Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

“TASAWUF AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah ASWAJA

Dosen Pengampu :

Ahmad Izza Muttaqin., M.Pd.I

Disusun oleh kelompok 6 :

1. Desi Fitri Astutik NIM:2019390100918


2. Etika Candra Dewi NIM:2019390101018
3. Moh. Bagus Setiawan NIM:2019390100941
4. Muhimatul Hilaliyah NIM:2019390100948

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM IBRAHIMY GENTENG

BANYUWANGI

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur pertama kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat dan nikmat-Nya kami diberikan kesempatan untuk dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa pula sholawat dan salam
kami curahkan kepada Rasulullah SAW semoga kita selalu dalam lindungan
beliau.

Makalah yang berjudul tentang Tasawuf Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini
disusun untuk melengkapi tugas kelompok mata kuliah Pembelajaran
ASWAJA.Penulisan makalah ini dimungkinkan oleh adanya bantuan dan
bimbingan dari berbagi pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
atas bantuan dan bimbingan kepada:

1. Dosen pembimbing mata kuliah Aswaja Pak Ahmad Izza Muttaqin.,


M.Pd.I
2. Teman-teman yang sudah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak


kekurangan karena masih dalam proses belajar. Oleh karena itu, kami dengan
terbuka dan senang hati akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini menjadi lebih baik. Kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.

Akhir kata kami sampaikan terima kasih dan kurang lebihnya mohon maaf,
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Genteng, 22 Desember 2019


Tim Penyusun

KELOMPOK 6

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ...........................................................................................1

Kata Pengantar ..........................................................................................2

Daftar Isi ...................................................................................................3

BAB 1 (PENDAHULUAN)

A. Latar Belakang ..............................................................................4


B. Rumusan Masalah .........................................................................5
C. Tujuan ...........................................................................................5

BAB II (PEMBAHASAN)

A. Pengertian Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah)..........6


B. Sejarah Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)..............11
C. Tokoh-tokoh Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah).....13

BAB III (PENUTUP)

A. Kesimpulan..................................................................................22
B. Saran.............................................................................................22

Daftar Rujukan.........................................................................................23

Biodata Kelompok...................................................................................24

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tasawuf sebagai disiplin ilmu sangat berkaitan dengan berbagai ilmu-
ilmu yang berkembang dewasa ini.Karenanya kajian, galian dan
pengembangan penting dan signifikan sekali untuk mewujudakn wawasan
baru serta jernih sehingga menjadi aktual dan tidak jenuh apalagi monoton,
bahkan membosankan akibatnya tidak menarik.Padahal Islam lebih dikenal
dan maju tidak lepas dengan peran tasawuf yang telah diaplikasi ulama salaf
dalam mengejawantahkan nilai-nilai ajaran Islam yang diterima oleh Rasul
berikut sahabatnya yang gigih menyebarkannya sampai pada titik
kulminasi.Kalau diukur dengan mereka kita sangat jauh serta tidak ada apa-
apanya dalam kontribusi terhadap Islam sebagai agama yang kita yakini
ini.Pada dasarnya orang beragama tidak dapat langsung menjadi purna dan
tuntas melainkan melalui beberapa tahapan.Yang demikian ini berjalan cepat
serta lambat diukur dari bobot keimanan yang terpatri di hati yang
bersangkutan. Apabila Nabi telah menyatakan Al-Imanu Yazidu Wa Yanqush
(Bobot keimanan bisa menjadi tambah baik, juga bisa berkurang). Hal ini pasti
terjadi sebab keberadaan manusia plus-minus diantara positif dan negatif
tentunya wajib mampu untuk mengendalikan semaksimal mungkin agar dapat
dipertahankan di hadapan Yang Maha Kuasa pada akhir hayat nanti
sebagaimana mestinya. (Mustain, 2015)
Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi.Pada tiap fase
dan kondisi yang dilewatinya terkandung sebagian aspek-aspek saja.Meskipun
begitu, dalam hal ini ada satu asas tasawuf yang tidak diperselisihkan yaitu
bahwa tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Mengenai
aspek moral, dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang mendorong asketisme,
kesabaran, berserah diri pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup sederhana, dan
segala hal yang diniscayakan pada setiap muslim sebagai kesempurnaan iman.
Al-Quran sendiri menyatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah suri teladan yang
terbaik bagi orang yang hendak menyempurnakan diri dengan keutamaan-

4
keutamaan tersebut dalam bentuknya yang paling luhur (al-Taftazani, 2003,
hal. 10-11). Perkembangan pemikiran filsafat ikut memberi andil cukup besar
untuk hidupnya pemikiran tasawuf dalam dunia muslim. Para ulama tasawuf
akhirnya dapat menyuguhkan konsep religio-moral yang disebut maqamat
(stasiun-stasiun) yang bersifat psikognostik yang harus dilewati oleh para sufi
(Nasution & Siregar, 2013, hal. 7-8).

Tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung pada
sudut pandang yang digunakannya masing-masing.Selama ini ada tiga sudut
pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf yaitu sudut
pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang
harus berjuang dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat dari
sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawuf dapat
didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan
pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah swt
(Nasution & Siregar,2013, hal. 13).

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada makalah
ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)?
2. Bagaimana Sejarah Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)?
3. Siapa saja Tokoh-tokoh Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah)?

B. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah ini
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Pengertian Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah).
2. Untuk mengetahui Sejarah TasawufAswaja (Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah).

5
3. Untuk mengetahui Tokoh-tokoh TasawufAswaja (Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah).

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)


Tasawuf adalah pengalaman spiritual yang tidak mampu
dipahamihanya dengan menggunakan analisis logika formal, diperlukan
adanya pendekatan fenomenologi yang ingin memahami perilaku manusia dari
kerangka berpikir pelaku itu sendiri-sendiri. Bagaimana dunia ini dialami oleh
sufi. Realitas yang penting adalah bagaimana imajinasi sufi terhadap dunianya
itu. Hal ini diakui oleh At-Taftazani, yang mengatakan bahwa untuk
memberikan pengertian tentang apa sebenarnya tasawuf itu, mestilah orang
harus mengaitkannya dengan fasefase yang dilewati tasawuf itu sendiri.
Annemarie Schimmel juga mempunyai pendapat yang hampir sama dengan
pendapat di atas, dengan mengatakan bahwa gejala yang disebut tasawuf, itu
sangat luas clan wujudnya pun sangat beda, yang karena itu dia berani
memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang berani mencoba
menggambarkannya secara utuh. Inilah yang kemudian memunculkan
perbedaan persepsi di kalangan sufi dalam memberikan pengertian clan
batasan tentang tasawuf. (NI’AM & Ag, 2014)
Hakikatnya tasawuf adalah.pengalaman individual, dan hal ini juga
disebabkankarena adanya persinggungan sosio-kultur di mana individu itu
hidup dan tinggal, sehingga memunculkan istilah-istilah, yang di kemudian
membawa konsekuensi yang bermacam-macam. Keadaan demikian yang
selanjutnya membawa pada munculnya pengertian tasawuf yang berbeda-beda
di kalangan para sufi.
1. Menurut Bahasa
Secara lughawi etimologis (kebahasaan)-sebagian ada yang berpendapat
kata:
 tasawufatau sufi diambil dari kata shaff, yang berarti saf atau baris.
Dikatakan demikian, karena sufi selalu berada pada baris pertama
dalam shalat. (NI’AM & Ag, 2014)

7
 Ada juga yang mengatakan berasal dari kata shafa yang berarti
bersih. Karena hatinya selalu dihadapkan ke hadirat Allah Swt.,
dan bentuk Jama' (plural)-nya adalah shaffi, bukan shufi.( NI’AM
& Ag, 2014)
 Ada lagi yang mengatakan, berasal dari kata shujfah atau shujfat
al-masjid, serambi masjid. Tempat ini didiami oleh para sahabat
Nabi yang tidak punya tempat tinggal. Mereka selalu berdakwah
dan berjihad demi Allah semata. Dikatakan sufi, karena senantiasa
menunjukkan perilaku sebagaimana para sahabat pada masa Nabi
Saw. tersebut. (NI’AM & Ag, 2014)
 Di samping itu, masih ada lagi yangberpendapat, bahwa kata
sufimerupakan kata jadian dari shuf, yang berarti bulu domba.
Dikatakan demikian, karena para sufi suka memakai pakaian kasar,
tidak suka pakaian halus dan bagus, yang penting bisa menutupi
dari ketelanjangan. Ini dilakukan sebagai tanda taubat dan
kehendaknya untuk meninggalkan kehidupan duniawi. (NI’AM &
Ag, 2014)
 Ada lagi yang berpendapat, kata sufiberasal dari kata
“Sophos”(bahasa Yunani) yang berarti hikmah (kebijaksanaan).
Dikatakan demikian, karena sufi selalu menekankan kebijaksanaan.
Huruf 's' pada kata “Sophos”itu ditransliterasikan ke dalam bahasa
Arab menjadi “shad”dan bukan “sin”sebagaimana tampak pada
kata “philosophi”yang ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab
menjadi “falsafah”. Dengan demikian, kata sufi, dalam bahasa
Arab seharusnya ditulis "safi" bukan "shofi" Akan tetapi, dari
semua istilah tasawuf yang dikemukakan di· atas, Al-Qusyairi
menganggap hanya merupakan laqab (sebutan). (NI’AM & Ag,
2014)
 Oleh karena dari semua asal kata tersebut tidak ada yang cocok
dari sisi analogi atau asal-usul bahasa Arab. Berbeda dengan di
atas, kata sufi juga bisa diambil dari kata “shaufana”, yaitu sejenis

8
buah-buahan (a kind of vegetable), yang berbentuk kecil dan
berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab. Derivasi kata ini
karena orang-orang sufi banyak memakai pakaian berbulu dan
mereka hidup dalam kegersangan fisik, tapi subur batinnya.
Sebagian juga mengatakan, bahwa kata “sufi”berasal dari kata
“shuffah”yang artinya pelana yang dipergunakan oleh para sahabat
Nabi Saw. yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di
samping Masjid Nabawi di Madinah. Versi lain mengatakan bahwa
“shujfah “artinya suatu kamar di samping Masjid Nabawi yang
disediakan untuk sahabat Nabi dari golongan Muhajirin yang
miskin. Penghuni“Shuffah”ini disebut “ahl as-shuffah”. Mereka
mempunyai sifat teguh dalam pendirian, takwa, warak, zuhud, dan
tekun beribadah. Hal ini antara lain tergambar dalam Al-Quran
Surah faJ-Fath (48): 29. Sementara pengambilan kata shujfah,
karena kemiripan tabiat ahli sufi dengan ahl as-shuffah.( NI’AM &
Ag, 2014)
Tasawuf adalah memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan
diri dariperhiasan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf itu adalah
bermacam-macamibadah, wirid-anlepas, berjaga di waktu malam dengan
memperbanyak shalatwirid, sehingga lemahlah unsur jasmaniah dalam diri
seseorang semakinkuatlah unsur ruhaniah atau jiwanya''.
2. Menurut Istilah
Secara istilah (terminologis) ada banyak pengertian yang
dimunculkan di sini. Abu al-Hasan asy-Syadzili (1258 M), guru spiritual
terkenal dari Afrika Utara-sebagaimana dikutip Fadhlalla Haeri-
mengartikan, tasawuf sebagai "praktik-praktik amalan clan latihan dalam
diri seseorang melalui ibadah clan penyembahan lain guna mengembalikan
diri kepada Allah Swt." Sementara Ahma:f Zarruq (1494 M) dari Maroko,
cukup luas mendefinisikan tasawuf sebagai "pengetahuan yang dapat
menata clan meluruskan hati serta membuatnya istimewa. bagi Allah,
mempergunakan pengetahuan tentang Islam, secara khusus tentang hukum

9
yang kemudian mengaitkan pengetahuan tersebut guna meningkatkan
kualitas perbuatan, serta memelihara diri dalam batasan-batasan hukum
Islam dengan harapan muncul kearifan pada dirinya''. (NI’AM & Ag,
2014)
At-Taftazani juga mencoba memberikan definisi yang hampir
mencakup seluruh unsur substansi dalam tasawuf sebagai "sebuah
pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan mengembangkan moralitas
jiwa manusia yang dapat direalisasikan melalui latihan-latihan praktis
tertentu (riyadliyyat 'amaliyyah mu'ayyanah) yang mengakibatkan
larutnya perasaan dalam hakikat transcendental (al-haqiqat al-
asma).Pendekatan yang digunakan adalah dzauq (cita-rasa) yang
menghasilkan kebahagiaan spiritual (as-sa'adat ar-ruhiyyah).Pengalaman
yang tak kuasa diekspresikan melalui bahasa biasa karena bersifat
emosional clan individual (wujdaniyyat ath-thabi' wa dzatiyah)".
Dari sini, selanjutnya akan dapat diketahui, siapakah clan atau
bagaimanakah yang benar-benar disebut sufi clan sebaliknya. Abu
Hamzah al-Baghdadi memberikan perbedaan antara sufi betulan dengan
sufi palsu dengan menunjukkan kriteria-kriterianya. Dia mengatakan:
"Tanda sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina
setelah mulia, clan dia bersembunyi setelah terkenal. Tanda seorang sufi
palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi objek
penghormatan tinggi setelah mengalami kehinaan, clan dia rnenjadi
masyhur setelah tersembunyi." (NI’AM & Ag, 2014)
Al-Junaid al-Baghdadi mengatakan, tasawuf adalah "keluar dari
budi perangaiyang tercela dan masuk kepada budi perangai yang
terpuji".Ali ibn Sahal alAshfahani menjelaskan, tasawuf adalah selalu
berharap berteman dengan Tuhan dan mengosongkan dari selain
Tuhan.Dalam kaitan ini, Abu Muhammad alJariri menjelaskan, tasawuf
adalah masuk ke dalam akhlak yang mulia dan' keluar dari semua akhlak
yang hina. (NI’AM & Ag, 2014)

10
Al-Kanani juga memberikan penjelasan, tasawuf adalah akhlak
mulia.Barangsiapa yang bertambah baik akhlaknya, bertambah pula
kejernihan hatinya. Menurut Sahl ibn Abdullah al-Tustari, tasawuf ialah
sedikit makan, tenang menuju Allah, dan menjauhi manusia. (NI’AM &
Ag, 2014)
Kemudian, menurutAbu 'Abdillah ibn Hafif, tasawuf adalah sabar
dalam menerima ketentuan Allah, clan ridha terhadap apa yang diberikan,
serta berpegang teguh pada kefakiran clan kesanggupan berkorban.
Selanjutnya, Abu Bakar asy-Syibli mengatakan, tasawuf adalah
mengikatkan diri dengan Allah dan memutuskan hubungan dengan
makhluk-Nya. (NI’AM & Ag, 2014)
Sementara Ad-Darani mengatakan, tasawuf adalahterbukanya
pengetahuan atau penglihatan mata hatinya sehingga tidak satu punyang
dilihatnya kecuali Dia Yang Satu, yakni Tuhan.Abu Husain al-
Muzainmemberikan penjelasan, bahwa tasawuf adalah bahwa engkau
bersamaAllah tanpa ada penghubung ('alaqah).Terkait dengan tarif
(pengertian) tasawuf tersebut, seorang sufi modern, K.H. Achmad Siddiq
(selanjutnya disebut Kyai Achmad) berpendapat, "tasawuf adalah
pengetahuan tentang semua bentuk tingkah laku jiwa manusia, baik yang
terpuji maupun tercela; kemudian bagaimana membersihkannya dari yang
tercela itu dan menghiasinya dengan yang terpuji, bagaimana menempuh
jalan kepada Allah dan berlari secepatnya menuju kepada Allah." (NI’AM
& Ag, 2014)
Dari beberapa definisi tasawuf di atas, dapat diketahui bahwa
tasawuf merupakan suatu upaya pendekatan diri pada Allah Swt. melalui
kesadaran murni dengan memengaruhi jiwa secara benar untuk melakukan
berbagai latihanlatihan (riyadlah), baik secara fisik maupun mental, dan
dengan melakukan berbagai ibadah sehingga aspek uluhiyah dan
ruhaniyah dapat mengungguli aspek duniawiyah danjasadiyah. Jadi di
sini, tasawuf bukanlah perpindahan dari alam fisik (kebendaan) ke alam
ruhani, yang mempunyai implikasi bahwa sufi akan meninggalkan materi.

11
Tasawuf itu merupakan suatu ijtihad dan jihad'(upaya sungguh) untuk
mengeliminasi dominasi materi dalam kehidupan. Artinya, materi masih
tetap dibutuhkan sebagai sarana mencapai tujuan hidup, mendekatkan diri
kepada Allah Swt. (NI’AM & Ag, 2014)
Di samping itu, dapat dipahami juga, bahwa pada hakikatnya
tasawuf tidak bisa dilepaskan dari dua prinsip di atas. Dengan banyak
dimunculkannya definisi tasawuf tersebut, akan dapat ditemukan
pengertian:pengertian yang saling melengkapi. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa ajaran inti dari tasawufadalah mengajarkan dan
mengajak semua umat tentang bagaimana seharusnya merientukan sikap
mental (ruhaniah) manusia dan mengangkatnya dari derajat yang paling
rendah (asfala safilin), yang condong diperbudak oleh kehendak hawa
nafsu (biologis)-nya, menuju ke arah yang lebih tinggi, yaitu ke arah
kesucian ruhani untuk mendapatkan ridha Allah Swt. sehingga
mendapatkan derajat tertinggi di hadapan Allah, yaitu ahsan taqwim.
(NI’AM & Ag, 2014)

B. Sejarah Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)


Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa periode Nabi Muhammad Saw.
Adalah periode par excellence, periode di mana Nabi telah mengalami
keberhasilan luar biasa dalam mengemban amanah allah Swt. Untuk
menyampaikan misi kenabian Nya kepada umat manusia di dunia. Khususnya
di wilayah arabiah dan sekitarnya.
Keberhasilan Nabi Saw. Tidak sampai di situ karena para khalifah yang
terkenal dengan al-khulafa’ ar-rasyidun setelahnya telah melanjutkan misi
nabi tersebut. Di bawah kepemimpinan para khalifah inilah daerah kekuasaan
politik islam dengan amat cepat meluas sehingga meliputi hamper seluruh
bagian dunia yang saat itu merupakan pusat peradaban manusia, khususnya
kawasan inti yang terbentang dari sungai nil di barat sampai amudarya(oxus)
di timur. Keberhasilan mereka sangat ditentukan oleh langkah dan
perilakunya, khususnya pada periode madinah sebagai pusat pemerintahan

12
yang senantiasa mendasarkan pada ajaran islam, inti pelajaran agama terpusat
langsung dari sumber aslinya yaitu memahami dan mengamalkan ajaran Al-
Quran dan Al-Sunnah. Hal ini telahdilaksanakan para sahabat Nabi secara
benar, konsisten dan konsekuen. Kesuksesan luar biasa yang dilakukan para
khalifah tersebut, baik di bidang militer maupun politik itu membawa berbagai
akibat yang sangat luas. Terutama kepada adanya perhatian dari para penguasa
te:rhadap kaum Muslim, yaitu yang menyangkut masalah pengaturan
masyarakat, dan secara · integral ini sangat membutuhkan aturan-aturan yang
mengatur tata cara hidup mereka menurut ajaran Islam. Maka hal pertama
yang mendapat perhatian adalah yang terkait dengan hukum.203 Akan tetapi
dalam perkembangan selanjutnya, dalam kenyataannya perhatian terhadap
hukum agama menjadi sangat dominan.Sebagai akibatnya, pemahaman
hukum agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu
sendiri, yang biasa disebut dengan fikih.Semua proses pengaturan hidup selalu
didasarkan pada aturan hokum agama (jikih). Kesalehan manusia, baik-buruk,
benar-salahnya dapat diukur dari penampakan lahir seseorang, clan ini.selalu
saja dikaitkan dengan hokum agama yang kaku clan sangat mengikat itu.
Konsekuensinya adalah agama Islam seakan-akan dipahami secara sepihak;
sepotong-sepotong, bukan secara totalitas, yang di dalamnya juga ada aspek-
aspek spiritualitas.Dengan kata lain, garapan fikih adalah aspek eksoterisisme
(aspek luarldzahir), dan mungkin mengabaikan aspek esoterisisme (dalam/
bathin).Padahal dalam praksisnya, keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Oleh karena itu, adanya anggapan, bahwa tasawuf muncul dan
berkembang disebabkan adanya beberapa alasan adalah hal yang tidak dapat
diingkari. Dalam perspektif sejarah, tasawuf muncul dan berkembang sebagai
akibat dari kondisi sosio kultur dan politik pad.a masa rezim pemerintahan
kaum 'Umawi di Damaskus. Secara umum mereka dianggap kurang religius
dalam praktik kehidupannya.Dalam kondisi seperti ini, kemudian tasawuf
muncul-sebagaimana dikatakan Nurcholish Madjid204-sebagai gerakan
oposisi politik untuk merespons perilaku kaum 'Umawi pada saat itu. Tokoh
oposan yang paling berpengaruh saat itu adalah Hasan dari Basrah, yang

13
didukung para ulama Sunni, dan orang-orang· Muslim dengan kecenderungan
hidup zuhud (asketik). Da1am perkembangan selanjutnya, tasawufbukan lagi
sebagai gerakan oposisi politik, tetapi merupakan gerakan personal yang
timbul dari kesadaran hati itu sendiri yang sangat alamiah, dan inilah yang
sebenarnya merupakan intisari dari ajaran sufisme. (NI’AM & Ag, 2014)
Gerakan sufisme dalam Islam menggema mirip dengan gerakan-gerakan
sejenis dalam agama-agama besar lain, semisal Cabbalisme dalam agama
Yahudi, 205 Gnostisisme atau Unitarianisme dalam agama Kristen,206 dan
termasuk pula munc1.dnya agama Buddha yang terkait dengan agama
sebelumnya, yaitu Hindu.207 Begitu juga munculnya gerakan-gerakan
spiritualitas di dalam agama-agama besar di dunia. Dalam realitas historis
menunjukkan, kelahiran tasawuf dalam Islam itu bermula dari gerakan hidup
zuhud atau dengan kata lain, cikal bakal aliran tasawuf Islam adalah gerakan
hidup zuhud. Jadi, sebelum orang-orang sufi itu lahir dan berkiprah dalam
pentas sejarah, telah ditemukan orang-orang zahid yang secara tekun
mengamalkan dan mengaktualisasikan ajaran-ajaran esotoris Islam, yang
kemudian dalam perkembangannya dikenal dengan ajaran tasawuf Islam.
(NI’AM & Ag, 2014)
Para ahli dan peneliti mistik Islam/tasawufberbeda pendapat tentang faktor
yang menyebabkan munculnya gerakan hidup asketisisme (zuhud) dalam
Islam pada abad pertama dan kedua Hijriah.R.A. Nicholson misalnya,
menganggap tasawuf (zuhud pada awalnya) dalam Islam berkembang secara
Islami walaupunagak terkena dampak Nasrani.

C. Tokoh – Tokoh Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)


1. TASAWUF  AL-JUNAIDI AL-BAGHDADI
Imam Junaid al-Baghdadi hidup pada awal abad ke-3 Hijriyah. Al-
Junaid yang nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin
Muhammad al-Junaid al-Khazzaz al-Qawariri dikenal dengan pendapat-
pendapat sufistiknya yang jelas dan elaboratif dalam banyak sisinya

14
sehingga kemudian dikenal dalam sejarah dengan julukan Syeikh al-
Thaifah.( AL-BAGHDADI, n.d.)
Predikatnya sebagai tokoh legendaris tasawuf atau sufi papan atas
menjadikan beberapa aspek penting dari ujaran-ujaran Junaid al-Bagdadi
yang menjadi alasan penghormatan sebagian besar kaum muslimin
terhadapnya, baik ketika masih hidup atau sesudah wafatnya.
Penjelasannya mengenai rambu-rambu jalan menuju Allah, paparannya
tentang makna-makna maqamat atau maksud dari ahwal, seruannya untuk
ber-mujahadah secara berkesinambungan, atau deklarasinya bahwa jalan
tasawuf berlandaskan al-Quran dan sunnah, apresiasianya terhadap ilham,
perhatiannya pada proses pembelajaran normatif, dan isu-su lain yang
menuntun umat Islam pada keagungan posisinya di ranah tasawuf. (AL-
BAGHDADI, n.d.)
Banyak ulama dan para sufi Baghdad belajar pada al-Muhasibi. Di
antaranya adalah Abu al-Abbas ibn Masruq al-Thusi (w. 299 H.) dan
Junaid al-Baghdadi (w. 298 H.).( Moqsith, 2017)
a. Biografi Junaid al-Baghdadi
Junaid al-Baghdadi, nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-
Junaid bin Muhammad al-Junaid al-Khazzaz al-Qawariri, lahir sekitar
tahun 210 H di kota Baghdad, Iraq. Al-Junaid berasal dari keluarga
Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke
Iraq.Ayahnya, Muhammad ibn al-Junaid, seorang pedagang barang pecah
belah yang sangat arif. Al-Junaid sendiri mata pencahariannya adalah
pedagang sutera di kota Baghdad.2 Al-Junaid memperoleh didikan agama
dari pamannya Sari al-Saqati, seorang sufi yang tawadhu dan luas
ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan al-Junaid, seluruh pelajaran
agama yang diberikan paman diserapnya dengan baik.Menginjak usia 20
tahun al-Junaid belajar ilmu Hadits dan Fiqh kepada Abu Thawr seorang
faqih terkenal di Baghdad. Al-Junaid tumbuh menjadi seorang faqih di
bawah bimbingan guru ini.Menguasai ilmu Fiqh, bagi al-Junaid,
mempunyai arti penting untuk menguasai ilmu tasawuf. Menurut al-

15
Junaid, dengan menguasai ilmu fiqih terlebih dahulu, maka praktik ajaran
sufisme akan tetap dapat dikontrolnya, sehingga tidak keluar dari koridor
al-Quran dan Hadits. (AL-BAGHDADI, n.d.)
Mengenai Al-Junaid, diakui oleh Fazlurrahman, sebagai contoh
sufi-sufi profesional yang gemilang dengan sikap dan pembaharuan yang
teguh dan dilakukan untuk menyelesaikan ketegangan dan tantangan pada
masanya.4 Al-Junaid juga merupakan guru sufi yang mengajarkan
kebijakan dan sistem klasikal penempuhan jenjang kesufian secara
sempurna.
Guru al-Junaid tentang ilmu tasawuf adalah Sari al-Saqati, al-
Muhasibi, Muhammad al-Qassab, Ibn al-Qaranbi, dan al-Qantari. Al-
Saqati, paman dan guru al-Junaid adalah orang Persia, sedang al-Muhasibi
merupakan guru tasawuf al-Junaid yang berasal dari keturunan Arab,
namun lahir di Basrah, sementara Muhammad al-Qassab (wafat 275 H)
menurut al-Junaid adalah guru sufi yang paling utama baginya. Adapun
murid-murid al-Junaid yang terkenal antara lain `Amru ibnu `Ustman al
Makki, Abu Muhammad al-Jariri, Abu al-`Abbas ibnu `Atha al-Adami,
Abu Bakar al-Washiti, Abu `Ali al-Rudbari, Abu Bakar al-Kattani, Abu
Ya`qub al-Nahrjudi, al-Shibli, dan al-Hallaj. (AL-BAGHDADI, n.d.)
b. Karya-karya Junaid al-Baghdadi
Al-Junaid pernah menulis kitab berjudul:
 al-Munajatdan Shar Shathiyat Abi Yazid al-Bistami.
 Tashih al-Iradhah, Dawa Al-Tafit, dan al-Rasa’il. Al-Rasa`il selain
berisi surat-surat al-Junaid yang dikirimkannya kepada para murid
dan sahabatnya seperti `Amru ibnu `Ustman al Makki, Yahya ibnu
Mu`adz al-Razi, Ya`qub Yusuf ibnu Husain al-Razi, kitab ini juga
memuat ajaran-ajaran al-Junaid sendiri berupa tulisan para
muridnya ketika menerima pelajaran. (AL-BAGHDADI, n.d.)
2. TASAWUF  AL-GHAZALI
Imam al-Ghazali adalah tokoh sufi yang terkenal pada abad ke-5. Al-
Ghazali menempuh dua masa kehidupan yang berbeda.Pertama, ketika ia

16
dalam kondisi penuh semangat dalam menimba ilmu, mengajar dan penuh
gairah dalam kedudukan sebagai guru besar di Perguruan Nizamiyah yang
senantiasa diliputi oleh harta duniawi. Kedua, masa syakk (ragu) terhadap
kebenaran ilmu yang didapatnya dan terhadap kedudukan yang
dipegangnya.Akhirnya keraguan itu terobati dengan pengamalan
tasawufnya.Hal ini terjadi di akhir masa pertamanya dan merupakan masa
peralihannya.Maka bagian kedua dari kehidupannya dijalani dengan
ketenteraman dan keheningan tasawuf. Pada masa inilah ia banyak
menulis tentang tasawuf. (Zaini, 2016)
Al-Ghazali dalam sejarah Islam dikenal sebagai orang yang pada
mulanya syakk(ragu-ragu) terhadap segala-galanya. Perasaan syakk ini
kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilmu kalam atau teologi
yang diperolehnya dari al-Juwaini.Sebagaimana diketahui dalam ilmu
kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Timbullah
pertanyaan dalam diri al-Ghazali, aliran manakah yang betul-betul benar di
antara benar diantara semua aliran itu?Seperti dijelaskan al-Ghazali dalam
kitabnya al-Munqiz min al-Dalal (Penyelamat dari Kesesatan), ia ingin
mencari kebenaran yang sebenarnya, yaitu kebenaran yang diyakininya
betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak
daripada tiga. “Sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga lebih
banyak dari sepuluh dengan argumentasi bahwa tongkat dapat dijadikan
ular dan hal itu memang betul ia laksanakan, saya akan kagum melihat
kemampuannya, tetapi sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa
sepuluh lebih banyak dari tidak tidak akan goyang”. Seperti inilah,
menurut al-Ghazali, pengetahuan yang sebenarnya. (Zaini, 2016)

a. Biografi Imam al-Ghazali

Apabila dirunut dari rentang perjalanan sejarah Islam, maka


kendatipun masa hidup al-Ghazali masih berada dalam periode klasik
(650-1250 M), namun sudah masuk ke dalam masa kemunduran atau
jelasnya masa disintegrasi (1000-1250 M). Secara politis kekuatan

17
pemerintahan Islam yang ketika itu di bawah kekuatan Dinasti Abbasiyah
sudah sangat lemah dan mundur karena terjadinya konflik-konflik internal
yang berkepanjangan dan tak kunjung. (Zaini, 2016)

Pada periode pertama Dinasti Abbasiyah sebenarnya banyak tantangan


dan gangguan yang dihadapi Dinasti Abbasiyah.Beberapa gerakan politik
yang merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas muncul di mana-
mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun dari
luar.Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik.Keberhasilan penguasa
Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri ini makin memantapkan posisi
dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh.Kekuasaan betul-
betul berada di tangan khalifah.Keadaan ini sangat berbeda dengan periode
sesudahnya.Setelah periode pertama berlalu para khalifah sangat lemah.
Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang. (Zaini, 2016)

Berpuluh-puluh tahun sebelum kelahiran al-Ghazali, para khalifah


Abbasiyah sudah menjadi boneka di tangan para tentara pengawal dan
dominasi Dinasti Buwaihi—sejenis negara federal—atas Bagdad.
Kemunduran dan kelemahan tersebut terus berlangsung di masa kehidupan
al-Ghazali bahkan sampai masa kehancuran Bagdad di tangan Hulagu Khan,
tahun 1258 M. di samping kerajaan Abbasiyah mengalami masa disintegrasi
di bidang politik dan kebudayaan mulai dari pemberontakan yang
dilancarkan kaum Zanj, Qaramitah dan Hasysyasin sampai pada intrik-intrik
yang dilancarkan oleh Bani Buwaihi yang berfaham Syiah pula. Misalnya
kaum Qaramitah dapat mengacau keamanan dan ketenangan masyarakat
dengan jalan menyerang Bagdad dan Mekkah, bahkan berhasil membawa
lari Hajar al-Aswad dan sempat menguasainya selama 2 tahun.Demikian
pula gerakan kaum Hasysyasin yang berpusat di Alamut berhasil mengusik
keamanan dan ketenangan umat melalui aksi penculikan dan pembunuhan
terdapat para pembesar kerajaan yang memusuhi mereka. Di antara para
pembesar kerajaan yang berhasil diculik dan dibunuh ketika al-Ghazali

18
masih hidup adalah Perdana Menteri Nizam al-Mulk dari Dinasti Saljuk di
Tahun 1092. (Zaini, 2016)

Dinasti Saljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz
di wilayah Turkistan.Pada abad kedua, ketiga, dan keempat hijriah mereka
pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan.Ketika itu mereka
belum bersatu. Mereka dipersatukan oleh Saljuk bin Tuqaq. Karena itu,
mereka disebut orang-orang Saljuk. Pada mulanya Saljuk bin Tuqaq
mengabdi kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah
sekitar laut Arab dan laut Kaspia. Saljuk diangkat sebagai pemimpin
tentara.Pengaruh Saljuk sangat besar sehingga Raja Bequ khawatir
kedudukannya terancam.Raja bermaksud menyingkirkan Saljuk.Namun,
sebelumrencana itu terlaksana, Saljuk mengetahuinya. Ia tidak mengambil
sikap melawan atau memberontak, tetapi bersama pengikutnya ia bermigrasi
ke daerah Jand atau disebut juga wama wara`a an-nahr, sebuah daerah
muslim di wilayah Transoxiana (antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya
atau Sihun. (Zaini, 2016)

Al-Ghazali yang nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin


Muhammad al-Ghazali, dilahirkan di Thus, salah satu kota di Khurasan
(Persia) pada pertengahan abad kelima Hijriyah (450 H/1058 M). Ia adalah
salah seorang pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar Hujjatul Islam
(bukti kebenaran agama Islam) dan zain ad-din (perhiasan agama). Al-
Ghazali meninggal di kota kelahirannya, Thus pada tanggal 14 Jumadil
Akhir 505 H (19 Desember 1111 M). Al-Ghazali pertama-tama belajar
agama di kota Thus, kemudian meneruskan di kota Jurjan, dan akhirnya di
Naisabur pada Imam Juwaini sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478
H/1085. (Zaini, 2016)

Dijelaskan dalam pengantar buku karya Imam al-Ghazali yang


berjudul Mukhtashar Ihya Ulumuddinbahwa As-Subki di dalam Thabaqat
asy-Syafi’iyyah menyebutkan bahwa karangan Imam al-Ghazali sebanyak
58 karangan. Thasi Kubra Zadeh di dalam Miftah as-Sa’adah wa Misbah

19
as-Siyadah menyebutkan bahwa karya-karyanya mencapai 80 buah. Ia
berkata, “Buku-buku dan risalah-risalahnya tidak terhitung jumlahnya dan
tidak mudah bagi seseorang mengetahui judul-judul seluruh karyanya.
Hingga dikatakan bahwa ia memiliki 999 buah tulisan. Ini memang sulit
dipercaya. Tetapi, siapa yang mengenal dirinya, kemungkinan ia akan
percaya.” (Zaini, 2016)

Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum


disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad
Daudy seperti dikutip oleh Dedi Supriyadi (2013, hal. 152-153) bahwa
penelitian paling akhir tentang jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali
adalah yang dilakukan oleh Abdurrahman al-Badawi, yang hasilnya
dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul Muallafat al-Ghazali.Dalam
buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada
hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama,
kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri
atas 72 buah kitab.Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya
yangasli terdiri atas 22 buah kitab.Ketiga, kelompok kitab yang dapat
dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.Kitab-kitab yang
ditulis oleh al-Ghazali tersebut meliputi berbagai bidang ilmu yang populer
pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Quran, ilmu kalam, ushul
fikih, tawasuf, mantiq, falsafah, dan lain-lain.Berbeda dengan pernyataan di
atas, Badawi mengatakan bahwa jumlah karangan al-Ghazali ada 47 buah.
Di antara judul-judul buku tersebut adalah:

 Ihya Ulum ad-Din a. (membahas ilmu-ilmu agama).


 Tahafut Al-Falasifah b. (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau
dari segi agama).
 Al-Iqtishad fi Al-‘Itiqad c. (inti ilmu ahli kalam).
 Al-Munqidz min adh-Dhalal d. (menerangkan tujuan dan rahasia-
rahasia ilmu).

20
 Jawahir al-Qur’an e. (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-
Quran).
 Mizan al-‘Amal f. (tentang falsafah keagamaan).
 Al-Maqashid al-Asna fi Ma’ani Asma’illah al-Husna g. (tentang arti
nama-nama Tuhan).
 Dll. (Zaini, 2016)
b. Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghazali
Al-Ghazali, setelah melalui pengembaraannya mencari kebenaran
akhirnya memilih jalan tasawuf.Menurutnya, para sufilah pencari
kebenaran yang paling hakiki. Lebih jauh lagi, menurutnya, jalan para sufi
adalah paduan ilmu dengan amal, sementara sebagai buahnya adalah
moralitas. Juga tampak olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat
karya-karya mereka ternyata lebih mudah daripada mengamalkannya.
Bahkan ternyata pula bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak
mungkin tercapai hanya dengan belajar, tapi harus dengan ketersingkapan
batin, keadaan rohaniah, serta penggantian tabiat-tabiat. Dengan demikian,
menurutnya, tasawuf adalah semacam pengalaman maupun penderitaan
yang riil Jalan (at-Thariq). (Zaini, 2016)

Menurut al-Ghazali, ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus


dilalui oleh seorang calon sufi. Pertama, tobat. Hal ini mencakup tiga hal:
ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang
bahaya yang diakibatkan dosa besar.Pengetahuan itu melahirkan sikap
sedih dan menyesal yang melahirkan tindakan untuk bertobat.Tobat harus
dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri
untuk tidak mengulangi perbuatan dosa.Kedua, sabar. Al-Ghazali
menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya nalar, daya
yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya yang melahirkan
dorongan berbuat jahat.Jika daya jiwa yang melahirkan dorongan berbuat
baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan jahat, maka
seseorang sudah dapat dikategorikan sabar. Ketiga, kefakiran.Yaitu

21
berusaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang
diperlukan.Maksudnya, meskipun calon sufi itu sedang memerlukan
sesuatu, seperti makanan, namun makanan yang diberikan kepadanya
harus diteliti dengan seksama apakah halal, haram, atau syubhat
(diragukan halal atau haramnya). Jika haram atau syubhat, makanan itu
harus ditolaknya, kendatipun makanan itu sangat diperlukannya.Untuk itu,
juga harus dilihat motivasi orang yang memberinya.Keempat, zuhud.
Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan
duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi.(Zaini, 2016)

Kelima, tawakal. Menurut al-Ghazali, sikap tawakal lahir dari


keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan Allah. Sebagai pencipta, Dia
berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia. Walaupun demikian,
harus pula diyakini bahwa Dia juga Maha Rahman, Maha pengasih, tak
pilih kasih kepada makhluknya. Karena itu, manusia seharusnya berserah
diri kepada Tuhannya dengan sepenuh hati.Dalam penyerahan diri kepada
Allah swt.seorang sufi merasakan dirinya tiada lagi. Tingkat tawakal yang
paling tinggi adalah berserah diri bagaikan mayat.Keenam,ma’rifat. Yaitu
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya
tentang segala yang ada. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih
bermutu daripada pengetahuan yang diperoleh akal.Ma’rifat inilah yang
kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan) (Ensiklopedi Islam,
2002, hal. 27-28).(Zaini, 2016)

Dasar-dasar tasawuf, Al-Ghozali menjelaskan sebagai berikut :


- Makan perkara yang halal
- Mengikuti perilaku Rasul, baik dalam akhlak, perbuatan, perintah-
perintah dan sunnah-sunnahnya Barang siapa yang tidak menghafal Al-
Qur‟an dan mampu menulis Hadits belum mencukupi.Tasawuf awal
mulanya ilmu, pertengahan adalah amal, sedang akhirnya pengaruh. Ilmu
dapat membuka segala yang diharapkan, amal bisa membantu atas yang

22
dicari sedang pengaruh dapat sampai pada puncak yang diangan-angan.
(Mustain, 2015)

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tasawuf merupakan suatu upaya pendekatan diri pada Allah Swt. melalui
kesadaran murni dengan memengaruhi jiwa secara benar untuk melakukan
berbagai latihanlatihan (riyadlah), baik secara fisik maupun mental, dan
dengan melakukan berbagai ibadah sehingga aspek uluhiyah dan
ruhaniyah dapat mengungguli aspek duniawiyah danjasadiyah. Jadi di
sini, tasawuf bukanlah perpindahan dari alam fisik (kebendaan) ke alam
ruhani, yang mempunyai implikasi bahwa sufi akan meninggalkan materi.
Tasawuf itu merupakan suatu ijtihad dan jihad'(upaya sungguh) untuk
mengeliminasi dominasi materi dalam kehidupan. Artinya, materi masih
tetap dibutuhkan sebagai sarana mencapai tujuan hidup, mendekatkan diri
kepada Allah Swt.
2. Tasawuf muncul dan berkembang disebabkan adanya beberapa alasan
adalah hal yang tidak dapat diingkari. Dalam perspektif sejarah, tasawuf
muncul dan berkembang sebagai akibat dari kondisi sosio kultur dan
politik pad.a masa rezim pemerintahan kaum 'Umawi di Damaskus. Secara
umum mereka dianggap kurang religius dalam praktik kehidupannya.
Dalam kondisi seperti ini, kemudian tasawuf muncul-sebagaimana
dikatakan Nurcholish Madjid204-sebagai gerakan oposisi politik untuk
merespons perilaku kaum 'Umawi pada saat itu.
3. Tokoh-tokoh Tasawuf Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) diantaranya
Tasawuf  Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Tasawuf Al-Ghazali.
B. Saran
Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita
untuk mengetahui tentang tasawuf Ahlus Sunnah Wal Jama’ah An Nahdhiyah.
Sebagai penulis kami menyadari bahwa makalah kita masih banyak terdapat
kekurangan, maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan dari teman-
teman semua, supaya lebih baik untuk kedepannya.

24
DAFTAR RUJUKAN

AL-BAGHDADI, J. (n.d.). TEKS-TEKS SUFISTIK.


Moqsith, A. (2017). Kajian Taswuf Al-Harits Ibn Asad Al-Muhasibi. Istiqro,
15(01), 41–68.
Mustain, M. Z. (2015). Tasawuf Perekat Pendidikan Di Era Teknologi. Jurnal
Studi Islam: Pancawahana, 10(1), 98–124.
NI’AM, H. S., & Ag, M. (2014). Tasawuf Studies: pengantar belajar tasawuf. Ar-
Ruzz Media.
Zaini, A. (2016). Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali. Esoterik, 2, 146–159.

25
BIODATA KELOMPOK

Nama : Desi Fitri Astutik


TTL : Banyuwangi,06 Desember 2000
Alamat : Dsn. Kutorejo, Rt.37 Rw.04, Ds. Kalipait,
Kec. Tegaldlimo, Kab. Banyuwangi
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan

Nama : Etika Candra Dewi


TTL : Banyuwangi, 20 April 2000
Alamat : Dsn. Darungan, Rt.01 Rw.06, Ds.
Tegalarum, Kec. Sempu, Kab. Banyuwangi
Agama : Islam

26
Jenis Kelamin : Perempuan

Nama : Moh. Bagus Setiawan


TTL : Banyuwangi, 28 April 2000
Alamat : Dsn. Krajan, Desa Pakistaji, Kec. Kabat,
Kab Banyuwangi
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki

Nama : Muhimatul Hilaliyah


TTL : Banyuwangi, 29 Desember 2000
Alamat : Dsn. Tegalwudi, Rt. 03, Rw.01, Ds.
Bedewang, Kec. Songgon, Kab.
Banyuwangi.
Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan

27

Anda mungkin juga menyukai