Anda di halaman 1dari 10

TUGAS APOTEKER MUSLIM

Disusun Oleh:
Nisrina Muslihin (41191097000085)

Program Studi Apoteker


Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apoteker memiliki tugas diantaranya : 1) melakukan
pekerjaan kefarmasian (pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional); 2) Membuat dan memperbaharui SOP (Standard Operational
Procedure) baik diindustri farmasi maupun; 3) Harus memenuhi ketentuan Cara Distribusi
yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri saat melakukan pekerjaan kefarmasian dalam
distribusi atau penyaluran sediaan farmasi, termasuk pencatatan segala sesuatu yang berkaitan
dengan proses distribusi atau penyaluran sediaan farmasi; 4) Apoteker wajib menyerahkan obat
keras, narkotika dan psikotropika kepadamasyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut PP No. 51 tahun 2009 pasal 24, yang harus menyerahkan obat yang harus
ditebus dengan resep kepada pasien adalah apoteker. Tetapi kenyataannya saat ini, sulit
ditemukan apoteker yang berada di apotek untuk melayani pasien. Tentunya ini menimbulkan
pertanyaan, mengapa apoteker tidak menjalankan fungsinya dengan baik ? Pertanyaan tersebut
paling banyak dibahas disetiap pertemuan-pertemuan apoteker. Ini menunjukkan bahwa setiap
apoteker telah menyadari dengan baik bahwa ada yang salah dalam pelaksanaan praktek
kefarmasian di Indonesia. Ada banyak jawaban yang bisa diberikan atas pertanyaan ini yang
menunjukkan bahwa masalah ini multifaktorial Selain itu, permasalahan yang kerap
membayangi apoteker muslim diantaranya adalah banyaknya produk-produk yang tidak
diketahui kehalalan dan kethayyibannya. Selain itu, banyaknya industri farmasi yang belum
memiliki sertifikasi halal sehingga apoteker harus mengetahui hukum dan tanggung jawab
apoteker di industri tersebut. Selain itu, perkembangan teknologi dalam dunia medis menuntut
apoteker muslim harus selalu menigkatkan pengetahuan terkait berbagai hukum dalam
perkembangan teknologi medis seperti transplantasi organ, bayi tabung dan kloning.
Banyaknya permasalahan yang akan dihadapi oleh apoteker muslim, mengharuskan
apoteker dan calon apoteker untuk mengetahui makna profesionalismenya dalam pandangan
Islam serta mengetahui cara membangun integritas apoteker muslim yang profesional agar
mampu melakukan profesinya secara maksimal agar pekerjaannya menjadi berkah yang akan
menguntungkannya didunia dan juga akhirat.

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan profesionalisme dalam pandangan Islam ?
2. Bagaimana membangun integritas apoteker muslim yang profesional ?

1.3 Tujuan
Tujuan pada makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui makna profesionalisme dalam pandangan Islam.
2. Untuk mengetahui cara membangun integritas apoteker muslim yang profesional.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Profesionalisme dalam Pandangan Islam


Disadari atau tidak, kenyataan menunjukkan bahwa negara-negara Islam atau negeri-
negeri yang penduduknya mayoritas Islam termasuk negara atau negeri-negeri yang
terbelakang baik dalam ekonomi maupun politik, terpuruk dalam kemiskinan dan
keterbelakangan. Salah satu faktor penyebab keterpurukan itu terkait dengan persoalan
profesionalisme.
Profesionalisme biasa diartikan secara sederhana adalah suatu pandangan untuk selalu
berfikir, berpendirian, bersikap dan bekerja sungguh-sungguh, dengan disiplin, jujur, dan
penuh dedikasi untuk mencapai hasil kerja yang memuaskan. Sebagai sebuah konsepsi
masyarakat modern, profesionalisme paling tidak memiliki dua karakteristik. Karaketeristik
pertama meniscayakan adanya pengetahuan dan ketrampilan spesifik yang terspesialisai,
sedang karakteristik kedua bersumber dari integritas moral dan budaya.
Ilmu pengetahuan dan ketrampilan khusus terspesialisasi menjadi prasyarat mutlak yang
harus dimiliki oleh para profesionalis. Kemampuan individual ini masih perlu didukung oleh
sistem manajemen dan organisasi kerja yang tepat, yang dapat menempatkan individu pada
posis yang tepat. Jelasnya, individu yang memiliki ilmu pengetahuan dan ketrampilan khusus
terspesialisasi hanya akan menjadi profesional jika ditempatkan pada tugas (job) atau posisi
yang tepat (the right man on the right place). Dalam Al Qur’an Allah berfirman yang artinya
katakanlah setiap orang bekerja menurut keadaan masing-masing, maka Tuhanmu lebih
mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS. Al Isra’).
Sedangkan karakteristik kedua tentang integritas moral dan budaya, mencakup kejujuran,
disiplin, rajin, tepat waktu dan lain-lain. Meruapakan kode etik dan pedoman setiap para
profesional dalam bekerja. Kurang lebih lima belas abad yang lalu Islam telah mengajarkan
umatnya tentang integritas moral atau kode etik. Berikut butir-butir penting dalam Al Qur’an
dan Hadist yang menyuruh bekerja secara profesional:
1. Bekerja sesuai dengan kemampuan atau kapasitasnya (QS. An’am: 135, Az Zumar: 39 dan
Huud: 93)
2. Bekerja dengan hasil terbaik (QS. Al Mulk: 2)
3. Bekerja sesuai dengan bidang keahlian (QS. Al Isra’: 84)
4. Jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya maka tunggulah kehancurannya (HR.
Bukhari)
5. Bekerja sesuai dengan patut dan layak (QS. An Nahl: 97, Al Anbiya’: 94, dan Al Zalzalah:
7)
Selanjutnya pada ayat yang lain Islam mendorong umatnya agar:
1. Memiliki kejujuran (QS. Al Ahzaab: 23-24)
2. Kerjasama dan tolong-menolong dalam kebaikan (QS. Al Maidah: 2)
3. Bekerja dengan penuh tanggung jawab karena selalu diawasi Allah, Rasul dan masyarakat
(QS. At Taubah: 105)
4. Sederhana dan tidak berlebih-lebihan (QS. Al A’raaf: 13, Al Israa’: 29, Al Furqaan: 67, dan
Ar Rahman: 7-7)
5. Rajin dan bekerja keras (QS. Al Jumu’ah: 10)
6. Disiplin (QS. Al Hasyr: 7)
7. Hati-hati dalam bertindak dan mengambil keputusan (QS> Al Hujurat: 6)
8. Berlomba-lomba dalam kebaikan (QS. Al Baqarah: 148, Al Maidah: 48)
9. Jujur dan dapat dipercaya (QS. An Nisa’: 58, Al Baqarah: 283, Al Mu’minun: 8)
Etos kerja dan semangat seorang muslim sangat tinggi, serta tidak pernah berputus asa
karena Allah melarang hal itu. Dalam suatu hadist (riwayat Ahmad) Rasulullah SAW telah
bersabda: “Apabila salah seorang kamu menghadapi kiamat sementara di tangannya masih ada
benih hendaklah ia tanam benih itu”.
Demikianlah, Islam memiliki ajaran yang menjunjung tinggi nilai dasar kerja dan
mendorong umatnya bersikap profesional. Sejarah membuktikan tatkala masyarakat Barat dan
Eropa menempatkan kelas pendeta dan militer pada kedudukan tinggi, Islam justru menghargai
orang-orang berilmu, para pedagang, petani, tukang, dan pengarajin. Sebagai manusia biasa,
mereka tidak diunggulkan dari yang lain, karena Islam menganut nilai persamaan diantara
sesama manusia. Ketinggian derajat manusia semata-mata diukur dari ketakwaanya kepada
Allah, yakni derajat keimanan dan amal salehnya.
Semua petunjuk yang ditemukan dalam Al Qur’an tersebut menjadi landasan etis-telogis
kerja dan pengembangan etos profesionalisme setiap muslim, sehingga kaum muslimin
diharapkan memiliki semangat kerja dan etos profesionalisme yang lebih tinggi dibanding
umat lainnya.
Profesionalisme tuntunan ibadah
Semangat kerja dan etos profesionalisme seorang muslim tidak hanya berkembang
karena ada tuntutan realitas empirik masyarakat modern, melainkan dilandasi oleh semangat
keberagaman sebagai bagian dari amal saleh yang menjadi prasyarat ketakwaannya. Dengan
kata lain, dalam melakukan suatu karya atau pekerjaan, seorang muslim tidak hanya demi
memenuhi kebutuhan hidupnya semata, melainkan karena agama mendorongnya, dan oleh
karenanya merupakan salah satu bentuk pengabdian (ibadah) kepada Tuhannya.
Namun disayangkan, landasan telogis kerja dan etos profesionalisme yang dimiliki umat
Islam tersebut di atas tidak sepenuhnya membumi dan membudaya di kalangan masyarakat
muslim. Terjadi kecenderungan kemerosotan semangat kerja dan etos profesionalisme di dunia
Islam, sehingga fakta menunjukkan sebagian besar negeri-negeri mayoritas umat Islam dalam
keadaan terpuruk dan terbelakang.
Dari para pakar sejarah menemukan antara lain penyebab merosotnya etos
profesionalisme adalah akibat pemerintahan feodal yang dzalim. Pada masa itu para elit
bangsawan yang hidup bermewah-mewah dan otoriter, menyebabkan motivasi umat untuk
bekerja menjadi merosot. Dalam keadaan tertindas, rakyat menjadi pasrah dan tak berdaya,
yang akhirnya menempuh kehidupan “tasawuf” atau sufi dan menjadi seorang “zahid” yang
menghindari kehidupan dunia (lebih berorientasi pada kehidupan akhirat) sampai yang
bersikap apatis terhadap dunia. Walaupun kebenaran alasan sejarah tersebut masih banyak
diperdebatkan, namun paling tidak dapat menjadikan suatu peringatan agar sikap keberagaman
umat Islam telah benar-benar sesuai dengan semangat Al Qur’an dan Sunnah.
Islam adalah agama yang menekankan penghayatan atau realisasi ajarannya dalam
kehidupan, mengutamakan pengungkapan pengalaman keagamaan (religious experience) pada
para pemeluknya. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka
mengubah nasib mereka sendiri (QS. Ar Ra’du: 11). Tepat seperti dikatakan Ismail al Faruqi
(Al Tawhid: Its Implication for Thought and Life, 1995) bahwa Islam lebih merupakan a
religion of action dari pada a religion of faith. Sejarah peradaban Islam yang bertahan berabad-
abad (abad ke-9 s/d ke-13) adalah bukti profesionalisme masyarakat Islam dalam menjalankan
roda kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pada sisi lain dalam kehidupan sehari-hari sering dipertentangkan antara bekerja dengan
keikhlasan dengan kerja secara profesional. Kerja ikhlas atau lillahi ta’ala mempunyai konotasi
kerja dengan kemampuan seadanya, minimalis dan tidak produktif. Sebaliknya kerja yang
profesional identik dengan kerja yang efisien dan produktif serta serba uang. Pandangan atau
pengertian begini tidak benar dan menyesatkan. Seorang Muslim yang seluruh hidupnya untuk
ibadah pada Allah, dimana Allah selalu mengawasi dan meminta pertanggungjawaban dikelak
hari kiamat, maka dia akan selalu bekerja dengan ikhlas dan sungguh-sungguh dengan segenap
kemampuannya.
2.2. Cara Membangun Integritas Apoteker Muslim Yang Profesional
Seorang apoteker dalam menjalankan tugas kewajibannya serta keahliannya harus
senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa (Muqadimmah
KEAI, Alinia pertama).Setiap apoteker dalam melakukan pengabdian dan pengamalan ilmunya
harus didasari niat luhur (Ikhlas) untuk kepentingan kemanusiaan sesuai dengan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa.Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang
menempuh jalan menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan kesurga ( HR.
Muslim).
Seorang apoteker muslim akan berusaha menyelaraskan keyakinan beragamanya
dengan prinsip-prinsip ilmiah farmasi. Hasilnya adalah satu bidang kajian farmasi Islam, yaitu
bidang keilmuan dan pelayanan farmasi yang kajiannya berada dalam koridor agama Islam.
Tingkat kehalalah dan keharaman dalam dunia farmasi belum terpetakan dengan jelas. Hal ini
sangat disayangkan karena Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama
Islam. Oleh karena itu, konsumen obat yang beragama Islam memerlukan suatu perlindungan
kehalalan obat yang mereka konsumsi. Dalam hal ini maka keilmuan farmasi memegang
peranan penting. Maka obat yang akan dimakan untuk pengobatan harus benar-benar yang baik
dan bermanfaat untuk dikonsumsi dalam pengobatan dan dijamin oleh seorang apoteker/ahli
farmasis sebagai penjaga jalur distribusi obat.
Seorang apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya (KEAI
Pasal 7). Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian seorang apoteker dalam memberikan
informasi kepada pasien harus didasari ilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah SWT
:“Janganlah engkau berkata terhadap apa yang engkau tidak berilmu. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya” (Q.S
al-Israa’: 36).
Bagi kaum muslimin bekerja dalam rangka mendapatkan rizki yang halal dan
memberikan kemanfaatan yang sebesar besarnya bagi masyarakat merupakan bagian dari
ibadahnya kepada Allah SWT. Bekerja dan berusaha merupakan bagian dari ibadah maka
aplikasi dan implementasi dari bekerja tersebut perlu diikat dan dilandasi oleh akhlak/etika
yang sering disebut dengan etika profesi.Etika profesi itu antara lain tercermin dari kata kata
sifat yaitu, Shiddiq,Istiqomah, Fathanah, Amanah, dan Tabliqh.
WHO memberikan konsep fungsi dan tugas Apoteker sesuai dengan kompetensi Apoteker di
Apotek yang dikenal dengan Nine Stars Pharmacist, yaitu:
1. Care giver, artinya apoteker dapat memberi pelayanan kepada pasien, memberi
informasi obat kepada masyarakat dan kepada tenaga kesehatan lainnya.
2. Decision maker, artinya apoteker mampu mengambil keputusan, tidak hanya mampu
mengambil keputusan dalam hal manajerial namun harus mampu mengambil keputusan
terbaik terkait dengan pelayanan kepada pasien, sebagai contoh ketika pasien tidak
mampu membeli obat yang ada dalam resep maka apoteker dapat berkonsultasi dengan
dokter atau pasien untuk pemilihan obat dengan zat aktif yang sama namun harga lebih
terjangkau..
3. Communicator, artinya apoteker mampu berkomunikasi dengan baik dengan pihak
eksternal (pasien atau konsumen) dan pihak internal (tenaga profesional kesehatan
lainnya).
4. Leader, artinya apoteker mampu menjadi seorang pemimpin di apotek. Sebagai seorang
pemimpin, Apoteker merupakan orang yang terdepan di apotek, bertanggung jawab
dalam pengelolaan apotek mulai dari manajemen pengadaan, pelayanan, administrasi,
manajemen SDM serta bertanggung jawab penuh dalam kelangsungan hidup apotek.
5. Manager, artinya apoteker mampu mengelola apotek dengan baik dalam hal pelayanan,
pengelolaan manajemen apotek, pengelolaan tenaga kerja dan administrasi keuangan.
Untuk itu Apoteker harus mempunyai kemampuan manajerial yang baik, yaitu keahlian
dalam menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen.
6. Life long learner, artinya apoteker harus terus-menerus menggali ilmu pengetahuan,
senantiasa belajar, menambah pengetahuan dan keterampilannya serta mampu
mengembangkan kualitas diri.
7. Teacher, artinya apoteker harus mampu menjadi guru, pembimbing bagi stafnya, harus
mau meningkatkan kompetensinya, harus mau menekuni profesinya, tidak hanya
berperan sebagai orang yang tahu saja, tapi harus dapat melaksanakan profesinya
tersebut dengan baik.
8. Researcher, artinya apoteker berperan serta dalam berbagai penelitian guna
mengembangkan ilmu kefarmasiannya.
9. Enterpreneur, artinya apoteker diharapkan terjun menjadi wirausaha dalam
mengembangkan kemandirian serta membantu mensejahterakan masyarakat.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai