I. Tujuan pembelajaran :
Setelah mengikuti pelatihan ini peserta mampu:
• Menjelaskan legalitas penggunaan bukti elektronik dan menggunakannya
dalam pemeriksaan perkara pidana dan perdata;
• Menjelaskan keabsahan perolehan alat-alat bukti elektronik yang akan
digunakan sebagai alat bukti di persidangan;
KUHAP sebagai hukum acara pidana yang bersifat umum tidak mengakui bukti
elektronik sebagai salah satu jenis alat bukti yang sah. Di dalam praktik, bukti elektronik
juga digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk membuktikan tindak pidana yang
terjadi di pengadilan. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan, bahwa bukti elektronik
dalam hukum acara pidana berstatus sebagai alat bukti yang berdiri sendiri dan alat
bukti yang tidak berdiri sendiri (pengganti bukti surat apabila memenuhi prinsip/dasar
dalam functional equivalent approach dan perluasan bukti petunjuk) sebagaimana
dicantumkan dalam beberapa undang-undang khusus dan instrumen hukum yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Walaupun bukti elektronik tidak diatur dalam
KUHAP sebagai lex generalis, namun untuk tercapainya kebenaran materiil dapat juga
digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk pembuktian seluruh jenis tindak pidana di
pengadilan. Hal itu didasarkan pada pengakuan dalam praktik peradilan pidana,
beberapa undang-undang khusus, dan instrumen yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung
Dalam perkara pidana untuk membuktikan suatu perbuatan pidana diperlukan
alat bukti dan barang bukti, sedangkan dalam perkara perdata, untuk membuktikan
apa yang disengketa diperlukan alat-alat bukti. Alat-alat bukti ini telah ditentukan
secara limitatif dalam undang-undang, namun karena adanya perkembangan zaman,
bukti elektronik digunakan sebagai alat bukti di persidangan, undang-undang tersebut
menjadi ketinggalan zaman (out of date). Perkembangan Teknologi Informasi dan
Komputer (TIK) telah mengalami kemajuan yang sangat pesat yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan komputer, telepon genggam atau smart phone,
email, internet, website,cctv dan lain-lain secara luas telah banyak mendukung manusia
di dalam menjalankanaktivitasnya. Misalnya dalam aktifitas ekonomi, TIK digunakan
untuk memudahkantransaksi dan pengelolaan bisnis. Hal ini juga berlaku terhadap
bidang lainnya sepertipendidikan, kesehatan, transportasi, pemerintahan, dan bahkan
dalam kebutuhanpribadi seperti aplikasi facebook dan instagram untuk memperlihatkan
identitas diridalam kebutuhan bersosialisasi di dunia maya.
Marcella dan Menendez (2008) menyatakan bahwa istilah digital forensic atau
digital forensik acapkali dikenal sebagai forensik siber (Cyber-Forensic) atau komputer
forensik yang kurang lebih memililki arti yang relatif sama. Forensik digital sendiri
didefinisikan sebagai suatu proses penggunaan pengetahuan ilmiah dalam menemukan,
mengumpulkan, mengekstraksi, dan menganalisis jenis data dari berbagai perangkat
yang berbeda seperti sistem komputer, jaringan, komunikasi nirkabel, dan perangkat
penyimpanan data digital lainnya yang oleh pakar kemudian dapat diinterpretasikan
sebagai bukti hukum sehingga dapat diterima sebagai bukti di pengadilan. National
Institute of Standards Technology – US (2006) juga menyatakan bahwa digital forensic
dikenal sebagai forensik komputer dan jaringan yang memiliki banyak definisi. Namun
pada umumnya, dinyatakan sebagai penerapan sains didalam identifikasi, pengumpulan,
pemeriksaan, dan analisis data ketika melestarikan integritas data informasi dan
memelihara ranta pengawasan yang ketat untukmendapatkan data. Data tersebut
mengacu pada potongan informasi digital yang berbeda yang telah diformat dengan
cara tertentu.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Forensik Digital pada
prinsipnya adalah merupakan suatu rangkaian metodologi yang terdiri dari teknik dan
prosedur untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, memeriksa dan menganalisis serta
melestarikan data berbasis entitas maupun yang bersumber dari piranti digital agar
dapat dipergunakan secara sah dalam pembuktian suatu pidana. Kebutuhan terhadap
forensik digital dalam penegakan hukum semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya kejahatan digital secara eksponensial. Pembuktian terkait kejahatan yang
menggunakan teknologi komputer memilikikarakteristik tersendiri. Selain dari sifat
teknologi digital sendiri yang memungkinkanpelaku kejahatan dapat menyembunyikan
atau menghilangkan jejaknya, kejahatanmelalui teknologi informasi dan komputer juga
tidak mengenal batas geografis atau borderless, Aktivitas ini bisa dilakukan dari jarak
dekat, ataupun dari jarak ribuan kilometer dengan hasil yang serupa.
Untuk kepentingan penegakkan hukum, ada banyak referensi model prosedur
forensik yang digunakan di seluruh dunia, tergantung kebutuhan proses dan aturan
hukum (acara) yang berlaku di setiap negara. Namun pada prinsipnya dikembangkan
dari tiga dimensi konteks yang saling terkait, yaitu :
• Log Monitoring. Berbagai alat dan teknik forensik dapat membantu dalam
pemantauan log, seperti menganalisis log entries dan mengkaitkan log entries
dengan berbagai sistem. Hal ini dapat membantu dalam penanganan insiden,
mengidentifikasi adanya pelanggaran kebijakan, digunakan dalam audit, serta
upaya
lainnya.
• Data Recovery. Ada berbagai macam alat forensik yang dapat memulihkan
data yang hilang dari sistem, termasuk data yang sengaja dihapus atau tidak
sengaja terhapus atau data yang dimodifikasi. Jumlah data yang dapat
dipulihkan bervariasi berdasarkan kasusnya.
• Data Acquisition. Beberapa organisasi menggunakan alat forensik guna
memperoleh data dari perangkat jaringan yang sedang dipindahkan atau
dimatikan. Misalnya, ketika pengguna meninggalkan sebuah organisasi, data dari
workstation pengguna dapat diambil dan disimpan untuk keperluan di masa
depan. Media workstation kemudian dapat disterilkan untuk menghapus semua
data daripengguna.
• Due Diligence/Regulatory Compliance. Regulasi saat ini mensyaratkan organisasi
untuk melindungi informasi rahasia dan memelihara catatan tertentu untuk
tujuan audit. Selain itu, bila ada informasi yang dilindungi yang harusdipaparkan
kepadapihak lain, organisasi mungkin diminta untuk memberitahu institusi lain
atau individu yang terkait. Forensik dapat membantuorganisasi melakukan
duediligence dan mematuhi persyaratan tersebut.
Sementara "media lainnya" adalah alat penyimpanan informasi yang bukan kertas
dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang
dialihkan atau ditransformasikan, misalnya Compact Disk-Read Only Memory (CD-ROM),
dan WriteOnce-Read-Many (WORM). Dengan kata lain, Undang-Undang Dokumen
Perusahaan telah memberlakukan alat bukti elektronik berupa mikrofilm atau media
penyimpan data lainnya sebagai alat bukti yang sah sekalipun bukanlah alat bukti yang
termasuk dalam alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Penjelasan tersebut diperkuat
dengan adanya surat Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman tanggal 14 Januari
1988 No. 39/TU/88/102/Pid yang mengemukakan pendapatnya, bahwa microfilm atau
microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di
pengadilan menggantikan alat bukti surat, dengan catatan microfilm itu sebelumnya
dijamin otentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara.
1.2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo . UndangUndang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penerimaan alat
bukti elektronik dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi dapat dilihat pada
pasal 26A yang menyatakan: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981
Tentang Hukum AcaraPidana (KUHAP), khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat
diperoleh dari: a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b.
Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,
baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Dalam penjelasannya, terkait
huruf a pasal 26A diatas bahwa yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik"
misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-
ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Sedangkan yang dimaksud dengan "alat
optik atau yang serupa dengan itu" dalam ayat ini tidak terbatas pada data
penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram,
teleks, dan faksimili. Pasal 44 ayat (2) UU No.30 Tahun 2002 menguatkan dalam
penyelidikan tindak pidana korupsi apabila bukti permulaan yang cukup dianggap telah
ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan
tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik. Dengan demikian, Undang-
Undang KPK mengakui keberadaan alat bukti elektronik dan dapat digunakan sebagai
bukti permulaan pada tindak pidana korupsi. 1.3. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi
UndangUndang.
Keberadaan alat bukti elektronik dalam undang-undang Tindak Pidana
Terorisme termuat dalam Bab V tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di
Sidang Pengadilan, khususnya pasal 27 yang menyatakan : Alat bukti pemeriksaan
tindak pidana terorisme meliputi : 1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum
Acara Pidana; 2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar,
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam
secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a) Tulisan, suara, atau gambar;
b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi
yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
Jika dikaitkan dengan KUHAP, Undang-Undang Terorisme mengatur alat bukti
elektronik baik yang disimpan dalam optik atau yang serupa serta data atau informasi
elektronik sebagai alat bukti lain di luar alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP.
1.4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Pencegajan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juga telah mengatur
mengenai alat bukti elektronik. Hal tersebut tertuang pada pasal 73 yang menyatakan
bahwa alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang
terdiri dari: a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;
Didalam ketentuan umum no 16, disebutkan juga bahwa Dokumen adalah data,
rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas
atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. tulisan, suara, atau gambar; b. Peta, rancangan,
foto atau sejenisnya; c. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
1.5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 jo. UndangUndang Nomor
19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektonik (ITE) merupakan titik terang dari pengaturan alat bukti elektronik di
Indonesia walaupun masih perlu banyak penyempurnaan. Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang ITE menyatakan bahwa 1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2) Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang
berlaku di Indonesia. 3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan
sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini. 4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat
beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta
notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Ditetapkannya bahwa
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan
alat bukti hukum yang sah (ayat 1) dan bahwa kedudukan alat bukti elektronik adalah
sebagai perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di
Indonesia, maka alat bukti elektronik tidak hanya berlaku pada tindak pidana tertentu
saja, tetapi juga tindak pidana apa saja, bahkan juga berlaku juga sebagai alat bukti
dalam setiap hukum acara di Indonesia, tidak hanya hukum acara pidana saja. Status
bukti elektronik sebagai alat bukti yang berdiri sendiri juga dapat digunakan dalam
kaitannya dengan tindak pidana terorisme (Pasal 38 UU No. 9 Tahun 2013), tindak
pidana pencucian uang (Pasal 73 UU No. 8 Tahun 2010), tindak pidana narkotika (Pasal
86 UU No. 35 Tahun 2009), dan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 20 UU No. 21
Tahun 2007). Kedudukan alat bukti elektronik dalam Undang-Undang ITE dan
kaitannya dengan alat bukti dalam KUHAP dapat dijelaskan sebagai berikut8 : 1) Alat
bukti elektronik memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti. Alat bukti yang
diperluas dalam KUHAP ialah alat bukti surat. Esensi surat ialah kumpulan dari tanda
baca tertentu yang memiliki makna. Esensi ini sama dengan hasil cetak dari informasi
atau dokumen elektronik. Hasil cetak dari informasi dan dokumen elektronik
dikategorikan sebagai surat lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 187 8 Josua
Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana (Jakarta:
Tatanusa, 2012). huruf d KUHAP dan hanya dapat dijadikan alat bukti bila memiliki
hubungan dengan isi alat pembuktian lainnya. 2) Alat bukti elektronik sebagai alat bukti
lain. Alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain dipertegas dalam pasal 44
UndangUndang ITE yang mengatur bahwa, Informasi dan/atau dokumen elektronik
adalah alat bukti lain yang digunakan sebagai alat bukti penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, Penegasan bahwa informasi atau dokumen elektronik
dalam bentuk originalnya merupakan alat bukti selain yang diatur dalam KUHAP
adalah pengaturan yang sangat penting mengingat apabila informasi atau dokumen
elektronik tersebut dicetak, tidak akan akurat informasi yang didapat bila dibandingkan
dengan informasi atau dokumen elektronik yang tetap dalam bentuk originalnya. Pada
poin ini sangat makanya sangat diperlukan penanganan bukti elektronik harus sesuai
dengan prinsip, prosedur dan tahapan penanganannya sebagaimana diulas dalam bab
sebelumnya. 3) Alat bukti elektronik sebagai sumber petunjuk. Menurut Pasal 188 ayat (1)
KUHAP, petunjuk adalah perbuatan kejadian, yang karena persesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Pasal 182 ayat (2) KUHAP
membatasi kewenangan hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk. Sumber
yang dapat digunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti
secara limitative yaitu bahwa petunjuk “hanya” dapat diperoleh dari keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa.
Dengan adanya ketentuan bahwa alat bukti elektronik juga dapat dijadikan
sebagai sumber petunjuk, maka dikaitkan antara pasal 188 KUHAP dengan Pasal 26A
UU No. 20 Tahun 2001, maka saat ini alat bukti petunjuk berasal dari keterangan saksi,
surat, keterangan terdakwa, dan bukti elektronik berupa informasi dan dokumen (hasil
cetak informasi atau dokumen elektronik tersebut yang dapat dikategorikan surat,
surat yang dimaksud adalah “surat lain” sepanjang surat itu memiliki hubungan dengan
isi dari alat pembuktian lainnya).Perubahan Atas Undang-Undang ITE didasari oleh
Putusan MK No. 20/PUUXIV/2016. Undang-Undang perubahan hanya menambahkan
tafsiran umum atau penjelasan terhadap: Penjelasan 5 ayat (1) berbunyi:
“Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan
diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam
pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui
Sistem Elektronik” Penjelasan Pasal 5 ayat (2) berbunyi: “Khusus untuk Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau
perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya
yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang” Berikut adalah
beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur bukti elektronik:
UNDANG-UNDANG /
NO KEDUDUKAN
PASAL
Bukti elektronik sendiri sejak 1969 telah dikenal di di dunia peradilan ketika
Amerika Serikat menggunakan sebagai bukti pendukung perkara di pengadilan. Seiring
berkembangnya waktu, bukti elektronik yang dihadirkan semakin kompleks. Arthur
Andersen, LLP v. United States, 544 U.S. 696 (2005), kasus terkenal akibat keruntuhan
Enron, menghadirkan bukti elektronik berupa email. Bukti tersebut menjadi dasar
putusan yang menyatakan terjadinya tindakan kriminal menghalangi proses hukum
(obstruction of justice) berupa instruksi menghancurkan dokumen dengan alasan telah
mencapai retensi waktu. Bahkan di tahun 2006, dalam ACS Consultant Co., Inc. v.
Williams, 2006 WL 897559 (E.D.MICH. 2006), bukti elektronik telah dapat
membuktikan dilakukannya pelanggaran kontrak dan tindakan penghancuran
informasi dengan cara menghapus, merusak, atau “wipe clean” data dalam hard disk,
laptop, dan Blackberry. Sebagai perbandingan, berikut adalah pengaturan bukti
elektronik yang ditulis dalam peraturan perundangan di negara Inggris dan Amerika
Serikat.
Secara umum, pengaturan mengenai perolehan bukti elektronik di Inggris
terdapat pada 3 peraturan, yaitu Police and Criminal Evidence Act 1984 , The Criminal
Procedure Rules 2015, dan Investigatory Power Act 2016. Secara garis besar dalam
peraturan tersebut ada 2 bentuk bukti elektronik yang diakui di Inggris yaitu computer
evidence dan telecommunication data. Dalam Police and Criminal Evidence Act 1984
section 69(1) disebutkan bahwa bukti elektronik merupakan pernyataan tertulis yang
berasal dari komputer. Lebih lanjut, salah satu persyaratan bukti dapat diserahkan ke
pengadilan adalah tidak adanya dugaan atas ketidakakuratan informasi karena
komputer digunakan dengan cara yang tidak benar. Dalam klausul 20(1) disebutkan
bahwa kewenangan penggeledahan atas informasi yang terkandung dalam komputer
dimiliki oleh penyidik. Informasi tersebut harus diambil dalam bentuk yang dapat dilihat
dan dibaca.
Pembatalan hak atas data privasi diatur dalam Data Protection Act 1998 klausul
29 (1), jika data pribadi diolah untuk beberapa kepentingan di antaranya untuk
mencegah atau mendeteksi suatu kejahatan. Konsep pengeledahan dan penyitaan bukti
elektronik dalam bentuk ini di Inggris dilakukan dengan mekanisme “permintaan data”.
Menurut Section 61 (2) Investigatory Power Act 2016, penyidik memiliki wewenang untuk
(a) mendapatkan data komunikasi dari setiap orang atau sistem telekomunikasi; (b)
meminta setiap orang yang dipercayai memiliki data komunikasi atau mampu
memperolehnya untuk menyerahkan atau membuka data seseorang yang ada pada
dirinya; (c) mengirimkan pemberitahuan kepada operator telekomunikasi yang oleh
penyidik dinilai memiliki data komunikasi atau mampu memperolehnya untuk
menyerahkan atau membuka data seseorang dalam rangka pembuktian. Tentu saja
proses tersebut dilengkapi dengan adanya izin dari pengadilan dan adanya surat
perintah penggeledahan (warrant).
Secara teknis, Inggris telah memiliki standar prosedur atau guidelines untuk
melakukan penggeledahan dan penyitaan bukti elektornik, melalui Association of Chief
Police Officers (ACPO) Good Practice Guide for Computer-Based Electronic Evidence.
Pedoman ini banyak diikuti oleh negara-negara lain didalam penanganan bukti
elektronik yang procedural. Ada beberapa peraturan perundangan dan pengaturan
prosedur dalam sistem hukum di Amerika Serikat yang menjadikan bukti elektronik
sebagai bukti yang sah di pengadilan (admissible). Antara lain adalah Rule 41 of Federal
Rules of Criminal Procedure (FRCP) yang mengatur penanganan bukti elektronik; 4th
Amandement of Constitution yang secara khusus mengatur tentang perlindungan atas
hak privasi; perundangan terkait penyadapan dalam Stored Wired and Electronic
Communication Act, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya peraturan yang mengatur
sehingga bukti elektronik dapat dijadikan sebagai bukti yang sah di pengadilan terdiri
dari prosedur untuk melakukan pemeriksaan atas perangkat elektronik, pengambilan
data (data retrieveing), dan pemeriksaan dalam persidangan. Pemeriksaan atas
perangkat elektronik di Amerika dibedakan berdasarkan bentuk bukti elektronik, yaitu
bukti elektronik dalam bentuk data/informasi yang terdapat di dalam komputer, atau
lazim disebut Electronically Stored Information (ESI), dan bukti elektronik dalam bentuk
komunikasi elektronik. Untuk melakukan pemeriksaan atau penggeledahan atas ESI dan
komunikasi elektronik disyaratkan adanya surat perintah pengadilan (warrant) dan atau
consent (persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan) dari pihak yang memiliki akses atas
ESI atau media komunikasi elektronik terkait.
Pasal 164 HIR/284 Rbg dan Pasal 1866 KUH.Perdata mengatur mengenai alat-alat
buktiyang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan secara
imitatif dan disusun secara berurutandari mulai alat bukti surat, keterangan saksi,
persangakaan-persangkaan, pegakuan dan sumpah. Disamping itu Pasal 153 HIR/273
RBG ada bukti pemeriksaan setempat (decente), berdasarka putusan Mahkamah Agung
tanggal 24 Januari 1873 kekuatan pembuktian pemeriksaan setempat diserahkan kepada
hakim, sedangkan keterangan tertulis dari seseorang yang dibuat dibawah sumpah
(affidafit) tidak disamakan dengan keterangan saksi di depan persidangan (putusan
Mahamah Agung 10 Januari 1957 No. 38/K/Sip/1954. Hal ini berbeda dengan di Belanda,
affidafit merupakan bukti dalam pembuktian perdata.
REFERENSI
Abraham, John., Resendez, Irma. & Martinez, Pablo. (2008). An Introduction to Digital
Forensic. Diunduh dari https://www.researchgate.net/publication/228864187
Grimm, Hon. Paul., Joseph, Gregory., Capra, Daniel J. (2016). Best Practices for
Authenticating Digital Evidence. West Academic Published. ISBN: 978-1-68328-471-0
Harahap, Yahya (2008). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar
Grafika. ISBN 979-8767-72-1
International Organization for Standardization /IEC 2707. (2012). Information technology -
- Security techniques -- Guidelines for identification, collection, acquisitionand preservation
of digital evidence . Marcella, Albert J. & Menendez, Doug (2008).
Cyber Forensics. Boca Raton, FL: Auerbach Publications Taylor & Francis Group. Mulyadi,
Lilik (2008). Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif Teoritis dan Praktik.
Alumni. ISBN: 978-9-79414-045-1
National Institute of Justice, U.S. Department of Justice Office of Justice Programs (2006).
Guide to Integrating Forensic Techniques into Incident Response. Diunduh dan
http://nvlpubs.nist.gov/nistpubs/Legacy/SP/nistspecialpublication800-86.pdf National
Institute of Justice, U.S. Department of Justice Office of Justice Programs (2007).
Digital Evidence in the Courtroom: A Guide for Law Enforcement and Prosecutors.
Diunduh dari https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/211314.pdf
National Institute of Justice, U.S. Department of Justice Office of Justice Programs (2008).
Electronic Crime Scene Investigation: A Guide for First Responders, Second Edition.
Diunduh dari https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/219941.pdf
Joseph Peterson, Ira Sommers, Deborah Baskin, and Donald Johnson (2010). The Role
and Impact of Forensic Evidence in the Criminal Justice Process. National Institute of
Justice
Dr. Hj. Efa Laela Fakhriaha, SH,MH, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian, Alumni,
Bandung, 2009 ;