KUMPULAN MATERI Kode Etik
KUMPULAN MATERI Kode Etik
Disusun oleh:
SAMPUL
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN: APAKAH ETIKA KEFARMASIAN ITU?
MENGAPA HARUS BELAJAR ETIKA KEFARMASIAN?
ETIKA KEFARMASIAN, PROFESIONALISME,
HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM
SIAPAKAH YANG MENENTUKAN SESUATU ITU ETIS?
APAKAH ETIKA KEFARMASIAN DAPAT BERUBAH?
APAKAH ETIKA KEFARMASIAN BERBEDA DI SETIAP NEGARA?
BAGAIMANA SESEORANG MEMUTUSKAN SESUATU ITU ETIS?
ETIKA
MORAL
ETIKA Vs MORAL
ETIKET
PERBEDAAN ETIKA & ETIKET
ETIKA PROFESI
SISTEM PENILAIAN ETIKA
PENGERTIAN PROFESI
PROFESI, PROFESIONAL, CIRI-CIRI PROFESI
PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI, SYARAT-SYARAT SUATU PROFESI
PERANAN ETIKA DALAM PROFESI
KODE ETIK PROFESI
PERKEMBANGAN KODE ETIK, TUJUAN KODE ETIK PROFESI
FUNGSI, TUNTUTAN DAN KARAKTERISTIK KODE ETIK PROFESI
PENYEBAB PELANGGARAN KODE ETIK, SANKSI PELANGGARAN
PRAKTIK PELAKSANAAN KODE ETIK
SUMPAH APOTEKER
JENIS PELANGGARAN KEGIATAN DI APOTEK
KOMPILASI KASUS RUMAH SAKIT
CONTOH PELANGGARAN ETIKA
KASUS PRODUKSI
KASUS PENGADAAN
KASUS DISTRIBUSI
KASUS PELAYANAN
KASUS MARKETING
APOTEKER DALAM DILEMA
PENDIRIAN APOTEK
UU KESEHATAN NO.36/2009 DIGUGAT!
KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN JABARAN IMPLEMENTASINYA
IMPLEMENTASI SIKAP APOTEKER BERDASARKAN KODE ETIK ???
KODE ETIK PEMASARAN USAHA FARMASI INDONESIA
SUPLEMEN
PENDAHULUAN
APAKAH ETIKA KEFARMASIAN ITU?
Perhatikan kaus-kasus berikut ini, yang sangat mungkin terjadi hampir di semua negara:
Dari setiap kasus tersebut mengandung refleksi etis. Kasus-kasus tersebut menimbulkan
pertanyaan mengenai pembuatan keputusan dan tindakan apoteker bukan dari segi ilmiah
ataupun teknis seperti bagaimana menangani resep atau produksi obat ataupun bagaimana
melakukan penelitian yangsesuai dengan ethical clearence, namun pertanyaan yang muncul
adalah mengenai nilai, hak-hak, dan tanggung jawab. Apoteker akan menghadapi pertanyaan-
pertanyaan ini sesering dia menghadapi pertanyaan ilmiah maupun teknis. Di dalam praktek
kedokteran, tidak peduli apakah spesialisasinya maupun tempat kerjanya, beberapa pertanyaan
lebih mudah dijawab dibandingkan pertanyaan lain. Jadi apakah sebenarnya etika itu dan
bagaimanakah etika dapat menolong apoteker berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti
itu?
Secara sederhana etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral
secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada
masa lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan
dan tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti ’hak’,
’tanggung jawab’, dan ’kebaikan’ dan sifat seperti ’baik’ dan ’buruk’ (atau ’jahat’), ’benar’ dan
’salah’, ’sesuai’ dan ’tidak sesuai’. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah bagaimana
mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya (doing).
Hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi orang untuk
menentukan keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain. Karena
etika berhubungan dengan semua aspek dari tindakan dan keputusan yang diambil oleh manusia
maka etika merupakan bidang kajian yang sangat luas dan kompleks dengan berbagai cabang
dan subdevisi.
Ini beberapa alasan umum yang dikemukakan untuk tidak memberikan pelajaran etika
kefarmasian di kurikulum farmasi padahal etika mempunyai peran yang besar dalam kurikulum
sekolah pendidikan apoteker.
1. ”Asalkan apoteker memiliki pengetahuan dan keterampilan, maka etika tidak akan jadi masalah”
2. ”Etika itu dipelajari di dalam keluarga, tidak di sekolah kefarmasian”
3. ”Etika kefarmasian dipelajari dengan mengamati bagaimana apoteker senior bertindak, bukan
dari buku atau kuliah”
4. ”........etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral secara sistematik dan
hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku.......”
5. ”Etika itu penting, tapi kurikulum kita sudah terlalu penuh dan tidak ada ruang untuk
mengajarkan etika”
Sebagian, hanya sebagian saja, yang valid. Secara bertahap sekolah-sekolah pendidikan
apoteker di dunia mulai menyadari bahwa mereka perlu membekali mahasiswanya dengan
sumber dan waktu yang cukup untuk belajar etika. Etika merupakan dan akan selalu menjadi
komponen yang penting dalam praktek pengobatan. Prinsip-prinsip etika seperti menghargai
orang, tujuan yang jelas dan kerahasiaan merupakan dasar dalam hubungan apoteker-pasien.
Walaupun begitu, penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam situasi khusus sering problematis,
karena dokter, apoteker, pasien, keluarga mereka, dan profesi kesehatan lain mungkin tidak
setuju dengan tindakan yang sebenarnya benar dilakukan dalam situasi tersebut. Belajar etika
akan menyiapkan mahasiswa kefarmasian untuk mengenali situasi-situasi yang sulit dan
melaluinya dengan cara yang benar sesuai prinsip dan rasional. Etika juga penting dalam
hubungan apoteker dengan masyarakat dan kolega mereka dan dalam melakukan penelitian
kedokteran. Sangat sering, bahkan etika membuat standar perilaku yang lebih tinggi dibanding
hukum, dan kadang etika memungkinkan apoteker perlu untuk melanggar hukum yang
menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis.
Etika telah menjadi bagian yang integral dalam pengobatan setidaknya sejak masa
Hippocrates, seorang ahli pengobatan Yunani yang dianggap sebagai pelopor etika kedokteran
pada abad ke-5 SM. Dari Hippocrates muncul konsep pengobatan sebagai profesi, dimana ahli
pengobatan membuat janji di depan masyarakat bahwa mereka akan menempatkan kepentingan
pasien mereka di atas kepentingan mereka sendiri. Saat ini etika kedokteran telah banyak
dipengaruhi oleh perkembangan dalam hak asasi manusia.
Di dalam dunia yang multikultural dan pluralis, dengan berbagai tradisi moral yang
berbeda, persetujuan hak asasi manusia internasional utama dapat memberikan dasar bagi etika
kefarmasian yang dapat diterima melampaui batas negara dan kultural. Lebih dari pada itu,
apoteker sering harus berhubungan dengan masalah-masalah medis dan obat karena pelanggaran
hak asasi manusia, seperti migrasi paksa, penyiksaan, dan sangat dipengaruhi oleh perdebatan
apakah pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia karena jawaban dari pertanyaan ini di
beberapa negara tertentu akan menentukan siapakah yang memiliki hak untuk mendapatkan
perawatan medis.
Etika kefarmasian juga sangat berhubungan dengan hukum. Hampir di semua negara ada
hukum yang secara khusus mengatur bagaimana dokter harus bertindak berhubungan dengan
masalah etika dalam perawatan pasien dan penelitian. Badan yang mengatur dan memberikan
ijin praktek apoteker di setiap negara bisa dan memang menghukum apoteker yang melanggar
etika. Namun etika dan hukum tidaklah sama. Bahkan etika membuat standar perilaku yang lebih
tinggi dibanding hukum, dan kadang etika memungkinkan apoteker perlu untuk melanggar
hukum yang menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis. Hukum juga berbeda untuk tiap-tiap
negara sedangkan etika dapat diterapkan tanpa melihat batas negara. Namun pengobatan ilmiah
memiliki keterbatasan terutama jika berhubungna dengan manusia secara individual, budaya,
agama, kebebasan, hak asasi, dan tanggung jawab. Seni pengobatan melibatkan aplikasi ilmu dan
teknologi pengobatan terhadap pasien secara individual, keluarga, dan masyarakat sehingga
keduanya tidaklah sama. Lebih jauh lagi bagian terbesar dari perbedaan individu, keluarga, dan
masyarakat bukanlah non-fisiologis namun dalam mengenali dan berhadapan dengan perbedaan-
perbedaan ini di mana seni, kemanusiaan, dan ilmu-ilmu sosial bersama dengan etika, memiliki
peranan yang penting. Bahkan etika sendiri diperkaya oleh disiplin ilmu yang lain, sebagai
contoh, presentasi dilema klinis secara teatrikal dapat menjadi stimulus yang lebih baik dalam
refleksi dan analisis etis dibanding deskripsi kasus sederhana.
Secara umum apoteker diharapkan dapat mengaktualisasikan prinsip etika profesi dengan
derajat yang lebih tinggi dibanding orang lain. Prinsip etika profesi itu meliputi belas kasih,
kompeten, dan otonomi.
Belas kasih, memahami dan perhatian terhadap masalah orang lain, merupakan hal yang pokok
dalam praktek pengobatan. Agar dapat mengatasi masalah pasien, apoteker harus memberikan
perhatian terhadapkeluhan/gejala yang dialami pasien dan memberikan nasehat yang meredakan
gejala tersebut dengan pengobatan dan harus bersedia membantu pasien mendapatkan
pertolongan. Pasien akan merespon dengan lebih baik jika dia merasa bahwa apotekernya
menghargai masalah mereka dan tidak hanya sebatas melakukan pengobatan terhadap penyakit
mereka.
Kompetensi yang tinggi diharapkan dan harus dimiliki oleh apoteker. Kurang kompeten dapat
menyebabkan kematian atau morbiditas pasien yang serius. Apoteker harus menjalani pelatihan
yang lama agar tercapai kompetensinya. Cepatnya perkembangan pengetahuan dan teknologi di
bidang kefarmasian dan kedokteran, merupakan tantangan tersendiri bagi apoteker agar selalu
menjaga kompetensinya. Terlebih lagi tidak hanya pengetahuan ilmiah dan ketrampilan teknis
yang harus dijaga namun juga pengetahuan etis, ketrampilan, dan tingkah laku. Masalah etis
akan muncul sejalan dengan perubahan dalam praktek kefarmasian, lingkungan sosial dan
politik.
Otonomi, atau penentuan sendiri, merupakan nilai inti dari pengobatan yang berubah dalam
tahun-tahun terakhir ini. Apoteker secara pribadi telah lama menikmati otonomi pengobatan
yang tinggi dalam menetukan bagaimana menangani pasien mereka. Apoteker secara kolektif
(profesi kesehatan) bebas dalam menentukan standar pendidikan farmasi dan praktek
pengobatan. Masih ada ditemukan (walaupun sedikit), apoteker yang menghargai otonomi
profesional dan klinik mereka, dan mencoba untuk tetap menjaganya sebanyak mungkin. Pada
saat yang sama, juga terjadi penerimaan oleh apoteker di penjuru dunia untuk menerima otonomi
dari pasien, yang berarti pasien seharusnya menjadi pembuat keputusan tertinggi dalam masalah
yang menyangkut diri mereka sendiri.
Selain terikat dengan ketiga nilai inti tersebut, etika kefarmasian berbeda dengan etika
secara umum yang dapat diterapkan terhadap setiap orang. Etika kefarmasian masih terikat
dengan Sumpah dan Kode Etik Apoteker. Sumpah dan kode etik beragam di setiap negara
bahkan dalam satu negara, namun ada persamaan, termasuk janji bahwa apoteker akan
mempertimbangkan kepentingan pasien diatas kepentingannya sendiri, tidak akan melakukan
deskriminasi terhadap pasien karena ras, agama, atau hak asasi menusia yang lain, akan menjaga
kerahasiaan informasi pasien, dan akan memberikan pertolongan darurat terhadap siapapun yang
membutuhkan.
Etika bersifat pluralistik. Setiap orang memiliki perbedaan terhadap penilaian benar atau
salah bahkan jika ada persamaan bisa saja hal tersebut berbeda dalam alasannya. Di beberapa
masyarakat, perbedaan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang normal dan ada kebebasan besar
bagi seseorang untuk melakukan apa yang dia mau, sejauh tidak melanggar hak orang lain.
Namun di dalam masyarakat yang lebih tradisional, ada persamaan dan persetujuan pada etika
dan ada tekanan sosial yang lebih besar, kadang bahkan didukung oleh hukum, dalam bertindak
berdasarkan ketentuan tertentu. Dalam masyarakat tersebut budaya dan agama sering memainkan
peran yang dominan dalam menentukan perilaku yang etis.
Jawaban terhadap pertanyaan, ”siapakah yang menentukan sesuatu itu etis untuk
seseorang secara umum?” karena itu bervariasi dari satu masyarakat dibanding masyarakat yang
lain dan bahkan dalam satu masyarakat sendiri. Dalam masyarakat liberal, setiap individu
memiliki kebebasan yang besar dalam menentukan bagi dirinya sendiri apakah yang etis,
walaupun sepertinya mereka akan sangat dipengaruhi oleh keluarga, teman, agama, media, dan
sumbersumber eksternal lain yang mereka dapat. Dalam masyarakat yang lebih tradisional,
keluarga dan garis keturunan, pemimpin agama, dan tokoh politik biasanya memiliki peran lebih
besar dalam menentukan apa yang etis dan tidak etis bagi seseorang. Terlepas dari perbedaan ini,
sepertinya sebagian besar manusia setuju dengan beberapa prinsip fundamental dari etika, sebut
saja, hak asasi manusia yang dinyatakan dalam United Nations Universal Declaration of
Human Rights serta dokumen lain yang telah diterima dan tertulis secara resmi. Hak-hak asasi
manusia yang terutama penting dalam etika kefarmasian adalah hak untuk hidup, bebas dari
deskriminasi, bebas dari siksaan dan kekejaman, bebas dari perlakuan yang tidak manusiawi dan
tidak pantas, bebas beropini dan berekspresi, persamaan dalam mendapatkan pelayanan umum di
suatu negara, dan pelayanan kefarmasian.
Bagi apoteker, pertanyaan ”siapakah yang menentukan sesuatu etis atau tidak?” sampai
saat ini memiliki jawaban yang berbeda-beda. Selama berabad-abad profesi kesehatan telah
mengembangkan standar perilakunya sendiri untuk anggotanya, yang tercermin dalam kode etik
dan dokumen kebijakan yang terkait. Dalam tingkatan yang global, IPF (International
Pharmachist Federation) telah menetapkan pernyataan etis yang sangat luas yang mengatur
perilaku yang diharuskan dimiliki oleh apoteker tanpa memandang dimana dan kapan dia berada
dan melakukan praktek. Banyak ikatan apoteker di suatu negara (jika tidak sebagian besar)
bertanggung jawab terhadap pengembangan dan pelaksanaan standar etis yang aplikatif. Standar
tersebut mungkin memiliki status legal, tergantung pendekatan negara tersebut terhadap hukum
praktek medis. Meskipun demikian, kehormatan profesi kefarmasian tidaklah bersifat absolut.
Sebagai contoh:
Apoteker akan selalu dihadapkan pada hukum yang berlaku dimana dia berada dan kadang
dihukum karena melanggar hukum.
Beberapa organisasi kesehatan sangat kuat dipengaruhi oleh ajaran agama, yang mengakibatkan
adanya kewajiban tambahan terhadap anggotanya selain kewajiban apoteker secara umum.
Di banyak negara organisasi yang menetapkan standar bagi perilaku apoteker dan memonitor
kepatuhan, mereka memiliki anggota yang berpengaruh yang bukan apoteker.
Instruksi etis resmi dari organisasi profesi apoteker secara umum sama, mereka tidak
selalu dapat diterapkan di setiap situasi yang mungkin dihadapi apoteker dalam praktek
kefarmasian mereka. Di dalam kebanyakan situasi, apoteker harus memutuskan untuk dirinya
sendiri apakah yang benar untuk dilakukan, namun dalam mengambil keputusan tersebut, akan
sangat membantu jika mereka mengetahui apa yang dilakukan apoteker lain dalam situasi yang
sama. Kode etik apoteker dan kebijakan yang berlaku merupakan konsensus umum bagaimana
seorang apoteker harus bertindak dan harus diikuti kecuali ada alasan yang lebih baik mengapa
harus melanggarnya.
Setiap orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mengambil keputusan etis
dan dalam mengimplementasikannya. Bagi apoteker secara pribadi dan mahasiswa farmasi, etika
kefarmasian tidak hanya terbatas pada rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh IPF atau
organisasi kesehatan yang lain karena rekomendasi tersebut sifatnya sangat umum dan setiap
orang harus memutuskan apakah hal itu dapat diterapkan pada situasi yang sedang dihadapi atau
tidak dan terlebih lagi banyak masalah etika yang muncul dalam praktek kefarmasian yang
belum ada petunjuk bagi ikatan apoteker. Ada berbagai cara berbeda dalam pendekatan masalah-
masalah etika seperti dalam contoh kasus pada bagian awal tulisan ini. Secara kasar cara
pendekatan penyelesaian masalah etika dapat dibagi menjadi dua kategori rasional dan non-
rasional. Penting untuk mengingat bahwa non-rasional bukan berarti irrasional namun hanya
dibedakan dari sistematika, dan alasan yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan.
Tidak satupun dari empat pendekatan ini, ataupun pendekatan yang lain dapat mencapai
persetujuan yang universal. Setiap orang berbeda dalam memilih pendekatan rasional yang akan
dipilih dalam mengambil keputusan etik. Seperti juga orang yang memilih pendekatan yang non-
rasional. Hal ini dikarenakan setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangannya
sendiri. Mungkin dengan mengkombinasikan keempat pendekatan tersebut maka akan
didapatkan keputusan etis yang rasional. Harus diperhatikan aturan dan prinsip-prinsip dengan
cara mengidentifikasi pendekatan mana yang paling sesuai untuk situasi yang baru dihadapi dan
mengimplementasikan sebaik mungkin. Harus dipikirkan juga konsekuensi dari keputusan
alternatif dan konsekuensi mana yang akan diambil. Yang terakhir adalah mencoba memastikan
bahwa perilaku si pembuat keputusan tersebut dalam membuat dan mengimplementasikan
keputusan yang sudah diambil juga baik. Proses yang dapat ditempuh adalah:
1. Tentukan apakah masalah yang sedang dihadapai adalah masalah etis.
2. Konsultasi kepada sumber-sumber kewenangan seperti kode etik dan kebijakan ikatan apoteker
serta kolega lain untuk mengetahui bagaimana apoteker biasanya berhadapan dengan masalah
tersebut.
3. Pertimbangkan solusi alternatif berdasarkan prinsip dan nilai yang dipegang serta
konsekuensinya.
4. Diskusikan usulan solusi anda dengan siapa solusi itu akan berpengaruh.
5. Buatlah keputusan dan lakukan segera, dengan tetap memperhatikan orang lain yang
terpengaruh.
6. Evaluasi keputusan yang telah diambil dan bersiap untuk bertindak berbeda pada kesempatan
yang lain.
ETIKA
PENGERTIAN ETIKA
Etika merupakan studi tentang nilai dengan pendekatan kebenaran. Kata etik (atau
etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau
adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu
ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu
salah atau benar, buruk atau baik. Kata etika sering disebut dengan istilah etik atau ethics
(bahasa Inggris) atau ethicus (bahasa Latin) yang berarti kebiasaan. Maka secara
etimologi, yang dikatakan baik adalah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Namun
dalam perkembangannya, pengertian etka tersebut telah mengalami perubahan yang jauh
dari makna awal.
Etika adalah studi tentang nilai-nilai manusiawi yang berhubungan dengan nilai
kebenaran dan ketidakbenaran yang didasarkan atas kodrat manusia serta manifestasinya
di dalam kehendak dan perilaku manusia. Pelanggaran etika belum tentu melanggar UU,
namun hanya melanggar sumpah (etika). Sedang pelanggaran UU pasti melanggar etika juga.
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat
internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia
bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal
dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman
pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agara mereka
senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar
perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh
kembangnya etika di masyarakat kita.
Menurut para ahli, etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang baik dan mana yang buruk.
Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-
kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik. Drs. O.P. SIMORANGKIR
merumuskan etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran
dan nilai yang baik. Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat menjelaskan bahwa etika
adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk,
sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. Drs. H. Burhanudin Salam menyebut etika adalah
cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku
manusia dalam hidupnya.
Dalam perkembangannya, etika sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika
memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan
sehari-hari. Ini berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak
secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil
keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami bersama
bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan
demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi
kehidupan manusianya.
Menurut Sonny Keraf, etika dapat dibagi menjadi :
1) Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan
khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar.
2) Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai prilaku saya dan orang
lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang
memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan
atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.
Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan
satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai
anggota umat manusia saling berkaitan.
Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau
terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual
saat ini adalah sebagai berikut :
Ada dua macam etika yang harus kita pahami dalam menentukan baik dan buruknya
perilaku manusia :
1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan
rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini
sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar
untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil.
2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola
perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu
yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai
dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
MORAL
Moral merupakan kualitas perbuatan manusia sesuai atau tidak dengan hati
nuraninya. Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang
beradab. Menurut etimologi, moral berasal dari kata mores (Bahasa Latin) yang diartikan
sebagai aturan kesusilaan. Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai
manusia. Di sisi lain banyak para ahli menyatakan bahwa moral dikaitkan dengan sejumlah
kewajiban-kewajiban susila, yang meliputi semua norma untuk kelakuan, perbuatan tingkah
laku yang baik. Kata susila berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu kata su yang berarti lebih
baik dan sila yang berarti dasar-dasar, prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan. Jadi susila
berarti peraturan-peraturan hidup yang lebih baik.
Moral adalah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang berbentuk perintah atau
larangan yang mengatur perilaku manusia dan masyarakat dimana manusia itu berada. Dalam
perkembangannya, kata moral ini menjadi ”moralis – moralitas”. Moralitas dipergunakan
untuk menyebut perbutan yang memiliki makna lebih abstrak, dimana apabila dinyatakan
moralitas suatu perbuatan berarti menunjuk baik buruknya suatu perbuatan. Bermoral atau
tidaknya suatu perbuatan tergantung dari kesadaran dan kebebasan kehendak si pelaku
(manusia itu sendiri).
Kesadaran dan kebebasan kehendak itu ada alam hati manusia, sedangkan makhluk primata
lainnya tidak memiliki hal tersebut.
Moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi untuk berperilaku benar atau salah,
baik atau buruk dan perbuatan yang demikian itu dikehendaki atau tidak (obyektif) serta
perbuatan itu sesuai atau tidak dengan suara hati nuraninya (subyektif).
ETIKA = / MORAL
ETIKET
2. Tdk tergantung ada/tidak ada orang 2. Berlaku dalam pergaulan,tp orang lain
lain tidak ada etiket
4. Memandang manusia dari sisi batiniah 4. Hanya memandang manusia dari sisi
lahiriah
Bertens, 2005
ETIKA PROFESI
Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “ the discpline which can act as
the performance index or reference for our control system ”. Dengan demikian, etika akan
memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di
dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni
pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan ( code) tertulis yang
secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat
yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam
tindakan yang secara logika-rasional umum ( common sense) dinilai menyimpang dari kode
etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “ self control”,
karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial
(profesi) itu sendiri.
Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian
dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas
dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi
itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri.
Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “ built-in mechanism” berupa kode etik
profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan
profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun
penyalah-gunaan kehlian (Wignjosoebroto, 1999). Oleh karena itu dapatlah disimpulkan
bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana
dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika
profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang
memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semual dikenal sebagai sebuah profesi yang
terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah
biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-
ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas
diberikan kepada para elite profesional ini.
Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau
jahat, susila atau tidak susila. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat
baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi pekerti. Budi
tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti. Jadi
suatu budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari semasih berupa angan-
angan, cita-cita, niat hati, sampai ia lahir keluar berupa perbuatan nyata. Burhanuddin
Salam, Drs. menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan di nilai pada 3 (tiga) tingkat :
1. Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi masih berupa rencana
dalam hati, niat.
2. Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu pekerti.
3. Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik atau buruk.
Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa ETIKA PROFESI merupakan
bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial. Kata hati atau
niat biasa juga disebut karsa atau kehendak, kemauan, wil. Dan isi dari karsa inilah yang
akan direalisasikan oleh perbuatan. Dalam hal merealisasikan ini ada (4 empat) variabel yang
terjadi :
a. Tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik.
b. Tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya ; kelihatannya baik.
c. Tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik.
d. Tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik.
PENGERTIAN PROFESI
Profesi adalah kelompok terbatas dari orang-orang yang mempunyai keahlian khusus
yang diperoleh dari pendidikan tinggi atau pengalaman yang khusus dan dengan keahlian itu
mereka dapat berfungsi dalam masyarakat untuk berperilaku atau pelayanan yang lebih baik
dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada umumnya.
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan
dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang
yang bekerja tetap sesuai. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan
kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang
mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek.
Kita tidak hanya mengenal istilah profesi untuk bidang-bidang pekerjaan seperti
kedokteran, guru, militer, pengacara, dan semacamnya, tetapi meluas sampai mencakup pula
bidang seperti manajer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis, sekretaris dan sebagainya.
Sejalan dengan itu, menurut DE GEORGE, timbul kebingungan mengenai pengertian profesi
itu sendiri, sehubungan dengan istilah profesi dan profesional. Kebingungan ini timbul
karena banyak orang yang profesional tidak atau belum tentu termasuk dalam pengertian
profesi. Berikut pengertian profesi dan profesional menurut DE GEORGE :
PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan
nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.
PROFESIONAL, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan
hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang
profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu
atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara
orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk
mengisi waktu luang. Profesional adalah bekerja dengan tujuan mulia untuk membuat orang
lain menjadi sejahtera.
Yang harus kita ingat dan fahami betul bahwa “PEKERJAAN / PROFESI” dan
“PROFESIONAL” terdapat beberapa perbedaan :
PROFESI:
- Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.
- Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu).
- Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.
- Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.
PROFESIONAL:
- Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.
- Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
- Hidup dari situ.
- Bangga akan pekerjaannya.
CIRI-CIRI PROFESI:
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat
pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku
profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus
meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan
dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan,
keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus
terlebih dahulu ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kaum
profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas rata-
rata.
CIRI-CIRI PROFESI:
Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada
suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat.
Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu standar
profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang
semakin baik.
Pekerjaan yang dapat kita sebut dengan profesi adalah yang mempunyai karakter sebagai
berikut;
bekerja penuh waktu,
orientasi kerja lebih untuk melayani daripada sekedar mencari nafkah (komitmen untuk
membantu orang lain, bahkan di luar waktu kerja),
bekerja berdasar ilmu dan keterampilan yang didapat dari pendidikan khusus,
bekerja secara otonom (berdasar keputusannya sendiri),
bekerja berdasarkan etika,
mempunyai tanda atau simbol identitas
terorganisir dalam asosiasi profesi
(Latham, 2002).
Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang
saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu
keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok
diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama.
Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan
dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama
anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian
karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik
profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian
para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati
bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada
masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya
mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super spesialis
di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.
Kode; yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau
benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu
berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti
kumpulan peraturan yang sistematis.
Kode etik; yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu
sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Kode etik:
susunan moral yang normatif yang disebut etika/susila yang dirumuskan.
MENURUT UU NO. 8 (POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN)
Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam
melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi sebetulnya tidak
merupakan hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu
kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuanketentuan tertulis yang diharapkan
akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah ; SUMPAH
HIPOKRATES, yang dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi dokter.
Hipokrates adalah doktren Yunani kuno yang digelari : BAPAK ILMU KEDOKTERAN.
Beliau hidup dalam abad ke-5 SM. Menurut ahli-ahli sejarah belum tentu sumpah ini
merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tetapi setidaknya berasal dari kalangan murid-
muridnya dan meneruskan semangat profesional yang diwariskan oleh dokter Yunani ini.
Walaupun mempunyai riwayat eksistensi yang sudah-sudah panjang, namun belum pernah
dalam sejarah kode etik menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktekkan dan tersebar
begitu luas seperti sekarang ini. Jika sungguh benar zaman kita di warnai suasana etis yang
khusus, salah satu buktinya adalah peranan dan dampak kode-kode etik ini.
Profesi adalah suatu MORAL COMMUNITY (MASYARAKAT MORAL) yang memiliki
cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kode etik profesi dapat menjadi penyeimbang segi segi
negative dari suatu profesi, sehingga kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral
bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu dimata
masyarakatKode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan
berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tetapi setelah
kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis,
tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat berfungsi dengan
semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi
sendiri. Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi
pemerintah atau instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai
yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.
Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barang kali dapat juga
membantu dalam merumuskan, tetapi pembuatan kode etik itu sendiri harus dilakukan oleh
profesi yang bersangkutan. Supaya dapat berfungsi dengan baik, kode etik itu sendiri harus
menjadi hasil SELF REGULATION (pengaturan diri) dari profesi. Dengan membuat kode
etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai
moral yang dianggapnya hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya
kode etik yang berisikan nilai-nilai dan citacita yang diterima oleh profesi itu sendiri yang
bis mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan untuk
dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode
etik dapat berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya di awasi terus menerus. Pada
umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode
etik.
Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan
kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah
terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan
profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik.
Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik;
seperti kode ituberasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga
diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun
demikian, dalam praktek sehari-hari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa
solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah
merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan
perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan
dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya
adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut
masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru
kemudian dapat melaksanakannya.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan
lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika
profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk
yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam
etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang
ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa
yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan
oleh seorang profesional.
Kode etik yang ada dalam masyarakat Indonesia cukup banyak dan bervariasi.
Umumnya pemilik kode etik adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional,
misalnya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kode etik Ikatan Penasehat HUKUM
Indonesia, Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Kode Etik Advokasi Indonesia dan lain-lain. Ada
sekitar tiga puluh organisasi kemasyarakatan yang telah memiliki kode etik.
Suatu gejala agak baru adalah bahwa sekarang ini perusahaan-perusahan swasta
cenderung membuat kode etik sendiri. Rasanya dengan itu mereka ingin memamerkan mutu
etisnya dan sekaligus meningkatkan kredibilitasnya dan karena itu pada prinsipnya patut
dinilai positif.
SUMPAH APOTEKER