ii
PRESTASI PEGAWAI;
ANTARA AKTUALISASI DIRI DAN
DISIPLIN KERJA
iii
PRESTASI PEGAWAI; ANTARA AKTUALISASI DIRI
DAN DISIPLIN KERJA
© Penulis : Dr. A. Darmawan Achmad, S.E., S.Kom., S.Pd.I., M.Pd.I., M.M.Kes.
Diterbitkan oleh:
Dicetak oleh:
iv
KATA PENGANTAR
v
Kepada Penerbit dan Team Editor WADE GROUP,
penulis ucapkan terima kasih atas apresiasi, kerja keras dan
diterbitkanya buku ini.
Penulis menyadari sepenuhnya akan segala ke-
kurangan dalam penulisan buku ini. Untuk itu kritik dan
saran para pembaca sangat diharapkan untuk kesem-
purnaan buku ini. Akhirnya penulis berharap semoga buku
ini menjadi sumbangsih pemikiran yang berguna bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan khazanah keilmuan
pada umumnya.
A. Darmawan Achmad
vi
Change Require Purpose-Always
Moh. Toriqul Chaer
vii
menjadi “Yang Maha Kuasa”, yang tidak pernah salah.
Berdalih model stratifikasi sosial ala Geertz (1980) priyayi,
santri dan abangan, mereka para pemimpin-pemilik-
penguasa adalah priyayi; warga kelas satu, VVVIP; very-very-
very important person di bumi. padahal saat ini tesis Geertz
mulai menuai kritik, dikarenakan keunikan yang khas pada
masyarakat Jawa maka analisa yang dihadirkan tidak serta
merta kaku dan absolut. Saat ini bicara kenyataan kelas
pegawai, dan pekerja masuk deepest-bottom-category, proletar
dan liyan.
Hilangnya semangat “perubahan” pada diri pegawai
seiring dengan kejenuhan bekerja, menfokuskan hidup
mereka jalani dibalut “kaca pembesar tragedi”.
Belajar tentang kedislipinan, bangsa Jepang
merupakan bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang
disiplin1 dan tingkat produktivitas yang tinggi. Masyarakat
jepang terkenal dengan etos kerjanya yang luar biasa. Etos
kerja ini memiliki peranan penting atas kebangkitan
ekonomi jepang, terutama setelah kekalahan Jepang di-
perang dunia kedua.2
viii
Bangsa Jepang juga merupakan bangsa yang sulit
untuk menerima kekalahan, tidak ada kata menyerah bagi
bangsa Jepang. Kekalahan bukan berarti mati, mereka
berusaha bangkit kembali dan mencari kemenangan
dibidang lain. Mereka tidak menerima kekalahan yang
dapat merendahkan harga diri. Masyarakat Jepang tidak
dapat menanggung malu jika mengalami kegagalan, mereka
lebih memilih mati dari pada harus menanggung malu bila
mengalami kegagalan.3
Robert N. Bellah, dalam Tokugawa Religion: The
Cultural Roots of Modern Japan (1957) berusaha menganalisis
kemajuan Jepang berdasar teori Max Weber; The Protestant
Ethic and Kapitalism (1905), untuk menjelaskan peranan nilai
agama pra-modern itu dalam proses modernisasi di Jepang.
Bellah mengungkapkan bahwa ajaran “sekimon shingaku”4
memegang peranan penting sebagai etos modernisasi
ekonomi Jepang. Disamping ada analisis lain perihal
kemajuan Jepang adalah manifestasi ajaran salah satu sekte
Buddha Jepang Jodo Shinshu seperti etika Protestan. Ajaran-
ajaran tersebut menekankan pada disiplin, kerja keras,
keluarga atau jika seseorang telah merasa tidak kuasa untuk menanggung beban hidup.
Harakiri juga di lakukan sebagian orang, karena merasa dirinya tidak mampu bekerja
keras layaknya orang-orang di sekitarnya dan menganggap dirinya tak berguna, lantas
mengambil jalan pintas. Harakiri atau tradisi bunuh diri yang berasal dari Negeri Sakura
ini telah dikenal oleh bangsa lain. Hanya saja di negaranya, harakiri lebih dikenal dengan
sebutan Seppuku. Walaupun di Jepang sendiri istilah harakiri dianggap sebagai istilah
yang kasar. Lihat Ann Wang Seng, Rahasia bisnis orang Cina, (Jakarta: Hikmah, 2008), hal. 8
4 Shingaku (心学, lit. "heart learning") or Sekimon-shingaku (石門心学) is a
Japanese religious movement, founded by Ishida Baigan and further developed by Teshima Toan,
which was especially influential during the Tokugawa period. Shingaku has been characterized as
coming from a Neo-Confucian tradition, integrating principles from Zen Buddhism and Shinto. It
has been speculated, Shingaku was one of the cultural foundations for Japan's industrialization,
lihat Robert N. Bellah, Tokugawa Religion: The Values of Pre-Industrial Japan, 1957)
ix
kejujuran dan profesional dalam bekerja. Disamping itu,
ketekunan dan kesetiaan bangsa Jepang berdasar pada
filosofi Bushido.
Bagi masyarakat Jepang bekerja penuh totalitas bagi
sebuah perusahaan merupakan kebanggaan tersendiri bagi
mereka. Maka tidak heran jika muncul ungkapan “work is
life” (bekerja adalah kehidupan) bagi kalangan pekerja
jepang.5 Hal ini dilakukan demi memajukan perusahaan,
hingga mereka rela mengorbankan waktu, tenaga dan
pikiran, sampai menyebabkan kematian.
Change is only possible when we do it with clear purpose.
Tragedi dalam pekerjaan, seharusnya memberikan alasan
kepada kita bahwa hidup itu dinamis. Dalam hidup
manusia pasti ada senang, ada sedih, ada tawa ada tangis.
Dalam filosofi Jawa, proses kehidupan manusia adalah “bal-
tumimbal”, selalu berputar; proses perjalanan manusia tidak
pernah akan terjebak, nyangkut pada satu kondisi atawa satu
peristiwa. Warna-warni romantika hidup, termasuk
pekerjaan akan selalu mengiringi perjalanan kehidupan
manusia.
Proses kehidupan yang dinamik sesungguhnya –
justru- akan membuat hidup manusia semakin lebih mulia
dan bermartabat, cara pandang akan menjadi lebih arif dan
cara menyelesaikan masalah akan menjadi lebih bijak.
Shakespeare dalam salah satu karya monumentalnya
Julius Caesar melukiskan apologi Brutus dimuka rakyat
Roma dengan elegan.
5 Paul Blyton, Betsy Blunsdon, Ken Reed, & Ali Dastmalchian, Ways of Living :
Work Communty and Lifestyle Choice, (London : Palgrave Macmillan, 2010), p. 140
x
“Jika ditengah- tengah kalian, ada sahabat Caesar,
padanya aku berkata bahwa cintaku pada Caesar tak
kurang daripada cintanya. Dan kalau sahabat itu
membalas, mengapa Brutus menentang Caesar, inilah
jawabku- bukan karena tak cinta pada Caesar tapi karena
cinta pada Roma. Apakah kalian lebih suka Caesar hidup,
sedangkan kalian semua mati sebagai budak, ataukah
Caesar mati hingga kalian semua dapat hidup merdeka?
karena Caesar sayang padaku aku menangis untuknya;
karena dia beruntung, aku gembira; karena dia berani, ia
kuhormati. Tapi karena dia gila kekuasaan, dia kubunuh.
Ada air mata untuk cintanya, kegembiraan untuk
keberuntungannya, penghormatan untuk keberaniannya,
dan kematian untuk kegilaan-nya akan kekuasaan.
Siapakah yang hadir disini yang begitu hina hingga ingin
jadi orang terbelenggu?... Siapakah yang hadir disini yang
begitu busuk hingga tak mencintai tanah airnya?....
xi
terjadi tanpa kesadaran. Inilah alasan mengapa perubahan
sangat sulit dijalankan. Perubahan kebiasaan perlu alasan
yang bukan hanya dipahami, tetapi lebih dari itu, diyakini
oleh diri sendiri.
Change is the name for the continuous process to be the
best version of yourself. Tiap orang punya kapasitas berbeda
untuk berubah. Tapi, kapasitas apapun dalam diri tiap
orang berpeluang untuk jadi titik awal (starting-point)
perubahan yang bermanfaat, berharga dan bermakna.
xii
DAFTAR ISI
xiii
xiv
CATATAN AWAL
1
pada tataran rohani namun wujudnya dapat terlihat pada
tingkah laku dan sikap hidup seseorang.
Beberapa ahli psikologi telah banyak mengemukakan
teori tentang kepribadian antara lain William James, ia
berpendapat bahwa kepribadian merupakan unsur kesatuan
yang berlapis-lapis. Terdiri dari The Material Self atau diri
materi, The Social Self atau diri sosial, The Spiritual Self atau
diri rohani dan Pure Ego atau ego murni atau Self of Selves.
Sedangkan Freud menyatakan bahwa kepribadian itu terdiri
atas tiga sistem yaitu id, ego dan super ego. Id merupakan
kepribadian yang berhubungan dangan prinsip kesenangan
atau pemuasan biologis, sedang ego merupakan bagian ke-
pribadian yang berhubungan dengan lingkungan dasarnya
adalah kenyataan dan super ego merupakan bagian ke-
pribadian yang berhubungan dengan norma sosial, moral
dan rohani.
Pada kalangan intelektual Muslim diskursus per-
masalahan dunia psikologi sudah banyak dibahas oleh para
ahli diantaranya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ikhwan Ash Shafa,
Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al
Jauzi, (lihat Muhammad Utsman Najali, Jiwa dalam
Pandangan Para Filsafat Muslim, terj. Gari Saloom, S.Psi,
Bandung, 2002, hlm. 16).
Psikologi Islam juga membahas tentang syakhsiyah
atau personality atau kepribadian. Dalam literatur klasik
seperti Al-Gazali (1980) telah membahas tentang keajaiban
hati dan Ibnu Maskawaih ditemukan pembahasan tentang
akhlak yang maksudnya mirip dengan syakhsiyah. Bedanya
syakhsiyah dalam psikologi berkaitan dengan tingkah laku
yang didevaluasi sedangkan akhlak adalah tingkah laku
2
yang dievaluasi (lihat Mansur Ali Rajab, Ta’am Mulat Fi
Falsafah al Akhlaq, Mesir, Maktabah al-Anjalu al-Mishroyah,
1961, hlm, 13).
Membicarakan manusia berarti membicarakan kom-
pleksitas yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Dr.
Alexis Carrel dalam Nata (2005: 81) mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat
keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik
dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia
yang ada luar dirinya.
Socrates menyebut manusia sebagai hewan yang
bermasyarakat (zoon politicum), sedangkan Max Scheller
berpendapat bahwa manusia adalah hewan yang sakit (das
kranke pier), senada dengan Drijakara yang menyebutkan
manusia yang selalu gelisah dan bermasalah (Ahmad, 2010:
3). Lebih jauh lagi, Aristoteles mendefinisikan manusia
sebagai binatang berakal sehat yang mampu berpendapat
dan berbicara berdasarkan kemampuan pikirannya (the
animal than reasons), disamping sebagai binatang berpolitik
(zoon political) dan binatang sosial (sosial animal).
Titus dalam Anshori (1987: 5), menempatkan manusia
sebagai entitas organisme hewani yang berkemampuan
mempelajari diri sendiri serta mampu menginterpretasi
bentuk-bentuk hidup sekaligus mampu menyelidiki makna
eksistensi insaninya.
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam
bahasa arabnya, yang berasal dari kata ”nasiya” yang berarti
lupa dan jika dilihat dari kata dasar ”al-uns” yang berarti
jinak.
3
Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena
manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia
selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru
disekitarnya. (untuk lebih jelasnya, lihat Musa Asy’ari,
Peradaban Islam Modern, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 1999,
hal. 23). Sedangkan manusia menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989: 558), ‘manusia’ diartikan sebagai ‘makhluk
yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan;
orang’.
Sastraprateja dalam Mujib (2006) menyatakan
manusia adalah makhluk yang historis, setiap perjalanan
dan peristiwa hidupnya merupakan sekumpulan informasi/
data penting tentang dirinya sendiri. Hakekat manusia
hanya dapat dilihat/diamati dalam perjalanan dan pe-
ngalaman hidupnya dalam rangkaian anthropological cons-
tants yaitu, dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap
dimiliki manusia.
Rangkaian anthropological constants sebagaimana
tersebut diatas, terdiri dari enam bagian yang saling terkait
yaitu; pertama, relasi manusia dengan kejasmanian, alam dan
lingkungan ekologis. Kedua, ketertiban dengan sesama.
Ketiga, keterikatan dengan struktur sosial dan institusional.
Keempat, ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada
waktu dan tempat. Kelima, hubungan timbal balik antara
teori dan praktek. Keenam, kesadaran religius dan para
pemeluk agama (lihat selengkapnya Abdul Mujib dan
Yusuf, Pengantar Pendidikan Islam, Jakarta, Rencana Prenada
Media Group, 2006, 1-2).
4
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk ciptaan
Allah SWT dan juga makhluk sosial. Dalam pandangan
Islam, sebagai makhluk ciptaan Allah SWT manusia me-
miliki tugas tertentu dalam menjalankan kehidupannya di
dunia ini. Tafsir (2008) menjelaskan bahwa manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah; ia tidaklah muncul dengan sendiri-
nya atau berada oleh dirinya sendiri. Al-Qur’an surat al-
Alaq ayat 2 menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan
Tuhan dari segumpal darah; al-Qur’an surat al-Thariq ayat 5
menjelaskan bahwa manusia dijadikan oleh Allah, al-Qur’an
surat ar-Rahman ayat 3 menjelaskan bahwa ar- Rahman
(Allah) itulah yang menciptakan manusia.6
Penciptaan manusia terdiri dari bentuk jasmani yang
bersifat kongkrit, juga disertai pemberian sebagian ruh
ciptaan Allah SWT yang bersifat abstrak.7 Manusia perlu
mengenali hakekat dirinya, agar akal yang digunakannya
untuk menguasai alam dan jagad raya yang maha luas
dikendalikan oleh iman, sehingga mampu mengenali Allah
dalam mencipta dan mengendalikan kehidupan ciptaanNya.
Berikut adalah hakikat manusia menurut pandangan Islam:
6 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam ; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu
Memanusiakan Manusia.Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 34; lihat juga Ibn Manzur,
Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Misriyah li at-Ta’lif wa at-Tarjamah, 1968), jilid 1, p.889
7 Para pemikir Islam seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd menyatakan
bahwa manusia merupakan rangkaian utuh antara dua unsur, yaitu unsur yang bersifat
materi (jasmani) dan unsur yang bersifat immateri (rohani). Pernyataan bahwa manusia
merupakan rangkaian utuh antara dua unsur mengandung makna bahwa unsur-unsur
tersebut merupakan satu totalitas yang tidak bisa dipisah-pisahkan, atau dengan kata lain
tidak bisa dikatakan sebagai manusia jika salah satu diantara dua unsur tersebut tidak ada.
Lihat Muhaimin & Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalnya, (Bandung: PT Trigenda Karya, 1993), hal. 16-17
5
1. Manusia Adalah Makhluk Ciptaan Allah SWT
Hakekat pertama ini berlaku umum bagi seluruh
jagat raya dan isinya yang bersifat baru, sebagai ciptaan
Allah SWT di luar alam yang disebut akhirat. Alam
ciptaan meupakan alam nyata yang konkrit, sedang
alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib, kecuali
Allah SWT yang bersifat ghaib bukan ciptaan, yang ada
karena adanya sendiri.8 Sebagaimana tercantum dalam
firman Allah SWT mengenai penciptaan manusia Q.S.
Al-Hajj ayat 5:
ابٍ ث فاِإ ََّّن اخلا ْقناا ُكم ِمن تُر ِ ب ِمن الْب ع
ْ َّاس إِ ْن ُكْن تُ ْم ِِف اريْ ٍ ا ا
ْ ْ ا ُ اَي أايُّ اها الن
ٍِ ٍ ٍ ْ ُُثَّ ِمن نُطْ اف ٍة ُُثَّ ِمن علا اق ٍة ُُثَّ ِمن م
ّي لا ُك ْم ضغاة ُُمالَّ اقة او اغ ِْْي ُُمالَّ اقة لنُبا ِِ ا ُْ ْ ا ْ
َّاج ٍل ُم اس ًّمى ُُثَّ ُُنْ ِر ُج ُك ْم ِط ْف اًل ُُث ِ ِ ِ
ۚ اونُقُّر ِِف ْاْل ْار احام اما نا اشاءُ إ ا ىل أ ا
اش َّد ُك ْم ۚ اوِمْن ُك ْم ام ْن يُتا او َّىَّف اوِمْن ُك ْم ام ْن يُارُّد إِ ا ىل أ ْاراذ ِل الْعُ ُم ِر ِ
ُ لتا ْب لُغُوا أ
ض اه ِام اد اة فاِإ اذا أانْ ازلْناا ِ ِ ِ ِ
ل اكْي اًل يا ْعلا ام م ْن با ْعد ع ْل ٍم اشْي ئاا ۚ اوتا ارى ْاْل ْار ا
ٍ ِت ِم ْن ُك ِِل ازْو ٍج اَب
يج ْ ت اوأانْبا تاْ ت اواربا ْ اعلاْي اها الْ اماءا ْاهتا َّز
Artinya: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan
tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah)
sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari
tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging
yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan
Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan,
8 Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993) hal. 40-41.
6
kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi,
kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu
ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu
yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya
dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang
dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi
ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air
di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan
menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
yang indah.
7
3. Kemandirian dan Kebersamaan
Kemanunggalan tubuh dan jiwa yang diciptakan
Allah SWT , merupakan satu diri individu yang berbeda
dengan yang lain. setiap manusia dari individu
memiliki jati diri masing-masing. Jati diri tersebut me-
rupakan aspek dari fisik dan psikis di dalam kesatuan.
Firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf 189: “Dialah yang
menciptakanmu dari satu diri”. Firman tersebut jelas
menyatakan bahwa sebagai satu diri (individu) dalam
merealisasikan dirinya melalui kehidupan, ternyata
diantaranya terdapat manusia yang mampu mensyu-
kurinya dan menjadi beriman.
Rasulullah SAW menjelaskan petunjuk tentang
cara mewujudkan sosialitas yang diridhoiNya, diantara
hadist tersebut mengatakan: “Seorang dari kamu tidak
beriman sebelum mencintai kawannya seperti mencintai
dirinya sendiri” (Diriwayatkan oleh Bukhari). “Senyummu
kepada kawan adalah sedekah” (Diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban dan Baihaqi).
Kebersamaan (sosialitas) hanya akan terwujud
jika dalam keterhubungan itu manusia mampu saling
menempatkan sebagai subyek, untuk memungkin-
kannya menjalin hubungan manusiawi yang efektif,
sebagai hubungan yang disukai dan diridhai Allah
SWT.9 Selain itu manusia merupakan suatu kaum
(masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan ber-
hadapan dengan kaum (masyarakat) yang lain. Manusia
dalam perspektif agama Islam juga harus menyadari
8
bahwa pemeluk agama Islam adalah bersaudara satu
dengan yang lain.10
9
“Betul Engkau Tuhan kami dan kami bersaksi”.
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)", (Q.S. Al-A’raf ayat
172).
10
dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging, dan
segumpal daging itu kemudian Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain, maka Maha Sucilah
Allah, Pencipta yang paling baik.”(QS: 23: 12-14).
Hasan Langgulung mengatakan bahwa sebagai
makhluk biologis manusia terdiri atas unsur materi,
sehingga memiliki bentuk fisik berupa tubuh kasar (ragawi).
Dengan kata lain manusia adalah makhluk jasmaniah yang
secara umum terikat kepada kaedah umum makhluk
biologis seperti berkembang biak, mengalami fase per-
tumbuhan dan perkembangan, serta memerlukan makanan
untuk hidup, dan pada akhirnya mengalami kematian
Nabi Ibrahim AS tatkala diangkat sebagai pemimpin
atau imam, beliau bertanya kepada Tuhan tentang nasib
anak-anak dan keturunannya. Allah SWT menjawab,
ِِ ِ ُ ال اَّل ي ن
ال اع ْهدي الظَّالم ا
ّي ۚ قا ا اا
Artinya: “Katakanlah janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang yang dzalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 124).
11
iman dan takwa alias prestasi kerja. Pegawai sebagai
manusia memiliki keunikan yang khas, wujud perpaduan
jasmani dan rohani yang sulit diduga kemauan, kehendak,
perasaan, pikiran dan tingkah lakunya. Kemajuan setiap
institusi pendidikan sangat dipengaruhi oleh perilaku
pegawainya, yang masing-masing berbeda, mempunyai
keunikan persepsi, kepribadian dan pengalaman hidup.
Setiap pegawai berbeda latar belakang keluarga,
etnis, kemampuan belajar, kemampuan dalam menangani
stress, sikap, kepercayaan dan tingkat aspirasinya. Seorang
pimpinan harus mengetahui bagaimana perbedaan tersebut
mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja bawahannya.
Pengamatan analisis pimpinan tentang perilaku dan
prestasi pegawai memerlukan pertimbangan tiga perangkat
variabel yang secara langsung mempengaruhi perilaku dan
hal-hal yang dikerjakan pegawai bersangkutan yang
dikelompokkan dalam variabel individu, psikologis dan
keorganisasian. Variabel individu mencakup kemampuan
dan keterampilan, latar belakang dan demografis pegawai.
Variabel psikologis mencakup persepsi, kepribadian,
motivasi dan sikap atau perilaku pegawai.
Perilaku pegawai bersifat kompleks, karena di-
pengaruhi oleh berbagai aspek pengalaman, kemampuan
dan keterampilan, bakat, psikologis dan tanggapan pegawai
terhadap variabel keorganisasian seperti imbalan yang
diberikan dan pola pekerjaan yang bersangkutan.
Perubahan setiap variabel psikologis memerlukan
diagnosis, keahlian, kesabaran dan pemahaman pimpinan.
Tetapi tidak ada metode universal berupa kesepakatan yang
12
dapat digunakan untuk mengubah kepribadian, sikap,
persepsi dan pola belajar seorang pegawai.
Mewujudkan pegawai yang berprestasi memang
sulit, pimpinan sebuah institusi pendidikan pasti me-
mandang setiap pegawai sebagai pribadi yang memiliki
keunikan perilaku dan kultur. Kultur sendiri merupakan
perilaku yang tepat dan ikatan yang memotivasi individu
atau pegawai dan cara suatu organisasi memproses
informasi, hubungan internal dan nilai-nilai. Selain itu
pimpinan perlu menyusun program agar menghasilkan nilai
tambah dari pegawai dengan cara memandang atau
memotivasinya untuk lebih berprestasi dalam bekerja.
Salah satu program yang dapat dijalankan untuk
meningkatkan prestasi kerja pegawai yaitu dengan pengem-
bangan aktualisasi diri dan disiplin kerja pegawai. Faktor
aktualisasi diri dan disiplin merupakan faktor yang cukup
esensial. Pegawai yang mempunyai sikap aktualisasi diri
dan disiplin kerja yang baik akan bekerja secara maksimal.
Aktualisasi diri atau dapat juga disebut dengan
perwujudan diri merupakan tingkat kemampuan seseorang
yang paling tinggi. Aktualisasi diri merupakan proses di
mana seseorang berupaya untuk belajar, menghasilkan dan
bekerja sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya
(Worchel & Shebilske, 2005 : 440). Ketika orang meng-
aktualisasikan diri, mereka melaksanakan kreativitasnya
secara maksimal dan berupaya menjadi asset yang bernilai
bagi tempat dimana ia bekerja (Greenberg, 2006 : 69).
Islam memandang seorang pegawai untuk ber-
aktualisasi diri dengan terarah dan benar manakala ia
mampu memahami tujuannya bekerja yang sekaligus
13
sebagai salah satu etos kerja muslim, yaitu bahwa bekerja
adalah ibadah. Sebagai ibadah, kerja harus dilakukan
dengan niat yang tulus dan motif yang tinggi.
Al-Qur’an yang penulis pahami, menanamkan
kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan
fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan
menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan
taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan
kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini,
seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi
setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang
berguna.
Sementara disiplin juga merupakan masalah yang
penting dan menentukan serta perlu diperhatikan oleh
setiap organisasi termasuk institusi pendidikan yang ingin
berhasil dalam mencapai tujuan. Moenir mengemukakan
pentingnya disiplin dalam suatu kegiatan. Disiplin me-
rupakan salah satu faktor dalam keberhasilan suatu
kegiatan. Oleh karena itu usaha mendisiplinkan pegawai
harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh (Moenir,
2001 : 182).
Menurut Endang Komara, disiplin adalah kepatuhan
untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang
mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan,
perintah dan peraturan yang berlaku. Disiplin adalah sikap
mentaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan
tanpa pamrih.
Helmi (1996: 32) memberikan detil indikator-
indikator disiplin kerja sebagai berikut; (a) disiplin kerja
tidak semata-mata patuh dan taat terhadap pengunaan jam
14
kerja saja, misalnya datang dan pula ng sesuai dengan
jadwal, tidak mangkir jika bekerja, dan tidak mencuri-curi
waktu; (b) upaya dalam mentaati peraturan tidak di-
dasarkan adanya perasaan takut, atau terpaksa (c) komit-
men dan loyal pada organisasi yaitu tercermin dari bagai-
mana sikap dalam bekerja.
Ajaran Islam banyak ayat Al Qur’an dan Hadist yang
memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan
yang telah ditetapkan, antara lain surat An Nisa ayat 59:
ُوِل ْاْل ْام ِر ِمْن ُك ْم ۚ فاِإ ْنِ ول اوأالر ُس ا ِ اَّلل وأ
َّ اطيعُوا ِ ِ َّ
ين اآمنُوا أاطيعُوا َّا ا اَي أايُّ اها الذ ا
َّلل اوالْيا ْوِم
َِّ ول إِ ْن ُكْن تم تُؤِمنو ان ِِب
ُ ْ ُْ ِ الرس
ُ َّ اَّلل او
َِّ تانازعتم ِِف شي ٍء فارُّدوه إِ ال
ُ ُ ْ ا ا ُْ ْ ا
ِ
اح اس ُن اَتْ ِو ايًل
ْ ك اخْي ٌر اوأْاْل ِخ ِر ۚ ىاذل ا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
15
Disiplin dalam arti yang positif seperti yang
dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini. Hodges (dalam
Yuspratiwi, 1990) mengatakan bahwa disiplin dapat
diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yag
berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah di-
tetapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pengertian
disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang me-
nunjukkan ketaatan karyawan terhadap peraturan
organisasi.
Niat untuk mentaati peraturan menurut
Suryohadiprojo (1989) merupakan suatu kesadaran bahwa
tanpa didasari unsur ketaatan, tujuan organisasi tidakakan
tercapai. Hal itu berarti bahwa sikap dan perilaku didorong
adanya kontrol diri yang kuat. Artinya, sikap dan perilaku
untuk mentaati peraturan organisasi muncul dari dalam
dirinya.
Kualitas dan prestasi kerja yang dalam bahasa agama
disebut amal shalih tak pelak lagi merupakan pangkal
kebaikan manusia tak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.
Firman Allah,
ِ ِل أاََّّناا إِ ىاَل ُكم إِىلاه و
َّوح ىى إِ ا ِ ِ
اح ٌد ۚ فا ام ْن اكا ان ُ ْ ٌا قُ ْل إََّّناا أا اَّن با اشٌر مثْ لُ ُك ْم يُ ا
ِِ ِ ِ ِ ِ ي رجو لِاقاء ربِِه فا ْلي عمل عم اًل
صاِلاا اواَّل يُ ْش ِرْك بعبا اادة اربِه أ ا
اح ادا ا ْ ُ ا اِ ا ْ ا ْ ا ا ا
Artinya : “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia
biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa
sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang
Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
16
dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi [18]:
110).
17
Masalah Aktualisasi Diri; (2) Masalah Disiplin Kerja; (3)
Masalah Prestasi Kerja.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah; (1) Penggambaran aktualisasi diri pegawai; (2) factor
penentu yang menyebabkan disiplin kerja para pegawai; (3)
menguraikan hubungan antara aktualisasi diri dan disiplin
kerja pegawai baik secara sendiri-sendiri maupun secara
bersama-sama dengan prestasi kerja pegawai.
Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pusaka
Rasulullah SAW yang harus selalu dirujuk oleh setiap
muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian
aspek kehidupan yang amat penting adalah kesadaran
sebagai seorang pribadi muslim. Kesadaran seorang pribadi
muslim yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan sunnah
adalah pribadi yang shaleh, pribadi yang sikap, ucapan dan
tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari
Allah SWT.
Seorang muslim, yang berprofesi pegawai seharusnya
menyadari bahwa bekerja adalah suatu ibadah.
Bekerja atau mencari nafkah dalam Islam adalah
sebuah kewajiban. Islam adalah agama yang fitrah, yang
sesuai dengan kebutuhan manusia, diantaranya adalah
kebutuhan fisik.
Salah satu cara memenuhi kebutuhan fisik itu ialah
dengan bekerja. Motivasi kerja dalam islam bukanlah untuk
mengejar hidup hedonis, bukan juga untuk status, apalagi
mengejar kekayaan dengan segala cara. Dengan demikian,
motivasi kerja islam bukan hanya untuk memenuhi nafkah
semata tetapi sebagai kewajiban beribadah kepada Allah
SWT setelah ibadah fardhu lainnya.
18
Motivasi kerja Islam adalah komitmen terkait
pekerjaan yang berasal dari hubungan seorang karyawan
dengan tuhannya (Rahman, 1995). Selama ini banyak orang
bekerja untuk mengejar materi belaka demi kepentingan
duniawi, mereka tak sedikitpun mempedulikan kepen-
tingan akhirat kelak. Oleh karena itu sebaiknya pekerja
perlu memiliki motivasi yang dapat memberikan
kepribadian yang baik dan dibenarkan oleh Islam.
Bekerja adalah wujud aktualisasi diri sebagai seorang
muslim, karena bekerja selain bermanfaat bagi diri sendiri
juga bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) yang
merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim.
Bekerja adalah wujud aktualisasi diri sebagai seorang
muslim, karena bekerja selain bermanfaat bagi diri sendiri
juga bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) yang
merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim.
Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik
sehingga dimanapun dia berada, orang di sekitarnya
merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka
jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan
dan tidak adanya tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap
muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan diri dan
berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam peker-
jaannya sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak
berhasil mengambil peran yang baik dan berprestasi dalam
lingkungannya.
Salah satu bentuk keberhasilan pegawai dalam
melakukan pekerjaannya adalah tercapainya tingkat prestasi
kerja yang tinggi dalam melaksanakan tugas pekerjaan yang
dibebankan pada dirinya. Prestasi kerja pegawai di-
19
pengaruhi banyak faktor eksternal maupun internal. Faktor
eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri individu
pegawai sedangkan faktor internal adalah faktor yang
berasal dari dalam diri individu pegawai sendiri. Di antara
faktor internal tersebut adalah faktor aktualisasi diri dan
disiplin kerja.
Menurut Agus Dharma (2005:67) pegawai yang
memiliki aktualisasi diri yang tinggi akan cenderung
memiliki prestasi kerja yang lebih baik daripada pegawai
yang aktualisasi dirinya rendah. Sedangkan menurut Porter
pegawai yang memiliki aktualisasi diri yang tinggi akan
bekerja secara maksimal karena aktualisasi diri ber-
hubungan dengan proses pengembangan potensi diri
pegawai sebagai individu secara penuh dalam meng-
ekspresikan keahlian, bakat dan emosi dalam menjalankan
sikap-sikap pribadi (Steers, Lyman, Porter,2001:35).
Dalam Islam, aktualisasi diri identik dengan
bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul
jihad) yang menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka
tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) dan hasil akhirnya
ada pada keputusan Allah serta tidak berlaku dzalim
sebagaimana terkandung dalam QS Ali Imran: 159 dan QS
Hud: 113 sebagai berikut :
ضوا ِ ت فاظًّا اغلِي اظ الْ اق ْل
ُّ ب اَّلنْ اف ت اَلُْم ۚ اولا ْو ُكْن ا
ِ َِّ فابِما ر ْْح ٍة ِمن
اَّلل لْن ا ا اا ا
استا ْغ ِف ْر اَلُْم او اشا ِوْرُه ْم ِِف ْاْل ْام ِر ۚ فاِإ اذا ِ
ْ ف اعْن ُه ْم او ُ اع
ْ ك ۚ فا ِم ْن اح ْول ا
ّي ِِ ُّ اَّللا ُُِي َِّ عزمت فات وَّكل علاى
َّ اَّلل ۚ إِ َّن
ب الْ ُمتا اوِكل ا ااْ ا ا ا ْ ا
20
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu
(urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya,
seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan
lain-lainnya) Kemudian apabila kamu Telah mem-
bulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya (QS Ali Imron : 159).
اَّللِ ِم ْن
َّ ونِ واَّل تاراكنُوا إِ ال الَّ ِذين ظالاموا فاتام َّس ُكم النَّار وما لا ُكم ِمن د
ُ ْ ْ ا ُ ا ُ ُ اا ْ ا
ص ُرو ان ِ
أ ْاوليااءا ُُثَّ اَّل تُْن ا
Artinya : Dan janganlah kamu cenderung kepada
orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu
disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada
mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah,
Kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan (QS
Hud:113).
21
Disiplin kerja merupakan keadaan tertib dan teratur
yang dimiliki pegawai dalam melaksanakan tugas dan
tunduk pada peraturan yang berlaku dengan senang hati
dan penuh kesadaran.
Disiplin kerja sebagai suatu sikap menghormati,
patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku
baik yang tertulis atau yang tidak tertulis serta sanggup
menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima
sanksi-sanksi apabila ia melanggar tugas dan wewenang
yang diberikan kepadanya.
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW memberi
gambaran bahwa dengan bekerja berarti merealisasikan
fungsi kehambaan kepada Allah, dan menempuh jalan
menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan
taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan
kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini,
seorang pegawai akan berusaha mengisi setiap ruang dan
waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna dalam arti
ia akan berusaha untuk disiplin dalam bekerja. Semboyan-
nya adalah tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.
Pegawai yang memiliki disiplin kerja yang tinggi
akan semakin tinggi pula dorongan untuk berhasil men-
capai tujuan kerja yang dibebankan kepadanya sehingga
prestasi kerjanya pun akan semakin meningkat. (Siswanto,
2002: 278).
22
FUNGSI AKTUALISASI DIRI DALAM
MENUMBUHKAN KESADARAN PEGAWAI
A. Aktualisasi Diri
1. Pengertian
Aktualisasi diri' tak dapat diartikan secara harfiah. Itu
adalah sebuah frase tersendiri yg diciptakan oleh Abraham
Maslow. Dalam buku Hierarchy of Needs, ia menggunakan
istilah aktualisasi diri (self-actualization) sebagai kebutuhan
dan pencapaian tertinggi seorang manusia. Kebutuhan
aktualisasi diri, meliputi kebutuhan untuk memenuhi keber-
adaan diri (self fulfillment) melalui memaksimumkan
penggunaan kemampuan dan potensi diri. Maslow men-
definisikan aktualisasi diri sebagai sebuah tahapan
spiritualitas seseorang, di mana seseorang berlimpah
dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih,
kedamaian, toleransi, kerendah-hatian, serta memiliki
tujuan hidup yang jelas, dan misi untuk membantu orang
lain mencapai tahap kecerdasan spiritual ini.
Aktualisasi diri pada dasarnya adalah perwujudan
diri, pencapaian cita-cita diri, pembawaan sikap dirinya
terhadap tugas dan kerja yang menjadi tanggung jawabnya
(Martoyo, 2004: 149). Selanjutnya aktualisasi diri dapat
dijelaskan merupakan suatu usaha ke arah memaksimalkan
potensi diri, suatu keinginan untuk menjadi apa yang
23
dirasakan oleh seseorang karena mempunyai potensi untuk
mencapainya (Thoha, 2002 : 198).
24
pegawai muslim yang apabila dimiliki oleh para pegawai
akan menjadikan mereka mampu beraktualisasi diri secara
maksimal dan bermanfaat bagi lingkungan kerjanya, yaitu :
a. Salimul Aqidah
Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan
sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan
aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki
ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan
yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan
ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan ke-
mantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan
segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-
Nya yang artinya:
ِ ِِ ِ
ّي ِِ اي اوَماا ِاِت ََّّلل ار
ب الْ اعالام ا ِ قُل إِ َّن ا
ص اًلِت اونُ ُسكي اواَْميا ا ْ
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku,
semua bagi Allah Tuhan semesta alam (QS Al An-am
[6]:162).
Karena memiliki aqidah yang salim merupakan
sesuatu yang amat penting, maka dalam da’wahnya
kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah SAW
mengutamakan pembinaan aqidah, iman atau tauhid.
b. Shahihul Ibadah
Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan
salah satu perintah Rasul SAW yang penting, dalam
satu haditsnya; beliau menyatakan: “shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihat aku shalat”. Dari ungkapan
ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksana-
kan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada
25
sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ada unsur
penambahan atau pengurangan.
c. Matinul Khuluq
Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak
yang mulia merupakan sikap dan prilaku yang harus
dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya
kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya.
Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia
dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat.
Karena begitu penting memiliki akhlak yang
mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw ditutus
untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah
mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung
sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an,
Allah berfirman yang artinya:
َّك لا اعلا ىى ُخلُ ٍق اع ِظي ٍم
اوإِن ا
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak
yang agung (QS Al Qalam [68]:4).
d. Qowiyyul Jismi
Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan
salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan
jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan
tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara
optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat
dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus
dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi
26
perang di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan
lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus
mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan
dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan.
Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai
sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi,
dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan.
Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting,
maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Mu’min
yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah
(HR. Muslim).
e. Mutsaqqoful Fikri
Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) me-
rupakan salah satu sisi pribadi muslim yang penting.
Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas)
dan Al-Qur’an banyak mengungkap ayat-ayat yang
merangsang manusia untuk berpikir, misalnya firman
Allah :
ِ اْلا ْم ِر اوالْ امْي ِس ِر ۚ قُ ْل فِي ِه اما إِ ُْثٌ اكبِ ٌْي اوامناافِ ُع لِلن
َّاس ْ ك اع ِن ۞ يا ْسأالُونا ا
ۚ ك اماذاا يُْن ِف ُقو ان قُ ِل الْ اع ْف او اوإِْْثُُه اما أا ْكبا ُر ِم ْن نا ْفعِ ِه اما ۚ اويا ْسأالُونا ا
اَّللُ لا ُك ُم ْاْل اَي ِت لا اعلَّ ُك ْم تاتا اف َّك ُرو ان ِ
َّ ّي اك ىاذل ا
ُ ِِ ك يُبا
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar
dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
27
Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya
kamu berpikir (QS Al Baqarah [2]:219).
f. Mujahadatul Linafsih
Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatul
linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus
ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia
memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang
buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik
dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya
28
kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala
seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu.
Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap
diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran
Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak
beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa
nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR.
Hakim).
29
sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup
sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua,
senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
h. Munazhzhamun fi Syuunihi
Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi
syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang
ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh
karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait
dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus
diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika
suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka
diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah
menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan dikerjakan secara
profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya,
profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya.
Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban,
adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahuan
merupakan diantara yang mendapat perhatian secara
serius dalam menunaikan tugas-tugasnya.
30
sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah
dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi
ekonomi. Kareitu pribadi muslim tidaklah mesti miskin,
seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus
kaya agar dia bisa menunaikan haji dan umroh, zakat,
infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang
baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat
banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits dan hal itu
memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah
seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa
saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi
sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena
rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan
mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.
j. Nafi’un Lighoirihi
Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi)
merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim.
Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik
sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya
merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar.
Maka jangan sampai seorang muslim adanya tidak
menggenapkan dan tidak adanya tidak mengganjilkan.
Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir,
mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal
untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga
jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil
peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan
inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik
31
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR.
Qudhy dari Jabir).
Pegawai muslim yang mampu memahami ciri
pribadi muslim di atas akan mampu beraktualisasi diri
secara maksimal, bekerja dengan disiplin yang tinggi
dan akan berprestasi dalam upaya untuk menyelesaikan
pekerjaannya (www.mediamuslim//pribadimuslim.co)
32
1. Kesederhanaan
Dalam kelompok, orang memiliki kharisma tidak
pernah berupaya menarik perhatian dengan jalan
membanggakan bakat dan sifat atau dengan cara
memamerkan kelebihannya.
2. Mendengarkan Orang Lain
Bila ingin daya tarik harus belajar cara mendorong
orang lain untuk
mengekspresikan diri mereka. Ajukan pertanyaan
tentang pekerjaan, keluarga mereka dan seterusnya se-
hingga mereka berkesempatan untuk mengungkapkan
diri.
3. Percaya Diri dan Bersikap Tegas
Rasa malu tidak selamanya merupakan sifat yang buruk
jika tidak berlebihan, rasa malu yang bermanfaat seperti
perasaan yang ajar dan perhatian yang tidak merugikan.
4. Kemampuan Bertindak Tegas
Ini berarti tidak menunda-nunda apa yang dapat
dilakukan pada hari ini. Pimpinan itu memiliki
kharisma tidak memiliki sifat tak acuh atau malas.
5. Menghargai Janji
Suatu janji selalu penting artinya, staf pimpinan yang
memiliki kharisma adalah orang yang dapat dipercaya.
Jadi aktualisasi diri/perwujudan diri pada prinsipnya
adalah memaksimalkan potensi diri, suatu hasrat
menjadi apa yang dirasakan dan gejala yang dapat
diakomodasikan, dirasakan serta dapat direalisasikan
oleh seseorang karena memiliki tingkatan yang cukup
potensial untuk mencapainya.
33
Teori fenomena mengisyaratkan bahwa setiap orang
cenderung mengejar perwujudan atau aktualisasi diri.
Maksudnya, dalam kondisi dan situasi yang sebangun dan
serupa atau dapat dikatakan terjadi interaksi yang harmonis
antara potensi dan kenyataan yang dapat direalisasikan
sesuai dengan cita-citanya (Aiken, 1997 : 273), sehingga
tidak terdapat kesenjangan atau discrepancy antara potensi
cita-cita atau harapan dan kenyataan.
Karena kesenjangan itulah menjadi penyebab krisis
atau kekacauan dalam kehidupan lembaga, pribadi,
keluarga, masyarakat dan bangsa. Dalam mengaplikasikan
potensi, banyak cara yang dilakukan oleh seseorang antara
lain menjadi staf pimpinan yang baik. Semua dorongan
untuk memaksimalkan potensi yang dirasakan pada diri
seseorang dan kemampuan mencapainya adalah perwujud-
an diri dari pemenuhan aktualisasi diri.
Gejala keberhasilan aktualisasi ditandai dengan
adanya perasaan simpati terhadap keberhasilan akan
penyelesaian masalah. Di samping itu juga perlu menyadari
atau menginsyafi adanya potensi menyelesaikan tujuan
yang berarti, serta bermanfaat bagi kehidupan lembaga dan
staf pimpinan berikut lingkungannya.
Perwujudan diri adalah kapasitas seseorang untuk
memaksimalkan potensi, apapun potensi itu. Dengan
demikian, perwujudan diri merupakan keinginan untuk
menjadi orang yang dirasakan mampu mewujudkannya
(Hersey & Blanchard, 1998 : 43). Salah satu motif yang ber-
kaitan dengan konsep perwujudan diri adalah kompetensi.
34
Dorongan utama manusia melakukan tindakan
adalah keinginan akan kompetensi. Kompetensi merupakan
kemampuan mengendalikan faktor-faktor lingkungan baik
faktor fisik maupun faktor sosial. Orang yang memiliki
motif ini tidak ingin menunggu terjadinya hal-hal secara
pasif; mereka ingin merubah lingkungan dan berusaha
mewujudkan sesuatu.
Perwujudan diri berpengaruh dengan proses
pengembangan potensi diri sebagai individu secara penuh
dan mengekspresikan keahlian, bakat dan emosi dalam
menjalankan sikap-sikap pribadi (Steers, Lyman, Porter,
2001: 35). Perwujudan diri adalah suatu proses bukan suatu
akhir keadaan individu tidak dapat mengaktualisasikan
dirinya dalam arti bahwa mereka pada akhirnya mencapai
suatu tujuan akhir.
Dorongan untuk mengaktualisasikan diri tidak selalu
dapat terpenuhi dan seperti potensi lainnya. Bahkan
kebutuhan dalam mengaktualisasikan diri tergantung pada
meningkatnya pelaksanaan potensi individu dalam perilaku
aktualisasi diri. Proses pengembangan untuk meningkatkan
potensi pada hakekatnya suatu perubahan untuk mening-
katkan kualitas hidup yang dapat ditempuh dengan tiga
langkah (Robbins, 1997 : 6-9), (a) meningkatkan standar
hidup, (b) merubah keyakinan, (c) merubah strategi yang
meliputi mengendalikan emosi, mengendalikan fisik,
mengendalikan pengaruh, mengendalikan keuangan dan
mengendalikan waktu.
Aspek aktualisasi diri merupakan fenomena yang
mengarah menjadi sesuatu dan dengan seseorang mampu
mewujudkannya (Davis, 2003 : 69). Fenomena ini kurang
35
jelas dibandingkan dengan kemampuan diri lainnya karena
kebanyakan orang tidak mengutamakannya. Hal ini di-
sebabkan orang-orang masih sibuk dengan kebutuhan
dasarnya. Meskipun aktualisasi diri hanya menonjol pada
sebagian orang, namun kebutuhan ini mempengaruhi
hampir semua orang.
Mereka memilih bidang pekerjaan atau keahlian yang
disukainya, dan memperoleh kepuasan tertentu dari
pelaksanaan tugas. Apabila kebutuhan ini diutamakan,
orang-orang akan merasa bahwa pekerjaannya menantang
dan memperoleh kepuasan bathin dari pekerjaan itu. Orang
yang akan mengaktualisasikan diri merupakan kewajiban
diri dan direalisasikan pada semua tingkatan. Aktualisasi
diri berpengaruh erat dengan konsep diri. Pengaruhnya,
aktualisasi diri adalah motivasi orang untuk mentrans-
formasikan persepsi diri dalam realita (Luthan, 2005 : 150).
Dewasa ini semakin disadari oleh berbagai kalangan
luas bahwa dalam diri setiap orang terpendam potensi atau
kemampuan yang belum seluruhnya dikembangkan.
Adalah hal yang normal apabila dalam meniti karier,
seseorang ingin agar potensinya itu dikembangkan secara
sistematik sehingga menjadi kemampuan efektif. Dengan
sistem pengembangan tersebut, seseorang dapat
memberikan sumbangan yang lebih besar bagi kepentingan
organisasi dan dapat meraih kemajuan profesional yang
pada gilirannya memungkinkan yang bersangkutan dapat
memuaskan berbagai jenis kebutuhannya.
Jelas terlihat bahwa para manager dalam suatu
organisasi terutama para manager puncak harus selalu
berusaha untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan
36
bawahannya (Siagian, 2005 : 158). Salah satu cara yang
dikenal dapat meningkatkan kemampuan para bawahan
adalah dengan menggunakan teknik motivasi yang tepat.
Memuaskan kebutuhan ini banyak cara yang
dilakukan oleh seseorang dan cara-cara tersebut berbeda
antara satu orang dengan lainnya. Semua keinginan untuk
memaksimalkan potensi yang dirasakan pada diri seseorang
dan dirasakan mampu mencapainya adalah perwujudan
dari pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri.
Dapat diuraikan bahwa tanda-tanda keberhasilan
dari aktualisasi adalah berupa perasaan simpati terhadap
keberhasilan penyelesaian suatu permasalahan di samping
menyadari akan adanya suatu potensi diri untuk me-
nyelesaikan tujuan yang berarti dan bermanfaat bagi
kehidupan suatu lembaga, organisasi maupun staf pim-
pinan berikut lingkungannya.
37
3) Merubah strategi.
c. Penerapan aktualisasi diri.
Penerapan aktualisasi diri, meliputi:
1) Kesederhanaan
2) Mau mendengarkan orang lain
3) Percaya diri dan bertindak tegas
4) Kemampuan bertindak tegas
5) Menghargai janji
B. Disiplin Kerja
1. Pengertian
Asal mula kata disiplin berasal dari bahasa Latin
disiplina yang berarti latihan atau pendidikan kesopanan
serta pengembangan tabiat (Wursanto, 2002 : 108). Disiplin
merupakan masalah yang penting dan menentukan serta
perlu diperhatikan oleh setiap organisasi yang ingin berhasil
dalam mencapai tujuan. Moenir mengemukakan pentingnya
disiplin dalam suatu kegiatan. Disiplin merupakan salah
satu faktor dalam keberhasilan suatu kegiatan. Perlu
diketahui bahwa berhasilnya suatu usaha sangat ditentukan
oleh tiga faktor, yaitu: kesungguhan, disiplin dan keahlian.
Salah satu faktor tidak ada maka hasil kegiatannya akan
menurun baik kualitas maupun kuantitasnya.
Oleh karena itu usaha mendisiplinkan pegawai harus
mendapat perhatian yang sungguh-sungguh (Moenir, 2001 :
182). The Liang Gie (2002 : 96) mengemukakan, “Disiplin
adalah suatu keadaan dapat dikatakan tertib dimana orang-
orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk
kepada peraturan dengan senang hati.” Hodges (dalam
Yuspratiwi, 1990) mengatakan bahwa disiplin dapat
38
diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yang
berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah di-
tetapkan. Niat untuk mentaati peraturan menurut
Suryohadiprojo (1989) merupakan suatu kesadaran bahwa
tanpa didasari unsur ketaatan, tujuan organisasi tidak akan
tercapai.
Disiplin kerja dibicarakan dalam kondisi yang sering
kali bersifat negative. Disiplin lebih dikaitkan dengan sanksi
atau hukuman. Contohnya: bagi karyawan bank, keter-
lambatan masuk kerja (bahkan dalam satu menit pun)
berarti pemotongan gaji yang disepadankan dengan tidak
masuk kerja pada hari itu. Bagi pengendari motor, tidak
menggunakan helm berarti siap-siap ditilang polisi.
Disiplin dalam arti yang positif seperti yang di-
kemukakan oleh beberapa ahli berikut ini. Hodges (dalam
Helmi,1997) mengatakan bahwa disiplin dapat diartikan
sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berniat untuk
mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam
kaitannya dengan pekerjaan, pengertian disiplin kerja
adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan
ketaatan karyawan terhadap peraturan organisasi.
Niat untuk mentaati peraturan menurut (Suryo-
hadiprojo, 1989) merupakan suatu kedasaran bahwa tanpa
didasari unsur ketaatan, tujuan organisasi tindakan tercapai.
Hal itu berarti bahwa sikap dan perilaku didorong adanya
control diri yang kuat. Artinya, sikap dan perilaku untuk
mentaati peraturan organisasi muncul dari dalam dirinya.
Niat juga dapat diartikan sebagai keinginan untuk
berbuat sesuatu atau kemauan untuk menyesuaikan diri
dengan aturan-aturan. Sikap dan perilaku dalam disiplin
39
kerja ditandai oleh berbuat inisiatif, kemauan dan kehendak
untuk mentaati peraturan. Artinya, orang yang dikatakan
mempunyai disiplin yang tinggi tidak semata-mata patuh
dan taat terhadap peraturan secara kaku dan mati, tetapi
juga mempunyai kehendak (niat) untuk menyesuaikan diri
dengan peraturan-peraturan organisasi.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, sebelum
masuk dalam sebuah organisasi, seorang pegawai tentu
mempunyai aturan, nilai dan norma sendiri, yang merupa-
kan proses rasionalisasi dari keluarga dan atau masya-
rakatnya. Seringkali terjadi aturan, nilai dan norma diri
tidak sesuai dengan aturan-aturan organisasi yang ada. Hal
ini menimbulkan konflik sehingga orang mudah tegang,
marah atau tersinggung apabila orang terlalu menjunjung
tinggi salah satu aturannya.
Jadi disiplin kerja merupakan suatu sikap dan
perilaku yang berniat untuk mentaati segala peraturan
organisasi yang didasarkan pada kesadaran diri untuk
menyesuaikan dengan peraturan organisasi.
40
Disiplin disini sangat penting dalam suatu organisasi,
baik lembaga atau organisasi pemerintahan untuk men-
ciptakan produktivitas yang tinggi dan prestasi kerja
sebagaimana dikemukakan Musanef (2002 : 181) bahwa
disiplin juga tidak kalah pentingnya dengan prinsip-prinsip
lainnya, artinya setiap pegawai selalu mempengaruhi hasil
prestasi kerja. Oleh karena itu dalam setiap anggota perlu
ditegakkan disiplinnya. Melalui disiplin yang tinggi
produktivitas kerja pada pokoknya dapat ditingkatkan.
Oleh sebab itu ditanamkan kepada setiap pegawai disiplin
yang sebaiknya.
Dari ketiga pendapat tersebut menunjukkan bahwa
disiplin yang tinggi sangat diperlukan dalam suatu kerja
sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan sebelumnya. Apabila setiap organisasi memiliki
disiplin yang tinggi maka organisasi akan dapat mening-
katkan produktivitasnya.
Dalam hal ini disiplin akan berjalan dengan baik dan
lancar apabila masing-masing anggota (pegawai) melak-
sanakan dengan penuh kesadaran bukan karena adanya
unsur paksaan dari pihak pimpinan. Sebab pada dasarnya
atau kenyataannya pegawai dalam melaksanakan kegiatan
sehari-hari tidak mungkin diawasi secara terus menerus
karena menimbulkan suasana yang kaku dan pegawai akan
merasa tertekan.
Soegeng (2002 : 23) mengemukakan “disiplin adalah
suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses
dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai
ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan atau
ketertiban.”
41
Sikap dan perilaku yang demikian ini tercipta melalui
proses binaan melalui keluarga, pendidikan dan pe-
ngalaman atau pengenalan dari keteladanan dari ling-
kungannya. Disiplin akan membuat dirinya tahu mem-
bedakan hal-hal apa yang seharusnya dilakukan, yang wajib
dilakukan, yang boleh dilakukan, yang tak sepatutnya
dilakukan (karena merupakan hal-hal yang terlarang).
Disiplin mempunyai tiga aspek, Yaitu:
1. Sikap mental (mental attitude), yang merupakan sikap
taat dan tertib sebagai hasil atau pengembangan dari
latihan, pengendalian pikiran dan pengendalian watak.
2. Pemahaman yang baik mengenai sistem aturan
perilaku, norma, kriteria dan standar yang sedemikian
rupa, sehingga pemahaman tersebut menumbuhkan
pengertian yang mendalam atau kesadaran, bahwa
ketaatan akan aturan; norma, kriteria dan standar tadi
merupakan syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan.
3. Sikap kelakuan yang secara wajar menunjukkan
kesungguhan hati, untuk mentaati segala hal secara
cermat dan tertib.
Disiplin itu lahir, tumbuh dan berkembang dari sikap
seseorang di dalam sistem nilai budaya yang telah ada di
dalam masyarakat. Terdapat unsur pokok yang membentuk
disiplin, pertama sikap yang telah ada pada diri manusia
dan sistem nilai budaya yang ada pada masyarakat. Sikap
atau attitude tadi merupakan unsur yang hidup di dalam
jiwa manusia yang harus mampu bereaksi terhadap
lingkungannya, dapat berupa tingkah laku atau pemikiran.
Sedangkan sistem nilai budaya (Cultural value system)
merupakan bagian dari budaya yang berfungsi sebagai
42
petunjuk atau pedoman atau penuntun bagi kelakuan
manusia.
Perpaduan antara sikap dengan sistem nilai budaya
yang menjadi pengarah dan pedoman tadi mewujudkan
sikap mental berupa perbuatan atau tingkah laku. Hal inilah
yang disebut disiplin.
Disiplin akan tumbuh dan dapat dibina melalui
latihan, pendidikan atau penanaman kebiasaan dengan
keteladanan-keteladanan tertentu, yang harus dimulai sejak
ada dalam lingkungan keluarga, mulai pada masa kanak-
kanak dan terus tumbuh berkembang dan menjadikannya
bentuk disiplin yang semakin kuat.
Disiplin yang mantap pada hakekatnya akan tumbuh
dan terpancar dari hasil kesadaran manusia. Disiplin yang
tidak bersumber dari hari nurani manusia akan meng-
hasilkan disiplin yang lemah dan tidak bertahan lama.
Disiplinnya tidak hidup tetapi mati. Disiplin tidak menjadi
langgeng dan akan lekas pudar.
Disiplin yang tumbuh dari atas kesadaran diri, yang
demikian itulah yang diharapkan selalu tertanam dalam
setiap diri pegawai. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa disiplin adalah suatu sikap seseorang yang patuh
dan taat terhadap norma dan peraturan yang telah
ditetapkan.
Disiplin melatih sikap mental yang mengandung
kerelaan untuk mematuhi segala peraturan dan ketentuan
yang berlaku dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab.
Disiplin merupakan ekspresi kedewasaan sebagai suatu
sikap tanggung jawab terhadap tingkah laku sendiri.
43
Sedangkan dalam hubungannya dengan pekerjaan,
Siswanto (2002 : 278) mengemukakan bahwa disiplin kerja
sebagai suatu sikap menghormati, patuh dan taat terhadap
peraturan-peraturan yang berlaku baik yang tertulis atau
yang tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak
mengelak untuk menerima sanksi-sanksi apabila ia
melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya.
Disiplin kerja pada dasarnya menunjukkan suatu
sikap seseorang yang menjadi anggota organisasi. Sikap
tersebut berupa ketaatan terhadap ketentuan dan aturan
yang ada, seperti yang dikemukakan Atmosudirdjo (2000 :
96) bahwa disiplin adalah suatu sikap ketaatan kepada
lembaga atau organisasi beserta apa yang menjadi
ketentuan-ketentuannya tanpa memakai atau menggunakan
pemaksaan hanya berdasarkan keinsyafan dan kesadaran
bahwa adanya ketaatan semacam itu sudah merupakan
ketentuan dari tujuan dari suatu organisasi dan lembaga.
Di pihak lain Wursanto (1998 : 146) mendukung
pendapat di atas, dengan mengatakan bahwa disiplin kerja
merupakan suatu cara dan gaya hidup yang tertib dan
teratur yang dikasiatkan oleh pengendalian diri sebagai
kenampakan dari kesadaran dan keyakinan, identitas dan
tujuan serta sebagai kenampakan diri terhadap penghayatan
dan nilai-nilai tertentu yang telah membudaya dalam diri
(2002 : 13).
Disiplin erat kaitannya dengan moral yang melekat
pada diri seseorang untuk mewujudkannya perlu peraturan
yang harus ditaati dan dilaksanakan dengan perlu
peraturan yang harus ditaati dan dilaksanakan dengan
44
penuh kesadaran dan tanggung jawab tanpa adanya
paksaan dari pihak atasan.
Disiplin dalam suatu organisasi pada dasarnya untuk
memberikan jaminan bahwa pekerjaan dapat berlangsung
lancar tanpa terjadi keteledoran, kelalaian, kelambatan
maupun pemborosan dan sehingga kontinuitas organisasi
atau lembaga dapat berlangsung terus.
Martoyo (2000 : 13) mengemukakan faktor-faktor
yang mempengaruhi pembinaan disiplin adalah 1)
motivasi, 2) kesejahteraan, 3) kepemimpinan, 4) pendidikan
dan latihan dan 5) penegakan disiplin lewat hukum.
Penerapan disiplin kerja terhadap pegawai di-
harapkan akan menumbuhkan perasaan bahwa dirinya
sebagai pelaksana mempunyai peranan penting, karena
mereka sadar bahwa hal tersebut merupakan kunci keber-
hasilan dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab
masing-masing sehingga mendorong setiap pegawai untuk
berusaha memahami seluk-beluk bidang pekerjaannya
sebagai bagian yang ikut berperan menentukan keber-
hasilan lembaga atau produktivitas lembaga. Kesadaran
tersebut akan mengembangkan sikap disiplin positif yang
perwujudannya berupa kesediaan berpartisipasi secara
maksimal dalam melaksanakan beban kerja bersama dengan
pegawai lainnya.
Disiplin yang positif adalah disiplin yang konstrukif,
sehingga merupakan satu kebiasaan yang baik, suatu reaksi
terhadap nilai-nilai serta norma yang berlaku dalam
masyarakat. Disiplin yang positif ini dapat terwujud dalam
suatu organisasi apabila di dalamnya terdapat suasana yang
45
memungkinkan pegawai dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan yang sebenarnya.
Disiplin yang baik tidak hanya diarahkan untuk
penghukuman saja atau dengan ketentuan yang kaku,
karena paksaan dan tekanan dengan mempergunakan
hukuman. Melainkan memungkinkan pegawai dalam suatu
organisasi untuk menikmati kebebasan baik kebebasan
untuk mengeluarkan pendapat, berpartisipasi secara mak-
simal, maupun berimprovisasi dalam proses produksi untuk
mencapai tujuan. Hal ini akan membuat pegawai merasakan
bahwa tujuan dan kepentingan organisasi juga sebagai
kepentingan dirinya.
Usaha menciptakan disiplin kerja dapat dilakukan
melalui bimbingan atau pengarahan. Bimbingan bagi
pegawai akan menanamkan kebiasaan yang baik, kesadaran
diri tanpa adanya paksaan sehingga pegawai berdisiplin
dari keyakinan diri dan terwujud dalam sikap, tingkah laku
dan tindakan nyata dalam bekerja. Untuk menjaga konsis-
tensi disiplin kerja perlu adanya keteladanan, yakni
pimpinan atau para petinggi dalam lembaga datang tepat
pada waktu, patuh terhadap peraturan organisasi,
berdedikasi tinggi.
Disiplin kerja yang ditekankan terhadap pegawai
diharapkan akan menumbuhkan perasaan bahwa dirinya
sebagai pelaksana mempunyai peranan penting, karena
mereka sadar bahwa hal tersebut merupakan kunci
keberhasilan dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab
masing-masing sehingga mendorong setiap pegawai untuk
berusaha memahami seluk-beluk bidang pekerjaannya
sebagai bagian yang ikut berperan menentukan keber-
46
hasilan lembaga atau produktivitas lembaga. Kesadaran
tersebut akan mengembangkan sikap disiplin positif yang
perwujudannya berupa kesediaan berpartisipasi secara
maksimal dalam melaksanakan beban kerja bersama dengan
pegawai lainnya.
Disiplin kerja merupakan faktor yang sangat
menentukan bagi keberhasilan suatu organisasi mencapai
tujuannya. Demikian juga organisasi lembaga sebagai
institusi yang bertujuan untuk memajukan pendidikan dan
secara khusus mendidik anak bangsa menjadi cerdas, pintar
dan bermoral mutlak menerapkan disiplin kerja bagi
segenap civitas lembaganya, mulai dari kepala lembaga,
pegawai, pegawai/staf hingga para siswa itu sendiri.
Penerapan disiplin akan menjadi lebih efektif jika disertai
dengan hukuman bagi yang melanggar dan penghargaan
bagi yang selalu mentaati dalam arti selalu disiplin dalam
bekerka.
Untuk mengetahui adanya kedisiplinan pegawai,
Lateiner (2000 : 72) mengemukakan bahwa disiplin sejati
terdapat apabila para pegawai datang di kantor dengan
teratur dan tepat waktunya, apabila berpakaian serba baik
pada tempat pekerjaannya, apabila menggunakan
perlengkapan dan bahan-bahan hati-hati, apabila bekerja
mengikuti cara kerja yang ditentukan kantor atau lembaga,
apabila menyelesaikan pekerjaan dengan semangat yang
baik..
Jadi dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja pegawai
merupakan suatu kepatuhan pegawai erhadap aturan-
aturan, norma, patokan, hukum, tata tertib yang berlaku
dalam lingkungan lembaga yang telah disepakati dan
47
menjadi komitmen bersama dimana pegawai tersebut
mengabdikan diri untuk bekerja.
48
Disiplin diri sangat besar perannnya dalam
mencapai tujuan organisasi. Melalui disiplin diri
seorang pegawai selain menghargai dirinya sendiri juga
menghargai orang lain. Misalnya jika pegawai menger-
jakan tugas dan wewenang tanpa pengawasan atasan,
pada dasarnya pegawai telah sadar melaksanakan
tanggung jawab yang telah dipikulnya. Hal itu berarti
pegawai sanggup melaksanakan tugasnya. Pada
dasarnya ia menghargai potensi dan kemampuannya.
Di sisi lain, bagi rekan kerja sejawat, dengan diterapkan-
nya disiplin diri, akan memperlancar kegiatan yang
bersifat kelompok. Apalagi jika tugas kelompok tersebut
terkait dalam dimensi waktu, suatu proses kerja yang
dipengaruhi urutan waktu pengerjaannya. Ketidak-
disiplinan dalam satu bidang kerja, akan menghambat
bidang kerja lain.
Dapat disimpulkan bahwa ada beberapa manfaat
yang dapat dipetik jika pegawai mempunyai disiplin
diri yaitu (a) disiplin diri adalah diri yang diharapkan
oleh organisasi. Jika harapan organisasi terpenuhi
pegawai akan mendapat reward (penghargaan) dari
organisasi, apakah itu dalam bentuk atau kompetensi
lainnya, (b) melalui disiplin diri merupakan bentuk
penghargaan terhadap orang lain. Jika orang lain
merasa dihargai, akan tumbuh penghargaan serupa dari
orang lain pada dirinya. Hal ini semakin memperkukuh
kepercayaan diri, (c) penghargaan terhadap kemam-
puan diri. Hal ini didasarkan atas pandangan bahwa
jika pegawai mampu melaksanakan tugas, pada dasar-
nya ia mampu mengaktualisasikan dirinya. Hal itu
49
berarti ia memberikan penghargaan pada potensi dan
kemampuan yang melekat pada dirinya.
b. Disiplin Kelompok
Kegiatan operasional bukanlah kegiatan yang
bersifat individual semata. Selain disiplin diri masih
diperlukan disiplin kelompok. Hal ini didasarkan atas
pandangan bahwa di dalam kelompok kerja terdapat
standar ukuran prestasi yang telah ditentukan.
Bagaimana disiplin kelompok terbentuk? Disiplin
kelompok akan tercapai jika disiplin diri telah tumbuh
dalam diri pegawai. Artinya, kelompok akan meng-
hasilkan pekerjaan yang optimal jika masing-masing
anggota kelompok dapat memberikan andil yang sesuai
dengan hak dan tanggung jawabnya. Andaikan satu di
antara sekian ribu pegawai bekerja tidak sungguh-
sungguh, akan mengganggu mekanisme kerja yang lain.
Hal ini disebabkan pegawai lain akan merasa terganggu
karena biasanya ia akan mengajak bicara atu
kemungkinan lain adalah teman sekerja timbul rasa iri.
Ada kalanya disiplin kelompok juga mem-
berikan andil bagi pengembangan disiplin diri.
Misalnya, jika hasil kerja kelompok mencapai target
yang diinginkan dan pegawai mendapatkan peng-
hargaan maka disiplin kelompok yang selama ini
diterapkan dapat memberikan insight. Pegawai menjadi
sadar arti pentingnya disiplin. Sedikit demi sedikit,
nilai-nilai kedisiplinan kelompok akan diinternalisasi.
50
Kaitan antara disiplin diri dan disiplin kelompok
dilukiskan oleh Jasin (1989) seperti dua sisi dari satu
mata uang. Keduanya saling melengkapi dan me-
nunjang. Sifatnya komplementer. Disiplin diri tidak
dapat berkembang secara optimal tanpa dukungan
disiplin kelompok. Sebaliknya, disiplin kelompok tidak
dapat ditegakkan tanpa disiplin diri.
51
memiliki wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak
ada di tempat disiplin kerja tidak tampak.
- Disiplin karena indentifikasi
Kepatuhan aturan yang didasarkan pada identifikasi
adalah adanya perasaan kekaguman atau peng-
hargaan pada pimpinan. Pemimpin yang kharismatik
adalah figur yang dihormati, dihargai, dan sebagai
pusat identifikasi. Pegawai yang menunjukkan
disiplin terhadap aturan-aturan organisasi bukan
disebabkan karena menghormati aturan tersebut
tetapi lebih disebabkan keseganan pada atasannya.
Pegawai merasa tidak enak jika tidak mentaati
peraturan. Penghormatan dan penghargaan pegawai
pada pemimpin dapat disebabkan karena kualitas
kepribadian yang baik atau mempunyai kualitas
professional yang tinggi di bidanya. Jika pusat
identifikasi ini tidak ada maka disiplin kerja akan
menurun, pelanggaran meningkat frekuensinya.
- Disiplin kerja internalisasi
Disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi karena
pegawai mempunyai system nilai pribadi yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan. Dalam
taraf ini, orang dikategorikan telah mempunyai
disiplin diri. Misalnya walau dalam situasi yang sepi
di tengah malam hari ketika ada lampu merah, si
sopir tetap berhenti.
b. Faktor Lingkungan
Disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu
saja tetapi merupakan suatu proses belajar yang terus-
menerus. Proses pembelajaran agar dapat efektif maka
52
pemimpin yang merupakan agen pengubah perlu
memperhatikan konsisten, adil bersikap positif dan
terbuka.
Makna konsisten adalah memperlakukan aturan
secara konsisten dari waktu ke waktu. Sekali aturan
yang telah disepakati dilanggar, maka rusaklah system
aturan tersebut. Adil dalam hal ini adalah mem-
perlakukan seluruh pegawai dengan tidak membeda-
bedakan. Bersikap positif dalam hal ini adalah setiap
pelanggaran yang dibuat seharusnya dicari fakta dan
dibuktikan terlebih dulu. Selama fakta dan bukti belum
bersikap positif diharapkan pemimppin dapat meng-
ambil tindakan secara tenang, sadar dan tidak
emosional. Upaya menanamkan disiplin pada dasarnya
menanamkan nilai-nilai. Oleh karenanya, komunikasi
terbuka adalah kuncinya. Dalam hal ini transparansi
mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
termasuk di dalamnya sanksi dan hadiah apabila
pegawai memerlukan konsultasi terutama bila aturan-
aturan dirasakan tidak memuaskan pegawai. Selain
faktor kepemimpinan, gaji, kesejahteraan, dan system
penghargaan yang lainnya merupakan faktor yang tidak
boleh dilupakan.
Disiplin kerja selain dipengaruhi factor
lingkungan kerja (bagaimana budaya disiplin dalam
organisasi tersebut) juga dipengaruhi oleh faktor kepri-
badian, maka ketidakhadiran salah satu faktor yang
akan menyebabkan pelanggaran aturan. Jika salah satu
pegawai melanggar maka perlu dilakukan upaya-upaya
53
tindakan pendisiplinan agar prinsip-prinsip sosialisasi
disiplin seperti adil dapat dipertahankan.
Berdasarkan berbagai pengalaman dan peng-
amatan di organisasi, pelanggaran terhadap aturan-
aturan terjadi sepanjang masa adalah fenomena yang
tidak dapat dipungkiri. Peraturan yang dibuat agar
dapat berfungsi secara efesien dan efektif perlu
ditegakkan dengan cara melakukan tindakan-tindakan
dalam upaya pendisiplinan pegawai. Tindakan pen-
disiplinan dilakukan dalam rangka pembinaan dan
bukannya penghukuman.
Tindakan pendisiplinan dapat dilaksanakan
dengan menggunakan prinsip dari progressive discipline.
Prinsipnya adalah (a) hukuman untuk pelanggaran
pertama lebih ringan daripada pengulangan pelang-
garan, (b) hukuman untuk pelanggaran kecil lebih
ringan daripada pelanggaran berat. Adapun cara-cara
yang dapat diterapkan melalui konseling (diskusi
informal), teguran lisan, teguran tertulis, skorsing dan
pemberhentian kerja (Helmi, 1996)
54
C. Prestasi Kerja
1. Pengertian
Istilah prestasi kerja mengandung berbagai
pengertian. Prabowo (2005) mengemukakan bahwa prestasi
lebih merupakan tingkat keberhasilan yang dicapai sese-
orang untuk mengetahui sejauh mana seseorang mencapai
prestasi yang diukur atau dinilai. Suryabrata (1984)
menyatakan bahwa prestasi adalah juga suatu hasil yang
dicapai seseorang setelah ia melakukan suatu kegiatan.
Dalam dunia kerja, prestasi kerja disebut sebagai work
performance (Prabowo, 2005).
Definisi prestasi kerja menurut Lawler (dalam As’ad,
1991) adalah suatu hasil yang dicapai oleh karyawan dalam
mengerjakan tugas atau pekerjaannya secara efisien dan
efektif. Lawler & Porter (dalam As’ad, 1991) menyatakan
bahwa prestasi kerja adalah kesuksesan kerja yang
diperoleh seseorang dari perbuatan atau hasil yang
bersangkutan. Dalam lingkup yang lebih luas, Jewell &
Siegall (1990) menyatakan bahwa prestasi merupakan hasil
sejauh mana anggota organisasi telah melakukan pekerjaan
dalam rangka memuaskan organisasinya.
Definisi prestasi kerja menurut Hasibuan (1990)
adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya
yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguh-
an, serta waktu.
Prestasi kerja adalah tingkat produksi atau prestasi
yang dicapai pekerja yang memenuhi syarat dengan cara
yang wajar dalam keadaan yang normal (Komaruddin, 2003:
46). Sedangkan dalam kamus Manajemen "Prestasi (karya
55
memuaskan) adalah tingkat prestasi yang menyamai atau
melebihi standar yang digariskan (Satisfactory performance)"
(Musanef, 2000 : 207).
Prestasi dalam pengertian ini dipersempit yaitu hasil
yang dicapai oleh seseorang tersebut telah melebihi standar
yang telah ditentukan. Prestasi kerja adalah "hasil kerja yang
dicapai oleh seorang tenaga kerja dalam melaksanakan
tugas dan pekerjaan yang dibebankan kepadanya"
(Musanef, 2000 : 207).
“Prestasi kerja adalah sesuatu yang dikerjakan atau
produk atau jasa yang dihasilkan seorang atau sekelompok
orang” (Agus Dharma, 2005 : 142). Hasil kerja yang di-
lakukan oleh pegawai tidak hanya dilakukan atau di-
kerjakan oleh seseorang tapi juga oleh sekelompok orang.
Pendapat lain mengemukakan “Prestasi kerja
merupakan hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai
dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya”
(Depdikbud, 2000 : 70). Pelaksanaan tugas dibebankan
kepada pegawai melibatkan kecakapan, pengalaman dan
kesungguhannya.
“Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang
dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan,
pengalaman dan kesanggupan serta waktu” (Malayu SP.
Hasibuan, 2000 : 145).
Setiap pegawai menginginkan hasil kerjanya men-
dapat penghargaan dari orang lain. Semakin tinggi prestasi
kerja, maka pegawai tersebut akan mempunyai keyakinan
pada dirinya bahwa dirinya mampu melakukan pekerjaan
dengan baik.
56
“Prestasi kerja seorang pegawai pada dasarnya
adalah hasil kerja seorang pegawai selama periode tertentu
dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya
standar, target atau sasaran serta kriteria yang telah
ditetapkan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama”
(John Suprihanto, 1998 : 336).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa,
prestasi kerja adalah hasil yang dicapai oleh seorang
pegawai sebagai aktualisasi dari kemampuan sehubungan
dengan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya dalam rangka ikut menopang pencapaian tujuan
organisasi.
57
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa,
prestasi kerja adalah hasil yang dicapai oleh seorang
pegawai sebagai aktualisasi dari kemampuan sehubungan
dengan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya dalam rangka ikut menopang pencapaian tujuan
organisasi.
“Prestasi kerja adalah sesuatu yang dikerjakan atau
produk atau jasa yang dihasilkan seorang atau sekelompok
orang” (Agus Dharma, 2005:142). Hasil kerja yang dilakukan
oleh pegawai tidak hanya dilakukan atau dikerjakan oleh
seseorang tapi juga oleh sekelompok orang. Pendapat lain
mengemukakan “Prestasi kerja merupakan hasil kerja yang
dicapai oleh seorang guru dalam melaksanakan tugas yang
dibebankan kepadanya” (Depdikbud, 2000:700).
Pelaksanaan tugas dibebankan kepada pegawai
melibatkan kecakapan, pengalaman dan kesungguhannya.
“Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman
dan kesanggupan serta waktu” (Hasibuan, 2000:145).
Setiap pegawai menginginkan hasil kerjanya men-
dapat penghargaan dari orang lain. Semakin tinggi prestasi
kerja, maka pegawai tersebut akan mempunyai keyakinan
pada dirinya bahwa dirinya mampu melakukan pekerjaan
dengan baik.
“Prestasi kerja seorang pegawai pada dasarnya
adalah hasil kerja pegawai selama periode tertentu di-
bandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya
standar, target atau sasaran serta kriteria yang telah
ditetapkan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama”
(Suprihanto, 2008:336).
58
Jadi jelaslah bahwa prestasi kerja tidak ditentukan
oleh hasil pelaksanaan kerja semata-mata, tetapi lebih
ditekankan pada hasil pelaksanaan kerja selama periode
tertentu yang disesuaikan dengan standar dan sasaran yang
telah ditentukan.
Keberadaan prestasi kerja sangat penting bagi suatu
organisasi pemerintah maupun swasta. Akan tetapi yang
dimaksud disini adalah prestasi yang dapat memberikan
pengaruh dan menunjang terhadap pencapaian tujuan
dalam organisasi tersebut. Untuk mengetahui prestasi yang
berpotensi perlu diadakan pengukuran atau penilaian
prestasi secara jujur dan obyektif. Jadi jelaslah bahwa
prestasi kerja tidak ditentukan oleh hasil pelaksanaan kerja
semata-mata, tetapi lebih ditekankan pada hasil pelaksanaan
kerja selama periode tertentu yang disesuaikan dengan
standar dan sasaran yang telah ditentukan.
Prestasi suatu organisasi tidak lepas dari prestasi
setiap pegawai yang ada, karena mereka merupakan sumber
daya yang tinggi nilainya. Untuk itu setiap organisasi harus
mengadakan evaluasi atau penilaian terhadap prestasi kerja
yang dicapai oleh pegawainya secara periodik.
Penilaian prestasi kerja merupakan suatu pedoman
dalam bidang personalia yang diharapkan dapat menunjuk-
kan prestasi kerja para pegawai secara rutin dan teratur
sehingga sangat bermanfaat bagi pengembangan karier
pegawai yang dinilai maupun organisasi secara ke-
seluruhan.
Kegiatan ini dapat diperbaiki dengan keputusan-
keputusan pemimpin dan memberikan umpan balik kepada
para pegawai tentang pelaksanaan kerja mereka. Apabila
59
penilaian prestasi kerja dilaksanakan dengan obyektif dan
benar, akan memberikan peningkatan motivasi kerja dan
loyalitas serta dedikasi pegawai terhadap organisasi, yang
pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi kerja pegawai.
Penilaian prestasi kerja pegawai pada dasarnya
merupakan "penilaian yang sistematik terhadap penampilan
kerja pegawai itu sendiri dan terhadap potensi pegawai
dalam upaya mengembangkan diri untuk kepentingan
organisasi" (Susilo Martoyo, 2002:84).
Dengan penilaian prestasi kerja secara jujur dan
obyektif, maka suatu organisasi dapat menaksir kualitas
pekerjaan pegawainya sebagai bahan untuk pengembangan
sistem kepegawaian yang pada akhirnya dapat menjadi
bahan pengembangan organisasi. Dengan kata lain IG
Wursanto mengemukakan bahwa jika penilaian prestasi
kerja dilakukan secara jujur dan obyektif, maka akan
diperoleh manfaat sebagai berikut:
Manfaat bagi pegawai:
1. Penilaian pegawai menciptakan iklim kehidupan lem-
baga, yang dapat menjamin kepastian hukum bagi
pegawai.
2. Penilaian pegawai memberikan dorongan kepada pe-
gawai untuk lebih giat dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaan.
3. Penilaian pegawai melatih pegawai untuk selalu
berdisiplin dalam segala hal.
60
Manfaat penilaian prestasi kerja untuk pegawai bagi
instansi atau organisasi pemerintah maupun swasta:
1. Dapat mengetahui kelemahan-kelemahan yang di-alami
oleh setiap pegawai sehingga pembinaan pegawai dapat
lebih dikembangkan dan diperhatikan.
2. Hasil penilaian dapat dipergunakan sebagian dasar
untuk menempatkan pegawai sesuai dengan bidang
tugasnya.
3. Penilaian pegawai memudahkan dalam menentukan
apakah suatu latihan dibutuhkan untuk mengembang-
kan keterampilan (IG Wursanto, 1999 : 88).
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa tujuan
penilaian prestasi kerja antara lain untuk:
a. Mengidentifikasi para pegawai mana yang membutuh-
kan pendidikan dan latihan.
b. Menetapkan kenaikan gaji ataupun upah pegawai.
c. Menetapkan kemungkinan untuk memindahkan
pegawai ke penugasan baru.
d. Menetapkan kebijaksanaan baru dalam rangka re-
organisasi.
e. Mengidentifikasi para pegawai yang akan dipromosikan
ke jabatan yang lebih tinggi, dan sebagainya (Susilo
Martoyo, 2002 : 87).
Sesuai dengan pengertian prestasi kerja yang menitik-
beratkan pada kemampuan dan tanggung jawab seorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya serta tujuan dari
penilaian pekerjaan.
61
Adapun unsur-unsur yang dinilai dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai pegawai tertuang dalam sebuah bentuk
penilaian standar. Beberapa kriteria penilaian pelaksanaan
pekerjaan bagi seorang pegawai : prestasi, tanggung jawab,
ketaatan, kerjasama, prakarsa/inisiatif, kecermatan, ke-
mampuan manajemen (Susilo Martoyo, 2002 : 90).
Berdasarkan pada pernyataan yang mengatakan
bahwa sangat penting apabila obyek penilaian pegawai itu
mencakup dua hal pokok, yaitu hasil pekerjaan (prestasi
kerja) dan sifat-sifat pribadi. Ini berarti mencakup ke-
mampuan dan watak pribadi. Karena pada dasarnya, baik
tidaknya seseorang menggunakan kemampuan dan ilmunya
sangat tergantung dari bagaimana watak seseorang atau
bagaimana upaya pengendalian dirinya.
Zeitz (dalam Baron & Byrne, 1994) mengatakan
bahwa prestasi kerja dipengaruhi oleh dua hal utama, yaitu
faktor organisasional (perusahaan) dan faktor personal.
Faktor organisasional meliputi sistem imbal jasa, kualitas
pengawasan, beban kerja, nilai dan minat, serta kondisi fisik
dari lingkungan kerja. Diantara berbagai faktor organi-
sasional tersebut, faktor yang paling penting adalah faktor
sistem imbal jasa, dimana faktor tersebut akan diberikan
dalam bentuk gaji, bonus, ataupun promosi. Selain itu,
faktor organisasional kedua yang juga penting adalah
kualitas pengawasan (supervision quality), dimana seorang
bawahan dapat memperoleh kepuasan kerja jika atasannya
lebih kompeten dibandingkan dirinya. Sementara faktor
personal meliputi ciri sifat kepribadian (personality trait),
senioritas, masa kerja, kemampuan ataupun keterampilan
yang berkaitan dengan bidang pekerjaan dan kepuasan
62
hidup. Untuk faktor personal, faktor yang juga penting
dalam mempengaruhi prestasi kerja adalah faktor status dan
masa kerja. Pada umumnya, orang yang telah memiliki
status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya telah menun-
jukkan prestasi kerja yang baik. Status pekerjaan tersebut
dapat memberikannya kesempatan untuk memperoleh
masa kerja yang lebih baik, sehingga kesempatannya untuk
semakin menunjukkan prestasi kerja juga semakin besar.
Blumberg & Pringle (dalam Jewell & Siegall, 1990)
juga menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang me-
nentukan prestasi kerja seseorang, yaitu kesempatan,
kapasitas, dan kemauan untuk melakukan prestasi.
Kapasitas terdiri dari usia, kesehatan, keterampilan,
inteligensi, keterampilan motorik, tingkat pendidikan, daya
tahan, stamina, dan tingkat energi. Kemauan terdiri dari
motivasi, kepuasan kerja, status pekerjaan, kecemasan,
legitimasi, partisipasi, sikap, persepsi atas karakteristik
tugas, keterlibatan kerja, keterlibatan ego, citra diri,
kepribadian, norma, nilai, persepsi atas ekspektasi peran,
dan rasa keadilan. Sedangkan kesempatan meliputi alat,
material, pasokan, kondisi kerja, tindakan rekan kerja,
perilaku pimpinan, mentorisme, kebijakan, peraturan, pro-
sedur organisasi, informasi, waktu, serta gaji.
Hal utama yang dituntut oleh perusahaan dari
karyawannya adalah prestasi kerja mereka yang sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Prestasi kerja karyawan akan membawa dampak bagi
karyawan yang bersangkutan maupun perusahaan tempat
ia bekerja. Prestasi kerja yang tinggi akan meningkatkan
produktivitas perusahaan, menurunkan tingkat keluar
63
masuk karyawan (turn over), serta memantapkan
manajemen perusahaan. Sebaliknya, prestasi kerja karyawan
yang rendah dapat menurunkan tingkat kualitas dan
produktivitas kerja, meningkatkan tingkat keluar masuk
karyawan, yang pada akhirnya akan berdampak pada
penurunan pendapatan perusahaan.
Bagi karyawan, tingkat prestasi kerja yang tinggi
dapat memberikan keuntungan tersendiri, seperti mening-
katkan gaji, memperluas kesempatan untuk dipromosikan,
menurunnya kemungkinan untuk didemosikan, serta
membuat ia semakin ahli dan berpengalaman dalam bidang
pekerjaannya. Sebaliknya, tingkat prestasi kerja karyawan
yang rendah menunjukkan bahwa karyawan tersebut
sebenarnya tidak kompeten dalam pekerjaannya, akibatnya
ia sukar untuk dipromosikan ke jenjang pekerjaan yang
tingkatannya lebih tinggi, memperbesar kemungkinan
untuk didemosikan, dan pada akhirnya dapat juga me-
nyebabkan karyawan tersebut mengalami pemutusan
hubungan kerja.
Menurut Griffin dan Ebert (1996) salah satu cara
mengevaluasi adalah membandingkan kinerja agen yang
satu dengan agen yang lain. Kelemahan dari cara ini adalah
ketika tidak ada variasi penjualan diantara agen. Manajer
hanya memperhatikan seberapa besar kontribusi yang
diberikan agen terhadap perusahaan. Evaluasi cara yang
kedua adalah membandingkan performansi agen saat ini
dengan performansi agen sebelumnya.
Masih menurut Griffin dan Ebert (1996) evaluasi
performansi untuk menentukan prestasi yang resmi
mempunyai tiga keuntungan:
64
1. Manajer dapat mengembangkan dan mengkomunikasi-
kan standar yang jelas untuk menilai performansi agen
asuransi.
2. Manajer dapat mengumpulkan informasi yang kompre-
hensif mengenai setiap agen.
3. Agen tahu mereka harus duduk setiap pagi dengan
manajer cabang dan menjelaskan performansi mereka
ataupun kegagalannya untuk mencapai suatu goal.
Asnawi (1999) mengemukakan bahwa di dalam
proses penilaian prestasi kerja, terdapat berbagai macam
teknik penilaian yang dapat digunakan, baik yang objektif
maupun yang subjektif.
Penilaian yang objektif akan mendasarkan pada data
yang masuk secara otentik, baik yang menyangkut perilaku
kerja, kepribadian, maupun data mengenai produksi.
Sedangkan penilaian yang subjektif sangat tergantung pada
judgment pihak penilai. Oleh karena itu, terutama untuk
hasil penilaian yang subjektif, hasil tersebut perlu untuk
dianalisis dengan lebih teliti, sebab ia dapat berakhir dengan
relatif ataupun absolut. Hal ini harus diperhatikan
menimbang banyaknya penyimpangan perilaku (behavioral
barriers), baik yang bersifat penyimpangan interpersonal
maupun penyimpangan politis.
Subjek penilai dapat merupakan atasan langsung,
nasabah, rekan kerja, bawahan, diri sendiri, ataupun majelis
penilai. Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh
Dessler (1988) bahwa subjek penilai adalah pejabat khusus,
komite khusus, ataupun dirinya sendiri.
Sedikit berbeda dari beberapa teknik penilaian
prestasi kerja seperti yang telah dikemukakan di atas,
65
terdapat suatu teknik penilaian yang dikemukakan oleh
Schultz (dalam Asnawi, 1999) yang membedakan teknik
penilaian yang diterapkan untuk tenaga kerja yang
melaksanakan fungsi produksi dengan tenaga kerja yang
tidak melaksanakan fungsi produksi. Bagi tenaga kerja yang
melaksanakan fungsi produksi, teknik penilaiannya akan
berorientasi pada jumlah produksi, kualitas produksi, ada
tidaknya atau jumlah kecelakaan kerja, tingkat penghasilan
atau upah, absensi, dan peranan interaksi dalam kerja sama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prestasi
kerja pegawai merupakan hasil yang dicapai oleh seorang
pegawai yang bekerja sebagai aktualisasi dari kemam-
puannya dalam hubungannya dengan pekerjaan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
66
direncanakan (Martoyo, 2002: 28). Untuk itu seorang atasan
perlu mempunyai ukuran prestasi kerja para karyawan
supaya tidak timbul suatu masalah.
Informasi tentang prestasi kerja karyawan juga
diperlukan pula bila suatu saat atasan ingin mengubah
sistem yang ada. Kita sering terjebak untuk menilai seorang
karyawan berprestasi kerja buruk, padahal sistem atau
peralatan yang digunakanlah yang tidak memenuhi syarat.
Agar karyawan dapat bekerja sesuai yang diharapkan, maka
dalam diri seorang karyawan harus ditumbuhkan motivasi
bekerja untuk meraih segala sesuatu yang diinginkan.
Apabila semangat kerja menjadi tinggi maka semua
pekerjaan yang dibebankan kepadanya akan lebih cepat dan
tepat selesai.
Pekerjaan yang dengan cepat dan tepat selesai adalah
merupakan suatu prestasi kerja karyawan yang baik. Faktor-
faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah motivasi,
kepuasan kerja, tingkat stres, kondisi fisik pekerjaan, sistem
kompensasi dan desain pekerjaan.
Menurut Handoko (2001: 135) motivasi adalah suatu
daya pedorong yang menyebabkan orang berbuat sesuatu
atau yang diperbuat karena takut akan sesuatu. Adapun
Handoko (2001: 193) mendefinisikan kepuasan kerja adalah
keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan dimana para karyawan memandang
pekerjaan mereka. Selanjutnya Handoko memberikan
pengertian stres adalah kondisi ketegangan yang mem-
pengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang.
Kondisi fisik pekerjaan adalah situasi yang terdapat
dilingkungan kerja karyawan. Kompensasi adalah segala
67
sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa
untuk kerja mereka. Desain pekerjaan adalah variasi dari
suatu pekerjaan bagi seorang karyawan.
68
CATATAN AKHIR
69
kerja dan disiplin kerja harus diperhatikan juga demi
meningkatnya produktivitas pegawai.
Motivasi kerja berpengaruh secara positif dan tidak
signifikan terhadap kinerja pegawai artinya semakin tinggi
motivasi kerja yang diberikan, maka kinerja pegawai juga
akan cenderung menurun. Sebaliknya, semakin rendah
motivasi yang diberikan, maka akan semakin rendah juga
kinerja pegawai.
Disiplin Kerja berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja pegawai yang berarti semakin tinggi
disiplin kerja, maka semakin tinggi pula kinerja pegawai.
Sebaliknya, semakin rendah disiplin kerja pegawai, maka
akan semakin rendah pula kinerjanya.
Disiplin kerja dalam hal ini berupa tindakan
manajemen untuk mendorong agar para anggota organisasi
dapat memenuhi berbagai ketentuan dan peraturan yang
berlaku dalam organisasi tersebut Di harapkan untuk di
kemudian hari, disiplin ini meningkat menjadi kebiasaan
berpikir baik, positif, bermakna, dan memandang jauh ke
depan. Disiplin bukan hanya soal mengikuti dan menaati
peraturan, melainkan sudah meningkat menjadi disiplin
berpikir yang mengatur dan mempengaruhi seluruh aspek
kehidupannya
Nilai-nilai disiplin kerja yang dilandasi dalam
perspektif Islam dapat dilihat dari melaksanaan pekerjaan
dengan niat ibadah pegawai sudah bisa melaksanakan
sholat tepat pada waktunya, sehingga pegawai sudah
menerapkan ajaran Islam. Hal tersebut akan mempengaruhi
perilaku pegawai dalam bekerja dimana pegawai didalam
bekerja berlandaskan niat beribadah serta berpedoman pada
70
ajaran Islam dan akan mengaplikasikannya dalam perilaku
kerja sehari-hari seperti perilaku disiplin dalam bekerja dan
bertanggungjawab atas pekerjaannya.
Dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat 103 juga
menjelaskan bahwa selalu ingatlah dengan Allah pada saat
apapun agar kamu mengetahui kewajiban-kewajiban yang
harus kamu penuhi. Tanggungjawab terhadap pekerjaan.
ودا او اعلا ىى ُجنُوبِ ُك ْم ۚ فاِإ اذا ِ َّ الص اًل اة فااذْ ُكروا
اَّللا قيا ااما اوقُعُ ا ُ َّ ضْي تُ ُمفاِإ اذا قا ا
ّي كِتا ااِبِِ َّ الص اًل اة ۚ إِ َّن ِ
ت اعلاى الْ ُم ْؤمن ا ْ الص اًل اة اكانا َّ يموا ُ اطْ امأْناْن تُ ْم فاأاق
وت
ام ْوقُ ا
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan
shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu
duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila
kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman” (QS. An-Nisa: 103)
71
serta karyawan sudah mampu menyelesaikan amanah atau
perintah tersebut dengan baik dan tepat waktu.
Kepedulian, berupa sikap empati dan saling
menghormati. Karyawan sudah memiliki sikap empati dan
saling menghormati, ketika bekerja subjek melaksanakan
dengan hati yang ikhlas dan merasakan segala yang ada
didalam lingkungan kerja sehingga karyawan menganggap
tempat bekerja adalah rumah kedua serta semua karyawan
yang ada didalamnya adalah satu keluarga. Sikap tersebut
akan mendorong karyawan perilaku disiplin dalam
organisasi.
Perlu upaya program kebijakan yang dapat
meningkatkan prestasi kerja pegawai. Upaya yang dapat di-
lakukan salah satunya adalah dengan cara meningkatkan
motivasi kerja pegawai agar mampu mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya.
Motivasi ini juga berperan dalam meningkatkan
prestasi kerja pegawai, sehingga apabila seorang
pegawai sudah termotivasi dengan baik tentunya mereka
akan bekerja dengan sebaik mungkin dalam menyelesaikan
setiap pekerjaan yang diberikan.
Perusahaan juga harus memberikan berbagai
pelatihan-pelatihan dan pendidikan yang dapat menunjang
kompetensi dan profesinya dengan baik sebagai pegawai ,
serta meningkatkan gaji atau upah sesuai dengan kerja yang
mereka lakukan. Dengan meningkatnya kemampuan
seorang pegawai tentunya juga akan meningkatkan prestasi
kerjanya
72
DAFTAR REFERENSI
73
Dharma, Agus. 2005. Manajemen Prestasi Kerja. Jakarta:
Rajawali.
Fauzi, Ahmad. 1999. Psikologi Umum, Bandung, Pustaka
Setia
Feinberg, M.R. 1992. Effective psychology for managers.
Englewood Cliff, New Jersey : Prentice-Hall
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnely, J.M. 1985.
Organizations behavior, structure, processes. Plano :
Business Publication.
Greenberg, Jerald. 2006. Managing Behavior in Organizations:
Science in Service to Practice. Upper Saddle River,
N.J: Prentice-Hall.
Grivin, R.W. & Ebert, R.J. 1996. Business. Englewood Cliff,
New Jersey : Prentice Hall, Inc.
Hasibuan, M.S.P. 1990. Manajemen sumber daya manusia: dasar
kunci keberhasilan. Jakarta: CV Haji Mas Agung.
Helmi, Avin Fadilla, Disiplin Kerja, Buletin Psikologi, Tahun
IV, Nomor 2, Desember 1996, Edisi khusus Ulang
Tahun XXXII ISSN : 0854-7108 32
Helmi, Avin Fadilla. 1999. Disiplin Kerja. Bulletin Psikologi
Tahun IV Nomor 2. Desember 1996.
Jasin, A. 1989. Peningkatan Pembinaan Disiplin Nasional dalam
Sistem dan Pola Pendidikan Nasional. Dalam Analisis
CSIS No. 4 Tahun XVII, Juli-Agustus 1989. Jakarta :
CSIS
Jewell & Siegall, M. 1990. Psikologi industri/organisasi modern.
Jakarta: Penerbit Arcan.
74
Komara, Endang. 2009.Disiplin Dalam Perspefktif Islam.
endangkomarablog. blogspot.com. diakses 18
Pebruari 2011.
Manzur, Ibn. 1968. Lisan al-‘Arab. Mesir: Dar al-Misriyah li
at-Ta’lif wa at-Tarjamah
Moenir, A.S. 2001. Pendekatan Manusia dan Organisasi
terhadap Pembinaan Kepegawaian. Jakarta: Gunung
Agung.
Mujib, Abdul. 2006. Pengantar Pendidikan Islam. Jakarta,
Rencana Prenada Media Group
Musanef. 2002. Manajemen Kepegawaian di Indonesia. Jakarta:
Gunung Agung.
Najati, Muhammad Utsman. 2002. Jiwa dalam Pandangan Para
Filsafat Muslim, terj. Gari Saloom, S.Psi, Bandung
Nata, Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya
Media Pratama
Program Pasca Sarjana STAIN Cirebon. 2006. Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah.
Rajab, Mansur Ali. 1961. Ta’am Mulat Fi Falsafah al Akhlaq,
Mesir, Maktabah al Anjalu al Mishroyah
Robbins, S.P. 1983. Organizational behavior: concept,
controversion & application (Edisi ke-5). San Diego:
Prentice Hall International, Inc.
Robbins, S.P. 2003. Organizational behavior. New Jersey:
Prentice Hall.
75
Werther, W.B. & Davis, K. (1993). Human resource and
personnel management. New York: McGraw-Hill, Co.
Siswanto, Bedjo. 2002. Manajemen Tenaga Kerja, Rancangan
dalam Pendayagunaan dan Pengembangan unsur
Tenaga Kerja. Bandung: Sinar Baru.
Steers, Richard M. and Lyman W. Porter. 2001. Motivation
and Work Behavior. New York : McGraw-Hill.
Suprihatiningrum, Hesti. Faktor–Faktor Yang Mem-
pengaruhi Prestasi Kerja (Studi Pada Karyawan
Kantor Kementrian Agama Provinsi Jawa Tengah),
The Factors Influence Employees Achievement at
Religion Ministry of Central Java Province, Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Manggala Jalan
Sriwijaya No. 32 & 36 Semarang 50242
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Pendidikan Islam ; Integrasi
Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia.
Bandung, Remaja Rosdakarya
Worchel, Stephen & Wayne Shebilske. 2005. Psychology :
Principle and Applications. Englewood Cliffs, N.J :
Prentice-Hall
www.mediamuslim//pribadimuslim.co diunduh tanggal 27
Mei 2011.
____________, 2007. Syaamil Al-Qur’an, Al Qur’an Terjemah
Per-kata, Depag RI.
76
77
78