Anda di halaman 1dari 18

ASPEK HUKUM BUKTI ELEKTRONIK DALAM RANAH

HUKUM ACARA PIDANA DAN PERDATA


DR. ASRA,SH.MH

I. Tujuan pembelajaran :
Setelah mengikuti pelatihan ini peserta mampu:
• Menjelaskan legalitas penggunaan bukti elektronik dan menggunakannya
dalam pemeriksaan perkara pidana dan perdata;
• Menjelaskan keabsahan perolehan alat-alat bukti elektronik yang akan
digunakan sebagai alat bukti di persidangan;

II. BUKTI ELEKRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI

KUHAP sebagai hukum acara pidana yang bersifat umum tidak mengakui bukti
elektronik sebagai salah satu jenis alat bukti yang sah. Di dalam praktik, bukti elektronik
juga digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan tindak pidana yang
terjadi di pengadilan. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan, bahwa bukti elektronik
dalam hukum acara pidana berstatus sebagai alat bukti yang berdiri sendiri dan alat
bukti yang tidak berdiri sendiri (pengganti bukti surat apabila memenuhi prinsip/dasar
dalam functional equivalent approach dan perluasan bukti petunjuk) sebagaimana
dicantumkan dalam beberapa undang-undang khusus dan instrumen hukum yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Walaupun bukti elektronik tidak diatur dalam
KUHAP sebagai lex generalis, namun untuk tercapainya kebenaran materiil dapat juga
digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk pembuktian seluruh jenis tindak pidana di
pengadilan. Hal itu didasarkan pada pengakuan dalam praktik peradilan pidana,
beberapa undang-undang khusus, dan instrumen yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung
Dalam perkara pidana untuk membuktikan suatu perbuatan pidana diperlukan
alat bukti dan barang bukti, sedangkan dalam perkara perdata, untuk membuktikan
apa yang disengketa diperlukan alat-alat bukti. Alat-alat bukti ini telah ditentukan
secara limitatif dalam undang-undang, namun karena adanya perkembangan zaman,
bukti elektronik digunakan sebagai alat bukti di persidangan, undang-undang tersebut
menjadi ketinggalan zaman (out of date). Perkembangan Teknologi Informasi dan
Komputer (TIK) telah mengalami kemajuan yang sangat pesat yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan komputer, telepon genggam atau smart phone,
email, internet, website,cctv dan lain-lain secara luas telah banyak mendukung manusia
di dalam menjalankanaktivitasnya. Misalnya dalam aktifitas ekonomi, TIK digunakan
untuk memudahkantransaksi dan pengelolaan bisnis. Hal ini juga berlaku terhadap
bidang lainnya sepertipendidikan, kesehatan, transportasi, pemerintahan, dan bahkan
dalam kebutuhanpribadi seperti aplikasi facebook dan instagram untuk memperlihatkan
identitas diridalam kebutuhan bersosialisasi di dunia maya.

Disisi lain, tindak pidana kejahatan juga memanfaatkan kecanggihan teknologi


dan informasi dalam memudahkan kegiatan pidananya, seperti menggunakan email
dalam berkomunikasi dan menggunakan whatsap dalam mengirimkan dokumen terkait
suatu tindak pidana. Keterlibatan teknologi informasi dan komputer yang rumit dalam
modus kejahatan telah banyak menjadi bukti hukum baik dalam kasus perdata maupun
pidana saat ini. Bukti digital komputer yang diakui di pengadilan bisa berupa file atau
fragmen yang ditemukan dari perangkat penyimpanan seperti email, riwayat
penjelajahan, grafik, foto, atau dokumen aplikasi lainnya. File-file ini mungkin tidak
dihapus atau dihapus dengan sengaja yang dalam pemulihannya pasti membutuhkan
teknik khusus dan ahli serta profesional dalam forensik digital untuk melestarikan dan
mengambil bukti dengan cara yang tidak merusak. Oleh karena itu dikenal adanya ilmu
“Digital Forensic” atau forensik digital, yang dibutuhkan dan digunakan para penegak
hukum didalam usahanya untuk mengungkapkan peristiwa kejahatan melalui
pengungkapan bukti-bukti berbasis entitas atau piranti digital dan elektronik.

Banyak ahli dan lembaga mendefinisikan forensic Digital. Di antaranya adalah:


Brian Carrier (Digital Forensic Research Workshop- DFRWS, 2001):
"The use of scientifically derived and proven methods toward the preservation, collection,
validation, identification, analysis, interpretation, documentation and presentation of
digital evidence derived from digital sources for the purpose of facilitating or furthering
there construction of events found to be criminal…."

Marcella dan Menendez (2008) menyatakan bahwa istilah digital forensic atau
digital forensik acapkali dikenal sebagai forensik siber (Cyber-Forensic) atau komputer
forensik yang kurang lebih memililki arti yang relatif sama. Forensik digital sendiri
didefinisikan sebagai suatu proses penggunaan pengetahuan ilmiah dalam menemukan,
mengumpulkan, mengekstraksi, dan menganalisis jenis data dari berbagai perangkat
yang berbeda seperti sistem komputer, jaringan, komunikasi nirkabel, dan perangkat
penyimpanan data digital lainnya yang oleh pakar kemudian dapat diinterpretasikan
sebagai bukti hukum sehingga dapat diterima sebagai bukti di pengadilan. National
Institute of Standards Technology – US (2006) juga menyatakan bahwa digital forensic
dikenal sebagai forensik komputer dan jaringan yang memiliki banyak definisi. Namun
pada umumnya, dinyatakan sebagai penerapan sains didalam identifikasi, pengumpulan,
pemeriksaan, dan analisis data ketika melestarikan integritas data informasi dan
memelihara ranta pengawasan yang ketat untukmendapatkan data. Data tersebut
mengacu pada potongan informasi digital yang berbeda yang telah diformat dengan
cara tertentu.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Forensik Digital pada
prinsipnya adalah merupakan suatu rangkaian metodologi yang terdiri dari teknik dan
prosedur untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, memeriksa dan menganalisis serta
melestarikan data berbasis entitas maupun yang bersumber dari piranti digital agar
dapat dipergunakan secara sah dalam pembuktian suatu pidana. Kebutuhan terhadap
forensik digital dalam penegakan hukum semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya kejahatan digital secara eksponensial. Pembuktian terkait kejahatan yang
menggunakan teknologi komputer memilikikarakteristik tersendiri. Selain dari sifat
teknologi digital sendiri yang memungkinkanpelaku kejahatan dapat menyembunyikan
atau menghilangkan jejaknya, kejahatanmelalui teknologi informasi dan komputer juga
tidak mengenal batas geografis atau borderless, Aktivitas ini bisa dilakukan dari jarak
dekat, ataupun dari jarak ribuan kilometer dengan hasil yang serupa.
Untuk kepentingan penegakkan hukum, ada banyak referensi model prosedur
forensik yang digunakan di seluruh dunia, tergantung kebutuhan proses dan aturan
hukum (acara) yang berlaku di setiap negara. Namun pada prinsipnya dikembangkan
dari tiga dimensi konteks yang saling terkait, yaitu :

a. Physical Context, mengatur prosedur identifikasi dan pengumpulan media fisik


seperti mendokumentasikan seluruh barang bukti yang ditemukan, melakukan
penggandaan dan penyimpanan secara aman;
b. b. Logical Context, mengatur prosedur pemeriksaan dan analisis data di dalam
media, antara lain untuk menemukan berkas file yang disembunyikan,
memulihkan yang telah terhapus, melakukan rekonstruksi dan penyajian
kronologis serta analisis keterkaitan terhadap kasus yang dihadapi;
c. Legal Context, mengatur prosedur tata kelola fisik dan informasi sesuai aturan,
seperti penetapan otoritas yang memiliki kewenangan dan kompetensi, surat
perintah untuk penggeledahan, penyitaan, pemberkasan dan laporan serta
peyajian di persidangan.

Secara umum, National Institute of Standards Technology (NIST) melalui


Guideto Integrating Forensic Techniques into Incident Response (2006)
mengklasifikasikan peran forensik digital sebagai berikut:

• Operational Troubleshooting. Banyak alat dan teknik forensik dapat diterapkan


untuk mengatasi masalah operasional, seperti menemukan lokasi virtual dan fisik
host dengan konfigurasi jaringan yang salah, menyelesaikan masalah fungsional
dengan sebuah aplikasi, dan merekam serta meninjau
Pengaturan konfigurasi OS (operating system):

• Log Monitoring. Berbagai alat dan teknik forensik dapat membantu dalam
pemantauan log, seperti menganalisis log entries dan mengkaitkan log entries
dengan berbagai sistem. Hal ini dapat membantu dalam penanganan insiden,
mengidentifikasi adanya pelanggaran kebijakan, digunakan dalam audit, serta
upaya
lainnya.
• Data Recovery. Ada berbagai macam alat forensik yang dapat memulihkan
data yang hilang dari sistem, termasuk data yang sengaja dihapus atau tidak
sengaja terhapus atau data yang dimodifikasi. Jumlah data yang dapat
dipulihkan bervariasi berdasarkan kasusnya.
• Data Acquisition. Beberapa organisasi menggunakan alat forensik guna
memperoleh data dari perangkat jaringan yang sedang dipindahkan atau
dimatikan. Misalnya, ketika pengguna meninggalkan sebuah organisasi, data dari
workstation pengguna dapat diambil dan disimpan untuk keperluan di masa
depan. Media workstation kemudian dapat disterilkan untuk menghapus semua
data daripengguna.
• Due Diligence/Regulatory Compliance. Regulasi saat ini mensyaratkan organisasi
untuk melindungi informasi rahasia dan memelihara catatan tertentu untuk
tujuan audit. Selain itu, bila ada informasi yang dilindungi yang harusdipaparkan
kepadapihak lain, organisasi mungkin diminta untuk memberitahu institusi lain
atau individu yang terkait. Forensik dapat membantuorganisasi melakukan
duediligence dan mematuhi persyaratan tersebut.

III. KARAKTERISTIK BUKTI ELEKTRONIK


Dalam penjelasan pasal 5 ayat (1) pada UU No. 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dalam UU No. 19
tahun 2016 menyatakan, “Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah”.
Informasi dan dokumen elektronik mengacu kepada data dengan berbagai
bentuk yangdiakses dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/
atau media elektronik lainnya. Dengan demikian, bukti yang bernilai sebagai
pembuktian di pengadilan bukan bentuk fisik dari perangkat elektronik
melainkan dokumen atau informasi yang terkandung di dalamnya.
Dokumen atau informasi yang menjadi bukti dapat berbagai rupa, antara lain
berupa email, dokumen kontrak perjanjian rahasia, atau agenda pertemuan.
Setiap tindakan yang dilakukan atas dokumen atau informasi tersebut seperti
mengirimkan email, menghapus dokumen kontrak, atau membuat agenda
pertemuan baru, semua tercatat dalam sistem komputer yang disebut “jejak
elektronik”. Jejak elektronik merekam siapa, apa, di mana, dan kapan dari setiap
tindakan tersebut. Jejak elektronik dapat menjadi sangat berguna dalam proses
penyidikan namun jika tidak ditangani dengan tepat dapat menjadi penyebab
rusaknya integritas bukti elektronik.
Dalam pedoman Association of Chief Police Officers (ACPO) - Good
Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence dijelaskan bahwa bukti
elektronik memiliki sifat dasar rapuh atau mudah berubah. Tidak hanya
disebabkan kerentanan jejak elektronik namun juga kondisi lingkungan sekitar.
Kesalahan penanganan seperti menyalakan komputer yang ditemukan dalam
keadaan mati ataupun sebaliknya mematikan komputer yang berada dalam
keadaan menyala, dapat menyebabkan hilangnya bukti kejahatan ataupun
rusaknya integritas bukti. Waktu menyala atau mati komputer yang tercatat,
data password atau alamat IP terkoneksi yang tersimpan dalam sistem dapat
hilang atau berubah akibat tindakan tersebut. Kondisi lingkungan
fisik seperti adanya medan magnet yang sangat kuat, kelembapan dan/ atau
suhu yang ekstrim, bahkan debu serta guncangan dapat menghancurkan data
yang tersimpan dalam media penyimpanan. Dalam ISO/IEC 27073 tentang
Information technology — Security techniques — Guidelines for identification,
collection, acquisition, and preservation of digital evidence (2012), disampaikan
bahwa bukti elektronik memiliki karakteristik yang rapuh karena dapat diubah,
dirusak atau dimusnahkan karena penanganan atau pemeriksaan yang tidak
benar. Sementara dalam Electronic evidence - a basic guide for First Responders
yang dikeluarkan oleh European Union Agency for Network and Information
Security (ENISA), juga menyebutkan karakteristik digital evidence sebagai data
yang mudah diubah dan dimodifikasi. Electronic Crime Scene Investigation: A
Guide for First Responders, Second Edition, yang dikeluarkan oleh National
Institute of Justice, Office of Justice Programs, U.S. Departement of Justice,
menyebutkan bahwa digital evidence memiliki karakteristik laten atau tidak
terlihat, seperti sidik jari atau bukti DNA, dapat berpindah dengan cepat dan
mudah, gampang diubah, rusak, atau hancur, dan sensitif terhadap waktu.
Berdasarkan karakteristik-karakteristik tersebut, kita dapat melihat bersama
bahwa pada dasarnya bukti elektronik memiliki karakteristik yang tidak terlihat
atau laten, sangat rapuh karena sangat mudah berubah atau rusak, dapat
berpindah dengan mudah, dan membutuhkan bantuan alat untuk melihat atau
membacanya. Hal ini jelas sangat berbeda dengan karakteristik barang bukti
pada umumnya yang dapat dengan dilihat dengan mudah karena memiliki
wujud nyata secara fisik sehingga tidak membutuhkan alat bantu untuk melihat
atau membacanya, tidak mudah berubah atau rusak, dan tidak mudah
berpindah.

IV. PRINSIP-PRINSIP PENGGUNAAN BUKTI ELEKTRONIK


Secara garis besar terdapat empat prinsip yang mendasari seluruh rangkaian
kegiatan dalam menangani bukti elektronik agar bukti tersebut dapat menjadi
sah untuk di bawa ke pengadilan, yaitu: Terpeliharanya integritas data dengan
menjaga setiap tindakan yang dilakukan pada bukti elektronik tidak mengubah
atau merusak data yang tersimpan di dalamnya. integritas dan keaslian data
dapat ditunjukkan dengan beberapa metode dari teknis forensik. Salah satunya
dengan mencocokkan message digest atau hashing terdiri dari
rangkaian karakter yang dihasilkan oleh fungsi hash. Hashing dari bukti asli
dicocokkan dengan salinan bukti hasil akuisisi. Metode lain dapat mengadopsi
Federal Rules of Evidence 901(b) Amerika Serikat mengenai keaslian atau
identifikasi bukti yang dapat berupa namun tidak terbatas pada testimoni saksi
dengan pengetahuan memadai, perbandingan dengan saksi ahli, dan bukti
mengenai suatu proses atau sistem yang dapat menunjukkan bahwa sistem
menghasilkan hasil yang akurat. Integritas data juga dapat dijaga dengan
menggunakan alat tertentu yang dapat mencegah dilakukannya
modifikasi terhadap bukti, yang dinamakan write blocker. Selain itu, dikelolanya
chain of custody (CoC) dengan baik merupakan salah satu faktor yang dapat
menunjukkan integritas data. Dikarenakan sifat bukti elektronik yang khusus,
maka untuk menjaga integritas dataterdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam menilai sarana dan prasarana yang digunakan dalam
menangani barang bukti elektronik, di antaranya:

a. Peralatan forensik yang digunakan dalam pengumpulan data harus memenuhi


peraturan nasional maupun internasional seperti PP No. 82/ 2012 dan ISO 17025
yang mengatur ketentuan atas perangkat keras dan perangkat lunak yang harus
dipatuhi. Serta harus mengandung fitur write blocker yang mencegah terjadinya
modifikasi terhadap bukti;
b. Fitur yang dimiliki oleh peralatan eDiscovery yang dapat mendukung proses
analisis data sesuai dengan rincian analisis yang harus dilakukan;
c. Kondisi tempat penyimpanan bukti elektronik yang memadai dan mencegah
terjadinya modifikasi data. Kelembapan, medan magnet, suhu, debu, dan
guncangan merupakan hal yang harus diperhatikan dan dipelihara.
Dibawah ini adalah prinsip-prinsip keabsahan bukti elektronik jika akan
digunakan sebagai alat bukti dan dipertimbangkan dalam putusan.

• KETENTUAN HUKUM DAN ASPEK PERSONEL YANG KOMPETEN


Personil yang menangani bukti elektronik asli harus berkompeten,
terlatih, dan mampu memberikan penjelasan atas setiap keputusan yang
dibuat dalam proses identifikasi, pengamanan, dan pengumpulan bukti
elektronik. Dalam pedoman ISO 27037 - Guidelines for identification, collection,
acquisition and preservation of digital evidence ISO yang disesuaikan dengan
kebutuhan pembuktian di Indonesia ada beberapa personil kunci beserta
persyaratan kompetensinya didalam menangani bukti elektronik, yaitu:
a. Digital evidence first responder (DEFR) atauFirst Responder (FR): adalah
personel yang pertama kali berhubungan dengan bukti elektronik dan
memiliki kewenangan, terlatih, dan memiliki kualifikasi untuk melakukan
tindakan pertama di tempat kejadian perkara guna mengumpulkan dan
mengakuisisi bukti digital dengan penuh tanggung jawab. Kemampuan yang
harus dimiliki mencakup pemahaman atas orang-orang yang menjadi target
perkara, pengetahuan teknis mengenai mekanisme penanganan pertama
dan metode akuisisi yang tepat, serta pengetahuan hukum terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku baik nasional maupun
internasional. DEFR berkoordinasi dengan Digital Evidence Specialist (DES),
ialah personel yang dapat mengerjakan tugas-tugas DEFR serta memiliki
pengetahuan, keahlian dan kemampuan spesialis untuk menangani berbagai
masalah teknis dan forensik. Hal-hal yang perlu dilakukan agar prinsip dasar
bukti digital terpenuhi:
• Semua proses/prosedur yang akan digunakan oleh DEFR, DES harus
divalidasi terlebih dahulu sebelum digunakan.
• DEFR dan DES juga harus (i) mendokumentasikan semua kegiatan (ii)
menentukan dan menerapkan metode yang digunakan untuk memastikan
akurasi dan kehandalan antara salinan bukti digital dengan sumber aslinya
serta (iii) memperkirakan perubahan apapun yang terjadi dan
mendokumentasikan tindakan yang dilakukan.
b. Data Examiner: personel yang melakukan eksaminasi data untuk
mengekstraksi data-data tertentu yang hanya berhubungan dengan kasus
perkara serta melakukan analisis forensik sebagai bahan pendukung
pembuktian kasus. Kemampuan yang harus dimiliki mencakup pengetahuan
teknis mengenai analisis forensik dan indikator data yang menunjukkan
hubungannya dengan kasus. Data examiner juga membuat laporan atas
seluruh rangkaian kegiatan yang dilakukan beserta output yang dihasilkan.
Kemampuan yang harus dimiliki mencakup keahlian dalam membuat
visualisasi sehingga laporan mudah dimengerti. Tanggungjawab membuat
laporan berada di fungsi khusus pelaksana eksaminasi data dan penyidik.
Peran data examiner dapat berada di fungsi khusus yang menangani bukti
elektronik yang biasanya diampu oleh Digital Forensic Examiner (DFE). UU
Nomor 11 Tahun 2008 pasal 43 ayat (5) sebagaimana diubah dalam UU
Nomor 19 Tahun2016 (UU ITE), telah menyinggung bahwa selain penyidik, ahli
dapat diminta bantuannya selama proses penyidikan. Dalam penjelasan
hanya disebutkan bahwa kriteria ahli harus dapat dipertanggungjawabkan
secara akademis maupun praktek.
c. Analyst: personel yang melakukan analisis pada data yang telah
diekstraksi untuk mencari bukti-bukti pendukung suatu kasus perkara.
Kemampuan yang harus dimiliki mencakup pemahaman terhadap kronologis
dan semua detail dari kasus perkara. Tugas dan tanggungjawab analyst
melekat pada penyidik.
d. Pembuat laporan: personel yang membuat laporan atas seluruh rangkaian
kegiatan yang dilakukan beserta output yang dihasilkan. Kemampuan yang
harus dimiliki mencakup keahlian dalam membuat visualisasi sehingga
laporan mudah dimengerti. Fungsi pembuat laporan berada di fungsi khusus
pelaksana eksaminasi data dan penyidik
e. Pengelola bukti elektronik: personel yang mengelola bukti elektronik
termasuk di dalamnya administrasi pencatatan, manajemen masuk dan
keluar bukti elektronik, dan pengamanan fisik dari perusakan.

• KETENTUAN HUKUM DAN ASPEK TEKNIS PENGELOLAAN AUDIT TRAIL


Audit trail atau istilah teknis yang dikenal sebagai Chain of custody
(CoC) harus dipelihara dengan cara mencatat setiap tindakan yang
dilakukan terhadap bukti elektronik. Setiap tindakan baik dari proses
pengumpulan hingga proses akhir, yaitupelaporan harus
didokumentasikan, dipelihara, dan dapat dievaluasi oleh pihak lain. Prinsip
audit trail mengharuskan ada catatan teknis dan praktis terhadap
langkahlangkah yang diterapkan terhadap bukti elektronik sejak awal
termasuk dalam hal pemeriksaan dan analisis berlangsung, sehingga ketika
bukti elektronik tersebut diperiksa oleh pihak ketiga maka seharusnya
pihak ketiga tersebut akan mendapatkan hasil yang sama dengan hasil
yang telah dilakukan oleh investigator/analis forensik sebelumnya. Audit
trail selain untuk menjaga dokumentasi atas tiap tahapan, juga menjadi
pengaman saat dikemudian hari terdakwa maupun tim (termasuk
pengacara dan ahli yang dihadirkan terdakwa) mendalilkan dan mencoba
membuktikan bahwa alat bukti digital yang ditampilkan oleh jaksa
penuntut umum tidak valid dan/ atau dimanipulasi.
Jaksa penuntut umum, dapat dibantu oleh ahli maupun tim forensik, harus
menunjukan dan menjelaskan langkah-langkah yang tergambar dalam
audit trail, baik dari awal ke akhir maupun sebaliknya untuk meyakinkan
hakim bahwa penanganan bukti digital sudah benar berdasarkan 4 prinsip
dasar forensik.
• KEPATUHAN HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANGAN TERHADAP
DAN INFORMASI ELEKTRONIK
Personil yang bertanggung jawab terhadap penangananan kasus
terkait pengumpulan, akuisisi dan pemeriksaan serta analisis bukti elektronik
tersebut, harus dapat memastikan bahwa proses yang berlangsung sesuai
dengan hukum vang berlaku dan prinsip-prinsip dasar sebelumnya (yaitu
prinsip dasar nomor 1, 2, dan 3). Demikian juga harus dipastikan bahwa
setiap tindakan yang dilakukan harus memenuhi semua peraturan dan
ketentuan yang berlaku sesuai dengan yurisdiksihukum terkait. Jika tindak
kejahatan melibatkan dua atau lebih yurisdiksi hukum, maka perlu
diperhatikan peraturan dan ketentuan yang berlaku di masing-masing
yurisdiksi.

V. BUKTI ELEKRONIK SEBAGAI PERLUASAN ALAT BUKTI DALAM KUHAP

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum


Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai tata cara mempertahankan atau
menyelenggarakan hukum pidana materil sehingga memperoleh keputusan hakim, dan
tata cara tentang bagaimana seharusnya keputusan hakim atau pengadilan tersebut
dilaksanakan, demikian juga berkenaan dengan alat bukti yang dapat digunakan
dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana Walaupun bukti elektronik tidak
diatur dalam KUHAP sebagai lex generalis, namun untuk tercapainya kebenaran materiil
dapat juga digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk pembuktian seluruh jenis
tindak pidana di pengadilan. Pada dasarnya, pengaturan tentang bukti elektronik yang
terdapat dalam peraturan perundangundangan di luar KUHAP, masih mengacu kepada
alat-alat bukti yang terdapat dalam KUHAP tentang alat bukti yang sah sebagaimana
diatur dalam bab XVI bagian ke empat tentang pembuktian dan putusan dalam acara
pemeriksaan biasa, yakni Pasal 184 ayat (1)7, yaitu 1) Keterangan saksi 2) Keterangan ahli
3) Surat, 4) Petunjuk 5) Keterangan terdakwa.

Adanya kemajuan teknologi kemudian menyebabkan munculnya


kejahatankejahatan baru yang menyebabkan penggunaan alat bukti yang terdapat
dalam KUHAP saja tidak cukup, sehingga perlu pengaturan lebih lanjut terkait
perkembangan alat bukti dalam hukum acara pidana ke arah penggunaan alat bukti
lain, yaitu bukti elektronik atau electronic evidence. Pengaturan tentang alat bukti
elektronik ini tersebar ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia. 7 Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Bentuk dan penggunaan alat bukti elektronik berbeda-beda, tergantung ketentuan
khusus yang terdapat dalam masing-masing peraturan perundang-undangan
sebagaimana tercantum sebagai berikut: 1.1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan. Undang-Undang Dokumen Perusahaan
telah meletakkan dasar penting dalam penerimaan (admissibility) dan penggunaan
informasi elektronik atau dokumen elektronik sebagai alat bukti, Munculnya Undang-
Undang Dokumen Perusahaan merupakan titik awal mulai diakuinya bukti elektronik
sebagai alat bukti. Hal tersebut dapat dilihat pada bab ketiga tentang Pengalihan
Bentuk Dokumen Perusahaan dan Legalisasi, yakni pada pasal 15 ayat (1) yang
menyatakan : “Dokumen Perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media
yang lainnya dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah” Dalam penjelasan
pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Dokumen Perusahaan, disampaikan bahwa microfilm
adalah film yang memuat rekaman bahan tertulis, tercetak dan tergambar dalam
ukuran yang sangat kecil.

Sementara "media lainnya" adalah alat penyimpanan informasi yang bukan kertas
dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang
dialihkan atau ditransformasikan, misalnya Compact Disk-Read Only Memory (CD-ROM),
dan WriteOnce-Read-Many (WORM). Dengan kata lain, Undang-Undang Dokumen
Perusahaan telah memberlakukan alat bukti elektronik berupa mikrofilm atau media
penyimpan data lainnya sebagai alat bukti yang sah sekalipun bukanlah alat bukti yang
termasuk dalam alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Penjelasan tersebut diperkuat
dengan adanya surat Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman tanggal 14 Januari
1988 No. 39/TU/88/102/Pid yang mengemukakan pendapatnya, bahwa microfilm atau
microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di
pengadilan menggantikan alat bukti surat, dengan catatan microfilm itu sebelumnya
dijamin otentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara.
1.2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo . UndangUndang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penerimaan alat
bukti elektronik dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dapat dilihat pada
pasal 26A yang menyatakan: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981
Tentang Hukum AcaraPidana (KUHAP), khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat
diperoleh dari: a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b.

Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,
baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Dalam penjelasannya, terkait
huruf a pasal 26A diatas bahwa yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik"
misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-
ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Sedangkan yang dimaksud dengan "alat
optik atau yang serupa dengan itu" dalam ayat ini tidak terbatas pada data
penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram,
teleks, dan faksimili. Pasal 44 ayat (2) UU No.30 Tahun 2002 menguatkan dalam
penyelidikan tindak pidana korupsi apabila bukti permulaan yang cukup dianggap telah
ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan
tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. Dengan demikian, Undang-
Undang KPK mengakui keberadaan alat bukti elektronik dan dapat digunakan sebagai
bukti permulaan pada tindak pidana korupsi. 1.3. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi
UndangUndang.
Keberadaan alat bukti elektronik dalam undang-undang Tindak Pidana
Terorisme termuat dalam Bab V tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di
Sidang Pengadilan, khususnya pasal 27 yang menyatakan : Alat bukti pemeriksaan
tindak pidana terorisme meliputi : 1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum
Acara Pidana; 2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar,
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam
secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a) Tulisan, suara, atau gambar;
b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi
yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
Jika dikaitkan dengan KUHAP, Undang-Undang Terorisme mengatur alat bukti
elektronik baik yang disimpan dalam optik atau yang serupa serta data atau informasi
elektronik sebagai alat bukti lain di luar alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP.
1.4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Pencegajan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juga telah mengatur
mengenai alat bukti elektronik. Hal tersebut tertuang pada pasal 73 yang menyatakan
bahwa alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang
terdiri dari: a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;
Didalam ketentuan umum no 16, disebutkan juga bahwa Dokumen adalah data,
rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas
atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. tulisan, suara, atau gambar; b. Peta, rancangan,
foto atau sejenisnya; c. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
1.5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 jo. UndangUndang Nomor
19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektonik (ITE) merupakan titik terang dari pengaturan alat bukti elektronik di
Indonesia walaupun masih perlu banyak penyempurnaan. Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang ITE menyatakan bahwa 1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2) Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia. 3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan
sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini. 4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat
beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta
notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Ditetapkannya bahwa
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan
alat bukti hukum yang sah (ayat 1) dan bahwa kedudukan alat bukti elektronik adalah
sebagai perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di
Indonesia, maka alat bukti elektronik tidak hanya berlaku pada tindak pidana tertentu
saja, tetapi juga tindak pidana apa saja, bahkan juga berlaku juga sebagai alat bukti
dalam setiap hukum acara di Indonesia, tidak hanya hukum acara pidana saja. Status
bukti elektronik sebagai alat bukti yang berdiri sendiri juga dapat digunakan dalam
kaitannya dengan tindak pidana terorisme (Pasal 38 UU No. 9 Tahun 2013), tindak
pidana pencucian uang (Pasal 73 UU No. 8 Tahun 2010), tindak pidana narkotika (Pasal
86 UU No. 35 Tahun 2009), dan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 20 UU No. 21
Tahun 2007). Kedudukan alat bukti elektronik dalam Undang-Undang ITE dan
kaitannya dengan alat bukti dalam KUHAP dapat dijelaskan sebagai berikut8 : 1) Alat
bukti elektronik memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti. Alat bukti yang
diperluas dalam KUHAP ialah alat bukti surat. Esensi surat ialah kumpulan dari tanda
baca tertentu yang memiliki makna. Esensi ini sama dengan hasil cetak dari informasi
atau dokumen elektronik. Hasil cetak dari informasi dan dokumen elektronik
dikategorikan sebagai surat lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 187 8 Josua
Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana (Jakarta:
Tatanusa, 2012). huruf d KUHAP dan hanya dapat dijadikan alat bukti bila memiliki
hubungan dengan isi alat pembuktian lainnya. 2) Alat bukti elektronik sebagai alat bukti
lain. Alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain dipertegas dalam pasal 44
UndangUndang ITE yang mengatur bahwa, Informasi dan/atau dokumen elektronik
adalah alat bukti lain yang digunakan sebagai alat bukti penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, Penegasan bahwa informasi atau dokumen elektronik
dalam bentuk originalnya merupakan alat bukti selain yang diatur dalam KUHAP
adalah pengaturan yang sangat penting mengingat apabila informasi atau dokumen
elektronik tersebut dicetak, tidak akan akurat informasi yang didapat bila dibandingkan
dengan informasi atau dokumen elektronik yang tetap dalam bentuk originalnya. Pada
poin ini sangat makanya sangat diperlukan penanganan bukti elektronik harus sesuai
dengan prinsip, prosedur dan tahapan penanganannya sebagaimana diulas dalam bab
sebelumnya. 3) Alat bukti elektronik sebagai sumber petunjuk. Menurut Pasal 188 ayat (1)
KUHAP, petunjuk adalah perbuatan kejadian, yang karena persesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Pasal 182 ayat (2) KUHAP
membatasi kewenangan hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk. Sumber
yang dapat digunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti
secara limitative yaitu bahwa petunjuk “hanya” dapat diperoleh dari keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa.

Dengan adanya ketentuan bahwa alat bukti elektronik juga dapat dijadikan
sebagai sumber petunjuk, maka dikaitkan antara pasal 188 KUHAP dengan Pasal 26A
UU No. 20 Tahun 2001, maka saat ini alat bukti petunjuk berasal dari keterangan saksi,
surat, keterangan terdakwa, dan bukti elektronik berupa informasi dan dokumen (hasil
cetak informasi atau dokumen elektronik tersebut yang dapat dikategorikan surat,
surat yang dimaksud adalah “surat lain” sepanjang surat itu memiliki hubungan dengan
isi dari alat pembuktian lainnya).Perubahan Atas Undang-Undang ITE didasari oleh
Putusan MK No. 20/PUUXIV/2016. Undang-Undang perubahan hanya menambahkan
tafsiran umum atau penjelasan terhadap: Penjelasan 5 ayat (1) berbunyi:
“Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan
diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam
pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui
Sistem Elektronik” Penjelasan Pasal 5 ayat (2) berbunyi: “Khusus untuk Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau
perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya
yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang” Berikut adalah
beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur bukti elektronik:

UNDANG-UNDANG /
NO KEDUDUKAN
PASAL

UU No. 8 Tahun 1997


Tentang Dokumen
1 Alat Bukti Petunjuk
Perusahaan
pasal 15 ayat (1)

UU No. 20 Tahun 2001


tentang Tindak Pidana
2 Alat Bukti Petunjuk
Korupsi
Pasal 26A

UU No. 15 Tahun 2002


tentang Tindak Pidana
3 Alat Bukti
Pencucian Uang
Pasal 38

Perpu No. 1 Tahun 2002


tentang Pemberantasan
4 Tindak Pidana Alat Bukti
Terorisme
Pasal 27

Peraturan tersebut diatas masih hanya mengatur mengenai keabsahan bukti


elektronik di pengadilan Indonesia, belum pengaturan lebih lanjut baik mengenai tata
cara penyerahan, prosedur dan standar penanganan bukti elektronik. Pengaturan ini
merupkan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku
di Indonesia. Hal ini juga disampaikan oleh Edmon Makarim, sebagai perancang UU ITE,
dalam suatu FGD penelitan bukti elektronik oleh Puslitbang Mahkamah Agung pada
akhir tahun 2019 di Jakarta. UU ITE ini merupakan UU Omnibus Law dalam hukum
pembuktian di Indonesia dan merupakan perluasan alat bukti yang diatur baik dalam
KUHAP, maupun dalam HIR/RBG, dan merupakan alat bukti yang berdiri sendiri

Di berbagai negara dalam pengaturan penerimaan bukti elektronik di pengadilan


sangat beragam. Namun pada prinsipnya memiliki kesamaan pendekatan (Hamidovic,
2012) dalam teori hukum pembuktian yaitu bahwa bukti dapat dipakai sebagai alat
bukti di pengadilan dengan beberapa syarat-syarat yaitu: a. Admissible, diperkenankan
oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti b. Reliability, yakni alat bukti
tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu).

UU No. 21 Tahun 2007


tentang Pemberantasan
5 Tindak Pidana Alat Bukti
Perdagangan Orang
Pasal 29

UU No. 11 Tahun 2008 jo.


UU No. 19 Tahun 2016
tentang
6 Informasi dan Transaksi Alat Bukti
Elektronik
Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal
44

UU No. 32 tahun 2009


tentang Perlindungan dan
7 Pengelolaan Alat Bukti
Lingkungan Hidup
Pasal 96 Ayat (f)

UU No. 35 Tahun 2009


8 tentang Narkotika Alat Bukti
Pasal 86 Ayat 2

UU No. 8 Tahun 2010


tentang Pencegahan dan
Pemberantasan
9 Alat Bukti
Tindak Pidan Pencucian
Uang
Pasal 73

UU No. 9 Tahun 2013


tentang Pencegahan dan
Pemberantasan
10 Alat Bukti
Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme
Pasal 38

UU No. 18 Tahun 2013


11 tentang Pencegahan dan Alat Bukti
Pemberantasan Perusakan
Hutan
Pasal 37

Di berbagai negara dalam pengaturan penerimaan bukti elektronik di pengadilan


sangat beragam. Namun pada prinsipnya memiliki kesamaan pendekatan (Hamidovic,
2012) dalam teori hukum pembuktian yaitu bahwa bukti dapat dipakai sebagai alat
bukti di pengadilan dengan beberapa syarat-syarat yaitu: a. Admissible, diperkenankan
oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti b. Reliability, yakni alat bukti
tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu). c. Necessity, yakni alat
bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta. d. Relevance, yakni
alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.

Bukti elektronik sendiri sejak 1969 telah dikenal di di dunia peradilan ketika
Amerika Serikat menggunakan sebagai bukti pendukung perkara di pengadilan. Seiring
berkembangnya waktu, bukti elektronik yang dihadirkan semakin kompleks. Arthur
Andersen, LLP v. United States, 544 U.S. 696 (2005), kasus terkenal akibat keruntuhan
Enron, menghadirkan bukti elektronik berupa email. Bukti tersebut menjadi dasar
putusan yang menyatakan terjadinya tindakan kriminal menghalangi proses hukum
(obstruction of justice) berupa instruksi menghancurkan dokumen dengan alasan telah
mencapai retensi waktu. Bahkan di tahun 2006, dalam ACS Consultant Co., Inc. v.
Williams, 2006 WL 897559 (E.D.MICH. 2006), bukti elektronik telah dapat
membuktikan dilakukannya pelanggaran kontrak dan tindakan penghancuran
informasi dengan cara menghapus, merusak, atau “wipe clean” data dalam hard disk,
laptop, dan Blackberry. Sebagai perbandingan, berikut adalah pengaturan bukti
elektronik yang ditulis dalam peraturan perundangan di negara Inggris dan Amerika
Serikat.
Secara umum, pengaturan mengenai perolehan bukti elektronik di Inggris
terdapat pada 3 peraturan, yaitu Police and Criminal Evidence Act 1984 , The Criminal
Procedure Rules 2015, dan Investigatory Power Act 2016. Secara garis besar dalam
peraturan tersebut ada 2 bentuk bukti elektronik yang diakui di Inggris yaitu computer
evidence dan telecommunication data. Dalam Police and Criminal Evidence Act 1984
section 69(1) disebutkan bahwa bukti elektronik merupakan pernyataan tertulis yang
berasal dari komputer. Lebih lanjut, salah satu persyaratan bukti dapat diserahkan ke
pengadilan adalah tidak adanya dugaan atas ketidakakuratan informasi karena
komputer digunakan dengan cara yang tidak benar. Dalam klausul 20(1) disebutkan
bahwa kewenangan penggeledahan atas informasi yang terkandung dalam komputer
dimiliki oleh penyidik. Informasi tersebut harus diambil dalam bentuk yang dapat dilihat
dan dibaca.

Pembatalan hak atas data privasi diatur dalam Data Protection Act 1998 klausul
29 (1), jika data pribadi diolah untuk beberapa kepentingan di antaranya untuk
mencegah atau mendeteksi suatu kejahatan. Konsep pengeledahan dan penyitaan bukti
elektronik dalam bentuk ini di Inggris dilakukan dengan mekanisme “permintaan data”.
Menurut Section 61 (2) Investigatory Power Act 2016, penyidik memiliki wewenang untuk
(a) mendapatkan data komunikasi dari setiap orang atau sistem telekomunikasi; (b)
meminta setiap orang yang dipercayai memiliki data komunikasi atau mampu
memperolehnya untuk menyerahkan atau membuka data seseorang yang ada pada
dirinya; (c) mengirimkan pemberitahuan kepada operator telekomunikasi yang oleh
penyidik dinilai memiliki data komunikasi atau mampu memperolehnya untuk
menyerahkan atau membuka data seseorang dalam rangka pembuktian. Tentu saja
proses tersebut dilengkapi dengan adanya izin dari pengadilan dan adanya surat
perintah penggeledahan (warrant).

Secara teknis, Inggris telah memiliki standar prosedur atau guidelines untuk
melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektornik, melalui Association of Chief
Police Officers (ACPO) Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence.
Pedoman ini banyak diikuti oleh negara-negara lain didalam penanganan bukti
elektronik yang procedural. Ada beberapa peraturan perundangan dan pengaturan
prosedur dalam sistem hukum di Amerika Serikat yang menjadikan bukti elektronik
sebagai bukti yang sah di pengadilan (admissible). Antara lain adalah Rule 41 of Federal
Rules of Criminal Procedure (FRCP) yang mengatur penanganan bukti elektronik; 4th
Amandement of Constitution yang secara khusus mengatur tentang perlindungan atas
hak privasi; perundangan terkait penyadapan dalam Stored Wired and Electronic
Communication Act, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya peraturan yang mengatur
sehingga bukti elektronik dapat dijadikan sebagai bukti yang sah di pengadilan terdiri
dari prosedur untuk melakukan pemeriksaan atas perangkat elektronik, pengambilan
data (data retrieveing), dan pemeriksaan dalam persidangan. Pemeriksaan atas
perangkat elektronik di Amerika dibedakan berdasarkan bentuk bukti elektronik, yaitu
bukti elektronik dalam bentuk data/informasi yang terdapat di dalam komputer, atau
lazim disebut Electronically Stored Information (ESI), dan bukti elektronik dalam bentuk
komunikasi elektronik. Untuk melakukan pemeriksaan atau penggeledahan atas ESI dan
komunikasi elektronik disyaratkan adanya surat perintah pengadilan (warrant) dan atau
consent (persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan) dari pihak yang memiliki akses atas
ESI atau media komunikasi elektronik terkait.

Konsep pemeriksaan bukti elektronik dalam bentuk komunikasi elektronik


bukanlah dalam bentuk “penggeledahan” dan “penyitaan”, namun “permintaan data”,
sama seperti yang diatur di Inggris. Peraturan yang berlaku adalah 18 United States
Code (U.S.C.), Chapter 121—Stored Wire and Electronic Communications and
Transactional Records Access, Rule 2703 “Required disclosure of customer
communications or records”. Disebutkan bahwa perwakilan pemerintah (penyidik)
dapat meminta penyedia layanan komunikasi elektronik untuk membuka komunikasi
elektronik yang ada di dalam penyimpanan elektronik dalam sistem komunikasi
elektronik penyedia layanan tersebut untuk waktu 180 (seratus delapan puluh) hari
atau kurang. Hal ini hanya dapat dilakukan berdasarkan surat perintah yang
dikeluarkan oleh pengadilan dengan yurisdiksi yang kompeten Secara teknis, Amerika
Serikat telah memiliki standar prosedur atau guidelines untuk melakukan
penggeledahan bukti elektronik, yaitu Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for
First Responders, Second Edition dan Investigative Uses of Technology: Devices, Tools, and
Techniques. Sedangkan panduan untuk Hakim dan Jaksa, adalah Digital Evidence in the
Courtroom: A Guide for Law Enforcement and Prosecutors. Keduanya dikeluarkan oleh
National Institute of Justice, Office of Justice Programs yang merupakan bagian dari U.S.
Department of Justice.
VI. BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI PERLUASAN ALAT BUKTI YANG DIATUR HIR/RBG

Pasal 164 HIR/284 Rbg dan Pasal 1866 KUH.Perdata mengatur mengenai alat-alat
buktiyang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan secara
imitatif dan disusun secara berurutandari mulai alat bukti surat, keterangan saksi,
persangakaan-persangkaan, pegakuan dan sumpah. Disamping itu Pasal 153 HIR/273
RBG ada bukti pemeriksaan setempat (decente), berdasarka putusan Mahkamah Agung
tanggal 24 Januari 1873 kekuatan pembuktian pemeriksaan setempat diserahkan kepada
hakim, sedangkan keterangan tertulis dari seseorang yang dibuat dibawah sumpah
(affidafit) tidak disamakan dengan keterangan saksi di depan persidangan (putusan
Mahamah Agung 10 Januari 1957 No. 38/K/Sip/1954. Hal ini berbeda dengan di Belanda,
affidafit merupakan bukti dalam pembuktian perdata.

Kemudian terjadi beberapa perkembanhan, diantaranya muncul fotokopi, yang


berdasarkan putusan mahkamah Agung tangggal 14 April 1976 No. 71 K/Sip/1974, fotokopi
dapat diterima sebagai alat bukti jika fotokopi itu disertai keterangan atau fotokopi
tersebut sesuai dengan aslinya. Hasil print-out dari mesin faximili, microfilm atau
microfische yang digunakan untuk menyimpan data menurut putusan Mahkamah Agung
14 April 1976 dapat dianggap sebagai bukti tertulis. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997
tentang dokumen perusahaan telah mulai menjangkau ke`arah pembuktian elektronik,
terhadap dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronik (paperless) dapat dijadikan
alat bukti yang sah jika terjadi sengketa di pengadilan. Berbagai jenis yang dapat
dikategorikan sebagai alat bukti elektronik semakin banyak muncul dalam praktek,
misalnya email, pemeriksaan saksi menggunakan video teleconference, SMS (short
massage system), hasil rekaman kamera (CCTV), informasi elektronik, tiket elekronik,
data/dokumen elektronik dan sarana eletronik lainnya sebagai media penyimpan data.
Penggunaan dan pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah pertama
kali dikenal dalam online trading dalam bursa efek. Pengakuan transaksi eletronik
sebagai alat bukti adalah merupakan bentuk penemuan hukum (rechtsvinding) oleh
pengadilan dalam menangani perkara-perkara perdata.

Permasalahannya adalah apakah suatu bukti berbentuk dokumen elektronilk


dapat disamakan dengan alat bukti surat, atau perluasan alat-alat bukti yang diatur
dalam HIR/RBG tersebut. Di Belanda, sejak tahun 1969, mulai diakui alat bukti elektronik
di luar yang diatur dalam Rv, meskipun tidak secara tegas diatur dalam Rv, bukti
elektronik diakomodir dalam penjelasan Pasal 843a ayat (1) Rv. Pasal 152 ayat (1) Rv
menyebutkan pembuktian perdata dalam sistem hukum acara perdata di Belanda
menganut sistem terbuka, hal ini memungkinkan diakuinya bukti elektronik sebagai
perluasan alat bukti yang sudah diatur dalam undang-undang. Pada tanggal 18 Mei
2001, Belanda mengatur secara resmi tanda tangan elektronik dalam Dutch Electronic
Signature Act (DESA). Pembentuk undang-undang Belanda telah mengatur secara
umum mengenai pengakuan tanda tangan elektronik. Dari beberapa putusan
pengadilan di Belanda mengakui alat bukti elektronik dalam penyelesaian sengketa di
pengadilan. Di Singapura, keluaran komputer diakui sebagai alat bukti yang sah
menurut hukum dan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan Pasal 35 Evidence
Act of Singapore 1996, yang digunakan untuk perkara pidana dan perdata. Pasal 3 (1)
The Evidence act 1996 mendefinisikan tentang keluaran komputer sebagai suatu
pernyataan atau gambaran (berupa sesuatu yang dapat didengar/suara, sesuatu yang
dapat dilihat, grafik, multi media, cetakan, majalah bergambar, tulisan atau benuk lain),
yang : a. dihasulkan oleh komputer; atau diterjemahkan secara tepat dari pernyataan
atau gambaran apa yang dihasilkan.

Perkembangan yang terjadi di Belanda memberikan implikasi bagi


perkembangan hukum di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan hukum
pembuktian perdata yang menyangkut bukti elektronik. UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 36 (1), angka 6 menyebutkan alat bukti lain di luar
yang disebutkan HIR/RBG adalah berupa alat bukti elektronik. Secara lebih tegas, UU
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik (UU ITE), secara khusus mengatur
bukti elektronik. Pasal 5 UU ITE menyebutkan bahwa informasi dan atau dokumen
elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat
hukum yang sah. Pengaturan ini merupkan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Hal ini juga disampaikan oleh Edmon
Makarim, sebagai perancang UU ITE, dalam suatu FGD penelitan bukti elektronik oleh
Puslitbang Mahkamah Agung pada akhir tahun 2019 di Jakarta. UU ITE ini merupakan
UU Omnibus Law dalam hukum pembuktian di Indonesia dan merupakan perluasan alat
bukti yang diatur baik dalam KUHAP, maupun dalam HIR/RBG, dan merupakan alat
bukti yang berdiri sendiri, namun demi kepastian hukum, UU Hukum Acara Perdata
dimasa yang akan datang perlu untuk merumuskan bukti elektronik ini sebagai alat
bukti yang berdiri sendiri, di luar bukti persangkaan atau bukti surat, atau perlu
perubahan sistem hukum pembuktian dari yang bersifat tertutup menjafi sistem yang
bersifat terbuka, tidak lagi mengatur secara limitatif alat bukti yang dapat digunakan
untuk membuktikan peristiwa hukum yang didalilkan para pihak, sehingga bukti
elektronik diakui secara pasti sebagai alat bukti yang sah dan berdiri sendiri.

REFERENSI
Abraham, John., Resendez, Irma. & Martinez, Pablo. (2008). An Introduction to Digital
Forensic. Diunduh dari https://www.researchgate.net/publication/228864187

Grimm, Hon. Paul., Joseph, Gregory., Capra, Daniel J. (2016). Best Practices for
Authenticating Digital Evidence. West Academic Published. ISBN: 978-1-68328-471-0
Harahap, Yahya (2008). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar
Grafika. ISBN 979-8767-72-1
International Organization for Standardization /IEC 2707. (2012). Information technology -
- Security techniques -- Guidelines for identification, collection, acquisitionand preservation
of digital evidence . Marcella, Albert J. & Menendez, Doug (2008).
Cyber Forensics. Boca Raton, FL: Auerbach Publications Taylor & Francis Group. Mulyadi,
Lilik (2008). Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif Teoritis dan Praktik.
Alumni. ISBN: 978-9-79414-045-1

National Institute of Justice, U.S. Department of Justice Office of Justice Programs (2006).
Guide to Integrating Forensic Techniques into Incident Response. Diunduh dan
http://nvlpubs.nist.gov/nistpubs/Legacy/SP/nistspecialpublication800-86.pdf National
Institute of Justice, U.S. Department of Justice Office of Justice Programs (2007).
Digital Evidence in the Courtroom: A Guide for Law Enforcement and Prosecutors.
Diunduh dari https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/211314.pdf

National Institute of Justice, U.S. Department of Justice Office of Justice Programs (2008).
Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders, Second Edition.
Diunduh dari https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/219941.pdf

Joseph Peterson, Ira Sommers, Deborah Baskin, and Donald Johnson (2010). The Role
and Impact of Forensic Evidence in the Criminal Justice Process. National Institute of
Justice

Pendleton, Hon. Alan F. (2013). Admissibility of Electronic Evidence “Focus on


Authenticity”. Minnesota Judicial Training Update.
The Association of Chief Police Officers, ACPO. (2012). Good Practice Guide for
Computer-Based Electronic Evidence, version 5. England, Wales & Northern Ireland.
Vandeven, Sally (2014). Forensic Image: For Your Viewing Pleasure, SANS Institute;

Dr. Hj. Efa Laela Fakhriaha, SH,MH, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian, Alumni,
Bandung, 2009 ;

Anda mungkin juga menyukai