minimal Pernikahan: Upaya Meningkatkan
Martabat Perempuan‛, (Malang: Fakultas Syariah UIN Malang), 12.

81
Fatima

untuk terus berusaha menyosialisasikan hukum keluarga Islam. Selain


itu, perlu dikenakan sanksi bagi para pelanggar batas minimal usia
pernikahan, baik bagi para orang tua, maupun para pejabat yang
berwenang dalam penyelenggaraan pernikahan.
Kedua, terkait struktur hukum, yaitu hakim, ketika memeriksa
permohonan dispensasi nikah, hakim harus memeriksa perkara tersebut
secara menyeluruh. Hakim harus mampu menemukan motif di balik
permohonan tersebut. Berdasarkan penelitian penulis, terdapat tiga
faktor dominan yang mendorong orang tua untuk meminta dispensasi
nikah bagi anak-anak mereka, yaitu kehamilan yang tidak dikehendaki,
kebiasaan atau tradisi, dan ekonomi. Di antara faktor-faktor ini, faktor
pertama merupakan faktor yang tidak dapat dihindari untuk
mengabulkan permohonan dalam rangka memberikan perlindungan
hukum terhadap anak yang masih dalam kandungan. Tetapi, mengenai
dua faktor yang lain, hakim harus mempertimbangkan dampak
pernikahan yang demikian terhadap anak perempuan, dan memberikan
prioritas bagi perlindungan anak.
Ketiga, terkait budaya hukum, yaitu kebiasaan atau tradisi dalam
masyarakat. Budaya masyarakat dalam hal pernikahan dini dipengaruhi
oleh nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Bagi masyarakat muslim,
terkait dengan pernikahan dini, memang terdapat hadis yang
diriwayatkan oleh Hisha>m Ibn ‘Urwah, yang sering kali dijadikan dasar
atau dalil atas kebolehan pernikahan dini, dalam hadis tersebut
diceritakan bahwa ‘Aisyah menikah dengan Rasulullah saw. pada usia 7
tahun, dan mulai berhubungan badan dengan Rasulullah saw. pada usia 9
tahun. Riwayat Hisha>m Ibn ‘Urwah tidak dapat dijadikan hujjah untuk
zaman sekarang.
Salah satu faktor orang tua menikahkan anak usia dini adalah
faktor budaya, masalah kemiskinan menjadi faktor lain yang mendorong
orang tua untuk segera menikahka anak perempuan mereka. Dengan
menikahkan anak, orang tua dapat terbebas dari beban ekonomi untuk
menanggung biaya hidup anak. Kondisi ekonomi suatu keluarga akan
mempengaruhi tingkat pendidikan anak sehingga dapat menunda
terjadinya pernikahan anak. Oleh karena itu, pemberdayaan ekonomi
masyarakat merupakan upaya penting untuk menekan tingkat
pernikahan anak. Selain itu gerakan orang tua asuh juga perlu
digalakkan untuk membantu pendidikan anak-anak yang berasal dari
keluarga tidak mampu.
Kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kondisi generasi
penerusnya, yaitu anak-anak. Anak merupakan investasi paling berharga

82
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

bagi sebuah bangsa yang harus dilindungi hak-haknya sehingga dapat


menjadi pribadi-pribadi yang berkualitas, dan bukan dijadikan sebagai
bagian dari objek eksploitasi baik oleh orang tua sendiri, maupun oleh
orang lain melalui pernikahan dini. Tingginya tingkat pernikahan dini
akan menjadi bom waktu, karena berbagai dampak yang timbul akibat
pernikahan dini khususnya bagi anak-anak perempuan, pada akhirnya
akan melahirkan generasi yang lemah. Sudah saatnya bagi masyarakat
dan pemerintah lebih memerhatikan pernikahan usia dini.50
B. Status Wali dan Persetujuan Mempelai Wanita dalam Perkawinan
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum wali dalam
pernikahan,51apakah semua gadis yang akan melangsungkan pernikahan
harus ada wali ataukah tidak? Tidak hanya kedudukan wali dalam
pernikahan, ulama juga berbeda pendapat mengenai perlu tidaknya
persetujuan dari calon mempelai wanita itu sendiri. Berikut
penjelasanya.
Menurut Ima>m Abu> H{ani>fah, pernikahan tanpa wali (wanita
menikahkan dirinya sendiri) atau meminta orang lain di luar wali nasab
untuk menikahkan gadis atau janda adalah boleh, hanya saja jika tidak
sekufu, wali dapat membatalkannya.52 Lebih lanjut Abu> H{ani>fah

50
Muhamad Isna Wahyudi, ‛Menekan Tingkat Pernikahan Anak‛, diakses
pada 1 Juli 2012 melalui http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-
id,37162-lang,id-c,kolomt,Menekan+Tingkat+Pernikahan+Anak-.phpx.
51
Wali dalam pernikahan adalah seseorang yang bertindak atas nama
mempelai wanita dalam suatu akad nikah. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 69.
52
Mazhab Hanafiyah berpandangan bahwa, status wali hanyalah syarat bukan
rukun pernikahan. Atas hal ini ulama Hanafiyah meringkas rukun nikah menjadi ijab
dan kabul. Status wali menjadi sahnya pernikahan khusus pernikahan anak kecil, orang
gila. Sedangkan orang dewasa yang sudah baligh baik janda maupun gadis tidak perlu
kekuasaan wali. Argumentasi mazhab Hanafiyah didasarkan kepada pandangan bahwa
akad nikah sama dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup dengan ijab
dan kabul. Hanafiyah perpandangan bahwa al-Qur’an maupun hadis yang dijadikan
hujjah terhadap status wali sebagai rukun nikah, tidak memberikan syarat bahwa wali
sebagai rukun nikah. Dasar dibolehkannya pernikaha tanpa wali adalah surah al-
Baqarah ayat 230, 232 dan 240. Bahwa akad dalam ayat-ayat ini didasarkan kepada
wanita (hunna), yang berarti akad tersebut menjadi hak atau kekuasaan merka para
wanita. Demikian juga khit}a>b al-Baqarah ayat 232, adalah kepada para suami, kalau
iddah mantan istrinya sudah habis, mantan suami tidak berhak mencegah mantan
istrinya untuk menikah lagi. Ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan wali, sebab
yang dilarang mempersulit adalah suami. Dasar hadis yang digunakan Imam Abu>
Hani>fah adalah hadis yang menyatakan, ‚ ‛

83
Fatima

menyatakan bahwa, dalam pernikahan harus ada persetujuan wanita


(calon istri) baik gadis atau janda. Sebaliknya, kalau mereka tidak
setuju, maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan, walaupun yang menjadi
wali adalah bapak kandung mereka sendiri.53

Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa dua hadis yang berbunyi,

Dalam pandangan Mazhab Hanafiyah, kedua hadis tersebut d}a‘i>f , karena status perawi
yaitu al-Juhri ketika ditanya masalah itu, ia menjawab tidak tahu. Selain itu hadis
tersebut dikhususkan kepada wali terhadap anak kecil yang tidak tahu dalam
bermuamalah. Makna , adalah ‚janganlah seorang wanita yang dewasa
mengawinkan wanita yang kecil ketika ada wali, dan janganlah wanita yang belum
dewasa menikahkan wanita yang sudah dewasa.‛Sedangkan makna hadis

, adalah ‚janganlah wanita yang belum dewasa menikahkan dirinya sendiri tanpa

ada wali,‛ Makna disini adalah ‚wanita yang belum dewasa‛. Hal itu sudah
maklum wanita yang belum dewasa tidak mampu bertindak sendiri, berbeda dengan
wanita yang sudah dewasa, ia mampu bertindak sendiri tanpa adanya wali. Lihat ‘Abd
al-Rah}ma>n al-Jazayri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-‘Arba’ah, Jilid V, (Beirut: Da>r al-
Fikr, 1990), 46. Lihat juga Ibn Rush, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}it, Juz
II (Beirut: Da> al-Fikr, t.th), 7.
53
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum
Pernikahan I), Cet. I (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2004), 75. Adapun dasar
penetapan harus adanya persetujuan gadis dalam pernikahan, menurut Abu Hanifah
adalah kasus di masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak pernikahan seorang
gadis yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak menyetujui, yakni kasus
yang terjadi pada al-Khansa’. dalam kasus ini, al-Khansa> menemui dan melaporkan
kasus yang menimpa dirinya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya
yang tidak ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya ‚apakah kamu diminta izin
(persetujuan)?‛ al-Khansa>’ menjawab ‚ saya tidak senang dengan pilihan bapak‛. Nabi
lalu menetapkan pernikahannya sebagai pernikahan yang tidak sah, seraya
bersabda/berpesan ‚nikahlah dengan orang yang kamu senangi‛ al-Khansa’
berkomentar, ‚bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita
mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya untuk
menikahkan anak wanitanya dan nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa,
‚nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda‛, seperti dicatat
sebelumnya. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 171. Lihat
Muh Akbar Ilyas, ‚Kebebasan Wanita dalam Memilih pasangan‛, diakses pada tanggal

84
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Pendapat mazhab H{a>nafiyah dalam hal kebebasan wanita dalam


memilih pasangan kelihatan lebih toleran. Terbukti bahwa menurut
beliau seorang wanita yang sudah baligh dan berakal sehat boleh
menikahkan dirinya baik ia masih perawan atau sudah janda. Tidak ada
seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang
pilihannya, dengan syarat, calon suami yang dipilihnya itu sekufu
dengannya, dan maharnya tidak kurang dari mahal mithl. Akan tetapi
kedua syarat ini mempunyai konsekwensi hukum apabila tidak terpenuhi
yaitu wali boleh menentang pernikahan itu bahkan wali bisa meminta
qa>d}i> untuk membatalkan pernikahan itu.54
Berbeda dengan Ima>m Abu> H{ani>fah, Ima>m Ma>lik, imam dari
mazhab Ma>likiyah sebagaimana yang dikutip Ibn Rushd berpendapat
bahwa, pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya wali. Menurut Ima>m
Ma>lik, wali termasuk syarat sahnya pernikahan. Atas pemikiran Ima>m
Ma>lik ini, para pengikutnya yang dikenal dengan Ma>likiyah lebih tegas
berpendapat bahwa, wali termasuk rukun nikah. Dalam pandangan ini
dijelaskan bahwa pernikahan mengharuskan izin dari wali atau wakil
terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi
tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah
atau cukup sekedar izinnya. Pendapat Ima>m Ma>lik ini menunjukkan
tidak diperbolehkan wanita menikahkan dirinya sendiri, baik gadis
maupun janda.55 Sejalan dengan harus adanya izin wali, wali juga
dilarang mempersulit pernikahan.56 Sebagai upaya menghilangkan

13 Juli 2012 melalui http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/06/kebebasan-wanita-


dalam-memilih-pasangan.html
54
Muhammad Jawad al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur
A.B. dkk.Cet V (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), 345.
55
Dasar yang digunakan dalam mazhab Maliki ini adalah surah al-Baqarah
ayat 232 dan 221, dan hadis yang diriwayatkan oleh al-Juhri sebagaimana yang
disebutkan sebelumnya serta hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang matannya
berbunyi Berdasarkan pemahaman tersebut dalam
mazhab Maliki berpendapat bahwa, jika wanita yang baliqh, berakal, sehat dan masih
gadis, maka hak mengawinkan dirinya adalah wali, akan tetapi untuk janda, maka hak
itu ada pada keduanya. Wali tidak boleh mengawinkan janda tersebut tanpa
persetujuannya. Sebaliknya janda itupun tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri
tanpa restu dari walinya, karena pengucapan akad adalah hak wali bukan hak wanita.
Lihat Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id, 7. Baca selengkapnya
‘Abd al- Rahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-‘Arba’ah, 46.
56
Berdasarkan al-Baqarah ayat 232. Ditambah sejumlah hadis diantaranya

85
Fatima

kesulitan tersebut, hakim boleh menjadi wali bagi mereka yang tidak
mempunyai wali nasab, atau sebagai ganti wali nasab yang mempersuit
pernikahan.57
Dalam kaitan persetujuan dan kebebasan wanita dalam memilih
pasangan (calon suami), Ima>m Ma>lik membedakan antara janda dengan
gadis. Untuk janda yang sudah dewasa harus ada persetujuan dengan
tegas sebelum akad nikah dilangsungkan. Adapun gadis dan janda yang
belum dewasa ada perbedaan antara bapak sebagai wali dengan wali di
luar bapak. Bapak sebagai wali menurut beliau berhak memaksa anak
gadisnya dan janda yang belum dewasa (hak ijba>r) untuk menikah,
sedangkan wali selain bapak tidak mempunyai hak ijba>r. Dengan kata
lain, seorang bapak boleh menikahkan anak gadis dan janda yang belum
dewasa walaupun tanpa persetujuan keduanya. Otoritas yang dimiliki
bapak itu lanjut Ima>m Ma>lik karena memang syarak mengkhususkan
demikian, atau karena kasih sayang seperti yang dimiliki seorang bapak
tidak akan dimiliki oleh wali yang lain.
Menurut Ima>m al-Sha>fi’i>, kehadiran wali menjadi salah satu
rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali dalam pernikahan tidak
sah. Bersamaan dengan ini, Ima>m al-Sha>fi’i> juga berpendapat bahwa,
wali dilarang mempersulit pernikahan wanita yang ada di bawah
perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu.58
Ima>m al-Sha>fi’i> membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan
wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yaitu: pertama, gadis
yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda. Untuk gadis

57
Dasar penetapannya menurut Malik adalah hadis larangan mempersuli dan
jangan mau dipersulit yaitu,

58
Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah surah al-Baqarah ayat 232 yang
berbunyi,


Ayat di atas diturunkan kepada Mu’qil Ibn Yasar ketika menolak menikahkan
saudara perempuannya yang ditalak raj’I oleh suaminya. Menurut imam syafi’i, ayat
tersebut menunjukkan status wali sebagai hal yang wajib dalam pernikahan. Sedangkan
dasar hadis yang dijadikan hujjah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Hiban yang
berbunyi,

Lihat Al-Dimsyiqi>, Kifa>yah al-Akhya>r (Beirut: Da>r al Fikr, t.th), 48.

86
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

yang belum dewasa, batasan umurnya adalah belum lima belas tahun
(15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam hal ini menurut beliau
boleh menikahkan anak gadis walaupun tanpa seizinnya, dengan syarat
pernikahan itu menguntungkan bagi anak gadis tersebut. Pandangan
beliau ini didasarkan pada tindakan Abu> Bakr yang menikahkan ‘Aisyah
kepada Nabi saw., dan umur ‘Aisyah ketika itu baru sekitar tujuh tahun.
Adapun pernikahan gadis dewasa, ada hak berimbang antara
bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada mafhu>m
mukha>lafah hadis yang menyatakan ‚janda lebih berhak terhadap
dirinya‛. Menurut Ima>m al-Sha>fi’i>, mafhu>m mukha>lafah hadis ini bapak
lebih berhak menentukan urusan pernikahan anak gadisnya,59 meskipun
dianjurkan musyawarah antara bapak dengan anak gadis tersebut. Dari
penjelasan Ima>m al-Sha>fi’i>, akhirnya bisa dilihat bahwa dalam kasus
gadis dewasa pun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak gadis.
Kesimpulan ini didukung oleh ungkapan al-Sha>fi‘i> sendiri yang
menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan (
tetapi hanya sekedar pilihan ( .60
Adapun pernikahan seorang janda menurut beliau harus ada
persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan
pada kasus pernikahan Khansa>’ yang ditolak Nabi saw. karena ia
dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak disenangi,
ditambah lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih dahulu. Dengan
demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan seorang janda lebih
berhak terhadap dirinya dari walinya. Ketetapan ini diperkuat hadis
lain.61 Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya ( ) berarti

59
Hal ini didukung pernyataan ulama Syafi‘iyyah bahwa apabila bapak
sebagai wali tidak perlu lagi meminta izin kepada anak gadisnya apabila telah
memenuhi ketujuh syarat berikut. Pertama, antara bapak dengan anak tidak ada
permusuhan. Kedua, antara si anak gadis dengan calon suaminya tidak ada
permusuhan. Ketiga, calon suaminya sekufu’. Keempat, calon suami sanggup
memberikan mahar. Kelima, mahar yang sesuai. Keenam, mahar merupakan mata uang
setempat, ketujuh mahar dibayar kontan, lihat ‘Abd al-Rah}ma>n al-Jaziri>, al-Fiqh ‘ala
al-Madha>hib al-‘Arba‘ah, Juz IV (Beirut: Da>r al-Afkar, t.th.), 35.
60
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum
Pernikahan I), 84.
61
Hadis yag dimaksud adalah,

87
Fatima

untuk sempurnanya pernikahan harus dengan persetujuannya dan tidak


ada orang lain yang berhak untuk mencegahnya untuk nikah.62
Ibn Quda>mah dari mazhab H{anbali> menyatakan, wali harus ada
dalam pernikahan (rukun nikah), yaitu harus hadir ketika melakukan
akad nikah. Keharusan ini berdasarkan hadis bahwa dalam pernikahan
harus ada wali ( ).63 Terhadap hadis yang banyak dipegangi
oleh para ilmuan bahwa yang penting dalam pernikahan adalah izin dari
wali bukan kehadirannya.64 Menurutnya yang mengharuskan adanya
wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadis
yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadis yang bersifat khusus.
Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus. Ibn Quda>mah
berpendapat tentang adanya hak ijba>r wali untuk menikahkan gadis yang
belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat
sekufu. Sedangkan menurut Ibn al-Qayyim, persetujuan wanita harus
ada dalam pernikahan.65

62
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum
Pernikahan I), 85.
63
). Lihat Wahbah al-Zuhaylî, al-
Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Vol. 9, 6572. Hadis ini menurut Ibn Quda>mah berdasarkan
laporan dari Ah}mad dan Yah}ya> termasuk hadis sahih. Konsekuensinya harus
dipengangi. Lihat Muwaffaq al-Di>n Abi> Muh}ammad ‘Abdulla>h bin Ah}mad bin
Quda>mah, al-Mughni> wa al-Sharh{ al-Kabi>r, edisi ke-1, juz VII, (Beirut: Da>r al-Fikr,
1401/1984), 338. Selanjutnya ditulis Ibn Quda>mah.
64
Hadis tersebut adalah sebagai berikut.

65
Dasar pengambilan dalil dari mazhab Hanbali adalah al-Qur’an surah al-Nu>r
ayat 32 yang berbunyi,


Serta surah al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi,


Dasar hukum selanjutnya adalah hadis yang diriwayatkan al-Juhri sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya , dan juga hadis berikut ini,

88
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Adapun hadis di samping dasar bolehnya


posisi wali nasab diganti wali hakim juga menjadi dalil bolehnya hak
wali nikah yang paling dekat diganti dengan wali yang lebih jauh atau
hakim. Dengan alasan wali yang lebih dekat berhalangan atau
mempersulit.66Adapun maksud mempersulit adalah kalau keduanya
(calon mempelai) sudah sekufu dan saling senang, wali tetap
menghalang-halangi seperti kasus Ma’qal bin Yasi>r.67 Selain itu
termasuk katagori mempersulit adalah kalau wali yang lebih dekat
mempunyai tempat tinggal yang jauh sehingga sulit untuk dihubungi.
Sebaliknya jika wanita mendapatkan pasangan yang tidak sekufu,
larangan wali tidak termasuk dalam katagori mempersulit. Sebab kalau
pasangan tidak sekufu menikah tanpa persetujuan wali, maka wali
mempunyai hak fasakh, sebagai usaha preventif agar jangan terjadi
fasakh lebih baik dicegah sejak awal.68
Terkait persetujuan calon mempelai dan hak ijba>r wali, Ibn
Quda>mah mengklaim, ulama sepakat adanya hak ijba>r wali untuk
menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau
tidak dengan syarat sekufu. Ibn Quda>mah sendiri berpendapat, bahwa
bapak berhak memaksa anak gadisnya baik yang sudah dewasa maupun
belum dewasa dengan pria yang sekufu meskipun wanita tersebut tidak
senang. Menurutnya dasar bolehnya menikahkan gadis yang belum
dewasa adalah surah al-Ta}laq Ayat 4. Pada prinsipnya ayat ini berbicara
masalah iddah wanita yang belum haid atau wanita yang sudah
monopous. logika sederhananya adalah iddah muncul karena talak, talak
ada karena pernikahan, karena itu secara tersirat (mafhu>m mukha>lafah)
ayat ini menunjukkan bolehnya wanita yang belum haid (belum dewasa)

Berdasarkan landasan tersebut, madhab Hanbali menetapkan bahwa wali menjadi salah
satu rukun nikah. Pernikahan tanpa wali tidak sah baik kepada orang yang sudah
dewasa atau belum dewasa. Lihat M. ‘Ali> al-Sayis dan Mah}mu>d Shalt}u>t}, Perbandingan
Madhab dalam Masalah Fiqh,Trans, Ismuha, Cet. ke VI (Jakarta: Bulan Bintang), 126-
127. Lihat pula Dedi Supriadi dan Mustafa, Perbandingan Hukum Perkwinan di Dunia
Islam,17-19
66
Ibn Quda>mah, al-Mugni>, VII, 368.
67
Kasus Ma’qal ini adalah kasus yang menjadi seba turunnya surah al-Baqarah
Ayat 232, (larangan bagi wali mempersulit pernikahan yang ingin kembali kepada
bekas istrinya, tetapi walinya yakni saudara si wanita sama sekali menolak).
68
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara,181.

89
Fatima

menikah. Dasar hadisnya adalah tindakan Nabi saw. yang menikah


dengan ‘Aisyah ketika berumur 7 tahun.69
Berbeda dengan Ibn Quda>mah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah
berpendapat, persetujuan wanita harus ada dalam pernikahan. Hal ini
berdasarkan dengan tiga alasan, 1) athar yang dipercaya, 2) qiya>s, dan 3)
kaidah-kaidah shari’ah. Sumber athar (1) kasus al-Khansa>’ (janda) dan
seorang budak (gadis) yang pernikahannya ditolak Nabi saw. karena
dipaksa menikah dengan pria yang bukan pilihannya. (2) pernyataan
Nabi saw. yang harus meminta izin untuk pernikahan gadis yang izinnya
cukup dengan diamnya. Untuk menolak tuduhan yang mengatakan hadis
tentang pernikah gadis disebut hadis mursal. al-Jawziyyah menolak
dengan tiga alasan. (1) sumber athar dalam bentuk perintah misalnya
perintah Nabi saw. untuk meminta izin kalau menikahkan anak gadis
( ). Ungkapan ini menurut al-Jawziyyah adalah suruhan kuat

( ), karena ungkapan pemberitahuan. Asal suruhan sendiri adalah


wajib selama belum ada konsensus (ijma>’) yang menyatakan sebaliknya.
(2) larangan Nabi saw. menikahkan gadis sebelum ada izin dari yag
bersangkutan . (3) dari sisi kaidah shari’ah,
seorang bapak tidak boleh membelanjakan harta anak gadis yang sudah
dewasa dan berakal, kecuali mendapat izin dari yang bersangkutan.
Anak tersebut tidak boleh dipaksa mengeluarkan hartanya sedikitpun
kecuali atas persetujuannya. Bagaimana mungkin ia boleh dipaksa utuk
menikah dengan seseorang yang akan menjadi keluarganya yang kelak
terus akan bersamanya. lebih lanjut al-Jawziyyah mengatakan wanita
lebih mudah dan rela mnegeluarkan harta tanpa seizinnya dari pada
menikah dengan pria yang bukan pilihannya.
Dari segi kemaslahatan umat dan tujuan pernikahan akan
tercapai, manakala wanita menikah dengan pilihan dan persetujuannya.
Dan sulit tercapai manakala ia menikah dengan pria yang dibencinya.
Dengan demikian sekiranya Nabi saw. tidak menjelaskan keharusan
persetujuan dan pilihannya sendiri adanya suruhan, larangan, dan
ketetapan hukum dari Nabi saw. agar para calon memilih sendiri dan
harus ada izin dari yang bersangkutan, menjadi dasar kuat dalam
menetapkan hukum.70

69
Ibn Quda>mah, al-Mughni>, VII, 387.
70
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara,182-183.

90
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut


jumhu>r ulama berpendapat bahwa wali itu tidak boleh menikahkan
dirinya dan tidak pula mengawinkan wanita lainnya.71 Hanya mazhab
H{a>nafiyah yang membolehkan wanita dewasa menikahkan dirinya
sendiri. Sementara Ma>liki>, Sha>fi’i>, dan H{anbali> melarangnya. Menurut
ketiga mazhab ini hanya wali yang boleh menikahkan. Sejalan dengan
itu hanya Ima>m Abu> H{ani>fah yang mengharuskan adanya persetujuan
dari mempelai wanita secara mutlak. Sementara Ma>lik, Sha>fi’i>, dan
Hanbali> dengan variasi pandangan masing-masing mengakui hak ijba>r
wali.
Sementara itu konsep wali dalam peraturan perundang-undangan
negara muslim yang tentunya berbeda antar satu negara dengan negara
lainnya. Yordania misalnya membedakan antara wanita yang masih
gadis dengan wanita yang sudah janda. Untuk pernikahan seorang gadis
dibutuhkan izin wali, namun hakim dapat memberikan izin nikah kalau
wali nasab tidak bersedia menjadi wali tanpa alasan hukum dan gadis
tersebut menikah dengan pria yang sekufu. Untuk wali nasab selain
bapak dan kakek, izin dapat diberikan kalau gadis tersebut sudah
berumur 15 tahun. Kalau wali nasabnya bapak atau kakek, izin dapat
diberikan kalau gadis tersebut sudah berumur 18 tahun. Untuk janda
yang berumur lebih dari 18 tahun tidak dibutuhkan wali.72 Syiria
membedakan perkawainan yang walinya bapak atau kakek dengan yang
bukan. Untuk wali selain bapak atau kakek, dibutuhkan persetujuan dari
calon mempelai. Di samping itu ditetapkan wanita yang sudah dewasa
dapat menikahkan dirinya sendari meskipun tanpa wali, dengan syarat
pria yang dinikahi tersebut sekufu. Kalau pria tersebut tidak sekufu, wali
berhak menutut pembatalan, kecuali wanita tersebut hamil maka hak
pembatalan wali menjadi hilang.73
UU Cyprus menetapkan bahwa, pernikahan tidak diharuskan
adanya wali, hanya saja untuk wanita yang berumur di atas 16 tahun
tetapi belum mencapai 18 tahun, harus mendapat izin dari walinya dan

71
‚Wali Pernikahan Menurut Imam Mazhab‛, diakses pada tanggal16 Juli
2012 melalui http://awangjunior.blogspot.com/2011/11/wali-pernikahan-menurut-
imam-mazhab.html
72
Hoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 193. Lihat juga Tahir
Mahmood, Personal Law, 78-79.
73
Tahir Mahmood, Personal Law, 144. Lihat juga Hoiruddin Nasution,Status
Wanita di Asia Tenggara, 194

91
Fatima

harus ada persetujuan dari mempelai.74 UU Somalia menetapkan, wanita


yang berumur 18 tahun ke atas boleh menikah tanpa izin wali.
Sedangkan wanita yang berumur 16 tahun ke atas tetapi belum
mencapai umur 18 tahun boleh menikah dengan izin wali. Hanya saja
posisi wali nasab dapat diganti dengan wali hakim, kalau wali nasab
menolak sedangkan wanita tersebut sudah berumur 16 tahun ke atas,
tetapi belum mencapai umur 18 tahun.75 Lebanon menetapkan, wanita
yang sudah berumur 17 tahun boleh menikah tanpa izin wali nasab,
kalau wali nasab menolak memberi izin tanpa ada alasan hukum. Kalau
ada wanita dewasa menikah dengan pria yang sekufu tanpa ada
persetujuan dari walinya, maka nikahnya sah. Sebaliknya jika wanita
tersebut menikah dengan pria yang tidak sekufu, maka wali berhak
meminta pembatalan ke pengadilan, sepanjang wanita tersebut elum
hamil.76
Druze Lebanon menetapkan, seorang gadis yang beruur 17
sampai 21 tahun mengajukan calon suami, wali nasab diberi kesempatan
selama 15 hari oleh hakim. Kalau dalam jangka waktu 15 hari tersebut
wali nasab tidak memberikan respon, maka wanita tersebut boleh
menikah dengan pria pilihannya tersebut. UU Druze Lebanon
mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai dan adanya wali,
meskipun dalam kasus-kasus tertentu posisi wali nasab dapat digantikan
oleh hakim.77 Tunisia tidak mengharuskan adanya wali dalam
pernikahan, tetapi harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.78
Irak mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai, dan
menghukum pihak yang memaksa orang lain untuk menikah.79Maroko
juga mengharuskan adanya wali dan persetujuan calon mempelai, secara
prinsip melarang nikah paksa. Namun dalam kasus-kasus tertentu hak
ijba>r diakui dengan alasan adanya kekhawatiran dengan pernikahan
tersebut si anak akan sengsara. Kalau wali nasab menolak menjadi wali,

74
UU Cyprus Tahun 1951 Ayat (3). Lihat Tahir Mahmood , Family Law
Reform, 29
75
UU Somalia Tahun 1975 Pasal 16 dan 17. Lihat Tahir Mahmood, Personal
Law, 258. Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara,195.
76
UU Lebanon Tahun 19 62 Pasal 8. Hoiruddin Nasution, Status Wanita di
Asia Tenggara, 192.
77
UU Druze Lebanon No. 24 Tahun 1948 Pasal 6. Khoiruddin Nasution,
Status Wanita di Asia Tenggara, 192-193.
78
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 194.
79
UU Irak No.188 Tahun 1959, Pasal 9 ayat (1), (2) dan (3). Lihat Hoiruddin
Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 195

92
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

maka hakim dapat menggantikan posisinya dengan syarat wanita


tersebut menikah dengan pria yang sekufu.80
Tidak jauh berbeda dengan Maroko, Al-Jazair juga
mengharuskan adanya wali81 dan wali tidak boleh menolak menjadi wali
tanpa alasan hukum.82 Sejalan dengan itu Al-Jazair mengharuskan
adanya persetujuan kedua calon mempelai dan tidak megenal hak ijba>r.83
Libya mengharuskan adanya wali dan persetujuan dari mempelai, serta
melarang pernikahan secara paksa.84 Filipina mengharuskan adanya wali
dan persetujuan dari kedua mempelai. Sudan menetapkan, harus ada
wali85 dan persetujuan mempelai wanita dalam pernikahan. Hanya saja
persetujuannya dibedakan antara gadis yang belum cukup umur dengan
gadis yang sudah dewasa dan janda.86 Yaman menetapkan dalam
pernikahan harus ada persetujuan dari calon mempelai wanita.
Persetujuan wanita yang masih gadis dengan diamnya, sementara janda
harus dengan tegas.87
UU Malaysia, baik Undang-Undang Persekutuan (federal)
maupun di tiap-tiap negara bagian tetap diakui dan mewajibkan adanya
wali dalam akad pernikahan,88 konsekwensinya, apabila pernikahan

80
Tahir Mahmood, Personal Law, 120.
81
UU Aljazair Pasal 11
82
Bapak boleh menolak pernikahan anak gadisnya, jika penolakan tersebut
untuk kepentingan anaknya. Lihat UU Aljazair Pasal 12
83
Hoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 195-196.
84
UU Libya No. 10 Tahun 1984 Pasal 8.
85
Seorang wali harus memenuhi tiga syarat yaitu dewasa, muslim dan waras.
Jika tidak memenuhi syarat tersebut , maka digantikan dengan wali ain sesuai dengan
urutan madhab Maliki. Lihat tahir Mahmood, Family Law Reform, 72.
86
Persetujuan gadis yang sudah dewasa dan janda dinyatakan dengan secara
tegas. Sedangkan persetujuan gadis yang belum cukup umur cukup dengan diamnya.
Persetujuan ini penting untuk menentukan menentukan pilihan dan jumlah mahar. lihat
Tahir mahmood, Personal Law. 137.
87
UU Republik Yaman No. 20 Tahun 1992 Pasal 23. Lihat Khoiruddin
Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, 197.
88
Beberapa UU negara bagian Malaysia, seperti UU untuk orang Islam
Selangor 1952, UU Islam Trengganu 1955, UU Agama Islam Pahang 1956, UU untuk
Orang Islam Malaka 1959, UU untuk Orang Islam Pulau Pinang 1959, UU Untuk
Orang Islam Negeri Sembilan 1960, UU untuk Orang Kedah 1962, UU untuk Orang
Perlis 1964, UU untuk Orang Perak 1964, UU Mahkamah Shari>’ah dan Sebab-sebab
Hal Ihwal Suami-Isteri Kelantan 1966 dan Majelis Adat dan Melayu kelantan 1966 dan
UU Islam Johor 1978, pada intinya mensyaratkan wali dalam pernikahan serta adanya
hak Hakim untuk mengganti status wali nasab dalam kasus tertentu, begitu juga
tentang persetujuan perempuan dalam menetukan pilihan jodohnya, lihat Status

93
Fatima

dilaksanakan tanpa adanya wali maka tidak dapat dilaksanakan


pernikahan tersebut.89 Kriteria wali adalah berupa wali nasab (keturunan
dari yang paling dekat sampai seterusnya), bila terjadi persoalan atau
kasus tertentu wali hakim dapat menggantikan wali nasab, dengan
beberapa alasan misalnya calon pengantin tidak mempunyai wali nasab,
enggan menjadi wali atau wali nasab tidak cakap bertindak. Persetujuan
dari perempuan merupakan suatu keharusan, bahkan orang lain termasuk
wali tidak boleh memaksa calon pengantin bila memang memenuhi
syarat keduanya. Bila hal ini tetap dilakukan maka bisa terkena denda
maksimal 1000 Ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-
duanya. Akan tetapi dalam beberapa UU negara bagian masih ada juga
yang mengakui adanya hak ijba>r dari wali yaitu bapak, seperi UU
Kelantan.90
UU Perkawinan di Indonesia, persetujuan mempelai wanita
merupakan syarat perkawinan91. Sedangkan wali menjadi salah satu
rukun nikah. Sebagaimana terdapat dalam KHI pasal 19 menegaskan
bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.92
UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung tentang
wali nikah, hanya mengatur tentang izin pernikahan tanpa membedakan
apakah izin itu dari orang tua laki-laki atau perempuan. Wali nikah
secara khusus diatur dalam KHI. KHI secara tegas mewajibkan adanya
wali dalam pernikahan. Tidak serta merta seorang wali dapat
menikahkan anaknya, karena seorang wali harus memenuhi syarat
tertentu sebagaimana penjelasan KHI pasal 20 sebagai berikut.

Wanita di Asia Tenggara, 250-252. Lihat juga M. B. Hokker, Undang-undang Islam di


Asia Tenggara (Kuala Lumpur: Ampang Press, 1992), 165.
90
Miftahul Huda, ‚Ragam Argumentasi ketentuan Wali Nikah dan Poligami:
Studi Atas Hukum keluarga Negara-negara Muslim Modern, 7-8. Diakses pada tanggal
16 Juli 20121 melalui
http://www.google.co.id/search?hl=id&biw=1076&bih=627&noj=1&sclient=psyab&q
=wali+dalam+hukum+keluarga+malaysia&oq=wali+dalam+hukum+keluarga+malaysi
a&gs_l=serp.
91
Pasal 6 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
92
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara,
2007).

94
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil, dan baligh.93
(2) Wali nikah terdiri dari:
a. Wali nasab94
b. Wali hakim.
Umumnya yang menjadi wali nikah adalah orang tua kandung.
Jika memang orang tua berhalangan, bisa diwakilkan oleh kakek,

93
Pasal 20 angka (1) ini telah ditetapkan di dalam fikih, lebih-lebih lagi di
dalam mazhab Syafi’i. Menurut Imam al-Bâjûrî, syarat yang harus dipenuhi bagi
seorang wali adalah 1. Islam, 2. Baligh, 3. Berakal, 4. Merdeka, 5. Lelaki, 6. Adil (tidak
fasik). Dari uraian Imam al-Bâjûrî ini ada dua yang tidak dicantumkan KHI; yaitu
merdeka dan adil. Merdeka tidak dicantumkan karena memandang status merdeka
sudah pasti wujud dan tidak perlu diqayyidkan karena memandang sekarang sudah
tidak ada perhambaan. Sedangakan status adil tidak dicantumkan karena berpegangan
pada pendapat kedua di dalam mazhab Syafi’i, bahwa wali fasik tetap dapat menjadi
wali nikah. Jala>l al-Di>n al-Mah}alli>, H}a>shiyah al-Mah}alli> ‘ala> Minh}a>j al-T}a>libi>n, vol. 3,
(Semarang: Thaha> Putra, t.th.), 227.
94
Sebagaimana Bunyi pasal 21 KHI yang menyatakan, (1) Wali nasab terdiri
dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan
kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai
wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat
paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki
mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
dan keturunan laki-laki mereka. (2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat
beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak
menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita. (3) Ababila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling
berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. (4) Apabila
dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung
atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah,
dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pada dasarnya, Pasal 21 ini semuanya menetapi ketentuan yang terdapat di
dalam fikih mazhab Syafi’i. Hanya saja, sistematika KHI menggunakan pembagian
kelompok agar mudah untuk difahami. Sedangkan sistematika yang biasa digunakan
fikih mazhab Syafi’i yang klasik adalah langsung memberikan urutan wali (

). Perlu untuk dicermati, KHI tetap konsisten menetapi ketentuan fikih Syafi’i di
sini, karena pada angka (2), (3), dan (4) sudah ada klausul tertib sesuai urutan seperti
dalam fikih Syafi’i sendiri. Lihat al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-`Arba’ah, 827;
`Ibra>hi>m al-Ba>ju>ri>, H}a>shiyah al-Ba>ju>ri ‘ala> Ibn Qa>sim al-Ghazzi>, Vol. 2 (Surabaya:
Hidâyah, t.th.), 105. Muh}ammad al-Shirbi>ni> al-H}a>t}ib, al-Iqna>’ vol. 2, (Surabaya: al-
Hidâyah, t.th.), 125

95
Fatima

saudara laki-laki dan seterusnya sebagai wali nasab. Jika semuanya


berhalangan posisi wali nikah dapat digantikan dengan wali hakim.
Bagaimana jika orang tua ada tetapi tidak mau (enggan) menikahkan
anaknya. Dalam kasus ini, harus dilihat dulu alasan keengganan wali
untuk menikahkan anaknya. Apakah alasan tersebut berdasarkan
shar‘i>95atau alasan tidak shar’i>.96 Jika wali tidak mau menikahkan anak
gadisnya dengan alasan yang tidak shar’i, maka wali tersebut disebut
wali ‘ad}al97dan hak kewaliannya berpindah kepada wali
hakim98sebagaimana Peraturan Menteri Agama Nomor. 2 Tahun 1987
jo. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005
tentang tentang Wali Hakim, pasal 2 Ayat (1) dinyatakan bagi calon
mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar
negeri/di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab
yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud,
95
Alasan shar’i> adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum shara’, misalnya
anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan,
atau calon suaminya adalah orang kafir (misal beragama Kriten/Katholik), atau orang
fasik (misalnya pezina dan suka mabuk), atau mempunyai cacat tubuh yang
menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak menikahkan
anak gadisnya berdasarkan alasan shar’i> seperti ini, maka wali wajib ditaati dan
kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim). Lihat HAS Alhamdani,
Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), 90-91. Jika seorang perempuan
memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi tersebut, maka akad nikahnya tidak sah
alias batil, meskipun dia dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya
sesungguhnya tetap berada di tangan wali perempuan tersebut, tidak berpindah kepada
wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya
batal. ‚Pernikahan tanpa Restu Wali‛, artikel diakses pada tanggal 25 juli 2012 melalui
http://makalah-artkel.blogspot.com/2007/11/artikelarticlemakalah.html dan lihat juga
‚Bolehkan Wanita dinikahkan dengan Wali Hakim‛ http://www.mykhilafah.com/fikih-
muslimah/2484bolehkahwanita-dinikahkan-dengan-wali-hakim.
96
Alasan yang tidak shar’i>, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum shara’.
Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana,
atau wajah tidak rupawan, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada
dasarnya dalam pandangan shari>’ah, maka tidak dianggap alasan shar’i>, Lihat
‚Pernikahan tanpa Restu Wali‛, artikel diakses pada tanggal 25 juli 2012 melalui
http://makalah-artkel.blogspot.com/2007/11/artikelarticlemakalah.html
97
Wali ‘ad}al menurut A. Muki Arto adalah wali nasab yang mempunyai
kekuasaan untuk menikahkan anak peempuannya yang berada dibawah perwaliannya,
tetapi ia enggan atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya seorang wali yang baik.
Menurut Hoerudin adalah wali yang enggan atau wali yang menolak menjadi wali
dalam pernikahan anak perempuannya dengan seorang pria yang menjadi pilihannya.
Lihat A. Muki Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 238. Lihat pula
Ahrum Hoerudin, Pengadilan Agama (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), 47.
98
Abdurrahman Al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-‘Arba’ah, Juz IV, 33.

96
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

atau berhalangan, atau adlal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh


wali hakim. Dan dalam Pasal 3 Ayat (1) juga disebutkan bahwa Kepala
Kantor KUA dalam wilayah kecamatan yang bersangkutan dapat
ditunjuk menjadi wali hakim untuk menikahkan mempelai wanita
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 Ayat (1).
Senada dengan Peraturan Menteri Agama, Pasal 23 KHI
menyebutkan sebagai berikut.
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama
tentang wali tersebut.99
Dalam kenyataan di masyarakat sering terjadi bahwa seorang
wanita berhadapan dengan kehendak orang tuanya atau walinya yang
berbeda, termasuk soal pilihan yang hendak dijadikan menantu (suami),
ada yang sama-sama setuju, mengizinkannya, atau sebaliknya orang tua
menolak kehadiran calon menantunya yang telah menjadi pilihannya,
mungkin karena orang tua telah mempunyai pilihan lain atau karena
alasan lain. Sedangkan anak perempuan tersebut telah bersikeras untuk
tetap menikah dengan calon suami pilihannya. Sehingga untuk bisa
tetap melangsungkan pernikahan, calon mempelai perempuan harus
mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama setempat agar
pengadilan memeriksa dan menetapkan ‘ad}alnya wali, serta mengangkat
wali hakim untuk menikahkannya setelah ada penetapan Pengadilan
Agama tentang ‘ad}alnya wali.100
Untuk menunjukkan kasus permohonan wali’ad}al ini, berdasarkan
hasil temuan penulis di pengadilan wilayah DKI Jakarta dari tahun
2010-2011 dapat dilihat pada tabel berikut ini:

99
Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Fokusmedia, 2005), 13.
100
Lihat Peraturan Menteri Agama RI No. 2/1987 Pasal 6 Ayat (2), Pasal 23
Ayat (2) KHI.

97
Fatima

Tabel: 4.4.
Perkara Permohonan Wali ‘ad}al yang diterima dan diputus
Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011
No Pengadilan Agama DKI Jakarta Perkara Di Perkara Diputus
terima
1 Jakarta Utara 4 3
2 Jakarta Selatan 21 13
3 Jakarta Timur 14 8
4 Jakarta Pusat 6 2
5 Jakarta Barat 14 12
Jumlah 59 34
Sumber: Pribadi Dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-
101
2011.
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari tahun 2010 sampai 2011
permohonan wali ‘ad}al yang diajukan ke PA di seluruh DKI Jakarta
mencapai 59 kasus, 34 kasus sudah kabulkan, sedangkan sisanya dalam
proses persidangan. Dari keseluruhan permohonan wali ‘ad}al yang
diajukan ke PA hampir 99% dikabulkan,102 dan inti dari masing-masing
putusan tersebut tidak ada perbedaan yang begitu mencolok. Hal ini
dapat dilihat pada putusal-putusan di bawah ini.
- Deskripsi Duduk Perkara dan Amar Penetapan Wali ‘ad}al
Putusan pertama, kasus yang dialami Alya binti Suhendri103,
umur 24 tahun (selanjutnya disebut Pemohon), telah mengajukan surat
permohonan wali ‘ad}al ke Pengadilan Agama dengan register perkara
No. 91/Pdt.P/2011/PA.JB.

101
Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta
Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛,(Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat
pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach
Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. Lihat Ujang Mukhlis,
‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan
Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30
Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).
Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat
Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011.
102
Wawancara dengan M. Rizal (hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat), di
ruang hakim. tanggal 18 Juli 2012.
103
Identitas disembunyikan

98
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Dalam positanya dijelaskan bahwa hubungan Pemohon dengan


calon suaminya (umur 31 tahun) sudah sedemikian eratnya dan sulit
untuk dipisahkan. Calon suami Pemohon telah meminang, namun ayah
kandung Pemohon tidak merestui bahkan menolak untuk menikahkan
Pemohon dengan calon suaminya dengan alasan calon suami Pemohon
belum mapan secara finansial. Ayah Pemohon bersedia menikahkan
anaknya setelah berusia 28 tahun dan sudah hidup mapan secara
ekonomi. Pemohon dan calon suaminya berusaha keras dengan
melakukan pendekatan dan penjelasan terhadap ayah kandung Pemohon
agar bersedia menikahkan Pemohon, namun tidak berhasil. Pemohon
tetap bertekad untuk melangsungkan pernikahan karena dikhawatirkan
melakukan hal-hal yang dilarang agama.104
Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang dengan
menghadirkan para pihak dan saksi-saki, fakta dipersidangan
menunjukkan bahwa benar calon suami Pemohon telah meminang
Pemohon untuk dinikahkan, namun wali Pemohon menolak untuk
menikahkan, padahal keduanya sudah saling cinta dan tidak dapat
dipisahkan lagi. Keduanya telah memenuhi syarat pernikahan yaitu
antara pemohon dengan calon suami terpenuhi dan tidak ada larangan
shar’i> untuk melangsungkan pernikahan. Calon suami Pemohon telah
mempunyai pekerjaan tetap dan mempunyai penghasilan yang cukup
untuk menghidupi Pemohon. Antara Pemohon dan calon suami
Pemohon berstatus bujang dan gadis.
Berdasarkan dalil-dalil dan fakta di persidangan, hakim
menjatuhkan putusan yang dalam amar putusan menetapkan;
1. Mengabulkan permohonan pemohon
2. Menetapkan ‘‘ad}al nya wali pemohon
3. Menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama di tempat wilayah
Pemohon
4. Membebankan Pemohon untuk membayar biaya perkara.
Putusan kedua, kasus yang menimpa Zarima binti Haryono, umur
25 tahun, (selanjutnya disebut Pemohon) telah mengajukan surah
permohonan wali ‘ad}al ke Pengadilan Agama pada tanggal 01 November
2010 dengan register perkara No.68/Pdt.P/2010/PAJP.
Dalam positanya dijelaskan bahwa benar Pemohon adalah putri
kandung Haryono (Almarhum) dan dalam tempo yang secepatnya
hendak melangsungkan pernikahan dengan pria yang secara umur sudah

104
Lihat Arsip Pengadilan Agama Jakarta Barat tentang Putusan Penetapan
wali ‘ad}al No. 91/Pdt.P/2011/PA.JB.

99
Fatima

sangat matang (49 tahun). Hubungan antara Pemohon dengan calon


suaminya sudah sedemikian eratnya dan sulit untuk dipisahkan, bahkan
calon suami Pemohon telah meminang kepada saudara kandung
Pemohon, namun saudara kandung Pemohon tidak merestui dan
menolak untuk menikahkan, dengan alasan karena awalnya antara
Pemohon dan calon suami Pemohon beda agama dan ras serta masa lalu
calon suami Pemohon yang pernah gagal dalam membina rumah tangga,
namun setelah calon suami Pemohon masuk Islam tetap saja tidak
mendapat tanggapan positif dari kedua kakak kandung Pemohon.
Pemohon telah berusaha keras untuk melakukan pendekatan dan
penjelasan agar kakak-kakak kandung pemohon bersedia menikahkan
Pemohon akan tetapi tidak berhasil, meskipun demikian Pemohon tetap
bertekad untuk melangsungkan pernikahan dengan calon suami
Pemohon karena khawatir apabila antara Pemohon dengan calon suami
Pemohon tidak segera melangsungkan pernikahan akan terjadi hal-hal
yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
Pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditentukan,
Pemohon datang menghadap sendiri ke persidangan, sedangkan kakak
kandung Pemohon tidak hadir di persidangan, meskipun menurut berita
acara relaas Nomor 68/Pdt.P/2010/PAJP tanggal 5 November 2010
telah dipanggil untuk diminta keterangannya di persidangan.
Berdasarkan keterangan Pemohon yang diperkuat dengan keterangan
dua orang saksi dan bukti-bukti tertulis yang disampaikan di muka
persidangan, dinyatakan terbukti bahwa kakak kandung Pemohon
sebagai orang yang paling berhak menjadi wali dalam pernikahan
Pemohon telah menunjukkan keengganan atau ketidaksediaan untuk
bertindak sebagai wali dalam pernikahan Pemohon, oleh karenanya
Majelis Hakim berpendapat bahwa kakak kandung Pemohon dinyatakan
sebagai wali ‘ad}al.105
Putusan ketiga, kasus Wiwit Wahyuni binti Sutomo(seorang
karyawati, umur 28 tahun, pendidikan SI) telah mengajukan surah
permohonan wali ‘ad}al ke Pengadilan Agama pada tanggal 14 Februari
2012 dengan register perkara No. 12/Pdt.P/2012/PA JB.
Dalam positanya dijelaskan bahwa, Pemohon dalam tempo yang
secepatnya hendak melangsungkan pernikahan dengan calon suami
Pemohon (umur 39 tahun, lulusan SMA, pekerjaan karyawan) karena
hubungan antara Pemohon dengan calon suami Pemohon sudah

105
Lihat Arsip Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang Putusan Penetapan
wali ‘ad}al No. 68/Pdt.P/2010/PAJP.

100
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

demikian erat dan sulit untuk dipisahkan karena sudah kenal lama dan
mulai dekat sejak tahun 2006. Calon suami Pemohon sudah pernah
melamar Pemohon melalui orang tua Pemohon sebanyak 2 (dua) kali,
namun lamaran tersebut tidak diterima sama sekali oleh orang tua
Pemohon dengan alasan perbedaan status pendidikan dan pekerjaan
antara calon suami Pemohon dengan Pemohon. Pemohon berpendapat
penolakan ayah kandung Pemohon tersebut tidak berdasar dan mengada-
ngada dan tidak mendukung kebahagiaan Pemohon sebagai anak
kandungnya, oleh karena itu Pemohon tetap bertekad untuk
melangsungkan pernikahan dengan calon suami Pemohon dengan alasan
keduanya sama-sama dewasa dan siap mengarungi rumah tangga.
Pemohon sangat khawatir apabila antara Pemohon dengan calon suami
Pemohon tidak segera melangsungkan pernikahan akan terjadi hal-hal
yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
Dalam proses persidangan ayah kandung Pemohon tidak
menghadiri persidangan, walaupun telah dipanggil secara resmi dan
patut berdasarkan Relaas Nomor 12/Pdt.P/2012/PAJB yang dibacakan
dipersidangan. Kemudian dibacakan surah permohonan Pemohon, yang
isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon. Berdasarkan bukti-bukti dan
saksi-saksi yang dihadirkan dipersidangan menunjukkan bahwa memang
benar ayah kandung Pemohon menolak menikahkan Pemohon dengan
calon suaminya dengan alasan perbedaan status pendidikan dan
pekerjaan.
Setelah Majelis Hakim meneliti secara seksama dalil-dalil yang
diajukan Pemohon, bukti-bukti dipersidangan serta mendengar kedua
saksi yang telah memenuhi syarat formil kesaksian yaitu disampaikan di
bawah sumpah di muka persidangan, secara substansial kesaksian ke dua
saksi tersebut saling mendukung satu sama lain dan bersesuaian
sehingga kesaksian tersebut dapat diterima dan dijadikan dasar dalam
mempertimbangkan dalil Pemohon. Berdasarkan hal tesebut Majelis
hakim menetapkan;
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menetapkan ‘‘ad}alnya wali pemohon
3. Menunjuk Kepala Kantor Urusan Agama di tempat wilayah
Pemohon
4. Membebankan Pemohon untuk membayar biaya perkara.106

106
Lihat Arsip Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang Putusan Penetapan
wali ‘ad}al No. 12/Pdt.P/2012/PA JB.

101
Fatima

- Dasar dan Petimbangan Hakim dalam Penetapan Permohonan


Wali‘ad}al
Dari amar Penetapan yang telah disebutkan di atas, dapat
dipertanyakan, apakah penetapan tesebut sesuai dengan peratuan
peundang-undangan atau menyimpang dari ketentuan yang berlaku?
Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan analisis ilmiah untuk
dikembangkan menjadi konsep-konsep pengesahan pemohonan wali
‘ad}al.
Kewenangan hakim dalam memeriksa dan memutus atau
menetapkan perkara harus dilihat dulu apakah hakim bedasakan
kewenangan absolut dan relatif sesuai dengan kewenangannya atau
tidak. Dilihat dari kompetensi Peradilan, wali‘ad}al termasuk dalam
kompetensi absolut107 Peradilan Agama. Kompetensi pengadilan di
lingkungan Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 2 UU No. 7 tahun
1989 yang diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 perubahan kedua atas
UU No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama di mana dibangun asas
personalitas yang menyebutkan bahwa, Peradilan Agama merupakan
salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara-perkara tertentu yang diatur dalam
pasal 49 ayat (1) UU No. 3 tahun 2006 jo UU No. 50 tahun 2009 yaitu
bidang pernikahan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah,
dan ekonomi shari’ah. Dilihat dari kompetensi relatif,108para Pemohon
sudah melakukan prosedur sesuai dengan hukum acara yaitu
permohonan mengajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya
meliputi kediaman pemohon.109Berdasarkan kompetennsi absolut dan
kompetensi relatif, hakim berhak memeriksa, dan memutuskan atau
menetapkan perkara tesebut.
Dari ketiga putusan yang telah diuraikan sebelumnya, jelas
bahwa wali menyatakan enggan menikahkan putrinya, baik yang
107
Kompetensi Absolut adalah Pengadilan yang berhubungan dengan jenis
perkara, misalnya pengadilan berkuasa memeriksa perkara bagi mereka yang beragama
Islam, sedangkan bagi yang beagama selain Islam menjadi kekuasaan pengadilan
umum. Lihat Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Gafindo
Persana, 2006), 27.
108
Kewenangan relatif adalah kekuasaan atau wewenang yang diberikan
kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang
berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal atau
tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara. Abdullah, ‚Kompetensi Relatif
Peradilan Agama‛, diakses pada 9 Agustus 2012 melalui
http://advosolo.wordpress.com/2010/05/26/kompetensi-relatif-peradilan-agama/
109
A. Mukti Atrto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 44.

102
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

menyatakan penolakan itu dihadapan persidangan maupun di luar


persidangan. Sesuai dengan ketentuan hukum acara Peradilan Agama
yang menyatakan apabila pihak wali sebagai saksi utama telah di
panggil secara resmi dan patut, namun tidak hadir sehingga tidak dapat
di dengar keterangannya, maka hal ini dapat memperkuat ‘ad}alnya
wali.110 Sebagaimana kasus No. 12/Pdt.P/2012/PA JB dan
No.68/Pdt.P/2010/PAJP yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal
ini untuk memberikan kepastian hukum bagi kedua calon mempelai,
majelis hakim memeriksa perkara tersebut dan setelah
mempertimbangkan berbagai fakta dalam persidangan, majelis hakim
mengabulkan ketiga permohonan tersebut.
Salah satu wewenang PA adalah memberikan pelayanan hukum
dan keadilan bagi mereka yang beragama Islam, maka dasar dan
pertimbangan yang digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara
adalah hukum Islam. Dalam menetapkan‘ad}alnya seorang wali, PA
melihat alasan penolakan wali tersebut dibenarkan menurut syarak atau
tidak, selain itu PA juga mempertimbangkan kemaslahatan dan
kemadharatan yang akan timbul dari putusannya itu.
Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tersebut untuk
menghindari kemadaratan yang bisa timbul dari perkara tersebut sesuai
dengan kaidah (bahaya itu harus dihilangkan). Apabila perkara
tersebut tidak dikabulkan, dikhawatirkan akan terjadinya nikah lari atau
bahkan ‚kumpul kebo‛ hal ini tentunya tidak sesuai dengan ajaran
agama.
Dasar yang digunakan majelis hakim untuk menetapkan ‘ad}alnya
wali adalah bukti-bukti serta fakta-fakta hukum yang berkaitan dengan
perkaran tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 163 HIR yang
menyatakan bahwa barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak,
atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu,
atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.111
Alat bukti dalam hal ini berupa bukti surah dan saksi. Bukti
surah yang pokok dalam perkara wali ‘ad}al adalah surah penolakan
pernikahan yang dikeluarkan oleh KUA setempat (P.I). Sedangkan saksi
adalah orang-orang yang mengetahui adanya permasalahan tersebut, dan

110
A. Mukti Atrto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 238.
111
R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan (Bandung: Karya Nusantara,1979),
119.

103
Fatima

saksi-saksi dimintai keterangan mengenai keengganan wali dan juga


keadaan kedua calon mempelai berdasarkan yang di lihat, yang di dengar
dan yang dialami oleh para saksi tersebut.112 Sesuai Pasal 169
menyatakan saksi minimal dua orang, satu saksi bukan saksi (Unus
Testis Nulus Testis).113
Untuk menetapkan wali hakim sebagai wali nikah dari
perempuan yang wali nasabnya‘ad}al, PA mendasarkan pada Peraturan
Menteri Agama No. 2 Tahun 1987 tentang wali hakim dan pasal 23
KHI. Kedua peraturan tersebut tidak selalu dijadikan dasar hukum
penetapan wali ‘ad}al, terkadang hakim menggunakan Peraturan Menteri
Agama saja, hal ini dapat di lihat pada perkara No.
91/Pdt.P/2011/PA.JB. Sebenarnya sah saja hakim hanya merujuk pada
Peraturan Menteri Agama tentang wali hakim, namun menurut penulis
seyogyanya hakim juga merujuk pada KHI untuk mempertajam
penetapan tersebut. Alasan hakim tidak merujuk pada KHI sebagai dasar
pertimabangan wali ‘ad}al bisa jadi karena KHI tidak termasuk dalam
hirarki perundang-undangan, sesuai pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun
2004 jenis dan hirarki peraturan perundnag-undangan adalah, (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945. (2) Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). (3)
Peraturan Pemerintah. (4) Peraturan Presiden. (5) Peraturan Daerah.
Meskipun demikian dasar hukum hakim dalam penetapan wali ‘ad}al
senantiasa dilengkapi dengan pendapat para fuqaha’ yang tertera dalam
kitab-kitab fikih.
Setelah Penulis mencermati beberapa putusan mengenai wali
‘ad}al dapat disimpulkan bahwa, pada praktiknya banyak faktor
penyebab orang tua enggan menjadi wali. Secara global dalam status
sosial tidak sekufu, baik itu mengenai status ekonomi, suku, pendidikan,
dan lain sebagainya.114Status sosial di sini umumnya terjadi jika status
sosial perempuan lebih tinggi dari status sosial laki-laki. Orang tua
beranggapan jika anak gadisnya menikah dengan laki-laki yang
statusnya lebih rendah, maka hanya membuat malu keluarga. Orang tua
merasa harkat dan martabatnya turun, sebagaimana penetapan perkara
No. 91/Pdt.P/2011/PA.JB. Tidak sekufu dalam bidang pendidikan juga

112
A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 161.
113
A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 164.
114
Wawancara dengan M. Rizal (hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat), di
ruang hakim. tanggal 18 Juli 2012.

104
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

kerap kali menjadi faktor penyebab orang tua enggan menjadi wali
sebagaimana perkara No. 12/Pdt.P/2012/PA JB.
Pada umumnya orang tua memerhatikan dengan seksama
mengenai status calon menantunya, yang menjadi pertimbangan, apakah
jejaka atau duda. Jika duda pun, masih dipertimbangkan, duda cerai atau
duda mati. Yang kerap menjadi masalah jika calon suami anak tersebut
akan menikah dengan duda cerai. Umumnya orang tua masih sulit
menerima jika calon menantunya adalah duda cerai, apalagi jika anaknya
masih gadis. Kecurigaan-kecurigaan dan kekhawatiran pasti muncul.
Apa penyebab perceraian, bagaimana jika kelak anaknya juga menjadi
korban perceraian dan lain sebagainya. Sikap ini terkadang orang tua
tidak bisa luluh, walaupun anak gadisnya telah berusaha meyakinkan
bapaknya bahwa calon suaminya adalah yang terbaik. Dan jika hati
bapak tidak bisa luluh, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan
adalah mengajuan permohonan wali ‘ad}al ke PA sebagaimana
permohonan No.68/Pdt.P/2010/PAJP.
Dari uraian di atas, jelas bahwa wali pemohon tidak
menggunakan haknya, dan berarti wali pemohon harus dinyatakan ‘ad}al,
hal ini dikuatkan juga dengan ketidakhadiran wali dalam persidangan
sebagaimana perkara No. 12/Pdt.P/2012/PAJB, dan perkara
No.68/Pdt.P/2010/PAJP. Dalam hal ini wali tersebut dinyatakan zalim,
karena penolakannya tersebut tanpa alasan yang bisa diterima syarak
berbeda halnya jika penolakan wali dikarenakan suatu alasan yang dapat
diterima syarak, maka penolakan seorang wali itu tidak menjadikannya
sebagai wali‘ad}al.
Dalam hal ini hakim memutus perkara tersebut dengan seadil-
adilnya, sebagaimana setiap putusan atau penetapan hakim harus
bernilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Secara umum
hakim telah tepat dalam memutuskan perkara wali ‘ad}al, hal ini terlihat
dari dasar dan pertimbangan hakim dengan merujuk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dilengkapi dengan pendapat para
ulama yang tertera dalam kitab-kitab fikih.
C. H{ad}an> ah dan Problematika Penyeselesaiannya
Orang tua adalah orang yang pertama yang bertangungjawab
untuk membayarkan hak-hak anak turunan mereka. Namun tidak jarang
tugas seperti itu menjadi terputus, baik atas kehendak suami istri
maupun di luar kehendak mereka. Suatu perceraian, khusus pada cerai
hidup, meskipun barangkali dengan perceraian tersebut bisa melegakan
hati kedua belah pihak, tetapi sudah pasti merupakan pengalaman pahit

105
Fatima

bagi sang anak. Dalam hukum Islam, segala kemungkinan negatif secara
teoritis telah diantisipasi, dengan menetapkan aturan-aturan mengenai
h}ad}a>nah.115
Para ulama sepakat bahwasanya hukum h}ad}a>nah, mendidik dan
merawat anak wajib.116 Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah
h}ad}a>nah menjadi hak orang tua atau hak anak. Ulama mazhab Hanafi>
berpendapat bahwa hak h}ad}a>nah itu menjadi hak pengasuh baik pria
maupun wanita, akan tetapi lebih diutamakan kepada pihak wanita.
Menurut jumhur ulama, h}ad}a>nah itu menjadi hak bersama antara orang
tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah al-Zuhayli>, hak h}ad}a>nah adalah
hak berserikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi pertengkaran, maka
yang didahulukan adalah hak atau kepentingan anak.117 Misalnya jika
terjadi perceraian antara suami istri sedangkan mereka mempunyai anak
di bawah umur, maka hak h}ad}a>nah ada di pihak ibu118selama tidak ada
suatu hal yang dapat mencegahnya.119 Perlu dicatat, keunggulan ibu ini
tidak diberlakukan untuk selamanya. Ini berlaku untuk anak-anak yang

115
Secara etimologi had}anah adalah masdar dari kata ‚h}ad}ana wa h}ud}a>nah‛,
yang artinya asuhan atau pemeliharaan. Sedangkan secara terminologi adalah
pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya, pendidikannya
serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang
membahayakannya. Lihat ‘Abd al-Rah}ma>n Al-Jazi>ri, al-Fiqh ‘ala> Madha>hib al-
Arba’ah Qiwam al-Ah}wa>l al-Shakhs}iyah, Juz. IV (Beirut : Dar> al- Fikr, 1990), 594.
Lihat juga Al-S{an’a>ni>, Subul al-Sala>m, Juz III (Kairo: Da>r Ah}ya>’ al-Tura>th al-‘Ara>bi>,
1379H/ 1960 M, 227.
116
Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal misalnya masalah
ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Dalam
konsep Islam, tanggung jawab ekonomi berada dipundak suami sebagai kepala tangga.
Meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa isteri dapat membantu
suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting
adalah kerja sama dan saling tolong-menolong antara suami-isteri dalam memelihara
anak, dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum
Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2003), 235.
117
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 293.
118
Menurut Muhammad Baqir al-Habsyi, alasan ibu lebih berhak dari pada
ayah adalah karena ibu memiliki kemampuan untuk mendidik dan memperhatikan
keperluan anak dalam usianya yang masih kecil, dan juga lebih sabar dan teliti dari
pada ayah. Di samping itu pada umumnya ibu memiliki waktu yang lebih lapang untuk
melaksanakan tugasnya tersebut dibanding dengan ayah yang memiliki banyak
kesibukan mencari nafkah. Lihat Muh}ammad Baqir al-Habshi>, Fiqh Praktis Menurut
al-Qura>n, Sunnah dan Pendapat Para Ulama (Bandung: Mizan, 2002), 237.
119
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III, (Dar> al-Fath} al-‘Ara>bi>, 1418 H/1998
M), 107. Lihat Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1418H/1997), 7298.

106
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

belum mumayyiz.120 Setelah anak mumayyiz, diserahkan kepada anak


untuk memilih siapa yang mengasuhnya.121
H{ad}anah dimulai sejak anak dilahirkan, sedangkan masa
berakhirnya ulama berbeda pendapat. Menurut Ima>m Abu> H{ani>fah, masa
h}ad}a>nah berakhir jika anak sudah mampu mengurus keperluannya
sendiri seperti makan, minum, berpakaian, dan membersihkan diri
sendiri, biasanya telah berumur 7 (tujuh) tahun bagi anak laki-laki122 dan
usia 9 tahun bagi anak perempuan.123 Ketetapan usia lebih bagi anak
wanita diharapkan agar dapat mencontoh kebiasaan yang dilakukan oleh
kaum wanita pada umumnya, termasuk ibu asuhnya.124 Alasan lainnya
adalah riwayat ‘Umar bin Khat}t}ab, bahwa Abu> Bakr menentukan ‘A<si} m
bin ‘Umar bersama ibunya selama ia belum menjadi pemuda dewasa
atau selama ibunya belum menikah lagi.125 Hal ini terjadi disaksikan
sejumlah sahabat dan tidak ada sahabat satupun menentangnya,
sehingga keputusan Abu> Bakr tersebut dinilai sebagai ijmak atau
kesepakatan.

120
Mumayyiz diperkirakan berumur sekitar 7atau 8 tahun. Pada masa
mumayyiz seorang anak telah mampu hidup mandiri yang ditandai dengan kemampuan
membedakan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan dirinya, dan telah
mampu makan, minum dan berpakaian sendiri. Lihat Satria Effendi M. Zain,
Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Kencana,2004), 222.
121
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 117.
122
Alasan mereka adalah sabda Nabi yang memerintahkan seorang anak shalat
apabila sudah mencapai usia 7 tahun. Lihat Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum
Pengangkatan Anak Perspektif Islam, 126. Baca Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m
wa Adillatuh, Juz X, 7322.
123
Pengikut mazhab Hanafi generasi terakhir menetapkan masa berakhir
h}ad}a>nah 19 (Sembilan belas) tahun untuk anak pria dan 11 (sebelas) tahun bagi anak
wanita. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian fiqh Lengkap (Jakarta:
Rajawali Press, 2009), 224.
124
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III, 114.
125
Redaksi riwayat tersebut adalah;

Lihat Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7299. Baca


keterangan selengkapnya Kamil Musa, Anak Perempuan dalam Konsep Islam (Jakarta:
Firdaus, 1994), 59.

107
Fatima

Dasar hukum golongan H{a>nafiyah ini tidak beralasan, karena


sebenarnya menentukan masa h}ad}a>nah dengan batas waktu tertentu
tidak mempunyai dasar yang benar, justru bertentangan dengan hadis
yang diriwayatkan olah Abu> Da>wu>d, dalam hadis tersebut dijelaskan
bahwa ibu lebih berhak dari pada ayah selama ibu tersebut belum
menikah.126Dalam hadis tersebut Nabi saw. tidak menentukan umur
anak yang berada dalam asuhan ibunya.127
Menurut fuqaha’ dari kalangan mazhab Ma>liki>, berakhirnya masa
h}ad}a>nah bagi anak laki-laki yaitu setelah ihtila>m (mimpi).128
Argumentasi ini didasarkan pada hadis yang diriwatkan oleh Abu>
Da>wu>d sebagaimana hadis yang telah disinggung sebelumnya.
Sebenarnya yang disabdakan Nabi saw. bersifat mutlak dan tidak ada
kaidah yang yang menentukan tahun tertentu. Menurut pendapat ini,
pengasuhan berakhir dengan datangnya masa baliqh atau dewasa, sebab
tidak ada kewalian orang tua setelah anak itu mencapai dewasa selama

126
Redaksi hadis tersebut adalah;

Berdasarkan hadis tersebut, ibu lebih berhak dari pada ayah selama ia tidak
menikah dengan laki-laki lain. Apabila ibunya menikah, peraktis hak h}ad}a>nah beralih
kepada ayahnya. Alasan yang dapat dikemukakan adalah apabila ibu tersebut menikah,
maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru,
mengalahkan atau mengorbankan anak kandungnya sendiri. Lihat Abu> Da>wu>d, Sunan
Abi> Da>wu>d, Kita>b al-T}ala>q, Ba>b Man Ah}aqqu bi al-Wa>lad, Juz II (Beirut: Da>r al-
Maktabah al-‘A<lamiyah, 1996), 707-708.
127
Fukaha Hanafiyah juga menetapkan bahwa setelah anak itu mumayyiz
sampai usia baligh, kewajiban h}ad}a>nah berpindah kepada kerabat laki-laki, dengan
pertimbangan bahwa kerabat laki-laki lebih layak untuk membimbing anak pada masa
itu. Alasan lainnya adalah ketidaklayakan anak itu sendiri untuk diberi hak
menentukan pilihan, karena anak pada umur itu akan lebih cenderung memilih tempat
di mana ia akan lebih bebas untuk berbuat sesuatu kendatipun belum tentu
menguntungkan dirinya. Oleh sebab itu masalah ini tidak layak untuk diserahkan pada
pilihan anak itu sendiri. Ketetapan fukaha Hanafiyah tersebut berlaku untuk anak laki-
laki. Sedangkan untuk anak wanita menurut Abu> Hani>fah hak pemeliharannya tetap
ditangan ibu sampai anak menikah. Lihat, Satria Effendi M. Zain, Problematika
Hukum Keluarga Islam Kontemporer, 223. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jil. III, 118.
Lihat Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7322-7324.
128
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7323.

108
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

ia berakal. Pendapat ini juga menafikan hak memilih, dengan alasan


hadis Nabi saw. yang menyatakan ‚Engkau lebih berhak selama engkau
belum menikah‛. Menanggapi pendapat tersebut, Huzaemah Tahido
Yanggo menyatakan, hadis tersebut masih dimungkinkan untuk
melakukan jam’ (metode kompromi), yaitu yang dimaksud dengan
ungkapan hadis tersebut, berlaku bagi anak yang usianya belum
memungkinkan untuk melakukan takhyi>r (memilih), dan bukan di
tujukan kepada anak yang sudah usia memilih. Hal itu diperlihatkan oleh
berbagai hadis yang memerintahkan untuk memilih.129
Berbeda dengan pendapat mazhab Ma>liki>, Ima>m al-Sha>fi’i>
berpendapat masa berakhirnya h}ad}a>nah adalah setelah usia mumayyiz
baik anak pria maupun wanita, diperkirakan usia 7 tahun atau 8 tahun
dan berakal sehat, maka dipersilahkan untuk memilih ayah atau ibunya.
Dalil yang dipergunakan pendapat ini adalah hadis Nabi saw. yang
diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah bahwa ada seorang wanita yang datang
kepada Nabi saw. dan berkata ‚Sesungguhnya suamiku ingin membawa
anakku‛. Nabi saw. bersabda ‚Ini ayahmu dan ini ibumu, maka
peganglah tangannya siapa yang engkau kehendaki.‛ Ternyata anak itu
mengambil tangan ibunya. Hadis berikutnya diriwayatkan dari Abu>
Hurayrah, ia berkata ‚Ada seorang yang datang kepada Nabi saw. dan
aku sedang duduk di sampingnya. Ia berkata, ‚Wahai Rasulullah,
sesungguhnya suamiku ingin membawa anakku. Anakku itu telah
mengambilkan air untukku dari sumur Abu> ‘Anbah. Ia telah memberiku
manfaat padaku dengan nafkah yang diberikannya. Lalu Nabi saw.
bersabda, ‚Ambillah bagian olehmu berdua padanya.‛ Suaminya berkata
‚Siapakah yang membenciku karena mengurus anakku?‛ Nabi bersabda
‚Ini ayahmu dan ini ibumu, maka peganglah tangan yang engkau
kehendaki.‛ Lalu anak itu memegang tangan ibunya, maka ibunya pun
berangkat membawanya.130
Berdasarkah hadis di atas tersebut, ketika kedua orang tua
bertengkar mengenai anaknya, maka anak diberi kesempatan untuk
memilih. Hadis tersebut difahami demikian jika anak tersebut telah
baligh atau dewasa. Anak yang baligh adalah anak yang mampu mencari
129
Huzaemah tahido Yanggo, Fiqh Anak, 110-112.
130
Redaksi hadis tersebut adalah;

109
Fatima

nafkah. Berdasarkan hadis di atas, sumur Abu> ‘Anbah itu terletak di


Madinah. Berarti tidak mungkin bagi anak yang masih kecil
mengambilkan air dari sumur Abu> ‘Anbah, sehingga yang dimaksud
dengan tawaran dalam hadis tersebut adalah tawaran memilih bagi anak
yang telah dewasa.131 Anak tersebut bebas memilih siapa yang
disenanginya. Apakah ia senang tinggal bersama ibunya atau bersama
ayahnya.132
Menurut Ahmad bin Hanbal, hak h}ad}a>nah berakhir sampai anak
berumur 7 tahun untuk anak laki-laki. Jika anak laki-laki sudah
mencapai usia tersebut, maka diperkenankan untuk memilih antara
kedua orang tuanya.133 Jika anak tersebut wanita, maka ayahnya lebih
berhak dan tidak diperkenankan untuk memilih. Anak wanita di usia 7
tahun tidak diberi hak untuk memilih dan ayahnya lebih berhak dari
pada ibunya. Alasannya adalah bahwa yang dimaksud h}ad}a>nah adalah
menjaga dan pemeliharaannya. Demi menjaga dan memelihara anak
wanita setelah 7 tahun, ayah sangat diperlukan karena ayah lebih utama
dan lebih mampu untuk keperluan tersebut. Anak wanita setelah usia 7
tahun, ia telah mendekati kelayakan untuk dinikahkan. Ia dilamar oleh
calon suaminya, dan ia pun lebih mengetahui karakteristik calon suami
yang hendak dinikahi putrinya kufu (ada kecocokan) atau tidak.134
Memerhatikan pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa
ada sebagian ulama yang membedakan usia anak laki-laki dan anak
wanita dalam masa berakhirnya h}ad}a>nah dan tidak diperkenankan untuk
menentukan pilihan. Sebagian ulama yang lain menentukan usia
mumayyiz yang menjadikan ukuran masa berakhirnya h}ad}a>nah dan
dipersilahkan untuk menentukan pilihan ibu atau ayahnya. Alasan ulama
membedakan usia anak wanita lebih lama di bawah pengasuhan ibu dari
pada anak laki-laki adalah karena anak wanita lebih baik dibiarkan lebih
lama bersama ibunya, agar ia dapat meniru perilaku kaum wanita, dan
beraklak seperti akhlak wanita, di samping mengenal lebih banyak
segala pekerjaan yang biasa dikerjakan di rumah. Berbeda dengan anak
pria, seandainya anak pria dibiarkan selalu bersama ibunya, maka ia
akan berperilaku seperti perilaku wanita dan ini berbahaya.135

131
Huzaemah tahido Yanggo, Fiqh Anak, 113.
132
Zakariyah Ahmad Al- Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, trans.
Chadidja Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 63.
133
Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X, 7323.
134
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqh Anak, 115.
135
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqh Anak, 109.

110
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Al-Qur’an dan hadis tidak menjelaskan secara tegas tentang


masa h}ad}a>nah, sehingga para ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam
menetapkan masa h}ad}a>nah dengan berpedoman pada isyarat-asyarat
yang ada sebagaimana yang dijelaskan di atas. Ijtihad mengenai masa
berakhirnya h}ad}a>nah juga terlihat di beberapa undang-undang hukum
keluarga di dunia Muslim misalnya hukum keluarga di Mesir, dalam
status hukum perorangan (personal status law) menetapkan bahwa istri
memiliki hak untuk mengasuh anak pria hingga berumur 10 tahun dan
12 tahun untuk anak wanita. Setelah habis masa pengasuhan, hakim
dapat memerintahkan bahwa anak yang dalam pengasuhan tetap pada
ibu tanpa adanya upah hingga berusia 15 tahun bagi anak pria, dan
setelah menikah bagi anak wanita. Demikian ini jika hakim yakin
kemaslahatan anak akan terpenuhi. 136
Kemaslahatan anak semestinya lebih diprioritaskan, di Syiria
misalnya, menyerahkan hak asuh kepada orang tuanya yang lebih
mampu memerhatikan dan memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Masa
pengasuhan anak dalam Undang-undang Syiria dirumuskan, untuk anak
pria sampai usia 7 tahun, bagi anak wanita berusia 9 tahun. Meskipun
demikan, jika hakim melihat ada kemaslahatan, maka ia dapat
menambah masa pengasuhan anak masing-masing anak selama 2 tahun.
Yaitu bagi anak pria dapat memperpanjang hingga berusia 9 tahun dan
anak wanita hingga 11 (sebelas) tahun.137
Kuwait tidak jauh keluar dari fikih klasik dalam masalah
h}ad}a>nah yaitu mengutamakan hak h}ad}a>nah pada ibu. Mengenai masa
h}ad}a>nah Undang-undang Kuwait lebih cenderung kepada pendapat
Ima>m Ma>lik yaitu masa pengasuhan anak berakhir pada usia baligh
untuk anak laki-laki dan bagi anak wanita berakhir di saat memasuki
jenjang perkawinan.
Hukum keluarga Tunisia ‚Tunisian Code of Personal Status
1958‛ rupanya masih berpegang teguh pada pendapat ulama fikih,138
akan tetapi keutamaan pemeliharaan anak lebih cenderung
mengakomodir kemaslahatan anak, ketimbang pendapat fuqaha’.
Mengenai gugur atau dicabutnya pemeliharaan anak, undang-undang ini
tidak menyebutkan secara tegas, tampaknya diserahkan kepada
136
Pasal 20 Undang-undang Nomor 100 tahun 1985.
137
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam, 142-143.
138
Seperti bunyi Pasal 57 menyebutkan, bahwa selama perkawinan anak
dirawat kedua orang tuanya, jika terjadi perceraian atau meninggal dunia, hak
pemeliharaan anak secara berturut diberikan kepada ibu dan nasab ibunya.

111
Fatima

pertimbangan pengadilan. Masa pengasuhan berakhir pada usia 7 tahun


untuk anak pria dan 9 tahun, selanjutnya ayah dapat mengambil alih hak
pemeliharaan anak, kecuali adanya keputusan pengadilan yang
berkehendak lain berdasarkan kepentingan anak.139
Di Indonesia, UUP sampai saat belum mengatur secara khusus
tentang h}ad}a>nah bahkan dalam PP No. 9 Tahun 1975 tidak mengatur
secara luas dan rinci, sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para
hakim masih menggunakan kitab-kitab fikih. Barulah setelah
diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UU
No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang
Penyebaran KHI. Masalah h}ad}a>nah masuk dalam hukum positif di
Indonesia, dan PA diberi wewenang untuk memeriksa dan
menyelesaikannya.140 Kendati demikian, secara global sebenarnya UUP
telah memberi aturan pemeliharaan anak yang dirangkai dengan
putusnya sebuah perkawinan.141 Aturan tersebut terdapat dalam pasal 41
manyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan
memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri.
Dalam penjelasan di atas, terdapat perbedaan tanggung jawab
pemeliharaan yang bersifat material, dan tanggung jawab pengasuhan.
Ketentuan Pasal 41 tersebut lebih memfokuskan kepada kewajiban dan
tanggung jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami
bila mampu, bila dalam kenyataannya suami tidak mampu pengadilan
139
Lihat Pasal 67 Code of Personal Status1958.
140
Abdul Manan, ‚Problematika h}ad}a>nah dan Hubungannya dengan Peraktik
Hukum Acara di Peradilan Agama‛, dalam Mimbar Hukum Nomor 49, Tahun, 2000.
69.
141
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 298-299.

112
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

dapat menentukan lain. Mengenai usia anak dalam pengasuhan Pasal 47


menyebutkan;
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di
dalam dan di luar pengadilan.
KHI mengatur secara rinci mengenai h}ad}a>nah di antaranya
terdapat pada pasal 98 dan 105. Berikut redaksi pasal 98;
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21
tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar pengadilan.
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya meninggal.
Pasal 98 poin (1) menjelaskan bahwa anak yang bisa diurus atau
diasuh adalah anak yang usianya di bawah 21 tahun dengan kata lain,
anak tersebut belum menikah atau usia matang. Pada poin selanjutnya
menjelaskan bahwa orang tualah yang harus menjadi tanggung jawab
anak tersebut selama anak tersebut belum mandiri. Poin (2) ini bila
diperhatikan secara seksama, tidak mewajibkan secara mutlak bahwa
pertanggungjawaban hanya dibebankan hanya kepada orang tua, akan
tetapi bisa dibebankan kepada orang lain yang mampu mengurus
anaknya. Berikutnya pada poin (3) dengan tegas menyatakan bahwa,
pengadilan dapat menunjuk kerabat atau orang yang mampu yang bisa
menggantikan orang tua yang tidak mampu menjalankan kewajibannya
terhadap anak yang masih berada dalam tanggungannya.142
UUP dan KHI sama-sama mengatur tentang batas usia anak
dalam perwalian, walaupun berbeda angka.143 UUP menyaratkan

142
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Islam (Bandung:Pustaka al-Fikriis, 2009), 118-119.
143
Berdasarkan hukum yang berlaku, usia kedewasaan seorang anak berbeda
antara Undang-undang yang satu dengan Undang-undang lainnya misanya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 330 ayat (1) batas usia dewasa
dengan telah dewasa adalah usia 21 tahun, atau di bawah 21 dan telah menikah. Dalam
Undang-undang Nomor 3 tahun 1977 tentang Peradilan Anak, Pasal 4 ayat (1)
menjelaskan bahwa anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah
sekurang-kurangnya 8 tahun, tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah

113
Fatima

sebelum berumur 18 tahun, sedangkan KHI membatasi pada umur 21


tahun. Yang jelas pembatasan usia 21 tahun atau telah kawin ditentukan
berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan kemandirian anak. Secara
metodologis penetapan angka 21 itu menggunakan motode istis}lah} atau
mas}lah}ah mursalah.144
Pasal 105 KHI menjelaskan jika antara suami-istri terjadi
perceraian maka ketentuannya adalah:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 105 poin (a) KHI menjelaskan bahwa ibu mendapat
prioritas utama dalam pengasuhan selama anak tersebut belum
mumayyiz, yaitu di bawah umur 12 tahun. Setelah mumayyiz anak
diberi pilihan untuk memilih ayah atau ibunya. Pada poin selanjutnya
ditegaskan bahwa semua biaya pemeliharaan anak dibebankan kepada

kawin. Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak


menetapkan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Konvensi Hak Anak PBB diratifikasi
oleh pemerintah Indonesia melalui Keppers Nomor 36 tahun 1990 bahwa anak adalah
manusia yang berusia dibawah 18 tahun. Pada Undang-undang Nomor. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) membedakan usia anak laki- laki da perempuan
dalam melangsungkan perkawinan. Anak lak-laki berusia 19 tahun dan anak perempuan
berusia 16 tahun. Jika sudah menikah maka status anak dianggap gugur. Pada Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pengadilan Agama, batasan usia anak adalah 16
tahun ke atas. Sedangkan menurut Undang-undang Kesejahteraan Keluarga Tahun
1974, batasan usia anak 21 tahun dan belum menikah.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa batas usia anak di
hadapan hukum berbeda-beda tergantung kepada kepenting hukum dari anak yang
bersangkutan. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui secara pasti aspek-
aspek yang menyebabkan pertanggungjawaban dalam diri anak, yang meliputi
kewenangan bertanggungjawab kepada anak, kemampuan untuk melakukan peristiwa
hukum, pelayanan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana serta proses
pemeliharaan dalam pembinaan efektif terhadap diri seorang anak. Lihat Hardius
Usman dan Nachrowi Djalal Nachrowi, Pekerja Anak di Indonesia: Kondisi
Determinan dan Eksplorasi (Kajian Kuantitatif) (Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2004), 9-10
144
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, 306.

114
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

ayahnya,145 meskipun bisa jadi ibunya lebih mampu. Dalam hal ini KHI
tidak menjelaskan tentang status ibunya.
Perlu difahami bahwa pemeliharaan anak sebagaimana Pasal 105
poin (a) KHI tidak serta merta berada di pihak ibunya. Adakalanya
hakim memutuskan berlainan dengan ketentuan tersebut. Hal ini bisa
saja terjadi tatkala hakim melihat dan mempunyai pertibangan lain
bahwa ayahnya lebih tepat dari pada ibunya.146 Misalnya dalam kasus
(Alm) Aji Masa’id dan Reza. Seharusnya menurut ketentuan, Reza
memiliki hak mengasuh anaknya, karena anaknya masih di bawah umur
pada waktu itu. Akan tetapi hakim berpandangan lain sehingga Aji
Masa’id menjadi hak asuh bagi kedua putrinya.
Begitu pula kasus Tamara Blezyinki dengan Teuku Rafly Pasya
dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 349K/AG/2006 tanggal 3
Januari 2007 mengenai kasus perceraian, di mana salah satu amar
putusannya menetapkan pengasuhan anak bernama Rassya Isslamay
Pasya berada dalam pengasuhan ayahnya. Hal tersebut memberikan
corak hukum tersendiri dalam memberikan pertimbangan hukum
pengasuhan anak di luar dari yang telah ditetapkan KHI.147 Beberapa
permasalahan yang muncul di luar jangkauan Pasal di atas adalah
pertama, pengasuhan anak ketika orang tuanya bercerai yang disebabkan
pihak istri kembali ke agamanya semula (murtad). Kedua, kemungkinan
adanya penyimpangan terhadap ketentuan tertulis tentang pengasuhan
anak. Melihat kejadian tersebut pendidikan dan kesejahteraan anak

145
Ketentuan ini didasarkan kepada QS. al-Baqarah ayat 233 yaitu:

146
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Islam, 121-122.
147
Sugiri Permana, ‚Paradigma Baru dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh
Anak Pada Peradilan Agama‛, 3. Di akses melalui
http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/ pada tanggal 10 juni 2012.

115
Fatima

harus diutamakan, cara yang baik dan paling sesuai dengan keadaan
anak harus diutamakan.148
Perlu dicermati pula Pasal 105 poin (a) dalam masalah mumayyiz
atau belum mumayyiz adalah bukan terfokus pada titik sentral usia
seseorang, tetapi titik sentralnya adalah terkait dengan kecerdasan anak
itu sendiri. Boleh jadi amatan para perumus KHI, anak-anak di
Indonesia baru dapat membedakan atau sudah mampu mengeluarkan
pendapatnya setelah usia 12 tahun.
Hak memilih dalam h}ad}a>nah jika dikaitkan dengan tingkat
kecerdasan seorang anak, maka sengketa hak asuh anak dapat dengan
mudah diselesaikan dengan meminta pendapat anak tersebut meskipun
belum mencapai usia 12 tahun, dengan terlebih dahulu meminta
pendapat psikolog untuk menditeksi kecerdasan anak tersebut. Jadi
angka 12 tahun sebenarnya bukan angka yang paten.
Pada praktiknya anak yang umur 9 atau 10 tahun hakim
memerintahkan kepada pihak yang berperkara untuk menghadirkan anak
mereka untuk didengar pendapatnya. Mumayyiznya seorang anak tidak
ditentukan dengan umur, karena anak di Indonesia di bawah umur 12
tahun sudah dapat dikatakan mumayyiz, bahkan tak jarang baik hakim
maupun pihak yang berperkara mendatangkan sendiri seorang ahli
psikolog baik untuk menentukan apakah anak tersebut dengan
kecerdasannya sudah dianggap mumayyiz atau tidak.149 Hal ini sesuai
dengan pasal 10 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
menyatakan, ‚Setiap anak berhak mengatakan dan didengar

148
Ibn Qayyim menerangkan, bahwa Ibn Taymiyyah memberi contoh, ada
sepasang ibu dan ayah yang telah bercerai merebutkan hak asuhnya di muka hakim,
kemudian hakim memerintahkan anak tersebut untuk memilih ayah atau ibunya. Anak
tersebut memilih ayahnya, tetapi ibunya kurang puas dan memohon kepada hakim
untuk menanyakan kepada anaknya alasan memilih ayahnya. Hakim kemudian
menayakan kepada anak tersebut, anak tersebut menjawab, bahwa ibunya setiap hari
menyuruhnya untuh pergi mengaji, menulis, sedangkan gurunya sangat keras, ia sering
dipaksa belajar bahkan sering pula dipukul. Sedangkan ayahnya sangat sayang
kepadanya, beliau membiarkan anak tersebut bermain sesuka hati. Setelah mendengar
keterangan anak tersebut, maka hakim memutuskan bahwa anak tersebut berada dalam
pengasuhan ibunya. Hal ini menunjukkan bahwa hakim dapat melihat hal ihwal anak
tersebut, kemudian menetapkan keputusan yang terbaik untuk anak tersebut. Lihat
Zakariyah Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, 62-64.
149
Wawancara pribadi dengan Tamah (hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan), pada tanggal 23 Mei 2012.

116
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

pendapatnya, menerima, dan memberi informasi sesuai dengan tingkat


kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-
nilai kesusilaan dan kepatutan‛. Kendatipun seorang anak sudah
menentukan hak h}ad}a>nahnya, misalnya seorang anak memilih ibunya,
bukan berarti seorang ayah tidah punya hak terhadap anaknya. Ayah
diberikan akses untuk melihat, menjenguk, bermusyawarah dalam
menentukan pendidikan anak.150
Untuk mengetahui beberapa contoh kasus terkait dengan putusan
hak asuh anak atau h}ad}a>nah, penulis mengoleksi beberapa putusan yang
akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Berdasarkan temuan penulis,
putusan yang diterima PA menganai h}ad}a>nah untuk wilayah DKI
Jakarta dalam kurun waktu 2010-2011 sudah mencapai 46 kasus.
Sedangkan yang sudah diputus berjumlah 38 kasus dengan rincian
sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel: 4.5.
Perkara H}ad}a>nah yang diterima dan diputus Pengadilan Agama
DKI Jakarta Tahun 2010-2011
No Pengadilan Agama DKI Perkara Di Perkara
Jakarta terima Diputus
1 Jakarta Utara 5 5
2 Jakarta Selatan 23 17
3 Jakarta Timur 10 10
4 Jakarta Pusat 7 6
5 Jakarta Barat 1 -
Jumlah 46 38

Sumber: Pribadi dari Laporan Tahunan Peradilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-
151
2011.

150
Hal ini sesuai bunyi Pasal 59 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi; (1).Setiap anak berhak untuk tidak
dipisahan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anaknya sendiri,
kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa
pemisahan itu demi kepentingan terbaik bagi anak. (2). Dalam keadaan sebagaimana
yang dimaksud ayat (1) hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan
pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.
Penjelasan selanjutnya lihat Saprudin, ‚Khadanah dan Problematika Penyelesaiannya‛,
6. diakses pada tanggal 10 juni 2012 melalui http://www.badilag.net/artikel/
151
Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta
Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat
pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach

117
Fatima

Dari 38 putusan h}ad}a>nah mayoritas putusan tersebut bersamaan


dengan kasus gugat cerai, namun demikian ada pula putusan yang murni
kasus h}ad}a>nah sebagaimana beberapa contoh putusan yang yang akan
dijelaskan berikut ini.

- Deskripsi Duduk Perkara dan Amar Penetapan H}ad}an> ah


Pada pinsipnya baik ibu maupun bapak diberi hak yang sama
untuk melakukan pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak-anaknya
setelah terjadi perceraian.152 Apabila terjadi perselisihan tentang hak
asuh anak tersebut, maka persoalan tersebut diserahkan kepada
pengadilan, sesuai Pasal 41 (a) Undang-undang perkawinan yang
menyatakan bahwa ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai pengusaan anak-anak Pengadilan
memberi keputusan. Pengadilanlah yang harus memilih atau menetapkan
siapa di antara kedua orang tersebut yang berhak melaksanakan
pemeliharaan. Untuk itu Pengadilan harus memeriksa dengan teliti siapa
di antara mereka yang lebih baik mengurus kepentingan anak tersebut.
Masalah mengenai hak asuh anak setelah perceraian kedua orang
tuanya kerap memposisikan hakim peradilan Agama tak ubahnya
sebagai corong Undang-undang. Hakim melaksanakan tugasnya sebagai
penegak hukum mengeluarkan putusan berdasarkan undang-undang yang
berlaku seperti kasus Putusan Nomor 1784/Pdt.G/2011/PAJS, di mana
antara Penggugat (Istri) dan Tergugat (Suami) telah melangsungkan
pekawinan pada tanggal 04 Februari 2005 sesuai dengan Kutipan Akta
Nikah (bukti P.1). Selama dalam pernikahan tersebut Penggugat dan
Tergugat dikaruniai seorang anak perempuan yang berumur 6 tahun
sesuai kutipan Akta Kelahiran pada tanggal 18 Februari 2005 (bukti
P.2).

Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. LIihat Ujang Mukhlis,
‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan
Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30
Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).
Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat
Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011.
152
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. 1, (Medan: Zahir
Trading, 1975), 161.

118
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Keharmonisan rumah tanggga Penggugat dan Tergugat tidak


berlangsung lama, karena sejak awal menikah ketentraman Penggugat
dan Tergugat mulai goyah. Perselisihan dan pertengkaran kerap kali
terjadi, penyebabnya antara lain adalah adanya ketidakcocokan dan
perbedaan persepsi Penggugat dan Tergugat dalam membangun rumah
tangga, Tergugat malas bekerja bahkan sejak menikah sampai perkara
ini diajukan Tergugat tidak pernah memberikan nafkah lahir kepada
Penggugat. Bukan itu saja Tergugat mempunyai sifat kasar, pemabuk,
dan ringan tangan terhadap Penggugat. Selain itu Tergugat juga
mempunyai hubungan dengan wanita lain sejak bulan Mei tahun 2011.
Berdasarkan alasal-alasan di atas penggugat dalam petitumnya
memohon kepada majelis hakim PA Jakarta Selatan untuk mengabulkan
gugatan Penggugat, karena kehidupan rumah tangga Penggugat dan
Tergugat selalu diwarnai pertengkaran dan perselisihan terus menerus,
sehingga tujuan perkawinan sebagaimana yang di atur dalam Pasal 1
Undang-undang perkawinan tidak dapat tercapai. Selain itu Penggugat
memohon kepada majelis hakim agar menjatuhkan putusan dengan
menetapkan anak Penggugat dan Tergugat yang masih di bawah umur
berada dalam pemeliharaan Penggugat.
Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang dengan
menghadirkan bukti-bukti, baik bukti tertulis maupun para saksi yang
menguatkan isi gugatan Penggugat, maka berdasarkan fakta di
persidangan majelis hakim memutuskan yang dalam amar putusannya
menyebutkan hal-hal sebagai berikut.
1. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek
2. Menjatuhkan talak ba’in sughra Tergugat terhadap Penggugat
3. Menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak h}ad}a>nah atau
pemeliharaan anak Penggugat dan Tergugat.153
Penetapan pemeliharaan anak atau h}ad}a>nah berdasarkan Pasal
105 KHI tidak mutlak diterapkan, jika terbukti ibu kandung anak
bersangkutan tidak menjalankan kewajiban sepenuhnya sebagai ibu,
sedangkan ayah kandung terbukti telah memelihara anak yang membuat
anak hidup lebih tenang dan tentram serta lebih menjamin kebutuhan
rohani dan jasmani anak maka pemeliharan anak dapat peralih pada
ayahnya sebagaimana kasus Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT.
Pada kasus ini Penggugat (Suami) dan Tergugat (Istri) adalah suami istri
yang menikah pada tahun 1994 dan bercerai pada tanggal 06/05/2008 di

153
Dokementasi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor
1784/Pdt.G/2011/PAJS.

119
Fatima

Pengadilan Agama Jakarta Timur dan telah mempunyai kekuatan hukum


tetap. Dari hasil perkawinan tersebut Penggugat dan Tergugat dikarunia
dua orang putra. Putra pertama lahir pada tanggal 4 Desember 1994 dan
anak kedua lahir pada tanggal 15 April 2001. Pasca peceraian sesuai
dengan surat putusan hakim Pengadilan Jakarta Timur, kedua anak
Penggugat dan Tergugat berada dalam pemeliharaan Tergugat selaku
ibu kandungnya, namun berjalannya waktu kedua anak tersebut
ditelantarkan dan tidak di urus sebagaimana mestinya oleh Tergugat.
Bukan itu saja, Tergugat memberikan contoh yang tidak baik terhadap
kedua anaknya dengan melakukan tindakan asusila dengan seorang pria
yang bergelar Kapten. Atas tindakan tersebut Tergugat tertangkap basah
(di grebek) oleh anggota Personil Pam Ops Den Ma Dam Jaya dan wakil
RT setempat pada tanggal 18 Juni 2008 pukul 15.30 WIB.154
Saat perkara ini diajukan Tegugat dalam proses pemecatan dari
satuan Den Ma Dam Jaya. Maka untuk menjaga psikologi dan
menyelamatkan masa depan anak Penggugat dan Tergugat, Penggugat
memohon kepada majelis hakim PA Jakarta Timur untuk mengambil
alih pemeliharaan kedua anak tesebut kepada Penggugat.
Berdasakan deskripsi kasus di atas, majelis hakim PA Jakarta
timur mengeluarkan putusan yang dalam amar putusan tersebut
mengbulkan pemeliharaan hak asuh anak berada di bawah pengasuhan
Penggugat dengan pertimbangan dan dasar hukum sebagaimana
keterangan di bawah ini.
- Dasar dan Petimbangan Hakim dalam Putusan H}ad}a>nah
Terhadap Putusan Nomor 1784/Pdt.G/2011/PAJS. Majelis hakim
menilai bahwa antara Penggugat dan Tergugat terbukti telah terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus dan tidak dapat
diharapkan hidup rukun kembali. dengan demikian berarti alasan
perceraian sebagaimana penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf (f) UU No.1
tahun 1974 jo. pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah tahun 1975 jo.
pasal 116 huruf (f) KHI telah terbukti adanya. Apabila perkawinan
diteruskan, maka tujuan perkawinan sebagaimana Pasal 1 UU No. 1
tahun 1974 jo. Pasal 3 KHI tidak tercapai. Oleh karena itu pengadilan
berpendapat bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat harus
diceraikan sesuai bunyi pasal 70 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun
1989 yang telah di rubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan
kedua dengan UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama gugatan
tersebut harus dikabulkan. Majelis hakim menilai perceraian tersebut

154
Dokumentasi Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT.

120
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

putusan yang paling tepat dan memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah
pihak, karena apabila perkawinan tersebut tidak diceraikan, maka
perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat makin
berkelanjutan yang mengakibatkan semakin berat beban penderitaan
lahir dan batin kedua belah pihak.
Dalam hal pemeliharaan hak asuh anak yang belum mumayyiz,
hakim meggunakan pasal 105 huruf (a) KHI dan Pasal 2 huruf (b) UU
No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak155sebagai dasar
penetapan hak pemeliharan anak di bawah kekuasaan Penggugat demi
kepentingan yang terbaik untuk anak.156
Pelaksanaan hak asuh anak, baik oleh ibu ataupun ayahnya, harus
disertai oleh jaminan keselamatan jasmani dan rohani seorang anak
meskipun biaya kehidupan anak telah tercukupi. Apabila pemegang hak
asuh anak, baik ayah maupun ibunya, ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, maka kerabat yang bersangkutan
dapat meminta kepada Pengadilan Agama untuk memindahkan hak asuh
anak tersebut kepada kerabat lain yang mempunyai hak asuh.157
Sebagaimana kasus Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT seharusnya
hak asuh anak diberikan pada ibunya sesuai pasal 105 huruf (a) KHI.
Bedasarkan bukti-bukti di persidangan menunjukkan bahwa Tergugat
selaku ibu kandungnya tidak layak untuk untuk menerima hak asuh
dikarenakan Tergugat tidak memberikan perhatian dan kasih sayang
terhadap anak-anaknya, belum lagi tindakan asusila Tergugat yang
sering kali memberikan contoh yang tidak baik kepada anaknya hal ini
tentunya akan mempengaruhi perkembangan jiwa seorang anak.
Masalah h}ad}a>nah tergantung fakta-fakta dipersidangan, tidak
hanya mendengarkan keinginan orang tuannya, akan tetapi pendapat
anak harus didengar dalam persidangan. Dari hasil wawancara penulis
dengan beberapa hakim Pengadilan Agama DKI Jakarta diantanya Rizal,
salah seorang hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Menuturkan

155
Pasal 2 Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: (a) non diskriminasi, (b)
kepentingan yang terbaik bagi anak (c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan (d) penghargaan terhadap pendapat anak.
156
Dokumentasi Putusan Nomor 1784/Pdt.G/2009/ PAJS.
157
Dadang Sukandar, ‚Hak Asuh Anak Ketika Orang Tuanya Bercerai‛,
diakses pada tanggal 2 September 2012 melalui
http://hukum.kompasiana.com/2012/04/13/hak-asuh-anak-ketika-orang-tuanya-
bercerai/

121
Fatima

bahwa dalam salah satu kasusnya beliau pernah menghadirkan anak


yang berumur 6 tahun di persidangan untuk milih salah satu dari kedua
orang tuanya. Dalam hal ini hakim tidak terpaku atau bahkan dapat
mengenyampingkan pasal 105 huruf (a) dan (b) KHI demi melindungi
hak anak hakim harus mendengarkan pendapat anak.158
Menurut pandangan penulis dalam beberapa kasus tentang hak
h}ad}a>nah terkadang hakim menjadi corong undang-undang sebagaimana
Putusan Nomor 1784/Pdt.G/2011/PAJS. Di satu sisi hakim dapat juga
melakukan terobosan hukum dengan jalan ijtihad sebagaimana yang
diterapkan hakim dalam kasus Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT.
Karena sebenarnya tugas seorang hakim dalam menangani suatu perkara
disatu pihak mempunyai kebebasan, dipihak lain mempunyai keterkaitan
terhadap peraturan perundang-undangan yang belaku. Kebebasan yang
dimiliki tidak harus selalu mengikuti bunyi undang-undang. Sesuai UU
No. 14 Tahun 1970 yang telah diamandemen dengan UU No. 23 Tahun
1999 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim dalam memeriksa dan
mengadili suatu perkara untuk menggali nilai-nilai yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat untuk dapat diterapkan.
Berdasarkan analisis yang penulis uraikan di atas, penulis
berkesimpulan bahwa keputusan majelis hakim telah memenuhi nilai-
nilai keadilan hukum baik bagi Penggugat, Tergugat dan kemaslahatan
anak itu sendiri. Namun satu hal yang menjadi catatan di sini adalah
mengenai hak nafkah anak. Biasanya dalam satu dua tahun setelah
kedua orang tuanya bercerai, hak nafkah anak lancar, namun selang
beberapa tahun, karena mungkin mantan suaminya sudah menikah lagi
dan bahkan punya anak, anak tersebut terlantar kemudian istri mau
menuntut misalnya mau menyita, sedangkan untuk menyita diperlukan
biaya yang cukup banyak dan waktu yang lumayan lama. Di sinilah
mungkin harus ada aturan khusus tentang masalah ini.159 Terlepas dari
hal tersebut, Putusan Pengadilan Agama sudah memenuhi nilai-nilai
kegunaan dan kepastian hukum. Untuk itu setiap putusan yang akan
dijatuhkan hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan perkara harus
memerhatikan tiga hal yang esensial yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum.160
158
Wawancara dengan M. Rizal, hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Kamis 18 Juli 2012.
159
Wawancara dengan M. Rizal, hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Kamis 18 Juli 2012.
160
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama (Jakarta: Kencana, 2005), 291.

122
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

D. Hak Waris Anak: Antara Kodifikasi dan Reformasi


Pembagian harta pusaka yang dalam fikih dikenal dengan harta
waris161 merupakan fenomena yang belum tuntas dan selalu mengundang
polemik. Dikatakan demikian karena dengan waris, sebagian orang
cenderung meraguka agama sebagai pioner pemberantas ketidakadilan.
Agama dinilai tidak memerhatikan supremasi (kekuatan) budaya yang
berkembang di tengah masyarakat.162
Hukum waris dalam Islam mendapat perhatian besar, karena sering
menimbulkan perselisihan dalam keluarga untuk merebutkan harta
peninggalan pewarisnya. Kenyataan demikian sudah ada dalam sejarah
umat manusia hingga sekarang ini. Hal ini terbukti terjadinya berbagai
macam gugat waris di pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun
Pengadilan Negeri.163
Turunnya surah al-Nisa>’ Ayat 11 dan 12164 merupakan refleksi
sejarah materialistis umat manusia di samping sebagai rekayasa sosial

161
Dalam KHI dinyatakan bahwa ‚hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggakan (tirkah) pewaris,
dengan menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing. Menurut Muhammad Amin Suma dalam bukunya Hukum Keluarga
Islam di Dunia Islam merumuskan, hukum waris adalah hukum yang mengatur
peralihan pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris,
mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksakan. Lihat KHI
bab II Pasal 171 (a). Lihat Muhammad Amin suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005), 108.
162
Abu Yazid, ed. Fiqh Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana
Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 312.
163
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), 356.
164
Berdasarkan su>rah an-Nisa>’ tersebut, bagian yang didapat oleh laki-laki dan
wanita terdapat dua bentuk pertama, laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau
dua kali lipat dibandingkan dengan wanita dalam kasus yang sama yaitu anak laki-laki
dan anak wanita, saudara laki-laki dan wanita. Sedangkan duda mendapat dua kali
bagian yang diperoleh oleh janda yaitu ½ banding ¼ bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan ¼ banding 1/8 bila pewaris meninggalkan anak.laki-laki Kedua, mendapat
jumlah yang sama dengan wanita, seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat 1/6 dalam
keadaan pewaris meninggalkan anak kandung. Begitu pula saudara laki-laki dan wanita
sama-sama mendapat 1/6 dalam kasus pewaris adalah seseorang yang tidak memiliki
ahli waris langsung.

123
Fatima

terhadap sistem hukum yang berlaku di masyarakat Arab Pra Islam.165


Di mana seorang wanita tidak berhak menerima warisan.
Penggunaan redaksi di awal surah al-Nisa>’
ayat 11 ini menegaskan, bahwa wanita mempunyai hak mendapatkan
warisan tidak seperti zaman jahiliyah.166 Dalam penggalan ayat di atas
menjelaskan tentang pewaris anak-anak yang ditinggal si manyit jika
terdiri dari anak pria dan anak wanita secara bersamaan, maka prinsip
pembagiannya adalah 2:1167 (dua banding satu),168 untuk anak pria
berapapun jumlah anak yang ditinggalkan.169Al-Zamah{shari> -seorang
mufassi>r bermazhab Mu’tazilah- dan al-Ra>zi>, menyebutkan alasan
penyebutan pria didahulukan dan penerimaan dua kali lipat170 dari
bagian yang diterima wanita menunjukkan keutamaan pria atas
wanita.171
‘Illat dan hikmah dalam penerimaan pria 2:1 dari wanita para
mufassi>r mengemukakan pendapat yang beragam, misalnya al-Ra>zi
165
Pada masa jahiliyah wanita tidak mendapatkan warisan, surah al-Nisa>’ ayat
11-12 menjadi dasar hukum waris, diturunkan untuk menjawab tindakan sewenang-
wenangan saudaranya Sa’ad Ibn al-Ra>bi> yang ingin menguasai kekayaan Sa’ad yang
tewas di medan peperangan. Sebagaimana bunyi hadis di bawah ini:

Lihat Al-Nawa>wi>, al-Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>li>m al-Tanzi>l, Juz 1 (Semarang:


Usaha Keluarga, t.th.), 141-142. Alyasa Abu bakar, Ahli waris Pertalian Darah: Kajian
Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab, (Jakarta: INIS,
1998), 117.
166
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 2 (Ciputat: Lentera Hati, 2000),
343.
167
Selanjutnya di tulis 2:1
168
Abu>> Ja’far Muh}ammad bin Jari>r al-T{abra>ni>, Tafsi>r al-T{abra>ni>, (eds). Besus
Hidayat, Vol. 6 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 532.
169
Ibn al-‘Ara>bi>, Ah}ka>m al-Qur’a>n, Jil. 1, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1408 H/1988 M), 435.
170
Selanjutnya di tulis 2:1 (dua banding satu).
171
Al-Zamah{shari>, al-Kashshaf, Jil. 1, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1415 H/1995 M), 469. Lihat Fakhruddi>n Al-Ra>zi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r wa al-Mafa>tih al-
Gha’i>b, Jil. V (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), 214.

124
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

berpendapat, bahwa illat dan hikmah yang terkandung dalam pembagian


pria 2:1 dari wanita adalah Pertama, wanita lebih sedikit keluar rumah
karena suaminya yang berkewajiban memberikan nafkah kepadanya,
sementara pria lebih sering keluar rumah untuk mencari nafkah bagi
istrinya, maka orang yang lebih sering keluar rumah tentunya lebih
banyak kebutuhan terhadap harta.172 Kedua, pria lebih sempurna akal
dan agamanya dari pada wanita misalnya, kecakapan sebagai hakim dan
pemimpin, juga kesaksian wanita adalah separuh dari kesaksian pria,
karena itu wajar jika pemberian pria lebih banyak dari pada wanita.
Ketiga, wanita pendek akal dan besar keinginan nafsunya, sehingga jika
kepadanya diserahkan harta yang banyak akan berpotensi besar akan
menimbulkan kerusakan.173 Keempat, pria akalnya lebih sempurna,
maka secara otomatis hartanya digunakan kepada hal-hal yang berfaidah
baik dunia dan akhirat seperti, menolong orang teraniaya, anak yatim
dan lainnya.174
Argumen yang sama di kemukakan oleh al-’Alu>si>, menurutnya,
alasan wanita menerima warisan lebih sedikit dari pria, dikarenakan
wanita kurang dalam akal, agama, serta nafsu mereka lebih besar
sehingga harta mereka sering kali melakukan kesalahan dalam
mengelola hartanya. Selain itu kebutuhan wanita terhadap harta lebih
sedikit dibandingkan pria, kerena yang berkewajiban mencari nafkah
adalah pria.175
Menurut Rashi>d Rid{a>, hikmah dalam pembagian waris 2:1 untuk
pria dan wanita adalah karena kewajiban seorang pria lebih berat dari
pada wanita, kalau seorang pria menikah, ia berkewajiban membayar
mahar, biaya nafkah baik untuk dirinya sendiri maupun untuk istri dan
anaknya. Sementara seorang wanita tatkala ia menikah akan di tanggung
oleh suaminya, dan bisa saja hartanya berlipat berasal dari mahar,
nafkah dan warisan orang tuanya. Lebih lanjut beliau mengatakan
bahwa, argumen yang menyatakan penerimaan pria 2:1 dari wanita
disebabkan wanita kurang akalnya adalah pendapat yang munkar.176

172
Departemen Agama, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jil. II (Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia, 1991), 129.
173
Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-laki dalam
Penafsiran (Yogyakarta: LKis, 2002), 204.
174
Fakhruddi>n Al-Ra>zi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r wa al-Mafa>tih} al-Gha’i>b, 214.
175
Shiha>buddi>n Mah{mu>d al-‘Alu>si>, Ru>h al-Ma’a>ni> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-
‘Az{i>m, Jil. 2 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422H/2001 M), 426-427.
176
Muh}ammad Rashi>d Rid{a>, Tafsi>r al-Mana>r, Jil. IV (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th),
406. Lihat juga., Ibn Jari>r Al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n (al-Qa>hirah:

125
Fatima

Berdasarkan ketentuan hukum waris dalam al-Qur’an, pembagian


2:1antara pria dan wanita terasa adil, karena pada zaman dahulu
berdasarkan‘urf seorang pria bekerja dan mempunyai tanggungjawab
yang besar dari pada kaum wanita. Permasalahannya, pada zaman
sekarang banyak wanita yang bekerja atau bahkan menjadi tulang
punggung keluarga. Pertanyaannya adilkah pembagian pria 2:1 atas
wanita bila diterapkan dalam kondisi tersebut?
Perkataan adil banyak disebut dalam al-Qur’an, ini menunjukkan
kedudukan yang penting dalam sistem hukum Islam termasuk hukum
kewarisan. Dalam hukum waris salah satu asasnya adalah ‚keadilan
berimbang‛, artinya keseimbangan antar hak yang diperoleh dengan
keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban, seperti pria
dan wanita masing-masing mempunyai hak yang sebanding dengan
kewajiban yang dipikulnya.177 Bentuk keadilan bukan juga bukan
terletak pada jenis kelamin melainkan pada subtansinya.178 Ditinjau dari
segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat
ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena
keadilan dalam hukum Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang
didapat saat menerima hak waris, tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan
dan kebutuhan.
Secara umum, dapat dikatakan pria membutuhkan lebih banyak
materi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria
dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu dirinya dan
keluarganya termasuk para wanita. Bila dihubungkan dengan jumlah
yang diterima dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang
dirasakan pria sama dengan wanita. Meskipun pada mulanya pria
menerima dua kali lipat dari wanita namun sebagian yang diterima akan
diberikan kepada wanita dalam kapsitasnya sebagai pembimbing yang
bertanggungjawab. Inilah yang dimaksud dengan keadilan menurut
hukum Islam.179

al-Halabi>, 1954, 495-496. Bandingkan dengan pendapat Muhammad Ali> al-S}abu>ni, al-
Mawa>ri>th fi al-Shari>’ah al-Isla>miyah fi> D}aw’ al-Kita>b wa al-Sunnah (Makkah: Alam
al-Kutub, 1305 H/1985 M), 17.
177
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia (Jakarta:Sinar
Grafika, 2008), 57-58.
178
Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Hukum dengan
Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 75.
179
Amir Syarifuddin, Kewarisan Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2004), 24-
26.

126
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Menurut Amina Wadud sebagaimana yang dikutip Muh}ammad


Rashi>d Rid{a> menyatakan, dikeadilan dalam hukum waris tidak selalu
identik dengan pembagian yang sama rata. Keadilan didasarkan pada
kadar kebutuhan, ahli waris yang mempunyai kebutuhan dan
tanggungjawab yang besar tentu mendapatkan bagian yang besar pula.
Menurutnya aturan ini lebih fleksibel untuk terciptanya keadilan.180
Al-Na’i>m mempunyai argument yang berbeda menurutnya,
bagian waris wanita lebih sedikit dari bagian pria yang berada pada
tingkat yang sederajat merupakan bentuk diskriminasi berdasarkan
gender. Hal tersebut harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
HAM.181
Para ahli hukum modern berupaya melihat persoalan pembagian
waris wanita ini berdasarkan keadilan gender. Di Indonesia yang paling
menonjol adalah pendapat Munawir Sjadzali,182 beliau melontarkan
gagasan perlunya reaktualisasi hukum waris, bahkan jika perlu hak-hak
wanita dalam pembagian waris harus disamakan dengan hak pria yaitu
1:1.183Alasan gagasan Munawir tersebut adalah secara sadar Islam

180
Muh}ammad Rashi>d Rid{a>, Tafsi>r al-Mana>r, 333.
181
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Toward an Islamic Reformation (New York:
Syracuse University Press, 1999), 176. Lihat Abdullahi Ahmed an-Na’im‚, Shari>’ah
dan Isu-isu HAM‛ dalam Charles Huzman, ed. Wacana Islam Liberal: Pemikiran
Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003), 387-388.
Bandingkan Supadi ‚Pandangan Abdullahi Ahmed an-Na’im, tentang Shari’ah dan
Penegakan HAM‛, dalam Ahkam Jurnal Ilmu Shari’ah, Vol. XI, Nomor 2 (Jakarta:
Fakultas Shari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), 230.
182
Pendapat fenomenal lainnya adalah pendapat Hazairin. Pendapat kedua
tokoh ini mempunyai kontribusi besar dalam sejarah hukum kewarisan Indonesia.
Perbedaannya adalah ijtihad Hazairin mengarah kepada persoalan bilateral sebagai
pengganti patrilinial dimana keutamaan garis keturunan adalah ibu dan pabak tanpa
menggugat perbandingan bagian antara pria dan wanita 2:1. Sedangkan Munawair
Sjadzali memfokuskannya pada perhatian kepada konsep ‚egalitarianisme‛ sebagai
konsep yang rasional dalam kehidupan sosial dengan ditandai bagian porsi 1:1 antara
pria dan wanita. Dengan kata lain Hazairin menggugat pola penafsiran teks-teks suci
selama ini terhadap hukum waris yang sebenarya bilateral menjadi patrilinial melewati
konteks kesejarahannya, maka Munawair Sjadzali menggugat konteks keadilan lama
ketika berhadapan dengan konsekunsi-konsekuensi baru zaman dalam hidupnya sosial
yang dianggapnya berbeda. Lihat A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum
Waris Islam Transformatif (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), 5-6.
183
Bendapat Munawir Sjadzali ini didasarkan pada prilaku Umar bin Khat{ab
yang ditentang oleh beberapa sahabat diantaranya Bilal. Dalam sejarah Islam menurut
Munawir, Umar tidak membagikan harta rampasan perang berupa tanah kepada
prajurit Islam dan tidak memberikan zakat kepada muallaf (yang baru masuk Islam).
Argumennya adalah karena subtansi ajaran Islam dan situasi yang berubah yang

127
Fatima

hendak meningkatkan hak dan derajat wanita dengan cara wanita berhak
mendapatkan warisan meskipun hanya setengah. Kenapa tidak sekaligus
saja wanita diberi bagian yang sama dengan pria, memang tidak jelas,
tetapi ajaran Islam memang sering diberlakukan secara bertahap seperti
pengharaman minum khamr. Kehidupan modern sekarang ini telah
memberikan kewajiban yang lebih besar kepada wanita di banding pada
masa lalu, sehingga wanita kini dapat memberikan peran yang sama
dengan pria dalam mayarakat, maka logis saja kalau hak-haknya dalam
warisan juga ditingkatkan agar sama dengan pria.184
Sebenarnya inti dari QS. al-Nisa>’ Ayat 11, adalah ditegakkannya
keadilan terhadap wanita dalam hal waris.185 Upaya Islam untuk
meningkatkan hak waris wanita seyogyanya tidak berhenti, karena
situasi saat ini memberikan kewajiban atau peran kepada wanita lebih
besar dibandingkan dengan masa Islam lahir. Dengan demikian sangat
logis jika hak waris wanita ditingkatkan menjadi sama dengan bagian
pria yaitu 1:1.186
Berbeda dengan pendapat ahli hukum Indonesia lainnya, Amin
Suma memberi komentar panjang lebar mengenai hal ini. Menurutnya,
dalam praktik masyarakat, banyak kaum wanita yang menjadi tulang
punggung ekonomi sebuah keluarga. Ini merupakan kenyataan sosiologis
yang terjadi, bukan karena tuntunan, apalagi tuntutan hukum Islam,
tetapi lebih karena kerelaan wanita itu sendiri dalam rangka kerja sama,
yang sama sekali tidak di larang dalam hukum Islam. Hanya saja
partisipasi aktif kaum wanita dalam menyejahterakan ekonomi rumah

menghendakinya. yaitu dalam kasus yang pertama sesuai dengan prinsip keadilan
ekonomi dalam al-Qur’a>n, untuk kasus yang kedua karena saat itu posisi Islam sudah
kuat tisak seperti masa Nabi. Lihat Munawir Sjadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam,
dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 1-11. M.
Wahyuni Nafis, dkk. Kontektualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Munawir Sjadzali
(Jakarta: Paramadina, 1995), 93-95. Sukron Kamil dkk.Shari>’ah Isam dan HAM:
Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non
Muslim (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hadayatullah Jakarta, 2007), 58-59.
184
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1998), 160.
185
M. Atho Mudzhar dengan mengutip pendapat Ali> al-S{a>bu>ni> menyatakan,
sebelum Islam datang, wanita tidak mendapatkan warisan, untuk meningkatkan harkat
dan martabat wanita, Islam datang dengan memberikan hak waris, meski hanya
setengah dari hak waris pria. Lihat Sukron Kamil dkk. Shari’ah Islam dan HAM:
Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non
Muslim, 59.
186
M. Wahyuni Nafis, dkk. Kontektualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Munawir
Sjadzal, 96, 311-315.

128
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

tangga, tidak outomatically dengan sendirinya harus mengubah hukum


waris Islam menganut asas 1:1. Hal penting yang lain yang harus
dipertimbangkan umat Islam jika hendak mengubah asas hukum
kewarisan dari 2:1 menjadi 1:1, harus mengubah norma-norma hukum
lain yang terkait erat dengan hukum kewarisan, yaitu hukum perkawinan
terutama yang berkaitan dengan nafkah rumah tangga yang menjadi
tanggungjawab dan kewajiban siapa. Demikian juga tentang perlu
tidaknya mahar yang selama ini dibebankan pada suami.187
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, di kalangan umat Islam
terjadi tarik-menarik yang cukup kuat dalam menyikapi konsep
mawa>ri>th yang ditawarkan dalam Islam. Sebagian mereka ada yang
bersikukuh bahwa konsep waris tersebut sudah paten dan tidak dapat
diganggu gugat. Hal ini karena aturan tentang waris tersebut telah
digariskan dengan tegas dalam al-Qur’an. Ayat-ayat tentang waris
bersifat qat{i> dan harus dilaksanakan oleh semua umat Islam. Sebagian
yang lain tidak bisa menerimanya. Mereka menganggap bahwa konsep
waris tidak adil. lebih menguntungkan satu pihak, sementara yang lain
harus menerima kerugian sebab mendapat bagian yang lebih sedikit.
Oleh karena itu aturan waris harus diubah, dan diganti dengan ketentuan
baru yang lebih mengedepankan keadilan di antara para ahli waris.
Sudah tentu yang dimaksud adalah aturan-aturan yang menjanjikan
kemaslahatan umat.188
Jika dicermati, hampir seluruh hukum keluarga di dunia Islam
baik dalam versi Sunni, Syi’ah, ataupun negara-negara Islam yang telah
mengupayakan kodifikasi hukum lewat peraturan perundang-
undangan189dalam hukum waris masih menganut asas pembagian pria
dan wanita 2:1.190 Demikian juga hukum keluarga Islam di Indonesia,
sebagaimana pasal 176 menyebutkan; ‚Anak perempuan bila hanya

187
Muhammad Amin suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 124-125.
Bandingkan dengan pendapat A. Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, 373-374.
188
Abu Yazid, ed. Fiqh Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana
Hukum Islam Kontemporer, 313.
189
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif, 267.
190
Bukan berarti tidak ada Negara yang tidak menyamakan pembagian pria
dan wanita. Di Turki aturan 1:1 antara pria wanita diberlakukan sejak tahun1926. di
Somalia diberlakukan sejak tahun 1974, bahkan diatur lebih jauh yakni istri maupun
suami mendapat setengah harta jika tidak ada anak. Kemudian anak baik pria maupun
wanita jika sendirian dapat menghabiskan harta, demikan juga bapak, ibu saudara jika
menjadi ahli waris tunggal dapat menghabiskan harta. Lihat M. Atho Mudzhar,
Membaca Gelombang Ijtihad, 162.

129
Fatima

seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak
perempuan bersama dengan anak laki-laki adalah dua banding satu
dengan anak perempuan.‛
Pada Pasal 229 yang merupakan ketentuan penutup menyatakan,
dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, hakim
wajib memerhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa
keadilan. Hal ini sering dilakukan pengadilan Indonesia dengan tidak
melaksanakan pembagian waris berdasarkan prinsip 2:1 untuk anak pria
dan anak wanita,191 karena formula pembagian waris 2:1 tidak bersifat
mutlak. Pembagian bisa berubah menjadi 1:1 (satu banding satau/sama
rata) dengan melihat kasus yang bersifat situasional untuk
mencerminkan keadilan. Jika kondisi masyarakat telah berubah seperti
banyak perempuan yang telah bekerja, bahkan laki-laki atau suaminya
tidak bekerja, maka pembagian waris cenderung 1:1 untuk anak pria dan
wanita. Meskipun ayat mengenai bagian waris anak pria dan wanita
bersifat s{ari>h akan tetapi dimungkinkan untuk melakukan ijtihad
terhadap ketentuan tersebut demi terpenuhinya rasa keadilan.192
Pembagian rata antara anak pria dan wanita didasarkan pada dua
argumentasi. Pertama, data empirik menunjukkan bahwa dalam praktik
umat Islam sendiri banyak menyimpang ketetentuan pembagian warisan
yang tertera dalam al-Qur’an dan ilmu fara>‘id} yaitu dengan jalan
menghibahkan harta waris sebelum seseorang meninggal dunia dengan
pembagian sama rata. Penyimpangan ini justru terjadi di daerah yang
tergolong kuat Islamnya seperti Kalimantan, Sulawesi Selatan, Aceh,
dan lainya. Data ini didasarkan atas laporan para hakim Pengadilan
Agama bahwa banyak orang Islam yang enggan untuk melaksanakan
ketentuan Pengadilan Agama tentang fara>‘id} tetapi justru mereka lari ke
Pengadilan Negeri. Kedua, kenyataan sosial menunjukkan bahwa,
dinamika sosial yang begitu cepat sebagai akibat kemajuan teknologi
dan terbukanya akses pendidikan yang sama rata antara peria dan
wanita, lambat laun tapi pasti telah melahirkan pola relasi antara pria

191
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Tahun Bustanul Arifin (Jakarta: Gema Insani, 1996), 225.
192
Ahsan Dawi, ‚Paradigma Hakim Terhadap Bagian Waris Anak Laki-laki
dan Perempuan‛ (Jurnal Hukum), 12.

130
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

dan wanita yang sederajat dengan bobot dan beban sosial yang relatif
sama.193
Ketentuan pembagian harta warisan antara anak pria dan wanita
sebagaimana yang telah ditetapkan al-Qur’an tidak mengalami
pergeseran dalam KHI yaitu tetap berpegang 2:1.194 Namun tidak
menutup kemungkinan para ahli waris melakukan perdamaian
sebagaimana pasal 183 menyatakan bahwa, ‚para ahli pewaris dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta waris setelah
masing-masing menyadari bagiannya.‛.195 Cara ini dimungkinkan,
karena ada kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat yang biasanya
menyelesaikan dengan cara menghindari pembagian harta warisan
dengan cara hukum Islam. Sebagian orang Islam membagi-bagi hartanya
kepada calon ahli warisnya dengan cara hibah ketika ia masih hidup.
Secara metodologis, kebiasaan tersebut dalam ushul fikih di
sebut al-‘urf atau adat. Hal ini relevan dengan kaidah al-‘a>dah al-
muh{akkamah (adat kebiasaan itu dapat dijadikan hukum). Tujuan
pembagian secara damai setelah ahli waris mengetahui bagian masing-
masing sebagaimana Pasal 183 adalah pertama, secara normatif tidak
bertentangan dengan hukum Islam karena perdamaian itu terjadi setelah
pembagian dilaksanakan sesuai hukum Islam (fara>’id}). Kedua, dikaitkan
dengan prinsip keadilan, perdamaian itu terjadi sebagai manifestasi
perasaan keadilan yang langsung dirasakan oleh pihak-pihak yang
berdamai. Ketiga, perdamaian merupakan sarana yang efektif untuk
meredam konflik keluarga yang dipicu oleh pembagian pendapatan yang
berbeda atau kurang memenuhi rasa keadilan di antara mereka.196
Dengan demikian formula 1:1 tidak berlaku umum. Artinya
tidak keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan al-Qur’an. Ketentuan-
ketentuan ini hanya diperuntukkan untuk menyelesaikan kasus-kasus
tertentu saja. Itupun setelah para ahli waris sepakat membagi sama rata

193
Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam
Hukum Keluarga Islam (Yogyakarta: PSG STAIN Ponorogo dan Unggun Religi,
2005), 200.
194
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta: Literata,
2010), 16.
195
Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional, 68.
196
Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam
Hukum Islam, 117-118.

131
Fatima

bagian anak pria dan wanita setelah mereka mengetahui masing-masing


bagian yang sebenarnya menurut hukum.197
Penyelesaian warisan dengan formula yang sama antara bagian
pria dan wanita telah dipraktikkan dalam keputusan-keputusan
Pengadilan Agama. Menurut Wasit Aulawi sebagaimana yang dikutip
Iskandar Ritonga dalam penelitiannya menyebutkan, ada tiga jalur yang
bisa ditempuh sebelum mengajukan perkara ke pengadilan. Pertama,
mereka membaginya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam hukum
Islam dengan 2:1. Kedua, mereka boleh membaginya menurut ketentuan
hukum adat yang berlaku. Ketiga, mereka boleh menyelesaikan dengan
cara kompromi atau melalui persepakatan bersama antara sesama ahli
waris yang ada. Dalam pembagian seperti ini dimungkinkan untuk
memberikan bagian yang sama besar antara pria dan wanita, dan
mungkin juga tidak.198
Masalah yang muncul dan diajukan ke pengadilan pada
umumnya bukan pada ketentuan hukum warisnya atau ‚sengketa
hukum‛ seperti pembagian 2:1, tetapi lebih kepada ‚sengketa fakta‛
yaitu klaim kepemilikan orang-orang yang berperkara pada harta yang
ada. Pada umumnya para pihak yang berperkara tidak mempersoalkan
tentang ketentuan hukum waris seperti yang telah diatur dalam KHI.199
Untuk itu penulis tidak menemukan sengketa ahli waris terhadap
pembagian anak laki-laki dan wanita.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa ketentuan mengenai
hukum kewarisan yang diatur dalam KHI berpedoman pada garis-garis
hukum fara>‘id}. Warna alam pikiran asas qat{‘i> agak dominan dalam
perumusannya. Seluruhnya hampir berpedoman pada garis rumusan nash
yang terdapat dalam surah al-Nisa>’ Ayat 11. Namun bukan berarti
antara fara>‘id} atau hukum waris dalam fikih tidak mempunyai
perbedaan. Misalnya dalam fikih Islam tidak dikenal ahli waris
pengganti,200 sedangkan dalam KHI terdapat aturan mengenai ahli waris
197
Mahkamah Agung RI, Pedoman pelaksanaan dan Adminitrasi Peradilan
Agam: Buku II Edisi Revisi 20110 (Jakarat: Direktorat Jenderal Peradilan Agama,
2010), 165.
198
Iskandar Ritonga, ‚Hak-hak wanita dalam Hukum Keluarga Islam di
Indonesia: Implementasi dalam Putusan-putusan Peradilan Agama DKI Jakarta !990-
1995‛ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 163
199
Muchith A. Karim dalam bukunya Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan
Umat Islam Indonesia,167.
200
Menurut Muchith A. Karim dalam bukunya Pelaksanaan Hukum Waris di
Kalangan Umat Islam Indonesia, beliau menyatakan sebenarnya dalam fiqh klasik
(sunni) telah dikenal ahli pengganti, meskipun subtansi masalahnya berbeda dengan

132
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

pengganti sebagaimana pasal 185 menyebutkan bahwa, ahli waris yang


meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya. Dalam hal ini ada beberapa hal yang penting
untuk di catat. Pertama, bagian ahli waris pengganti tidak boleh
melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan.
Kedua, kalau ahli waris pengganti seorang saja, dan ayahnya hanya
mempunyai seorang saudara wanita maka harta warisan dibagi dua
antara ahli waris pengganti dengan bibinya.201
Ketentuan ini merupakan pengejawantahan dari gagasan
Hazairin yang gigih memperjuangkan hukum waris bilateral.202 Secara
konsepsional, konsep penggantian yang dikemukakan Hazairin mirip
dengan fikih shi>’ah yang menempatkan cucu garis wanita sebagai ahli
waris.203 Motivasi pelembagaan waris pengganti (plaatsvervulling)
didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan. Tidak adil dan tidak
manusiawi rasanya menghukum seseorang dengan tidak berhak
menerima warisan yang semestinya diperoleh ayahnya, hanya karena
faktor kebetulan ayahnya meninggal lebih dulu dari kakek. Apalagi jika
hal ini dikaitkan dengan fakta, pada saat kakek meninggal, anak-
anaknya sudah kaya dan mapan. Sebaliknya si cucu oleh karena
ditinggal yatim, melarat dan miskin. Tidak adil melenyapkan haknya
untuk memperoleh apa yang semestinya menjadi bagian bapaknya.204

yang diuraikan dalam tulisan di atas. Imam al-Ramli menerangkan sebagai berikut: (a)
Cucu pria dari anak pria dapat mengganti ayahnya, sedangkan cucu dari anak wanita
idak dapat warisan. (b) Cucu tersebut baru dapat menggantikan orang tuanya apabila si
pewaris tidak meninggalkan anak pria yang masih hidup. (c) Hak yang diperoleh
pengganti belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan tetapi mungkin
berkurang. Lihat Menurut Muchith A. Karim, Pelaksanaan hukum waris di Kalangan
Umat Islam Indonesia,102. Baca. Al-Ramly, Nihayah al-Muh{taj ila> Sharah{ al-Minhaj,
Jil. VI (Mesir: Must{afa> al-Babi> al-Halabi>, t.th.), 17-18. Bandingkan dengan Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia (Bandung: sumur, 1976), 43.
201
Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi Hukum Islam dalam sistem Hukum
Nasional, 70.
202
Hazairin menyatakan bahwa fiqh Syafi’i menempatkan keberadaan ahli
waris pengganti lebih banyak diposisikan sebagai dhawi>l al-arh{am. Yaitu kerabat yang
memiliki hubungan darah, tetap karena posisinya yang tidak ditentukan untuk
menerima bagian, maka ia tidak berhak menerimanya. Lebih-lebih kalau ahli waris
yang menghubungkannya yang telah meninggal itu adalah garis wanita, jadilah ia
dhawi>l al-arh{am. Lihat. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, 416.
203
Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam
Hukum Islam, 118.
204
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 50.

133
Fatima

Perbedaan selanjutnya tertera dalam pasal 209205 menyatakan


bahwa, orang tua angkat berhak ikut menerima warisan harta
peninggalan anak angkatnya. Demikian juga sebaliknya, anak angkat
berhak ikut menerima harta peninggalan ayah angkatnya. Kalau mereka
tidak menerima wasiat, mereka mendapatkan warisan berdasarkan
wasiat wa>jibah206 yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-
undangan paling banyak 1/3 dari harta warisan anak angkanya atau
orang tua angkatnya. Padahal dalam fikih Islam anak dan orang tua
angkat tidak berhak menerima warisan.207
Istilah wasiat wajibah mulai pertama diperkenalkan ulama Mesir
melalui Undang-Undang Wasiat Nomor 71 Tahun 1946, (Pasal 76-78)
menyatakan bahwa seorang anak yang lebih dahulu meninggal dunia
dengan meninggalkan anak, maka cucu baik pria maupun wanita
menggantikan ayahnya dalam mewarisi kakek atau neneknya dengan
cara memperoleh wasiat wajibah tidak lebih dari 1/3 harta. Adapun yang
menetapkan wasiat wajibah tersebut pengadilan, karena si manyit tidak
meninggalkan wasiat. Ide wasiat wajibah ini diajukan ulama Mesir
untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim. Langkah Mesir
ini dipandang lebih mendekati keadilan, sehingga aturan wasiat wajibah

205
Secara rinci bunyi Pasal 209 menyebutkan sebagai berikut; (1) Harta
peninggalan anak angkat di bagi berdasarkan Pasal-Pasal 176 sampai dengan 193
tersebut, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2)
Trehadapa anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.Lihat Intruksi Presiden Nomor1
Tahun 1991 tentang Kompiasi Hukum Islam Buku II Hukum Kewarisan. Lihat pula
Hmpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Kompilasi Hukum Islam (Bandung:
Fokusmedia, 2005), 66.
206
Makna dari Wasiat Wa>jibah adalah seseorang dianggap menurut hukum
telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata. Anggapan hukum itu
lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat, maka
ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat itu dianggap ada dengan sendirinya. tindakan
yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau
memberikan putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal yang diberikan
kepada orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu. Lihat Cik Hasan Bisri, ed.
Kompilasi Hkum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, 71. Lihat pula Fatchurrahman,
Ilmu Waris, (bandung: al- Ma’arif, 1981), 63.
207
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Tahun Bustanul Arifin (Jakarta: Gema Insani, 1996), 224. Bandingkan,
Muchith A. Karim, ed. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat Islam Indonesia
(Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010), 127-128.

134
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

ini juga diberlakukan di negara-negara muslim lainnya seperti Kuwait,


Syiria, Maroko, Tunisia, dan Pakistan.208
Kuwait mengatur tentang hukum wasiat wajibah dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1971 (Law on Obligatory Beguest /Qa>nu>n al-
Was{iyyah al- Wa>jibah). Hukum wasiat wajibah di Kuwait ini dibuat
secara sederhana hanya memuat empat pasal, yang dalam ketentuannya
merupakan derivasi dari Undang-Undang Wasiat di Mesir. Subtansinya
sama dengan Undang-Undang Mesir yaitu wasiat wajibah diberikan
kepada para cucu baik pria maupun wanita yang orang tuanya meninggal
lebih dulu dari pada kakek atau neneknya. Untuk cucu pria (anak dari
anak pria/ ibn al-ibn) wasiat wajibah dapat diberikan kepada generasi
berikutnya (ibn ibn al-ibn) terus kebawah, sedangkan untuk cucu dari
garia wanita (awla>d al–bana>t), wasiat wajibah hanya berlaku untuk
generasi pertama.
Syiria209 dan Maroko210 wasiat wajibah hanya berlaku bagi cucu
dari keturunan anak laki-laki. Di Tunisia hanya berlaku untuk para cucu
baik pria maupun wanita dalam generasi pertama.211Di Pakistan dengan
ordonansi Hukum Keluarga Tahun 1961 Pasal 4 diberlakukan aturan
yang lebih radikal lagi yaitu, cucu mendapatkan bagian yang sama
dengan bagian yang semestinya di terima ayahnya bila ia masih hidup.212
Di Indonesia sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya,
bahwa wasiat wajibah tidak diterapkan kepada cucu melainkan kepada
anak atau ayah angkat. Ketentuan pasal 209 tersebut merupakan

208
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, 64. Muh}ammad Kamal
Hamidi>, Al-Mawa>ri>th wa al-Hibah wa al-Wasiyyah (Iskandariyah: Da>r al- Mat}bu>’ah al-
Jami>’ah, t.th), 244-245.
209
Wasiat wajibah dalam The Syirian Code of Personal Status 1953 (Qa>nu>n al-
Ah}wa>l al-Shakhs{iyyah al-Su>ri>) Pasal 256 menyatakan bahwa wasiat wajibah
diberikan hanya kepada cucu dari anak laki-laki sampai ke bawah, dan tidak diberikan
kepada cucu dari anak wanita. Lihat Al-Ahka>m al-Shar’iyyah fi> al-ah{wa>l al-
Shakhs{iyyah, Mulh{aq Qawa>ni>n al-Ah{wa>l al-Shakhs{iyyah al-‘Ara>biyyah, 1832.
Muh}ammad Kamal Hamidi>, Al-Mawa>ri>th wa al-Hibbah wa al-Was{iyyah (Iskandariyah:
Dar> al-Mat{bu>’ah al-Jami>’ah, t.th), 245.
210
Undang-undang Personal Status Maroko Tahun 1958 dalam Pasal 266-269
menetapkan bahwa wasiat wajibah hanya berlaku melalui keturunan langsung anak pria
meninggal lebih dahulu dari pewarisnya, bagi keturunan langsung melalui anak wanita
yang meninggal terlebih dahulu dari pewarisnya tidak berlaku wasiat wjibah. Lihat
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi: Akademic of Law
and Religion, 1987), 148-150.
211
Ketentuan ini tertera dalam Pasal 191-192 Code of Personal Status 1956-
1981. Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, 163
212
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad,164.

135
Fatima

gagasan baru yang didasarkan pada suatu kenyataan bahwa


pengangkatan anak (adopsi) merupakan suatu gejala yang hidup di
dalam kehidupan masyarakat Islam, meskipun hal tersebut tidak dengan
sendirinya terjadi hubungan hukum (saling mewarisi) antara anak angkat
dengan orang tua angkatnya. Dari hubungan sosial antara anak angkat
dengan orang tua angkatnya, melahirkan ketentuan tentang wasiat
wajibah. Hal ini merupakan ketentuan hukum yang khas Indonesia.213
Menurut Yahya Harahap dasar hukum yang digunakan KHI
dalam menetapkan adanya wasiat wajibah bagi anak angkat adalah
dengan mengkompromikan antara hukum Islam dan hukum adat. Lebih
lanjut beliau menyatakan bahwa kenyataan yuridis dalam hukum adat
yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, anak angkat
mempunyai hak dan kedudukan yang sama dengan anak kandung dalam
beberapa hal termasuk waris mewarisi merupakan suatu kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri.214
Berdasarkan kenyataan inilah, para ulama Indonesia berijtihad
dalam menyusun KHI, dengan memodifikasi suatu keseimbangan hak
dan kewajiban antara anak angkat dengan orang tua angkatnya melalui
wasiat wajibah. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar hukum kewarisan
yang diberlakukan di Indonesia selaras dengan rasa keadilan.215
Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa pembagian warits
anak pria dan wanita dalam KHI tidak mengalami reaktualisasi.
Pelembagaan plaatsvervulling dan ketentuan wasiat wajibah terhadap
anak angkat dan orang tua angkat, merupakan dua terobosan baru dalam
hukum keluarga Islam di Indonesia.

213
Muchith A. Karim, ed. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
Indonesia, 131-132. Lihat, Ridwan, Menbongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan
Gender dalam Hukum Keluarga Islam (Yogyakarta: PSG STAIN Purwokerto dan
Unggun Religi, 2005), 119.
214
M. Yahya Harahap, ‚Materi Kompilasi Hukum Islam‛ dalam Mahfud MD
dkk. ed. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta:UII
Press, 1993), 93.
215
Abdullah Kelip, ‚Beberapa Catatan Efektifitas KHI‛ dalam Mahfud MD
dkk, eds. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia, 138.

136
BAB V
WANITA SEBAGAI ISTRI DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DAN PRAKTIK
HUKUM DI PENGADILAN AGAMA
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai wanita dalam statusnya
sebagai istri baik dalam peraturan perundang-undangan maupun hasil
putusan Pengadilan Agama. Tujuannya adalah untuk mengetahui hak-
hak istri yang telah terakomodir dalam hukum keluarga dan hasil
putusan Pengadilan Agama telah melindungi hak wanita atau tidak. Isu
yang akan di bahas dan menjadi perhatian penulis adalah terkait masalah
poligami, gugat cerai, dan masalah harta bersama.
A. Poligami: Putusan yang Tak Ternegosiasikan
Poligami termasuk persoalan yang masih kontroversi,
mengundang berbagai persepsi pro dan kontra. Golongan anti poligami
melontarkan sejumlah tudingan yang mengidentikkan poligami dengan
sesuatu yang negatif. Persepsi mereka1 poligami itu melanggar HAM.
Poligami merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum wanita,
karena dianggap sebagai mediaum untuk memuaskan gejolak birahi
semata. Laki-laki yang melakukan poligami berarti ia melakukan
tindakan kekerasan atau bahkan penindasan atas hak-hak wanita secara
utuh. 2
Mereka yang pro poligami menanggapi bahwa poligami
merupakan bentuk perkawinan yang sah dan telah dipraktikkan berabad-
abad yang lalu oleh semua bangsa di dunia. Dalam banyak hal, poligami
justru mengangkat martabat kaum perempuan, melindungi moral agar
tidak terkontaminasi oleh perbuatan keji dan maksiat yang di larang
oleh Allah SWT., seperti maraknya tempat-tempat pelacuran yang justru
merendahkan martabat perempuan dan mengiring mereka menjadi budak
pemuas nafsu hidung belang. Poligami mengandung unsur
penyelamatan, ikhtiar perlindungan serta penghargaan terhadap
eksistensi dan martabat kaum wanita.3

1
Eka Kurnia, Poligami Siapa Takut: Perdebatan Seputar Poligami (Jakarta:
QultumMedia, 2006), 3. Lihat juga Miftah Faridl, Poligami (Bandung: Pustaka,
2007), 7.
2
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004), 43.
3
Arij binti Abdur Rahman al-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri –Etika
Berpoligami (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), 36.
Fatima

Kontroversi mengenai keadilan dalam poligami tidak akan


pernah habis dibicarakan, jika tidak mengkaji secara langsung
masalahnya yang substansial. Sejumlah ayat-ayat yang diduga sebagai
ayat poligami, harus dihadirkan dan didekati, tidak saja secara obyektif,
tetapi juga secara tematik-komprehensif. kajian poligami adalah kajian
mengenai nilai-nilai moral, sosial, rasa keadilan, serta kemanusiaan.
Kajian poligami tidak hanya difokuskan pada kajian fantasi libido,
perselingkuhan, dan stereotip negatif lainnya.
Dari keterangan nash-nash tentang poligami, dapat dikemukakan
sebagai berikut. Pertama, ada pernyataan boleh menikahi wanita
maksimal empat dengan syarat dapat berlaku adil, dan kalau tidak,
hanya boleh satu saja, ini pesan dari al-Nisa>’ Ayat 3. Kedua, bahwa ayat
ini harus dihubungkan dengan ayat sebelumnya, al-Nisa>’ Ayat 1 dan 2,
ayat yang berbicara tentang kasus yang ada ketika itu, banyaknya anak
yatim perempuan yang berada di bawah perwalian. Ketiga, ada
pernyataan nash bahwa seorang suami tidak akan dapat berlaku adil
terhadap istrinya, bagaimanapun usaha yang dilakukan, ini pesan dari al-
Nisa>’ Ayat 129. Keempat, praktik Nabi saw. yang selama 25 tahun
perkawinannya adalah monogami. Kelima, ada kasus sahabat yang
sebelum masuk Islam mempunyai istri lebih dari empat, setelah masuk
Islam, Nabi saw. memerintahkan untuk mempertahankan maksimal
empat istri.
Masyarakat dihadapkan pada sebuah dilema, di satu sisi secara
tektual al-Qur’an mengakomodir poligami, di sisi lain secara faktual
poligami cenderung melahirkan mafsadat dari pada manfaat dalam
kehidupan keluarga maupun sosial. Strategi yang diambil oleh ulama
cukup menarik untuk dicermati. Muhammad Quraish Shihab misalnya
mengatakan bahwa poligami adalah pintu kecil yang hanya bisa dilalui
oleh yang sangat membutuhkan dengan syarat yang tidak ringan. Surah
al-Nisa>’ Ayat 3 tidak membuat peraturan tentang poligami (pembolehan
atas sesuatu yang belum ada) karena poligami telah dikenal dan
dilaksanakan oleh penganut berbagai syari’at agama serta adat istiadat
masyarakat sebelum turunnnya ayat ini. Oleh karena itu, ayat ini sama
sekali tidak bermaksud mewajibkan maupun menganjurkannya.4
4
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2 (Jakarta: Lentera
Hati, 2009), 410. Demikian pula poligami Rasulullah Saw, menurut Quraish juga tidak
berarti bahwa kita harus meneladaninya karena tidak semua apa yang dilakukan Rasul
perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib
dan terlarang pula bagi umatnya seperti wajib bangun shalat malam dan larangan
menerima zakat.

138
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Pendapat yang senada disampaikan Rashi>d Rid}a> sebagaimana


yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi dan Abdul Rahman Ghozali
mengatakan bahwa, Islam memandang poligami lebih banyak membawa
resiko atau madarat dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut
fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh.
Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi jika
hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian
poligami itu bisa menjadikan sumber konflik dalam kehidupan keluarga,
baik konflik antara suami dengan isti-istri dan anak-anak dari istri-
istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-
masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan adalah monogami,
sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat cemburu, iri hati,
mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan
keutuhan rumah tangga. Karena itu poligami diperbolehkan dalam
keadaan darurat.5
Darurat yang dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki
dari segi kecenderungannya untuk bergaul dengan lebih dari seorang
istri. Kecenderungan yang ada pada diri seorang laki-laki itulah yang
kemudian diatur dalam ajaran Islam. Dalam keadaan seperti itu,
seandainya shari’at Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami
maka akan membuka peluang pada perzinahan. Itulah sebabnya poligami
diperbolehkan dalam Islam.6
Pendapat yang berbeda disampaikan Al-Na‘i>m sebagaimana yang
dikutip Anwar Hafidzi dalam penelitiannya menyatakan bahwa, salah
satu contoh praktik diskriminasi atas perempuan adalah laki-laki dapat
menikahi hingga empat perempuan dalam waktu yang sama, tetapi
perempuan hanya dapat menikah dengan seorang laki-laki.7 Padahal
larangan wanita berpoliadri dikarenakan Allah menginginkan
kehormatan dan keadilan terhadap para wanita akan tetap terjaga.
Wanita yang berganti-ganti pasangan pada tempat yang satu (rahim
wanita) akan rentan dengan penyakit kanker rahim seperti penelitian

5
Abdul Rahman Ghozali, Fikih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), 130-131.
Lihat pula; Masyfuk Zuhdi, Masa’il Fikhiyah (Jakarta: Gita Karya, 1988), 12.
6
Miftah Faridl, Poligami: Catatan Pengalaman dan Interpretasi Ajaran
(Bandung: Pustaka, 2007), 35.
7
Anwar Hafidzi,‛ Konsep Humanisme dan Maslahat dalam Pemikiran
Muhammad Shahrur: Studi atas Buku Nahwa> Us}ul Jadi>dah‛, (Jakarta: Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), 165.

139
Fatima

yang dilakukan di Amerika dan Eropa disebabkan tempat penampungan


sperma yang hanya satu.8
Menurut Muhammad Shahrur, praktik poligami diperbolehkan
dengan dua syarat. Pertama, istri kedua, ketiga dan keempat haruslah
dari kalangan janda yang memiliki anak yatim. Kedua, harus memiliki
rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. Bila dua
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak berlaku lagi perintah
poligami sebagaimana penjelasan dalam nash.9 Oleh karena itu,
walaupun poligami mubah namun sebaiknya tidak diakukan karena lebih
konsisten pada hal yang pasti baik dan selamat (monogami).10 Menikahi
satu perempuan tentu lebih ringan dan lebih mudah dalam pemenuhan
kebutuhan lahir maupun batin dan lebih menenteramkan bagi suami,
karena tidak adanya kewajiban berlipat sebagaimana jika ia berpoligami
dan juga bagi istri dan anak-anak, karena tidak adanya kecemburuan
yang sangat mengganggu.
Menurut Atho Mudzhar, tidak ada yang mengharamkan
melakukan praktik poligami, semua itu tergantung pada pengaturan
negara dan keadaan sosial laki-laki berdasarkan kemaslahatan, sehingga
mungkin saja praktik poligami dapat dipersulit, dipermudah bahkan
dilarang sesuai situasi dan kondisi dalam kehidupan bermasyarakat yang
tergantung pada aturan undang-undang negara.11
Secara substantif salah satu asas hukum perkawinan yang diatur
secara konsisten dalam reformasi hukum keluarga di dunia Islam adalah
asas pembatasan poligami. Mengenai format pembatasan poligami ini,
seperti tercantum dalam UU Hukum Keluarga di dunia Islam
kontemporer, terdapat dua kecenderungan yang menarik, yaitu ada UU
hukum keluarga yang memuat norma kriminalisasi poligami dan ada
juga UU hukum keluarga yang tidak memuat norma kriminalisasi
poligami. Pemuatan norma kriminalisasi poligami merupakan
keberanjakan yang signifikan bila dilihat dari sisi doktrin hukum Islam
8
Muhammad Mutawalli al-Sha’ra>wi>, al-Fata>wa>: Kullu ma> Yuhimmi al-
Muslim fi> H}aya>tih Yawmih wa Ghadih (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, 1997), 440.
Bandingkan dengan pendapat Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jil. II
(Jakarta: Lentera Hati, 2003), 27.
9
Muhammad Shahrur, Nahwa us}u>l Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi>, Fiqh al-
Mar’ah, 303.
10
‘Abdurrah}ma>n bin Na>s}ir al-Sa’di>, Taysi>r al-Rah}ma>n al-Kari>m (t.k:
Muassasah al-Risalah, 2000), 163.
11
Muhammad Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, eds. Hukum Keluarga
di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-
Kitab Fikih, 213-215.

140
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

secara umum. Hukum keluarga Turki misalnya, perkawinan poligami


yang dilakukan seseorang dipandang tidak sah secara hukum. Seseorang
yang melakukan perkawinan poligami dapat dipidana dengan pidana
yang telah ditentukan dan perkawinan yang kedua (poligami) dipandang
tidak sah secara hukum.12
Negara lain yang juga patut dicatat adalah Tunisia. Kriminalisasi
poligami diatur dalam The Tunisian Code of Personal Status 1956. Pasal
18 Ayat (i) memuat ketentuan bahwa poligami adalah hal yang
dilarang. Ditegaskan pula bahwa orang yang melakukan poligami,
padahal ia masih terikat perkawinan dengan istrinya, dapat dipidana.
Ancaman pidananya berupa pidana kurungan selama satu tahun atau
pidana denda sebesar 240.000 malims atau kombinasi pidana kurungan
dan pidana denda. Menurut John L. Esposito, dasar larangan poligami
adalah pertama, poligami merupakan praktik perbudakan, selamanya
tidak dapat di terima oleh mayoritas umat Islam di mana pun. Kedua,
idealnya dalam al-Qur’an adalah monogami. Pelarangan poligami ini
terkait dengan prinsip pernikahan yang diperdebatkan ulama Tunisia dan
para pembaharu di negeri itu. Menurut tokoh pembaharu di Tunisia,
prinsip pernikahan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami.13
Tokoh pembaharu tersebut di antaranya Muhammad Abduh,
beliau menyatakan bahwa idealnya, al-Qur’an adalah monogami, karena
syarat yang diajukan supaya berlaku adil terhadap istri-istrinya adalah
suatu kondisi yang sangat sulit direalisasikan bahkan tidak mungkin
terlealisasi dengan sepenuhnya. Argumen ini rupanya dirujuk oleh
pemerintah Tunisia.14 Praktik poligami di Tunisia, menurut para
pembaharu Tunisia selalu menyuguhkan fenomena kehidupan yang tidak
menyenangkan. Banyak kaum perempuan dan anak-anak yang terlantar,
karena itu beberapa negara Islam seperti Maroko, Al-Jazair, dan Mesir
memperketat praktik poligami, demikian pula Indonesia.
Aturan poligami di Indonesia diatur secara ketat. Pada asasnya
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang

12
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, 21. Penulis
tidak berhasil mengakses teks UU dimaksud. Dalam bukunya ini, Tahir Mahmood
hanya membuat catatan, tidak memuat teks UU tersebut. Dalam proposisinya tersebut,
Tahir Mahmood merujuk kepada Pasal-Pasal 93 dan 112 Turkish Code of Personal
Status 1926.
13
Dedi Supriadi dan Mustofa, perbandingan Hukum perkawinan di Dunia
Islam, 110.
14
M. Atho Mudzhar dan Kharuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern, 89.

141
Fatima

istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami


sebagaimana Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Dalam
penjelasannya UU ini menganut asas monogami. Hal ini sejalan dengan
firman Allah dalam surah al-Nisa>’ Ayat 315 dan Ayat 129.16
Menurut Ahmad Rafiq kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa
asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Kebolehan poligami
apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada istri-
istrinya terpenuhi. Syarat keadilan ini menurut isyarat Ayat 129 tersebut
terutama dalam hal membagi cinta tidak akan dapat dilakukan. Namun
demikian hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan
untuk berpoligami sepanjang persyaratan keadilan di antara istri dapat
terpenuhi dengan baik. Karena hukum Islam tidak mengatur teknis dan
bagaimana pelaksanaan agar poligami dapat dilaksanakan manakala
memang diperlukan dan tidak merugikan, tidak tejadi kesewenang-
wenangan terhadap istri, maka hukum Islam di Indonesia perlu
mengatur dan merincinya.17
Poligami dapat dilakukan dengan cara mengajukan permohonan
izin poligami kepada Pengadilan Agama dengan syarat-syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut.
Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UU No.1 Tahun
1974 bersifat alternatif, artinya jika salah satu persyaratan tersebut
dapat dibuktikan, Pengadilan Agama dapat memberi izin.
Adapun alasan izin poligami tersebut adalah;
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan yang terdapat dalam Pasal 5 Ayat (1) bersifat kumulatif,
artinya Pengadilan Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila
semua persyaratan telah terpenuhi, yaitu :

15
Redaksi ayat tersebut adalah;

16
Ayat tersebut berbunyi;

17
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, 170.

142
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;


b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka.
Izin berpoligami oleh Pengadilan Agama dapat diberikan apabila alasan
suami telah memenuhi alasal-alasan alternatif sesuai ketentuan Pasal 4
Ayat (2) dan syarat-syarat kumulatif yang tercantum dalam Pasal 5
Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana tersebut di atas.
Agar tercipta tertib administrasi dalam masyarakat dan negara
dapat melindungi kepentingan warga negaranya terutama untuk
melindungi hak-hak kaum perempuan dalam hidup berumah tangga,
maka negara mengatur praktik poligami ini melalui aturan dalam KHI.
Persyaratan-persyaratan poligami yang diatur dalam KHI terdapat
dalam Bab IX dengan judul ‚Beristri lebih dari satu orang‛, terdapat
dalam Pasal 55 berbunyi:
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang istri
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku
adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya
3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin
terpenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Pasal 56 berbunyi:
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat
izin dari Pengadilan Agama
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Ketentuan-ketentuan di atas secara jelas menyatakan bahwa
untuk berpoligami harus melalui izin Pengadilan Agama, apabila
dilakukan diluar izin Pengadilan Agama, perkawinan tersebut dianggap
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Konsekuensi
perkawinan tersebut selanjutnya akan menjadi lebih rumit, karena segala
akibat hukum dari hubungan perkawinan itu juga dianggap tidak ada,
seperti anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, oleh Undang-
undang sesuai dengan Pasal 42 dan 43 UU No. 1 Tahun 1974 dianggap

143
Fatima

anak lahir di luar perkawinan sehingga tidak mempunyai hubungan


perdata (hukum) kecuali semata dengan ibunya. Dengan demikian semua
hak-hak perdata anak akan terlepas dari sang ayah, artinya sang ayah
tidak mempunyai kewajiban apapun secara hukum, dan dalam hal ini
baik ibu atau anak-anak itu sendiri tidak dapat menuntut hak-hak
mereka, termasuk hak-hak yang menyangkut harta kekayaan.
Urgensi izin poligami menurut ketentuan undang-undang
bersifat prosedural untuk memberikan jaminan hukum atas terjadinya
perkawinan itu, sehingga eksistensinya secara yuridis formal diakui.
Perkawinan secara materiil sah apabila dilakukan menurut ketentuan
agama dan baru diakui terjadinya perkawinan apabila dilakukan
memenuhi ketentuan formal, maka ketentuan formil hukumnya sama
dengan ketentuan materiil untuk sahnya suatu perkawinan. Dengan
demikian perkawinan poligami dianggap sah apabila memenuhi
ketentuan hukum materiil, yaitu telah dilakukan sesuai dan dengan
memenuhi syarat-syarat dan rukunnya menurut hukum Islam, dan telah
memenuhi hukum formal, yaitu dilakukan setelah mendapat izin dari
Pengadilan yang membolehkan untuk melangsungkan perkawian
poligami tersebut.
Perkawinan yang hanya memenuhi ketentuan materiil tetapi
tidak memenuhi ketentuan formalnya, dianggap perkawinan itu tidak
pernah terjadi, yang dalam istilah fikih disebut ‚wujuduhu ka ‘adamihi‛,
sedangkan perkawinan yang telah memenuhi ketentuan hukum formal,
tetapi ternyata tidak memenuhi ketentuan hukum materiil, maka
perkawinan itu dapat dibatalkan. Oleh karena itu, meskipun secara
materil perkawinan itu sah tetapi secara formal belum sah, sehingga oleh
negara selamanya perkawinan itu dianggap tidak pernah ada kecuali jika
dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh PPN
(Pegawai Pencatat Nikah). Sedangkan pihak PPN menurut Pasal 44 PP
No. 9 Tahun 1975 menyatakan ‚Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti
yang dimaksud dalam Pasal 43‛.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa urgensi keharusan izin
Pengadilan untuk berpoligami secara sosio-filosofi sangat menyangkut

144
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

eksistensi perkawinan dalam pengakuan hukum maupun pergaulan


masyarakat. Secara sosio-yuridis, nilai-nilai filosofi yang diusung dalam
undang-undang mengharuskan adanya izin pengadilan untuk
berpoligami. Apabila poligami dlakukan tanpa adanya izin dari
Pengadilan , maka eksistensi perkawinan itu;
a. Tidak mempunyai kekuatan hukum, karena perkawinan tersebut
dianggap tidak pernah ada (wujuduhu ka ‘adamihi), sehingga tidak
menimbulkan akibat hukum.
b. Tidak dapat dijadikan dasar untuk suatu kepentingan hukum secara
legal formal atas segala hal-hal yang menyangkut hubungan hukum
dari perkawinan itu.
c. Tidak dapat dijadikan dasar untuk semua tuntutan hukum ke
Pengadilan atas sengketa yang timbul dari perkawinan itu
dikemudian hari.
d. Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak-hak suami istri
termasuk anak-anak mereka secara legal-formal dalam kehidupan
bernegara maupun dalam pergaulan sosial kemasyarakat.
Secara sosio-filosofi ketentuan-ketentuan yuridis formal yang
menyangkut keharusan izin Pengadilan untuk berpoligami adalah agar
eksistensi dan konsekuensi dari perkawinan poligami itu berjalan sesuai
dengan apa yang dikehendaki shari’at agamanya, yaitu terciptanya
rumah tangga yang dapat menghidupkan nilai-nilai keadilan atas dasar
mawaddah dan rahmah dalam kerangka mu’a>sharah bi al-ma’ru>f,
terwujudnya kehidupan keluarga yang tenteram sehingga menuai
kebahagian yang diharapkan oleh masing-masing suami istri. Lebih jauh
lagi, rumah tangga yang demikian akan menjadi basis sosial yang
menciptakan rasa aman dalan pergaulan hidup masyarakat umum. Hal
ini karena sejumlah problem sosial sebagaimana telah diuraikan di atas,
didominasi faktor-faktor bobroknya kehidupan rumah tangga yang
dibangun oleh setiap anggota masyarakat.
Walaupun Pengadilan Agama memberikan izin untuk
berpoligami dengan berbagai persyaratan, tetapi kenyataan di
masyarakat masih banyak para suami yang melakukan poligami secara
tidak resmi atau tidak dilakukan di depan petugas pencatat nikah dan
Pengadilan Agama, pelaku poligami ini hanya melakukan nikah sirri dan
ada juga yang melakukan pemalsuan identitas di KUA. Pada tahun 2008,
ada 36 kasus perkawinan poligami yang dilaporkan istri kepada LBH-
APIK Jakarta karena suami melakukan poligami tanpa ada izin dari istri,
dan ada pula poligami yang dilakukan tidak dicatatkan di KUA. Pada

145
Fatima

tahun 2003 LBH APIK mencatat berbagai macam modus suami


melakukan poligami, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel: 5.1.
Modus Pelaku Poligami
No. Jenis Modus Jumlah
1. Menikah di bawah tangan 21
2. Pemalsuan identitas di KUA 19
3. Nikah tanpa izin istri pertama 4
4. Memaksa mendapatkan izin 1
5. Tidak diketahui modusnya 3
Total 48
Sumber: LBH APIK Jakarta Tahun 2003

Tabel di atas menunjukkan bahwa, suami yang berpoligami


dengan melakukan pernikahan di bawah tangan (sirri) menempati urutan
tertinggi dengan jumlah 21 kasus. Pemalsuan identitas di KUA
menempati urutan kedua dengan jumlah 19 perkara. Disusul dengan
modus nikah tanpa izin istri pertama dengan jumlah 3 kasus. Terakhir,
adanya pemaksaan pihak suami kepada istri untuk mengizinkan
poligami.
Modus poligami yang dilakukan dengan secara sirri marak
terjadi, mereka tidak berfikir panjang dampak dari pernikahan sirri
tersebut. Dampak yang di maksud adalah, secara hukum istri dan anak-
anak yang lahir dari akibat perkawinan tersebut tidak diakui dan tidak
berhak mendapatkan harta warisan dari suami dan bapaknya. Anak-anak
juga tidak berhak mendapatkan akte kelahiran. Istri dan anak-anak
tersebut dianaktirikan oleh negara, sebab sejak awal mereka tidak
tunduk pada aturan negara (ulil amri). Sangat dimungkinkan anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatat melakukan
perkawinan yang diharamkan di antara mereka, yang sebenarnya masih
ada hubungan darah atau kekerabatan, karena asal usul mereka tidak
dapat diketahui dengan sebenarnya karena ketiadaan bukti-bukti tertulis
yang dikeluarkan oleh KUA.18
Pengadilan Agama terkesan cukup hati-hati dalam mengabulkan
permohonan izin poligami. Pada tahun 2006, tercatat ada 989
permohonan izin poligami yang diajukan di Pengadilan Agama di
seluruh Indonesia, tetapi tidak semua pengajuan permohonan poligami
itu dikabulkan. Ada 803 permohonan izin poligami yang dikabulkan
18
Khamimudin, ‚Pro- Kontra Sekitar Poligami‛, diakses pada 23 Oktober
2012 melalui www.badilaq.net/data/ATIKEL/sekitar20%poligami

146
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

sedangkan 186 lainnya ditolak. Penolakan tersebut disebabkan karena


syarat-syarat poligami tidak memenuhi persyaratan. Adapun rincian
permohonan izin poligami yang diajukan di Pengadilan Agama di
seluruh Indonesia adalah sebagimana tabel berikut ini.
Tabel: 5.2.
Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Tinggi Agama Seluruh
Indonesia Tahun 2006
No. Mahkamah Syariah Permohonan
Propinsi/Pengadilan Tinggi Agama Izin Poligami
1. Surabaya 332
2. Semarang 289
3. Bandung 77
4. Yogyakarta 68
5. Mataram 42
6. Pekanbaru 21
7. Manado 18
8. Palembang 18
9. Jakarta 18
10. Medan 14
11. Pontianak 12
12. Ujungpandang 11
13. Kendari 10
14. Samarinda 10
15. Padang 8
16. Bengulu 7
17. Banda Aceh 6
18. Palu 6
19. Kupang 5
20. Bandar lampung 5
21. Jambi 3
22. Bandarmasin 3
23. Balangkaraya 2
24. Ambon 2
Jumlah 989
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Tinggi Agama.
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa, sepanjang tahun
2006 permohonan izin poligami di seluruh wilayah Pengadilan Agama di
Indonesia mencapai 989 permohonan. Surabaya menempati urutan
tertinggi dengan jumlah 332 perkara. Berikutnya Semarang, dengan
jumlah 289 kasus. Di susul Bandung dengan jumlah 77 kasus.
Yogyakarta menempati urutan keempat dengan jumlah 68 perkara.
Berikutnya Mataram dengan jumlah 42 kasus. Disusul Pekanbaru

147
Fatima

dengan jumlah 21 kasus. Sedangkan Jakarta menempati urutan ketujuh,


sejajar dengan Palembang dan Manado dengan jumlah 18 perkara.
Pada tahun 2010-2011, permohonan izin poligami yang diterima
di Pengadilan Agama DKI Jakarta mencapai 53 kasus, dan yang berhasil
diselesaikan atau diputus mencapai 45 kasus dengan rincian
sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel: 5.3.
Perkara Permohonan Izin Poligami yang diterima dan diputus
Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011
No. Pengadilan Agama DKI Jakarta Perkara Di Perkara
terima Diputus
1. Jakarta Utara 3 3
2. Jakarta Selatan 15 9
3. Jakarta Timur 19 19
4. Jakarta Pusat 5 2
5. Jakarta Barat 11 11
19
Total 53 45
Sumber: Pribadi dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama DKI Jakarta
Tahun 2010-2011.
Berdasarkan tabel di atas menenunjukkan bahwa, sepanjang
tahun 2010 sampai 2011 PA Jakarta Timur menempati urutan tertinggi
mencapai 19 kasus, dan semuanya dapat diselesaikan. Kemudian PA
Jakarta Selatan menempati urutan kedua dengan jumlah 15 kasus, dan
yang dapat diputus 9 kasus. Ketiga PA Jakarta Barat, dengan jumlah 11
kasus, semuanya berhasil di selesaikan. Keempat PA Jakarta Pusat,
dengan 5 kasus dan yang berhasil diputus hanya 2 kasus. Terakhir,
Jakarta Utara dengan jumlah 3 kasus dan semuanya dapat diselesaikan.

19
Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat pula
Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara tentang
Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach Jufri dan
Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. LIihat Ujang Mukhlis, ‚Laporan Perkara
yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember
Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang
Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30 Desember, 2010). Lihat
Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang Perkara yang
diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011). Lihat Arsip ‚Data
Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat Arsip ‚Data
Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011.

148
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Dari sekian banyak kasus praktik poligami yang diterima di


Pengadilan Agama DKI Jakarta, ada beberapa putusan yang patut untuk
dianalisis. Putusal-putusan yang paling mencolok tersebut akan
dideskripsikan di bawah ini.

- Deskripsi Perkara dan Amar putusan Hakim dalam Kasus


Permohonan Izin Poligami.
Kasus pertama, Permohonan izin poligami disampaikan oleh
Pemohon ke Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan register perkara
nomor 817/Pdt.G/2011/PAJT. Dalam putusan ini dijelaskan bahwa
antara Pemohon (umur 32 tahun) dan Termohon (umur 26 tahun) telah
melangsungkan pernikahan pada tanggal 04 September 2006. Setelah
menikah, antar Pemohon dan Termohon bertempat tinggal di rumah
orang tua Termohon. Selama pernikahan tersebut Pemohon dan
Termohon hidup rukun selayaknya suami-istri dan dikarunia seoarang
anak laki-laki yang lahir pada tanggal 30 November 2007. Meskipun
Pemohon hidup rukun dan harmonis dengan Termohon beserta anaknya,
keadaan tersebut tidak menyurutkan niat Pemohon untuk berpoligami
dengan seorang wanita yang berprofesi sebagai karyawati di salah satu
bank swasta yang umurnya lima tahun lebih tua dari Pemohon yaitu 37
(tiga puluh tujuh) tahun.
Alasan izin poligami yang diajukan Pemohon adalah dikarenakan
Termohon sebagai istri kurang dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri dalam hal nafkah batin. Jika tidak melakukan poligami, Pemohon
sangat khawatir akan melakukan perbebuatan yang dilarang oleh norma
agama. Untuk menguatkan alasan permohonan tersebut, Pemohon
menyatakan kesanggupannya memenuhi kebutuhan hidup istri-istri
beserta anak-anaknya, karena Pemohon bekerja sebagai wiraswasta yang
berpenghasilan perbulan Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah). Di
samping itu, Pemohon menyatakan kesanggupannya berbuat adil
terhadap istri-istinya.20
Di persidangan, Termohon menyampaikan jawabannya secara
lisan dengan menyatakan bahwa Termohon mengakui semua dalil-dalil
yang diajukan Pemohon dan bersedia untuk dimadu asalkan Pemohon
berlaku adil. Untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon
mengajukan bukti surat-surat berupa, P.1: (Kutipan Akta Nikah). P.2
(fotocopy KTP Pemohon, Termohon, dan calon istri kedua Pemohon).

20
Doumentasi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor
817/Pdt.G/2011/PAJT.

149
Fatima

P.3 (surah pernyataan belaku adil). P.4 (surah pernyatan persetujuan istri
pertama yaitu Pemohon). P.5 (surah pernyataan calon istri kedua
Pemohon). P.6 (surah pernyataan penghasilan Pemohon) dan bukti surah
lainnya. Selain bukti tertulis, Pemohon juga menghadirkan saksi-saksi di
muka persidangan yang membenarkan dalil-dalil yang diajukan
Pemohon.
Kasus kedua, Pemohon berdasarkan surat permohonannya pada
tanggal 23 Desember 2010 telah mengajukan permohonan izin poligami
yang didaftarkan pada Pengadilan Agama Jakarta Utara. Dalam
positanya pemohon menjelaskan bahwa antara Pemohon dan Termohon
telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 04 Desember 2010.
Setelah menikah Pemohon dan Termohon betempat tinggal di rumah
orang tua Pemohon. Selama pernikahan antara Pemohon dan Termohon
hidup rukun sebagaimana layaknya suami-istri, namun belum dikaruniai
keturunan. Oleh karena itu Pemohon hendak menikah lagi (poligami)
dikarenakan Pemohon telah terlanjur menghamili calon istri keduanya
dan bermaksud mempetanggungjawabkan perbuatan Pemohon dengan
cara melakukan poligami.
Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan kesanggupannya
memenuhi kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anaknya, karena
Pemohon bekerja sebagai Karyawan Swasta yang berpenghasilan setiap
bulannya sebesar Rp. 3.900.000, (tiga juta Sembilan ratus ribu rupiah)
dan sanggup berbuat adil terhadap istri-istri Pemohon. Majelis hakim
telah berusaha memberikan nasehat yang cukup kepada Pemohon agar
membatalkan kehendaknya berpoligami, akan tetapi usaha tersebut tidak
berhasil, Pemohon tetap ingin melanjutkan niatnya untuk berpoligami.
Atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah menyatakan
secara lisan di persidangan bahwa ia tidak keberatan dengan
permohonan Pemohon tersebut. Untuk melengkapi permohonannya,
Pemohon mengajukan alat-alat bukti berupa; surat pernyataan berlaku
adil, surat pernyataan bersedia dimadu, dan surat pernyataan
penghasilan. 21
Kasus ketiga, Permohonan izin poligami disampaikan Pemohon
(umur 36 tahun) pada tanggal 19 Juli 2004 yang terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan register nomor
perkara 851/Pdt.G/2004/PAJS. Pada pokok permohonannya, Pemohon
mengemukakan bahwa, antara Pemohon dan Termohon (umur 30 tahun)

21
Dokumentasi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan Nomor
disembunyikan.

150
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

telah melangsungkan pernikahan pada hari Sabtu tanggal 24 Juli 1996


sesuai dengan Kutipan Akte Nikah yang bersangkutan. Sejak menikah
hingga permohonan ini disampaikan, kehidupan rumah tangga Pemohon
dan Termohon senantiasa rukun sebagaimana layaknya suami-istri. Dari
pernikahan tersebut telah dikarunia tiga orang anak dan saat
permohonan ini diajukan Termohon dalam keadaan hamil anak keempat
dari pernikahan Pemohon dan Termohon. Meskipun kehidupan rumah
tangga Pemohon dan Termohon berjalan harmonis dan telah dikarunia
tiga orang anak bahkan calon dari bapak empat orang anak, namun hal
tersebut tidak menyurutkan niat Pemohon untuk menikah lagi
(berpoligami).
Alasan Pemohon berpoligami adalah dikarenakan menjalankan
shari’at agama. Atas alasan tersebut akhirnya Termohon memberi
persetujuannnya kepada Pemohon untuk berpoligami. Berhubung
Pemohon sudah mendapat persetujuan dari Termohon, akhirnya
Pemohon berkenalan dan berniat untuk melangsungkan pernikahan
dengan seorang Mahasiswi (umur 20 tahun). Dalam permohonannya,
Pemohon mengajukan bukti-bukti tertulis berupa P1, P2, P3, P4, dan P6,
yang pada pokoknya menyatakan kesanggupannya untuk menikah lagi
dan bertanggungjawab dalam menghidupi istri-istri dan anak-anak
Pemohon, karena Pemohon mempunyai penghasilan yang cukup, yaitu
sebesar Rp. 23.300.000, (dua puluh tiga juta tiga ratus rupiah). Selain itu
Pemohon berjanji untuk belaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anaknya. Setelah melalui proses persidangan dengan menghadirkan para
saksi yang membenarkan bahwa Pemohon memiliki kesanggupan lahir
batin untuk berpoligami. Berdasarkan pengakuan Pemohon
dipersidangan, alasan Pemohon izin poligami dikarenakan tidak mau
terjebak pada perbuatan maksiat (Zina).
Dari ketiga putusan tersebut, berdasarkan fakta-fakta di
persidangan, majelis hakim berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon
dapat dipertimbangkan untuk diterima dan dikabulkan. Dalam putusan-
putusan tersebut majelis hakim mengeluarkan putusan dengan
menyatakan hal-hal sebagai berikut.
1. Mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Memberi izin kepada Pemohon untuk melakukan poligami
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya
perkara.
- Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Permohonan
Izin Poligami

151
Fatima

Di Pengadilan Agama ada dua jenis perkara kontentius, tetapi


menggunakan istilah permohonan, yaitu permohonan izin ikrar talak dan
permohonan izin beristri lebih dari satu (poligami). Permohonan izin
poligami harus diproses sebagai kontentius karena diperlukan izin istri
pertama serta melindungi hak-hak istri dalam mencari upaya hukum dan
keadilan. Suami berkedudukan sebagai Pemohon dan istri sebagai
Termohon. Antara Pemohon dan Termohon mempunyai kedudukan yang
sama di muka hakim.22
Dalam praktiknya, masalah poligami terkadang bersifat voluntair
dan terkadang kontentius. Poligami bersifat kontentius yaitu apabila
istri sudah menjalankan kewajibannya sebagai istri, suami mengajukan
permohonan izin poligami, istri tidak mau dimadu dan suami tidak mau
menceraikan. Sedangkan poligami bersifat voluntair yaitu jika istri
memberi izin suami menikah lagi.23
Hakim sebagai pihak yang berwenang mengadili atau menangani
perkara (Absolute Coupetensial)24 izin poligami tentunya mempunyai
pertimbangan-pertimbangan serta kriteria-kriteria tertentu dalam
mengabulkan perkara poligami dengan berbagai alasan yang diajukan
kepadanya, karena memang hakim berwenang untuk menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat
dengan tanpa mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang
ada (Undang-Undang Kehakiman Tahun 2004). Disamping itu alasan-
alasan yang ketat menjadi syarat diperbolehkannya poligami yang
termaktub dalam undang-Undang masih bersifat global. Masih perlu
adanya penafsiran-penafsiran hukum oleh hakim untuk memahaminya.25
Ada satu proses yang harus dipenuhi dalam suatu perkara di
Pengadilan, bahwasannya Hakim harus menilai apakah peristiwa atau
fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-benar
terjadi. Hal ini hanya dapat dibuktikan melalui pembuktian.
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu

22
A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, 202-203.
23
Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Tanggal 18 Juli 2012.
24
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Pedoman Beracara Pada
Pengadilan Agama (Jakarta: t.p, 1980),1.
25
Fahad Asadulloh, ‚Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan
Izin Poligami (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri Tahun 2009-
2010)‛, diakses pada 16 November 2012 Melalui
http://banjirembun.blogspot.com/2012/06/skripsi-bab-i-pertimbangan-hakim-
dalam.html.

152
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut
hukum pembuktian yang berlaku. Di dalam pembuktian, para pihak
memberikan dasar-dasar kepada Hakim yang memeriksa perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa dalam perkara yang
diajukan. Proses pembuktian di atas dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan
itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar
dan adil. Karena hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum
nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar
terjadi, yaitu dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya
hubungan hukum antara para pihak.26
Dari kasus-kasus permohonan poligami yang diterima dan
dikabulkan oleh Pengadilan Agama DKI Jakarta ada beberapa alasan
yang melatarbelakangi para pihak mengajukan permohonan izin
poligami. Ada kalanya mereka mengajukan permohonan poligami
tersebut karena istri mengalami cacat badan, dan ada pula yang
beralasan istri tidak bisa melahirkan keturunan dan berbagai alasan yang
memang sesuai dengan apa yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan
KHI Pasal 57 tentang poligami.
Namun demikian, ada beberapa kasus yang terjadi di Pengadilan
Agama DKI yang tidak sesuai dengan alasan-alasan yang terdapat dalam
Undang-Undang. Seperti contoh kasus dengan register nomor perkara
851/Pdt.G/2004/PAJS. Alasan Pemohon mengajukan izin poligami pada
kasus ini adalah untuk menjalankan shari’at agama. Seolah-olah ayat
poligami difahami sebagai anjuran bukan sebagai pintu darurat
sebagaimana pendapat Quraish Shihab yang menyatakan bahwa,
poligami ibarat pintu pintu darurat dalam pesawat udara, yang tidak
dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat dan setelah diizinkan oleh
pilot. Yang membukanya pun haruslah mampu, karena itu tidak
diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali orang-orang
tertentu.27 Pintu darurat seharusnya ada untuk menyelamatkan seluruh
penumpang tanpa pengecualian. Sementara poligami terkadang hanya
menyelamatkan suami atau ayah saja, sedangkan istri dan anak-anak
justru kerap menjadi korban. Sebagaimana kasus di atas, saat Pemohon
mengajukan permohonan izin poligami, Termohon dalam kondisi hamil
26
A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet. VII,
139.
27
Quraish Shihab, ‚Poligami dan Kawin Sirri Menurut Islam‛, diakses pada
18 November 2012 melalui http://nambas.wordpress.com/2010/03/03/quraish-shihab-
poligami-dan-kawin-sirri-menurut-islam/

153
Fatima

anak ke empat buah cintanya dengan Pemohon. Secara Psikologis


wanita hamil butuh perhatian lebih dari suaminya.28 Sedangkan
Termohon, bukan perhatian yang di dapat melainkan kekecewaan.
Mengabulkan permohonan izin poligami dalam kasus ini berarti
mengganggu hak-hak istri pertama dan hakim terkesan hanya
mempertimbangkan kepentingan Pemohon saja dan mengabaikan
kepentingan Termohon dan anak-anaknya. Dasar pertimbangan hakim
dikabulkannya permohonan tersebut adalah Pasal 5 Ayat (1) UU No. 1
tahun 1974 dan Pasal lain dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta ketentuan shar’i yang berkaitan dengan perkara ini. Segala
putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili.29 Namun faktanya hakim memutuskan perkara tersebut
hanya berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) tanpa merinci pasal mana saja yang
terkait dengan kasus tersebut. Pernyataan ‚pasal lain dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta ketentuan shar’i yang berkaitan
dengan perkara ini‛ sebagai dasar pertimbangan hakim tidak sesuai
dengan bunyi Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Menurut penulis, majelis hakim kurang bijak dalam mengabulkan
izin poligami yang didasarkan hanya pada Pasal 5 Ayat (1) yang
merupakan syarat komulatif tanpa menjelaskan secara rinci alasan
alternatif. Kemungkinan tidak dicantumkannya alasan alternatif bisa
jadi dikarenakan Pemohon tidak memenuhi alasan yang patut yang
terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 4 Ayat (2) jo Pasal 57 KHI.
Hal ini terbukti dari posita dalam surat permohan tersebut dinyatakan
bahwa antara Pemohon dan Termohon hidup rukun layaknya suami-istri
dan dikarunia tiga orang anak, Termohon juga dalam keadaan sehat
tidak cacat.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa hakim, di
antaranya Eko Budiono menyatakan bahwa, apabila syarat-syarat
poligami yang terdapat dalam UU tidak terpenuhi, namun istri memberi
izin poligami, maka hakimpun akan mengabulkan permohonan tersebut,

28
Yodha Haryadi, ‚Suami Bisa Ngidam‛, di akses pada 19 November melalui
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/11/16/suami-bisa-ngidam-503647.html.
29
Pasal 25 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

154
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

karena hakim melihat secara formilnya saja.30 Kalau demikian,


pertanyaannya untuk apa alasan alternatif dicantumkan dalam peraturan
perundang-undangan, bila keberadaannya seolah-olah hanya sebagai
pelengkap saja, padahal dalam kitab-kitab fikih klasik syarat alternatif
tersebut merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam melakukan
poligami.
Berbeda dengan pendapat Budiono, M. Rizal selaku hakim
Pengadilan Agama Jakarta Barat, menyatakan bahwa hakim tidak
terikat istri setuju atau tidak, sepanjang telah memenuhi unsur-unsur
persyaratan poligami baik syarat komulatif maupun syarat alternatif,
maka izin poligami dikabulkan.31 Ternyata para hakim di Pengadilan
Agama DKI mempunyai pemahaman yang berbeda dalam menangani
kasus poligami ini. Jadi wajar saja jika permohonan poligami setiap
tahunnya semakin meningkat. Karena dalam praktik di Pengadilan
Agama DKI hakim sering kali mengabulkan izin poligami meskipun
hanya memenuhi syarat komulatif saja. Dikabulkannya kasus di atas
menambah daftar panjang maraknya kasus poligami.
Berikutnya kasus yang terjadi pada tahun 2010 yang telah
didaftarkan pada Pengadilan Agama Jakarta Utara, di mana alasan
Pemohon mengajukan permohonan izin poligami dikarenakan Pemohon
belum dikarunia keturunan, di samping itu Pemohon telah menghamili
wanita yang akan menjadi calon istri keduanya. Padahal jika dicermati,
sesuai kutipan Akte Nikah antara Pemohon dengan Termohon, keduanya
menikah belum genap 1 bulan, masih nuansa bulan madu Pemohon
sudah mau menikah lagi dengan alasan belum mempunyai keturunan.
Menurut penulis terlalu dini seorang suami mengajukan permohonan
poligami dalam usia perkawinan belum genap 1 bulan. Bisa jadi alasan
tersebut alasan yang dibuat-buat (rekayasa Pemohon) karena alasan
hamil di luar nikah tidak termasuk katagori alasan diizinkannya
poligami. Sementara itu bagaimana kondisi psikis Termohon selaku istri
pertama melihat kenyataan belum genap 1 bulan suami sudah ingin
menikah lagi? Pada hakikatnya tidak ada perempuan yang rela dan
bersedia untuk dipoligami. Secara psikologis semua istri akan merasa
sakit hati bila melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain,
apalagi masih nuansa pengantin baru, tentu tergoncang batinnya, namun

30
Wawancara dengan Eko Budiono, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara,
Tanggal 19 Juni, 2012, di Ruang Hakim.
31
Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Tanggal 18 Juli 2012.

155
Fatima

dalam kondisi ada wanita lain yang hamil karena perbuatan suaminya,
Termohon tidak punya pilihan kecuali mengizinkan Pemohon menikah
lagi.
Melihat fakta-fakta dipersidangan, Majelis hakim berpendapat
bahwa permohonan Pemohon untuk berpoligami telah dapat memenuhi
syarat sebagimana diatur dalam Pasal (5) Ayat (1) huruf (b) UU No.1
Tahun 1974 dan juga sejalan dengan Pasal 58 Ayat (1) huruf (b) KHI
serta ketentuan Pasal 41 huruf (b), (c) dan (d) PP No. 9 Tahun 1975.
Faktor lain yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan tersebut adalah dikarenakan calon istri ke dua Pemohon
telah hamil. Hal tersbut selalu menjadi dalil yang menguatkan hakim
dalam memberikan pertimbangan mengabulkan permohonan poligami.
Jika tidak dikabulkan maka semakin memperbesar peluang Pemohon
untuk berbuat madarat misalnya, penelantaran tanggung jawab yang
dilakukan Pemohon terhadap calon istri keduanya yang sedang
mengandung darah dagingnya karena tidak mempunyai hubungan
hukum.32 Oleh karena itu untuk menekan dampak negatif yang akan
ditimbulkan sesuai kaidah , maka hakim
mengabulkan permohonan tersebut.
Terakhir kasus yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Timur
dengan register perkara nomor 81/Pdt.G/2011/PAJT. Alasan izin
poligami yang diajukan Pemohon adalah dikarenakan Termohon sebagai
istri kurang dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dalam hal
nafkah batin. Jika tidak melakukan poligami, Pemohon sangat khawatir
akan melakukan perbebuatan yang dilarang oleh norma agama. Pada
kasus ini hakim mengabulkan permohonan izin poligami tersebut.
Padahal bila ditelusuri secara seksama penulis tidak menemukan alasan
yang serius yang patut untuk dikabulakannya izin poligami tersebut.
Karena pada kenyataannya kehidupan rumah tangga Pemohon dan
Termohon berjalan harmonis dan telah dikarunia seorang anak laki-laki.
Dasar hukum pertimbangan hakim dalam mengabulkan kasus ini
adalah pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 40, 41, 42 dan 43 PP
No. 9 Tahun 1975 telah mengatur dan menetapkan alasal-alasan serta
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang akan beristri
lebih dari seorang. Dasar yang digunakan hakim dalam mengabulkan
32
Mochamad Anwar Khadafi, ‚Dasar Pertimbanagan Hakim Mengabulkan Izin
Poligami Bagi Suami Yang Berpenghasilan Tidak Tetap‛, (Malang: Tesis Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2012), 61-62. Di akses pada 16 November 2012
melalui http://libUin-Malang-ac.id

156
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

izin poligami tersebut hanya bersifat formil. Menurut Penulis hakim


kurang bijaksana dalam mengabulkan kasus ini, karena tidak ada alasan
yang dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan.
Sebenarnya bila majelis hakim mempertimbangkan kepentingan
istri dan anaknya serta konsisten dengan apa yang diatur dalam Pasal 4
Ayat (2) a-c UU No.1 Tahun 1974 dan Pasal 41 huruf (a) PP No.9 Tahun
1975 maka hakim tidak akan mengabulkan permohonan ini. Hampir
semua kasus yang senada dengan kasus di atas hakim Pengadilan Agama
DKI sering mengabulkan izin poligami meskipun alasannya suami
kurang puas dengan istri pertama dan jika tidak menikah lagi
dikhawatirkan berbuat dosa, maka jika istri pertama rela, dan kerelaan
tersebut tanpa ada tekanan, suami mampu berbuat adil, maka hakimpun
mengabulkan izin poligami tersebut.33
Menuut Penulis pertimbangan alasan memilih poligami sebagai
penyaluran hasrat seksual secara halal dari pada memilih penyaluran
syahwat melalui perbuatan zina, merupakan solusi yang tidak tepat,
malah merupakan alasan yang menunjukkan sikap arogansi kaum
lelaki dalam melampiaskan keserakahan libidonya sekaligus
merendahkan martabat kaum perempuan, dengan menempatkannya
sebagai objek, dan bukannya sebagai subjek yang setara dengan kaum
lelaki dalam perkawinan.
Alasan lain yang tidak diatur dalam UU sering dijadikan
dasar melakukan poligami adalah asumsi bahwa angka statistik
menunjukkan jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Beberapa
penelitian ilmiah menunjukkan bahwa perempuan yang lanjut usia
lebih banyak dari laki-laki usia lanjut. Salah satu penyebabnya adalah
usia harapan hidup perempuan Indonesia lebih panjang daripada laki-
laki. Fenomena ini disebabkan antara lain karena daya tahan tubuh
perempaun pada umumnya lebih baik. Kondisi demikian
menyebabkan banyak perempuan yang bertahan hidup di atas usia 60
tahun dibanding laki-laki.34
Dengan demikian kelebihan jumlah perempuan terjadi di usia
lanjut dan jika alasan poligami adalah menolong perempuan maka
seharusnya poligami dilakukan dengan para ‚manula‛ tersebut. Dalam
realitas kehidupan yang dialami perempuan, seperti yang tampak dalam

33
Wawancara dengan Tamah, Hakim Pengadilan Agama Jakata Selatan, pada
tanggal 23 Mei, 2012, Di Ruang Mediasi 1.
34
Syafiq Hasyim, Poligami dan Keadilan Kualitatif (Jakarta: P3M, 1999), 33.

157
Fatima

data-data mengenai kasus kekerasan terhadap istri dalam bentuk


poligami yang masuk di Rifka Annisa Women Crisis Center tahun
2000, perempuan bahkan tidak terjamah dalam UU. Data di Rifka
Annisa menunjukkan bahwa 62% dari kasus poligami yang masuk pada
tahun 2002 adalah poligami sirri dan hanya 38% kasus poligami
yang dilakukan secara resmi. Sementara itu, data yang ada
menunjukkan bahwa 75% dari 90 kasus kekerasan terhadap istri yang
ada, solusi yang dipilih adalah cerai.35 Perceraian yang diakibatkan
oleh poligami seperti ini tidak diakomodir dan tidak mendapatkan
jaminan undang-undang.
Selama ini, banyak alasan-alasan yang muncul untuk
membenarkan suami menikah lagi. Mulai dari keikhlasan karena tidak
mampu mendampingi suami sepenuhnya, ketidakmampuan memberi
keturunan, ketergantungan dalam ekonomi, dan lain-lain. Alasan-alasan
ini yang membuat beberapa perempuan terpaksa menerima kenyataan
pahit dipoligami karena secara status sosial sangat bergantung pada
suami. Akibatnya seorang istri memilih diam dan berpura-pura ikhlas
menerima kehadiran wanita lain asal suami masih mau bertanggung
jawab untuk memenuhi segala kebutuhan hidup khususnya kebutuhan
ekonomi.36
Pandangan buruk mengenai poligami muncul karena praktik-
praktik poligami yang terjadi di tengah-tengah masyarakat lebih banyak
dampak negatifnya daripada dampak positifnya. Beberapa dampak
negatif dari perkawinan poligami ini adalah perceraian, suami akan
meninggalkan istri dan anak-anak dari perkawinan sebelumnya, dan
suami tidak berlaku adil. Poligami tersebut cenderung memperlihatkan
sikap yang tidak bertanggungjawab sebagai suami yang berpoligami dan
juga tidak jarang keluarga yang berpoligami ini akan mengalami
ketidakharmonisan di dalam keluarganya. Dari Tabel di bawah ini dapat
dilihat beberapa dampak poligami terhadap istri pertama.

35
Divisi Litbang RAWCC, ‚Grafik Solusi yang dipilih klien kasus KTI Bulan
Januari-Desember 2000‛, di Rifka Annisa WCC Yogyakarta, 24.
36
www.repository.USU.Ac.Id/bitstream/123456789/16195/5/chpter/.201.pdf.
Diakses pada 15 November 2012.

158
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Tabel: 5.4.
Dampak Poligami Terhadap Istri Pertama
No. Jenis Dampak Jumlah
1. Tidak Memberi Nafkah
37
2. Tekanan Psikis 21
3. Penganiayaan Fisik 7
4. Diceraikan Suami 6
5. Ditelantarkan Suami 23
6. Pisah Ranjang 11
7. Mendapat Teror dari Istri Kedua 2
Jumlah 107
Sumber: LBH APIK Jakarta Tahun 2003-2005
Menurut data dari LBH-APIK tersebut banyak sekali akibat atau
dampak dari praktik poligami yang dilakukan oleh seorang suami
terhadap istri pertama, yaitu mulai dari tidak memberikan nafkah,
tekanan psikis, penganiayaan fisik, ditelantarkan suami, pisah ranjang,
dan mendapat teror dari istri kedua. dan diceraikan suami. Badan
Pengadilan Agama (Badilag) mencatat bahwa sepanjang tahun 2005
perceraian yang disebabkan poligami berjumlah 879 dari seluruh perkara
perceraian di Indonesia. Pengadilan Tinggi Agama Bandung merupakan
Pengadilan Tinggi Agama yang paling sering menangani perceraian
yang disebabkan poligami. Kasus perceraian akibat poligami yang
terjadi di Bandung pada tahun berjumlah 324 perkara. Sedangkan
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya menempati urutan kedua dengan
jumlah kasus sebanyak 162 perkara dan Pengadilan Tinggi Agama
Semarang menempati urutan ketiga dengan jumlah 104 kasus. 37 Oleh
sebab itu poligami hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu suami,
sedangkan istri merupakan pihak yang sangat dirugikan dalam masalah
ini.
Ada fakta menarik seputar jumlah perkara yang masuk di PA
DKI Jakarta. Tahun ini data per 30 Oktober 2012 PA Jakarta Timur
meraih rating tertinggi menyalip PA Jakara Selatan yang pada tahun lalu
menempati urutan pertama dengan jumlah perkara 3125. Sedangkan PA
Jakarta Timur diurutan ke dua dengan total perkara 2955.
Pada tahun ini, PA Jakarta Timur diprediksi menempati urutan
tertinggi dalam jumlah penerimaan perkara di bandingkan PA Jakarta

37
Laporan Tahunan LBH APIK Jakarta Tahun 2005.

159
Fatima

lainnya, buktinya hingga 30 Oktober total penerimaan perkara sudah


mencapai 2777 perkara. Sedangkan PA Jakarta Selatn menempatin
urutan kedua dengan jumlah 2692 perkara. PA Jakarta Barat menempati
urutan ketiga dengan jumlah 1555 perkara. Lalu PA Jakarta Utara
menempati urutan keempat dengan perolehan 1337 perkara. PA Jakarta
Pusat menempati posisi terakhir dengan jumlah 1218 perkara.
Dari semua jenis perkara yang diterima tersebut, seperti biasa
kasus cerai talak dan cerai gugat mendominasi penerimaan perkara
semua wilayah. PA Jakarya Timur misalnya, cerai talak mencapai 798
kasus, sedangkan cerai gugat mencapai jumlah 1774 kasus. Menariknya,
kasus permohonan izin poligami PA Jakarta Timur dan PA Jakarta Barat
menempati urutan tertinggi dengan jumlah masing-masing 8 kasus.
Selanjutnya PA Jakarta Pusat dengan jumlah 5 kasus, di susul PA
JakartaUtara 4 kasus. Sedangkan PA Jakarta Selatan sepanjang tahun
2012 ini tidak ada perkara permohonan izin poligami.38
Jika perolehan perkara masuk PA Jakarta Timur jawaranya maka
perkara yang diselesaikannya (diputus) pun menjadi paling teratas.
Untuk tahun 2012 ini PA Jakarta Timur telah menyelesaikan 2653 kasus
dari perkara yang diterima mencapai 2777 perkara. Sedangkan PA
Jakarta Selatan dari total jumlah perkara yang diterima mencapai 2692,
yang berhasil diselesaikan mencapai 2532 kasus. Fakta ini menunjukkan
antara perkara yang diterima dan diputus tidak terpaut jauh, selisih
diangka 100-an. Artinya dipastikan kinerja PA di DKI Jakarta dinilai
efisien dan masih proporsional.39
B. Cerai Gugat dan Khuluk: Reformasi Hukum yang Belum Final
Hukum keluarga muslim kontemporer membolehkan pasangan
bercerai baik itu atas inisiatif suami, istri, persetujuan kedua belah pihak
maupun putusan pengadilan.40Berbeda dengan agama lainnya, agama
Islam membolehkan suami istri bercerai dengan alasan-alasan tertentu,

38
Handika, ‚Laporan Perkara per Oktober 2012 PA di Jakarta‛, di akses
pada 28 November 2012 melalui
http://pajakartatimur.go.id/?option=com_content&view=article&id=288:1
234.
39
Rekap perkara diterima dan diputus diakses pa da 28 November
2012 melalui www.infoperkara.badilag.n et.
40
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta:
RajaGrafindo Persada,), 102-103. Lihat Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan
Perceraian di Malaysia dan Indonesia (Bandung: Alumni, 1982), 291. Lihat pula,
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 216-
217.

160
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

kendatipun percerainan itu sangat dibenci Allah, karena akibatnya tidak


hanya akan dialami oleh suami istri, akan tetapi anak-anak dan keluarga
kedua belah pihak. Oleh karena itu pada bagian ini akan dijelaskan
mengenai Peraturan cerai gugat dan implemenasinya dalam putusan
Pengadilan Agama.
Dalam KHI putusnya perkawinan disebabkan karena kematian,
perceraian, dan putusan pengadilan.41 Putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak ataupun
berdasarkan gugatan perceraian.42 Yang dimaksud dengan gugat cerai
adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh
seorang istri agar perkawinan dengan suaminya menjadiputus. Gugatan
terjadi dengan disertai alasal-alasan sebagimana Pasal 19 PP No. 9
Tahun 1975 jo penjelasan Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 jo Pasal 116
KHI.43
Sepintas makna gugat cerai sama dengan makna khuluk yaitu
sama-sama perceraian atas inisiatif istri. Pertanyaannya apakah yang
dimaksud gugat cerai dalam UU No.1 Tahun 1974 maupun KHI adalah
khuluk sebagaiman yang terdapat dalam kitab-kitab fikih?. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, di bawah ini akan dijelaskan makna dari
khuluk itu sendiri.
Secara etimologi khuluk berarti mencabut, melepaskan atau
menanggalkan.44 Khuluk disebut juga fida>’ ( ) yang berarti tebusan.
Karena istri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar
sejumlah tebusan atau imbalan kepada suami.45 Secara terminologi
ulama berbeda pendapat. Menurut ulama H{a>nafiyah, khuluk adalah

41
Lihat Pasal 113 KHI. Sementara putusnya perkawinan karena putusan
pengadilan tidak ada penjelasan yang tegas. Namun dari penjelasan perundang-
undangan yang ada sejumlah sebab terjadinya perceraian yaitu; talak, gugat cerai,
khuluk, shiqaq, fasakh, taklik talak dan li’a>n. Lihat Khoiruddin Nasution, Status
Wanita di Asia Tengggara: Setudi terhadap Perundang-undangan perkawinan Muslim
Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, 222.
42
Pasal 114 KHI.
43
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama:
UU Nomor7 Tahun 1989 (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 46. Bandingkan dengan
pendapat Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2006), 19.
44
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap,
Cet. IVX (Surabaya: Pusaka Progressif, 1997), 361.
45
Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1994). 95.

161
Fatima

berakhirnya hubungan perkawinan yang diperkenankan, baik


menggunakan kata khuluk ataupun kata lain yang mempunyai makna
yang sama. Menurut ulama Ma>likiyah, menetapkan khuluk sebagai talak
bil ‘iwad{ atau cerai dengan membayar. Menurut Ima>m al-Sha>fi’i>, khuluk
adalah perpisahan antara sepasang suami istri dengan memberi sesuatu
penganti dengan menggunakan lafal talak atau khuluk. Dan menurut
Hanbali khuluk adalah perpisahan antara suami istri dengan
menggunakan pengganti kepada suami dengan lafal tertentu.46 Adapun
dasar hukum khuluk adalah al-Baqarah Ayat 229, di mana Allah telah
membolehkan bagi istri untuk menebus dirinya dengan membayar ‘iwad{
(tebusan) kepada suaminya.47
Ulama berbeda pendapat memasukkan khuluk dalam talak ba’in
kubra atau ba’in sughra. Mazhab H{a>nafiyah memasukkan khuluk ke
dalam kelompok ba’in kubra, yang berarti tidak ada hak rujuk. Menurut
Imam Malik khuluk termasuk talak ba’in. Akibat khuluk sama dengan
talak ba’in dan ila>’. Menurut al-Sha>fi’i>, akibat khuluk adalah tidak ada
nafkah bagi istri, istri hanya berhak mendapat tempat tinggal saja,
dengan alasan karena suami tidak berhak rujuk. Menurut Ima>m Ma>lik
sebab-sebab putusnya perkawinan adalah, talak, khuluk, fasakh, shiqaq,
nushu>z, i>la>’, dan z{ihar. Menurut Imam al-Sha>fi’i>, talak, khuluk, fasakh,
shiqaq, nushu>z, i>la>’, z{ihar, dan li’an.48
KHI mendefinisikan khuluk sebagai perceraian yang terjadi atas
permintaan istri dengan memberikan tebusan atau ‘iwad} kepada dan atas
persetujuan suami.49 Jika istri tidak mendapatkan persetujuan dari
suaminya, maka jalan satu-satunya adalah intervensi pengadilan untuk
memaksa suami mengucakan talak. Perceraian dengan jalan khuluk
mengurangi jumlah talak50 dan termasuk dalam katagori talak ba’in
sughra, yaitu suami tidak dapat rujuk kecuali dengan akad nikah

46
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fikih al-Isla>m wa Adillatuh, Juz X (Beirut: Da>r al-
Fikr, 1418H/1997), 7007-7008. Lihat Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan dalam
Shari>’at Isla>m (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 106-107.
47
Redaksi ayat tersebut adalah;

..
48
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tengggara: Setudi terhadap
Perundang-undangan perkawinan muslim kontemporer di indonesia dan malaysia, 203.
49
Pasal 1 huruf (i). Lihat pula Judith E Tucker, Women, Family and Gender in
Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 96.
50
Pasal 161 KHI

162
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

baru.51Perceraian dengan jalan khuluk harus berdasarkan atas alasan-


alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116 KHI.52
Ketika penulis menganilasi beberapa putusan hakim terkait
dengan gugat cerai (akan dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya),
hampir semua kasus gugat cerai di lingkungan Pengadilan Agama,
mayoritas hakim menjatuhkan talak ba’in sughra, sebagaimana cerai
dengan jalan khuluk. Implikasinya tidak ada hak nafkah iddah bagi istri
karena suami tidak berhak untuk rujuk, ini pendapat yang pertama.
Pendapat yang kedua mengatakan, nafkah iddah dapat diberikan kepada
istri yang menggugat cerai dengan alasan istibr>a’. Dari kedua pendapat
ini, pendapat pertama mayoritas dianut oleh hakim Pengadilan Agama.53
Hal ini menunjukkan hakim Pengadilan Agama menyamakan makna
gugat cerai dengan khuluk.
KHI sendiri memang tidak secara tegas membedakan antara
gugat cerai dengan khuluk, namun secara tersirat KHI membedakannya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pembahasan tersendiri tentang
khuluk yaitu pada pasal 1 (i), pasal 12454 dan pasal 148.55 Dengan
demikian sebenarnya KHI sendiri membedakan antara gugat cerai dan
khuluk, selain ada perbedaan ada juga persamaanya di antara keduanya.
Persamaannya adalah sama-sama keinginan untuk bercerai yang
datangnya dari pihak istri. Sedangkan perbedaannya adalah cerai gugat
tidak selamanya membayar uang iwad. Uang ‘iwad} menjadi dasar akan
terjadinya khuluk.56
Menurut penulis, jika gugat cerai dan khuluk dapat dibedakan,
tentunya dampak dari keduanya berbeda pula. Dampak dari khuluk

51
Pasal 119 menyatakan 1. Talak Ba`in Shughra adalah talak yang tidak boleh
dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. 2.
Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: a. talak yang terjadi
qabla al dukhul, b. talak dengan tebusan atau khuluk, c. talak yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama.
52
Pasal 124.
53
Wawancara dengan IbuTamah (hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan),
tanggal 23 Mei 2012.
54
Redaksi Pasal tersebut ‚Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian
sesuai ketentuan Pasal 116‛.
55
Redaksi Pasal tersebut ‚seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian
dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
56
Andi Eko Winantio, ‚Cerai Gugat Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
Studi kasus di Pengadilan Agama Surakarta‛ (Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2009),

163
Fatima

adalah istri tidak ada hak mendapat nafkah iddah karena termasuk talak
ba’in sughra.57 Sedangkan gugat cerai, istri seyogyanya mendapat
nafkah iddah karena tidak adil rasanya hanya gara-gara istri yang
menggugat cerai lalu istri pula yang harus menanggung resiko dengan
hilangnya hak nafkah istri.
Dalam hal tata cara perceraian yang berhubungan dengan
gugatan dilakukan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 sampai 36
PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Pasal 132-146 KHI dan Pasal 73-86 UU No.
7 Tahun 1989 jo UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, tata
cara dalam peraturan tersebut tersebut adalah pertama, istri atau kuasa
hukumnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat
tinggal penggugat, kecuali istri nushu>z.58 Kedua, pemeriksaan meliputi
pemanggilan penggugat maupun tergugat atau kuasa hukumnya,59dan
usaha mendamaikan kedua belah pihak.60 Pemeriksaan gugatan
dilakukan dengan sidang tertutup.61 Ketiga, dalam hal dikabulkannya
gugat cerai oleh pengadilan, maka perceraian terjadi, terhitung sejak
jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai hukum

57
Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi’i akibat cerai karena khuluk, istri
hanya berhak memperoleh tempat tinggal sampai masa iddah berakhir. Apabila istri
dalam keadaan mengandung, berhak juga atas tempat tinggal dan nafkah, sebagaimana
disebutkan dalam QS. Al-T{ala>q Ayat 6. Lihat keternagan selengkapanya Muhamad
Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Pendapat Para
Ulama (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), 225.
58
Pasal 132 (1) KHI dan Pasal 73 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
jo.Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan ‚Gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.‛ Pasal 20 PP Nomor 9
tahun 1975 Menyatakan ‚gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau
kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat.‛
59
Pasal 26 PP Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal 142 (1) KHI.
60
Pasal 31 (1) PP Nomor 9 tahun 1975, Pasal 143 (1) KHI dan Pasal 82 (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
61
Pasal 33 PP Nomor 9 tahun 1975, 145 KHI dan Pasal 79 (2) Undang-undang
Nomor 7 tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan ke
dua atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

164
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

tetap.62Kemudian pengadilan menyampaikan salinan putusan. Proses


perceraian dengan jalan khuluk, pertama, istri mengajukan permohonan.
Kedua,pemeriksaan meliputi pemanggilan oleh pengadilan untuk di
dengar keterangan dari masing-masing pihak, diberi penjelasan tentang
akibat khuluk dan diberi nasihat-nasihat. Ketiga, putusan pengadilan
berupa izin untuk ikrar talak bagi suami kalau kedua belah pihak sudah
sepakat tentang besarnya ‘iwad}, dan setelah ikrar talak pengadilan
membuat penetapan tentang terjadinya talak.63
Hal yang menarik dalam peraturan perundang-undangan terkait
dengan proses gugat cerai adalah menyangkut kompetensi wilayah
pengadilan mengalami perubahaan. Ada dua perbedaan yang menonjol
antara PP Nomor 9 Tahun 1975 di satu sisi dan UU No. 7 Tahun 1989 jo
UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Pengadilan Agama dan KHI di sisi lain. Pertama, dalam PP
pemohon bisa suami atau istri, sementara UU No 7 Tahun 1989 jo.UU
No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan ke dua atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Pengadilan Agama dan KHI hanya istri. Kedua, tempat
mengajukan permohonan gugat cerai, di mana dalam PP No. 9 Tahun
1975 di wilayah Pengadilan Agama tergugat, sementara dalam UU
Nomor 7 Tahun 1989 jo UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan ke
dua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama dan KHI di Pengadilan Agama wilayah penggugat.
Perubahan di atas merupakan salah satu bentuk keperpihakan
peraturan perundang-undangan dalam melindungi hak wanita dengan
mempermudah proses gugatan perceraian yang tadinya gugatan di
sampaikan ke Pengadilan Agama wilayah tergugat kini dapat diajukan di
wilayah penggugat.64
Bentuk perlindungan hukum lainnya dalam kasus perceraian juga
terlihat pada asasnya, yaitu mempersulit terjadinya perceraian.
Perceraian tidak lagi dipandang sebagai urusan pribadi (privat affair)
suami istri dan atau keluarga kedua belah pihak, tetapi telah
menjadikannya urusan umum (public affair) yang dikelola oleh
pengadilan. Karena itulah kini, perceraian diberikan pembatasan yang
ketat dan tegas baik mengenai tata cara mengajukan perceraian maupun
62
Pasal 34 (2) PP Nomor 9 tahun 1975, 146 KHI dan Pasal 81 (2) Undang-
undang Nomor 7 tahun 1989 jo.Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang
Perubahan ke dua atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
63
Pasal 148 KHI.
64
Wawancara Pribadi dengan IbuTamah, hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan, Rabu, 23 Mei 2012, Pukul 14.40-15.19. Di Ruang Mediasi 1.

165
Fatima

syarat-syarat untuk bercerai, karena perceraian baru memenuhi syarat


formil dan materiil apabila didasarkan atas alasan yang sah. Alasan-
alasan tersebut telah ditetapkan secara enumerative dalam Pasal 19 PP
No. 9 tahun 1975 jo Penjelasan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal
116 KHI adalah sebagai berikut.
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar ta’lik talak.
h. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Salah satu alasan yang sering digunakan sebagai dasar perceraian
oleh wanita adalah perceraian bersyarat atau taklik talak, yaitu suatu
pengucapan janji pada saat perkawinan, yang bila tidak terpenuhi secara
otomatis akan jatuh talak.65 Bila taklik talak telah diucapkan oleh suami
pada saat perkawinan, maka istri dapat menggunakannya untuk
menuntut perceraian dengan menunjukkan alasan tertentu ke
pengadilan. Karena talak akan jatuh secara otomatis dari suatu peristiwa
yang menyebabkannya, maka bukti kejadian merupakan syarat untuk
talak dan biasanya tuntutan istri untuk bercerai segera dikabulkan,
disebabkan oleh penggunaan taklik talak yang begitu luas di Indonesia,
sejak tahun 1955 Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama)
mencetak isi taklik talak di belakang halaman setiap buku nikah. Namun
pada Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 tidak dijelaskan tentang
taklik talak sebagai salah satu alasan perceraian, dan juga tidak

65
Bandingkan dengan M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Ind. Hill-
Co, 1990), 107.

166
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

termasuk ke dalam perjanjian perkawinan pasal 29 ayat 1-4 dan


penjelasan Ayat 2 Pasal 39 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974.
Taklik talak baru merupakan salah satu bentuk dari perjanjian
perkawinan setelah disahkannya KHI tahun 1999, di mana taklik talak
termasuk dalam katagori reform (norma baru). Dalam pasal 45 ayat (1)
dijelaskan, bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian
perkawinan dalam bentuk taklik-talak. Sedangkan pada Pasal 116 huruf
(g) KHI dijelaskan bahwa, perceraian dapat terjadi atau gugatan
perceraian dapat diajukan istri kepada Pengadilan Agama manakala
suami melanggar taklik talak.66
Tidak hanya taklik talak yag menjadi reform dalam KHI, riddah
(pindah agama) juga dimasukkan dalam alasan perceraian. Sebelumnya
jika ada perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama mengenai
permohonan atau gugatan perceraian tentang pembantalan perkawinan
dengan alasan riddah, maka Pengadilan Agama kesulitan dalam
menggolongkan perkara tersebut, apakah termasuk perceraian ataukah
pembatalan perkawinan. Sedangkan Pengadilan Agama tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara dengan dalil
hukum tidak ada atau kurang jelas. Di samping itu segala penetapan dan
putusan pengadilan selain memuat alasan-alasan juga harus memuat
pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau
sumber hukum yang tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali.
Menurut Yahya Harahap, penambahan alasan perceraian karena
riddah dalam KHI didasarkan atas pengalaman selama ini. Pengadilan
Agama sering menolak gugatan perceraian atas dalil suami atau istri
berpindah agama (murtad). Alasan penolakan yang dilakukan hakim
didasarkan pada pertimbangan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 dan PP
Nomor 9 Tahun 1975, tidak mengatur murtad sebagai alasan perceraian.
Padahal ditinjau dari hukum Islam hal itu sangat beralasan untuk
memutuskan perkawainan.67 Pertanyaannya mengapa alasan perceraian

66
Syarat untuk putusnya hubungan /perkawinan dengan taklik talak adalah:
(1). Terjadinya sesuatu yang diperjanjikan yaitu misalnya meninggalkan terus-menerus
istrinya selama 6 (enam) bulan tanpa memberi kabar dan tidak mengirim nafkah baik
lahir maupun bathin. (2). Sang istri tidak ridha (tidak rela) atas kejadian atau pristiwa
tersebut. (3). Istri datang kepada pejabat yang sah. (4). Istri membayar iwad sebagai
penegasan tidak senangnyaterhadap siap suaminya dengan terjadinya pristiwa itu.
Lihat M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 dari Segi hukum Perkawinan Isalam, 105.
67
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
UU No 7 Tahun 1989, 46.

167
Fatima

karena riddah baru dicantumkan secara yuridis formal dalam KHI


sebagai salah satu alasan perceraian?.
Menurut Abdul Manan, barangkali pembuat undang-undang
menganggap bahwa perceriaan berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 telah cukup memadai dan sesuai dengan jiwa undang-
undang tersebut yang antara lain menganut asas mempersulit terjadinya
perceraian.68 Maka dalam memecahkan persoalan perceraian karena
riddah hakim menggolongkan masalah tersebut dengan alasan yang
terdapat dalam Pasal 19 huruf (f) PP No.9 tahun 1975 yaitu antara suami
istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada
harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.69
Terkait dengan redaksi Pasal 116 sub ‛h‛ KHI para ahli hukum
Islam di antaranya Khuzaemah Tahido Yanggo berpendapat bahwa pasal
tersebut tidak sinkron dengan riddah yang terdapat dalam kitab-kitab
fiqih klasik. Khuzaemah menambahkan bahwa anak kalimat dalam Pasal
116 sub ‛h‛ yang berbunyi ‛yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga‛ sudah dihilangkan dalam naskah
RUU HMPA (Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Pengadilan
Agama).70
Aturan perkawinan dan perceraian dalam hukum keluarga Islam
diatur dengan sedemikian rupa mengingat Indonesia merupakan salah
satu negara dengan tingkat perceraian yang cukup tinggi. Hal ini
terbukti dengan data-data yang tercatat di Pengadilan Agama, dan fakta
yang dialami penulis, setiap mengunjungi Pengadilan Agama selalu
ramai dengan orang-orang yang menunggu sidang perceraian. Pada
dasarnya secara historis, angka perceraian di Indonesia bersifat
fluktuatif. Hal itu dapat ditilik dari hasil penelitian Mark Cammack,
guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA.
Berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka
perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling
tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya
berakhir dengan perceraian. Pada tahun 2009 perceraian mencapai

68
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2000), 71.
69
Dari ketentuan dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, dapat dijabarkan bahwa antara suami istri terjadi, 1. perselisihan dan
pertengkaran, 2. tidak ada harapan akan hidup rukun bagi rumah tangganya.
70
Wawancara dengan Huzaimah Tahido Yanggo, di Ruang Direktur Institut
Ilmu Qur’a>n (IIQ), pada 01 Mei 2009.

168
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

250.000 kasus, tampak terjadi kenaikan dibanding tahun 2008 yang


berada dalam kisaran 200.000 kasus. Ironisnya, 70% perceraian diajukan
oleh pihak istri atau cerai gugat.71
Dari data yang ditemukan penulis menunjukkan bahwa angka
perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat di seluruh Indonesia
semakin tahun semakin meningkat. Pada tahun 2010 misalnya cerai
talak dengan total 94,099. Sedangkan cerai gugat mencapai 190, 280.
Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2011, angka perceraian tersebut
mengalami kelonjakan yang signifikan. Untuk lebih jelasnya lihat tabel
di bawah ini: TABEL 3.1
TABEL 5.5.
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT, DAN PERKARA LAIN YANG DITERIMA
PADA LINGKUNGAN YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH/PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2011

No. MSY. PROP / PTA CERAI TALAK CERAI GUGAT PERKARA LAIN JUMLAH PERSENTASE
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1,167 2,766 2,224 6,157 1,69%
2 Medan 2,264 5,943 791 8,998 2,48%
3 Ambon 1,912 3,841 3,140 8,893 2,45%
4 Pekanbaru 2,641 6,103 1,034 9,778 2,69%
5 Jambi 853 2,323 254 3,430 0,94%
6 Palembang 1,630 4,021 904 6,555 1,80%
7 Bangka Belitung 630 1,612 130 2,372 0,65%
8 Bengkulu 677 1,282 105 2,064 0,57%
9 Bandar Lampung 1,343 3,400 516 5,259 1,45%
10 Jakarta 2,746 6,460 1,244 10,450 2,88%
11 Banten 1,882 4,423 2,534 8,839 2,43%
12 Bandung 17,818 39,847 9,779 67,444 18,56%
13 Semarang 21,438 45,671 4,151 71,260 19,61%
14 Yogyakarta 1,589 3,354 889 5,832 1,60%
15 Surabaya 29,358 53,618 10,557 93,533 25,73%
16 Pontianak 902 2,718 544 4,164 1,15%
17 Palangkaraya 504 1,423 252 2,179 0,60%
18 Banjarmasin 1,532 4,750 1,547 7,829 2,15%
19 Samarinda 1,874 4,440 2,384 8,698 2,39%
20 Manado 271 772 47 1,090 0,30%
21 Gorontalo 268 758 172 1,198 0,33%
22 Palu 636 1,457 349 2,442 0,67%
23 Kendari 459 1,083 119 1,661 0,46%
24 Makassar 2,661 7,666 2,138 12,465 3,43%
25 Mataram 1,594 3,996 2,371 7,961 2,19%
26 Kupang 118 173 135 426 0,12%
27 Ambon 117 237 93 447 0,12%
28 Maluku Utara 271 378 50 699 0,19%
29 Jayapura 444 853 50 1,347 0,37%
99,599 215,368 48,503 363,470
Jumlah
314,967

71
Bani Kiber, ‚Inilah Penyebab Perceraian Tertinggi Di Indonesia‛. di akses
pada tanggal 16 Juni 2012 melalui http://edukasi.kompasiana.com. Lihat
‚Kemenangan Hakiki‛, di akses melalui http://hizbut-
tahrir.or.id/2011/09/04/kemenangan-hakiki/.

169
Fatima

Tabel di atas menunjukkan bahwa gugat cerai yang diterima


Pengadilan Tinggi agama menjadi alasan terbanyak dari kasus
perceraian yang setiap tahun angkanya semakin meningkat. Ini
merupakan fenomena baru di lima kota besar di Indonesia, karena
ternyata jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan cerai talak. Lima
kota ini menempati urutan terbesar sepanjang tahun 2009 -2011. Lima
kota yang dimaksud berdasarkan data tahun 2011 adalah Surabaya
mencapai rating tertinggi dengan jumlah 53,618 gugatan dengan
pesentase 25, 73%. Disusul Semarang dengan total 45, 671 kasus
gugatan presentasenya 19,61%. Bandung menempati urutan ketiga total
kasus 39,847 dengan presentase 18,56%. Berikutnya Makassar relatif
lebih kecil dibandingkan ketiga kota sebelumya, yaitu 7, 666. dengan
presentase 3,43%. Terakhir Jakarta menempati urutan kelima dengan
total 6, 460, dengan presentase 2,88%.72 Untuk data perkara cerai talak
dan cerai gugat yang sudah diputus pada tahun 2011 dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:
TABEL 5.6.
TABEL 3.2
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DIPUTUS
PADA LINGKUNGAN YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH / PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2011

CERAI PERKARA
NO MSY.PROP/PTA CERAI TALAK JUMLAH
GUGAT LAIN
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1,011 2,408 2,255 5,674
2 Medan 1,855 4,829 1,383 8,067
3 Padang 1,608 3,376 3,416 8,400
4 Pekanbaru 2,245 5,326 1,394 8,965
5 Jambi 693 2,037 368 3,098
6 Palembang 1,484 3,729 752 5,965
7 Bangka Belitung 517 1,328 242 2,087
8 Bengkulu 574 1,122 190 1,886
9 Bandar Lampung 1,104 2,924 745 4,773
11 Banten 1,456 3,615 2,781 7,852
12 Bandung 15,673 36,005 10,856 62,534
13 Semarang 18,188 40,382 6,352 64,922
14 Yogyakarta 1,351 2,998 949 5,298
15 Surabaya 25,908 48,869 11,944 86,721
16 Pontianak 716 2,272 675 3,663
17 Palangkaraya 395 1,145 425 1,965
18 Banjarmasin 1,324 4,391 1,606 7,321
19 Samarinda 1,586 3,730 2,611 7,927
20 Manado 225 640 110 975
21 Gorontalo 209 618 214 1,041
22 Palu 570 1,344 437 2,351
23 Kendari 350 903 255 1,508
24 Makassar 2,310 6,811 2,665 11,786
25 Mataram 1,279 3,294 2,417 6,990
26 Kupang 101 150 144 395
27 Ambon 91 200 138 429
28 Maluku Utara 219 307 72 598
29 Jayapura 377 725 142 1,244
Jumlah 85,750 190,940 57154 333,844
276,690

72
Rosmadi ‚Informasi Perkara Peradilan Agama Tahun 2011,‛ Kamis 08
Maret 2012. diakses pada tanggal 17 Juni 2012 melalui
http://www.badilaq.net/statistik-perkara/10119-informasi-perkara-peradilan-agama-
tahun-2011.html.

170
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

TABEL
TABEL5.7.
3.3
DATA PERKARA CERAI TALAK, CERAI GUGAT DAN PERKARA LAIN YANG DIPUTUS
PADA LINGKUNGAN YURISDIKSI MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH / PENGADILAN TINGGI AGAMA
SELURUH INDONESIA
TAHUN 2011

CERAI
NO MSY.PROP/PTA CERAI GUGAT PERKARA LAIN
TALAK
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 17,82% 42,44% 39,74%
2 Medan 22,99 59,86% 17,14%
3 Padang 19,14% 40,19% 40,67%
4 Pekanbaru 25,04% 59,41% 15,55%
5 Jambi 22,37% 65,75% 11,88%
6 Palembang 24,88% 62,51% 12,61%
7 Bangka Belitung 24,77% 63,63% 11,60%
8 Bengkulu 30,43% 59,49% 10,07%
9 Bandar Lampung 23,13% 61,26% 15,61%
10 Jakarta 24,77% 58,05% 17,18%
11 Banten 18,54% 46,04% 35,42%
12 Bandung 25,06% 57,58% 17,36%
13 Semarang 28,02% 62,20% 9,78%
14 Yogyakarta 25,50% 56,59% 17,91%
15 Surabaya 29,88% 56,35% 13,77%
16 Pontianak 19,55% 62,03% 18,43%
17 Palangkaraya 20,10% 58,27% 21,63%
18 Banjarmasin 18,08% 59,98% 21,94%
19 Samarinda 20,01% 47,05% 32,94%
20 Manado 23,08% 65,64% 11,28%
21 Gorontalo 20,08% 59,37% 20,56%
22 Palu 24,25% 57,17% 18,59%
23 Kendari 23,21% 59,88% 16,91%
24 Makassar 19,60% 57,79% 22,61%
25 Mataram 18,30% 47,12% 34,58%
26 Kupang 25,57% 37,97% 34,46%
27 Ambon 21,21% 46,62% 32,17%
28 Maluku Utara 36,62% 51,34% 12,04%
29 Jayapura 30,31% 58,28% 11,41%
25,69% 57,19% 17,12%
Jumlah
100%
Pada tabel sebelumnya (tabel 5.5) menunjukkan bahwa jumlah
perceraian yang diterima Pengadilan Tinggi Agama pada tahun 2011
mencapai jumlah 314,967. Dengan rincian 99, 599 perkara cerai talak
dan 215, 368 kasus gugat cerai. Berdasarkan tabel sebelumnya pula
(tabel 4.5), perkara perceraian yang diputus pada tahun 2011 mencapai
jumlah 276,690. Dengan rincian 85,750, untuk kasus cerai talak dan

171
Fatima

190,940 kasus gugat cerai yang telah berhasil diputus.73 Tingginya


angka cerai gugat dikarenakan meraka para istri sudah memahami hak-
haknya yang telah terakomodir baik dalam UUP maupun KHI. Menurut
para istri, perceraian dianggap solusi yang terbaik dari pada mereka
digantung dan diabaikan haknya.74 Inilah salah satu alasan maraknya
gugat cerai.
Sebenarnya faktor apa saja penyebab terjadinya perceraian di
seluruh wilayah Indonesia?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut di
bawah ini akan dijelaskan secara rinci kriteria penyebab terjadinya
perceraia. Perceraian terjadi terjadi karena beberapa kriteria di antaranya
dapat di lihat pada tabel di bawah ini

73
Rosmadi ‚Informasi Perkara Peradilan Agama Tahun 2011,‛ Kamis 08
Maret 2012. diakses pada tanggal 17 Juni 2012 melalui
http://www.badilaq.net/statistik-perkara/10119-informasi-perkara-peradilan-agama-
tahun-2011.html
74
Wawancara dengan Sarmoto, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada
tanggal 05 Juni, 2012. Menurut Eka Juliana, banyaknya cerai gugat dalam perceraiaan
adalah karena pertama, bahwa semakain tinggi tingkat pendidikan perempuan
membuat perempuan semakin maju dan semakin tahu tentang hak-haknya termasuk
dalam keluarga, sehingga ketika terjadi pengabaian terhadap hak-hak tersebut atau
bahkan perempuan tidak mendapatkan haknya contoh hak sebagai seorang istri maka
perempuan tidak lagi bisa ‚menerima‛ terhadap apa yang sering di ungkapkan sebagai
‚nasib‛. Kedua, Kehidupan modern bukan hanya menuntut, tetapi mau tidak mau
terbawa pada arus modernisasi termasuk semakin tinggi nilai kebutuhan material
yang mendorong para istri untuk menuntut pemenuhannya terhadap suami. Jika
kebutuhan material tersebut tidak mampu dipenuhi oleh suami, karena suami tidak
mampu secara ekonomi, apalagi suami tidak bertangung jawab terhadap pemenuhan
tersebut, maka kondisi sosial menuntut perempuan harus berpikir ulang tentang
hakekat perkawinannya, yang pada akhirnya harus menentukan pilihan untuk
meneruskan atau memutuskan ikatan perkawinannya; Ketiga, Gerakan kesetaraan
gender bagi perempuan Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai agama,
kebudayaan dan norma sosial bukan untuk ‚melawan‛ laki-laki, tetapi untuk
menciptakan pengetahuan baru, kesadaran baru sebagai jalan keluar dari
keterkungkungan dan hegemoni ideologi patriarkhi, menuju kehidupan yang lebih
egaliter, adil, dengan syarat penghormataan terhadap harkat dan martabat manusia,
bahwa tidak ada satu jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan yang boleh
menindas kemanusiaan setiap individu. Lihat Eka Julaiha,‛Talak dan Problematikanya
di Masyarakat (Jakarta: Rahima, 2012) Suplemen Swara Rahima Edisi 38, Mei 2012.

172
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

TABEL 5.8.
TABEL 3.4
REKAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN
PADA MAHKAMAH SYARIAH PENGADILAN AGAMA
YURISDIKSI MAHKAMAH PROPINSI / PENGADILAN TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA
TAHUN 2011

Faktor - Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian


Moral Meninggalkan Kewajiban Menyakiti Jasmani Rohani Terus Menerus Berselisih

Tidak Ada Tanggung Jawab

Tidak Ada Keharmonisan


Gangguan Pihak Ketiga
Kawin Dibawah Umur
Poligami Tidak Sehat

Mahkamah Syariah

Menyakiti Jasmani
No Propinsi Pengadilan

Menyakiti Mental
Tinggi Agama

Cacat Biologis
Krisis Akhlak

Kawin Paksa

Keterangan
Di Hukum

Lain-Lain
Cemburu

Ekonomi

Jumlah
Politis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Mahkamah Syariah
40 69 58 5 160 1,318 8 64 11 12 28 0 135 1,510 0 3,418
1 Aceh
2 Medan 47 130 182 3 796 1,971 52 109 27 16 28 0 435 2,548 17 6,361
3 Padang 47 101 144 11 501 1,904 1 46 3 1 13 0 4 1,753 0 4,749
4 Pekanbaru 5 213 316 5 920 2,593 5 128 45 9 13 1 794 2,725 3 7,775
5 Jambi 0 45 64 1 280 1,451 0 38 0 1 5 0 62 738 48 2,733
6 Palembang 37 231 178 10 623 1,320 0 137 8 37 14 3 310 2,197 0 5,105
7 Bangka Belitung 0 83 112 0 250 618 0 0 0 1 0 0 153 625 0 1,842
8 Bengkulu 1 5 5 2 40 444 1 9 3 3 5 1 59 986 0 1,564
9 Bandar Lampung 11 120 157 3 1,041 588 2 38 5 3 11 9 326 1,552 11 3,877
10 Jakarta 249 67 407 6 1,503 1,881 12 400 3 2 6 0 1,000 2,258 0 7,794
11 Banten 77 135 188 15 1,042 1,121 41 39 0 17 2 0 581 1,542 0 4,800
12 Bandung 164 426 820 110 23,913 7,971 10 137 4 13 43 49 2,463 1,476 35 50,919
13 Semarang 51 1,078 1,373 508 11,939 24,379 115 6 204 35 99 6 2,577 15,645 7 58,022
14 Yogyakarta 0 81 45 7 453 1,409 0 84 9 6 10 1 364 1,715 22 4,206
15 Surabaya 116 2,568 3,921 909 14,735 16,478 170 690 108 58 255 568 7,533 24,539 299 72,947
16 Pontianak 5 44 51 1 248 626 0 5 1 1 6 0 218 1,742 1 2,949
17 Palangkaraya 0 23 147 0 215 1,226 0 27 0 6 4 0 348 1,101 0 3,097
18 Banjarmasin 49 351 57 20 531 1,785 5 46 54 5 18 9 468 2,172 18 5,588
19 Samarinda 78 108 217 69 676 1,057 7 159 86 21 29 0 744 1,824 30 5,105
20 Manado 1 62 18 0 5 170 0 17 1 1 0 0 64 432 16 787
21 Gorontalo 1 48 29 2 23 149 0 4 1 0 0 0 104 434 0 795
22 Palu 0 152 59 8 139 478 0 95 0 0 15 0 157 839 0 1,942
23 Kendari 16 165 148 2 135 181 0 9 35 5 7 0 58 475 0 1,236
24 Makassar 213 690 674 78 1,049 1,946 41 388 59 13 101 3 646 2,747 84 8,732
25 Mataram 76 284 357 23 845 1,021 4 97 29 9 12 0 482 1,106 38 4,383
26 Kupang 0 3 2 0 12 34 0 4 0 0 3 0 25 164 0 247
27 Ambon 2 28 9 1 10 63 1 13 3 0 0 0 41 99 1 271
28 Maluku Utara 3 23 24 1 12 114 0 7 0 0 1 0 69 205 0 459
29 Jayapura 0 14 7 1 26 233 0 11 1 0 2 1 123 658 14 1,091
1,289 7,347 9,769 1,801 62,122 74,529 2,807 700 651 20,563 89,092
Jumlah 18,405 138,452 475 3,507 275 730 110,306 644 272,794

Dari 276,690 kasus perceraian yang telah diputus pada tahun


2011. 89,092 kasus dipicu oleh ketidakharmonisan dalam rumah tangga,
menempati kasus perceraian tertinggi yang kemudian disusul oleh faktor
tidak ada tanggungjawab dengan jumlah kasus 74,529. Kemudian faktor
ekonomi, dengan jumlah kasus 62,122, gangguan pihak ketiga mencapai
20,563, faktor cemburu yang berlebihan, masuk dalam peringkat kelima

173
Fatima

dengan jumlah kasus 9,769. Krisis akhlak juga sering menjadi peyebab
terjadinya perceraian dengan jumlah 7,347 kasus. Pemicu selanjutnya
adalah kekerasan dalam rumah tangga yaitu menyakiti jasmani dengan
jumlah mencapai 2,807 kasus. Faktor lainnya adalah dikarenakan dalam
sejarah perkawinan para pihak dipaksa oleh orang tua untuk menikah
(kawin paksa) mencapai 1,801 kasus. Pemicu selanjutnya adalah
poligami tidak sehat, artinya suami melakukan poligami tidak sesuai
dengan aturan, perceraian modus ini mencapai angka 1,289. Kemudian
cacat biologis yang menyebabkan tidak bisa melaksanakan kewajiban
berjumlah 730, KDRT secara mental mencapai 700 kasus. Faktor
terakhir adalah politisi, faktor kini cukup berperan terjadinya perceraian
dengan jumlah kasus mencapai 651.
Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menyatakan, sekitar
2.000.000 (dua juta) pasangan menikah setiap tahunnya, sekitar 200.000
(dua ratus ribu) pasangan bercerai setiap tahunnya. Angka perceraian 10
% dari angka pernikahan ini. Itu berarti terdapat 1 perceraian setiap 10
pernikahan. Uniknya, hampir 70 % justru istri yang menceraikan suami
(gugat cerai) dan hanya 30 persen suami yang menceraikan. Hal ini
karena perempuan semakin pintar, semakin mapan, dilindungi oleh
berbagai Undang-undang dan semakin sadar akan perlunya menyuarakan
kesetaraan gender dan hak-haknya. Nasaruddin juga mengungkapakan,
bahwa untuk mengatasi berbagai kasus rumah tangga ini Kementerian
Agama telah mengadakan kursus pranikah, sehingga setiap pasangan
yang menikah harus memiliki sertifikat.75
Catatan Kanwil Depag DKI Jakarta, untuk periode Januari–
Maret 2009, di Jakarta Utara terdapat 1.727 pasangan menikah, di
Jakarta Pusat terdapat 1.621 pasangan menikah, di Jakarta Selatan
terdapat 3.302 pasangan menikah, di Jakarta Barat terdapat 2.514
pasangan menikah, di Jakarta Timur terdapat 3925 pasangan menikah, di
Kepulauan Seribu terdapat 27 pasangan menikah. Jumlah keseluruhan
dalam kurun waktu tiga bulan sejak tahun 2009 sudah mencapai 13.116

75
Kementrian Agama, ‚Angka Perceraian di Indonesia Sangat Tinggi‛ diakses
pada tanggal 16 Juni 2012 melalui www.eksposnews.com.
Angka Perceraian di Indonesia Sangat Tinggi‛
http://forums.klikajadeh.net/showthread.php/7274-tingginya-angka-perceraian-
diindonesia. Diakses pada tanggal 16 Juni 2012.

174
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

pasangan menikah. Sedangkan tahun 2008 lalu pasangan menikah


mencapai 62.051 pasangan.76
Diberikannya hak cerai kepada istri dimaksudkan agar para istri
mempunyai jalur hukum yang bisa ditempuh untuk melepaskan diri dari
kungkungan atau cengkeraman serta kesewenang-wenangan para suami.
Kepada para istri diberikan hak mengajukan gugatan perceraian tanpa
harus ada persetujuan dari suami. Seiring dengan itu pula kepada para
istri diberikan kesempatan untuk menggunakan hak banding dan kasasi
atas cerai talak yang dimohonkan suami ke pengadilan. Hak cerai yang
diberikan kepada istri bukan berarti menghilangkan atau menggerogoti
wewenang talak yang ada di tangan suami. Talak tetap menjadi hak
prerogatif suami. Hal itu dimaksudkan untuk melindungi hak-hak kaum
wanita yang selama ini tidak diberikan kepada mereka hanya suamilah
yang berhak memutuskan hubungan perkawinan. Sementara kaum
wanita harus menerima keputusan yang tidak menguntungkanya.
Berdasarkan data hasil penelusuran penulis di Pengadilan Agama
DKI Jakarta sepanjang tahun 2010-2011, perbandingan jumlah kasus
cerai talak dan cerai gugat sangat signifikan. Hal ini dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel: 5.9.
Perkara Permohonan Cerai Talak yang diterima dan diputus Pengadilan Agama
DKI Jakarta Tahun 2010-2011
No. Pengadilan Agama DKI Perkara Diterima Perkara Diputus
Jakarta
1. Jakarta Selatan 1.626 1.379
2. Jakarta Barat 863 813
3. Jakarta Utara 771 611
4. Jakarta Pusat 513 468
5. Jakarta Timur 305 281
Jumlah 4.078 3.55277

76
Jacksond, ‛Kasus Perceraian di Jakarta Masih Tinggi‛, diakses pada tanggal
16 Juni 2012 melalui http://www.beritajakarta.com./berita_detail.asp?nnewsid=33470 .
77
Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat pula
Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara tentang
Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach Jufri dan
Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. LIihat Ujang Mukhlis, ‚Laporan Perkara
yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember
Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang
Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30 Desember, 2010). Lihat
Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang Perkara yang
diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011). Lihat Arsip ‚Data

175
Fatima

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa, dalam perkara


permohonan cerai talak yang diterima di wilayah PA DKI Jakarta dalam
kurun waktu 2010 sampai 2011 mencapai angka 4,078 perkara, dan yang
berhasil diputus bejumlah 3,552 kasus dengan rincian sebagai berikut
ini.
PA Jakarta Selatan menempati urutan teratas dalam dalam
penerimaan kasus cerai talak dengan perolehan 1626 kasus, dan berhasil
diselesaikan berjumlah 1379 kasus. Sedangkan PA Jakarta Barat
menempati urutan kedua dengan jumlah perkara 863, dan yang berhasil
diputus berjumlah 813 kasus. Selanjutnya PA Jakarta Utara menempati
urutan ketiga dengan jumlah 771 perkara, dan yang berhasil diputus
berjumlah 611 kasus. Menempati urutan keempat, PA Jakarta Pusat
dengan jumlah perkara 513, dan 468 telah dapat diselesaikan. Terakhir
PA Jakarta Timur dengan jumlah 305 perkara, dan yang berhasil diputus
berjumlah 281 kasus. Dalam kasus penerimaan permohonan cerai talak,
PA Pengadilan Agama Jakarta Timur berada dalam posisi terendah.
Berbeda dalam kasus gugatan percerain, PA Pengadilan Agama Jakarta
Timur menempati urutan tertinggi dengan rincian sebagaimana tabel di
bawah ini.
Tabel: 5.10.
Perkara Permohonan Cerai Gugat yang diterima dan diputus Pengadilan
Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011
No Pengadilan Agama DKI Perkara Perkara
Jakarta Diterima Diputus

1. Jakarta Timur 5.397 5.244


2. Jakarta Selatan 3.684 3.157
3. Jakarta Barat 2.103 1.996
4. Jakarta Utara 1.525 1.205
5. Jakarta Pusat 1.254 940
Jumlah 13.963 12. 542
Sumber: Pribadi Dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-
78
2011.

Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat Arsip ‚Data
Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2011.
78
Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta
Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat
pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach
Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. Lihat Ujang Mukhlis,

176
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Tabel di atas menunjukkan bahwa, dalam kurun waktu dua tahun


(2010-2011) perkara cerai gugat yang diterima di wilayah PA DKI
Jakarta mencapai angka 13.963 perkara, dan yang berhasil diputus
bejumlah 12.542 perkara. PA Jakarta Timur berada diurutan tertinggi
dengan jumlah 5.397 perkara, yang berhasil diputus mencapai 5.244
kasus. Urutan selanjutnya PA Jakarta Selatan dengan total 3.684
perkara, dan yang berhasil diselesaikan sebanyak 3.157 perkara.
Berikutnya PA Jakarta Barat dengan jumlah 2.103 perkara, dan yang
berhasil diputus sebanyak 1.996 kasus. Berikutnya PA Jakarta Utara,
dengan jmlah 1.525 perkara, yang berhasil diputus 1.205 kasus. PA
Jakarta Pusat menempati urutan terakhir dengan jumlah 1.254 perkara.
Adapun yang berhasil diselesaikan atau diputus berjumlah 940 kasus.
Dari data yang diperoleh penulis, dalam kasus gugat cerai setiap
tahunnya, hampir semua wilayah PA DKI Jakarta mengalami kenaikan.
PA Jakarta Timur misalnya, sebagai pelaksana sebagian tugas pokok
kekuasaan kehakiman, Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tahun
2010 perkara gugatan dan permohonan perceraian yang diterima
Pengadilan Agama Jakarta Timur sebanyak 2747 perkara dengan rincian,
permohonan talak sebanyak 154, sedangkan gugat cerai sebanyak
2593.79 Pada tahun 2011 ada peningkatan penerimaan perkara yang
cukup besar yaitu sebanyak 2955 perkara, meningkat sekitar 7.3 %
dengan rincian perkara permohonan talak sebanyak 151 perkara dan
gugatan sebanyak 2804 perkara. Permohonan dan gugatan tersebut
diselesaikan oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur yang
berjumlah 19 orang termasuk ketua dan wakil ketua, dengan majelis
yang bersidang sebanyak 18 majelis, sedangkan frekwensi persidangan
dilaksanakan setiap hari dari hari Senin hingga hari Kamis, kecuali hari
Jum’at, setiap majelis rata-rata menyidangkan perkara sebanyak 20
perkara setiap kali bersidang, sehingga selama tahun 2011 diperkirakan

‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan
Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30
Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).
Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat
Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id. Di akses pada tanggal 2 Agustus 2011.
79
Wakhidun dkk, ‚Laporan Akhir Tahunan 2010 Pengadilan Agama Jakarta
Timur‛, di akses pada 27 November 2012 melalui
http://pajakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=239&Ite
mid=230.

177
Fatima

Pengadilan Agama Jakarta Timur telah melaksanakan persidangan tidak


kurang dari 12.400 kali persidangan, dengan jumlah perkara yang
disidangkan 3.000 an perkara, baik itu berkas perkara yang baru maupun
berkas perkara sisa tahun lalu.80
Untuk melihat apakah hasil putusan Pengadilan Agama DKI
Jakarta baik dalam kasus cerai talak maupun cerai gugat telah
memberikan keadilan dan perlindungan terhadap wanita atau tidak,
dapat dilihat dalam beberapa putusan berikut ini.

- Deskripsi Perkara dan Amar putusan Hakim dalam Cerai Talak


dan Cerai Gugat
Kasus cerai talak, Pemohon (suami) mengajukan surat
permohonan cerai di Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan Nomor
493/Pdt.G/2009/PAJU. Dalam putusan tesebut dijelaskan bahwa, antara
pemohon dan Termohon telah menikah pada 17 Mei 2003. Dari
pernikahan tersebut, keduannya telah dikarunia 2 orang anak yang
berumur 5 tahun dan 1 tahun. Pada mulanya kehidupan rumah tangga
Pemohon dan Termohon berjalan dengan harmonis, namun sejak bulan
September 2003 Pemohon dan Termohon mulai terjadi perselisihan dan
percekcokan terus-menerus dan sulit untuk didamaikan. Puncak dari
perselisihan tersebut terjadi pada bulan Juni 2009, yang berakibat
keduanya pisah tempat tinggal dan tidak ada hubungan suami istri
antara keduanya. Adapun penyebabnya adalah, Termohon telah
berselingkuh dengan laki-laki lain dan selalu berganti-ganti laki-laki,
bila terjadi pertengkaran Termohon sering mengeluarkan kata-kata kasar
yang menyakiti hati Pemohon, bukan itu saja Termohon menuduh
Pemohon suka sesama jenis.
Termohon dalam jawabannya menyampaikan secara lisan dalam
persidangan yang pada kesimpulannya mengakui dan membenarkan
semua dalil permohonan Pemohon. Dengan demikian perselisihan dan
percekcokan serta sebab-sebab terjadinya tersebut merupan fakta yang
patut untuk dipertimbangkan. Mengenai hak hadhonah, Pemohon dan
Termohon telah mengadakan kesepakatan, bahwa hak pemeliharaan
anak tersebut berada pada pemeliharaan Termohon.

80
Zulkarnain dkk, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Jakarta Timur‛
di akses pada 27 November 2012 melalui http://pa-
jakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=239&Itemid=23
0.

178
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Setelah mempelajari kasus tersebut dan berdasarkan fakta


dipersidangan, akhirnya Majelis hakim memutuskan hal-hal sebagai
berikut.
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
2. Memberi izin Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj‘i> terhadap
Termohon
3. Menetapkan anak Pemohon dan Termohon berada dalam pengasuhan
dan pemeliharaan Termohon.
4. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon berupa
nafkah anak setiap bulannya.81
Kasus cerai gugat, Penggugat (istri) bedasarkan surat gugatannya
tertanggal 6 Oktober 2009, telah mengajukan gugatan di Pengadilan
Agama Jakarta Timur dengan Nomor 1757/Pdt.G/2009/PAJT. Pada
pokoknya mengemukakan bahwa, benar antara Penggugat dan Tergugat
telah terjadi pernikahan pada tanggal 08 November 1998. Dari hasil
pernikahan tesebut, keduanya telah dikarunia seorang anak laki-laki
yang lahir pada tanggal 27 Januari 1999. Pada mulanya kehidupan
rumah tangga Penggugat dan Tergugat berjalan dengan harmonis
layaknya suami istri pada umumnya, namun pada bulan Februari 2007,
kehidupan rumah tangga mereka mulai goyah dan sering terjadi
perselisihan dan percekcokan. Puncak dari perselisihan tersebut terjadi
pada bulan Maret 2009. Akibat dari percekcokan tersebut, keduanya
sudah tidak tinggal satu atap, tanpa ada nafkah lahir dan batin dari
Tergugat. Adapun penyebab dari perselisihan tersebut adalah antara
Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada kecocokan lagi dan selalu
berbeda pendapat dalam membina rumah tangga. Tergugat sering
menghabiskan waktu di luar rumah dari pada bersama keluarga, bukan
itu saja Tergugat ternyata berselingkuh dengan wanita lain.82
Berdasarkan fakta di persidangan menunjukkan bahwa, antara
Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat dipersatukan kembali.
Dalam kasus di atas, Majelis hakim memutuskan hal-hal sebagai
berikut.
1. Mengabulkan gugatan Penggugat
2. Menjatuhkan talak ba’in sughra dari Tergugat kapada Penggugat
Kasus cerai gugat karena khuluk, Penggugat telah mengajukan
gugatan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan
register nomor:777/Pdt.G/2011/PA.JU. Pada tanggal 06 Februari 2005,

81
Dokumentasi Salinan Putusan Nomor 493/Pdt.G/2009/PAJU.
82
Dokumentasi Salinan Putusan Nomor 1757/Pdt.G/2009/PAJT.

179
Fatima

Penggugat dengan Tergugat melangsungkan pernpernikahan. Dari hasil


pernikan tersebut keduanya dikaruniai 1 orang anak yang masih di
bawah umur. Berdasarkan fakta-fakta di persidangan menunjukkan
telah terbukti selama satu tahun lebih Tergugat pergi meninggalkan
Penggugat tanpa pernah memberi nafkah wajib kepada Penggugat dan
tidak memperdulikan Penggugat, dan penyebab Tergugat pergi adalah
karena selalu berselisih dan bertengkar dengan Penggugat, dan bila
bertengkar, Tergugat suka memukul Penggugat. Dengan demikian
majelis hakim berpendapat bahwa sikap dan perbuatan Tergugat yang
demikian adalah merupakan pelanggaran sighat ta’lik talak sebagaimana
yang didalilkan oleh Penggugat.
Berdasarkan pertimbangal-pertimbangan tersebut di atas, maka
alasan-alasan cerai yang diajukan oleh Penggugat telah memenuhi
ketentuan Pasal 116 huruf ‚g‛ KHI dan majelis hakim PA Jakarta Utara
memutuskan hal-hal sebagi berikut.
1. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek;
2. Menetapkan syarat ta’lik talak telah terpenuhi;
3. Menjatuhkan talak satu khul’i> Tergugat (NAMA ASLI
TERGUGAT) kepada Penggugat (NAMA ASLI PENGGUGAT)
dengan ‘iwad} Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah);
-Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Cerai
Talak dan Cerai Gugat
Dasar dikabulkannya putusan cerai talak nomor
493/Pdt.G/2009/PAJU tersebut adalah surah al-Ru>m Ayat 21. Hakim
menilai bahwa kasus tersebut bertentangan dengan Pasal 1 UUP jo Pasal
3 KHI. Dalam putusan tersebut Pemohon tidak memberikan hak nafkah
dan mut’ah terhadap Termohon. Majelis hakim berpendapat bahwa
tindakan Termohon tergolong perbuatan nushu>z, dan oleh karenanya
kewajiban Pemohon memberikan nafkah iddah kepada Termohon
menjadi gugur. Hal ini sesuai dengan Pasal 80 Ayat (7)83 dan Pasal 84
Ayat (1)84 dan (2)85 KHI.

83
Bunyi Pasal tersebut adalah, ‚Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat
(2) gugur apabila istri nushu>z.
84
Redaksi Pasal tersebut adalah, ‚Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak
mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat
(1) kecuali dengan alasan yang sah.
85
Yaitu, ‚selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya
tersebut pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya.‛

180
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan administrasi


Pengadilan Agama dijelaskan, selama proses pemeriksaan cerai talak
sebelum sidang pembuktian, istri dapat mengajukan rekonvensi
mengenai hak nafkah anak, nafkah madhiyah, nafkah iddah, dan mut’ah.
Sedangkan hadhonah dan harta bersama sedapat mungkin diajukan
dalam perkara tersendiri.86 Namun dalam kasus tersebut istri tidak
menuntut kecuali kerelaannya dicerai suaminya.
Dilihat dari putusan yang dijatuhkan hakim, penulis
berkesimpulan bahwa putusan tersebut tidak memberikan keadilan
terhadap wanita karena istri tidak mendapatkan hak nafkah iddah.
Pertanyaannya bagaimna jika suami yang nushu>z, tidak adil rasanya istri
yang sudah terzalimi tiba-tiba hak nafkahnya hilang begitu saja.
Pada praktiknya sama saja baik istri maupun suami yang nushu>z
selama istri tidak mengajukan gugatan hak nafkah dan hak
lainnya,87tetap saja istri tidak mendapatkan haknya. Hal ini diperkuat
dengan pendapat salah satu hakim Pengadilan Agama M. Rizal
menyatakan bahwa, berbeda dengan cerai talak, cerai gugat
implikasinya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hakim
harus mengadili seluruh petitum dalam permohonan maupun gugatan
perceraian, dan tidak boleh mengadili lebih yang diminta dalam petitum
kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 178HIR/Pasal 189
R.Bg). Jadi perolehan hak nafkah tergantung istri, kalau dalam
gugatannya (petitum/tuntutan atau permohonan) istri menuntut hak
nafkah, maka hakim akan mepertimbangkannya. Jika istri hanya
menuntut cerai saja, maka hakim memutuskan dikabulkan tidaknya
gugatan cerai tersebut. Intinya hakim akan memutuskan berdasarkan
tuntutan semata sebagaimana aturan dalam hukum acara perdata. Jika
dalam petitum tidak ada tuntutan hak nafkah, tiba-tiba dalam
putusannya ada hak nafkah, putusan ini menjadi kabur. 88 Sedangkan
prosedur gugatan nafkah anak, nafkah istri, mut’ah, dan nafkah iddah
dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat, sedangkan gugatan

86
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan administrasi Peradilan Agama, Buku II
Edisi Revisi 2010 (Jakarta: MA RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,
2010),152.
87
Pedoman Pelaksanaan Tugan dan administrasi Peradilan Agama, 154.
88
Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Tanggal 18 Juli 2012.

181
Fatima

hadhanah dan harta bersama sedapat mungkin diajukan terpisah dalam


perkara lain.89
Mayoritas dalil gugatan yang dajukan istri 90% berdasarkan
alasan sebagaimana Pasal 19 huruf (f). 10% karena pelanggaran taklik
talak.90 Terhadap putusan cerai gugat ini, 90% hakim menjatuhkan talak
ba’in Sughra, sebagaimana kasus gugat cerai nomor
1757/Pdt.G/2009/PAJT. Alasan Penggugat mengajukan gugat cerai
terhadap Tergugat dikarenakan percekcokan atau pertengkaran yang
terjadi terus menerus.91 Dalam kasus ini majelis hakim menilai bahwa
Pengggugat dan Tergugat telah kehilangan hakikat dan tujuan
perkawinan sebagaimana yang telah digariskan Pasal 1 UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Pasal 3 KHI, Pasal 19 PP No. 9 tahun
1975 jo116 huruf (f) KHI serta surah al-Ru>m Ayat 21, yaitu membentuk
rumah tangga yang kekal bahagia, sejahtera dalam suasana mawaddah
dan rahmah tidak mungkin lagi dapat diwujudkan. Oleh karenanya
mempertahankan keluarga tidak akan menciptakan kemaslahatan
melainkan akan menimbulkan madharat bagi keduanya. Dalam kasus
inipun hak nafkah istri tidak ia dapatkan, dan hakimpun tidak ada upaya
untuk menghukum Tergugat dengan memberikan hak nafkah yang
selama ini ia lalaikan.

89
Pedoman Pelaksanaan Tugan dan administrasi Peradilan Agama, Buku II
Edisi Revisi 2010 (Jakarta: MA RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010),
154.
90
Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Tanggal 18 Juli 2012.
91
Percekcokan beragam bentuknya. Ada yang seni dan irama dalam rumah
tangga yang tidak mengurangi keharmonisan, ada pula yang menjurus kepada kemelut
yang berkepanjangan yang bisa mengancam eksistensi lembaga perkakwinan. Bila hal
ini terjadi menurutnya ada tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama , antara suami
istri sepakat untuk tidak berpisah meskipun keduanya telah berlainan arah. Hal ini
mungkin terjadi dengan berbagai pertimbangan. Misalnya, pertimbangan kekeluargaan,
disebabkan suami istri dipertemukan antara kerabat dekat, atau karena sudah
mempunyai keturunan yang bila mereka bercerai akan mengakibatkan anak-anak
mereka terlantar dan menderita. Kedua, karena berbagai pertimbangan seperti anak
ada, mereka sepakat untuk tidak berpisah, tetapi mereka berpisah rumah, dan
adakalanya suami disamping berpisah rumah dengan istrinya juga tidak memenuhi
nafkah istrinya. Jalan ini mereka lalui dengan berbagai motivasi. Ada yang disebabskan
suami beristri lagi sehingga ia melupakan istri yang pertama yang bila dilihat dari segi
umur memang sudah tidak menggairahkan lagi. Ketiga, alternatif lain adalah memilih
jalan perceraian. Lihat Satria Effendi M. Zain,‛Analisis Yurisprudensi; Analisis Fikih‛,
dalam Mimbar Hukum, Nomor 33 Th. VIII, 1997, 115-116.

182
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Seharusnya khusus kepada istri, pengadilan diberi hak untuk


memutuskan apakah kepada mantan suami dibebankan untuk memberi
biaya kepada istrinya sebagimana ketentuan pasal 41 huruf (c) Undang-
Undang Perkawinan yang merupakan lex specialis, hakim karena
jabatannya tanpa harus ada permintaan dari pihak istri, dapat
mewajibkan atau menghukum dalam putusan tersebut kepada bekas
suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan
sesuatu kewajiban bagi bekas istri.92 Namun dalam praktiknya hampir
semua kasus gugat cerai, istri tidak mendapatkan hak nafkah iddah
karena ia dianggap melawan suami. Karena kedurhakaan itulah hak
nafkah istri dinafikan sebab tergolong talak ba’in (Pasal 119 Ayat (1)
KHI.93
Menurut penulis hakim seharusnya konsisten dengan pasal 41
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, demi melindungi hak wanita
tanpa melihat ada dan tidaknya permohonan hak nafkah tersebut.
Karena faktanya dalam kasus gugat cerai istri selalu dirugikan baik
secara fisik maupun psikis.
Perlu diluruskan di sini, sesuai dengan Pasal 136 Ayat (2) Poin
(a) KHI menjelaskan bahwa, selama berlangsung gugatan perceraian atas
permohonan Peggugat atau Tergugat Pengadilan Agama dapat
menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami. Berdasarkan
pasal tersebut ternyata tidak hanya istri saja yang dapat mengajukan
permohonan hak nafkah, suami dapat pula mengajukan permohonan
memberikan hak nafkah terhadap istri.
Dalam hal apabila terjadi kesepakatan antara suami-istri tentang
adanya pembayaran khuluk dari pihak istri kepada suami, maka
perceraiannya dengan alasan apapun baik karena alasan huruf (a), (b),
(c), (d), (e) maupun (f), maka perceraiannya dilakukan dengan talak
khul’i>. Melalui bentuk ini, di dalam persidangan suami mengikrarkan
talak kepada istrinya karena dibayarnya sejumlah uang atau harta yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam praktiknya, perceraian
dalam bentuk ini, dilakukan dengan bentuk ta’lik talak. Pelanggaran
ta’lik talak sebagai alasan perceraian yang pada umumnya tertera pada
kutipan Akta Nikah, dengan alasan perceraian huruf (b), dan
pelanggaran berupa tidak memberi nafkah selama tiga bulan, menyakiti
badan/jasmani istri, dan membiarkan (tidak mempedulikan) istri selama

92
A.Mukri Ato, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, 214.
93
Wawancara dengan Sarmoto, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, pada
tanaggal 5 Juni 2012.

183
Fatima

6 bulan, merupakan tinddakan kekejaman suami terhadap istri, karena


perbuatannya tersebut dapat menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan pada kehidupan istri. Oleh karena itu tindakan pelanggran
ini bersesuain dengan alasan perceraian huruf (d). Perceraian dalam
bentuk talak khul’i, amar putusannya dapat dirumuskan ‚Menyatakan
jatuh talak satu khul’i> Tergugat atas Penggugat dengan iwadh…‛ dan
dapat diikuti dengan amar ‚Menyatakan hukum putus ikatan perkawinan
Penggugat dengan Tergugat karena talak Khul’i tersebut‛.94
Sebagaimana yang terjadi dalam kasus nomor: 777/Pdt.G/2011/PA.JU.
Dalam kasus ini, Majelis hakim menilai bahwa alasan-alasan cerai yang
diajukan oleh Penggugat telah memenuhi ketentuan Pasal 116 huruf ‚g‛
Kompilasi Hukum Islam.
Alasan-alasan perceraian yang disebutkan dalam Pasal 116 KHI
bukan bersifat kumulatif. Sifatnya adalah alternatif, Pemohon atau
penggugat dapat memilih salah satu di antaraya sesuai dengan fakta
konkreto. Kalau fakta konkreto yang terjadi Tergugat (suami)
melanggar ta’lik talak maka alasan itulah yang menjadi dasar gugat
yang tepat. Sekiranya Pemohon atau Penggugat mengajukan alasan yang
bersifat kumulatif, tidak dilarang. Namun tidak wajib bagi Pemohon
atau Penggugat untuk membuktikan setiap alasan. Salah satu saja di
antara alasan tersebut dapat dibuktikan, sudah cukup menjadi dasar
pertimbangan hakim untuk mengabulkan permohonan atau gugatan
tersebut. Sebagaimana kasus di atas meskipun didasarkan alasan
kumulatif yang terdiri dari pelanggaran taklik talak dan KDRT, berarti
Pemohon sekaligus mengajukan 2 alasan sebagai dalil. Dalam kasus ini
Pemohon tidak berarti mesti berhasil membuktikan kedua alasan yang
dimaksud. Seandainya salah 1 di antaranya dapat dibuktikan Penggugat,
sudah cukup alasan untuk mengabulkan gugatan tersebut. Namun
apabila dia dapat membuktikan kedua alasan tesebut, tentu yang
demikian itu lebih baik.95
Ketika perceraian terjadi maka tidak serta merta putus
hubungan, tetapi ada ketentuan hukum yang lahir karena percerian
tersebut, di antaranya adalah hak nafkah selama masa iddah dan
mut’ah. Namun dalam kasus talak khuluk hak-hak tersebut menjadi

94
Hamami, ‚Pelanggaran Hukum keluarga: Suatu Kajin Penerapan Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Amar Putusan Pengadilan‛, diakses
pada Tanggal 9 Desember 2012 melalui www.pa-kediri.go.id.
95
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Acara peradilan Agama, 218.

184
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

hilang, karena perempuan yang melakukan khuluk dianggap telah siap


menanggung resiko (tidak dibayar nafkah masa iddah).96
Pada akhir pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan
suami istri dalam bidang memutuskan hubungan perkawinan sudah
seimbang. Masing-masing mempunyai hak untuk mengajukan
permohonan talak atau gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Kenyataan
ini bisa dijadikan sebagai salah satu tolak ukur bahwa hukum keluarga
Islam di Indonesia yang ada sekarang telah menempatkan hak-hak kaum
wanita setara atau sebanding dengan hak-hak kaum pria. Kiranya
dengan adanya hak cerai di tangan istri, bisa menghindarkan mereka dari
kehidupan yang tidak harmonis, dan sekaligus bangkit kembali untuk
membangun kebahagiaan dengan atau tanpa orang lain.97
C. Pembagian Harta Bersama dalam Masalah Pencari Nafkah
Masalah harta bersama merupakan masalah yang cukup besar
yang berpengaruh terhadap kehidupan suami istri, apalagi jika keduanya
bercerai. Munculnya masalah harta bersama apabila sudah terjadi
perceraian antara suami istri atau pada saat proses perceraian sedang
berlangsung di Pengadilan Agama, sehingga timbul berbagai macam
hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku.98 Kajian tentang harta
bersama tidak dijumpai dalam kitab-kitab fikih klasik. Masalah harta
bersama merupakan persoalan hukum yang belum disentuh atau belum
terpikirkan (ghai>r al-mufakkar) oleh ulama-ulama fikih terdahulu karena
masalah harta bersama baru muncul dan banyak dibicarakan dalam masa
modern ini.99
Secara umum, hukum Islam tidak melihat adanya harta bersama.
Hukum Islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami
dan harta istri. Apa yang dihasilkan oleh suami merupakan harta
miliknya, demikian juga sebaliknya, apa yang dihasilkan istri adalah
harta miliknya. Lalu bagaimana sebenarnya harta bersama dalam
persepektif hukum Islam?
96
Eka Julaiha, ‛Talak dan Problematikanya di Masyarakat (Jakarta: Rahima,
2012) Suplemen Swara Rahima Edisi 38, Mei 2012.
97
Iskandar Ritonga, ‚Hak-hak Wanita dalam Hukum Kelauarga Islam di
Indonesia: Implementasisinya dalam Putusan-putusan Peradilan Agama DKI Jakarta‛,
1990-1995‛, (Disertasi, Program Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 157.
98
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), 103.
99
Wawancara dengan Abd. Rasyid As’ad, Hakim Pengadilan Agama Kraksaan
pada tanggal 09 Juni 2012.

185
Fatima

Menurut hukum Islam ada dua versi jawaban yang dapat


dikemukakan terkait tentang harta bersama karena para ahli hukum
Islam berbeda pendapat tentang harta bersama ini.100 Dalam bukunya
Abdul Manan, Hazairin, Anwar Harjono, dan Abdoerraoef mengatakan
bahwa agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama, karena itu
diserahkan sepenuhnya kepada mereka sendiri untuk mengaturnya.
Sebagian ahli hukum Islam yang lainnya termasuk T. Jafizham
mengatakan bahwa, suatu hal yang tidak mungkin jika agama Islam
tidak mengatur tentang harta bersama, sedangkan hal-hal lain yang
kecil-kecil saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan
dasar hukumnya. Tidak ada satupun yang tertinggal semuanya termasuk
dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam.101
Harta bersama suami istri mestinya masuk dalam rub’u
mu’a>malah,102 tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini
mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fikih
adalah orang Arab yang tidak mengenal adanya pencarian harta bersama
suami istri. Tetapi ada dibicarakan tentang kongsi yang dalam bahasa
Arab disebut shirkah. Oleh karena masalah pencarian bersama suami
istri adalah termasuk perkongsian atau shirkah, maka untuk mengetahui
hukumnya perlu dibicarakan terlebih dahulu tentang shirkah. yang telah
ditulis dalam kitab-kitab fikih klasik, khususnya bab mu’amalah.103
Shirkah dibagi menjadi beberapa macam di antaranya shirkah
mufawwad}ah, adalah perkongsian dalam menjalankan modal, dengan
ketentuan bahwa masing-masing anggota memberikan hak penuh kepada
anggota lainnya untuk bertindak atas nama perkongsian tersebut.104
Selanjutnya shirkah ‘abda>n, yaitu dua orang atau lebih bersyarikat
masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan
hasilnya (upahnya) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang
merka buat. Shirkah ‘ina>n adalah dua orang yang berkongsi di dalam
harta tertentu, misalnya bersyarikat di dalam membeli suatu barang dan

100
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2004), 230.
101
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 109.
Lihat pula T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan hukum perkawinan
Islam (Medan, Mustika, 1977), 119.
102
Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Cpiutat, Logos Wacana Ilmu, 1999), 62.
103
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 111.
104
Masrokhin Sadja, ‚Harta Bersama‛, diakses pada tanggal 17 Juni 2012
melalui http://masrokhisadja.blogspot.com.

186
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

keuntungannya untuk mereka. Shirkah wujuh, yaitu syarikat tanpa


pekerjaan ataupun harta, yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan
pihak lain kepada mereka.
Harta bersama dapat kategorikan sebagai shirkah mufawwad}ah
atau juga shirkah ‘abd>an. Kenyataan yang terjadi di sebagian besar
masyarakat Indonesia, pasangan suami istri sama-sama bekerja dalam
hal mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup rumah tangganya,
di samping untuk tabungan hari tua dan sebagai peninggalan bagi anak-
anaknya kelak. Harta bersama dapat dikategorikan sebagai shirkah
mufawad}ah karena memang perkongsian antara suami istri itu sifatnya
terbatas artinya, apa yang dihasilkan oleh pasangan suami istri selama
dalam ikatan perkawinan merupakan harta bersama. Sedangkan harta
warisan dan pemberian milik keduanya merupakan pengecualian.
Dari penjelasan tersebut di atas, jika harta bersama diqiyaskan
dengan shirkah sangatlah masuk akal karena sama-sama mengandung
pengertian sebagai suatu bentuk perkongsian atau kerja sama antara
suami dan istri. Hanya saja dalam konsep shirkah pada umumnya lebih
bersifat bisnis atau kerja sama dalam kegiatan usaha, sedangkan shirkah
harta bersama sifatnya hanya kerja sama dalam membangun sebuah
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, meskipun juga
meliputi hal-hal yang berkaitan dengan harta dalam perkawinan.
Pengqiyasan antara harta bersama dengan shirkah dapat pula
dipahami melalui argumentasi, bahwa persatuan atau percampuran harta
kekayaan suami dan istri dapat difahami sebagai harta kekayaan
tambahan karena adanya usaha bersama antara mereka berdua.
Logikanya, jika terjadi pemutusan hubungan (perceraian) di antara
mereka, maka persatuan harta kekayaan (gono-gini) itu harus dibagi dua.
Pembagiannya bisa ditentukan atas dasar pihak yang lebih banyak
berinvestasi dalam kerja sama itu, apakah suami atau istri. Atau juga
dapat dibagai secara merata, yaitu masing-masing pihak mendapatkan
separuh.
Sajuti Thalib dan M. Idris Ramulyo berpendapat bahwa, bertitik
tolak pada al-Qur’an105sebenarnya hukum Islam mengakui harta yang
diperoleh suami istri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka
bekerja bersama-sama atau hanya suami saja yang bekerja, sedangkan
istri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja di rumah.
Sekali mereka itu terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami
istri, maka semuanya menjadi bersatu baik mengenai harta maupun

105
Surah al-Nisa>’ Ayat 19, 21,dan 34. Surah al-Baqarah Ayat 228.

187
Fatima

mengenai anak-anak.106Tidak perlu diiringi dengan shirkah, sebab


perkawinan dengan ijab kabul serta memenuhi persyaratan lainnya
seperti adanya wali, saksi, mahar, walimah, dan i’la>n al-nika>h, sudah
dapat dinggap adanya shirkah antara suami istri. Bilamana istri hamil,
kemudian melahirkan seorang anak, sedangkan suami tidak ikut
mengandung anak yang dikandung istrinya itu, dan tidak pula turut serta
melahirkan anak, tetapi anak tersebut tidak dapat dikatakan anak istri
saja, tentu tidak, sebab anak itu adalah anak hasil dari perkawinan,
bahkan lazimnya lebih ditonjolkan kepda nama suami atau ayah
dibelakang nama anak. Demikian halnya bilamana suami saja yang
bekerja, berusaha dan mendapatkan harta, tidak dapat dikatakan bahwa
harta itu milik suami saja, melainkan telah menjadi harta bersama antara
suami istri. Apa bila terjadi perceraian, maka harta bersama yang
diperoleh selama dalam perkawinan itu harus dibagi dua menurut
perimbangan yang sama.107
Berdasarkan padangan tersebut di atas, dalam pandangan hukum
Islam harta bersama bisa ditelusuri baik melalui konsep shirkah maupun
berdasarkan kehendak dan aspirasi hukum Islam itu sendiri. Masalah
harta bersama merupakan wilayah hukum yang belum terpikirkan
(ghairu al- mufakkar fih) dalam hukum Islam, sehingga terbuka bagi ahli
hukum Islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas.
Dalam perkawinan suami istri dapat melakukan perjanjian
berupa penggabungan harta milik pribadi masing-masing menjadi harta
bersama, dapat pula ditetapkan tentang penggabungan hasil harta milik
pribadi masing-masing suami istri dan dapat pula ditetapkan tidak
adanya penggabungan harta milik pribadi masing-masing harta bersama
suami istri. Jika dibuat perjanjian sebelum pernikahan dilaksanakan,
maka perjanjian itu adalah sah harus dilaksanakan.108
Ketentuan tentang harta bersama, sudah jelas dalam hukum
positif yang berlaku di Indonesia, bahwa harta yang boleh dibagi secara
bersama bagi pasangan suami istri yang bercerai, hanya saja terbatas
pada harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Di dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, harta
bersama diatur dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 119
KHUPerdata, Pasal 85 dan 86 KHI. Pengaturan harta bersama ini diakui

106
Seperti dalam al-Qur’a>n surah IV:21
107
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
2004).
108
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 112.

188
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

secara hukum, termasuk dalam pengurusan, penggunaan, dan


pembagiannya. Ketentuan tentang harta bersama juga diatur dalam
hukum Islam meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya
percampuran harta kekayaan suami istri, namun ternyata setelah
dicermati dan dianalisis yang tidak bisa dicampur adalah harta bawaan
dan harta perolehan. Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku dalam
hukum positif, bahwa kedua macam harta itu (harta bawaan dan harta
peroleh) harus terpisah dari harta besama itu sendiri.
Dalam pasal 119 KHUperdata dikemukakan bahwa mulai hasil
saat melangsungkan perkawinan secara hukum berlakulah kesatuan bulat
antara kekayan suami-istri. Kemudian dalam Pasal 128-129
KUHPerdata, dinyatakan bahwa apabila putusnya ikatan perkawinan
antara suami istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami istri
tanpa memerhatikan dari pihak mana barang-barang kekayaan itu
sebelumnya diperoleh.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar
hukum harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang-undang dan
peraturan lainnya yaitu:
a. Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 Pasal 35 Ayat (1)
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah
harta yang diperoleh selama adalam perkawinan. Artinya harta yang
diperoleh sebelum perkawinan tidak disebut harta bersama.
b. KUHPer Pasal 119 disebutkan bahwa sejak saat dilangsungkan
perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama
menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentual-ketentuan lain dalam perjanjian perakwinan. Harta
bersama itu selama dalam perkawinan tidak boleh ditiadakan atau
diubah dengan suatu persetujuana antara suami istri.
c. KHI Pasal 85 disebutkan bahwa, adanya harta bersama itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami
istri. Pasal ini sudah menyebutkan harta bersama dalam perkawinan,
dengan kata lain KHI mendukung adanya peraturan harta dalam
perkawinan meskipun sudah bersatu, tidak menutup kemungkinan
adanya sejumlah milik masing-masing pasangan suami istri.
d. KHI Pasal 86 Ayat (1) dan (2) kembali dinyatakan bahwa, pada
dasarnya tidak ada pencampuran harta suami dan istri karena
perkawinan. Pada Ayat (2) lebih lanjut ditegaskan bahwa, pada
dasarnya hak istri teta menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya.
Demikian pula sebaliknya harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh olehnya.

189
Fatima

Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 dalam masalah harta


bersama hanya mengatur secara singkat dan umum dalam bab VII, hanya
terdiri atas 3 pasal yaitu 35-37.109Tampaknya UU No. 1 Tahun 1974
menyerahkan pelaksanaannya berdasarkan ketentuan nilai-nilai hukum
adat.
Berdasarkan Pasal 85 KHI klausul ‚sejak perkawinan tidak
menutup kemungkinan adanya pencampuran antara kekayaan suami
istri,‛ dengan kata ‚kemungkinan‛, dimaksudkan bahwa harta bersama
itu diperbolehkan asalkan tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
Ketentuan KHI pasal 86 ayat (1) dan (2) kedengarannya bertolak
belakang dengan pasal sebelumnya. Jika dianalisis secara seksama,
ketentuan dalam pasal 86 tersebut sebenarnya lebih bersifat informasi,
bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal istilah harta bersama. Istilah
harta bersama lebih dikenal dalam ketentuan hukum positif.110
Para pakar hukum Islam di Indonesia ketika merumuskan pasal
85-97 KHI setuju untuk mengambil shari>kat ‘abda>n sebagai landasan
merumukan kaidah-kaidah harta bersama. Para perumus KHI melakukan
pendekatan dari jalur shari>kat ‘abda>n dengan hukum adat.111 Cara
109
Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal 35-37 dikemukakan
bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta bersama.
Masing-masing suami istri terhadap harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas
persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut
apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing. Yang di maksud dengan ‚hukumnya‛ masing-masing dalam
Pasal 37 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tersebut adalah hukum agama, hukum adat
dan hukum lainnya. Lihat Abdul Manan dan Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata:
Wewenang Peradilan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), 74.
110
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Perceraian (Jakarta:
Transmedia Pustaka, 2008), 8-9.
111
Indonesia sejak dulu hukum adat mengenalnya dan diterapkan terus-
menerus sebagai hukum yang hidup. Apakah kenyataan ini dibuang dalam kehidupan
masyarakat? tentu tidak mungkin. Lagi pula dari hasil pengamatan lembaga harta
bersama lebih besar maslahahnya dari pada madaratnya. Atas dasar metodologi
is}tis}la>h} (maslah}ah al-mursalah}) dan ‘urf dan kaidah al-‘a>dah} al-muh}a>kamah, KHI
melakukan pendekatan kompromistis dengan hukum adat. Lihat Yahya Harahap,
Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, 44. Bandingkan dengan Cik
Hasan Bisri, (eds). Kompilasi hukum islam dalam Sistem Hukum Nasional (Ciputat,
Logos Wacana Ilmu, 1999), 61-62.

190
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

pendekatan yang demikian ini tidak bertentangan dengan kebolehan


menjadikan‘urf (adat atau tradisi) sebagai sumber hukum, dan sejiwa
dengan kaidah yang mengatakan al-‘ada>t al-muh}ak> ama>t. Sebagian ahli
hukum Islam memandang bahwa harta bersama merupakan kehendak
dan aspirasi hukum Islam. Menurut mereka, harta bersama adalah
konsekuensi dari adanya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki
dan seorang wanita yang kemudian menghasilkan harta dari usaha yang
mereka lakukan berdua selama ikatan perkawinan. Mereka mendasarkan
pada firman Allah di dalam al-Qur’an Surah al-Nisa>’ Ayat 21, yang
menyebutkan perkawinan sebagai suatu perjanjian yang suci, kuat, dan
kokoh (mi>thaqa>n ghali>z}an). Artinya, perkawinan yang dilakukan melalui
ijab kabul dan telah memenuhi syarat dan rukunnya merupakan shirkah
antara suami dan istri. Oleh karena itu, akibat hukum yang muncul
kemudian, termasuk harta benda menjadi milik bersama.112
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat
empat macam harta keluarga (gezimsgood) dalam perkawinan,yaitu (1)
harta yang diperoleh dari warisan, baik mereka sebelum menjadi suami
istri maupun setelah mereka melangsungkan perkawinan. (2) harta yang
diperoleh dengan keringat sendiri sebelum mereka menjadi suami istri.
(3) harta yang dihasilkan bersama oleh suami istri selama
melangsungkan perkawinan. (4) harta yang didapat oleh pengantin pada
waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi milik suami istri
selama perkawinan.113
Untuk mengamankan hak dari harta bersama suami atau istri
dapat mengajuan sita marital (sita harta bersama).114 Untuk mengajukan
sita marital tersebut, penggugat harus memiliki data yang akurat dan
pasti atas harta bersama yang dimaksud. Hendaknya jangan sampai data
milik pihak ketiga dimasukkan kedalam daftar harta bersama.115
Apabila perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena
kamatian, maka masing-masing suami istri mendapatkan separuh dari
harta bersama yang diperoleh selama perkawinan

112
Abd. Rasyid As’ad, ‚Gono – Gini dalam Perspektif Hukum Islam‛, 6.
113
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 106-107.
Bandingkan dengan pendapat Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat
Perceraian, 12-15, dan juga pendapat Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam,
228
114
Pasal 95 KHI.
115
Rocy Marbun, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum (Jakarta: atransmedia
Pustaka, 2011), 187.

191
Fatima

berlangsung.116Ketentuan tersebut, sejalan dengan Yurisprudensi


Mahkamah Agung RI Nomor 424.K/Sip.1959 bertanggal 9 Desember
1959 yang mengandung abstraksi hukum, bahwa apabila terjadi
perceraian, maka masing-masing pihak (suami istri) mendapat setengah
bagian dari harta bersama mereka. Apabila pasangan suami istri yang
bercerai, kemudian harta bersamanya dilakukan dengan cara
musyawarah atau perdamaian, maka pembagiaannya bisa ditentukan
berdasarkan kesepakatan atau kerelaan di antara mereka berdua. Cara ini
sah saja, bahkan ini yang terbaik.
Pembagian harta harta bersama dapat ditempuh melalui putusan
Pengadilan Agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian
pembagian harta bersama melalui jalan musyawarah ini, boleh saja
mereka sepakat bahwa mantan suami mendapat sepertiga dari harta
bersama, sedangkan mantan istri mendapat dua pertiga. Atau
sebaliknya, mantan istri mendapat sepertiga, sedangkan mantan suami
mendapat dua pertiga. Yang penting, prosentase bagian masing-masing
itu, dihasilkan atas dasar muyawarah mufakat dan perdamaian serta
tidak ada unsur pemaksaan.
Begitu juga dalam pembagian harta bersama salah satu dari
kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian
haknya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Misalnya, suami istri
yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga
dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua bercerai,
mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada,
sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami 45%, atau
dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan
mereka berdua,117bahkan tak jarang hakim memutuskan dengan bagian

116
Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
128-129 KUHPerdata, Pasal 96 dan Pasal 97 KHI. Ketentuan Pasal 97 KHI ini
bukanlah ketentuan yang sifatnya wajib secara shar’i>, sebab tidak ada nash dalam al-
Qur`’a>n dan al-Hadith yang menerangkan bahwa pembagiannya harus seperti itu, yakni
suami dan isteri masing-masing mendapatkan setengah (50 %). Karena itu, kita dapat
memahami mengapa di Filipina, dalam peraturan yang diberlakukan pemerintah untuk
orang Islam (Code of Moslem Personel Laws of the Philippines ), tidak ada aturan
mengenai harta bersama dalam perkawinan. Demikian pula, dalam putusan-putusan
pengadilan Malaysia, soal harta bersama ini masih menjadi masalah yang belum
selesai. Lihat Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah,
Hambatan, dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 122.
117
Ahmad Zain an-Najah , ‛Harta Gono- Gini dalam Islam‛ Senin, 29 Jumadil
Akhir 1433 H/21 Mei 2012. Diakses pada tanggal 09 juni 2012 melalui
http://muslimahzone.com/harta-gono-gini-dalam-islam.

192
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

salah satu pihak mendapatkan bagian yang lebih banyak, jika yang
demikian tersebut menurut pertimbangan hakim sudah mencerminkan
rasa keadilan.
Berdasarkan temuan penulis di PA DKI Jakarta dalam kasus
sengketa harta bersama dari tahun 2010-2011 menunjukkan bahwa, PA
Jakarta Timur menenmpati urutan pertama dengan jumlah 48 kasus.
Dengan rincian, perkara yang masuk tahun 2010 sebanyak 14 perkara.
Satu (1) kasus telah dicabut, yang diputus berjumlah 8 kasus. Tahun
2011 yang diterima berjumlah 27 kasus, yang diputus 19 kasus. Dari
tahun 2010-2011 yang telah diputus berjumlah 27 kasus.118 Peringkat
kedua, PA Jakarta Selatan dengan jumlah 30 kasus, yang telah berhasil
diputus sebanyak 20 kasus. Kemudian, PA Jakarta Pusat menempati
urutan ketiga dengan jumlah 14 kasus dan semuanya telah berhasil
diselesaikan. Selanjutnya, PA Jakarta Utara dengan total 13 kasus, yang
berhasil diputus berjumlah 10 kasus. Terakhir Jakarta Barat dengan
jumlah 9 kasus, 7 kasus telah diselesaikan. Sisanya dalam peruses
persidangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel: 5.11.
Perkara Permohonan Harta bersama yang diterima dan diputus
Pengadilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-2011
No. Pengadilan Agama Perkara Perkara
DKI Jakarta Diterima Diputus
1. Jakarta Utara 13 10
2. Jakarta Selatan 30 20
3. Jakarta Timur 48 27

4. Jakarta Pusat 14 14
5. Jakarta Barat 9 7
Jumlah 115 68
Sumber: Pribadi Dari Laporan Tahunan Peradilan Agama DKI Jakarta Tahun 2010-
119
2011.

118
Diakses pada 27 November 2012 melalui http://infoperkara.badilag.net/.
119
Lihat Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2010 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta
Utara tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember, 2010). Lihat
pula Sufyan, ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Kelas I.A Jakarta Utara
tentang Perkara yang diterima dan diputus‛, (Jakarta, 31 Desember 2011). Lihat Ach
Jufri dan Ahmad Majid, ‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Bulan Januari-Desember Tahun 2010‛. Lihat Ujang Mukhlis,
‚Laporan Perkara yang diterima dan diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bulan
Januari-Desember Tahun 2011‛. LIhat Ach Jufri, ‚ Laporan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2010‛, (Jakarta, 30
Desember, 2010). Lihat Ahmad Majid, ‚Laporan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

193
Fatima

Banyaknya kasus sengketa harta bersama di wilayah PA DKI


Jakarta mempunyai warna tersendiri dalam putusal-putusan tersebut,
namun yang pasti khusus dalam kasus harta bersama ini, hakim
Pengadilan Agama DKI Jakarta kerap kali melakukan ijtihad
sebagaimana penjelasan kasus berikut ini.
- Deskripsi Perkara dan Amar Putusan Hakim dalam Hal Sengketa
Harta Bersama
Kasus pertama, Penggugat (istri) berdasaran gugatannya tanggal
12 April 2010 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Jakarta selatan dengan Nomor: 0807/Pdt.G/2010/PAJS. Dalam
positanya disebutkan bahwa benar antara Pengugata dan Tergugat telah
terjadi pernikahan pada tanggal 10 Februari 2008. Dari hasil pernikan
tersbut keduanya dikarunia seorang anak laki-laki yang lahir pada
tanggal 13 November 2008. Awalnya rumah tangga Pengugat dan
Tergugat berjalan dengan baik, namun di akhir bulan Februari 2008
rumah tangga tersebut mulai goyah, selalu terjadi percekcokan. Adapun
faktor pemicunya adalah faktor ekonomi, di mana Tergugat tidak
mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap. Selama 2 tahun 2
bulan perkawinan, biaya hidup banyak ditanggung Penggugat. Belum
lagi perilaku buruk yang dilakukan Tergugat seperti perselingkuhan,
kata-kata kasar, KDRT dan lainnya.
Dalam gugatan perceraian tersebut, Penggugat menggabungkan
dengan gugatan harta bersama berupa tanah, bangunan dan mobil yang
berada dalam kekuasaan Tergugat. Dalam proses persidangan yang
cukup panjang, dan mendengar jawaban Tergugat yang pada pokoknya
hampir semua isi gugatan dibantah oleh Tergugat. Berdasarkan alat
bukti dan keterangan saksi dari masing-masing pihak, maka Majelis
hakim memutuskan yang pada pokok amar putusan tersebut
memutuskan hal-hal sebagai berikut.
1. Menjatuhkan talak ba’in sughra terhadap isrtinya
2. Menetapkan hak asuh anak pada pemeliharaan Penggugat (istri)
3. Menetapkan bagian harta bersama dengan bagian istri 65% dan
suami 35%. Pembagian tersebut setelah dikurangi hutang piutang
dengan pihak ketiga.

tentang Perkara yang diterima dan diputus Tahun 2011‛, (Jakarta, 30 Desember, 2011).
Lihat Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2010‛, 27-29. Lihat
Arsip ‚Data Perkara Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2011‛, 14-18. Lihat
http://www.infoperkara.Badilaq.go.id. Di akses pada tanggal 2 Agustus 2011.

194
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Kasus kedua, terjadi pada tahun 2010 yang telah didaftarkan di


Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan Nomor
686/Pdt.G/2010/PAJP. Dalam positanya disebutkan bahwa benar
Penggugat (istri) telah menikah dengan Tergugat pada tanggal 26
Desember 1997, dan bercerai pada tanggal 16-6-2010 sesuai dengan
Akta Cerai Nomor 0409/AC/2010/PAJP.
Dengan putusnya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat
sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak mengurangi hak-hak
Penggugat untuk memperoleh sebagian harta yang diperoleh saat
perkawinan berlangsung. Namun sayangnya, harta kekayaan berupa
tanah yang diperoleh antara Penggugat dan Tergugat dikuasai Tergugat,
sehingga Penggugat mengajukan gugatan harta bersama dan meminta
kepada Majelis hakim untuk membagi harta bersama tersebut sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Melalui proses persidangan yang cukup panjang, dengan
mendengarkan keterangan kedua belah pihak yang saling mengklaim
kepemilikannya, Penggugat meyakini bahwa tanah tersbut merupakan
harta bersama antara Penggugat dan Tergugat. Sedangkan Tergugat
membantah dan meyakini bahwa tanah tersebut milik pribadi Tergugat
yang dibeli dari uang hasil menjual tanah milik oang tua Tergugat.
Namun Tergugat tidak dapat membuktikan dalil bantahannya tersebut.
Penggugat dan Tergugat saling membantah baik melalui jawaban
Tergugat, replik Penggugat, duplik Tergugat. Setelah majelis hakim
melihat berbagai bukti dalam persidangan dan mempelajari kasus
tersebut, akhirnya Majelis hakim memutuskan hal-hal sebagai berikut.
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
2. Menyatakan sita jaminan yang dilaksanakan Juru sita Pengadilan
Agama Jakarta Pusat
3. Menetapkan bagian Penggugat ½ (seperdua) dan bagian Tergugat ½
(seperdua) dari harta bersama Penggugat dan Tergugat.
- Dasar dan Pertimbangan Hakim dalam Sengketa Harta Bersama.
Ada aturan khusus di Pengadilan Agama yang berbeda dengan
Pengadilan lainnya dalam kasus harta bersama. Hal ini terdapat dalam
Pasal 66 Ayat (5) dan Pasal 86 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. Perubahan ke dua UU
No. 50 Tahun 2009 menyebutkan tentang kebolehan menggabungkan
gugatan perceraian dengan beberapa gugatan lainnya.
Kedua pasal tersebut membolehkan seorang suami atau istri yang
mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama sekaligus

195
Fatima

mengajukan gugatan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan


harta bersama. Berbeda dengan yang berlaku di Pengadilan Negeri, di
mana pihak yang mengajukan gugatan perceraian tidak dibolehkan
menggabungkan dengan gugatan harta bersama, melainkan setelah ada
putusan perceraian yang mempuyai kekuatan hukum tetap, baru gugatan
hata bersama dapat diajukan. Penggabungan lebih dari satu tuntutan
hukum ke dalam satu gugatan atau beberapa gugatan digabungkan
menjadi satu disebut ‚komulasi gugat‛.120 Tujuan diterapkannya
komulasi gugat adalah untuk menyederhanakan proses dan
menghindarkan putusan yang saling bertentangan.121 Penyederhanaan
proses ini tidak lain bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang
sederhana.122 Di samping itu bahwa dengan penggabungan gugatan ini,
maka asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dapat
terlaksana.123
Pada dasarnya komulasi gugat merupakan gugatan yang berdiri
sendiri. komulasi gugat hanya diperkenankan dalam batas-batas
tertentu, yaitu apabila penggugat atau para penggugat dan tergugat atau
para tergugat adalah pihak yang sama.124 Sebagaimana terdapat pada
kasus putusan Pengadilan Agama Jakarta selatan dengan nomor perkara
0807/Pdt.G/2010/PAJS. Pada kasus ini istri sebagai Penggugat,
sedangkan suami menjadi Tergugat. Komulasi gugat dalam perkara ini
adalah gugatan harta bersama dan gugatan perkara perceraian beserta
akibatnya. Di dalam gugatannya Penggugat mengajukan beberapa
tuntutan yaitu perceraian, hak asuh anak yang belum dewasa
(mumayyiz) dan pembagian harta bersama.
. Formulasi gugatan dapat diurut secara sitematis dari penguraian
posita cerai tersebut. Pada hakikatnya posita gugat cerai yang menjadi
pokok perkara, sedangkan yang lainnya menjadi bagian gugat assessor.
Pada prinsipnya gugatan terhadap penguasaan anak, nafkah dan harta

120
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi
Pengadilan‛, Buku II (Jakarta, Mahkamah Agung RI Dietorat Jenderal Badan Peradilan
Agama, 2002), 118.
121
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradnya
Paramita 2005), 29.
122
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2001),
104.
123
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), 27.
124
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata (Bandung: Mandar Maju,
1989), 49.

196
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

bersama baru dapat timbul jika didahului gugat cerai. Itu sebabnya
gugatan yang lain itu pada prinsipnya assessor atau bergantung kepada
gugat cerai. Oleh karena itu untuk menghindari agar gugatan tidak
obscur libel, formulasi gugat secara sistematis harus dimulai urutannya
dengan gugat cerai baru menyusul gugatan lainnya. Misalnya Pemohon
atau Penggugat menghendaki agar permohanan atau gugatan sekaligus
meliputi penyelesaian pemeliharaan anak, nafkah dan harta bersama.
sebagaimana kasus di atas. Formula gugatan atau permohonan yang
dianggap memenuhi tata tertib beracara adalah, dimulai dari dalail
gugatan. Menyusul kemudian gugat dan alasan pengusaan anak,
dilanjutkan dengan gugat dan alasan nafkah dan terakhir baru gugat dan
alasan pembagian hata bersama.
Dengan demikian tidak boleh gugat didahului oleh penguasaan
anak, hak nafkah dan harta bersama. Jika hakim menemukan gugatan
yang menyalahi tata tertib beracara tersebut, maka hakim dapat
memberi nasehat agar diperbaiki urutannya, karena jika tidak diperbaiki,
maka gugatan tidak dapat diterima. Demikian juga petitum cerai harus
dimulai dari meminta putusnya perceraian, kemudian memberi izin
kepada Pemohon (suami) untuk mengucapkan ikrar talak di sidang
pengadilan. Selanjutnya baru menyusul petitum tentang penguasaan
anak, nafkah dan pembagian harta bersama.125
Secara Posedural, bunyi amar putusan kasus di atas telah sesuai
dengan hukum beracara. Dasar hukum dan pertimbangan Majelis hakim
Pengadilan Agama Jakarta selatan dalam memutuskan kasus di atas
adalah, bahwa kasus tersebut bertentangan dengan pasal 33 UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan jo Pasal 77 Ayat (2) KHI yang
menyatakan bahwa, antara suami istri harus saling cinta mencintai,
hormat menghormati, setia memberi bantuan lahir dan batin yang satu
dengan yang lainnya. Selain itu tujuan perkawinan sebagaimana bunyi
surah al-Ru>m Ayat 21126 tidak terwujud. Menurut Majelis hakim, alasan
gugatan Penggugat telah memenuhi kualifikasi yuridis sesuai dengan
ketentuan pasal 39 ayat (1)127 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf
125
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Acara peradilan Agama, 218-219.
126
Redaksi ayat tersebut adalah;

127
Pasal tersebut menyatakan bahwa, Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

197
Fatima

(f)128 PP No. 9 Tahun 1975 dan pasal 119 huruf (c) KHI.129 Berdasarkan
ketentuan pasal 41 huruf (a) UU No. 1 tahun 1974, apabila terjadi
perselisihan tentang pengasuhan anak, maka Pengadilan yang
memutuskan. Sesuai dengan tanggal kelahiran anak tersebut belum
mencapai usia 12 tahun, maka hak asuhnya ada di pihak ibu.
Gugatan mengenai harta bersama, hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan memutuskan dengan menyatakan bagian istri 65% dan
suami 35%. Adapun pertimbangan hakim adalah seharusnya suami yang
bertanggungjawab mencukupi kebutuhan rumah tangga justru tidak
mempunyai andil, akan tetapi sebaliknya semua kebutuhan keluarga
dicukupi oleh istri. Dalam kasus seperti ini hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan bahkan semua hakim Pengadilan Agama DKI Jakarta
dalam kasus serupa sering kali melakukan ijtihad dengan
mengesampingkan Pasal 97 KHI yang pembagian antara suami istri
masing-masing mendapat seperdua, dengan pertimbangan bahwa tidak
adil rasanya memberikan bagian separuh kapada istri sebagai tulang
punggung keluarga, sedangkan suaminya pengangguran.130 Dalam kasus-
kasus seperti ini seyogyanya hakim berhati-hati dalam memeriksa kasus-
kasus tersebut, hal ini dilakukan agar memenuhi rasa keadilan,
kewajaran dan kepatutan.131
Berdasarkan ketentuan pasal 37 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo Pasal 97 KHI yang menyebutkan bahwa janda atau duda
cerai hidup masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sebagaimana kasus yang telah diputus di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat dengan Nomor 686/Pdt.G/2010/PAJP. Dalam putusan tersebut
Majelis hakim memutuskan bagian Penggugat (istri) dan Tergugat
(suami) masing-masing seperdua.
Bagian seperdua ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa
dalam suatu perkawinan itu baik pihak istri maupun suami mempunyai

128
Bunyi Pasal tersebut menyebutkan bahwa, perceraian dapat terjadi dengan
alasan antara suami isti terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup ukun kembali dalam rumah tangga.
129
Pasal tersebut menyatakan bahwa, termasuk katagori talak ba’in sughra
adalah talak yang dijatuhkan Pengadilan Agama.
130
Wawancara dengan M. Rizal, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat,
Tanggal 18 Juli 2012.
131
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2006), 129.

198
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga.132 Di


samping antara Penggugat dan Tergugat tidak ditemukan adanya
perjanjian perkawinan mengenai harta yang diperoleh dalam
perkawinan. Dengan demikian gugatan Penggugat sudah sepatutnya
dikabulkan dengan menetapkan masing-masing antara Penggugat dan
Tergugat seperdua dari harta bersama.
Berdasarkan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat ini
yang mengadili pembagian harta bersama pasca perceraian dengan
merujuk pasal 97 KHI, menurut Penulis sudah tepat dan Penulis setuju
atas keputusannya karena diberlakukan untuk pembagian secara adil dan
seimbang bagian sama besar untuk masing-masing mantan suami dan
istri.
Praktik di Pengadilan Agama dalam gugatan harta bersama
ditemukan banyak kendala yang terkait dengan rahasia bank. Suami atau
istri yang mendlilkan istri atau suaminya mempunyai rekening giro,
tabungan atau deposito pada bank tertentu akan mengalami kesulitan
dalam pembuktian, karena yang dapat mengakses saldo rekening giro,
tabungan dan deposito bank tersebut hanya pihak suami atau istri yang
memilikinya, maka pembuktiannya cukup dengan fotocopy rekening
giro, tabungan deposito sepanjang tergugat (istri atau suami) tidak
menyangkal isi pokok fotocopy tersebut. Jika tergugat (istri atau suami)
menyangkal isi rekening giro, tabungan atau deposito yang atas
namanya, maka tergugat (istri atau suami) harus membuktikan saldo
rekening giro, tabungan atau deposito atas nama yang bersangkutan
berupa surah keterangan saldo terakhir dari bank yang bersangkutan.133
Sehubungan dengan pembagian harta bersama, suami mendapat
setengah, begitu juga istri mendapat setengah. Dalam kasus-kasus
tertentu dapat dilenturkan mengingat realita dalam kehidupan keluarga
di beberapa daerah di Indonesia ini ada pihak suami yang tidak
berpartisipasi dalam membangun ekonomi rumah tangga. Dalam hal ini,
sebaiknya para peraktisi hukum lebih berhati-hati dalam memeriksa
kasus-kasus tersebut agar memenuhi rasa keadilan, kewajaran dan
kepatutan. Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan khusus tentang
partisipasi pihak suami dalam mewujudkan harta bersama keluarga,
sehingga bagian yang menetapkan setengah dari harta bersama untuk
132
Mahkamah Agung RI, Suara Uldilog (Jakarta: Pokja Perdata Agama MA-
RI, 2005), 105.
133
Mahkamah Agung RI, Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama, Buku II, Edisi Revisi 2010, (Jakarta, Mahkamah Agung RI Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010), 155.

199
Fatima

istri dan untuk suami perlu dilenturkan lagi sebagaimana yang


diharapkan oleh pasal 229 KHI.134

134
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, 129.

200
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya. Menjawab dari rumusan permasalahan mengenai bentuk
dan tingkat perlindungan hukum terhadap wanita dalam peraturan
perundang-undangan dan praktik penegak hukum di Indonesia, penulis
memberikan kesimpulan:
1. Hukum keluarga Islam di Indonesia yang terdapat dalam UU
No.1/1974 dan KHI telah berupaya memberikan perlindungan
terhadap hak-hak wanita dan anak dalam kehidupan keluarga. Hal ini
dapat dilihat dari adanya peraturan mengenai batasan usia
perkawinan, adanya peraturan mengenai dispensasi kawin, peraturan
mengenai wali ‘ad{al, poligami diperketat, hak cerai gugat, asas
mempersulit perceraian dan pembagian harta bersama.
2. Berdasarkan hasil putusan-putusan Pengadilan Agama, ditemukan
beberapa kasus yang tidak memberikan perlindungan terhadap hak-
hak wanita. Hal ini terbukti mayoritas putusan hakim Pengadilan
Agama menggugurkan hak nafkah ‘iddah dalam kasus cerai gugat,
karena istri dianggap melawan dan durhaka terhadap suami. Pada
kasus hak nafkah anak pasca perceraian, dari 38 putusan tidak
ditemukan dalam amar putusan yang menjamin terpenuhinya hak
nafkah anak. Selanjutnya dalam kasus poligami, dari 45 putusan ada
3 alasan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yaitu alasan karena menjalankan syari’at agama, kurang terpenuhinya
nafkah batin dan calon istri kedua telah hamil di luar nikah.
3. Kedudukan wanita sebagai ibu telah terlindungi, namun kedudukan
wanita sebagai istri dan anak masih tidak terlindungi. Terbukti tidak
ditemukan dalam hukum materiil yang secara eksplisit mengatur
tentang akibat hukum pasca cerai gugat dan tidak ada pula peraturan
mengenai jaminan terpenuhinya hak nafkah anak pasca perceraian.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, ada
beberapa saran yang perlu dikemukakan yaitu,
1. Kepada pengkaji hukum keluarga Islam, agar meneliti lebih lanjut
beberapa hasil putusan Pengadilah Agama dengan melakukan
perbandingan pada wilayah tertentu seperti perbandingan hasil
Fatima

putusan Pengadilan Agama DKI Jakarta dengan putusan Pengadilan


Yogyakarta dan wilayah lainnya.
2. Kepada pemerintah terkait, aturan mengenai hukum keluarga Islam
di Indonesia yang sudah diperbaiki dan disempurnakan lewat RUU
HMPA (Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan
Agama) yang masih terkatung-katung, kiranya segera mungkin dapat
diundangkan. Hal ini demi meningkatkan kwalitas perlindungan
wanita dan anak dalam keluarga. Demikian pula, sosialisasi hukum
keluarga Islam seyogyanya terus digalakkan, mengingat banyak
ditemukan khususnya daerah pedesaan yang tidak mengetahui
eksistensi hukum keluarga Islam tersebut, bahkan di daerah
perkotaanpun para istri masih banyak yang kebingugan dalam
mengajukan gugatan perceraian. Akibatnya hak nafkah mereka
terabaikan karena mereka tidak mengajukanm hak-hak pasca
perceraian dalam surah gugatannya, pada akhirnya yang dirugikan
istri dan anak-anak.
3. Para hakim dalam mengemban tugas dan tanggungjawab yang
sangat berat diharapkan dapat benar benar memutuskan perkara
dengan secara adil dan proposional. Hal ini didukung oleh kriteria
hakim yang berkualitas baik mengenai keilmuan, moralitas yang
tinggi dan lain sebaginya. Kemampuan ilmu agama yang mempuni
merupakan modal dalam menggali dan menafsirkan hukum-hukum
yang tertera dalam kitab-kitab fikih, sehingga ijtihadnya benal-benar
mampu mencerminkan keadian terhadap para pihak yang mencari
keadilan.

202
DAFTAR PUSTAKA

Agama, Departemen. al-Qur’a>n dan Tafsi>rnya. Yogyakarta: Universitas


Islam Indonesia, 1991.
Ahmad, Amrullah. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional: Mengenang 65 Tahun Bustanul Arifin. Jakarta: Gema
Insani, 1996.
Al-‘Alu>si>, Shiha>buddin Mah{mud. Ru>h al-Ma’a>ni> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-
‘Az{i>m,. Bai>ru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422H/2001 M.
Al-‘Ara>bi>, Ibn. Ah}ka>m al-Qur’a>n. Bai>ru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1408 H/1988 M.
Al- Barry, Zakariyah Ahmad. Hukum Anak-anak dalam Islam. trans.
Chadidja Nasution, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Al-Habsyi, Muhammad Baqir. Fiqh Peraktis Menurut al-Qura>n, Sunnah
dan Pendapat Para Ulama.’ Bandung: Mizan, 2002.
Al-Jazari, Abdul Rahman. Al-Fiqh ‘ala> Madha>hib al-Arba’ah Qiamu al-
Ahwa>l al-Shakhsiyah. Bairu>t : Dar>u al- Fikr, 1990.
Al-Nawawy>. Al-Tafsi>r al-Muni>r li Ma’ali>m al-Tanzi>l. Semarang: Usaha
Keluarga, t.th.
Al-Ra>zi>, Fakhruddin. Al-Tafsi>r al-Kabi>r wa al-Mafa>tih al-Ghaib, Jilid 5.
Bai>ru>t: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-S}abu>ni, Muhammad Ali.> al-Mawa>ri>th fi al-Shari>’ah al-Isla>miyah fi>
D}au> al-Kita>b wa al-Sunnah. Makkah: Alam al-Kutub, 1305
H/1985 M.
Al-San’ani>, Subul al-Sala>m, Kairo: Da>r ahya’ al-Tura>th al-‘Ara>bi>,
1379H/ 1960 M, 227.
Al-Sha’ra>wi>, Muhammad Mutawalli. al-Fata>wa>: Kullu ma> Yuhimmi al-
Muslim fi> H}aya>tih}I Yaumih}I wa Ghadihi. Kairo: Maktabah al-
Taufiqiyah, 1997.
Al- T{abari>, Ibn Jari>r. Ja>mi’ al- Bayan ‘an Ta’wi>l ayat al-Qur’a>n. Bairu>t:
Da>r al-Fikr, 1988.
Al-T{abra>ni>, Abu>> Ja’far Muhammad bin Jari>r Tafsi>r al-T{abra>ni>. Besus
Hidayat, eds. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Al-Zamah{shari>, Al-Kashshaf. Bai>ru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415
H/1995 M.
Ali, M. Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Ali, Zainuddin. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta:Sinar
Grafika, 2008.
Fatima

Ali, Muhammad Daud. Hukum Isla>m dan Peradilan Agama, Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 2005.
Anderson, Norman. Law Reform in The Muslim World. London: The
Athlone Press, 1976.
Al-Na’im, Abdullahi Ahmed. Dekonstruksi Shari>ah. Yogyakarta: LKiS,
2004.
…………Toward an Islamic Reformation. New York: Syracuse
University Press, 1999.
………….‚Shari>’ah dan Isu-isu HAM‛ dalam Charles Huzman. eds.
Wacana Islam Liberal: Pemikiran Kontemporer tentang Isu-isu
Global, Jakarta: Paramadina, 2003.
Anderson, Norman. Law Reform in The Muslim World. London: The
Athlone Press, 1976.
Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar,
Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Rajawali Press,
1996.
Al-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. Taisi>r al-Kari>m al-Rahma>n, t.tp:
Muassasah al-Risalah, 2000.
Asad, Muhammad .The Message of The Qura>n, Gibraltar: Da>r al-
Andalus, 1980.
Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar
Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press,
1996.
Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingka Reformasi Hukum di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.
Al-Dimashqi>, Ibn Kathi>r. Tafsi>r al-Qura>n al-Az}i>m. Bairu>t: Da>r al-Fiqr,
t.th.
Al-Sanan, Arij binti Abdur Rahman. Adil Terhadap Para Istri –Etika
Berpoligami. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006.
Al-Taba>t}aba’i, Muhammad H}usain. Tafsi>r al-Mi>za>n. Bai>ru>t: Muassasah
al-A’lami li al-Mat}bua>t, 1411 H/1911 M.
Al- Zamakhsari, Abu> al-Qa>sim. al-Kashasha>f. Bairu>t: Dar> al-Fikr, t.th.
Al-Qurt}ubi, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qura>n. Bairu>t: Dar> al-Sabab, 1372.
Al- Baid}awi>, Tafsi>r al- Baid}awi>. al-Qa>hirah: Da>r al-Misriyyah, t.th.
‘Ali> Khan, Maulvi Mumtaz. ‚Hak-Hak Wanita dalam Islam‛ dalam
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Wanita. Yogyakarta: LKiS,
1999.
Al-Husaini, Hamid. Fatwa-Fatwa Muta’hir. Jakarta: Yayasan al-
Hamidi, 1996.

204
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Al- Mawardi, Abu> al-Hasan. al-Ah}ka>m al-Sult}aniyyah wa al-Wila>yat al-


Diniyyah. t.tp: Da>r al-Fikr, 1960.
Al-Suyu>t}i>, Al-Jami; al-S}aghir. Bairu>t: Dar> al-Fiqr li al T}iba>;at wa al-
Nas}r wa al-Tauzi>’.
Al-Razi, Fahruddin. al-Tafsi>r al-Kabi>r, Teheren: Dar> al-Kutub al-
‘lmiyah, t.th.
Al-Syirbini>, Al-Kha>tib. Mughni> al- Muh}ta>j. Bai>ru>t: Dar> al-Ih}ya>’ at-
Thura>th al-‘Ara>bi>, t.th.
Abdullah, Rozi dan Syamsir. Perkembangan HAM dan Keberadaan
Peradilan HAM di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2001.
Anderson, Norman. Law Reform in The Muslim World. London: The
Athlone Press, 1976.
Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak
Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
Adams, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Jakarta:
Gunung Agung, 1966.
Azra, Azyumardi dan Saiful Umam, ed. Menteri-Menteri Agama RI,
Biografi Sosial-Politik. Jakarta: INIS-PPIM-Depag RI, 1998.
Azhary, M. Tahir. Negara Hukum. Jakarta:Bulan Bintang, 1992.
Al-Zamah}shari>, Abu> al-Qa>sim Mahmud bin umar. al-Kashshaf ‘an
H}aqa>iq al-Tanzil wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi U>ju>h at-ta’wi>l. Bairu>t:
Da>r al-Kita>b al-‘Ara>bi>, t.th.
Al-Zuhaili>,Wahbah. al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh. Bairu>t: Da>r al-Fikr,
1418H/1997.
Bultaji, Muhammad. Maka>nah al-Mar’a>h fi> al-Qur’a>n al-Kari>m wa al-
Sunnah al–S}ahi}>}ha}h. Al-Q{}ah>{ ira>h: Da>r as-Sala>m, 1420 H/ 2000.
Barlas, Asma. Cara Qura>n Membebaskan Wanita, trans. Believing
Women in Islam. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta 2005.
Bin Kathit, Imadudin Isma>il. Tafsi>r al-Qura>n al-Az}i>m. Surabaya: Shirkat
al-Nu>r Asiya>, t.th.
Bakar, Alyasa Abu. Ahli Waris Pertalian Darah: Kajian Perbandingan
terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab.
Jakarta: INIS, 1998.
Bisri, Cik Hasan eds. Kompilasi hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional. Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1999.
Bahri, Saiful. Sekandal Sex Soekarno: Sebuah Kesah yang
Menggemparkan Dunia. Kuala Lumpur: Pustaka Saiful, 1968.

205
Fatima

Budairi, Muhammad. Masyarakat Sipil dan Demokrasi: Dialektika


Negara dan LSM Ditinjau dari Perspektif Politik Hukum. Jakarta:
E-Law Indonesia, 2000.
Coles, Robert and Jame Hollowel Coles. Women of Crisis, Lefes of
Strunggle and Hope. New York: tp. 1978.
Cunningham, W.T. Nelson Contemporary English Dictionary. Canada:
Thompson and Nelson Ltd, 1982.
Daud, Abu. Sunan Abi Daud. Bairu>t: Da>r al-Maktabah al-‘Alamiah,
1996.
Djalil, A.Basiq. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Pedoman Beracara Pada
Pengadilan Agama. Jakarta: t.p, 1980.
De Beauvor, Simone. The Second Sex. New York: Alfred A. Knopf, Inc,
1970.
Doi, Abdur Rahman I. Perkawinan dalam Shari>’at Isla>m. Jakarta: Rineka
Cipta, 1992.
Esposito, John L. Women in Muslim Family Law. New York: Syracuse
University.
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern. Jakarta:
Mizan, t.t.
Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Engineer, Ashgar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Echol, John M. dan Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia, 1992.
E Tucker, Judith. Women, Family and Gender in Islamic Law,
Cambridge: Cambridge University Press, 2008.
Faridl, Miftah. Poligami: Catatan Pengalaman dan Interpretasi Ajaran.
Bandung: Pustaka, 2007.
Fud}aili, Ahmad. Wanita di Lembaran Suci: Kritik Terhadap Hadis-
HadisS}ah}i>h. Yogyakarta: Pilar Religia, 2005.
FZ, Amak. Proses Pembentukan UU Perkawinan. Bandung:Bulan
Bintang, t.th.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.
Ghalib, Achmed. Rekontruksi Pemikiran Islam. Ciputat: UIN Jakarta
Press, 2005.
Gultom, Elfrida R. Hukum Waris Adat di Indonesia. Jakarta: Literata,
2010.

206
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Hamidi, Muhammad Kamal. Al-Mawa>ri>th wa al-Hibbah wa al-


Was{iyyah,. Iskandariyah: Dar>r al- Mat{bu>ah al-Jami>’ah, t.th.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan
Agama. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Harahap, M. Yahya. ‚Materi Kompilasi Hukum Islam‛ dalam Mahfud
MD dkk. eds. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum
Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1993.
………Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2008.
Hasyim, Syafiq. Poligami dan Keadilan Kualitatif. Jakarta: P3M, 1999.
Ismail, Nurjanah. Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-laki dalam
Penafsiran. Yogyakarta: LKis, 2002.
Jari>r, At{-T{abari> Ibn. Jami’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n. Al-Qa>hirah: al-
Halabi>, 1954.
Jafizham, T. Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum
Perkawinan Islam. Medan: Mustika, 1977.
Jawad, Aifal A. The Right of Women in Islam: An Authentic Approach,
trans. Anni Hidayatun Noor dkk, dengan judul ‚Otentisitas Hak-
hak Wanita; Perspektif Islam atas Kesetaraan Gender.‛
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
Jawad, Aifal A. The Right of Women in Islam: An Authentic Approach,
trans. Anni Hidayatun Noor dkk, dengan judul ‚Otentisitas Hak-
hak Wanita; Perspektif Islam atas Kesetaraan Gender‛,
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
Kurnia, Eka. Poligami Siapa Takut: Perdebatan Seputar Poligami.
Jakarta: QultumMedia, 2006.
Kamil, Sukron dkk. Shari>’ah Isam dan HAM: Dampak Perda Shari’ah
terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non Muslim.
Jakarta:CSRC UIN Syarif Hadayatullah Jakarta, 2007.
Karim, Muchith A. eds. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat
Islam Indonesia. Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010.
Kelip, Abdullah. ‚Beberapa Catatan Efektifitas KHI‛ dalam Mahfud
MD dkk. eds. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum
Indonesia. Yogyakarta:UII Press, 1993.
Koderi, Muhammad. Bolehkan Wanita Menjadi Imam Negara. Jakarta:
Gema Insanii Press.
Khadduri, Majid. ‚Marriage in Islamic Law: The Modernists
Viewpoints.‛ American Journal of Comparative Law, No. 26,
1978.

207
Fatima

Luhulima, Achie Sudiarti. ‛Hak Wanita dalam Konstitusi Indonesia‛


dalam Wanita dan Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif
Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Lukito, Ratno. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Hukum Adat.
Jakarta: INIS, 1998.
Ihromi, Tapi Omas dkk. Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita.
Bandung: Alumni, 2006.
M. Hisham Kabbani and Homayra Ziad. The Prohibition of Domestic
Violence in Islam. Washington: Worde, 2011.
Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries. New Delhi: Times
Press, 1987.
Mahmood, Tahir. Family law Reform in the Muslim World. New Delhi:
The Indian Law Institute, 1972.
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama. Buku II Edisi Revisi 2010. Jakarta: MA RI
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010.
Ma’luf, Lois. Al-Munjid al-Abjadi>. Bairu>t Dar> al- Mashriq, 1986.
Muhammad, Husein. Fiqh Wanita. Yogyakarta: LKiS, 2001.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
Lengkap, Cet. IVX. Surabaya: Pusaka Progressif, 1997.
Mahmud, Jamaluddin Muhammad. H}uqu>q al-Mara>t fi al-Mujtama’ al-
Isla>mi>. Kairo: al-Haiati al-Mis}riya>t al-amat, 1986.
Mutahhari, Murteza. The Rights of Women in Islam, trans. M. Hashem
‚Wanita dan Hak-Haknya dalam Islam.‛ Bandung: Pustaka, 1985.
Mudzhar, M. Atho dkk, eds. Wanita dalam Masyarakat Indonesia.
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001.
……....Membaca Gelombang Ijtihad. Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1998.
Muzdhar, M. Atho’ dan Kharuddin Nasution, eds. Hukum Keluarga di
Dunia Muslim: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU
Modern dari Kita>b-Kita>b Fiqh. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Muchith A. Karim, eds. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Ummat
Islam Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang
dan Diklat 2010.
Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Adopsi Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional,. Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
Mernissi, Fatima dan Riffat Hassan. Setara di Hadapan Alla>h.
Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa, 1996.
Marbun, Rocy. Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum. Jakarta:
Atransmedia Pustaka, 2011.

208
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Moeliono, Anton dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka dan Depdikbud, 1993.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
Lengkap. Surabaya: Pusaka Progressif, 1997.
Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang
Relasi Gender. Bandung:Mizan, 2001.
----------Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.
-----------Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2006.
-----------Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2000.
------------Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006.
------------Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Gravindo
Persada, 2006.
Manan, Abdul dan Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Perdata: Wewenang
Peradilan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Munti, Ratna Batara. Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga.
Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, Perserikatan
Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999.
Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Ayat-Ayat Perkawinan dan Perceraian
dalam Kajian Ibn Kathi>r. Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Tafsi>r al-Ka>shif. Bai>ru>t: Da>r al- Ilmi li
al-Malayin, 1968.
Mulia, Siti Musdah. Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender. Yogyakarta:
Kibar Press, 2006.
----------Islam Hak Asasi Manusia. Jakarta: Naufan Pustaka, 2010.
----------Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2004.
Marbun, Rocy. Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, Jakarta:
Atransmedia Pustaka, 2011.
Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara:Studi terhadap
Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di
Indonesia dan Malaysia. Jakarta: INIS, 2002.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
Nasif, Fatima Umar. Women in Islam: A Discourse in Rights and
Obligations, Alih bahasa oleh Burhan Wirasubrata dan Kundan D.
Nuryakin, Menggugat Sejarah Wanita: Mewujudkan Idealisme

209
Fatima

Gender Sesuai Tuntunan Islam. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim,


2001.
Nafis, M. Wahyuni dkk. Kontektualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun
Munawir Sjadzali. Jakarta: Paramadina, 1995.
Natabaya, H.T.S. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,
Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2006.
Parman, Ali. Kewarisan dalam Al-Qur’a>n: Suatu Kajian Hukum dengan
Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Warisan di Indonesia. Bandung: Sumur,
1976.
Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat, 1984.
Qutu>b,Sayyid. Fi Zi}la>l al-Qura>n. Bairu>t: Dar> al-‘Ara>biyah, t.th.
Ramusak, Barbara N. and Sharon Sievers, Women in Asia. Indianapolis:
Indiana University Press, 1988.
Rushd, Ibn. Bida>yah al-Mujtahid. Kairo: Dar> al-Fikr al-‘Ara>bi>, t.t, t.tp.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003.
Rid{a, Muhammad Ra>shid. Tafsi>r al-Mana>r. Bai>ru>t: Da>r al-Fikr, t.th.
Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan
Indonesia. Bandung: Alumni, 1982.
Ridjal, Fauzie. Dinamika Gerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: Tiara
Wacana, 1993.
Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind.
Hill-Co, 1990.
-----------Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Rush, Ibn. Bida>yah al-Mujtahid. Mesir: Must}afa> Ba>bi> al-h>alabi li al-
Nas}r, 1960.
Rid}a>, Muhammad Rashid. Tafsi>r al-Mana>r. Kairo: Da>r al-Mana>r, 11367
H.
Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender dalam
Hukum Keluarga Islam, Yogyakarta: PSG STAIN Ponorogo dan
Unggun Religi, 2005.
Salim, Arsekal and Azyumardi Azra, eds. Shari’a and Politics in Modern
Indonesia, Singapore: ISEAS, 2003
Salt}ut, Mahmud. al-Isla>m: ‘Aqi>dah wa as-Shari>’ah. Bairut, Kairo: Dar>
as-Shuruq, 1403/1983.

210
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Schacht, Joseph. Introduction to Islamic Law. Oxford: Oxford


University Press, 1967.
Soepomo, R. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya
Paramita 2005.
Sutantio, Retnowulan. Hukum Acara Perdata. Bandung: Mandar Maju,
1989.
Shu>qqat, ‘Abd. H<ali>m Abu.> Tah}ri>r al-Mara>t fi> ‘As}r al-Risa>lat, alih
bahasa oleh charul halaim dengan judul ‚ Kebebasan Wanita.‛
Jakarta: Gema Insa>ni Press, 1997.
Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Perceraian. Jakarta:
Transmedia Pustaka, 2008.
Syarifuddin, Amir. .Kewarisan Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2004.
Sarmadi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam.
Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005.
Musa, Kamil. Anak Perempuan dalam Konsep Islam. Jakarta: Firdaus,
1994.
Sjadzali, Munawir. Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988.
Supriadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Islam. Bandung:Pustaka al-Fikris, 2009.
Said, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka al-
Husna, 1994.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Dar> al-Fath} al-‘Ara>bi>, 1418 H/1998 M.
Sahrani, Sohari. Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap. Jakarta:
Rajawali Press, 2009.
Sa’ad, Ibn. The Women of Madina, Alih bahasa Eva Y. Nukman
Purnama Madina. Bandung: al- Baya>n, 1997.
Sjadzali, Munawir. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1997.
Syarifuddin, Ami>r. Meretas Kebekuan Ijtihad. Jakarta: Ciputat Press,
2002.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qura>n: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2007.
-------------Tafsi>r al-Misbah. Ciputat: Lentera Hati, 2000.
-------------Wawasan Al-Qura>n: Tafsi>r Maud}u’i> atas Berbagai Persoalan
Ummat. Bandung, Mizan, 1996.

211
Fatima

Sadli, Saparinah. Berbeda Tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian


Perempuan. Jakarta: Kompas, 2010.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara: Transformasi Hukum Islam dalam
Hukum Nasional. Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011.
Sastroatmodjo, Arso dan Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di
Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Said, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka al-
Husna, 1994.
Suryochodro, Sukanti. Potret Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta:
Rajawali Press, 1984.
Suwondo, Nani. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan
Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.
Stuers, Cora Vreede-De. Sejarah Wanita Indonesia. Jakarta: Komunitas
Bambu, 2008.
Sustrisno, Sulastin. Surah-Surah Kartini: Renungan tentang dan untuk
Bangsanya. Jakarta: Djambatan, 1985.
Sadli, Saparinah dkk. Pendidikan Hak Asasi Manusia. Jakarta:
KOMNAS HAM, 2002.
Sasroatmojo, Harso dan A. Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di
Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Perceraian. Jakarta:
Transmedia Pustaka, 2008.
Supriadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum perkawinan di Dunia
Islam. Bandung: Pustaka A-Fikris, 2009.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian fiqh Lengkap.
Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Tebba, Sudirman eds. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia
Tenggara: Kasus hukum Keluarga dan Pengkodefikasiannya.
Bandung: Mizan, 1993.
Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta:
Gema Insani Press, 1996.
Usman, Hardius dan Nachrowi Djalal Nachrowi. Pekerja Anak di
Indonesia: Kondisi Determinan dan Eksplorasi (Kajian
Kuantitatif). Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004.
Umar, Nasarudin. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qura>n.
Jakarta: Paramadina, 1999.
Wa>fi>, Abdul Wahid. al-Musawat si al-Isla>m. Kairo: Dar> al-Ma’a>ri>f,
1965.

212
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Wieringa, Saskia Eleonora. Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia,


trans, Hersri Setiawan The Politication of Gender Relation in
Indonesia. Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra, 1999.
Yazid, Abu. eds. Fiqh Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana
Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Yanggo, Huzaimah Tahido. Fiqh Wanita Kontemporer. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2010.
Zuhdi, Masyfuk. Masa>il Fiqhiyah. Jakarta: Gita Karya, 1988.
Zain, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer. Jakarta: Kencana,2004.
Majalah dan Jurnal

Anwar, Hafidzi,‛Konsep Humanisme dan Maslahat dalam Pemikiran


Muhammad Shahrur: Studi atas Buku Nahwa> Us}ul Jadi>dah‛,
Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2012.
Julaiha, Eka. ‛Talak dan Problematikanya di Masyarakat‛, Jakarta:
Rahima, 2012. Suplemen Swara Rahima Edisi 38, Mei 2012.
Eka, Julaiha. ‛Talak dan Problematikanya di Masyarakat‛, Jakarta:
Rahima, 2012. Suplemen Swara Rahima Edisi 38, Mei 2012.
Iskandar, Ritonga. ‚Hak-hak wanita dalam Hukum Keluarga Islam di
Indonesia: Implementasi dalam Putusal-putusan Peradilan
Agama DKI Jakarta !990-1995‛, Disertasi: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Mahmudi, Zaenal. ‚Dialektika Pemikiran Fiqh Perempuan Imam Shafi’i
dengan Kondisi Sosial: Perspektif Gender‛, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2003.
Mesraini. ‚Hak-hak perempuan pascacerai di Asia Tenggara: Studi
Perundang-undangan di Indonesia dan Malaysia‛, Disertasi
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.
Supadi. ‚Pandangan Abdullahi Ahmed al-Na’im, tentang Shari>’ah dan
Penegakan HAM‛, dalam Ahkam Jurnal Ilmu Shari>’ah, Vol XI,
Nomor2, (Jakarta: Fakultas Shari>’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Winantio, Andi Eko. ‚Cerai Gugat Akibat Kekerasan Dalam Rumah
Tangga: Studi kasus di Pengadilan Agama Surakarta‛, Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.

213
Fatima

WEBSITE

As’ad, Abd. Rasyid. ‚Gono – Gini dalam Perspektif Hukum Islam‛,


diakses pada tanggal 09 Juni 2012.melalui
www.badilag.net/data/ARTIKEL/GONO.
Asadulloh, Fahad. ‚Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan
Permohonan Izin Poligami (Studi Kasus di Pengadilan Agama
Kabupaten Kediri Tahun 2009-2010)‛, diakses pada 16
November 2012 Melalui
http://banjirembun.blogspot.com/2012/06/skripsi-bab-i-
pertimbangal-hakim-dalam.html
Al-Najah, Ahmad Zain. ‛Harta Gono- Gini dalam Islam‛ Senin, 29
Jumadil Akhir 1433 H/21 Mei 2012. Diakses pada tanggal 09 juni
2012 melalui http://muslimahzone.com/harta-gono-gini-dalam-
islam.

Handika. ‚Laporan Perkara per Oktober 2012 PA di Jakarta‛, di akses


pada 28 November 2012 melalui
http://pajakartatimur.go.id/?option=com_content&view
=article&id=288:1234
Hamami. ‚Pelanggaran Hukum keluarga: Suatu Kajin Penerapan Pasal
19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Amar
Putusan Pengadilan‛, diakses pada Tanggal 9 Desember 2012
melalui www.pa-kediri.go.id
Khamimudin, ‚Pro- Kontra Sekitar Poligami‛, diakses pada 23 Oktober
2012 melalui
www.badilaq.net/data/ATIKEL/sekitar20%poligami.
Khadafi, Mochamad Anwar. ‚Dasar Pertimbanagan Hakim
Mengabulkan Izin Poligami Bagi Suami Yang Berpenghasilan
Tidak Tetap‛, Malang: Tesis Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim, 2012. Di akses pada 16 November 2012 melalui
http://libUin-Malang-ac.id.
Kementrian Agama, ‚Angka Perceraian di Indonesia Sangat Tinggi‛
diakses pada tanggal 16 Juni 2012 melalui
www.eksposnews.com.
Minhal, Abu. ‚Hak-hak Istri Terpelihara dalam Naungan Rumah
Tangga‛, diakses pada tanggal 15 Juni 2012 melalui
http://almanhaj.or.id/

214
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Nafisah, Durotun. ‚Jurnal Studi Gender & anak Politisasi Relasi suami-
Istri: Telaah KHI perspektif Gender‛. Diakses pada tanggal 15
Juni 2012 melalui http://www.google.co.id/.
Permana, Sugiri. ‚Paradigma Baru dalam Penyelesaian Sengketa Hak
AsuH Anak Pada Peradilan Agama‛, 3. Di akses melalui
http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/ pada tanggal 10 juni
2012.
Quraish, Shihab. ‚Poligami dan Kawin Sirri Menurut Islam‛, di akses
pada 18 November 2012 melalui
http://nambas.wordpress.com/2010/03/03/quraish-shihab-
poligami-dal-kawin-sirri-menurut-islam/
Rosmadi. ‚Informasi Perkara Peradilan Agama Tahun 2011,‛ Kamis 08
Maret 2012. diakses pada tanggal 17 Juni 2012 melalui
http://www.badilaq.net/statistik-perkara/10119-informasi-
perkara-peradilal-agama-tahun-2011.html

Sadja, Masrokhin. ‚Harata Bersama‛, diakses pada tanggal 17 Juni 2012


melalui http://www.beritajakarta.com.
Suplemen Swara Rahima‛, edisi 35, juli 2011. Diakses pada tanggal 15
Juni 2012 melalui http://www.pekka.or.id http://www.pikiral-
rakyat.com. diakses pada tanggal 15 Juni 2012.
Wakhidun dkk. ‚Laporan Akhir Tahunan 2010 Pengadilan Agama
Jakarta Timur‛, di akses pada 27 November 2012 melalui
http://pajakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=239&Itemid=230.
Winantio, Andi Eko. ‚Cerai Gugat Akibat Kekerasan Dalam Rumah
Tangga: Studi kasus di Pengadilan Agama Surakarta‛, Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.
Yousuf, Ali. ‚A Contextual Approach to the Views of Muslim Feminist
Interpretation of the Qur’an Regarding Women and Their
Rights‛, International Journal of Arts and Sciences, 2010,
http://www.openaccesslibrary.org/images/HAR138_Md._Yousuf
_Ali.pdf. Diakses pada 31 Desember 2012.
Zulkarnain dkk. ‚Laporan Tahunan 2011 Pengadilan Agama Jakarta
Timur‛ di akses pada 27 November 2012 melalui http://pa-
jakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=articl
e&id=239&Itemid=230.
Ziba, Mir-Hosseini. ‚Islam and Gender Justice‛, Voice of Islam (2007),
85-113. Diakses pada 31 Desember 2012, melalui

215
Fatima

http://ebookbrowse.com/zmh-final-gender-justice-doc-
d23027170.

PUTUSAN

Putusan Nomor 493/Pdt.G/2009/PAJU.


Putusan Nomor 1757/Pdt.G/2009/PAJT.
Putusan Nomor. 19/Pdt.P/2010/PAJP.
Putusan Nomor.33/Pdt.P/2012/PAJB.
Putusan Nomor.91/Pdt.P/2011/PA.JB
Putusan Nomor.68/Pdt.P/2010/PAJP.
Putusan Nomor. 12/Pdt.P/2012/PA JB.
Putusan Nomor 1784/Pdt.G/2011/PAJS.
Putusan Nomor 1755/Pdt.G/2009/PAJT.
Nomor: 16/Pdt.P/2009/PA.Mlg.

216
GLOSSARIUM

Doktrin :Pendapat ahli hukum, ulama terkemuka dan


sebagainya.
Ijma>‘ :Secara literal berarti kesepakatan atau konsensus.
Dalam konteks hukum Islam berarti konsensus
pendapat hukum.
Ijtihad :Mencurahkan kemampuan dan mengerahkan
segala kekuatan dalam suatu perbuatan.
Sedangkan secara istilah yaitu, mujtahid
mengerahkan segala kemampuannya untuk
mengetahui hukum-hukum syariat dengan cara
istinba>t}.
‘Illat :Alasan atau rasionalisasi hukum
Istih}sa>n :Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum
masalah-masalah yang serupa kepada hukum lain
karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam
pandangan mujtahid.
Jurisdictio voluntaria :Peradilan yang bukan sebenarnya.
Kodifikasi :Himpunan berbagai peraturan menjadi undang-
undang; hal penyusunan kitab perundang-
undangan.
Kompetensi Absolut :Kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikan suatu perkara bagi
pengadilan yang menyangkut pokok perkara itu
sendiri.
Kompetensi Relatif :Kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa,
memutus suatu perkara bagi pengadilan yang
berhubungan dengan wilayah atau domisili pihak
atau para pihak yang mencari keadilan.
Marjinalisasi :Suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis
kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Maqa>s}id al-shari>‘ah :Tujual-tujuan disyariatkannya hukum.
Mas}lah}ah Mursalah :Menetapkan hukum dalam hal yang tidak
disebutkan dalam nash dengan
mempertimbangkan kepentingan hidup manusia
yang bersendikan asas menarik manfaat dan
menghindari mudharat.
Fatima

Pengadilan Agama :Pengadilan tingkat pertama dan salah satu dari


lingkungan Pengadilan Negara atau kekuasaan
kehakiman yang sah di Indonesia.
Pengadilan Tinggi Agama (PTA): Pengadilan Tingkat banding Agama
Islam
Patriarki :Istilah yang dipakai untuk menggambarkan
sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu
kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum
wanita.
Qat}‘iyya>t :Pasti, bukan perkiraan
Qiya>s :Deduksi analogis. Dalam konteks hukum Islam
berarti metodologi hukum yang bertumpu pada
penggunaan analogi untuk menemukan
kesimpulan hukum pada kasus yang belum
ditemukan hukumnya ketika teks hukum tidak
memberikan kesimpulan final terhadap kasus
tersebut.
Unifikasi :Hal menyatukan, penyatuan, hal menjadikan
seragam.
Unus Testis Nulus Testis :Satu saksi bukan saksi.
Yurisprudensi :Putusal-putusan hakim yang terdahulu yang
kemudian menjadi dasar putusal-putusan hakim
selanjutnya.
Wilayah yuridiksi :Kewenangan Pengadilan Agama dalam menerima,
memeriksa mengadili.
Z{anni>/ z}anniyya>t :Persoalal-persoalan yang termasuk dalam ranah
ijtihad.

218
INDEKS

‘ H

‘ad}al ................103, 104, 105, 107, 108, 109 H{ad}a>nah .................................................109


H}adi>th ......................................................27
Hakim .. 7, 77, 79, 80, 81, 82, 84, 85, 97, 99,
A 100, 104, 105, 119, 122, 124, 134, 156,
159, 162, 163, 164, 180, 185, 186, 188,
Abdul Wahab Abd. Muhaimin . 2, 3, 4, 5, 6, 189, 190, 191, 194, 202, 204, 207, 220,
12, 13, 62 221
Ahmad Rafiq ..................... 67, 68, 127, 148 Hazairin ........... 75, 128, 131, 137, 194, 211
Ahmed al-Na’im .................................... 220 Hilman Hadikusuma ................................73
Al-‘Alu>si................................................ 209 Huzaimah Tahido Yanggo 1, 12, 18, 19, 23,
Aljazair .............................................. 69, 96 26, 27, 176
Al-Ra>zi> .......................................... 129, 209
Amin Suma.................. 43, 55, 69, 127, 133
Amina Wadud ....................................... 131 I
Asma Barlas ...................................... 19, 20
Atho Mudzhar17, 29, 34, 56, 132, 134, 139, Ibnu A>t}iyah ..............................................24
140 Ibnu Qayyim al-jauziyyah ............... 93, 227
Azyumardi Azra ...........4, 5, 53, 55, 56, 217 Ibnu Quda>mah ............................. 91, 92, 93
Indonesia.. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 20, 29, 34, 35, 36, 37, 41,
D 43, 44, 45, 48, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 56,
57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 67, 68, 69, 70,
Den Haag ................................................. 35 72, 73, 74, 75, 84, 86, 98, 100, 109, 110,
115, 116, 117, 118, 120, 125, 127, 129,
130, 131, 133, 134, 135, 136, 137, 139,
E 140, 141, 148, 153, 154, 165, 166, 168,
169, 174, 176, 177, 180, 182, 193, 194,
Edi Riadi............................................ 13, 14 195, 197, 199, 200, 207, 208, 207, 208,
Esposito ............................. 10, 39, 147, 212 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216,
217, 218, 219, 220, 221, 224
Irak ............................. 43, 49, 69, 70, 71, 96
F

Fazlur Rahman ........................................ 45 J

Joseph Schacht.........................................10
Fatima

K N

KHI .. 2, 5, 6, 7, 8, 12, 13, 15, 16, 48, 51, 57, New York ............ 10, 35, 36, 131, 210, 212
58, 61, 62, 63, 67, 72, 74, 75, 83, 98, 99,
100, 101, 107, 115, 116, 117, 118, 119,
120, 123, 124, 125, 126, 127, 135, 136, P
137, 140, 141, 149, 160, 161, 163, 168,
169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, Pasal . 4, 8, 48, 49, 54, 58, 62, 67, 72, 75, 82,
180, 188, 190, 191, 192, 197, 198, 199, 83, 96, 98, 100, 101, 105, 114, 116, 117,
200, 206, 207, 208, 207, 213, 214, 221 118, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 138,
Khoiruddin Nasution ...2, 12, 43, 44, 45, 46, 147, 148, 149, 150, 151, 160, 161, 163,
48, 49, 87, 90, 91, 93, 94, 168, 170 164, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 175,
Khuluk ................................... 168, 169, 171 190, 191, 192, 197, 198, 200, 204, 206,
Kuwait ..................................... 49, 115, 139 207, 217, 221
Pengadilan Agama .. 2, 6, 7, 8, 9, 14, 15, 16,
53, 58, 59, 62, 65, 76, 77, 78, 79, 80, 81,
L 83, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106,
107, 108, 116, 117, 120, 121, 123, 124,
Lebanon ................................. 71, 72, 95, 96 125, 126, 127, 135, 136, 143, 148, 149,
Libya ........................................... 49, 69, 96 150, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 159,
160, 162, 163, 164, 166, 168, 170, 171,
172, 173, 174, 175, 176, 180, 183, 184,
M 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 193,
194, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207,
M. Idris Ramulyo .......................... 174, 196 208, 207, 208, 212, 220, 222, 224
M. Quraish Shihab.....11, 17, 18, 19, 23, 27, Peradilan Agama2, 3, 4, 6, 8, 11, 52, 55, 56,
28, 32, 33, 128 57, 62, 63, 70, 74, 82, 83, 105, 106, 115,
Mahmu>d Shalt}u>t} ...................................... 25 116, 119, 121, 122, 124, 127, 136, 138,
Malaysia ...... 2, 12, 53, 69, 73, 97, 168, 200, 140, 141, 159, 168, 172, 175, 178, 180,
216, 220 189, 190, 193, 199, 202, 204, 205, 208,
Maroko 43, 49, 69, 70, 71, 72, 96, 139, 140, 210, 212, 213, 214, 215, 220, 221, 229
148
Mas}lah}ah Mursalah ............................... 223
Mesir . 10, 22, 42, 43, 47, 48, 49, 69, 71, 72, R
114, 137, 139, 148, 217
Muchith A. Karim .. 14, 136, 137, 139, 140, Rashi>d Rid}a..............................................21
215 Rashi>d Rid}a>........................................ 20, 21
Muhammad Abduh .......................... 21, 147 Riffat Hassan ................................... 27, 215
Muhammad Bultaji.................................. 11 Ruben Levy..............................................10
Muhammad T>}ahir bin ‘Ashu>r .................. 21
Musdah Mulia ... 4, 5, 11, 37, 38, 40, 41, 62,
63, 68, 143 S

Sajuti Thalib ..........................................196

220
Wanita dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Shafi’i .............................. 31, 169, 170, 220
W
Sudan ............................... 43, 49, 71, 72, 96

Wahbah al-Zuhayli ................................110


T Wasit Aulawi ... 3, 52, 53, 74, 136, 218, 219

Taher Azhary ............................................. 5


Y
Tunisia. 10, 43, 49, 69, 71, 72, 96, 115, 139,
147, 148
Yahya Harahap 3, 56, 82, 83, 122, 138, 140,
168, 175, 193, 199, 205, 206
Yayan Sopyan ........................ 13, 51, 52, 58
Yordania ...................................... 43, 49, 94

221
TENTANG PENULIS

Fatima, lahir di Bangkalan, 18 September 1982. Lahir dari


pasangan (ALM) H. Achmad dan Hj. Qamarayah. Pendidikan penulis
mulai dari pendidikan dasar yang ditempuh di SDN Baipajung 01 dan
ibtida’iyyah di Madrasah DiniyahTarbiyah al-Shibyan di Baipajung
Tanah Merah Bangkalan Madura. Setelah lulus sekolah dasar penulis
melanjutkan pendidikan Tsanawiyah di Pondok Pesantren Salaf Sidogiri
Pasuruan JawaTimur. Setelah lulus penulis melanjutkan pendidikan
‘aliyah di Pondok Pesantren Muallimat Cukir Jombang. Kemudian
melanjutkan pendidikan strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatillah Jakarta Fakultas Syariah dan hukum Jurusan Peradilan
Agama lulus tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai