Anda di halaman 1dari 10

PENANGANAN

PERAWATAN LUKA SAAT BENCANA


– DIAMBIL DARI KASUS KEJADIAN BENCANA DI PIDIE JAYA, ACEH
1 2 3 4 5
Author: Widasari Sri Gitarja . Co. Author: Edy Mulyadi ; Marina Ruran ; Idramsyah ; Devi Sahputra

PENGANTAR
Situasi bencana. Bencana Alam di Indonesia yang berada di Pacific Ring of Fire (area dengan
aktivitas tektonik tingkat tinggi), Indonesia harus mengatasi risiko konstan letusan gunung
berapi, gempa bumi, banjir dan tsunami. Tektonik Indonesia sangat kompleks, karena
merupakan titik pertemuan beberapa lempeng tektonik. Indonesia terletak di antara dua
lempeng benua: empeng Eurasia (Lempeng Sunda) dan Lempeng Australia (Sahul Shelf); dan
antara dua lempeng samudera: Lempeng Laut Filipina dan Lempeng Pasifik. Gempa hebat
Jepang Tohoku (2011) juga terjadi karena lempeng Pasifik yang tersubduksi di bawah lempeng
Eurasia. Bagaimana gempa terjadi di Ring of Fire? Jepang dan Indonesia terletak di beberapa
lempeng tektonik yang saling mensubduksi satu sama lain. Mereka terhubung dan
terperangkap dalam waktu yang lama. Indonesia memiliki gunung berapi yang lebih aktif
daripada negara lain. Ini berisi beberapa gunung berapi paling terkenal di dunia, Krakatau
(Krakatau), Tambora, dan Merapi. Sekitar 76 gunung berapi di Indonesia telah meletus di zaman
sejarah.
Persaudaraan Klinisi Perawatan Luka Indonesia (InWCCA – Indonesian Wound Care Clinician
Association) merupakan himpunan alumni wocare center, berkolaborasi dengan pemerintah
setempat membantu korban luka dengan menurunkan hampir seratus klinisi luka yang dipimpin
oleh seorang coordinator lapangan dan beberapa asisten coordinator. Mereka berkolaborasi
dengan professional lainnya di lokasi bencana dan juga dengan rumah sakit rujukan bencana.
Tim dibagi menjadi beberapa kelompok (dan sekurangnya 7 orang per orang kelompok) dimana
mereka menyebar di beberapa lokasi bencana untuk mencari korban yang terluka. Tim akan
tinggal selama 3- 8minggu untuk menangani luka sampai luka sembuh. Koordinator dan asisten
akan mengatur dan menyiapkan pakaian dan semua kebutuhan lain. Mereka juga membuat

1
Senior Clinical Nurse Sp., Lecturer, Researcher and Director Program of Indonesian ETNEP– WCET (Enterostomal Therapy Nurse Education
Program)- Founder, Owner, CEO of WOCARE Center Indonesia – Corporate University of WOCARE Indonesia.
2
Clinical Nurse Sp., Lecturer, Researcher, President of Indonesian Wound Care Clinician Association (InWCCA); Founder of Edwcare Banda
Aceh Indonesia and Dean of Nursing School Cut Nyak Dhien Langsa Aceh Indonesia.
3
Clinical Nurse Sp., Lecturer, Researcher, Assistant Director of Indonesian ETNEP- WCET (Enterostomal Therapy Nurse Education Program) -
Corporate University of WOCARE Indonesia and General Secretary of Indonesian Wound Care Clinician Association (InWCCA)
4
Clinical Nurse Sp., Lecturer, Researcher- Corporate University of WOCARE Indonesia and Publication chair of Indonesian Wound Care
Clinician Association (InWCCA)
5
Clinical Nurse Sp., WOCARE center and Director of project development - Corporate University of WOCARE Indonesia


laporan perkembangan luka, koordinasi atau rujukan kepada multi disiplin lainnya di lokasi atau
di rumah sakiit, serta melaporkan situasi ke pemerintah yang memimpin proyek bencana.
Triase adalah proses pertama memprioritaskan perawatan pasien berdasarkan kebutuhan dan
ketersediaan sumber daya dengan semua multidisiplin yang bertanggung jawab atas lokasi.
Akan tetapi Kasus luka memiliki proses triase yang berbeda. Klinisi harus melakukan triase
setiap hari karena waktu dan sumber daya tidak pernah memadai. Korban yang terluka setelah
bencana kemungkinan akan datang lagi seger, karena situasi panik dan kecelakaan sehari-hari
sampai situasi menenangkan setidaknya satu minggu setelah bencana terjadi.
Detail jumlah dan kondisi korban cidera merupakan hal penting untuk memandu manajemen
lebih lanjut, panduan bekerja, dan disposisi pasien terakhir. Manajemen luka dimulai dengan
riwayat cedera yang mendetail dan riwayat medis pasien sebelumnya dan penilaian
kemungkinan infeksi luka, serta untuk menentukan apakah perbaikan luka primer akan lebih
menguntungkan atau bahkan dengan perbaikan penyembuhan luka sekunder. Laserasi
traumatik kulit adalah salah satu yang paling umum ditemukan dalam situasi ini. Kejadian luka
bakar, cedera termal dan non-panas sangat mungkin ditemukan di situasi bencana.
Diagnosis luka seperti laserasi dan luka bakar bisa menjadi sumber infeksi. Proses
penyembuhannya perlu pendekatan multidisiplin untuk manajemen luka, sehingga dapat
membantu mengurangi risiko tersebut dan meningkatkan outcome perawatan pasien.

MANAGEMENT OF WOUNDS
Risiko terjadinya cidera selama dan setelah bencana sangat tinggi. Pertolongan pertama yang
cepat dapat membantu menyembuhkan luka kecil dan mencegah infeksi dan untuk orang yang
memiliki luka besar terbuka, luka yang memiliki potensi ancaman kesehatan seperti tetanus.
Pengalaman bencana telah memimpin kami untuk mengelola konsep siklus strategi untuk
menangani korban. Ketentuan untuk perawatan luka yang efektif, aman, dan kompeten secara
klinis terus menjadi prioritas.
Para klinisi luka harus memahami bahwa perkembangan fase inflamasi ke fase proliferasi hanya
terjadi selama 3 hingga 5 hari . Apabila dikelola lebih awal melalui manajemen perawatan luka
yang baik akan membantu mengurangi risiko infeksi pada luka. Selama gempa bumi dan segera
setelah itu, klinisi luka termasuk pemimpin dan timnya harus menyiapkan alat dan strategi
bagaimana caranya untuk menanggapi keadaan darurat dan langkah-langkah berikut
menggambarkan apa yang harus dilakukan untuk membantu manajemen perawatan luka.
Kami telah mengembangkan model penanganan luka di situasi bencana. Ada cara yang mudah
untuk memahami cara membantu korban luka saat bencana terjadi. Tujuh langkah dalam
manejemen perawatan luka yang dikembangkan oleh Asosiasi Klinisi Perawatan luka Indonesia
(InCWCCA) yang merupakan praktik berdasaran bukti-bukti terbaik. Langkah-langkah ini
masing-masing berisi instruksi dasar dan tindakan yang direkomendasikan untuk melakukan
manajemen luka di situasi bencana. Setiap langkah dapat membantu mengidentifikasi area-area
yang terjadi dalam situasi bencana dan tindakan yang harus diambil.
Ingat bahwa situasi bencana tidak lebih mudah dari yang kita bayangkan dan terkadang adalah
serangkaian kejadian yang tiba-tiba mengganggu segalanya. Sebenarnya untuk langkah-langkah
ini diadopsi dari tahap-tahap situasi bencana mulai dari pencegahan risiko dan situasi darurat
pada saat pertama menemukan luka. Tugas kedua adalah rencana persiapan untuk manajemen
perawatan luka termasuk prosedur dressing; ketiga adalah evaluasi dressing luka dan keempat
adalah langkah kolaborasi jika menemukan komplikasi lain seperti infeksi dan pendarahan
setelah balutan terakhir. Empat Fase penanganan bencana dijabarkan menjadi tujuh langkah
rencana perawatan luka sebagai berikut:

















Pic 2. Tujuh Langkah Manajemen
Bencana Bencana digambarkan
tentang tahapan proses penanganan
bencana seperti
1. Pencegahan risiko situasi
darurat (A);
2. Rencana persiapan dan
manajemen
perawatan luka (B) (C) (D) (E);
3. Langkah Evaluasi (F) dan;
4. Kolaborasi multidisiplin (G).




1. Pencegahan Risiko Situasi Darurat – Risk Emergency Situation
Fase pertama difokuskan pada pencegahan risiko situasi darurat sebelum melakukan
manajemen perawatan luka. Pencegahan Risiko Situasi darurat disebut kode "A". Para
klinisi luka akan menemukan situasi kode A dan mungkin membutuhkan waktu
beberapa hari setelah bencana terjadi.
a. Kode A – Airway Clear and Manajemen (Bersihkan jalan nafas dan Manajemen
ABC – Airway Breathing Circulation)
• Sebelum melakukan manajemen perawatan luka, klinisi luka harus sadar dan
mengerti tentang situasi darurat untuk melakukan penilaian pasien mulai
dari jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.
• Lakukan survey primer seperti crushing syndrome telah menunjukkan
keterlibatan berbagai system organ seperti cidera anggota gerak, distress
respirasi akut, gagal jantung, aritmia, perdarahan dan syok hipovolemik.
Nyeri pasien juga menjadi salah satu masalah yang harus diselesaikan, dikaji,
secara berkala, serta diberi pereda nyeri yang tepat dan cepat.
• Lakukan pengkajian apakah pasien masih hidup dan evakuasi pasien dari
bahaya. Apabila Kode A telah selesai, lanjutkan ke pengkjaian sekunder.

2. Persiapan Perencanaan dan Manajemen Perawatan Luka
Tahap kedua adalah rencana persiapan dan prosedur perawatan luka yang memiliki
4 tahap tugas yaitu kode B, C, D hingga E yang efisien daan bermanfaat untuk
mengukur kondisi luka dan proses penyembuhan luka, serta untuk meminimalkan
risiko infeksi.
a. Kode B- Base line Wound Assessment (Pengkajian Luka Utama)
Pengkajian dimulai dari melihat pada kondisi pasien secara umum. Jangan lupa
untuk mengkaji adanya kormobiditas, dan faktor lain yang mungkin untuk
mempengaruhi proses penyembuhan. Dalam kondisi bencana luka akut
setidaknya harus dikaji setiap 48 jam untuk melihat perkembangan
penyembuhan luka dan mengevaluasi hasil dari dressing yang digunakan.
Pengkajian luka adalah proses yang membantu klinisi luka membuat keputusan
melakukan manajemen luka yang tepat. Kaji dasar luka dengan mengkaji
kedalaman luka, undermining dan tunneling, serta tampak atau tidaknya
jaringan subkutan dan jaringan lain yang lebih dalam. Pemeriksaan luka yang
cermat dan teliti sangat penting untuk dalam manajemen luka. Kegagalan untuk
mengidentifikasi benda asing dapat menyebabkan komplikasi seperti
peradangan, peningkatan risiko infeksi, penyembuhan luka yang tertunda, dan
hilangnya fungsi jaringan.
Hasil pengkajian harus dilaporkan dan didokumentasikan yaitu meliputi
karakteristik luka, termasuk lokasi, bentuk, ukuran, kedalaman, tepi,
undermining dan tunneling, karakteristik jaringan nekrotik, karakteristik drainase
atau eksudat, warna kulit di sekitarnya , edema jaringan perifer dan indurasi, dan
adanya jaringan granulasi dan epitelisasi.
Berhati-hati dalam penilaian dan mencatat ada atau tidaknya kuantitas dan
kualitas eksudat selama inflamasi akut. Hal ini karena eksudat merupakan
indikasi status mekanisme pembekuan darah. Jangan lupa untuk mengevaluasi
implikasi fungsional dari gangguan dan cacat. Gangguan didefinisikan sebagai
kehilangan atau kelainan anatomi
struktur dan fungsi dan cacat adalah melakukan pembatasan apa pun dianggap
normal untuk manusia.

b. Kode C- Cleansing – Pembersihan Luka
Irigasi yang tepat (menuangkan cairan ke luka) dapat secara signifikan
menurunkan risiko infeksi. Cairan pembersih haruslah cairan mudah digunakan
dan non sitotoksik seperti normal saline atau air keran. Penampakan luka, kulit
sekitar luka dan gejala infeksi sistemik dapat dijakain dasar klinisi untuk
menggunakan cairan antiseptic lembut.
Teknik persiapan dasar luka digunakan berdasarkan kondisi ini. Membuang
jaringan mati atau benda asing, jika tidak dapat menghindari infeksi maka harus
lakukan debridemen. Metode Debridemen enzimatik dengan menggunakan
irigasi atau gentle antiseptic spray. Autolitik debridement akan berlanjut dengan
menggunakan topical dressing.

c. Kode D- Dressing dan Dokumentasi
Luka yang dirawat dengan dressing modern dan aplikasi penyerap cairan dari
penyerapan moderate sampai banyak seperti hidrokoloid, calcium alginate, zinc
cream, foam. Pasien juga harus diberikan instruksi ketat untuk memantau tanda-
tanda infeksi, termasuk peningkatan kehangatan, eritema, nyeri, bengkak, atau
drainase dari luka.
Laporan dokumentasi untuk penilaian luka harus menjadi bagian dari kebijakan
dan prosedur. Dokumentasi harus akurat dan jelas mencerminkan kondisi
pasien.
Pic. Dokumentasi perawawatan – SOAP

Laporan berbasis teknologi (E-Technology) telah dikembangkan untuk
membantu klinisi luka dan petugas kesehatan lainnya untuk mengikuti data
perkembangan pasien. Hal ini akan membantu koordinasi yang lebih baik dan
mengevaluasi proses penyembuhan luka dan kondisi pasien untuk melanjutkan
laporan kemajuan dan sistem rujukan.
E-Technology menggunakan foto luka yang membantu berbagai fungsi klinis
penting. Seri foto luka menjadi pendokumentasian permanen luka dari awal
hingga selama perawatan pasien dan merupakan bagian dari rekam medis
pasien. Foto juga efektif untuk system rujukan, reimbursment, dan edukasi
pasien dan motivasi.

Berdasarkan kondisi bencana, penggunaan e-teknologi juga sangat mendukung
untuk pelaporan kebutuhan mendesak akan persediaan yang harus disediakan.
E-technology membantu percepatan pengadaan dan membantu serta
memastikan secara berkelanjutan mengenai perbaikan insiden dalam situasi
bencana.

d. Kode E- Evakuasi dan Transfer
Fase ini adalah kondisi unik tentang evakuasi, transfer antara triase dan
mengirim pasien setelah luka dibalut. Pasien akan dikirim ke 3 pilihan yaitu
antara basecamp, posko rumah sakit atau RSUD.
Perawatan pre-hospital merupakan hal yang penting bagi korban dengan luka
terbuka besar dan cidera benturan. Manajemen primer ABC-Airway, Breathing,
and Circulation- harus dilakukan sebelum transport pasien. Normal saline harus
diberikan pada pasien tersebut karena adanya risiko perburukan kondisi pasien.
Perdarahan harus dikontrol dengan baik.

3. Evaluasi
Evaluasi penggantian balutan luka atau perawatan lanjutan adalah fase yang sangat
penting antara 3 hingga 5 hari karena merupakan pergantian dari proses inflamasi ke
tahap proliferasi. Memutuskan pergantian jenis balutan dan upaya untuk mengelola
proses pemulihan berkelanjutan dari perbaikan jaringan termasuk memasukkan
pengetahuan untuk mengurangi faktor risiko infeksi di masa depan dalam rencana
adalah kompetensi kompetensi klinisi luka. Tahap ketiga proses evaluasi atau tindak
lanjut luka disebut kode "F".
a. Kode F-Follow Up
Follow up care atau re-evaluasi adalah proses untuk melihat perkembangan atau
dampak dari balutan topical yang diberikan. Klinisi luka menggunakan skor indicator
performance untuk mengevaluasi dan menilai perkembangan pasien terhadap
outcome pasien dalam kerangka tujuan. Framework wound healing process adalah
indicator terbaik untuk melihat perkembangan pasien.

Pengkajian ulang luka dan pengkajian adanya inflamasi atau infeksi yang persistent
adalah focus dari evaluasi yang menunjukkan bahwa luka membaik atau memburuk.
Diagnosis infeksi harus jelas dengan data objective yang tepat untuk rus
dipertimbangkan, misalnya adanya tanda inflamasi, luka tidak membaik da nada
indikasi tanda gejala infeksi sistemik. Nyeri pada luka saja dapat menjadi tanda
infeksi. Tanda yang harus dicermati adalah kemerahan pada kulit, karena kemerahan
dapat juga berasal dari alergi terhadap balutan yang diberikan.
Jika infeksi terjadi dan penggunaan balutan topical tidak tepat diindikasikan dengan
adanya kegagalan perkembangan penyembuahan luka, maka rujuk pasien ke rumah
sakit.



4. Kolaborasi
Pendekatan kolaborasi interprofesional atau multidisplin sealama perawatan sejak awal
hingga fase rehabilitasi yang kurang lebih akan membutuhkan waktu 0-3 minggu akan
membantu untuk menyelamatkan nyawa pasien dan mencegah ari kerusakan atau
cidera lebih lanjut. Pasien luka akan dikirim ke rumah sakit unruk memperoleh
perawatan intensif. Kode keempat dari dari fase penanganan luka di bencana disebut
kode G, yaitu pendekatan kolaborasi interprofesional.
a. Kode G- Kolaborasi dan Pendekatan Multidisiplin
Jika luka bertambah buruk dan terinfeksi, surgical debridement dan antibiotic
sistemik sangat dibutuhkan untuk mengatasi infeksi secara signifikan.
Buatlah rujukan segera apabila menemukan luka yang membutuhkan perawatan
lebih kepada praktisi yang lebih terampil dan memiliki pengetahuan lebih. Masalah
pasien harus diidentifikasi dan diselesaikan besama dengan keparahan luka.

KETERBATASAN
Pengalaman merawat luka akibat bencana telah membawa klinisi luka memiliki kosnep
manajemen strategi perawatan luka dalam situasi bencana. Strategi tersebut dikembangkan
dengan pemahaman terhadap bencana itu sendiri, bahwa bencana tersebut akan memberikan
dampak langsung atau tidak, jenis bencana (alam atau bencana akibat ulah manusia, atau
keduanya), dan jumlah korban meninggal, atau dampak ekonomi atau keduanya. Tentu saja,
klinisi luka telah mendapatkan pengalaman dalam membangun tim dengan berkolaborasi
menjadi tim multidisipliner. Pengalaman manajemen luka yang berkualitas dengan
keterbatasan situasional menunjukkan bahwa klinisi luka dapat membuat skenario situasi
perawatan luka dalam dunia pengelolaan bencana. Pemikiran penting lainnya yang kami
perhatikan tentang manajemen konflik dan kepemimpinan akan menjadi keuntungan dalam
situasi ini.
Dalam kondisi normal, persiapan edukasi mengenai manajemen luka dalam situasi bencana
harus dimulai dari kurikulum di pusat pelatihan dan bagaiaman mensosialisasikan situasi
mengenai early warning sign dan berlanjut untuk pencegahan sampai fase rekonstruksi dan
rehabilitasi.

• Zinc cream yang mengandung chitosan 10% sebagai dressing oklusif menurunkan
mikroorganisme di cairan luka sehingga tidak menimbulkan infeksi.
• Persiapan dasar luka dengan membuang benda asing merupakan poin kritis untuk
mencapai proses penyembuhan yang utuh atau penyembuhan dengan secondary
intention. System penilaian untuk setiap komponen berbeda yang diadaptasi dari Bates
Jensen Score mulai dikembangkan untuk memprediksi waktu penyembuhan luka.
• Kesehatan psikologos petugas pelayanan kesehatan antara pemimpin dan anggota tim
sangat penting untuk menurunkan panic attack dalam situasi bencana ketika
menemukan luka terbuka besar dan perdarahan serta kondisi emergency.

SUMMARY
Perawatan luka di situasi bencana yang dikelola dengan perawatan luka dasar untuk
memprosikan penyembuhan luka yang optimal adalah tujuan utama yang dapat dicapai dengan
menggunakan 7 langkah strategi perawatan luka di situasi bencana. Edukasi dan persiapan
student dalam situasi bencana, edukasi di kegawatdaruratan dan rekonstruksi, serta
manajemen luka merupakan hal-hal yang sama pentingnya dalam pengelolaan bencana.
Petugas pelayanan kesehatan dan penyedia layanan kesehatan secara keseluruhan merupakan
bagian dari proyek dan inisiatif regional, nasional dan interntional dalam pengelolaan bencana/
Usaha partnership antara institusi berbeda, seperti pemerintah, NGO, sector private, institusi
pendidikan, dan kolaborasi internasional merupakan hal yang wajib dibangun.

REFERENCES:
1. Bret A. Nicks,1 Elizabeth A. Ayello, Kevin Woo, Diane Nitzki-George,and R. Gary Sibbald;
Acute wound management: revisiting the approach to assessment, irrigation, and
closure considerations. Int J Emerg Med. 2010 Dec; 3(4): 399–407.
2. Bryant A, Ruth, et.al. Acute and Chronic Wounds: Current Management Concepts. 5th
Ed. Philadelphia: Mosbi Elsevier (2016),
3. Carolina Prevaldi, Ciro Paolillo, Carlo Locatelli, Giorgio Ricci, Fausto Catena, Luca
Ansaloni, and Gianfranco Cervellin; Management of traumatic wounds in the Emergency
Department: position paper from the Academy of Emergency Medicine and Care
(AcEMC) and the World Society of Emergency Surgery (WSES). World J Emerg Surg.
2016; 11: 30.
4. Carville, Kerlyn. Wound Care Manual. 5th Ed. Western Australia: Silver Chain Foundation
(2013)
5. Doughty, Beckley D, McNichol, Lauwerie L. Wound, Ostomy and Continence Nurse
Society core curriculum: Wound management. Lippincott Williams & Wilkins, Wolters
Kluwer. Philadelphia (2016)
6. Falanga V,et.al. Text Atlas of Wound Management. 2nd Edition. Informa Health Care UK
(2012)
7. http://www.pubpdf.com/pub/21131698/Disaster-management-triage-based-wound-
careand-patient-safety-reflections-on-practice-following-an-Earthquake
8. https://reliefweb.int/disaster/eq-2016-000127-idn
9. Idris F,MD. The Natural Disaster Related to Health Problem: Indonesia experience. JMAJ,
January/February 2012—Vol.55, No.1.
https://www.med.or.jp/english/journal/pdf/2012_01/022.pdf
10. Prasit WuthisuthimethaweeSamuel J. LindquistNicola SandlerOrnella ClavisiStephanie K
orinDavid WattersRussell L. Gruen; Wound Management in Disaster Settings. World
Journal of Surgery April 2015, Volume 39, Issue 4, pp 842–853
11. Shaw Rajib, Shiwaku Koichi, Takeuchi Yukiko. Disaster Education. First Edition. Emerald
Group Publishing (2011)
12. (Sussman Carrie, 2012)Sussman Carrie, Bates-Jenses B. Wound Care – A Collaborative
Practical Manual for Health Professional. 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins,
Wolters Kluwer. Philadelphia (2012)

Anda mungkin juga menyukai